Laporan Laboratorium Kesmavet - Lia Aulia - 170130100011018-Dikonversi
Laporan Laboratorium Kesmavet - Lia Aulia - 170130100011018-Dikonversi
Laporan Laboratorium Kesmavet - Lia Aulia - 170130100011018-Dikonversi
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah- Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan Profesi Dokter Hewan
(PPDH) Rotasi Kesmavet di Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya. Kegiatan ini menjadi salah satu syarat dalam melaksanakan
kegiatan Koasistensi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
Dengan penuh rasa hormat dan ketulusan hati, penulis mengucapkan
terimakasih kepada segenap pihak secara langsung maupun tidak langsung yang
telah membantu dalam penyusunan laporan ini. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih terutama kepada :
1. Dr. Ir. Sudarminto S. Yuwono, M. App. Sc, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya.
2. Dr. drh. Masdiana C. Padaga, M.App. Sc selaku Dosen Koordinator Rotasi
Kesmavet dan seluruh dosen Kesmavet, terimakasih atas arahan dan masukan
kepada penulis
3. Keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan atas doa-doa yang selalu
mengiringi penulis
4. Rekan-rekan sejawat PPDH Gelombang X khususnya kelompok 2 yang selalu
mendukung penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
atas segala perhatian, dorongan, dukungan dan doa yang telah diberikan.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan serta ketulusan yang telah diberikan.
Penulis
iii
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................... 1
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
LAPORAN KEGIATAN PPDH ............................................................................. iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat .......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1 Telur Bebek ............................................................................................... 3
2.2 Kualitas Telur Bebek .................................................................................... 4
BAB II METODOLOGI .......................................................................................... 7
3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 7
3.2 Peserta dan Pembimbing............................................................................ 7
3.3 Metode kegiatan ........................................................................................ 7
3.4 Pengujian Sampel .................................................................................. 7
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................... 15
4.1. Hasil Pengujian Kualitas Telur Bebek .......................................................15
4.2. Pembahasan ............................................................................................. 17
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 20
5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 20
5.2. Saran ........................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 21
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bebek merupakan salah satu ternak unggas yang berperan dalam
menghasilkan telur dan daging. Dibandingkan dengan telur unggas lain, telur bebek
mempunyai kadar air lebih rendah, sedangkan kandungan protein dan lemak lebih
tinggi (Winarno dan Koswara 2002). Telur merupakan bahan pangan dengan
kandungan gizi yang tinggi serta memiliki harga yang sangat terjangkau.
Kandungan gizi telur meliputi protein, lemak, mineral, dan vitamin yang sangat
berguna bagi tubuh. Protein yang terdapat dalam telur mencapai 14%, setara dengan
8 gram dari tiap butir telur. Protein berguna untuk penyusunan senyawa-senyawa
biomolekul yang berperan penting dalam proses biokimiawi, mengganti sel-sel
jaringan yang rusak, pembentukan sel-sel baru, sarana kontraksi otot dan sistem
pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit (Sudarmadji dkk., 2007). Meskipun
demikian, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap telur masih rendah.
Persentase rata-rata tingkat konsumsi telur dari tahun 2009-2013 yaitu -9,78%.
Angka ini merupakan angka terendah dari tingkat konsumsi masyarakat terhadap
bahan pangan lainnya (BPS, 2014). Telur mengandung banyak protein tinggi,
karena memiliki susunan asam amino yang lengkap, sehingga dijadikan patokan
untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan yang lain.
Telur yang dijual dipasaran tersimpan sekitar tujuh hari. Telur tersebut
masih menunjukkan kualitas yang baik ditinjau dari haugh unit dan bobot telur.
Telur yang disimpan dalam suhu kamar selama 25 hari tanpa perlakuan apapun akan
menurunkan kualitas telur ditinjau dari haugh unit dan indeks putih telur. Kualitas
telur dapat diamati dengan cara melakukan pengukuran terhadap indeks kuning
telur (IKT), indeks putih telur (IPT), rongga udara, bobot telur, dan haugh unit
(HU). Telur yang disimpan lama nilai IKT, IPT dan HU akan mengalami penurunan
(Fibrianti dkk., 2012).
Pemanfaatan telur bebek sebagai bahan pangan tidak hanya dikonsums i
langsung tetapi juga digunakan dalam berbagai produk olahan, misalnya kue dan
telur asin. Umumnya telur bebek memiliki sifat daya dan kestabilan buih yang lebih
rendah dibandingkan dengan telur ayam ras, sehingga pemanfaatan telur bebek
1
masih sangat kurang dibandingkan dengan telur ayam ras dalam berbagai produk
olahan pangan (Hamidah, 2007).
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sampel telur bebek sebagai pangan asal hewan yang diuji
dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut SNI 01-3926-2008.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pengujian ini yaitu Mahasisswa PPDH mampu
melakukan pengujian dan analisa keamanan pada pangan asal hewan khususnya
telur bebek, serta mempu memutuskan mutu dan kualitas sampel telur bebek
sehingga dinyatakan ASUH untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur Bebek
Telur bebek adalah salah satu pilihan sumber protein hewani yang memilik i
rasa yang lezat, mudah dicerna, bergizi tinggi, dan harganya relatif murah sehingga
dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Keunggulan telur bebek
dibandingkan dengan telur unggas lainnya antara lain kaya akan mineral, vitamin
B6, asam pantotenat, tiamin, vitamin A, vitamin E, niasin, dan vitamin B12. Selain
keunggulan, telur bebek juga mempunyai kekurangan dibandingkan dengan telur
unggas lainnya yaitu mempunyai kandungan asam lemak jenuh yang tinggi
sehingga merangsang peningkatan kadar kolesterol darah. Kadar kolesterol telur
bebek kira-kira 2 kali lipat dibandingkan dengan telur ayam
Telur bebek rata-rata lebih berat dibandingkan dengan telur ayam (telur
ayam antara 55-60 gram sedangkan telur bebek antara 65-70 gram). Kulit telur
bebek lebih tebal dibandingkan dengan telur ayam, jumlah porinya juga lebih
sedikit dengan membran dalam yang lebih tebal pula. Hal ini memungkinkan lebih
lambat berlangsungnya proses dehidrasi sehingga telur bebek dapat bertahan lebih
lama dalam penyimpanan. Daya simpan telur bebek kira-kira 20% lebih lama
dibandingkan dengan daya simpan telur ayam dalam kondisi lingkungan yang
sama. Ada beberapa alasan mengapa telur asin dibuat dari telur bebek, yaitu:
a) Cangkang telur bebek lebih tebal, sehingga telur bebek tidak mudah retak atau
pecah. Ini akan berpengaruh pada saat proses pengasinan yaitu pada saat telur
direndam dalam campuran media (media dapat berupa abu gosok atau batu
bata) dengan garam. Karena adanya kenaikan tekanan dan suhu sehingga telur
tidak mudah pecah atau retak, serta melindungi telur saat telur digosok dengan
amplas pada perlakuan pendahuluan sebelum pengasinan.
b) Pori-pori telur bebek lebih besar. Hal ini berpengaruh pada saat proses
pengasinan karena garam akan lebih mudah berpenetrasi ke dalam telur bebek
sehingga telur menjadi asin. Pori-pori telur bebek juga bisa diperlebar dengan
cara menggosok telur dengan amplas halus.
c) Nilai gizi telur bebek lebih tinggi. Protein telur bebek mengandung asam amino
esensial yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat. Jumlah dan komposisi asam
amino pada telur sangat lengkap dan berimbang, sehingga dapat digunaka n
3
untuk pertumbuhan juga pergantian sel yang rusak. Begitu juga dengan
kandungan lemak, hampir semua lemak dalam sebutir telur bebek terdapat pada
kuning telurnya. Lemak pada telur ini terdiri dari trigliserida, fosfolipida, dan
kolesterol, berfungsi sebagai sumber energi. Apalagi lemak dalam telur
tergabung dengan air sehingga lebih mudah dicerna oleh bayi, anak-anak dan
lansia. Selain itu bagian kuning telur mengandung hampir semua vitamin,
kecuali vitamin C. Telur juga mengandung sumber mineral serta vitamin D
alami kedua terbesar setelah minyak, hati ikan hiu. Mineral penting juga
terkandung dalam telur diantaranya besi, fosfor, kalsium, tembaga iodium,
magnesium, mangan, kalium, natrium, asam klorida dan sulfur.
d) Masa simpan telur bebek lebih lama. Masa simpan telur bebek relatif lebih
lama, hal ini dipengaruhi oleh ketebalan cangkang yang mampu melindungi.
4
3 Kondisi putih telur :
a.Kebersihan Bebas bercak Bebas bercak Ada sedikit
darah atau darah atau benda bercak darah,
benda asing asing lainya tidak ada benda
lainya asing lainya
b.Kekentalan Kental Sedikit encer Encer,
Kuning telur
belum tercampur
dengan
putih telur
c.Indeks 0,134-0,175 0,092-0,133 0,050-0,091
4 Kondisi kuning telur :
a.Bentuk Bulat Agak pipih Pipih
b.Posisi Di tengah Sedikit bergeser Agak kepinggir
dari tengah
c.Penampakan batas Tidak jelas Agak jelas Jelas
d.Kebersihan Bersih Bersih Ada sedikit
bercak darah
e.Indeks 0,458-0,521 0,394-0,457 0,330-0,393
5 Bau Khas Khas Khas
Sumber : SNI 01-3926-2008
Untuk menentukan kualitas telur itik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan peneropongan (candling) dan pengukuran terhadap parameter Indeks Putih
Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU). IPT adalah
parameter yang menyatakan perbandingan antara tinggi albumin dengan rata-rata
diameter panjang dan lebar albumin kental. Umumnya IPT dalam keadaan normal
berkisar antara 0,090-0,120. IPT akan menurun selama penyimpanan, disebabkan
oleh pemecahan ovomusin. Penurunan IPT sangat dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan, semakin rendah suhu penyimpanan, semakin kecil penurunannya.
Indeks Kuning Telur (IKT) adalah perbandingan antara tinggi kuning telur dengan
diameternya setelah kuning telur dipisahkan dari putih telur. Telur segar
mempunyai IKT 0,33-0,50 dengan nilai rata-rata IKT 0,42. Dengan bertambahnya
umur telur, maka IKT akan menurun karena penambahan ukuran kuning telur
akibat perpindahan air. Haugh Unit (HU) adalah satuan yang memberi kolerasi
antara tinggi putih telur dengan berat telur, semakin tinggi HU makin baik kualitas
telur tersebut. Telur yang baru ditelurkan mempunyai nilai HU 100. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa telur dengan mutu yang baik nilainya 75 sedangkan telur yang
rusak mempunyai nilai HU di bawah 50. Telur yang tidak diawetkan mengala mi
5
perubahan HU sangat cepat. Telur yang disimpan pada suhu rendah atau
pendinginan mengalami perubahan HU dari 80 menjadi 68 setelah 19 hari,
sedangkan tanpa pendinginan mengalami penurunan rata-rata 1,51 unit per hari
(Swacita dan Sudiantara, 2011).
6
BAB II METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET ini dilakukan mulai tanggal 19
November – 30 November 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya,
Malang.
7
Cara Kerja: Sampel telur ditimbang terlebih dahulu, lalu dilihat dan diraba mulai
dari ujung tumpul sampai lancip untuk mengamati bentuk, kehalusan, ketebalan,
keutuhan, dan kebersihan.
Interpretasi hasil: Telur mutu 1 yaitu apabila bentuk normal, halus, tebal, utuh dan
bersih. Apabila hasil tidak baik maka mutu telur masuk kategori mutu 2 atau 3
sesuai SNI.
8
dengan bertambahnya umur telur, maka kantung hawa akan membesar dan telur
akan melayang sampai mengambang dipermukaan larutan air garam 10%.
Alat dan bahan: Telur bebek, beker glass, timbangan, garam, dan air.
Cara kerja: Larutan garam 10% dibuat dengan cara mencampur 10 gram garam
dan 100 mL air kemudian dimasukkan ke dalam beker glass. Dimasukkan telur
bebek ke dalam larutan garam 10%. Dicatat hasil pengamatan.
Interpretasi hasil: Kualitas telur yang bagus yaitu apabila telur pada perendaman
air garam akan tenggelam.
9
Interpretasi Hasil: Telur segar adalah telur yang memiliki yolk index antara 0,33
Interpretasi Hasil: Telur segar adalah telur yang memiliki index albumin antara
0,050 sampai 0,174.
10
Interpretasi Hasil: Semakin tinggi nilai HU maka menunjukkan bahwa telur itu
semakin baik.
>7
Nilai HU 61 - 72 31 – 60 < 31
2
Kualitas AA A B C
11
Tiga pengenceran terakhir 10-4, 10-5, 10-6 dengan cara memasukkan larutan
0,1 ml sampel dalam Cawan Petri steril yang sudah terdapat media PCA.
Tutup Cawan Petri dibuka sedikit kemudian di spreader sampel sebanyak
0,1 ml dan Cawan Petri ditutup.
Diinkubasi dengan posisi tutup dibalik ke dalam inkubator selama 24 jam
pada suhu 36ºC. Hal ini dimaksudkan agar uap air yang berasal dari media
tidak menetes ke media karena dapat menyebabkan kontaminasi. Setelah 24
jam hitung jumlah koloni dengan menggunakan colony counter.
Interpretasi Hasil : Total plate count (TPC) Normal Telur 1x 105 cfu/g
12
Interpretasi Hasil : Jumlah koliform normal maksimum 1 x 102 cfu/g. Koloni
berwarna merah-ungu, dengan atau tanpa zona di sekitar koloni.
13
E. Pemeriksaan Residu Antibiotik
Prinsip: Pertumbuhan mikroorganisme pada media agar dihambat oleh residu
antibiotik yang terlihat dengan terbentuknya zona hambatan disekitar kertas
cakram. Konsentrasi residu antibiotic dapat ditunjukkan berdasarkan besarnya
diameter hambatan.
Alat dan bahan: Paper disk, Mueller Hinton Agar (MHA), biakan bakteri dan
sampel telur bebek
Cara Kerja: Biakan bakteri ditanam pada media MHA dengan cara spreader
sebanyak 0,1 ml. Sampel ditempelkan paper disk dan dilakukan pembuatan kontrol
positif dengan menempelkan paper disk yang telah berisi antibiotic sedangkan disc
satu nya dicelupkan pada sampel telur. Semua paper disk diletakkan diatas media
MHA yang telah bercampur dengan biakan bakteri dan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam.
Interpretasi Hasil: Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiot ika
apabila terbentuk daerah hambatan minimal 2 mm lebih besar dari diameter paper
disc (adanya zona bening).
14
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Kualitas Telur Bebek
Identitas sampel telur bebek yang digunakan dalam pengujian yakni telur
bebek diperoleh atau dibeli di pasar Dinoyo Kota Malang pada tanggal 20
November 2018.
15
sedikit
kotor
2. Kondisi kantung udara (dilihat dengan peneropongan)
a.Kedalaman <0,5 cm 0,5 – 0,9 >0,9 cm 1,3 cm
kantong udara cm
3. Kondisi putih telur
a.Kebersihan Bebas Bebas Ada sedikit Bersih, tidak
bercak bercak bercak bercak darah
darah, atau darah, atau darah, tidak dan benda
benda benda ada benda asing
asing asing asing
lainnya lainnya lainnya
b.Kekentalan Kental Sedikit Encer, Sedikit encer
encer kuning pada albumin,
telur belum kuning telur
tercampur belum
dengan tercampur
putih telur dengan putih
telur
c.Indeks 0,134- 0.092- 0,050- 0,055
0,175 0,133 0,091
4. Kondisi kuning telur
a.Bentuk Bulat Agak Pipih Agak pipih
pipih
b.Posisi Di tengah Sedikit Agak Agak bergeser
bergeser kepinggir dari tengah
dari
tengah
d.Kebersihan Bersih Bersih Ada sedikit Bersih
bercak
darah
e.Indeks 0,458- 0,394- 0,330- 0,34
0,521 0,457 0,393
5. Bau khas khas Khas Khas
6. Haugh Unit 61,03
7. Berat Telur 68,87 gram
(TAS.6703-2012)
8. pH pH indikator
albumin : 8
yolk : 8
pH meter
16
albumin : 7,4
yolk : 8
9. Perendaman air Melayang
Garam
4.2. Pembahasan
Pemeriksaan organoleptik pada telur bebek terdiri dari bagian luar dan
dalam. Penampakan luar telur terlihat warna biru kehijauan pada kerabang, kondisi
kearang terasa halus, dengan ketebalan yang sedang, kondisi fisik telur terlihat utuh,
dan terlihat sedikit kotor. Secara umum telur memiliki sifat mudah pecah, sehingga
telur tidak dapat diperlakukan secara kasar pada suatu wadah, telur umumnya
berbentuk ellips dan ukurannya beragam (Suprapti, 2002). Kualitas telur ditentukan
oleh faktor genetik, kualitas makanan, pemeliharaan, iklim, umur telur, dan ada
tidaknya infeksi/ penyakit. Kualitas tersebut dapat diketahui secara sederhana
dengan cara mencelupkan telur kedalam air garam. Bila telur tenggelam maka dapat
dipastikan usia telur yakni masih baru ditetaskan, sedangkan bila melayang maka
usia telur telah lama. Pada uji perendaman air garam, didapatkan hasil telur
melayang saat direndam didalam air gara yang menandakan usia telur yang tidak
baru lagi. Dilakukan juga pengamatan kondisi dalam telur dengan cara candling
yakni meletakkan telur pada jalur sorotan sinar yang kuat (Nurhadi, 2012). Tujuan
mengcandling yakni untuk mengetahui tinggi dari kantung hawa dan melihat
17
pembuluh darah, serta melihat ada tidaknya embrio pada telur. Pengukuran tinggi
kantung hawa dilakukan dengan metode candling dan diketahui hasil pengukuran
sebesar 1,3 cm, hasil ini menandakan telur memiliki mutu III. Penimbangan berat
telur didapatkan hasil 68,87 gram dan dapat dikategorikan dalam ukuran jumbo.
Pengujian selanjutnya yaitu melakukan pengamatan kondisi putih telur dan
kuning telur setelah telur dibuka. Kondisi putih telur telihat tidak ada bercak darah
dan tidak ada benda asing, terlihat juga konsistensi putih telur sedikit encer. Kondisi
kuning telur terlihat berbentuk sedikit pipih, dengan posisi sedikit bergeser dari
tengah dan kondisi kebersihan kuning telur dikategorikan bersih. Hasil pengamatan
ini bila disesuaikan dengan SNI 3926-2008, telur tergolong dalam mutu II.
Pengukuran pH telur bebek menggunakan pH meter ditemukan hasil pH albumin 8
dan yolk 7,4. Pengukuran pH juga menggunakan pH indikator dan ditemukan hasil
pH albumin dan yolk yakni 8. Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran tinggi dan
diameter dari putih telur dan kuning telur, sehingga didapatkan hasil indeks putih
telur 0,055 dan indeks kuning telur sebesar 0,34. Hasil indeks ini dapat disimpulka n
bahwa sampel telur bebek termasuk kedalam mutu III.
Selanjutnya dilakukan perhitungan Haugh unit yang bertujuan untuk
mengetahui kualitas secara keseluruhan dari sampel telur bebek dengan melihat dari
kesegaran telur tersebut terutama pada bagian putih telur. Suatu unit untuk melihat
kesegaran telur didasarkan pada pengukuran tinggi putih telur kental dan berat telur.
Pengukuran Haugh unit (HU) berdasarkan dari korelasi antara tinggi putih telur
dengan berat telur. Semakin tinggi nilai Haugh Unit (HU) telur, semakin bagus
kualitas telur tersebut (Yuwanta, 2004). Telur yang baru ditelurkan mempunya i
nilai HU 100, sedangkan telur dengan mutu baik nilainya 75 dan telur yang rusak
mempunyai nilai HU dibawah 50. Telur yang tidak diawetkan mengala mi
perubahan HU sangat cepat. Telur yang disimpan pada suhu rendah atau pendingin
mengalami perubahan HU dari 80 menjadi 68 setelah 19 hari, sedangkan tanpa
pendingin mengalami penurunan rata-rata 1,51 unit per hari. Hasil perhitunga n
sampel telur bebek yakni sebesar 61,03 dan dari hasil HU ini telur dapat
dikategorikan dalam telur dengan kualitas A.
Pada uji mikrobiologi didapatkan hasil bakteri pada Total Plate Count
(TPC) pada media PCA sebesar 5,28x106 CFU/gram, hasil ini dapat dikatakan
18
berada diatas batas normal TPC menurut SNI 3926-2008 yakni 1x105 CFU/gram.
Tingginya jumlah bakteri juga terjadi pada uji koliform menggunakan media
VRBA yakni sebesar 1,15x104 CFU/gram, sedangkan bila dilihat dari ketentuan
SNI 3926-2008 jumlah koliform pada telur konsumsi sebesar 1x102 CFU/gram.
Peningkatan jumlah bakteri TPC dan koliform dapat dikarenakan kontaminasi yang
diakibatkan oleh kotoran yang menempel pada kerabang sehingga memungkinka n
bakteri pada kotoran masuk kedalam telur melalui pori-pori. Kontaminasi pada telur
juga dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kotor dan proses transportasi
dari kandang hingga ke konsumen.
Menurut SNI 7424-2008, uji residu antibiotic bertujuan untuk mendeteksi
kandungan residu antibiotika secara kualitatif sesuai dengan batas deteksi tertentu
pada daging, telur, dan susu. Prinsip pengujian yakni residu antibiotika akan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat
dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan disekitar kertas cakram atau silinder
cup atau agar well. Biasanya diameter daerah hambatan menunjukkan konsentrasi
residu antibiotika. Pengujian ini harus dilakukan secara aseptis dengan
memperhatikan kaidah berlaboratorium yang baik di laboratorium mikrobiologi.
19
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil pengujian pada sampel telur bebek yang diperoleh dari pasar
Dinoyo Kota Malang, dapat disimpulkan bahwa telur bebek dinyatakan sesuai
dengan konsep aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), serta sesuai dengan SNI 3926-
2008. Sehingga dapat dikatakan telur layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat
dengan kriteria :
1. Telur bebek dinyatakan kurang aman dari cemaran mikrobiologi dan
dikategorikan kedalam mutu III, namun telur bebek masih aman dikonsums i
dengan syarat telur bebek diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi oleh
masyarakat.
2. Telur bebek dinyatakan sehat karena memiliki nutrisi yang sesuai dengan
standar dari SNI 3926-2008.
3. Telur bebek dinyatakan utuh karena bebas dari pemalsuan.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan yakni sebaiknya para produsen maupun
konsumen lebih memahami kondisi tempat yang baik dalam proses penyimpa nan
telur bebek sehingga meminimalisir masuknya bakteri pada telur melalui pori-pori
kerabang. Selain itu, konsumen sebaiknya mengolah telur bebek hingga matang
sebelum dikonsumsi.
20
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2014. Survey Sosial Ekonomi Nasional 2009 – 2013. BPS, Jakarta, Indonesia.
Swacita, I.B.N., I P Sudiantara Cipta. 2011. Pengaruh Sistem Peternakan dan Lama
Penyimpanan Terhadap Kualitas Telur Itik . Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana. Bali.
21
Lampiran 1. Dokumentasi pengujian telur bebek
22
pH indikator albumin
pH indikator yolk
23
Uji residu antibiotik
24
Lampiran 2. Perhitungan
𝑖 4,7
𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑖𝑖𝑖𝑖ℎ = = 0,055 𝑖𝑖
𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑖 85,62
𝑖 1,2
𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = = 0,34 𝑖𝑖
𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑖 3,5
Haugh Unit
TPC
Jika tidak ditemukan Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni 25-250
dan satu atau lebih Cawan Petri memiliki lebih dari 250 koloni, maka
dipilih Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni yang mendekati 250
(aturan 4).
Coliform
VRBA 10-2
10-1 10-3
1 443 115 16
Hasil 1,15 x 104 cfu/g
Pilihlah Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni 25-250 SNI 2897:2008
(aturan 1).
25
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
26
DAFTAR ISI
27
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur sebagai salah satu produk peternakan unggas yang bergizi tinggi dan
sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena merupakan sumber protein, asam lemak,
vitamin, dan mineral. Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik i
rasa yang lezat. Selain itu, telur mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Ada
bermacam-macam jenis telur unggas yang umum dikonsumsi, diantaranya telur
ayam, telur bebek dan telur puyuh (Lukito dkk, 2012). Telur unggas yang paling
banyak dikonsumsi salah satunya adalah telur bebek. Telur bebek sebagai bahan
pangan yang cukup sempurna mengandung zat gizi tinggi yang mudah dicerna,
kaya protein, lemak dan zat-zat lain yang dibutuhkan tubuh. Kandungan protein
dalam telur bebek cukup tinggi, yakni 13,1 gram per 100 gram dibandingka n
dengan telur ayam 12,8 gram (Warisno, 2005). Telur bebek memiliki sifat yang
mudah rusak, baik kerusakan alami, kimiawi maupun kerusakan akibat serangan
mikroorganisme melalui pori-pori cangkang telur (Novia dkk, 2011). Salah satu
cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan pengawetan. Pengawetan
merupakan cara untuk mempertahankan kualitas telur bebek, menjaga telur bebek
supaya tidak rusak dan memperpanjang masa simpan telur bebek. Pengawetan telur
bebek yang paling sederhana yaitu dengan cara pengasinan atau diolah menjadi
telur asin (Lukito dkk, 2012).
Telur asin merupakan salah satu produk yang disukai masyarakat. Prinsip
dari pembuatan telur asin adalah terjadinya proses ionisasi garam NaCl yang
kemudian berdifusi ke dalam telur melalui pori-pori kerabang (Wulandari et al.,
2014). Telur asin yang beredar di masyarakat memiliki variasi rasa asin dan tingkat
kemasiran kuning yang sangat tinggi, dari yang kurang asin hingga yang sangat
asin, dan dari yang kurang masir hingga yang sangat masir dan berminyak. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan konsentrasi garam yang digunakan dalam proses
pengasinan. Sejauh ini belum diketahui tampilan umum maupun rasa telur asin
yang diminati masayarakat. Sehingga supaya tingkat konsumsi masyarakat
terhadap telur asin meningkat, maka dilakukan penelitian mengenai kandungan
telur asin yang beredar di pasaran dengan tujuan untuk meningkatkan minat
masyarakat untuk menkonsumsi telur asin.
28
1.2 Rumusan Masalah
Apakah sampel telur asin bebek sebagai pangan asal hewan yang diuji
dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut SNI 01-4277-1996?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sampel telur asin bebek sebagai pangan asal hewan yang
diuji dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut SNI 01-4277-1996.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pengujian ini yaitu memberikan infor masi
kualitas fisik dan mikrobiologis kandungan telur asin bebek, serta mengetahui
apakah kandungan yang didapatkan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI).
29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur Asin Bebek
Telur merupakan salah satu bahan pangan hasil ternak yang bergizi tinggi
dan sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena merupakan sumber protein, asam lemak,
vitamin, dan mineral. Selain itu, telur mudah didapatkan dan harganya terjangkau.
Ada bermacam-macam jenis telur yang umum dikonsumsi, diantaranya telur ayam
dan telur itik. Namun, disamping adanya hal-hal yang menguntungkan itu, telur
memiliki sifat yang mudah rusak, maka perlu usaha pengolahan ataupun
pengawetan yang dapat mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa
simpan telur. Salah satu upaya untuk mengawetkan telur, menjaga telur itu supaya
tidak rusak dan memperpanjang masa simpannya adalah dengan cara pengasinan
atau diolah menjadi telur asin. Cara pembuatan telur asin dapat menggunaka n
beberapa metode salah satunya dengan melumuri telur menggunakan media yang
berupa campuran garam dengan batu bata.
Pengasinan telur merupakan salah satu upaya untuk mengawetkan telur
segar, memperpanjang masa simpan, membuang bau amis telur serta menciptakan
rasa yang khas (Lukito,2012). Prinsip pengasinan menurut Damayanthi dan
Mudjajanto (1995) adalah (1) memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba, (2)
garam mempunyai sifat higroskopis sehingga akan menarik air keluar jaringan yang
menyebabkan aw akan menjadi rendah, (3) garam yang berbentuk larutan dapat
mengurangi oksigen terlarut, dan (4) ion Cl dari garam bersifat racun bagi
mikroorganisme. Prinsip pengasinan telur menurut Novia et al., (2009) adalah
adanya proses difusi osmosis, yaitu proses pengurangan air dari bahan dengan cara
membenamkan bahan dalam suatu larutan berkonsentrasi tinggi. Tekanan osmotik
pada larutan garam atau adonan lebih tinggi daripada tekanan osmotik di dalam
telur, sehingga larutan garam yang memiliki tekanan osmosis lebih tinggi dapat
masuk ke dalam telur melalui pori-pori telur. Pada proses tesebut, terjadi pertukaran
cairan antara telur dengan media pengasinan, larutan garam masuk sedangkan air
yang terkandung dalam telur keluar, sehingga rasa asin mendominasi cita rasa telur
asin.
Pemberian garam menurut Belitz dan Grosch (2009) menimbulka n
pengaruh pada kelarutan protein. Pemberian yang terlampau sedikit (konsentrasi
30
rendah) akan meningkatkan kelarutan protein (efek salting in) dengan menekan
interaksi proteinprotein elektrostatik, sedangkan pemberian garam yang terlampau
banyak (konsentrasi tinggi) akan menurunkan kelarutan protein (efek salting out)
sebagai hasil dari kecenderungan hidrasi ion garam.
Kandungan gizi telur bebek asin lebih baik dibanding telur ayam dan telur
bebek yang masih segar. Kandungan gizi tersebut diantaranya yaitu jumlah kalium,
protein, karbohidrat, kalsium, dan vitamin B-1 yang terdapat pada telur bebek asin
merupakan yang terbesar dari telur ayam segar dan telur bebek segar (Margono
dkk., 2000).
Tabel . Syarat mutu telur asin
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
Bau Normal
Warna Normal
Kenampakan Normal
2 Garam b/b % Min. 2,0
3 Cemaran mikroba :
Salmonella Koloni/25g Negative
Staphylococcus aureus Koloni/g < 10
31
padat. Lukman (2008) mengemukakan bahwa berdasarkan perbedaan metode
pengasinan metode kering lebih disukai oleh masyarakat.
Telur asin dapat dibuat dengan cara merendam menggunakan media garam.
Garam berfungsi sebagai pencipta rasa asin sekaligus sebagai bahan pengawet
karena garam mampu menyerap air dari dalam telur. Garam akan masuk kedalam
telur melalui pori-pori kulit telur menuju ke putih telur, lalu ke kuning telur. Garam
akan menarik air yang dikandung telur. Garam juga terdapat ion chlor yang
berperan sebagai penghambat pertumbuhan bakteri dalam telur, sehingga
menyebabkan telur menjadi awet karena bakteri yang terkandung dalam telur mati.
32
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET dilakukan mulai tanggal 19 November
– 30 November 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang.
33
- Warna: Sampel diamati perubahannya dengan indera penglihatan.
- Konsistensi: Sampel diamati konsistensinya menggunakan indera penglihat.
Interpretasi: Baik, apabila tidak ditemukan perubahan pada bau, warna, dan
konsistensi.
3.4.2 Pemeriksaan pH
Prinsip : Pengukuran nilai pH dengan menggunakan kertas pH indikator dan
elektoda gelas dari pH meter berdasarkan pencatatan potensial listrik yang timbul
dalam gelas elektroda. Besarnya potensial ditentukan oleh konsentrasi ion hidrogen
pada bahan yang diukur.
Alat dan Bahan : Sampel telur asin, akuades, larutan pH standar, pH meter, gelas
elektroda, kertas tisu, Cawan Petri, pH stick dan pH meter.
Cara Kerja : Pada metode menggunakan pH meter: pH meter dikalibras i
menggunakan larutan standar pertama dikalibrasi dengan larutan standar ber pH
4,0, lalu dikalibrasi dengan larutan standar ber pH 7,0 atau lebih tinggi. Setiap
selesai pengukuran sampel, gelas elektroda harus dibilas dengan akuades dan
dikeringkan dengan kertas tisu. Sampel telur asin diletakkan di atas Cawan Petri,
dan ukur pH menggunakan pH meter. Pengukuran pH juga dilakukan menggunaka n
pH stick yang hasilnya dibaca dengan bantuan pH indikator.
34
sampai dengan 4 jam setelah suhu oven (125 ± 1) ºC. Tutup pinggan ketika masih
di dalam oven, pindahkan segera ke dalam desikator dan dinginkan selama 20 menit
sampai dengan 30 menit, sehingga suhunya sama dengan suhu ruang, kemudian
timbang hingga diperoleh bobot konstan (W2). Dihitung kadar air dalam sampel
telur asin.
35
Cara Kerja : Lakukan prosedur yang sama seperti metode hitungan Cawan dengan
metode spread hingga pengenceran 10-3. Tiga pengenceran awal 10-1,10-2,10-3
dengan cara memasukkan larutan 0,1 ml sampel dalam Cawan Petri steril.
Kemudian spread sampel ke dalam Cawan Petri yang berisi media VRBA steril.
Setelah di spread secara merata Cawan Petri diinkubasi 37ºC selama 18-24 jam.
Hitung semua koloni yang berwarna merah keunguan yang di kelilingi oleh zona
merah (diameter koloni umumnya 0,5 mm atau lebih). Cawan Petri yang digunakan
dalam perhitungan adalah memiliki koloni 30-100 (jika jumlah koloni lebih besar
dari 100, maka biasanya diameter koliform lebih kecil dari 0,5 mm). Cara
perhitungan selanjutnya dengan metode hitungan Cawan. Sebenarnya hasil yang
didapat adalah jumlah presumtif koloni per ml/ per gram.
Interpretasi Hasil : Jumlah koliform normal maksimum 1 x 102 cfu/g. Koloni
berwarna merah-ungu, dengan atau tanpa zona di sekitar koloni.
36
Alat dan bahan : Pengenceran 10-1 koloni bakteri pada media BPW, kawat ose,
bunsen, Cawan Petri, inkubator, sampel telur asin, dan media Salmonella Shigella
Agar (SSA).
Cara kerja:
- Diambil sampel dari pengenceran 10-1 pada media dengan kawat ose
pengenceran sampel di streak dengan ose pada media yang telah terisi media
Salmonella Shigella Agar (SSA).
- Cawan Petri diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37ºC selama 24-36 jam
dengan meletakkan Cawan pada posisi terbalik.
37
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Kualitas Telur Asin
Identitas telur yang digunakan dalam pengujian ini yakni menggunaka n
telur asin yang dibeli dipasar Dinoyo Kota Malang pada 20 November 2018.
38
Uji cemaran E. coli Negative Negative
Uji cemaran Salmonella sp. Negative Negative
5. Uji Cemaran Yeast dan Mold Negative Negative
4.2. Pembahasan
Pada pengujian kualitas telur asin, pengujian yang pertama kali dilakukan
yakni uji organoleptik. Uji organoleptik merupakan pengujian sampel yang
menggunakan kelima pancaindra, uji ini terdiri dari uji bau,rasa, warna dan
kenampakan. Hasil dari pengujian ini adalah normal atau sesuai dengan standar SNI
01-4277-1996. Pengasinan pada telur asin tidak hanya mempengaruhi karakteristik
fisik, kimia maupun organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai
gizinya. Penampilan umum telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu garam dan air yang masuk ke dalam putih dan kuning telur (proses difusi).
Garam dan air yang masuk ke dalam putih telur atau disebut prses difusi akan
mempengaruhi kekenyalan dari putih telur, sedangkan pada kuning telur akan
mempengaruhi kemasiran.
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dan ph indikator.
Pengukuran pH dilakukan untuk mengkur derajat keasaman dari telur asin. Hasil
pengukuran pH dengan pH meter menunjukkan hasil 7,4 sedangkan pada pH
indikator hasilnya adalah albumin : 8 dan yolk :6. Pada umumnya telur memilik i
kadar pH rata-rata mendekati nilai asam atau mengalami penurunan nilai basa
menjadi relatif normal atau asam.
Hasil uji kadar air pada telur asin didapatkan jumlah sebesar 53%, hasil ini
masih dalam jumlah normal bila disesuaikan dengan refrensi yakni 70%.
Bersamaan dengan keluarnya air dari telur maka terjadi pula pengeluaran NaCl
sehingga akan berpengaruh terhadap rasa asin yang dihasilkan dari telur asin
(Hidayat, 2007). Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Faktor yang
sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan
kadar air dalam produk (Nurhadi, 2012).
Uji mikrobiologi telur asin yang dilakukan yakni Total Plate Count (TPC),
koliform, E. coli, dan salmonella sp. Pada uji TPC didapatkan hasil 1x104 estimasi,
hasil ini masih dalam jumlah normal bila disesuaikan dengan SNI 3926-2008.
39
Sedangkan hasil uji koliform pada pengujian kualitas telur asin didapatkan hasil
sebesar <101 estimasi. Menurut Sudarwanto (2012), hasil estimasi didapatkan dari
jumlah koloni pada tiap Cawan Petri yang berjumlah kurang dari 25 – 250 koloni.
Pada uji E. coli dan salmonella sp. tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri
pada media, sehingga dapat dikatakan kandungan bakteri E. coli dan salmonella sp
pada telur asin bernilai negative.
Uji yeast dan mold pada pengujian telur asin adalah negative, hal ini
disimpulkan dari tidak tumbuhnya jamur pada media selama masa penyimpa nan.
Masa penyimpanan pada yeast yakni disimpan di inkubator selama 5 hari dan mold
disimpan di suhu ruang selama 3 hari. Bila jamur yang tumbuh melebihi waktu yang
ditentukan maka tidak tergolong jamur yang pathogen, dan dapat disimpulka n
jamur yang tumbuh bukan tumbuh karena produk akan tetapi dari kondisi
lingkungan.
40
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengujian sampel telur asin
adalah telur asin dinyatakan sesuai dengan konsep aman, sehat, utuh, dan halal
(ASUH) dan sesuai dengan standar SNI 01-4277-1996. Sampel telur asin juga
dinyatakan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat dengan kriteria :
1. Telur asin dinyatakan aman dari cemaran fisik, kimiawi, dan mikrobiolo gi.
2. Telur asin dinyatakan sehat karena memiliki kandungan nutrisi yang sesuai
dengan standar dari SNI 01-4277-1996.
3. Telur asin dinyatakan utuh karena bebas dari pemalsuan.
5.2. Saran
Pada sampel telur asin sebaiknya segera dikonsumsi setelah dibuka, hal ini
bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi bakteri pada sampel.
41
DAFTAR PUSTAKA
Belitz, H. D. & W. Grosch. 2009. Food Chemistry. Fourth Edition. Springer,
Germany.
Hidayat, A. 2007. Pengaruh Perbedaan Cara dan Lama Pemasakan Telur Asin
Terhadap Sifat Organoleptik. Skripsi. Fakultas Peternakan Univers itas
Jenderal Soedirman. Purwokerto.(Tidak dipublikasikan).
Lukito, G.A. 2012. Pengaruh Berbagai Metode Pengasinan Terhadap Kadar NaCl,
Kekenyalan dan Tingkat Kesukaan Konsumen pada Telur Puyuh Asin.
Skripsi. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro.
Semarang.
Margono dan Muljadi. 2000. Studi Transfer Massa Garam dalam Telur Secara
Batch. Fakultas Teknik. UNS. Surakarta.Novia. 2011. Kajian Suhu
Pengovenan Terhadap Kadar Protein dan Nilai Organoleptik Telur Asin.
Jurnal Peternakan Vol 8No 2 September 2011 (70 - 76). Fakultas
Peternakan, Universitas Andalas. Padang.
42
LAMPIRAN 1. Dokumentasi hasil pengujian Telur Asin dan Perhitungan
Koloni
43
Uji identifikasi Salmonella Uji identifikasi E. Coli
44
Lampiran 2. Perhitungan
1. Perhitungan Jumlah Total Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan
Ʃ koloni Pengenceran
Hasil Uji 10-4 10-5 10-6
I 1 0 0
Hasil 1 x 104 est
Karena seluruh Cawan Petri memiliki jumlah koloni kurang dari 25 maka
dicatat jumlah dari tingkat pengenceran terkecil lalu dilaporkan sebagai
perkiraan cfu per gram/ml SNI 2897:2008 (aturan 5).
Ʃ koloni Pengenceran
Hasil Uji 10-1 10-2 10-3
I 0 0 0
Hasil <101 est
Karena seluruh Cawan Petri memiliki jumlah koloni kurang dari 25 maka
dicatat jumlah dari tingkat pengenceran terkecil lalu dilaporkan sebagai
perkiraan cfu per gram/ml SNI 2897:2008
45
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
46
DAFTAR ISI
47
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani dewasa ini semakin bertambah seiring dengan
terus meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Telur, daging, dan susu
merupakan salah satu contoh produk pangan yang memiliki kandungan protein
hewani cukup baik. Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan salah satu
penghasil protein hewani yang dalam pemeliharaannya dapat diarahkan pada
peningkatan produksi susu. Susu merupakan salah satu produk pangan yang
memiliki banyak manfaat bagi proses metabolisme tubuh karena mengandung
berbagai nutrisi seperti protein, lemak, karbohidrat (laktosa), vitamin dan mineral
(Saleh, 2004). Masyarakat lebih mengenal susu sapi daripada susu kambing karena
pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan kandungan nutrisi susu kambing
masih rendah. Selain itu populasi kambing perah yang diusahakan sebagai
penghasil susu di Indonesia juga lebih rendah daripada sapi perah (Budiana dan
Susanto, 2005).
Susu kambing memiliki kelebihan dibandingkan susu sapi yakni memilik i
ukuran globula lemak yang lebih kecil sehingga mudah dicerna. Susu kambing juga
memiliki kandungan alergenik yang lebih rendah dibandingkan susu sapi. Kualitas
susu kambing dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan ternak, serta penanganan
yang baik saat dan pasca pemerahan. Kualitas susu dapat diketahui melalui uji fisik ,
uji fisik yang dilakukan meliputi uji tingkat keasaman (pH), uji berat jenis, uji
alkohol, uji titik didih dan uji organoleptik. Pengujian tersebut diperlukan untuk
mengetahui apakah nutrisi yang terdapat pada susu kambing sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Oleh karena itu diperlukan pengujian keamanan susu
kambing dalam rangka penyediaan bahan pangan asal hewan yang Aman, Sehat,
Utuh dan Halal (ASUH) untuk dikonsumsi oleh masayarakat. Hal inilah yang
menjadi latar belakang dilakukannya pengamatan pada susu kambing
menggunakan beberapa uji yang tercantum pada SNI 2897-2008 tentang metode
pengujian susu.
48
1.2 Rumusan Masalah
Apakah sampel susu kambing sebagai pangan asal hewan yang diuji
dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut TAS 6006-2008?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sampel susu kambing sebagai pangan asal hewan yang
diuji dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut TAS 6006-2008.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pengujian ini yaitu memberikan infor masi
kualitas fisik dan mikrobiologis kandungan susu kambing, serta mengetahui apakah
kandungan yang didapatkan sesuai dengan TAS 6006-2008.
49
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kambing Peranakan Etawa (PE)
Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang memilik i
prospek pengembangan yang cukup baik dalam menyuplai kebutuhan daging. Salah
satu jenis ternak kambing yang cocok untuk dikembangkan adalah kambing
Peranakan Etawa (PE). Kambing PE merupakan salah satu sumberdaya lokal yang
penyebarannya sangat luas di Jawa. Pemeliharaan kambing PE merupakan salah
satu alternatif diversifikasi ternak penghasil susu disamping sapi perah sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia. Kambing PE merupakan jenis
kambing perah yang mampu memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan
untuk anaknya.
Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing kacang betina
dengan kambing Etawa jantan. Kambing PE digolongkan sebagai kambing tipe
dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Secara fisik kambing PE
memiliki karakteristik yang hampir sama dengan kambing Etawa, yaitu kuping
menggantung ke bawah dengan panjang 18- 19 cm, tinggi badan antara 75-100 cm,
bobot jantan sekitar 40 kg dan betina sekitar 35 kg. Kambing PE jantan berbulu di
bagian atas dan bawah leher, rambut pundak dan paha belakang lebih lebat dan
panjang. Kambing PE betina memiliki rambut panjang hanya pada bagian paha
belakang. Warna rambut kambing PE terdiri atas kombinasi coklat sampai hitam
atau abu-abu dan muka cembung (Rasminati, 2013).
2.2 Susu Kambing
Susu merupakan salah satu bahan makanan yang mudah dicerna dan bernilai
gizi tinggi dan sangat dibutuhkan oleh manusia dari berbagai umur. Susu juga
mempunyai sifat yang mudah rusak sehingga sangat cepat mengalami perubahan
rasa, bau, dan warna. Pada keadaan normal, susu hanya bertahan maksimal 2 jam
setelah pemerahan tanpa mengalami kerusakan maupun penurunan kualitas
(Zakaria et al., 2011). Kesegaran susu dapat dipertahankan maka harus dilakukan
penanganan pasca panen. Salah satu proses penanganan yang dapat dilakukan yaitu
dengan cara sterilisasi susu. Susu sterilisasi terbuat dari susu cair segar yang diolah
menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu sangat singkat
dengan tujuan membunuh seluruh mikroba susu, sehingga memiliki kualitas yang
50
baik. Kelebihan proses ini tidak menghilangkan kandungan nutrisi mikro seperti
vitamin dan mineral (Manik, 2006).
Salah satu hal yang dapat mempengaruhi kualitas susu adalah interval
pemerahan. Pemerahan susu biasanya dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore
hari. Interval waktu yang sama antara pemerahan pagi dan sore hari akan
memberikan perubahan komposisi susu yang relatif sedikit, sedangkan interval
waktu pemerahan yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda
juga (Sudono 1985). Faktor lingkungan berupa temperatur suhu kandang yang
berbeda antara pagi dan sore hari dapat juga mempengaruhi mikrobio logis yang
terkandung didalam susu hasil pemerahan sehingga perlu adanya pengujian kualitas
fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar pada waktu pemerahan yang
berbeda yang kemudian dibandingkan dengan standar yang berlaku sehingga aman
untuk dikonsumsi.
2.3 Uji Susu
Susu kambing telah dikenal dan dipercaya masyarakat memiliki manfaat
yang baik untuk kesehatan tubuh karena susu banyak mengandung nutrisi dan
komponen bioaktif yang berperan menjaga kesehatan tubuh. Namun susu mudah
rusak oleh beberapa bakteri yang memanfaatkan kandungan nutrisi susu sebagai
media pertumbuhannya, seperti Escherichia coli, Salmonella sp, dan
Staphylococcus aureus. Oleh karena itu, perlu jaminan kualitas susu yang dimula i
dari peternakan sampai ke tangan konsumen. Jaminan keamanan susu telah menjadi
tuntutan masyarakat seiring dengan meningkatnya status sosial. Selain hal tersebut,
tanpa adanya jaminan keamanan, maka akan sulit memastika n kualitas susu yang
dihasilkan. Sehingga perlu adanya pengujian kualitas fisik, kimia, dan mikrobio logi
susu kambing segar, kemudian dibandingkan dengan standar yang berlaku sehingga
aman untuk dikonsumsi (Arifin, 2016). Berikut merupakan metode dalam uji
mikrobiologi susu yang dapat dilakukan :
2.2.1 Penghitungan Total Plate Count (TPC)
Penghitungan TPC menggunakan metode SNI 2897:2008. Sebanyak
25 ml susu dimasukkan ke dalam wadah steril yang sudah berisi 225 ml
larutan buffer peptone water (BPW) 0,1 % steril, kemudian dihomoge nkan
selama 1 menit sampai dengan 2 menit ini merupakan larutan dengan
51
pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml pengenceran 10-1 diambil kemudian
diencerkan menggunakan BPW 9 ml sebagai pengeceran 10-2, lalu diulangi
lagi sampai dengan pengenceran 10-5. Tahap selanjutnya dari masing-
masing pengenceran diambil 1 ml untuk dimasukkan ke dalam Cawan Petri
steril secara duplo, kemudian dituang media cair plate count agar (PCA)
sebanyak 20 ml dan dihomogenkan dengan cara menggeserkan Cawan
horizontal atau membentuk angka delapan dan dibiarkan menjadi padat.
Tahap selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24-48 jam, dan
semua koloni yang tumbuh dihitung sebagai TPC dengan metode
Bacteriological Analytical Manual (BAM) (FDA 2001).
2.2.2 Pemeriksaan Escherichia coli
Sebanyak 25 ml susu dimasukkan ke dalam wadah steril yang sudah
berisi 225 ml larutan Buffer Peptone Water (BPW) 0,1 % steril, kemudian
dihomogenkan selama 1 menit sampai dengan 2 menit ini merupakan
larutan dengan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml pengenceran 10-1 diambil
kemudian diencerkan menggunakan BPW 9 ml sebagai pengeceran 10-2,
lalu diulangi lagi sampai dengan pengenceran 10-5. Tiap pengenceran
diambil 1 ml untuk dimasukkan ke dalam Cawan Petri steril secara duplo,
kemudian dituang media eosin methylene blue agar (EMBA) dan
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam.
2.2.3 Pemeriksaan Salmonella sp
Penghitungan Salmonella sp. mengguna-kan metode SNI
2897:2008. Sebanyak 25 ml susu dimasukkan ke dalam wadah steril yang
sudah berisi 225 ml larutan Buffer Peptone Water (BPW) 0,1 % steril,
kemudian dihomogenkan selama 1 menit sampai dengan 2 menit ini
merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml pengenceran 10-
1 diambil kemudian diencerkan menggunakan BPW 9 ml sebagai pengeceran
10-2, lalu diulangi lagi sampai dengan pengenceran 10-3. Selanjutnya dari
masing- masing pengenceran diambil 1 ml untuk dimasukkan ke dalam
Cawan Petri steril secara duplo, kemudian dituang media Xylose Lysine
Deoxycholate Agar (XLD) dan diinkubasikan pada
52
suhu 37°C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dihitung dengan metode
Bacteriological Analytical Manual (BAM) (FDA, 2001).
2.2.4 Pemeriksaan Staphylococus aureus sp.
Penghitungan menggunakan metode SNI 2897:2008. Sebanyak 25
ml susu dimasukkan ke dalam wadah steril yang sudah berisi 225 ml larutan
Buffer Peptone Water (BPW)0,1 % steril, kemudian dihomogenkan selama
1 menit sampai dengan 2 menit ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-
1. Sebanyak 1 ml pengenceran 10-1 diambil kemudian diencerkan
menggunakan BPW 9 ml sebagai pengeceran 10-2, lalu diulangi lagi sampai
dengan pengenceran 10-3. Selanjutnya dari masing- masing pengenceran
diambil 1 ml untuk dimasukkan ke dalam Cawan Petri steril secara duplo,
kemudian dituang media BPA sebanyak 15 ml sampai dengan 20 ml media
yang sudah ditambah dengan egg yolktellurite emulsion (5 ml ke dalam 95
ml media BPA) pada masing- masing Cawan yang akan digunakan sampai
memadat. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran, dan diinokulas ikan
masing- masing pada Cawan Petri yang berisi media BPA yang sudah
memadat. Suspensi diratakan di atas permukaan media agar dengan
menggunakan batang gelas (hockey stick) sampai suspensi terserap. Lalu
diinkubasi pada temperatur 37 °C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh
dihitung dengan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM) (FDA,
2001).
53
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET ini dilakukan mulai tanggal 19
November – 30 November 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya,
Malang.
54
Prosedur : sampel susu kambing sebanyak 5 ml dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Warna susu diamati dengan latar belakang
putih, dicium baunya. Kekentalan susu dapat diamati dengan
menggoyang-goyangkan tabung reaksi, perhatikan kecepatan
turunnya susu dan adanya butiran, lendir, dan sebagainya. Susu
dididihkan terlebih dahulu sebelum uji rasa.
Interpretasi :
- Susu kambing berwarna putih
- Memiliki aroma dan rasa yang aromatis khas susu kambing
- Konsistensi baik, tidak meninggalkan butiran-butiran pada
dinding
b. Uji kebersihan
Prinsip : kotoran pada susu akan tampak dengan mata telanjang
tertinggal di kertas saring.
Alat dan bahan : sampel susu kambin, corong kaca, erlenme yer,
dan kertas saring.
Prosedur : sampel susu dituang sebanyak 250 ml secara perlahan-
lahan ke dalam labu erlenmeyer melewati corong kaca yang telah
diberi kertas penyaring. Amati kertas penyaring dan kotoran yang
tertinggal.
Interpretasi : Hasil positif ditunjukkan dengan adanya kotoran
yang tersangkut di kertas saring.
55
Prosedur Kerja: Tabung reaksi diisi dengan 5 ml sampel susu
kemudian dengan menggunakan penjepit sampai mendidih.
Interpretasi hasil : Hasil positif ditunjukkan dari adanya gumpala n
atau butiran-butiran halus pada dinding tabung.
56
mencelupkan elektroda pH dan dibiarkan sampai nilai pH terbaca
konstan. Pengukuran juga dilakukan menggunakan pH stick, hasilnya
dibaca menggunakan pH indikator.
Interpretasi :
- Perubahan warna < 7 : bersifat asam
- Perubahan warna > 7 : bersifat basa
57
gelas ukur ± 2/3 gelas ukur. Laktodensimeter dan termometer
dicelupkan ke dalam susu kemudian dibaca hasil skalanya.
Perhitungan :
BJ = n + {(T – 27,5) x 0,0002}
Keterangan :
n : angka BJ pada Laktodensimeter
T : suhu pada termometer
58
BK= BK = 1,311 x L + 2,738 100(BJ-1)
BJ
Dimana : BK = Kadar bahan kering
L = Lemak
BJ = Berat jenis susu
59
didapatkan dari perkalian faktor mikroskop dan rataan sel somatik dari
10-30 lapang pandang.
Perhitungan sel somatis
Jumlah sel somatis = F x B
Keterangan :
F : faktor mikroskop
B : rataan jumlah sel somatis dari 10 – 30 lapang pandang
3.4.12 Uji Cemaran Mikroba Metode Total Plate Count (SNI 2897-2008)
Prinsip : jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada media
agar, maka mikroba akan berkembangbiak dan membentuk
koloniyang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang.
Alat dan bahan: Cawan Petri, pipet ukur steril 1 ml, tabung reaksi,
bunsen, inkubator, autoklaf, colony counter, buffer pepton water
(BPW) 0,1%, plate count agar (PCA), alkohol 70%, dan sampel susu
kambing.
60
Prosedur : pembakar bunsen dinyalakan dan tangan dibersihkan
menggunakan alkohol. Pengenceran 1:10 dibuat dengan cara pipet 1
ml sampel susu dimasukkan ke dalam 9 ml larutan BPW 0,1% lalu
dihomogenkan (larutan 10-1). Satu ml suspensi pengenceran 10-1
dipindahkan ke dalam 9 ml larutan BPW 0,1% menggunakan pipet
steril (larutan10-2). Langkah selanjutnya yaitu membuat pengenceran 10-
3,10-4,10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada prosedur
sebelumnya atau sesuai kebutuhan. Prosedur selanjutnya 1 ml suspensi
dari pengenceran 10-5,10-6,10-7 dimasukkan ke dalam Cawan Petri
secara duplo kemudian ditambahkan 10-15 ml PCA bersuhu 45-50°C
pada masing- masing Cawan. Selanjutnya Cawan digerak-gerakkan
secara melingkar agar media merata dan tunggu hingga media padat.
Cawan Petri diinkubasi dengan posisi tutup dibalik ke dalam
inkubator. Inkubasi pada suhu 37°C selama 24-36 jam. Jumlah koloni
dihitung menggunakan colony counter.
Interpretasi :
batas cemaran mikroba susu kambing untuk uji pengukuran total
bakteri (TPC) yaitu >105 – 2 x 105 cfu/ml.
61
Supaya larutan sampel dan media VRBA tercampur seluruhnya,
dilakukan pemutaran Cawan ke depan dan ke belakang atau
membentuk angka depalan dan diamkan sampai memadat. Cawan
diinkubasi pada suhu ± 32˚C selama 24 jam sampai 48 jam dengan
meletakkan Cawan pada posisi terbalik.
Interpretasi :
Batas cemaran mikroba susu kambing untuk uji perhitungan total
jumlah coliform yaitu 1 x 103 cfu/ml.
62
yang positif terdapat produksi gas dari uji MPN. Kemudian di tanam
pada EMBA dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Interpretasi :
Bakteri E.coli berwarna hijauan metalik.
63
Interpretasi :
Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotik apabila
terbentuk daerah hambatan minimal 2 mm lebih besar dari diameter
paper disc (adanya zona bening).
64
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Kualitas Susu Kambing
Berikut merupakan hasil dari pengujian kualitas susu kambing yang
disesuaikan dengan TAS 6006-2008 :
Tabel 4.1. Hasil pengujian kualitas susu kambing
Pengujian Hasil Standar Hasil
Organoleptik :
Warna Putih/cream Putih
Rasa Khas Khas
Bau Khas susu kambing Khas susu kambing
Konsistensi Normal Normal
Kebersihan Bersih Bersih
Kesegaran susu :
BJ 1,028 1,035
Uji didih Gumpalan sedikit Gumpalan sedikit
Uji alkohol Gumpalan sedikit Gumpalan sedikit
pH 6,5-6,8 Ph indikator : 7
Ph meter : 6,7
Komposisi susu :
Kadar lemak >3,25 % 4,1%
Kadar BK >12 % 14,63 %
Kadar BKTL >8,25% 10,53%
Kadar protein >3,1% 3,45%
Cemaran mikroba :
TPC 2 x 105 cfu/ml 7 x104 est cfu/ml
Koliform 1 x 103 cfu/ml <103 est cfu/ml
E.coli Negatif Negatif
Uji mastitis :
CMT Negatif +
Breed >106-1,5x 106sel/ml 0, 28 x 106sel/ml
Uji pemalsuan susu :
Air tajin Negatif Negatif
Residu antibiotic Negatif Negatif
4.2. Pembahasan
Pada pengujian organoleptik susu kambing terdiri dari bau, warna, rasa,
kekentalan, dan kebersihan. Bau pada sampel memiliki bau yang khas, sampel
memiliki warna putih kekuningan, dengan kekentalan yang normal, dan pada uji
kebersihan pada sampel tidak ditemukan adanya benda asing. Sehingga dapat
dikatakan hasil uji organoleptik susu kambing dalam kondisi normal. Berat jenis
susu di uji pada suhu 27°C sekitar ditemukan hasil 1,035, hasil ini dapat
65
digolongkan normal karena menurut TAS 6006-2008 BJ susu adalah 1,028. Berat
jenis (BJ) merupakan perbandingan atau rasio zat tersebut terhadap zat lain dalam
volume sama. Pengukuran BJ harus dilakukan pada temperature tertentu karena
temperature sangat mempengaruhi kepadatan suatu zat. Pengukuran BJ dilakukan
dengan alat piknometer dan laktodensimeter (Sudarwanto, 2012).
Pada pengujian komposisi susu terdiri dari uji kadar lemak, kadar protein,
kadar bahan kering (BK), dan kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL). Pada
pengujian ini ditemukan hasil kadar lemak 4,1%, kadar protein 3,45%, kadar bahan
kering 14,63%, dan kadar bahan kering tanpa lemak sebesar 10,53%. Pada hasil ini
terlihat komposisi lemak pada susu dalam jumlah diatas standar TAS 6006-2008
yakni 3,25 – 3,5%. Kadar lemak susu kambing dipengaruhi oleh pakan hijauan,
semakin tinggi pakan hijauan yang diberikan maka semakin tinggi pula kadar lemak
susu (Zurriyanti et al.,, 2011). Menurut Sukarini (2006), bahwa ternak yang diberi
pakan tambahan konsentrat akan menurunkan kadar lemak susu dan pakan yang
hanya terdiri dari hijauan memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibanding pakan
yang ditambah dengan konsentrat. Jumlah pada kadar bahan kering juga tergolong
tinggi karena berada diatas batas normal yang seharusnya 11,7 – 12% dan kadar
bahan kering tanpa lemak yang seharusnya <8,25%. Peningkatan ini dapat
disebabkan oleh tingginya kadar lemak yang terkandung pada susu kambing.
Menurut Hariono et al., (2011), bahan kering tanpa lemak (BKTL) dalam susu
tersusun atas albumin (kasein dan protein), laktosa, vitamin, enzim, gas dan
mineral. Menurut Utari et al., (2012) bahwa kadar bahan kering tanpa lemak susu
tergantung pada kadar protein, laktosa dan lemak.
Pengujian selanjutnya yang dilakukan pada uji susu kambing yakni uji
kesegaran yang terdiri dari uji alkohol, pH, uji didih, uji titrasi keasaman soxhlet
henkel. Uji alkohol dan uji didih bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman
pada susu yang apabila hasil positif ditunjukkan dari adanya gumpalan atau butir -
butir putih pada dinding tabung. Hasil dari uji alkohol dan uji didih adalah negative
yang ditandai dengan terbentuknya gumpalan atau butir putih pada dinding dalam
jumlah sedikit. pH pada suusu diukur menggunakan pH meter dan pH indikator,
dan didapatkan hasil pH meter sebesar 6,7 dan pH indikator sebesar 7, nilai normal
pH menurut TAS 6006-2008 adalah sekitar 6,5 – 7.
66
Uji mastitis juga dilakukan pada pengujian susu, hal ini bertujuan untuk
mengetahui susu yang diproduksi mengandung sel somatic atau tidak. Sel somatis
merupakan sel indikator yang terkandung pada ambing yang terkena mastitis.
Mastitis terdiri dari 2 macam yakni subklinis dan klinis. Hasil dari pengujian ini
adalah sel somatic yang terkandung pada susu sebesar 0,28x106, sehingga
dinyatakan negative karena kadar normal sel somatic yakni 106 sampai dengan
1,5x106 sel/ml. Pada uji CMT pada uji klinis ditemukan hasil positif 1 yakni
ditandai dengan adanya sedikit lendir. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa
sampel susu kambing masih layak untuk dikonsumsi.
Uji mikrobiologi susu terdiri dari Total Plate Count (TPC), koliform, E.
coli, dan salmonella sp. Pada TPC didapatkan hasil 7x105 estimasi, hasil estimasi
disebabkan jumlah koloni pada tiap Cawan dibawah 25 – 250 koloni. Nilai standar
koloni dari TPC susu kambing yakni sebesar 2x105 cfu/gram. Untuk hasil kolifor m
didapatkan hasil sebesar <103 estimasi, hasil ini tergolong normal bila dibandingka n
dengan batas nilai koliform menurut TAS 6006-2008 yakni sebesar 103 cfu/gram.
Hasil uji E. coli dan salmonella didapatkan hasil negative dan hal ini sesuai dengan
nilai standar dari TAS 6006-2008. Susu kambing termasuk bahan pangan alami
yang mengandung nilai gizi tinggi, namun cepat mengalami kerusakan/kebusukan
bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Kerusakan susu dapat disebabkan oleh
berkembangnya jumlah bakteri dan metode penyimpanan yang tidak tepat (Toto,
dkk., 2013). Minimnya sarana penanganan susu seperti tempat penyimpanan susu,
maka susu yang mengandung zat yang bernilai gizi tinggi, sering disimpan pada
suhu ruang. Keadaan ini menyebabkan bakteri yang terdapat di dalamnya akan
memperoleh media yang baik untuk berkembang biak sehingga akan merusak
keadaan susu. Susu sebagai bahan makanan sangat penting artinya bagi manusia
dan ternak, susu juga merupakan media yang dapat menyebarkan penyakit
zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari manusia ke hewan atau sebaliknya
(milk borne disease) (Emi, 2012).
Uji residu antibiotik berfungsi untuk mengetahui sejauhmana kandungan
residu antibiotika dalam produk ternak. Residu antibiotika dalam pangan dapat
mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri,
alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk
67
pangan hewan diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiot ika
di peternakan (Dewi et al, 2014). Hasil dari pengujian residu antibiotik pada susu
kambing dinyatakan negatif, hal ini ditandai dengan tidak adanya zona bening
(daerah hambatan) minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram.
Pemalsuan susu dilakukan dengan tujuan untuk menambah volume susu,
susu dihargai dengan sedikit lebih mahal, dan untuk mempertahankan sifat susu.
Pemalsuan pada susu yang sangat mudah dijumpai adalah dengan menambahka n
susu dengan air. Hal ini akan menambah volum dari susu tersebut dan susu akan
dihargai dengan sedikit lebih mahal. Selain penambahan air, peningkatan volum
susu jug dapat dilakukan dengan penambahan air tajin, susu kaleng, santan , bahkan
soda kue. Pemalsuan dengan menggunakan susu kaleng memiliki kelebihan
diantaranya bau yang harum susu serta warna yang relative tidak jauh berbeda
dengan susu asli. Selain untuk menambahkan volum, pemalsuan juga digunak an
untuk mempertahankan sifat susu. Pemalsuan seperti ini dilakukan dengan
penambahan larutan formalin ke dalam susu. Pada uji pemalsuan susu yang
dilakukan didapatkan hasil negative yang ditandai dengan terbentuknya warna
kuning, hal ini disebabkan susu tidak mengandung amilum sehingga tidak dapat
berikatan dengan lugol sehingga menghasilkan warna kuning.
68
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari hasil pengujian sampel susu kambing adalah
sampel susu kambing dinyatakan sesuai dengan konsep aman, sehat, utuh, dan halal
(ASUH) dan sesuai dengan standar TAS 6006-2008, sehingga layak dikonsums i
masyarakat dengan kriteria :
1. Susu kambing dinyatakan aman dari cemaran fisik, kimiawi, dan
mikrobiologi, sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.
2. Susu kambing dinyatakan sehat karena memiliki kandungan nutrisi yang
sesuai dengan standar minimum yang ditentukan.
3. Susu kambing dinyatakan utuh karena bebas dari pemalsuan.
5.2. Saran
Perlu dilakukan sosialisasi kepada peternak tentang sanitasi, dan mengena i
pakan tambahan konsentrat sehingga dapat menurunkan kadar lemak susu, dan
memperhatikan proses pemerahan dan penyimpanan sehingga dapat meminimalis ir
terjadinya kerusakan pada susu kambing, serta disarankan untuk mengolah susu
lebih lanjut untuk mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada susu.
69
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. A. Y. Oktaviana, R. R. S. Wihansah, M. Yusuf, Rifkhan, J. K. Negara,
A. K. Sio. 2016. Kualitas Fisik, Kimia dan Mikrobiologi Susu Kambing pada
Waktu Pemerahan yang Berbeda di Peternakan Cangkurawok, Balumbang
Jaya, Bogor. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Emi H., Sukada, IM., dan Swacita, IBN. 2012. Kualitas Susu Kambing Peranakan
Etawa Post Thawing pada Penyimpanan Suhu Kamar. Indonesia Medicus
Veterinus 2012 1 (3) : 361-369.
Hariono, B., Sutrisno, K. B. Seminar dan R. R. A. Maheswari. 2011. Uji Sifat Fisik
dan Kimia Susu Sapi dan Susu Kambing yang Dipapar dengan Ultravio let
Sistem sirkulasi. Prosiding Seminar Nasional Perteta.
Manik, Eko., 2006. Olahan Susu. Pusat Unit Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Rasminati, Nur. 2013. Grade Kambing Peranakan Ettawa pada Kondisi Wilayah
yang Berbeda. Program Studi Petenakan Fakultas Agroindustri, Univers itas
Mercu Buana Yogyakarta.
Sukarini. 2006. Produksi dan Kualitas Air Susu Kambing Peranakan Ettawa yang
Diberi Tambahan Urea Molases Blok dan atau Dedak Padi pada Awal Laktasi.
Animal Production. Vol. 8, No. 3: 196-205.
Toto, I., Utami, S., dan Suratim, A. 2013. Pengaruh Lama Penyimpanan Dalam
Refrigerator Terhadap Berat Jenis dan Viskositas Susu Kambing Pasteurisasi.
Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1) : 69-78, April 2013.
Zakaria, Yusdar., Helmy., MY dan Yuda Safara. 2011. Analisa Kualitas Susu
Kambing Peranakan Etawah yang Disterilkan pada Suhu dan Waktu yang
Berbeda. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Aceh.
Zurriyanti, Y., R. R. Noor dan R. R. A. Maheswari. 2011. Analisis Molekuler
Genotipe Kappa Kasein (K-Kasein) dan Komposisi Susu Kambing Peranakan
Etawa, saanen dan Persilangannya. JITV Vol. 16 No. 1 : 61-70
70
LAMPIRAN 1. Dokumentasi hasil pengujian susu
71
Uji pemalsuan susu dengan air tajin/ Uji kadar lemak
tepung
72
Uji Residu antibiotik
Uji Identifikasi E.coli
73
LAMPIRAN 2. Perhitungan
1. BJ = 1,035
2. Kadar Bahan Kering = 1,311.L + 2,738 100 (BJ−1)
𝑖𝑖
= 5,38+ 9,25
= 14,63 %
3. BKTL = BK – L
= 14,63– 4,1
= 10,58%
4. Kadar Protein (%) = L/2 + 1,4
= 4,1/2 + 1,4
= 3,45 %
TPC
Coliform
74
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
75
DAFTAR ISI
76
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan tubuh yang memiliki dua bentuk yaitu padat dan cair. Pangan
merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk manusia, sedangkan untuk
hewan disebut dengan pakan (Indriani 2015). Pangan hewani merupakan sumber
protein yang mengandung asam amino essensial yang tidak dapat disuplai dari
bahan lain, sehingga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat.
Susu merupakan salah satu bahan makanan asal hewan yang sangat penting bagi
manusia karena kandungan gizinya yang tinggi dengan komposisi seimbang,
sehingga sangat baik bagi tubuh. Salah satu susu hewani yang mulai dikonsums i
oleh masyarakat yakni susu kambing.
Susu kambing merupakan susu yang dihasilkan oleh kambing peranakan
Etawah. Susu kambing memiliki protein terbaik setelah telur dan hampir setara
dengan ASI (Air Susu Ibu). Susu merupakan salah satu bahan makanan yang
mudah dicerna dan bernilai gizi tinggi dan sangat dibutuhkan oleh manusia dari
berbagai umur. Susu juga mempunyai sifat yang mudah rusak sehingga sangat cepat
mengalami perubahan rasa, bau, dan warna. Secara normal, susu hanya bertahan
maksimal 2 jam setelah pemerahan tanpa mengalami kerusakan maupun penurunan
kualitas.
Susu kambing telah dikenal dan dipercaya masyarakat memiliki manfaat
yang baik untuk kesehatan tubuh karena susu banyak mengandung nutrisi dan
komponen bioaktif yang berperan menjaga kesehatan tubuh. Susu adalah bahan
pangan yang perisable (mudah rusak, karena mempunyai kadar air tinggi sekitar 87
%- 90 % serta mempunyai nilai nutrisi yang lengkap sehingga baik untuk konsumsi
manusia, hewan dan mikroorganisme. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan
untuk mempertahankan kualitasnya. Teknologi pengolahan susu disamping
menghambat kerusakan (pengawetan) juga untuk penganekaragaman bahan
pangan. Karena dengan proses pengolahan kerusakan secara fisik, kimia, dan
mikrobiologis akan dapat dicegah dan sekaligus dapat menambah nilai ekonomis
dari produk tersebut dan selanjutnya supaya dapat mempertahankan kualitasnya
(Khotimah, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan uji kualitas dari susu bubuk yang
77
beredar dipasaran untuk mengetahui kualitas dan keamanan sehingga aman
dikonsumsi oleh konsumen.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sampel susu bubuk kambing yang diuji dinyatakan aman,
sehat, utuh, dan halal sehingga layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat
berdasarkan batasan standar menurut SNI 01-2970-2006.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pengujian ini yaitu memberikan infor masi
kualitas fisik dan mikrobiologis kandungan susu bubuk kambing, serta mengetahui
apakah kandungan yang didapatkan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI).
78
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu Bubuk Kambing
Kambing Peranakan Etawa (PE) mempunyai peran ganda sebagai kambing
penghasil susu dan daging (Sutama et al.,, 2012). Kandungan utama susu kambing
PE terdiri dari laktosa (4,27%), protein (3,52%), lemak (4,25%) dengan padatan
total berkisar antara 13 – 14% (Sukarini, 2006). Selain bergizi tinggi, susu kambing
PE juga berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti asma dan TBC.
Susu kambing PE memiliki ukuran globula lemak kecil dengan proporsi asam
lemak rantai pendek lebih banyak sehingga mudah untuk diserap tubuh serta efek
laktasif protein yang rendah sehingga tidak menyebabkan diare. Sebagai produk
pangan kaya nutrisi, susu kambing PE mudah mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh cemaran mikrobia dan berpotensi terjadinya foodborne diseases
(Widodo et al, 2012). Berbagai proses pengolahan susu dilakukan utamanya untuk
pengawetan dan juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyimpanan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, susu dapat diolah sehingga lebih
tahan lama tanpa mengurangi nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Sterilisas i
susu akan memperpanjang daya simpan, tetapi jika tidak disterilkan pada
temperatur dan waktu yang tepat akan terjadi kerusakan nutrisi yang terkandung
dalam susu karena bila pemanasan dilakukan dengan suhu tinggi akan membunuh
seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen) dan spora. Waktu
pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu
serta mendapatkan warna, aroma dan rasa yang sama dengan susu segar.
Kandungan nutrisi susu sterilisasi menyerupai susu segar dan susu formula bubuk.
Susu yang telah mengalami proses sterilisasi dapat disimpan dalam suhu ruangan
(Zakaria, 2011).
Susu bubuk adalah susu yang diperoleh dengan cara mengurangi sebagian
besar air melalui proses pengeringan susu segar dan atau susu rekombinasi yang
telah dipasteurisasi, dengan atau tanpa penambahan vitamin, mineral, dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan. Susu bubuk meliputi susu bubuk berlemak ,
rendah lemak, dan tanpa lemak. Kualitas fisik, kimia dan organoleptik susu bubuk
sesuai dengan jenisnya berdasarkan SNI 01-2970-2006 disajikan pada Tabel 2.1.
79
Tabel 2.1. Komposisi Susu Bubuk menurut SNI 01-2970-2006
Sifat Susu Nilai
Bau dan rasa Normal
Bahan kering Minimal 95 %
Kadar lemak Berlemak: min. 26% , Kurang lemak : >1,5 % dan
<26,0%, atauBebas lemak : <1,5 %
Kadar protein Berlemak dan kurang lemak : 23 % ; Bebas lemak: min. 30 %
80
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET ini dilakukan mulai tanggal 19
November – 30 November 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya,
Malang.
81
Prosedur kerja : Tabung reaksi diisi dengan sampel susu 5 ml, setelah itu diamati
warna. Kemudian dicium baunya. Susu digoyang-goyangkan perlahan-lahan dan
diamati pergerakan susu dan kemungkinan adanya sisa melalui dinding tabung,
apakah susu kental atau encer.
Interpretasi : Susu dianggap memiliki kualitas baik jika tidak ditemukan
perubahan warna, bau, dan konsistensi.
a. Warna : Susu berwarna putih.
b. Rasa : Apabila susu terasa tidak sesuai dengan rasa susu kambing, maka ada
kemungkinan adanya kontaminasi.
c. Bau : Susu memiliki bau yang aromatis, hal ini disebabkan adanya perombakan
protein menjadi asam-asam amino.
d. Kekentalan : Susu akan berlendir bila terkontaminasi oleh bakteri
Staphylococcus sp yang berasal dari air, sisa makanan atau dari alat-alat susu.
82
dapat dilihat langsung dengan mata telanjang mikroba yang tumbuh dinyatakan
sebagai gambaran populasi mikroba yang terdapat dalam sampel.
Alat dan bahan : Cawan Petri, pipet ukur steril 1ml, autoclave, colony counter,
Buffer Pepton Water (BPW) 0,1%, Plate Count Agar (PCA), alkohol 70% dan
sampel susu bubuk.
Prosedur pengujian : sampel susu bubuk yang telah dilarutkan sebanyak 1 ml
secara aseptik dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan BPW
0,1 %, dihomogenkan selama 1-2 menit. Kemudian pindahkan 1 ml suspensi
tersebut dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW 0,1 % dalam tabung reaksi
lain untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Buat pengenceran 10-310-410-5 dan
seterusnya dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai
kebutuhan. Pada pengenceran 10-310-410-5 , diambil 1 ml dari suspensi tersebut dan
dituang ke dalam Cawan Petri. Setiap pengenceran yang dituang pada Cawan,
dibuat duplo. Ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml PCA yang sudah
didinginkan pada masing- masing Cawan yang sudah berisi supensi. Supaya larutan
sampel dan media PCA tercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran Cawan ke
depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai
memadat. Cawan tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dengan posisi
terbalik.
Interpretasi :
a) Koloni 25-250, Pilih Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni berjumlah
25-250. Jumlahkan dan hitung rata-rata koloni sebagi hasil.
b) Koloni < 25, Bila hasil pengenceran terendah jumlah koloni kurang dari
25 maka hitung rerata jumlah koloni per Cawan dan kalikan dengan
pengencer.
c) Koloni lebih > 250
Bila jumlah koloni lebih dari 250, maka hitung koloni yang dapat dihit ung
lalu beri tanda *
Perhitungan : TPC (koloni/g) = N x F
Keterangan:
N : rata – rata koloni dari 2 Cawan Petri dari satu pengenceran
F : faktor pengenceran dari rata – rata koloni yang dipakai
83
3.4.4 Uji Cemaran Salmonella dengan Media SSA
Prinsip pengujian : Sampel dideteksi dengan menumbuhkan pada media agar
selektif untuk meyakinkan ada tidaknya bakteri Salmonella.
Alat dan bahan : Cawan Petri, jarum inokulasi, bunsen, BPW, media Salmonella
Shigella Agar (SSA) dan sampel susu kambing bubuk.
Prosedur kerja : Sampel susu sebanyak 1 ml diencerkan kedalam larutan BPW
dengan pengenceran 10-1 . Sampel diambil menggunakan ose dan distreak pada
media SSA. Cawan Petri diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Setelah
inkubasi, diamati koloni bakteri yang tumbuh pada media SSA. Amati
kemungkinan adanya koloni Salmonella.
Interpretasi : Morfologi koloni Salmonella sp. koloni tidak berwarna, biasanya
dengan bagian tengah berwarna hitam.
84
4. Diinkubasi dalam inkubator selama 24-48 jam pada suhu 36°C dilihat apakah
ada pembentukan gelembung di tabung durham. Hasil uji dinyatakan positif
apabila terbentuk gas.
5. Hasil positif pada tabung LSB, ditanam ke dalam tabung reaksi berisi tabung
durham dan BGLBB dengan menggunakan jarum inokulasi.
6. Diinkubasikan dalam inkubator selama 24-48 jam pada suhu 36°C dilihat
apakah ada pembentukan gelembung pada tabung durham
7. Selanjutnya gunakan tabel MPN untuk menentukan nilai MPN berdasarkan
jumlah tabung BGLBB yang positif seagai jumlah kolifom per milliliter atau
per gram
Interpretasi : Banyknya koliform yang terdapat dalam sampel diinterpretas ikan
dnegan mencocokkan kombinasi jumlah tabung yang memperlihatkan hasil positif,
berdasarkan tabel nilai MPN, kombinasi yang diambil dimulai dari pengenceran
tertinggi yang masih menghassilkan semua tabung positif, sedangkan pada
pengenceran berikutnya terdapat tabung yang negatif. Kombinasi yang diambil
terdiri dari tiga pengenceran. Nilai MPN sampel dihitung sebagai berikut:
85
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Kualitas Susu Kambing Bubuk
Susu kambing bubuk yang dijadikan sampel pengujian yakni susu kambing
bubuk “Bumiku Hijau” yang dibeli di jalan Dewandaru malang pada tanggal
pembelian 18 november 2018.
86
4.2. Pembahasan
Pada pemeriksaan organoleptik pada susu bubuk kambing yakni baud an
tekstur susu bubuk terlihat normal. Susu bubuk kambing memiliki warna putih
kekuningan. Setelah pemeriksaan organoleptik, dilakukan pengukuran pH susu
kambing bubuk. Hasil dari pengukuran ini yakni pada pH meter ditemukan hasil
sebesar 6,8 dan pada pH meter 7. Penghitungan kadar air juga dilakukan pada
pengujian susu kambing bubuk, pada uji ini ditemukan hasil sebesar 1,94%.
Pemeriksaan kadar air pada susu bubuk dilakukan untuk mengetahui kualitas dan
daya simpan bahan pangan tersebut. Kadar air dihitung berdasarkan kehilanga n
bobot, yaitu selisih bobot awal dan bobot akhir. Menurut SNI 01-2970-2006,
jumlah kadar air yang terkandung pada olahan susu bubuk yakni sebesar 5%.
Sehingga dapat disimpulkan jumlah kadar air pada susu bubuk dinyatakan sesuai
dengan SNI 01-2970-2006.
Pengujian selanjutnya yakni melakukan uji mikrobiologi yang terdiri dari
uji Total Plate Count (TPC), coliform, E. coli dan salmonella sp. Pada uji TPC
menggunakan media PCA ditemukan hasil sebesar 7x103 estimasi. Hasil ini didapat
karena hasil koloni tiap Cawan kurang dari 25 koloni. Menurut Sudarwanto (2012),
aturan penghitungan dan pelaporan jika Cawan Petri tidak memiliki jumlah koloni
kurang dari 25 koloni, maka dilakukan pencatatan jumlah hasil penghitungan dari
tingkat pengenceran terkecil dan laporkan sebagai estimasi CFU per gram/ml.
Adanya pertumbuhan bakteri pada TPC menandakan adanya bakteri yang
terkandung didalam susu, bakteri ini dapat berupa bakteri patogen maupun bakteri
non patogen. Jumlah bakteri dalam susu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
baik yang berasal dari hewan itu sendiri (faktor intrinsik) maupun yang berasal dari
luar tubuh atau lingkungan (faktor ekstrinsik) (Wijayanti, 2009).
Koliform merupakan suatu grup bakteri gram negative, berbentuk batang,
tidak berspora, bersifat aerob, dan anaerob fakultatif. Bakteri koliform yang
terdapat di dalam makanan atau minuman menunjukan kemungkinan adanya
mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan toksigenik yang berbahaya bagi
kesehatan. Pengujian koliform berfungsi sebagai indikator sanitasi, terutama pada
pengujian kualitas air dan sebagai indikator sanitas pada industri pengolahan bahan
pangan. Selain itu, koliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan
87
mikroorganisme pathogen (Sudarwanto, 2012). Pada hasil pengujian kolifor m
ditemukan hasil <3 APM/gram. Hasil ini bila disesuaikan dengan SNI 01-2970-
2006, maka dalam kategori aman karena hasil pengujian dibawah standar SNI yakni
10 APM/gram.
Pemeriksaan yeast dan mold pada susu bubuk menunjukkan hasil negatif,
dimana tidak terlihat adanya pertumbuhan yeast dan mold pada sampel susu bubuk
setelah ditanam pada media SDA. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah proses pengolahan dalam kondisi higienis atau tidak. Kesimpulan yang
dapat diambil dari hasil yang didapat yakni bahwa proses pengolahan susu kambing
bubuk “Bumiku Hijau” dalam kondisi yang higienis. Mold atau kapang adalah
fungi yang berbentuk benang multiseluler tidak berklorofil dan belum mempunya i
diferensiasi dalam jaringannya. Pertumbuhan kapang pada makanan mudah dilihat
karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula- mula
akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna
tergantung dari jenis kapang. Kapang terdiri dari suatu thallus yang tersusun dari
filamen yang bercabang yang disebut hifa. Yeast atau khamir adalah fungi yang
bersel satu atau uniseluler ada beberapa diantaranya bersifat miselium dengan
percabangan. Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan.
Sebagai sel tunggal khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding
dengan mould yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir sangat mudah
dibedakan dengan mikroorganisme yang lain misalnya dengan bakteri, khamir
mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda.
88
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian susu kambing bubuk “Bumiku Hijau”, dapat
diambil kesimpulan yakni sampel susu kambing dinyatakan sesuai dengan konsep
aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) dan sesuai dengan SNI 01-2970-2006.
Sehingga sampel susu kambing bubuk layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat
dengan kriteria :
1. Susu kambing bubuk dinyatakan aman dari cemaran fisik, kimiawi, dan
mikrobiologi, sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.
2. Susu kambing dinyatakan sehat karena memiliki kandungan nutrisi yang
sesuai dengan SNI 01-2970-2006.
5.2. Saran
Saran dalam pengujian ini yakni dalam pengujian mikrobiologi sebaiknya
sampel yang digunakan tidak dibiarkan dalam kondisi terbuka saat berada diluar
kemasan karena hal tersebut dapat mengakibatkan kontaminasi pada sampel
sehingga mempengaruhi hasil.
89
DAFTAR PUSTAKA
Khotimah,K. 2006. Pembuatan Susu Bubuk Dengan Foam-Mat Drying : Kajian
Pengaruh Bahan Penstabil Terhadap Kualitas Susu Bubuk. Jurnal Protein
Vol. 13 No. 1.
Sukarini IAM. 2006. Produksi dan kualitas air susu kambing peranakan etawah
yang diberi tambahan urea molasses blok dan atau dedak padi pada awal
laktasi. Anim Prod 8: 196- 205.
Wijayanti, Sari. 2009. Identifikasi Dan Pemeriksaan Jumlah Total Bakteri Susu
Sapi Segar Dari Koperasi Unit Desa Di Kabupaten Boyolali. Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Zakaria, Yusdar., Helmy., MY dan Yuda Safara. 2011. Analisa Kualitas Susu
Kambing Peranakan Etawah yang Disterilkan pada Suhu dan Waktu yang
Berbeda. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Aceh.
90
Lampiran 1. Dokumentasi hasil pengujian susu bubuk
Uji pH meter
Uji Kadar air
91
Uji identifikasi Mold
Uji Koliform
92
Lampiran 2. Perhitungan
a−b
1. Kadar air = 𝑖 100%
b
2,5750 −2,5245
= 𝑖 100%
2 ,5750
=1,94 %
2. Mikrobiologi
a. E. coli
PCA 10-3 10-4 10-5
1 7 5 3
Hasil 7 x 103 est cfu/g
b. Coliform
LSTB 1 2 3
10-1 - - -
10-2 - - -
10-3 - - -
93
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
94
DAFTAR ISI
95
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pola hidup sehat yang diterapkan oleh masyarakat modern saat ini menunt ut
penyediaan kebutuhan pangan yang bernilai gizi baik bagi kebutuhan manusia.
Kebutuhan gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan hidup pokok manusia. Daging
unggas merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam
amino esensial yang lengkap dan dalam jumlah perbandingan yang seimbang.
Selain itu, daging unggas lebih diminati oleh konsumen karena mudah dicerna,
dapat diterima oleh mayoritas orang (Yashoda et al., 2001) dan memiliki harga yang
relatif murah (Cohen et al., 2007). Daging secara umum didifinisikan sebagai
semua jaringan hewan yang dikonsumsi namun tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Otot pada hewan berubah menjadi daging
setelah pemotongan atau penyembelihan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti.
Karkas broiler adalah ayam yang telah dipotong dan dibersihkan bulu, tanpa kepala,
leher, kaki, dan jeroan.
Konsumsi masyarakat terhadap daging ayam khususnya ayam broiler terus
meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data statistik dari tahun 2012- 2014
rata-rata konsumsi daging ayam broiler di Indonesia perkapita perminggu sebesar
0.078 Kg. Namun peningkatan permintaan belum seiring dengan peningkata n
kualitas terutama dari segi keamanan pangan dan kesehatan. Kualitas daging ayam
meliputi kualitas fisik, kimia dan biologi serta diterima atau tidaknya oleh
konsumen. Secara biologi kerusakan daging ayam lebih banyak diakibatkan oleh
adanya pertumbuhan mikroba yang berasal dari ternak, pencemaran dari
lingkungan baik pada saat pemotongan maupun selama pemasaran. Pertumbuha n
dan aktivitas mikroba dipengaruhi oleh faktor suhu penyimpanan, waktu,
tersedianya oksigen dan kadar air daging. Oleh karena itu diperlukan beberapa uji
untuk menjamin keamanan daging ayam broiler yang beredar di pasaran sehingga
aman dikonsumsi oleh konsumen.
96
1.2 Rumusan Masalah
Apakah sampel daging ayam broiler yang diuji dinyatakan aman, sehat,
utuh, dan halal sehingga layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat berdasarkan
batasan standar menurut SNI 3924-2009?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sampel daging ayam broiler yang diuji dinyatakan aman,
sehat, utuh, dan halal sehingga layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat
berdasarkan batasan standar menurut SNI 3924-2009.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pengujian ini yaitu memberikan infor masi
kualitas fisik dan mikrobiologis kandungan daging ayam broiler, serta mengetahui
apakah kandungan yang didapatkan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI) 3924-2009.
97
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging Ayam Broiler
Daging unggas dapat berasal dari ayam jantan dewasa (cock), ayam atau
kalkun betina dewasa (hen), kalkun jantan dewasa (tom), ayam kastrasi (capon),
dan anak ayam (chick). Menurut Standar Nasional (SNI) nomor 3924:2009 tentang
Mutu Karkas dan Daging Ayam, disebutkan karkas ayam pedaging adalah bagian
ayam pedaging setelah dipotong, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak
abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya. Cara
pemotongannya dapat dibedakan menjadi karkas utuh, potongan separuh (halves),
potongan seperempat (quarters), potongan bagian-bagian badan (chicken part atau
cut put), dan debond yaitu karkas ayam pedaging tanpa tulang atau tanpa kulit.
Sementara berdasarkan cara penanganannya, dibedakan menjadi karkas segar dan
karkas beku. Karkas segar adalah karkas yang segera didinginkan setelah selesai
diproses sehingga suhu daging menjadi antara 4 hingga 5 °C, sedangkan karkas
beku adalah karkas yang telah mengalami proses pembekuan cepat atau lambat
dengan suhu penyimpanan antara -12 °C sampai dengan -18 °C.
Daging ayam yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat yakni daging
ayam broiler. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan ayam broiler saat ini sangat
cepat. Dalam jangka waktu pemeliharaan 30 – 35 hari dapat dicapai bobot badan
sebesar 1,5– 2,0 kg per ekor ayam dan pada waktu ini pula banyak peternak mulai
memanen ayam tersebut. Namun demikian, waktu panen ini dapat disesuaikan
dengan waktu pencapaian bobot badan ayam yang disukai oleh konsumen. Pada
wilayah tertentu konsumen menyukai ayam broiler dengan ukuran kecil (<1 kg per
ekor), disisi lain adapula konsumen yang menyukai ayam broiler berukuran besar
(>2,0 kg per ekor). Perbedaan waktu pemanenan dan bobot ayam broiler ini
memungkinkan perbedaan pula pada persentase karkas dan kualitas sifat fisik
daging ayam broiler. Menurut Rahayu et al (2002), ayam broiler berukuran kecil (1
-1,5 kg) kebanyakan diminati oleh konsumen rumah tangga, sedangkan ayam
broiler berukuran besar (>1,5 kg) dipergunakan untuk pengolahan produk olahan
(seperti sate, opor, soto, dll) dan untuk industri pengolahan daging ayam (nugget,
sosis, dll).
98
Ciri – ciri daging broiler yang baik menurut (SNI 01 -4258-2010), antara lain adalah
sebagai berikut.
a) Warna putih kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan, tidak
terlalu merah).
b) Warna kulit ayam putih kekuningan, cerah, mengkilat dan bersih. Bila
disentuh, daging terasa lembab dan tidak lengket (tidak kering).
c) Bau spesifik daging (tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak berbau
busuk).
d) Konsistensi otot dada dan paha kenyal, elastis (tidak lembek). Bagian dalam
karkas dan serabut otot berwarna putih agak pucat, pembuluh darah dan sayap
kosong (tidak ada sisa – sisa darah).
99
Tabel 2.2 Persyaratan tingkatan mutu berdasarkan SNI 3924-2009
Tingkat Mutu
No. Faktor Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1 Konformasi Sempurna Ada sedikit Ada kelainan
kelainan pada pada tulang dada
tulang dada atau dan paha
paha
100
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET ini dilakukan mulai tanggal 19
November – 30 November 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya,
Malang.
101
3.4.2 Uji Eber
Alat dan bahan : sampel daging ayam, reagen Eber (1 bagian HCl pekat, 3 bagian
alkohol 96%, dan 1 bagian eter), tabung reaksi, sumbat karet yang dilengkapi lidi,
gunting, dan pinset
Prosedur : daging dipotong sebesar biji kacang tanah. Daging ditusukkan pada lidi
dari tabung disumbat. Reagen Eber dituang ke dalam tabung reaksi (kira-kira tidak
akan membasahi daging di lidi jika daging dimasukkan dalam tabung). Daging
dimasukkan perlahan-lahan dan sesegera mungkin ke dalam tabung reaksi. Diamati
terjadi atau tidaknya awan putih di sekitar daging.
Interpretasi : positif jika terbentuk awan putih di sekitar daging.
102
Keterangan :
A : bobot sampel daging awal
B : bobot sampel setelah mengalami perlakuan
Keterangan :
A : bobot sampel daging awal
B : bobot sampel setelah mengalami perlakuan
103
3.4.7 Uji Pengukuran jumlah bakteri (TPC) (SNI 2897: 2008)
Alat dan bahan: sampel daging ayam, Cawan Petri, tabung reaksi, pipet
volumetric, botol media, colony counter, gunting, pinset, Bunsen, timbanga n,
incubator, PCA (plate count agar), BPW (buffer pepeton water) 0,1 %
Prosedur: ditimbang daging ayam 1 gram kemudian ditambahkan 9 ml larutan
BPW 0,1 % steril kedalam tabung reaksi yang sudah berisi sampel tersebut,
homogenkan. Dipindahkan 1 ml suspense pengenceran tersebut dengan pipet steril
ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Dibuat
pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai
kebutuhan. Pada pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dilakukan pengambilan 1 ml dari hasil
pengenceran kemudian dilakukan pnembahan ke Cawan Petri secara duplo.
Ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga
temperatur 45oC ± 1oC pada masing-masing Cawan yang sudah berisi suspense.
Lakukan pemutaran Cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka
delapan dan diamkan sampai memadat dengan tujuan larutan sampel dan media
PCA tercampur seluruhnya,. Diinkubasikan pada suhu 34oC sampai dengan 36oC
selama 24 jam sampai dengan 48 jam dengan meletakkan Cawan pada posisi
terbalik. Untuk perhitungan koloni, dihitung jumlah koloni pada setiap seri
pengenceran kecuali Cawan Petri yang berisi koloni menyebar (spreader colony ).
Pilih Cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai dengan 250.
104
Interpretasi hasil : jika terdapat koloni bakteri, kemudian dilakukan pengamatan
mikroskopis untuk peneguhan adanya E. Coli. Berwarna hijau metalik pada
morfologinya.
105
Prosedur kerja : Mengambil koloni bakteri dari uji MPN dengan kawat ose
kemudian diinokulasikan di Cawan Petri yang telah berisi media Salmonella
Shigella Agar (SSA). Menginkubasikan Cawan Petri dalam dalam inkubator pada
suhu 34- 36oC selama 24-36 jam dengan meletakkan Cawan pada posisi terbalik.
Perhitungan koloni dilakukan setelah diinkubasi selama 24-36 jam dengan
menghitung jumlah koloni yang tumbuh di media.
Interpretasi hasil : adanya koloni bakteri Salmonella pada media biakan.
106
Prosedur pengujian : Letakkan kira-kira 1 gram sampel di atas media SDA.
Cawan Petri kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari lalu diamati
keberadaan yeast atau mold. Pemeriksaan dilakukan dengan 2 metode, yakni
makroskopis (pengamatan panca indera) dan mikroskopis (bantuan mikroskop).
Interpretasi hasil : terdapat yeast dan mold pada media biakan.
107
BAB III PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Kualitas Daging Ayam
Identitas sampel daging ayam yang diuji diperoleh dari pasar Dinoyo Kota
Malang pada tanggal 22 November 2018.
108
Jenis Pengujian Standar Hasil Uji
- Kesempurnaan Sempurna Sempurna
pengeluaran darah
- Eber Negatif Negatif
- Postma Negatif Negatif
c. Mikrobiologi
- TPC 1x106 cfu/g 25x107
- Coliform 1x102 cfu/g 1,027x104
- E.coli 1x101 cfu/g Negatif
- Salmonella sp Negatif Negatif
d. Uji residu antibiotic Negatif Negatif
4.2. Pembahasan
Pengujian pertama yang dilakukan pada sampel daging ayam yakni uji
organoleptik yang terdiri dari uji bau, warna, konsistensi, dan kebersihan. Hasil
dari uji bau ditemukan bau yang khas daging ayam dengan warna sampel yakni
putih kekuningan. Sampel daging ayam memiliki konsistensi yang baik, padat dan
kenyal, sedangkan pada uji kebersihan ditemukan kondisi yang bersih dari bulu
tunas pada sampel.
Pengukuran pH pada sampel daging ayam yang diuji menggunakan pH
meter dan pH indikator. Hasil pengukuran pH meter yakni 7,6 dan hasil pH
indikator 7. Nilai pH daging ayam sehat masih termasuk dalam kisaran daging
ayam yang baik pada kondisi rigor mortis, yakni sekitar 5,0 sampai 5,6. Nilai pH
akhir daging sangat berperan dalam menghambat pembusukkan. Nilai pH daging
ayam tiren lebih tinggi dibandingkan ayam sehat, nilai pH daging ayam tiren
mentah yang cukup tinggi dipengaruhi oleh keadaan hewan saat masih hidup.
Daging ayam tiren berasal dari ayam yang telah mengalami kematian sebelum
disembelih. Kematian ini dapat disebabkan stres, kurang istirahat, dan
pengangkutan. Hal ini mengakibatkan kadar glikogen rendah sehingga asam laktat
yang terbentuk menjadi berkurang. Setelah enzim tidak aktif lagi dan persediaan
glikogen habis, bakteri tetap tumbuh terus. Bakteri pembusuk mengakibatka n
terbentuknya amoniak (NH3) yang merupakan salah satu hasil metabolis me
109
bakteri, dengan demikian pH naik karena amoniak bersifat basa. Bahwa semakin
tinggi nilai pH mengakibatkan kebusukan daging semakin cepat terjadi (Jensen,
1987). Pengukuran pH sangat penting karena dapat menentukan kerusakan
makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Dikatakan oleh Lawrie (2003)
bahwa daging postmortem memiliki pH ultimat normal sekitar 5,5 yang sesuai
dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk myofibril.
Pemeriksaan drip loss merupakan penyusutan bobot daging selama proses
penyimpanan karena adanya cairan yang keluar tanpa adanya aplikasi penekanan
dari luar. Nilai dari drip loss berbanding terbalik dari daya ikat air. Bila semakin
tinggi nilai drip loss maka makin kecil daya ikat air pada daging. Sedangkan
pemeriksaan cooking loss merupakan penyusutan bobot daging yang diakibatkan
proses pemanasan. Hasil dari pengujian drip loss yakni 11%, sedangkan pengujian
cooking loss yakni 38,2%. Menurut Samodra dan Cahyono (2010), tingginya nilai
susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, serabut otot, status kontraksi miofib r il,
ukuran dan bobot sampel, dan penampang lintang daging. Asam askorbat belum
berpengaruh secara nyata terhadap cooking loss daging diduga karena sifatnya
sebagai antioksidan tidak dapat mempengaruhi perubahan- perubahan kimiawi dan
fisis daging. Air yang keluar dari daging tidak dapat dicegah oleh asam askorbat.
Pengujian kesempurnaan pengeluaran darah pada sampel daging ayam
menunjukkan hasil sempurna. Hal ini ditandai dengan O2 mengoksidasi malachite
green dan membentuk warna biru. Pengujian selanjutnya yakni melakukan uji eber
dan uji postma yang bertujuan untuk pemeriksaan awal kebusukan daging. Hasil
dari pengujian pemeriksaan awal kebusukan daging didapatkan hasil yang
negative, hal ini menandakan bahwa daging tidak mengandung gas NH3 yang
merupakan indikator terjadinya awal pembusukan daging. Hasil negative ini
menunjukkan bahwa daging ayam yang diuji dalam kondisi segar dan tidak
mengalami pembusukan.
Uji mikrobiologi pada daging ayam yakni uji TPC, koliform, E. coli, dan
salmonella sp. Pada uji TPC ditemukan hasil 25x107, hal ini tergolong sangat tinggi
bila dibandingkan dengan batas normal cemaran mikroba menurut SNI 3924-2009
yakni 1x106. Pada uji koliform ditemukan hasil sebesar 1,027x104, hal ini tergolong
sangat tinggi karena batas normal menurut SNI 3924-2009 adalah 1x102. Tingginya
110
jumlah bakteri pada uji TPC dan koliform dapat disebabkan cara penyimpanan yang
salah, daging dibiarkan dalam kondisi terbuka pada suhu ruang, sehingga
memungkinkan kontamianasi yang terjadi sangat tinggi dan pertumbuhan bakteri
sangat cepat. Penjualan daging di pasar tradisional umumnya dilakukan dalam
keadaan terbuka (tanpa penutup). Daging disajikan di lokasi yang kurang terjamin
kebersihannya dan bersuhu udara tinggi (suhu kamar). Pada kondisi tersebut
mikroba patogen dapat tumbuh dengan subur. Menurut Soeparno (2009),
kontaminasi dapat berasal dari hewan produksi (peternakan) atau juga dari tenaga
itu sendiri sedangkan kontaminasi silang dapat terjadi bila makanan jadi yang
diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja atau alat pengolah
makanan selama proses persiapan yang sebelumnya telah terkontaminasi kuman
patogen. Hasil uji E. coli dan salmonella dinyatakan negative karena tidak
ditemukannya pertumbuhan bakteri pada media.
Uji residu antibiotik berfungsi untuk mengetahui sejauhmana kandungan
residu antibiotika dalam produk ternak. Residu antibiotika dalam pangan dapat
mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri,
alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk
pangan hewan diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiot ika
di peternakan (Dewi et al, 2014). Hasil dari pengujian residu antibiotik pada daging
ayam dinyatakan negative yang ditandai dengan tidak adanya zona bening (daerah
hambatan) minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram.
111
BAB V PENUTUPAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pengujian ini yakni sampel daging
ayam yang didapat dari pasar Dinoyo kurang sesuai dengan konsep aman, sehat,
utuh dan halal (ASUH), sehingga dapat dikatakan daging ayam kurang laya k
dikonsumsi oleh masyarakat dengan kriteria :
1. Daging ayam dinyatakan kurang aman dari cemaran mikrobiologi, namun
daging ayam masih dapat dikonsumsi dengan syarat konsumen mengola h
daging ayam hingga matang sebelum dikonsumsi sehingga meminimalis ir
bakteri yang terkandung pada ayam.
2. Daging ayam dinyatakan sehat karena memiliki komposisi sesuai dengan
standar minimum yang ditentukan.
3. Daging ayam dinyatakan utuh karena bebas dari pemalsuan.
5.2. Saran
Sebaiknya pada proses penjualan daging ayam tidak dilakukan pada ruang
terbuka sehingga kontaminasi bakteri dapat terminimalisir, serta diharapkan para
konsumen untuk mengolah daging ayam hingga matang sebelum dikonsumsi.
112
DAFTAR PUSTAKA
Cohen N, Ennaji H, Bouchrif B, Hassar M, Karib H. 2007. Comparative Study of
Microbiological Quality of Raw Poultry Meat at Various Seasons and
for Different Slaughtering Processes in Casablanca (Morocco). The
Journal of Applied Poultry Research 16(4):502-508.
doi:10.3382/japr.2006-00061
Jensen, Lloyd. 1987. Microbiology of Meats. Third Edition. The Garrard Press
Publishers. Illnois.
Samodra, E.P., H. Cahyono. 2010. Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Ongole
Dengan Pemberian Asam Askorbat Dan Penyimpanan Pada Suhu
50°C. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Mercu
Buana. Jogjakarta.
Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan kelima. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
113
LAMPIRAN 1. Dokumentasi Hasil Pengujian Daging Ayam
114
Uji Eber Uji H2S
115
LAMPIRAN 2. Perhitungan
1. Cooking loss
Berat daging sebelum dipanaskan (a) : 3,19 gr
Berat daging sesudah dipanaskan (b): 1,96 gr
𝑖−𝑖
Cooking loss(%) = 𝑖 100 %=3,19 −1,96 𝑖 100 %= 11%
𝑖 3,19
2. Drip loss
Berat daging sebelum didinginkan(a): 6,32 gr
Berat daging setelah didinginkan (b) : 5,57 gr
Karena terdapat jumlah koloni dari 25 – 250, maka jumlah koloni yang
digunakan adaalah Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni 25-250 SNI
2897:2008 (aturan 1).
Pengenceran 107 = 25 x 10 cfu/ml*
Jika tidak ditemukan Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni 25-250, dan
satu atau lebih Cawan Petri memiliki lebih dari 250 koloni, maka dipilih
Cawan Petri yang memiliki jumlah koloni yang mendekati 250. SNI
2897:2008. (aturan 4).
Pengenceran 101 = 1,027 x 104 cfu/ml*
116
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
LIA AULIA, S.KH
170130100011018
117
DAFTAR ISI
118
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ayam dan produk-produk perunggasan merupakan makanan sumber
protein hewani yang relatif murah dibandingkan dengan sumber protein hewani
lainnya, seperti misalnya daging kambing, sapi dan ikan. Nilai nutrisinya yang
tinggi dengan komponen protein sekitar 18 % dengan asam-asam amino yang
lengkap serta rasanya yang lezat mengakibatkan ayam menjadi idola dalam
pemilihan bahan makanan. Daging ayam pada umumnya memiliki sifat
yang mudah rusak sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk mempertaha nkan
nilai gizi. Usaha yang perlu dilakukan untuk mempertahankan mutu atau nilai
gizinya adalah pengolahan dan menciptakan variasi produk-produk baru (Permadi
et al, 2012).
Bidang teknologi pangan terus mengalami perkembangan dari tahun ke
tahun. Seiring dengan terus berkembangnya teknologi pangan, perubahan pola
konsumsi masyarakat pun terus terjadi. Masyarakat terutama di daerah perkotaan
lebih memilih mengkonsumsi produk – produk pangan yang bersifat ready to eat
dan ready to cook, dikarenakan tingginya tingkat mobilitas masyarakat setiap
harinya. Produk ready to eat merupakan produk pangan yang saat sampai di tangan
konsumen produk dapat langsung di konsumsi. Sementara produk ready to cook
merupakan produk pangan yang sudah mengalami proses pengolahan hingga
pengemasan sehingga saat produk tersebut sampai di tangan konsumen, produk siap
untuk dimasak contohnya adalah nugget ayam atau chicken nugget yang dapat
langsung digoreng lalu siap untuk di konsumsi (Wulandari et al, 2016). Chicken
nugget adalah salah satu produk dengan bahan baku daging ayam. Produk ini
berupa restructured meat dengan macam- macam produk sesuai keinginan, dipadu
dengan sedikit tepung kemudian diselimuti dengan tepung panir, sehingga rasanya
sangat diminati oleh berbagai kalangan. Industri- industri olahan daging selalu
memproduksi produk olahan dari daging ayam ini.
119
1.2 Rumusan Masalah
Apakah sampel nugget ayam sebagai pangan asal hewan yang diuji
dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut SNI 6683-2014?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sampel nugget ayam sebagai pangan asal hewan yang
diuji dinyatakan aman, sehat, dan utuh sehingga layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat berdasarkan batasan standar menurut SNI 6683-2014.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pengujian ini yaitu memberikan infor masi
kualitas fisik dan mikrobiologis kandungan nugget ayam, serta mengetahui apakah
kandungan yang didapatkan sesuai dengan SNI 6683-2014.
120
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nugget Ayam
Nugget adalah jenis olahan daging restrukturisasi yaitu daging yang digiling
dan di bumbui, kemudian diselimuti oleh perekat tepung, pelumuran tepung roti
(breading), dan di goreng setengah matang lalu dibekukan untuk mempertaha nkan
mutunya selama penyimpanan. Nugget ayam merupakan salah satu produk hasil
teknologi pengolahan daging yang memiliki nilai gizi baik serta harga yang
terjangkau bila dibandingkan dengan produk olahan daging sapi. Kandungan gizi
nugget ayam terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Protein yang
dimiliki berasal dari daging ayam yang terdiri dari asam amino yang cukup lengkap
(Wulandari et al, 2016). Menurut BSN (2002) nugget merupakan produk olahan
gilingan daging ayam yang dibuat dari campuran daging ayam dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain, kemudian dicetak, dimasak dan dibekukan dengan
penambahan bahan-bahan tertentu yang diijinkan. Menurut Wibowo (2001), pada
proses pembuatan nugget akan diberikan senyawa fosfat yang berfungsi dalam
pembentukan gel protein ayam dengan baik, sehingga membuat tekstur padat pada
nugget.
Standardisasi kualitas bahan pangan untuk nugget meliputi sifat fisik, kimia
dan organoleptik. Persyaratan untuk menguji kualitas bahan pangan menurut Badan
Standardisasi Nasional (2002) menggunakan uji kualitas kimia meliputi kadar
lemak, air, abu, protein dan karbohidrat. Uji kualitas organoleptik meliputi aroma,
rasa, dan tekstur. Badan Standardisasi Nasional (2002) pada SNI.01-6638-2002
mendefinisikan nugget ayam sebagai produk olahan ayam yang dicetak, dibuat dari
campuran daging ayam giling yang diberi bahan pelapis dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinka n.
Mutu chiken nugget diacu berdasarkan SNI 01-6683-2014 dapat dilihat pada Tabel
2.1.
121
Tabel 2.1. Mutu Chiken nugget berdasarkan SNI 6683-2014
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Nugget Daging Nugget Daging
Ayam Ayam Kombinasi
1 Keadaan
Bau - Normal Normal
Rasa - Normal Normal
Tekstur - Normal Normal
2 Benda Asing - Tidak ada Tidak ada
3 Kadar air % (b/b) Maks. 50 Maks. 60
4 Protein (N x 6,25) % (b/b) Min.12 Min.9
5 Lemak % (b/b) Maks.20 Maks.20
6 Karbohidrat % (b/b) Maks.20 Maks. 25
7 kalsium Mg/100g Maks 30/50* Maks. 50
8 Cemaran Logam
Cadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,1 Maks. 0,1
Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 1 Maks. 1
Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40 Maks. 40
Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03
9 Cemaran Arsen Mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5
10 Cemaran Mikroba
Total Plate Count Kologi/g Maks. 1x105 Maks. 1x105
(TPC)
Koliform APM/g Maks. 10 Maks. 10
E. coli APM/g <3 <3
Salmonella sp. - Negative/25 g Negative/25 g
Staphylococcus aureus Koloni/g Maks/ 1x102 Maks/ 1x102
Clostridium Koloni/g Maks/ 1x102 Maks/ 1x102
perfringers
Catatan * berlaku untuk naget ayam dengan penambahan keju atau susu
122
2.2 Proses Pembuatan Nugget Ayam
Pembuatan nugget mencakup lima tahap, yaitu penggilingan yang disertai
oleh pencampuran bumbu, es dan bahan tambahan, pengukusan dan pencetakan,
pelapisan perekat tepung dan pelumuran tepung roti, penggorengan awal (pre-
frying) dan pembekuan (Aswar, 2005). Ditingkat industri, bahan baku nugget
umumnya berupa daging ayam beku. Langkah pertama yang harus dikerjakan
adalah melakukan proses pelayuan daging (tempering), yaitu dengan cara
menaikkan suhu daging dari beku menjadi dingin (chill) di ruang dingin (chill
room). Daging yang telah dilayukan kemudian dicincang dengan alat penggiling
(mincer meat) dan diperkecil ukurannya (diperhalus) dengan meat cutter. Hancuran
daging selanjutnya dicampur dengan bumbu hingga diperoleh adonan yang
tercampur merata. Proses pencampuran tersebut dilakukan pada suhu rendah untuk
mempertahankan kualitas adonan (Winarno, 2002).
123
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET ini dilakukan mulai tanggal 19
November – 30 November 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya,
Malang.
124
Interpretasi: nugget ayam memiliki warna kuning, bau yang enak, dan
tekstur kenyal.
3.4.2 Pemeriksaan pH
125
3.4.4 Pemeriksaan Mikrobiologi
Alat dan Bahan : Sama dengan metode perhitungan jumlah total colifor m
dengan metode perhitungan Cawanakan tetapi media yang digunakan
adalah media violet red bile agar (VRBA).
Prosedur : Lakukan prosedur yang sama dengan metode hitungan Cawan
dengan metode tuang hingga pengencera 10-3. Tiga pengenceran terakhir 10-
1,10-2,10-3dengan cara memasukkan larutan 1 ml sampel dalam Cawan Petri
steril secara duplo. Tuang media VRBA cair steril sebanyak 15-20 ml ke
dalam Cawan PetriSetelah lapisan agar memadat maka Cawan Petri
diinkubasi 37ºC selama 18-24 jam. Hitung semua koloni yang berwarna
merah keunguan yang di kelilingi oleh zona merah (diameter koloni
umumnya 0,5 mm atau lebih). Cawan Petri yang digunakan dalam
perhitungan adalah memiliki koloni 30-100 (jika jumlah koloni lebih besar
dari 100, maka biasanya diameter koliform lebih kecil dari 0,5 mm). Cara
perhitungan selanjutnya dengan metode hitungan Cawan. Sebenarnya hasil
yang didapat adalah jumlah presumtif koloni per ml/ per gram.
Interpretasi : Jumlah koliform normal maksimum 1 x 102 cfu/g. Koloni
berwarna merah-ungu, dengan atau tanpa zona di sekitar koloni.
126
Cawan Petri diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah inkubasi
pada media EMBA.
Morfologi koloni E. coli : Koloni E. coli berwarna hijau metalik
127
larutan tercampur dengan rata. Ambil 1 strip curcumin paper dan celupkan
ke dalam larutan sampel.
Interpretasi: Sampel dinyatakan positif mengandung natrium tetraboraks
apabila dengan penambahan pereaksi kurkumin yang telah diasamkan
dengan asam klorida encer akan terbentuk warna merah.
128
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Sampel Nugget Ayam
Nugget ayam yang dijadikan sampel dalam pengujian yakni diperoleh dari
swayalan yang berada di kota Malang pada tanggal 18 November 2018.
129
Jenis Pengujian Standar Hasil Uji
Uji formalin Negatif Negatif
Uji boraks Negatif Negatif
4.2. Pembahasan
Pada hasil pengujian organoleptik nugget ayam terdiri dari bau, tekstur dan
rasa. Bau pada sampel memiliki bau khas yang normal, dan tekstur sampel terlihat
padat dan saat ditekan terasa empuk. Pengukuran pH pada pengujian ini
menggunakan pH meter dan pH indikator. Pengukuran dengan pH indikator sebesar
7 dan pH meter sebesar 7,3, hasil ini dapat dinyatakan normal karena berada di nilai
standar yang ditentukan oleh SNI 01-6683-2002 yakni kisaran 6,5 – 7,5. Pengujian
selanjutnya yakni mengukur kadar air yang terkandung pada nugget ayam, dan
ditemukan hasil sebesar 46,4%. Hasil kadar air ini dapat dinyatakan dalam kondisi
normal karena sesuai dengan standar SNI yakni sebesar 50%. Kadar air yang
terkandung pada nugget akan sangat mempengaruhi mutu nugget ayam yang
dihasilkan. Kadar air yang tinggi akan mengakibatkan mudahnya mikroba untuk
berkembangbiak (seperti bakteri, kapang dan khamir), sehingga berbagai
perubahan dapat terjadi pada produk nugget tersebut. Kadar air dalam bahan
makanan akan menentukan kesegaran dan daya awet makanan tersebut (Buckle et
al, 2009).
Uji mikrobiologis yang dilakukan pada pengujian nugget ayam terdiri dari
Total Plate Count (TPC), coliform, E. coli, dan salmonella sp. Pada uji TPC
menggunakan media PCA ditemukan hasil sebesar 7x103 CFU/gram. Hasil ini
melebihi batas normal dari SNI yakni 1x105 CFU/gram. Uji koliform didapatkan
hasil <3 APM/gram estimasi, hasil ini didapatkan dari uji LSTB yang memberika n
hasil positif pada keseluruhan pengenceran 101, 102, dan 103 dengan tiap
pengenceran di triple, sedangkan pada uji BGLBB ditemukan hasil negative pada
setiap pengenceran. Pada uji E. coli dan salmonella.sp ditemukan hasil negative
karena tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri pada media yang digunakan.
Uji yeast dan mold pada pengujian nugget ayam ditemukan hasil yang
negative karena tidak terlihat adanya pertumbuhan yeast dan mold pada media. Uji
yeast dan mold memiliki tempat penyimpanan yang berbeda, untuk yeast disimpan
di inkubator selama 5 hari dan mold disimpan di suhu ruang selama 3 hari. Bila
130
jamur yang tumbuh melebihi waktu yang ditentukan maka tidak tergolong jamur
yang pathogen, dan dapat disimpulkan jamur yang tumbuh bukan tumbuh karena
produk akan tetapi dari kondisi lingkungan.
Produk bahan pangan diharapkan oleh produsen menerapkan proses
produksi yang baik sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat dikonsums i
oleh masyarakat, akan tetapi masih banyak para produsen yang memberikan bahan-
bahan berbahaya untuk mendapatkan keuntungan dari hasil produksinya, seperti
pemberian formalin dan boraks. Pemberian formalin biasanya ditujukan untuk
memperpanjang masa penyimpanan pada produk, sedangkan pemberian boraks
dilakukan untuk mempengaruhi kondisi dari produk. Pada pengujian formalin
menggunakan metode Hehner dan uji boraks menggunakan kertas kunyit atau test
kit. Hasil pengujian formalin dan boraks pada sampel nugget ayam yakni hasil
negative, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk nugget ayam yang diuji aman
untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
131
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Hasil pengujian sampel nugget ayam yang diperoleh dinyatakan dalam
kondisi normal sehingga sesuai dengan konsep aman, sehat, utuh, dan halal
(ASUH), sehingga dapat dinyatakan layak untuk dikonsumsi masyarakat dengan
kriteria :
1. Nugget ayam dinyatakan aman dari cemaran fisik, kimiawi, dan
mikrobiologi, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
2. Nugget ayam dinyatakan sehat karena memiliki komposisi sesuai dengan
standar yang ditentukan.
5.2. Saran
Proses penyimpanan nugget ayam sebaiknya pada suhu freezer pendingin,
hal ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dari nugget ayam.
132
DAFTAR PUSTAKA
Aswar. 2005. Kandungan Gizi dan Palatabilitas Nugget Campuran Daging dan
Jantung Sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wibowo, S. 2001. Pembuatan Bakso Ikan dan Bkaso Daging. Jakarta: Penebar
Swadaya.
133
Lampiran 1. Dokumentasi hasil pengujian nuget
Uji Boraks
Uji TPC
134
Uji E.coli
Uji Koliform
135
Lampiran 2. Perhitungan
3. Perhitungan Kadar Air
a = 2,5750 gram ; b = 2,5245 gram
Kadar air = (a – b)/a x 100%
= (2,5750 – 2,5245/ 2,5750 x 100%
= 1,94%
4. Perhitungan Jumlah Total Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan
Ʃ koloni Pengenceran
Hasil Uji 10-3 10-4 10-5
Rata-rata 7 5 3
Hasil < 7x 103 cfu/g
Karena seluruh Cawan Petri memiliki jumlah koloni kurang dari 25 maka
dicatat jumlah dari tingkat pengenceran terkecil lalu dilaporkan sebagai
perkiraan cfu per gram/ml SNI 2897:2008 (aturan 5).
5. Identifikasi bakteri coliform
BGLBB 1 2 3
10-1 - - -
10-2 - - -
10-3 - - -
Hasilnya tidak pengenceran yang positif sehingga setelah dimasukan dalam
tabel perhitungan MPN hasilnya adalah < 3MPN/g
136