Para Filia

Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Parafilia, Penyimpangan Perilaku Seks

ADANYA kejanggalan di luar yang lazim dianggap sebagai kelainan. Begitu pula
perilaku seksual, banyak di lingkungan seputar kita dapat dijumpai penderita parafilia
(kelainan psikoseksual) yang disebut voyeurism, pengidap gangguan psikoseksual.
Kebanyakan mereka adalah kaum laki-laki yang menyukai kegiatan seksual tidak lazim,
mulai dari mengintip, memamerkan alat kelamin sampai mengenakan pakaian wanita.
Dalam dunia kedokteran, voyeurism dikenal dengan istilah skopofilia, yakni adanya
dorongan yang tidak terkendali untuk secara diam-diam melihat atau mengintip wanita
yang sedang telanjang, melakukan kegiatan seksual, melepaskan pakaian wanita.

Mengintip menjadi cara eksklusif untuk mendapatkan kepuasan seksual. Dengan


cara tersebut penderita mengalami kepuasan seksual dari situ. Dan anehnya lagi, ia sama
sekali tidak menginginkan berhubungan seksual dengan wanita yang diintipnya. Ia hanya
berharap memperoleh kepuasan orgasme dengan cara melakukan masturbasi.

Namun penyuka film porno jangan takut dikatakan menderita kelainan ini, karena
para pemain film porno itu dengan sengaja menghendaki dan menyadari mereka akan
ditonton orang lain. Makanya, ini berbeda dengan pria normal yang baru mendapatkan
kepuasan seksual setelah melakukan persetubuhan (terkadang mastrubasi).

Penyimpangan psikologis

Ada jenis lain parafilia selain voyeurisme, seperti ekshibisionisme, transvestisme,


paedofilia, masokisme, fetisisme, dll. Sebagai ciri utamanya, penyimpangan psikoseksual
ini adalah timbulnya fantasi atau tindakan yang tidak lazim dan merupakan keharusan
untuk mendapatkan kepuasan seksual. Fantasi ini cenderung berulang secara mendadak dan
terjadi dengan sendirinya. Penyebab utamanya berhubungan dengan faktor psikologis.
Sedangkan gangguan fungsi karena kelainan atau gangguan organik pada alat kelamin tidak
dimasukkan dalam parafilia
Bila fantasinya tidak bisa dimanifestasikan dengan sesungguhnya, baik dengan
pasangan maupun melakukan kegiatan sendirian, maka hal yang dibayangkan haruslah
terdapat dalam fantasi yang menyertai masturbasi atau persetubuhan. Sebab pada saat itulah
nafsu erotiknya bangkit, sebaliknya jika tidak terdapat fantasi parafilia yang dibayangkan,
maka kepuasan seksual atau orgasme tidak akan tercapai.

Para penderita parafilia sering tidak mampu melakukan hubungan seksual yang
penuh kasih sayang secara timbal balik. Juga terdapat disfungsi psikoseksual seperti nafsu
seksual normal yang terhambat, ejakulasi dini, orgasme terhambat, atau pada wanita timbul
diprapeunia (vagina terasa nyeri waktu melakukan hubungan seksual).

Ciri lain dari parafilia adalah berperilaku demikian umumnya tidak merasa cemas
atau depresi, meski dalam banyak kasus ada juga yang merasa bersalah, malu atau depresi
karena seringnya melakukan kegiatan seksual tidak normal atau lazim. Penderita rata-rata
tidak merasa atau menganggap dirinya tidak sakit atau mengidap kelainan seksual, sampai
ia mendapatkan perhatian dokter akibat perbuatan seksual itu yang menimbulkan konflik di
sekitarnya.

Begitupun dalam dirinya juga terdapat gangguan kepribadian, terutama dalam hal
kedewasaan emosi. Sehingga hubungan sosial dan seksual terganggu bila perilaku
seksualnya itu diketahui orang dekatnya, seperti istri, atau bila pasangan sesksualnya tidak
lazim. Oleh karena itu, pendekatan kepada penderita hendaknya dengan penuh pengertian,
tidak dengan menghakimi atau mempermasalahkan. Juga dicoba menyelami perasaan dan
jiwa mereka karena acap kali gangguan itu terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa
lalu.

Boneka wanita

Penderita fetisisme banyak menggunakan benda mati sebagi cara eksklusif untuk
mencapai kepuasan seksual. Fetisy dapat berupa suatu bagian dari tubuh wanita seperti bulu
kemaluan, rambut. Dapat juga berupa pakaian atau benda lain milik wanita semacam Bra
(BH), sepatu, dan barang lainnya. Ada pula yang berkaitan dengan fetisys di masa kecil.
Kegiatan seksual dapat ditujukan pada fetisy itu sendiri seperti melakukan
masturbasi menggunakan BH, lalu berejakulasi ke dalamnya. Atau, fetisy diintegrasikan
dengan kegiatan seksual dengan orang lain, seperti menuntut agar pasangannya
mengenakan BH warna tertentu atau sepatu berhak tinggi saat melakukan kegiatan seksual.
Semua benda-benda itu mutlak dibutuhkan untuk dapat membangkitkan nafsu seksualnya.

Termasuk dalam golongan fetisme adalah manekinisme yang fetisy-nya berupa


manekin (patung pamer pakaian) di toko. Ada lagi pigmalionisme yang fetisy-nya
berbentuk arca hasil pahatan. Istilah ini diambil dari nama raja Cyprus, Pygmalion, yang
jatuh cinta kepada patung wanita hasil pahatannya sendiri. Kadang-kadang penderita
fetisme bisa berurusan dengan kepolisian dan aparat hukum karena mencuri BH yang
sedang dijemur.

Berpakaian wanita

Terasa aneh kedengarannya penderita kelainan transvestisme. Pria heteroseksual


dalam fantasinya atau secara aktual mengenakan pakaian wanita untuk membangkitkan
nafsu seksual dan kemudian mendapatkan kepuasan seksual. Mengenakan pakaian wanita
merupakan pernyataan identifikasi diri sebagai "wanita" (feminine identification). Jika
keinginan mengenakan pakaian wanita tidak tersampaikan, ia akan frustrasi.

Biasanya kelainan ini bermula sejak anak-nak atau remaja. Seperangkat pakaian
yang disukai dapat menjadi benda yang merangsang nafsu seksualnya. Yang dikenakan
mula-mula hanya terbatas cross-dressing parsial (hanya mengenakan pakaian wanita BH
dan celana dalam), lama kelamaan, ia mengenakan pakaian wanita lengkap, cross-dressing
total.

Seiring dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan


seksual melalui cara ini dapat berkurang atau bahkan hilang. Walaupun ada kalanya
sejumlah transvestif muncul pada usia lebih lanjut, yang menghendaki mengenakan pakaian
wanita dan hidup sebagai wanita secara tetap.
Dalam kasus transeksualisme ini; penderita ingin berganti kelamin, menjadi
seperti lawan jenis, dan tidak lagi mendapatkan kepuasan seksual hanya dengan cross-
dressing. Penderita merasa dirinya benar-benar wanita.

Tertangkap basah

Ekshibisionisme penis merupakan jenis parafilia lainnya. Pada kelainan


psikoseksual ini, penderita senang mempertontonkan penisnya kepada orang yang tidak
dikenal. Tujuannya untuk memperoleh kepuasan seksual tanpa bermaksud melakukan
kegiatan seksual dengan orang yang melihatnya.

Kepuasan seksual diperoleh penderita pada saat melihat reaksi takut, terperanjat,
kagum, atau menjerit dari orang yang melihatnya. Orgasme dicapai dengan melakukan
masturbasi saat itu juga atau sesaat kemudian. Perasaannya akan terasa lega begitu berhasil
memamerkan penisnya pada wanita dewasa atau anak dengan usia dan bentuk tubuh sesuai
keinginannya.

Acap kali seorang eksihibisionis dapat melakukan tindakan pengamanan supaya


tidak tertangkap basah saat melakukannya. Ia teliti dahulu sebelum apakah ada pria lain
yang mengamatinya atau menutup kembali penisnya bila tiba-tiba muncul seseorang.
Ekshibisionis banyak ditemukan pada usia 20-an dan banyak di antaranya mengalami
ereksi dalam aktivitas seksual lainnya.

Sadis serta menakutkan

Jenis-jenis parafilia di atas tadi tidak melibatkan kontak seksual yang merugikan
lawan jenis. Tetapi tidak demikian dengan sadomasokisme dan paedofilia. Pada
sadomasokisme terdapat penggabungan unsur sadistis dan masokistik saat melakukan
hubungan seksual. Dikatakan sadistik kalau ia melukai atau menyakiti orang lain secara
sengaja atau ancaman demi kepuasan seksual.
Dibilang masokistis kalau rangsangan seksual diperoleh ketika menjadi sasaran
rasa sakit atau ancaman rasa sakit. Yang lebih menyedihkan bila kelainan itu berupa
paedofilia. Sebab, sasaran kepuasan seksualnya diarahkan pada anak-anak yang belum
puber. Sekitar dua pertiga korban kelainan ini adalah anak-anak berusia 8-11 tahun.

Kebanyakan paedofilia menjangkiti pria, tetapi ada pula kasus wanita


berhubungan seks secara berulang dengan anak-anak. Banyak kaum paedofilia mengenal
korbannya, seperti saudara, tetangga, atau kenalan. Kaum paedofil dikategorikan menjadi
tiga golongan, yakni di atas 50 tahun, 20-an hingga 30 tahun. Dan para remaja. Sebagian
besar mereka adalah para heteroseksual dan banyak juga para ayah.

Menangani parafilia

Tidak gampang untuk menangani para penderita parafilia. Karena mereka sering
tidak menghendaki atau merasa tidak perlu mendapat terapi. Namun demikian, perlu ada
beberapa terapi psikiatrik yang dapat dicoba. Pertama, melakukan pendekatan
psikodinamik dan psikoanalitik (menggali pengalaman masa lalu yang menyebabkan
kelainan kejiwaan). Kedua, Melakukan terapi perilaku yang terdiri dari aversive
conditioning, yaitu conditioning untuk menimbulkan rangsangan (stimulus) terhadap lawan
jenis.

Atau mengukur tingkat birahi dengan pletismometris penis. Tentang terapi ini
Prof. Arif Adimoelya, seorang ahli androlog dari Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, terapi aversion diperlukan untuk menghilangkan conditioning yang ada atau hal-
hal yang menyebabkan kelainan psikoseksual.

Penderita diberi kejutan listrik sementara disuguhi gambar-gambar atau film


mengenai penyimpangan seksual. Khususnya pada voyeurisme dan ekshibisionisme,
penderita hendaknya dipacu secara halus untuk lebih berani berkomunikasi langsung
dengan lawan jenisnya, sehingga diharapkan lambat laun akan berani melakukan kontak
badan langsung. Atau penderita diajari mengatasi rasa takut dan malu untuk
mengungkapkan keinginan seks yang benar.
Ketiga, karena umumnya penderita mempunyai sifat dasar kekurangan social skill
(kecakapan sosial), maka mereka perlu disertakan dalam program terapi yang mengajarkan
kecakapan sosial serta empati terhadap dunia sekelilingnya. Ditambah lagi terapi perilaku
secara individual.

Keempat, terapi farmakologi yang meliputi pemberian hormon wanita, anti


androgen, dan obat-obatan golongan penghambat daur ulang serotonin yang biasanya
digunakan untuk mengobati penderita depresi tetapi keberhasilan terapi ini tampak lebih
disebabkan oleh penurunan nafsu birahinya. Terapi ini mungkin lebih efektif pada penderita
parafilia bersifat hiperseks.

Kelima, tidak kurang pentingnya perhatian masyarakat terhadap penderita.


Mereka hendaknya tidak dicemoohkan tetapi diberi pengarahan agar berusaha
menghilangkan kebiasaan yang memalukan tersebut. (Asep Candra Abdillah, pemerhati
masalah kesehatan bersumber dari Ints.)

Anda mungkin juga menyukai