Hening C.P LBM 3 SGD 10 Urogenitalia
Hening C.P LBM 3 SGD 10 Urogenitalia
Hening C.P LBM 3 SGD 10 Urogenitalia
NIM : 30101700072
SGD : 10
Modul : Urogenital
Skenario : LBM 3
Seorang anak laki laki usia 3 tahun 11 bulan dibawa ibunya datang ke RS Islam Sultan Agung
Semarang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh selama 10 hari. Bengkak muncul terutama
pagi hari di daerah mata, dan kemudian menjadi bengkak pada kedua lengan dan tungkai pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Tanda
vital : tekanan darah 95/60, pernafasan 24x/m, nadi 90-100x/m, suhu 37 C. Pemeriksaan fisik
konjungtiva anemis, edema palpebra dan wajah, abdomen tampak cembung, perkusi shifting
dullness positif, edema ekstremitas bawah, edema pada skrotum. Pada urinalisis ditemukan
proteinuria masif 4+ disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan: protein total
4,9g/dL, albumin 1,5 g/dL, kolesterol 450mg/dL, globulin 2g/dL, ureum 35mg/dL, kreatinin
0,4ml/dL.
STEP 1
Shifting Dullness : Pekak alih, pemeriksaan cairan pada perut dimana bila positif berarti
adanya perpindahan cairan
Pitting edema : suatu keadaan dimana saat ada kulit yang membengkak ditekan maka
akan membentuk suatu cekungan pada permukaan kulit yang ditekan
STEP 2
1. Mengapa terjadi bengkak pada mata dipagi hari lalu bengkak kedua lengan dan tungkai
pada siang hari ?
2. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan ttv ?
3. Mengapa pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil seperti pada diskenario ?
4. Apa interpretasi dari pemeriksaan Lab ?
5. Bagaimana alur diagnosisnya ?
6. Apa diagnosis dan DD dari kasus diskenarionya ?
7. Apa yang dimaksud dengan sindroma nefrotik ?
8. Apa saja etiologi dan factor resiko pada kasus di scenario tersebut ?
9. Apa pathofisiologi dari penyakit yang ada di scenario tersebut ?
10. Bagaimana tatalaksana dari kasus di scenario tersebut ?
11. Apa pemeriksaan penunjang dari kasus diskenario ?
12. Apa saja komplikasi pada kasus diskenario tersebut ?
STEP 3
1. Mengapa terjadi bengkak pada mata dipagi hari lalu bengkak kedua lengan dan tungkai
pada siang hari ?
Jawab :
Bengkak terjadinya perpindahan cairan dari kapiler ke intersitial, ini dipengerahui oleh 2
tekanan :
1. Tekanan hidrostatik kapiler (tergantung air dalam tubuh)
2. tekanan onkotik plasmanya (tekanan dari protein dari kapiler)
Pada kasus ini yang berpengaruh adalah proteinnya. Albumin mempengaruh tekanan
intravascular dan ekstravaskular.
Kenapa bengkaknya di mata pada pagi hari dan kedua lengan dan tungkai : dipengaruhi
oleh tekanan gravitasi (posisi supine (tiduran) dipengaruhi tek. Aliran darah aliran darah
merata ke seluruh tubuh posisi jadi horizontal jadi mengalir ke arah mata, lalu bila posisi
berdiri (saat terbangun) posisi darah akan deras mengalir kebawah), jadi kapiler itu ada
pada terminal didarah jadi bagian-bagian yang edema adalah bagian-bagian yang banyak
kapilernya, mata termasuk banyak kapilernya.
Perpindahan air akan berhenti bila gradiennya sama.
Patogenesis edem :
1. Peningkatan tek. hidrostatik kapiler
2. Penurunan tek. onkotik kapiler
3. Permeabilitas kapiler meningkat
4. Retensi air dan natrium
5. Obstruksi dari pembuluh limfe (limfe fungsinya untuk drainase cairan)
#Patogenesis edema
8. Apa saja etiologi dan factor resiko pada kasus di scenario tersebut ?
Jawab :
Ada 2
Kongenital :
Primer : glomerolusnefritis lesi minimal, GSFS,
Sekunder : karena penyebab lain : infeksi, autoimun, amyloidosis
9. Apa pathofisiologi dari penyakit yang ada di scenario tersebut ?
10. Bagaimana tatalaksana dari kasus di scenario tersebut ?
11. Apa saja komplikasi pada kasus diskenario tersebut ?
STEP 7
1. Mengapa terjadi bengkak pada mata dipagi hari lalu bengkak kedua lengan dan tungkai
pada siang hari ?
Jawab :
Mekanisme terjadinya bengkak Secara umum.
Efek berlawanan antara tekanan hidrostatik (gaya yang mendorong cairan keluar kapiler ke
cairan interstisium) vaskular dan tekanan osmotik koloid plasma merupakan faktor utama
yang mengatur pergerakan cairan antara ruang vaskular dan ruang interstitial. Biasanya
keluarnya cairan ke dalam interstitial mikrosirkulasi hampir diimbangi oleh aliran masuk
pada venula; kelebihan cairan interstitial yang tersisa dalam jumlah yang kecil dialirkan
melalui saluran limfa. Meningkatnya tekanan hidrostatik jaringan dan tekanan osmotik
koloid plasma pada akhirnya akan mencapai suatu keseimbangan ekuilibrium yang baru,
dan air kembali memasuki venula. Cairan edema interstitial yang berlebihan dibuang
melalui saluran limfe, kembali terutama ke dalam darah melalui aliran duktus torasikus.
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam
berbagai rongga tubuh. Meningkatnya tekanan kapiler yang ataupun berkurangnya
tekanan osmotik koloid dapat menyebabkan meningkatnya cairan interstitial. Edema
terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan
cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang menyebabkan retensi
natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema. Cairan
edema yang terjadi pada kekacauan hidrodinamik, secara khas merupakan suatu transudat
yang miskin protein dengan BJ di bawah 1,012. Sebaliknya, karena peningkatan
permeabilitas vaskular, edema akibat radang merupakan suatu eksudat kaya protein
dengan berat jenis di atas 1,020.
Etiologi terjadinya bengkak Ada lima mekanisme yang berhubungan secara umum :
penurunan tekanan osmotic koloid, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler, obstruksi limfatik, dan kelebihan natrium dan
air tubuh. Beberapa bentuk edema diakibatkan oleh lebih dari satu mekanisme.
1. Penurunan tekanan osmotic koloid. Bila protein plasma di dalam darah menipis,
kekuatan ke dalam menurun, yang memungkinkan gerakan ke dalam jaringan.
Ini menimbulkan akumulasi cairan dalam jaringan dengan penurunan volume
plasma sentral. Ginjal berespons terhadap penurunan volume sirkulasi melalui
aktivasi sistem aldosteron-renin-angiotensin, yang mengakibatkan reabsorbsi
tambahan terhadap natrium dan air. Volume intravaskuler meningkat
sementara. Namun, karena defisit protein plasma belum diperbaiki, penurunan
tekanan osmotic koloid tetap rendah dalam proporsi terhadap tekanan
hidrostatik kapiler. Akibatnya cairan intravaskuler bergerak kedalam jaringan,
memperburuk edema dan status sirkulasi.
4. Obstruksi limfatik.
Penyebab paling umum dari obstruksi limfatik adalah pengangkatan limfonodus
dan pembuluh darah melalui pembedahan untuk mencegah penyebaran
keganasan. Terapi radiasi, trauma, metastasis keganasan, dan inflamasi dapat
juga menimbulkan obstruksi luas pada pembuluh darah. Obstruksi limfatik
menimbulkan retensi kelebihan cairan dan protein plasma dalam cairan
interstisial. Pada saat protein mengumpul dalam ruang interstisial, lebih banyak
air bergerak ke dalam area. Edema biasanya lokal.
SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu petunjuk awal
adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal, di mana urine
dibentuk.2 Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya
scar atau deposit pada glomerulus. Seorang anak yang lahir dengan kondisi tersebut akan
menyebabkan terjadinya SN.
NEPHROTIC SYNDROME IN 2 YEARS OLD CHILD Rahma Putri Kinasih Faculty of Medicine,
Universitas Lampung : 2014
8. Apa saja etiologi dan factor resiko pada kasus di scenario tersebut ?
Jawab :
9. Apa pathofisiologi dari penyakit yang ada di scenario tersebut ?
Patofisiologi Sindrom Nefrotik
Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membrane filtrasi
glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah dalam,
membrane basalis dan sel epitel khusus di bagian luar yang dikenal dengan podosit, seperti
terlihat pada Gambar 1. Podosit memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai kaki (foot
processes), di antara tonjolan-tonjolan tersebut terdapat celah diafragma (slit diaphragm),
yang berperan penting dalam pemeliharaan fungsi filtrasi glomerulus.
Terdapat dua mekanisme yang berperan pada pathogenesis SN, yaitu pertama secara
imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor (VPF)
yang merupakan asam amino identic dengan vascular endhotelial growth factor (VEGF). Hal
ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi
kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barrier filtrasi
glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar. Mekanisme pathogenesis SN
dapat dilihat pada gambar 2.
Zat-zat terlarut yang dapat melewati sawar glomerulus ditentukan oleh besarnya molekul,
molekul >10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut (size-
selectivity barrier). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan proteinuria baik
protein dengan berat molekul kecil maupun protein dengan berat molekul besar
(proteinuria nonselektif). Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah adanya daya
elektrostatik dari muatan negative permukaan molekul pada epitel foot processes yang
dibentuk oleh sialoprotein kapiler, berperan sulfat membrane basalis glomerulus, dan
podokaliksin (charge selectivity barrier). Gangguan pada daya elektrostatik tersebut
menyebabkan proteinuria selektif (protein dengan berat molekul ≤ berat molekul albumin
daoat melewati membrane filtrasi glomerulus). Kerusakan struktur dan sawar elektrostatik
ini menyebabkan banyaknya protein plasma yang melewati filtrasi glomerulus.
Hilangnya atau pendataran foot processes podosit yang tampak dengan mikroskop
electron memperlihat peran kunci podosit dalam pathogenesis sindrom nefrotik idiopatik.
Perubahan pada foot processes ini sebagai target circulating factor atau bagian dari
perubahan strukttur akibat adanya mutase gen. Pada focal segmental glomerulosclerosis
(FSGS) selain hilangnya foot processes podosit, juga terjadi peningkatan dari matriks
ekstraselular dalam glomerulus disertai dengan menghilangnya lumen kapiler glomerulus.
Lesi sklerotik ini terjadi secara fokal dan dalam beberapa segmen glomeruli serta secara
tipikal tidak berhubungan dengan deposit kompleks imun. Rusaknya podosit terjadi melalui
empat mekanisme utama, yaitu: perubahan komponen slit diaphragm atau gangguan pada
struktur, disregulasi aktin sitoskeleton, perubahan membrane basalis glomerulus atau
interaksinya dengan podosit dan perubahan muatan negative permukaan podosit.
Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Dedi Rachmadi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung : MKB, Volume 42 No. 1, Tahun 2010
Terapi edema:
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit
untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children) adalah
diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari selama 28 hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam 3 dosis/hari. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Kalau 4 minggu tidak remisi berarti sindrom nefrotik
resisten steroid. Bila remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating
(selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi selama 4-12 minggu. Bila tidak remisi dalam
4 minggu terapi prednisone full dose selama 6 minggu dilanjutkan alternate dose selama 6
minggu.
Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30mg, 20mg, 10mg
sampai akhirnya dihentikan.
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik.
Remisi Proteinuria negatif, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut.
Kambuh
Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
Kambuh tidak berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Kambuh sering
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali
Responsif-steroid kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Dependen-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
Resisten-steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
Responder lambat mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
Nonresponder tambahan terapi lain.
awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid.
Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi). Bila diberi
diet rendah protein akan terjadi Malnutrisi Energi Protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema. Kolesterol dibatasi < 300mg.