Masa Pertumbuhan Dan Perkembangan Pendidikan Islam

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Mahfud Efendi,M.Pd.I

Di susun Oleh :

Rahmat Hidayat

NIM : 19.1.12.040

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SANGATTA
KUTAI TIMUR
2020

i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM” dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini tidak
terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.

Saya sadar bahwa sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan


dan kehilafan. Oleh karena itu kami selaku penyusun makalah ini mohon
maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan


para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bengalon, 19 Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B.     Perumusan Masalah ...................................................................... 1
C.     Tujuan............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................ 2
A.    Pusat-pusat Pendidikan Islam ........................................................ 2
a.       Madrasah Mekkah.......................................................................... 2
b.      Madrasah Madinah......................................................................... 3
c.       Madrasah Basrah........................................................................... 3
d.      Madrasah Kufah............................................................................. 3
e.       Madrasah Damsyik ....................................................................... 3
f.       Madrasah Fistat.............................................................................. 4
B.     Pengajaran Al-Qur’an .................................................................... 4
C.     Pertumbuhan dan Perkembangan Kebudayaan Islam.................... 7
BAB III PENUTUP ............................................................................. 11
A.    Kesimpulan..................................................................................... 11
B.     Kritik dan Saran.............................................................................. 11

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman nabi


Muhamad SAW, pendidikan Islam berarti memasukkan ajaran-ajaran
Islam kedalam unsur-unsur budaya. Ada beberapa hal yang terjadi
dalam pembinaan tersebut :

1.      Islam mendatangkan unsur-unsur yang sifatnya memperkaya dan


melengkapi unsur budaya yang telah ada.

2.      Islam mendatangkan suatu ajaran yang bersifat meluruskan kembali


ajaran-ajaran yang telah menyimpang dari ajaran aslinya.

3.      Islam memiliki ajaran yang sifatnya mengubah kebuadayaan bangsa


Arab yang sebelumnya banyak perbudakan, perjudian pemabukan
menjadi budaya yang bersih dari hal-hal tersebut.

4.      Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
perkembangan budayanya.

B.     Perumusan Masalah


1.      Apa yang diajarkan dalam pendidikan islam?
2.      Dimanakah pusat-pusat pendidikan islam berkembang?
3.      Siapa saja yang melakukan pengajaran islam?
4.      Kendala apa saja yang dihadapi dalam mengajarkan islam?

C.     Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.      Supaya kita dapat mengetahui proses pertumbuhan dan pendidikan
islam
2.      Supaya kita mengetahui pusat-pusat pendidikan islam

1
BAB II
PEMBAHASAN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Bersamaan dengan perluasan daerah kekuasaan islam maka
berkembang pula pusat-pusat kegiatan pendidikan islam, baik bagi
mereka yang baru masuk islam, bagi para generasi muda, maupun bagi
mereka yang akan memperdalam dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam islam.
A.    Pusat-pusat Pendidikan Islam
Seiring dengan perkembangan penyampaian ajaran islam di luar
madinah, maka dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai oleh islam,
berdirilah pusat-pusat pendidikan [1] yang memberikan pengajaran
agama islam pada para penduduk setempat maupun para penduduk
yang datang dari daerah lain. Para sahabat menyampaikan pendidikan
islam dalam bentuk kholaqoh di masjid atau tempat pertemuan lainnya
yang berupa khuttab ataupun madrasah.

Pada masa pertumbuhan islam, terdapat beberapa madrasah yang


terkenal, antara lain :

a.       Madrasah Makkah


Guru pertama yang mengajar di Mekkah, ialah Mu’ad bin Jabal.
Beliau mengajarkan Al-Qur’an, Hukum-hukum Hallal dan Haram, pada
masa Khalifah Abdul Malik bin Narwah (65-86), Abdullah bin Abbas pergi
ke Makkah, lalu mengajar disana. Beliau mengajarkan Tafsir, Hadist,

1 .      Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam,2010. Jakarta:


Rajawali Pers

2
Fiqih, dan Sastar. Diantara murid-murid Ibnu Abbas yang
menggatikannnya sebagai guru di Madrasah Makkah ini adalah : Mujahid
bin Jabbar, Atak bin Abu Rabah, dan Tawus bin Kaisan yang kemudian
diteruskan oleh murid-murid berikutnya, yang terkenal yaitu : Sufyan bin
Uyainah dan Muslim bin Khalid Al Zanji. Imam Syafi’i sebelum berguru ke
Madinah pernah belajar di Madrasah Mekkah kepada kedua ulama
tersebut.

b.      Madrasah Madinah


Madrasah Madinah lebih termahsyur, karena disanalah tempat
Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan disan banyak pula tinggal
sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Di antaranya Zaid bin Sabit dan
Abdullah bin Umar, Zaid bin Sabit adalah seorang ahli Qira at dan Fiqih
dan beliaulah yang mendapatkan tugas memimpin penulisan kebali Al-
Qur’an di zaman Abu Bakar dan di zaman Usman bin Affan. Sedangkan
Abdullah bin Umar adalah seorang ahli hadist dan dianggap sebagai
pelopor mazhab Ahl al Hadist yang berkembang pada masa-masa
berikutnya.
Setelah ulama-ulama tersebut wafat, kemudian digantikan oleh
murid-muridnya (tabi’in), yang terkenal adalah: Sa’ad bin Musayab dan
Urwah bin Al Zubair bin Al Awwan, yang pada generasi berikutnya
muncul ahli hadist dan fiqih Ibn Syihab Al Zuhri.
c.       Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah ialah Abu Musa Al Asy’ari
dan Anas bin Malik. Diantara guru-guru yang terkenal adalah : Hasan Al
Basri dan Ibn Sirih. Hasan Al Basri adalah perintis madzhab Ahl Al
Sunnah dalam lapangan iIlmu Kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah
seorang pelajar Kufah melawat ke Syam, sedangkan pelajar Syam

3
melawat kian kemari dan seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu
pengetahuan islam tersebar keseluruh kota-kota di negeri Islam [2]
d.      Madrasah Kufah

Ulma sahabat yang terkenal adalah Ali bin Abi Tahlib yang
mengusrui masalah politik dan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud
sebagai guru agama yang diutus langsung oleh khalifah Umar,
disamping itu beliau adalah seorang ahli fiqih, tafsir dan banyak
meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW

e.       Madrasah Damsyik

Setelah negeri Syam menjadi bagian dari negeri islam, maka


khalifah Umar bin Khattab mengirimkan tiga guru agama yang
ditempatkan pada tempat yang berbeda, antara lain Muadz bin Jabal di
Palestina, Abu Dardak di Damsyik, dan Ubadah di Hims. Madrasah ini
juga mampu melahirkan imam penduduk syam Abdurrahman Al-Auza’i
yang ilmunya sederajat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.

f.       Madrsah Fistat

Sahabat yang semula mendirikan madrasah ini adalah Abdullah


bin Amr Al-As merupakan seorang yang ahli dalam ilmu hadits.
Kemudian guru yang termasyhur setelah nya adalah Yazid bin Abu Habib
Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bi Rabi’ah.

B.     Pengajaran Al-Qur’an


Nabi Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-
Qur’an kepada para sahabat, dan telah sempurna pula memberikan
hadist atau penjelasan-penjelasan menurut keperluannya pada masa itu.

2 Fahidin,Fuad Muhammad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1985.


Jakarta: Bulan Bintang

4
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan islam berkembang
secara luas dan diterima oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab. Maka
situasipun berubah. Sumber pengajaran Al-Qur’an dan Hadist pada masa
ini adalah para sahabat. Mereka pula yang bertanggung jawab untuk
mengajarkan Al-Qur’an memberikan pengertian dan penjelasan agar isi
kandungan Al-Qur’an dapat dipahami oleh orang-orang yang baru masuk
islam, mereka bertanggung jawab untuk memberikan contoh tentang
cara mempraktekan ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-hari.
Fungsi yang sama berlaku pula untuk anak-anak dan generasi muda,
agar mereka nantinya mampu mengemban tugas sebagai pewaris
ajaran agama islam supaya mampu mengembangkan dan
mengajarkannya keseluruh umat manusia.
Problema pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam
pengajara Al-Qur’an adalah menyangkut Al-Qur’an itu sendiri karena
pada zaman ini belum dikumpulkan dalam satu mushaf sebagaimana
yang kita lihat seperti saat ini, pada zaman ini Al-Qur’an masih dalam
bentuk hafalan-hafalan para sahabat, tetapi tidak semua sahabat itu
hafal Al-Qur’an, dan banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an mati
syahid3 [3] dalam peperangan sehingga semakin berkurangnya nara
sumber pengajar Al-Qur’an. Karena khawatir akan hal tersebut Umar bin
Khatab kemudian membicarakannnya dengan Khalifah Abu Bakar
kemudian Khaifah Abu Bakar menetujui usulan dari Umar bin Khatab
yang dilanjutkan dengan menyuruh Zaid bin Tsabit mengumpulkan ayat-
ayat Al-Qur’an. Kemudiah beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an
dari daun, pelepah kurma, tanah keras, tulang unta, tulang kambing,
dan dari para sahabat yang hafal Al-Qur’an4 [4].

3 Fahidin, Fuad Muhammad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1985.


Jakarta: Bulan Bintang Hal 23
4 Fahidin, Fuad Muhammad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1985.
Jakarta: Bulan Bintang hal 30 -35

5
Problema yang muncul selanjutnya adalah masalah pembacaan
(qira’at). Al-Qur’an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang
tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang
Arab. Hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut ketekunan dan
kesabaran para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an, oleh karena itu
setiap pengajaran Al-Qur’an selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa
Arab secara sederhana.
Problema qira’at tersebut semakin nampak setelah terjadi
komunikasi antara kaum muslimin dari satu daerah dengan daerah yang
lain, yang mendapatkan pengajaran dari sahabat-sahabat yang berbeda.
Para sahabat mengajarkan qira’at menurut bacaan (qira’at) dengan
dialek (lahjah) masing-masing. Penggunaan latjah yang berbeda-beda
tidaklah menjadi masalah selama masih dalam lingkungan kaum
muslimin yang berbahasa Arab. Dan Rasulullah SAW pun
memperkenankan hal yang demikian. Tetapi setelah Al-Qur’an di terima
dan dihafal oleh kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka kaum
muslimin dari satu daerah yang diajarkan dengan satu dialek, akan
merasa asing dengan bacaan Al-Qur’an kaum muslimin yang berasal
dari daerah yang lainnya karena menggunakan dialek yang berbeda.
Kemudian timbul perselisihan dalam pembacaan qira’at karena masing-
masing daerah menganggap bahwa bacaan mereka yang paling benar
dan yang lainnya salah.
Hal ini disadari pada masa Khalifah Usman bin Affan dan sahabat
yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaiyan umat Islam dalam
hal pembacaan Al-Qur’an tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu
beliau ikut dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Selama
dalam perjalanan beliau mendengar pertikaian antara kaum muslimin
tentang bacaan Al-Qur’an dan saling mempertahankan kebenaran
bacaan masing-masing. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera
menemui khalifah Usman bin Affan dan mengusulkan agar Khalifah

6
segera mengatasi perselisihan antar umat islam dalam hal pembacaan
Al-Qur’an tersebut.
Khalifah Usman bi Affan kemudian meminjam naskah atau
lembaran-lembaran Al-Qur’an yang telah ditulis pada zaman Khalifah
Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar, untuk ditulis kembali
oleh panitia yang ditunjuk olehnya, panitia tersebut diketuai oleh Zaid
bin Tsabit (penulis ayat-ayat Al-Qur’an pada zaman Nabi Muhammad
SAW dan pada zaman Khalifah Abu Bakar) dengan anggota : Abdullah
bin Zubair bin Ash dan Abdurrahman bin Haris. Dalam tugas menuliskan
kembali Al-Qur’an tersebut, Khalifah Usman memerintahkan untuk
mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an dan
kalau ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut, maka
haruslah dituliskan berdasarkan dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu
diturunkan menurut dialek merekan.

Al-Qur’an yang dibukukan dinamakan Al-Mushaf dan dibuat


sebanyak lima buah mushaf yang kemudian dikirimkan ke Makkah,
Syria, Basrah, dan Kufah sedangkan yang satu tetap dipegang Khalifah
sendiri di Madinah, Khalifah Usman memerintahkan supaya umat islam
berpegang kepada mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan
penyalinan berikutnya.
Dengan demikian manfaat pembukuan Al-Qur’an di masa Khalufah
Usman bin Affan adalah :
a.       Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam
ejaan dan tulisannya
b.      Menyatukan bacaan, dan walaupun masih terjadi perbedaanya. Namun
harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf usmani. Dan bacaan-
bacaan yang tidak sesuai tidak diperbolehkan

7
c.       Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti
pada mushaf-mushaf sekarang5[5].
Sejak itulah pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur
menjadi satu sebagaimana yang tertulis dalam mushaf usmani, dan
yang lainnya ditetapkan tidak sah dan akhirnya ditinggalkan.

Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin


yang tidak berbahasa Arab, maka para guru Al-Qur’an telah
mengusahakan antara lain :
a.       Mengembangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik yang kemudian
memunculkan ilmu Tajwid Al-Qur’an.
b.      Meneliti cara membaca Al-Qur’an (qira’at) yang telah berkembang pada
masa itu, mana-mana yang sah dan sesuai dengan bacaan yang tertulis
dalam mushaf, dan mana-mana yang tidak sah. Hal ini kemudian
memunculkan ilmu qira’at, yang kemudin kita kenal dengan Qira’at al
Sab’ah.
c.       Memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi
mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar membaca
Al-Qur’an.
d.      Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang
dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian
berkembang menjadi Ilmu Tafsir.
Oleh karena itu, pengajaran bahasa Arab, dengan kaidah-
kaidahnya, selalu menyertai pengajaran Al-Qur’an kepada kaum
muslimin non Arab, dengan tujuan agar mereka mudah membaca dan
kemudian memahami Al-Qur’an yang mereka pelajari. Akhirnya Al-
Qur’an secara utuh, baik bacaan, tulisan, maupun pengertiannya
menjadi milik dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nilai

8
budaya mereka, dan diharapkan mereka mampu mengembangkan dan
mewariskannya kepada generasi berikutnya
C.     Pertumbuhan dan Perkembangan Kebudayaan Islam.
Pendidikan islam pada dasarnya adalah mewariskan nilai
kebudayaan islam kepada generasi muda dan mengembangkannya
sehingga mencapai dan memberikan manfaat maksimal bagi hidup dan
kehidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya. Jika
perkembangan pendidikan islam pada masa Rasulullah adalah
merupakan masa penyemaian niali kebudayaan islam kedalam sistem
kebudayaan bangsa Arab, maka pendidikan islam yang telah
berkembang pada saat ini adalah merupakan pemupukan secara luas
nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh dengan subur dalam
lingkukngan yang lebih luas.

Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar


manusiawi dengan landasan petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti
menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan
mewujudkannya dalam sistem budaya manusiawi yang islami. Sehingga
wajar apabila islam menerima budaya yang sesuai ajaran islam dan
menolak semua budaya yang menyimpang dari ajaran yang islami lalu
menggantinya dengan ajaran yang baru yang bersifat islami.

Masalah yang pertama dialami oleh para sahabat begitu rasulullah


wafat ialah siapa dan bagaimana pengganti yang menggantikannya.
Berbagai pandangan berkembang dikalangan sahabat tentang siapa
yang berhak menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemegang
kekuasaan tertiggi. Ali bin Abi Thalib pun merasa berhak menggantikan
nabi karna faktor pewarisan, namun para sahabat sepakat menunjuk
Abu Bakar sebagai kholifah pengganti Rasulullah.

9
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut kekuasaan pada masa Ali,
maka sistem politik mengalami perubahan dengan banyak dipengaruhi
oleh kekuasaan raj-raja Romawi. Dengan berkembangnya sistem politik
ini, berkembang pulalah pola dan corak kehidupan masyarakatnya. Pola
kehidupan yang lama ingin dipertahankan oleh masyarakat, sehingga
menimbulkan banyak permasalahan yang membuat para sahabat
terpaksa untuk membuat ketentuan hukum.

Sebenarnya Rasulullah telah memberikan pedoman untuk


menentukan memberikan keputusan hukum terhadap masalah-masalah
baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Yang terang kum
dalam sebuah hadits yang meriwayatkan tentang percakan Rasul
dengan Muadz bin Jabal ketika ia diangkat sebagai hakim di kota Syam.

Petunjuk nabi Muhamad tersebut adalah dalam memberikan


keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an, jika tidak ada hendaknya dicari
dalam As-sunnah atau hadits, dan apa bila tetap tidak menemukan
maka menggunakan fikiran yang berupa ijtihad untuk memberikan
ketentuan hukum.

Dalam praktenya ternyata para sahabat tetap merasa kesulitan


dalam menentukan hukum, disamping Al-Qur’an hanya menjelaskan
ketentuan hukum secara umum, ternya para sahabat juga memiliki
masalah dalam menentukan hadits yang sesuai, karena para sahabat
tidak semuanya menghafal hadits. Suatu perkara tersebut menjadi
sangat jelas ketika terdapat permasalah yang jauh dari para sahabat.
Sehingga timbullah pertanyaan tentang bagaimana pengunaan ra’yu
ijtihad.

Dalam berijtihad kemudian berkembang dua pola, yakni Ahl Al-


Hadits dalam memberikan ketentuan hukum sangat bertegangan

10
dengan hadits-hadits Rasulullah, sehingga bagaimanapun mereka
berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat
yang lain. Sehingga terjadilah usaha pengumpulan hadits-hadits pada
masa Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Kemudian pola yang kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl


Ar-ra’yu (ahli fikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang mereka
terima dan terdapatnya banyak hadits palsu, sehingga mereka hanya
menerima hadits-hadits yang sokheh saja dan lebih banyak
menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga ra’yu mendorong
terhadap penelitian tentang hadits, yang kemudian lahirlah ilmu hadits.

Berhadapan dengan pemikiran teologis dari orang kristen yang


ingin merusak ajaran islam, maka dalah islam berkembanglah ilmu
teologi yang semula digunakan khusus untuk melawan pemikiran
teologis dari orang kristen, yang dikenal dengan ilmu kalam. Kemudian
ilmu kalam ini berkembang menjadi ilmu yang membahas tentang
berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia islam.

Pada garis besarnya, pemikiran islam dalam pertumbuhannya


muncul dalam tiga pola, yaitu :

a. Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-


dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap
dogma-dogma agama. Pola pikir ini terikat pada ayat-ayat Al-
Qur’an dan hadits.menurut pola pemikiran ini, kebenaran hanyalah
didapat dari wahyu sedangkan akal berfungsi sebagai alat
penerimanya.
b. Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan
akal fikiran. Pola fikir ini menganggap bahwa akal fikiran
sebagaimana juga halnya dengan wahyu, adalah merupakan
sumber kebenaran. Akal digunakan sebagai alat untuk mencari

11
kebenaran sedangkan wahyu hanya digunakan sebagai penunjang
untuk mencari kebenaran.
c. Pola berfikir yang bersifat batiniyah dan intuitif yang berasal dari
mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Menurut
pemikiran ini kebenaran yang tertinggi adalah diperoleh dari
pengalaman-pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan
dengan jalan berkontemplasi. Dalam proses pemikiran ini, seorang
yang ingin mendapatkan kebenaran harus melalui beberapa
tahapan.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

12
Dari uraian makalah kami, nampak bahwa keluasan wilayah
kekuasaan islam dan banyaknya wilayah-wilayah yang memeluk islam
sehingga menjadi semakin luas pula ruang perkembangan kebudayaan
yang islami. Bermacam-macam ilmu pengetahuan tumbuh yang pada
mulanya behubungan erat dengan mengajarkan Al-Qur’an, kemudian
meluas kebidang hukum fiqih dengan berbagai madzhab yang
ditimbulkannya. Dibidang pemikiran Islam berkembang berbagai pola
yang merupakan pengembangan yang lebih luas dari ajaran-ajaran
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah tentang pertumbuhan dan perkembangan


pendidikan islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, atas
kesalahan dalam penulisan makalah ini kami mohon maaf, selanjutnya
kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

13
1.      Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam,2010. Jakarta: Rajawali
Pers
2.      Fahidin, Fuad Muhammad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1985.
Jakarta: Bulan Bintang
3.      Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, 1995, Jakarta: Bumi Aksara

14

Anda mungkin juga menyukai