Madzahibu Tafsir Tafsir Pada Masa Tabiin
Madzahibu Tafsir Tafsir Pada Masa Tabiin
Madzahibu Tafsir Tafsir Pada Masa Tabiin
Abstrak
Setelah masa khulafaur rosyidin berakhir,kepemerintahan di pimpin oleh generasi
setelahnya yaitu generasi tabi'in , seiring bergantinya generasi perkembangan ilmu
pun ikut berkembang begitu juga lmu tafsir,penafsiran dari masa ke masa mengalami
perkembangan yang sangat pesat .Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat
diterima baik oleh para ulama dari kaum tabi'in di berbagai daerah kawasan islam
.Tidak ada perbedaan yang besar dalam metode penafsiran pada masa sahabat dan
tabi'in , karena para tabi'in mengambil tafsi dari mereka .Para tabi'in pun sangat
berhati-hati dalam menafsirkan sebuah ayat sebagaimana para sahabat .
A. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembang
yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan. Setelah masa
Rasulullah SAW dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan
dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan
oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan al-
Qur’an. Tegasnya, penafsiran al-Qur’an dari para sahabat diterima baik oleh
generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali
pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad
untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus
berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-
kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti
timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam
penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-
kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya
penyimpangan dalam penafsirannya.
B. Pengertian tafsir dan tabiin
1
Muhammad Ali Mustofa Kamal,”Konsep Tafsir,Ta’wil dan Hermeneutika:Paradigma Baru
Menggali aspek Ahkam dalam Penafsiran Al-Qur’an,Jurnal Syariati dalam jurn Studi Al-Qur’an dan
Hukum al:,Volume 1 No.01,Mei 2015,hal.2,diakses dari: http://syariati.unsiq.ac.id/index.php/syariati_
j/article/download/1/1
1
itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-
masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah
ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa
sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah
kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir
di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran
agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723
M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin
Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.
Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah,
karena mereka itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir
sebelumnya, sehingga memudahkan mereka dalam memahami tafsir, seperti :
Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair, dan lain-
lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal
dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq,
Zaid bin Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.2
2
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2005). hlm.
407-408
3
Ibn ‘Ali al-Khudhri, Tafsir at-Tabi’in, jld. 1, hlm 422-466
2
Pendapat yang kuat adalah jika para tabi’in sepakat atas suatu pendapat,
maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk
mengambil jalan yang lain.
Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu’bah bin Al-Hajjaj dan lainnya
katanya, “pendapat para tabi’in itu bukan hujjah”. Maka bagaimana pula
pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya,
pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat
dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas
sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah.
Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak
menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi’in sendiri maupun bagi generasi
sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa
al-Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal
tersebut.4
4
Manna’ al-Qaththan, hlm. 426-427
5
Mujahid bin jubair berkata, “saya mengemukakan mushaf kepada ibnu Abbas sebanyak tiga
kali dari awal Al-Fatihah sampai khatam. Saya berhenti setiap ayat dan menanyakannya. Hal itu
menunjukan bahwa mujahid terpengaruh dengan penafsiran ibnu Abbas yang merupakan gurunya.”
(Ibnu Taimiyyah dalam Muqadimahnya)
3
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa ini
banyak masuk meriwayatkan tafsir israilliyat adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab
Al-Akhbar, Wahab bin Munabbah, dan Abdul Malik bin Juraij.
6
Muhammad Umar Haji, Mausu’ah At-Tafsir Qabla ‘Ahd At-Tadwin,(Damaskus:Dar al-
Mkatabi, 2007), hlm. 287-290.
4
bergerak. Sementara itu, jika berdasarkan pemahaman makna ayat yang
menunjukan dahsyatnya hari kiamat, mauran artinya gerakan yang ringan dan
cepat.
5. Ada dua kemungkinan qiraah atau lebih sehingga setiap mufasir
menjelaskannya sesuai dengan bacaan tertentu dan mereka menganggapnya
sebagai suatu perbedaan. Misalnya, : رVVVارنا (الحجVVV ّكرت ابصVVVلقالواانماس
5
tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari
makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya
sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah
ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang
berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-
murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas,
Thawus bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
2. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak
mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam
(w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H),
kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut
Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang
menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah
diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab
yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke
generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada
sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’
oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim
banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah
berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh
Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3)
Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam
membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada
period mutaakhiriin.
3. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana
ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap
sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika
Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu
Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran
al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga
karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah
6
ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi.
(2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna
ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya
khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang mempelajari
tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin
Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an
Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.7
H. Kesimpulan
Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi
sahabat.Lalu di mulailah periode kedua tafsir yaitu periode tabi'in yang belajar
langsung dari sahabat.Para tabi'in selalu mengikuti jejak gurunya yang masyhur
dalam penafsiran al-Qur'an,terutama mengenai ayat-ayat yang musykil
pengertiannya bagi orang-orang awam.Setelah meninggalnya Rasulullah yang
kemudian berpindah kepemimpinan kepada khalifah rasyidin sehingga para
sahabat pergi berhijrah guna mengajarkan hakikat islam yang benar kepada
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
7
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm:66.
7
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir, Jakarta, Amzah 2014.