(SSR) Pengaruh Pretend Play Terhadap Peningkatan Kamampuan Interaksi Sosial Anak Dengan Asperger Syndrome
(SSR) Pengaruh Pretend Play Terhadap Peningkatan Kamampuan Interaksi Sosial Anak Dengan Asperger Syndrome
(SSR) Pengaruh Pretend Play Terhadap Peningkatan Kamampuan Interaksi Sosial Anak Dengan Asperger Syndrome
oleh
Dr. Hans Aspergers, seorang Physician German adalah orang pertama yang
mendokumentasi sindrom Asperger ini. Pada awal tahun 1980 Dr. Hans
Asperger mengemukakan keberadaan sindrom ini dengan melakukan prosedur
diagnostik Amerika. Tanda atau ciri-ciri Aspergers Syndrome dalam Yuwono
(2009, hlm. 20) adalah sebagai berikut :
Perkembangan bicaranya normal.
Pada dasarnya perkembangan kognitif normal.
Pada dasarnya perkembangan bina diri dan keingintahuan terhadap dunia di
luar dirinya sama dengan orang lain.
Keterampilan motorik kasar terlambat dan adanya kekakuan.
Kontakmata, ekspresi muka, bahasa tubuh tidak sesuai dengan situasi sosial.
Kesulitan dalam menegakkan dan mempertahankan hubungan dengan teman
sebaya.
Kesulitan mengekspresikan emosi dan hubungannya dengan orang lain.
Kuat dan bersemangat berhubungan dengan subjek,objek atau topik yang
nyata.
Perilaku yang mengulang-ulang seperti flapping.
Mempertahankan rutinitas (pola perilaku yang kaku).
Atwood (1998, dalam Yuwono, 2009, hlm. 20) menyebutkan bahwa ciri utama
aspergers syndrome adalah kurangnya keterampilan sosial, terbatas dalam
melakukan percakapan berbalasan dan ketertarikan yang kuat pada objek yang
nyata.meskipun gejala anak aspergers syndrome mirip dengan anak autistik,
perkembangan bicaranya yang terlihat normal dan kesulitan dalam motorik
menjadi perbedaan dengan anak yang mengalami gangguan autistik.
Perbedaan lain yang mencolok antara autistik dan aspergers syndrome
dituliskan oleh Siegel (1996, dalam Yuwono, 2009 hlm. 20) yakni anak
aspergers syndrome tidak dideteksi pada masa awal, karena mereka mungkin
tidak memiliki keterlambatan dalam bahasaatau hanya mild delays
(keterlambatan ringan). Yakni perbedaan pada verbal dan nonverbal intelegence.
Dalam perspektif IQ, anak aspergers syndrome memiliki IQ verbal dan
nonverbal yang dapat dibandingkan, sedang anak autistik berkecenderungan IQ
nonverbal lebih tinggi dibandingkan IQ verbalnya.
c. Interaksi Sosial Anak Aspergers Syndrome
Menurut Anindyaputri (2017), Orang atau anak yang memiliki gangguan
Asperger akan menunjukkan kesulitan berkomunikasi. Meskipun kemampuan
berbahasa mereka sangat piawai, mereka biasanya mengartikan segala hal secara
harfiah atau makna sesungguhnya. Masalahnya, dalam berkomunikasi Anda
tentu tak hanya bergantung pada kosakata saja. Anda juga akan menggunakan
berbagai ekspresi wajah, nada bicara, gestur tubuh, isyarat, perumpaan, lelucon,
dan kode-kode tertentu. Inilah yang menjadi masalah bagi pengidap Asperger.
Mereka kesulitan mengartikan serta mengekspresikan hal-hal yang sifatnya
abstrak atau bermakna ganda. Orang yang mengidap Asperger juga cenderung
memotong pembicaraan orang lain yang dia anggap berputar-putar atau bertele-
tele. Dia sendiri biasanya akan berbicara secara lugas dan jujur, bahkan kadang
terlalu jujur bagi orang-orang yang tidak memahami kondisinya.
Oleh karena itu, sering kali mereka dicap sebagai orang yang tidak peka.
Ekspresi wajah mereka pun tetap datar meskipun mereka sebenarnya ingin
mengungkapkan emosi seperti kesedihan, kegembiraan, atau rasa marah. Maka,
kadang sulit juga untuk menangkap perasaan atau memahami maksud orang
dengan sindrom Asperger.
Selain masalah dalam berkomunikasi, orang yang mengidap Asperger juga
bermasalah dalam interaksi sosial. Karena mereka kerap merasa berbeda dari
orang lain dan kesulitan memahami atau dipahami dalam masyarakat, mereka
cenderung menarik diri dari pergaulan. Ketika masih kanak-kanak, mereka
sering mendapat teguran karena berlaku tidak sopan. Padahal, mereka tak
bermaksud untuk menyinggung orang lain. Mereka hanya kesulitan untuk
memahami norma sosial atau common sense yang biasanya tidak bisa dijelaskan
dengan nalar.
Akibatnya, orang yang mengidap sindrom ini susah membangun relasi yang
stabil dengan orang lain, meskipun bukan berarti mustahil. Kadang orang lain
merasa tidak sabar atau tersinggung dengan kejujuran dan cara pikir pengidap
Asperger yang terlalu ilmiah atau logis.
d. Pretend Play
Bermain adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Sebagian
orangtua mungkin beranggapan bahwa ketika anak sedang pretend play atau
bermain pura-pura seperti bermain dokter-dokteran atau rumah-rumahan, anak
hanya sedang melakukan aktivitas yang sekadar memberikan efek
menyenangkan bagi anak dan tidak terlalu berarti. Padahal, menurut Joan
Freeman, psikolog asal Inggris, bermain adalah suatu aktivitas yang
membantu anak untuk mencapai perkembangan yang utuh baik secara fisik,
intelektual, sosial, moral dan emosional. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa dengan bermain, anak mulai belajar tentang dunia sekitarnya dengan
seluruh panca indera yang ia miliki.
Bermain peran atau pretend play ini juga memiliki beberapa manfaat dalam
berbagai aspek-aspek perkembangan anak, berikut adalah manfaat pretend play
menurut Ajrina (2018) :
1) Perkembangan kognitif
Dengan pretend play, anak menerima informasi baru tentang dunia
sekitarnya. Dengan bermain peran menjadi seorang koki, montir, pedagang
atau petugas kasir misalnya, anak akan memahami berbagai perbedaan
tugas, karakter dan emosi pada seseorang. Kemudian logika berpikir anak
akan dilatih, contohnya ketika sedang bermain masak-masakan anak akan
berasumsi bahwa daging dan sayuran mainan yang ia gunakan benar-benar
bisa dimakan sehingga ia akan mengunyah dengan mulut yang kosong,
padahal anak pun tahu bahwa sesungguhnya daging dan sayuran itu
hanyalah plastik dan mainan yang tidak bisa digigit.
2) Perkembangan bahasa
Saat anak bermain peran menjadi seorang Ibu, Ayah atau tokoh lainnya
seringkali anak mengeluarkan kata atau kalimat yang mirip seperti apa yang
pernah orangtua ucapkan. Yap, secara tidak langsung kata atau kalimat yang
anak dengar dari orang terdekatnya seperti orangtua, saudara atau guru akan
diserap langsung oleh anak. Memang, anak adalah peniru yang hebat. Oleh
karena itu pretend play membantu anak untuk memahami bahasa lebih
cepat. Anak akan mampu mengembangkan kemampuan berbahasanya yang
pada akhirnya membantu anak dapat bersosialisasi dengan baik. Selain itu
anak akan memahami bahwa kata memiliki makna untuk menghidupkan
cerita kembali dan membuat permainan lebih teratur. Proses ini akan
membantu anak untuk menemukan hubungan antara bahasa bicara dan
bahasa tulis, yang mana nantinya akan memudahkan anak untuk lebih cepat
menulis dan membaca.
3) Perkembangan emosi dan sosial
Pretend play membuat anak aktif memainkan peran sebagai profesi, tokoh
atau peran tertentu. Anak akan belajar untuk “menjadi orang lain” yang
mana akan membantunya untuk mengenal pentingnya memiliki moral dan
kemampuan berempati pada seseorang. Sedangkan dalam kontribusinya di
dunia akademis, anak-anak prasekolah yang meluangkan waktu lebih
banyak dalam pretend play menunjukkan performa yang lebih baik dalam
hal kepatuhan serta regulasi perilaku dan emosi di dalam kelas (Berk, Mann,
& Organ, dalam Berk 2013).
Jadi, semakin kompleks pretend play yang dilakukan anak, semakin kompleks
juga proses berpikir dan belajar anak. Orangtua harus selalu mendukung anak
pada saat proses bermain sambil belajar, sehingga anak mampu menjadi
seseorang percaya diri dan perkembangan anak pun akan menjadi optimal.
2. Penelitian Terdahulu yang Relevan [Adhit Cahyo Prasetyo | 1600645]
Diagnosis pada anak autis umumnya dilakukan setelah tiga tahun, meskipun pada
kebanyakan kasus autism dapat dilihat gejalanya pada umur tersebut (Howlin and
Moore, 1997; Kanner, 1943) dalam (Gillian Baird et all, 1999). Dalam mengenali gejala
autism diperlukan instrumen yang tepat untuk mendapatkan hasil identifikasi yang
akurat. Gillian Baird et all (1999) dalam penelitiannya tentang instrument penjaringan
untuk anak autis umur 18 bulan melalui follow-up study hingga umur 6 tahun dengan
metode asesmen joint attention dan pretend play perilaku yang diatur oleh praktisi anak
awal saat anak umur 18 bulan menyebutkan bahwa dari 19 kasus autsme di umur anak-
anak berhasil diidentifikasi dengan mengunakan CHAT pada usia 18 bulan. Pada
pemantauan nya dari total 50 kasus autism di usia anak-anak dapat diidentivikasi dengan
menggunakan surveillance methode. Hal tersebut menunjukan, CHAT memiliki
senisitivitas 38% dan kekhususan 98% untuk mengenali autism di usia anak-anak.
Prediksi dari instrument dimaksimalkan oleh konsentrasi pada kelompok tertinggi.
Penjaringan dilakukan kembali setelah satu bulan kemudian, prediksi positif mencapai
nilai 75% untuk identifikasi autism pada anak-anak tetapi mengalami penurunan sebesar
20% walaupun specificity hampir 100%. Penjaringan yang dilakukan juga
mengidentifikasikan kasus pervasive developemental disorder sebagaimana anak dengan
hambatan perkembangan dan bahasa.
Tahap selanjutnya setelah identifikasi dan asesmen pada anak yaitu memberikan
intevensi. Intevensi yang diberikan harus sesuai dengan hambatan, kebutuhan, dan
potensi anak. Hal tersebut untuk mencapai hasil yang optimal dalam intervensi.
Penilitian yang dilakukan oleh Prihtiyaningsih (2017) tentang efektivitas Metode Pretend
Play terhadap kemampuan interaksi sosial. Teknik pengumpulan data menggunakan
inventori kemampuan interaksi sosial serta dokumentasi. Analisis data yang digunakan
berupa analisis dalam kondisi dan antar kondisi. Hasil analisis disajikan dalam bentuk
grafik dan tabel. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa metode Pretend Play
efektif untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak autistik kelas II SDLB.
Kemampuan interaksi sosial anak yang meningkat berdasarkan pada kemampuan anak
mengikuti aktivitas sesuai dalam naskah atau dialog, kemampuan anak dalam
memerankan peran yang ada pada naskah atau dialog, 60 Jurnal Widia Ortodidaktika Vol
6 No 1 Tahun 2017 kemampuan anak meniru atau imitasi sesuai yang dicontohkan oleh
peneliti, kemampuan anak menerima sugesti dari peneliti seperti ketika peneliti
memberikan motivasi-motivasi agar anak semangat belajar, mampu menempatkan diri
pada situasi tertentu ditunjukkan pada saat peneliti masuk anak sudah paham lalu duduk
ditempatnya, mampu bersimpati terhadap orang lain seperti ikut membereskan peralatan
pembelajaran setelah selesai. Pada penilitan kali akan dilakukan dengan metode yang
sama pada subjek dan variable bebas yang berbeda.
3. Kerangka Berpikir [Bilqist Nafa L.F | 1600540]
Peningkatan
Pretend Play Perkembangan
Interaksi Sosial
H. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian [Dhea Fitri Awalia | 1600879]
Penelitian ini bermaksud membuktikan pengaruh penerapan jenis permainan
Pretend Play terhadap peningkatan keterampilan interaksi sosial pada anak Asperger
Syndrome dengan menggunakan metode eksperimen. Pendekatan yang digunakan
adalah Single Subject Research (SSR) yang tujuannya mengidentifikasi pengaruh
dari suatu perilaku/intervensi yang diberikan kepada individu secara berulang dalam
jangka waktu tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sunanto (2006, hlm.
41), bahwa untuk pengukuran variabel terikat atau perilaku sasaran (target behavior)
pada Single Subject Research (SSR) dilakukan berulang-ulang dengan periode waktu
tertentu.
Pendekatan Single Subject Research (SSR) pada penelitian ini menggunakan
desain A-B-A. Menurut Sunanto (2006, hlm. 44), desain A-B-A menunjukkan
adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas yang lebih
kuat dibandingkan dengan A-B. Desain A-B-A memiliki tiga tahap, yaitu baseline-1
(A-1); kemampuan awal anak diukur tanpa melakukan perlakuan apapun. Kedua
yaitu intervensi (B) berupa pemberian perilaku oleh peneliti kepada subjek. Ketiga
yaitu baseline-2 (A-2) merupakan kemampuan akhir anak diukur di beberapa sesi
saat tidak diberi perlakuan apapun. Adapun desain A-B-A tersebut data dilihat pada
grafik di bawah ini.
100
Perilaku Sasaran (dalam persen)
90
80
70 A-1 B A-2
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sesi (Waktu)
Grafik
Desain A-B-A
a) Studi pendahuluan
Peneliti melakukan studi pendahuluan yang berhubungan dengan perkembangan
interaksi sosial anak dengan Asperger Syndrome sehingga dapat diketahui
karakteristik dan kondisi anak.
b) Membuat kisi-kisi instrumen
Kisi-kisi instrumen penelitian dibuat sebagai dasar pengembangan instrumen
yang disesuaikan dengan kemampuan, karakteristik, dan kondisi anak. Berikut
ini kisi-kisi instrumen perkembangan interaksi sosia anak dengan Asperger
Syndrome.
Tabel
Kisi-Kisi Instrumen
Aspek yang akan
No Ruang Lingkup Indikator
diukur
1. Inisiasi Sosial 1.1 Memulai 1.1.1 Anak mampu melakukan
Kontak kontak fisik untuk memulai
interaksi
1.1.2 Anak mampu memanggil
orang lain untuk menarik
perhatian
1.2 Memulai 1.2.1 Anak mampu
Percakapan mengungkapkan idenya
dengan orang lain
1.2.2 Anak mampu memahami
keadaan lingkungannya
2. Mengungkapkan 2. 1 Meminta 2.1.1 Anak mampu meminta
Kebutuhannya makanan
2.1.2 Anak mampu meminta
mainan
2. 2 Menolak 2.2.1 Anak mampu menolak
tawaran orang lain
2.2.2 Anak mampu
mengungkapkan
ketidaksukaannya terhada
sesuatu
3. Berbagi 3.1 Berbagi 3.1.1 Anak mampu ikut
Perasaan tersenyum dengan orang lain
3.1.2 Anak mampu membantu
orang lain yang sedang
kesusahan
3.2 Berbagi 3.2.1 Anak mampu berbagi
Objek makanannya dengan orang lain
3.2.2 Anak mampu berbagi
mainannya dengan orang lain
c) Membuat kriteria penilaian
Setelah kisi-kisi instrumen dibuat, langkah selanjutnya yang tidak kalah penting
adalah menetapkan kriteria penilaian. Penilaian digunakan untuk mendapat skor
pada tahap baseline-1 (A-1), intervensi (B), dan tahap baseline-2 (A-2).
d) Penyusunan instrumen
Penyusunan instrumen disesuaikan dengan kisi-kisi yang telah dibuat kemudian
dikembangkan dan dengan mempertimbangkan kemampuan awal anak.
Instumen ini akan mengukur keterampilan interaksi sosial anak.
4. Teknik Pengolahan Data [Dhia Akhsya Revananto | 1603717]
Data diperoleh melalui pelaksanaan observasi yang berpedoman pada
instrumen yang telah dibuat sebelumnya. Selanjutnya pengolahan data dalam pelam
penelitian ini menggunakan penggukuran persentase (%), sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sunanto (2006, hlm. 16) bahwa persentase (percentage) sering
digunakan oleh peneliti atau guru untuk mengukur perilaku dalam bidang akademik
maupun sosial. Persentase (%) keterampilan interaksi sosial pada anak dengan
Asperger Syndrome dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:
∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
× 100%
∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
I. Daftar Pustaka
Ajrina, A. (2018). “Manfaat Pretend Play dalam Optimalisasi Perkembangan Anak Usia
Dini”. [online]. Tersedia di http://www.klikpsikolog.com/manfaat-pretend-play-
dalam-optimalisasi-perkembangan-anak-usia-dini/. (Diakses Pada 9 November
2018.)
Somantri, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Sunanto, J., Takeuchi, K., dan Nakata, H. (2006). Penelitian dengan Subjek Tunggal.
Bandung: UPI Press.
Susanto, Ahmad. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai
Aspeknya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Susetyo, B. (2010). “Statistika untuk Analisis Data dan Penelitian: Dilengkapi dengan
Cara Perhitungan dengan SPSS dan MS Office Word”. Bandung: Refika Aditama.
Susetyo, Budi,. dkk. (2015). Handout MKDK Penelitian Pendidikan. Bandung: Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia [tidak diterbitkan]
Riduwan. (2010). Metode & Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Yuwono, J. (2009). “Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik)”. Bandung:
Alfabeta
Prihtiyaningsih, Nurvi. (2017) “The Effectiveness Of Pretend Play Method In The Ability Social
Interaction For Autistic Child 2 Th At Slb Ma'arif Muntilan”