Ideologi Gerakan Muhammadiyah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

IDEOLOGI GERAKAN MUHAMMADIYAH

A. PENGERTIAN DAN FUNGSI IDEOLOGI MUHAMMADIYAH


Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 8
Dzulhijjah 1330 atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta, memiliki sistem keyakinan dan pemikiran yang menjelaskan
cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Sistem keyakian dan pemikiran tersebut dapat disebut sebagai “ideologi.” Dengan pengertian lain, ideologi
merupakan sistem pemikiran yang berusaha menjelaskan dunia dan cara-cara mengatasi dan mengubahnya. Ideologi
mengandung beberapa unsur pokok, antara lain: pandangan yang menyeluruh tentang manusia, dunia dan alam
semesta; rencana penataan sosial-politik berdasarkan pandangan tersebut; kesadaran dalam bentuk perjuangan
melakukan perubahan berdasarkan paham yang dianut; usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima pandangan
tersebut memalui loyalitas dan keterlibatan pengikutnya; dan menggerakkan para kader dan pengikut untuk
mendukung pandangan ideologi tersebut.1

Dalam dokumen resmi Muhammadiyah yang berjudul “Rumusan Pokok-Pokok Persoalan tentang Ideologi
Keyakinan Hidup Muhammadiyah” disebutkan bahwa ideologi adalah “ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara
sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan, cara-cara, angan-angan atau gambaran dalam pikiran,
untuk mendapatkan keyakinan mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat.” Ideologi juga merupakan
keyakinan hidup yang mencakup pandangan hidup, tujuan hidup, ajaran dan cara yang dipergunakan untuk
melaksanakan pandangan hidup dalam mencapai tujuan hidup tersebut.2 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa
ideologi Muhammadiyah adalah sistem keyakinan, cita-cita, dan perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,” yang meliputi paham agama dalam Muhammadiyah,
hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dan misi, fungsi dan strategi perjuangan Muhammadiyah.3

Dengan demikian, ideologi Muhammadiyah mengandung berbagai rumusan yang bersifat tentatif dan
berfungsi untuk menjelaskan pandangan Muhammadiyah tentang realitas dunia, mengatasi masalah-masalah yang
dihadapi, dan melakukan evaluasi terhadap kondisi sosial yang hendak diubah. Demikian pula, ideologi dapat
berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri dari ancaman atau tantangan yang berasal dari luar. Agama Islam
sebagai sumber keyakinan yang sangat esensial dalam sistem keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah.

B. SUMBER IDEOLOGI MUHAMMADIYAH


Ideologi Muhammadiyah bersumber dari pemikiran pendiri dan tokoh-tokoh generasi awal Muhammadiyah,
seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansur, dan lain-lainnya. Pemikiran yang dirumuskan oleh para pemimpin
Muhammadiyah merupakan jawaban terhadap realitas, permasalahan dan tantangan yang timbul ketika
Muhammadiyah lahir dan tumbuh sebagai sebuah gerakan keagamaan. Gagasan-gagasan Ahmad Dahlan yang
terangkum dalam Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat-ayat Al-Qur’an Ajaran KHA Dahlan, dan pemikiran Mas
Mansur tentang Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima, merupakan “ideologi” dan sekaligus sumber bagi perumusan
ideologi Muhammadiyah pada generasi berikutnya.

Proses perumusan ideologi Muhammadiyah terus berlangsung seiring dengan kebutuhan organisasi untuk
menjawab atau mengatasi berbagai masalah yang muncul pada setiap episode perkembangan Muhammadiyah. Selain
pemikiran-pemikiran yang bersifat individual, rumusan-rumusan yang ditetapkan melalui forum-forum resmi, seperti
muktamar atau sidang tanwir, juga merupakan ideologi Muhammadiyah. Karena itu, ideologi Muhammadiyah dapat
dipahami dari rumusan-rumusan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Masalah Lima, Kepribadian
Muhammadiyah, Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Termasuk ideologi Muhammadiyah adalah Pernyataan Pikiran Muhamamdiyah Jelang Satu Abad, dan Revitalisasi
Ideologi Muhammadiyah: Konsolidasi Bidang Keyakinan dan Cita-Cita Hidup. Bahkan, berbagai rumusan tentang
khittah perjuangan Muhammadiyah (Khittah Palembang; Khittah Ponorogo; Khittah Ujung pandang; Khittah Surabaya;
dan Khittah Denpasar) dapat dikategorikan sebagai kandungan dari ideologi Muhammadiyah, yang dirumuskan untuk
menjawab tuntutan masyarakat pada episode tertentu perkembangan Muhammadiyah. Dengan demikian, adalah
benar jika dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan yang bersifat tentatif dan terus menerus mengalami
penyempurnaan secara dinamis mengikuti dinamika organisasi dan masyarakat, karena ideologi dirumuskan untuk
mengatasi masalah dan menjawab tantangan yang bersal dari luar agar keberadaan organisasi tetap dapat
dipertahankan.

Persoalan pokok yang bersifat ideologis dalam matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah adalah:

1. Aqidah : Muhammadiyah adalah gerakan aqidah Islam.

1
Lihat “Revitalisasi Ideologi Muhammadiyah: Konsolidasi Bidang Cita-cita dan Keyakinan Hidup,” dalam Manhaj
Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan Majelis Pendidikan
Kader PP Muhammadiyah, 2010), 253-254.
2
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Putusan Mu’tamar Muhammadiyah Ke-37 (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1968).
3
Haedar Nashir, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi,
Khittah, dan Langkah, xvi.
2. Cita-cita dan tujuan: Muhammadiyah bercita-cita dan bekerja untuk mewujudkan masyarakat utama, adil dan
makmur yang diridloi Allah SWT.
3. Ajaran yang digunakan untuk melaksanakan aqidah dalam mencapai cita-cita tersebut adalah agama Islam
sebagai rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan
spiritual, dunia dan akhirat.

Dalam konteks ini, ideologi Muhammadiyah bersumber pada agama Islam yang memiliki sistem nilai. Islam
sebagai sumber ajaran, landasan berpikir, acuan bergerak, dan menjadi keyakinan yang melekat pada ibadah dan
amaliyah manusia.

C. PAHAM AGAMA DALAM MUHAMMADIYAH


Menurut tokoh generasi awal Muhammadiyah, Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi-
nabi Adam sampai Muhammad, dan dibukukan dalam kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat, Injil dan al-Qur’an.4 Dalam
pelaksanaan keyakinan ini terdapat dasar keyakinan Muhammadiyah bahwa ‘kebenaran’ itu tidak berasal dari seorang
individu atau sumber tetapi dari banyak sumber. ‘Ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Islam mengandung
petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan material dan spiritual, bagi kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat
nanti.5 Lebih jauh, agama-agama wahyu telah mencapai tahap final dengan kenabian Muhammad, yang ajarannya
terkandung dalam al-Qur’an dan dijelaskan dalam Sunnah Nabi yang otentik. Sebuah dokumen resmi Muhammadiyah
juga menekankan bahwa meskipun ada perbedaan tertentu, ada juga banyak kemiripan antara kitab suci terdahulu
dengan al-Qur’an. Misalnya, semua agama tersebut percaya pada keesaan Tuhan (tawhid).6 Meskipun terdapat
perbedaan dalam ritual dan aspek-aspek ajaran yang lain, agama-agama itu semuanya merupakan bagian dari hukum
Tuhan (sunnatullah). Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kemiripan-kemiripan dan perbedaan-perbedaan itu harus
mendorong orang Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren
dalam ajaran-ajarannya.7

Para tokoh Muhammadiyah berulang kali menekankan bahwa ajaran Islam mencakup aspek akidah, akhlak,
ibadah, dan masalah-masalah sosial (mu‘amalah). Lebih dari itu, aspek-aspek ini dibagi ke dalam dua kategori yang
berbeda, yaitu yang tidak bisa berubah dan yang bisa diubah. Wilayah ‘aqidah, akhlak dan bentuk-bentuk ibadah
tertentu termasuk area yang tidak bisa berubah dan tidak bisa diubah, meskipun terjadi perubahan-perubahan dalam
ruang atau waktu. Tidak boleh ada penambahan atau pengurangan. Sedangkan mu‘amalah yang berhubungan
dengan isu-isu sosial seperti perdagangan, pelayanan umum dan kegiatan politik termasuk area yang bisa berubah
menurut waktu, ruang dan kemaslahatan umum.8

Penegasan bahwa Islam diwahyukan kepada nabi-nabi dan dikodifikasikan dalam kitab-kitab suci
memberikan landasan dasar teologis ini diterjemahkan ke dalam sikap keterbukaan dalam menerima gagasan-
gagasan dari orang lain, dan menerima bahwa kebenaran tidak hanya bisa ditemukan dalam keyakinan seorang saja
tetapi dalam keyakinan orang lain juga. Namun demikian, pemahaman seperti ini bukanlah pemahaman keagamaan
yang umum pada dekade awal abad ke-20. Demikian pula, prinsip-prinsip dasar iman dan ibadah tidak terbatas
pengaruhnya terhadap kepercayaan dan ritual per se, tetapi memiliki implikasi luas ketika diletakkan dalam konteks
sosial. Keyakinan dan ritual yang standar ini memberikan prinsip-prinsip pembaruan sosial dan teologi praktis.
Keyakinan dan ritual ini membutuhkan pelaksanaan ritual keagamaan sehari-hari yang standar. Karenanya, setiap
usaha harus dilakukan untuk menerapkannya dalam bentuknya yang asli dan membentenginya dari pelbagai pengaruh
yang menyimpang.

1. Makna Islah9
Misi pembaruan agama sesungguhnya didasarkan pada konsep kemerosotan keagamaan yang tak
terhindarkan setelah kematian Nabi Muhammad. Kemorosotan ini diisyaratkan dalam hadith “Allah akan mengutus
kepada umat ini pada setiap pergantian abad seseorang yang akan memperbarui agama.”10 Namun, pengakuan
terhadap kebenaran proses ini11 tidak berarti bahwa Islam adalah ajaran agama yang tidak sempurna, karena al-
Qur’an sendiri dengan jelas menyatakan bahwa Islam yang dibawa Muhammad adalah sebuah agama yang

4
“Islam, Djangan Lihat Merknja,” Soeara Moehammadijah 12, 30 (10 Maret, 1931), 676.
5
Hooofdbestuur Moehammadijah, Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima Dari Beberapa ‘Alim-‘Oelama (Djogdjakarta,
1942), 13; lihat juga “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah,” dalam Himpunan Keputusan-2 P.P.
Muhammadiyah dalam Bidang Tajdid Ideologi dan Garis Pimpinan (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
1973), 1.
6
Hoofdbestuur Moehammadijah, Kesimpoelan Djawaban, 12. Djindar Tamimy, Pokok-pokok Pengertian Tentang Agama
Islam (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1978), 5.
7
Solichin Salam, KH. Ahmad Dahlan; Tjita-Tjita dan Perdjoeangannja (Djakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah,
1962), 59. Karya lain yang ditulis oleh Solichin Salam, dengan nama samaran Junus Salam, adalah Riwayat Hidup K.H.A.
Dahlan : Amal dan Perdjoeangannja (Djakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah, 1968), 61-62.
8
Kesimpoelan Djawaban, 13.
9
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis.
10
Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, vol. 4 (Cairo: Matbaat Mustafa Mahmud, 1353/1950), 159, dalam bagian
Kitab al-Malahim.
11
John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam John L. Esposito, ed., Voices Resurgent
Islam (New York: Oxford University Press, 1983), 33.
sempurna. Bagi Ahmad Dahlan, kemerosotan keagamaan tidak disebabkan oleh kekurangan Islam; sebaliknya
kemerosotan itu dikaitkan dengan kondisi di mana Islam itu dipraktikkan. Dengan perkataan lain, kemunduran dalam
kehidupan keagamaan kaum Muslim tidak disebabkan oleh ajaran agama melainkan oleh kaum Muslim sendiri. Ide
ini dinyatakan dalam slogan: al-Islam mahjub bi- l-muslimin (Islam tertutupi oleh kaum Muslimin sendiri), yang sangat
populer di kalangan kaum Muslim reformis pada awal abad ke-20 baik di dalam maupun di luar Indonesia.12

Untuk mengatasi kemerosotan ini dan untuk melaksanakan Islam dalam kehidupan sehari-hari orang
Islam, Muhammadiyah mengembangkan dakwah sebagai alat untuk “menyebarkan Islam dan mengarahkan
kehidupan orang Muslim di Hindia Belanda berdasarkan ajaran-ajaran Islam.”13 Karena misi Muhammadiyah juga
berkaitan dengan pengembangan wawasan tentang Islam yang lebih mendalam, lembaga dakwah menjadi elemen
penting dalam organisasi ini; dan memang benar bahwa misi gerakan ini menjelma dalam program dakwahnya.14

Usaha untuk memelihara karakter murni dari praktik keagamaan dan untuk memurnikan mereka dari
pengaruh-pengaruh yang menyimpang (sesat) – sebuah komponen penting dalam pembaruan,15 merupakan akibat
langsung dari semangat rasionalisasi yang mengatur tindakan-tindakan dan ide-ide. Rasionalisasi ini merupakan
produk dari pemikiran para pendiri dan pendukung Muhammadiyah, yang merupakan anggota kelas pedagang.
Karena pertimbangan rasional dan matematis menentukan tingkat keuntungan dan kerugian dalam setiap transaksi
bisnis, maka pada giliran berikutnya seperti yang diputuskan oleh para pendukung gerakan ini setiap amal usaha
yang tidak punya basis keagamaan menjadi tidak berguna (sia-sia), tidak menguntungkan dan karenanya harus
ditinggalkan. Pendirian ini sangat cocok dan perspektif teologis yang menyatakan bahwa praktik-praktik sesat ini
tidak hanya harus ditolak tetapi juga akan mendapatkan sanksi keagamaan.16 Tidak mengherankan, komitmennya
untuk menganut pandangan keagamaan ini secara tak terhindarkan memberikan Muhammadiyah reputasi sebagai
gerakan neo-ortodoks, yang tujuan utamanya ialah memperbaiki kemurnian Islam melalui ‘kembali kepada prinsip-
prinsip dasar al-Qur’an dan al-Sunnah.’

2. Pandangan Dunia Muhammadiyah (World View)17


Penegasan Muhammadiyah bahwa Islam tidak hanya mencakup seperangkat kewajiban seperti salat,
puasa, zakat dan haji, tapi juga bersinggungan dengan semua aspek kehidupan, menyebabkan gerakan ini menolak
pendekatan terpisah-pisah (tidak menyeluruh) terhadap agama, dan menghindari pembatasan Islam dalam kategori
atau wilayah yang sempit. Sebaliknya, para pemimpin Muhammadiyah menyokong pendekatan yang lebih holistik
terhadap agama yang melibatkan Islam dalam kehidupan seseorang. Mereka percaya bahwa Islam memberikan
petunjuknya hanya pada prinsip-prinsip tingkah laku, dan menyerahkan kepada umat Islam untuk menjelaskan yang
detail.

Karenanya, untuk mendapatkan jawaban dari ajaran Islam bagi problem-problem yang muncul di dunia ini,
dakwah menjadi sarana bagi pemahaman yang benar tentang iman dan pelibatannya dalam kehidupan sehari-hari,
sekaligus sebagai alat untuk mempengaruhi dan mengkoreksi kecenderungan keagamaan yang sempit dan terlalu
berwatak legalistik. Masalahnya ialah bagaimana menghubungkan prinsip-prinsip dasar Islam dengan aspek-aspek
ajaran keagamaan yang ada dalam wilayah urusan dunia. Karena itu, penting untuk mengkaji pemahaman pemimpin
Muhammadiyah tentang masalah-masalah dunia, hubungannya dengan masalah agama yang spesifik, dan arti
penting masalah dunia bagi orientasi gerakan ini.

“Urusan dunia”, menurut literatur Muhammadiyah, memiliki posisi yang sama pentingnya vis-à-vis rukun
Islam.18 Namun, masalah tersebut sangat bervariasi karena bisa berubah menurut ruang, waktu dan kemaslahatan.
Akal juga memainkan peran yang besar dalam urusan-urusan tersebut, dalam pengertian akal menentukan apakah
sesuatu itu berharga, sia-sia, bermanfaat atau sebaliknya.19 Menyangkut ruang lingkupnya, ucapan Nabi
Muh}ammad berikut ini dikutip: “kamu lebih tahu tenang urusan duniamu”, yang dipahami oleh ‘ulama
Muhammadiyah merujuk ke setiap masalah yang tidak diberikan petunjuknya oleh Nabi. Dalam pengertian ini setiap
tindakan yang dilakukan untuk memperoleh rahmat dan barakah Allah dibolehkan (halal). Kepercayaan ini sesuai
dengan prinsip yang menyatakan “segala sesuatu itu diperbolehkan (halal) kecuali yang tidak diperbolehkan

12
Ungkapan “al-Islam mahjub bi-l-muslimin” yang pada mulanya berasal dari pernyataan ‘Abduh juga populer di cabang-
cabang Muhammadiyah yang agak jauh. Soeara Moehammadiyah 12, 22-23 (22-31 Desember 1930), 575; M. Boestami
Ibrahim, al-Hidajah; Merentjanakan Tjabang Moehammadijah (Bagian Taman Poestaka, 1939), 20; Muhammad Rashid
Rida, ed., Tafsir al-Manar, vol. 3 (Cairo: Manar Press, 1346-1354), 224; Swara Islam 3, 4 (April 1935), 18.
13
Ayat 2 Anggaran Dasar Muhammadiyah. Statuten Lan Pranatan Tjilik Oemoem Toemrap Pakoempoelan
Moehammadiyah Hindia Wetan (Ngajogjakarta: Pangreh Gede Moehammadijah, 1928), 9-10. Dalam rumusannya yang
kemudian, misi dakwah disebutkan sebagai identitas gerakan ini. Lihat ayat 1 dalam Muqaddimah dan Anggaran Dasar
Muhammadiyah (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1986, 6.
14
Boestami Ibrahim, al-Hidajah: Merentjanakan, 39-40; Kepribadian Muhammadiyah (Jogjakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, t.t.), 18; Himpunan Keputuasn-2,14;
15
Berita Resmi Muhammadiyah, nomor khusus (Yogyakarta : Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1990), 48.
16
Menuju Muhammadiyah (Jogjakarta : Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1970), 20.
17
Lihat Jainuri, Ideologi Kaum Reformis.
18
Soeara Moehammadijah 12, 31 (20 Maret 1931), 701.
19
Kesimpoelan Djawaban, 13, 15.
(haram).”20 Berdasarkan prinsip ini, ‘ulama tersebut menetapkan bahwa orang-orang Muslim pada masa mereka
berbeda dari orang Islam masa lampau, dan tidak diwajibkan untuk mengikuti setiap metode yang digunakan pada
masa Nabi, bahkan menyangkut soal agama, karena penggunaan metode-metode itu sangat relatif dalam
karakternya.21 Kecenderungan umum konsepsi Muhammadiyah tentang dunia dan urusan-urusannya serta
hubungannya dengan dunia nanti, merupakan ide yang sesuai dengan semangat modernisasi yang mempengaruhi
orang-orang Islam Indonesia pada abad ke-20.

Bagi para pemimpin Muhammadiyah, kebahagiaan merupakan aspek penting dari kehidupan. Kaum
Muslim berhak untuk mencapai kebahagiaan material dan menghindari kemiskinan. Sesuai al-Qur’an (7:32), Tuhan
membolehkan kaum mu’min untuk menikmati hal-hal yang baik di dunia ini, dan karena itu mereka tidak boleh
menolaknya.22 Dalam surat yang lain (2:177), juga dinyatakan bahwa mu’min yang benar ialah yang berusaha untuk
mendapatkan kekayaan dan kemudian menggunakan kekayaannya untuk perbuatan yang baik dan menolong
orang-orang miskin.23 Karena itu, ‘ulama harus mengajarkan kaum muslim dan membimbing mereka menurut apa
yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Kemiskinan
orang-orang Muslim disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak ‘ulama yang menganjurkan kaum Muslim untuk tidak
peduli terhadap urusan dunia. Setiap usaha sosial dan keagamaan membutuhkan uang (dana), dan bahwa jika
orang Islam lemah secara ekonomi, maka hal itu akan menyulitkan mereka merealisasikan usaha-usahanya.24 Para
pemimpin Muhammadiyah mensucikan kerja-kerja profan dan mengagumkan tugas-tugas yang bersifat duniawi.
Pendekatan ini menolak untuk mendewakan hanya kehidupan non-duniawi, yang mengkonsentrasikan pada
penyesalan dan meditasi, yang tidak mengenal sama sekali kerja duniawi dalam pengertian yang biasa, dan yang
cenderung meremehkan semua urusan dunia.

Pandangan keagamaan ini merupakan elemen penting dalam pembentukan ideologi gerakan
Muhammadiyah. Ideologi ini merasionalisasi dan membela kepentingan dan komitmen keagamaan, moral dan sosial
gerakan ini. Dengan demikian, hal ini memberikan justifikasi logis dan filosofis bagi tingkah laku, sikap, tujuan dan
cara hidup pengikutnya secara umum. Beberapa elemen ideologi ini diterima sebagai kebenaran atau dogma, yang
secara tak terhindarkan menciptakan konflik dengan kelompok, orang atau gerakan yang lain. Salah satu kasus ialah
retaknya hubungan antara Muhammadiyah dan Sarekat Islam pada pertengahan dekade 1920-an, yang disebabkan
oleh perbedaan persepsi ideologis kedua gerakan ini.25 Namun, elemen-elemen tertentu dari ideologi
Muhammadiyah diterima sebagai formulasi teoretis, dan karenanya bersifat tentatif. Selain itu, formulasi-formulasi ini
secara konstan dimodifikasi sesuai dengan perubahan sosial dan budaya kontemporer. Adaptabilitas ini
menjelaskan mengapa Muhammadiyah tampak lebih religius pada saat tertentu atau lebih berorientasi sosial pada
saat yang lain. Cabang-cabang tertentu lebih condong pada kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak dilakukan oleh
cabang yang lain. Kasus seperti cabang-cabang di Minangkabau sejak periode awal menunjukkan tendensi politik
yang tidak dimiliki oleh atau sangat sedikit di daerah lain. Ini memungkinkan Muhammadiyah menjadi gerakan yang
dinamis, akomodatif dan fleksibel dalam melaksanakan usaha-usaha sosialnya. Karakter dinamis ini membuat
Muhammadiyah muncul sebagai gerakan modernis dan reformis sejak awal.26

D. MUQADDIMAH ANGGARAN DASAR


Setiap organisasi masyarakat atau negara pasti memiliki pedoman dasar yang menjadi peraturan bagi
warganya dalam menjalankan organisasi. Pedoman tersebut biasanya disebut anggaran dasar. Dalam kehidupan
bernegara, pedoman dasar itu disebut konstitusi (constitution). Anggaran Dasar atau konstitusi memuat berbagai
ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok dan mendasar (fundamental), dan ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis
operasional. Anggaran Dasar berfungsi sebagai pedoman dalam menggerakkan dan menjalankan berbagai program
dan kegiatan organisasi.

Setiap anggaran dasar diawali dengan muqaddimah. Muqaddimah berarti pembukaan atau pendahuluan.
Dalam istilah atau bahasa Inggris disebut preamble, dan dalam bahasa Perancis preambule. Biasanya, istilah tersebut
didefinisikan sebagai berikut: “suatu pernyataan pendahuluan dari suatu dokumen resmi yang menjelaskan maksud dari
dokumen tersebut.” Sebagai organisasi masyarakat, Muhammadiyah juga memiliki Muqaddimah Anggaran Dasar.

20
Al-Suyuti, al-Ashbah wa Nada’ir fi Qawa‘id wa Furu‘ Fiqh al-Shafi’iyyah (Cairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.t.), 66.
21
Kesimpoelan Djawaban, 16.
22
Lihat Mas Mansoer, “Sebab-Sebab Kemiskinan Ra’jat, Islam Indonesia,” 2.
23
Malik Ahmad, “Inti Sari Adjaran Agama Islam,” [brosur untuk pedoman anggota Muhammadiyah] (Jogjakarta: Pimpinan
Pusat Muhammadijah, 1970), 19.
24
Mas Mansoer, “Mendjelaskan Faham Saja,” 1.
25
Jainuri, ideologi Kaum Reformis. “Ideologi keagamaan Muhammadiyah dapat dijelaskan dengan istilah ‘non madzhab,’
sedangkan kelompok-kelompok tertentu yang lain berpendapat bahwa mengikuti paling tidak salah satu madzhab
merupakan kewajiban. Dengan menyatakan posisi ini, Muhammadiyah sering dituding keluar dari arus utama
(mainstream) Islam. Demikian pula, orientasi non-politik gerakan ini, yang merupakan komponen penting dari
kebijakannya pada masa kolonial, melahirkan kritik dari beberapa pemimpin Sarekat Islam.” Hasjim Asj’ari, Qanun Asasi
Nahdlatul Ulama (Kudus: Menara, 1969), 65-68; Boeah Congres Moehammadijah Seperempat Abad (Djogdjakarta:
Hoofdbestuur Moehammadijah, 1936), 33; “Muhammadijah 40 Tahun,” Soeara Muhamma-dijah 28, 27 (November
1952), 267..
26
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis.
1. Lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912. Pada tahun
1914 Muhammadiyah mendapatkan status sebagai organisasi yang berbadan hukum (recht person) berdasarkan
surat ketetapan Gouvernement Besluit nomor 22 Agustus 1914. ketika itu, Muhammadiyah memiliki anggaran
dasar (statuten) yang masih sederhana sebagai persyaratan untuk memperoleh status sebagai organisasi
berbadan hukum. Selama periode kepemimpinan KH Ahmad Dahlan (1912-1923), KHA Ibrahim (1923-1934), KH
Hisyam (1934-1936) dan KH Mas Mansur (1936-1942), Anggaran Dasar Muhammadiyah belum dilengkapi dengan
pembukaan atau seperti yang ada saat ini. Baru pada periode Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah 1942-1953), Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah disusun.

Proses perumusan Muqaddimah tersebut dimulai sejak 1945. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan bangsa yang juga sibuk dalam perumusan konstitusi dari negara
Indonesia yang merdeka. Ki Bagus Hadikusumo adalah salah seorang tokoh Muhammadiyah yang terlibat aktif
dalam penyusunan konstitusi negara Undang-Undang dasar –UUD 1945), yang terdiri dari pembukaan
(muqaddimah) dan batang tubuh konstitusi. Pengalaman inilah yang mendorong Ki Bagus Hadikusuma untuk
merumuskan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang dipimpinnya. Ki Bagus Hadikusuma melihat arti
penting Muqaddimah bagi sebuah anggaran dasar sama dengan arti penting pembukaan bagi sebuah undang-
undang dasar negara.

Rumusan Muqaddimah sesungguhnya adalah cerminan dari ide, gagasan dan cita-cita pendiri
Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, dalam menegakkan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat. Rancangan Muqaddimah pada hakikatnya menggambarkan falsafah hidup dan perjuangan pendiri
Muhammadiyah, yang meliputi dasar dan keyakinan hidup, cita-cita dan cara yang digunakan untuk mewujudkan
tujuan dan cita-cita tersebut. Rumusan Muqaddimah yang disusun Ki Bagus Hadikusumo itu disampaikan dalam
Muktamar Darurat pada 1946 di Jogjakarta. Dalam Muktamar ke-30 di Yogyakarta pada 1950, rumusan tersebut
disampaikan kembali untuk dibahas dan disahkan secara resmi. Tetapi, karena waktu itu ada rumusan lain dari
Prof. Dr. Hamka, Muktamar belum bisa menetapkan keputusan tentang rumusan Muqaddimah yang diterima.
Muktamar lalu memberikan tugas kepada Sidang Tanwir untuk membahas kembali rumusan tersebut, dan
kemudian mengesahkan rumusan Ki Bagus Hadikusumo dengan beberapa perbaikan redaksi. Sidang Tanwir itu
dilaksanakan pada 1951.

Penyusunan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dilatar belakangi oleh beberapa faktor berikut:
(1) Belum adanya rumusan resmi tentang dasar dan cita-cita perjuangan Muhammadiyah; (2) Kehidupan rohani
keluarga Muhammadiyah menunjukkan gejala merosot, akibat terlalu berat mengejar kehidupan duniawi; (3)
Semakin kuatnya pengaruh alam pikiran yang berasal dari luar, yang berhadapan dengan faham dan keyakinan
hidup Muhammadiya; (4) Dorongan disusunnya Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Hakikat Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah gambaran tentang pandangan Muhammadiyah
mengenai kehidupan manusia di muka bumi ini, cita-cita yang ingin diwujudkan dan cara-cara yang dipergunakan
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Muqaddimah Anggaran Dasar menjiwai segala gerak dan usaha
Muhammadiyah dan proses penyusunan sistem kerjasama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuannya.

Muqaddimah pada hakikatnya berisi kesimpulan dari perintah dan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah tentang
pengabdian manusia kepada Allah, amal dan perjuangan setiap muslim yang menyadari kedudukannya sebagai
hamba dan khalifah di muka bumi. Melihat hakikat Muqaddimah tersebut, Muqaddimah merupakan ideologi
Muhammadiyah. Ideologi adalah seperangkat gagasan atau ide yang menentukan dan memberikan gambaran
mengenai pemikiran dan tindakan bagi suatu kelompok sosial. Ideologi Muhammadiyah bukanlah semata-mata
paham agama (Islam) dalam Muhammadiyah. Ideologi juga adalah sistem gerakan untuk mewujudkan misi, tujuan
dan usaha persyarikatan. Kita tidak mungkin dapat mencapai tujuan dan melakukan usaha-usaha Muhammadiyah
tanpa sistem gerakan Muhammadiyah, apalagi meminjam sistem orang lain. Sistem gerakan Muhammadiyah
berupa nilai-nilai pokok dan mendasar dalam Muhammadiyah dengan kepemimpinan dan organisasinya. Jadi,
ideologi Muhammadiyah mencakup paham agama Muhammadiyah dan sistem gerakannya. Muhammadiyah juga
bukan sekadar alam pikiran, dan juga sistem organisasi. Orang tidak bisa membawa Muhammadiyah sesuai
dengan kemauannya sendiri, tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku dan dibenarkan oleh
persyarikatan.

3. Fungsi Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


Muqaddimah Anggaran Dasar memiliki fungsi sangat fundamental bagi gerakan. Sebagai kandungan
ideologi, Muqaddimah Anggaran Dasar berfungsi untuk: (1) Melandasi, membingkai dan mengarahkan gerakan
Muhammadiyah dengan seluruh sikap warganya, agar arahnya sejalan dengan nilai-nilai yang diyakini
Muhammadiyah; (2) Menjiwai dan menafasi gerakan Muhammadiyah dalam menghadapi dinamika perubahan,
agar nilai-nilai Muhammadiyah menjadi dasar (landasan) bagi pembaruan atau perbaikan masyarakat; (3) Menjadi
basis dan arah pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah; dan (4) Menjadi identitas dan dasar (fondasi)
dalam menciptakan solidaritas
Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang atau suatu kelompok masyarakat, baik menyangkut
ciri fisik dan penampilan, maupun ciri-ciri yang abstrak berupa nilai atau pemikiran yang dianut. Ideologi berfungsi
sebagai identitas pemikiran atau paham yang dianut dan hendak diwujudkan dalam kehidupan individu dan
masyarakat. Karena adanya kesamaan ciri pemikiran, maka akan tumbuh solidaritas sosial dan kerja sama di
kalangan warga dalam mewujudkan cita-cita sosialnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Muqaddimah menjadi ciri
khas dari pemikiran dan gerakan Muhammadiyah.

Meskipun peranan ideologi sangat penting, ideologi tidak boleh statis atau mandek. Penyegaran
pemahaman dan penafsiran perlu dilakukan terus menerus agar nilai-nilai tersebut dapat menjadi dasar bagi
jawaban atau tanggapan Muhammadiyah terhadap perubahan masyarakat. Tetapi, harus pula dihindari fanatisme
berlebihan yang menyebabkan berhentinya kreatifitas dalam melahirkan inovasi dan pembaruan.

Anda mungkin juga menyukai