Terapi Cairan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFARAT

TERAPI CAIRAN

OLEH :

Baso Suriadi

111 2018 2094

PEMBIMBING

dr. Haizah Nurdin,M.Kes, Sp.An, KIC

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ANESTESIOLOGY

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Baso Suriadi

Stambuk : 111 2018 2094

Judul Referat : Terapi Cairan

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik stase RS Ibnu Sina pada bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar,23 Desember 2019

Pembimbing

dr.Haizah Nurdin,M.Kes Sp.An, KIC.


BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh manusia terdiri dari berbagai macam komponen yang saling Berhubungan.

Cairan merupakan salah satu komponen penting dalam tubuh manusia. Hampir 60 % dari

komposisi tubuh manusia merupakan cairan yang berupa larutan ion dan zat lainnya.Jumlah

cairan tubuh total pada masing-masing individu dapat bervariasi berdasarkan umur, berat

badan, maupun jenis kelamin. Cairan dan elektrolit tersebut memiliki komponen utama

yang berbeda dan fungsinya masing-masing sebagai struktur penting yang membentuk dan

menunjang tubuh manusia, sehingga dapat berfungsi dengan baik melalui mekanisme

pengaturan yang sedemikian rupa.

Cairan dalam tubuh manusia dibagi menjadi cairan intraseluler dan cairan

ekstraseluler. Kedua cairan tersebut dipisahkan oleh membran sel yang sangat permeabel

terhadap air, tetapi tidak permeabel terhadap sebagian besar elektrolit. Komponen cairan

ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan bikarbonat yang jumlahnya banyak serta

ditambah berbagai zat gizi untuk sel, seperti oksigen, glukosa, asam lemak, dan asam amino.

Komponen penting dari cairan ekstraseluler adalah cairan interstisial, yang jumlahnya

mencapai tiga perempat dari keseluruhan cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya

merupakan plasma. Sedangkan cairan intraseluler mengandung banyak ion kalium,

magnesium dan fosfat dibandingkan dengan ion natrium dan klorida yang banyak

ditemukan padacairan ekstraseluler.1

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada

keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang berlebih pada

kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss) secara berlebihan oleh

paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal dalam mengatur

keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan tersebut, pasien perlu
diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang dapat digantikan dengan

segera.3

Pemberian metode terapi cairan dengan tujuan perbaikan dan perawatan stabilitas

hemodinamik pada pasien memerlukan berbagai pertimbangan, karena pemilihannya

tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari cairan yang hilang dari tubuh. Jumlah

kasus kesalahan terapi cairan jarang dilaporkan, namun diketahui satu diantara lima pasien

dengan pemberian terapi cairan dan elektrolit intravena menderita komplikasi atau

morbiditas karena pemberian terapi cairan yang tidak tepat. 4 Mengetahui pentingnya

pemberian terapi cairan dan pertimbangan lainnya terhadap pasien membuat penulis

tertarik untuk membahas terapi cairan.


BAB II

ISI

2.1 Cairan Tubuh

2.1.1 Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh

Tubuh manusia tersusun sebagian besar oleh cairan. Hampir 60% berat badan orang

dewasa terdiri dari cairan. Jumlah cairan tubuh total pada masingmasing individu dapat

bervariasi menurut umur, berat badan, jenis kelamin serta jumlah lemak tubuh. Air

menyusun sekitar 60 persen dari total berat tubuh pada laki laki dewasa. Untuk tubuh

wanita dewasa mengandung cairan sekitar 50 persen dari total berat badannya. Hal ini

disebabkan karena jumlah jaringan adiposa yang relatif lebih banyak pada wanita

dibandingkan dengan pria. Pada bayi, 75 persen komposisi tubuhnya terdiri dari cairan

dibandingkan dengan orang dewasa. Sejalan dengan pertumbuhan seseorang, maka

persentase total cairan tubuh terhadap berat badan akan semakin menurun. Hal ini

berhubungan dengan faktor bertambahnya usia, yang menyebabkan berkurangnya

persentase cairan dalam tubuh.1,5


Perempuan
Distribusi cairan Laki-laki Dewasa Bayi
Dewasa
Total air tubuh (%) 60 50 75
Intraseluler 40 30 40
Ekstraseluler 20 20 35
- Plasma 5 5 5
- Intersisial 15 15 30

Tabel 2.1 Distribusi Cairan Tubuh1

Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan

oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler

dibagi menjadi intravaskular atau plasma dan kompartemen interstitial. Selain itu ada pula

kompartemen kecil yang juga disebut sebagai cairan transeluler. Bagian tersebut terdiri

dari cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardium serta cairan serebrospinal.

Cairan tersebut termasuk ke dalam jenis khusus cairan ekstraseluler. 1

Gambar 2.1 kandungan ion-ion pada ICF DAN ECV

1. Cairan intraseluler

Cairan mengandung sejumlah besar ion kalium dan fosfat ditambah ion

magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, yang mana semua ion ini memiliki
konsentrasi yang rendah di cairan ekstraseluler. Sel ini juga mengandung sejumlah

besar protein, hampir empat kali jumlah protein dalam plasma.1

2. Cairan ekstraseluler

Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida danbikarbonat

yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk nsel, seperti oksigen,

glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen penting dari cairan ekstraseluler

adalah cairan interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga perempat dari keseluruhan

cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya merupakan plasma.1

2.1.2 Kebutuhan dan Keseimbangan Harian Cairan Tubuh

Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dengan cara oral dapat menjadi

asupan cairan dan elektrolit dalam keadaan normal. Total air tubuh juga dipengaruhi oleh

proses metabolisme yang berlangsung. Normalnya, keluaran cairan tubuh dapat terjadi

melalui urin, insensibel water loss, dan juga melalui saluran cerna. Sedangkan dari keadaan

patologis seperti muntah, diare, trauma, ataupun perdarahan aktif, merupakan beberapa

cara yang menyebabkan tubuh dapat kehilangan cairan. Kebutuhan cairan setiap harinya

dapat ditentukan dengan rumus Holiday Segar.4

4
Tabel 2.2 Kebutuhan Cairan per Hari

Berat badan Kebutuhan Cairan per Kebutuhan cairan per


Hari Jam
10 kg pertama 100 ml/kg 4 ml/kg
10 kg kedua 50 ml/kg 2 ml/kg
Berat badan selebihnya 20 ml/kg 1 ml/kg

Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh dapat dilakukan dengan mengurangi

total cairan masuk dan cairan keluar. Balans cairan sebaiknya tidak melebihi dari 200-400 ml

per harinya. Insensibel water loss yang termasuk ke dalam cairan keluar, dihitung dengan
perkiraan 15 ml/kgBB/hari. Kehilangan akibat peningkatan suhu tubuh dihitung kurang lebih

10% dari kebutuhan cairan per hari.2,4

2.1.3 Homeostasis Cairan

Keseimbangan normal cairan dan elektrolit pada kompartemen intraseluler,

ekstraselular, baik pada komponen interstisial maupun intravaskular harus bekerja sesuai

kontrol fisiologis normal agar fungsi seluler dan organ dapat berlangsung dengan efektif.

Terjadinya proses homeostatis tubuh dalam menyesuaikan keseimbangan antara cairan dan

elektrolit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penyakit, cedera ataupun respons stres.

Respon terhadap stres yang terjadi adalah mempertahankan air dan natrium dengan cara

meningkatkan pelepasan hormon anti-diuretik (ADH), katekolamin dan aktivasi sistem renin

angiotensin aldosteron (RAAS). Karena respon inflamasi, peningkatan permeabilitas kapiler

memungkinkan albumin untuk menembus ruang interstisial, yang mengakibatkan deplesi

cairan intravaskular dan aktivasi sistem RAAS berkelanjutan. Aktivasi RAAS juga dapat

menurunkan kadar potasium, yang akan mengganggu ekskresi dari natrium. Selain itu,

pasien yang sakit mungkin mengalami peningkatan kehilangan cairan akibat demam,

muntah atau diare ditambah dengan penurunan asupan oral dikarenakan mual. Pemberian

cairan intravena merupakan tindakan yang dibutuhkan bagi pasien. Harus diingat bahwa

tujuan pemberian cairan intravena adalah memulihkan kondisi patologis yang terjadi dan

mengembalikan pasien dalam keseimbangan cairan dan elektrolit normal. Bagi praktisi

kesehatan, banyak rekomendasi maupun guideline yang ada untuk memudahkan dalam

pengambilan keputusan dalam pemberian terapi intravena. UK National Institute for Health

and Care Excellence (NICE) merekomendasikan untuk menilai 5 R yang terdiri dari :

1. Resuscitation (Resusitasi)

2. Replacement (Penggantian)

3. Routine Maintenance (Pemeliharaan Rutin)


4. Redistribution (Redistribusi)

5. Reassessment (Penilaian Ulang)

Penting untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap pasien, termasuk berat

badan dan keseimbangan cairan terakhir pasien, serta perlu mempertimbangkan

kebutuhan elektrolit harian pasien.6

2.2 Terapi Cairan

Terapi cairan merupakan pilihan terapi yang dapat keberhasilan penanganan pasien

kritis. Terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan sirkulasi atau mengembalikan

keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat pada pasien yang tidak mampu

mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuhnya, sehingga mampu menciptakan hasil

yang menguntungkan bagi kondisi pasien. Dalam penerapan bantuan hidup lanjut, langkah

penting yang dapat dilakukan secara simultan bersama langkah lainnya merupakan drug

and fluid treatment. Pada pasien yang mengalami kehilangan cairan yang banyak seperti

dehidrasi karena muntah, mencret dan syok, langkah tersebut dapat menyelamatkan

pasien.2

2.2.1 Jenis Cairan dan Indikasinya

Cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.

1. Cairan Kristaloid

Elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida) merupakan komponen

dari kristaloid. Karakteristik kristaloid ditandai dengan pengaruhnya terhadap status

asam-basa. Kristaloid digunakan untuk menggantikan kehilangan sodium atau

mempertahankan status quo. Cairan kristaloid perawatan mengandung konsentrasi

natrium yang sama dengan konsentrasi total tubuh normal (70 mmol / L), sedangkan

cairan kristaloid pengganti memiliki kandungan natrium pada konsentrasi yang mirip
dengan plasma normal (kira-kira 140 mmol/L). Kristaloid tidak mengandung partikel

onkotik, dengan waktu paruh kristaloid di intravaskular berkisar antara 20-30 menit.

Keuntungan dari kristaloid diantaranya murah, mudah dibuat, dan tidak

menimbulkan reaksi imun. Sedangkan kerugian dari pemberian kristaloid yakni

apabila memberikan larutan Normal Saline dalam jumlah yang besar dapat

menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik dikarenakan kadar natrium dan

kloridanya yang tinggi (154 mEq /L) sehingga konsentrasi bikarbonat plasma

menurun saat konsentrasi klorida meningkat. Kristaloid digunakan sebagai cairan

resusitasi awal pada pasien dengan hemoragik dan syok septik, luka bakar, cedera

kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral), dan pada pasien yang

menjalani plasmaferesis dan reseksi hati.

Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya 3 :

a. Isotonis.

Apabila jumlah elektrolit plasma terisi kristaloid pada jumlah yang sama

dan memiliki konsentrasi yang sama maka disebut sebagai isotonis. (iso, sama;

tonis, konsentrasi). Tidak terjadi perpindahan signifikan antara cairan di dalam

sel dengan intravaskular saat pemberian kristaloid isotonis. Hal tersebut

menyebabkan hampir tidak adanya osmosis. Dalam pemberian kristaloid isotonis

pada jumlah besar perlu diperhatikan adanya efek samping seperti edema perifer

dan edema paru yang dapat terjadi pada pasien. Contoh larutan kristaloid

isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% dalam ¼

NS.3,7

b. Hipertonis

Kristaloid disebut hipertonis apabila jumlah elektrolit dari kristaloid lebih

banyak dibandingkan dengan plasma tubuh. Apabila pemberian kristaloid

hipertonik dilakukan terhadap pasien akan menyebabkan terjadinya penarikan


cairan dari sel ke ruang intravaskuler. Gejala yang timbul dari pemberian larutan

hipertonis adalah peningkatan curah jantung yang bukan hanya disebabkan oleh

karena perbaikan preload, tetapi juga disebabkan oleh efek sekunder karena efek

inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek

vasodilatasi kapiler viseral. Hal ini dapat menyebabkan perbaikan aliran darah ke

organ-organ vital. Namun pemberian larutan hipertonis dapat menyebabkan

efek samping seperti hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid

hipertonis antara lain Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam

Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.3,4,7

c. Hipotonis

Jika plasma memiliki elektrolit yang lebih banyak dibandingkan kristaloid

dan kurang terkonsentrasi, maka disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah;

tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan

berpindah dari intravaskular ke sel. Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline

merupakan beberapa contoh dari larutan kristaloid hipotonik.

2. Cairan Koloid

Cairan koloid membantu mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma

sehingga sebagian besar tetap berada di ruang intravaskular, sedangkan larutan

kristaloid dengan cepat menyeimbangkan dan mendistribusikan seluruh ruang

cairan ekstraselular. Cairan koloid bertahan lebih lama di dalam ruang intravaskuler

disebabkan oleh karena aktivitas osmotik serta mempunyai zat-zat yang berat

molekulnya tinggi. Pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok

hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah ataupun pada

penderita hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya

pada luka bakar) dapat diberikan cairan koloid sebagai salah satu langkah resusitasi.
Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik. Kerugian dari

‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal, dapat dapat menyebabkan

gangguan pada cross match dan menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang).3,7

Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

a. Koloid Alami yaitu fraksi albumin ( 5% dan 25%) dengan protein plasma 5%.

Dibuat dengan cara memanaskan plasma dalam suhu 60°C selama 10 jam agar virus

hepatitis dan virus lainnya terbunuh. Fraksi protein plasma selain mengandung

albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin,

aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam fraksi protein

plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.3

b. Koloid Sintetik

1) Dextran

Dextrans digunakan untuk mengganti cairan karena memiliki rentang

waktu efek yang lebih lama pada ruang intravaskuler. Cairan koloid ini berasal

dari molekul polimer glukosa dengan jumlah besar. Efek samping dari

pemberian Dextran di antaranya gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di

dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan

pada cross-matching darah. Oleh karena banyaknya efek samping yang

disebabkan, cairan ini jarang dipilih. Contoh sediaan yang ada, antara lain :

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70

(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.8

2) Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)

Hetastarch merupakan golongan nonantigenik dan reaksi anafilaktoid

jarang dilaporkan terjadi. Rekomendasi dosis maksimal harian penggunaan

cairan HES adalah 33-50 ml/kgBB/hari. Low molecular weight Hydroxylethyl


starch (Penta-Starch) mirip dengan Hetastarch. Pentastarch memiliki

kemampuan untuk mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume

yang diberikan dan dapat berlangsung selama 12 jam. Pentastarch menjadi

opsi dari jenis koloid yang dapat digunakan sebagai cairan resusitasi jumlah

besar karena potensinya sebagai plasma volume expander dengan toksisitas

yang rendah dan tidak menyebabkan terganggunya proses koagulasi.4

3) Gelatin

Merupakan bagian dari koloid sintesis yang bersumber dari gelatin,

biasanya berasal dari collagen bovine. Larutan gelatin adalah urea atau

modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Jika dibandingkan

dengan jenis koloid lainnya, gelatin memeliki berat molekul yang relatif

rendah yaitu 30,35 kDa. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-

100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi

normovolemik. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering

daripada larutan HES. Ekskresi gelatin dilakukan di ginjal, dan tidak ada

akumulasi jaringan.9

Tabel 2.3 Perbandingan Kristaloid dan Koloid.3,8

Sifat Kristaloid Koloid


Berat molekul Lebih kecil Lebih besar
Distribusi Lebih cepat: 20-30 menit Lebih lama dalam
sirkulasi (3-6 jam)
Faal hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Dehidrasi Perdarahan masif
Koreksi perdarahan Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat

kelompok, yaitu :
1. Cairan Pemeliharaan

Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan

cairan dan elektrolit intravena untuk pasien yang terjaga keseimbangan cairan dan

elektrolitnya, namun tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan cairannya via

enteral. Pemberian cairan pemeliharaan rutin bertujuan agar tersedianya cairan dan

elektrolit yang adekuat untuk memenuhi insensible losses, status normal

kompartemen cairan tubuh dapat dipertahankan dan memungkinkan terjadinya

ekskresi ginjal dari produk-produk limbah. Jenis cairan rumatan yang dapat

digunakan adalah NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, atau ringer laktat/asetat.

10,11 Cairan rumatan dibutuhkan sekitar 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl

kurang lebih 1mmol/kg/hari, sedangkan glukosa dibutuhkan tubuh sebanyak 50-100

gram perhari. Perlu dilakukan monitor dan penilaian ulang pada pasien setelah

memberikan cairan pemeliharaan intravena pada pasien. Cairan nasogastrium atau

makanan enteral dipilih untuk kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari.12,13

2. Cairan Pengganti

Penghitungan optimal dari cairan intravena perlu dilakukan karena pasien

yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik untuk mengganti

kehilangan cairan atau elektrolit yang terjadi serta permasalahan redistribusi cairan

internal yang sedang berlangsung. Pada kasus-kasus kehilangan cairan tidak normal

yang sedang berlangsung, seperti dari saluran pencernaan atau saluran kencing,

dibutuhkan cairan pengganti. Terapi cairan pengganti intravena memiliki tujuan

untuk menjaga dan mengembalikan homeostasis yang adekuat dengan cara

memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit.12 ,13


3. Cairan untuk Tujuan Khusus

Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya

natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap

gangguan keseimbangan elektrolit.12

4. Cairan Nutrisi

Pasien yang tidak mengkonsumsi makanan peroral ataupun yang tidak boleh

makan dapat diberikan cairan nutrisi. Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat ini

sudah dalam berbagai komposisi, baik untuk parenteral parsial atau total maupun

untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu

berupa:

a) Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia

intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.

b) Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,

status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis

arteri mesenterika, diare berulang.

c) Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-

obstruksi dan skleroderma.

Kondisi dimana jalur enteral tidak memungkinkan untuk diberikan kepada pasien

antara lain pada pada pasien dengan gangguan makan, muntah terus menerus, gangguan

hemodinamik, maupun dengan hiperemesis gravidarum.14,15

2.2.2 Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif intavena memiliki tujuan untuk mengembalikan atau

mempertahankan sirkulasi keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat, sehingga


menciptakan prasyarat untuk hasil yang menguntungkan bagi pasien. Selain itu, terapi

cairan perioperatif juga bertujuan untuk, di antaranya :

1. Menjaga atau memperbaiki keseimbangan cairan (dehidrasi, hipovolemia)

2. Menjaga atau memperbaiki konstitusi plasma (elektrolit)

3. Mengamankan sirkulasi yang cukup (dalam kombinasi dengan zat vasoaktif dan / atau

kardioaktif)

4. Mengamankan suplai oksigen yang cukup ke seluruh organ (dalam kombinasi dengan

terapi oksigen)

National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa

terjadi peningkatan angka mortalitas sebesar 20,5% pada pasien dengan syok hipovolemik

yang mendapatkan terapi cairan perioperatif dengan jumlah tidak adekuat dibandingkan

dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah yang adekuat.17

1. Terapi Cairan Prabedah

Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:

a) Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung suction

b) Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah )

c) Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah

terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan

operasi).3

2. Terapi Cairan Pasca Bedah

Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang


dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau cairan
nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah adalah 4,8 :

a) Dewasa:
1) Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan
pemeliharaan

2) Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan nutrisi dasar
yang mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial.
Sedangkan apabila diperkirakan puasa > 3 hari bisa diberikan cairan nutrisi
yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak

3) Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk
segera diberikan nutrisi parenteral total

b) Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya komposisinya
berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidrat dan lain –
lain.

c) Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia,


penatalaksanaanya disesuaikan dengan etiologinya. 4,9,11

Satu atau lebih komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak
buruk dalam jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada
pasca operasi adalah kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas. 10,14

Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori
yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah18:

a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan

b. Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid

c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi darah.

d) Terapi Cairan selama Operasi

Pemberian cairan selama operasi bertujuan untuk mengoreki hilangnya cairan

akibat luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui

eksresi organ. Pemberian cairan kristaloid ataupun koloid merupakan langkah penting

untuk mengatasi perdarahan agar volume intravascular (normovolemia) dapat terjaga

sehingga resiko anemia dapat teratasi. Namun, apabila pasien mengalami anemia berat,
pemberian transfusi darah kepada pasien perlu untuk dilakukan. Penghitungan

estimated blood volume dapat dilakukan untuk menentukan jumlah transfusi darah

yang akan diberikan kepada pasien.

3
Tabel 2.4 Rata – rata Volume Darah.

Usia Volume Darah


Neonatus
Prematur 95 ml/kg
Matur 85 ml/kg
Infan 80 ml/kg
Dewasa
Pria 75 ml/kg
Wanita 65 ml/kg

2.2.3 Jalur Pemberian Terapi Cairan

Pemberian terapi cairan dapat dilakukan melalui jalur vena, baik vena perifer maupun

vena sentral, melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi vena.2,16

1. Kanulasi Vena Perifer

Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah dimulai dari vena di daerah

ekstremitas atas lalu dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Vena di area

kepala perlu dihandari karena hematom mudah terjadi. Pada bayi baru lahir, vena

umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan

dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk :

a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Lokasi pemasangan harus

dipindah serta penggantian set infus perlu dilakukan, jika pemberiannya melebihi

3 hari.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti kehilangan

cairan tubuh atau perdarahan akut.

c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau berulang

2. Kanulasi Vena Sentral

Pemberian jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total, dilakukan

kanulasi pada vena subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan dalam

pemberian jangka pendek, dilakukan melalui vena-vena di atas ekstremitas atas

secara tertutup atau terbuka dengan vena seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini

tersendiri adalah2,15,16 :

a. Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk cairan

nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi pada

vena.

b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya kardiovaskuler, vena

perifer sulit diidentifikasi.

c. Untuk pemasangan alat pemacu jantung.

2.2.4 Komplikasi Terapi Cairan

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah cairan yang masuk ke dalam tubuh

terlalu banyak. Ketika hal ini terjadi, jantung gagal memompa volume sirkulasi yang

terekspansi secara efektif. Distensi berlebih pada ventrikel kiri dapat menyebabkan gagal

jantung, dengan konsekuensi berupa edema paru. Pasien dengan edema paru akan

memendekkan pernapasan dan menyebabkan batuk, terdengar crackles pada auskultasi dan

penurunan saturasi oksigen. Manifestasi klinis ini seringkali diikuti oleh meningkatnya

denyut jantung. Gagal ginjal dan kerusakan ventrikel yang sudah ada dapat memperburuk

kondisi. Sindrom kompartemen abdomen dan sindrom distres resprasi akut adalah

konsekuensi dari kelebihan resusitasi cairan dan kelebihan cairan. Penanganan khusus juga
harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung atau gagal nafas, ataupun pada orang

dengan resiko ketidakstabilan hemodinamik.11

BAB III

KESIMPULAN

Tubuh manusia sebagian besar tersusun dari air. Cairan tubuh pada masing-

masing individu berbeda tergantung dari beberapa faktor usia, jenis kelamin, dan

derajat status gizi seseorang. Seluruh cairan tubuh tersebut secara garis besar terbagi

ke dalam dua kompartemen, yaitu intraselular dan ekstraselular. Apabila terjadi defisit

atau kekurangan cairan pada tubuh maka perlu segera diberikan penanganan atau

pencegahan untuk mencegah terjadinya masalah kekurangan cairan.

Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid

merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering

dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini

antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu

dilakukan cross match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung

bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada

pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hemorhagik.

Berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi,

dan untuk tujuan khusus.

Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana

masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperatif juga diperlukan pada

saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan darah

pada pasien perioperatif juga menentukan jenis terapi cairan yang akan diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hall, J. (2014). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Singapore:

Elsevier Health Sciences.

2. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Ajar

Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2017. 6 (5): h.272 – 301.

3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and

Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.

New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.

4. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative

Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.


5. Nice.org.uk. (2017). Intravenous fluid therapy in adults in hospital | Guidance and

guidelines | NICE. [online] Available at: https://www.nice.org.uk/guidance/cg174

[Accessed 14 May 2017].

6. Plumb B, Brown J, Fluid Therapy for Anaesthetists and Intensivists, Anaesthesia

and Intensive Care Medicine (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.06.021

7. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes.

Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed.

Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17: h. 341 – 49.

8. Miller, R. and Cohen, N. (2015). Miller's anesthesia. 8th ed. Philadelphia, PA:

Elsevier/Saunders, pp.1768-1769.

9. Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update.

10. Intravenous Fluid Selection [cited 2017 May 14]. Available from

catalogue.pearsoned.co.uk. 2005.

11. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous Fluids Principles of Treatment. Clinical

Pharmacist Vol.3. 2011.

12. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to Therapy.

Verlag Italia: Springer. 2013.

13. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam

Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia:

Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.

14. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition:

Surgery Clinical Nutrition. 2009;28:378.


15. Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition:

Surgery Including Organ Transplantation Clinical Nutrition. 2006;25:224.

16. Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, 2014. Terapi Cairan. In: C. Tando, F. Liwang, S.

Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

Aesculapius, pp. 561-564.

17. Brugnolli, A, RN, MSN, Canzan F, RN, MSN, PhD. 2017. Fluid Therapy Management in

Hospitalized Patients: Results From a Cross-sectional Study

18. Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Journal of

Intensive Care. 2016; 4 : h.27 – 39.

Anda mungkin juga menyukai