Model Linear
Model Linear
BAB 1 ENDAHULIAN
3.1 Pendahuluan
3.2 Rata-Rata, Variansi, Kovariansi dan Korelasi
3.3. Rata-Rata Vektor dan Kovariansi Matriks untuk Vektor Random
3.3.1 Rata-Rata Vektor
3.3.2 Kovariansi Matrik
3.3.3 Variansi yang Digeneralisasi
3.3.4 Jarak yang Digeneralisasi
3.4 Matriks Korelasi
3.5 Rata-Rata Vektor dan Matriks Kovariansi untuk Vektor-Vektor Random yang Dipartisi
3.6 Fungsi Linear dari Vektor-Vektor Random
3.6.1 Rata-Rata
3.6.2 Variansi dan Kovariansi
6.1 Model
6.2 Estimasi dari 𝛽0 , 𝛽1 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2
6.3 Uji Hipotesis dan Interval Konfidensi untuk 𝛽1
6.4 Koefisien Determinasi
7.1 Pendahuluan
7.2 Pemodelan
7.3 Estimasi 𝜷 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2
7.3.1 Estimator Least Squares untuk 𝜷
7.3.2 Sifat-Sifat dar Estimator Least Squares 𝛽̂
7.3.3 Suatu Estimator untuk 𝜎 2
7.4 Geometry dari Least Squares
7.4.1 Ruang Variabel
7.4.2 Ruang sampel
7.5 Model Dalam Bentuk Terpusat
7.6 Model Normal
7.6.1 Asumsi-Asumsi
7.6.2 Estimator Maksimum Likelihood untuk 𝜷 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2
7.6.3 Sifat-Sifat dari 𝛽̂ 𝑑𝑎𝑛 𝜎̂ 2
7.7 Regresi 𝑅 2 Dalam x Tertentu
7.8 Least Squares yang Digeneralisasi: 𝑐𝑜𝑣(𝑦) = 𝜎 2 𝑉
7.8.1 Estimasi dari 𝜷 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2 Bila 𝑐𝑜𝑣(𝑦) = 𝜎 2 𝑉
7.8.2 Misspecifition dari Struktur Error
7.9 Model Misspecification
7.10 Orthogonalization
Metode ilmiah sering digunakan sebagai penuntun untuk pendekatan pembelajaran. Metode linear
secara statistik adalah sebagai bagian perluasan yang digunakan dalam proses pembelajaran ini.
Dalam ilmu – ilmu biologi, fisika dan ilmu-ilmu sosial, dan juga dalam bisnis dan engeneering, model
linear digunakan keduanya dalam membuat perancangan riset dan dalam menganalisis data. Dalam
fasal 1.1, 1.2, dan 1.3 diberikan penjelasan singkat model regresi linear, model regresi ganda, dan
model analisis varians.
Dalam regresi linear sederhana, kita mencoba untuk hubungan model antara dua variabel,
contohnya, jumlah penghasilan dan pendidikan dalam tahun, tinggi dan berat dari orang, lebar dan
panjang amplop, temperatur dan suatu luaran proses industri, perlakuan dan titik air mendidih, atau
dosis suatu obat dan response. Untuk suatu hubungan linear, kita dapat gunakan suatu model dari
bentuk
𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥 + 𝜀 (1.1)
di mana y adalah variabel dependen (respon) dan x adalah variabel independen atau variabel
prediktor. Variabel random 𝜀 adalah bentuk error dalam model.
Linearitas pada model dalam (1.1) adalah suatu asumsi. Kita tambahkan asumsi khusus lain
tentang distribusi dari bentuk-bentuk error, independen dari nilai-nilai pengamatan y, dan
sebagainya. Untuk nilai-nilai pengamatan x dan y, kita mengestimasi 𝛽0 dan 𝛽1 dan menggunakan
inferesi seperti interval konfidensi dan uji hipotesis untuk 𝛽0 dan 𝛽1 . Kita bisa juga menggunakan
model nilai peramalan atau nilai prediksi dari y untuk suatu nilai khusus x, yang mana kasus dari
suatu ukuran akurasi prediksi, juga bisa diperhatikan.
Prosedur estimasi dan inferensial untuk model regresi linear sederhana dilihat dan
diillustrasikan dalam BAB 6.
Respon y seringkali dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel prediktor. Contohnya, Hasil dari
suatu hasil panen bisa bergantung pada jumlah pupuk nitrogen, kalium karbohidrat (garam abu), dan
posfat yang dibuat. Variabel-variabel ini dikendalikan oleh peneliti, tetapi hasil juga bisa bergantung
pada variabel-variabel yang tidak dapat dikendalikan karena itu berhubungan dengan cuaca.
Suatu model linier menghubungkan respn y terhadap beberapa prediktor mempunyai
bentuk
𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + … + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 + 𝜀 (1.2)
𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥12 + 𝛽3 𝑥2 + 𝛽4 𝑠𝑖𝑛𝑥2 + 𝜀
Ada suatu perbedaan dasar diantara tujuan 1 dan 5. Untuk prediksi, kita hanya perlu asumsi
bahwa korelasi-korelasi yang sama diparalelkan bila data yang berkorelasi juga kontinu dalam bagian
bila prediksi dapat digunakan. Mempertunjukkan suatu hubungan yang signifikan diantara y dan
nilainya x dalam (1.2) tidak memerlukan bukti yang berkaitan sebab akibat. Untuk menetapkan
hubungan dalam urutan mengontrol hasil, periset (peneliti) harus memilih nilai-nilai dari nilainya x
dalam model dan gunakan secara random untuk menghindari pengaruh-pengaruh dari kemungkinan
variabel-variabel lain yang tidak mempunyai penjelasan. Yaitu , untuk mengetahui pengaruh dari
nilainya x pada y bila nilainya x dipilih, itu perlu untuk memilihnya.
Prosedur estimasi dan inferensial yang berkontribusi pada tujuan dia tas akan dijelaskan
dalam Bab 7 – 10.
Dalam analisis model – model variansi, kita berkepentingan dalam membandingkan beberapa
populasi atau membandingkan beberapa syarat dalam suatu eksperiment. Analisis dari model –
model variansi dapat dinyatakan seperti model-model linier dengan terbatas nilai-nilai x. Hkusus
nilainya x adalah nilainya 0 atau nilainya 1. Contohnya, andaikan seorang periset ingin
membandingkan hasil rata-rata empat macam katalisator dalam suatu proses industri. Jika n
observasi diperoleh untuk setiap katalisator, satu model untuk 4n observasi dapat dinyatakan seperti
di mana 𝜇𝑖 adalah rata-rata yang berkoresponden dengan katalisator ke i. Suatu hipotesis yang
menarik adalah 𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2 = 𝜇3 = 𝜇4 . Model dalam (1.3) dapat dinyatakan dalam bentuk
alternatif
Dalam bentuk ini, 𝛼𝑖 pengaruh katalisator ke i, dan hipotesis dapat dinyatakan seperti 𝐻0 : 𝛼1 = 𝛼2 =
𝛼3 = 𝛼4 .
Andaikan juga periset ingin membandingkan pengaruh dari tiga tingkat temperatur dan n
observasi yang diambil pada setiap dari 12 kombinasi temperatur – katalisator. Maka model dapat
dinyatakan seperti
di mana 𝜇𝑖𝑗 adalah rata-rata untuk kombinasi katalisator ke (ij), 𝛼𝑖 adalah pengaruh dari katalisator
ke i, 𝛽𝑗 adalah pengaruh dari tingkat temperatur ke j, dan 𝛾𝑖𝑗 adalah interaksi atau pengaruh
bersama dari katalisator ke i dan tingkat teperatur ke j.
Dalam contoh utama pada model (1.3), (1.4), dan (1.5) periset memilih tipe dari katalisator
atau tingkat dari temperatur dan kemudian mengaplikasikan perbedaan percobaan pada objek atau
satuan percobaan dibawah penelitian. Dalam pasangan lain, kita membandingkan rata-rata dari
variabel – variabel yang terukur pada kelompok-kelompok asli dari satuan, contonya, laki-laki dan
perempuan atau berbagai bidang geografik.
Analisis dari model-model variansi dapat diberlakukan sebagai suatu kasus khusus dari
model-model regresi, tetapi itu lebih cocok untuk menganalisis mereka yang terpisah. Ini dibuat
dalam Bab 11 – 14. Hubungan topik, seperti analisis dari covariansi dan model campuran, ditutup
dengan Bab 15 dan 16.
BAB 2 ALJABAR MATRIKS
Jika kita suatu model linier seperti (1.2) untuk setiap n observasi dalam suatu himpunan data, n hasil
model dapat dinyatakan dalam suatu bagian tunggal matriks yang dinyatakan. Maka hasil-hasil
estimasi dan pengujian dengan lebih mudah diperoleh bila menggunakan teori matiks.
Dalam bab sekarang, kita mempertimbangkan elemen-elemen dari dari teori matriks yang
diperlukan dalam buku yang tersisa. Bukti-bukti yang mengandung pelajaran yang diperlukan atau
disebut untuk dalam persoalan. Untuk bukti-bukti lain, lihat Graybill (1969), Searle (1982), Harville
(1997), Schott (1997), atau suatu teks umumpada teori matriks.
Suatu matriks adalah suatu persegi panjang atau bujursangkar dari bilangan-bilangan atau variabel-
variabel. Kita gunakan huruf besar yang dibolt untuk menggambarkan matriks. Dalam buku ini,
semua elemen-elemen matriks akan berupa bilangan-bilangan riel atau variabel-variabel yang
menggambarkan bilangan-bilangan riel. Misalnya, tinggi (dalam inci) dan berat ( dalam pon) untuk
tiga mahasiswa didaftar dalam matriks berikut:
65 154
𝑨 = (73 182) (2.1)
68 167
𝑎11 𝑎12
𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) = (𝑎21 𝑎22 ) (2.2)
𝑎31 𝑎32
Notasi 𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) mengambarkan suatu matriks dengan maksud suatu elemen khusus. Tulisan di
bawah garis dalam 𝑎𝑖𝑗 mengindikasikan baris; ke dua mengindikasikan kolom.
Matriks A dalam (2.1) atau (2.2) memiliki tiga baris dan dua kolom, dan kita katakan bahwa
A adalah 3 × 2, atau A berukuran 3 × 2
Suatu vektor adalah suatu matriks dengan kolom tunggal. Elemen-elemen dalam suatu
vektor adalah sering diidentifikasi dengan tulisan dibawah yang tunggal, contohnya,
𝑥1
𝒙 = (𝑥2 )
𝑥3
Kita gunakan huruf kecil yang dibold untuk vektor-vektor kolom. Vektor-vektor baris dinyatakan
seperti vektor-vektor kolom yang ditraspose, misalnya,
𝒙′ = (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 ) = (𝑥1 𝑥2 𝑥3 )
(traspose yang didefinisikan dalam fasal 2.1.3 di bawah). Kita gunakan salah satu koma atau elemen-
elemen yang terpisah dari suatu vektorr baris.
Secara geometrik, suatu vektor dengan elemen-elemen p dapat dihubungkan dengan suatu
titik dalam ruang yang berdimensi p. Elemen-elemen dalam vektor adalah koordinat-koordinat dari
titk. Kadang-kadang kita berkepentingan dalam bentuk jarak dari yang asli dengan titik (vektor), jarak
diantara dua titik (vektor), atau sudut dintara gambar anak panah dari asal pada dua titik.
Dalam konteks matriks dan vektor, suatu bilangan riel disebut suatu skalar. Jadi 2,5, - 9, 7,26
adalah skalar. Suatu variabel menggambarkan suatu skalar akan berupa dengan huruf kecil yang
tidak dibold (biasanya huruf kecil), seperti c.
Dua matriks atau dua vektor dikatakan sama jika ke dua matriks itu berukuran sama dan semua
unsur-unsur yang sesuai atau seletak juga sama. Contohnya,
3 −2 4 3 −2 4
( )=( )
1 3 7 1 3 7
Tetapi
5 2 −9 5 3 −9
( )≠( ).
8 −4 6 8 −4 6
2.1.3 Transpose
Jika kita merubah baris dan kolom dari suatu matriks A, menghasilkan matriks transpose yang
diketahui seperti matriks A dengan A’. Contohnya,
6 −2
6 4 1
𝑨 = (4 7 ), 𝑨′ = ( )
−2 7 3
1 3
′
𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) = (𝑎𝑗𝑖 ). (2.3)
Notasi (𝑎𝑗𝑖 ) mengindikasikan bahwa elemen dalam baris ke i dan kolom ke j dalam A dibangun
dalam baris ke j dan kolom ke i dari A’. Jika matriks A adalah 𝑛 × 𝑝, maka A’ adalah 𝑝 × 𝑛.
Jika suatu matriks ditranspose dua kali, hasil matriks menjadi matriks asli.
(𝐴′ )′ = 𝐴 (2.4)
Bukti.
Dari (2.3), 𝐴′ = (𝑎𝑖𝑗 )′, maka (𝐴′ )′ = (𝑎𝑗𝑖 )′ = (𝑎𝑖𝑗 ) = 𝐴. Terbukti
2.1.4 Matriks-Matriks dari Bentuk Khusus
Jika tranpose dari suatu matriks A adalah sama seperti matriks semula, yaitu 𝑨′ = 𝑨 atau equivalent
dengan (𝑎𝑗𝑖 ) = (𝑎𝑖𝑗 ), maka matriks A disebut matriks simerik. Contohnya,
3 2 6
𝑨 = (2 10 −7)
6 −7 9
Jika suatu matriks memuat semua nol yang bukan diagonal, itu dikatakan matriks diagonal,
contohnya,
8 0 0 0
𝑨 = (0 −3 0 0)
0 0 0 0
0 0 0 4
Kita gunakan notasi diag(A) untuk mengindikasikan suatu matriks diagonal dengan elemen-elemen
diagonal sama seperti A, contohnya,
3 2 6 3 0 0
𝑨 = (2 10 −7), 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝐴) = (0 10 0)
6 −7 9 0 0 9
Suatu matriks diagonal dengan mempunyai unsur-unsur diagonal utama bernilai sama dan 1 disebut
matriks Idenntis dan disingkat I, contohnya,
1 0 0
𝑰 = (0 1 0) (2.5)
0 0 1
Suatu matriks segitiga atas adalah suatu matriks bujursangkar dengan semua unsur matriks
segitiga bawah bernilai nol, contohnya
7 2 3 −5
𝑻 = ( 0 0 −2 6 )
0 0 4 1
0 0 0 8
1
𝒋 = ( 1) (2.6)
1
1
1 1 1
𝑱 = (1 1 1) (2.7)
1 1 1
Suatu vektor dari 0 berupa 0 dan asuatu matriks dari 0 yang berupa 0, contohnya
0 0 0 0
𝑶 = (0), 𝑶 = (0 0 0) (2.8)
0 0 0 0
Jika dua matriks atau dua vektor adalah berukuran sama, jumlah ke duanya dibentuk dengan
menjumlahkan elemen-elemen yang bersesuaian. Jadi, jika A adalah 𝑛 × 𝑝 dan B adalah 𝑛 × 𝑝, maka
𝑪 = 𝑨 + 𝑩 juga adalah 𝑛 × 𝑝 dan dibangun seperti 𝑪 = (𝑐𝑖𝑗 ) = (𝑎𝑖𝑗 + 𝑏𝑖𝑗 ), contohnya,
7 −3 4 11 5 −6 18 2 −2
( )+( )=( )
2 8 −5 3 4 2 5 12 −3
Selisih D = A – B diantara dua matriks A dan B didefinisiksn yang sama 𝑫 = (𝑑𝑖𝑗 ) = (𝑎𝑖𝑗 − 𝑏𝑖𝑗 ).
Dua sifat dari penjumlahan matriks diberikan dalam teorema berikut.
(i) 𝑨 + 𝑩 = 𝑩 + 𝑨 (2.9)
(ii) (𝑨 + 𝑩)′ = 𝑨′ + 𝑩′ (2.10)
2.2.2 Hasil Kali dari Dua Matriks atau Dua Vektor
Dalam urutan untuk definisi hasil kali AB, jumlah kolom dalam matriks A harus sama dengan jumlah
baris pada matriks B, yang mana kasus, A dan B dikatakan conformable. Maka elemen-elemen ke (ij)
dari hasil kali C = AB didefinisikan sebagai
yang adalah jumlah dari hasil kali elemen-elemen dalam baris ke i dari matriks A dan elemen-elemen
dalam ke j dari matriks B. Jadi kita perkalikan setiap baris dari matriks A dengan setiap kolom pada
matriks B. Jika matriks A adalah 𝑛 × 𝑚 dan matrik B adalah 𝑚 × 𝑝, maka C = AB adalah 𝑛 × 𝑝. Kita
ilustrasikan perkalian matriks dalam contoh berikut.
Contoh 2.2.2
Misalkan
1 4
2 1 3
𝑨=( ) dan 𝑩 = (2 6).
4 6 5
3 8
Jadi
2.1 + 1.2 + 3.3 2.4 + 1.6 + 3.8 13 38
𝑨𝑩 = ( )=( )
4.1 + 6.2 + 5.3 4,4 + 6.6 + 5.8 31 92
sedangkan
1.2 + 4.4 1.1 + 4.6 1.3 + 4.5 18 25 23
𝑩𝑨 = (2.2 + 6.4 2.1 + 6.6 2.3 + 6.5) = (28 38 36).
3.2 + 8.4 3.1 + 8.6 3.3 + 8.5 38 51 49
𝑨𝑩 ≠ 𝑩𝑨 (2.12)
[Ada sedikit pengecualian pada (2.12), contohnya, dua matriks diagonal atau suatu matriks
bujursangkar dan suatu matriks identitas.] Jadi perkalian matriks tidak komutatif, dan kadang-
kadang terkenal memanipulasi dengan bilangan-bilangan riel dengan tidak dapat menjadi matriks.
Akan tetapi, perkalian matriks adalah distributif atas penjumlahan atau pengurangan:
Dengan menggunakan (2.13) dan (2.14) kita dapat perluas hasil kali seperti (A – B)(C – D):
𝒃′ 𝒄 = 𝑏1 𝑐1 + 𝑏2 𝑐2 + … + 𝑏𝑝 𝑐𝑝
𝒄′ 𝒃 = 𝑐1 𝑏1 + 𝑐2 𝑏2 + … + 𝑐𝑝 𝑏𝑝
𝒃′ 𝒄 = 𝒄′ 𝒃 (2.16)
𝑐1 𝑑1 𝑐1 𝑑2 … 𝑐1 𝑑𝑛
𝑐 𝑑 𝑐 𝑑 … 𝑐2 𝑑𝑛
𝒄𝒅′ = ( 2 1 2 2 ) (2.17)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝑐𝑝 𝑑1 𝑐𝑝 𝑑2 … 𝑐𝑝 𝑑𝑛
𝑏12 𝑏1 𝑏2 … 𝑏1 𝑏𝑝
𝑏2 𝑏1 𝑏22 … 𝑏2 𝑏𝑝
𝒃′ 𝒃 = (2.19)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝑏𝑝 𝑏1 𝑏𝑝 𝑏2 … 𝑏𝑝2
( )
Jadi, 𝒃′ 𝒃 adalah suatu jumlah dari kuadrat dan 𝒃𝒃′ adalah suatu matriks bujursangkar (simetrik).
Akar kuadrat dari jumlah elemen-elemen kuadrat suatu vektor b 𝑝 × 1adalah jarak dari asal
ke titik b dan juga ditunjukkan seperti perluasan dari b:
𝑝
Perluasan dari 𝒃 = √𝒃′ 𝒃 = √∑𝑖=1 𝒃2𝑖 (2.20)
Jika J adalah suatu vektor satuan 𝑛 × 1 seperti yang didefinisikan dalam (2.6), maka dengan (2.18)
dan (2.19) kita peroleh
1 1 … 1
𝑱′ 𝑱 = 𝑛, 𝑱𝑱′ = (1 1 … 1) = 𝑱 (2.21)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
1 1 … 1
di mana J adalah suatu matriks bujursangkar satuan 𝑛 × 𝑛 seperti yang diillustrasikan dalam (2.7).
Jika a adalah 𝑛 × 1 dan A adalah 𝑛 × 𝑝, maka
𝒂′ 𝑱 = 𝒋′ 𝒂 = ∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖 (2.22)
∑𝑗 𝑎1𝑗
∑𝑗 𝑎2𝑗
𝑱′ 𝑨 = (∑𝑖 𝑎𝑖1 , ∑𝑖 𝑎𝑖2 , … , ∑𝑖 𝑎𝑖𝑝 ), 𝑨𝑱 = . (2.23)
⋮
(∑𝑗 𝑎𝑛𝑗 )
Jadi a’J adalah jumlah dari elemen-elemen dalam a, J’A memuat jumlah kolom-kolom dari A, dan AJ
memuat jumlah baris dari A. Catatan bahwa dalam a’J, vektor J adalah 𝑛 × 1; dalam J’A, vektor J
adalah 𝑛 × 1; dan dalam AJ, vektor J adalah 𝑝 × 1.
Hasil kali dari satu skalar dan suatu matriks diperoleh dengan memperkalikan setiap elemen
dari matriks dengan skalar:
Karena 𝑐𝑎𝑖𝑗 = 𝑎𝑖𝑗 𝑐 hasil kali dari suatu skalar dan suatu matriks komutatif:
cA = Ac (2.25)
Transpose dari hasil kali dua matriks adalah hasil kali dari transpose dalam urutan kebalikan.
(𝑨𝑩)′ = 𝑩′ 𝑨′ (2.26)
Bukti.
Misalkan C = AB. Maka dengan (2.11)
𝑝
𝑪 = (𝑐𝑖𝑗 ) = (∑𝑘=1 𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑘𝑗 ).
′
(𝑨𝑩)′ = (𝑐𝑖𝑗 ) = (𝑐𝑗𝑖 )
𝑝 𝑝
= (∑𝑘=1 𝑎𝑗𝑘 𝑏𝑘𝑖 ) = (∑𝑘=1 𝑏𝑘𝑖 𝑎𝑗𝑘 ) = 𝑩′ 𝑨′ terbukti
Kita illustrasikan dalam langkah pembuktian dari Teorema 2.2.B menggunakan suatu matriks A 2 ×
3 dan suatu matriks B 3 × 2.
𝑏11 𝑏12
𝑎11 𝑎12 𝑎13
𝐴𝐵 = (𝑎 𝑎22 𝑎23 ) (𝑏 21 𝑏22 )
21
𝑏31 𝑏32
𝑎 𝑏 + 𝑎12 𝑏21 + 𝑎13 𝑏31 𝑎11 𝑏12 + 𝑎12 𝑏22 + 𝑎13 𝑏23
= ( 11 11 )
𝑎21 𝑏11 + 𝑎22 𝑏21 + 𝑎23 𝑏31 𝑎21 𝑏12 + 𝑎22 𝑏22 + 𝑎23 𝑏32
𝑎 𝑏 + 𝑎12 𝑏21 + 𝑎13 𝑏31 𝑎11 𝑏12 + 𝑎12 𝑏22 + 𝑎13 𝑏23 ′
(𝑨𝑩)′ = ( 11 11 )
𝑎21 𝑏11 + 𝑎22 𝑏21 + 𝑎23 𝑏31 𝑎21 𝑏12 + 𝑎22 𝑏22 + 𝑎23 𝑏32
𝑏 𝑎 + 𝑏21 𝑎12 + 𝑏31 𝑎13 𝑏11 𝑎21 + 𝑏21 𝑎22 + 𝑏31 𝑎23
= ( 11 11 )
𝑏12 𝑎11 + 𝑏22 𝑎12 + 𝑏32 𝑎13 𝑏12 𝑎21 + 𝑏22 𝑎22 + 𝑏32 𝑎23
𝑎 𝑎12
𝑏 𝑏12 𝑏13 𝑎11
= ( 11 ) ( 21 𝑎22 )
𝑏21 𝑏22 𝑏23 𝑎 𝑏32
31
= 𝑩 ′ 𝑨′
Selanjutnya akibat dengan Teorema 2.2B memberikan transpose dari hasil kali tiga matriks.
𝒂′𝟏
′
𝑨 = (𝒂𝟐 ), 𝑩 = (𝒃𝟏 , 𝒃𝟐 , … , 𝒃𝒑 ).
⋮
𝒂′𝒏
𝒂′𝟏 𝒃𝟏 𝒂′𝟏
′ ′
(𝒂𝟐 𝒃𝟏 ) = (𝒂𝟐 ) 𝒃𝟏 = 𝑨𝒃𝟏.
⋮ ⋮
𝒂′𝒏 𝒃𝟏 𝒂′𝒏
Demikian juga, kolom ke dua adalah 𝑨𝒃𝟐 , dan seterusny. Jadi AB dapat ditulis dalam bentuk dari
kolom dari B:
Sesuatu matriks dapat diperkalikan dengan transposenya dengan bentuk A’A atau AA’. Beberapa
sifat dari dua hasil kali ini diberikan dalam teorema berikut.
Teorema 2.2C
Misalkan A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑝. Maka A’A dan AA’ mempunyai sifat-sifat berikut:
(i) A’A adalah 𝑛 × 𝑝 dan diperoleh seperti hasil kali dari kolom di A.
(ii) AA’ adalah 𝑛 × 𝑛 dan diperoleh seperti hasil kali dari baris di A.
(iii) Ke dua A’A dan AA’ adalah simetrik.
(iv) Jika A’A = 0, maka A = 0.
Catatan bahwa 𝑫𝑨 ≠ 𝑨𝑫. Akan tetapi dalam kasus khusus di mana matriks diagonal adalah matriks
identitas, (2.29) dan (2.30) menjadi
IA = AI = A (2.32)
Jika A adalah persegi panjang, (2.32) masih dibold, tetapi dua identitas adalah berbeda ukuran.
Jika A adalah suatu matriks simetrik dan y adalah suatu vektor, hasil kali
disebut suatu bentuk kuadrat. Jika x adalah 𝑛 × 1, y adalah 𝑝 × 1, dan A adalah 𝑛 × 𝑝, hasil kali
Itu kadang-kadang baik sekali untuk mempartisi suatu matriks ke dalam subsmatriks. Contohnya,
suatu partisi dari suatu matriks A ke empat (bujursangkar atau persegi panjang) subsmatriks dari
ukuran yang sesuai dapat dilambangkan secara simbolik sebagai berikut:
𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑨=( )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
7 2 5 8 4
𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = (−3
9 3
4 0 2
6 |5
7
−2) = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
3 1 2 1 6
di mana
7 2 5 8 4
𝑨𝟏𝟏 = ( ), 𝑨𝟏𝟐 = ( )
−3 4 0 2 7
9 3 6 5 −2
𝑨𝟐𝟏 = ( ), 𝑨𝟐𝟐 = ( )
3 1 2 1 6
Jika dua matriks A dan B dapat disesuaikan, dan jika A dan B dipartisi sedemikian sehingga
subsmatriks dengan cocok dapat disesuaikan, maka hasil kali AB dapat dibangun menggunakan pola
biasa dari perkalian pada baris dengan kolom dengan subsmatriks seperti jika yang elemen-elemen
tunggal mereka, contohnya;
Jika B diganti dengan suatu vektor b dipartisi ke dalam dua himpunan dari elemen-elemen, dan jika
A koresponden yang dipartisi ke dalam dua himpunan dari kolom-kolom, maka (2.35) menjadi
𝒃
𝑨𝒃 = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 ) ( 𝟏 ) = 𝑨𝟏 𝒃𝟏 + 𝑨𝟐 𝒃𝟐 , (2.36)
𝒃𝟐
di mana jumlah kolom dari 𝑨𝟏 adalah sama dengan jumlah elemen dari 𝒃𝟏 dan dengan cara yang
sama untuk 𝑨𝟐 dan 𝒃𝟐 . Catatan bahwa mempartisi dalam 𝑨 = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 ) adalah dicirikan dengan
koma.
Perkalian yang dipartisi dalam (2.36) dapat diperluas dengan kolom-kolom tersendiri dari A
dan elemen-elemen tersendiri dari b:
𝒃𝟏
𝒃
𝑨𝒃 = (𝒂𝟏 , 𝒂𝟐 , … , 𝒂𝒑 ) ( 𝟐 ) = 𝒂𝟏 𝒃𝟏 + 𝒂𝟐 𝒃𝟐 + … + 𝒂𝒑 𝒃𝒑. (2.37)
⋮
𝒃𝒑
Jadi 𝑨𝒃 dapat dinyatakan sebagai suatu kombinasi linier dari kolom-kolom di A, yang mana
koefisien-koefisien adalah elemen-elemen di b. Kita illustrasikan (2.37) dalam contoh berikut:
6 −2 3 4
𝑨 = (2 1 0), 𝒃=( 2 )
4 3 2 −1
Maka
17
𝑨𝒃 = (10)
20
Menggunakan suatu kombinasi linier dari kolom-kolom di A seperti dalam (2.37), kita peroleh
𝑨𝒃 = 𝒂𝟏 𝒃𝟏 + 𝒂𝟐 𝒃𝟐 + … + 𝒂𝒑 𝒃𝒑
6 −2 3
= 𝟒 (2) + 2 ( 1 ) − (0)
4 3 2
24 −4 3 17
= ( 8 ) + ( 2 ) − (0) = (10). Terbukti
16 6 2 20
Dengan (2.28) dan (2.37) kolom-kolom dari hasil kali AB adalah kombinasi linier dari kolom-
kolom di A. Koefisien-koefisien untuk kolom ke j dari AB adalah elemen-elemen dari kolom ke j di B.
Hasil kali dari vektor a dan suatu matriks A, a’B, dapat dinyatakan sebagai suatu kombinasi
linier dari baris di B, yang mana koefisien-koefisien adalah elemen-elemendari a’:
𝒃′𝟏
′
𝒂′ 𝑩 = (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑛 ) (𝒃𝟐 ) = 𝑎1 𝑏1′ + 𝑎2 𝑏2′ + … + 𝑎𝑛 𝑏𝑛′ (2.38)
⋮
𝒃′𝒏
Dengan (2.27) dan (2.38) baris dari hasil kali matriks AB adalah kombinasi linier dari baris di B.
Koefisien-koefisien untuk baris ke i dari AB adalah elemen-elemen dari baris ke i di A.
Akhirnya, kita catat bahwa jika suatu matriks A dipartisi seperti 𝑨 = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 ), maka
𝑨′𝟏
𝑨′ = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 )′ = ( ) (2.39)
𝑨′𝟐
2.4 RANK
Sebelum mendefinisikan rank dari suatu matriks, pertama kita perkenalkan notasi bergantung linier
dan bebas linier. Suatu himpunan dari vektor-vektor 𝒂𝟏 , 𝒂𝟐 , … , 𝒂𝒏 dikatakan bergantung liner jika
skalar 𝑐1 , 𝑐2 , … , 𝑐𝑛 (tidak semua nol) dapat dibangun sedemikian sehingga
𝑐1 𝒂𝟏 + 𝑐2 𝒂𝟐 + … + 𝑐𝑛 𝒂𝒏 = 𝟎 (2.40)
Jika bukan koefisien-koefisien 𝑐1 , 𝑐2 , … , 𝑐𝑛 (tidak semua nol) dapat dibangun yang memenuhi (2.40),
himpunan dari vektor-vektor 𝒂𝟏 , 𝒂𝟐 , … , 𝒂𝒏 dikatakan menjadi bebas secara linier. Dengan (2.37) ini
dapat diulangi sebagai berikut: kolom-kolom dari A adalah bebas secara linear jika Ac = 0 memenuhi
c = 0. (Jika suatu himpunan dari vektor-vektor yang termasuk 0, himpunan adalah bebas secara
linier.) Jika (2.40) mendukung, maka paling sedikit satu dari vektor-vektor 𝒂𝒊 dapat dinytakan seperti
suatu kombinasi llinier dari vektor-vektor lain dalam himpunan. Di antara vektor-vektor yang bebas
secara linier tidak ada rendundansi dari tipe ini.
Rank dari sesuatu matriks bujursangkar atau persegi panjang A didefinisikan sebagai
Itu dapat ditunjukkan bahwa jumlah kolom-kolom yang bebas secara linier dari sesuatu matriks
adalah sama dengan jumlah baris-baris yang bebas secara linier.
Jika suatu matriks A mempunyai suatu elmen tunggal yang tidak nol, dengan semua elemen-
elemen lain sama dengan nol, maka rank (A) = 1. Vektor 0 dan matriks 0 mempunyai rank nol.
Andaikan suatu matriks persegi panjang A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank p, di mana p < n. (Kita
khususkan mempersingkat kementar ini untuk “A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank p < n.”) Maka A mempunyai
rank kemungkinan maksimum dan dikatakan dengan rank penuh. Umumnya, rank kemungkinan
maksimum dari suatu matriks A 𝑛 × 𝑝 adalah min(n, p). Jadi, dalam suatu matriks persegi panjang,
baris atau kolom (atau ke duanya) adalah bebas linier. Kita illustrasi ini dalam contoh berikut.
1 −2 3
𝐴=( )
5 2 4
adalah 2 karena dua baris adalah bebas linier (tak ada baris adalah suatu perkalian dari yang lain).
Karena itu, dengan definisi rank, jumlah dari kolom-kolom yang bebas linier adalah juga 2. Untuk itu,
kolom-kolom yang bebas linier, dan dengan (2.40) ada konstanta 𝑐1 , 𝑐2 dan 𝑐3 sedemikian sehingga
1 −2 3 0
𝑐1 ( ) + 𝑐2 ( ) + 𝑐3 ( ) = ( ) (2.41)
5 2 4 0
𝑐1
1 −2 3 𝑐 0
( ) ( 2) = ( ) atau Ac = 0 (2.42)
5 2 4 𝑐 0
3
Solusi pada (2.42) diberikan dengan sesuatu perkalian dari 𝒄 = (14, −11, −12)′.Dalam kasus ini,
hasil kali Ac adalah sama dengan 0, sama meskipun 𝑨 ≠ 𝟎 dan 𝒄 ≠ 𝟎. Ini mungkin karena vektor-
vektor kolom A bergantung linier.
Kita dapat perluas (2.42) dengan hasil kali dari matriks-matriiks. Itu mungkin dengan
mendapatkan 𝑨 ≠ 𝟎 dan 𝑩 ≠ 𝟎, sedemikian sehingga
AB = 0 (2.43)
contohnya,
1 2 2 6 0 0
( )( )=( )
2 4 −1 −5 0 0
Kita dapat juga mengeksploitasi bergantung linier dari baris-baris atau kolom-kolom suatu
matriks dengan kreasi pernyataan seperti AB = CB, di mana 𝑨 ≠ 𝑪. Jadi dalam suatu matriks sama,
kita tidak dapat, secara umum, menghapus suatu matriks dari ke dua sisi persamaan. Ada dua
pengecualian untuk rumus ini. (1) Jika B adalah matriks nonsingular (definisi dalam fasal 2.5 di
bawah), maka AB = BC memenuhi A = C. (2) Khusus kasus lain terjadi bila pernyatan pegangan untuk
semua nilai-nilai yang mungkin dari matriks biasa pada ke dua sisi persamaan, contohnya.
Untuk melihat ini, misalkan 𝑥 = (1, 0, … , 0)′ . Maka dengan (2.37) kolom pertama dari A sama
dengan kolom pertama dari B. Sekarang, misalkan 𝑥 = (0, 1, … , 0)′ dan kolom ke dua dari A sama
dengan kolom ke dua dari B. Kekontinuan dalam model ini, kita peroleh A = B.
Contoh 2.4(b).
1 2
1 3 2 2 1 1
𝑨=( ), 𝑩 = (0 1), 𝑪=( )
2 0 −1 5 −6 −4
1 0
Maka
3 5
𝑨𝑩 = 𝑪𝑩 = ( )
1 4
Teorema selanjutnya diberikan suatu kasus khusus dan dua kasus khusus untuk rank dari suatu hasil
kali dari dua matriks.
Teorema 2.4A.
(1) Jika matriks A dan B adalah conformable, maka 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨𝑩) ≤ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) dan 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨𝑩) ≤
𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑩).
(2) Perkalian dengan suatu matriks nonsingular (suatu rank penuh matriks bujursangkar, lihat fasal
2.5 di bawah) tidak membuat pilihan rank; yaitu, jika B dan C adalah nonsingular, rank(AB) =
rank (CA) = Rank (A).
(3) Untuk sesuatu matriks A, rank (A’A) = rank (AA’) = rank (A)
2.5 INVERS
Suatu matriks bujursangkar rank penuh dikatakan nonsingular. Suatu matriks nonsingular A
mempunyai suatu invers khusus berupa 𝑨−𝟏 , dengan sifat bahwa
Jika A adalah matriks bujursangkar dan kurang dari rank penuh, maka itu tidak mempunyai invers
dan dikatakan menjadi singular. Catatan bahwa rank penuh matriks persegi panjang tidak
mempunyai invers seperti dalam (2.45). Dari definisi dalam (2.45), itu jelas bahwa A adalah inversnya
dari 𝑨−𝟏 , yaitu
4 7
𝐴=( )
2 6
Maka
0,6 −0,7
𝐴−1 = ( )
−0,2 0,4
dan
𝒙 = 𝑨−𝟏 𝒄 (2.47)
karena itu kita dapat memperkalikan pada yang kiri dengan 𝑨−𝟏 untuk memperoleh
Dua sifat dari invers dapat diberikan dalam dua teorema berikut.
Teorema 2.5A.
Jika A adalah nonsingular, maka A’ transpose adalah nonsingular dan inversnya dapat dibangun
seperti
Teorema 2.5B.
Jika A dan B adalah matriks nonsingular dari ukuran sama, maka AB adalah nonsingular dan
Sekarang kita berikan invers dari beberapa matriks khusus. Jika A adalah simetriks dan
nonsingular dan dipartisi seperti
𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
𝑨−𝟏 −𝟏 −𝟏 −𝟏
𝟏𝟏 + 𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑩 𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟏𝟏 −𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑩
−𝟏
𝑨−𝟏 = ( ) (2.50)
−𝑩−𝟏 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑩−𝟏
Seperti suatu kasus khusus dari (2.50), anggaplah matriks nonsingular simetriks
𝑨 𝒂𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝒂′𝟐𝟏 𝑎22
yang mana 𝑨𝟏𝟏 adalah bujursangkar, 𝑎22 adalah suatu skalar, dan 𝒂𝟏𝟐 adalah suatu vektor. Maka
𝑨−𝟏
𝟏𝟏 ada, 𝑨
−𝟏
dapat dinyatakan seperti
−𝟏
𝟏 𝒃𝑨 + 𝑨−𝟏 ′ −𝟏
𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐 𝒂𝟏𝟐 𝑨𝟏𝟏 −𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐
𝑨−𝟏 = ( 𝟏𝟏 ) (2.51)
𝒃 −𝒂′𝟏𝟐 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝟏
𝑨 𝟎 𝑨−𝟏 𝟎
( 𝟏𝟏 ) = ( 𝟏𝟏 ) (2.52)
𝟎 𝑨𝟐𝟐 𝟎 𝑨−𝟏
𝟐𝟐
Jika suatu matriks bujursangkar dari B + cc’ adalah nonsingular, di mana c adalah suatu
vektor dan B adalah suatu matriks nonsingular, maka
𝑩−𝟏 𝒄𝒄′𝑩−𝟏
(𝑩 + 𝒄𝒄′ )−𝟏 = 𝑩−𝟏 − 𝟏+𝒄′𝑩−𝟏 𝒄
(2.53)
Bentuk-bentuk kuadratik yang diperkenalkan dalam (2.33). Contohnya, bentuk kuadratik 3𝑦12 + 𝑦22 +
2𝑦32 + 4𝑦1 𝑦2 + 5𝑦1 𝑦3 − 6𝑦2 𝑦3 dapat dinyatakan seperti
di mana
𝑦1 3 4 5
𝒚 = (𝑦2 ), 𝑨 = (0 1 −6) .
𝑦3 0 0 2
Akan tetapi, bentuk kuadrat yang sama dapat juga dinyatakan dalam bentuk dari matriks simetrik
3 2 5/3
1
2
(𝐴 + 𝐴′) = ( 2 1 −6 ).
5/2 −3 2
𝑨+𝑨′
𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝒚′ ( )𝒚 (2.54)
𝟐
dan jadi matriks dari suatu bentuk kuadrat selalu dapat dipilih untuk simetrik (dan dengan cara yang
unik)
Jumlah-jumlah dari pertemuan bujursangkar dalam regresi (Bab 6 – 10) dan analisis variansi
(Bab 11 – 14) dapat dinyatakan dalam bentuk 𝒚′ 𝑨𝒚, di mana y adalah suatu observasi vektor.
Seperti bentuk kuadratik tetapa positif (atau sekurang-kurangnya nonnegatif) unt semua
kemungkinan nilai-nilai y. Sekarang kita anggap bentuk-bentuk kuadratik dari tipe ini.
Jika matriks simetrik A mempunyai sifat 𝒚′ 𝑨𝒚 > 0 untuk semua kemungkinan y, kecuali y =
0, maka bentuk kuadratik 𝒚′ 𝑨𝒚 dikatakan defenit positif, dan A dikatakan suatu matriks defenit
positif. Dengan cara yang sama, jika 𝒚′ 𝑨𝒚 ≥ 𝟎, untuk semua y kecuali y = 0, maka 𝒚′ 𝑨𝒚 dan A
dikatakan semidefenit positif. Ke dua tipe dari matriks diillustrasikan dalam contoh berikut.
2 −1
𝐴=( )
−1 3
1 5
𝒚′ 𝑨𝒚 = 2𝑦12 − 2𝑦1 𝑦2 + 3𝑦22 = 2(𝑦1 − 𝑦2 )2 + 𝑦22,
2 2
13 −2 −3
𝐴 = (−2 10 −6).
−3 −6 5
Jika 2𝑦1 = 𝑦2 , 3𝑦1 = 𝑦3 , dan 3𝑦2 = 2𝑦3 , maka (2𝑦1 − 𝑦2 )2 + (3𝑦1 − 𝑦3 )2 + (3𝑦2 − 2𝑦3 )2 = 0.
Jadi 𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝟎 untuk sembarang perkalian dari y = (1, 2, 3)’. Sebaliknya 𝒚′ 𝑨𝒚 > 0 (kecuali y = 0).
Dalam matriks pada Contoh 2.6, elemen-elemen diagonal adalah positif. Untuk definisi
matriks positif, pada umumnya ini adalah benar.
Teorema 2.6A.
(i) Jika A adalah defenit positif, maka semua elemen-elemen diagonal 𝑎𝑖𝑖 adalah positif
(ii) Jika A adalah semidefenit positif, maka semua 𝑎𝑖𝑖 ≥ 0.
Bukti
(i) Misalkan y’ = (0, ... , 1, 0, ... , 0) dengan suatu 1 dalam posisi ke i dan ditempat lain 0. Maka
𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝒂𝒊𝒊 > 0.
Beberapa tambahan sifat-sifat dari matriks defenit positif dan matriks semidefenit positif
diberikan dalam teorema-teorema berikut.
Teorema 2.6B. Misalkan P adalah suatu matriks nonsingular.
(i) Jika A adalah defenit positif, maka P’AP adalah defenit positif
(ii) Jika A adalah semidefenit positif, maka P’AP adalah semidefenit positif.
Bukti:
(i) Untuk menunjukkan bahwa y’P’Apy > 0 untuk 𝒚 ≠ 𝟎, catatan bahwa y’(P’AP)y =
(Py)’A(Py). Karena A adalah defenit positif, (Py)’A(Py) > 0 asalkan bahwa 𝑷𝒚 ≠ 𝟎. Dengan
(2.47), 𝑷𝒚 = 𝟎 hanya jika y = 0. Karena itu 𝑷−𝟏 𝑷𝒚 = 𝑷−𝟏 𝟎 = 𝟎. Jadi Y’P’Apy > 0, jika 𝒚 ≠
𝟎. Terbukti.
Akibat 1. Misalkan A adalah suatu matriks defenit positif 𝑝 × 𝑝 dan misalkan B adalah suatu matriks
𝑘 × 𝑝 dari 𝑟𝑎𝑛𝑘 𝑘 ≤ 𝑝. Maka BAB’ defenit positif.
Akibat 2. Misalkan A adalah suatu matriks defenit positif 𝑝 × 𝑝 dan misalkan B adalah suatu matriks
𝑘 × 𝑝. Jika k > p atau jika rank (B) = r, di mana r < k dan r < p, maka BAB’ adalah semi defenit positif
Teorema 2.6C. Suatu matriks simetriks A adalah defenit positif jika dan hanya jika ada suatu
matriks nonsingular P sedemikian sehingga A = P’P
Bukti.
Kita buktikan hanya jika sebagian. Andaikan A = P’P untuk P nonsingular.Maka
𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝒚′ 𝑷′ 𝑷𝒚 = (𝑷𝒚)′ (𝑷𝒚).
Ini adalah suatu jumlah dari bujursangkar (lihat (2.18)) dan kecuali kalau positif Py = 0. Dengan
(2.47), Py = 0 hanya jika y = 0.
Satu metode dari memfaktor suatu matriks defenit positif A ke dalam suatu hasil kali P’P
diberikan oleh dekomposisi Colesky [Seber (1977, pp, 304 – 305)], dengan yang A dapat difaktor
secara khusus ke dalam A = T’T, di mana T adalah suatu matriks segitiga atas nonsingular.
Untuk beberapa matriks bujursangkar B atau matriks persigi panjang B, matriks B’B adalah
defenit positif atau semidefenit positif.
Bukti.
(i) Untuk menunjukkan bahwa y’B’By > 0, untuk 𝒚 ≠ 𝟎 kita catat bahwa
y’B’By = (By)’(By),
yang mana adalah suatu jumlah dari kuadrat dan dengan demikian kecuali kalau By = 0. Dengan
(2.37), kita dapat nytakan By dalam bentuk
𝑩𝒚 = 𝑦1 𝑏1 + 𝑦2 𝑏2 + … + 𝑦𝑝 𝑏𝑝 .
Kombinasi linier ini adalah bukan 0 (untuk bebrapa 𝒚 ≠ 0) menjadi rank (B) = p, dan karena
itu kolom dari B adalah bergantung secara linier [lihat (2.40)].
(ii) Jika rank (B) < p, maka kita bisa mendapatkan 𝒚 ≠ 𝟎 sedemikian sehingga
𝑩𝒚 = 𝑦1 𝑏1 + 𝑦2 𝑏2 + … + 𝑦𝑝 𝑏𝑝 = 0
Karena itu, kolom dari B adalah bergantung linier (lihat (2.40)]. Karena 𝒚′𝑩′𝑩𝒚 ≥ 0. Terbukti.
Catatan bahwa jika B adalah suatu matriks bujursangkar, matriks 𝑩𝟐 = 𝑩𝑩 tidak perlu
semidefenit positif. Contohnya, misalkan
1 −2
𝐵=( ).
1 −2
Maka
−1 2 2 −4
𝑩𝟐 = ( ), 𝑩′ 𝑩 = ( ).
−1 2 −4 8
Dalam kasus ini, 𝑩𝟐 bukan semidefenit positif, tetapi 𝑩′ 𝑩 adalah semidefenit positif, karene itu,
𝒚′ 𝑩′ 𝑩𝒚 = 𝟐(𝒚𝟏 − 𝟐𝒚𝟐 )𝟐 .
Dua tambahan sifat matriks defenit positif diberikan dalam teorema beriku.
Teorema 2.6E. Jika A adalah defenit positif, maka 𝑨−𝟏 defenit positif.
Bukti.
Dengan Teorema 26C. A = P’P, di mana P adalah nonsingular. Dengan Teorema 2.6A dan 2.5B,
𝑨−𝟏 = (𝑷′ 𝑷)−𝟏 = 𝑷−𝟏 (𝑷′ )−𝟏 = 𝑷−𝟏 (𝑷−𝟏 )′ , yang adalah defenit positif dengan Teorema 2.6C.
Terbukti.
Teorema 2.6F. Jika A adalah defenit positif dan bentuk dalam yang dipartisi
𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
di mana 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar, maka 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah defenit positif.
Bukti.
𝑰
𝑨𝟏𝟏 = (𝑰, 𝑶)𝑨 ( ),
𝑶
di mana I adalah berukuran sama seperti 𝑨𝟏𝟏 . Maka dengan Akibat 1 untuk Teorema 2.6B, 𝑨𝟏𝟏
adalah defenit positif. Terbukti.
⋮ (2.55)
Ax = c (2.56)
di mana A adalah 𝑛 × 𝑝, 𝒙 adalah 𝑝 × 1, dan c adalah 𝑛 × 1. Catatan bahwa jika 𝑛 ≠ 𝑝, maka x dan c
adalah dari ukuran yang berbeda. Jika n = p dan A adalah nonsingular , maka dengan (2.47),
terdapat suatu solusi khusus vektor x diperoleh seperti 𝒙 = 𝑨−𝟏 𝒄. Jika n > p, sehinngga A
mempunyai baris lebih dari pada kolom, maka Ax = c tidak mempunyai penyesaian khusus. Jika n <
p, sehingga A mempunyai beberapa baris dari kolom, maka Ax = c mempunyai suatu jumlah
penyelesaian khusus yang takhingga.
Jika sistem persamaan Ax = c mempunyai satu atau lebih vektor-vektor penyelesaian, itu
dikatakan dengan konsisten. Jika sistem tidak mempunyai penyelesain, itu dikatakan dengan tidak
konsisten.
Untuk mengillustrasi struktur suatu sistem konsisten dari persamaan Ax = c, andaikan A
adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r < p. Maka baris-baris dari A adalah bergantung linier, dan terdapat
beberapa b sedemikian sehingga [lihat (2.38)]
Teorema 2.7A.
Sistem dari persamaan Ax = c mempunyai paling sedikit satu solusi vektor x jika dan hanya jika
rank(A) = rank(A c).
Bukti.
Andaikan rank (A) = rank (A, c), sedekian sehingga lampiran c bukan pilihan rank. Maka c adalah
suatu kombinasi linier dari kolom-kolom di A; yaitu, terdapat beberapa x sedemikian sehingga
𝑥1 𝑎1 + 𝑥2 𝑎2 + … + 𝑥𝑝 𝑎𝑝 = 𝑐
Ax = c.
Karena itu,
Suatu sistem terdiri dari persamaan yang dapat dipecahkan dengan metode yang biasa
diberikan dalam dasar-dasar aljabar untuk mengeliminasi variabel-variabel, seperti jumlah suatu
perkalian dari satu persamaan pada yang lain atau pemecahan untuk suatu variabel dan
mensubstitusi ke dalam persamaan yang lain. Dalam proses, satu atau lebih variabel dapat brakhir
pada perubahan konstanta, jadi membangkitkan suatu jumlah takhingga dari solusi-solusi. Suatu
metode dari pemecahan solusi, invers yang disamakan diberikan dalam Fasal 2.82. Beberapa
illustrasi sistem persamaan dan solusinya diberikan dalam contoh-contoh berikut.
𝑥1 + 2𝑥2 = 4
𝑥1 − 𝑥2 = 1
𝑥1 + 𝑥2 = 3
atau
1 2 𝑥1 4
(1 −1) (𝑥 ) = (1)
2
1 1 3
1 2 4
(𝑨, 𝒄) = (1 −1 1)
1 1 3
Yang mempunyai rank 2 karena kolom ke tiga adalah sama dengan dua kali kolom pertama ditambah
ke dua:
1 2 4
2 (1) + (−1) = (1)
1 1 3
Karena rank(A) = rank(A, c) = 2, maka terdapat paling sedikit satu solusi. Jika kita menambah dua kali
persamaan pertama dengan ke dua, hasilnya adalah suatu perkalian dari persamaan ke tiga. Jadi dua
pertama dengan mudah dapat dipecahkan untuk memperoleh solusi khusus x =(2, 1)’.
Garis ke tiga menggambarkan tiga persamaan yang diplot dalam Gambar 2.1. Perhatikan
bahwa tiga garis berpotongan pada titik (2,1), yang adalah solusi khusus dari tiga persamaan.
𝑥2 2
0 1 2 3 4
𝑥1
Gambar 2.1 tiga garis menggambarkan tiga persamaan dalam Contoh 2.7(a).
Contoh 2.7(b).
Jika kita memilih 3 pada 2 dalam persamaan ke tiga dalam Contoh 2.7(a), penambahan matriks
menjadi
1 2 4
(𝑨, 𝒄) = (1 −1 1)
1 1 2
Yang mempunyai rank 3, karena bukan kombinasi linier dari kolom-kolom adalah 0. [kemungkinan
lain, |(𝑨, 𝒄)| ≠ 0, dan (A, c) adalah nonsingular; lihat Teorema 2.9A(iii) dalam Fasal 2.9.] karena
𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨, 𝒄) = 3 ≠ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) = 2, dan sistem adalah tidak konsisten.
Tiga garis menggambarkan tiga persamaan yang diplot dalam Gambar 2.2, di mana kita lihat
bahwa tiga garis tidak mempunyai suatu titik biasa dari perpotongan. [Untuk terbaik, solusi
perkiraan, satu pendekatan adalah untuk menggunakan paling sidikit kuadrat, yaitu, kita
mendapatkan nilai-nilai dari 𝑥1 dan 𝑥2 yang meminimize [(𝑥1 + 2𝑥2 − 4)2 + (𝑥1 − 𝑥2 − 1)2 +
(𝑥1 + 𝑥2 − 2)2 ].
𝑥1 + 𝑥2 + 𝑥3 = 1
2𝑥1 + 𝑥2 + 3𝑥3 = 5
3𝑥1 + 2𝑥2 + 4𝑥3 = 6
Persamaan ke tiga adalah jumlah dari dua pertama, tetapi ke dua adalah bukan suatu perkalian dari
pertama. Jadi, rank (A, c) = rank (A) = 2, dan sistem adalah konsisten
𝑥2 2
0 1 2 3 4
𝑥1
Gambar 2.2 Tiga garis menggambarkan tiga persamaan dalam Contoh 2.7(b)
Dengan pemecahan dua persamaan pertama untuk 𝑥1 dan 𝑥2 dalam bentuk-bentuk 𝑥3 , kita
peroleh
𝑥1 = −2𝑥3 + 4, 𝑥2 = 𝑥3 − 3
−2𝑥3 + 4 −2 4
𝒙 = ( 𝑥3 − 3 ) = 𝑥3 ( 1 ) + (−3),
𝑥3 1 0
di mana 𝑥3 adalah suatu perubahan konstanta. Secara geometri, garis x yang menggambarkan
perpotongan dari dua bidang yang berhubungan untuk dua persamaan pertama.
Sekarang kita anggap invers yang disamakan dari dua matriks bahwa tidak mempunyai invers dalam
pengertian biasa [lihat (2.45)]. Suatu solusi dari suatu sistem konsisten dari persamaan Ax = c dapat
dinyatakan dua bidang yang berhubungan dengan dua persamaan pertama.
Suatu invers yang disamakan dari suatu matriks A 𝑛 × 𝑝 adalah sesuatu matriks 𝑨− yang bersifat
𝑨𝑨− 𝑨 = 𝑨 (2.57)
A invers yang disamakan bukan pengecualian khusus bila A adalah nonsingular, yaqng mana kasus
𝑨− = 𝑨−𝟏 . A invers yang disamakan adalah juga disebut suatu invers bersyarat.
Setiap matriks, apakah bujursangkar atau persegi panjang, mempunyai suatu inverws yang
disamakan. Pegangan ini sama untuk vektor-vektor. Contohnya, misal
1
𝒙 = (2)
3
4
Maka 𝒙−
𝟏 = (1, 0, 0, 0) adalah suatu invers yang disamakan dari x memenuhi (2.57). Contoh-contoh
1 1 1 −
lain 𝒙− − −
𝟐 = (0, 2 , 0, 0), 𝒙𝟑 = (0, 0, 3 , 0), dan 𝒙𝟒 = (0, 0, 0, 4). Untuk setiap 𝑥𝑖 , kita peroleh
𝒙𝒙−
𝒊 𝒙 = 𝒙𝟏 = 𝒙, 𝑖 = 1,2,3,4.
Dalam illustrasi ini, x adalah suatu vektor kolom dan 𝑥𝑖− adalah suatu vektor baris. Pola ini disamakan
dalam teorema berikut.
Teorema 2.8A. Jika A adalah 𝑛 × 𝑝, sesuatu invers yang disamakan 𝑨− adalah 𝑝 × 𝑛.
Dalam contoh berikut kita berikan dua illustrasi dari invers yang disamakan pada suatu
matriks singular.
2 2 3
𝑨 = (1 0 1). (2.58)
3 2 4
Baris ke tiga dari A adalah jumlah dari dua baris pertama, dan baris ke dua adalah bukan suatu
perkalian dari pertama; karena itu, A mempunyai rank 2. Misalkan
0 1 0 0 1 0
3 1
𝑨−
𝟏 = (0 −1 0) 𝑨−
𝟐 = ( 0 − 2 2 ). (2.59)
0 0 0 0 0 0
Teorema 2.8B. Andaikan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r dan bahwa A dipartisi seperti
𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑨=( ),
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
di mana 𝑨𝟏𝟏 adalah 𝑟 × 𝑟 dari rank r. Maka suatu invers yang disamakan dari A diberikan dengan
−𝟏
𝑨− = (𝑨𝟏𝟏 𝑶),
𝑶 𝑶
di mana matriks tiga 0 adalah dari ukuran yang tepat sedemikian sehingga 𝑨− adalah 𝑝 × 𝑛.
Bukti.
Dengan memperkalikan dari matriks yang dipartisi, seperti dalam (2.35) kita peroleh
𝑰 𝑶 𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝐴𝑨− 𝑨 = ( )𝑨 = ( ).
𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑶 𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑰 𝑶
𝑩=( ),
−𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑰
di mana O dan I adalah dari ukuran yang tepat, untuk memperoleh
𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑩𝑨 = ( ).
𝑶 𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
Matriks B adalah nonsingular, dan oleh karena itu, rank dari BA adalah r = rank (A) [lihat Teorema
𝑨
2.4A(ii)]. Dalam BA submatriks ( 𝟏𝟏 ) adalah rank dari r, dan kolom atas dengan 𝑨𝟏𝟐 adalah
𝑶
kombinasi linier dari kolom atas dengan 𝑨𝟏𝟏 . Dengan suatu kementar Contoh 2.3 berikut, hubungan
ini dapat dinyatakan seperti
𝑨𝟏𝟐 𝑨
( ) = ( 𝟏𝟏 ) 𝑸 (2.60)
𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑶
untuk beberapa matriks Q. Dengan (2.27), samping kanan dari (2.60) menjadi
𝑨 𝑨 𝑸 𝑨 𝑸
( 𝟏𝟏 ) 𝑸 = ( 𝟏𝟏 ) = ( 𝟏𝟏 ).
𝑶 𝑶𝑸 𝑶
Akibat 1. Andaikan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r dan bahwa A dipartisi seperti dalam Teorema 2.8B, di
mana 𝑨𝟐𝟐 adalah 𝑟 × 𝑟 dari rank r. Maka suatu invers yang disamakan dari A diberikan dengan
𝑶 𝑶
𝑨− = ( )
𝑶 𝑨−𝟏
𝟐𝟐
Submatriks nonsingular tidak perlu ada dalam posisi 𝐴11 atau 𝐴22 seperti dalam Teorema
2.8B atau Akibatnya. Teorema 2.8B dapat diperluas dengan algoritma berikut untuk mendapatkan
suatu syarat invers 𝑨− untuk beberapa matriks A 𝑛 × 𝑝 dari rank r (Searle 1982, p. 218):
Beberapa sifat-sifat dari invers yang disamakan diberikan dalam teoema berikut.
Teorema 2.8C. Misalkan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r, misalkan 𝑨− adalah beberapa invers yang
disamakan dari A, dan misalkan (𝑨′ 𝑨)− adalah beberapa invers yang disamakan dari A’A. Maka
Suatu invers yang disamakan dari suatu matriks simetrik adalah tidak perlu simetrik, Akan
tetapi, itu juga benar bahwa suatu invers yang disamakan simetrik bisa selalu dibangun untuk suatu
matriks simetrik; lihat soal 2.45. Dalam buku ini, kita akan asumsikan bahwa invers yang disamakan
dari matriks simetrik adalah simetrik.
Suatu olusi untuk suatu suistem dari persamaan dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk dri suatu
invers yang disamakan.
Teorema 2.8D. Jika sistem persamaan Ax = c adalah konsisten dan jika 𝐴− adalah beberapa invers
yang disamakan untuk A, maka untuk suatu solusi adalah 𝒙 = 𝑨− 𝒄.
Bukti.
Karena 𝑨𝑨− 𝑨 = 𝑨, kita peroleh
𝑨𝑨− 𝑨𝒙 = 𝑨𝒙
𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄
Penulisan dalam bentuk ini 𝑨(𝑨− 𝒄) = 𝒄, kita perhatikan bahwa 𝑨− 𝑐 adalah suatu solusi pada Ax = c.
Perbedaan pilihan dari 𝑨− akan menghasilkan dalam solusi-solusi yang berbeda untuk Ax = c.
Teorema 2.8E. Jika sistem persamaan Ax = c adalah konsisten, maka semua solusi yang mungkin
dapat diperoleh dalam dua cara berikut:
(i) Gunakan suatu 𝑨− dalam 𝒙 = 𝑨− 𝒄 + (𝑰 − 𝑨− 𝑨)𝒉, dan gunakan semua nilai-nilai kemungkinan
dari perubahan vektor h.
(ii) Gunakan semua nilai-nilai kemungkinan dari 𝑨− dalam 𝒙 = 𝑨− 𝒄.
Bukti.
Perhatikan Swarle (1982, p. 238).
Syarat perlu dan cukup untuk sistem persamaan Ax = c dengan konsisten dapat diberikan
dalam bentuk-bentuk dari suatu invers yang disamakan dari A (Graybill 1976, p. 36).
Teorema 2.8F. Sistem persamaan Ax = c mempunyai suatu solusi jika dan hanya jika untuk beberapa
invers yang disamakan 𝑨− dari A
𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄.
Bukti.
Andaikan Ax = c adalah konsisten. Maka dengan Teorema 2.8D, 𝒙 = 𝑨− 𝒄 adalah suatu solusi.
Perkalian c = Ax dengan 𝑨𝑨− untuk memperoleh
𝑨𝑨− 𝒄 = 𝑨𝑨− 𝑨𝒙 = 𝑨𝒙 = 𝒄.
𝑨𝒙 = 𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄.
Teorema 2.8F memberikan suatu alternatif untuk Teorema 2.7A untuk menghitung apakah suatu
sitem persamaan adalah konsisten
2.9 Determinan
Determinan dari suatu matriks A 𝑛 × 𝑛 adalah suatu fungsi skalar dari A yang didefinisikan sebagai
jumlah semua hasil kemungkinan n ! dari n elemen-elemen sedemikian sehingga
1. Setiap hasil memuat satu elemen dari setiap baris dan setiap kolom di A dan
2. Faktor-faktor dalam setiap hasil ditulis sehingga tulisan di bawah garis kolom muncul dalam
urutan yang besar dan setiap hasil didahului oleh suatu tanda plus atau minus menurut apakah
bilangan dari inversi dalam tulisan di bawah garis baris adalah genap atau ganjil. (suatu invers
terjadi kapan saja suatu bilangan yang lebih besar mendahului yang terkecil.)
Determinan dari A berupa dengan |𝑨| atau det(A). Definisi di atas tidak sangat
bergunadalam mengevaluasi determinan, kecuali dalam kasus matriks 2 × 2 atau 3 × 3. Untuk
matriks-matriks yang lebih besar, khusus determinan di bangun dengan komputer. Beberapa
kalkulator juga menghitung determinan.
Determinan dari beberapa matriks khusus bujursangkar diberikan dalam teorema berikut.
Teorema 2.9A.
Contoh 2.9(a). Kita illustrasikan setiap dari sifat – sifat dalam Teorema 2.9A:
2 0
(i) Diagonal | | = (2)(3) − (0)(0) = (2)(3).
0 3
2 1
(ii) Matriks segitiga atas | | = (2)(3) − (0)(0) = (2)(3).
0 3
1 2
(iii) Matriks singular | | = (1)(6) − (3)(2) = 0.
3 6
1 2
Matriks nonsingular | | = (1)(4) − (3)(2) = −2.
3 4
3 −2
(iv) Matriks defenit positif | | = (3)(4) − (−2)(−2) = 8 > 0.
−2 4
3 −7
(v) Matriks transpose | | = (3)(1) − (2)(−7) = 17
2 1
3 2
| | = (3)(1) − (−7)(2) = 17
−7 1
3 2 −1 0,4 −0,2 3 2 0,4 −0,2
(vi) Matriks Invers ( ) =( ) | | = 10, | | = 0,1.
1 4 −0,1 0,3 1 4 −0,1 0,3
Seperti suatu kasus khusus dari (2.61), andaikan semua elemen-elemen diagonal adalah
sama , katakanlah 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝑐, 𝑐, … , 𝑐) = 𝑐𝐼. Maka
Dengan eksistensi, jika suatu materiks 𝑛 × 𝑛 diperkalikan dengan suatu skalar, determinan menjadi
Determinan dari beberpa matriks yang dipartisi diberikan dalam teorema berikut.
𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 ), (2.69)
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
dan jika 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar dan nonsingular (tetapi tidak perlu berukuran sama),
maka
𝑎11 𝑎12
|𝑎
21 𝑎22 | = 𝑎11 𝑎22 − 𝑎21 𝑎12
𝑎21 𝑎12
= 𝑎11 (𝑎22 − 𝑎11
)
𝑎12 𝑎21
= 𝑎22 (𝑎11 − 𝑎22
)
Akibat 1. Andaikan
𝑨𝟏𝟏 𝑶 𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨=( ) atau 𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐 𝑶 𝑨𝟐𝟐
di mana 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar (tetapi tidak perlu berukuran sama). Maka dalam ke dua
kasus,
Akibat 2. Misalkan
𝑨 𝑶
𝑨 = ( 𝟏𝟏 ),
𝑶 𝑨𝟐𝟐
di mana 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar (tetapi tidak perlu berukuran sama). Maka
𝑨𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐
𝑨=( ′ )
𝒂𝟏𝟐 𝑎22
di mana 𝑨𝟏𝟏 adalah suatu matriks nonsingular, 𝒂𝟏𝟐 adalah suatu vektor, dan 𝑎22 adalah suatu
skalar, maka
𝑨𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐
|𝑨| = | | = |𝑨𝟏𝟏 |(𝑎22 − 𝒂′𝟏𝟐 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐 ). (2.74)
𝒂′𝟏𝟐 𝑎22
𝑩 𝒄
𝑨=( ),
𝒄′ 1
di mana c adalah suatu vektor Dan B adalah suatu matriks nonsingular, maka
|𝑩 = 𝒄𝒄′| = ⌈𝑩⌉(1 + 𝒄′ 𝑩−𝟏 𝒄) (2.75)
Determinan dari hasil kali dua matriks bujursangkar diberikan dalam teorema berikut.
Teorema 2.9C. Jika A dan B adalah bujursangkar dan berukuran sama, maka determinan dari hasil
kali adalah hasil kali dari determinan.
Akibat 1.
Akibat 2.
1 2 3 −2
𝑨=( ) dan 𝑩 = ( )
3 4 1 2
Maka
5 2 |𝑨𝑩| = −16
𝑨𝑩 = ( ),
13 2
𝒂′ 𝒃 = 𝑎1 𝑏1 + 𝑎2 𝑎2 + … + 𝑎𝑛 𝑏𝑛 = 0 (2.79)
Catatan bahwa bentuk penggunaan orthogonal untuk dua vektor, bukan untuk suatu vektor tunggal.
Secara geometrik, dua vektor orthogonal adalah garis tegak lurus untuk setiap yang lain. Ini
diillustrasikan dalam Gambar 2.3 untuk vektor-vektor 𝒙𝟏 = (4,2)′ dan 𝒙𝟐 = (−1,2)′. Catatan
bahwa 𝒙′𝟏 𝒙𝟐 = (4)(−1) + (2)(2) = 0’
Untuk menunjukkan bahwa dua vektor orthogonal garis tegak lurus, misalkan 𝜃 adalah sudut
diantara vektor a dan b dalam Gambar 2.4. Vektor dari titik asal a ke titik asal b dapat digambarkan
seperti c = b – a. Di bawah cosinus untuk hubungan 𝜃 dengan sisi segitiga yang dapat ditetapkan
dalam bentuk vektor seperti
𝒂′ 𝒂+𝒃′ 𝒃−(𝒃−𝒂)′ (𝒃−𝒂)
𝑐𝑜𝑠𝜃 =
𝟐√(𝒂′ 𝒂)(𝒃′ 𝒃)
𝒂′ 𝒃
= (2.80)
√(𝒂′ 𝒂)(𝒃′ 𝒃)
Bila 𝜃 = 90𝑜 , 𝒂′ 𝒃 = 𝟎, karena cos(90𝑜 ) = 0. Jadi a dan b adalah garis tegak lurus bila 𝒂′ 𝒃 = 𝟎.
(-1,2) 2
𝒙𝟐
𝒙𝟏
1
−𝟏 0 1 2 3 4
Gambar 2.3 Dua vektor orthogonal (garis tegak lurus)
c=b–a
𝛉 b
x
z Gambar 2.4 Vektor a dan b dalam ruang
Jika a’a = 1, vektor a dikatakan dengan dinormalkan. Suatu vektor b dapat dinormalkan
dengan memberikan perluasan, √𝒃′𝒃. Jadi
𝒃
𝒄= (2.81)
√𝒃′𝒃
C’C = I (2.82)
Itu dapat ditunjukkan bahwa suatu matriks orthogonal C juga mempunyai sifat
CC’ = I (2.83)
Contoh 2.10. Untuk mengillustrasikan suatu matriks orthogonal, kita mulai dengan
1 1 1
𝑨 = (1 −2 0 )
1 1 −1
yang mana kolom-kolom adalah orthogonal, tetapi tidak orthonormal. Untuk menormalisasi tiga
kolom, kita bagi masing-masing mereka dengan panjang, √3, √6 dan √2, untuk memperoleh
matriks
Yang mana kolom-kolom adalah orthogonal. Catatan bahwa baris-baris dari C adalah juga
orthonormal, sehingga C memenuhi (2.83) seperti (2.82).
Perkalian dari suatu vektor dengan suatu matriks orthogonal mempunyai pengaruh sumbu;
yaitu, jika suatu titik x ditransformasi dengan z = Cx, di mana C adalah orthogonal, maka jarak dari
asal ke z adalah sama seperti jarak dengan x:
Z’z = (Cx)’(Cx) = x’C’Cx = x’Ix = x’x (2.84)
Teorema 2.10A. Jika matriks C 𝑝 × 𝑝 adalah orthogonal dan jika A adalah suatu matriks 𝑝 × 𝑝, maka
2.11 TRACE
Trace dari suatu matriks 𝐴 = (𝑎𝑖𝑗 ) 𝑛 × 𝑛 adalah suatu skalar yang mendefinisikan fungsi seperti
jumlah dari elemen-elemen diagonal dari A; yaitu, 𝑡𝑟(𝑨) = ∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖𝑖 . Contohnya, andaikan
8 4 2
𝑨 = (2 −3 6).
3 5 9
Maka
Tr(A) = 8 – 3 + 9 = 14.
Teorema 2.11A.
Catatan bahwa dalam (2.86) n adalan kecil dari p, sama dengan p, atau besar dari p.
𝑝
𝑡𝑟(𝑨′ 𝑨) = ∑𝑗=1 𝑎𝑗′ 𝑎𝑗 , (2.87)
(v) Jika 𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑝 dengan mewakili elemen 𝑎𝑖𝑗 , maka
(vi) Jika A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛 dan P adalah suatu matriks nonsingular 𝑛 × 𝑛, maka
(vii) Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑛 dan C adalah suatu matriks orthogonal 𝑛 × 𝑛, maka
(viii) Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑝 dari rank r dan 𝑨− adalah suatu invers yang disamakan dari A,
maka
(ii) Dengan (2.11) elemen diagonal ke i dari E = AB adalah 𝑒𝑖𝑖 = ∑𝑘 𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑘𝑖 . Maka
Dengan cara yang sama, elemen diagonal ke i dari F = BA adalah 𝑓𝑖𝑖 = ∑𝑘 𝑏𝑖𝑘 𝑎𝑘𝑖 , dan
(iii) Dengan Teorema 2.2(i), A’A diperoleh seperti hasil kali kolom-kolom dari A. Jika 𝑎𝑗 adalah
kolom ke j dari A, maka elemen diagonal ke j dari A’A adalah 𝑎𝑗′ 𝑎𝑗 .
(iv) Dengan (2.86),
Contoh 2.11. Kita illustrasikan bagian (ii) dan (Viii) dari Teorema 2.11A.
(ii). Misalkan
1 3
3 −2 1
𝑨 = (2 −1) dan 𝑩 = ( )
2 4 5
4 6
Maka
9 10 16
3 17
𝑨𝑩 = ( 4 −8 −3), 𝑩𝑨 = ( )
30 32
24 16 34
1 0 1 1 0 0
− 1
𝑨 𝑨 = (0 1 2
), 𝑨𝑨− = (0 1 0),
0 0 0 1 1 0
𝑡𝑟(𝑨− 𝑨) = 1 + 1 + 0 = 2 = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨)
𝑡𝑟(𝑨𝑨− ) = 1 + 1 + 0 = 2 = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨)
2.12.1 Definisi
Untuk setiap matriks bujursangkar A, suatu skalar 𝝀 dan suatu vektor bukan nol x dapat dibangun
sedemikian sehingga
𝑨𝒙 = 𝝀𝒙 (2.93)
𝒙𝟐
𝛌x
𝒙𝟏
Gambar 2.5 Suatu vektor eigen x ditransformasi pada 𝛌x.
Dalam (2.93) 𝛌 disebut suatu nilai eigen dari A dan x adalah suatu vektor eigen. (Ini kadang-kadang
dihubungkan maing-masing dengan akar karateristik dan vektor karateristik.) Catatan bahwa dalam
(2.93) vektor x ditransfom (diubah) dengan A ke dalam suatu perkalian sendiri, sehingga titik Ax
adalah pada garis sambungan x dan asal. Ini dillustrasikan dalam Gambar 2.5.
Untuk mendapatkan 𝛌 dan x untuk suatu matriks A, kita tulis (2.93) seperti
(𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 = 𝟎. (2.94)
Dengan (2.37) (𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 adalah suatu kombinasi linier dari kolom 𝑨 − 𝝀𝑰, dan dengan (2.40) dan
(2.94), kolom-kolom ini adalah secara bergantung linier. Jadi matriks bujursangkar 𝑨 − 𝝀𝑰 adalah
nonsingular, dan dengan Teorema 2.9A(iii), kita dapat menentukan 𝛌 dengan menggunakan
|𝑨 − 𝝀𝑰| = 𝟎, (2.95)
𝑘(𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 = 𝒌𝟎 = 𝟎,
Jadi jika x adalah suatu vektor eigen dari A, kx juga adalah suatu vektor eigen. Vektor- vektor eigen
sebelumnya adalah hanya khusus terhadap perkalian dengan suatu skalar. (ada banyak solusi vektor
x sebab 𝑨 − 𝝀𝑰 adalah singular; lihat Fasal 2.7.) Karena itu, panjang x adalah berubah-ubah, tetapi
petunjuknya dari asli adalah khusus; yaitu, nilai-nilai relatif dari elemen-elemen 𝒙 = (𝒙𝟏 , 𝒙𝟐 , … , 𝒙𝒏 )′
adalah khas. Secara khusus, suatu vektor eigen x dipertimbangkan dengan bentuk normal seperti
dalam (2.81): x’x = 1
Contoh 2.12.1. Untuk mengillustrasikan nilai-nilai eigen dan vektor-vektor eigen, anggaplah matriks
1 2
𝑨=( ).
−1 2
Dengan (2.95) persamaan karateristik adalah
|𝑨 − 𝝀𝑰| = |1 − 𝜆 2
| = (1 − 𝝀)(𝟒 − 𝝀) + 𝟐 = 𝟎
−1 4−𝜆
Yang menjadi
𝜆2 − 5𝝀 + 𝟔 = (𝝀 − 𝟑)(𝝀 − 𝟐) = 𝟎,
(𝑨 − 𝝀𝟏 𝑰)𝒙𝟏 = 𝟎,
𝟏−𝟑 𝟐 𝒙𝟏 𝟎
( )( ) = ( )
−𝟏 𝟒 − 𝟑 𝒙𝟐 𝟎
−2𝑥1 + 2𝑥2 = 0
−𝑥1 + 𝑥2 = 0.
Persamaan ke dua adalah suatu perkalian dari yang pertama, dan hasil persamaan salah satunya
𝑥1 = 𝑥2 . Solusi vektor dapat ditulis dengan 𝑥1 = 𝑐 seperti suatu perubahan konstanta:
𝑥1 𝑥1 1 1
𝒙𝟏 = (𝑥 ) = (𝑥 ) = 𝒙𝟏 ( ) = 𝑐 ( ).
2 1 1 1
Jika c adalah himpunan sama dengan 1/√2 normalisasi vektor eigen, kita peroleh
1/√2
𝒙𝟏 = ( ).
1/√2
2/√5
𝒙𝟐 = ( ).
1/√5
Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari matriks bujursangkar A dengan hubungan vektor eigen x, maka
pasti fungsi-fungsi g(A), suatu nilai eigen yang diberikan dengan g(𝛌) dan x berkoresponden vektor
eigen dari g(A) dan juga A. Kita illustrasikan beberapa dari kasus ini:
1. Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka c𝛌 adalah suatu dari cA, di mana c suatu konstanta
yang berubah-ubah sedemikian sehingga 𝑐 ≠ 0. Ini mudah didemonstrasikan dengan
memperkalikan hubungan definisi Ax = 𝛌x dengan c:
Catatan bahwa x adalah vektor eigen dari A berkoresponden dengan 𝛌, dan x juga adalah suatu
vektor eigen dari cA berkoresponden dengan c𝛌.
2. Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A dan x adalah berkoresponden vektor eigen di A, maka c𝛌+k
adalah suatu nilai eigen dari matriks cA + kI dan x adalah suatu vektor eigen dari cA + kI, di
mana c dan k adalah skalar. Untuk menunjukkan ini, kita tambah kx pada (2.96):
Jadi c𝛌 + k adalah suatu nilai eigen dari cA + kI dan x adalah berkoresponden vektor eigen dari
cA + kI. Catatan bahwa (2.97) bukan perluasan A + B untuk perubahan matriks A dan B 𝑛 × 𝑛
; yaitu, A + B tidak memiliki 𝜆𝐴 + 𝜆𝐵 untuk suatu nilai eigen, di mana 𝜆𝐴 adalah suatu nilai eigen
dari A dan 𝜆𝐵 adalah suatu nilai eigen dari B.
3. Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka 𝜆2 adalah suatu nilai eigen dari 𝐴2 . Ini dapat
didemonstrasikan dengan perkalian hubungan definisi Ax = 𝛌x dengan A:
A(Ax) = A(𝛌x),
𝐴2 𝑥 = 𝝀𝑨𝒙 = 𝝀(𝝀𝒙) = 𝝀𝟐 𝒙. (2.98)
Jadi 𝝀𝟐 adalah suatu nilai eigen dari 𝑨𝟐 , dan x adalah berkoresponden vektor eigen di 𝑨𝟐 . Ini
dapat diperluas dengan kekuatan dari A:
𝐴𝑘 𝑥 = 𝜆𝑘 𝑥 (2.99)
yaitu, 𝝀𝒌 adalah suatu nilai eigen dari 𝝀𝒌 , dan x adalah berkoresponden vektor eigen
4. Jika 𝛌 suatu nilai eigen dari matriks nonsingular A, maka 1/𝛌 adalah suatu nilai eigen dari 𝐴−1 .
Untuk mendemonstrasikan ini, kita perkalikan 𝐴𝑥 = 𝝀𝒙 dengan 𝐴−1 untuk memperoleh
𝒙 = 𝝀𝑨−𝟏 𝒙,
𝟏
𝑨−𝟏 𝒙 = 𝝀 𝒙. (2.100)
Jadi 1/𝛌 adalah suatu nilai eigen dari 𝑨−𝟏 , dan x adalah suatu vektor eigen dari ke dua A dan
𝑨−𝟏 .
5. Hasil-hasil dalam (2.96) dan (2.99) dapat digunakan untuk memperoleh nilai eigen dan vektor
eigen dari suatu polinomial dalam A. Contohnya, jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka
= 𝝀𝟑 𝒙 + 𝟒𝝀𝟐 𝒙 − 𝟑𝝀𝒙 + 𝟓𝒙
Jadi 𝝀𝟑 + 𝟒𝝀𝟐 − 𝟑𝝀 + 𝟓 adalah suatu nilai eigen dari 𝑨𝟑 + 𝟒𝑨𝟐 − 𝟑𝑨 + 𝟓𝑰, dan x adalah
berkoresponden vektor eigen.
Untuk matriks-matriks tertentu, sifat 5 dapat diperluas dengan suatu barisan takhingga. Contohnya,
jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka, dengan (2.97), 1 – 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari I – A.
Jika I – A adalah nonsingular, maka, dengan (2.100), 1/(1 – 𝛌) adalah suatu nilai eigen dari (𝑰 − 𝑨)−𝟏 .
Jika −1 < 𝝀 < 1, maka 1/(1 – 𝛌) dapat ditunjukkan dengan barisan
1
1−𝜆
= 1 + 𝝀 + 𝝀𝟐 + 𝝀𝟑 + … ,
Dengan cara yang sama, jika semua nilai eigen dari A memenuhi −1 < 𝝀 < 1, maka
(𝑰 − 𝑨)−𝟏 = 𝑰 + 𝑨 + 𝑨𝟐 + 𝑨𝟑 + … . (2.101)
Itu dicatat dalam suatu kementar (2.97) selanjutnya bahwa nilai eigen dari A + B bukan dari bentuk
𝜆𝑨 + 𝝀𝑩, di mana 𝝀𝑨 adalah suatu nilai eigen dari A dan 𝝀𝑩 adalah suatu nilai eigen dari B. Dengan
cara yang sama nilai eigen dari AB bukan hasil kali dari bentuk 𝝀𝑨 𝝀𝑩. Akan tetapi nilai eigen dari AB
adalah sama seperti dari BA.
Teorema 2.12A.
Jika A dan B adalah 𝑛 × 𝑛 atau jika A adalah 𝑛 × 𝑝 dan B adalah 𝑝 × 𝑛, maka nilai eigen (tidak nol)
dari AB adalah sama seperti dari BA. Jika x adalah suatu vektor eigen dari AB, maka Bx adalah suatu
vektor eigen dari BA
Dua tambahan hasil-hasil penyelesaian nilai-nilai eigen dari hasil kali diberikan dalam teorema
berikut.
(i) Jika P adalah suatu matriks nonsingular 𝑛 × 𝑛, maka 𝑷−𝟏 𝑨𝑷 mempunyai nilai-nilai eigen
yang sama.
(ii) Jika C adalah suatu matriks orthogonal 𝑛 × 𝑛, maka 𝑪−𝟏 𝑨𝑪 mempunyai nilai-nilai eigen
yang sama
2.12.4 Matriks-Matriks Simetriks
Dua sifat dari nilai-nilai eigen dan vektor-vektor eigendari suatu matriks simetrik diberikan dalam
teorema berikut.
Jika vektor-vektor eigen dari suatu matriks simetriks A dinormalisasi dan dmasukkan seperti
kolom-kolom dari suatu matriks C, maka, dengan Teorema 2.12C(ii), C adalah suatu matriks
orthogonal. Matriks orthogonal ini dapat digunakan untuk menyatakan A dalam bentuk nilai
eigennya dan vektor eigennya.
Teorema 2.12D. Jika A adalah suatu matriks simetrik 𝑛 × 𝑛 dengan nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dan
vektor-vektor 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 dinormalisasi, maka A dapat dinyatakan seperti
𝑨 = 𝑪𝑫𝑪′ (2.102)
Bukti.
Dengan Teorema 2.12C(ii), C adalah orthogonal. Maka, dengan (2.83), I = CC’, dan perkalian dengan
A diberikan
A = ACC’.
𝑨 = 𝑨(𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑪′
= 𝑪𝑫𝑪′ (2.104)
Karena memperkalikan pada sisi kanan dengan perkalian kolom-kolom 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 ) dari
C dengan elemen-elemen dari D [lihat (2.30)]. Sekarang tulis C’ dalam bentuk
𝑥1′
′
𝑪′ = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )′ = (𝑥2 ) [dengan (2.39)],
⋮
𝑥𝑛′
(2.104) menjadi
𝑥1′
′
𝑨 == (𝜆1 𝑥1 , 𝜆2 𝑥2 , … , 𝜆𝑛 𝑥𝑛 ) ( 𝑥2 ) = 𝜆1 𝑥1 𝑥1′ + 𝜆2 𝑥2 𝑥2′ + … + 𝜆𝑛 𝑥𝑛 𝑥𝑛′
⋮
𝑥𝑛′
Akibat 1.
Jika A adalah simetrik dan C dan D didefinisikan seperti dalam Teorema 2.12D, maka C diagonalisasi,
yaitu,
𝑪′ 𝑨𝑪 = 𝑫. (2.105)
Kita dapat nytakan determunan dan trace dari suatu matriks bujursangkar A dalam bentuk
dari nilai-nilai eigennya:
Teorema 2.12E. Jika A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛 dengan nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 , maka
Kita telah memasukkan Teorema 2.12E disisni karena itu adalah mudah untuk membuktikan
untuk suatu matrik simetrik A menggunakan Teorema 2.12D (lihat soal 2.71). Akan tetapi, teorema
adalah benar untuk suatu matriks bujursangkar (Searle 1982, p,278).
Contoh 2.12.4. Untuk mengillustrasikan Teorema 2.12E, anggaplah matriks A dalam Contoh 2.12.1,
1 2
𝑨=( ),
−1 4
yang mempunyai nilai-nilai eigen 𝜆1 = 3 dan 𝜆2 = 2. Hasil kali 𝜆1 𝜆2 = 6 adalah sama seperti |𝑨| =
4 − (−1)(2) = 6. Jumlah 𝜆1 + 𝜆2 = 3 + 2 = 5 adalah sama seperti 𝑡𝑟(𝑨) = 1 + 4 = 5.
Nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dari matriks defenit (semidefenit) positif (fasal 2.6) adalah positif
(nonnegative)
Teorema 2.12F. Misalkan A adalah 𝑛 × 𝑛 dengan nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 .
(i) Untuk suatu 𝜆𝑖 , kita mempunyai 𝑨𝑥𝑖 = 𝜆𝑖 𝑥𝑖 . Memperkalikan dengan 𝑥𝑖′ , kita peroleh
𝑥𝑖′ 𝑨𝒙𝒊
𝒙′𝒊 𝑨𝒙𝒊 = 𝝀𝒊 𝒙′𝒊 𝒙𝒊 atau 𝜆𝑖 = > 0.
𝑥𝑖′ 𝑥𝑖
Dalam pernyataan ke dua, 𝒙′𝒊 𝑨𝒙𝒊 adalah positif karena A adalah defenit positif, 𝒙′𝒊 𝒙𝒊 adalah
positif karena 𝑥𝑖 ≠ 0.
Jika suatu matriks A adalah defenit positif, kita dapat menentukan suatu akar matriks
bujursangkar 𝑨1/2 sebagai berikut. Karena nilai-nilai eigen dari A adalah positif, kita dapat substitusi
akar-akar kuadrat √𝜆𝑖 untuk 𝜆𝑖 dekomposisi spectral dari A dalam (2.102) untuk memperoleh
di mana 𝑫1/2 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(√𝜆1 , √𝜆2 , … . √𝜆𝑛 ). Matriks 𝑨𝟏/𝟐 adalah simetriks dan mempunyai sifat
𝟏
𝑨𝟏/𝟐 𝑨𝟏/𝟐 = (𝑨𝟐 )𝟐 = 𝑨. (2.109)
Suatu matriks bujursangkar A dikatakan idempoten jika 𝑨𝟐 = 𝑨. Sebagian besar matriks idempoten
dalam buku ini adalah simetrik. Banyak jumlah kuadrat dalam regresi (Bab 6 – 10) dan analisis
varians (Bab 11 – 14) dapat dinyatakan seperti bentuk – bentuk kuadrat y’Ay. Idempotensi dari A
atau dari suatu hasil kali yang menyangkut A akan digunakan untuk membuat bahwa y’Ay (atau
suatu perkalian dari y’Ay) memiliki suatu distribusi Chi-square.
Bukti.
Jika A adalah idempoten dan nonsingular, maka 𝑨𝟐 = 𝑨 dan invers 𝑨−𝟏 ada. Jika kita perkalikan
𝑨𝟐 = 𝑨 dengan 𝑨−𝟏 , kita peroleh
Bukti.
Karena A = A’ dan 𝑨 = 𝑨𝟐 , kita peroleh
𝑨 = 𝑨𝟐 = 𝑨𝑨 = 𝑨′𝑨,
Jika a adalah suatu bilangan riel sedemikian sehingga 𝑎 = 𝑎2 , maka a ke duanya adalah 0
atau 1. Sifat yang sama untuk matriks adalah jika 𝑨𝟐 = 𝑨, maka niai eigen dari A adalah satuan 0 dan
1.
Teorema 2.13C. Jika A adalah suatu matriks idempoten simetrik 𝑛 × 𝑛 dari rank r, maka A
mempunyai nilai eigen yang sama dengan 1 dan nilai eigen n – r sama dengan 0.
Bukti.
Dengan (2.98), jika Ax = 𝛌x, maka 𝑨𝟐 𝒙 = 𝝀𝟐 𝒙. Karena 𝑨𝟐 = 𝑨, kita peroleh 𝑨𝟐 𝒙 = 𝑨𝒙 = 𝝀𝒙.
Menyamakan sisi kanan dari 𝑨𝟐 𝒙 = 𝝀𝟐 𝒙 dan 𝑨𝟐 𝒙 = 𝝀𝒙, kita peoleh
𝝀𝒙 = 𝜆2 𝑥 atau (𝝀 − 𝝀𝟐 )𝒙 = 𝟎
Tetapi 𝑥 ≠ 0, dan oleh karena itu 𝝀 − 𝝀𝟐 , dari yang 𝛌 adalah ke duanya adalah 0 atau 1.
Dengan Teorema 2.13B, A adalah semidefenit positif, dan oleh karena itu, dengan Teorema
2.12F(ii), jumlah nilai-nilai eigen nonnegatif adalah sama dengan rank(A). Jadi r nilai-nilai eigen dari
A adalah sama dengan 1 dan nilai-nilai eigen sisanya n – r adalah sama dengan 0.
Kita bisa gunakan Teorema 2.12E dan 2.13C untuk mendapatkan rank dari suatu matriks
idempoten simetrik.
Teorema 2.13D. Jika A adalah suatu matriks idempoten simetrik 𝑛 × 𝑛 dari rank r, maka rank(A) =
tr(A) = r.
Bukti.
Degnan Teorema 2.12E(ii), 𝑡𝑟(𝑨) = ∑𝑛𝑖=1 𝜆𝑖 , dan dengan Teorema 2.13C, ∑𝑛𝑖=1 𝜆𝑖 = 𝑟.
Beberapa tambahan sifat dari matriks idempoten diberikan dalam empat teorema berikut.
Teorema 2.13E. Jika A adalah suatu matriks idempoten 𝑛 × 𝑛, P adalah suatu nonsingular 𝑛 × 𝑛 dan
C adalah suatu matriks orthogonal 𝑛 × 𝑛, maka
Teorema 2.13F.
Misalkan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r, misalkan 𝑨− suatu invers yang disamakan dari A, dan misalkan
(𝑨′ 𝑨)− adalah suatu invers yang disamakan dari 𝑨′ 𝑨. Maka 𝑨− 𝑨, 𝑨𝑨− , dan 𝑨(𝑨′ 𝑨)− 𝑨′ semua
adalah idempoten.
Teorema 2.13G. Andaikan matriks simetrik A 𝑛 × 𝑛 dapat ditulis seperti 𝑨 = ∑𝑘𝑖=1 𝑨𝑖 , untuk semua
k, di mana setiap 𝑨𝒊 adalah suatu matriks simetrik 𝑛 × 𝑛. Maka dua dari syarat berikut memenuhi
syarat ke tiga:
1. A adalah idempoten
2. Setiap dari 𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 , … , 𝑨𝒌 adalah idempoten
3. 𝑨𝒊 𝑨𝒋 = 𝟎 untuk 𝑖 ≠ 𝑗.
Teorema 2.13H. Jika 𝑰 = ∑𝒌𝒊=𝟏 𝑨𝒊 , di mana setiap matriks 𝑨𝒊 𝑛 × 𝑛 adalah simetrik dari rank 𝑟𝑖 , dan
jika 𝑛 = ∑𝑘𝑖=1 𝑟𝑖 , maka ke dua dari berikutnya adalah benar:
2.14 Turunan dari Fungsi – Fungsi Linier dan Bentuk – Bentuk Kuadrat
Mialkan U = f(x) adalah suatu fungsi dari variabel 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑝 dalam 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑝 )′ , dan
𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑢
misalkan 𝜕𝑥 , 𝜕𝑥 , … , 𝜕𝑥 adalah turunan parsial. Kita definisikan 𝜕𝑢/𝜕𝑥 seperti
1 2 𝑝
𝜕𝑢/𝜕𝑥1
𝜕𝑢 𝜕𝑢/𝜕𝑥2
=( ) (2.110)
𝜕𝑥 ⋮
𝜕𝑢/𝜕𝑥𝑝
Dalam beberapa kasus kita dapat menentukan suatu maksimum atau minimum dari u dengan
𝜕𝑢
penyelesaian = 0.
𝜕𝑥
Perhatikan dua fungsi adalah 𝒖 = 𝒂′𝒙 dan 𝒖 = 𝒙′𝑨𝒙. Turunan ke duanya terhadap x diberikan
dalam dua teorema berikut.
Teorema 2.14A. Misalkan u = a’x = x’a, di mana 𝒂′ = (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑝 ) adalah suatu vekor dari
konstanta. Maka
𝜕𝑢 𝜕(𝒂′ 𝒙) 𝜕(𝑥 ′ 𝑎)
𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
=𝒂 (2.111)
Bukti.
𝜕𝑢 𝜕(𝑎1 𝑥1 +𝑎2𝑥2 + …+𝑎𝑝 𝑥𝑝 )
𝜕𝑥𝑖
= 𝜕𝑥𝑖
= 𝑎𝑖 .
𝑎1
𝜕𝑢 𝑎
= ( 2) = 𝑎
𝜕𝑥 ⋮
𝑎𝑝
Teorema 2.14B. Misalkan u = x’Ax, di mana A adalah suatu matriks simetrik dari konstanta-
konstanta . Maka
𝜕𝑢 𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
= 2𝑨𝒙 (2.112)
Bukti.
Kita demonstrasikan bahwa pegangan (2.112) untuk kasus khusus dalam A adaalah 3 × 3. Illustrasi
dapat disamakan dengan suatu matriks simetriks A dari suatu ukuran. Misalkan
Maka 𝒙′ 𝑨𝒙 = 𝑎11 𝑥12 + 2𝑎12 𝑥1 𝑥2 + 2𝑎13 𝑥1 𝑥3 + 𝑎22 𝑥22 + 2𝑎23 𝑥2 𝑥3 + 𝑎33 𝑥32, dan kita peroleh
𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
= 2𝑎11 𝑥1 + 2𝑎12 𝑥2 + 2𝑎13 𝑥3 = 2𝑎1′ 𝑥
𝜕𝑥1
𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
𝜕𝑥2
= 2𝑎12 𝑥1 + 2𝑎22 𝑥2 + 2𝑎23 𝑥3 = 2𝑎2′ 𝑥
𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
𝜕𝑥3
= 2𝑎13 𝑥1 + 2𝑎23 𝑥2 + 2𝑎33 𝑥3 = 2𝑎3′ 𝑥
𝜕(𝑥 ′ 𝐴𝑥)
𝜕𝑥1
𝑎1′ 𝑥
𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙) 𝜕(𝑥 ′ 𝐴𝑥)
𝜕𝑥
= 2 𝜕𝑥2
= 2 (𝑎2′ 𝑥 ) = 2𝑨𝒙
𝜕(𝑥 ′ 𝐴𝑥) 𝑎3′ 𝑥
( 𝜕𝑥3 )
BAB 3 VEKTOR – VEKTOR DAN MATRIKS – MATRIKS RANDOM
3.1 Pendahuluan
Seperti yang kita kerjakan dengan model linier, itu sesuai dengan kenyataan data yang diobservasi
(atau data yang akan diobservasi) dalam bentuk dari suatu vektor atau matriks. Suatu vektor random
atau matriks random adalah suatu vektorr atau matriks yang elemen-elemennya adalah variabel
random. Formalnya, suatu variabel random didefinisikan seperti suatu nilai variabel yang bergantung
pada hasil dari suatu eksperimen. (formalnya, suatu variabel random adalah suatu fungsi untuk
mendefinisikan setiap elemen dari suatu ruang sampel.)
Dalam bentuk dari Struktur Eksperimental, kita dapat membedakan dua macam vektor
random:
1. Suatu vektor memuat suatu ukuran pada setiap n individu yang berbeda atau unit-unit
eksperimental. Bila variabel sama diobservasi pada setiap pilihan random n unit, n variabel
𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑛 dalam vektor khusus yang tidak berkorelasi dan mempunyai variansi sama.
2. Suatu vektor terdiri dari p ukuran yang berbeda pada satu individu atau unit eksperimental.
Variabel random p yang diperoleh adalah khusus yang berkorelasi dan mempunyai variansi
yang berbeda.
Untuk mengillustrasikan tipe tertama dari vektor random, anggaplah model regresi ganda
seperti diberikan dalam (1.2). Dalam Bab 7 – 9, kita coba konstanta-konstanta x, dalam kasus, kita
memiliki dua vektor random:
𝑦1 𝜀1
𝑦2 𝜀2
𝒚=( ) dan 𝜺=( ) (3.1)
⋮ ⋮
𝑦𝑛 𝜀𝑛
Nilai 𝑦𝑖 adalah yang kelihatan, tetapi nilai 𝜀𝑖 adalah tidak kelihatan kecuali kalau nilai 𝛽 diketahui.
Untuk mengillustrasikan tipe ke dua dari vektor random, anggaplah regresi y pada beberapa
nilai x, di mana nilai x adalah variabel random (kasus regresi ini akan didiskusikan pada Bab 10).
Untuk individu ke i dalam sampel, kita amati variabel random k + 1 𝑦𝑖 , 𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑘 , yang
merupakan vektor random (𝑦𝑖 , 𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑘 )′ . Dalam beberapa kasus, variabel k + 1
𝑦𝑖 , 𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑘 menggunakan semua ukuran unit yang sama atau skala ukuran, tetapi khusus
skala-skala yang berbeda.
Dalam fasal ini, kita meninjau beberpa sifat variabel random univariate dan bivariate. Kita mulai
dengan suatu variabel random univariate y. Kita tidak dapat membedakan secara angka-angka di
antara variabel random y dan suatu nilai yang diobservasi dari y. Dalam banyak teks, suatu huruf
besar digunakan untuk variabel random, dan huruf keci menghubungkan gambaran suatu realisasi
dari variabel random, sperti dalam pernyataan 𝑃(𝑌 ≤ 𝑦). Penulisan ini adalah sesuai dalam suatu
konteks, tetapi akan membingungkan uji sekarang di mana kita gunakan huruf besar untuk matriks
dan huruf kecil untuk vektor.
Jika f(y) adalah densitas dari variabel random y, mean atau nilai ekspektasi didefinisikan
sebagai
∞
𝜇 = 𝐸(𝑦) = ∫−∞ 𝑦𝑓(𝑦)𝑑𝑦 (3.2)
Ini adalah mean populasi. Yang belakangan (permualaan dalam Bab 5), kita gunakan juga mean
sampel dari y, diperoleh dari suatu sampel random pada n nilai-nilai yang diobservasi dari y.
Nilai ekspektasi dari suatu fungsi y seperti 𝑦 2 dapat dibangun langsung tanpa mendapatkan
densitas pertama dari 𝑦 2 . Biasanya, untuk suatu fungsi u(y), kita memiliki
∞
𝐸[𝑢(𝑦)] = ∫−∞ 𝑢(𝑦)𝑓(𝑦)𝑑𝑦. (3.3)
Untuk suatu konstanta a dan fungsi u(y) dan v(y), itu selanjutnya dari (3.3) bahwa
Ini adalah variansi populasi. Yang lalu (dimulai dalam Bab 5), kita gunakan juga variansi sampel dari
y, diperoleh dari suatu sampel random dari n nilai-nilai observasi pada y. Akar kuadrat dari variansi
diketahui seperti standar deviasi
Jika a adalah suatu konstanta, kita dapar gunakan (3.4) dan (3.6) untuk menunjukkan bahwa
Untuk dua variabel 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 dalam suatu vektor random 𝑦 = (𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 )′ , kita
mendefinisikan kovariansi seperti
di mana 𝜇𝑖 = 𝐸(𝑦𝑖 ) dan 𝜇𝑗 = 𝐸(𝑦𝑗 ). Menggunakan (3.4) dan (3.5), 𝜎𝑖𝑗 dapat dinyatakan dalam
bentuk
Dari definisi independen dalam (3.12), kita peroleh sebagai sifat berikut
Dalam tipe pertama terhadap vektor random didefinisikan dalam Fasal 3.1, variabel-variabel
𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑛 khusus akan menjadi independen jika diperoleh dari variabel sampel, dan sehingga kita
akan memiliki 𝜎𝑖𝑗 = 0, untuk semua 𝑖 ≠ 𝑗. Akan tetapi, untuk variabel-variabel dalam tipe ke dua
dari vektor random, khusus kita akan memiliki 𝜎𝑖𝑗 ≠ 0 sekurang-kurangnya untuk beberapa nilai i
dan j.
Konvers dari sifat dalam (3.14) adalah tidak benar; yaitu, 𝜎𝑖𝑗 = 0 secara tidak langsung menjadi
independen. Ini diillustrasikan dalam contoh berikut.
Contoh 3.2.
𝑦 = 1 + 2𝑥 − 𝑥 2
𝑦 = 2𝑥 − 𝑥 2
0 1 2 x
2 1+2𝑥−𝑥 2
𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ = ∫0 ∫2𝑥−𝑥 2 𝑑𝑦𝑑𝑥 = 2.
Kaena itu, untuk suatu distribusi uniform di atas daerah, himpunan kita
1
𝑓(𝑥, 𝑦) = , 0 ≤ 𝑥 ≤ 2, 2𝑥 − 𝑥 2 ≤ 𝑦 ≤ 1 + 2𝑥 − 𝑥 2 ,
2
Untuk mendapatkan 𝜎𝑥𝑦 dengan menggunakan (3.11), kita memerlukan E(xy), E(x), dan E(y).
Pertama di sini diberikan dengan
2 1+2𝑥−𝑥 2 1
𝐸(𝑥𝑦) = ∫0 ∫2𝑥−𝑥 2 𝑥𝑦 ( ) 𝑑𝑦𝑑𝑥
2
2𝑥 7
= ∫0 (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2 )𝑑𝑥 = .
4 6
Untuk mendapatkan E(x) dan E(y), pertama kita menentukan distribusi marginal dari x dan y. Untuk
𝑓1 (𝑥), kita peroleh
1+2𝑥−𝑥 2 1 1
𝑓1 (𝑥) = ∫2𝑥−𝑥2 𝑑𝑦 = , 0 ≤ 𝑥 ≤ 2.
2 2
1−√1−𝑦 1 2 1
𝑓2 (𝑦) = ∫0 2
𝑑𝑥 + ∫1−√1−𝑦 2 𝑑𝑥 = 1 − √1 − 𝑦, 0≤𝑦≤1 (3.15)
1+√2−𝑦 1
𝑓2 (𝑦) = ∫1− 𝑑𝑥 = √2 − 𝑦, 1≤𝑦≤2 (3.16)
√2−𝑦 2
Jadi
2 1
𝐸(𝑥) = ∫0 𝑥 (2) 𝑑𝑥 = 1.
1 2 7
𝐸(𝑦) = ∫0 𝑦( 1 − √1 − 𝑦)𝑑𝑦 + ∫1 𝑦√2 − 𝑦 𝑑𝑦 = 6.
7 7
= 6 − (1) (6) = 0.
Akan tetapi, x dan y ternyata tergantung karena range dari y untuk setiap x bergantung pada nilai-
nilai x.
Seperti suatu indikasi selanjutnya dari ketergantungan y pada x, kita uji 𝐸(𝑦|𝑥), nilai
ekspektasi y dengan diberikan nilai x, yang mana dibangun seperti
𝑓(𝑥,𝑦)
𝑓(𝑦|𝑥) = .
𝑓1 (𝑥)
Jadi
1+2𝑥−𝑥 2
𝑓(𝑦|𝑥) = ∫2𝑥−𝑥2 𝑦(1)𝑑𝑦
1
= (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2) .
2
𝑦 = 1 + 2𝑥 − 𝑥 2
1
𝐸(𝑦|𝑥) = 2 (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2)
𝑦 = 2𝑥 − 𝑥 2
0 1 2 x
Dalam Contoh 3.2, kita mempunyai variabel random x dan y untuk 𝜎𝑥𝑦 = 0. Dalam kasus
seperti ini, 𝜎𝑥𝑦 buka suatu hubungan ukuran yang baik. Akan tetapi, jika x dan y mempunyai suatu
distribusi normal bivariate (lihat Fasaal 4.2), maka 𝜎𝑥𝑦 = 0 secara tidak langsung x daan y
independen (lihat sifat 1 pada Teorema 4.2C). dalam kasus normal bivariate, 𝐸(𝑦|𝑥) adalah suatu
1
fungsi linier dari x (lihat Teorema 4.4D), dan kurva seperti 𝐸(𝑦|𝑥) = 2 (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2 ) tidak terjadi.
Kovariansi 𝜎𝑖𝑗 seperti yang didefinisikan dalam (3.10) bergantung pada skala ukuran antara 𝑦𝑖
dan 𝑦𝑗 . Untuk standardisasi 𝜎𝑖𝑗 , kita membaginya dengan (hasil kali) standar deviasi dari 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗
untuk memperoleh korelasi
𝜎
𝜌𝑖𝑗 = 𝐶𝑜𝑟(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝜎 𝑖𝑗
𝜎
. (3.17)
𝑖 𝑗
3.3 Veoktor Rata-Rata Dan Matriks Koarians Untuk Vektor-Vektor Random
Nilai ekspektasi dari suatu suatu vektor random y 𝑝 × 1 didefinisikan seperti vektor dari nilai
ekspektasi variabel random p 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dalam y:
𝑦1 𝐸(𝑦1 ) 𝜇1
𝑦 𝐸(𝑦2 ) 𝜇
𝐸(𝑦) = 𝐸 ( 2 ) = ( ) = ( 2) = 𝝁 (3.18)
⋮ ⋮ ⋮
𝑦𝑝 𝐸(𝑦𝑝 ) 𝜇𝑝
di mana 𝐸(𝑦) = 𝜇𝑖 diperoleh seperti 𝐸(𝑦𝑖 ) = ∫ 𝑦𝑖 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ) 𝑑𝑦𝑖 menggunakan 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ), densitas marginal
dari 𝑦𝑖 .
Jika x dan y adalah vektor random 𝑝 × 1, selanjutnya dari (3.18) bahwa nilai ekspektasi dari
jumlah mereka adalah jumlah dari nilai-nilai ekspektasi mereka:
Baris ke i dari ∑ memuat varians dari 𝑦𝑖 dan kovarians dari 𝑦𝑖 dengan setiap dari nilai y yang lain.
Untuk menjadi konsiten dengan notasi 𝜎𝑖𝑗 , kita telah menggunakan 𝜎𝑖𝑖 = 𝜎𝑖2 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑝 untuk
varians-varians. Varians- varians adalah pada diagonaldari ∑, dan kovarians menempati posisi-posis
diluar diagonal. Ada suatu perbedaan dalam suatu tempat yang digunakan untuk ∑ seperti matriks
kovarians dan ∑ seperti simbol penjumlahan. Catatan berbeda juga dalam mengartikan di antara
notasi cov(y) = ∑ dan 𝑐𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝜎𝑖𝑗 .
Matriks kovarians ∑ adalah simetrik karena 𝜎𝑖𝑗 = 𝜎𝑗𝑖 [lihat (3.10)]. Dalam banyak aaplikasi, ∑
diasumsikan menjadi defenit posistif. Ini biasanya tetap jika nilai y adaah variabel random
kontinu dan jika tidak ada hubungan linier antara nilai y. (Jika ada hubungan linier antara nilai
y, ∑ akan menjadi semidefenit positif.) Dengan analog oleh (3.18), kita mendefinisikan nilai
ekspektasi dari suatu variabel random Z seperti matriks dari nilai-nilaai ekspektasi
Kita dapat nyatakan ∑ daalam (3.20) seperti nilai yang diekspektasi dari suatu matriks random.
Dengan elemen ke (ij) dari matriks 𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ adalah (𝑦𝑖 − 𝜇𝑖 )(𝑦𝑗 − 𝜇𝑗 ). Jadi, dengan (3.10)
dan (3.21), elemen ke (ij) dari 𝐸[(𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ ] adalah 𝐸[(𝑦𝑖 − 𝜇𝑖 )(𝑦𝑗 − 𝜇𝑗 )] = 𝜎𝑖𝑗 . Karea itu
𝜎11 𝜎12 … 𝜎1𝑝
𝜎 𝜎22 … 𝜎2𝑝
𝐸[(𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ ] = ( 21 )=∑ (3.22)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜎𝑝1 𝜎𝑝2 … 𝜎𝑝𝑝
Suatu ukuran variabilitas secara keseluruhan dalam populasi dari nilai y apat didefinisikan
seperti determinan dari ∑:
Jika |∑| adalah kecil, nilai y dikonsentrasikan pada 𝝻 dari pada jika |∑| adalah besar. Suatu nilai
kecil dari |∑| bisa juga mengindikasikan bahwa variabel-variabel 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dalam y adalah
saling berkorelasi tinggi, yang mana nilai y cenderung untuk mengisi suatu subruang dari
dimensi p [ini berkoresponden dengan satu atau nlebih nilai eigen kecil; lihat Rencher
(1998,Fasaal 2.1.3)].
Untuk memperoleh suatu mafaat dari ukuran jarak antara y dan 𝝻, kita perlu mengambil ke
dalam laporan varians dan kovarians dari nilai y dalam y. Dengan cara yang sama pada variabel
yang distandardisasi univariate (y – 𝝻)/𝜎 yang mempunyai rata- rata 0 dan variansi 1, jarak
yang distandardisasi didefinisikan seperti
Dengan cara yang sama terhadap ∑ dala (3.20), matriks korelasi didefinisikan seperti
1 𝜌12 … 𝜌1𝑝
𝜌21 1 … 𝜌2𝑝
𝑃𝜌 = (𝜌𝑖𝑗 ) = ( ) (3.26)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜌𝑝1 𝜌𝑝2 … 1
di mana 𝜌𝑖𝑗 = 𝜎𝑖𝑗 /𝜎𝑖 𝜎𝑗 adalah korelasi dari 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 yang didefinisikan dalam (3.17). Baris ke
dua dari 𝑃𝜌 , ontohnya, memuat korelasi dari 𝑦2 dengan setiap nilai y yang lain. Kita gunakan 𝜌 di
bawah garis dalam 𝑃𝜌 untuk menegaskan bahwa P adalah versi besar dari 𝜌.
maka dengan (2.31), dapat kita peroleh 𝑃𝜌 dan ∑ dan mempunyai sifat:
∑ = 𝐷𝜎 𝑃𝜌 𝐷𝜎 (3.29)
3.5 Vektor Rata-Rata dan Matriks Kovarians Untuk Vektor Random Yang Dipartisi
Andaikan bahwa vektor random v yang dipartisi ke dalam dua subset dari variabel-variabel,
yang berupa dengan y dan x:
𝑦1
⋮
𝑦 𝑦𝑝
𝑣=( )=
𝑥 𝑥1
⋮
(𝑥𝑞 )
Vektor rata-rata dan matriks kovarians untuk v yang dipartisi seperti di ata dapat
dinytakan dalam bentuk sebagai berikut:
𝑦 𝐸(𝑦) 𝜇𝑦
𝜇 = 𝐸(𝑣) = 𝐸 ( ) = ( ) = (𝜇 ), (3.30)
𝑥 𝐸(𝑥) 𝑥
𝑦 ∑𝑦𝑦 ∑𝑦𝑥
∑ = 𝑐𝑜𝑣(𝑣) = 𝑐𝑜𝑣 ( ) = ( ), (3.31)
𝑥 ∑𝑥𝑦 ∑𝑥𝑥
di mana ∑𝑥𝑦 = ∑′𝑦𝑥 . Dalam (3.30), submatriks 𝜇𝑦 = [𝐸(𝑦1 ), 𝐸(𝑦2 ), … , 𝐸(𝑦𝑝 )]′ memuat rata – rata
dari 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 . Dengan cara yang sama 𝜇𝑥 memuat rata-rata dari nilai x. Dalam (3.31).
submatriks ∑𝑦𝑦 = 𝑐𝑜𝑣(𝑦) adalah matriks kovarians 𝑝 × 𝑝 untuk y memuat varians dari
𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 pada diagonal dan kovarians daari setiap 𝑦𝑖 , dengan setiap 𝑦𝑗 (𝑖≠𝑗) diluar diagonal:
Dengan cara yang sama, ∑𝑥𝑥 = 𝑐𝑜𝑣(𝑥) adalah matriks kovarians 𝑞 × 𝑞 dari 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑞 . Matriks
∑𝑦𝑥 dalam (3.31) adalah 𝑝 × 𝑞 dan memuat kovarians dari setiap 𝑦𝑖 dengan setiap 𝑥𝑗 :
Jadi ∑𝑦𝑥 adalah empat pesegi panjang, kecuali kaalau p = q. Matriks kovarians ∑𝑦𝑥 juga adalah
berupa cov(y, x) dan dapat diberoleh seperti
𝑦
Catatan bahwa perbedaan dalam mengartikan antara 𝑐𝑜𝑣 ( ) dalam (3.31) dan 𝑐𝑜𝑣(𝑦, 𝑥) = ∑𝑦𝑥
𝑥
dalam (3.32). Kita telah menggunakan tiga cara notasi kovarians: (1) 𝐶𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ), (2) 𝑐𝑜𝑣(𝑦),
dan (3) 𝑐𝑜𝑣(𝑦, 𝑥). Pertama dari ini adalah suatu skalar, ke dua adalah suatu matrik simetrik
(biasanya defenit positif), dan ke tiga ialah suatu matriks empat persegi panjang.
Kita sering menggunakan kombinasi linier dari variabel-variabel 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dari suatu vektor
random y. Misalkan 𝒂 = (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑝 )′ merupakan suatu vektor konstanta. Maka dengan suatu
pernyataan (2.16) sebelumnya, kombinasi linier menggunakan nilai a seperti koefisien yang
dapat ditulis
𝑧 = 𝑎1 𝑦1 + 𝑎2 𝑦2 +, … + 𝑎𝑝 𝑦𝑝 = 𝒂′𝒚 (3.33)
Kita anggap rata-rata, varians, dan kovarians yang sperti kombinasi lininer dalam Fasal 3.1 dan
3.6.2.
Karena y adalah suatu vektor random, kombinasi linier z = a’y adalah suatu variabel
(univariate). Rata-rata dari a’y diberikan dalam teorema berikut.
Teorema 3.6A.
Jika a adalah suatu vektor 𝑝 × 1 dari konstanta dan y adalah suatu vektor random 𝑝 × 1 dengan
vektor rata-rata 𝝻, maka rata-rata z = a’y diberikan dengan
𝐸(𝒂′ 𝒚) = 𝐸(𝑎1 𝑦1 + 𝑎2 𝑦2 +, … + 𝑎𝑝 𝑦𝑝 )
𝐸(𝑦1 )
𝐸(𝑦2 )
= (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑝 ) ( )
⋮
𝐸(𝑦𝑝 )
Agar kita memiliki beberapa kombinasi linier dari y dengan koefisien-koefisien konstant
⋮ ⋮
di mana 𝒂′𝒊 = (𝑎𝑖1 , 𝑎𝑖2 , … , 𝑎𝑖𝑝 ) dan 𝒚 = (𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 )′ . Ada k fungsi-fungsi linier dapat ditulis
dalam bentuk
z = Ay (3.35)
di mana