TB Pada Anak

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru.
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi
juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya
angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang
per tahun.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan
spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada
anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak,
ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena
sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan
asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan
pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.

.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai kajian keilmuan
dalam hal tuberkulosis pada anak. Untuk mengetahui definisi, etiologi,
klasifikasi, pathogenesis, gambaran klinis, diagnosis, terapi, dan prognosis dari
tb anak. Sehingga pada akhirnya dapat dihasilkan pemahaman materi secara
lebih mendalam dalam rangka menunjang kegiatan praktek di lapangan dengan
pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang
sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih
sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh
dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan,
baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas),
maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang,
Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah
penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa
Tuberkulosis / TBC merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada
tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Kenyataan mengenai penyakit
TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga kita harus waspada sejak dini &
mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC.

2.2 Epidemiologi

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa


sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan
angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru,
merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di
negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka
kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per
tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia
<15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih
rendah yaitu 5-7%.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per
tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia
selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak
adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya
infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif
(kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang
banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-
faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor
risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin
(dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.

2.2 Etiologi

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang
jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-
paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).
Bakteri Mikobakterium tuberkulosa

2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terkena TBC


 Daya Tahan Tubuh yang kurang
Kemampuan untuk melawan infeksi adalah kemampuan pertahanan tubuh
untuk mengatasi organisme yang menyerang. Kemampuan tersebut
tergantung pada usia yang terinfeksi. Namun kekebalan tubuh tidak mampu
bekerja baik pada setiap usia. Sistem kekebalan tubuh lemah pada saat
kelahiran dan perlahan-lahan menjadi semakin baik menjelang usia 10
tahun. Hingga usia pubertas seorang anak kurang mampu mencegah
penyebaran melalui darah, sekalipun lambat laun kemampuan tersebut
akan meningkat sejalan dengan usia.
 Tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif
 Pekerjaan kesehatan yang merawat Pasien TB
Pasien-pasien dengan dahak yang positif pada hapusan langsung (TB
tampak di bawah mikroskop) jauh lebih menular, karena mereka
memproduksi lebih banyak TB dibandingkan dengan mereka yang hanya
positif positif pada pembiakan. Makin dekat seseorang berada dengan
pasien, makin banyak dosis TB yang mungkin akan dihirupnya.
 Gizi Buruk
Terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi
daya tahan terhadap penyakit ini. Faktor ini sangat penting pada
masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak. Kompleks
kemiskinan seluruhnya ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi
penyakit. Namun anak dengan status gizi yang baik tampaknya mampu
mencegah penyebaran penyakit tersebut di dalam paru itu sendiri.
 Pengidap Infeksi HIV/AIDS
Pengaruh infeksi HIV/AIDS mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh, sehingga jika terjadi infeksi seperti tuberculosis maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
penderita TBC akan meningkat, dengan demikian penularan TBC di
masyarakat akan meningkat pula.

2.4 Patofisiologi

Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi
pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian
kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil.
Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti
otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami
resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada
remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi
TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi
dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

2.5 Gejala Klinis

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.
a. Gejala sistemik/utama
1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

b. Gejala khusus

1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang
disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit
dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak dan disebut sebagai meningitis,
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang.

4. Gambaran klinis TBC


a. Tuberkulosis primer
Gambaran klinis dari tuberkulosis primer mayoritas pada anak yang
terinfeksi relatif tidak bergejala. Dan bila terdapat gejala, biasanya akan
mulai nampak 1-6 bulan sesudah terinfeksi. Kompleks primer (fokus
Ghon) mungkin tidak tampak di X- foto thorax. Tuberkulosis primer
terbagi atas: TBC paru-paru, TBC extra-thorax, TBC neonatus.
Gejala klinis tuberkulosis primer pada anak:
1. Umum: Febris <39°C ~1-2 minggu, menggigil (chills), batuk lebih
dari 2 minggu, anorexi, lesu, flu, tidak mau main seperti biasa.
2. Batuk produktif (beriak) & hemoptysis amat jarang
3. Pada X-foto Thorax (Pesan lateral, bila AP “normal”)
a. Limfadenopati pada hilum, mediastinum, leher
b. Infiltrat di segmen atau lobus, jarang konsolidasi
c. Atelektasis
d. Efusi plura: lebih sering pada remaja, nyeri dada
e. Motif milier: seperti “badai salju”
Gejala klinis TBC extra-thorax pada anak:
1. Kelenjar superfisial: “cold abcess”
2. Skrofula: kelenjar-kelenjar leher yang bergabung, bernanah.
3. Tulang dan sendi:
- Spondilytis (40%): kyphosis, skoliosis
- Pelvis-femur: pincang, nyeri, kaki pendek
- Tulang mastoid: mirip dengan otitis media kronis
4. Mata: konjungtivitis berat
5. Abdomen: nyeri perut, diare, asites, atau obstruksi usus
6. Perikarditis: lemah, denyut jantung terdengar jauh.
7. X-foto: jantung besar seperti “kresek penuh air”
Gejala klinis TBC milier pada anak:
- Biasanya terjadi 1-3 bulan sesudah infeksi
- Gejala awal: lemah, lesu, nyeri, kepala pusing, takikardia
- X-foto: banyak flek kecil di semua lobus, bagaikan “badai salju”
b. TBC paru-paru sekunder/reaktivasi
TBC paru-paru sekunder umumnya terjadi pada remaja atau
pemuda. Gejala awalnya didahului dengan batuk kering yang kemudian
diikuti dengan keluarnya sputum mukus, lalu mukopurulen, lalu
bercampur darah. Gejala ringan lainnya yang mungkin ada antara lain
adalah malaise, anoreksia, berat badan menurun, serta keringat malam.
Pada gambaran X-foto thorax dapat telihat adanya bayangan pada apex,
lalu akan meluas sampai konsolidasi lobus-lobus, hingga dapat terjadi
pneumothorax, efusi pleura, dan empyema.

2.6 Diagnosis
Diagnosis TB pada anak ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
gejala klinis, uji tuberkulin serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium
dan radiologi. Uji tuberkulin (tes Mantoux) menjadi alat diagnostik utama pada
kasus TB anak. Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis PPD-RT 23 2 TU atau PPD-
S 5 TU disuntikan intrakutan di bagian volar lengan bawah. Setelah 48-72 jam,
daerah suntikan dibaca dan dilaporkan diameter indurasi yang terjadi dalam
satuan milimeter. Perlu diperhatikan bahwa diameter yang diukur adalah
diameter indurasi bukan diameter eritema. Untuk meminimalkan kesalahan
pengukuran, lakukan palpasi secara halus pada daerah indurasi, lalu tentukan
tepinya.
Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh status BCG anak. Pengaruh
BCG terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun
setelah penyuntikan. Jadi, ketika membaca uji tuberkulin pada anak di atas 5
tahun, status BCG dapat dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila diameter indurasi ≥5 mm pada
anak dengan faktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat; dan ≥10
mm pada anak lain tanpa memandang status BCG. Pada anak balita yang telah
mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm masih mungkin disebabkan oleh
BCG selain oleh infeksi TB. Bila indurasi ≥15 mm lebih mungkin karena
infeksi TB daripada BCG.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah hitung sel
darah, laju endap darah, urinalisis, enzim hati dalam serum (SGOT/SGPT).
Asam urat sebaiknya diperiksa apabila akan diberikan pirazinamid dan
penglihatan harus diperiksa bila diberikan ethambutol. Pungsi lumbal
sebaiknya dilakukan pada TB milier atau bila ada tanda-tanda kecurigaan TB
milier atau meningitis TB.
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral.
Gambaran yang umum terlihat adalah pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakea. Dapat juga ditemukan kolaps atau konsolidasi dengan hiperinflasi
lokal yang terjadi akibat obstruksi bronkus parsial. Diagnosis banding
pembesaran kelenjar hilus/paratrakea pada anak adalah infeksi Mycoplasma,
atau keganasan (limfoma sel T dan neuroblastoma). Pada beberapa kasus,
interpretasi foto rontgen sulit dilakukan sehingga CT-Scan mungkin
diperlukan.
UKK Respirologi IDAI 2007 menyusun sistim skoring yang dapat
digunakan sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor ≥6, beri OAT selama
2 bulan, lalu evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi bila
tidak ada respon, rujuk ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut. Rujukan ke
rumah sakit dilakukan sesegera mungkin bila ditemukan tanda-tanda bahaya
seperti gambaran milier pada foto rontgen, gibbus, skrofuloderma, dan terdapat
tanda infeksi sistim saraf pusat (kejang, kaku kuduk, kesadaran menurun), serta
kegawatan lain. [Tabel 1]
Seorang anak akan dinyatakan menderita TB anak jika skor nya lebih
dari atau sama dengan 5. Untuk anak yang keadaan klinisnya menunjukkan TB
namun skornya kurang dari 5, maka akan dilakukan observasi terlebih dahulu,
dan setelah 2 minggu akan dilakukan pemeriksaan ulang untuk mengetahui
progresivisitas penyakit.
WHO membuat kriteria anak yang diduga menderita TB, bila:
1. Sakit, dengan riwayat kontak dengan seseorang yang diduga atau
dikonfirmasi menderita TB paru;
2. Tidak kembali sehat setelah sakit campak atau batuk rejan (whooping
cough);
3. Mengalami penurunan berat badan, batuk, dan demam yang tidak
berespon dengan antibiotik saluran nafas;
4. Terdapat pembesaran abdomen, teraba massa keras tak terasa sakit, dan
ascites;
5. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening superfisial, tidak terasa
sakit, dan berbatas tegas;
6. Mengalami gejala-gejala yang mengarah ke meningitis atau penyakit
sistim saraf pusat.
4. Pemeriksaan penunjang
1. Uji tuberkulin
2. Uji interferon
3. Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
 Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
 Konsolidasi segmental/lobar
 Milier
 Kalsifikasi dengan infiltrat
 Atelektasis
 Kavitas
 Efusi pleura
 Tuberkuloma
4. Serologi
5. Mikrobiologi
6. Patologi Anatomik

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga BTA(+)


(BTA negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm
atau ≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)

Berat badan / Status - BB/TB < 90% atau klinis gizi buruk -
Gizi atau BB/TB < 70%
BB/U < 80%
atau BB/U < 60%

Demam tanpa sebab - ≥ 2 minggu - -


yang jelas
Batuk - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran - ≥ 1 cm, - -
kelenjar koli, aksila, jumlah> 1,
inguinal tidak nyeri
Pembengkakan - Ada pembengkakan - -
tulang / sendi
panggul, lutut,
falang
Foto Thorak Normal/kelainan Gambaran sugestif - -
tidak jelas TB

Catatan:

 Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.


 Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
 Berat badan dinilai saat datang.
 Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
 Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar;
kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran
milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus.
 Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB
anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat
pelayanan kesehatan.
 Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG
(≤ 7 hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG
bukan merupakan alat diagnostik.
 Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor
maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien
harus di rawat inap di RS.

2.7 Tatalaksana

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin
dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang),
bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan
ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup
biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui
asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada
dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi
tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian
besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar
transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali
bila ada gejala dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar
serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk
oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan
satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10
mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah,
sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek
samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan
dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat
berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin
umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga
kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB.
Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi
sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat
menimbulkan malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam,
dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral
sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar
serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan
pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan
pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat
hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi
saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid
tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersamaan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari,
maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam
waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada
SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok
dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada
anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO
yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan
penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat
diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika
obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar
puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi
baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung
(tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi
akan menderita tuli berat.

Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping


(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu
bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada
saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Gambar 17. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya


Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada
fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka
panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada
anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika
obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian
besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan
pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid
sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif
diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan
isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB
diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi
dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off
selama 2-4 minggu.

BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut
dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ
lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau
berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak
naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe
superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu,
diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon,


radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi. Prinsip dasar
pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan
dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line, lini
utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E),
dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan
ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Ed.I. 2004.


Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Setyanto Budi,D., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 . Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta
3. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai