Tugas Uas Pancasila
Tugas Uas Pancasila
Tugas Uas Pancasila
Nim : 26030116120001
Kelas : THP A
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
A. LATAR BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa
oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum
untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di
Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat,
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat
dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja
mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang
hukum lainnya.
penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan
pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian
dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan
hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang
saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku
yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat. Dengan landasan
penulis juga akan memaparkan Solusi dan cara menghadapai permasalahan terhadap
PEMBAHASAN
Penegakan Hukum
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
oleh DPR. Sedangkan penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan. Selain
itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
Hukum adalah:
1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan
suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
suatu sanksi.
Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh
pemerintah atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan
kekuasaan negara baik dalam bentuk undang-undang, sampai pada para penegak
secara merdeka dan bermartabat. Artinya dalam penegakan hukum wajib berpihak
pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua. Sebab apabila penegakan hukum dapat
hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran
tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah ia
seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara Republik
Indonesia.
Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia
yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan
beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi
jawab.
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab
penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang
sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas.
para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek
korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik
(hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan
hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum
sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak
hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu
unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan
terkena pengaruh negatifnya. Misalnya, jika hukum tertulis yang mengatur suatu
bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah
sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan
tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya (Soekanto dan Soerjono, 2011).
agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting
dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak
hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk
(unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri.
dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.
Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita
lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah
untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan
Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan mudahnya,
kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya saat terkena tilang
polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta
suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun mendapatkan keuntungan
materi dengan cepat namun salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di
lingkungan kita.
dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak
ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap penegak hukum serta pemerintah
Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka
keadilan di Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan
hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan
partainya.
Indonesia ketika sudah berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi yang
dia masih bebas untuk berwisata ke Bali bahkan sampai keluar negeri yaitu Makau.
Ini karena lemahnya iman para petugas yang seharusnya menegakkan keadilan
tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia
umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling
tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin
menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara hukum yang berlaku di Indonesia,
namun tidak jarang penegak hukum tersebut justru mengambil kesempatan yang
bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta
yang ada diputar balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum.
sana sini agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan masayarakatpun
pudar.
dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di
seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan
wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti sehingga dibalas degan kekerasan.
secara geografis, mereka. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib
hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh
pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat
terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi
kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi lebih condong pada
banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang terlibat dalam
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang
mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan
kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut
merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari hasil survei terhadap masyarakat
oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa 56,0 persen publik
menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen
menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Mereka yang tak
berpendidikan rendah lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di
kota dan berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa
ke tahun yaitu 37,4 persen (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober
2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012),
dan terakhir 56,6 persen (April 2013) (Thoha dan Miftah, 2003).
yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak
orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan
sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga
binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah
narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib
narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar
Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan
penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang
tertuang dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem
tentang anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang
di cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari
kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan
hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat
sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari pengalaman, maka semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga
pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta
budaya seperti yang terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal
tersebut yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi,
hakim, jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi
hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan
hanya itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup
dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita
dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945
yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam
bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa
keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-
undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya
Cara yang ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni
anak bangsa ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar
setiap keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan
hukum yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali
yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim
Indonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim
hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan
PENUTUP
KESIMPULAN
serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada
perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang
kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum
di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum
menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat. Perlu ada
penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian
menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu
atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap
malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-
lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk
untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh
Asshiddiqie dan Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Sinar Grafika.
Asshiddiqie dan Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Aziz dan N. Muhammad. 2012. Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Rechts Vinding, 1(1).
Ghofur dan A. Anshori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Thoha dan Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.