CJR Isbd Kel 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

CRITICAL JURNAL REVIEW

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

DISUSUN OLEH

DINA GLENIA PANJAITAN 418

MAHBENGI NIATE 418

PATIMA SARI HARAHAP 4183341039

RISANTI ATMA DEWI SIMANJUNTAK 4183141070

PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UIVERSITAS NEGERI MEDAN

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas limpahan seluruh nikmat dan rahmatnya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini, tugas CRITICAL JURNAL REVIEW pada mata
kuliah ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR. Saya berharap isi dari materi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, dalam memahami materi.

Saya juga meminta maaf kepada para pembaca dalam bila terdapat banyak kekurangan
dan kesalahan dalam tulisan ini. Karena itu saran serta kritikan para pembaca sangat saya
harapkan, untuk perbaikan agar kedepannya dapat menyusun suatu tulisan lebih baik lagi.

MEDAN, NOVEMBER 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................

1.1 Latar Belakang............................................................................................................


1.2 Tujuan ........................................................................................................................

BAB II RINGKASAN......................................................................................................

2.1 Identitas .....................................................................................................................

2.2 Ringkasan Isi Jurnal.....................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN................................................................................................

3.1 Kelebihan....................................................................................................................

3.2 Kelemahan..................................................................................................................

BAB IV PENUTUP..........................................................................................................

4.1 Kesimpulan .................................................................................................................

4.2 Saran...........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dan kebudayaan adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan karena dimana manusia
itu hidup dan menetap pasti manusia akan hidup sesuai dengan kebudayaan yang ada di daerah
yang di tinggalinya. Sedangkan Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi
biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia
diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti “manusia yang tahu”), sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal
kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama,
dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidupSelain itu
manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain dan melakukan suatu
kebiasaan-kebiasaan tertentu yang pada akhirnya menjadi budaya yang biasa mereka lakukan.
Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan.
Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat
hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada
manusia sebagai pendudukungnya dan kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi
manusia di dalam kehidupannya.

1.2 Tujuan Critical Journal Review


- Mengetahui pengertian kebudayaan
- Mengetahui unsur-unsur kebudayaan
- Mengetahui penyebab perubahan budaya
- Mengetahui kaitan antara manusia dengan kebudayaan
BAB II
RINGKASAN
2.1 Identitas Jurnal
JURNAL 1
1. Judul :PENDEKATAN KEBUDAYAAN DALAM
PENELITIAN PENDIDIKAN SENI
2. Volume dan Nomor : 12 DAN 1
3. Halaman : 65-76
4. Tahun terbit : 2018
5. Penulis : Triyanto

JURNAL 2

1. Judul : RUANG, MANUSIA DAN RUMAH TINGGAL;


SUATU TINJAUAN PERSPEKTIP KEBUDAYAAN “TIMUR” DAN “BARAT”
2. Volume dan Nomor : 27 dan 2
3. Halaman : 6-14
4. Tahun terbit : 2016
5. Penulis : J. Lukito Kartono

2.2 Ringkasan Jurnal


JURNAL 1
Pendidikan seni, selama ini, oleh banyak kalangan terutama praktisi, lebih dilihat sebagai sebuah
praksis dari teori atau ilmu pendidikan dengan subjek mater seni sebagai medianya. Tak
mengherankan jika, pembicaraan tentangnya, berkutat pada praktik pembelajaran di kelas.
Kurikulum, silabus, tujuan, metode atau strategi, media, materi atau buku ajar, dan teknik
evaluasinya, serta hal-hal teknis operasional lainnya adalah persoalan rutin praktik pendidikan
seni di sekolah.
Sejatinya, dengan menempatkan sebagai disiplin ilmu, pendidikan seni masuk dalam rumpun
keilmuan humanities (kemanusiaan). yang secara substansial merupakan bidang yang membahas
masalah nilai-nilai, perilaku (peristiwa), dan produk kemanusiaan dalam satu kesatuan yang
holistik. Oleh sebab itu pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan seni, hakikatnya adalah
proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia menjadi manusia dengan segenap
kemanusiaannya sesungguhnya adalah proses budaya. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Wahyudin (2008) bahwa pendidikan adalah suatu proses humanisasi (upaya
memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik)
agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya (lihat: Zuchdi 2010). Memanusiakan
manusia menjadi manusia dengan segenap kemanusiaannya itulah sesungguhnya misi budaya
pendidikan. Sebagai proses budaya, pendidikan adalah upaya sadar yang berproses untuk
menjadikan manusia sebagai sebuah sumber daya yang terberdayakan dengan segala potensinya,
sehingga pendidikan sering dikatakan sebagai medium transformasi budaya. Hal ini memiliki
makna bahwa kualitas sebuah bangsa disandarkan parameternya pada tingkat kualitas institusi
pendidikan yang dimilikinya dalam pembangunan peradaban bangsa dan pembentukan nilai-nilai
modern yang berakar pada nilai-nilai budaya tradisional (Lasmawan, 2008). Ringkasnya,
pendidikan, termasuk di sini pendidikan seni adalah sebuah pranata budaya yang memobilisasi
sumber daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan mulia memanusiakan manusia sebagai
mahluk individu, sosial, dan budaya. Dengan demikian pendidikan merupakan bentuk
operasional, peristiwa, dan produk kebudayaan sekaligus. Bahkan Bourdieau (1986) menegaskan
bahwa pendidikan adalah sebuah modal budaya.
Banyak para ahli, terutama dari pakar antropologi, memberikan penjelasan secara konseptual
tentang definisi kebudayaan. Meskipun berasal dari disiplin ilmu yang sama, namun penjelasan
tantang konsep atau definisi kebudayaan ternyata sangat beragam sekurang-kurangnya terdapat
160 definisi sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing (lihat: Kroeber dan Kluckhohn,
1952). Lebih lanjut, Kluckhohn (dalam Geertz, 1973) mencoba mendefinisikan kebudayaan
sebagai : (1) keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) warisan sosial yang diperoleh individu
dari kelompoknya, (3) suatu cara berpikir, merasa, dan percaya, (4) suatu abstraksi dari tingkah
laku, (5) suatu teori bagi antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya
bertingkah laku, (6) suatu “gudang” untuk mengumpulkan hasil belajar, (7) seperangkat
orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang sedang berlangsung, (8) tingkah laku
yang dipelajari, (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif, (10)
seperangkat teknik untuk menyesuaikan dengan lingkungan luar dan dengan orangorang lain,
dan (11) suatu endapan sejarah. Tulisan ini tidak akan membahas keragaman konsep kebudayaan
tersebut. Pembahasan konsep kebudayaan di sini diarahkan pada substansi isi dan fungsinya bagi
masyarakat pendukungnya. Berbicara kebudayaan, memang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Kebudayaan dan masyarakat ibarat sekeping mata uang yang tiap-tiap sisinya saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan tidak akan lahir tanpa adanya masyarakat. Di
satu segi, masyarakatlah yang dengan kesepakatan bersama antarwarganya melahirkan suatu
kebudayaan. Namun demikian, di segi yang lain, masyarakat tidak akan dapat melangsungkan
kehidupannya secara bermartabat tanpa menggunakan kebudayaan yang diciptakan sendiri.
Kebudayaan yang lahir dan diciptakan oleh masyarakat tanpa disadari telah “menjerat” setiap
warga masyarakat pemiliknya untuk tunduk menjadikannya sebagai pedoman dalam mengatasi
tantangan sumber daya lingkungan hidup dan perubahannya. Dalam kalimat lain, hal itu pernah
dikemukakan oleh Geertz (1973) dengan mengibaratkan manusia sebagai seekor binatang yang
bergantung pada jaringanjaringan makna yang ditenunnya sendiri. Jaringan-jaringan makna
itulah yang dianggapnya kebudayaan. Oleh sebab itu Geertz menyarankan kebudayaan paling
baik tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat konkret, melainkan dilihat sebagai sesuatu yang
abstrak yakni kumpulan simbolsimbol bermakna yang tercipta secara historis berupa seperangkat
mekanismemekanisme kontrol, yaitu rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan,
instruksiinstruksi (apa yang disebut sebagai program-program oleh para ahli komputer) untuk
mengatur tingkah manusia. Dengan itu, manusia memberi bentuk, susunan, pokok, dan arah bagi
kehidupan sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada.
Dengan penjelasan tersebut, kebudayaan terlihat fungsinya sebagai pedoman, mekanisme kontrol
bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973). Spradley (1972) menegaskan bahwa kebudayaan
adalah serangkaian aturan, resep, rencana, strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif
yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi. Relevan dengan penjelasan tersebuat, Rapoport (1980: 9) melihat kebudayaan itu
sebagai : (1) suatu gaya hidup tipikal dari suatu kelompok, (2) suatu sistem simbol, makna-
makna, dan model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolis, dan (3) seperangkat
strategi adaptif bagi kelangsungan hidup yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya
internal dan eksternalnya. Oleh karena itu, kebudayaan adalah latar bagi suatu tipe masyarakat
yang bersifat normatif, dan melahirkan gaya hidup tertentu yang tipikal dan bermakna berbeda
dengan kelompok lainnya. Dalam menciptakan gaya hidup seperti itu, yang hanya mungkin
terwujud melalui aturanaturan yang diterapkan bersama (pranata sosial), suatu perangkat model
kognitif,sistem simbol, dan beberapa visi dari suatu ideal diberi bentuk. Suatu kebudayaan bagi
warga masyarakat pemilik atau pendukungnya memiliki nilai yang amat berharga dalam
melangsungkan kehidupannya baik sebagai individu ataupun sebagai warga masyarakat. Tanpa
kebudayaan, suatu masyarakat tidak memiliki identitas yang jelas (lihat: Lindolm, 2007).
Keberadaanya selain bernilai sebagai simbol identitas juga bernilai sebagai sistem tata kehidupan
yang dijadikan sebagai desain bagi kehidupan, dalam bersikap dan bertingkah laku untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan kebudayaan, tertib sosial suatu masyarakat
akan dapat diwujudkan karena warga masyarakat ketika melangsungkan kehidupannya dapat
berinteraksi secara berkeadaban sesuai dengan harkat dan martabatnya berdasarkan sistem tata
kehidupan yang telah menjadi kesepakatan bersama.

JURNAL 2
Karakter ruang dan bentuk rumah tinggal sebagai material budaya yang dihasilkan oleh manusia
dapat digunakan untuk mengukur tingkat peradaban dan kebudayaan manusia yang hidup pada
saat itu Perkembangan peradaban manusia di muka bumi mengenal adanya 7 peradaban awal.
Menurut Glyn Daniel (Morris,1979) peradaban awal tersebut tumbuh secara simultan, antara
lain: Peradaban Sumeria di Mesopotamia Selatan,Mesir di Lembah Sungai Nil, Cina di Sungai
Kuning,Maya di Lembah Mexico,Aztec di hutan Guatemala dan Inca di Pantai dan dataran tinggi
Peru.Indikator peradaban awal manusia ditunjukkan dengan peninggalan arkeologis berupa sisa
bangunan rumah tinggal, kuil (tempat pemujaan) dan peralatan hidup lainnya.Pada periode yang
lebih muda muncul peradaban Yunani, Romawi yang diikuti dengan perkembangan peradaban
yang pesat di Eropah dan pada akhirnya di Amerika.
Hal ini menunjukan bahwa sebagai tempat berlindung, rumah mempunyai kedudukan yang
cukup berarti dalam kehidupan manusia. Tempat berlindung yang terbentuk pada awalnya sangat
sederhana dan terus berkembang makin rumit sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.
Mulai dari mencari lekukan pada alam (goa) sampai membuat bangunan dalam bentuk yang
rumit, penuh dengan simbolsimbol. Bentukan yang tercipta merupakan ekspresi dari imajinasi
yang dimiliki atau dengan kata lain bahwa ruang dalam rumah tinggal yang ditempati tidak
hanya merupakan wadah kehidupan sehari-hari tetapi juga merupakan wadah untuk menampung
imajinasinya. Sebagai contoh: anak-anak Amerika pada saat menggambar sebuah rumah tinggal
maka yang tercipta adalah sebuah rumah dengan sebuah pintu yang diapit oleh dua buah jendela
yang merupakan imajinasi dari dua buah mata dan sebuah mulut.
Hall, 1982 menunjukkan bahwa didalam kebudayaan “barat” dan “timur” juga masih mempunyai
perbedaan persepsi tentang ruang yang cukup berarti Dalam penelitiannya tentang Proxemic
pada orang Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan Arab menunjukkan bahwa pada konsep
penggunaan ruang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar mulai dari pengolahan ruang,
persepsi visual dan besaran ruang. Dari fenomena yang ditampilkan oleh Egenter, Van de Ven
dan E.T. Hall terlihatlah : 1. Penggunaan istilah “timur” dan “barat” secara dikotomis dan
klasifikatip sebagai titik tolak pemahaman tentang arsitektur sebenarnya memerlukan klarifikasi
yang jelas, tentang siapa yang termasuk dalam klasifikasi tersebut agar tidak menimbulkan bias.
Karena dasar pengklasifikasian sejauh ini hanya merupakan suatu generalisasi yang tidak jelas
dasarnya dan terjebak kepada usaha untuk mereduksi permasalahan yang pada akhirnya dapat
menimbulkan perbedaan persepsi. 2. Bertitik tolak dari pengetahuan budaya yang dimiliki oleh
manusia maka pada hakekatnya merupakan sesuatu yang wajar bila ada perbedaan persepsi
setiap manusia baik perorangan maupun kelompok dalam memahami setiap bentukan ruang yang
tercipta karena pengetahuan budaya yang dimiliki setiap orang terbentuk sejak dini pada setiap
orang dan tidak diturunkan secara genetis. 3. Untuk mempertajam pembahasan tentang hakekat
perbedaan pemahaman ruang yang terjadi maka sebagai studi kasus dipilih rumah tinggal sebagai
bahan pembahasan karena rumah tinggal merupakan media kumpulan ruang yang paling
ekspresip dalam mengungkapkan pengetahuan budaya penghuninya. Selain itu untuk kesahihan
data maka dipilih rumah tinggal dari beberapa daerah yang dapat dianggap mewakili kebudayaan
Timur dan Barat. PENGERTIAN TIMUR DAN BARAT Penggunaan istilah “timur” dan “barat”
dalam berbagai konteks apabila direnungkan secara mendalam akan menimbulkan bias dan
mengundang banyak pertanyaan. Kalau klasifikasi dibuat berdasarkan geografi maka akan
banyak timbul pertanyaan. Mengapa Eropah, Amerika dan Australia disebut “barat”? Lebih
ironis lagi Italia juga dipandang sebagai “barat”, padahal sebelah timurnya (Albania, Yunani)
dipandang sebagai “timur” dan sebelah baratnya (Tunisia, Algeria dan Marokko) dipandang
sebagai “timur”. Siapa yang layak dianggap mewakili masing-masing kelompok? Dan apa yang
digunakan sebagai dasar pengelompokannya? Dari fenomena tersebut menunjukkan bahwa
klasifikasi “timur” dan “barat” lebih merupakan klasifikasi budaya, sosial atau ekonomi daripada
klasifikasi geografis.
Pada hakekatnya ruang-ruang pada arsitektur rumah tinggal baik pada masyarakat Barat maupun
Timur pada awalnya mempunyai pola yang sama yaitu mempunyai konsep mitologi dan
kosmologi pada penataan ruangnya. Dalam perjalanan sejarah kemudian masyarakat Barat mulai
meninggalkan tahapan Mistis dan mulai memasuki tahapan Ontologis. Ini kalau kita mengacu
kepada pembagian tahapan kebudayaan masyarakat menurut Van Peursen. Sedangkan
masyarakat Timur cenderung masih mempertahankan kebudayaan mistisnya walaupun saat ini
juga terlihat adanya perubahan akibat proses akulturasi. – Pemahaman tentang makna ruang yang
terjadi sebenarnya tidak dapat dibedakan secara “hitam putih” dengan klasifikasi dikotomis
Timur-Barat; Rasionalis- Romantis sebab dalam realitanya pada masyarakat Barat (Inggris,
Jerman, Perancis dan Amerika) maupun pada masyarakat Timur (Jepang, Cina, Arab, Bali dan
Jawa) sendiri di masingmasing kebudayaan juga memiliki perbedaan wujud dan makna ruang
yang dijadikan wadah aktivitasnya. Seperti misalnya sama-sama antroposentris, tetapi di Barat
ada generalisasi ukuran sedangkan di Timur mengacu kepada masing-masing tubuh pemilik
rumah. cukup mengundang para arsitek untuk merenungi secara mendalam sebelum menata,
merangkai menjadi suatu arsitektur dan menyesuaikannya dengan kebudayaan yang dipangku
oleh pemakainya. – Paradigma berpikir tertentu ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk
memahami atau menilai karya arsitektur yang bersumber pada paradigma yang berbeda. Karena
kalau dipaksakan akan menghasilkan suatu “Ecological Fallacy” (kesalahan berpikir yang timbul
karena menyimpulkan dari satuan unit analisis yang berbeda) .

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kelebihan Jurnal


Kelebihan dari kedua jurnal adalah penulis mampu menjabarkan materi dengan baik
sehingga pembaca dapat mengerti dengan cepat materi tersebut. Peneliti juga membuat banyak
referensi dari berbagai ahli dalam bidang sosial dan budaya dasar. Jurnal juga memiliki banyak
tujuan untuk menanamkan keterampilan berbahasa karena dalam jurnal juga disisipkan bahasa
asing, yaitu bahasa Inggris.

3.2 Kelemahan Jurnal

Kelemahan dari kedua jurnal adalah jurnal tidak menjelaskan saran bagi pembaca dan semua
kalangan. Hasil penelitian juga harusnya dapat dikembangkan pada masa mendatang dengan
variabel lain. Dalam jurna kedua bagi saya terlalu banyak sekali bahasa asing yang disisipkan
sehingga membuat pembaca sedikit susah untuk mengerti materi tentang jurnal tersebut.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dengan penjelasan tersebut, kebudayaan terlihat fungsinya sebagai pedoman, mekanisme kontrol
bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973). Spradley (1972) menegaskan bahwa kebudayaan
adalah serangkaian aturan, resep, rencana, strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif
yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi. Relevan dengan penjelasan tersebuat, Rapoport (1980: 9) melihat kebudayaan itu
sebagai : (1) suatu gaya hidup tipikal dari suatu kelompok, (2) suatu sistem simbol, makna-
makna, dan model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolis, dan (3) seperangkat
strategi adaptif bagi kelangsungan hidup yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya
internal dan eksternalnya. Oleh karena itu, kebudayaan adalah latar bagi suatu tipe masyarakat
yang bersifat normatif, dan melahirkan gaya hidup tertentu yang tipikal dan bermakna berbeda
dengan kelompok lainnya. Dalam menciptakan gaya hidup seperti itu, yang hanya mungkin
terwujud melalui aturanaturan yang diterapkan bersama (pranata sosial), suatu perangkat model
kognitif,sistem simbol, dan beberapa visi dari suatu ideal diberi bentuk. Suatu kebudayaan bagi
warga masyarakat pemilik atau pendukungnya memiliki nilai yang amat berharga dalam
melangsungkan kehidupannya baik sebagai individu ataupun sebagai warga masyarakat. Tanpa
kebudayaan, suatu masyarakat tidak memiliki identitas yang jelas (lihat: Lindolm, 2007).
Keberadaanya selain bernilai sebagai simbol identitas juga bernilai sebagai sistem tata kehidupan
yang dijadikan sebagai desain bagi kehidupan, dalam bersikap dan bertingkah laku untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan kebudayaan, tertib sosial suatu masyarakat
akan dapat diwujudkan karena warga masyarakat ketika melangsungkan kehidupannya dapat
berinteraksi secara berkeadaban sesuai dengan harkat dan martabatnya berdasarkan sistem tata
kehidupan yang telah menjadi kesepakatan bersama.

4.2 Saran
Pembaca harus lebih banyak mencari referensi lain dari jurnal lain. Agar informasi yang di dapat
lebih efektif dan efisien. Penulis juga harus lebih kreatif dalam penulisan jurnal nya, dan
membuat beberapa contoh nyata dalam materi yang dipaparkan dalam jurnal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Kartono,L,J,2016, RUANG, MANUSIA DAN RUMAH TINGGAL; SUATU TINJAUAN
PERSPEKTIP KEBUDAYAAN “TIMUR” DAN “BARAT”,Jurnal DIMENSI TEKNIK
ARSITEKTUR,27(2):6-14

Triyanto,2018, PENDEKATAN KEBUDAYAAN DALAM PENELITIAN PENDIDIKAN


SENI,Jurnal Imajinasi,12(1):65-76

Anda mungkin juga menyukai