Budaya Politik Di Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

Sherina dwi putri (1901156399)

ABSTRAK
Berbicara tentang budaya politik yang demokratis dalam konteks masyarakat
Indonesia, dengan demikian kiranya jelas gambarannya bahwa masalah yang
harus diperhatikan amat terkait dengan persoalan latar belakang “subbudaya etnik
dan daerah” yang berkembang yang bersifat majemuk. Dengan keanekaragaman
latar berlakang itu, maka kondisinya sudah pasti membawa pengaruh terhadap
budaya politik bangsa Indonesia sendiri. Budaya politik yang berkembang pada
era demokrasi parlementer yaitu budaya politik partisipan. Politik di masyarakat
pada era demokrasi terpimpin menunjukkan tingkat budaya politik kaula. Budaya
politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek.
Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya
budaya poltik partisipan.

Kata Kunci : Budaya politik, Indonesia

PENDAHULUAN
Konsep budaya politik mencakup banyak aspek dalam fenomena politik,
tradisi politik dan cerita kepahlawanan rakyat, semangat institusi publik, politik
kewargaan, tujuan yang diartikulasikan sebuah ideologi politik, aturan main
politik formal ataupun non-formal, stereotip, gaya, moda, dan langgam pertukaran
politik, dan sebagainya. Namun demikian, konsep ini biasanya diringkas sebagai
pola distribusi orientasi terhadap politik yang dimiliki oleh para anggota
komunitas politik. Analisis budaya politik terutama bermanfaat ketika hendak
mengetahui sejauhmana budaya memainkan perannya dalam membentuk perilaku
kolektif sebuah komunitas politik, apakah perilaku kolektif tersebut produktif
dalam konteks pengembangan masyarakat secara umum, dan bagaimana budaya
politik sebuah masyarakat mengalami transformasi menuju masyarakat yang lebih
terbuka, adil dan sejahtera.
Untuk melihat tingkat kehidupan demokratis suatu negara, tergantung
pada budaya politiknya. Budaya politik merupakan variabel determinan atau
berpengaruh terhadap sistem politik. Adakah masyarakat Indonesia memiliki
potensi budaya politik yang kondusif bagi berkembangnya sistem demokrasi?.
Berbicara tentang budaya politik yang demokratis dalam konteks
masyarakat Indonesia, dengan demikian kiranya jelas gambarannya bahwa
masalah yang harus diperhatikan amat terkait dengan persoalan latar belakang
“subbudaya etnik dan daerah” yang berkembang yang bersifat majemuk. Dengan
keanekaragaman latar berlakang itu, maka kondisinya sudah pasti membawa
pengaruh terhadap budaya politik bangsa Indonesia sendiri.
Berdasarkan latarbelakang tersebut maka Penulis akan menguraikan
budaya politik di Indonesia.

PEMBAHASAN
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi pandangan
dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis
akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Di sini yang
dimaksud dengan budaya politik yang demokratis, menurut Almond dan Verba
(1990) adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan
sejenisnya, yang mendorong terwujudnya partisipasi. Budaya politik dapat dilihat
manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dengan struktur politiknya,
dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Menurut Almond dan Powell (1978), terdapat lagi aspek lain dari budaya
politik yang berkaitan dengan pandangan dan sikap indvidu dalam masyarakat
sebagai sesama warga negara. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan “rasa
percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility) yang terdapat antar warga negara
dengan pemimpinnya.
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana zaman saat itu dan
tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang
berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi, dan
pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki
kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik
yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu (Khoirul Saleh dan Achmat Munif, 2015).
Pendekatan budaya politik dapat digunakan untuk mengkaji
perkembangan sistem politik di negara Indonesia yang penuh dengan dinamika,
mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi
Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi.
1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era demokrasi parlementer
sangat beragam, dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan
tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat
telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengeni hak-
haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya
deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu.
Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak
tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa
kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya
terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik
menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi
aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa
pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut
ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi
budaya politik pada era ini.

2. Era Demokrasi Terpimpin (dimulai pada 5 Juli 1959 sampai 1965)


Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan
sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap
mewarnai periode ini. Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih
subur di kalangan elit-elit politiknya.
Pengaturan soal-soal kemasyarakatan lebih cenderung dilakukan secara
paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada
kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada
aliranaliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan
oleh penguasa.
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang
diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada.
Namun, saluran input-nya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-
input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan out put yang
berupa out put simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya
menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa
tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan
menunjukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari
rezim.

3. Era Demokrasi Pancasila


Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi
patrimonial, yakni suatu birokrasi di mana hubungan-hubungan yang ada, baik
internal maupun eksternal adalah hubungan antar patron dan klien yang
sifatnya sangat pribadi dan khas. Budaya politik yang berkembang pada era
Orde Baru adalah budaya politik subjek, di mana semua keputusan dibuat oleh
pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan
otoritarianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya
sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya
diformulasikan dalam lingkaran elite birokrasi dan militer. Di masa Orde Baru,
kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol
sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society
terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah : proyek
dipegang pejabat, promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat
sakti), anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang
tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa, anak pejabat memegang posisi
strategis, baik di pemerintahan maupun politik.
4. Era Reformasi (1998-sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya
politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan
elite politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak
dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik
Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun
tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson, dalam bukunya Budi
Winarno, budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam
mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara
pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien
(bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk
meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elite
merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat. Dengan
menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status
dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah
memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan.
Namun, kuatnya budaya politik patrimonial dan otoritarianisme politik yang
masih berkembang di kalangan elite politik dan penyelenggara pemerintahan
masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input
politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elite politik karena mereka
masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga, budaya
politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-
partisipan.

PENUTUP
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki
bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya
politiknya, seperti antara masyarakat dengan para elitenya. Perlu dibangun
karakter budaya politik, sehingga kegiatan “politik” bukanlah panggung bermain
bagi para elite-penguasa, tetapi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar warga
negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama.
REFERENSI

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku
Politik dan Demokrasi di Lima negara. Bumi Aksara. Jakarta

Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell. 1978. Comperative Politics Little


and Brown Company. Boston dan Toronto

Khoirul Saleh dan Achmat Munif. 2015. Membangun Karakter Budaya Politik
dalam Berdemokrasi. ADDIN, Vol. 9, No. 2

Sjamsuddin Nazaruddin. 1993. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Gramedia


Pusaka Utama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai