Modul Koas Dept Jiwa
Modul Koas Dept Jiwa
Modul Koas Dept Jiwa
TIM EDITOR :
TTD
LATAR BELAKANG
Pendidikan profesi dokter merupakan serangkaian proses dalam suatu kurikulum pendidikan
yang harus dijalani oleh mahasiswa kedokteran. Dalam tahap ini, mahasiswa diharapkan mempunyai
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku dalam bidang keprofesiannya sebagai seorang
dokter. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, praktik klinik dalam kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) tahun 2005 dirancang sebagai modul klinik terintegrasi. Begitu juga dengan praktik klinik di
bagian ilmu kedokteran jiwa, pendidikan profesi dokter juga dirancang dalam bentuk Modul yang
terintegrasi. Di dalam buku panduan praktik klinik ini mencakup sasaran dan metode pembelajaran,
karakteristik mahasiswa, lingkup bahasan, sumber daya, evaluasi, buku rujukan, hingga lampiran.
Modul ini dilaksanakan dalam 5 pekan, setara dengan 2,5 sks.
Dengan adanya buku panduan ini diharapkan mahasiswa dapat belajar dengan lebih terarah
dan tentunya mencapai target yang diharapkan dan sesuai dengan kompetensinya sebagai dokter
umum.
DASAR
TUJUAN
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah menjalani stase ilmu kedokteran jiwa, diharapkan mahasiswa mampu melakukan anamnesis,
menegakkan diagnosis, memberikan terapi kegawatdaruratan, dan mengetahui tata cara merujuk
pasien sesuai standar baku dengan menggunakan teknologi kedokteran dan teknologi informasi yang
sesuai dan selalu memperhatikan konsep dan pertimbangan etika.
Prasarana
Ruang Kuliah
Alat bantu ajar
Tempat praktik klinik:
LINGKUP BAHASAN
Selama menjalani praktik klinik di lingkungan Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unsri / RS Jiwa
Ernaldi Bahar, mahasiswa diharapkan dapat mempelajari dan terampil dalam melakukan tindakan
kedaruratan dan pengelolaan pasien psikiatri, dengan tingkat kemampuan yang dicapai sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
tahun 2012.
METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran yang digunakan selama kepaniteraan klinik ilmu kedokteran jiwa
adalah pembelajaran yang aktif, mandiri dan terintegrasi. Metode tersebut meliputi:
I. Tahap orientasi
Tahap ini bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai ruang lingkup Ilmu Kedokteran
Jiwa seperti yang tercantum dalam lingkup bahasan. Tahap ini terdiri dari:
a. Pretest
Prestest dilakukan saat awal mahasiswa masuk stase ilmu kedokteran jiwa. Pretest
bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh mahasiswa sudah mempelajari bahan
bahan yang berkaitan dengan ilmu kedokteran jiwa.
b. Kuliah
Kuliah dilaksanakan pada minggu pertama hingga pertengahan minggu kedua.
No. Mata kuliah Durasi (menit)
1 Status psikiatrikus 50
2 Psikopatologi 50
3 Psikiatri anak 50
4 Kedaruratan psikiatri 50
5 Psikogeriatri 50
6 Resume dan formulasi diagnosis 50
7 Diagnosis multiaksial 50
8 Terapi dan prognosis gangguan jiwa 50
9 Hierarki blok dan PPDGJ III 50
10 Gangguan mental organik dan gangguan terkait zat 50
11 Skizofrenia dan psikosis lainnya 50
12 Gangguan mood 50
13 Gangguan somatoform 50
14 Gangguan neurotik 50
15 Gangguan kepribadian dan retardasi mental 50
Pekan I
Pekan II
Pekan IV
Pekan V
o Kegiatan di Poliklinik / bangsal berlangsung setiap hari jika tidak ada kegiatan ilmiah lain.
EVALUASI
Keberhasilan mahasiswa:
86-100 A 4
71-85 B 3
56-70 C 2
41-55 D 1
<41 E <1
Remedial
Mahasiswa yang mendapat nilai di bawah nilai batas lulus (≥ 71) maka mengikuti remedial.
Untuk nilai C, mengulang ujian. Untuk nilai D, mengulang setengah waktu rotasi (2,5 minggu).
Dan untuk nilai E, mengulang seluruh rotasi.
Jadwal remedial ditentukan oleh Bagian Akademik setelah yudisium dilaksanakan. Jadwal
remedial disusun dengan mempertimbangkan kapasitas Bagian.
3. Pembobotan
No Komponen evaluasi Presentasi
1 Proses pembelajaran 40%
A Microskill 20%
B Case Report 10%
C Referat 10%
2 Ujian sumatif 60%
A Ujian kasus/Mini Clinical Evaluation (Mini CEX) 40%
B MCQ (Multiple Choice Question) Pretest dan postest 20%
Total 100%
Skizofrenia
(Dr. Bintang Arroyantri Prananjaya, Sp.KJ)
Learning Objectives
Setelah mengikuti kepaniteraan di bagian Psikiatri, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala-gejala skizofrenia
2. Melakukan pemeriksaan awal pasien skizofrenia
3. Menyusun daftar diagnosis banding skizofrenia
4. Menegakkan diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III
5. Memformulasikan penatalaksanaan awal pasien skizofrenia
6. Mendeteksi efek samping penggunaan obat-obat antipsikotik
7. Mengatasi efek samping penggunaan obat-obat antipsikotik
8. Menentukan prognosis
9. Menjalankan sistem rujukan yang benar
10. Mengadakan suatu kegiatan penyuluhan masyarakat untuk skizofrenia
Pendahuluan
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan gambaran psikopatologi yang bervariasi tetapi sangat
berat, yang mempengaruhi kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Manifestasi ini
bervariasi di antara pasien-pasien dan pada waktu yang berbeda, namun efeknya selalu berat dan
biasanya berlangsung lama. Istilah skizofrenia pertama kali dikenalkan oleh Eugene Bleurer.
Psikopatologi pada skizofrenia tidak terbatas pada gejala psikotik saja, namun juga termasuk
gangguan pada pikiran, perasaan, dan perbuatan. Sehingga berdasarkan fakta ini, hampir semua jenis
psikopatologi yang pernah diidentifikasi bisa ditemukan pada pasien dengan skizofrenia. Skizofrenia
pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.
Menurut Eugene Bleurer, skizofrenia dibagi menjadi empat subtipe, yang dikenal sebagai subtipe
klasik dari skizofrenia. Keempat subtipe itu adalah skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik,
skizofrenia katatonik, dan skizofrenia simpleks. Berdasarkan PPDGJ-III, skizofrenia dibagi menjadi
sembilan subtipe, yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia
tak terinci, depresi pasca-skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya,
skizofrenia YTT. Pada DSM-V, pembagian subtipe tidak ada lagi, namun beberapa klinisi masih
menggunakannya untuk mempermudah memberi gambaran gejala skizofrenia.
Epidemiologi
Skizofrenia bisa ditemukan di semua masyarakat dan daerah, dengan angka prevalensi dan insiden
yang kurang lebih sama. Di Amerika Serikat, skizofrenia mempunyai prevalensi seumur hidup sekitar 1
persen. Menurut studi yang dilakukan oleh The Epidemiologic Catchment Area yang didukung oleh
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis Skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III
Memenuhi salah satu perangkat gejala di bawah ini, yang berlangsung selama setidaknya satu bulan
(tidak termasuk gejala prodormal) dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup secara bermakna
Diagnosis Banding
Skizofrenia didiagnosis banding dengan berbagai jenis gangguan jiwa karena psikopatologinya yang
beragam. Pada dasarnya, masing-masing subtipe bisa diagnosis banding dengan yang lainnya. Di luar
itu, skizofrenia bisa didiagnosis banding dengan gangguan waham menetap, gangguan mood,
gangguan psikotik akut, gangguan kepribadian skizoid, gangguan kepribadian paranoid, sampai
gangguan skizotipal, tergantung psikopatologi yang ada dan mendominasi.
Tatalaksana
Sampai saat ini, obat antipsikotik merupakan tatalaksana yang utama untuk skizofrenia. Namun
berdasarkan penelitian, intervensi psikososial (termasuk psikoterapi) bisa menambah perbaikan klinis.
Kombinasi obat dan terapi psikososial memberikan manfaat yang lebih baik daripada menggunakan
salah satunya saja.
Tujuan pada terapi skizofrenia adalah mengurangi sampai menghilangkan gejala, memaksimalkan
kualitas hidup dan fungsi adaptif, dan mencapai kesembuhan dan mencegah terjadinya relaps. Terapi
juga harus disesuaikan dengan gejala yang ada saat itu dan terbagi menjadi fase akut, stabilisasi, dan
stabil.
Gejala yang menjadi target terapi (disebut target symptoms) bisa berupa gejala positif, gejala negatif,
gejala disorganisasi. Pemberian terapi pada pasien skizofrenia dibedakan berdasarkan fase
penyakitnya.
A. Fase Akut
Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan
perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya
agitasi, agresi dan gaduh gelisah.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.
2. Keputusan untuk memulai pemberian obat.
3. Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang
lain serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara
yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik,
pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan
segera perlu dipertimbangkan.
Obat oral
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotika
misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap obat
tertentu terkait cara pemberiannya.
Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis
anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1-3 minggu, sampai dosis optimal
yang dapat mengendalikan gejala.
Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-
peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui
komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman,
toleran perlu dilakukan.
Terapi lainnya
ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada:42 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Jiwa/Psikiatri.
Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam
mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala,
merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku
bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.
C. Fase Rumatan
Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu
mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah
berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan
seumur hidup.
Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan masyarakat. Modalitas
rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional,
cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan
mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya.
Tabel 2. Daftar Obat yang dipakai mengatasi Efek Samping Anti Psikotik Nama Generik
Prognosis
Learning Objectives
Setelah mengikuti kepaniteraan di bagian Psikiatri, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala-gejala mania
2. Melakukan pemeriksaan awal pasien gangguan bipolar
3. Menyusun daftar diagnosis banding gangguan bipolar
4. Menegakkan diagnosis gangguan bipolar berdasarkan PPDGJ-III
5. Memformulasikan penatalaksanaan awal gangguan bipolar
6. Memahami perbedaan prinsip terapi psikofarmaka pada depresi bipolar dari depresi unipolar
7. Memahami bahaya dan efek samping penggunaan obat penstabil mood serta prosedur untuk
memantaunya
8. Menentukan prognosis gangguan bipolar
9. Menjalankan sistem rujukan yang benar
10. Mengadakan suatu kegiatan penyuluhan masyarakat untuk gangguan bipolar
Pendahuluan
Gangguan bipolar adalah gangguan mood berulang yang salah satunya memberikan gambaran mania.
Mania adalah peningkatan mood yang abnormal yang menyebabkan gangguan berat dalam fungsi
kejiwaan. Suatu episode peningkatan mood abnormal yang tidak terlalu menyebabkan gangguan
berat dalam fungsi kejiwaan disebut hipomania. Dalam klasifikasi DSM-V, satu episode mania sudah
memenuhi kriteria untuk gangguan bipolar.
Pasien manik, selain menunjukkan peningkatan mood, juga mengalami suatu peningkatan dalam
jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental. Pasien bisa mengalami peningkatan harga diri,
kepercayaan diri, distraktibilitas, keikutsertaan dalam kegiatan yang menyenangkan, serta penurunan
dalam kebutuhan untuk tidur. Suatu episode manik yang dengan jelas mengikuti penggunaan obat
antidepresan tidak dianggap sebagai suatu gangguan kejiwaan tersendiri (lebih kepada efek dari
obat).
Dalam nomenklatur diagnosis lama, gangguan bipolar dikenal dengan nama psikosis manik-depresif,
folie circulaire, dan siklotimia. Saat ini, siklotimia merujuk kepada diagnosis gangguan mood lain yang
mirip dengan gangguan bipolar tetapi dalam bentuk dan intensitas yang jauh lebih ringan.
Epidemiologi
Gangguan bipolar terjadi kurang dari 1 persen populasi setiap tahunnya. Akan tetapi angka ini
kemungkinan tidak tepat mengingat gangguan bipolar yang ringan seringkali tidak terdiagnosis
dengan tepat. Gangguan kejiwaan ini ditemukan dalam proporsi yang sama antara laki-laki dan
wanita, meskipun episode manik lebih sering dialami oleh pasien laki-laki dan episode depresif oleh
pasien wanita. Usia rata-rata untuk gangguan ini adalah 30 tahun. Karakteristik lain mencakup
pendidikan yang bukan sarjana, tingkat ekonomi menengah ke atas, dan orang yang tidak menikah
atau bercerai lebih banyak ditemukan. Tidak ada perbedaan dalam hal ras.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada gangguan bipolar tergantung pada episode mood apa yang dialami. Secara
umum, suatu gangguan mood sebaiknya didiagnosis banding dengan gangguan mood lain. Namun
secara spesifik, diagnosis banding yang paling sering ditegakkan pada gangguan bipolar episode
manik (terutama yang disertai gejala psikotik) adalah skizoafektif tipe manik. Selain itu, gejala manik
juga bisa didiagnosis banding dengan suatu gangguan kepribadian seperti histrionik, ambang, dan
disosial. Bipolar episode depresif memiliki diagnosis banding yang sama dengan gangguan depresi.
Tatalaksana
Tatalaksana gangguan bipolar tergantung pada episode apa yang dialami oleh pasien (apakah mania
atau depresi). Tatalaksana dibagi menjadi terapi akut dan rumatan. Terapi akut bertujuan untuk
menghilangkan gejala secepat mungkin. Terapi rumatan menargetkan suatu eutimia yang
dipertahankan.
A. Fase Akut
1. Agitasi Akut
Injeksi:
Lini I:
- Injeksi im aripriprazol, dosis adalah 9,75 mg/ml, maksimum adalah 29,25 mg/ml (tiga
kali injeksi perhari dengan interval dua jam).
Tidak direkomendasikan:
Gabapentin, topiramat, lamotrigin, risperidon + Karbamazepin, olanzapin +
karbamazepin.
3. Depresi Akut
Oral:
Lini I: Litium, lamotrigine, quetiapin, quetiapin XR, litium atau divalproat + SSRI, olanzapin
+ SSRI, Litium + divalproat.
Lini II: Quetiapin +SSRI, divalproat, litium atau divalproat + lamotrigin
Lini III: Karbamazepin, olanzapin, litium + karbamazepin, litium atau divalproat +
venlavaksin, litium + MAOI, TKL, litium atau divalproat atau AA + TCA, litium atau
divalproat atau karbamzepin + SSRI + lamotrigin, penambahan topiramat
Tidak direkomendasikan:
Gabapentin monoterapi, aripriprazol monoterapi.
B. Fase Rumatan
Lini I: litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin, quetiapin, litium atau divalproat +
quetiapin, risperidon injeksi jangka panjang (RIJP), penambahan RIJP, aripriprazol.
Lini II: karbamazepin, litium +divalproat, litium + karbamazepin, litium atau divalproat +
olanzapin, litium +risperidon, litium + lamotrigin, olanzapin + fluoksetin.
Lini III: penambahan fenitoin, penambahan olanzapin, penambahan ECT, penambahan
topiramat, penambahan asam lemak omega 3 dan penambahan okskarbazepin.
Tidak direkomendasikan:
Gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi.
Pendahuluan
Depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan
yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri. Jadi, dapat didefinisikan bahwa depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional
berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (pikiran, perasaan, dan perbuatan) seseorang.
Perubahan tersebut hampir selalu menyebabkan gangguan fungsi interpersonal, social, dan
pekerjaan.
PPDGJ III membagi depresi menurut tingkat keparahannya yakni ringan, sedang, berat dan disertai
atau tanpa gejala psikotik. Sementara dalam DSM-V terdapat gangguan depresi berat (major
depressive disorder) dan pada digit kelimanya diberikan criteria untuk penentu (specifier). Ada
beberapa penentu (specifier) yakni: dengan distres cemas, campuran, melankolik,atipikal, psikotik
(psikotik yang kongruen dengan mood dan psikotik yang tidak kongruen dengan mood), katatonia,
onset peripartum dan pola musiman.
Epidemiologi
Depresi adalah gangguan jiwa yang popular di masyarakat, dengan perkiraan terjadi pada 340 juta
jiwa, dengan perbandingan satu dari dua puluh orang di dunia. Sekitar 80% dari individu yang
melakukan bunuh diri umumnya menderita depresi. Prevalensi seumur hidup dua kali lebih besar
pada wanita dibanding pria yakni, 10 hingga 25% pada wanita, dan 5 hingga 12% pada pria. Rata-rata
usia onset adalah 40 tahun, sekitar 50% dari penderita berusia 20-50 tahun, yang berarti dapat terjadi
pada usia kanak-kanak walaupun jarang. Akan tetapi beberapa data epidemiologis akhir-akhir ini
menyatakan bahwa insiden gangguan depresif berat meningkat pada orang usia 20 tahun. Pada
umumnya gangguan ini terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal
yang erat atau yang bercerai atau telah berpisah. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara
depresi dengan faktor ras dan umumnya lebih sering terjadi di daerah pedesaan. . Laki-laki lebih
mungkin untuk menderita episode berulang dan angka kejadian bunuh diri meningkat
Episode Depresif Ringan, minimal 2 gejala utama ditambah 2 gejala lainnya dan tidak boleh ada
gejala berat diantaranya; disabilitas ringan.
Episode Depresif Sedang, minimal 2 dari 3 gejala utama ditambah 3 (dan sebaiknya 4) gejala lainnya;
disabilitas nyata.
Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik, semua gejala utama depresi harus ada dan ditambah 4
gejala lainnya, beberapa diantaranya harus berintensitas berat; disabilitas berat.
Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik, kriteria episode depresif berat (F32.2) yang disertai
waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan
atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab akan hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfaktori biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan
waham atau halusinasi dapat dispesifikasikan apakah serasi dengan mood (mood-congruent).
b. Gejala ini menyebabkan distress yang signifikan atau gangguan sosial, pekerjaan, atau aspek
fungsi lainnya
c. Episode ini tidak tergolong efek fisiologis dari zat tertentu atau kondisi medis lain.
Catatan: Kriteria A hingga C mencakup episode depresi mayor. Episode depresi mayor sering
ditemukan pada gangguan bipolar I namun tidak diperlukan untuk penegakan diagnosis.
Catatan: Respon terhadap kehilangan yang signifikan dapat mencakup perasaan sedih
hebat, penyesalan mengenai kehilangan tersebut, hilangnya nafsu makan atau penurunan
berat badan, seperti yang dinyatakan di kriteria A, menyerupai episode depresif mayor.
Walaupun respon demikian dianggap wajar, namun perlu dipertimbangkan adanya episode
depresif mayor yang berbarengan dengan respon terhadap kehilangan tersebut. Diperlukan
penilaian klinis berdasarkan riwayat pasien dan norma cultural terhadap respon dari sebuah
kehilangan.
d. Kejadian dari episode mayor depresif tidak disebabkan oleh kelainan skizoafektif,
skizofrenia, kelainan skizofreniform, kelainan delusi, atau spectrum skizofrenia spesifik dan
tidak spesifik dan kelainan psikotik lain.
e. Tidak pernah ditemukan episode manic atau hipomanik
Catatan: eksklusi ini tidak berlaku bila episode manic atau hipomanik disebabkan oleh zat
tertentu atau akibat kondisi medis lain.
Diagnosis Banding
Depresi dapat merupakan ciri dari gangguan jiwa lainnya dari hampir semua jenis gangguan jiwa.
Gangguan jiwa yang berhubungan dengan zat, gangguan psikotik, gangguan makan, gangguan
penyesuaian, gangguan kecemasan, dan gangguan somatoform sering disertai dengan gejala depresif
sehingga harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Selain itu depresi juga harus dapat
dibedakan dari dukacita (grieving) karena beberapa pasien dengan kehilangan yang berat dapat
berkembang menjadi depresi. Sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan apabila penyembuhan tidak
terjadi dan berdasarkan keparahan, lamanya gejala, serta tergantung dari kultur setempat. Depresi
juga harus dapat dibedakan dari gangguan mood lainnya, terutama bipolar. Sehingga benar-benar
harus dicari apakah pasien pernah mengalami episode gejala mirip mania atau hipomania atau
gangguan siklotimia.
Tatalaksana
Terapi saat ini ditekankan pada psikofarmaka dan psikoterapi, selain itu terapi juga harus
menurunkan jumlah dan keparahan stressor pada kehidupan pasien. Jenis psikoterapi yang umum
dipakai yaitu terapi kognitif, terapi inter personal, dan terapi perilaku.
Tujuan utama terapi yaitu mengakhiri episode depresi saat ini dan mencegah timbulnya episode
penyakit di masa yang akan datang. Untuk itu dibagi menjadi 3 fase, yaitu: fase akut, fase lanjutan
dan rumatan.
A. Fase Akut
Dalam memilih medikasi ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya adalah riwayat
respon pengobatan, prediksi respon gejala terapi, adanya gangguan psikiatri atau medis lain,
keamanan dan potensi efek samping.
B. Fase Lanjutan
Tujuan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah relaps. Remisi apabila HAM-D < 7
atau MADRS < 8 yang bertahan minimal 3 minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.
C. Fase Pemeliharaan
Tujuan pada fase ini adalah untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko rekuren, biaya da keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang telah 3 kali atau lebih
Prognosis
Depresi berat cenderung bersifat kronis sehingga pasien cenderung untuk relaps, akan tetapi pasien
yang dirawat di Rumah Sakit untuk episode pertama memiliki 50% kemungkinan untuk pulih pada
tahun pertama. Insidens relaps berkurang pada pasien yang meneruskan terapi psikofarmaka sebagai
profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau dua episode saja.
Learning Objectives
Setelah mengikuti kepaniteraan di bagian psikiatri, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala-gejala gangguan cemas
2. Melakukan pemeriksaan awal gangguan cemas
3. Menyusun daftar diagnosis banding gangguan cemas
4. Menegakkan diagnosis gangguan cemas berdasarkan PPDGJ-III
5. Memformulasikan penatalaksanaan gangguan cemas
6. Mendeteksi efek samping penggunaan obat-obat anticemas
7. Mengatasi efek samping penggunaan obat-obat anticemas
8. Menentukan prognosis
9. Menjalankan sistem rujukan yang benar
10. Mengadakan suatu kegiatan penyuluhan masyarakat untuk gangguan cemas
Pendahuluan
Gangguan cemas adalah gangguan yang ditandai oleh adanya cemas yang irasional dan mengganggu.
Cemas adalah ketegangan memuncak yang disertai oleh rasa takut dan ditandai oleh timbulnya gejala
fisik seperti: takikardi, takipnoe dan tremor. Walaupun gejala fisik yang muncul sama namun cemas
disini berbeda dengan cemas yang normal. Pada cemas yang normal, rasa cemas muncul sebagai
reaksi emosional terhadap suatu yang nyata, ancaman dari luar dan sebanding dengan bahaya yang
dihadapi. Sedangkan pada gangguan cemas, rasa cemas muncul tanpa adanya ancaman dari luar atau
ketika ada ancaman dari luar, reaksi emosional yang muncul berlebihan. Penderita gangguan cemas
sering merasakan penderitaan dan mengalami kelelahan akibat reaksi emosional yang berlebihan,
sehingga menimbulkan gangguan pada pekerjaan dan interaksi sosialnya. Penyebab timbulnya
gangguan ini belum jelas namun sering dikaitkan dengan faktor genetik, kejadian yang traumatis dan
stres.
Berdasarkan PPDGJ-III gangguan cemas dibagi menjadi gangguan cemas fobia (agorafobia, fobia
sosial, fobia khas, gangguan cemas fobia lainnya, gangguan cemas fobia YTT), gangguan cemas
lainnya (gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan campuran cemas dan depresi,
gangguan cemas campuran lainnya, gangguan cemas lainnya YDT, gangguan cemas YTT) dan
gangguan obsesif-kompulsif. Sedangkan berdasarkan DSM-V, gangguan cemas dibagi menjadi
gangguan panik, agorafobia, gangguan fobia (fobia spesifik, fobia sosial), gangguan cemas
menyeluruh, dan gangguan cemas lainnya.
Epidemiologi
Berdasarkan studi pada lima populasi di Amerika Serikat, Inggris dan Swedia, terdapat 2-4,7 per 100
individu yang mengalami gangguan cemas. Wanita lebih banyak dibanding laki-laki dengan rentang
usia 16-40 tahun. Tidak ada perbedaan pada ras kecuali pada gangguan agorafobia dimana ras afrika-
amerika lebih banyak menderita gangguan cemas dibanding ras kulit putih.
Spesifikasi :
Perfomance only : Rasa takut hanya terbatas
pada berbicara atau tampil di depan umum
Fobia khas ini umumnya tidak ada gejala Kode berdasarkan fobia
psikiatrik lain seperti halnya agorafobia dan 300.29 (F40.218) Binatang (mis. Laba-laba,
fobia sosial serangga, anjing)
300.29 (F40.228) Lingkungan alami (mis.
Ketinggian, badai, air)
300.29 (F40.23x)Darah-suntikan-luka (mis.
Adanya gejala lain yang sifatnya sementara Rasa cemas, gelisah, atau gejala fisik lainnya
(untuk beberapa hari), khusunya depresi tidak menyebabkan gangguan klinis yang signifikan di
membatalkan diagnosis utama gangguan area kerja sosial, pekerjaan, atau bidang penting
anxietas menyeluruh, selama hal tersebut tidak lainnya
memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif, gangguan anxietas fobik atau
gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan yang terjadi tidak disebabkan oleh
obat-obatan atau penyakit lainnya (mis
hipertiroid)
A. Farmakoterapi
Saat ini ada beberapa golongan obat yang digunakan untuk mengatasi gangguan cemas, diantaranya:
SSRI (sertralin, fluoxetin, paroxetin), benzodiazepin (alprazolam, diazepam, clonazepam), trisiklik
(amitriptilin, imipiramin), tetrasiklik, serta MAOi (phenelzine, tranylcypromine). Berdasarkan hasil
penelitian, SSRI memiliki rentang keamanan yang luas dan efek samping yang minimal, karena itu
penggunaannya lebih disukai dibandingkan golongan obat yang lain. Semua terdapat dalam tabel
dibawah ini:
B. Nonfarmakoterapi
Ada beberapa terapi nonfarmakologi yang efektif dalam pengobatan gangguan cemas, yaitu
terapi kognitif perilaku, psikoterapi berorientasi tilikan dan psikoedukasi.
Diagnosis Banding
Beberapa gangguan psikiatrik lainnya memiliki gejala yang mirip dengan gangguan cemas,
diantaranya: gangguan psikotik, gangguan depresif, gangguan kepribadian (paranaoid, menghindar,
skizoid, dependen, obsesif-kompulsif), anoreksia nervosa, gangguan hipokondria, gangguan dismorfik
tubuh dan trikotilomania. Antara subtipe pun kadang sulit dibedakan, karenanya bisa juga didiagnosis
banding dengan sesama subtipe.
Prognosis
Walaupun ada subtipe gangguan cemas yang memilik prognosis baik (gangguan panik), namun secara
keseluruhan prognosis gangguan cemas tidak banyak diketahui dan sulit diperkirakan, karena
merupakan gangguan yang relatif baru dikenali sebagai gangguan mental penting. Penentuan
prognosis pada gangguan ini dikaitkan dengan onset, perjalanan penyakit, faktor pencetus, komorbid,
gejala dan keadaan lingkungan sosial. Sebagian besar gangguan cemas akan berkembang menjadi
kronik apabila tidak dilakukan pengobatan dan memiliki kecendrungan untuk relaps ketika terapi
dihentikan.
Learning Objectives
Setelah mengikuti kepaniteraan di bagian psikiatri, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala-gejala somatoform
2. Melakukan pemeriksaan awal pasien gangguan somatoform
3. Menyusun daftar diagnosis banding gangguan somatoform
4. Menegakkan gangguan somatoform berdasarkan PPDGJ-III
5. Memfomulasikan penatalaksanaan awal gangguan somatoform
6. Menentukan prognosis gangguan somatoform
7. Menjalankan sistem rujukan yang benar
Pendahuluan
Berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ-III, gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan
yang memiliki gejala fisik dimana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang akurat. Gejala dan
keluhan somatik cukup serius untuk menimbulkan penderitaan emosional yang bermakna pada
pasien atau mengganggu fungsi sosial atau pekerjaannya serta tidak disebabkan oleh pura-pura yang
disadari atau sengaja dibuat.
Terminologi “somatoform” pada DSM-IV TR dianggap membingungkan sehingga diubah menjadi
“somatic symptom and related disorders” (gangguan gejala somatik dan gangguan terkait) pada
DSM-V. Terdapat ciri-ciri yang sama dalam kelompok klasifikasi DSM-5 yaitu gejala somatis menonjol
dengan distres dan hendaya yang bermakna. Gangguan ditandai fokus pada masalah somatik yaitu
awalnya datang (berkali-kali) ke dokter umum atau fasilitas pelayanan non-psikiatrik, kemudian
terdapat penekanan pada gejala dan tanda positif (gejala somatik yang menyebabkan distres
ditambah pikiran, perasaan, dan perilaku sebagai respons terhadap gejala tersebut) dan bukan tidak
adanya penjelasan medis untuk gejala somatik. Hal yang terpenting pada gangguan ini bukan pada
gejala somatiknya itu sendiri, melainkan cara gejala tersebut disampaikan dan diinterpretasi.
Gangguan ini mencakup komponen afektif, kognitif, dan perilaku (komprehensif).
Berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ-III, gangguan somatoform terbagi menjadi gangguan
somatisasi, gangguan somatoform tak terinci, gangguan hipokondriasis, disfungsi otonomik
somatoform, gangguan nyeri somatoform menetap, gangguan somatoform lainnya dan gangguan
somatoform YTT. Berdasarkan kriteria diagnostik DSM-V, dibagi menjadi Gangguan gejala somatik
(somatic symptom disorder) termasuk nyeri, gangguan ansietas penyakit (illness anxiety disorder),
gangguan konversi (functional neurological symptom disorder), faktor psikologis yang mempengaruhi
kondisi medis lain, gangguan buatan (factitious disorder), gejala somatik spesifik lain, gangguan gejala
somatik yang tidak spesifik dan gejala somatik yang tidak spesifik dan gangguan yang terkait.
Epidemiologi
Gangguan somatisasi terjadi 0,1 sampai 0,2 persen populasi. Wanita lebih banyak 5 sampai 20 kali
dari pria. Terjadi lebih sering pada pasien dengan pendidikan rendah dan miskin. Gangguan ini sering
ditemukan bersama dengan gangguan mental lainnya. Sifat atau gangguan kepribadian yang sering
Spesifikasi
Dengan nyeri predominan: Gejala somatik
berhubungan dengan nyeri
Persistent : Gejala berat, penurunan nilai-nilai,
berlangsung lama (lebih dari 6 bulan)
Ringan :Hanya satu gejala dari kriteria B
terpenuhi
Sedang : Ada dua atau lebih dari kriteria B yang
terpenuhi
Berat : Dua atau lebih dari kriteria B terpenuhi
dan ada gejala somatik multipel (atau satu gejala
yang sangat berat)
Diagnosis Banding
Kondisi nonpsikiatrik harus disingkirkan. Gangguan somatisasi harus dibedakan dari gangguan
somatoform lainnya, seperti hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan nyeri.
Learning Objectives
Setelah mengikuti kepaniteraan di bagian Psikiatri, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengidentifikasi suatu kepribadian yang khas
2. Mengenali kesepuluh jenis kepribadian khas menurut PPDGJ-III
3. Membedakan gambaran dengan gangguan kepribadian
4. Menyusun daftar diagnosis banding gangguan kepribadian khas
5. Menegakkan diagnosis gangguan kepribadian khas berdasarkan PPDGJ-III
6. Menentukan prognosis gangguan kepribadian khas
7. Menjalankan sistem rujukan yang benar
8. Mengadakan suatu kegiatan penyuluhan masyarakat untuk gangguan kepribadian khas
Pendahuluan
Gangguan kepribadian khas adalah suatu gangguan berat dalam konstitusi karakteriologis dan
kecenderungan perilaku dari seseorang, biasanya meliputi beberapa bidang dari kepribadian, dan
hampir selalu berhubungan dengan kesulitan pribadi dan sosial. Suatu kepribadian dapat dikatakan
khas apabila kepribadian tersebut bersifat kaku dan mendalam pada sebagian besar situasi personal
dan sosial, yang berarti bahwa ia dapat muncul dan terasa pada hampir semua bidang kehidupan
individu. Perlu diperhatikan bahwa penegakan diagnosis gangguan kepribadian sangat bergantung
pada situasi dan latar belakang sosiokultural dari individu. Sebagian besar pendapat menyatakan
bahwa kepribadian dinyatakan terganggu apabila tidak sesuai dengan norma dan perilaku umumnya
yang ditemukan pada suatu masyarakat tertentu.
Gangguan kepribadian didiagnosis pada aksis II, sehingga tidak boleh diidentifikasi pada suatu episode
gangguan kejiwaan, dan demikian pula sebaliknya. Apabila terdapat diagnosis pada aksis I, maka pada
umumnya kepribadian hanya dapat diidentifikasi sebelum onset gangguan kejiwaannya. Sehingga
pemeriksa diharapkan berhati-hati dalam menentukan onset dari psikopatologi agar tidak salah
menempatkannya sebagai suatu gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian.
Kepribadian khas merupakan salah satu faktor predisposisi suatu gangguan kejiwaan, dan apabila
memang terjadi maka gangguan yang dialami bisa lebih berat dan mempersulit penatalaksanaan.
Demikian pula pada kasus gangguan fisik, banyak juga pasien yang memiliki kepribadian khas sebagai
kondisi komorbidnya. Kondisi ini bisa dianggap memiliki kedudukan di antara gangguan kejiwaan
ringan (seperti gangguan penyesuaian) dan berat (seperti skizofrenia). Pasien dengan gangguan
kepribadian memiliki gangguan yang nyata dan kronis dalam kemampuan bekerja dan berhubungan
sosial. Sehingga pada pasien demikian seringkali ditemukan suatu riwayat pekerjaan dan pernikahan
yang buruk. Mereka sering dianggap mengganggu, menuntut, dan membebani orang lain. Mereka
bisa pula dianggap meminta dan bergantung kepada orang lain dan melakukan pendekatannya
dengan cara-cara yang tidak pantas.
Pembahasan gangguan kepribadian khas akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
menjelaskan gangguan kepribadian secara umum dan bagian kedua menjelaskan masing-masing
gangguan kepribadian khas.
Terdapat sedikit perbedaan dalam penegakan diagnosis menurut DSM-IV-TR yang menyatakan bahwa
onset perilaku tersebut dapat ditelusuri hingga ke masa remaja atau dewasa awal. Hal ini
menyiratkan bahwa gangguan kepribadian bisa saja memiliki onset penuhnya di luar masa kanak-
kanak atau remaja, seperti yang digariskan dalam PPDGJ-III.
Kepribadian Paranoid
Individu dengan kepribadian paranoid dicirikan sebagai orang yang mudah mencurigai dan sukar
mempercayai orang lain. Mereka menolak bertanggung jawab (misalnya atas suatu kesalahan) dan
senang melontarkannya kepada orang lain. Mereka sering menunjukkan permusuhan dan mudah
marah.
Kriteria Diagnosis
Paling sedikit tiga dari gejala di bawah
Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan
Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam
Kecurigaan dan kecenderungan yang mendalam untuk mendistorsikan pengalaman
Perasaan bermusuhan dan berkeras tentang hak pribadi tanpa memperhatikan situasi yang ada
Kecurigaan yang berulang dan tanpa dasar tentang kesetiaan dari pasangannya
Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan
Preokupasi dengan penjelasan-penjelasan yang mengarah ke persekongkolan dan tidak substantif
dari suatu peristiwa
Diagnosis Banding
Gangguan kepribadian paranoid bisa didiagnosis banding dengan skizofrenia paranoid dan gangguan
waham menetap karena sifatnya yang mudah curiga. Agresivitas yang ditunjukkan juga bisa
didiagnosis banding dengan kepribadian dissosial. Dan distorsi pengalaman yang dialami juga mirip
dengan apa yang terjadi pada kepribadian skizoid.
Tatalaksana
Tatalaksana utama gangguan kepribadian paranoid adalah psikoterapi. Psikoterapi individu lebih baik
dibanding psikoterapi kelompok. Namun bermain peran bisa memberi manfaat untuk perbaikan
kemampuan sosial dan mengurangi kecurigaan. Psikofarmaka dapat digunakan dengan tujuan untuk
mengatasi agitasi dan ansietas. Obat yang dapat digunakan antara lain golongan anticemas dan
antipsikotik.
Prognosis
Individu dengan kepribadian paranoid memiliki masalah kronis dalam hal bekerja dan berinteraksi
dengan orang lain. Pada beberapa kasus, gangguan yang dialami menetap seumur hidup, dan pada
kasus lainnya gangguan ini menjadi risiko terjadinya skizofrenia dan gangguan waham menetap.
Kepribadian ini juga memberi risiko bagi individu untuk mengalami episode psikosis singkat, depresi,
gangguan obsesif-kompulsif, agorafobia, dan penyalahgunaan zat.
Kepribadian Skizoid
Kepribadian skizoid dicirikan dengan suatu riwayat penarikan diri yang lama. Individu dengan
kepribadian ini merasakan ketidaknyamanan ketika berinteraksi dengan orang lain. Mereka
cenderung introvert dan memiliki afek yang dingin, dan sering dianggap eksentrik atau penyendiri.
Kriteria Diagnosis
Paling sedikit tiga dari gejala di bawah
Sedikit (bila ada) aktivitas yang memberikan kesenangan
Emosi dingin, afek mendatar atau tak peduli
Kurang mampu untuk mengekspresikan kehangatan, kelembutan atau kemarahan terhadap orang
lain
Tidak peduli terhadap pujian maupun kecaman
Kurang tertarik untuk mengalami pengalaman seksual dengan orang lain
Hampir selalu memilih aktivitas yang dilakukan sendiri
Preokupasi dengan fantasi dan introspeksi yang berlebihan
Tidak mempunyai teman dekat atau hubungan pribadi yang akrab dan tidak ada keinginan untuk
menjalin hubungan seperti itu
Sangat tidak sensitif terhadap norma dan kebiasaan sosial yang berlaku
Diagnosis Banding
Kepribadian skizoid mudah didiagnosis banding dengan skizofrenia, gangguan waham, dan gangguan
afek karena gejalanya yang mirip. Kepribadian ini juga bisa didiagnosis banding dengan kepribadian
paranoid dan kepribadian cemas (menghindar) yang memiliki kecenderungan untuk beraktivitas
sendirian. Gangguan autisme masa kanak dan sindrom Asperger juga bisa didiagnosis banding
berdasarkan kemampuan sosialnya yang terganggu.
Tatalaksana
Psikoterapi memberikan manfaat bagi kepribadian skizoid. Jenis psikoterapi yang bisa digunakan bisa
individu maupun kelompok, meskipun memerlukan waktu bagi mereka untuk berpartisipasi sesuai
harapan. Psikofarmaka yang memberi manfaat antara lain antipsikotik, antidepresan, dan stimulansia.
Benzodiazepin dapat digunakan apabila ada kecemasan.
Prognosis
Kepribadian skizoid memiliki kemungkinan untuk menetap seumur hidup. Mereka berisiko mengalami
episode psikosis singkat, gangguan waham, dan skizofrenia, namun jarang mengalami depresi.
Kepribadian Dissosial
Individu dengan kepribadian dissosial memiliki ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dan
sikapnya dengan aturan dan norma yang berlaku. Mereka cenderung bertindak agresif dan impulsif
sehingga kebanyakan darinya menjadi kriminal, meskipun ini bukan berarti semua individu dengan
kepribadian ini merupakan kriminal atau sebaliknya.
Diagnosis Banding
Salah satu diagnosis banding utama kepribadian ini adalah penyalahgunaan zat karena keduanya
memiliki kecenderungan untuk melawan aturan atau norma. Diagnosis banding lainnya termasuk
kepribadian paranoid dan kepribadian ambang yang sama-sama agresif.
Tatalaksana
Psikoterapi pada kepribadian disosial lebih efektif bila dilaksanakan secara berkelompok, karena
ketika mereka berada di tengah lingkungan yang mirip, mereka lebih termotivasi untuk berubah. Hal
ini ditunjukkan dengan lebih efektifnya kelompok yang demikian dibanding kurungan penjara dalam
memperbaiki kondisi ini. Psikofarmaka digunakan untuk mengatasi gejala-gejala yang mengganggu,
namun harus diperhatikan kecenderungan mereka untuk menyalahgunakan zat yang dipakai.
Prognosis
Perilaku dissosialnya paling berat pada kepribadian ini cenderung muncul di usia remaja akhir, dan
seiring usia sebagian dari mereka menunjukkan penurunan. Gangguan depresi, penyalahgunaan
alcohol dan zat lain sering ditemukan pada kepribadian ini. Komorbiditas lainnya meliputi gangguan
pengendalian impuls, ansietas, dan gangguan somatisasi.
Kepribadian Histrionik
Kepribadian histrionik terkenal dengan perilakunya yang berlebihan dan mencari perhatian. Mereka
cenderung bersikap ekstrovert dan memiliki kesulitan dalam mempertahankan hubungan jangka
panjang.
Epidemiologi
Prevalensi kepribadian ini diperkirakan 2 sampai 3 persen populasi umum dan 10 sampai 15 persen
pada pasien psikiatrik, baik rawat jalan maupun rawat inap. Kepribadian ini jauh lebih sering
ditemukan pada perempuan.
Kepribadian Anankastik
Kepribadian anankastik dicirikan dengan sikap perfeksionis dan mementingkan keteraturan yang
mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi. Mereka juga sering keras kepala dan sulit
menentukan keputusan dengan mood yang terlalu serius akibat sikapnya tersebut.
Epidemiologi
Angka prevalensi kepribadian ini adalah 1 persen pada populasi umum dan 3 sampai 10 persen pada
pasien psikiatrik. Kepribadian ini dua kali lipat lebih sering ditemukan pada laki-laki dan pada anak
sulung. Kerabat individu ini juga lebih banyak ditemukan juga memiliki kepribadian anankastik. Latar
belakang individu biasanya melibatkan disiplin tinggi.
Kriteria Diagnosis
Paling sedikit tiga dari gejala di bawah
Perasaan ragu-ragu dan hati-hati yang berlebihan
Preokupasi dengan hal-hal yang rinci, peraturan, daftar, urutan, organisasi, atau jadwal
Perfeksionisme yang mempengaruhi penyelesaian tugas
Ketelitian yang berlebihan, terlalu hati-hati, dan keterikatan yang tidak semestinya pada
produktivitas sampai mengabaikan kepuasan dan hubungan interpersonal
Keterpakuan dan keterikatan yang berlebihan pada kebiasaan sosial
Kaku dan keras kepala
Pemaksaan yang tidak beralasan agar orang lain mengikuti persis caranya mengerjakan sesuatu,
atau keengganan yang tidak beralasan untuk mengizinkan orang lain mengerjakan sesuatu
Mencampuradukkan pikiran atau dorongan yang memaksa dan yang enggan
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang paling sering untuk kepribadian ini adalah gangguan obsesif-kompulsif. Isolasi
sosial akibat preokupasi terhadap pekerjaan bisa didiagnosis banding dengan kepribadian skizoid.
Learning Objective
Setelah mengikuti kepaniteraan di bagian psikiatri, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengetahui keadaan-keadaan yang berhubungan dengan kedaruratan psikiatri
2. Memahami bahwa kasus-kasus kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang memerlukan
pertolongan segera
3. Membedakan kasus-kasus kedaruratan psikiatri yang merupakan gangguan jiwa murni atau
berhubungan dengan Gangguan Mental Organik
4. Mempunyai keterampilan dalam assessment dan teknik evaluasi untuk membuat diagnosis
awal pada kasus-kasus kedaruratan psikiatri, memberi terapi sementara serta menjalankan
sistem rujukan
Pendahuluan
Kedaruratan Psikiatri merupakan cabang Ilmu Kedokteran Jiwa dan kedokteran kedaruratan, yang
dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatri. Suatu
kedaruratan psikiatri adalah setiap gangguan dalam pikiran, perasaan dan perbuatan yang
memerlukan tindakan segera. Karena berbagai alasan, seperti bertambah banyaknya kasus-kasus
kekerasan, meningkatnya pemahaman penyakit-penyakit organik yang dapat mengubah status
mental seseorang, bertambahnya jumlah orang-orang dengan penyalahgunaan zat psikoaktif, jumlah
kasus-kasus kedaruratan psikiatri semakin meningkat.
Epidemiologi
Kasus-kasus di ruang kedaruratan psikiatri ditemukan hampir sama antara laki-laki dan wanita. Orang
yang yang tidak menikah lebih banyak dibandingkan dengan yang menikah. Kira-kira 20 persen kasus
adalah pelaku percobaan bunuh diri dan 10 persen kasus yang berhubungan dengan kekerasan.
Diagnosis yang paling sering adalah gangguan mood (termasuk gangguan depresi dan manik),
skizofrenia dan penyalahgunaan zat psikoaktif. Dari semua kasus-kasus kedaruratan psikiatri kira-kira
40 persen memerlukan perawatan di rumah sakit dan sebagian besar datang pada malam hari.
Macam-macam kedaruratan psikiatri:
- kekerasan
- bunuh diri
- pembunuhan
- pemerkosaan
- penyalahgunaan zat psikoaktif
- masalah sosial : tunawisma, penuaan, AIDS
Penatalaksanaan
Terdapat 4 pendekatan dalam memberikan penatalaksanaan pada pasien dengan agitasi, yaitu:
1. Regulasi lingkungan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan pemeriksaan pasien dengan
agitasi, yaitu:
a. Memastikan keamanan pasien dan tenaga medis
b. Memberikan kenyaman kepada pasien
Adapun medikasi yang digunakan pada pasien agitasi adalah seperti dalam tabel dibawah ini: