Kesmavet
Kesmavet
Kesmavet
DI DINAS
Oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
Menyetujui,
Mengetahui,
Koordinator Rotasi Kesmavet
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan PPDH rotasi Kesmavet, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Brawijaya meskipun dengan sistem daring selama pandemi covid-19 dari daerah
masing-masing.
Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam melaksanakan kegiatan koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner, diantaranya :
1. drh. Dyah Ayu Oktavianie A.P., M. Biotech selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya yang selalu memberikan dukungan tiada henti demi kemajuan FKH UB
tercinta.
2. drh. Ajeng Erika Prihastuti Haskito, M.Si selaku koordinator rotasi PPDH Kesmavet
3. drh. Widi Nugroho, PhD selaku dosen pembimbing rotasi
4. Kelompok 2 PPDH gelombang VIII yang selalu memberi dukungan dalam pelaksanaan rotasi
PPDH.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Penulis berharap semoga
laporan hasil koasistensi rotasi Kesehatan Masyarakat Veteriner dapat memberikan manfaat bagi
penulis maupun pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan , dapat memberikan manfaat serta
menambah pengetahuan tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pembaca. Akhir kata, penulis
mengucapkan banyak terima kasih dan mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan
laporan ini.
Malang, 13 November 2020
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3 1 Data populasi ayam ras pedaging dan kasus Salmonellosis di kabupaten asahan ............... 6
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2 1 Struktur organisasi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Asahan ............................. 4
vi
DAFTAR SINGKATAN
% persen
< kurang dari
> Lebih dari
ALOA Agar Listeria Ottaviani dan Agosti
APM Angka Paling Mungkin
BPW Buffer Pepton Water
CFU colony forming unit
EMBA Eosin Methylen Blue Agar
g gram
Kesmavet Kesehtan Masyarakat Veteriner
kg kilogram
mg miligram
ml mililiter
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
Permentan Peraturan Menteri Pertanian
pH potenz hydrogen
PPDH Pendidikan Profesi Dokter Hewan
RI Republik Indonesia
SNI Standar Nasional Indonesia
UB Universitas Brawijaya
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya, maka tujuan dari penulisan
ini ditujukan untuk:
a. Mengetahui pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan di bidang kesehatan hewan
dan kesehatan masyarakat veteriner.
b. Mengetahui pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan dalam surveilans dan
monitoring epidemiologi
1
1.4 Manfaat
Penulis berharapkan agar penulisan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan mengenai
pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan kedinasan dalam menegakkan kesehatan hewan,
kesehatan masyarakat veteriner, surveilans, dan monitoring epidemiologi.
2
BAB II METODOLOGI
3
Gambar 2 1 Struktur organisasi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Asahan
Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan
produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
Kesehatan Masyarakat Veteriner meliputi penjaminan higiene dan sanitasi, penjaminan produk
hewan, dan pengendalian dan penanggulangan zoonosis (Peraturan Pemerintah, 2012).
Pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan di bidang kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner meliputi: (Menteri Pertanian, 2012)
1) Pelayanan penyidikan dan pengujian veteriner
2) Pengujian kesehatan dan keamanan produk peternakan
3) Pengujian keamanan pakan ternak
4) Pengujian kesehatan semen dan embrio
5) Pelayanan kesehatan bibit ternak
6) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan
7) Pengamanan penyakit hewan
8) Pencegahan penyakit hewan
9) Pemeriksaan ante mortem dan post mortem
10) Pengendalian penanggulangan zoonosis
11) Penerapan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan
Pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan surveilans dan monitoring epidemiologi
dilakukan melalui kegiatan surveilans, penyidikan, pemeriksaan dan pengujian, peringatan dini, serta
pelaporan. Surveilans dilakukan melalui pengumpulan data mengenai:
1. Agen penyakit hewan, vektor, reservoir penyakit hewan
2. Induk semang, berupa identitas hewan dan data klinis
3. Faktor lingkungan yang mendukung munculnya penyakit hewan
4. Dampak penyakit hewan terhadap kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan hidup.
Pengumpulan data dilakukan paling sedikit melalui pengambilan sampel dan/atau spesimen
sesuai dengan target jenis penyakit hewan. Penyidikan penyakit hewan dilakukan jika hasil surveilans
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan, muncul, atau penyebaran kasus suatu penyakit
hewan di suatu wilayah serta jika ada laporan dugaan timbulnya wabah di suatu wilayah. Penyidikan
dilakukan paling sedikit melalui pengambilan sampel atau spesimen serta data pendukung, dengan
4
melakukan penelusuran asal usul, sumber, dan agen penyakit hewan dalam hubungan antara agen
penyakit hewan, induk semang, dan faktor lingkungan hidup. Pemeriksaan dan pengujian dilakukan
untuk meneguhkan diagnosis, mengidentifikasi agen penyakit hewan, bahan berbahaya, residu, dan
cemaran dalam rangka surveilans dan penyidikan (Pemerintah Republik Indonesia, 2014).
5
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Implementasi Tugas Pokok dan Fungsi Dokter Hewan di Bidang Kesehatan Hewan
Salmonellosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang hewan maupun manusia.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella spp. Yang merupakan bakteri berbentuk batang,
langsing, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan bersifat gram negatif (Muhammad Syibli et
al., 2014).
Salmonellosis pada unggas dapat menimbulkan tanda klinis berupa berkurangnya nafsu
makan unggas, tampak lesu, sayap terkulai, dan diare berwarna hijau kecoklatan. Namun terkadang
ada pula unggas terserang Salmonella yang meninggal tanpa sempat menunjukkan gejala terlebih
dahulu (Muhammad Syibli et al., 2014).
Dokter Hewan meaksanakan tugasnya di bidang kesehatan hewan sesuai dengan Permentan
Nomor 112 Tahun 2013 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Medik Veteriner
dan Angka Kreditnya yakni mulai dari pemeriksaan baik pemeriksaan langsung ke lapangan ataupun
pemeriksaan di laboratorium setelah mendapatkan sampel atau spesimen dari lapangan saat ada
pelaporan adanya penyakit; menetapkan pensucihamaan yang tepat; menentukan pemilihan dan
pelaksanaan vaksinasi; menentukan pemilihan dan peemberian pengobatan; serta menentukan
pemilihan dan pelaksanaan prosedur pemusnahan hewan (Menteri Pertanian, 2013).
Diagnosa salmonellosis dapat dilakukan dengan mengamati adanya tanda klinis penyakit,
dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi Salmonella secara bakteriologik atau pemeriksaan
serologis dengan Test Plate Aglutinantion menggunakan Whole Blood (Muhammad Syibli et al.,
2014).
3.2 Implementasi Tugas Pokok dan Fungsi Dokter Hewan di Bidang Kesehatan Masyarakat
Salmonellosis yang disebabkan oleh Salmonella spp merupakan salah satu penyakit zoonosis
terpenting dan ditularkan ke manusia melalui produk makanan mentah hewani termasuk daging
unggas. Salmonella enterica serovar Enteritidis dan Salmonella enterica serovar Typhimurium
adalah strain terpenting yang menginfeksi manusia yang dapat ditularkan melalui daging unggas
(Afshari et al., 2018).
Dokter Hewan meaksanakan tugasnya di bidang kesehatan hewan sesuai dengan Permentan
Nomor 112 Tahun 2013 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Medik Veteriner
dan Angka Kreditnya yakni pemeriksaan klinis sebelum pemotongan /antemortem, pemeriksaan
postmortem, pemeriksaan bedah bangkai/nekropsi pada hewan; pemeriksaan organoleptik, dan
pengujian laboratorium terhadap produk hewan; pemeriksaan kelayakan sarana prasarana seperti
lokasi, alat angkut kontainer, alat, bahan, ruangan, dan rancang bangunan; melaksanakan penerapan
dan pembinaan sistem manajemen mutu, serta pemeriksaan dan penerbitan dokumen penjaminan
produk hewan (Menteri Pertanian, 2013).
6
3 Aek Songsongan, 2858 200 7,0%
4 Air Batu, 0 0 0,0%
5 Air Joman, 0 0 0,0%
6 Bandar Pasir Mandoge, 49358 2000 4,1%
7 Bandar Pulau, 1465800 1000 0,1%
8 Buntu Pane, 160013 20000 12,5%
9 Kisaran, 0 0 0,0%
10 Kota Kisaran Barat, 0 0 0,0%
11 Kota Kisaran Timur, 1858070 50000 2,7%
12 Meranti, 773997 25000 3,2%
13 Pulau Rakyat, 13075 300 2,3%
14 Pulo Bandring, 0 0 0,0%
15 Rahuning, 0 0 0,0%
16 Rawang Panca Arga, 0 0 0,0%
17 Sei Dadap, 4431570 300000 6,8%
18 Sei Kepayang Barat, 74096 2000 2,7%
19 Sei Kepayang Timur, 33000 1000 3,0%
20 Sei Kepayang, 1500 5 0,3%
21 Setia Janji, 33943 500 1,5%
22 Silau Laut, 13654 500 3,7%
23 Simpang Empat, 0 0 0,0%
24 Tanjung Balai, 5000 300 6,0%
25 Teluk Dalam, 0 0 0,0%
26 Tinggi Raja, 0 0 0,0%
Salmonella dapat menimbulkan kerusakan pada saluran pencernaan serta dapat menembus
mukosa usus dan menyerang organ disekitarnya. Selain dapat mengurangi efisiensi pencernaan
sehingga mengurangi daya konversi pakan, kerusakan ini dapat berujung pada kematian. Ditambah
lagi daging yang tercemar Salmonella tidak memenuhi standar yang berlaku sehingga meskipun
hewan dapat bertahan hidup hingga pemotongan, daging yang didapat juga tidak boleh diedarkan.
Oleh karena itu dalam menghitung dampak penyakit kali ini diasumsikan bahwa hewan yang
terjangkit dianggap langsung dimusnahkan. Jika bobot ayam normal saat panen 2-2,5 kg
menghasilkan karkas sekitar 1,5kg sedangkan harganya Rp.30.000,00/kg maka perhitungan dampak
ekonomi secara sederhana dihitung seeperti berikut:
Kerugian = Jumlah ayam yang terjangkit x bobot karkas ayam secara umum x harga perkilogram
= 403925 ekor x 1,5kg/ekor x Rp.30.000,00/kg
= Rp.18.176.625.000,00
Melihat besarnya kerugian yang ditimbulkan maka diperlukan upaya pengendalian terhadap
kasus Salmonella untuk menekan kerugian tersebut. Namun upaya yang dilakukan tidak boleh
melebihi besarnnya kerugian karena upaya ini ditujukan untuk mengurangikerugian yang ditimbulkan
karena adanya kasus Salmonellosis pada ayam ras pedaging. Upaya penanggulangan bisa berupa
tindakan penerapan biosekuriti dan higiene dan sanitasi yang baik pada kandang, alat, dan pekerja.
7
Tindakan tersebut antara lain membatasi lalu lintas individu, hewan, kendaraan, dan alat yang
berlalu lalang di perkandangan yang berpotensi menularkan suatu penyakit; Desinfeksi rutin terhadap
individu, kandang, alat dan bahan yang digunakan; Memperketat kebersihan dan sanitasi area lokasi
peternakan; Mengisolasi ayam sakit yang terkena penyakit menular serta bahan tercemar yang tidak
dapat didesinfeksi agar tidak dibawa keluar komplek budi daya setelah penetapan diagnosa penyakit
oleh dokter hewan; Selalu membersihkan dan mencuci kandang baik kandang yang baru maupun
kandang setelah dikosongkan; dan melakukan prosedur pemusnahan bangkai ayam (Menteri
Pertanian, 2014).
Jika implementasi biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi adalah biaya pembelian
desinfekstan; antispetik untuk pekerja menggunakan desinfektan yang diencerkan; harga desinfektan
adalah Rp100.000,00 untuk 1L dan dapat diencerkan menjadi 300L; desinfektan yang dibutuhkan
untuk kandang berisi 3000 ekor adalah 1L saat masa kosong dan 1L lainnya untuk pembersihan rutin
alat dan pekerja selama satu masa panen yakni 1,5 bulan (30 hari panen dan 2 minggu masa kosong
kandang); dan ada 8 kali pemanenan dalam 1 tahun maka perhitungan biaya penamggulangannya
adalah:
Biaya = desinfektan x harga x pemanenan dalam setahun x populasi yang didesinfeksi
= 2L/3000ekor x Rp.100.000,00/L x 8 x 8945150
= Rp.4.770.746.667,00
Dengan melihat perhitungan biaya yang perlu dikeluarkan maka ditargetkan untuk tahun
depan maka ada penurunan kasus setidaknya sebesar 1% karena biaya yang diperlukan untuk
menanggulangi yakni Rp.4.770.746.667,00 setara dengan pendapatan yang didapat dari penjualan
karkas ayam sebeesar 1% populasi ayam yang ada di Kabupaten Asahan.
8
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan berupa:
a. Pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan di bidang kesehatan hewan meliputi
pemeriksaan baik pemeriksaan langsung ke lapangan ataupun pemeriksaan di laboratorium
setelah mendapatkan sampel atau spesimen dari lapangan saat ada pelaporan adanya penyakit;
menetapkan pensucihamaan yang tepat; menentukan pemilihan dan pelaksanaan vaksinasi;
menentukan pemilihan dan peemberian pengobatan; serta menentukan pemilihan dan
pelaksanaan prosedur pemusnahan hewan.
b. Pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan di bidang kesehatan masyarakat veteriner
meliputi yakni pemeriksaan klinis sebelum pemotongan /antemortem, pemeriksaan
postmortem, pemeriksaan bedah bangkai/nekropsi pada hewan; pemeriksaan organoleptik,
dan pengujian laboratorium terhadap produk hewan; pemeriksaan kelayakan sarana prasarana
seperti lokasi, alat angkut kontainer, alat, bahan, ruangan, dan rancang bangunan;
melaksanakan penerapan dan pembinaan sistem manajemen mutu, serta pemeriksaan dan
penerbitan dokumen penjaminan produk hewan.
c. Pelaksaanan tugas pokok dan fungsi dokter hewan surveilans dan monitoring epidemiologi
dilakukan melalui kegiatan surveilans, penyidikan, pemeriksaan dan pengujian, peringatan
dini, serta pelaporan.
4.2 Saran
Melihat banyaknya data yang disajikan berupa data yang imajiner dengan mengasumsikan
banyak hal maka penulis berharap agar pembaca tidak menyalahpahami data tersebut sebagai data
yang sebenarnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Afshari, A., Baratpour, A., Khanzade, S., & Jamshidi, A. (2018). Salmonella enteritidis and
Salmonella typhimorium identification in poultry carcasses. Iranian Journal of Microbiology,
10(1), 45–50.
Menteri Pertanian. (2012). Permentan Nomor 83 Tahun 2012 Pedoman Formasi Jabatan Fungsional
Medik Veteriner dan Paramedik Veteriner (Issue 83, pp. 5–21). Menteri Pertanian.
Menteri Pertanian. (2013). Permentan Nomor 112 Tahun 2013 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Medik Veteriner dan Angka Kreditnya (Issue 1234, pp. 5–170). Menteri
Pertanian.
Menteri Pertanian. (2014). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31 Tahun 2014. In PERMENTAN
(Vol. 3, Issue 2). http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/1268/1127
Muhammad Syibli, Pudjiatmoko, Nurtanto, S., Lubis, N., Syafrison, Yulianti, S., Kartika, D.,
Yohana, C. K., Setianingsih, E., Nurhidayah, Efendi, & Saudiah, E. (2014). Manual Penyakit
Hewan Mamalia. In Direktorat Kesehatan Hewan (2nd ed.). Kementerian Pertanian.
Peraturan Pemerintah. (2012). PP No. 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesehatan Hewan (pp. 31–47). Pemerintah Republik Indonesia.
10
LAMPIRAN
Lampiran 1 Bukti hasil uji plagiasi Turnitin
11
LAPORAN KEGIATAN ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
DI RUMAH POTONG HEWAN
Oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Oleh:
Menyetujui,
Mengetahui,
Koordinator Rotasi Kesmavet
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan PPDH rotasi Kesmavet, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Brawijaya meskipun dengan sistem daring selama pandemi covid-19 dari daerah
masing-masing.
Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam melaksanakan kegiatan koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner, diantaranya :
1. drh. Dyah Ayu Oktavianie A.P., M. Biotech selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya yang selalu memberikan dukungan tiada henti demi kemajuan FKH UB
tercinta.
2. drh. Ajeng Erika Prihastuti Haskito, M.Si selaku koordinator rotasi PPDH Kesmavet
3. drh. Widi Nugroho, PhD selaku dosen pembimbing rotasi
4. Kelompok 2 PPDH gelombang VIII yang selalu memberi dukungan dalam pelaksanaan rotasi
PPDH.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Penulis berharap semoga
laporan hasil koasistensi rotasi Kesehatan Masyarakat Veteriner dapat memberikan manfaat bagi
penulis maupun pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan , dapat memberikan manfaat serta
menambah pengetahuan tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pembaca. Akhir kata, penulis
mengucapkan banyak terima kasih dan mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan
laporan ini.
Malang, 13 November 2020
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR SINGKATAN
% persen
< kurang dari
> Lebih dari
ALOA Agar Listeria Ottaviani dan Agosti
APM Angka Paling Mungkin
BPW Buffer Pepton Water
CFU colony forming unit
EMBA Eosin Methylen Blue Agar
g gram
Kesmavet Kesehtan Masyarakat Veteriner
kg kilogram
mg miligram
ml mililiter
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
Permentan Peraturan Menteri Pertanian
pH potenz hydrogen
PPDH Pendidikan Profesi Dokter Hewan
RI Republik Indonesia
SNI Standar Nasional Indonesia
UB Universitas Brawijaya
vi
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya, maka tujuan dari penulisan ini
ditujukan untuk mengetahui peran dokter hewan dalam penerapan prinsip kesejahteraan hewan serta
pemeriksaan antemortem dan postmortem.
1
1.4 Manfaat
Penulis berharapkan agar penulisan ini dapat memberikan pengetahuan mengenai peran
dokter hewan dalam penerapan prinsip kesejahteraan hewan serta pemeriksaan antemortem dan
postmortem untuk menjamin kemanan dan kelayakan pangan untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
2
BAB II METODOLOGI
3
ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas/daging, kantor
administrasi dan kantor Dokter Hewan, kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat
penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas
pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator, rumah jaga,
dana sarana penanganan limbah (Menteri Pertanian, 2010).
Bangunan utama RPH harus dibagi menjadi daerah kotor dan daerah bersih yang terpisah
secara fisik. Daerah kotor tersebut meliputi area pemingsanan atau perebahan hewan, area
pemotongan dan area pengeluaran darah, area penyelesaian proses penyembelihan dan pemisahan,
ruang untuk jeroan hijau, ruang untuk jeroan merah, ruang untuk kepala dan kaki, ruang untuk kulit,
dan pengeluaran jeroan. Sedangkan daerah bersih merujuk pada tempat pemeriksaan post-mortem,
penimbangan karkas, pengeluaran karkas/daging (Menteri Pertanian, 2010).
Menurut Permentan Nomor 13 Tahun 2010, bangunan utama RPH harus memenuhi
persyaratan:
a. Tata ruang didisain sedemikian rupa agar searah dengan alur proses serta memiliki ruang yang
cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis, dan
besarnya ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan;
b. Adanya pemisahan ruangan yang jelas secara fisik antara “daerah bersih” dan “daerah kotor”;
c. Memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaan postmortem;
d. Lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai
intensitas cahaya 540 luks untuk area pemeriksaan post-mortem, dan 220 luks untuk area
pengerjaan proses pemotongan;
e. Dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter terbuat dari bahan
kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
f. Dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai
tempat untuk meletakkan barang;
g. Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi dan landai ke arah saluran pembuangan;
h. Permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang, jika lantai
terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus
ditutup dengan bahan kedap air;
i. Lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi dengan penyaring;
j. Sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar
75 mm;
k. Sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar
25 mm;
l. Di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat tertampung;
m. Langit-langit didisain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan,
harus berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat,
mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau celah terbuka pada langit-langit;
n. Ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya
serangga atau dengan menggunakan metode pencegahan serangga lainnya;
o. Konstruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah tikus atau
rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam bangunan;
p. Pertukaran udara dalam bangunan harus baik;
q. Kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, dibuat
dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan dan
4
didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat
masuk;
r. Kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan
dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
Fasilitas pemusnahan bangkai / produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator harus
memenuhi persyaratan paling kurang dibangun dekat dengan kandang isolasi, dapat memusnahkan
bangkai / produk yang tidak dapat dimanfaatkan secara efektif tanpa menimbulkan pencemaran
lingkungan, dan didisain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta memenuhi persyaratan
kesehatan lingkungan. Sedangkan Sarana penanganan limbah harus memenuhi persyaratan berupa
memiliki kapasitas sesuai dengan volume limbah yang dihasilkan, didisain agar mudah diawasi,
mudah dirawat, tidak menimbulkan bau dan memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan, serta
sesuai dengan rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dari Dinas yang membidangi
fungsi kesehatan lingkungan.
Dalam rangka menjamin karkas, daging, dan jeroan yang diedarkan dari RPH memenuhi
kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan pengawasan kesehatan masyarakat
veteriner oleh Dokter Hewan Berwenang atau Dokter Hewan Penanggung Jawab Perusahaan yang
disupervisi oleh Dokter Hewan Berwenang. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan
yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia. Kesehatan masyarakat veteriner meliputi penjaminan higiene dan
sanitasi, penjaminan produk hewan, dan pengendalian dan penanggulangan zoonosis (Peraturan
Pemerintah, 2012).
Pelaksanaan Kesmavet meliputi penerapan kesehatan hewan di RPH, pemeriksaan kesehatan
hewan sebelum disembelih, pemeriksaan kesempurnaan proses pemingsanan, pemeriksaan kesehatan
jeroan dan/atau karkas, dan pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses
produksi. Kesejahteraan hewan merujuk pada segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik
dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk
melindungi hewan dari perlakuan yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
Kesejahteraan hewan diterapkan terhadap setiap jenis hewan yang kelangsungan hidupnya tergantung
pada manusia yang meliputi hewan yang dapat merasa sakit (Peraturan Pemerintah, 2012).
Kesejahteraan hewan dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan Hewan yang
meliputi bebas:
a. dari rasa lapar dan haus;
b. dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;
c. dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan;
d. dari rasa takut dan tertekan; dan untuk mengekspresikan perilaku alaminya.
Artinya dalam penanganan, penempatan, pengandangan pemeliharaan, pengangkutan, dan
pemotongan maupun pembunuhan harus dilakukan dengan cara, sarana, dan peralatan yang
seminimal mungkin menyakiti, melukai, atau mengakibatkan stres bagi hewan. Pengandangan
menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan gerak leluasa, yang melindungi Hewan dari
predator dan hewan pengganggu, yang melindungi dari panas matahari dan hujan, dan menyediakan
pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis hewan. Pemotongan dilakukan dengan
prinsip mengakhiri penderitaan sesegera mungkin dan memastikan hewan benar benar mati sevelum
dilanjutkan proses berikutnya.
Pemeriksaan ante-mortem merupakan pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum
disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pemeriksaan antemortem meliputi
pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan
mencari informasi dari orang yang merawat hewan tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik,
hewan yang sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan
5
sehat nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak bias berjalan
menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancer tanpa menunjukkan
gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Ilman et al., 2014).
Pemeriksaan post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah
disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Setelah hewan dipotong (disembelih)
dilakukan pemeriksaan postmortem dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas
sehat tampak kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang sering
dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair. Paru-paru, paru-paru sehat berwarna
pink, jika diremas terasa empuk dan teraba gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain,
tidak bengkak dengan kondisi tepitepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil pada paru-
paru atau terlihat adanya benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman
tubercollosis. Jantung, ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa ada bercak-
bercak perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya (Ilman et al., 2014).
6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Penerapan Tugas Pokok dan Fungsi Dokter Hewan di Penerapan Kesejahteraan Hewan
Kesejahteraan hewan dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan Hewan yang
meliputi bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit, bebas dari
ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan, serta bebas dari rasa takut dan tertekan; dan
untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Penerapan kesejahteraan hewan pada RPH berupa adanya
area penurunan hewan yang dilengkapi fasilitas penurunan ternak dengan ketinggian fasiltas
menyesuaikan tinggi kendaraanangkut. Penanganan, penempatan, pengandangan pemeliharaan,
pengangkutan, dan pemotongan maupun pembunuhan harus dilakukan dengan cara, sarana, dan
peralatan yang seminimal mungkin menyakiti, melukai, atau mengakibatkan stres bagi hewan.
Pengandangan menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan gerak leluasa, yang
melindungi hewan dari predator dan hewan pengganggu, yang melindungi dari panas matahari dan
hujan, dan menyediakan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis hewan (Rohyati
et al., 2017). Pemotongan dilakukan dengan prinsip mengakhiri penderitaan sesegera mungkin dan
memastikan hewan benar benar mati sevelum dilanjutkan proses berikutnya (Peraturan Pemerintah,
2012).
3.2 Penerapan Tugas Pokok dan Fungsi Dokter Hewan di Pemeriksaan Antemortem
Pemeriksaan ante-mortem merupakan pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum
disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pemeriksaan Fisik dilakukan
pemeriksaan terhadap suhu tubuh (temperatur), menggunakan termometer badan (digital atau air
raksa), suhu tubuh normal sapi berkisar antara 38,5°C – 39,2°C. Bola mata bersih, bening, dan cerah.
Kelopak mata bagian dalam (conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan
yang biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih sehingga mata tertutup, kelopak mata
bengkak, warna merah, kekuningan (icterus) atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian
luar bersih, mulus, dan agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lender rongga mulut
warnanya merata kemerahan (pink), tidak ada luka. Air liur cukup membasahi rongga mulut. Lidah
warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat bergerak bebas. Adanya keropengdi bagian bibir,
air liur berlebih atau perubahan warna selaput lendir (merah, kekuningan atau pucat) menunjukkan
hewan sakit. Hidung, Tampak luar agak lembab cenderung basah. Tidak ada luka, kotoran, leleran
atau sumbatan. Pencet bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung.
Cairan hidung bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan
bulu, bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan keropeng. Bulu kusam
tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang sehat. Kelenjar getah bening, kelenjar
getah bening yang mudah diamati adalah yang berada di daerah bawah telinga, daerah ketiak dan
selangkangan kiri dan kanan. Apabila ada peradangan kemudian membengkak tanpa diraba akan
terlihat jelas pembesaran di daerah dimana kelenjar getah bening berada. Daerah anus, bersih tanpa
ada kotoran, darah dan luka. Apabila hewan diare, kotoran akan menempel pada daerah sekitar anus.
Salah satu sapi yang diangkut mengalami fraktur karena hewan panik saat diturunkan
sehingga hewan melompat dan mengalami cedera patah tulang. Dikarenakan hewan mengalami
kesakitan, maka sesuai PP Nomor 95 Tahun 2010 dilakukan pemotongan darurat setelah pemeriksaan
antemortem tidak menemukan adanya gejala penyakit lain. Pemotongan darurat ini dilaksanan untuk
mengakhiri penderitaan hewan sesegera mungkin (Peraturan Pemerintah, 2012).
3.3 Penerapan Tugas Pokok dan Fungsi Dokter Hewan di Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah
disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Dilakukan pemeriksaan secara teliti
7
terhadap karkas, paru-paru, jantung, hati, limpa, ginjal, usus dan, lambung (Ilman et al., 2014).
Pemeriksaan kepala dan lidah yang dilakukan secara lengkap dengan cara melihat, meraba dan
menyayat seperlunya otot-otot pengunyah (Musculus masseter) serta kelenjar-kelenjar sub-
maxillaris, mandibularis, parotidea, retropharyngeal dan tonsil. Pemeriksaan alat genitalia dan
ambing dilakukan bila ada penyakit yang dicurigai. Pemeriksaan karkas dilakukan dengan melihat,
meraba dan menyayat seperlunya kelenjar prescapularis, prefemoralis, inguinalis superficialis /
supramamaria, axillaris, iliaca dan poplitea (Swacita, 2017).
Pemeriksaan postmortem tidak menemui adanya anomali pada hewan yang diperiksa selain
adanya fraktur. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 413/Kpts/Tn. 310/7/1992
yakni daging berasal dari hewan potong yang menderita penyakit arthritis, hernia, fraktura, abces,
epithelimia, actinomycosis, actinobacillosis dan mastitis serta penyakit lain bersifat lokal setelah
bagian-bagian yang tidak layak untuk konsumsi manusia dibuang (diapkir) dinyatakan sehat dan
aman untuk dikonsumsi manusia, maka daging pada kasus ini dapatb diedarkan setlah dibuang bagian
yang tidak layak untuk dikonsumsi manusia (Menteri Pertanian, 1992).
8
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan berupa:
a. Peran dokter hewan dalam penerapan prinsip kesejahteraan hewan ialah memastikan
penanganan, penempatan, pengandangan pemeliharaan, pengangkutan, dan pemotongan
maupun pembunuhan harus dilakukan dengan cara, sarana, dan peralatan yang seminimal
mungkin menyakiti, melukai, atau mengakibatkan stres bagi hewan. Pengandangan
menggunakan kandang yang bersih dan memungkinkan gerak leluasa, yang melindungi
Hewan dari predator dan hewan pengganggu, yang melindungi dari panas matahari dan hujan,
dan menyediakan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis hewan.
Pemotongan dilakukan dengan prinsip mengakhiri penderitaan sesegera mungkin dan
memastikan hewan benar benar mati sevelum dilanjutkan proses berikutnya.
b. Peran dokter hewan dalam pemeriksaan antemortem dan postmortem adalah melaksanakan
atau mengawasi pemeriksaan yang dilakukan dan menetapkan keputusan yang didasarkan dari
hasil pemeriksaan yang didapat.
4.2 Saran
Melihat banyaknya banyaknya kasus yang dapat terjadi di Rumah Potong Hewan, penulis
menyarankan agar pembaca dapat terus menambah informasi dari sumber lain karena keterbatasan
dari informasi yang tercantum dalam penulisan ini.
9
DAFTAR PUSTAKA
Ilman, A., Fauzi, C. S. D., & Lesmana, M. I. (2014). Pemeriksaan Ante Mortem Pemeriksaan,
Pemeriksaan Post Mortem Setelah, Syarat Lokasi dan Bangunan RPH dan RPU a. Universitas
Syiah Kuala.
Menteri Pertanian. (1992). Surat keputusan menteri pertanian Nomor : 413/Kpts/Tn. 310/7/1992
(Issue 413, pp. 9–11). Menteri Pertanian.
Menteri Pertanian. (2010). Permentan 13 Tahun 2010 tentang Rumah Potong Hewan dan Unit
Penanganan Daging (Issue 13). Menteri Pertanian.
Peraturan Pemerintah. (2012). PP No. 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesehatan Hewan (pp. 31–47). Pemerintah Republik Indonesia.
Rohyati, E., Ndoen, B., & Penu, C. L. (2017). Kajian Kelayakan Operasional Rumah Pemotongan
Hewan ( Rph ) Oeba Pemerintah Kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Partner, 2, 162–171.
Swacita, I. B. N. (2017). Pemeriksaan kesehatan ternak setelah dipotong. Universitas Udayana.
10
LAMPIRAN
11