LP Fraktur Pelvis
LP Fraktur Pelvis
LP Fraktur Pelvis
A. DEFINISI
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat berbentuk
transversa, oblik, atau spiral. Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)
Fraktur pelvis secara potensial merupakan cidera yang paling berbahaya,
karena dapat menimbulkan perdarahan eksanguinasi. Sumber perdarahan biasanya
pleksus vascular yang melekat pada dinding pelvis, tetapi dapat juga dari cidera
pembuluh darah iliaka, iliolumbal, atau femoral. Bila terdapat tanda – tanda renjatan
hipovolemik, maka harus dilakukan transfuse darah dini. Selain itu, pasien dapat juga
diberikan aplikasipakaian antirenjatan pneumatik. Reduksi dari fraktur yang tidak
stabil juga dapat mengurangi perdarahan. Pada fraktur pelvis, fraktur dimana
perdarahan paling sering terjadi adalah sacrum atau ilium, ramus pubis bilateral,
separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikulasio sakroiliaka. Michael
Eliastam et al. (1998 : 220)
B. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri
2. Kehilangan fungsi
3. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak
4. Perubahan warna dan memar
5. Krepitasi
C. PATHOFISIOLOGI
Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras akibat
kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi patah dan
fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi diskontinuitas di tulang tersebut.
Pada fraktur tibia dan fibula lebih sering terjadi dibanding fraktur batang tulang
panjang lainnya karena periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah
depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan karena berada
langsung di bawah kulit maka sering ditemukan adanya fraktur terbuka.
D. PENYEBAB
Fraktur tersering disebabkan karena tekanan yang kuat yang diberikan pada tulang
normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya
osteoporosis. Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)
E. PATHWAY
Kondisi patologis
Tidak mampu meredam
energy yang terlalu besar
Tulang rapuh
fraktur
Tidak mampu
menahan berat badan
Pergeseran fragmen
tulang
Merusak jaringan
sekitar Prosedur
pembedahan
Menembus Pelepasan mediator deformitas Kurang
kulit inflamasi terpapar
informasi
Gangguan
mengenai
luka vasodilatasi fungsi
prosedur
pembedah
Peningkatan aliran Hambata an
Kerusakan
integritas darah n
jaringan mobilitas
fisik Ancaman
Peningkatan kematian
Kerusakan permeabilitas Trauma arteri/
pertahanan primer kalpiler vena
Krisis situasional
oedema
Kehilangan perdarahan
Resiko syok sepsis
volume
Menekan pembuluh cairan
Pelepasan mediator
darah perifer Tidak terkontrol
nyeri (histamine,
prostaglandin, Resiko syok
bradikinin, Inefektif perfusi hipovolemik Kehilangan
serotonin, dll) jaringan perifer cairan
Prosedur
transport
apneu Ganggua
n sensorik
Resiko cidera
persepsi
Pemasangan
endotrakeal
disorientasi
Gangguan
ventilasi Resiko
spontan cidera
akibat
posisi
perioperatif
F. KOMPLIKASI
Komplikasi cidera traktus urinarius kira – kira 10% pada fraktur pelvis. Biasanya
terdapat hematuria. Kemudian, cidera uretra pada laki – laki biasanya terjadi pada
tingkat pars prostatika apeks. Darah dapat terlihat pada meatus urethtra. Fraktur pubis
dapat teraba pada pemeriksaan rectal dan prostat dapat mengalami disposisi ke
superior dan dikelilingi oleh suatu hematoma yang empuk. Insersi dari kateter uretra
pada pasien – pasien dengan fraktur pubis ini dengan perdarahan meatus merupakan
indikasi kontra. Diagnosis harus ditegakkan dengan uretrografi retrograde dan suatu
kateter sistotomi suprapubik dipasang jika perlu drainase kandung kemih.
Michael Eliastam et al. (1998 : 220)
1. Dini
a. Kehilangan darah
Pada fraktur pelvis, ekstremitas, vertebra, dan femur, dapat terjadi shock
hipovolemi yang diawali dengan perdarahan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak. Sementara syok hipovolemi itu sendiri merupakan
kondisi darurat dimana terjadi perdarahan parah dan hilangnya cairan yang
membuat jantung tidak mampu memompa cukup darah ke tubuh. Syok ini,
dapat memyebabkan banyak organ berhenti bekerja.
b. Infeksi
Infeksi yang terjadi pada fraktur terbuka biasanya dapat terjadi kontaminasi
infeksi dan terapi antibiotik
c. Emboli paru
d. DVT dan emboli paru
e. Gagal ginjal
f. Sindrom kompartemen
2. Lanjut
a. Non – union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini
disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis.
b. Delayed union
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan yaitu
biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi.
Diatraksi atau tarikan bagian fragmen tulang.
c. Mal union
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk)
d. Pertumbuhan terhambat
e. Arthritis
f. Distrofi simpatik (refleks) pascatrauma
Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada korteks tulang)
2. Tomografi, CT scan, MRI (jarang)
3. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotop. (Scan tulang terutama berguna
ketika radiografi/ CT scan memberikan hasil negative pada kecurigaan fraktur
secara klinis)
Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)
H. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi secara sekunder, dari pembengkakan
jaringan, nyeri)
b. Sirkulasi
Gejala : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah)
c. Neurosensori
Gejala : Hilang gerak/sensasi,spasme otot Kebas/kesemutan (parestesis)
Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal, pemendakan,ratotasi,krepitasi
(bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi).
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera ( mungkin
terlokalisasi pada arah jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada
imobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
e. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Lingkungan cidera
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : femur 7-8 hari,
panggul/pelvis 6-7 hari, lain-lainya 4 hari bila memerlukan perawatan dirumah
sakit.
Doengoes, ME (2000) dalam Daryadi, Muhammad (2011)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d. pergeseran fragmen tulang sekunder fraktur
b. Hambatan mobilitas fisik b.d. deformitas sekunder kerusakan rangka tulang
c. Resiko syok sepsis b.d. infeksi sekunder pemasangan alat fiksasi invasive
d. Ansietas b.d. stress, ancaman kematian
e. Defisit perawatan diri b.d. gangguan mobilitas fisik
3. Perencanaan (NCP)
a. Nyeri akut b.d. pergeseran fragmen tulang sekunder fraktur
Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam diharapkan
nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dan
mencari bantuan)
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan manajemen nyeri
3) Mampu mengenali nyeri (skala intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Rencana Tindakan dan Rasional :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
4) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
5) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, dan kebisingan
6) Kurangi faktor presipitasi nyeri
7) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi, dan
interpersonal)
8) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
9) Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi
10) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
11) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
12) Tingkatkan istirahat
13) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Syok prevention :
1) Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR,
dan ritme, nadi perifer, dan kapiler refill
2) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
3) Monitor suhu dan pernafasan
4) Monitor input dan output
5) Pantau nilai laborat :HB, HT, AGD, dan elektrolit
6) Monitor hemodinamik invasi yang sesuai
7) Monitor tanda dan gejala asites
8) Monitor tanda awal syok
9) Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan
preload (tenaga yang menyebabkan otot ventrikel meregang sebelum
mengalami eksitasi dan kontriksi) dengan tepat
d. Ansietas b.d. stress, ancaman kematian
Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan kecemasan pasien berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
2) Mengidentifikasi, mengungkapkan, dan menunjukkan tekhnik untuk
mengontrol cemas
3) Vital sign dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg – 140/85 mmHg, RR :
18 – 20 x/menit, HR : 80 – 100 x/menit, suhu : 36,5 – 37,5oC)
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan)
Rencana Tindakan dan Rasional :
1) Gunakan pendekatan yang menenangkan
2) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dilakukan selama prosedur
3) Pahami perspekstif pasien terhadap situasi stress
4) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
5) Dengarkan dengan penuh perhatian
6) Identifikasi tingkat kecemasan
7) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
8) Dorong pasien mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
9) Instruksikan pasien menggunakan tekhnik relaksasi
10) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi pasien disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma (2015 : 239 – 346)
I. LAMPIRAN
1. Gambar
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH:
YULISTIYONO, S.Kep
NIM: 4012190045
2019