(SSR) Pengaruh Pretend Play Terhadap Peningkatan Kamampuan Interaksi Sosial Anak Dengan Asperger Syndrome

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

PENGARUH PRETEND PLAY DALAM MENINKATKAN INSTERAKSI ANAK

DENGAN APERGER SYNDROME TERHADAP ORANG TUA

PROPOSAL PENELITIAN SUBJEK TUNGGAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Penelitian Pendidikan Khusus


Dosen Pengampu: Dr. Budi Susetyo, M.Pd. dan Dr. Iding Tarsidi, M.Pd

oleh

Adhit Cahyo Prasetyo 1600645


Bilqist Nafa L.F 1600540
Dena Tresna Aripiani 1600646
Dhea Fitri Awalia 1600879
Dhia Akhsya Revananto 1603717
Fuzy Novia 1600739
Malda Miladiani 1607610

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
A. Latar Belakang [Dena Tresna Aripiani | 1600646]
Santrock (2012, hlm. 5) mengemukakan pengertian perkembangan yaitu pola
pergerakan atau perubahan yang dimulai sejak masa pembuahan dan terus berlangsung
selama masa hidup manusia. Selain itu, menurut Yusuf (dalam Susanto, 2011, hlm. 19)
perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh individu-individu atau
organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (naturation) yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik
(jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Pada dasarnya masa perkembangan ini akan saling
mempengaruhi pada tahap perkembangan berikutnya. Apabila pada masa perkembangan
terjadi suatu hambatan hal ini akan berdampak pula pada aktivitas kehidupan sehari-hari.
Bagi penyandang autisme dimana individu mengalami gangguan pada interaksi
sosial (kesulitan dalam hubungan sosial), kesulitan dalam berkomunikasi verbal maupun
nonverbal, kesulitan dalam imajinasi, perilakunya repetitif, dan resistensi (tidak mudah
mengikuti) terhadap perubahan pada rutinitas. Kesulitan dalam hubungan sosial ditandai
dengan perilaku “aneh” dan berbeda dengan orang lain. Kesulitan dalam berkomunikasi
verbal maupun nonverbal ditandai dengan memaknai gerak tubuh, ekspresi muka atau
nada dan warna suara). Kesulitan imajinasi ditandai dengan kesulitan dalam bermain,
aktivitas bermainnya terbatas, mencontoh dan mengikuti secara kaku dan berulang-ulang.
Berbeda dengan jenis autis sindrom asperger adalah yang paling umum. Meskipun
gangguan serius dalam keterampilan sosial, pemikiran abstrak, dan kemampuan untuk
berhubungan dengan dan mengidentifikasi emosi, siswa ini sering di kisaran IQ normal
dan mungkin memiliki kemampuan verbal yang luas. Akibatnya banyak orang tidak
segera mengenali anak dengan sindrom asperger di dalam kelas. Oleh karena itu peneliti
memilih Joint Attention berupa pengaruh dari pretend play terhadap peningkatan
perkembangan interaksi sosial pada anak autis asperger dan bertujuan dalam terapi
bermain ini untuk mengajarkan anak menjadi lebih fleksibel dalam berpikir tentang
bermain peran dengan objek bersama satu temannya sehingga perkembangan komunikasi
dan interaksi anak menjadi lebih baik.

B. Identifikasi Masalah [Dena Tresna Aripiani | 1600646]


1. Anak memiliki kemampuan bahasa yang terbatas
2. Interaksi dan komunikasi kurang baik
3. Anak mengalami hambatan perkembangan
4. Anak mengalami hambatan dalam berimajinasi

C. Batasan Masalah [Malda Miladiani | 1607610]


Berdasarkan identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah pada pengaruh
pretend play terhadap peningkatan perkembangan interaksi sosial. Pretend play dipilih
sebagai strategi dalam bentuk permainan peran yang akan dimainkan oleh anak dan
temannya untuk membantu meningkatkan interaksi dan komunikasi. Subjek penelitian ini
adalah anak autis asperger. Karena dalam keterampilan sosial, siswa ini sering di kisaran
IQ normal dan mungkin memiliki kemampuan verbal yang luas. Akibatnya banyak orang
tidak segera mengenali anak dengan sindrom asperger di dalam kelas. Pretend play juga
merupakan salah satu terapi dalam bentuk bermain yang bertujuan untuk mengajarkan
anak menjadi lebih fleksibel dalam berpikir tentang bermain peran dengan objek bersama
satu temannya sehingga perkembangan komunikasi dan interaksi anak menjadi lebih
baik.

D. Rumusan Masalah [Malda Miladiani | 1607610]


Dari batasan masalah yang sudah ditentukan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Apakah terdapat pengaruh dari Pretend Play terhadap peningkatan
perkembangan interaksi sosial pada anak dengan Asperger Syndrome?”

E. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian [Fuzy Novia | 1600739]


1. Tujuan Penelitian
Terdapat dua tujuan penelitian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum dari penelitian ini adalah untuk mengungkap pengaruh dari Pretend Play
terhadap peningkatan perkembangan interaksi sosial anak dengan Asperger
Syndrome.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui kemampuan interaksi anak Autism Asperger sebelum
digunakannya Pretend Play.
b. Mengetahui kemampuan interaksi anak Autism Asperger setelah digunakannya
Pretend Play.
Tujuan-tujuan tersebut akan memberikan gambaran bagaimana pengaruh Pretend
Play terhadap peningkatan perkembangan interaksi sosial anak dengan Asperger
Syndrome.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini memiliki kegunaan untuk mengembangkan ilmu
pendidikan khusus, terutama dalam meningkatkan interaksi sosial pada anak
Autism Asperger dengan menggunakan Pretend Play.
b. Kegunaan Praktris
Secara praktis, penelitian ini memiliki kegunaan:
1) Bagi peneliti
Memberikan pemahaman lebih dalam permasalahan yang dimiliki anak
Autism Asperger yaitu pentingnya berinteraksi dengan lingkungan sosial
serta menambah pengetahuan mengenai pengaruh Pretend Play terhadap
peningkatan perkembangan interaksi sosial anak Autism Asperger.
2) Bagi subjek peneliti
Memberikan pengalaman yang berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan interaksi sosial.
3) Bagi sekolah
Menjadi bahan evaluasi bagi sekolah untuk meningkatkan mutu dan
kualitas penyelenggara pendidikan bagi anak Autism Asperger.

F. Definisi Operasional Variabel [Fuzy Novia | 1600739]


Menurut Kerlinger (dalam Riduwan, 2007, hlm. 49) variabel adalah variabel adalah
konstruk atau sifat yang dipelajari. Adapun pengertian tentang definisi operasional
menurut Masri S. (dalam Riduwan, 2010, hlm. 66) adalah unsur penelitian yang
memberitahukan cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain definisi operasional
adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel.
Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel penelitian yaitu satu variabel bebas dan
satu veriable terikat.
Adapun definisi operasional variabel penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Pretend Play adalah tindakan yang dilakukan secara sadar oleh anak berupa
benruk permainan yang sifatnya pura-pura memerankan suatu peran tertentu.
2. Asperger Syndrome adalah salah satu bagian dari kelompok gangguan
spektrum autistik yang memiliki karakteristik kurangnya keterampilan sosial,
terbatas dalam melakukan percakapan berbalasan dan ketertarikan yang kuat
pada objek yang nyata.
.
G. Kajian Pustaka
1. Kajian Teori [Bilqist Nafa L.F | 1600540]
a. Anak dengan Gangguan Spektrum Autisme
Autisme berasal dari kata Yunani ‘aut’ yang artinya diri sendiri, dan isme’
orientation/state yang artinya orientasi/keadaan. Autisme dapat diartikan sebagai
kondisi seseorang yang secara tidakwajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi
seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri. (Sugiarmin, 2013,
hlm. 171)
Autistik merupakan gangguan perkembangan yang memengaruhi beberapa
aspek bagaimana anak melihat dunia dan belajar dari pengalamannya. Biasanya
anak-anak ini kurang minat untuk melakukan kontak sosial dantidak adanya
kontak mata. Selain itu anak-anak autistik memiliki kesulitan dalam
berkomunikasi dan terlambat dalam perkembangan bicaranya. Ciri lainnya
nampak pada perilaku yang stereotype seperti mengepakkan tangan secara
berulang-ulang, mondar-mandir tidak bertujuan, menyusun benda berderet dan
terpukau terhadap benda yang berputar dan masih banyak lagi. Tapi setiap anak
yang mengalami gangguan autistik tiap individunya memiliki karakteristik yang
berbeda-beda.
Autistik dikenal dan paling sering muncul sebagai bentuk dari kelompok
“disorder” yang dikelompokkan dalam Pervasive Developmental Disorder
(PDD). Istilah diagnosis autistik juga terkadang dilabel dalam kategori Pervasive
Developmental Disorder, Not Otherwise Specified (PDD NOS). Diagnosis yang
berhubungan lebih dekat seperti Asperger’s Syndrome, Fragile X Syndrome,
Rett Syndrome, dan Childhood Disintegrative Disorder memiliki kesamaan
tetapi terpisah dari autistik dan PDD NOS.
PDD merupakan payung dari sindrom autistik dan non autistik. Lewis (2003,
dalam Yuwono, 2009, hlm. 17) menuliskan bahwa dalam DSM IV tahun 1994,
autistik merupakan satu darilima disorder yang termasuk dibawah payung PDD
secara umum, meskipun terdapat kontroversi dalam penggunaan terminologi ini.
Gangguan lain yang termasuk dalam PDD adalah Asperger’s Syndrome,
Disintegrative Disorder, Rett Disorder dan atypical autism atau PDD NOS.
b. Asperger’s Syndrome

Dr. Hans Aspergers, seorang Physician German adalah orang pertama yang
mendokumentasi sindrom Asperger ini. Pada awal tahun 1980 Dr. Hans
Asperger mengemukakan keberadaan sindrom ini dengan melakukan prosedur
diagnostik Amerika. Tanda atau ciri-ciri Aspergers Syndrome dalam Yuwono
(2009, hlm. 20) adalah sebagai berikut :
 Perkembangan bicaranya normal.
 Pada dasarnya perkembangan kognitif normal.
 Pada dasarnya perkembangan bina diri dan keingintahuan terhadap dunia di
luar dirinya sama dengan orang lain.
 Keterampilan motorik kasar terlambat dan adanya kekakuan.
 Kontakmata, ekspresi muka, bahasa tubuh tidak sesuai dengan situasi sosial.
 Kesulitan dalam menegakkan dan mempertahankan hubungan dengan teman
sebaya.
 Kesulitan mengekspresikan emosi dan hubungannya dengan orang lain.
 Kuat dan bersemangat berhubungan dengan subjek,objek atau topik yang
nyata.
 Perilaku yang mengulang-ulang seperti flapping.
 Mempertahankan rutinitas (pola perilaku yang kaku).
Atwood (1998, dalam Yuwono, 2009, hlm. 20) menyebutkan bahwa ciri utama
aspergers syndrome adalah kurangnya keterampilan sosial, terbatas dalam
melakukan percakapan berbalasan dan ketertarikan yang kuat pada objek yang
nyata.meskipun gejala anak aspergers syndrome mirip dengan anak autistik,
perkembangan bicaranya yang terlihat normal dan kesulitan dalam motorik
menjadi perbedaan dengan anak yang mengalami gangguan autistik.
Perbedaan lain yang mencolok antara autistik dan aspergers syndrome
dituliskan oleh Siegel (1996, dalam Yuwono, 2009 hlm. 20) yakni anak
aspergers syndrome tidak dideteksi pada masa awal, karena mereka mungkin
tidak memiliki keterlambatan dalam bahasaatau hanya mild delays
(keterlambatan ringan). Yakni perbedaan pada verbal dan nonverbal intelegence.
Dalam perspektif IQ, anak aspergers syndrome memiliki IQ verbal dan
nonverbal yang dapat dibandingkan, sedang anak autistik berkecenderungan IQ
nonverbal lebih tinggi dibandingkan IQ verbalnya.
c. Interaksi Sosial Anak Aspergers Syndrome
Menurut Anindyaputri (2017), Orang atau anak yang memiliki gangguan
Asperger akan menunjukkan kesulitan berkomunikasi. Meskipun kemampuan
berbahasa mereka sangat piawai, mereka biasanya mengartikan segala hal secara
harfiah atau makna sesungguhnya. Masalahnya, dalam berkomunikasi Anda
tentu tak hanya bergantung pada kosakata saja. Anda juga akan menggunakan
berbagai ekspresi wajah, nada bicara, gestur tubuh, isyarat, perumpaan, lelucon,
dan kode-kode tertentu. Inilah yang menjadi masalah bagi pengidap Asperger.
Mereka kesulitan mengartikan serta mengekspresikan hal-hal yang sifatnya
abstrak atau bermakna ganda. Orang yang mengidap Asperger juga cenderung
memotong pembicaraan orang lain yang dia anggap berputar-putar atau bertele-
tele. Dia sendiri biasanya akan berbicara secara lugas dan jujur, bahkan kadang
terlalu jujur bagi orang-orang yang tidak memahami kondisinya.
Oleh karena itu, sering kali mereka dicap sebagai orang yang tidak peka.
Ekspresi wajah mereka pun tetap datar meskipun mereka sebenarnya ingin
mengungkapkan emosi seperti kesedihan, kegembiraan, atau rasa marah. Maka,
kadang sulit juga untuk menangkap perasaan atau memahami maksud orang
dengan sindrom Asperger.
Selain masalah dalam berkomunikasi, orang yang mengidap Asperger juga
bermasalah dalam interaksi sosial. Karena mereka kerap merasa berbeda dari
orang lain dan kesulitan memahami atau dipahami dalam masyarakat, mereka
cenderung menarik diri dari pergaulan. Ketika masih kanak-kanak, mereka
sering mendapat teguran karena berlaku tidak sopan. Padahal, mereka tak
bermaksud untuk menyinggung orang lain. Mereka hanya kesulitan untuk
memahami norma sosial atau common sense yang biasanya tidak bisa dijelaskan
dengan nalar.
Akibatnya, orang yang mengidap sindrom ini susah membangun relasi yang
stabil dengan orang lain, meskipun bukan berarti mustahil. Kadang orang lain
merasa tidak sabar atau tersinggung dengan kejujuran dan cara pikir pengidap
Asperger yang terlalu ilmiah atau logis.
d. Pretend Play
Bermain adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Sebagian
orangtua mungkin beranggapan bahwa ketika anak sedang pretend play atau
bermain pura-pura seperti bermain dokter-dokteran atau rumah-rumahan, anak
hanya sedang melakukan aktivitas yang sekadar memberikan efek
menyenangkan bagi anak dan tidak terlalu berarti. Padahal, menurut Joan
Freeman, psikolog asal Inggris, bermain adalah suatu aktivitas yang
membantu anak untuk mencapai perkembangan yang utuh baik secara fisik,
intelektual, sosial, moral dan emosional. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa dengan bermain, anak mulai belajar tentang dunia sekitarnya dengan
seluruh panca indera yang ia miliki.
Bermain peran atau pretend play ini juga memiliki beberapa manfaat dalam
berbagai aspek-aspek perkembangan anak, berikut adalah manfaat pretend play
menurut Ajrina (2018) :
1) Perkembangan kognitif
Dengan pretend play, anak menerima informasi baru tentang dunia
sekitarnya. Dengan bermain peran menjadi seorang koki, montir, pedagang
atau petugas kasir misalnya, anak akan memahami berbagai perbedaan
tugas, karakter dan emosi pada seseorang. Kemudian logika berpikir anak
akan dilatih, contohnya ketika sedang bermain masak-masakan anak akan
berasumsi bahwa daging dan sayuran mainan yang ia gunakan benar-benar
bisa dimakan sehingga ia akan mengunyah dengan mulut yang kosong,
padahal anak pun tahu bahwa sesungguhnya daging dan sayuran itu
hanyalah plastik dan mainan yang tidak bisa digigit.
2) Perkembangan bahasa
Saat anak bermain peran menjadi seorang Ibu, Ayah atau tokoh lainnya
seringkali anak mengeluarkan kata atau kalimat yang mirip seperti apa yang
pernah orangtua ucapkan. Yap, secara tidak langsung kata atau kalimat yang
anak dengar dari orang terdekatnya seperti orangtua, saudara atau guru akan
diserap langsung oleh anak. Memang, anak adalah peniru yang hebat. Oleh
karena itu pretend play membantu anak untuk memahami bahasa lebih
cepat. Anak akan mampu mengembangkan kemampuan berbahasanya yang
pada akhirnya membantu anak dapat bersosialisasi dengan baik. Selain itu
anak akan memahami bahwa kata memiliki makna untuk menghidupkan
cerita kembali dan membuat permainan lebih teratur. Proses ini akan
membantu anak untuk menemukan hubungan antara bahasa bicara dan
bahasa tulis, yang mana nantinya akan memudahkan anak untuk lebih cepat
menulis dan membaca.
3) Perkembangan emosi dan sosial
Pretend play membuat anak aktif memainkan peran sebagai profesi, tokoh
atau peran tertentu. Anak akan belajar untuk “menjadi orang lain” yang
mana akan membantunya untuk mengenal pentingnya memiliki moral dan
kemampuan berempati pada seseorang. Sedangkan dalam kontribusinya di
dunia akademis, anak-anak prasekolah yang meluangkan waktu lebih
banyak dalam pretend play menunjukkan performa yang lebih baik dalam
hal kepatuhan serta regulasi perilaku dan emosi di dalam kelas (Berk, Mann,
& Organ, dalam Berk 2013).
Jadi, semakin kompleks pretend play yang dilakukan anak, semakin kompleks
juga proses berpikir dan belajar anak. Orangtua harus selalu mendukung anak
pada saat proses bermain sambil belajar, sehingga anak mampu menjadi
seseorang percaya diri dan perkembangan anak pun akan menjadi optimal.
2. Penelitian Terdahulu yang Relevan [Adhit Cahyo Prasetyo | 1600645]
Diagnosis pada anak autis umumnya dilakukan setelah tiga tahun, meskipun pada
kebanyakan kasus autism dapat dilihat gejalanya pada umur tersebut (Howlin and
Moore, 1997; Kanner, 1943) dalam (Gillian Baird et all, 1999). Dalam mengenali gejala
autism diperlukan instrumen yang tepat untuk mendapatkan hasil identifikasi yang
akurat. Gillian Baird et all (1999) dalam penelitiannya tentang instrument penjaringan
untuk anak autis umur 18 bulan melalui follow-up study hingga umur 6 tahun dengan
metode asesmen joint attention dan pretend play perilaku yang diatur oleh praktisi anak
awal saat anak umur 18 bulan menyebutkan bahwa dari 19 kasus autsme di umur anak-
anak berhasil diidentifikasi dengan mengunakan CHAT pada usia 18 bulan. Pada
pemantauan nya dari total 50 kasus autism di usia anak-anak dapat diidentivikasi dengan
menggunakan surveillance methode. Hal tersebut menunjukan, CHAT memiliki
senisitivitas 38% dan kekhususan 98% untuk mengenali autism di usia anak-anak.
Prediksi dari instrument dimaksimalkan oleh konsentrasi pada kelompok tertinggi.
Penjaringan dilakukan kembali setelah satu bulan kemudian, prediksi positif mencapai
nilai 75% untuk identifikasi autism pada anak-anak tetapi mengalami penurunan sebesar
20% walaupun specificity hampir 100%. Penjaringan yang dilakukan juga
mengidentifikasikan kasus pervasive developemental disorder sebagaimana anak dengan
hambatan perkembangan dan bahasa.
Tahap selanjutnya setelah identifikasi dan asesmen pada anak yaitu memberikan
intevensi. Intevensi yang diberikan harus sesuai dengan hambatan, kebutuhan, dan
potensi anak. Hal tersebut untuk mencapai hasil yang optimal dalam intervensi.
Penilitian yang dilakukan oleh Prihtiyaningsih (2017) tentang efektivitas Metode Pretend
Play terhadap kemampuan interaksi sosial. Teknik pengumpulan data menggunakan
inventori kemampuan interaksi sosial serta dokumentasi. Analisis data yang digunakan
berupa analisis dalam kondisi dan antar kondisi. Hasil analisis disajikan dalam bentuk
grafik dan tabel. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa metode Pretend Play
efektif untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak autistik kelas II SDLB.
Kemampuan interaksi sosial anak yang meningkat berdasarkan pada kemampuan anak
mengikuti aktivitas sesuai dalam naskah atau dialog, kemampuan anak dalam
memerankan peran yang ada pada naskah atau dialog, 60 Jurnal Widia Ortodidaktika Vol
6 No 1 Tahun 2017 kemampuan anak meniru atau imitasi sesuai yang dicontohkan oleh
peneliti, kemampuan anak menerima sugesti dari peneliti seperti ketika peneliti
memberikan motivasi-motivasi agar anak semangat belajar, mampu menempatkan diri
pada situasi tertentu ditunjukkan pada saat peneliti masuk anak sudah paham lalu duduk
ditempatnya, mampu bersimpati terhadap orang lain seperti ikut membereskan peralatan
pembelajaran setelah selesai. Pada penilitan kali akan dilakukan dengan metode yang
sama pada subjek dan variable bebas yang berbeda.
3. Kerangka Berpikir [Bilqist Nafa L.F | 1600540]

Peningkatan
Pretend Play Perkembangan
Interaksi Sosial

Anak dengan Aspergers syndrome memiliki kemampuan verbal yang baik,


namun kurang bisa untuk melakukan interaksi dan komunikasi sosial dengan baik.
Seperti halnya dalam kasus dalam penelitian ini, subjek yang memiliki kemampuan
berbahasa verbal namun tidak dapat berinteraksi dengan baik dengan teman
sebayanya. Subjek tidak bisa melakukan inisiasi dalam berinteraksi dan tidak dapat
mengekspresikan apa yang ingin dikomunikasikan dengan teman sebayanya dengan
baik. Dari masalah ini ditemukan bahwa anak memiliki masalah untuk memulai
interaksi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya.
Cara anak-anak untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya
adalah dengan bermain. Oleh karena itu peneliti berpikir bahwa untuk mengatasi
masalah berinteraksi dan berkomunikasi bagi subjek adalah melalui permainan.
Permainan yang dipilih yaitu permainan peran atau pretend play karena dengan
bermain peran anak dapat berimajinasi bersama dengan teman sebayanya. Dalam
Pretend Play anak akan ditunut untuk banyak berbicara, bernarasi dan berkomunikasi
dengan teman sepermainannya. Begitu pun teman sepermainannya dapat mengajak
atau memberi arahan dalam permainan yang mereka mainkan sehingga besar
kemungkinan terjadi komunikasi antara anak dengan teman sepermainannya.
Sehingga peneliti berpikir bahwa Pretend Play ini dapat meningkatkan kemampuan
interaksi sosial bagi subjek.
4. Hipotesis [Bilqist Nafa L.F | 1600540]
Hipotesis merupakan jawaban sementara (Susetyo, 2010, hlm. 141). Jadi
Hipotesis adalah jawaban sementara dari persoalan yang akan diteliti yang haru diuji
terlebih dahulu kebenarannya dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti
mengajukan hipotesis sebagai berikut :
H0 : Tidak ada pengaruh Pretend Play atau bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan interaksi sosial pada anak dengan aspergers syndrome.
Ha : ada pengaruh Pretend Play atau bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan interaksi sosial pada anak dengan aspergers syndrome

H. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian [Dhea Fitri Awalia | 1600879]
Penelitian ini bermaksud membuktikan pengaruh penerapan jenis permainan
Pretend Play terhadap peningkatan keterampilan interaksi sosial pada anak Asperger
Syndrome dengan menggunakan metode eksperimen. Pendekatan yang digunakan
adalah Single Subject Research (SSR) yang tujuannya mengidentifikasi pengaruh
dari suatu perilaku/intervensi yang diberikan kepada individu secara berulang dalam
jangka waktu tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sunanto (2006, hlm.
41), bahwa untuk pengukuran variabel terikat atau perilaku sasaran (target behavior)
pada Single Subject Research (SSR) dilakukan berulang-ulang dengan periode waktu
tertentu.
Pendekatan Single Subject Research (SSR) pada penelitian ini menggunakan
desain A-B-A. Menurut Sunanto (2006, hlm. 44), desain A-B-A menunjukkan
adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas yang lebih
kuat dibandingkan dengan A-B. Desain A-B-A memiliki tiga tahap, yaitu baseline-1
(A-1); kemampuan awal anak diukur tanpa melakukan perlakuan apapun. Kedua
yaitu intervensi (B) berupa pemberian perilaku oleh peneliti kepada subjek. Ketiga
yaitu baseline-2 (A-2) merupakan kemampuan akhir anak diukur di beberapa sesi
saat tidak diberi perlakuan apapun. Adapun desain A-B-A tersebut data dilihat pada
grafik di bawah ini.

100
Perilaku Sasaran (dalam persen)

90
80
70 A-1 B A-2
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sesi (Waktu)

Grafik
Desain A-B-A

Berikut ini rancangan prosedur pelaksanaan penelitian single subject research


(SSR) dengan desain A-B-A.
a) Baseline-1 (A-1): pada tahap ini pelaksanaannya terfokus pada perkembangan
interaksi sosial anak sebelum diberikan perlakuan atau intervensi. Pengukuran
pada tahap ini dilakukan sebanyak tiga sesi dengan durasi yang disesuaikan
dengan kebutuhan. Setiap sesi dilakukan di hari yang berbeda dengan langkah-
langkah pelaksanaan sebagai berikut.
1) Peneliti mengondisikan anak dalam situasi yang memungkinkan
dilaksanakan pengamatan (observasi) sehingga dapat terukurnya
perkembangan interaksi sosial anak.
2) Peneliti melaksanakan observasi kemudian mencatat dan segala perilaku
anak dalam aspek interaksi sosialnya melalui instrumen observasi yang telah
dibuat.
3) Peneliti memasukkan data yang diperoleh ke dalam format pencatatan data
b) Intervensi (B): pada tahap ini diberikan intervensi berupa jenis permainan
pretend play yang bertujuan meningkatkan perkembangan interaksi sosial anak.
Intervensi ini dilakukan selama lima sesi. Adapaun langkah yang dilakukan
adalah sebagai berikut.
1) Peneliti mengondisikan anak supaya siap berpartisipasi dalam intervensi
yang akan dilakukan oleh peneliti.
2) Peneliti mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
intervensi
3) Peneliti memberikan arahan selama pelaksanaan intervensi.
4) Anak dibiarkan mengembangkan ide-idenya dengan tetap diawasi dan
diarahkan oleh peneliti.
c) Baseline-2 (A-2): pada tahap ini pelaksanaanya terfokus pada perkembangan
interaksi sosial anak setelah penerapa intervensi berupa jenis permainan pretend
play selesai. Perkembangan anak diamati kembali dan diukur dengan
menggunakan tespengamatan yang sama seperti pada baseline-1 (A-1) untuk
mengetahui ada atau tidaknya perubahan setelah diberikan intervensi sehingga
memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya atau tidak adanya hubungan
natara variabel bebas dan variabel terikat.

2. Populasi dan Sampel [Dhia Akhsya Revananto | 1603717]


a. Populasi
Menurut Kerlinger (dalam Susetyo, 2015, hlm 87), populasi adalah seluruh
anggota kejadian, atau obyek-obyek yang telah ditetapkan dengan baik. Selain
itu, menurut Sugiyono (dalam Janti, 2014, hlm. 72) populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan. Dari penjelasan tersebut maka yang menjadi
populasi dalam penelitian ini adalah anak dengan Asperger Syndrome usia 9-10
tahun.
b. Sample
Menurut Ferguson (dalam Susetyo, hlm. 87) sampel adalah beberapa bagian
kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi. Maka artinya, sampel adalah
bagian kecil dari populasi Dari penjelasan tersebut maka yang menjadi sampel
dalam penelitian ini adalah anak dengan Asperger Syndrome kelas 3 SDLB di
Bandung.
3. Instrumen [Dhea Fitri Awalia | 1600879]
Instrumen penelitian disusun untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data.
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen observasi
untuk mengamati perilaku anak khususnya pada aspek perkembangan interaksi
sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sanjaya (2009, hlm. 75) bahwa
observasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati setiap
kejadian yang sedang berlangsung dengan mencatatatnya dengan alat observasi
tentang hal-hal yang akan diamati atau diteliti. Adapun alat observasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah daftar cek (check list) yang memiliki kriteria
penilaian tertentu. Instrumen ini berisikan daftar dari semua aspek yang akan
diobservasi mengenai ruang lingkup keterampilan dalam inisiasi sosial,
mengungkapkan kebutuhan, dan berbagi.
Adapaun langkah-langkah yang digunakan dalam penyusunan instrument
peneitian adalah sebaga berikut.

a) Studi pendahuluan
Peneliti melakukan studi pendahuluan yang berhubungan dengan perkembangan
interaksi sosial anak dengan Asperger Syndrome sehingga dapat diketahui
karakteristik dan kondisi anak.
b) Membuat kisi-kisi instrumen
Kisi-kisi instrumen penelitian dibuat sebagai dasar pengembangan instrumen
yang disesuaikan dengan kemampuan, karakteristik, dan kondisi anak. Berikut
ini kisi-kisi instrumen perkembangan interaksi sosia anak dengan Asperger
Syndrome.
Tabel
Kisi-Kisi Instrumen
Aspek yang akan
No Ruang Lingkup Indikator
diukur
1. Inisiasi Sosial 1.1 Memulai 1.1.1 Anak mampu melakukan
Kontak kontak fisik untuk memulai
interaksi
1.1.2 Anak mampu memanggil
orang lain untuk menarik
perhatian
1.2 Memulai 1.2.1 Anak mampu
Percakapan mengungkapkan idenya
dengan orang lain
1.2.2 Anak mampu memahami
keadaan lingkungannya
2. Mengungkapkan 2. 1 Meminta 2.1.1 Anak mampu meminta
Kebutuhannya makanan
2.1.2 Anak mampu meminta
mainan
2. 2 Menolak 2.2.1 Anak mampu menolak
tawaran orang lain
2.2.2 Anak mampu
mengungkapkan
ketidaksukaannya terhada
sesuatu
3. Berbagi 3.1 Berbagi 3.1.1 Anak mampu ikut
Perasaan tersenyum dengan orang lain
3.1.2 Anak mampu membantu
orang lain yang sedang
kesusahan
3.2 Berbagi 3.2.1 Anak mampu berbagi
Objek makanannya dengan orang lain
3.2.2 Anak mampu berbagi
mainannya dengan orang lain
c) Membuat kriteria penilaian
Setelah kisi-kisi instrumen dibuat, langkah selanjutnya yang tidak kalah penting
adalah menetapkan kriteria penilaian. Penilaian digunakan untuk mendapat skor
pada tahap baseline-1 (A-1), intervensi (B), dan tahap baseline-2 (A-2).
d) Penyusunan instrumen
Penyusunan instrumen disesuaikan dengan kisi-kisi yang telah dibuat kemudian
dikembangkan dan dengan mempertimbangkan kemampuan awal anak.
Instumen ini akan mengukur keterampilan interaksi sosial anak.
4. Teknik Pengolahan Data [Dhia Akhsya Revananto | 1603717]
Data diperoleh melalui pelaksanaan observasi yang berpedoman pada
instrumen yang telah dibuat sebelumnya. Selanjutnya pengolahan data dalam pelam
penelitian ini menggunakan penggukuran persentase (%), sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sunanto (2006, hlm. 16) bahwa persentase (percentage) sering
digunakan oleh peneliti atau guru untuk mengukur perilaku dalam bidang akademik
maupun sosial. Persentase (%) keterampilan interaksi sosial pada anak dengan
Asperger Syndrome dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:
∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
× 100%
∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙

I. Daftar Pustaka
Ajrina, A. (2018). “Manfaat Pretend Play dalam Optimalisasi Perkembangan Anak Usia
Dini”. [online]. Tersedia di http://www.klikpsikolog.com/manfaat-pretend-play-
dalam-optimalisasi-perkembangan-anak-usia-dini/. (Diakses Pada 9 November
2018.)

Anindyaputri, I (2017). “Mengenal Sindrom Asperger dan Bedanya Dengan Autisme”.


[online]. tersedia di https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/autisme/apa-itu-
sindrom-asperger/. (Diakses pada 9 November 2018)

Astati, dkk. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Departemen


Pendidikan Khusus FIP UPI.
Purwanta, E.(2012). Modifikasi Perilaku, Alternatif Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sanjaya, Wina. (2009). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta; Kencana.

Somantri, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Sunanto, J., Takeuchi, K., dan Nakata, H. (2006). Penelitian dengan Subjek Tunggal.
Bandung: UPI Press.

Susanto, Ahmad. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai
Aspeknya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Susetyo, B. (2010). “Statistika untuk Analisis Data dan Penelitian: Dilengkapi dengan
Cara Perhitungan dengan SPSS dan MS Office Word”. Bandung: Refika Aditama.

Susetyo, Budi,. dkk. (2015). Handout MKDK Penelitian Pendidikan. Bandung: Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia [tidak diterbitkan]

Riduwan. (2010). Metode & Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Yuwono, J. (2009). “Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik)”. Bandung:
Alfabeta

Prihtiyaningsih, Nurvi. (2017) “The Effectiveness Of Pretend Play Method In The Ability Social
Interaction For Autistic Child 2 Th At Slb Ma'arif Muntilan”

Anda mungkin juga menyukai