Mahmud Yunus
Mahmud Yunus
Mahmud Yunus
Indonesia
Mahmoed tak patah arang. Ia lantas memimpin sekolah untuk mendidik calon guru, Normal
Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah, di Padang. Di sekolah ini,
Mahmoed memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum. Ia adalah orang
Indonesia pertama yang melakukannya sepanjang sejarah pendidikan nasional.
Kelak, pada 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Mahmoed mengusulkan hal
serupa kepada pemerintah Indonesia, yakni agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke
kurikulum pendidikan nasional. Usul Mahmoed ternyata mendapat respons positif dan diterima.
Itulah peran besar Mahmoed Joenoes, selain banyak gebrakan lainnya demi memajukan
pendidikan nasional. Wafat di Jakarta pada 16 Januari 1982 atau genap 36 tahun lalu, seharusnya
nama Mahmoed Joenoes bisa disejajarkan dengan Ki Hadjar Dewantara dan para begawan
pendidikan lain.
Madras School dipimpin ulama besar yang terkenal inovatif, Muhammad Thaib Umar. Menurut
Yulizal Yunus dan kawan-kawan dalam Beberapa Ulama di Sumatera Barat (2008), guru
Mahmoed Joenoes ini adalah pelopor penggunaan bahasa Indonesia dalam khotbah salat Jumat
dan khotbah salat hari raya yang sebelumnya selalu memakai bahasa Arab (hlm. 164).
Mahmoed dipercaya menggantikannya untuk memimpin Madras School saat Thaib Umar jatuh
sakit pada 1917. Kala itu, umurnya baru 18 tahun. Mahmoed juga selalu mewakili gurunya
dalam acara-acara penting, termasuk Rapat Besar Ulama Minangkabau pada 1919 yang
melahirkan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI).
Semangat muda Mahmoed memang tengah bergelora. Ia merintis perkumpulan pelajar Islam
Sumatera Thawalib cabang Sungayang. Seperti dituturkan Gouzali Saydam dalam 55 Tokoh
Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional (2009), Mahmoed eksis pula lewat tulisan
dengan menerbitkan majalah al-Baysir sejak Februari 1920 (hlm. 161). Kelak, ia juga terlibat
dalam penerbitan media-media lainnya termasuk al-Munir, al-Manar, dan al-Bayan.
Mahmoed bertekad melanjutkan studi ke Al-Azhar, Mesir. Dalam buku Riwayat Hidup Prof. Dr.
H. Mahmud Yunus (1982) dikisahkan, niat tersebut sempat nyaris gagal karena terkendala
masalah visa. Beruntung, pada Maret 1923, Mahmoed bisa berangkat meski harus melalui
Penang, Malaysia (hlm. 21).
Setelah lulus, Mahmoed tetap di Mesir, meneruskan studi di Darul Ulum (kini menjadi bagian
dari Universitas Kairo) untuk memperdalam ilmu kependidikannya. Ia baru pulang ke tanah air
pada Oktober 1930.
Tiba di kampung halaman pada awal 1931, Mahmoed kembali ke Madras School untuk
mengembangkan sekolah yang membesarkan namanya itu. Di sana, seperti dijelaskan Rosnani
Hashim dalam Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay
Archipelago (2010), Mahmoed menerapkan konsep yang lebih modern, termasuk mengenalkan
pembagian jenjang untuk madrasah, yakni Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah (hlm. 181).
Sayangnya, Madras School harus tutup pada 1933 karena kebijakan Ordonansi Sekolah Liar
(Wildeschoolen Ordonantie) yang mewajibkan tiap sekolah memiliki izin resmi dari pemerintah
kolonial. Sementara di Jawa, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya menentang
kebijakan tersebut.
Mahmoed Joenoes lantas memimpin Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-
Islamiyyaah, sekolah pendidikan guru yang dibentuk PGAI pada 1931. Di sekolah yang
bertempat di Padang inilah Mahmoed memasukkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dalam kurikulumnya. Itu untuk pertama kalinya diberlakukan di Hindia Belanda.
Ismail Suardi Wekke & Mat Busri dalam Kepemimpinan Transformatif Pendidikan Islam (2016)
menuliskan, NIS terbilang sekolah modern saat itu, dari kurikulumnya maupun didaktik dan
metodiknya, di samping pula bangunannya (hlm. 72). Bahkan, NIS satu-satunya sekolah yang
memiliki laboratorium fisika dan kimia di Sumatera Barat. Peran Mahmoed dengan seabrek ilmu
barunya dari Mesir berperan besar dalam hal ini.
Tahun 1938, Mahmoed Joenoes undur diri dari NIS. Empat tahun kemudian, ia kembali
memimpin sekolah itu hingga setelah Indonesia merdeka. Dari NIS, Mahmoed bersama-sama
orang-orang PGAI lainnya turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Padang dan ditunjuk
sebagai ketuanya sejak 1 November 1940.
Saat itu, seperti dikutip dari buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (2016) karya Sofyan
Rofi, Mahmoed Joenoes menyatakan bahwa STI adalah perguruan tinggi pertama di Sumatera
Barat, bahkan di Indonesia (hlm. 89). Namun, eksistensi STI hanya sebentar karena ditutup
paksa oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara (2004), Fauzan Asy mencatat bahwa pada
1943, Mahmoed, sebagai perwakilan MIT, mengusulkan kepada pemerintah pendudukan Jepang
agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan (hlm. 179).
Ternyata, upayanya membuahkan hasil.
Setelah Indonesia merdeka, mata pelajaran agama Islam mulai diterapkan di seluruh Sumatera
Barat sejak 1 April 1946 berkat andil Mahmoed. Ia juga ditunjuk oleh Jawatan Pengajaran
Sumatera Barat untuk menyusun kurikulum sekaligus menulis buku-buku panduan untuk
pegangan guru.
Upaya Mahmoed Joenoes meningkat setahun berselang. Deliar Noer dalam Administrasi Islam
di Indonesia (1983) menuliskan bahwa mulai Maret 1947, atas upaya Mahmoed, kurikulum
pendidikan di seluruh wilayah Sumatera resmi menyertakan mata pelajaran agama Islam (hlm.
56).
Ketika Bukittinggi sempat menjadi ibukota negara seiring berdirinya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) pada 1948, Mahmoed pun turut mengambil peran. Ia memprakarsai
dibukanya sekolah-sekolah darurat serta mengusulkan didirikannya Madrasah Tsanawiyah di
seluruh wilayah Sumatera.
Masih banyak sumbangsih Mahmoed Joenoes untuk pendidikan nasional, termasuk turut
membidani berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. STI kemudian menjadi Universitas
Islam Indonesia (UII) seiring kepindahan ibukota RI ke Yogyakarta pada 1946.
Ia juga ditunjuk sebagai rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang didirikan
Departemen Agama pada 1 Juni 1957. Nantinya, atas usulan Mahmoed, ADIA dilebur dengan
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Saat ini, banyak IAIN tersebut berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Mahmoed
sendiri sempat menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol di Padang.
Mahmoed kerap pula mewakili Departemen Agama mengikuti kunjungan kerja atau perhelatan
Islam internasional di berbagai negara. Sepanjang hidupnya, Mahmoed telah menulis lebih dari
75 judul buku yang masih dijadikan rujukan untuk pengajaran sekolah Islam sampai saat ini.
Sudah sepantasnya Mahmoed Joenoes dikenang sebagai Bapak Pendidikan Islam Indonesia.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - Pendidikan)
Infografik Instagram