Tugas Aspek Pengubah Hukum S2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam persoalan perubahan hukum ini dua hal peran hukum, dimana dalam
perannya hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat adanya perubahan
social (social change) dalam hal ini hukum berperan pasif, kemudian Sejauhmana
hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang
terencana Hukum berperan aktif. Disini fungsi hukum sebagai a tool of social
engineering/alat rekayasa masyarakat.
Hugo Sinzheimer menjelaskan bahwa; “Wanneer er tusschen recht en leven
tegenstellingen bestaan, dan komen ersteeds krachten in beweging om deze op te fheffen.
Dan begint een tijdperk, waarin nieuw recht onstaat....”1 Perubahan hukum senantiasa
dirasakan perlu dimulai, sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-
peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat, dengan hukum yang
mengaturnya.
Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang
diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogianya diaturnya tadi telah berubah
sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar
hukum masih efektif dalam pengaturannya, hal ini sesuai dengan aliran Sociological
Jurisprudence sebagaimana yang sebutkan oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrilich,
Benyamin Cardozo, Kartoriwics, Gurvitch dan lain-lain, mereka mengatakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat.2 Kesenjangan yang dimaksud sebagai sumber yang membutuhkan adanya
perubahan hukum, adalah terhadap perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat.

1
Achmad Ali. 1996. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Yarsif Watampone. Jakarta. Hlm.
203.
2
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2006. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Citra Adtya Bakti.
Bandung. Hlm. 66. Lihat juga Zainudin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Grafika. Jakarta. Hlm. 61.

1
Sedangkan perubahan pada jenis pertama dan kedua belum memaksa hukum untuk
segera melakukan penyesuaian terhadapnya.
Dalam keadaan yang telah mendesak, hukum atau perundang-undangan
memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat. Apa ciri yang menandai
adanya kesenjangan antara hukum dan peristiwa yang seyogianya diaturnya, sehingga
mendesak untuk diadakan perubahan hukum? Ciri atau tanda itu menurut Dror “adalah
ditandai dengan tingkah laku warga masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban-
kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan”3 Jadi
terdapat kesenjangan yang membedakan antara tanggapan hukum di satu pihak dan
masyarakat di pihak lain mengenai perbuatan yang seyogianya dilakukan. Jadi “das
sollen” sudah berbeda jauh dari pada “das sein”.
Hukum bertujuan untuk mengkoordinir aktivitas-aktivitas warga masyarakat di
mana aktivitas-aktivitas itu senantiasa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.
karena itu hukum merasa berkewajiban turut campur secara lebih serius dan langsung
dalam wujud kaidah-kaidah hukum. Ternyata bahwa efektif atau tidaknya hukum,
tidak semata-mata ditentukan oleh peraurannya, tetapi juga dukungan dari beberapa
institusi yang berada di sekililingnya, seperti faktor manusianya, faktor kultur
hukumnya, faktor ekonomi, dan sebagainya.
Dari uraian singkat ini, maka saya merasa tertarik untuk menyusun makalah ini
dengan judul, “Aspek-Aspek Pengubah Hukum Dalam Perspektif Sosial Budaya,
Sosiologis dan Yuridis.”

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini dapat
dirumuskan, sebagai berikut :
1. Bagaimana Aspek Pengubah Hukum dalam Perspektif Sosial Budaya ?
2. Bagaimana Aspek Pengubah Hukum dalam Perspektif Sosiologis ?

3
Ibid. h.,204

2
3. Bagaimana Aspek Pengubah Hukum dalam Perspektif Yuridis ?
C. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
Dalam membahas permasalahan makalah ini didasarkan pada kerangka teoritik
yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini adalah upaya untuk mengidentifikasi
teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, azas-azas hukum dan lain-lain yang
akan dipakai sebagai landasan untuk membahas pokok permasalahan dalam makalah
ini.4
Hukum merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks. Keterkaitan antara satu
unsur dalam sebuah sistem tidak dapat dipisahkan. Sebuah sistem mengharuskan segala
sesuatu menjadi saling keterkaitan. Unsur yang satu akan mempengaruhi unsur yang
lainnya. Sebuah sistem tidak akan berjalan jika di antara unsur tidak terjadi sinkronisasi,
koordinasi dan harmonisasi.
Bagi kaum non-dogmatis, hukum bukan sekedar undang-undang, sebagai contoh
yang diungkapkan oleh Eugen Ehrlich,5 mengatakan bahwa : “hukum tergantung pada
penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana
di dalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif”.
Begitu juga dalam pandangan realisme, hukum itu tidak selalu sebagai perintah
dari penguasa Negara, sebab hukum dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh
berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam
kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari
subsistem kemasyarakatannya. Politik sering kali melakukan intervensi atas perbuatan
dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara
hukum politik yang lebih suprematif.6
Jika ada pertanyaan demikian atau yang mempertanyakan hubungan kausalitas
antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum mempengaruhi politik

4
Supasti Dharmawan Ni Ketut. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Empiris. Makalah Kedua
dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas Udayana.
5
Jurnal Tata Negara. 2006. Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Prinsip Keadilan dan
Feminisme. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2006. Hlm. 4
6
Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana. Jakarta. Hlm. 107-108

3
ataukah politik yang mempengaruhi hukum,7 maka paling tidak ada tiga macam jawaban
dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa
kegiatan-kegiatan politik dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik
determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil dari kehendak-kehendak politik
yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai
subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya seimbang
antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Soerjono Soekanto8, hukum mempunyai tiga dimensi, yaitu sebagai
nilai, kaedah dan perikelakuan. Oleh karena itu maka hukum dapat dilihat dan dikaji dari
berbagai sudut. Hukum sebagai nilai, maka dikaji oleh filasafat hukum dan politik
hukum. Hukum sebagai kaedah dipelajari oleh ilmu hukum. Sedangkan hukum sebagai
perilaku dipelajari oleh Sosiologi Hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum.
Lebih lanjut menurut Soerjono Soekanto,9 dengan metode sejarah, ditelitilah
perkembangan hukum dari awal sampai terjadinya himpunan kaidah-kaidah hukum
tertentu. Kemudian hukum tadi dibanding-bandingkan dengan hukum yang berlaku di
masyarakat-masyarakat lainnya, untuk mendapatkan persamaan dan perbedaan. Itu
semua, merupakan obyek penelitian dari sejarah hukum dan ilmu perbandingan hukum.
Ilmu hukum juga meneliti aspek-aspek yang tetap dari suatu struktur hukum, aspek-
aspek mana dapat dianggap sebagai inti atau dasar dari hukum.
Pada hakekatnya hukum merupakan salah satu produk manusia dalam
membangun dunianya, yang bisa dicermati atau ditelaah melalui interaksi yang
berlangsung di masyarakat. Seperti kata Cicero, Ubi Societes Ibi Ius (di mana ada
masyarakat, di sana ada hukum). Soediman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa
“hukum” itu sebenarnya adalah manusia. Dalam artian hukum itu dilahirkan oleh
manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri. Hukum
adalah cermin dari manusia yang hidup. Dan karena manusia yang hidup oleh Tuhan

7
Moh, Mahfud MD. Mengefektifkan Kontrol Hukum Atas Kekuasaan. Makalah untuk Seminar Hukum
dan Kekuasaan. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII. Yogyakarta. 27 Maret 1996.
8
Soerjono Soekanto. 1986. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni. Bandung 1986. Hlm. 12.
9
Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 9-11.

4
senantiasa dilengkapi dengan Raga, Rasa, Rasio dan Rukun, keempat hal inilah yang
dipakai untuk membedakan antara individu yang satu dengan yang lain, masyarakat
yang satu dengan yang lain. Sehingga kelengkapan ini yang mempengaruhi pemberian
arti terhadap hukum dan peranannya dalam hidup bermasyarakat.10
Hukum yang terbentuk itu kemudian dijadikan sebagai kontrol sosial di
masyarakat tersebut. Hukum sebagai kontrol sosial merupakan aspek yuridis normatif
dari kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari
tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti perintah-perintah dan
larangan-larangan. Selain itu juga berfungsi menetapkan tingkah laku yang baik dan
tidak baik atau yang menyimpang dari hukum, serta menerapkan sanksi hukum terhadap
orang yang berprilaku tidak baik tersebut, guna tercapainya ketentraman dan
kemakmuran di masyarakat.11
Ketidakmampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar hukum
akan berakibat pada kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat memberikan
kepercayaan kepada hukum untuk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa dalam
lingkungan hidupnya. Sikap apriori masyarakat terhadap hukum dan krisis kepercayaan
mereka kepada aparat penegak hukum mengakibatkan tindakan pelampiasan dengan
cara main hakim sendiri dalam menangani masalah-masalah di tengah-tengah mereka,
sehingga hukum itu dapat dikatakan tidak berfungsi (mandul).
Satjipto Rahardjo pernah mengungkapkan bahwa hukum mengalami
kemandulan. Mandul dalam pengertian di sini adalah bahwa ilmu hukum tidak dapat
mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan demikian tidak membantu usaha-
usaha produktif yang sedang dijalankan oleh masyarakat. Ilmu hukum tidak peka lagi
terhadap proses sosial dalam masyarakat. Masyarakat telah banyak memilih jalur-jalur di
luar hukum untuk memecahkan permasalahan, konflik dan sengketa sosialnya. Sebagai
contoh sudah banyak terjadi, beberapa anggota masyarakat lebih rela memberikan uang

10
Sudjono Dirjosisworo. 1983. Sosiologi Hukum. Rajawali. Jakarta. 1983. Hlm. xv.
11
Zainuddin Ali. 2007. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2007. Hlm. 37.

5
damai dengan polisi yang menilangnya daripada ia harus diproses melalui prosedur
formal pengadilan.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo menyatakan juga bahwa hukum adalah institusi
normatif. Ia akan kehilangan fungsinya apabila tidak bisa tampil dalam kekuatannya
yang demikian, yakni menundukkan perilaku masyarakat ke bawah otoritasnya. Tentu
saja pemaksaan normatif itu memberikan hasil-hasil yang relatif. Ada bangsa yang
sangat patuh kepada hukumnya, ada yang setengah patuh, dan macam-macam gradasi
lainnya. Tetapi, pada suatu waktu tertentu bisa dirasakan bahwa fungsi normatif hukum
itu sudah menjadi terlalu melemah dan hasil ini akan cukup merisaukan.12 Hal ini dapat
dipertanyakan kembali tentang perkembangan hukum.
Meminjam istilah dari Meuwissen,13 pengembangan hukum (rechtbeofening)
antara yang praktis dan yang teoritis pada masa sekarang, pengembangan hukum di
Indonesia mengalami suatu paradigma pemikiran baru. Para ahli hukum Indonesia
mempertanyakan kembali jarak antara law in books dengan law in action yang sudah
cukup memprihatinkan. Menurut mereka hal ini bukan persoalan sepele. Oleh sebab itu,
untuk memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan hukum tersebut muncul
pertanyaan apakah ilmu hukum yang diajarkan di pendidikan hukum Indonesia itu masih
sesuai dengan perkembangan zaman dan sosio-kultural bangsa Indonesia.

12
Satjipto Rahardjo. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Kompas. Jakarta. Hlm. 157.
13
Bernard Arif Sidharta. 1999. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional. Mandar Maju. Bandung. Hlm. 177.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Pengubah Hukum Dalam Perspektif Sosial Budaya.


Hukum (law, recht) merupakan salah satu sarana dan prasarana yang berfungsi
untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik untuk dikaji adalah
justru hukum tertinggal di belakang objek yang diaturnya. Dengan demikian selalu
terdapat gejala bahwa antara hukum dan perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan
yang sangat mencolok. Apabila hal ini terjadi, maka timbul ketegangan yang semestinya
harus segera disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan,
tetapi usaha ke arah ini selalu terlambat dilakukan bahkan terkadang terasa jalan di
tempat. Semestinya, pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya hubungan yang nyata
di antara perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, sebab perubahan hukum baru
akan terjadi apabila sudah bertemunya dua unsur pada titik singgung yaitu adanya suatu
keadaan baru dan adanya kesadaran akan perlunya perubahan pada masyakaarat yang
bersangkutan.
Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain pada suatu kelompok,
yang paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat dari hubungan tadi. Reaksi
tersebut menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah luas dan dalam
memberikan reaksi itu, manusia selalu mempunyai kecenderungan untuk memberikan
keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain. Hal ini karena ada kebutuhan manusia
akan keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya dan keinginan
untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.14 Untuk dapat menyesuaikan
diri dengan kedua hal ini, manusia mempergunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya
sehingga menimbulkan kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan manusia.
Kelompk-kelomok sosial ini merupakan himpunan manusia yang hidup bersama dan

14
Abdul Manan. 2006. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kecana Prenada Media. Jakarta. Hlm. 72.

7
dalam kehidupan ini mempuyai kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan
kesadaran untuk saling tolong-menolong.
Walaupun anggota kelompok selalu menyebar, tapi pada waktu tertentu mereka
pasti berkumpul dan pada waktu itulah mereka saling memberikan pengalaman yang
berakibat pada perubahan dalam kelompok itu baik dalam bidang aktivitas maupun
dalam kerjasama kelompok yang pada akhirnya menetapkan suatu norma hukum yang
harus ditaati dan dilaksanakan, bahkan dalam pergaulan masyarakat prmitif pun selalu
ada norma yang harus ditaati.
Ketika mendiskusikan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, haruslah
dipahami bahwa antara individu dengan suatu kelompok merupakan kesatuan yang tidak
bisa terpisahkan, di mana masing-masing pihak tersebut mempunyai kepentingan dan
perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat
dimulainya suatu perbuatan yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara
pandang mereka terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi dan lingkungan di mana
mereka tinggal dan/atau di mana peristiwa, keadaan, situasi dan lingkungan dapat
mempengaruhi kehidupan mereka yang dapat mempengaruhi suatu perubahan
kehidupan mereka yang dapat mempengaruhi suatu perubahan terhadap hukum.
Hukum-hukum yang dibuat tentu saja harus sesuai dengan tata kehidupan
masyarakat yang hidup dalam masyarakat. Dari sinilah timbul suatu pandangan bahwa
hukum tidak dibentuk, tetapi lahir dari masyarakat yang terus berkembang.15 Meskipun
pengikut paham ini menyadari bahwa perubahan hukum yang lahir dari masyarakat itu
sendiri akan memerlukan waktu yang sangat lama, karena proses perubahan itu akan
terjadi sangat lambat yang kadang-kadang tidak seimbang dengan perkembangan
masyarakat modern, tetapi mereka menganganggap bahwa hukum yang baik adalah
hukum yang ada dalam masyarakat itu sendiri, tidak dipaksakan oleh unsur-unsur dari
luar.
Dalam masyarakat tradisional, hukum mempunyai sifat kebersamaan yang sangat
kuat dan mempunyai corak magis religius yang diliputi oleh pikiran yang sangat

15
Ibid, hlm. 73

8
konkret. Dalam masyarakat modern, hukum terdiri dari peraturan-peraturan yang
uniform dan konsisten dalam penerapannya, hukum berbentuk peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pihak legislatif dan adakalanya dibuat oleh pihak eksekutif.
Hukum dalam masyarakat modern bersifat reaksional, di sini hak-hak dan kewajiban
tumbuh dari transaksi-transaksi baik berupa kontrak maupun pelanggaran perdata dan
pidana.
Hukum dalam masyarakat modern pada umumnya bersifat universal, bersifat
berjenjang dan diorganisasikan oleh para ahlinya secara birokratis. Tidak bersifat statis,
tetapi selalu dinamis dan bersifat politis, oleh karenanya selalu dapat diubah dan
diperbarui agar sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan zaman. Di dalam
hubungan antar manusia dengan manusia lain pada suatu kelompok, yang paling penting
adalah reaksi yang timbul sebagai akibat dari hubungan tadi. Reaksi tersebut
menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah luas dan dalam memberikan reaksi
itu, manusia selalu mempunyai kecenderungan untuk memberikan keserasian dengan
tindakan-tindakan orang lain. Hal ini karena ada kebutuhan manusia akan keinginan
untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya dan keinginan untuk menjadi
satu dengan suasana alam sekelilingnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan kedua
hal ini, manusia mempergunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya sehingga
menimbulkan kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan manusia.
Kelompok-kelompok sosial ini merupakan himpunan manusia yang hidup
bersama dan dalam kehidupan ini mempunyai kaitan timbal balik yang saling
memengaruhi dan kesadaran untuk saling tolong-menolong. Walaupun anggota
kelompok selalu menyebar, tapi pada waktu tertentu mereka pasti berkumpul dan pada
waktu itulah mereka saling memberikan pengalaman yang berakibat pada perubahan
dalam kelompok itu baik dalam bidang aktivitas maupun dalam kerjasama kelompok
yang pada akhirnya mereka menetapkan suatu norma hukum yang harus di taati dan
dilaksanakan.

9
Meskipun hukum itu menyesuaikan dengan perubahan sosial, tetapi hukum tidak
boleh dijadikan alat kekuasaan penguasa, melainkan hukum itu harus dapat memenuhi
kepentingan rakyat banyak. Birokrasi yang tidak sehat akan menimbulkan birokrasi yang
tidak efektif, dan tidak efisien, dalam melaksanakan pelayanan prima kepada
masyarakat. Hukum akan berperan secara baik kalau hukum itu tumbuh dalam
masyarakat yang sehat, yaitu masyarakat yang menghargai ketertiban (order),
keteraturan (regularity) dan kedamaian (peaceful).16
Hukum itu harus seimbang antara kepentingan penguasa disatu pihak dengan
kepentingan rakyat dipihak lain. Dalam rangka menjaga keseimbangan ini, maka hukum
harus dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata untuk kepentingan
penguasa. Rakyat adalah subjek dari hukum, bukan objek dari hukum. Oleh karena itu,
hukum itu harus dapat menjamin terlaksananya penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia (HAM), baik hak sipil maupun hak-hak politik dan sosial dalam kehidupan
suatu bangsa.
Dalam sejarah kehidupan umat manusia mulai zaman Nabi Adam as sampai
sekarang, secara naluriah dimana saja dan kapan saja manusia mempunyai
kecenderungan untuk hidup bersama, hidup berkelompok dan bergaul satu sama lain,
pertama kali ia berhubungan dengan orang tuanya, kemudian dengan saudara-
saudaranya, dan ketika ia meningkat dewasa ia akan bergaul dengan orang lain dalam
pergaulan yang lebih luas baik dalam bentuk organisasi informal sampai formal. Dalam
pergaulan itu, seseorang akan menemukan aturan-aturan di dalam berinteraksi antara
satu dengan yang lain. Aturan yang dipakai dalam berinteraksi itu biasanya bertitik tolak
pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan norma-norma itu memberikan
acuan tentang cara bersikap dan perilaku yang disepakati untuk ditaati agar tercapai
ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan bersama tersebut.
Norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai banyak
ragamnya dan salah satunya yang sangat penting adalah norma hukum, di samping
norma agama, susila dan kesopanan. Norma hukum dapat dijumpai pada seluruh

16
Ibid., hlm. 74

10
kelompok masyarakat, baik yang tradisional maupun dalam masyarakat modern. Norma
hukum itu mengatur hampir seluruh segi kehidupan masyarakat, baik secara sistematis
yang dikodifikasikan maupun yang tidak dibukukan tetapi norma hukum itu dipakai
untuk mengatur lalu lintas kehidupan dan tersebar yang oleh para ahli hukum dikualifisir
sebagai hukum. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hukum yang
dikodifikasikan dan sistematis, maupun yang tersebar dan dikualifisir sebagai hukum
tidak selalu dapat menjawab dan mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat secara permanen, sebab pada kenyataannya, hukum-hukum yang berlaku
sering kali tertinggal dari pertumbuhan dan masyarakat yang terjadi.17
Tentang perubahan hukum yang dikaitkan dengan perubahan sosial, Lawrence
M. Friedman18 mempertanyakan apakah hukum mengakibatkan proses perubahan sosial,
atau justru mengikuti proses perubahan sosial? Apakah hukum menjadi penggerak atau
salah satu penggerak saja yang mengakibatkan perubahan sosial? Ataukah perubahan
sosial selalu berasal dari masyarakat yang besar yang kemudian meluber ke sisitem
hukum? Apakah sistem hukum merupakan sistem yang hanya menyesuaikan diri atau
dengan mengakomodasi perubahan besar yang sedang terjadi di luar sistem hukum?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa tidak
seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara tuntas. Yang jelas
secara kenyataan bahwa hukum mengikuti perubahan sosial dan menyesuaikan dengan
perubahan itu.
Perubahan dan perkembangan dalam suatu masyarakat dimanapun di dunia ini
merupakan gejala yang normal, hal ini merupakan konsekuensi dari akibat melajunya
arus globalisasi terutama kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Penemuan-penemuan dalam berbagai bidang ini menyebabkan terjadinya modernisasi
pendidikan, modernisasi dalam ekonomi dan perdagangan, perubahan dalam
perkembangan politik dan sebagainya.

17
Ibid. Hlm. 75-76
18
Lawrence M. Friedman. 1969. Legal Culture and Social Development dalam Law and Society. Vol. 4.
Hlm. 42.

11
Perubahan-perubahan tersebut melahirkan berbagai bentuk nilai baru yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat yang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang berlaku
sebelumnya. Kondisi seperti ini membuat masyarakat harus mengadakan perubahan
hukum sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum-hukum yang dibuat itu harus mampu
membuat masyarakat untuk hidup dalam suasana ketertiban dan ketenteraman dalam
suasana pergaulan yang lebih baik sebelumnya.
Arnold M. Rose19 sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto
mengemukakan bahwa ada tiga teori umum perihal perubahan-perubahan sosial yang
berhubungan dengan hukum, yakni pertama: komunikasi yang progresif dari penemuan-
penemuan di bidang teknologi, kedua: kontak dan konflik antara kebudayaan, ketiga:
terjadinya gerakan sosial (sosial movement). Menurut ketiga teori ini, hukum lebih
merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial karena
melajunya arus globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan yang pada akhirnya
menghasilkan suatu kebudayaan baru sebagai suatu hasil karya, rasa dan cipta suatu
masyarakat.
Demikian juga dengan hukum yang terdapat dalam kehidupan masyarakat,
betapa pun sederhana dan kecilnya masyarakat itu norma hukum pasti ada dalam
masyarakat tersebut, karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat.
Hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang
mendukung kebudayaan yang lahir dari kehidupan masyarakat itu.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat di dunia ini merupakan suatu hal yang
normal, yang tidak normal justru jika tidak ada perubahan. Demikian juga dengan
hukum, hukum yang dipergunakan dalam suatu bangsa merupakan pencerminan dari
kehidupan sosial suatu masyarakat yang bersangkutan. Dengan memperhatikan karakter
suatu hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat (bangsa) akan terlihat pula karakter
kehidupan sosial dalam masyarakat itu. Hukum sebagai tatanan kehidupan yang
mengatur lalu lintas pergaulan masyarakat, dengan segala peran dan fungsinya akan ikut
berubah mengikuti perubahan sosial yang melingkupinya. Cepat atau lambatnya

19
Sorjono Soekanto. 1999. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada Jakarta. Hlm. 95

12
perubahan hukum dalam suatu masyarakat, sangat tergantung dalam dinamika
kehidupan masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat dalam kehidupan sosialnya
berubah dengan cepat, maka perubahan hukum akan berubah dengan cepat pula, tetapi
apabila perubahan itu terjadi sangat lambat, maka hukum pun akan berubah secara
lambat seiring dan mengikuti perubahan sosial dalam masyarakat itu.20

B. Aspek Pengubah Hukum dalam Perspektif Sosiologis.


Pandangan atau pemikiran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich dan Max
Weber. Menurut aliran sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam
masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum
(timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Perkambangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.21
Oleh sebab itu menurut pandangan atau pemikiran sosiologis, hukum bukanlah
norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata
tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya
dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di masyarakat.
Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Belanda menyatakan, hukum itu
bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang
memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan
peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan
orang lain di dalam masyarakat itu.22
Menurut Soekanto, aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen
Erlich (1826-1922) yang berasal dari Austria, bukunya yang terkenal “Fundamental
Principle of The Sociology of Law”. Erlich mengatakan bahwa ajarannya adalah
berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum
yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari

20
Abdul Manan, Op.,Cit., hlm. 78
21
Muhammad Siddiq Tgk. Armia. 2008. Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum. Pradnya
Paramita. Jakarta. Hlm. 9
22
Ibid. Hlm. 10

13
hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan
yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat
itu sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di masyarakat dilaksanakan pada peraturan-
peraturan yang dipaksakan oleh negara.23
Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal dari
Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan
sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-
kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. 24
Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai suatu
proses yang hidup dimasyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the
books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang
hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah sesuai
dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum itu
sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan
dengan efek-efek nyatanya.25
Leon Duguity terkenal dengan konsepsi ‘Solidaritas Sosial’ menyatakan bahwa
berlakunya hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia yang hidup
bersama dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa, tetapi
bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari
para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum apabila
mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif. Menurut Duguity, pembentuk
undang-undang tidak menciptakan hukum, tetapi hanya mentransformasikan saja hukum
yang hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.26

23
Sabian Usman. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Hlm. 155
24
Ibid. Hlm.155.
25
Ibid, Hlm. 157
26
Op. Cit. Muhammad Siddiq Tgk. Armia, hlm. 10

14
C. Aspek Pengubah Hukum Dalam Perspektif Yuridis
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah mempelajari
dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat (sesudah
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).27 Menurut Kamus Hukum, kata yuridis
berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.28 Dapat
disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk
memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum
Sebelum berbicara tentang aspek pengubah hukum dalam perspektif yuridis,
maka akan digambarkan terlebih dahulu sejarah perkembangan hukum Indonesia.
Setelah diproklamirkannya kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang
masing-masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala
seluk-beluknya dan sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada
dasarnya pemimpin nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan
melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial. Inilah periode awal dengan keyakinan
bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan
dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Akan tetapi dalam
kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak
sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.29
Para advokat Indonesia waktu itu dan sebagian besar cendekiawan lainnya
menginginkan negara yang bersistem hukum Eropa yang, karena keragaman hukum
rakyat tak terumus secara eksplisit itu, alasanya adalah sistem pengelolaannya sebagai
suatu tata hukum yang modern (melihat kepada tata organisasi, prosedur-prosedur, dan
asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakan, serta pula profesional penyelenggaraan)
telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial dan tak akan mudah
dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat.

27
Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa (Edisi
Keempat). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Hlm. 1470.
28
M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Huku. Reality Publisher. Surabaya. Hlm. 651.
29
Soetandyo Wignjosoebroto. 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional – Dinamika Sosial
Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 13.

15
Terlanjur memilih dan meyakini bahwa akan lebih praktis jika melanjutkan
tradisi sistem hukum kolonial yang dianggap telah lebih dipahami serta memiliki
struktur yang lebih pasti, ternyata bukan tanpa masalah dalam perjalanan selanjutnya.
Mengesampingkan pilihan terhadap pemakaian hukum rakyat yang beragam dan tidak
terumus secara eksplisit, dengan memilih pola hukum Eropa yang menganut asas
ketunggalan melalui cara kodifikasi bukan tanpa konsekuensi. Problema yang kemudian
muncul adalah masalah fleksibilitas norma tertulis dalam implementasinya pada
lembaga pengadilan. Rumusan norma hukum yang eksplisit dalam wujud perundang-
undangan tidak jarang malah terkesan kaku dan limitatif, meski dalam
pengimplementasiannya masih terbuka peluang bagi hakim untuk melakukan
interpretasi, mengingat kodifikasi norma hukum apa pun memang tercipta dengan
kondisi yang tidak selalu lengkap.
Di samping aspek norma, faktor lembaga pengadilan juga merupakan problema
tersendiri, dalam penerapannya untuk kasus-kasus konkrit di pengadilan, norma atau
kaidah hukum itu tidak jarang juga memunculkan berbagai persoalan yang bermuara
pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial (substantial justice) bagi para
pencarinya. Betapa tidak, cara pandang hakim terhadap hukum seringkali amat kaku dan
normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap
apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan
masyarakat” (social justice). Dalam hal ini, benarlah apa yang dikemukakan oleh Esmi
Warassih bahwa “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan
dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang
sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi
pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota
masyarakat itu sendiri.”30
Apapun yang kemudian terjadi bahwa mengalihkan pranata dan lembaga hukum
yang pernah berlaku semasa Kolonial Belanda adalah sesuatu yang sudah terjadi.
30
Esmi Warassih Pujirahayu. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip,
Semarang, 14 April 2001. Hlm. 12.

16
Bahkan cara semacam itu pada awalnya dianggap sesuatu yang lumrah. Hal ini juga
pernah disampaikan Satjipto Rahardjo melalui tulisannya yang bertajuk “Rumus-rumus
dalam Pengoperan Hukum”.31
Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa hukum sebagaimana diterima dan
dijalankan oleh banyak negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam
kategori hukum yang modern.32 Sementara negara yang sedang berkembang kebanyakan
hukumnya terdiri dari hukum tradisional dan hukum modern. Negara-negara ini
umumnya mewarisi suatu tata hukum yang pluralistis sifatnya, dimana hukum
tradisional berlaku berdampingan dengan hukum modern.33 Hukum modern memiliki
ciri-ciri utama berbentuk tertulis, berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan sebagai
instrumen yang secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik
masyarakatnya. karakteristik hukum modern tersebut memang secara eksplisit melekat
pada sistem hukum yang berasal dari Eropa daratan yang diwarisi Indonesia setelah
merdeka. Oleh karena itu, pertimbangan untuk memilih hukum yang bentuknya tertulis
dianggap lebih berorientasi ke masa depan.
Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, Indonesia kini juga sudah
menyatakan komitmennya pada modernisasi. Modernisasi diharapkan menjadi jembatan
yang mengantarkan bangsa Indonesia kepada kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Komitmen pada modernisasi itu pada gilirannya memberikan pengaruh pula terhadap
pembaruan di bidang hukum. Bukankah hukum sebagai kerangka kehidupan sosial ini
harus dibuat modern pula apabila kita ingin membentuk masyarakat Indonesia yang
modern? Modernisasi di sini pada pokoknya dapat ditempuh melalui dua jalan:34

31
Satjipto Rahardjo. 1977. “Rumus-rumus dalam Pengoperan Hukum;” dalam Aneka Persoalan Hukum
dan Masyarakat. Alumni. Bandung. Hlm. 45-53.
32
Satjipto Rahardjo. 1986. “Hukum dalam Perspektif Perkembangan”, dalam Ilmu Hukum. Alumni.
Bandung. Hlm. 178.
33
Satjipto Rahardjo. 1981. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung. Hlm. 154.
34
Satjipto Rahardjo. “Rumus-Rumus dalam Pengoperan Hukum.” Op cit, hlm. 47.

17
1. Dengan mengembangkan konsepsi-konsepsi serta lembaga-lembaga tradisional
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dewasa
ini;
2. Dengan melakukan pengoperan hukum dari negara lain.
Berbicara tentang pembaruan/perubahan hukum, hal ini bukanlah masalah yang
sederhana. Masalahnya sangat luas dan kompleks. Perubahan hukum tidak hanya
perubahan peraturan perundang-undangan saja, tetapi mencakup sistem hukum secara
keseluruhan, yaitu perubahan substansi hukum, struktur dan budaya hukum.35 Artinya
substansi hukum, aparat penegak hukum dan pandangan serta nilai yang membudaya,
yang ada selama ini di masyarakat harus dilakukan perubahan, menjadi lebih berpihak
dan mengerti kebutuhan masyarakat, agar terbentuknya sistem hukum yang ideal yang
seharusnya terwujud di Indonesia.
Sebelumnya ada beberapa kendala yang harus dituntaskan dalam rangka
mewujudkan perubahan hukum di Indonesia, di antaranya:36
1. Menyangkut hal-hal teknis, yakni dalam mengenali nilai, norma yang hidup di
tengah bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
2. Kelembagaan, sampai saat ini di Indonesia belum disepakati adanya suatu
lembaga yang khusus mengkaji peraturan perundang-undangan dan sekaligus
dikhususkan untuk menyusun dan mengkoordinasi pembentukan undang-undang,
3. Filosofis, adanya kecenderungan mengabaikan arti penting pertimbangan
filosofis terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang akan disusun, hal
ini dapat diketahui dari seringnya ditemukan peraturan perundang-undangan
yang dalalm waktu singkat harus diubah, karena ada perubahan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat,

35
Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Kencana. Jakarta. Hlm. 3.
36
Hermayulis. 2003. Terbentuk dan Pembentukan Hukum, Suatu Pemikiran dalam Perubahan Hukum di
Indonesia. Dalam EKM Masinambor (ed.) Hukum dan Kemajemukan Budaya. Sumbangan Karangan
untuk Menyambut Hari Ulang Tahun Prof. Dr. T.O. Ihromi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hlm.
96-97.

18
4. Politik hukum, politik hukum yang diterapkan dalam perumusan peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak dirumuskan secara tegas tentang ke arah
mana aturan akan di buat,
5. Pengaruh luar, perubahan hukum yang sesuai dengan nilai, norma dan budaya
bangsa Indonesia sulit diwujudkan sepanjang Indonesia masih didikte oleh
kekuatan-kekuatan asing.
Kembali ke masalah perbaikan sistem hukum Indonesia, mengenai pembaruan
substansi hukum, kiranya masih relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Sunaryati
Hartono, yang merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan
pengembangan hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian,
yaitu :37
1. Hukum nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum
adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila.
Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang
akan datang;
2. Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan
bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas
kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan
persoalan yang baru pula;
3. Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional.
Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar
memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak
diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang
adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

37
Sunarjati Hartono. 1971. Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat. Alumni. Bandung. 1971.
hlm. 31.

19
Terkait dengan pembaruan di bidang struktur hukum, moral para aparat penegak
hukum sebagai kunci utama dalam penegakan hukum harus dibenahi dan ditingkatkan.
Hendaknya sering diadakan pelatihan atau training yang dapat menggembleng mental
dan moral mereka sehingga benar-benar meresapi amanah yang dibebankan padanya
sampai ke dalam hati sanubarinya, sehingga mereka sadar bahwa tugas mereka
merupakan tanggung jawab yang sangat besar, bagi kehidupan masyarakat.
Selain memerlukan peningkatan moral, pembaharuan hukum juga memerlukan
peningkatan kualitas keilmuan. Peningkatan kualitas keilmuan diharapkan dapat
meningkatkan kualitas produk legislatif dan produk penegakan hukum. Tidak ada
artinya undang-undang dan lembaga penegakan hukum dibentuk/ diperbarui, apabila
ilmu (hukum) pembuat undang-undang dan aparat penegak hukumnya tidak juga
diperbarui dan ditingkatkan. Terlalu banyak fenomena produk legislatif dan yudikatif
atau produk penegakan hukum lainnya yang bersumber pada latar belakang keilmuan
yang lemah dan rapuh secara substansial dan konsepsional.38
Peningkatan kualitas kelimuan ini (antara lain lewat program pendidikan hukum
lanjutan, program spesialis, magister, doktor) seyogyanya merata atau menyeluruh pada
semua sumber daya manusia termasuk dikalangan aparat penegak hukum. Pemerataan
atau keseimbangan kulitas keilmuan dari orang-orang yang terlibat dalam proses
penegakan hukum ini, tentunya juga akan berpengaruh pada bobot/kualitas proses
peradilan dan kualitas keadilan/keputusan hukum yang dijatuhkan.39
Untuk memperbaiki budaya hukum yang selama ini terbentuk di masyarakat,
hendaknya sering dilakukan program-program peningkatan kesadaran hukum.
Peningkatan kesadaran hukum tersebut seyogianya dilakukan melakui penerangan dan
penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan hukum yang mantap.
Penyuluhan hukum bertujuan agar masyarakat mengetahui dan memahami pentingnya
keberadaan hukum-hukum tertentu sehingga dapat merasakan manfaatnya, seperti dalam
hal berlalu lintas, mengenai pajak, dan sebagainya. Namun perlu diingat penyuluhan

38
Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm. 6-7.
39
Ibid, hlm. 7.

20
tersebut harus disesuaikan dengan permasalahan hukum yang ada di masyarakat pada
suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.40
Selain itu perubahan hukum, tidak dapat dilepaskan dari proses dialektika yang
terjadi di perguruan tinggi pada khususnya dan perkembangan pendidikan hukum pada
umumnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, untuk pengembangan ilmu hukum yang
bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu
Hukum yang berasal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara
membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras.41
Kalau kita melihat lebih jauh, paradigma pendidikan hukum di Indonesia,
tampaknya masih didominasi oleh penggambaran mengenai kebenaran profesional
daripada kebenaran ilmiah. Keadaan seperti itu tampaknya dipengaruhi oleh mapannya
program pendidikan hukum untuk melayani kebutuhan profesi, yang diselenggarakan
fakultas-fakultas hukum. Selama ini out put dari fakultas hukum, hanya akan
menghasilkan para yuris profesional yang berpandangan normatif, tidak mampu melihat
kebenaran yang sesungguhnya, sehingga cenderung melihat hukum sebagai “rule and
logic”, sebagai implikasinya gambar yang lengkap mengenai hukum menjadi cacat.
Oleh karena itu, perlu ada “paradigm shift”, mengenai pendidikan hukum di Indonesia,
yang cenderung positivistik, menuju pendidikan hukum dengan pemahaman holistik
dengan dibantu ilmu lain, sehingga produknya tidak melihat hukum dengan model “kaca
mata kuda”.
Menurut Winarno Surakhmad, diabaikannya konsep-konsep kesatuan ilmu yang
utuh berakibat lemahnya persepsi para pendidik itu; dari persepsi serupa itulah lahir
berbagai tindakan yang juga berdampak sangat lemah, kalau tidak dapat dinilai negatif.42
Selanjutnya, Winarno Surakhmad berpendapat bahwa akibat logis dari tidak adanya

40
Soerjono Soekanto. 1981. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-Masalah Sosial.
Alumni. Bandung. Hlm. 188.
41
Lili Rasyidi dan Bernard Arief Sidharta. 1994. Filsafat Hukum: Madzhab dan Refleksinya.
Rosdakarya. Bandung. Hlm. 111.

42
Winarno Surakhmad, “Ilmu Kependidikan untuk Pembangunan : Sebuah Kebutuhan Strategik Dunia
Ketiga”, dalam Prisma, No.3/1986, LP3ES, Jakarta, hlm. 6.

21
perangkat konsep yang utuh dan ilmiah itu, banyak pendidik yang tidak lagi mampu
mengaitkan secara nyata tugas-tugas kependidikan dengan berbagai implikasi perubahan
sosial yang semakin hari semakin cepat, atau dengan pertumbuhan aspirasi politik dan
kultural yang semakin dinamis, atau dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang
semakin canggih dan semakin berkonsekuensi luas.43
Sebaliknya, mereka tetap tinggal terpaku pada persoalan periferik, dan berfikir
dalam dunia profesionalism kependidikan yang sempit. Dari sini lahirlah tindakan yang
semakin tidak menguntungkan sektor kependidikan itu sendiri, jenjang kependidikan
yang lebih banyak lahir karena pertimbangan praktis dan bukan karena pertimbangan
ilmiah, tidak lagi secara serius dipertanyakan. Oleh karena itu, menurut Jimly
Asshiddiqie pendidikan hukum di masa depan perlu disesuaikan dengan orientasi
penataan sistem hukum di masa depan.44 Misalnya, untuk memberikan peran lebih besar
kepada hakim dan jurisprudensi dalam proses pembentukan hukum, maka sistem
pendidikan tinggi hukum juga harus menempatkan “case law” dan praktik hukum
sebagai bagian penting dalam sistem kurikulum pendidikan hukum di fakultas-fakultas
hukum. Dalam tulisannya Jimly berpendapat: “Tidak boleh terjadi seorang calon sarjana
hukum perdata tidak pernah mengunjungi pengadilan dan menyaksikan proses peradilan
berlangsung. Juga tidak boleh terjadi calon seorang sarjana hukum tatanegara belum
pernah berkunjung dan menyaksikan perdebatan mengenai RUU di Dewan Perwakilan
Rakyat. Demikian pula, telaah mengenai suatu ketentuan hukum tidak boleh hanya
terpaku pada teks ketentuan perundang-undangan secara normatif, tetapi harus menelaah
kasus-kasus berkenaan dengan perkara di pengadilan mengenai hal tersebut, seperti yang
dipelajari dalam sistem Common Law”.45
Dengan demikian, perkembangan ilmu hukum di masa depan perlu diarahkan
secara lebih empiris dan induktif daripada kecenderungan yang bersifat deduktif dan

43
Ibid. Hlm. 6
44
Jimly Asshiddiqie. 1998. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi. Balai Pustaka.
Jakarta. Hlm.114.
45
Ibid. Hlm. 114.

22
normatif seperti yang selama ini dikembangkan, ketika paradigma ini tidak mampu lagi
menerangkan realitas yang diamatinya. Oleh karena, sisa-sisa dari materi pendidikan
hukum dogmatik, baru diisi dengan materi yang sifatnya mengasah nalar. Misalnya,
Penalaran Hukum, Metodologi Hukum, Sosiologi Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum.
Dalam kajian hukum yang teoretis, teks atau pasal-pasal suatu aturan hukum
justru menjadi masalah dan bukan sebatas pelerai konflik yang muncul dalam
masyarakat. Dengan demikian, pendidikan keilmuan di bidang hukum di Indonesia akan
senantiasa berubah sesuai perbatasan yang selalu bergeser dan lebih maju. Dalam
perspektif bangsa Indonesia, hal ini merupakan persoalan yang sangat serius, oleh
karena tidak terlampau banyak ahli hukum yang menaruh perhatian terhadap masalah-
masalah hukum yang bersifat konseptual.46 Hal ini sebagai akibat dari kondisi dan
desakan kebutuhan yang mengakibatkan sebagian besar ahli hukum lebih mencurahkan
perhatiannya pada persoalan-persoalan hukum yang bersifat praktis.

46
Lili Rasjidi. 1995. Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam
Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia. Eresco. Bandung. Hlm. 353-354.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam masyarakat tradisional, hukum mempunyai sifat kebersamaan yang sangat
kuat dan mempunyai corak magis religius yang diliputi oleh pikiran yang sangat
konkret. Dalam masyarakat modern, hukum terdiri dari peraturan-peraturan yang
uniform dan konsisten dalam penerapannya, hukum berbentuk peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pihak legislatif dan adakalanya dibuat oleh pihak eksekutif.
Hukum dalam masyarakat modern bersifat reaksional, di sini hak-hak dan kewajiban
tumbuh dari transaksi-transaksi baik berupa kontrak maupun pelanggaran perdata dan
pidana.
Meskipun hukum itu menyesuaikan dengan perubahan sosial, tetapi hukum tidak
boleh dijadikan alat kekuasaan penguasa, melainkan hukum itu harus dapat memenuhi
kepentingan rakyat banyak. Birokrasi yang tidak sehat akan menimbulkan birokrasi yang
tidak efektif, dan tidak efisien, dalam melaksanakan pelayanan prima kepada
masyarakat. Hukum akan berperan secara baik kalau hukum itu tumbuh dalam
masyarakat yang sehat, yaitu masyarakat yang menghargai ketertiban (order),
keteraturan (regularity) dan kedamaian (peaceful).
Norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai banyak
ragamnya dan salah satunya yang sangat penting adalah norma hukum, di samping
norma agama, susila dan kesopanan. Norma hukum dapat dijumpai pada seluruh
kelompok masyarakat, baik yang tradisional maupun dalam masyarakat modern. Norma
hukum itu mengatur hampir seluruh segi kehidupan masyarakat, baik secara sistematis
yang dikodifikasikan maupun yang tidak dibukukan tetapi norma hukum itu dipakai
untuk mengatur lalu lintas kehidupan dan tersebar yang oleh para ahli hukum dikualifisir
sebagai hukum.

24
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 1996. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Yarsif Watampone.
Jakarta.

Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana. Jakarta.

Abdul Manan. 2006. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kecana Prenada Media. Jakarta.

Bernard Arif Sidharta. 1999. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional. Mandar Maju.
Bandung.

Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa
(Edisi Keempat). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Esmi Warassih Pujirahayu. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan


Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April
2001.

Hermayulis. 2003. Terbentuk dan Pembentukan Hukum, Suatu Pemikiran dalam


Perubahan Hukum di Indonesia. Dalam EKM Masinambor (ed.) Hukum
dan Kemajemukan Budaya. Sumbangan Karangan untuk Menyambut
Hari Ulang Tahun Prof. Dr. T.O. Ihromi. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.

Lawrence M. Friedman. 1969. Legal Culture and Social Development dalam Law and
Society. Vol. 4.

25
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2006. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Citra
Adtya Bakti. Bandung.

Jurnal Tata Negara. 2006. Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Prinsip
Keadilan dan Feminisme. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. 2006.

Jimly Asshiddiqie. 1998. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi.


Balai Pustaka. Jakarta.

Lili Rasyidi dan Bernard Arief Sidharta. 1994. Filsafat Hukum: Madzhab dan
Refleksinya. Rosdakarya. Bandung.

Lili Rasjidi. 1995. Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum
Nasional, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia. Eresco.
Bandung.

Muhammad Siddiq Tgk. Armia. 2008. Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum.
Pradnya Paramita. Jakarta.

M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Moh, Mahfud MD. Mengefektifkan Kontrol Hukum Atas Kekuasaan. Makalah untuk
Seminar Hukum dan Kekuasaan. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum
UII. Yogyakarta. 27 Maret 1996.

Supasti Dharmawan Ni Ketut. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Empiris. Makalah


Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas
Udayana.

Soerjono Soekanto. 1986. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni. Bandung 1986.

Sudjono Dirjosisworo. 1983. Sosiologi Hukum. Rajawali. Jakarta. 1983.

Satjipto Rahardjo. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Kompas. Jakarta.

26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Rajawali Pers, Jakarta.

Sorjono Soekanto. 1999. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada Jakarta.

Sabian Usman. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Pustaka Belajar. Yogyakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto. 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional –


Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Satjipto Rahardjo. 1977. Rumus-rumus dalam Pengoperan Hukum, dalam Aneka


Persoalan Hukum dan Masyarakat. Alumni. Bandung.

Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dalam Perspektif Perkembangan, dalam Ilmu Hukum.
Alumni. Bandung.

Satjipto Rahardjo. 1981. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung.

Sunarjati Hartono. 1971. Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat. Alumni.
Bandung. 1971.

Soerjono Soekanto. 1981. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-Masalah


Sosial. Alumni. Bandung.

Winarno Surakhmad, “Ilmu Kependidikan untuk Pembangunan : Sebuah Kebutuhan


Strategik Dunia Ketiga”, dalam Prisma, No.3/1986, LP3ES, Jakarta.

Zainuddin Ali. 2007. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2007.

Zainudin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Grafika. Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai