Bahan Tugas Organisasi Kedaerahan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 63

 Gerakan Pemuda

Gerakan pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi


Utomo, namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh
golongan tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa
dan keluar dari organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya
pada tanggal 7 Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman
Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi. 

Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan


oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah
menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan
mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah sebagai
berikut:

1) mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah


menengah dan perguruan kejuruan;
2) menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;
3) membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.

Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan


yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro
Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan
antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena
sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak
berbudaya Jawa) kurang senang. 

Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni


1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan
anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya
supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya
dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta
pada budaya sendiri.

Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga


membentuk organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong
Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi, Sekar
Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua organisasi itu
masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah
kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.

Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak, Bugis, Ambon, Dani,


Asmat dan Tionghoa
1. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak

Masyarakat Dayak terdapat di pedalaman Kalimantan. Pada umumnya mereka


hidup dengan bertani dan berladang yang dilakukan secara berpindah-pindah.
Selain itu mereka juga berburu dan menangkap ikan. Kegiatan berladang yang
dilaksanakan secara berpindah-pindah tersebut disesuaikan dengan siklus
penanaman yang berganti-ganti.
Sebagian besar masyarakat Dayak masih menganut kepercayaan, yakni
Kaharingan. Kaharingan merupakan suatu aliran kepercayaan yang memuja
nenek moyang dan dewa-dewa. Mereka juga percaya akan adanya kekuatan gaib
yang menguasai alam, seperti hujan, gempa bumi, gunung, halilintar, dan lain
sebagainya. Di antara roh-roh gaib yang mereka percayai, terdapat roh tertinggi
yang disebut dengan Alatalia. 

Orang Dayak juga percaya jika makan binatang-binatang penakut, mereka juga
akan menjadi penakut. Itulah sebabnya pada umumnya mereka tidak makan
daging kijang, karena kijang dianggap sebagai hewan penakut. Di kalangan
masyarakat Dayak terdapat pendeta laki-laki dan perempuan yang bertindak
sebagai dukun atau syaman. Pada saat syaman yang sedang melaksanakan
kewajibannya biasanya menggunakan juru bahasa karena bahasa yang digunakan
oleh syaman adalah bahasa Sang Iyang yang tidak dimengerti oleh masyarakat
Dayak secara umum.

Sistem kekerabatan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, baik Ngaju, Oy


Danum, maupun Ma’ayam merupakan sistem kekerabatan yang menganut
prinsip keturunan ambilineal. Pada zaman dahulu, di daerah Kalimantan Tengah
masih terdapat rumah-rumah panjang, maka kelompok kekerabatan yang
terpenting adalah keluarga ambilineal kecil.

Bentuk keluarga ini muncul jika terdapat keluarga luas yang utrolokal. Pada
masa-masa sekarang ini, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga
luas utrolokal yang biasanya terdapat dalam rumah tangga. Rumah tangga dalam
kehidupan masyarakat Dayak juga berlaku sebagai satu kesatuan fisik, misalnya
dalam upacara-upacara Kaharingan. Setiap keluarga luas masing-masing
memiliki roh pelindung dan di antaranya memuja rohroh nenek moyangnya
sendiri.

Masyarakat Dayak mengembangkan beberapa kegiatan kesenian seperti seni


ukir, seni bangunan, seni kerajinan anyaman, dan sebagainya. Disamping itu
juga memiliki seni bela diri sejenis gulat atau sumo yang merupakan ajang adu
kekuatan antara sesame kaum lelaki.

2. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Bugis-Makasar

Masyarakat Bugis-Makasar merupakan masyarakat yang berada di jazirah


selatan dari pulau Sulawesi. Sejak zaman dahulu masyarakat Bugis-Makasar
dikenal sebagai pelaut-pelaut yang ulung. Mereka membuat perahu-perahu layar
dengan tipe pinisi dan lambo yang sanggup mengarungi perairan nusantara,
bahkan sampai juga ke daerah Filipina dan Sri Langka untuk berdagang. 

Mereka juga memiliki hukum niaga dalam pelataran yang dikenal dengan istilah
ade’alloping-loping bicaranna pabbalu’e. Hukum niaga tersebut ditulis pada
daun lontar oleh Amanna Gappa pada abad ke-17. Disamping berdagang dan
menangkap ikan di laut, masyarakat Bugis-Makasar juga bercocok tanam yang
dilakukan dengan berkebun dan berladang.

Masyarakat Bugis-makasar tradisional secara umum masih memegang adat


istiadatnya yang dianggap sakral yang disebut dengan panggandereng. Sistem
adat masyarakat Bugis-Makasar didasarkan pada lima unsur pokok, yaitu: (1) ade
atau ada, (2) bicara, (3) rapang, (4) wari, dan (5) sara. Kelima unsur tersebut
terjalin satu sama lain menjadi satu kesatuan organisasi dalam alam pikiran
masyarakat Bugis-Makasar sehingga memberikan harga diri, martabat, dan rasa
sentimen dan identitas sosial bersama.

Perkawinan yang ideal menurut masyarakat Bugis-Makasar adalah perkawinan


yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Perkawinan antara dua saudara sepupu yang sederajat kesatu, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu. Perkawinan jenis ini dikenal dengan istilah
assialang marola.

b. Perkawinan antara dua saudara sepupu yang sederajat kedua, baik dari pihak
ayah maupun ibu. Perkawinan jenis ini dikenal dengan istilah ssialana.

c. Yakni perkawinan antara dua saudara sepupu yang sederajat ketiga, baik dari
pihak ayah maupun ibu. Perkawinan jenis ini dikenal dengan istilah
epaddeppe’mebelae.

Bahasa yang dipergunakan di kalangan masyarakat Bugis adalah bahasa Ugi,


sedangkan bahasa yang dipergunakan di kalangan masyarakat Makasar adalah
bahasa Mangasara. Masyarakat Bugis-Makasar memiliki kelebihan dalam seni
sastra dan seni kerajinan. Dalam bidang kesusastraan, naskah kuno ditulis
dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Setelah masuknya agama Islam,
naskah tersebut disaling dengan menggunakan bahasa Arab. Buku kesusastraan
asli yang terkenal yaitu buku Sore Galigo merupakan himpunan mitologi yang
dianggap keramat.

3. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Ambon

Pulau Ambon merupakan salah satu pulau yang ada di kepulauan Maluku.
Masyarakat Ambon termasuk masyarakat Maluku Utara yang disebut dengan
suku Tobelo. Secara umum, masyarakat Ambon merupakan masyarakat agraris
yang bekerja sebagai petani dan penangkap ikan. Jenis-jenis tanaman yang
dikembangkan di antaranya adalah sagu, padi, jagung, serta berbagai jenis buah-
buahan. 

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat Ambon. Pohon sagu tumbuh
subur di hutan-hutan dan di rawa-rawa. Pohon yang dianggap telah cukup umur,
yakni sekitar 6 sampai dengan 15 tahun, akan ditebang karena sudah cukup
masak untuk menghasilkan sagu, kemudian batangnya dibelah dan terasnya yang
terdiri dari serat-serat berisi tepung dipukul-pukul agar terlepas. Selanjutnya
serat-serat tersebut dicuci dan diperas dengan menggunakan saringan. Tepung-
tepung yang dihasilkan dicetak dalam bentuk kotak-kotak empat persegi dengan
menggunakan daun sagu.

Sebagian masyarakat Ambon masih memuja roh-roh halus dengan cara diberi
makan, minum, dan dibuatkan tampat tinggal agar tidak mengganggu kehidupan
sehari-hari. Untuk memasuki tempat roh halus atau dikenal dengan istilah
belieu, mereka harus melakukan upacara tertentu dengan maksud mohon ijin
kepada roh halus yang dimaksudkan. 
Upacara tersebut dipimpin oleh tuan negeri yang dikenal dengan istilah
mauweng, yakni perantara antara manusia dengan roh-roh halus. Orang yang
masuk ke belieu harus memakai pakaian adat, yakni berwarna serba hitam
dengan sapu tangan merah yang dikalungkan di bahu.

Masyarakat Ambon mengembangkan sistem kekerabatan berdasarkan hubungan


patrilineal yang dibarengi dengan pola patrilokal. Kesatuan kekerabatan yang
amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam,
yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Disamping itu,
masyarakat Ambon juga mengembangkan sistem kekerabatan yang lebih besar
yang dikenal dengan istilah famili. Famili merupakan kesatuan kekerabatan yang
masih memiliki hubungan nenek moyang.

Masyarakat Ambon memiliki kesenian yang menonjol, terutama dalam hal seni
suara dan seni musik. Selain itu mereka juga mengembangkan seni ukir, dan seni
kerajinan tenun. Seni ukir digunakan untuk menghiasi rumah-rumah adat yang
mereka bangun.

4. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dani dan Asmat

Dr. Hagen mengkalisifikasikan penduduk di pulau Irianjaya menjadi dua bagian


wilayah, yaitu: (1) penduduk yang berdiam di daerah pantai, dan (2) penduduk
yang berdiam di pedalaman atau pegunungan. Di daerah pedalaman terdapat
suku-suku kerdil, dengan tinggi rata-rata 144,9 cm, yakni Suku Pasechem, Suku
Kamaweka, Suku Tapiro, Suku Dani, Suku Asmat, dan suku-suku lain yang ada di
pantai utara pulau Irianjaya. Dengan demikian, masyarakat Dani dan Asmat
merupakan masyarakat yang mendiami pulau Irianjaya.

Mata pencaharian utama masyarakat Dani dan Asmat adalah bercocok tanam,
menangkap ikan, berburu, dan mengumpiulkan hasil-hasil hutan. Sagu dan
kelapa merupakan makanan pokok di kalangan mereka. Secara umum pola
kehidupan yang mereka kembangkan masih sangat sederhana.

Kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat Dani dan Asmat pada


dasarnya merupakan kebudayaan peralihan antara kebudayaan Melayu dan
kebudayaan Melanesia. Mereka telah mengenal pembagian tugas yang
didasarkan atas jenis kelamin. Tugas-tugas yang berat seperti berburu,
menebang kayu, membangun jembatan, membangun rumah, dan sebagainya
dikerjakan oleh kaum pria, sedangkan pekerjaan yang dianggap ringan seperti
menanam, menganyam jala, mengumpulkan hasil hutan, dan sebagainya
dikerjakan oleh kaum wanita.

5. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa

Secara umum masyarakat Indonesia sudah mengenal orang-orang Tionghoa,


tetapi sebagian besar belum mengenal dengan sewajarnya. Pada dasarnya orang-
orang Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari beberapa suku bangsa yang
berasal dari dua propinsi, yaitu Fukien dan Kwangtung. Setiap imigran Tionghoa
ke Indonesia selalu membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri.
Setidaknya terdapat empat bahasa Cina yang dipergunakan di Indonesia, yaitu
bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton.
Imigrasi orang-orang Tionghoa ke Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-16
sampai sekitar pertengahan abad ke-19. kebanyakan dari mereka berasal dari
suku bangsa Hokkien dari propinsi Fukien bagian selatan. Para pendatang ini
memiliki kepandaian dalam hal berdagang. Pada umumnya suku bangsa
Hokkien ini bertempat tinggal di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Pantai Barat Sumatera.

Imigran Tionghoa lainnya adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai
selatan negeri Cina, bagian timur propinsi Kwantung. Orang-orang Teo-Chiu dan
Hakka kebanyakan bekerja sebagai kuli di perkebunan dan pertambangan.
Kebanyakan mereka bertempat tinggal di Kalimantan Barat, Sumatera Timur,
Bangka, Biliton, Jakarta, dan Jawa Barat. Orang Hakka merantau karena
terpaksa. Selama berlangsungnya gelombang imigrasi dari tahun 1850 sampai
1930, orang Hakka merupakan yang paling miskin di antara para perantau Cina.

Pendatang lainnya adalah orang-orang Kanton. Seperti orang-orang Hakka,


orang-orang Kanton juga terkenal sebagai kuli di perkebunan dan pertambangan.
Mereka bermigrasi ke Indonesia pada abad ke-19 sebagai penarik tambang di
pulau Bangka. Orang-orang Kanton ini memiliki keahlian dalam hal
pertukangan, pemilik took-toko besi, dan industri kecil. Saat ini, orang-orang
Kanton lebih menyebar ke di kota-kota di seluruh wilayah Indonesia.

Meskipun para pendatang Cina sesungguhnya terdiri dari empat suku bangsa,
namun dalam pandangan bangsa Indonesia secara awam terdiri dari dua
golongan, yakni Tionghoa Totok dan Tinghoa Peranakan. Tionghoa totok
merupakan para pendatang Tionghoa yang masih berpegang teguh dengan
identitas, adat istiadat, dan bahasanya sehingga sulit berakulturasi dengan
bangsa Indonesia.

Sedangkan Tionghoa Peranakan merupakan pada pendatang Tionghoa yang


sudah melakukan pendekatan-pendekatan dan bahwa melakukan perkawinan
dengan bangsa Indonesia. Kebanyakan dari Tionghoa peranakan ini sudah lupa
pada identitas, adat istiadat, dan bahasanya sendiri, diganti dengan identitas,
adat istiadat, dan bahasa yang ada di lingkungan tempat tinggalnya di Indonesia.

Ditinjau dari mata pencahariannya, sekitar separuh dari orang-orang Hokkien,


yang ada di Indonesia bekerja sebagai pedagang. Namun demikian, di Jawa
Barat, dan di pantai barat Sumatera orang-orang Hokkien bekerja sebagai petani
dan menanam sayur mayor. Di Siapiapi (Riau) orang-orang Hokkien bekerja
sebagai penangkap ikan.

Orang Hakka di Jawa dan Madura kebanyakan bekerja sebagai pedagang dan
pengusaha industri kecil. Di Sumatera orang-orang Hakka bekerja di
pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat kebanyakan mereka bekerja
sebagai petani.

Orang Teo Chiu kebanyakan bekerja sebagai petani dan penanam sayur mayur.
Di perkebunan Sumatera Timur sebagian besar di antara mereka bekerja sebagai
kuli perkebunan. Sedangkan di Kalimantan Barat mereka bekerja sebagai petani.
Beberapa orang Teo Chiu yang ada di kota-kota di Indonesia bekerja sebagai
pedagang dan pengusaha industri kecil.
Orang-orang Kanton di Jawa mempunyai perusahaan industri kecil dan
perusahaan dagang hasil bumi. Di Sumatera kebanyakan di antara mereka
bekerja sebagai petani, penanam sayur mayor, dan buruh tambang. Sedangkan di
Palembang banyak orang Kanton yang bekerja sebagai tukang dalam industri
minyak.

Dalam hal perdagangan, orang-orang Tinghoa membuat organisasi yang


didasarkan atas sistem kekerabatan. Sebagian besar usaha orang Tionghoa
adalah kecil seperti kantor dagang, took, atau gudang yang diurus oleh satu
keluarga tanpa membutuhkan pekerja yang diambil dari luar. Jika usahanya
menemui sukses, biasanya mereka membuka cabang di kota lain dalam bentuk
yang sama dan dipegang oleh seorang saudara atau kerabat lainnya.

Usaha perdagangan orang Tionghoa di Indonesia biasanya tidak tetap. Mereka


selalu terancam kebangkrutan. Oleh karena itu, di antara perusahaan mereka
jarang yang mampu bertahan sampai tiga generasi. Salah satu sebab
kebangkrutan itu adalah kegoncangan harga pasar yang selalu berada di luar
pengetahuan mereka.

Organisasi perdagangan yang kecil dan pembagian yang merata di antara


keturunannya menyebabkan mereka selalu memulai suatu usaha dengan modal
yang kecil. Kebanyakan keturunan mereka tidak memperhatikan usaha orang
tuanya, sehingga perusahaan itu akan mati bersamaan dengan meninggalnya
orang tua di antara mereka. Hak milik hasil usaha dipegang oleh seluruh anggota
keluarga ditambah dengan famili terdekat. Dengan demikian, usaha anggota
keluarga dengan mudah dapat dipersatukan.

Karena sebagian besar orang Tionghoa tinggal di perkotaan, maka


perkampungan mereka biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang saling
berhadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Biasanya merupakan rumah-
rumah petak di bawah satu atap yang tidak memiliki pekarangan. Ciri khas
rumah orang Tionghoa kuno adalah pada bagian ujung atapnya berbentuk lancip
ditambah dengan hiasan berupa ukiran naga. 

Dalam satu perkampungan biasanya terdapat satu atau dua kuil. Kuil-kuil
tersebut bukanlah merupakan tempat ibadah, melainkan merupakan tempat
orang-orang meminta berkah, meminta anak, dan tempat orang mencurahkan
rasa gembira atas kesuksesan yang diraih. Untuk itulah mereka membakar hio
(dupa) kepada dewa yang dianggap sebagai pelindungnya.

Orang Tionghoa dianggap sudah dewasa dan menjadi orang setelah


melaksanakan perkawinan. Itulah sebabnya upacara perkawinan biasanya dibuat
mahal, dan unik, karena dianggap merupakan suatu bagian penting dalam
kehidupan masyarakat Tionghoa. Upacara perkawinan tersebut biasanya diatur
sepenuhnya oleh orang tua dari kedua belah pihak.

Bentuk rumah tangga yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa adalah keluarga
luas yang terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu: 
(1) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan
hanyan anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya, ditambah dengan
saudara-saudaranya yang belum kawin, dan 
(2) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan
anak-anak laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing masing.

Orang-orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan


terkecil bukanlah keluarga batih, melainkan keluarga luas yang virilokal. Oleh
karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah akan lebih erat
dibandingkan dengan hubungan dengan kaum kerabat pihak ibu.

Demikianlah Materi Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Dayak,


Bugis, Ambon, Dani, Asmat dan Tionghoa, semoga bermanfaat.

Organisasi Kedaerahan: Peran dan Kontribusinya untuk Kampung Halaman 02


Desember 2015 17:21:45 Diperbarui: 02 Desember 2015 17:45:11 Dibaca : 185
Komentar : 0 Nilai : 0 Di era desentralisasi ini peran serta dari semua elemen
masyarakat tak terkecuali mahasiswa tidak dapat dielakkan lagi dalam membangun
dan mengelola daerahnya sesuai dengan sumber daya masing-masing.
Mahasiswa memiliki  peran strategis dalam hal pemerataan pembangunan daerah
dan pemberdayaan masyarakat lokal (baca:kampung halaman). Hal tersebut tercantum
secara jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada
masyarakat. Namun hari ini, kesadaran akan tanggung jawab yang demikian--semisal 
transformasi pola pikir, belum tersentuh secara maksimal, khususnya bagi organisasi
mahasiswa kedaerahan yang secara institusional sebagai wadah mahasiswa dalam hal
memfasilitasi peran strategisnya. Fenomena tersebut tentu penting untuk kita pikirkan
bersama, dipersiapkan secara cermat dan profesional oleh segenap
organisasi mahasiswa kedaerahan. Ini dilakukan guna menunjang, paling
tidak mengoptimalkan pembangunan daerah dengan tetap berlandas pada
nilai kedaerahan, sosial budaya, ekonomi, politik, dan religi, sehingga mampu
membangun daerah secara mandiri serta memiliki daya saing dengan daerah lainnya.
Menghadapi tantangan serta peluang semacam itu, maka diperlukanlah sebuah
revitalisasi peran fungsional organisasi mahasiswa kedaerahan. Ini dibutuhkan untuk
membentuk pelajar dan mahasiswa yang peduli dan bertanggung jawab terhadap
pembangunan daerah secara cerdas, kreatif, dan inovatif. Peran serta pemerintah
daerahpun sangat diperlukan guna memfasilitasi keberadaan mahasiswa rantau ini.
Sebagai seseorang yang diharapkan oleh keluarga untuk menuntut ilmu dalam rangka
meningkatkan taraf hidup, menambah wawasan dan meningkatkan pola pikir,
mahasiswa juga punya tanggung jawab; setelah menyelesaikan kuliahnya, mereka bisa
kembali ke rahim di mana ia terlahir untuk membangun daerahnya masing-masing. Baik
dari segi sosial, budaya, ekonomi, bahkan dalam hal mentransformasi nilai-nilai yang
bisa mengembangkan pola pikir masyarakat luas. Krisis nasional dalam hal pemerataan
pembangunan dan lunturnya budaya lokal, hendaknya menyadarkan kita khususnya
mahasiswa yang telah meninggalkan kampung halamannya, dengan kembali mbangun
deso adalah sebuah wujud nyata pengabdian kita bagi sesama. Mereka, pergi
merantau untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Mereka tentu patut disadarkan
bahwa pemerataan pembangunan dan penguatan budaya lokal ternyata bukan hanya
tanggung jawab pemerintah dan rakyat yang tinggal di daerah tersebut, tetapi juga
mahasiswa-mahasiswa daerah itu sendiri yang notabene merupakan duta rakyat dalam
hal memfasilitasi proses transformasi budaya dan teknologi di daerahnya. Hal tersebut
harus sepenuhnya kita sadari bersama. Kenyataan lain yang selayaknya dicermati
adalah timbulnya kesadaran mahasiswa sebagai duta masyarakat daerah yang
menghimpun diri dalam suatu organisasi kedaerahan. Tentunya mereka semua
diharapkan mampu mengobati kegelisahan akan kurangnya peranan mahasiswa dalam
membangun daerahnya. Sebuah organisasi kedaerahan, seperti Ikatan Mahasiswa
Tegal (IMT), yang kini membumi di ujung selatan Ibukota Jakarta, hendaknya mampu
menyadarkan kita akan arti strategis organisasi kedaerahan dalam mengemban
amanah dan cita-cita rakyat untuk membangun daerahnya. Sekaligus arti penting ini
menyadarkan organisasi kedaerahan akan tanggungjawabnya, baik secara moril
maupun materil kepada daerahnya masing-masing.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fakhrur_izza/organisasi-kedaerahan-
peran-dan-kontribusinya-untuk-kampung-halaman_565ec639727a61cc091a96d6

Etimologis[sunting | sunting sumber]
Menurut Hikayat Banjar, dahulu kala penduduk pribumi Kalimantan Selatan belum
terikat dengan satu kekuatan politik dan masing-masing puak masih menyebut dirinya
berdasarkan asal Daerah Aliran Sungai misalnya orang batang Alai, orang batang
Amandit, orang batang Tabalong, orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas,
dan sebagainya. Sebuah entitas politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang
mempersatukan puak-puak yang mendiami semua daerah aliran sungai tersebut.
Negara Dipa kemudian digantikan oleh Negara Daha. Semua penduduk Kalimantan
Selatan saat itu merupakan warga Kerajaan Negara Daha, sampai ketika seorang
Pangeran dari Negara Daha mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Barito yaitu
Kesultanan Banjar. Dari sanalah nama Banjar berasal, yaitu dari nama Kampung
Banjar yang terletak di muara Sungai Kuin, di tepi kanan sungai Barito. Kampung ini
dipimpin oleh seorang Patih (Kepala Kampung) yang bernama Patih Masih. Gabungan
nama kampung Banjar dan nama Patihnya tersebut sehingga kampung ini lebih dikenal
dengan nama panjangnya Kampung Banjar Masih. Kelak kampung ini berkembang
menjadi Kerajaan Banjar Masih dengan raja pertama Sultan Suriansyah, yang
merupakan keponakan dari penguasa Kerajaan Hindu Negara Daha yang terletak di
pedalaman.
Kerajaan Banjar Masih merupakan kerajaan baru yang muncul untuk memisahkan diri
dari Negara Daha. Kerajaan Banjar Masih dengan rakyatnya yang dikenal
sebagai orang Banjar Masih, merupakan entitas politik yang dibenturkan
dengan orang Negara Daha (atau disebut juga orang Banjar Lama/proto Banjar)
yang merupakan warga negara Kerajaan Negara Daha yang menjadi rivalnya. Kerajaan
Negara Daha (atau disebut juga wilayah Batang Banyu) akhirnya berhasil ditaklukan
dan wilayahnya dimasukan ke dalam Kerajaan Banjar Masih. Kekuatan Kerajaan Banjar
Masih didukung penuh oleh Kesultanan Demak yang memberi persyaratan bahwa raja
dan rakyat Banjar Masih (beserta bekas Negara Daha) harus menerima agama baru
yaitu agama Islam, yang kini menjadi identitas orang Banjar sebagai etnoreligius/kultur
grup Muslim yang membedakannya dari masyarakat sekitarnya pada masa itu.
Jadi pada pra-Islam, penduduk kampung Banjar Masih dan kampung sekitarnya yang
ada di hilir sungai Barito tergolong sebagai warganegara Kerajaan Negara Daha
atau Orang Negara Daha. Namun belakangan nama Banjar lebih populer sehingga
dipakai untuk menamakan penduduk pada kedua wilayah tersebut, walaupun pada
kenyataan kebudayaan di wilayah Batang Banyu merupakan kebudayaan Banjar yang
lebih klasik. Penduduk Banjar dan Negara Daha sebenarnya menggunakan bahasa
yang sama namun berbeda dialek. Peperangan antara Banjar melawan Negara Daha
yang dimenangkan oleh Banjar ini hampir mirip dengan peperangan antara Demak
melawan Majapahit yang dimenangkan oleh Demak, namun perbedaannya adalah
Banjar kemudian dipakai sebagai nama etnik dan sedangkan Demak bukan merupakan
nama etnik. Di daerah asalnya yang merupakan pusat budaya Banjar, suku Banjar
terbagi menjadi tiga kelompok menurut lokasi permukimannya, berturut-turut kelompok
pertama yaitu kelompok orang Banjar Masih yang kini lebih dikenal sebagai orang
Banjar Kuala karena secara geografis mendiami bagian kuala/hilir, sedangkan
kelompok kedua yaitu bekas penduduk kerajaan Hindu Negara Daha (Banjar klasik)
dikenal sebagai Banjar Batang Banyu, sedangkan kelompok ketiga dikenal sebagai
Banjar Pahuluan yang hidup secara harmonis dengan tempat tinggal yang bersisian
langsung dengan beberapa sub suku Dayak yang masih menganut agama Kaharingan.
Di wilayah Pahuluan bagian utara masih dapat ditemukan kantong-kantong
permukiman sub-sub Dayak Maanyan seperti Dayak Warukin dan Dayak Dusun
Halong. Sedangkan di wilayah Pahuluan bagian tengah dan selatan, ditemukan sub-
sub Dayak Meratus (Banjar arkhais) seperti Dayak Pitap, Dayak Labuhan dan lain-lain.

Kekerabatan dengan Dayak Meratus menurut mitologi[sunting | sunting sumber]


Mitologi suku Dayak Meratus (Suku Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama
Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si
Ayuh/Datung Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang
Siwara/Bambang Basiwara alias Intingan yang menurunkan suku Banjar. [4] Dalam
khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang
sifatnya mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat
secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita
prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang
orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang
Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai
adik yang berfisik lemah tetapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan
sebagai kakak yang berfisik kuat dan jago berkelahi.
Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak
Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus.
Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah
keberadaannya diceritakan berasal usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di
antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari
Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik
yang sangat menentukan.[5]

Kekerabatan dengan Orang Madagaskar menurut riset genetika[sunting | sunting


sumber]
Penelitian genetika oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan bahwa etnis
Banjar di Kalimantan Selatan sebagai nenek moyang orang Madagaskar. Diaspora
melintasi Samudra Hindia itu terjadi 1.200 tahun lalu dan menjawab teka-teki orang
Indonesia yang menjadi leluhur populasi di lepas pantai timur Afrika tersebut. Dugaan
bahwa nenek moyang orang Madagaskar berasal dari Indonesia sebenarnya telah lama
diketahui.[6][7][8][9]
Dapat dipastikan bahwa 90 persen bahasa Madagaskar berakar dari bahasa Dayak
Ma’anyan yang tinggal di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Kesamaan bahasa itu
yang membuat Dayak Ma’anyan awalnya diduga sebagai leluhur Madagaskar. [10]Riset
genetika yang dilakukan peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan
bahwa genetika Dayak Ma’anyan berbeda dengan orang Madagaskar. Hasil studi
tersebut telah dipublikasikan pada jurnal Nature Scientific Reports edisi 18 Mei 2016. [11]
[12]

Sejumlah peneliti dari Universitas Toulouse, Perancis dan Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman telah mencocokkan genetika orang Madagaskar dengan seluruh data genetik
orang Indonesia lainnya. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan kecocokan genetika
orang Madagaskar dengan orang Banjar. Orang Banjar sendiri terbentuk dari
percampuran Dayak Ma’anyan dengan Melayu. Percampuran itu diduga terjadi karena
kegiatan perdagangan lintas pulau di Nusantara sejak sekitar abad ke-5, dan diduga
semakin intensif di era Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Orang Melayu yang menjadi
nenek moyang orang Banjar ini memiliki kemiripan genetik populasi di Semenanjung
Malaysia saat ini. Komposisi orang Banjar adalah 76-77 persen Melayu dan 23-24
persen Dayak Ma’anyan.
Etnis Banjar berlayar ke Madagaskar 1.000-1.200 tahun lalu, kemudian kawin-mawin
dengan etnis Bantu dari Afrika Selatan. Percampuran genetik antara Banjar dan Bantu
di Madagaskar ini terekam pertama kali sekitar 670 tahun lalu dan kemudian
membentuk populasi Madagaskar saat ini, yang memiliki komposisi genetis etnis Banjar
36-37 persen dan sisanya etnis Bantu dari Afrika. (Kompas, Ahmad Arif, 16 Juli 2016).
[13][14][15][16][17][18][19][20][21][22][23][24][25][26][27][28][29][30][31]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Balai Arkeologi Banjarmasin menemukan bukti bahwa situs Candi Agung, dibangun dan
dihuni dua kali oleh leluhur suku Banjar pada abad ke-3 dan abad ke-13.

Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi
Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan
Widianto, 1998:19-20).
Suku bangsa Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan dan Ngaju
yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak
zaman Sriwijayadan kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh
kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari kerajaan Banjar,
sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar. [32] Suku
bangsa Banjar terbagi menjadi tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang
Banyu, dan Banjar (Kuala). Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah
lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus.
Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala
mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan
dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam dua dialek besar yaitu Banjar
Huludan Banjar Kuala. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum
kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan
Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula
berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama
tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi. [33]
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia. Di
Malaysia, suku Banjar digolongkan sebagai bagian dari Bangsa Melayu.
Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di
sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta
Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur
menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan
Saidullah yang berkembang menjadi beberapa
daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe
Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal.
Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer
orang Banjar, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke
luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang
pembentuk Bangsa Suluk atau Tausug (yakni percampuran orang Buranun, orang
Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang Banjar). [34][35][36][37][38][39][40]
[41]

Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu atau Banjar Kulan terjalin ketika para


pedagang Banjar mengantar seorang Puteri dari Raja Banjar untuk menikah dengan
penguasa suku Buranun (suku tertua di Kepulauan Sulu). Salah satu rombongan
bangsa Suluk yang menghindari kolonial Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan Banjar
adalah moyang dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Suku Banjar juga memiliki
hubungan historis suku Sasak di Kerajaan Selaparang, pulau Lombok. Selain itu Suku
Banjar juga terkait dengan suku Sumbawa di pulau Sumbawa, yang merupakan
gabungan dari lima suku yang menjadi akar masyarakat Sumbawa masa kini, salah
satunya suku Banjar.[42]
Banjar Pahuluan[sunting | sunting sumber]

Orang [Banjar] Pahuluan puak Amandit (Kandangan)


Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keratonyang
dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja
Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk
Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit
ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk pedalaman, yaitu Orang Bukit,
yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama.
Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal
bakal suku Banjar membentuk komplek permukiman tersendiri. Komplek permukiman
cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek
permukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa
sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-
keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga
terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat orang Bukit, yang pada
asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu
di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah permukiman pertama masyarakat
Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan
daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas
menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan
kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut membentuknya. [33]
Banjar Batang Banyu[sunting | sunting sumber]
Perkampungan orang [Banjar] Batang Banyu puak Nagara Daha
Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan
terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali
terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong.
Sebagai warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri,
sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong
adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari Orang Maanyan (dan Orang
Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Banjar
Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana
dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari
bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata
pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.[33]
Banjar Kuala[sunting | sunting sumber]
Perkampungan orang Banjar [Kuala].
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan
Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan
yang baru ini dan bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada
sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa
dengan orang Ngaju, yang seperti halnya dengan masyarakat Bukit dan masyarakat
Maanyan serta Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam
masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat
tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau
menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat
Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang
terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali
mengaku sebagai orang Banjar.[33]
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam
bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai
inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan.
Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur budaya Melayu, Jawa,
Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam,
berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada
dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak
ada, yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala,
kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.
Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang
kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai
dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan
Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-
etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan,
kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya.
Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar,
yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan
sebagainya.[43]
Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju,
dibantu patih-patihnya seperti Patih Belandean, Patih Belitung, Patih Kuwi dan
sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian
pula pendudukDaha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Maanyan.
Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah
setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan
meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi
kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia. [44]
Sosio-historis[sunting | sunting sumber]
Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang
terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah
menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku)
Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang
tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang cukup kompleks.[45]
Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga
telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok
yang ada di sekitarnya yang kini disebut sebagai Dayak, yang umumnya masih
menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-
tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan
sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar. [33]
Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tetapi ia merupakan
konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu
komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar
merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul
beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini
dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demaksebagai
syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya Kesultanan Islam
Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama,
namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu
yang menjadi tempat tinggal[46].
Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok
besar) berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif
kultural dan genetis :

1. Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Bukit
yang berbahasa Melayik (unsur Bukit sebagai ciri kelompok)
2. Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-
Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Maanyan, orang Lawangan, orang
Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Maanyan seperti Debagai ciri
kelompok). Di Kalsel masih dapat ditemukan komunitas sub-Dayak Maanyan
yang masih menganut adat Kaharingan yang bertetangga dengan
perkampungan suku Banjar seperti Dayak Warukin, Dayak Balangan, dan
Dayak Samihim.
3. Grup Banjar Kuala[47] adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang
Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai)[48], orang Kampung Melayu[49], orang
Kampung Bugis-Makassar[50], orang Kampung Jawa[51], orang Kampung Arab[50],
dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Ngaju sebagai ciri
kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup
Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam
perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar
Bakula).
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran
suku Banjar dengan orang Ngaju/serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di
sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai
kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran
suku Banjar dengan orang Maanyan/serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti
Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan,
dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku
Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai
Banjar Pahuluan.

Suku Banjar Perantauan[sunting | sunting sumber]

Peta penyebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah.


Kalimantan Timur dan Utara[sunting | sunting sumber]
Sebelum masa Kesultanan Banjar berhubungan dengan VOC Belanda sekitar 1606,
pada saat itu Kesultanan Banjar merupakan negara maritim di mana pedagang-
pedagang Banjar sudah melakukan hubungan niaga dengan Filipina Selatan (Banjar
Kulan), Brunei, Cochin Cina/Campa, sehingga kawasan timur Kalimantan merupakan
perlintasan jalur perdagangan orang Banjar sejak berabad-abad yang lalu. Sejak itulah
orang Banjar/Kesultanan Banjar melebarkan teritorialnya ke daerah rantau Kalimantan
Timur atau disebut juga negeri-negeri di atas angin dalam Hikayat Banjar.
Suku Banjar membentuk 15 % dari populasi penduduk Kaltim dan terdapat
seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar di Kaltim lebih banyak populasinya
dibandingkan suku Dayak maupun suku Kutai. Di Kota Samarinda dan Balikpapan,
suku Banjar merupakan kelompok etnik asal Kalimantan terbanyak di kedua wilayah
kota tersebut.[52]
Menurut data statistik Kalimantan Timur 2002, Suku Banjar terdapat di Kota Samarinda
(140.761 jiwa), Kota Balikpapan (63.010 jiwa), Kutai Kartanegara (57.506 jiwa), Paser
(32.323 jiwa), Kutai Timur (11.380 jiwa), Berau (9.659 jiwa), Tarakan (8.766 jiwa), Kutai
Barat (6.658 jiwa), Bontang (5.328 jiwa), Bulungan (3.315 jiwa), Nunukan (1.124 jiwa)
dan Malinau (490 jiwa).[53]
Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu
orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan
Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan
cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar
juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di
Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).
Kalimantan Tengah[sunting | sunting sumber]
Kalimantan Tengah termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Daerah-daerah di
Kalimantan Tengah dan seterusnya hingga negeri Sambas di Kalimantan Barat
disebut negeri-negeri di bawah angin dalam Hikayat Banjar. Sudah berabad-abad orang
Banjar melakukan migrasi dan melebarkan teritorialnya ke daerah rantau Kalimantan
Tengah, sehingga menjadikan suku Banjar sebagai kelompok etnik kedua terbanyak
setelah suku Dayak (rumpun Dayak) di wilayah tersebut. Kalimantan Tengah juga
menjadi hunian orang Banjar terbanyak kedua setelah Kalimantan Selatan.
Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk
dan sebagai suku terbanyak di Kalteng. Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku
Banjar terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin
Timur (20,3%), Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara
(2,56%).
Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar
(24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak
Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%)
dan Maanyan (2,80%)[54]. Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit,
Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%.
Besarnya proporsi Suku Banjar dan Jawa di Kalimantan Tengah karena perantauan
orang Banjar asal Kalimantan Selatan dan transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke
Kalimantan Tengah. Orang Banjar secara langsung memanfaatkan berbagai peluang
ekonomi yang masih terbuka luas di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan orang Jawa
yang pindah ke Kalimantan Tengah karena program transmigrasi, orang Banjar pindah
atas kemauan sendiri. Daerah pedalaman Kalimantan Selatan (daerah Pahuluan)
adalah daerah padat penduduk dan sejak lama merupakan sumber migrasi keluar
orang Banjar tidak hanya ke berbagai tempat di Pulau Kalimantan, tetapi juga ke
Sumatera dan Jawa.[55]
Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai
Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timurdan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan,
misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.
Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-
1672), yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang
pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama
orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan
Negara Daha) telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang
kemudian disusul orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu
Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku
Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat
dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada
masa perjuangan Pangeran Antasarimelawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-
suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati)
sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan
di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat dia perjuangannya dilanjutkan oleh
putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.
Jawa Timur[sunting | sunting sumber]
Suku Banjar di Jawa Timur banyak bermukim di Kota
Surabaya, Malang, Pasuruan dan Tulungagung.[56] Di Tulungagung, masyarakat Banjar
merupakan pendatang yang cukup mendominasi terutama dalam perdagangan emas.
Etnis Banjar di Tulungagung merupakan komunitas etnis pendatang yang cukup besar
jumlahnya dibanding etnis Tionghoa dan Arab.[57]
Jawa Tengah[sunting | sunting sumber]

Masjid Kampung Banjar Semarang


Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara
Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa berasal dari Hindustan dan Siam yang
sebelumnya singgah di Nusa Kencana (Kalimantan). [58] Di daratan kota Rembang telah
ditemukan bangkai perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan
Selatan.[59] Berdasarkan Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui bahwa Sultan
Demaktelah mengirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera (raja
Banjarmasih) untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung
penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan akhirnya diraih oleh Pangeran
Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan Pangeran Tumenggung
diizinkan menetap di daerah Alay dengan seribu penduduk. Selama peperangan
tersebut tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki maupun perempuan, yang
kemudian dibawa ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20 orang prajurit Demak yang
gugur. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1520-1526 [60][61] Dewasa ini Suku Banjar
di Jawa Tengahhanya berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota
Semarang dan Kota Surakarta.[62] Dahulu, suku Banjar kebanyakan bermukim di
Kampung Banjar[63] dalam wilayah kelurahan Dadapsari. Kelurahan ini juga dikenal
sebagai Kampung Melayu.
Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di
sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan eks kelurahan Mlayu Darat. Di wilayah
ini suku Banjar membaur dengan etnis lainnya seperti Arab-
Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di
kampung ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) yang sudah
beradaptasi dengan lingkungan setempat, tetapi sayang kebanyakan rumah tersebut
sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang,
rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut. [64]
Sedangkan di Surakarta, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kelurahan Jayengan.
Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan bernama Darussalam, yang diambil dari
nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa
Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh
suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah
menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga
ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan
Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H.
Karim Bey Widaserana dari Barabai. [65]
Sulawesi[sunting | sunting sumber]
Di Makassar, etnis Banjar umumnya sebagai pedagang perhiasan, tukang jahit, tukang
emas, pedagang batu permata dan pembuat kopiah. [66] Diketahui, ada sebuah
perkampungan suku Banjar di Kota Manado yaitu Kelurahan Banjer, yang
mengisyaratkan bahwa ada Suku Banjar yang bermukim di Sulawesi Utara. Selain itu,
ada tokoh Banjar yang lahir di Manado seperti Muhammad Thoha Ma'ruf.
Pada tahun 1884, salah seorang tokoh Perang Banjar bernama Pangeran Perbatasari
(cucu Pangeran Antasari dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Di sana, ia menikah
dengan seorang wanita Jaton (Jawa Tondano). Beberapa tahun kemudian, saudaranya
Gusti Amir juga menyusul ke sana dan menikah dengan wanita Jaton. Orang Jaton
keturunan para pangeran asal Banjar ini menyandang fam Perbatasari dan Sataruno. [67]
Sumatera dan Malaysia[sunting | sunting sumber]
Suku Banjar di Malaysia, mayoritas keturunan Banjar Pahuluan. Selain suku Banjar
juga memasukan keturunan suku Kutai, suku Berau dan suku Bakumpai (Dayak Ngaju
muslim), yang biasa dikategorikan dalam Rumpun Banjar. Negara Malaysia dibentuk
dari gabungan empat negara: Malaya, Sarawak, Sabah dan Singapura (keluar tahun
1965). Berdasarkan sensus 1911 penduduk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat)
yang merupakan suku Banjar berjumlah 21.227 jiwa, dengan komposisi 81% tinggal di
Perak, 13.5% di Selangor dan 3.7% di Johor sedangkan di negara bagian lain
bilangannya kecil. Lebih 88% suku Banjar di Perak tinggal di daerah Kerian, sementara
kebanyakan suku Banjar di Selangor tinggal di Kuala Langat (Tunku Shamsul Bahrin
1964: 150). Pada tahun 1921 suku Banjar meningkat hampir 80% menjadi 37.484 jiwa.
Peningkatan paling besar berlaku di Johor, dari 782 jiwa pada tahun 1911 menjadi
8.365 jiwa pada tahun 1921. Kebanyakan suku Banjar di Johor ditemui di Batu
Pahat (5.711 jiwa) dan di Kukub (1.166 jiwa). Di Perak peningkatan jumlah suku Banjar
terjadi di daerah Hilir Perak, sedangkan di Selangor terjadi di daerah Kuala
Selangor (Tunku Shamsul Bahrin 1964: 151). Antara tahun 1921 hingga 1931
penduduk suku Banjar telah bertambah 7.503 jiwa menjadi 45.351 jiwa. Pada saat itu
Perak, Johor dan Selangor masih merupakan tiga negeri dengan penduduk suku Banjar
terbanyak di mana tinggal 96% suku Banjar yang ada di Malaya. Tetapi dalam periode
itu terjadi sedikit perubahan dalam taburan suku Banjar di Malaya. Jika sebelum itu,
lebih 50% orang Banjar tinggal di Perak, pada tahun 1931, bilangan orang Banjar di
negeri itu telah berkurang. Sebaliknya, bilangan orang Banjar di Johor dan Selangor
telah bertambah, karena sebagian orang Banjar di Perak telah berpindah ke Johor dan
Selangor yang mengalami pembangunan ekonomi yang lebih pesat. [68] sabah suku,
banjar mendominasi di beberapa bagian kota dan kabupaten di sabah iaitu Tawau,
Keningau, sandakan dan mereka suku banjar mendominasi sebanyak 2% suku bangsa
di sabah.
Suku Banjar sudah lama terdapat di Sumatera. [69][70] Berdasarkan sensus tahun 1930,
suku Banjar di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang terdistribusi di Plantation belt
(Pantai Timur Sumatera Utara) 31.108 jiwa, di Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa
dan di Sumatera bagian Selatan 430 jiwa. [71] Belakangan, suku Banjar di Sumatera
banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang
tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak (Paluh Kurau), Pantai
Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari
para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis
Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang
menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawanKesultanan
Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari
wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai musuh politik, mereka sudah dijatuhi
hukuman mati.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis
Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam
kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan
Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa.
Pasukan ResidenBelanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang
sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke
pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad
Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu meninggal di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar
tahun 1885 pada masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri sebelum raja yang
terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman
Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan
menjabat sebagai MuftiKerajaan Indragiri. Suku Banjar juga banyak menyebar di
Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, seperti di pulau Singkep[72]
Sistem kekerabatan[sunting | sunting sumber]
Waring

Sanggah

Datu

Kai (kakek) + Nini (nenek)

Abah (ayah) + Uma (ibu)

Kakak < ULUN > Ading

Anak

Cucu

Buyut

Intah/Muning

Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah


tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN
sebagai penyebutnya.
Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua
disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara
tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa
disebut Pakacil (paman muda/kecil) dan Makacil(bibi muda/kecil), sedangkan termuda
disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan ninisama saja, begitu pula untuk
saudara datu.
Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
 · minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
 · pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
 · mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
 · mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
 · sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
 · mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
 · kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
 · sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
 · maruai (isteri sama isteri bersaudara)
 · ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
 · panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
 · pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
 · badangsanak (saudara kandung)
Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan
kata akuuntuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil
yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.

Kelompok sosial
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Contoh gambar Kelompok Organisasi pada Pusdiklat


Kelompok sosial adalah kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi.[1] Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat.
Kelompok juga dapat memengaruhi perilaku para anggotanya.

Macam kelompok sosial[sunting | sunting sumber]


Menurut Robert Bierstedt, kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan
ada tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis.
Bierstedt kemudian membagi kelompok menjadi empat macam:

 Kelompok statistik, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak memiliki


hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya. Contoh: Kelompok penduduk
usia 10-15 tahun di sebuah kecamatan.
 Kelompok kemasyarakatan, yaitu kelompk yang memiliki persamaan tetapi tidak
mempunyai organisasi dan hubungan sosial di antara anggotanya.
 Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki kesadaran jenis dan
berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi.
Contoh: Kelompok pertemuan, kerabat.
 Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran
jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama.
Dalam asosiasi, para anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan
komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Contoh: Negara, sekolah.

Klasifikasi Kelompok Sosial[sunting | sunting sumber]


Klasifikasi kelompok sosial menurut erat longgarnya ikatan antar anggota menurut
Ferdinand Tonnies:
Paguyuban (gemeinschaft)[sunting | sunting sumber]
Paguyuban atau gemeinschaft adalah kelompok sosial yang anggota-anggotanya
memiliki ikatan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Ciri-ciri kelompok
paguyuban :

 Terdapat ikatan batin yang kuat antaranggota


 Hubungan antar anggota bersifat informal
Tipe paguyuban

 Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood)


Kelompok genealogis adalah kelompok yang terbentuk berdasarkan hubungan
sedarah. Kelompok genealogis memiliki tingkat solidaritas yang tinggi karena
adanya keyakinan tentang kesamaan nenek moyang.
Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.

 Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place)


Komunitas adalah kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan lokalitas.
Contoh: Beberapa keluarga yang berdekatan membentuk RT(Rukun Tetangga),
dan selanjutnya sejumlah Rukun Tetangga membentuk RW (Rukun Warga).
Contoh: Rukun Tetangga, Rukun Warga.

 Paguyuban karena ideologi (gemeinschaft of mind)


Contoh: partai politik berdasarkan agama
Patembayan (gesellschaft)[sunting | sunting sumber]
Patembayan atau gesellschaft adalah kelompok sosial yang anggota-
anggotanya memiliki ikatan lahir yang pokok untuk jangka waktu yang
pendek. Ciri-ciri kelompok patembayan :

 hubungan antaranggota bersifat formal


 memiliki orientasi ekonomi dan tidak kekal
 memperhitungkan nilai guna (utilitarian)
 lebih didasarkan pada kenyataan sosial
Contoh: ikatan antara pedagang, organiasi dalam suatu pabrik atau industri.

Faktor pembentuk[sunting | sunting sumber]


Bergabung dengan sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni dari
diri sendiri atau juga secara kebetulan. Misalnya, seseorang terlahir dalam
keluarga tertentu. Namun, ada juga yang merupakan sebuah pilihan. Dua
faktor utama yang tampaknya mengarahkan pilihan tersebut adalah
kedekatan dan kesamaan.
Kedekatan[sunting | sunting sumber]
Pengaruh tingkat kedekatan, atau kedekatan geografis, terhadap keterlibatan
seseorang dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk
kelompok bermain dengan orang-orang di sekitar kita. Kita bergabung
dengan kelompok kegiatan sosial lokal. Kelompok tersusun atas individu-
individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua
orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara,
dan bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang
interaksi dan bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya
kelompok sosial. Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi, yang memainkan
peranan penting terhadap terbentuknya kelompok pertemanan.

Pembentukan norma kelompok[sunting | sunting sumber]


Perilaku kelompok, sebagaimana semua perilaku sosial, sangat dipengaruhi
oleh norma-norma yang berlaku dalam kelompok itu. Sebagaimana dalam
dunia sosial pada umumnya, kegiatan dalam kelompok tidak muncul secara
acak. Setiap kelompok memiliki suatu pandangan tentang perilaku mana
yang dianggap pantas untuk dijalankan para anggotanya, dan norma-norma
ini mengarahkan interaksi kelompok.
Norma muncul melalui proses interaksi yang perlahan-lahan di antara
anggota kelompok. Pada saat seseorang berprilaku tertentu pihak lain
menilai kepantasasn atau ketidakpantasan perilaku tersebut, atau
menyarankan perilaku alternatif (langsung atau tidak langsung). Norma
terbetnuk dari proses akumulatif interaksi kelompok. Jadi, ketika seseorang
masuk ke dalam sebuah kelompok, perlahan-lahan akan terbentuk norma,
yaitu norma kelompok.

Lembaga[sunting | sunting sumber]
Dalam sosiologi, lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai
tujuan tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. Sistem norma
tersebut mencakup gagasan, aturan, tata cara kegiatan, dan ketentuan
sanksi
Lembaga sosial terbentuk dari norma-norma yang hidup dimasyarakat.
Norma-norma tersebut mengalami pelembagaan, yaitu proses menjadi
bagian dari dari kehidupan masyarakat sehingga dikenal, diakui, dihargai,
dan ditaati. Setelah proses pelembagaan , berlangsung internalisasi, yaitu
proses penyerapan norma-norma oleh masyarakat sehinngga norma-norma
atau telah berakar sebagai pedoman cara berfikir, bersikap, berprilaku dalam
kehidupan sehari-hari.
Lembaga sosial mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Menjaga ketentuan masyarakat.


2. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana
bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah
dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan
manusia
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan
sistem pengendalian sosial terhadap tingkah laku anggota-
anggotanya. [2]
Lembaga pemerintahan saat ini

 Lembaga tinggi negara


 Kementerian negara
 Lembaga pemerintah nonkementerian
 Lembaga nonstruktural
 Lembaga struktural di bawah kementerian negara. [3]
Lembaga pemerintahan yang telah dibubarkan

 Lembaga tinggi negara


 Kementerian negara
 Lembaga Pemerintah Non Departemen
 Lembaga nonstruktural.

Organisasi sosial[sunting | sunting sumber]


Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan
bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama,
manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang tidak dapat mereka capai sendiri. Berdasarkan sifat resmi tidaknya,
dikenal ada dua jenis organisasi sebagai berikut :
Organisasi Formal[sunting | sunting sumber]
Organisasi formal sifatnya lebih teratur, mempunyai struktur organisasi yang
resmi, serta perencanaan dan program yang akan dilaksanakan secara jelas.
contohnya : OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), PSSI (Persatuan Sepak
Bola Seluruh Indonesia), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan lain-
lain.
Organisasi Informal[sunting | sunting sumber]
Karena sifatnya tidak resmi, pada organisasi ini kadangkala struktur
organisasi tidak begitu jelas/bahkan tidak ada. Begitu juga dengan
perencanaan dan program-program yang akan dilaksanakan tidak
dirumuskan secara jelas dan tegas, kadang-kadang terjadi secara
spontanitas.
Contohnya : kelompok pecinta puisi disekolah, fans club suatu Idol grup, dan
lain sebagainya.

DINAMIKA KERUKUNAN INTERN UMAT ISLAM DALAM RELASI ETNISITAS DAN


AGAMA DI KALTENG The Dynamics of Intra-Religious Harmony Within Moslems in
Relation Ethnic Religious Issue In Central Kalimantan Joko Tri Haryanto Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav. 70
Bambankerep, Ngaliyan, Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024- 7611386 e-mail:
[email protected] Naskah diterima: 6 Februari 2013 Naskah direvisi: 22
Pebruari - 3 Maret 2013 Naskah disetujui: 5 Maret 2013 Abstrak Agama Islam dianut
oleh sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah yang terdiri dari berbagai etnis
seperti Dayak, Banjar, Jawa, Madura, dan lainnya. Penelitian ini mengkaji dinamika
hubungan intern umat Islam dalam konteks relasi etnisitas dan agama di Kalimantan
Tengah. Permasalahannya adalah bagaimana dinamika hubungan inten umat Islam,
faktor pendukung kerukunan, dan strategi adaptasi membangun harmoni di Kalimanta
Tengah. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dimana pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara, observasi, Focus Group Discussion (FGD), dan
telaah dokumen. Hubungan intern umat Islam di Kalimantan Tengah diwarnai dengan
tanggapan terhadap konflik etnis tahun 2001 antara Etnis Dayak dan Madura. Faktor
yang mendukung kerukunan yang tercapai saat ini antara lain adanya daya tawar
budaya, simbiosisme ekonomi, peran tokoh masyarakat, dan peran pemerintah.
Adapun strategi adaptasi yang dilakukan untuk memelihara harmoni dilakukan secara
kultural dengan revitalisasi dan akulturasi budaya dan nilai-nilai lokal, serta secara
struktural dengan politik uniformitas baik yang dilakukan oleh pranata Adat Dayak
maupun pemerintah Kalimantan Tengah. Kata kunci: Kerukunan, Budaya Dominan,
Politik Uniformitas, Strategi Adaptasi Abstract Islam is professed by the majority of
people in Central Kalimantan who consists of various ethnic groups such as the Dayak,
Banjar, Javanese, Madurese, and others. This study discusses about the dynamics of
internal relationship among Muslim in the context of the relationship of ethnicity and
religion in Central Kalimantan. The problems are how the dynamics of the internal
relationship amongst Muslims in Central Kalimantan and what factors are supporting to
the reconciliation and adaptation strategies to build harmony amongst them. This
research was carried out with the qualitative approach in which data were collected
through interviews, observation, Focus Group Discussions (FGD), and document
review. The results of the study show that the internal relations among Muslims in
Central Kalimantan was coloured by the responses to the ethnic conflict in 2001
between Dayaknese and Madurese. The study can also reveal that the factors which
support to the achieved-harmony today are include the bargaining power of the culture,
economic simbiosism, the roles of both community leaders and the local goventment.
The adaptation strategies carried out to maintain the harmony were conducted in two
ways: culturally (revitalizing and acculturating cultures and local values) and structurally
(political uniformity which is performed not only by the social institution of Dayaknese
but also by the local government of Central Kalimantan). Keywords: Harmony,
Dominant Culture, Politics Uniformity, Adaptation Strategies JOKO TRI HARYANTO
Dinamika Kerukunan Intern Umat Islam Dalam Relasi Etnisitas Dan Agama Di Kalteng
14 Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni 2013 Pendahuluan Latar Belakang
Kebhinekaan yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia merupakan kekayaan sosial
budaya yang luar biasa. Kenyataannya Bangsa Indonesia bukan saja Bhineka dalam
suku, agama, dan ras, tetapi juga tingkat evolusi kebudayaannya, mulai dari
masyarakat sangat sederhana sampai paling kompleks (Hikam, 2000:14). Kebinekaan
ini di satu sisi menjadikan hubungan simbiosis mutualisme antar segmen masyarakat
dapat terjalin, sebagai struktur fungsional dalam kehidupan sosial. Namun, kebinekaan
juga disadari dapat menjadi sumber konflik yang akan merusak sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat, apabila tidak dikelola oleh anggota masyarakat dengan
baik. Individu-individu dalam masyarakat dengan konfigurasi pemilahan sosial yang
terkonsolidasi cenderung lebih mudah melakukan subyektivitas konflik. Mereka juga
lebih mudah untuk menerjemahkan konflik yang menyangkut kondisi obyektif (objective
conflict) menjadi konflik yang menyangkut pribadi (subjective conflict), misalnya konflik
mengenai persoalan ekonomi atau kriminal biasa berkembang menjadi konflik etnik
atau konflik agama, baik konflik antar agama yang berbeda (inter-religious conflict)
maupun konflik antar umat satu agama (intra-religious conflict) (Tumanggor et.al,
2009:11-12). Umat Islam juga mengalami pemilahan sosial. Oleh karena pemahaman
keagamaan, etnisitas pemeluknya, afiliasi organisasi kemasyarakatan, bahkan aspirasi
politik. Suatu pemahaman keagamaan dapat pula mendorong munculnya gerakan
keagamaan atau menjadi kelompok keagamaan tertentu yang membedakan dirinya
dengan kelompok pemahaman yang lain. Ormas atau organisasi kemasyarakatan bisa
muncul membawa aspirasi pemahaman keagamaan, aktivitas keagamaan, aktivitas
sosial dan ekonomi, maupun politik tertentu. Konfigurasi umat Islam yang semacam ini
juga dapat saja saling kelindan satu aspek dengan aspek yang lain. Suatu ormas Islam
bisa saja diikuti oleh berbagai etnis, berbagai kelompok profesi, maupun memiliki
beberapa aktifitas sosial, ekonomi, atau politik. Demikian juga dimungkinkan ada ormas
yang anggotanya merupakan bagian dari anggota ormas-ormas yang lain. Konfigurasi
lintas ini tentu dapat membangun dinamika yang positif dalam hubungan antarumat
Islam sendiri. Dengan adanya keanggotaan silang dalam kelompok-kelompok di
masyarakat, maka interaksi antarkelompok bisa terjadi secara lebih intens dalam
konfigurasi tersebut. Namun demikian, konfigurasi umat Islam tidak dipungkiri juga
menjadi potensi pemilahan sosial yang rawan konflik. Segregasi sosial akibat
pemilahan ini memungkinkan munculnya batasbatas budaya (cultural boundaries).
Perasaan kelompok bisa terbangun dalam bentuk sentimen kelompok ormas, maupun
kelompok etnis yang semakin mempertegas batas-batas tersebut. Batas-batas budaya
ini apabila mengalami ketegangan maka dapat berpotensi menjadi konflik
antarkelompok. Namun sebaliknya, batas-batas budaya ini dapat menjadi cair dan
lentur oleh karena intensitas interaksi, penerimaan, dan toleransi satu kelompok atas
kelompok yang lain. Bercermin dari pengalaman di Kalimantan Tengah yang pernah
mengalami konflik sosial, yakni antar suku Dayak dan Madura, ternyata masyarakat
memiliki strategi adaptasi yang baik dalam rangka penyelesaian konflik. Masyarakat
Kalimantan Tengah berhasil dengan cepat memulihkan situasi, bahkan merehabilitasi
hubungan lebih cepat dari wilayah lainnya, misalnya konflik di Kalimantan Barat yang
juga melibatkan etnis Madura (Cahyono, 2008). Hal ini diharapkan dapat menjadi model
kerukunan di masyarakat, maupun penyelesaian konflik sosial, khususnya kerukunan
intern umat Islam dalam berbagai konfigurasi sosialnya. Rumusan Masalah Berangkat
dari latar belakang tersebut, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam
beberapa pertanyaan: Joko Tri Haryanto Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni
2013 15 1. Bagaimana dinamika hubungan intern umat Islam di Kalimantan Tengah? 2.
Apa faktor pendukung kerukunan di Kalimantan Tengah? 3. Bagaimana strategi
masyarakat dalam menjaga harmoni di Kalimantan Tengah? Tujuan dan Kegunaan
Penelitian Hasil penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika hubungan
intern umat Islam, faktor pendukung kerukunan internumat Islam, dan strategi adaptasi
masyarakat dalam menjaga harmoni di Kalimantan Tengah. Adapun manfaat penelitian
ini secara teoretik diharapkan memberi informasi dan melengkapi hasil-hasil kajian
tentang persoalan kerukunan umat beragama di masyarakat, khususnya kerukunan
intern umat Islam di Kalimantan Tengah. Adapun manfaat praktis dari hasil penelitian ini
adalah 1) untuk bahan penyusunan kebijakan dalam bidang kehidupan beragama
terutama masalah kerukunan intern umat beragama, khususnya umat Islam oleh
Kementerian Agama terutama Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), dan
Direktorat Jenderal Bimas Islam; 2) bahan evaluasi terhadap rehabilitasi dan pemulihan
kerukunan masyarakat di Kalimantan Tengah pasca konflik 2001 bagi pemerintah
khususnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan persoalan kerukunan di
Kalimantan Tengah; dan 3) bahan penyusunan strategi resolusi konflik, rehabilitasi dan
pemulihan kerukunan pada kasus-kasus konflik di masyarakat bagi pemerintah pusat
dan daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam
bidang kerukunan dan resolusi konflik. Kerangka Teoretik Dinamika hubungan dalam
penelitian ini adalah kondisi relasi sosial yang dilakukan antarelemen umat Islam dalam
konteks waktu dan tempat. Relasi sosial ini meniscayakan kemungkinan terjadinya
kohesi maupun segregasi sosial sebagai akibat dari tanggapan masyarakat terhadap
persoalan yang melingkupi dirinya. Internumat Islam adalah bagian-bagian dari struktur
sosial masyarakat yang memeluk agama Islam, dan kaitannya dengan masyarakat
muslim atau umat Islam sebagai bagian dari identitas diri yang mencakup identitas etnis
dan identitas organisasi sosial. Dengan demikian penelitian ini tentang kondisi yang
dinamis dari hubungan antarelemen dalam masyarakat Islam atau internumat Islam,
yakni yang berada di Kalimantan Tengah. Salah satu teori tentang masyarakat adalah
teori fungsionalisme struktural. Teori ini memandang bahwa masyarakat haruslah dilihat
sebagai suatu sistem yang tersusun dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu
sama lain, dan saling pengaruh mempengaruhi antarbagian tersebut secara ganda dan
timbal balik. Dalam sebuah masyarakat, integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan
sempurna, tetapi secara fundamental bergerak ke arah equilibrium yang bersifat
dinamis. Adapun ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan akan
senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada
akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses
institusionalisasi. Dengan demikian perubahan dipandang sebagai proses adaptasi dan
penyesuaian, dan tumbuh bersama dengan differensiasi dan inovasi yang
diintegrasikan melalui pemilikan nilai-nilai yang sama (Zamroni, 1992: 25; Nasikun,
1992: 11-12). Konsep lain yang penting dalam penelitian ini adalah identitas sosial dan
strategi adaptasi. Identitas sosial, menurut Jenkin (dalam Jamil. 2012. 19), secara
sederhana dapat dipahami sebagai konsep mengenai siapa seseorang atau kelompok
orang dikenali oleh orang/kelompok lain, atau juga mengenai seseorang dikenali dalam
kelompoknya sendiri. Dengan demikian identitas sosial merupakan ciri-ciri kelompok
yang membedakan dengan kelompok lain, dalam hal ini dapat berbentuk identitas etnis
(ethnicity) yang terbentuk karena perbedaan budaya, tradisi, dan bahasa. Dinamika
Kerukunan Intern Umat Islam Dalam Relasi Etnisitas Dan Agama Di Kalteng 16 Jurnal
“Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni 2013 Masing-masing kelompok berupaya hidup
bersama dalam perbedaan-perbedaan identitas tersebut dengan mengembangkan
strategi adaptasi, yakni cara-cara yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang
untuk menyesuaikan dirinya dengan perubahan dan situasi sosialnya. Pengertian
adaptasi dalam hal ini merujuk pada mekanisme bagaimana manusia memperoleh
keinginannya atau menyesuaikan hidupnya kepada lingkungan pergaulannya (Jamil.
2012. 30). Dengan strategi atau cara-cara tertentu kelompokkelompok sosial menjalani
hubungan dengan kelompok lainnya dalam masyarakat muslim atau umat Islam guna
memenuhi tujuan-tujuan dirinya. Metode Penelitian Penelitian tentang dinamika
hubungan internumat Islam di Kalimantan Tengah ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan bulan Pebruari-April 2012 di Kalimantan Tengah,
dengan mengambil lokus penelitian di Kota Palangkaraya dan Kota Sampit (Kabupaten
Kotawaringin Timur). Sebagaimana diketahui, Kalimantan Tengah pernah mengalami
konflik sosial antara etnis Dayak dengan Etnis Madura. Kejadian tersebut
mempengaruhi dinamika hubungan internumat Islam di Kalimantan Tengah. Kedua
lokus ini dipandang sebagai representasi dari wilayah Kalimantan Tengah, di mana
Sampit merupakan wilayah awal dari peristiwa konflik tersebut, sementara
Palangkaraya merupakan daerah imbas akibat efek domino konflik yang kemudian juga
menyebar di hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Pengumpulan data-data
lapangan dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dokumen, dan Focus Group
Discussion (FGD). Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur kepada pihakpihak
yang dipandang representatif terkait dengan persoalan penelitian, yaitu tokoh
masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama; anggota masyarakat dari etnis Dayak,
Madura, Banjar, Jawa dan lainnya; warga masyarakat yang berafiliasi pada oganisasi
keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Wawancara ini ditujukan untuk
menggali pandangan mereka terhadap dinamika hubungan internumat Islam, dan
mendalami aspek-aspek terkait dengan persoalan tersebut. Tehnik observasi dilakukan
untuk melihat secara langsung perikehidupan dan interaksi sosial yang dilakukan oleh
umat Islam lintas baik dalam lingkup kelompok tertentu maupun lintas kelompok. Dalam
beberapa kegiatan observasi, peneliti melakukan observasi terlibat (participant
observation) dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama
dalam kegiatan keagamaan, seperti acara “yasin-tahlil”. Telaah dokumen dilakukan
untuk mendapatkan informasi-informasi terkait dengan persoalan penelitian yang
berasal dari dokumen-dokumen tertulis, baik laporan-laporan dari lembaga pemerintah
maupun lainnya, dan perda (peraturan daerah) yang diterbit oleh pemrintah daerah
yang relevan dengan penelitian ini. Adapun Focus Group Discussion (FGD) ini
dilaksanakan dua kali, yaitu di KUA Kecamatan Pahandut dan di Kantor Kemenag
Kotawaringin Timur yang masing-masing diikuti 10 orang tokoh masyarakat lintas etnis
dan lintas ormas. FGD ini dilakukan untuk mengkonfirmasi data-data yang telah
diperoleh, dan menggali informasi-informasi baru yang belum diperoleh dalam tehnik
lainnya. Analisis terhadap data-data penelitian ini dilakukan dengan teknik deskriptif
kualitatif, yang merupakan suatu alur kegiatan yang meliputi : reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan (Moleong,1998: 190). Analisis terhadap data ini
menggunakan paradigma positivisme dengan pendekatan fungsionalisme struktural.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Setting Sosio-Religius Masyarakat Kalteng
Penduduk Kalimantan Tengah secara komposisi cukup heterogen dari sisi agama
maupun etnis. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk
Kalimantan Tengah sebanyak 2.202.599 jiwa (BPS, 2011). Komposisi Joko Tri
Haryanto Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni 2013 17 penduduk berdasarkan
agama menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk beragama Islam, yakni
1.617.812 jiwa (71,99%), diikuti oleh umat Kristen 350.634 jiwa (16%), baru kemudian
Katolik 75.284 jiwa (3,35%), Hindu 191.682 jiwa (8,52%), Budha 3.993 jiwa ( 0,17%),
Khonghucu 406 jiwa (0,01%) dan lainnya 7.384 jiwa (0,32%) (Kanwil Kemenag Kalteng,
2010). Dari jumlah pemeluk agama seperti tersebut dapat dipahami bahwa agama asli
orang Dayak, yakni Kaharingan tidak berkembang. Hal ini disebabkan karena terjadinya
gelombang masuknya agama-agama baru yang datang kemudian, seperti Islam,
Kristen, Katolik, dan Konghucu. “Umat Islam di sini sekitar 76%, Dayak Islam sebenar-
nya sedikit saja, karena di sini ada orangorang Banjar, Jawa jadi muslimnya banyak.”
Demikian diungkapkan oleh H.Hamsan, mantan Petugas Pembantu Pencatat Nikah
(P3N) Kecamatan Pahandut. Di Kalimantan Tengah, terdapat banyak kelompok etnik,
seperti misalnya Dayak, Banjar, Jawa, dan Madura. Etnik Dayak merupakan etnik asli
masyarakat Kalimantan Tengah dan umumnya Kalimantan. (Riwut, 1993:229). Dengan
adanya transformasi sosial berupa kedatangan agama-agama baru tersebut memang
menjadikan banyak pilihan bagi masyarakat Kalimantan Tengah untuk memilih agama
yang sesuai dengan hati nuraninya. Penduduk yang memeluk agamaagama pendatang
tersebut juga berasal dari banyak etnis. Akan tetapi terdapat kecenderungan utama,
yakni bahwa orang Banjar, Madura, dan Bugis hampir dapat dipastikan memeluk Islam.
Hal tersebut berbeda dengan orang-orang Dayak, yang tidak seluruhnya memeluk
Agama Hindu. Akan tetapi pemeluk Agama Hindu (Kaharingan) bisa dipastikan adalah
orang Dayak (Ahmad Syafi’I dalam Azra ed., 1998: 39). Adapun komposisi penduduk
berdasarkan etnis, berdasarkan data Suryadinata , dkk. (dalam Cahyono, 2008: 45) di
tahun 2003 di Kalimantan Tengah sebagian besar adalah Suku Dayak dari berbagai
sub-suku adalah 742.729 jiwa atau 41,24% (terdiri dari Dayak Ngaju 18,02%, Dayak
Sampit 9,57%, Dayak Bakumpai 7,51%, Dayak Katingan 3,34% dan Dayak Ma’anyan
2,8%), dilanjutkan Suku Banjar sebanyak 435.756 jiwa atau 24,2 % , lalu Jawa 325.160
jiwa atau 18,06%, kemudian Madura 62.228 jiwa atau 3,46%, Suku Sunda 24.479 atau
1,36 %, dan sisanya suku-suku lain seperti Bugis, Betawi, Minangkabau, dan Banten.
Proses migrasi telah menyebabkan perubahan yang cukup signifikan dalam komposisi
penduduk berdasarkan kelompok etnik. Pada tahun 1980 jumlah migran yang
diorganisir oleh pemerintah melalui program transmigrasi hanya mencapai 1 persen
saja dari jumlah penduduk Kalimantan Tengah, dan pada tahun 2000 meningkat hingga
21 persen. Keberadaan pendatang ini sering disebut sebagai faktor di balik
berlangsungnya proses marginalisasi penduduk asli Dayak, akibat ketidakmampuan
mereka bersaing dengan penduduk pendatang (Cahyono, 2008: 45). Di Kalimantan
Tengah, masyarakat Dayak lebih menerima identitas secara bersama sebagai identitas
Kalimantan secara keseluruhan, sehingga dalam pergaulan sehari-hari antaretnis
menggunakan bahasa Banjar. Meskipun demikian, Etnis Dayak di Kalimantan Tengah
mengorientasikan identitas sosialnya kepada sukunya masing-masing, seperti Dayak
Ngaju, Dayak Kapuas, dan sebagainya; dan bukan tidak mengorientasikan identitasnya
pada satu agama, sebagaimana Dayak di Kalimantan Barat yang mengidentifikasikan
diri sebagai Kristen yang dibedakan dengan Islam yang Melayu (Cahyono, 2008: 46).
Hubungan intern umat Islam terjadi antara kelompok-kelompok atau komunitas-
komunitas dalam umat Islam, baik antaretnis maupun antar ormas keagamaan dalam
Islam. Di Kalimantan Tengah ini terdapat berbagai organisasi keagamaan, di mana
yang paling banyak menjadi afiliasi dan orientasi keagamaan adalah Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah lengkap dengan lembaga otonomnya. Masyarakat
Kalimantan Tengah yang budaya Etnis Dayak be- Dinamika Kerukunan Intern Umat
Islam Dalam Relasi Etnisitas Dan Agama Di Kalteng 18 Jurnal “Analisa” Volume 20
Nomor 01 Juni 2013 gitu dominan, juga terdapat lembaga adat yang dipandang
memiliki otoritas dalam masyarakat yaitu Dewan Adat Dayak (DAD). Lembaga adat
tersebut berfungsi menjaga keharmonisan tata kehidupan masyarakat adat di
Kalimantan Tengah, mencakup hukum adat, norma-norma, pranata-pranata, dan nilai-
nilai budaya. Dengan demikian, peran utama lembaga adat tersebut adalah mencakup
pelestarian budaya Dayak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, dan
sekaligus menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak
lebih memilih menyandarkan segala urusannya pada kebudayaan adat ketimbang
dengan agama (wawancara dengan Sawerdi, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kec.
Sabangau). Dinamika Hubungan Internumat Islam Kalimantan Tengah Pandangan
masyarakat terhadap situasi hubungan internumat Islam di Kalimantan Tengah
seringkali dihubungkan dengan kejadian kerusuhan di tahun 2001, yakni konflik Suku
Dayak dengan Suku Madura. Berbagai kajian menegaskan bahwa konflik tersebut
adalah konflik antaretnis, bukan konflik agama. Madura telah dikenal sebagai warga
yang memeluk agama Islam, tetapi warga Dayak pun tidak sedikit yang juga memeluk
agama Islam. Sekitar 70 persen dari orang Dayak di Kalimantan Tengah adalah
Muslim. Oleh karena itu hubungan intern umat Islam, juga menyinggung hubungan
antara etnis Madura dengan Dayak yang beragama Islam, dan dengan etnis-etnis
lainnya yang anggotanya beragama Islam. Suku Dayak dan Suku Madura adalah dua
suku yang sangat menonjol dan dominan di Kalimantan Tengah sebelum terjadinya
kerusuhan 2001 tersebut. Relasi antara Dayak-Madura diwarnai pencitraan dan
stereotipe tentang orang Madura yang sudah ada sebelum mereka berinteraksi
langsung dengan orang Madura. Padahal keberadaan warga Madura di Kalimantan
Tengah telah lama. Bahkan menurut penuturan Cimanur, tokoh Dayak di Sampit,
bahwa kakeknya dahulu, sekitar tahun 1930-an, pernah mendatangkan ratusan orang
Madura orang untuk diajak bekerja di lahannya. Hubungan Madura dengan etnis
lainnya terjalin biasa saja, terikat atas dasar simbiosis mutualisme, di mana mereka
saling bekerja sama yang saling menguntungkan. Perkembangannya warga Madura
kemudian mendominasi ekonomi, adanya sikap sebagian warga Madura yang kurang
baik, tidak adanya ketegasan hukum terhadap kekerasan yang melibatkan orang
Madura, menjadikan stereotip Madura dipandang sebagai kelompok suka memaksakan
kehendak dan mau menang sendiri semakin menguat. Sebenarnya banyak juga warga
Madura yang memiliki sikap yang baik, tetapi kalah dengan citra negatif yang terbentuk
dari sikap buruk warga Madura lainnya (wawancara H. Hamsan, mantan P3N
Kecamatan Pahandut). Akhirnya, di penghujung Februari 2001 konflik etnis antara
Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah pecah. Tindak pembunuhan dan perusakan
nyaris berlangsung di semua wilayah. Semula, kerusakan terjadi hampir sepekan di
Kota Sampit, kemudian merembet ke Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, dan
Palangkaraya. Kurang dari dua pekan, 400 orang Madura terbunuh, dan 80.000 sisanya
dipaksa keluar dari bumi Kalimantan untuk kembali ke daerah asalnya, Madura maupun
tempat lainnya (Cahyono, ed., 2008: 4-5). Tentu ada berbagai faktor lain dalam
peristiwa kerusuhan tersebut, seperti tidak ditegakkannya hukum, situasi politik yang
tidak menentu, euphoria otonomi daerah, dan adanya perbedaan kebudayaan antara
warga asli dengan “pendatang”. Ketimpangan ekonomi juga menjadi faktor paling
signifikan, terutama kebijakan “komersialisasi” hutan, di mana hutan merupakan sumber
penghidupan etnik Dayak. Lebih jauh lagi, konflik tersebut muncul disebabkan karena
Etnik Dayak yang merupakan penduduk asli Kalimantan, mengalami pelemahan secara
sistemik. Berawal dari pembabatan hutan yang bagi warga Dayak merupakan sumber
ekonomi dan ekspresi kebudayaan mereka baik oleh pendatang transmigrasi maupun
perusahaan Hak Penggunaan Joko Tri Haryanto Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01
Juni 2013 19 Hutan (HPH). Proses ini kemudian menjalar ke bidang politik dan
pemerintahan, sosial dan budaya, yang menjadikan etnik Dayak semakin terpinggirkan.
Peristiwa konflik tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan aspek sosial,
budaya, dan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. Etnik Dayak kemudian menjadi
etnik tunggal yang dominan di Kalimantan Tengah baik secara kultural maupun
struktural. Terjadi standarisasi kehidupan sosial budaya dan hukum dengan standar
budaya Dayak, yang terlihat dari peran yang dominan dari Dewan Adat Dayak (DAD)
terhadap kehidupan sosial, standar cara pandang dan nilai kebudayaan. Misalnya
orang pendatang boleh datang kembali ke Kalimantan Tengah dan menjadi saudara
orang Dayak melalui falsafah hidup Huma Betang dan Belum Bahadat. Standar
kebudayaan Dayak tersebut di atas relatif cukup berhasil dalam upaya mengkonstruksi
sosial dan membangun kembali kerukunan masyarakat pasca kerusuhan yang
melibatkan etnis Dayak dan Madura tersebut. Masyarakat Dayak dan masyarakat etnis
lainnya telah menerima kembali warga Madura di Bumi Tambun Bungai ini. Dua atau
tiga tahun setelah peristiwa itu, orang Madura telah dapat kembali untuk bersama-sama
bermasyarakat dan bekerja mencari nafkah, dan berangsur-angsur hingga saat ini.
Sementara di sisi lain, etnis lainnya juga turut memberikan sumbangsih bagi terciptanya
situasi damai pasca konflik. Beberapa etnis seperti Banjar dan Jawa, telah lama dikenal
sebagai masyarakat yang terbuka dan ramah. Banjar juga dipandang sangat
memegang teguh nilainilai ajaran Islam. Sementara Madura yang kembali, juga telah
bersedia melakukan perubahanperubahan sikap yang baik dalam berhubungan
kelompok masyarakat lainnya. Dinamika inten umat Islam juga terkait dengan ormas-
ormas keagamaan yang memiliki perbedaan pemahaman keagamaan di masyarakat,
seperti ormas Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Hubungan kedua ormas ini secara
organisatoris tidak ada persoalan. Namun, dalam dataran massa, perbedaan-
perbedaan pandangan keagamaan menjadi penyekat hubungan antar
anggota/simpatisan ormas. Munculnya istilah “kelompok tua” dan “kelompok muda”,
menunjukkan adanya batas budaya antara kelompok yang memegang tradisi dengan
kelompok yang berpandangan purifikasi. Perbedaan pandangan ini tidak sampai
menimbulkan konflik terbuka antar kelompok, sehingga dapat terjaga kerukunan intern
umat Islam. Hal ini peran para tokoh agama yang mendorong toleransi dan
penghargaan terhadap perbedaan pandangan keagamaan. Demikian pula pemerintah,
yakni kebijakan Kementerian Agama seperti di Kota Palangkaraya dan Kota Sampit
yang mengatur jadual khatib secara silang antara NU dan Muhammadiyah. Program ini
setidak-tidaknya semakin mendekatkan jarak sosial komunitas NU dan Muhammadiyah.
Faktor Pendukung Kerukunan 1. Daya Tawar Budaya, antara Dominasi dan Akulturasi
Pengalaman marginalisasi Dayak di masa lalu hingga sampai terjadi konflik telah
mendorong budaya Dayak menjadi budaya dominan, yakni pemposisian status sosial
tinggi dan sejumlah keistimewaan dibandingkan budaya yang lain. Dayak saat sekarang
ini telah mampu mengambil peran sosial politik, baik dalam struktur sosial maupun
gerakan sosial, seperti ditunjukkan de-ngan menguatnya struktur adat Dayak,
perangkat adat dan pemberlakukan wilayah hukum dan budaya adat. Budaya Dayak
sebagai satusatu-nya budaya dominan menjadikan tidak adanya gesekan antar budaya
yang memicu munculnya konflik. Hal ini sebenarnya patut untuk diwaspadai karena
budaya dominan juga mendorong munculnya seperangkat prasangka terhadap
golongan lain yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan
pada adanya perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan;
menganggap kelompok lain sebagai orang asing; dan adanya klaim bahwa akses
Dinamika Kerukunan Intern Umat Islam Dalam Relasi Etnisitas Dan Agama Di Kalteng
20 Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni 2013 sumber daya yang ada adalah hak
mereka, dan disertai kecurigaan kelompok lain akan mengambil sumberdaya-
sumberdaya tersebut (Suparlan, 2004). Dengan demikian, penerimaan terhadap
budaya dominan ini hanya strategi Coping berupa tindakan diam dan menghindari
masalah untuk memelihara eksistensinya dan menjaga agar tetap survive dengan tidak
memancing persoalan dengan kelompok lain yang dapat menimbulkan kesulitan bagi
dirinya di lingkungan budaya dominan (Farida, 2006: 25). Pergeseran lainnya dalam
gerakan sosial, terlihat nyata dalam kasus penolakan terhadap Front Pembela Islam
(FPI) di Palangkaraya. Demonstrasi yang massif di Bandara Cilik Riwut oleh unsur
Dewan Adat Dayak (DAD) atau pemuda Dayak, dapat dilihat sebagai anomali dari sifat
orang Dayak yang toleran dan mudah mengalah. Penolakan ini didasari, bahwa FPI
dianggap sebagai organisasi sosial keagamaan yang beraliran keras sehingga
dikhawatirkan akan merusak hubungan baik yang sudah terbentuk, terutama
pascakonflik etnik (wawancara dengan H. Abdul Hadi Ridwan, Ketua MUI
Kab.Kotawaringin Timur). Walaupun budaya dominan Dayak ini menguat, tetapi faktor
instrinsik budaya Dayak sejak awal juga sangat mendukung terciptanya kerukunan di
Kalimantan Tengah. Etnis Dayak dikenal memiliki nilai-nilai budaya huma betang yang
sangat toleran terhadap keberadaan orang lain, ketaatan pada aturan, dan juga
kesetaraan. Hal ini menunjukkan kebersediaan untuk hidup rukun, saling menghormati
dalam satu kehidupan bersama. Sementara etnis lainnya juga turut mendukung
kerukunan bersama. Etnis Banjar dan etnis Jawa selama ini dikenal sebagai warga
yang mampu berbaur dan santun dalam pergaulan di masyarakat. Terutama Jawa,
dikenal sebagai warga yang sangat mengedepankan kerukunan dan bersedia
mengalah. Etnis Madurapun pada saat sekarang ini telah mengubah sikap dan
perilakunya yang negatif, sehingga masyarakat, khususnya Dayak dapat menerima
kembali warga Dayak untuk bersama-sama bekerja dan membangun Kalimantan
Tengah. Sikap-sikap positif dari masing-masing etnis ini mendorong pembauran batas-
batas kelompok yang semakin menguatkan kohesi sosial. Terlebih dengan adanya
penyatuan budaya atau akulturasi yang menciptakan ikatan sosial baru atau
memperkuat ikatan sosial yang telah ada, dan semakin menuju pada keseimbangan,
sebagaimana ditunjukkan dalam fungsionalisme struktural (Zamroni, 1992: 25). Hal ini
ditunjukkan dengan pergeseran tradisi guna menyesuaikan dengan budaya yang
diterima sebagai bagian dari dirinya, seperti penggunaan darah yang diganti tepung
tawar pada perkawinan adat Dayak muslim.(Wawancara dengan Basel, Damang Adat
Kecamatan Sabangau; Rina Misliya, Ketua Majelis Taklim Ibu-ibu Kel. Sabaru).
Ditambah lagi dengan fenomena perkawinan lintas etnis (amalgamasi), baik antara
Dayak dengan Banjar atau Jawa, bahkan juga dengan Madura.(wawancara dengan
Syahriansah, tokoh Madura di Sampit). 2. Simbiosisme Ekonomi Keinginan manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorong interaksi dengan orang lain. Hal ini
karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Salah satu
perangkat pemenuhan kebutuhan adalah ekonomi, di mana interaksi yang berjalan
secara positif akan mendorong kerjasama, tetapi sebaliknya, interaksi yang terjadi
secara assertif atau negatif maka malah akan menimbulkan pertentangan (Taneko,
1990: 116). Dalam konteks masyarakat Kalimantan Tengah, pada masa lalu terjadi
marginalisasi terhadap Dayak sehingga menghalangi akses terhadap sumber daya
ekonomi hutan menimbulkan konflik. Diakui sendiri oleh Cimannur, Tokoh Dayak di
Sampit, ketergantungan Dayak dengan hutan sangat besar. Dari hutan mereka bisa
menghasilkan bahan-bahan produksi seperti kayu, rotan, karet, dan sebagainya dengan
hasil yang besar. Joko Tri Haryanto Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni 2013 21
Namun sebagian besar mereka tidak memiliki ketrampilan yang lebih baik untuk
mengolah persawahan, membangun gedung, serta menjadi pedagang yang sukses.
Akibatnya mereka memiliki ketegantungan dengan etnis lain untuk kepentingan
tersebut. Warga etnis Madura selama ini telah dikenal dengan etos kerjanya yang
tinggi, bahkan mereka bersedia melakukan pekerjaan kasar dan menerima upah
rendah. Demikian juga suku Jawa dikenal ulet dalam bekerja, dan terutama berdagang
olah-olahan pangan seperti warung makan. Sementara Banjar sejak dahulu dikenal
pula sebagai pedagang yang ulet dan berhasil. Situasi sosial ekonomi termasuk yang
mendorong kohesi sosial dan integrasi masyarakat di Kalimantan Tengah. Bahkan
diakui oleh Zaenuddin, pejabat di Kemenag Kotim, bahwa selama setahun pascakonflik
2001, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan, karena umumnya
yang ekerja di sektor pertanian adalah orang-orang Madura. Kepentingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup inilah yang mempercepat pula pemulihan pasca konflik,
karena terciptanya situasi yang kondusif juga akan mendukung terpenuhinya kebutuhan
bersama. 3. Peran Para Tokoh Masyarakat dan Pemerintah Proses rekonsiliasi
masyarakat pascakon-flik 2001 tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh
masyarakat. Mereka inilah yang berperan meredam amuk massa, dan menjadi
penjamin bagi pengungsi yang hendak kembali ke Kalimantan Tengah. (Wawancara
Gusti Misruni tokoh Dayak Pahandut, H.Abdul Hadi Ridwan Ketua MUI Kotim, H.
Nasihin Tokoh NU Kotim ). Pascakonflik peran mereka juga sangat penting, karena
umumnya masyarakat Kalimantan Tengah sangat mempercayai dan mengikuti
pendapat tokohtokohnya ini. Besarnya peran tokoh dan pengaruhnya pada proses
sosial di Indonesia antara lain karena masyarakat masih menganut budaya patrilineal
(patriachi) dan patron-client. Tokoh-tokoh di masyarakat, baik tokoh agama maupun
tokoh adat merupakan pihak yang dipandang memiliki status sosial tertentu yang baik
berupa Ascribed Status (status yang tidak memperhatikan perbedaan jasmani atau
rohani karena status tersebut diperoleh karena kelahiran atau hasil keturunan), maupun
Achieved Status (status yang dicapai oleh seseorang melalui usaha-usaha yang
disengaja, usaha dan kerja keras) yang dengan status tersebut dirinya memerankan diri
sebagai tokoh (key person) (Patoni, 2007; 44). Mereka ini menjadi pemimpin-pemimpin
informal yang suaranya didengar dengan kepatuhan oleh masyarakat. Pandangan
masyarakat perhadap persoalan-persoalan di masyarakat, termasuk konflik sosial,
sangat tergantung pandangan dari tokoh-tokoh tersebut. Menurut Muhtadi dan
Sudharto (dalam Pahrudin, 2003: 23-24) peran tokoh (informal leader) terutama tokoh
agama (Islam) dalam masyarakat sangat jelas dalam proses pembangunan di
Indobesia, program-program pemerintah dapat berhasil atau gagal juga tergantung
pemeransertaan pemuka masyarakat setempat. Hal ini karena pemuka masyarakat
tersebut telah diakui mampu memerankan diri menjadi pembimbing, motivator, sumber
pengetahuan, teladan dan mengawasi umatnya. Selain itu, budaya paternalistik pada
masyarakat Indonesia memungkinkan adanya teladan dari agen perubahan sosial,
yakni para tokoh di masyarakat tersebut. Pemulihan situasi pascakonflik sangat
ditentukan oleh kebijakan pemerintah, berupa settlement yang koersif untuk
menghentikan tindakantindakan kekerasan. Pemerintah provinsi Kalimantan Tengah
dan kabupaten lainnya mengeluarkan perda-perda terkait pemulihan keagamaan dan
resolusi konflik. Pemerintah mengembangkan kebijakan untuk menguatkan budaya
Dayak sebagai suatu uniformitas budaya di Kalimantan Tengah. Kebijakan ini, dalam
suasana pemulihan pasca konflik telah mampu mengembalikan kerukunan masyarakat.
Namun, kebijakan ini perlu ditinjau kembali, karena uniformitas yang mendorong
munculnya budaya dominan, dalam Dinamika Kerukunan Intern Umat Islam Dalam
Relasi Etnisitas Dan Agama Di Kalteng 22 Jurnal “Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni
2013 waktu lama akan menjadi bom waktu yang merusak kerukunan bersama dalam
konteks masyarakat yang plural. Strategi Adaptasi Membangun Harmoni 1. Strategi
Kultural : Masyarakat Kalimantan Tengah telah belajar secara baik dengan peristiwa
konflik yang menimpanya. Masyarakat Dayak telah menemukan ikatan social baru,
yakni perasaan bersama sebagai warga Kalimantan Tengah melalui falsafah hidup
Huma Betang. Oleh karena itu, di Kalimantan Tengah dilakukan revitalisasi terhadap
nilai-nilai budaya lokal sebagai modal kultural yang mendorong relasi sosial yang
akomodatif menuju kerukunan masyarakat. Di antara modal kultural budaya tersebut
adalah falsafah budaya huma betang yang mencerminkan perilaku hidup yang
menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi, serta taat pada
hukum (hukum negara, hukum adat, dan hukum alam). Ungkapan Bumi Dipijak Langit
Dijunjung, dalam tradisi kebudayaan masyarakat Kalimantan Tengah, terutama Dayak,
tidak hanya merupakan peribahasa, melainkan sebuah pandangan hidup dan etika
hubungan sosial di tengah heterogenitas etnis dan agama di wilayah tersebut. Belom
Penyang Hinje Simpei, bahwa orang hidup haruslah penuh kerukunan dan menjaga
persatuan dan kesatuan untuk kesejahteraan bersama. Akulturasi budaya, dimotori oleh
misalnya kesamaan agama (Islam), dimana banyak juga warga Dayak yang memeluk
Islam. Selain adanya kesamaan agama, pola akulturasi yang terjadi juga melalui
perkawinan antar etik. Kedua hal ini menjadikan terjadinya perasaan bersama sebagai
warga Kalimantan Tengah dan terbentuklah kebudayaan akulturasi. Modal yang
dikembangkan adalah kebersediaan menerima dan beradaptasi. Kebersediaan
menerima dilakukan oleh warga asli, yakni menerima budaya dari luar sebagai bagian
dari kebudayaan bersama Kalimantan Tengah. sementara kebersediaan untuk
beradaptasi dilakukan oleh warga pendatang, terutama adalah warga Madura untuk
beradaptasi dengan kebiasaan dan kebudayaan lokal di Kalimantan Tengah. 2. Strategi
Struktural Selain modal-modal kultural tersebut, relasi damai juga terbangun melalui
jalur struktural, yakni politik uniformitas yang diberlakukan di wilayah Kalimantan
Tengah. Politik uniformitas tersebut didukung secara stuktural dalam bentuk penguatan
adat Dayak. Ikatan sosial baru berupa uniformitas kebudayaan, atau standarisasi
menggunakan satu kebudayaan yang dijadikan sebagai standar dan dianggap unggul
atau dominan, yakni Dayak. penerapan standar kebudayaan ini misalnya dapat dilihat
melalui penerapan Dewan Adat Dayak (DAD) yang peranan dan kewenangannya
sangat luas hingga mengurusi urusan-urusan perdata, cara, dan pidana dalam
kehidupan social warga Kalimantan Tengah. Politik uniformitas didukung dengan
keterlibatan pemerintah daerah dalam menguatkan struktur Dewan Adat Dayak (DAD)
di dalam kehidupan social masyarakat. Peraturan pemerintah daerah ini menyebutkan
kelembagaan DAD sebagai salah satu lembaga yang diakui pemerintah, dan
kewenangannya juga begitu kuat. Kebijakan pemerintah daerah dalam menerapkan
politik uniformitas juga menggunakan etika dan sudut pandang satu kebudayaan
standar yang dianggap lebih unggul, yakni kebudayaan Dayak. Pemerintah daerah
menghendaki bahwa warga Kalimantan Tengah hidup rukun dan damai dalam ikatan
social baru yang lebih mampu menjamin keberlangsungan antar etnis dan agama di
Kalimantan Tengah. Pengalaman konflik etnis tahun 2001 antara etnis Dayak dan etnis
Madura mendasari pola hubungan antaretnis dewasa ini. Etnis Dayak meneguhkan
dominasi melalui jalur kultural maupun struktural, di mana hal ini diterima oleh etnis lain
untuk membangun ikatan sosial baru. Dinamika relasi sosial dewasa ini menunjukkan
bahwa situasi kerukunan di Kalimantan Tengah telah dapat mencapai tingkat
perdamaian, meskipun taraf perdamaian negatif. Perdamaian Joko Tri Haryanto Jurnal
“Analisa” Volume 20 Nomor 01 Juni 2013 23 negatif ini menujukkan adanya pengakuan
terhadap perbedaan, tetapi secara struktural belum memberi akses yang berimbang
pada semua pihak.(Susan 2009. 132) Kebijakan uniformitas yang dikembangkan di
Kalimantan Tengah mendorong –atau memaksa-- proses keseimbangan dalam
masyarakat sebagai kesatuan. Hal ini termasuk proses institusionalisasi budaya untuk
menjamin keselarasan dan berjalannya fungsifungsi sosial akibat adapun ketegangan-
ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan terjadi (Zamroni, 1992: 25), berupa
pertentangan atau konflik sehingga struktur-struktur sosial dalam masyarakat dapat
fungsional kembali. Penutup Simpulan Hubungan internumat beragama mengalami
dinamika sesuai tanggapan atas persoalan yang dihadapi. Di Kalimantan Tengah,
dinamika ini dapat dilihat dari proses relasi antar etnis dalam lingkungan umat Islam,
baik sebelum terjadinya konflik besar tahun 2001 yang berawal dari Sampit, hingga saat
sekarang ini. Dinamika relasi sosial dewasa ini menunjukkan bahwa situasi kerukunan
di Kalimantan Tengah telah dapat mencapai tingkat perdamaian, meskipun taraf
perdamaian negatif. Perdamaian negatif ini menujukkan adanya pengakuan terhadap
perbedaan, tetapi secara stuktural belum memberi akses yang berimbang pada semua
pihak. Hal ini karena adanya kebijakan uniformitas yang dikembangkan di Kalimantan
Tengah. Namun demikian, suasana kondusif dan rukun di masyarakat dapat terwujud
dengan menekan terjadinya konflik. Adapun faktor pendukung kerukunan dalam
hubungan internumat Islam terutama muncul dari modal-modal kultural yang selama ini
ada dalam kehidupan masya-rakat sendiri, kepentingan kerjasama ekonomi untuk
pemenuhan kebutuhan, peran tokoh masyarakat, dan peran pemerintah setempat.
Strategi yang dipakai guna menciptakan kehidupan yang harmonis, terutama pasca
terjadinya konflik adalah menggunakan dua pendekatan, yakni kultural dan struktural.
Pendekatan kultural mencakup revitalisasi nilai-nilai kebudayaan sebagai komitmen
untuk hidup bersama dalam situasi yang damai. Pendekatan struktural yang dimainkan
adalah melalui politik uniformitas atau penyeragaman menjadi satu identitas.
Rekomendasi Berangkat dari temuan-temuan penelitian ini maka, beberapa hal yang
dapat disarankan pada pihak-pihak terkait adalah: 1. Perlunya penguatan dan
revitalisasi nilai-nilai budaya yang mendorong pada kerukunan umat beragama dan
masyarakat pada umumnya. 2. Memperbesar ruang temu budaya untuk membuka
dialog kebudayaan yang membuka sikap saling memahami antarbudaya 3. Meninjau
kembali politik uniformitas kebudayaan yang mendorong pandangan etnosentrisme dan
budaya dominan dengan mempertimbangkan strategi multikulturalisme guna
mencairkan batas-batas budaya. 4. Membangun kerukunan harus pula menyelesaikan
faktor-faktor yang menjadi permasalahan hubungan sosial, terutama ketidakadilan
secara politik dan ekonomi yang memarginalkan sebagian kelompok masyarakat
secara sistemik. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan memberi kontribusi bagi
pengembangan dunia ilmu pengetahuan, terutama studi perdamaian (peace studies),
khususnya membantu memelihara situasi damai di Kalimantan Tengah. Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi (ed). 1998. Agama dalam Keagaman Etnik di Indonesia. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Agama Departemen Agama. BPS. 2011. Kalimantan Tengah
dalam Angka 2010. Palangkaraya: BPS Provinsi Kaliman- Dinamika Kerukunan Intern
Umat Islam Dalam Relasi Etnisitas Dan Agama Di Kalteng 24 Jurnal “Analisa” Volume
20 Nomor 01 Juni 2013 tan Tengah Cahyono, Heru. Dkk. 2008. Konflik Kalbar dan
Kalteng Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Yogyakarta: P2P-LIPI bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar. Farida, Anik. 2006. Survival Umat Khonghucu dalam
Pemenuhan Hak-hak Sipil. Dalam Alam, Rudy Harisyah (ed). Adaptasi dan Resistensi
Kelompok-kelompok Sosial Keagamaan. Jakarta : Penamadani bekerjasama dengan
Balai Litbang Agama Jakarta. Hlm. 19-50. Hikam, Muhammad A.S. 2000. Islam,
Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Penerbit Airlangga. Jamil, M.
Muhsin. 2012. “Dinamika Identitas dan Strategi Adaptasi Minoritas Syi’ah di Jepara”.
Ringkasan Disertasi Program Doktor Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang Kanwil
Kemenag Kalteng. 2010. Data-data Keagamaan tahun 2010. Moleong, Lexy J. 1998.
Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Rosda karya. Nasikun. 1992. Sistem
Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawalipress Pahrudin, Agus. 2003. Peran Mubaligh dalam
Menunjang Program Pembangunan Masyarakat (Studi Kasus pada Mubaligh Kader
Pembangunan di Desa Kerawangsari Kecamatan natar Lampung Selatan). Jurnal
Analisis Edisi Juli 2003 Vo.3 No.1. IAIN Raden Intan Bandar Lampung. hlm.22-37.
Dalam http:// idb2.wikispaces.com/file/view/ok2007.pdf diunduh 11 Juni 2012. Patoni,
Achmad. 2007. Peran Kyai Pesantren dalam Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta
: PT. Tiara Wacana Suparlan. 2004. Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multiultural, dan
Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas. Makalah dalam Workshop Yayasan
Interseksi, Hakhak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?,
Wisma PKBI, 10 Agustus 2004. Dalam http://www.
interseksi.org/publications/essays/articles/ masyarakat_majemuk.html diunduh 6 juni
2010 Taneko, Soleman. B. 1990. Struktur dan Proses Sosial; Suatu Pengantar
Sosiologi Pembangunan. Edisi 1. Cetakan 2. Jakarta: CV Rajawali Tumanggor, Rusmin.
(et.al). 2009. Buku Paket Panduan Penyadaran Dan Pendampingan Penguatan
Kedamaian (Peace Making). Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, Badan
Litbang Dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Zamroni. 1992. Pengantar
Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA DI INDONESIA


Posted by PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN on Friday, August 19, 2016

Indonesia merupakan negara kepulauan yang penuh dengan kekayaan


serta keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, bahasa
daerah, dan masih banyak lainnya. Meskipun penuh dengan keragaman
budaya, Indonesia tetap satu sesuai dengan semboyan nya, Bhineka
Tunggal Ika yang artinya "meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua".
Keragaman budaya turut serta didukung oleh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terpisah wilayah-wilayahnya oleh lautan. 

Keragaman merupakan suatu kondisi pada kehidupan masyarakat.


Perbedaan seperti itu ada pada suku bangsa, agama, ras, serta budaya.
Keragaman yang ada di Indonesia adalah kekayaan dan keindahan
bangsa indonesia. Pemerintah harus bisa mendorong keberagaman
tersebut menjadi suatu kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan
kesatuan nasional menuju indonesia yang lebih baik.
A.  Keberagaman dalam Masyarakat Indonesia
1.   Faktor Penyebab Keberagaman Masyarakat Indonesia
Keberagaman bangsa Indonesia dapat dibentuk oleh banyaknya jumlah
suku bangsa yang tinggal di wilayah Indonesia dan tersebar di berbagai
pulau dan wilayah di penjuru indonesia. Setiap suku bangsa memiliki ciri
khas dan karakteristik sendiri pada aspek sosial dan budaya. Menurut
penelitian badan statistik auat BPS, yang di lakukan tahun 2010, di
Indonesia terdapat 1.128 suku bangsa.
Keberagaman yang ada pada masyarakat bisa menjadi kekayaan bangsa
Indonesia dan potensi bangsa. Namun, keberagaman juga menjadi
tantangan hal itu disebabkan karena orang yang mempunyai perbedaan
pendapat bisa lepas kendali. Munculnya perasaan kedaerahan serta
kesukuan yang berlebihan dan dibarengi tindakan yang dapat merusak
persatuan, hal tersebut dapat mengancam keutuhan NKRI. Karean itu
adanya usaha untuk dapat mewujudkan kerukunan bisa dilakukan dengan
menggunakan dialog dan kerjasama dengan prinsip kesetaraan,
kebersamaan, toleransidan juga saling menghormati satu sama lain.
Keberagaman masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya adalah sebagai berikut :
1.    Keadaan geografis
Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki beribu-ribu pulau
yang dipisahkan oleh selat dan laut. Ini merupakan kondisi lingkungan
geografis Indonesia. Lingkungan geografis semacam itu menjadi sumber
adanya keanekaragaman suku, budaya, ras dan golongan  Indonesia.
Kondisi geografis yang demikian menimbulkan perbedaan dalam
kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah mata pencaharian
penduduk. Jenis-jenis pekerjaan yang ada juga menyebabkan
beranekaragamnya peralatan yang diciptakannya, misalnya bentuk rumah
dan bentuk pakaian. Akhirnya sampai pada bentuk kesenian yang ada di
masing-masing daerah berbeda. Keadaan geoografis juga menyebabkan
tiap-tiap pulau memiliki agama dan budaya yang berkembang sendiri-
sendiri.
2.    Pegaruh kebudayaan asing
Adanya kontak dan komunikasi dengan para pedagang asing yang
memiliki corak budaya dan agama yang berbeda menyebabkan terjadinya
proses akulturasi unsur kebudayaan dan agama.
3.    Kondisi iklim dan kondisi alam yang berbeda
Kondisi iklim seperti perbedan musim hujan dan kemarau antar daerah,
serta perbedaan kondisi alam seperti pantai, pegunungan mengakibatkan
perbedaan pada masyarakat. Ada komunitas masyarakat yang
mengandalkan laut sebagai sumber pemenuhan kebutuhan kehidupannya
ada pula yang mengandalkan pertanian dan perkebunan, dan lainnya.

2. Keanekaragaman Suku Bangsa di Indonesia


Sejak zaman dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang
majemuk. Hal ini tercermin dari semboyan “Bhinneka tunggal Ika” yang
artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemajemukan yang ada terdiri atas
keragaman suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa.

Adat istiadat, kesenian, kekerabatan, bahasa, dan bentuk fisik yang dimiliki


oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia memang berbeda, namun
selain perbedaan suku-suku itu juga memiliki persamaan antara lain
hukum, hak milik tanah, persekutuan, dan kehidupan sosialnya yang
berasaskan kekeluargaan.
Suku bangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan kesatuan kebudayaan. Orang-orang yang tergolong dalam
satu suku bangsa tertentu, pastilah mempunyai kesadaran dan identitas
diri terhadap kebudayaan suku bangsanya, misalnya dalam penggunaan
bahasa daerah serta mencintai kesenian dan adat istiadat.

Suku-suku bangsa yang tersebar di Indonesia merupakan warisan sejarah


bangsa, persebaran suku bangsa dipengaruhi oleh factor geografis,
perdagangan laut, dan kedatangan para penjajah di Indonesia. perbedaan
suku bangsa satu dengan suku bangsa yang lain di suatu daerah dapat
terlihat dari ciri-ciri berikut ini.
a. Tipe fisik, seperti warna kulit, rambut, dan lain-lain.
b. Bahasa yang dipergunakan, misalnya Bahasa Batak, Bahasa Jawa, Bahasa
Madura, dan lain-lain.
c. Adat istiadat, misalnya pakaian adat, upacara perkawinan, dan upacara
kematian.
d. Kesenian daerah, misalnya Tari Janger, Tari Serimpi, Tari Cakalele, dan
Tari Saudati.
e. Kekerabatan, misalnya patrilineal(sistem keturunan menurut garis ayah) dan
matrilineal(sistem keturunan menurut garis ibu).
f. Batasan fisik lingkungan, misalnya Badui dalam dan Badui luar.
Masyarakat Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 300 suku bangsa. Setiap suku bangsa
hidup dalam kelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan berbeda-
beda satu sama lain. Jumlah suku bangsa di Indonesia ratusan jumlahnya. 
Berikut ini contoh persebaran suku bangsa di Indonesia.
1. Nanggroe Aceh Darussalam : suku Aceh, suku Alas, suku Gayo, suku Kluet,
suku Simelu, suku Singkil, suku Tamiang, suku Ulu .
2. Sumatera Utara : suku Karo, suku Nias, suku Simalungun, suku Mandailing,
suku Dairi, suku Toba, suku Melayu, suku PakPak, suku maya-maya
3. Sumatera Barat : suku Minangkabau, suku Mentawai, suku Melayu, suku
guci, suku jambak
4. Riau : Melayu, Siak, Rokan, Kampar, Kuantum Akit, Talang Manuk, Bonai,
Sakai, Anak Dalam, Hutan, Laut .
5. Kepulauan Riau : Melayu, laut
6. Bangka Belitung : Melayu
7. Jambi : Batin, Kerinci, Penghulu, Pewdah, Melayu, Kubu, Bajau .
8. Sumatera Selatan : Palembang, Melayu, Ogan, Pasemah, Komering, Ranau
Kisam, Kubu, Rawas, Rejang, Lematang, Koto, Agam
9. Bengkulu : Melayu, Rejang, Lebong, Enggano, Sekah, Serawai, Pekal,
Kaur, Lembak
10. Lampung : Lampung, Melayu, Semendo, Pasemah, Rawas, Pubian,
Sungkai, Sepucih
11. DKI Jakarta : Betawi
12. Banten : Jawa, Sunda, Badui
13. Jawa Barat : Sunda, 
14. Jawa Tengah : Jawa, Karimun, Samin, Kangean
15. D.I.Yogyakarta : Jawa
16. Jawa Timur : Jawa, Madura, Tengger, Asing
17. Bali : Bali, Jawa, Madura
18. NTB : Bali, Sasak, Bima, Sumbawa, Mbojo, Dompu, Tarlawi, Lombok
19. NTT : Alor, Solor, Rote, Sawu, Sumba, Flores, Belu, Bima
20. Kalimantan Barat : Melayu, Dayak (Iban Embaluh, Punan, Kayan, Kantuk,
Embaloh, Bugan,Bukat), Manyuke
21. Kalimantan Tengah : Melayu, Dayak (Medang, Basap, Tunjung, Bahau,
Kenyah, Penihing, Benuaq), Banjar, Kutai, Ngaju, Lawangan, Maayan,
Murut, Kapuas
22. Kalimantan Timur : Melayu, Dayak(Bukupai, Lawangan, Dusun, Ngaju,
Maayan)
23. Kalimantan Selatan : Melayu, Banjar, Dayak, Aba
24. Sulawesi Selatan : Bugis, Makasar, Toraja, Mandar
25. Sulawesi Tenggara : Muna, Buton,Totaja, Tolaki, Kabaena, Moronehe,
Kulisusu, Wolio
26. SulawesiTengah : Kaili, Tomini, Toli-Toli,Buol, Kulawi, Balantak,
Banggai,Lore
27. Sulawesi Utara : Bolaang-Mongondow, Minahasa, Sangir, Talaud, Siau,
Bantik
28. Gorontalo : Gorontalo
29. Maluku : Ambon, Kei, Tanimbar, Seram, Saparua, Aru, Kisar
30. Maluku Utara : Ternate, Morotai, Sula, taliabu, Bacan, Galela
31. Papua Barat : Waigeo, Misool, Salawati, Bintuni, Bacanca
32. Papua Tengah : Yapen, Biak, Mamika, Numfoor
33. Papua Timur : Sentani, Asmat, Dani, Senggi
3. Keanekaragaman Budaya Bangsa di Indonesia
Bangsa Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya. Tiap daerah atau
masyarakat mempunyai corak dan budaya masing-masing yang
memperlihatkan ciri khasnya. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai bentuk
kegiatan sehari-hari, misalnya upacara ritual, pakaian adat, bentuk rumah,
kesenian, bahasa, dan tradisi lainnya. Contohnya adalah pemakaman
daerah Toraja, mayat tidak dikubur dalam tanah tetapi diletakkan dalam
goa. Di daerah Bali, mayat dibakar(ngaben).
Untuk mengetahui kebudayaan daerah Indonesia dapat dilihat dari ciri-ciri
tiap budaya daerah. Ciri khas kebudayaan daerah terdiri atas bahasa, adat
istiadat, sisem kekerabatan, kesenian daerah dan ciri badaniah (fisik)
Lingkungan tempat tinggal mempengaruhi bentuk rumah tiap suku bangsa.
Rumah adat di Jawa dan di Bali biasanya dibangun langsung di atas tanah.
Sementara rumah-rumah adat di luar Jawa dan Bali dibangun di atas tiang
atau disebut rumah panggung. Alasan orang membuat rumah
panggungantara lain untuk meghindari banjir dan menghindari binatang
buas. Kolong rumah biasanya dimanfaatkan untuk memelihara ternak dan
menyimpan barang. Keanekaragaman budaya dapat dilihat dari
bermacam-macam bentuk rumah adat. 
Berikut ini beberapa contoh rumah adat.
1.   Rumah Bolon (Sumatera Utara).
2.   Rumah Gadang (Minangkabau, Sumatera Barat).
3.   Rumah Joglo (Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur).
4.   Rumah Lamin (Kalimantan Timur).
5.   Rumah Bentang (Kalimantan Tengah).
6.   Rumah Tongkonan (Sulawesi Selatan).
7.   Rumah Honai (Rumah suku Dani di Papua).
Setiap suku bangsa mempunyai upacara adat dalam peristiwa-peristiwa
penting kehidupan. Misalnya upacara-upacara kelahiran, penerimaan
menjadi anggota suku, perkawinan, kematian, dan lain-lain. Nama dan
bentuk upacara menandai peristiwa kehidupan itu berbeda-beda dalam
masing-masing suku. 
Beberapa contoh upacara adat yang dilakukan suku-suku di Indonesia
antara lain sebagai berikut.
1.   Mitoni, tedhak siti, ruwatan, kenduri, grebegan (Suku Jawa).
2.   Seren taun (Sunda).
3.   Kasodo (Tengger).
4.   Nelubulanin, ngaben (Bali).
5.   Rambu solok (Toraja).
Keberagaman kebudayaan di Indonesia juga tampak dalam kesenian
daerah. Ada bermacam-macam bentuk kesenian daerah.
Contoh lagu-lagu daerah sebagai berikut.
1.      Nangroe Aceh Darussalam Piso Surit
2.      Sumatera Utara Lisoi, Sinanggar Tullo, Sing Sing So, Butet
3. Sumatera Barat Kambanglah Bungo, Ayam Den Lapeh, Mak Inang,
Kampuang Nan Jauh di Mato
4.      Riau Soleram
5.      Sumatera Selatan Dek Sangke, Tari Tanggai, Gendis Sriwijaya
6.      Jakarta Jali-jali, Kicir-kicir, Surilang
7.      Jawa Barat Bubuy Bulan, Cing Cangkeling, Manuk Dadali, Sapu Nyere
Pegat Simpai
8.      Jawa Tengah Gundul-gundul Pacul, Gambang Suling, Suwe Ora Jamu,
Pitik Tukung, Ilir-ilir,
9.      Jawa Timur Rek Ayo Rek, Turi-turi Putih
10.   Madura Karaban Sape, Tanduk Majeng
11.   Kalimantan Barat Cik Cik Periok
12.   Kalimantan Tengah Naluya, Kalayar, Tumpi Wayu
13.   Kalimantan Selatan Ampar Ampar Pisang, Paris Barantai
14.   Sulawesi Utara Si Patokaan, O Ina Ni Keke, Esa Mokan
15.   Sulawesi Selatan Anging Mamiri, Ma Rencong, Pakarena
16.   Sulawesi Tengah Tondok Kadadingku
17.   Bali Dewa Ayu, Meyong-meyong, Macepetcepetan, Janger, Cening Putri
Ayu.
18.   NTT Desaku, Moree, Pai Mura Rame, Tutu Koda, Heleleu Ala De Teang,
19.   Maluku Kole-Kole, Ole Sioh, Sarinande, Waktu Hujan Sore-sore, Ayo
Mama, Huhatee
20.   Papua Apuse, Yamko Rambe Yamko
Contoh Tari-tarian Tradisional Indonesia
1.      Nangroe Aceh Darussalam Tari Seudati, Saman, Bukat
2.      Sumatera Utara Tari Serampang, Baluse, Manduda
3.      Sumatera Barat Tari Piring, Payung, Tabuik
4.      Riau Tari Joget Lambak, Tandak
5.      Sumatera Selatan Tari Kipas, Tanggai, Tajak
6.      Lampung Tari Melinting, Bedana
7.      Bengkulu Tari Adum, Bidadari
8.      Jambi Tari Rangkung, Sekapur Sirih
9.      Jakarta Tari Yapong, Serondeng, Topeng
10.   Jawa Barat Tari Jaipong, Merak, Patilaras
11.   Jawa Tengah-Yogyakarta Tari Bambangan Cakil, Enggot-enggot, Bedaya,
Beksan,
12.   Jawa Timur Tari Reog Ponorogo, Remong
13.   Bali Tari Legong, Arje, Kecak
14.   Nusa Tenggara Barat Tari Batunganga, Sampari
15.   Nusa Tenggara Timur Tari Meminang, Perang
16.   Kalimantan Barat Tari Tandak Sambas, Zapin Tembung
17.   Kalimantan Timur Tari Hudog, Belian
18.   Kalimantan Tengah Tari Balean Dadas, Tambun
19.   Kalimantan Selatan Tari Baksa Kembang
20.   Sulawesi Selatan Tari Kipa, Gaurambuloh
21.   Sulawesi Tenggara Tari Balumba, Malulo
22.   Sulawesi Tengah Tari Lumense, Parmote
23.   Sulawesi Utara Tari Maengket
24.   Maluku Tari Nabar Ilaa, Perang
25.   Papua Tari Perang, Sanggi
Contoh Seni Pertunjukan yang Ada di Indonesia
1.   Banten: Debus
2.   DKI Jakarta: Ondel-ondel, Lenong
3.   Jawa Barat: Wayang Golek, Rudat, Banjet, Tarling, Degung
4.   Jawa Tengah: Wayang Kulit, Kuda Lumping, Wayang Orang, Ketoprak,
Srandul, Opak Alang, Sintren
5.   Jawa Timur: Ludruk, Reog, Wayang Kulit
6.   Bali: Wayang Kulit, Janger
7.   Riau: Makyong
8.   Kalimantan: Mamanda
Selain hasil kesenian yang sudah disebutkan di atas, suku-suku bangsa di
Indonesia juga mempunyai hasil karya seni dalam bentuk benda. Karya
seni yang dihasilkan oleh seniman-seniman dari berbagai suku bangsa
yang ada di Indonesia, antara lain seni lukis, seni pahat, seni ukir, patung,
batik, anyaman, dan lain-lain. Benda-benda karya seni yang terkenal,
antara lain ukiran Bali dan Jepara, Patung Asmat dan patung-patung Bali,
anyaman dari suku-suku Dayak di Kalimantan, dan lain-lain. Hasil kerajinan
seni ini menjadi barang-barang cindera mata yang sangat digemari turis
mancanegara.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa suku bangsa adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan kebudayaan. Identitas seringkali dikuatkan kesatuan bahasa.
Oleh karena itu, kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan
oleh orang luar, melainkan oleh warga yang bersangkutan itu sendiri.
Suku-suku yang ada di Indonesia antara lain Gayo di Aceh, Dayak di
Kalimantan, dan Asmat di Papua.
4. Keanekaragaman Agama di Indonesia
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan antar manusia dan lingkungannya
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti “tradisi”.
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama
Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu
melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No.
6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi
sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang
mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga
penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya,
meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-
undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan
agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-
agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah:
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian
bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong
dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau
agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi
karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun
1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan
kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir
pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan
beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang
yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu
dari agama mayoritas.
Berikut penjelasan Enam agama besar yang paling banyak dianut di
Indonesia
1. Agama
Nama Kitab Suci : 
Nama Pembawa : Nabi Muhammad SAW
Permulaan : Sekitar 1400 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Masjid
Hari Besar Keagamaan : Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Tahun
Baru Hijrah, Isra’ Mi’raj
2. Agama Kristen Protestan
Nama Kitab Suci  : Alkitab
Nama Pembawa : Yesus Kristus
Permulaan : Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Gereja
Hari Besar Keagamaan : Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari Paskah,
Kenaikan Isa Almasih
3. Agama Katolik
Nama Kitab Suci : Alkitab
Nama Pembawa : Yesus Kristus
Permulaan : Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Gereja
Hari Besar Keagamaan : Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari Paskah,
Kenaikan Isa Almasih
4. Agama Hindu
Nama Kitab Suci : Weda
Nama Pembawa : –
Permulaan : Sekitar 3000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Pura
Hari Besar Keagamaan : Hari Nyepi, Hari Saraswati, Hari Pagerwesi
 5. Agama Buddha
Nama Kitab Suci : Tri Pitaka
Nama Pembawa : Siddharta Gautama
Permulaan : Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Vihara
Hari Besar Keagamaan : Hari Waisak, Hari Asadha, Hari Kathina
6. Agama Kong Hu Cu
Nama Kitab Suci : Si Shu Wu Ching
Nama Pembawa : Kong Hu Cu
Permulaan : Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Li Tang / Klenteng
Hari Besar Keagamaan : Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh
4. Keanekaragaman Ras di Indonesia
Beberapa ahli mempunyai pendapat berbeda mengenai pengertian ras,
namun secara umum ras dapat diartikan sebagai sekelompok besar
manusia yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama. Manusia yang satu memiliki
perbedaan ras dengan manusia lainnya karena adanya perbedaan ciri-ciri
fisik, seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, bentuk muka, ukuran
badan, bentuk badan, bentuk dan warna mata, dan ciri fisil yang lain.
Masyarakat indonesia memiliki keberagaman ras disebabkan oleh
kehadiran bangsa asing ke wilayah Indonesia. Beberapa ras yang ada di
Indonesia seperti ras malayan-mongoloid yang tersebar di wilayah
sumatra, kalimantan, sulawesi, jawa, bali,. Yang kedua adalah ras
malanesoid yang tersebar di daerah Papua, NTT dan maluku. Ketiga ras
Kaukosoid yaitu orang India, timur Tengah, Australia, Eropa dan Amerika.
Terakhir yaitu ras Asiatic mongoloid seperti orang Tionghoa, korea dan
jepang. Ras ini tinggal dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, namun
terkadang mendiami wilayah tertentu.
Tuhan menciptakan manusia beraneka ragam bentuk fisik, warna kulit,
bahasa,  dan budayanya. Jika perbedaan itu disikapi dengan positif maka
akan bermanfaat sekali karena tiap kelompok masyarakat memiliki
kelebihan dan kekurangan. Ada yang memiliki keramahan, ketegasan, jiwa
dagang dan lain-lain yang jika dikolaborasikan akan bermanfaat untuk
menciptakan kesejahteraan semua kelompok masyarakat.
4. Keanekaragaman Golongan di Indonesia
Keanekaragaman golongan atau kelompok dalam masyarakat merupakan
suatu gejala yang selalu ada dalam setiap kehidupan manusia dan
kedudukannya sangat penting. Mungkin kamu tidak menyadari bahwa
sejak kamu lahir sampai meninggal dunia menjadi anggota kelompok dan
terikat dengan kelompok. Sejak lahir kamu menjadi anggota keluarga,
menjadi warga suatu RT, RW, kelurahan, desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi dan negara. Meningkat remaja – dewasa kamu juga akan menjadi
anggota berbagai macam dan jenis kelompok, mulai menjadi kelompok
teman bermain, organisasi sekolah, organisasi bidang sosial, ekonomi,
politik seni dan seterusnya. Jadi jelas sekali bahwa manusia itu sangat
terikat dengan kelompok dan hidup bersama dalam kelompok serta tidak
mungkin lepas dari suatu kelompok (menyendiri tanpa berinteraksi dengan
orang lain). Oleh karena itu para ahli sosiologi memandang kelompok atau
golongan itu merupakan unsur yang sangat penting dalam masyarakat dan
tidak mungkin masyarakat tanpa ada kelompok sosial di dalamnya. 
Para sosiolog banyak mendefinisikan dengan istilah kelompok sosial.
Menurut Merton terjadap dua jenis kelompok social, yakni kelompok dan
kolektivitas. Kelompok merupakan sekelompok orang yang saling
berinteraksi sesuai dengan pola-pola yang telah mapan sedangkan
kolektivitas merupakan orang-orang yang mempunyai rasa solidaritas
karena berbagai nilai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban
moral untuk menjalankan harapan peranan. Konsep lain yang diajukan
Merton ialah konsep kategori sosial. 
Sedangkan Durkheim membedakan antara kelompok yang didasarkan
pada  solidaritas mekanis, dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas
organis. Solidaritas mekanis merupakan ciri yang menandai masyarakat
yang sedarhana, sedangkan solidaritas organis merupakan bentuk
solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks yang telah mengenal
pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh kesalingtergantungan
antar bagian.
Geertz yang mengamati kehidupan masyarakat Jawa, membedakan
golongan atau kelompok manusia antara kaum abangan, santri dan priyayi.
Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe
budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan hidup di antara mereka.
Sedangkan menurut Weber yang mengamati kehidupan masyarakat
modern, istilah golongan atau kelompok terlihat pada sistem jabatan yang
dinamakannya birokrasi.
Dalam kajian sosial, adanya perbedaan golongan atau kelompok juga
diakibatkan adanya status dan peranan social. Status atau kedudukan
biasanya didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seorang dalam
suatu kelompok atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan
kelompok lainnya. Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang
yang mempunyai suatu status (Horton, 1993). Setiap orang mungkin
mempunyai sejumlah status dan diharapkan mengisi peran yang sesuai
dengan status tersebut. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua
aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan
kewajiban; peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak-hak
tersebut.
Keanekaragaman golongan atau kelompok dalam masyarakat harus
dijadikan potensi untuk mempersatukan bangsa, karena pada prinsipnya
antara golongan yang satu dengan golongan lainnya saling membutuhkan.
Dalam perusahaan misalnya golongan atas (atasan) akan membutuhkan
golongan bawah (bawahan atau karyawan). Begitu pula dalam
pemerintahan, pejabat pemerintah membutuh rakyat.  
B. Arti Penting Memahami Keberagaman dalam Bingkai Bhinneka
Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa kita yang
mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari
keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas berbagai suku yang
beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa Indonesia,
memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan
tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai
lambang identitas bangsa dan kita bersatu padu di bawah falsafah dan
dasar negara Pancasila.
Semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ merupakan semboyan bangsa kita yang
mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari
keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas berbagai suku dan
beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa indonesia,
memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa indonesia dan
tanah air Indonesia
1) Menghormati Suka Bangsa di Indonesia
Kita sebagai bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu
kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk dapat bersatu kita harus memiliki
pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan kita dan tingkah laku
kita dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, akan terjadi
persamaan langkah dan tingkah laku bangsa Indonesia. Pedoman tersebut
adalah Pancasila, kita harus dapat meningkatkan rasa persaudaraan
dengan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga
yang ada di lingkungan kita, seperti gotong royong akan dapat
memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa
Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan
sehati dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan
kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah.
Dalam mengembangkan sikap menghormati terhadap keragaman suku
bangsa, dapat terlihat dari sifat dan siksp dalam kehidupan sehari-hari,
diantaranya adalah sebagai berikut.
a. kehidupan bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah
keluarga.
b. antara warga masyarakat terdapat semangat tolong menolong, kerjasama
untuk menyelesaikan suatu masalah, dan kerjasama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
c. dalam menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui
musyawarah.
d. terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sikap dan keadaan seperti tersebut di atas harus dijunjung tinggi serta
dilestarikan. Untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa,
kita dapat melaksanakan pertukaran kesenian daerah dari seluruh pelosok
tanah air. Dengan adanya kegiatan pertukaran kesenian daerah tersebut
dan memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia, antara lain:
a. dapat saling pengertiaan antarsuku bangsa
b. dapat lebih mudah mencapai persatuan dan kesatuan
c. dapat mengurangi prasangka antar suku
d. dapat menimbulkan rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa
2) Menghormati Budaya di Indonesia
Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa kita. Kebudayaan-
kebudayaan daerah merupakan modal utama untuk mengembangkan
kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah yang ada di wilayah Indonesia. Kebudayaan daerah
yang dapat menjadi kebudayaan nasional harus memenuhi syarat-syarat,
seperti:
1.   menunjukkan ciri atau identitas bangsa
2.   berkualitas tinggi sehingga dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia;
dan pantas dan tepat diangkat sebagai budaya nasional.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil cita, rasa, dan karya manusia
dalam suatu masyarakat dan diteruskan dari generasi ke generasi melalui
belajar. Jika kita telusuri, kebudayaan itu meliputi adat kebiasaan, upacara
ritual, bahasa, kesenian, alat-alat, mata pencaharian, ilmu pengetahuan,
dan teknologi. Dalam arti sempit kebudayaan diartikan sebagai kesenian
atau adat istiadat saja.
Kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat suatu daerah. Pada umumnya, kebudayaan daerah
merupakan budaya asli dan telah lama ada serta diwariskan turun-temurun
kepada generasi berikutnya. Kebudayaan kita sekarang ini merupakan
hasil pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan masa lampau.
Kebudayaan nasional harus memiliki unsur-unsur budaya yang mendapat
pengakuan dari semua bangsa kita, sehingga menjadi milik bangsa.
Kebudayaan nasional dilaksanakan pada saat kegiatan tingkat nasional,
seperti perayaan peringatan kemerdekaan 17 Agustus, peringatan hari-hari
nasional, dan kegiatan kantor pemerintah atau swasta. Sebagai warga
negara Indonesia kita seharusnya bangga dengan adanya
keanekaragaman kebudayaan. Bermacam-macam bentuk kebudayaan itu
merupakan warisan yang tak ternilai harganya. Kita harus menghormati
keanekaragaman budaya. Kita juga harus melestarikan dan
mengembangkan berbagai bentuk warisan budaya yang ada sekarang ini

Bagaimana cara menghormati keanekaragaman budaya yang ada di


Indonesia? Sikap menghormati keanekaragaman budaya dapat kita
tunjukkan dengan sikap-sikap berikut ini.
1. Menghormati kelompok lain yang menjalankan kebiasaan dan adat
istiadatnya.
2.   Tidak menghina hasil kebudayaan suku bangsa lain.
3.   Mau menonton seni pertunjukan tradisional.
4.   Mau belajar dan mengembangkan berbagai jenis seni tradisional seperti
seni tari, seni musik, dan seni pertunjukan.
5.   Bangga dengan hasil kebudayaan dalam negeri
Sikap saling menghormati budaya perlu dikembangkan agar kebudayaan
kita yang terkenal tinggi nilainya itu tetap lestari, tidak terkena arus yang
datang dari luar. Melestarikan kebudayaan nasional harus didasari engan
rasa kesadaran yang tingi tanpa adanya paksaan dari siapapun.
Dalam rangka pembinaan kebudayaan nasional, kebudayaan daerah perlu
juga kita kembangkan, karena kebudayaan daerah mempunyai kedudukan
yang sangat penting. Pembinaan kebudayaan daerah dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. pertukaran kesenian daerah
b. pembentukan organisasi kesenian daerah
c. penyebarluasan seni budaya, antara lain melalui radio, TV, surat kabar
serta majalah
d. penyelenggaraan seminar mengenai seni budaya daerah
e. membentuk sanggar tari daerah
f. mengadakan pentas kebudayaan
3) Menghormati Agama yang ada di Indonesia
Sejak seseorang sudah diajarkan untuk meyakini dan melaksanakan
ajaran agama yang kita anut. Dalam kehidupan berbangsa, kita
mengetahui keberagaman dalam agama. Agama tersebut tidak
mengajarkan untuk memaksakan kepercayaan kita kepada orang lain. Kita
harus menghormati dan menghargai agama dan keyakinan orang lain,
dengan begitu tidak akan ada pertengkaran. Seperti semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”  yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
4) Menghormati Ras yang ada di Indonesia
Masyarakat Indonesia memiliki keberagaman ras, disebabkan oleh
kedatangan bangsa asing ke wilayah Indonesia, sejarah penyebaran ras di
dunia, letak dan kondisi geografis wilayah Indonesia. Beberapa ras yang
ada dalam masyarakat Indonesia antara lain ras Malayan-Mongoloid yang
ada di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan
Sulawesi. Kedua ras Melanesoid yang mendiami daerah Papua, Maluku,
dan Nusa Tenggara Timur. Ketiga ras Asiatic Mongoloid seperti orang
Tionghoa, Jepang, dan Korea. Ras ini tinggal menyebar di seluruh
Indonesia, namun terkadang mendiami daerah tertentu. Terakhir adalah
ras Kaukasoid yaitu orang India, Timur Tengah, Australia, Eropa, dan
Amerika. 
Masyarakat Indonesia terdiri atas jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan sensus penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 119.630.913 dan perempuan sebanyak 118.010413 Jumlah
penduduk ini dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga diprediksi
penduduk Indonesia akan bertambah pesat pada tahun-tahun berikutnya,
hal ini disebabkan oleh perumbuhan penduduk Indonesia setiap tahun
sekitar 1.49%. Suatu jumlah yang besar dan dapat menimbulkan persoalan
di kemudian hari. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengurangi
pertumbuhan penduduk Indonesia. Ayo apa yang dapat dilakukan oleh
kalian untuk memperlambat pertumbuhan penduduk Indonesia? 
Sering kali kita menjumpai seseorang memperlakukan orang lain secara
berbeda karena perbedaan jenis kelamin. Misalkan saat tugas piket kelas,
maka anak laki-laki mengangkat meja dan perempuan menyapu.
Kemudian yang menjadi sekretaris dan bendahara kelas adalah anak
perempuan. Keadaan inilah yang dinamakan gender, yang dapat diartikan
sebagai perilaku atau sikap yang disebabkan perbedaan jenis kelamin.
Perilaku dan sikap ini bukan karena jenis kelamin seseorang sehingga dia
menjadi ketua kelas. Namun disebabkan oleh pandangan atau pendapat
dalam masyarakat yang memberikan tugas-tugas tertentu berdasarkan
jenis kelamin.
Oleh karena hanya pandangan atau pendapat masyarakat, maka
mengakibatkan perbedaan gender antar masyarakat. Coba kalian
perhatikan dalam suku bangsa di Indonesia ada yang mengikuti garis
keturunan ibu atau bapak. Seperti dalam masyarakat tertentu, nama marga
mengikuti marga ayah, karena mengikuti garis keturunan laki-laki
(patrilineal). Sedangkan masyarakat yang lain lebih mengutamakan anak
perempuan dari pada laki-laki dalam kedudukan di keluarga.
Bagaimana kita bisa bersikap menghormati keragaman ras yang ada di
tanah air? Kita bisa mengembangkan sikap berikut ini.
1.    Menerima ras orang lain dalam pergaulan sehari-hari. Dalam pergaulan di
masyarakat, kita membedakan antara ras yang satu dengan yang lainnya  
2.    Tidak menjelek-jelekkan, menghina, dan merendahkan ras orang  lain. Kita,
manusia yang diciptakan Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama.  
5) Menghormati Golongan yang ada di Indonesia
Bagaimana kita bisa bersikap menghormati golongan atau kelompok lain
yang ada di tanah air? Sama halnya dengan sikap kita dalam menghormati
keraghaman ras. Berikut beberapa sikap yang di kembangan dalam
menghormati kelompok atau golongan yang lain.
1.   Menerima golongan atau orang lain dalam pergaulan sehari-hari. Dalam
pergaulan di masyarakat, kita membedakan antara golongan yang satu
dengan golongan dengan yang lainnya  
2.   Tidak menjelek-jelekkan, menghina, dan merendahkan golongan atau
kelompok yang  lain. Kita, manusia yang diciptakan Tuhan dengan harkat
dan martabat yang sama.  
6) Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Alat Pemersatu Bangsa
Realitas suatu bangsa yang menunjukkan adanya kondisi
keanekaragaman suku bangsa, budaya, agama ras dan golongan menga-
rahkan pada pilihan untuk menganut asas multikulturalisme. Dalam asas
multikulturalisme ada kesadaran bahwa bangsa itu tidak tunggal, tetapi
terdiri atas sekian banyak komponen yang berbeda. Multikluturalisme
menekankan prinsip nilai-nilai kebersamaan di antara keragaman suku
bangsa, budaya, agama ras dan golongan tersebut. Semua suku bangsa,
budaya, agama ras dan golongan pada prinsipnya sama-sama ada dan
karena itu harus diperlakukan dalam konteks duduk sama rendah dan
berdiri  sama tinggi. Asas itu pulalah yang diambil oleh Indonesia, yang
kemudian dirumuskan dalam semboyan yaitu “bhineka tunggal ika”.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa kita yang
mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari
keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas berbagai suku yang
beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa Indonesia,
memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan
tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai
lambang identitas bangsa dan kita bersatu padu di bawah falsafah dan
dasar negara Pancasila.
Realitas historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berdiri tegak di
antara keragaman suku bangsa, budaya, agama ras dan golongan yang
ada. Salah satu contoh nyata yaitu dengan dipilihnya bahasa Melayu
sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian berkembang menjadi
bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua komponen
bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang dapat mengatasi sekaligus
menjembatani jalinan antarkomponen bangsa.
Adat istiadat, kesenian, kekerabatan, bahasa, dan bentuk fisik yang dimiliki
oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia memang berbeda, namun
selain perbedaan suku-suku itu juga memiliki persamaan antara lain
hukum, hak milik tanah, persekutuan, dan kehidupan sosialnya yang
berasaskan kekeluargaan.
Untuk dapat bersatu kita harus memiliki pedoman yang dapat
menyeragamkan pandangan kita dan tingkah laku kita dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, akan terjadi persamaan langkah dan tingkah
laku bangsa Indonesia. Pedoman tersebut adalah Pancasila, kita harus
dapat meningkatkan rasa persaudaraan dengan berbagai suku bangsa di
Indonesia.
Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga
yang ada di lingkungan kita, seperti gotong royong akan dapat
memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa
Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan
sehati dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan
kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah.
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1993:5) Indonesia dapat disebut
sebagai negara plural terlengkap  di dunia di samping negara Amerika. Di
Amerika dikenal semboyan et pluribus unum, yang mirip dengan bhineka
tunggal ika, yang berarti  banyak namun hakikatnya satu.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika memang menjadi sangat penting ditengah
beragamnya adat dan budaya Indonesia. Menjadi barang percuma, apabila
semboyan penuh makna tersebut hanya menjadi pelengkap burung garuda
penghias dinding. Bhineka Tunggal Ika bermakna berbeda beda tetapi
tetap satu jua, sebuah semboyan jitu yang terbukti berhasil menyatukan
bangsa dengan sejuta suku, bangsa yang kaya akan ideologi, menjadi
sebuah bangsa yang utuh dan merdeka.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan alat pemersatu bangsa. Untuk itu kita
harus benar-benar memahami maknanya. Negara kita juga memiliki alat-
alat pemersatu bangsa yang lain yakni:
1. Dasar Negara Pancasila
2. Bendera Merah Putih sebagai bendera kebangsaan
3. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan
4. Lambang Negara Burung Garuda
5. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
6. Lagu-lagu perjuangan
Masih banyak alat-alat pemersatu bangsa yang sengaja diciptakan agar
persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. Bisakah kamu menyebutkan
yang lainnya? Persatuan dalam keragaman memiliki arti yang sangat
penting. Persatuan dalam keragaman harus dipahami oleh setiap warga
masyarakat agar dapat mewujudkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang
2. Pergaulan antarsesama yang lebih akrab
3. Perbedaan yang ada tidak menjadi sumber masalah
4. Pembangunan berjalan lancar
C. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Suku, Agama, Ras, dan
antar golongan
Indonesia, negara di Asia Tenggara yang merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia. Penduduk Indonesia termasuk bersifat heterogen dan
memiliki suku, ras dan budaya yang beraneka ragam. Keberagaman suku,
budaya, agama, rasa dan golongan di Indonesia juga dipengaruhi oleh
kondisi geografis yang ada. Dengan jumlah penduduk yang mencapai
sekitar 200 juta orang lebih, penduduk Indonesia tersebar di masing-
masing pulau dan mempunyai ciri khas budayanya sendiri. Warisan agama
dan budaya yang berkembang di Indonesia, berasal dari berbagai macam
etnis, suku, dan bahasa di daerah-daerah yang menyebar di tanah
nusantara.
Keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan ini antara lain
dipengaruhi oleh letak geogarfis di jalur perdagangan internasional.
Dukungan kekayaan alam yang melimpah dan diperlukan oleh bangsa lain,
maka para pedagang asing datang ke Indonesia. Selain melakukan
kegiatan berdagang, mereka juga menyebarkan ajaran agama dan
kepercayaan yang mereka yakini. Agama Hindu dan Budha masuk dibawa
oleh bangsa India yang sudah lama berdagang dengan Indonesia,
kemudian menyusul para pedagang Gurajat menyebarkn ajaran Islam. .
Kedatangan bangsa Eropa membawa ajaran agama Kristen dan Katolik,
sedangkan pedagang dari Cina menganut agama Kong Hu Chu. Berbagai
ajaran agama diterima oleh bangsa Indonesia karena sebelumnya
masyarakat sudah mengenal kepercayaan seperti animisme dan
dinamisme. Juga sifat keterbukaan masyarakat Indonesia menerima
budaya lain
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan antar golongan jangan dijadikan
sebagai perbedaan, tetapi hendaknya dijadikan sebagai kekayaan bangsa
Indonesia. Kita selaku bangsa Indonesia mempunyai kewajiban untuk
selalu melestarikan persatuan dan kesatuan dalam Negara yang
bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika
Di samping itu, dengan mendalami keanekaragaman suku bangsa, rasa,
agama dan golongan yang ada Indonesia, wawasan kita akan bertambah
sehingga kita tidak akan menjadi bangsa yang kerdil. Kita dapat menjadi
bangsa yang mau dan mampu menghargai kekayaan yang kita miliki, yang
berupa keanekaragaman kebudayaan tersebut.
Untuk menciptakan suatu integrasi dalam masyarakat yang memiliki tingkat
keanekaragamaan kelompok sosial yang tinggi diperlukan dengan sikap
pengorbanan sikap toleransi yang besar dan upaya yang kuat untuk
melawan prasangka dan diskriminasi. Sikap toleransi berarti sikap yang
rela menerima dan menghargai perbedaan dengan orang atau kelompok
lain.
Adapun sikap toleransi yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan
persatuan dalam keragaman antara lain:
1. Tidak memandang rendah suku atau budaya yang lain
2. Tidak menganggap suku dan budayanya paling tinggi dan paling baik
3. Menerima keragaman suku bangsa dan budaya sebagai kekayaan bangsa
yang tak ternilai harganya.   
4. Lebih mengutamakan negara dari pada kepentingan daerah atau suku
masing-masing. 
Dengan adanya multikulturalisme (ragam budaya), diharapkan
mempertebal sikap toleransi dan rasa tolong menolong serta nasionalisme
kita. Kita mesti bangga, memiliki suku bangsa, budaya, agama ras dan
golongan yang beragam. Keragaman suku bangsa, budaya, agama ras
dan golongan merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya.
Sebagai contoh bangsa asing saja banyak yang berebut belajar budaya
daerah kita. Bahkan kita pun sempat kecolongan, budaya asli daerah kita
diklaim atau diakui sebagai budaya asli bangsa lain. Karya-karya putra
daerah pun juga banyak yang diklaim oleh bangsa lain.
11.21 18:42

All about Communication

‹ › Beranda

Lihat versi web

Kamis, 18 Oktober 2012

Nida Choirun Nufus di 21.41

Organisasi Kedaerahan

Mendirikan suatu komunitas bukanlah perkara yang sulit. Menyatukan orang-orang


yang memiliki hobi yang sama misalnya, bisa saja hanya mengumpulkan sejumlah
orang lewat grup di media sosial lalu mengabarkan informasi kegiatan, cukup mudah.
Namun, bagaimana ketika komunitas yang dibentuk dari persamaan daerah asal, akan
tetapi dengan beragam kegemaran?

Paguyuban Mahasiswa Banten (Pamaten) merupakan salah satu komunitas yang ada
di Unpad sejak tahun lalu. Semula Pamaten hanyalah nama sebuah grup di situs
pertemanan dunia maya. Setahun telah berlalu, Pamaten telah bermetamorfosis
menjadi suatu komunitas nyata tempat mahasiswa Banten berkumpul berbagi cerita
anatmahasiswa yang tentu saja dari berbagai fakultas.

Perkumpulan seperti ini sebenarnya alamiah, karena pada dasarnya setiap orang akan
berkumpul dengan kelompoknya. Tidak terkecuai kelompok daerah asal. Akan tetapi,
perkumpulan yang ada selama tahun-tahun kebelakang, layaknya suatu tanaman
tanam cabut. Silaturahmi mahasiswa hanya berlangsung seumur jagung di tahun
pertama, setelah itu ‘bubar jalan’ dengan berbagai kesibukan masing-masing. Tahun
lalu, Pamaten mendirikan suatu komunitas untuk dijalani dengan sungguh-sungguh,
dan dengan tujuan yang sama, menyatukan tali persaudaraan antarmahasiswa Banten
yang ada di Unpad.

Tahun 2011 merupakan tahun pertama pendirian komunitas ini. Hingga pada 9 Juni
2012, Pamaten berkamuflase menjadi suatu organisasi yag tentu saja memiliki sistem
kepengurusan yang jelas, dengan berkiblat pada salah satu struktur organisasi yang
ada di Unpad

Pamaten merupakan sebuah paguyuban, yang notabene paguyuban adalah suatu


perkumpulan yang bersifat kedaerahan, bersifat kekeluargaan, dan adanya ikatan
emosional. Jadi, Pamaten itu organisai yang bersifat kekeluargaan.

Organisasi yang bersifat kekeluarganya tentunya memiliki sistem, struktur, dan cara
kerja yang berbeda dengan organisasi professional atau patembayan. Saat ini Pamaten
sedang dalam masa ‘badai angin’. Struktur organisasi ini berkiblat pada suatu
organisasi professional dengan aturan yang professional pula.

Ibarat sebuah kapal, Ketua adalah nahkoda yang akan membawa suatu organisasi
kearah yang nahkoda belokkan. Memang nahkoda dan para penumpang memiliki
tujuan yang sama, misalnya menyebrangi samudra atlantikuntuk sampai ke Pulau harta
karun di ujung sana. Akan tetapi, siapa yang tahu, bisa saja nahkoda membelokkan
arahnya. Siapa tahu. Sebagai suatu organisasi baru, para pendiri hendaknya saling
mengingatkan untuk tujuan utama. Tidak ada salahnya.
11.22 16:35

15 Manfaat Organisasi dalam Masyarakat

Selain sebagai makhluk individu, manusia juga diciptakan sebagai makhluk sosial.
Artinya manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari manusia lainnya. Untuk
itulah maka tercipta istilah kerja sama, di mana hal itu dilakukan karena adanya faktor
saling membutuhkan antara satu dan lainnya. Dalam sistem kerjasama tersebut bisa
dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan masing-masing dari mereka tentunya memiliki
kelebihan serta kekurangan masing-masing. Sehingga dengan adanya kerja sama
tersebut diharapkan anggota satu dan yang lainnya bisa saling melengkapi, sehingga
pada akhirnya tujuan yang semula hendak dicapai bisa terwujud dengan mudah.

Setiap anggota dalam kelompok kerjasama tersebut memegang peranan dan fungsi
masing-masing, dengan begitu maka akan dapat dilihat dengan jelas bagaimanakah
struktur dari kerjasama tersebut, yang pada akhirnya hal itu akan mengarah pada
terbentuknya organisasi. Jika demikian, apa sajakah manfaat yang bisa didapatkan dari
suatu organisasi? Ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari
organisasi itu sendiri. Secara umum, organisasi bisa dikatakan sebagai sekelompok
orang (dua orang atau lebih) yang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Organisasi juga bisa dikatakan sebagai suatu kerjasama antara dua orang atau lebih
yang di dalamnya terdapat struktur pembagian kerja serta struktur tata hubungan kerja
bagi setiap anggotanya dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

Secara sederhana, organisasi merupakan suatu wadah guna menampung aspirasi,


pikiran, serta pendapat dari para anggotanya untuk mencapai tujuan bersama. Adapun
beberapa manfaat organisasi yang bisa diperoleh dari suatu organisasi di antaranya
adalah :

1. Dapat mencapai tujuan yang diharapkan bersama dengan lebih efisien

Terbentuknya suatu organisasi tentu memiliki suatu tujuan yang berkaitan dengan hajat
para anggota yang ingin hendak dicapai. Dan salah satu manfaat yang bisa didapatkan
dari berorganisasi adalah bisa tercapainya tujuan tersebut dengan lebih mudah.
Mengapa demikian? Karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam sebuah
organisasi terdapat struktur pembagian kerja serta struktur tata hubungan kerja bagi
setiap anggotanya, sehingga meskipun masing-masing anggota memiliki peran sendiri-
sendiri akan tetapi satu dengan lainnya saling berkaitan, sehingga proses penyelesaian
untuk mencapai tujuan tersebut bisa lebih cepat dan mudah.

2. Permasalahan dapat teratasi dengan mudah

Dalam suatu kehidupan, khususnya kehidupan berorganisasi, timbulnya permasalahan


merupakan hal yang sudah biasa terjadi. Hal itu disebabkan karena masing-masing
anggota memiliki karakter dan pendapat yang berbeda-beda. Dan tentu saja dalam
kehidupan organisasi, masalah yang timbul tidak hanya dibebankan atau diputuskan
oleh salah satu anggota saja, akan tetapi seluruh anggota harus ikut aktif dalam
memecahkan permasalahan yang timbul tersebut agar tidak memberikan dampak
akibat konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka para
anggota akan terlatih tentang bagaimana bersikap serta menyikapi setiap
permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat.

3. Timbulnya semangat kerjasama

Mau tidak mau setiap anggota organisasi dituntut untuk ikut serta dalam setiap hal yang
berkaitan dengan organisasi tersebut. Dan dalam setiap hal yang berkaitan dengan
orang banyak tentu tidak dapat dibebankan hanya pada satu orang saja, tetapi
dibutuhkan kerjasama dari anggota lainnya. Dengan demikian, setiap anggota akan
terpacu semangatnya untuk saling bekerja sama agar tujuan yang hendak mereka
capai bisa terwujud.

4. Mengembangkan kemampuan public speaking

Bagi sebagian orang, memiliki kemampuan dan keberanian untuk berbicara di depan
umum merupakan hal yang tidak mudah, butuh waktu yang lama untuk melatih dirinya
dapat memiliki kemampuan tersebut. Organisasi merupakan suatu wadah yang tepat
bagi seseorang untuk dapat melatih dan mengembangkan kemampuan serta
keberanian seseorang terkait public speaking, seperti menyampaikan pendapat,
berpidato, dan lain sebagainya.

5. Melatih jiwa kepemimpinan

Ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Setiap orang dari kamu adalah pemimpin dan
kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinan.” Maksud dari pernyataan tersebut
adalah bahwa setiap orang pasti akan menjadi seorang pemimpin, baik itu bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain. Organisasi merupakan suatu wadah di mana jiwa
kepemimpinan dalam diri kita bisa terasah, yaitu dengan mengedepankan kepentingan
umum dibanding kepentingan pribadi. Selain itu, dalam suatu organisasi seseorang
diajarkan bagaimanakah cara mengambil keputusan yang bijak dengan tidak merugikan
pihak manapun.

6. Dapat melatih seseorang untuk berinteraksi dengan berbagai karakter yang berbeda

Suatu organisasi tentu terdiri lebih dari satu orang, di mana orang yang satu dan yang
lainnya memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Hal ini akan membantu melatih
seseorang untuk dapat berinteraksi dengan orang yang lainnya tanpa membeda-
bedakan satu dan lainnya.

7. Memperluas wawasan dan pengetahuan seseorang

Kegiatan seminar, lokakarya, pelatihan, maupun kegiatan-kegiatan lain merupakan


salah satu agenda yang ada dalam suatu organisasi seiring berjalannya pengaruh

globalisasi . Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat membantu


menambah wawasan,pengetahuan, serta kompetensi yang dimiliki setiap orang yang
bergabung di dalam organisasi tersebut.

8. Dapat memperluas pergaulan seseorang

Dalam suatu organisasi terdapat keterkaitan di antara anggota yang satu dengan
anggota lainnya. Ini adalah sebagai akibat dari interaksi dan kerjasama yang terjadi di
antara sesama anggota organisasi tersebut. Dengan demikian maka hubungan
pertemanan seseorang akan menjadi lebih luas.

9. Dapat menunjukkan jati diri dan kepribadian seseorang

Pada umumnya, seseorang yang aktif dalam berorganisasi, khususnya bagi para
remaja akan dapat menemukan jati diri serta kepribadian mereka, yaitu dari lingkungan
dan pergaulan dari komunitas atau organisasi yang mereka bentuk.

10. Dapat membentuk Emotional Intelegent Quotien (EQ)

Selain kepribadian, keberadaan lingkungan dalam organisasi yang dibentuk akan


mampu mempengaruhi perkembangan emosi seseorang, di mana lingkungan yang baik
akan mampu menciptakan kondisi emosi yang baik pula. Dengan EQ yang baik, maka
seseorang akan dapat bergaul dan menghadapi orang-orang dengan tipikal yang
berbeda-beda.

11. Dapat membantu seseorang untuk bisa membagi waktunya

Berbagai ungkapan telah menunjukkan pentingnya waktu bagi kita, seperti ungkapan
yang menyatakan bahwa waktu adalah uang, atau juga pepatah yang mengatakan
bahwa orang yang sukses adalah mereka yang mau menghargai waktu. Oleh karena
itu, akan sangat penting bagi kita untuk memanfaatkan waktu yang kita punya dengan
sebaik-baiknya. Organisasi adalah pilihan yang tepat bagi kita untuk belajar menghargai
waktu dan mengatur setiap jadwal kegiatan kita.

12. Dapat membantu seseorang untuk bisa lebih bertanggung jawab

Seseorang yang aktif dalam organisasi akan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab
di dalam dirinya. Hal ini dikarenakan adanya struktur yang jelas yang mengatur fungsi
serta tugas masing-masing anggota organisasi tersebut sesuai dengan kedudukannya.
Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa keberadaan suatu organisai harus
terus ditumbuh kembangkan.

13. Dapat menumbuhkan disiplin dan etos kerja bagi seseorang

Hal lain yang bisa diperoleh seseorang dari berorganisasi adalah peningkatan disiplin
serta etos kerja di dalam dirinya. Hal tersebut secara tidak langsung akan mampu
membentuk softskill dalam diri seseorang. Dengan kemampuan tersebut akan banyak
hal yang bisa dilakukan olehnya seperti memiliki kemampuan dalam menyampaikan
ide, bernegosiasi dengan baik, memiliki kemampuan untu merubah suatu halmenjadi
lebih baik, dan masih banyak lagi.

14. Dapat menumbuhkan sifat percaya diri seseorang

Memiliki rasa percaya diri adalah salah satu hal yang dibutuhkan dalam pergaulan
seseorang, dan organisasi merupakan wadah yang tepat untuk mendapatkan hal itu.
Dalam organisasi, seseorang dilatih untuk dapat menyampaikan ide-ide, diberikan
kepercayaan untuk melakukan tugas-tugas tertentu, dan lain sebagainya. Secara tidak
langsung hal itu akan dapat menumbuhkan sikap percaya diri dalam diri orang tersebut.

15. Dapat melatih seseorang untuk lebih kuat dalam menghadapi tekanan

Dalam kehidupan di era modern ini, seseorang dituntut untuk bisa lebih kuat dalam
menghadapi segala masalah maupun tekanan yang datang dari berbagai pihak.
Keberadaan organisasi dapat melatih jiwa seseorang agar menjadi lebih kuat, adanya
perbedaan pendapat di antara sesama anggota organisasi tersebut dalam
menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi merupakan salah satu cambuk yang
nantinya akan membuat para anggota organisasi tersebut menjadi lebih kuat dalam
menghadapi tekanan.
11.22 16:39

Penting nya Organisasi dalam Kehidupan Masyarakat

Sebelum menerangkan organisasi dalam masyarakat, terlebih dahulu kita harus tahu
apa itu organisasi. Menurut saya, Organisasi adalah sekumpulan orang atau manusia
yang berkumpul membentuk suatu badan yang memiliki visi dan misi yang sama dan
melakukan suatu kegiatan agar tujuan dapat terwujud.

Dalam organisasipun terdapat suatu pengurusan, yakni: ketua, wakil ketua, sekrearis,
dan sebagainya. Ini dimaksud untuk menjamin keberlangsungan organisasi tersebut
dan terlaksananya tujuan tersebut.

Contoh organisasi kemasyarakatan dengan ruang lingkup paling kecil adalah ibu-ibu
PKK. Ini juga dapat dikatakan sebagai orgaisasi, karena adanya struktur kepempinan
yang jelas dan tujuan yang jelas. Contoh lainnya Karang Taruna. Organisasi ini salah
satu organisasi yang terjun langsung di masyarakat. Organisasi ini adalah kumpulan
dari pemuda-pemudi sekitar yang dapat membentuk kegiatan-kegiatan positif untuk
lingkungan mereka, misal belajar bersama, membersihkan lingkungan, mengadakan
kegiatan yg berhubungan dengan olahraga.

Contoh Jenis Organisasi

1. Formal dan Informal

a. Organisasi formal

Organisasi formal memiliki struktur yang jelas, biasanya memiliki surat-surat untuk
mendukung kinerjanya. Dan memilii anggota yang relatif lebih banyak, dibandingkan
organisasi informal. Organisasi ini sangat berpengaruh pada kekuasaan, dan tanggung
jawab dari divisi masing-masing.

Contoh: DPR, PSSI, POLDA, SSB, perusahaan besar, badan-badan pemerintah,


universitas, dan sebagainya.

b. Organisasi informal

Dibanding organisasi formal, organisasi informal tidak begitu terkait ikatannya dengan
organisasi tersebut. Biasanya anggota organisasi ini terlibat atas dasar sukarelawan.
Namun dibutuhkan pula kepimpinan yang baik dalam organisasi ini. contoh : karang
taruna, ibu-ibu PKK

2. Profit dan Non-Profit

a. Proft

Organisasi profit adalah organisasi yang memiliki tujuan utama untuk mencari laba.
Yang mana semua anggotannya ikut dalam organisasi ini mencari uang. Dalam tanda
kutip untuk mencari nafkah.

Contoh: sekolah, rumah sakit, dll.


b. Non-profit

Organisasi non profit adalah organisasi yang tidak mencari keuntungan, dimiliki secara
kolektif, kas berasal dari donator. Sebagian besar anggotanya mengikuti karena adanya
rasa ingin menolong sesama.

Contoh: PMI dan organisasi di bidang keagamaan.

Ciri-Ciri Organisasi yang Baik

1. Memiliki anggota yang jelas identitas dan kuantitasnya.

2. Jelas keberadaan dan posisinya dalam masyarakat.

3. Memiliki kepengurusan dan susunan manajemen yang jelas pembagian tugasnya.

4. Mengacu pada manajemen yang sehat

5. Mendapat tempat di hati masyarakat

Manfaat Organisasi

1. Mempermudah pencapaian tujuan.

2. Mengubah pola hidup masyarakat.

3. Membuka lapangan kerja.

KESIMPULAN

Berdasarkan materi yang telah dibahas, kita dapat menyimpulkan bahwa organisasi
dibutuhkan dalam masyarakat. Dengan adanya organisasi suatu kegiatan dapat
berjalan dengan lancar, karena adanya struktur perencanaan yang matang. Dan
organisasipun dapat menjadi wadah masyarakt untuk menuangkan kretifitasnya.
PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak sekali organisasi bermuculan di masyarakat, mulai dari organisasi
sosial, organsisasi politik, organisasi mayrakat. Semua semua organisasi mempunyai
tujuan masing-masing yang berbeda, dan pada tulisan ini kami akan membahas
mengenai arti organisasi dalam masyarakat.

Batasan Masalah

Dalam makalah ini akan dibahas arti dari organisasi, peranannya, dan arti penting
organisasi itu sendiri dan bertujuan Untuk mengetahui arti penting organisasi dan
dampaknya didalam lingkungan masyarakat.

Masyarakat

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang


membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain).

Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai


sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang
sama.

Organisasi

Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang
berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi,
terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material,mesin,
metode, lingkungan),sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan
secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut para ahli terdapat
beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.

· Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang


melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama.

· James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap


perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.

· Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem


aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
· Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial
yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat
diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu
tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

Ciri-ciri Organisasi

Menurut Berelson dan Steiner(1964:55) sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai


berikut:

1. Formalitas, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjuk kepada adanya


perumusan tertulis daripada peratutan-peraturan, ketetapan-ketetapan, prosedur,
kebijaksanaan, tujuan, strategi, dan seterusnya.

2. Hierarkhi, merupakan ciri organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola
kekuasaan dan wewenang yang berbentuk piramida,

3. Besarnya dan Kompleksnya, dalam hal ini pada umumnya organisasi sosial memiliki
banyak anggota sehingga hubungan sosial antar anggota adalah tidak langsung
(impersonal), gejala ini biasanya dikenal dengan gejala “birokrasi”.

4. Lamanya (duration), menunjuk pada diri bahwa eksistensi suatu organisasi lebih
lama daripada keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu.

Organisasi sosial

Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana
partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara

Alasan berorganisasi

a. Alasan Sosial (social reason), sebagai “zoon politicon ” artinya mahluk yang hidup
secara berkelompok, maka manusia akan merasa penting berorganisasi demi
pergaulan maupun memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat kita temui pada organisasi-
organisasi yang memiliki sasaran intelektual, atau ekonomi.

b. Alasan Materi (material reason), melalui bantuan organisasi manusia dapat


melakukan tiga macam hal yang tidak mungkin dilakukannya sendiri yaitu:

1) Dapat memperbesar kemampuannya

2) Dapat menghemat waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu sasaran, melalui
bantuan sebuah organisasi.

3) Dapat menarik manfaat dari pengetahuan generasi-generasi sebelumnya yang telah


dihimpun.

Tipe-tipe Organisasi

Secara garis besar organisasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu organisasi
formal dan organisasi informal. Pembagian tersebut tergantung pada tingkat atau
derajat mereka terstruktur.

Organisasi Formal (Resmi)

Organisasi formal/Resmi adalah organisasi yang dibentuk oleh sekumpulan


orang/masyarakat yang memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang
menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung
jawabnya, serta memilki kekuatan hukum. Struktur yang ada juga menerangkan
bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung.Kemudian
menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki
sasaran organisasi formal dinyatakan secara eksplisit. Status, prestise, imbalan,
pangkat dan jabatan, serta prasarat lainya terurutkan dengan baik dan terkendali.
Selain itu organisasi formal tahan lama dan mereka terencana dan mengingat bahwa
ditekankan mereka beraturan, maka mereka relatif bersifat tidak fleksibel. Contoh
organisasi formal ádalah perusahaan besar, badan-badan pemerintah, dan universitas-
universitas.

Organisasi Informal

Keanggotaan pada organisasi-organisasi informal dapat dicapai baik secara sadar


maupun tidak sadar, dan kerap kali sulit untuk menentukan waktu eksak seseorang
menjadi anggota organisasi tersebut.Sifat eksak hubungan antar anggota dan bahkan
tujuan organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi.

Organisasi informal dapat dialihkan menjadi organisasi formal apabila hubungan


didalamnya dan kegiatan yang dilakukan terstruktur dan terumuskan.

Selain itu, organisasi juga dibedakan menjadi dua yaitu :

· Organisasi Primer, organisasi semacam ini menuntut keterlibatan secara lengkap,


pribadi dan emosional anggotanya.

· Organisasi Sekunder, organisasi sekunder memuat hubungan yang bersifat


intelektual, rasional, dan kontraktual.

Tujuan Sebuah Organisasi

Tujuan organisasi merupakan suatu harapan yang diinginkan dalam sebuah organisasi
sesuai dengan misi dan visi pada organisasi tersebut demi kesejahteraan seluruh
anggotanya.Setiap organisasi juga harus punya arah ,

Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana organisasi harus dibawa agar dapat
eksis, antisipatif dan inovatif. atau suatu gambaran yang menantang tentang keadaan
masa depan yang diinginkan oleh organisasi. Berdasarkan hal tersebut, visi merupakan
suatu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi.

Misi merupakan pernyataan yang menetapkan tujuan organisasi dan sasaran yang
ingin dicapai. Pernyataan Misi membawa organisasi kepada suatu fokus. Misi

menjelaskan mengapa organisasi itu ada, apa yang dilakukannya, dan bagaimana
melakukannya.Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh organisasi agar
tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik

Prinsip Prinsip Dari Sebuah Organisasi

Ada beberapa prinsip dari sebuah organisasi yaitu :

1. Bahwa Organisasi Harus Mempunyai Tujuan yang Jelas,

2. Bahwa harus ada kepemimpinan

3. Bahwa harus ada pembagian pekerjaan,

4. Bahwa organisasi harus ada tanggung jawab,

Bentuk-bentuk Organisasi
1. Organisasi politik

2. Organisasi sosial

3. Organisasi mahasiswa

4. Organisasi olahraga

5. Organisasi sekolah

6. Organisasi negara

Contoh Organisasi

Front Betawi Rempug

Organisasi ini berkiblat pada masyarakat yang mayoritas bersuku Betawi. Pada
dasarnya mereka membangun organisasi ini hanya untuk menyatukan dan menjalin
silaturahmi kepada seluruh suku Betawi yang ada diJakarta.

Front Pembela Islam

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam bergaris keras yang
berpusat di Jakarta. FPI memiliki Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari
organisasi tersebut yang kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban"
(sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan
dengan syariat Islam terutama pada masa Ramadan dan seringkali berujung pada
kekerasan.

Pemuda Pancasila

Organisasi Pemuda Pancasila adalah organisasi yang didirikan oleh seseorang


bernama Japto Soerjosoemarno. Beliau juga pendiri partai persatuan pancasila (PP).
Pemuda pancasila ini dibagi menjadi beberapa bagian lagi. Seperti, SAPMA (satuan
pelajar mahasiswa pancasila), 234SC, Patriot.

Peranan Organisasi Dalam Masyarakat

Suatu organisasi mempunyai arti penting dalam masyrakat, karena organisasi dapat
membantu/mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam lingkungan &
kehidupannya,organisasi bisa sebagai pendukung proses sosialisasi yang berjalan di
sebuah lingkungan bermasyrakat, yang paling utama organisasi merupakan
tempat/wadah aspirasi dari seklompok individu yang berbeda beda contohnya adalah
komunitas sistem operasi Linux

windows android dll,, Organisasi juga bisa dapat digunakan sebagai tempat
pengontrolan/pengawasn terhadap kebijakan kebijakan dan kerja dari sebuah
pemerintahan yang sedang berjalan atau bisa disebut organisasi berbasis politik.

PENUTUP

(A).Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa organisasi
memiliki arti penting dalam

masyarakat karena organisasi dapat membantu dan mengajak masyarakat untuk lebih
aktif dalam lingkungan & kehidupannya,organisasi bisa sebagai pendukung proses
sosialisasi yang berjalan di sebuah lingkungan bermasyrakat,yang paling utama
organisasi merupakan tempat dan wadah aspirasi dari sekelompok individu yang
berbeda bedaTanpa adanya organisasi kita akan menjadi kesulitan untuk
melaksanakan suatu kerja sama, karena setiap orang tidak akan mengetahui
bagaimana cara bekerja sama dalam sebuah organisasi tersebut. Suatu organisasi
dibentuk karena adanya suatu dorongan dari dalam diri sekelompok orang untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan mengikuti organisasi,Masyarakat dapat
mengaktualisasikan dirinya. Selain itu, masyarakat juga akan memiliki kemampuan
lebih di bandingkan dengan mereka yang tidak pernah ikut organisasi dan . Selain itu,
dalam organisasi juga bisa melatih soft skill seseorang.

Didunia ini, tak ada satu pun orang yang sukses tanpa pernah mengikuti sebuah
organisasi. Organisasi apapun itu. Jadi, organisasi memiliki peranan yang sangat
penting untuk keberhasilan seseorang di masa yang akan datang. Orang yang sukses
ialah orang yang berhasil dalam kegiatan organisasinya.

(B).Saran

Alangkah lebih baik kita dapat mengikuti sebuah organisasi yang memiliki visi dan
tujuan yang jelas di lingkungan masyarakat untuk mengeluarkan inspirasi kita untuk
kemajuan organisasi tersebut, tidak hanya dalam organisasi tertentu tapi untuk di luar
organisasi yang kita ikuti .

(C).Daftar Pustaka

Masyarakat, Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

Front Pembela Islam, Wikipedia

http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam

Organisasi, Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi

Oranisasi Sosial http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_sosial

Anda mungkin juga menyukai