Tugas Sir Juniarko Ok

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Nama :VICTORY BARUARA TAMBUNAN

Fakultas : D3 KEPERAWATAN

GANGGUAN EKSIBISIONISME
Hati-hati si Pamer ada disekitarmu (EKSIBISIONISME)

Pernahkah kalian sedang berada dalam tempat keramaian dan alat transportasi umum tiba-tiba
menemukan seseorang sedang memamerkan alat kelaminnya? Hati-hati mungkin kalian sedang melihat
orang tersebut mengalami gangguan eksibisionisme, lalu Apa yang dimaskud dengan gangguan
eksibisionimse ?

Apakah Gangguan Eksibisionisme itu ?

Eksibisionisme merupakan asal kata dari Exhibit yaitu memamerkan atau menunjukan. Sehingga
Eksibisionisme sendiri adalah perilaku yang selalu memamerkan hal yang biasanya tertutup di khalayak
umum. Misalnya : Payudara, Alat Kelamin, atau Pantat. Sehingga hal tersebut dapat memicu dan
mengundang hasrat orang – orang dari sekelilingnya.

Gangguan Eksibisionisme merupakan penyakit kesehatan mental yang berpusat mengekspos alat
kelamin seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual. Biasanya orang yang menderita Gangguan
Eksibisionisme menunjukan Kemaluan nya kepada orang asing yang tidak dikenal dan tidak memiliki
kecurigaan sama sekali, khususnya kepada kaum ibu-ibu dan anak –anak.

Yang paling sering melakukan perilaku memamerkan adalah laki-laki karena sering menununjukan organ
seksual nya kepada wanita, anak-anak dan sebagian besar kepada anak gadis. Tindakan yang
memamerkan alat kelamin biasanya disertai dengan gerakan sugesti dan memunculkan kepuasan
tersendiri. Seorang eksibisionis merasa mendapatkan kenikmatan seksual ketika ia menunjukkan alat
kelaminnya di depan orang lain kemudian orang lain menunjukkan reaksi kaget ataupun takut terhadap
kejadian tersebut.

Istilah eksibisionisme diciptakan oleh dokter Perancis yaitu Charles Lasegue tahun 1877 label diagnostik
untuk pria yang menyinggung tingkah laku yang berulang dan disengaja yaitu menampilkan alat vital
mereka ke publik ( khususnya kepada Perempuan dan anak-anak ).Gambaran Gangguan Eksibisionisme

Gangguan eksibisionisme ini biasanya berawal sejak usia remaja setelah pubertas. Dorongan untuk
memamerkan alat kelaminnya sangat kuat dan hampir tidak dapat dikendalikan oleh pada penderitanya,
terutama ketika mereka mengalami kecemasan dan gairah seksual.

Pada saat memamerkan alat kelaminnya, individu dengan gangguan eksibisionisme (eksibisionis) tidak
mempedulikan konsekuensi sosial dan hukum dari tindakannya. Dalam beberapa kasus tindakan
eksibisionis ini juga diikuti dengan tindakan masturbasi saat melihat ekspresi dari korban yang
merupakan kepuasan seksual bagi pelaku tersebut. Karena banyaknya korban yang merasa
dirugikan/dilecehkan dan mengalami trauma atas tindakan eksibisionis, tindakan ini sering dikategorikan
sebagai sebuah kejahatan seksual dan kemudian dikategorikan dalam sebagai pelanggaran hukum
pidana. Orang dengan gangguan eksibisionisme mengalami perasaan tertekan atau distress atas
gangguannya tersebut, dan hal ini bukan sekedar berasal dari perasaan tertekan karena melakukan
pelanggaran norma sosial-budaya.

Kriteria Gangguan eksibisionis dalam DSM V adalah:

Berulang, intens, dan terjadi selama 6 bulan, fantasi, dorongan, perilaku yang menimbulkan gairah
seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang lain yang tidak dikenalnya.
Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi
menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah interpersonal.

Etiologi gangguan eksibisionisme merupakan bagian dari sindrom Parafilia bisa dilihat dari berbagai
perspektif, yakni :

1. Perspektif Psikodinamika

Parafilia dipandang sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan
memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pra-genital (masa kanak-kanak) dalam
perkembangan psikoseksualnya. Orang yang mengidap parafilia dipandang sebagai orang yang tidak
mampu membangun atau mempertahankan hubungan heteroseksual yang wajar. Perkembangan sosial
dan seksual tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalani hubungan
sosial dan hetereoseksual . Contohnya: seseorang yang mengalami eksibisionis meyakinkan diri sendiri
tentang ke maskulinitasnya (laki-laki ) dan menunjukan ke laki-lakian nya ( alat kelamin) kepada orang
lain ( perempuan, baik anak-anak atau dewasa).

2. Perspektif Behavioral dan Kognitif

Dari perspektif ini, parafilia disebabkan karena proses belajar, yaitu melalui pengkondisian yang secara
tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai
stimuli yang tidak tepat untuk munculnya suatu perilaku seksual.( Kinsey, Pomeroy, & Martin ,
1948;Kinsey dkk., 1953).

riwayat masa kanak-kanak individu yang mengidap parafilia sebagai korban pelecehan seksual dan
pelecehan fisik. Pada masa dewasa, ia akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi menjadi seorang
pelaku penyimpangan seksual.

3. Perspektif Biologis

Sebagian besar pengidap parafilia adalah laki-laki. Jadi, ada spekulasi bahwa androgen, hormon utama
yang dimiliki laki-laki berperan dalam gangguan ini. Mungkin terdapat suatu kesalahan dalam
perkembangan janin. Namun demikian, penelitian empiris belum menemukan bukti konklusif mengenai
perbedaan hormonal antara orang normal dengan pengidap parafilia. Lalu berkaitan dengan
perkembangan dalam otak, disfungsi pada lobus temporalis diketahui dapat mempengaruhi secara
signifikan atas munculnya perilaku seks menyimpang, terutama kasus sadisme dan eksibisionisme.
Meskipun demikian, pemahaman bahwa faktor biologis berperan penting sebagai penyebab dari
parafilia perlu ditinjau ulang. Faktor ini hanya merupakan salah satu dari rangkaian penyebab kompleks
yang mencakup pengalaman sebagai salah satu faktor utama.

Konsep sosiokultural

Adanya hubungan antara faktor budaya terhadap perilaku seseorang. Budaya dan lingkungan
memainkan penting dalam pembentukan perilaki seseorang. Termasuk perilaku seksual. Individu y6ang
mengalami penyimpangan seksual eksibisionisme cenderung memiliki masalah atau konflik seksual
dimasa lalu seperti, kekerasan seksual. Permasalahan-permasalahan di masa lalu yang belum
terselesaikan tersebutlah yang menjadi biological/sexual drive bagi individu untuk melakukan
penyimpangan. Dalam fase ini, individu tersebut sudah tidak lagi mampu untuk mengontrol dirinya
untuk tidak melakukan hal-hal tersebut.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk pencegahan ketika menemukan teman,saudara atau orang yang
disekitar kita yang mengalami gangguan eksibisionis?

Prevensi Primer

Yang lebih di pentingkan dalam pencegahan yaitu faktor kognitif nya sebisa mungkin kita terhindar hal-
hal yang sifatnya menuju ke penyimpangan seksual, melakukan aktifitas yang positif dan mengetahui
ciri-ciri aktivitas yang menimbulkan gangguan.

Prevensi Sekunder

Walaupun secara umum kasus penyimpangan seksual cenderung negatif dan sulit merubah
penyimpangan usaha deteksi dini tersebut untuk mencegah kambuhnya perilaku seksual yaitu
meluruskan distrorsi keyakinan dan merubah sikap yang tidak benar dengan berbagai upaya salah
satunya dengan berkonsultasi dengan psikolog untuk meningkatkan empati mereka terhadap
korbannya, manajemen kemarahan, berbagai teknik untuk meningkatkan harga diri.

Prevensi Tersier

Dalam hal ini dimaksudkan untuk pencegahan dalam jangka panjang individu dengan gangguan
eksibisionisme diajarkan pendekatan coping dalam mengelola hasrat seksualnya yang mendesaknya
untuk menampilkan alat kelaminnya ke orang lain. Dalam psikoterapi, individu diajak memetakan
bagaimana emosi, pikiran dan distorsi kognitifnya dapat mengakibatkan dirinya melakukan perilaku seks
menyimpang, serta bagaimana cara menghentikan alur proses yang menyimpang tersebut. Dalam
psikoterapi individual, individu dengan gangguan eksibisionistik juga dapat diajarkan untuk mematahkan
distorsi kognitif yang selama ini mereka gunakan sebagai pembenaran perilaku penyimpangan mereka.
Mereka juga dapat diajak untuk belajar keahlian sosial, terutama dalam menjalin relasi sosial dan relasi
intim dengan lawan jenis secara sehat.

Anda mungkin juga menyukai