Bab I Pengantar Kosmetologi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Bab I Pengantar Kosmetologi

1.1 Sejarah Kosmetik 


Sejak zaman dahulu, ilmu kedokteran telah turut berperan dalam dunia kosmetik dan
kosmetologi. Data dari hasil penyelidikan antropologi, arkeologi, dan etnologi di Mesir dan India
membuktikan pemakaian ramuan seperti bahan pengawet mayat dan salep-salep aromatik, yang
dapat dianggap sebagai bentuk awal kosmetik. Penemuan tersebut menunjukkan telah
berkembangnya keahlian khusus di bidang kosmetik pada masa lalu. 
Hippocrates (460-370 SM) dan kawan-kawannya berperan penting pada awal
perkembangan kosmetik dan kosmetologi modern melalui dasar-dasar dermatologi, diet, dan
olahraga sebagai sarana yang baik untuk kesehatan dan kecantikan. Pada zaman Renaisans
(1300-1600), banyak universitas didirikan di Inggris, Eropa Utara, Eropa Barat, dan Eropa
Timur. Karena ilmu kedokteran semakin bertambah luas, maka kosmetik dan kosmetologi
dipisahkan dari ilmu kedokteran (Henri De Modevili, 1260-1325).

1.2 Sejarah Kosmetologi Medik di Indonesia


Di Indonesia baru pada tahun 1970 kosmetologi dalam lingkungan dermatologi secara
resmi dikembangkan di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, yaitu dengan didirikannya
Sub-Bagian Bedah Kulit dan Kosmetik pada Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin yang
sekarang menjadi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM, oleh Dr. Retno I.S
Tranggono dengan restu Kepala Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan KelaminFKUI saat itu, yaitu
(alm) Prof. Dr. M. Djoewari.
Penelitian yang dilakukan Dr. Retno di Sub-Bagian Kosmeto-Dermatologi FKUI
menunjukkan bahwa ilmu kecantikan yang dibawa oleh ahli-ahli kecantikan Eropa/Belanda ke
Indonesia semasa penjajahan Belanda-antara lain pengenalan kosmetik yang kandungan
minyaknya banyak sehingga lengket pada kulit dan hanya sesuai untuk kulit di lingkungan yang
kering dan dingin, tidak sesuai bagi kulit orang Indonesia di iklim tropis dan lembab.

1.3 Kosmetik, Obat, dan Medicated Cosmetics


Kosmetik berasal dari kata Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias,
mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
445/MenKes/Permenkes/1998 adalah “Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap
untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin
bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah, daya tarik, mengubah
penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak
dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.”
Obat adalah bahan, zat, atau benda yang dipakai untuk diagnosa, pengobatan, dan
pencegahan suatu penyakit atau yang dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh. Tidak ada
bahan kimia yang bersifat indeferens (tidak menimbulkan efek apa-apa) jika dikenakan pada
kulit (Lubowe,1955, Kligman 1982, Celleno, 1988). Karena itu pada tahun 1955 Lubowe
menciptakan istilah “Cosmedics” yang merupakan gabungan dari kosmetik dan obat yang
sifatnya dapat mempengaruhi faal kulit secara positif, namum bukan obat. Pada tahun 1982 Faust
mengemukakan istilah “Medicated Cosmetics”. Tujuan utama penggunaan kosmetik pada
masyarakat modern adalah untuk kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up,
meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan
sinar UV, polusi dan factor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum,
membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup.

1.4 Penggolongan Kosmetik


Penggolongan kosmetik antara lain menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, menurut
sifat modern atau tradisionalnya, dan menurut kegunaannya bagi kulit.

A. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibagi menjadi 13 kelompok:


1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dll.
2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dll.
3. Preparat untuk mata, misalnya mascara, eyes-shadow, dll
4. Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, toilet water, dll
5. Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut, hair spray, dll
6. Preparat pewarna rambut, misalnya pewarna rambut, dll
7. Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak, lipstick, dll
8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mount washes, dll
9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant, dll
10. Preparat kuku, misalnya cat kuku, losion kuku, dll
11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih pelembab, pelindung, dll
12. Preparat cukur, misalnya sabun cukur, dll
13. Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunscreen foundation, dll

B. Penggolongan menurut sifat dan cara pembuatan


1. Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern
(termasuk didalamnya cosmedics)

2. Kosmetik tradisional:
a. Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari bahan
alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun-temurun.
b. Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet agar
tahan lama.
c. Hanya namanya yang tradisional, tanpa komponen yang benar-benar
tradisional dan diberi zat warna yang menyerupai bahan tradisional

C. Penggolongan menurut penggunaanya pada kulit


1. Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics).
Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit, termasuk
didalamnya:
a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing cream,
cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).
b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya
moisturizring cream, night cream, anti wrinkle cream.
c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen foundation, sun block
cream/lotion
d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya
scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai
pengampelas (abrasiver)

2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up)


Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga
menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis
yang baik, seperti percaya diri (self confidence). Dalam kosmetik riasan, peran zat
warna dan zat pewangi sangat besar.

BAB VII Tes Keamanan Kosmetik


7.1 Patch Test
a. Digunakan untuk memeriksa kepekaan kulit terhadap suatu bahan dan untuk
mendiagnosis penyakit kulit.
b. Teknik patch test ini telah distandarisasi dengan memfiksasikan dan meletakkan bahan-
bahan pada kulit dengan sepotong kertas filter.
c. Ada dua jenis tes: The AC Test (Imeco, Sweden), dan The Silver Patch.
d. Bahan allergen yang akan diperiksa lebih baik dalam bentuk cair, diletakkan pada filter
paper disc, lalu diaplikasikan ke kulit dengan plaster adhesive.
e. Patch test umumnya dilakukan di kulit belakang tubuh.
f. Hasil dinilai 15 dan 30 menit setelah pengangkatan, diulangi setelah 24 jam, dan hasil
terakhir adalah kesimpulan dari tes.
g. Bahan yang akan dites harus dicairkan ke tingkatan yang tidak menimbulkan reaksi pada
orang yang tidak sensitif.
h. Pada praktiknya, konsentrasi bahan-bahan yang akan dites harus di bawah 10%, kecuali
beberapa bahan.
i. Bahan pelarut yang dipakai harus tidak bersifat mengiritasi kulit, seperti air, athyl
alcohol, amyl alcohol, phenethyl alcohol, dan lain-lain.
j. Klasifikasi reaksi Patch Test 
+ ? : hanya eritem lemah, ragu-ragu 
+ : eritem, infiltrasi (edema), papul: positif lemah 
++ : eritem, infiltrasi, papul, vesikel: positif kuat 
+++ : bula: positif sangat kuat  
- : tidak ada kelainan 
IR : reaksi iritasi
NT : tidak diteskan
7.2 Open Test
a. Bahan langsung diaplikasikan 2-3 kali sehari ke area yang sama pada lengan bawah
selama 2 hari, dan reaksi yang terjadi langsung dinilai.
b. Reaksi yang positif menandakan bahwa reaksi Patch Test tersebut adalah karena alergi,
sedangkan jika hasil negatif, tidak menghilangkan kemungkinan karena alergi.

7.3 Tes Potensi Iritasi pada Kulit


a. DRAIZE TEST
1. Mengevaluasi potensi iritasi bahan kimia pada binatang dengan memakai kelinci
albino.
2. Tes dilakukan dengan teknik patch test pada kulit kelinci yang dilukai dan pada
kulit yang utuh.
3. minimal binatang yang dites 6 ekor.
4. Bahan-bahan yang akan dites diletakkan pada bahan berbentuk segi empat.
5. Bahan padat dilarutkan dengan larutan yang sesuai.
6. Seluruh badan kelinci dibungkus dengan bahan elastis selama 24 jam, diulang
setelah 72 jam.
7. Tes ini bukan untuk produk akhir (barang jadi).

b. FREUND’S COMPLETE ADJUVANT TEST (FCAT)


1. Untuk memilih bahan kimia berdasarkan reaksi umum.
2. Untuk perbandingan, bahan yang akan dilarutkan, dicairkan dengan larutan yang
sesuai.
3. Dua kelompok marmut, setiap kelompok berjumlah 8-10 ekor. Satu kelompok
sebagai kelompok eksperimen dan yang lain sebagai kelompok control.
4. Bahan yang akan dites disuntikan intradermal ke sisi kanan bagian dalam
binatang dalam kelompok eksperimen setiap hari ke-2, dengan total 5 kali.
5. Tes ini untuk menentukan kapasitas sensitisasi badan.
6. Tes dinyatakan allergenik bila 1 dari 8 binatang dari kelompok eksperimen
menunjukkan reaksi positif terhadap konsentrasi noniritasi yang dipakai untuk
percobaan.
7. FCAT sederhana saja, tetapi tidak untuk produk jadi.
8. Lebih sensitif dari DRAIZE TEST dan BUHLER TEST .

c. GUINEA PIG MAXIMIZATION TEST (GPMT)


1. Magnussom dan Kligman menemukan prosedur yang sensitif untuk mendeteksi
kapasitas suatu bahan yang menyebabkan sensitisasi langsung pada marmot.
2. Memperbandingkan hasil tes ini degan pengalaman Klinis dan dengan memakai
bahan yang telah dikenal sebagai kontak allergen.
3. Dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 20-25 marmut sebagai kelompok
eksperimen dan kelompok control.
4. Bahan yang akan dites disuntikan intradermal atau tropical.
5. Injeksi dengan bahan itu sendiri atau digabungkan dengan FCA.
6. Konsentrasi untuk suntikan intradermal disesuaikan dengan level tertinggi yang
masih bisa ditolerir.
7. Topical test dilakukan dengan occlusive patch.
8. Pada hari ke-7, bahan dilebarkan dengan kertas filter, ditutupi adhesive tape yang
tak tembus cairan, lalu badan marmut dibalut.
9. Hari ke-21, kelompok eksperimen dan kontrol memakai occlusive patch selama
24 jam.
10. Dinilai pada hari ke 23-28.
11. Tes ini sangat baik untuk mengenal bahan-bahan yang menyebabkan kontak
alergi.

d. BUHLER TEST
1. Tiga kelompok marmut, masing-masing terdiri dari 10-20 ekor.
2. Kelompok eksperimen diuji dengan bahan yang akan dites plus pelarut.
3. Kelompok kontrol hanya dengan pelarut.
4. Kelompok negatif kontrol hanya dengan bahan yang akan dites.
5. Bahan dicairkan dan dioleskan ke kulit binatang dengan sistem occlusive patch
selama 6 jam.
6. Aplikasi dengan jarak 1 minggu selama 3 minggu.
7. Dapat dipakai untuk produk jadi.
8. Tes ini banyak menguntungkan, kurang menimbulkan iritasi, hanya menimbulkan
sedikit kesan positif yang palsu.
9. Digunakan sebagai penyaringan pertama untuk produk jadi.

e. OPEN EPICUTANEOUS TEST (OET)


1. Kontras dengan tes-tes sebelumnya, tes ini hanya menggunakan satu konsentrasi.
Bahan dioleskan langsung, tidak ditutupi, tidak dilarutkan/dicairkan.
2. Satu sampai enam kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol, yang
masing-masing terdiri dari 6-8 marmut.
3. Volume dari setiap konsentrasi diaplikasikan dengan pipet/syringe pada sisi
seluruh binatang eksperimen.
4. Reaksi dinilai 24 jam setelah aplikasi.
5. Aplikasi diulang setiap hari selama 3 minggu atau 5 kali seminggu selama 4
minggu di tempat yang sama.
6. Tes ini digunakan untuk contoh bahan kimia, produk-produk jadi, efek sensitisasi,
dan iritasi.

7.4 Iritasi pada Mata


Produk-produk yang harus dites:
1. Kosmetik mata
2. Kosmetik wajah
3. Kosmetik lain
Tanda iritasi pada mata: merah, bengkak, sakit, panas (erythema, edema, pain, heat).

a. PRECLINICAL TEST
1. Iritasi karena bahan-bahan kimia adalah satu-satunya penyebab peradangan pada
mata.
2. Tes yang dapat dilakukan: DRAIZE EYE IRRITATION TEST pada kelinci albino.
3. Iritasi pada mata karena bahan kimia dapat dites pada bagian mata: conjunctiva,
iris, dan cornea.
4. Reaksi yang timbul: conjunctiva (erythema, edema), iris (hyperaemia), cornea
(opacity).

b. CLINICAL TEST
1. Test iritasi objektif dilakukan pre-clinically, sedangkan tes subjektif dievaluasi
langsung di mata.
2. Tes langsung berupa pemberian bahan yang akan dites ke mata dan menentukan
responsnya: sakit, panas, gatal, air mata.

c. HUMAN USE TEST


1. Dengan memakai produk jadi untuk meneliti potensi itirasi pada mata.
2. Dilakukan setiap hari selama 1 bulan.
3. Dilakukan pemeriksaan setiap minggu oleh dermatologist dan atau
ophthalmologist.

7.5 Phototoxicity
a. ANIMAL TESTING
1. Tikus dan kelinci yang sudah tidak berbulu diekspos ke bahan kimia selama 5-10
menit sebelum dikenai cahaya.
2. Pada manusia dibutuhkan waktu yang lebih lama (optimal 1 jam).

b.  HUMAN TESTING
1. Tes ini cukup aman karena hanya sebagian kecil daerah yang dites dan dapat
dilakukan di daerah lengan dan belakang tubuh, sehingga daerah wajah dapat
dihindari.
2. Tes ini menimbulkan dermatitis setempat yang mudah sembuh.
3. Kemungkinan dalam waku beberapa minggu sampai beberapa bulan timbul
hiperpigmentasi.
7.6 Test Iritasi untuk Sabun dan Detergent Bars
a. CHAMBER TEST
1. Digunakan 80% larutan dengan melarutkan potongan sabun di air dan dipanaskan
perlahan-lahan. Bila dingin, larutan akan menjadi pasta. Dengan memanaskannya
40o C, pasta itu akan mencair kembali.
2. Cara:
 Cairan yang akan diuji dioleskan ke kulit lengan bawah bagian dalam
orang-orang yang telah dipilih.
 Dengan teknik occlusive digunakan duhring chambers, dengan volume 0,1
ml.
 6-8 chamber difiksasikan di lengan bawah dengan gulungan pita yang
berpori-pori.
 Pertama-tama dioleskan selama 24 jam, lalu larutan yang baru
diaplikasikan kekulit yang sama 6 jam sehari selama 4 hari berturut-turut.
 Pada saat bebas (7 jam dihari kedua dan 14-16 jam pada hari selanjutnya)
kulit tidak dilindungi atau diberi apa-apa.
 Reaksi kulit dinilai pada hari ke-8 sesudah aplikasi pertama, dengan nilai
sebagai berikut:.
Erythema (kemerahan):
1+ : Sedikit, flek, atau menyeluruh
2+ : Sedang, merah seluruhnya
3+ : Hebat
4+ : Merah sekali, dengan pembengkakan atau kerusakan epidermis
Scaling (Pengelupasan):
1+ : Kekeringan
2+ : Pengelupasan ringan
3+ : Pengelupasan sedang
4+ : Pengelupasan hebat
Fissures (Retak-retak):
1+ : Retak halus
2+ : Satu atau lebih retak yang lebih lebar
3+ : Retak yang luas dengan pendarahan atau eksudasi
Bila timbul erythema hebat (4+), tes dihentikan.

b. WASH TEST
1. Antecubital Wash test
 Daerah antecubital orang-orang yang dipilih dicuci dengan bahan yang
akan dites dua kali sehari.
 Sepotong kapas non-woven (5x5 cm) dilembabkan dengan air hangat.
 Busa dibuat di tempat sabun, lalu kulit dicuci selama 1 menit dengan
kapas yang diberi busa.
 Sesudah dibilas ringan, prosedur nomer 3 diulang selama 1 menit lagi.
 Busa ditinggalkan di kulit selama 2 menit, lalu dibilas bersih.
 Kulit dikeringkan dengan handuk yang lembut.
 Dilakukan tes yang sama dengan bahan yang sama di daerah antecubital
lain untuk perbandingan.
2. Facial Wash Test
 Kedua belah pipi dicuci 2x sehari sama seperti wash test kecuali bahwa
busa segera dibilas setelah pipi dicuci dengan sabun selama 2 menit.
 Reaksi dikulit dinilai 30 menit setelah itu, dengan penilaian sebagai
berikut:
Erythema (kemerahan):
1+ : Tipis, flat
2+ : Sedang (diameter < 3 cm)
3+ : Hebat (diameter > 3 cm)
4+ : Sangat hebat (diameter > 10 cm, dengan erasi punctata 
Discomfort (rasa terganggu):
1+ : Sedikit tegang
2+ : Tegang yang hebat
3+ : Sakit ringan (rasa terbakar)
4+ : Sakit hebat 
Pencucian dikedua pipi dihentikan bila segera timbul iritasi hebat atau 3 +, 4 +
ketidaknyamanan.

c. SCARIFICATION TEST
1. Untuk menilai jaringan yang sebenarnya.
2. Tanpa stratum corneum (lapisan tanduk) sebagai penghalang.
3. Test dilakukan pada sekelompok sabun dan detergent bar, dibedakan dengan kulit
yang utuh.
4. Sesudah kulit dilukai dengan jarum halus, produk dengan konsentrasi 0,1% dan
1,5% diaplikasikan dengan sistem occlusive selama 3 hari ke bagian dalam lengan
bawah 10 sukarelawan.
5. Reaksi dinilai pada hari terakhir dengan nilai: 0 = negatif, 4+ = kemerahan hebat
dengan nekrosis.

7.7 Toleransi Tes terhadap Detergen dalam Sampo 


a. GUINEA PIG SKIN IRRITATION TEST (NON OCCULUSIVE)
1. Digunakan 5 ekor marmut.
2. Produk diaplikasikan setiap hari selama 4 hari pada sisi badan binatang.
3. Satu gram dari bahan yang akan dites diaplikasikan ke area 4 x 4 cm tanpa dibilas.
4. Ketebalan kulit diukur dengan micrometer.
5. Evaluasi dilakukan pada hari ke 1, 2, 3, dan 4.

b.  RABBIT SKIN IRRITATION TEST (OCCULUSIVE)


1. Digunakan 6 ekor kelinci: satu sisi badan dilukai, sisi yang lain utuh.
2. Satu aplikasi dilakukan dengan occlusive bandage.
3. Satu gram bahan diaplikasikan tanpa dibilas pada area seluas 4 x 4 cm.
4. Kemerahan dievaluasi pada jam ke-24 dan 48.
 
c. RABBIT EYE IRRITATION TEST
1. Digunakan 6 ekor kelinci.
2. Bahan langsung diberikan ke mata binatang tanpa dibilas.
3. Kerusakan pada cornea, iris, dan conjunctiva setelah 2 jam dan hari ke-1, 2, 3, 4,
dan 7 setelah aplikasi.

7.8 Tes untuk Potensi Menimbulkan Komedo/Jerawat (Commedogemity)


a. ANIMAL TESTING
1. Setelah milimeter bahan diaplikasikan ke satu telinga setiap kelinci, telinga lain
sebagai control.
2. Tes dilakukan 5 hari dalam seminggu selama 2 minggu berturut-turut.
3. Observasi timbulnya pembesaran pori-pori dan hiperkeratosis dari folikel minyak
dan dibandingkan dengan control.
4. Hasil dinilai dengan angka 0 = negatif s/d 5 = hebat.

b. HUMAN TESTING
1. Langsung pada wajah
 Dipilih remaja yang telah menderita jerawat atau yang mudah mengidap
jerawat.
 Sebelum tes dilakukan, jerawat yang ada dihitung, bahan diaplikasikan
selama 4-8 minggu, lalu dinilai kembali.
2. Patch test pada bagian belakang tubuh
 Dipilih 4-6 pria yang mudah timbul jerawat pada tubuh bagian belakang.
 Tes dilakukan di area yang cukup luas secara tertutup selama 30 hari,
dengan beberapa penggantian.
 Pada awal dan akhir tes dilakukan biopsi pada folikel di daerah yang dites
dan lapisan keratinnya yang paling atas telah dihilangkan.
 Hasil tes yang menunjukan penyumbatan keratin menunjukan peningkatan
serbuk keratin pada pemeriksaan mikroskopis.
 Tingkat respon positif tergantung dari derajat sumbatannya.
Baru

Bab I Pengantar Kosmetologi

1.1 Sejarah Kosmetik 

         Sejak zaman dahulu, ilmu kedokteran telah turut berperan dalam dunia kosmetik dan
kosmetologi. Data dari hasil penyelidikan antropologi, arkeologi, dan etnologi di Mesir dan India
membuktikan pemakaian ramuan seperti bahan pengawet mayat dan salep-salep aromatik, yang
dapat dianggap sebagai bentuk awal kosmetik. Penemuan tersebut menunjukkan telah
berkembangnya keahlian khusus di bidang kosmetik pada masa lalu. 

         Hippocrates (460-370 SM) dan kawan-kawannya berperan penting pada awal
perkembangan kosmetik dan kosmetologi modern melalui dasar-dasar dermatologi, diet, dan
olahraga sebagai sarana yang baik untuk kesehatan dan kecantikan. Pada zaman Renaisans
(1300-1600), banyak universitas didirikan di Inggris, Eropa Utara, Eropa Barat, dan Eropa
Timur. Karena ilmu kedokteran semakin bertambah luas, maka kosmetik dan kosmetologi
dipisahkan dari ilmu kedokteran (Henri De Modevili, 1260-1325).

1.2 Sejarah Kosmetologi Medik di Indonesia

         Di Indonesia baru pada tahun 1970 kosmetologi dalam lingkungan dermatologi secara
resmi dikembangkan di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, yaitu dengan didirikannya
Sub-Bagian Bedah Kulit dan Kosmetik pada Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin yang
sekarang menjadi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM, oleh Dr. Retno I.S
Tranggono dengan restu Kepala Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan KelaminFKUI saat itu, yaitu
(alm) Prof. Dr. M. Djoewari.

         Penelitian yang dilakukan Dr. Retno di Sub-Bagian Kosmeto-Dermatologi FKUI


menunjukkan bahwa ilmu kecantikan yang dibawa oleh ahli-ahli kecantikan Eropa/Belanda ke
Indonesia semasa penjajahan Belanda-antara lain pengenalan kosmetik yang kandungan
minyaknya banyak sehingga lengket pada kulit dan hanya sesuai untuk kulit di lingkungan yang
kering dan dingin, tidak sesuai bagi kulit orang Indonesia di iklim tropis dan lembab.

1.3 Kosmetik, Obat, dan Medicated Cosmetics

         Kosmetik berasal dari kata Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias,
mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
445/MenKes/Permenkes/1998 adalah “Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap
untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin
bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah, daya tarik, mengubah
penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak
dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.”

Obat adalah bahan, zat, atau benda yang dipakai untuk diagnosa, pengobatan, dan pencegahan
suatu penyakit atau yang dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh. Tidak ada bahan kimia
yang bersifat indeferens (tidak menimbulkan efek apa-apa) jika dikenakan pada kulit
(Lubowe,1955, Kligman 1982, Celleno, 1988). Karena itu pada tahun 1955 Lubowe menciptakan
istilah “Cosmedics” yang merupakan gabungan dari kosmetik dan obat yang sifatnya dapat
mempengaruhi faal kulit secara positif, namun bukan obat. Pada tahun 1982 Faust
mengemukakan istilah “Medicated Cosmetics”. Tujuan utama penggunaan kosmetik pada
masyarakat modern adalah untuk kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up,
meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan
sinar UV, polusi dan faktor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum,
membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup.

1.4 Penggolongan Kosmetik

         Penggolongan kosmetik antara lain menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, menurut
sifat modern atau tradisionalnya, dan menurut kegunaannya bagi kulit.

A. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibagi menjadi 13 kelompok:


1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dll.
2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dll.
3. Preparat untuk mata, misalnya mascara, eyes-shadow, dll
4. Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, toilet water, dll
5. Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut, hair spray, dll
6. Preparat pewarna rambut, misalnya pewarna rambut, dll
7. Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak, lipstik, dll
8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mounth washes, dll
9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant, dll
10. Preparat kuku, misalnya cat kuku, losion kuku, dll
11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih pelembab, pelindung, dll
12. Preparat cukur, misalnya sabun cukur, dll
13. Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunscreen foundation, dll

B. Penggolongan menurut sifat dan cara pembuatan


1. Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern
(termasuk didalamnya cosmedics)

 
2. Kosmetik tradisional:
a. Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari bahan
alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun-temurun.
b. Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet agar
tahan lama.
c. Hanya namanya yang tradisional, tanpa komponen yang benar-benar
tradisional dan diberi zat warna yang menyerupai bahan tradisional

C. Penggolongan menurut penggunaanya pada kulit


1. Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics).
Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit, termasuk
didalamnya:
a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing cream,
cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).
b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya
moisturizing cream, night cream, anti wrinkle cream.
c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen foundation, sunblock
cream/lotion
d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya
scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai
pengampelas (abrasiver)

 
2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up)
Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan
penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya
diri (self confidence). Dalam kosmetik riasan, peran zat warna dan zat pewangi sangat besar.

BAB VII Tes Keamanan Kosmetik

7.1 Patch Test


a.                   Digunakan untuk memeriksa kepekaan kulit terhadap suatu bahan dan untuk
mendiagnosis penyakit kulit.
b.                  Teknik patch test ini telah distandarisasi dengan memfiksasikan dan meletakkan bahan-
bahan pada kulit dengan sepotong kertas filter.
c.                   Ada dua jenis tes: The AC Test (Imeco, Sweden), dan The Silver Patch.
d.                  Bahan allergen yang akan diperiksa lebih baik dalam bentuk cair, diletakkan pada filter
paper disc, lalu diaplikasikan ke kulit dengan plaster adhesive.
e.                   Patch test umumnya dilakukan di kulit belakang tubuh.
f.                    Hasil dinilai 15 dan 30 menit setelah pengangkatan, diulangi setelah 24 jam, dan hasil
terakhir adalah kesimpulan dari tes.
g.                  Bahan yang akan dites harus dicairkan ke tingkatan yang tidak menimbulkan reaksi pada
orang yang tidak sensitif.
h.                  Pada praktiknya, konsentrasi bahan-bahan yang akan dites harus di bawah 10%, kecuali
beberapa bahan.
i.                    Bahan pelarut yang dipakai harus tidak bersifat mengiritasi kulit, seperti air, athyl
alcohol, amyl alcohol, phenethyl alcohol, dan lain-lain.
j.                    Klasifikasi reaksi Patch Test 
+ ? : hanya eritem lemah, ragu-ragu 
+ : eritem, infiltrasi (edema), papul: positif lemah 
++ : eritem, infiltrasi, papul, vesikel: positif kuat 
+++ : bula: positif sangat kuat  
- : tidak ada kelainan 
IR : reaksi iritasi
NT : tidak diteskan

7.2 Open Test


a.                   Bahan langsung diaplikasikan 2-3 kali sehari ke area yang sama pada lengan bawah
selama 2 hari, dan reaksi yang terjadi langsung dinilai.
b.                  Reaksi yang positif menandakan bahwa reaksi Patch Test tersebut adalah karena alergi,
sedangkan jika hasil negatif, tidak menghilangkan kemungkinan karena alergi.

7.3 Tes Potensi Iritasi pada Kulit


a.                   DRAIZE TEST
1.      Mengevaluasi potensi iritasi bahan kimia pada binatang dengan memakai
kelinci albino.
2.      Tes dilakukan dengan teknik patch test pada kulit kelinci yang dilukai dan
pada kulit yang utuh.
3.      minimal binatang yang dites 6 ekor.
4.      Bahan-bahan yang akan dites diletakkan pada bahan berbentuk segi empat.
5.      Bahan padat dilarutkan dengan larutan yang sesuai.
6.      Seluruh badan kelinci dibungkus dengan bahan elastis selama 24 jam, diulang
setelah 72 jam.
7.      Tes ini bukan untuk produk akhir (barang jadi).

b.  FREUND’S COMPLETE ADJUVANT TEST (FCAT)


1.      Untuk memilih bahan kimia berdasarkan reaksi umum.
2.      Untuk perbandingan, bahan yang akan dilarutkan, dicairkan dengan larutan
yang sesuai.
3.      Dua kelompok marmut, setiap kelompok berjumlah 8-10 ekor. Satu kelompok
sebagai kelompok eksperimen dan yang lain sebagai kelompok control.
4.      Bahan yang akan dites di suntikan intradermal ke sisi kanan bagian dalam
binatang dalam kelompok eksperimen setiap hari ke-2, dengan total 5 kali.
5.      Tes ini untuk menentukan kapasitas sensitisasi badan.
6.      Tes dinyatakan allergenik bila 1 dari 8 binatang dari kelompok eksperimen
menunjukkan reaksi positif terhadap konsentrasi non iritasi yang dipakai untuk
percobaan.
7.      FCAT sederhana saja, tetapi tidak untuk produk jadi.
8.      Lebih sensitif dari DRAIZE TEST dan BUHLER TEST .

c.  GUINEA PIG MAXIMIZATION TEST (GPMT)


1.      Magnussom dan Kligman menemukan prosedur yang sensitif untuk
mendeteksi kapasitas suatu bahan yang menyebabkan sensitisasi langsung pada
marmot.
2.      Memperbandingkan hasil tes ini dengan pengalaman Klinis dan dengan
memakai bahan yang telah dikenal sebagai kontak allergen.
3.      Dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 20-25 marmut sebagai
kelompok eksperimen dan kelompok control.
4.      Bahan yang akan dites di suntikan intradermal atau tropical.
5.      Injeksi dengan bahan itu sendiri atau digabungkan dengan FCA.
6.      Konsentrasi untuk suntikan intradermal disesuaikan dengan level tertinggi
yang masih bisa ditolerir.
7.      Topical test dilakukan dengan occlusive patch.
8.      Pada hari ke-7, bahan dilebarkan dengan kertas filter, ditutupi adhesive tape
yang tak tembus cairan, lalu badan marmut dibalut.
9.      Hari ke-21, kelompok eksperimen dan kontrol memakai occlusive patch
selama 24 jam.
10.  Dinilai pada hari ke 23-28.
11.  Tes ini sangat baik untuk mengenal bahan-bahan yang menyebabkan kontak
alergi.

d.  BUHLER TEST


1.      Tiga kelompok marmut, masing-masing terdiri dari 10-20 ekor.
2.      Kelompok eksperimen diuji dengan bahan yang akan dites plus pelarut.
3.      Kelompok kontrol hanya dengan pelarut.
4.      Kelompok negatif kontrol hanya dengan bahan yang akan dites.
5.      Bahan dicairkan dan dioleskan ke kulit binatang dengan sistem occlusive
patch selama 6 jam.
6.      Aplikasi dengan jarak 1 minggu selama 3 minggu.
7.      Dapat dipakai untuk produk jadi.
8.      Tes ini banyak menguntungkan, kurang menimbulkan iritasi, hanya
menimbulkan sedikit kesan positif yang palsu.
9.      Digunakan sebagai penyaringan pertama untuk produk jadi.

e.  OPEN EPICUTANEOUS TEST (OET)


1.      Kontras dengan tes-tes sebelumnya, tes ini hanya menggunakan satu
konsentrasi. Bahan dioleskan langsung, tidak ditutupi, tidak dilarutkan/dicairkan.
2.      Satu sampai enam kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol, yang
masing-masing terdiri dari 6-8 marmut.
3.      Volume dari setiap konsentrasi diaplikasikan dengan pipet/syringe pada sisi
seluruh binatang eksperimen.
4.      Reaksi dinilai 24 jam setelah aplikasi.
5.      Aplikasi diulang setiap hari selama 3 minggu atau 5 kali seminggu selama 4
minggu di tempat yang sama.
6.      Tes ini digunakan untuk contoh bahan kimia, produk-produk jadi, efek
sensitisasi, dan iritasi.

7.4 Iritasi pada Mata

         Produk-produk yang harus dites:


1.      Kosmetik mata
2.      Kosmetik wajah
3.      Kosmetik lain

Tanda iritasi pada mata: merah, bengkak, sakit, panas (erythema, edema, pain, heat).

 
a.                   PRECLINICAL TEST
1.      Iritasi karena bahan-bahan kimia adalah satu-satunya penyebab peradangan
pada mata.
2.      Tes yang dapat dilakukan: DRAIZE EYE IRRITATION TEST pada kelinci
albino.
3.      Iritasi pada mata karena bahan kimia dapat dites pada bagian mata:
conjunctiva, iris, dan cornea.
4.      Reaksi yang timbul: conjunctiva (erythema, edema), iris (hyperaemia), cornea
(opacity).

 
b. CLINICAL TEST

1.      Test iritasi objektif dilakukan pre-clinically, sedangkan tes subjektif


dievaluasi langsung di mata.
2.      Tes langsung berupa pemberian bahan yang akan dites ke mata dan
menentukan responnya: sakit, panas, gatal, air mata.

 
c. HUMAN USE TEST

1.      Dengan memakai produk jadi untuk meneliti potensi iritasi pada mata.
2.      Dilakukan setiap hari selama 1 bulan.
3.      Dilakukan pemeriksaan setiap minggu oleh dermatologist dan atau
ophthalmologist.

7.5 Phototoxicity
a.                   ANIMAL TESTING
1.      Tikus dan kelinci yang sudah tidak berbulu diekspos ke bahan kimia selama
5-10 menit sebelum dikenai cahaya.
2.      Pada manusia dibutuhkan waktu yang lebih lama (optimal 1 jam).

 
b. HUMAN TESTING

1.      Tes ini cukup aman karena hanya sebagian kecil daerah yang dites dan dapat
dilakukan di daerah lengan dan belakang tubuh, sehingga daerah wajah dapat
dihindari.
2.      Tes ini menimbulkan dermatitis setempat yang mudah sembuh.
3.      Kemungkinan dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan timbul
hiperpigmentasi.

7.6 Test Iritasi untuk Sabun dan Detergent Bars


a.                   CHAMBER TEST
1.      Digunakan 80% larutan dengan melarutkan potongan sabun di air dan
dipanaskan perlahan-lahan. Bila dingin, larutan akan menjadi pasta. Dengan
memanaskannya 40 C, pasta itu akan mencair kembali.
o

2.      Cara:
 Cairan yang akan diuji dioleskan ke kulit lengan bawah bagian
dalam orang-orang yang telah dipilih.
  Dengan teknik occlusive digunakan duhring chambers, dengan
volume 0,1 ml.
 6-8 chamber difiksasikan di lengan bawah dengan gulungan pita
yang berpori-pori.
 Pertama-tama dioleskan selama 24 jam, lalu larutan yang baru
diaplikasikan kekulit yang sama 6 jam sehari selama 4 hari
berturut-turut.
 Pada saat bebas (7 jam dihari kedua dan 14-16 jam pada hari
selanjutnya) kulit tidak dilindungi atau diberi apa-apa.
 Reaksi kulit dinilai pada hari ke-8 sesudah aplikasi pertama,
dengan nilai sebagai berikut:.
Erythema (kemerahan):
1+    : Sedikit, flek, atau menyeluruh
2+    : Sedang, merah seluruhnya
3+    : Hebat
4+    : Merah sekali, dengan pembengkakan atau kerusakan epidermis
Scaling (Pengelupasan):
1+    : Kekeringan
2+    : Pengelupasan ringan
3+    : Pengelupasan sedang
4+    : Pengelupasan hebat
Fissures (Retak-retak):
1+    : Retak halus
2+    : Satu atau lebih retak yang lebih lebar
3+    : Retak yang luas dengan pendarahan atau eksudasi
Bila timbul erythema hebat (4+), tes dihentikan.

 
b. WASH TEST

1.      Antecubital Wash test


 Daerah antecubital orang-orang yang dipilih dicuci dengan bahan
yang akan dites dua kali sehari.
 Sepotong kapas non-woven (5x5 cm) dilembabkan dengan air
hangat.
 Busa dibuat di tempat sabun, lalu kulit dicuci selama 1 menit
dengan kapas yang diberi busa.
 Sesudah dibilas ringan, prosedur nomer 3 diulang selama 1 menit
lagi.
 Busa ditinggalkan di kulit selama 2 menit, lalu dibilas bersih.
 Kulit dikeringkan dengan handuk yang lembut.
 Dilakukan tes yang sama dengan bahan yang sama di daerah
antecubital lain untuk perbandingan.
2.                  Facial Wash Test
 Kedua belah pipi dicuci 2x sehari sama seperti wash test kecuali
bahwa busa segera dibilas setelah pipi dicuci dengan sabun selama
2 menit.
 Reaksi dikulit dinilai 30 menit setelah itu, dengan penilaian
sebagai berikut:
Erythema (kemerahan):
1+    : Tipis, flat
2+    : Sedang (diameter < 3 cm)
3+    : Hebat (diameter > 3 cm)
4+    : Sangat hebat (diameter > 10 cm, dengan erasi punctata 
Discomfort (rasa terganggu):
1+    : Sedikit tegang
2+    : Tegang yang hebat
3+    : Sakit ringan (rasa terbakar)
4+    : Sakit hebat 
Pencucian dikedua pipi dihentikan bila segera timbul iritasi hebat atau 3 +, 4 +
ketidaknyamanan.

 
c. SCARIFICATION TEST

1.      Untuk menilai jaringan yang sebenarnya.


2.      Tanpa stratum corneum (lapisan tanduk) sebagai penghalang.
3.      Test dilakukan pada sekelompok sabun dan detergent bar, dibedakan dengan
kulit yang utuh.
4.      Sesudah kulit dilukai dengan jarum halus, produk dengan konsentrasi 0,1%
dan 1,5% diaplikasikan dengan sistem occlusive selama 3 hari ke bagian dalam
lengan bawah 10 sukarelawan.
5.      Reaksi dinilai pada hari terakhir dengan nilai: 0 = negatif, 4+ = kemerahan
hebat dengan nekrosis.

7.7 Toleransi Tes terhadap Detergen dalam Sampo 


a.                   GUINEA PIG SKIN IRRITATION TEST (NON OCCULUSIVE)
1.      Digunakan 5 ekor marmut.
2.      Produk diaplikasikan setiap hari selama 4 hari pada sisi badan binatang.
3.      Satu gram dari bahan yang akan dites diaplikasikan ke area 4 x 4 cm tanpa
dibilas.
4.      Ketebalan kulit diukur dengan micrometer.
5.      Evaluasi dilakukan pada hari ke 1, 2, 3, dan 4.

 
b. RABBIT SKIN IRRITATION TEST (OCCULUSIVE)

1.      Digunakan 6 ekor kelinci: satu sisi badan dilukai, sisi yang lain utuh.
2.      Satu aplikasi dilakukan dengan occlusive bandage.
3.      Satu gram bahan diaplikasikan tanpa dibilas pada area seluas 4 x 4 cm.
4.      Kemerahan dievaluasi pada jam ke-24 dan 48.
 
c. RABBIT EYE IRRITATION TEST

1.      Digunakan 6 ekor kelinci.


2.      Bahan langsung diberikan ke mata binatang tanpa dibilas.
3.      Kerusakan pada cornea, iris, dan conjunctiva setelah 2 jam dan hari ke-1, 2, 3,
4, dan 7 setelah aplikasi.

7.8 Tes untuk Potensi Menimbulkan Komedo/Jerawat (Commedogemity)


a.                   ANIMAL TESTING
1.      Setelah milimeter bahan diaplikasikan ke satu telinga setiap kelinci, telinga
lain sebagai control.
2.      Tes dilakukan 5 hari dalam seminggu selama 2 minggu berturut-turut.
3.      Observasi timbulnya pembesaran pori-pori dan hiperkeratosis dari folikel
minyak dan dibandingkan dengan control.
4.      Hasil dinilai dengan angka 0 = negatif s/d 5 = hebat.
 
b. HUMAN TESTING

1.      Langsung pada wajah


 Dipilih remaja yang telah menderita jerawat atau yang mudah
mengidap jerawat.
 Sebelum tes dilakukan, jerawat yang ada dihitung, bahan
diaplikasikan selama 4-8 minggu, lalu dinilai kembali.
2.                  Patch test pada bagian belakang tubuh
 Dipilih 4-6 pria yang mudah timbul jerawat pada tubuh bagian
belakang.
 Tes dilakukan di area yang cukup luas secara tertutup selama 30
hari, dengan beberapa penggantian.
 Pada awal dan akhir tes dilakukan biopsi pada folikel di daerah
yang dites dan lapisan keratinnya yang paling atas telah
dihilangkan.
 Hasil tes yang menunjukan penyumbatan keratin menunjukan
peningkatan serbuk keratin pada pemeriksaan mikroskopis.
 Tingkat respon positif tergantung dari derajat sumbatannya.

Anda mungkin juga menyukai