Kti Khairil Candra-2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 59

MANAJEMEN HIPERTERMIA PADA PASIEN DEMAM THYPOID DI

KOTA BENGKULU TAHUN 2021

KHAIRIL CANDRA

NIM. P05120218013

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2020
HALAMAN JUDUL

MANAJEMEN HIPERTERMIA PADA PASIEN DEMAM THYPOID DI


KOTA BENGKULU TAHUN 2021

Karya Tulis ilmiah ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Keperawatan(Amd.Kep)

Disusun Oleh :

KHAIRIL CANDRA
P05120218013

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demam adalah proses infeksi atau inflamasi yang disebabkan oleh


adanya bakteri, virus atau patogen lain yang merangsang pelepasan
pirogen yang bekerja di hipotalamus, dalam memicu produksi
prostaglandin dan meningkatkan suhu tubuh. Proses ini memicu resopons
dingin, yang menyebabkan menggigil, vasokonstriksi, dan penurunan
perfusi perifer serta memungkinkan suhu tubuh meningkat lebih tinggi
yaitu lebih dari 38º Demam disebabkan oleh faktor infeksi ataupun non
infeksi.
Penyebab umum demam adalah infeksi bakteri, virus, jamur ataupun
parasit. Demam yang disebabkan oleh virus seperti pilek, flu, atau
gastroenteritis, sedangkan yang disebabkan oleh bakteri seperti demam
tifoid, pneumonia, demam berdarah, infeksi telinga dan lainnya. Demam
akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan eksternal yang terlalu tinggi),
penyakit autoimun, keganasan dan pemakaian obat-obatan. Hal lain yang
berperan sebagai penyebab demam non infeksi adalah gangguan system
syaraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cidera
hipotalamus atau gangguan lainnya (Carman & Kyle, 2015)
Demam adalah cara tubuh mempertahankan diri terhadap banyak
bakteri dan virus yang suka hidup dalam suhu normal tubuh manusia, yaitu
36,5°C. Meningkatnya suhu tubuh badan adalah salah satu cara tubuh
bekerja keras memerangi para penyerang ini dengan mengaktifkaan sistem
kekebalan tubuh setelah buang air besar atau air kecil meningkatkan resiko
tertularnya penyakit ini. Selain itu, lalat merupakan carrier (pembawa)
yang dapat memindahkan bakteri secara langsung dari tinja makanan.
Menurut Utami (2013) Demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh
diatas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di
hipothalamus (Sodikin, 2012).
Demam merupakan suatu indikasi terjadinya infeksi virus, bakteri
atau penyakit serius lainnya. Ketidakmampuan mekanisme kehilangan
panas untuk mengimbangi produksi panas yang berlebih sehingga
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Penentuan demam juga ditentukan
berdasarkan pembacaan suhu pada waktu yang berbeda dalam satu hari
kemudian dibandingkan dengan nilai suhu normal individu. Jaringan dan
sel tubuh akan berfungsi secara optimal jika suhu tubuh dalam batas
normal dimana berkisar dari 36,5–37,5°C. 1 Demam menyebabkan anak
menjadi lebih suka menangis, mengeluh nyeri kepala dan rasa tidak
nyaman di seluruh tubuh. Suhu yang meningkat terlalu tinggi dapat
menimbulkan kekurangan cairan, letargi, penurunan nafsu makan sehingga
asupan nutrisi berkurang, dan kejang yang mengancam kelangsungan
hidup anak (Behrman, Kliegman dan Arvin, 2000)
Demam thypoid adalah infeksi yang mengancam jiwa yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella Thypi. Diperkirakan 11-20 juta orang
sakit karena thypoiddan 128.000 sampai 161.000 orang meninggal dunia
setiap tahunnya akibat menderita thypoid. Masyarakat miskin dan
kelompok rentan termasuk anak-anak beresiko tinggi terserang penyakit
thypoid(WHO, 2017).
Demam thyfoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih
dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran
(Lestari, 2016).

Demam tifoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti


penyakit menular lainnya, tifoid banyak di temukan di Negara berkembang
yang hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan nya kurang baik. Prevalensi
kaus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan
prilaku mayarakat. Angka insiden di Amerika Serikat tahun 1990 adalah
300-500 kasus pertahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika Latin
150/100.000 penduduk setiap tahun nya, sedangkan prevalensi di di asia
jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun
demam tifoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar tetap
pada usia kurang dari 20 tahun (Widoyono, 2008).
Angka kejadian kasus demam thypoid di Indonesia diperkirakan
rata-rata 900.000 kasus pertahun dengan lebih dari 20.000 kematian.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 jumlah kejadian
demam thypoid dan para thypoid di Rumah Sakit adalah 80.850 kasus
pada penderita rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia (Depkes
RI, 2011). Sedangkan pada tahun 2012 penderita demam thypoid dan para
thypoid sejumlah 41.081 kasus pada penderita rawat inap dan jumlah
pasien meninggal dunia sebanyak 276 jiwa (Depkes RI, 2012). Pada tahun
2013 diperkirakan jumlah penderita demam thypoid dan para thypoid
sebesar 9.747 kasus pada penderita rawat inap (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu Tahun 2018


yang menunjukan angka kejadian demam di daerah Kota Bengkulu pada
anak usia 1 – 14 tahun sejumlah 290 anak. Data anak yang mengalami
demam di daerah Kabupaten Kepahiang usia 1-14 tahun sebanyak 575
anak. Sedangkan di Kabupaten Bengkulu Tengah itu sebanyak 137 anak
(Dinkes Provinsi Bengkulu, 2018)

Prevalensi penyakit Demam Thypoid di Kota Bengkulu.


Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, pada bulan
januari-agustus tahun 2018 sebanyak 198 orang yang menderita penyakit
Demam Thypoid. Pada bulan Agustus - desember tahun 2019 terjadi
peningkatan sebanyak 511 orang yang menderita penyakit Demam
Thypoid (Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, 2019)
Berdasarkan data dari puskesmas Basuki Rahmad Telaga Dewa
Kota Bengkulu, pada tahun 2018 terdapat 30 orang yang menderita
penyakit Demam Thypoid, pada tahun 2019 meningkat menjadi 43 orang
yang menderita Demam Thypoid. (Puskesmas Basuki Rahmad Telaga
Dewa Kota Bengkulu, 2019)

Penanganan terhadap demam dapat dilakukan dengan tindakan


farmakologis, tindakan non farmakologis maupun kombinasi keduanya.
Tindakan farmakologis yaitu memberikan obat antipiretik (Kania, 2007).
Tindakan non farmakologis yaitu tindakan tambahan dalam menurunkan
panas yang dilakukan setelah pemberian obat antipiretik (Kania, 2007).
Kompres adalah salah satu tindakan non farmakologis untuk menurunkan
suhu tubuh bila anak mengalami demam. Ada beberapa macam kompres
yang bisa diberikan untuk menurunkan suhu tubuh yaitu tepid water
sponge dan kompres air hangat (Dewi, 2016).
Tepid water sponge merupakan alternatif teknik kompres yang
menggabungkan teknik blok dan seka (Efendi, 2012). Kompres hangat
merupakan tindakan menurunkan suhu tubuh dengan menggunakan kain
atau handuk yang telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu sehingga dapat memberikan rasa nyaman (Wardiyah,
2016)
.
B. Rumusan masalah

Bagaimana gambaran asuhan keperawatan pasien Demam Thypoid

dalam melakukan manajemen Hipertermia

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum:

Dideskripsikan asuhan keperawatan dalam penerapan manajemen

Hipertermia pada pasien Demam Thypoid.


2. Tujuan Khusus:

a. Dideskripsikan pengkajian kebutuhan manajemen di Hipertermia pada

pasien Demam Thypoid

b. Dideskripsikan diagnosa keperawatan sesuai prioritas mengenai

manajemen Hipertermia pada pasien Demam Thypoid.

c. Dideskripsikan rencana keperawatan mengenai manajemen

Hipertermia pada pasien Demam Thypoid.

d. Dideskripsikan implementasi keperawatan dalam manajemen

Hipertermi secara holistik dan komprehensif pada pasien Demam

Thypoid.

e. Dideskripsikan evaluasi keperawatan dalam manajemen Hipertermia

pada pasien Demam Thypoid.

D. Manfaat Studi Kasus

a. Bagi Masyarakat.

Meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat tentang manajemen

Hipertermia untuk menurunkan suhu tubuh pada pasien demam

Thypoid

b. Bagi Pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan.

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam mengoptimalkan suhu tubuh dalam rentang normal pada pasien

demam thypoi melalui manajemen hipertermia

c. Bagi Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan manajemen

Hipertermia dengan asuhan keperawatan pada pasien demam thypoid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep anatomi fisiologi sistem pencernaan

Sistem pencernaan adalah kesatuan alat-alat yang dilibatkan


dalam proses pencernaan makanan. Sistem pencernaan manusia
terdiri dari saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Saluran
pencernaan meliputi beberapa organ, di antaranya sebagai berikut:
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya
makanan dan air. Mulut merupakan bagian awal dari sistem
pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk system pencernaan
yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh
selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang
terdapat di permukaan lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari
manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf
olfaktorius di hidung, terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di
kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-
bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar
ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya
lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara
langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut
secara otomatis.
b. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan
kerongkongan. Didalam lengkung faring terdapat tonsil
(amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung
kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi,
disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan
makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga
hidung, didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan
lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan
rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus
fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang
sama tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang
sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior yaitu bagian
yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior disebut
nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian
media 9 disebut orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai
di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang
menghubungkan orofaring dengan laring
c. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata
yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke
dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan
dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu
dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut
histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah
(campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior
(terutama terdiri dari otot halus).
d. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri
dari tiga bagian yaitu kardia, fundus dan antrium. Lambung
berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara
ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim:
a. Renin, zat renin ini hanya dimiliki oleh bayi yang
fungsinya untuk mengendapkan protein susu dari air
susu ibu (ASI).
b. Pepsin, zat yang satu ini fungsinya untuk memecah
protein menjadi pepton.
c. Asam Klorida (HCI), fungsinya untuk mengaktifkan
pepsinogen menjadi pepsin.
d. Lipase, zat lipase fungsinya untuk memecah lemak
menjadi asam lemak dan gliserol.
e. Usus halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran
pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar.
Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-
zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim
yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus
terdiri dari lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot
melingkar, lapisan otot memanjang dan lapisan serosa. Usus
halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan
(ileum).
a. Usus Dua Belas Jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus
halus yang terletak setelah lambung dan
menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus
dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus,
dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum
treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal,
yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum.
pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat
sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung
melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari
(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus
halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pilorus dalam 11 jumlah yang bisa di cerna oleh
usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal
kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
b. Usus Kosong (Jejenum)
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus
halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus
penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh
usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter adalah bagian usus
kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan
dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus
kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus
(vili), yang memperluas permukaan dari usus.
c. Usus Penyerapan (Illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari
usus halus. Pada sistem pencernaan manusia ileum
memiliki panjang sekitar 2- 4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa)
dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam empedu.
f. Usus besar (kolom)
Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu
dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari
feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon
transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid
(berhubungan dengan rektum). Banyaknya bakteri yang
terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan 12 membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di
dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari
usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan
gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir
dan air, dan terjadilah diare.
g. Rektum atau Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung
usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ
ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat
yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika
defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan
ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi
dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak
yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak
yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian
otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan
lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan
tubuh (kulit) dan sebagian 13 lannya dari usus. Pembukaan dan
penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari
tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang
merupakan fungsi utama anus (Pearce, 1999).

B. Konsep dasar penyakit demam Thypoid


A. Definisi
Demam Thyfoid adalah demam yang disebabkan oleh
adanya infeksi bakteri salmonella typhi, yang ditandai dengan
gejala demam dan nyeri (Longo & Fauci, 2014). Penyakit ini
sangat berkaitan erat dengan perilaku hidup bersih dan sehat
dimasyarakat seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan, kebersihan lingkungan sekitar rumah, penyajian
makanan yang kurang hygienis dll (Paputungan, 2016).
Demam tifoid merupakan penyakit yang terjadi pada usus
halus yang disebabkan oleh salmonella thypii. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui makanan, mulut atau minuman yang
terkontaminasi oleh kuman salmonella thypii (Hidayat,2009).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa demam typoid penyakit menular yang bersifat akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan usus halus yang
disebabkan oleh salmonella thypii dengan gejala demam lebih
dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran
B. Etiologi
Menurut Widagdo (2011), penyebab dari demam typhoid
adalah salmonella typhi, termasuk dalam genus salmonella
yang tergolong dalam family enterobacteriaceae. Salmonela
bersifat bergerak, berbentuk batang, tidak membentuk spora,
tidak berkapsul, gram (-).Tahan terhadap berbagai bahan kimia,
tahan beberapa hari/ minggu pada suhu kamar, bahan limbah,
bahan makanan kering, bahan farmasi dan tinja. Salmonela
mati pada suhu 54.4º C dalam 1 jam, atau 60º C dalam 15
menit. Salmonela mempunyai antigen O (stomatik), adalah
komponen dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada
panas, dan anti gen H (flagelum) adalah protein yang labil
terhadap panas. Pada S. typhi, juga pada S. Dublin dan S.
hirschfeldii terdapat anti gen Vi yaitu poli sakarida kapsul.
Menurut Sodikin (2011), penyebab penyakit demamtyphoid
adalah jenis salmonella thyposha, kuman ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Hasil gram negatif yang bergerarak dengan bulu getar
dan tidak berspora.
b. yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen
H (flagella), dan antigen Vi. Berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratoriun pasien, biasanya terdapat zat
anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
C. Tanda dan gejala
Masa inkubasi demam typhoid berlangsung antara 10-14
hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari
ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada


minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan –
lahan terutama pada sore hari hingga malam hari.
(Perhimpunan Dokter Spesial Penyakit dalam Indonesia, 2014)
Masa tunas 7-14 hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal
(gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas ) yaitu:

a. Perasaan tidak enak badan


b. Nyeri kepala
c. Pusing
d. Diare
e. Anoreksia
f. Batuk
g. Nyeri otot
h. Muncul gejala klinis yang lain

Demam berlangsung 3 minggu.Minggu pertama: demam ritmen,


biasanya menurun pagi hari, dan meningkat pada sore dan malam hari.
Minggu kedua: demam terus. Minggu ketiga: demam mulai turun
secara berangsur-angsur, gangguan pada saluran pencernaan, lidah
kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi
kemerahan, jarang disertai tremor, hati dan limpa membesar yang
nyeri pada perabaan, gangguan pada kesadaran, kesadaran yaitu apatis-
samnolen. Gejala lain RESEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena
emboli hasil dalam kapiler kulit) (Kapita selekta, kedokteran, jilid II ).

D. Patofisiologi

Kuman salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal


akan di telan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan
oleh makrofag yang ada di dalam laminaprophia. Sebagian dari
salmonella typhi ada yang dapat masuk ke usus halus mengadakan
invaginasi kejarinagn limfoid usus halus (lakpeyer) dan jaringan
limfoid mesenterika.Kemudian salmonella typhi masuk melalui folikel
limfa ke saluran limphatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi
bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang sistem retikulo
endothelial (RES) yaitu : hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya
mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain sistem saraf pusat,

ginjal, dan jaringan limpa (Curtis, 2006 dalam Muttaqin & Sari, 2011)

Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang


bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga di hinggapi.Pada
mulanya, plakatpeyer penuh dengan vagosit, membesar, menonjol, dan
tampak seperti infiltrate atau hyperplasia dimukosa usus (Hidayat,
2005 dalam Muttaqin & Sari, 2011).

Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan


tukak.Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan
ukuran plakpeyer yang ada disana.Kebanyakan tukaknya dangkal,
tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan.Perforasi
terjadi pada tukak yang menembus serosa.Setelah penderita sembuh,
biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan
fibrosis (Brusch, 2009 dalam Muttaqin & Sari, 2011).

Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi pada minggu pertama


dengan tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan
naik pada malam hari dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam
yang terjadi pada masa ini di sebut demam interminten (suhu yang
tinggi, naik turun, dan turunnya dapat mencapai normal). Disamping
peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi obstipasi sebagai akibat
penurunan motilitas suhu, namun hal ini tidak selalu terjadi dan dpat
pula terjadi sebalinya. Setelah kuman melewati fase awal intestinal,
kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu
tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada ERS seperti
nyeri perut kanan atas, splenomegali, dan hepatomegali (Chaterjee,
2009 dalam Muttaqin & Sari, 2011).
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi fokal intestinal terjadi
dengantanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih
rendah dari fase bakterimia dan berlangsung terus menerus (deman
kontinu), lidah kotor, tepi lidah hiperemesis, penurunan peristaltik,
gangguan digesti dan absorpsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan
pasien merasa tidak nyaman. Pada masa ini dapat terjadi perdarahan
usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat,
peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan
kesadaran (Parry, 2002 dalam Muttaqin & Sari, 2011).

E. Patway

fekal cuci tangan tidak bersih makanan terkontaminasi salmonella


thypii masuk saluran pencernaan bersarang di dinding usus halus
Demam Typhoid bakterimia kuman masuk peredaran darah ke seluruh
tubuh terutama di organ RES kuman mengeluarkan endotoksin usus
halus termoregulator di hipotalamus terganggu proses sistem cerna
resiko inflamasi terganggu komplikasi ketidakefektifan termoregulasi
distensi abdomen terjadi gangguan hipoperistaltik peningkatan nyeri
epigastrik motilitas usus metabolisme mekanisme patologis Konstipasi
kehilangan cairan tubuh Nyeri akut hiperperistaltik dehidrasi Diare
anoreksia Kekurangan mual muntah volume cairan penurun tonus otot
Ketidakseimbangan nutrisi kurang Intoleransi aktivitas kelemahan fisik
dari kebutuhan tubuh gangguan kesadaran dirawat di rumah sakit
kurang terpaparnya Gangguan pola tidur bedrest total informasi
dampak hopitalisasi Defisiensi pengetahuan Ansieta

F. Manifestasi Klinis
Kemenkes RI (2013), menjelaskanbahwakumpulan gejala klinis
demam tifoid disebut sebagaisindrom demam tifoid. Beberapa gejala
klinis yang seringdijumpai adalah :
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pola
demam tifoid secara klasik digambarkan sebagai berikut: pada awal
sakit demam tidak terlalu tinggi lalu akan makin meningkat dari
hari ke hari, suhu pagi dibandingkan sore atau malam hari lebih
tinggi (step ladder fashion). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam
akan terus menerus (demam kontinu), demam akan menurun pada
akhir minggu ke-3 dan minggu ke-4 sampai mencapai suhu normal.
Komplikasi demam typoid terjadi pada fase demam di akhir
minggu ke-2 dan ke-3. Hati-hati apabila terjadi penurunan suhu
tubuh di akhir minggu ke-2 dan ke-3 karena dapat merupakan tanda
dan gejala komplikasi perdarahan dan perforasi saluran cerna.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam
yang lama. Bibir kering dan kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan
kotor, ditutupi selaput kotor (coated tongue), ujung dan tepi lidah
tampak kemerahan, serta lidah tampak tremor. Pada anak balita
tanda dan gejala ini jarang ditemukan. Pasien sering mengeluh
nyeri perut, terutama region epigastrium (nyeri ulu hati), disertai
mual dan muntah. Sering dijumpai meteorismus, kontipasi,
dan/atau diare.
c. Gangguan Kesadaraan
Umumnya dijumpai gangguan kesadaran, kesadaran berkabut,
penurunan kesadaran karena typoidensefalopati, dan
meningoensefalitis. Sebaliknya mungkin dapat ditemukan gejala
psikosis (Organic Brain Syndrome)
d. Hepato splenomegaly
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Pada
perabaan hati teraba kenyal dan nyeri tekan.
e. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi
relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah
setiap peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi
nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam typoid seperti pada ras kulit putih akan
tampak bercak-bercak bewarna merah muda (rose spot) berukuran
2-4 mm didaerah dada dan perut, namun pada ras kulit bewarna
bercak ini jarang sekali terlihat.

G. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah pada usus halus, tapi jarang
terjadi. Apabila komplikasi ini dialami oleh seorang anak, dapat
berakibat fatal. Komplikasi yang terjadi menurut Susilaningrum
(2013) antara lain:
1. Kompikasi Intestinal
a. Perdarahan usus
Jika perdarahan banyak maka akan terjadi melena yang dapat
disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan
b. Perforasi usus
Perforasi terjadi pada distal ileum. Perforasi yang tidak
disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara
dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udata diantara hati dan diagfragma pada foto rontgen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen yang tegang (defensemusculair), dan nyeri tekan.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok
dan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia,
koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia
hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan
perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan
artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
(Kemenkes RI. 2013)
a. Pemeriksaan Fisik
1) Suhu tinggi.
2) Bau mulut karena demam lama.
3) Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
4) Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang
ditemukan pada anak.
5) Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
6) Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
7) Hepatosplenomegali.
8) Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti
oleh peningkatan frekuensi nadi).
b. Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1) Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis
dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien
dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psikosis (organic brain syndrome).
2) Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah perifer lengkap
Hitung lekosit total menunjukkan leukopeni (<5000 per
mm3), limfositosis relatif, monositosis, aneosinofilia dan
trombositopenia ringan. Pada minggu ketiga dan keempat
dapat terjadi penurunan hemaglobin akibat perdarahan hebat
dalam abdomen.
2) Pemeriksaan serologi Widal
Dengan titer O 1/320 diduga kuat diagnosisnya adalah
demam typoid. Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan
diagnosis typoid. Diagnosis demam typoid dianggap pasti
bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan
ulang dengan interval 5-7 hari.
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela,
fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S.
typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga
dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif
pada pemanasan di atas suhu 60 °C dan pada pemberian
alkohol atau asam.
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul)
yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur
kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam
pada suhu 60 °C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen
ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel
yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin
dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama
OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan
merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi
solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap
proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100 °C. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan
lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi
fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa
peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat
spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.
Tes lain yang lebih sensitif dan spesifik terutama untuk
mendeteksi infeksi akut tifus khususnya Salmonella serogrup
D dibandingkan uji Widal dan saat ini sering digunakan
karena sederhana dan cepat adalah tes TUBEX®. Tes ini
menggunakan teknik aglutinasidengan menggunakan uji
hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test).

I. Pencegahan demam thypoid

Menurut Kemenkes RI (2013), pencegahan demam typoid antara lain


adalah:
a. Hygiene dan Sanitasi
1) Sanitasi Lingkungan
Salah satu risiko penularan demam tifoid adalah sanitasi
lingkungan. Adapun cara melakukan pencegahannya dapat
dilakukan perbaikan sanitasi lingkungan dengan melibatkan
lintas program dan lintas sektor, mitra terkait serta peran serta
aktif seluruh lapisan masyarakat melalui :
a) Akses terhadap jamban keluarga yang memenuhi syarat-
syarat kesehatan, yaitu tidak mencemari lingkungan,
memutus kontak dengan vektor dan tidak menyebarkan bau.
b) Perilaku cuci tangan pakai sabun dan air mengalir dengan
benar.
c) Pengelolaan makanan dan minuman serta penyimpanan
dengan benar.
d) Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang benar
sehingga tidak mencemari lingkungan.
e) Penyediaan air bersih untuk seluruh warga.
f) Kontrol dan pengawasan terhadap sanitasi lingkungan,
terlaksana dengan baik danberkesinambungan.
g) Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat serta selalu
menjaga kondisi sanitasi dan lingkungan bersih.
b. Hygiene dan Sanitasi Makanan
Transmisi utama basil salmonella melalui air minum dan
makanan. Hygiene makanan dan minuman yang terjamin
merupakan faktor yang utama dalam pencegahan. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan antara lain menerapkan prinsip hygiene dan
sanitasi makanan dengan pengendalian titik kritis pada pengelolaan
makanan, mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan
bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan
matang, pengangkutan makanan matang, dan penyajian makanan.
Titik-titik kritis yang mungkin terjadi pada setiap langkah
pengelolaan makanan harus dapat dikendalikan untuk menjamin
makanan matang yang disajikan memenuhi persayaratan hygiene
dan sanitasi, sebagai berikut :
1) Memilih bahan makanan yang baik, bermutu, dan berkualitas
sesuai dengan jenis bahan makanan.
2) Menyimpan bahan makanan pada tempat, suhu dan waktu yang
tepat serta menerapkan system FIFO (First In First Out) dan
FEFO (First Expired First Out).
3) Mengolah bahan makanan dengan tepat sesuai urutan dan
sampai masak sempurna.
4) Menyimpan makanan matang pada wadah/tempat dan suhu yang
tepat. Makanan matang yang harus disimpan dalam keadaan
dingin, beku maupun dalam keadaan hangat/panas.
5) Apabila makanan matang sebelum disajikan perlu dilakukan
pengangkutan maka diangkut dengan menggunakan wadah dan
alat yang tepat, tertutup, terlindung, dan aman dari pencemaran.
6) Menyajikan makanan pada waktu yang tepat dengan
memperhatikan tempat penyajian, pewadahan, suhu dan waktu
tunggu (lamanya waktu mulai dari makanan matang sampai
dengan makanan dikonsumsi). Perlu diingat 5 (lima) kunci
keamanan makanan (WHO) :
a) Gunakan bahan makanan yang baik
b) Gunakan air bersih
c) Masak bahan makanan dengan sempurna
d) Pisahkan makanan matang dengan makanan mentah
e) Simpan makanan matang pada suhu yang tepat.
c. Hygiene perorangan
Hygiene perorangan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya penularan demam tifoid. Oleh karena itu
perilaku hidup bersih dan sehat harus benar-benar dilaksanakan
oleh setiap orang. Cuci tangan pakai air mengalir dan sabun harus
dilakukan sesering mungkin, khususnya sebelum memegang
makanan, setelah BAB, setelah keluar dari toilet, setelah
melakukan kegiatan, setelah memegang binatang peliharaan,
setelah mengganti popok bayi, dan sebagainya. Syarat utama bagi
penjamah makanan adalah sehat jasmani dan rohani, tidak
menderita penyakit menular serta berperilaku hidup bersih dan
sehat. Pemeriksaan kesehatan dilakukan minimal 2 kali dalam
setahun dalam rangka pencegahan dan perlindungan terhadap
penularan demam tifoid dan penyakit menular lainnya.
d. Imunisasi
Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar
perlindungan diri dari penularan tifoid. Sampai saat ini vaksin
tifoid baru diprioritaskan untuk pelancong, tenaga laboratorium
mikrobiologis dan tenaga pemasak/penyaji makanan di restoran-
restoran. Namun mengingat demam tifoid dengan angka kesakitan
cukup tinggi maka vaksinasi terhadap tifoid sudah harus
dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak setelah mengenal
jajanan yang tidak terjamin kebersihannya.Di Indonesia telah ada 3
jenis vaksin typoid yakni:
1) Vaksin dengan Salmonella yang telah dimatikan (Tab Vaccine).
Diberikan secara subkutan. Menurut evaluasi yang telah
dilaksanakan, daya perlindungan vaksin ini terbatas dan adanya
efek samping pada tempat suntikan. Vaksin dengan Salmonella
yang dilemahkan (T4-212). Diberikan peroral, selang sehari 3
kali dosis. Daya lindung kurang lebih 6 tahun (pada anak).
2) Vaksin berisi komponen Vi basil Salmonella. Diberikan secara
suntikan intra muskular dengan daya lindung 3 tahun dan efikasi
diperkirakan 60-70%. Umur minimal untuk pemberian 2 tahun
dan booster dilakukan setiap 3 tahun.
e. Pencegahan Karier
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan
pengobatan yang baik berarti melaksanakan pencegahan yang
baik pula. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna,
maka dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan
di masyarakat.
J. Penatalakanaan
a. Tirah baring atau bed rest.
b. Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan),
kecuali komplikasi pada intestinal.
c. Obat-obat :
a) Antimikroba :
Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
1) Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
2) Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol
400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan
dalam 250 ml cairan infus.
3) Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi
dalam 3 atau 4 dosis. Antimikroba diberikan selama 14 hari atau
sampai 7 hari bebas demam.

b). Antipiretik seperlunya

c). Vitamin B kompleks dan vitamin C

d. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Hipertermia

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan pengumpulan informasi subjektif dan


objektif atau peninjauan informasi riwayat pasien pada rekam medic.
Informasi subjektif, misalnya dengan wawancara pasien/keluarga.
Sedangkan informasi objektif, misalnya dengan pengukuran tanda-
tanda vital dan pemeriksaan fisik (Herdman, 2015). Pengkajian
keperawatan merupakan proses sistematis dari pengumpulan data,
verifikasi, dan komunikasi data mengenai klien dengan melakukan
pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder
(keluarga dan tenaga kesehatan) (Perry & Potter 2005). Menurut
(Perry & Potter 2005) dalam melakukan pengkajian keperawatan pada
pasien hipertermia dilakukan beberapa tahap antara lain sebagai
berikut:
a. Keluhan utama
Klien hipertermia biasanya sering mengalami dehidrasi klien
hipertermia biasanya mengalami gejala berkeringat, warna kulit
pucat, detak jantung lebih cepat, kehausan, merasa lelah, pusing,
mual bahkan diare.

b. Riwayat penyakit sekarang


Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang biasanya terdapat
peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi 
ke dalam tubuh Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian mengenai riwayat penyakit dahulu yang
berhubungan dengan penyakit yang dialami saat ini.
c. Riwayat psikososial dan spiritual
1. Riwayat psikososial
Pada klien yang mengalami hipertermia akan timbul
kecemasan.
2. Aspek sosial
Pada klien yang mengalami hipertermia akan terjadi
gangguan saat berinteraksi dengan orang lain.
3. Aspek spiritual
Klien akan mengalami gangguan dalam menjalankan ibadah
karena klien merasa lelah dan pusing, namun ada klien yang
cenderung lebih mendekatkan diri pada tuhan.
d. Pola kebiasaan sehari-hari
1. Pola aktivitas
Pola aktivitas menurun karena mengalami kelelahan
disebabkan oleh hipertermia.
2. Pola istirahat
Pola istirahat terganggu pasien biasanya mengalami susah
tidur.

3. Pola kebersihan diri

Kebiasaan diri kurang pasien cenderung memikirkan


penyakit yang dideritanya dari pada kebersihan diri.
4. Pola nutrisi
Pasien kurang nafsu makan dikarenakan lidahnya terasa pahit.

e. Pemeriksaan fisik
Sumber: Haryono. 2012 dan Kyle & Carman. (2015)
1. Keadaan umum
Klien tampak lemah, pengeluaran keringat berlebihan, bibir
kering, menggigil, tingkat kesadaran compos mentis sampai
terjadi shock.
2. Tanda-tanda vital
Tekana darah : 109/72 mmHg - 120/80 mmHg klien
hipertermia biasanya dibawah angka
normal.
 Nadi : 70-120 x/menit pada klien hipertermia nadi
akan teraba lemah akan tetapi cepat.
 Respirasi :12-20 x/menit
 Suhu : >38ºC
f. Pemeriksaan chepalocaudal
1. Pemeriksaan kepala
Bibir : Mukosa bibir kering, sianosis
Lidah : Tampak kotor dan berwarna putih
2. System Penglihatan
Pada pasien hipertermia mengeluh sering sakit kepala dan
pusing.
3. System Pendengaran
Pada pasien demam tifoid biasannya terdapat kelainan tuli
ringan atau otitis media.
4. Sistem Pernapasan
Pasien dengan hipertermia bila gejala telah lanjut klien
mengeluh sesak nafas, pernafasan dangkal
1. Sistem Kardiovaskuler
Pasien dengan hipertermia klien hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan hasil tekanan darah menurun, nadi meningkat, nadi
perifer teraba lemah.

2. Sistem Hematologi
Pasien dengan demam tifoid hasil pemeriksaan
laboratorium biasanya hemoglobin biasanya mengalami
penurunan, Trombosit mengalami peningkatan
3. Sistem Pencernaan
Pada pasien demam tifoid dengan diagnosa hipertermia
biasanya mukosa bibir kering dan pecah-pecah, lidah tertutup
selaput putih kotor, mulut terasa pahit, fungsi mengunyah
pahit. Abdomen kembung (meteorismus), nyeri perut pada
perabaan, nafsu makan menurun, mual muntah, terdapat
pembesaran limpa dan hati (hepato dan splemagali), bisisng
usus melemah.
4. Sistem Urogential
Pada pasien tifoid kadang-kadang diare atau konstipasi,
produk kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari
normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam
5. Sistem Integumen
Pada pasien hipertermia biasanya, turgor kulit menurun,
kulit pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
6. Pemeriksaan ekstremitas
Telapak tangan dan kaki berwarna kekuningan/tampak pucat,
terjad kelemahan dan nyeri pada otot.

g. Data penunjang
Menurut (Kemenkes RI, 2013) :
1. Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leucopenia,
limposfosistis relative dan aneosinifilia.
2. Darah untuk kultur (biakan empedu)
Biakan empedu hasil salmonella tiyphosa dapat ditemukan
dalam darah pasien pada minggu pertama dirawat di rumah
sakit, selanjutnya lebih sering ditemukan di urine dan feses

3. Pemeriksaan widal
Untuk diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah titer zat
anti terhadap antigen O. Titer yang bernialai 1/320 atau lebih
menunjukkan kenaikan progresif.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu,
keluarga, dan komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan
yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk
pemilihan intervensi keperawatan, untuk mencapai hasil yang merupakan
tagggung jawab perawat. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
demam tifoid dibuat berdasarkan manifestasi klinik yang ada lalu
dimodifikasi permasalahan penyakit yang berhubungan dengan demam
tifoid yaitu (Nurjannah, 2013): Diagnosa keperawatan yang dapat
ditemukan pada klien dengan kasus demam tifoid berdasarkan respon
klien yang disesuaikan dengan SDKI, 2016 yaitu:
1) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (SDKI)
Table 2.1 Diagnosa Keperawatan

Symptoms Etiologi Problem


Data mayor  Dehidrasi Hipertermia
Subjektif :  Terpapar lingkungan
Tidak tersedia panas
Objektif :  Proses penyakit (mis.
 Suhu tubuh diatas Infeksi, kanker)
nilai normal  Ketidaksesuaian
Data minor pakaian dengan suhu
Subjektif : lingkungan
Tidak tersedia  Peningkatan laju
Objektif : metabolism
 Kulit merah  Respon trauma
 Takikardi
 Aktivitas berlebihan
 Kejang
 Penggunaan
 Takipnea
inkubator
 Kulit terasa hangat

3. Rencana keperawatan
Menurut Juddith (2014), perencanaan keperawatan adalah rencana
keperawatan kepada klien sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan
sehingga kebutuhan klien dapat terpenuhi. Dalam teori perencanaan
keperawatan dituliskan sesuai dengan rencana dan kriteria hasil
berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) dan Standar
Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI).
SLKI menggambarkan respon pasien terhadap tindakan keperawatan
sedangkan SIKI menggambarkan intervensi/ tindakan keperawatan dalam
rencana keperawatan. Pada perencanaan ini perawat menetapkan tujuan
dan hasil yang diharapkan bagi pasien serta mencapai tujuan dan kriteria
hasil (SDKI, 2017).
Perencanaan keperawatan disesuaikan dengan kondisi dan fasilitas yang
ada, sehingga rencana tindakan dapat diselesaikan dengan Spesifik,
Measure, Arhieverble, Rasional, Time (SMART) selanjutnya
akandiuraikan rencana asuhan keperawatan dari diagnosa yang ditegakkan
(SDKI)
Tabel 2.2 Rencana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Demam Thypid

Tujuan
N DIAGNOSA SLKI SIKI RASIONAL
O
1 Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Identifikasi penyebab 1. Informasi ini menentukan data
proses penyakit (Sdki, selama…….. x 24 jam dasar bagi kondisi pasien dan
hipertermia (mis, dehidrasi,
D0130) Diharapkan : memandu intervensi keperawatan
Subjektif SLKI: Termoregulasi terpapar lingkungan panas,
(tidak tersedia)  Ditingkatkan ke
penggunaan inkubator )
Objektif level….
 Suhu tubuh diatas  Dipertahankan ke 2. Monitor suhu dan tanda
nilai normal level… 2. Peningkatan deyut nadi, penurunan
tanda vital lainnya
Data minor: Keterangan level: tekanan vena sentral dan penurunan
Subjekti 1. Memburuk 3. Tempatkan pasien tekanan darah dapat
(tidak tersedia) 2. Cukup memburuk mengindikasikan hipovolemia
keruangan yang nyaman,
Objektif 3. Sedang yang mengarah pada penurunan
 Kulit merah 4. Cukup membaik atur suhu jangan terlalu perfusi jaringan peningkatan
 Takikardi 5. Membaik frekuensi pernapasan
dingin atau terlalu panas
 Kejang berkompensasi pada hipoksio
 Takipnea Dengan criteria 4. Berikan cairan atau minum jaringan
 Kulit terasa hangat hasil: yang cukup
1. Suhu tubuh 3. Lingkungan yang sejuk dapat
1/2/3/4/5 5. Gunakan pakaian yang tipis, membantu untuk menurunkan suhu
2. Suhu kulit longgar menyerap keringat, tubuh radiasi
1/2/3/4/5 dan nyaman istiharat 4. Memenuhi kebutuhan cairan yang
3. Berkeringat saat kurang hipertemia membuat
panas 1/2/3/4/5 sesorang dehidrasi (kekurangan
4. Melaporan 6. Lakukan tepid sponge bath cairan ) dan juga Membantu untuk
kenyamanan suhu pada pasien untuk melembabkan membran mukosa
1/2/3/4/5 menurunkan suhu tubuh dan melarutkan zat tersebut
5. Kejang
1/2/3/4/5 7. Meningkatkan sirkulasi 5. Tindakkan untuk meningkatkan
udara kenyamanan pasien dan
menurunkan suhu tubuh

8. Anjurkan tirah baring


6. Membantu menghambat pusat
9. Berikan informasi pada simpatis dihipotalamus sehingga
keluarga tantang demam terjadi vasodilatasi dengan
tindakan yang dapat untuk merangsang kelenjar keringat
dilakukan mengurangi untuk mengurangi panas tubuh
demam melalui penguapan

10. Kolaborasi pemberian 7. Berikan pasien oksigen 2-3 liter


cairan dan elektrolit untuk menghindari terjadinya
intravena, jika perlu kekurangan O2 di otak

8. Dengan mengurangi aktivitas,


maka dapat memperbanyak
istiraha. Istirahat yang sering akan
meningkatkan pemulian
9. Keluarga dapat mengetahui dan
memahami tentang penyakit
(Demam tifoid) yang diderita
pasien sehingga keluarga dapat,
ajari keluarga kompres hangat
untuk mengurangi demam pasien

10. Membantu menggantikan cairan


yang hilang dari tubuh
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah ke status kesehatan yang
lebih baik yang menggambarkan kriteria yang diharapkan (Potter & Perry,
2005). Implementasi yang dilakukan pada pasien Demam Tifoid dapat
bersifat implementasi mandiri dimana perawat dapat melakukannya tanpa
bantuan dari tenaga kesehatan lain, implementasi kolaborasi seperti
pemberian obat, dan implementasi edukasi untuk meningkatkan
pemahaman pasien dan keluarga mengenai tindakan pencegahan
komplikasi yang dapat dilakukan
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual perawat untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rancana keperawatan dan pelaksanaannya sudah dicapai berdasarkan
tujuan yang telah dibuat dalam perencanaan keperawatan (Potter & Perry,
2005). Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan intervensi
terhadap pasien adalah Suhu tubuh kembali normal, pasien tidak demam
lagi, pasien tidak berkeringat berlebihan, kulit pasien tidak terasa panas
dan pasien merasa nyaman ( SLKI) yang diharapkan (Doengoes, et al.,
2010)
D.Konsep manajemen hipertermia

1. Definisi

Hipertermia adalah keadaan meningkatnya suhu tubuh di atas rentang


normal tubuh (SDKI, 2016). Hipertermi merupakan keadaan di mana individu
mengalami atau berisiko mengalami kenaikan suhu tubuh >37,8(100 OF) per oral
atau 38,0C (101 OF) per rektal yang sifatnya menetap karena faktor eksternal
(Carpenito, 2012). Hipertermia merupakan keadaan peningkatan suhu tubuh (suhu
rektal > 38,8 0C(100,4 OF)) yang berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh
untuk menghilangkan panas ataupun mengurangi produksi panas (Perry & potter,
2010). Hipertermia adalah kondisi di mana terjadinya peningkatan suhu tubuh
sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran
panas atau menurunkan produksi panas.(Perry & potter, 2010)

Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke
dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal (>37,5°C).
Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam
tubuh. Demam terajadi pada suhu > 37, 2°C, biasanya disebabkan oleh infeksi
(bakteri, virus, jamu atau parasit), penyakit autoimun, keganasan , ataupun obat –
obatan (Surinah dalam Hartini, 2015)

Demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai


akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Sebagian besar demam
pada anak merupakan akibat dari perubahan pada pusat panas (termoregulasi) di
hipotalamus.Penyakit –penyakit yang ditandai dengan adanya demam dapat
menyerang sistem tubuh.Selain itu demam mungkin berperan dalam
meningkatkan perkembangan imunitas spesifik dan non spesifik dalam membantu
pemulihan atau pertahanan terhadap infeksi (Sodikin dalam Wardiyah, 2016).
2. Peroses demam

Suhu tubuh dikontrol oleh pusat termoregulasi di hipotalamus, yang


mempertahankan suhu tubuh pada angka sekitar set point (37ºC). Suhu tubuh
diatur dengan mekanisme thermostat di hipotalamus. Mekanisme ini menerima
masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi perubahan 15
suhu, reseptor-reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke termostat, yang
akan meningkatkan atau menurunkan produksi panas untuk mempertahankan suhu
set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi substansi pirogenik
menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses yang dimediasi
oleh prostaglandin. Akibatnya, hipotalamus meningkatkan produksi panas sampai
suhu inti (internal) mencapai set point yang baru (Connel, 1997 dalam Wong,
2008).

Sebagai tambahan, terdapat kelompok reseptor pada hipotalamus


preoptik/anterior yang disuplai oleh suatu jaringan kaya vaskuler dan sangat
permeabel. Jaringan vaskuler yang khusus ini disebut organum vasculorum
laminae terminalis (OVLT). Sel-sel endotel OVLT ini melepaskan metabolit asam
arkidonat ketika terpapar pirogen endogen dari sirkulasi. Metabolit asam
arkidonat yang sebagian besar prostaglandin E2 (PGE2), kemudian diduga
berdifusi kedalam daerah hipotalamus preoptik/ anterior dan mencetuskan demam
(Connel, 1997 dalam Wong, 2008).

3. Penyebab

Demam sering disebabkan karena infeksi. Penyebab demam selain


infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan toksemia, keganasan atau reaksi
terhadap pemakaian obat, juga pada gangguan pusat regulasi suhu sentral
(misalnya perdarahan otak, koma). Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan
diagnosis penyebab demam diperlukan antara lain: ketelitian pengambilan riwayat
penyekit pasien, pelaksanaan pemeriksaan fisik, observasi perjalanan penyakit dan
evaluasi pemeriksaan laboratorium, serta penunjang lain secara tepat dan
holistic(Nurarif, 2015).

Demam terjadi bila pembentukan panas melebihi pengeluaran. Demam


dapat berhubungandengan infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit
metabolik maupun penyakit lain. Demam dapat disebabkan karena kelainan dalam
otaksendiri atau zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-
penyakitbakteri, tumor otakatau dehidrasi (Guyton dalam Thabarani,
2015).Demam sering disebabkan karena; infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, sinusitis, bronchiolitis,pneumonia, pharyngitis, abses gigi, gingi
vostomatitis, gastroenteritis, infeksi saluran kemih, pyelonephritis, meningitis,
bakterimia, reaksi imun, neoplasma, osteomyelitis (Suriadi, 2006).

Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam


diperlukan antara lain: ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien,
pelaksanaan pemeriksaan fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi
pemeriksaan laboratorium serta penunjang lain secara tepat dan holistik. Beberapa
hal khusus perlu diperhatikan pada demam adalah cara timbul demam, lama
demam, tinggi demam serta keluhan dan gejala yang menyertai demam.

Peroses terjadinya demam

Suhu tubuh dikontrol oleh pusat termoregulasi di hipotalamus, yang


mempertahankan suhu tubuh pada angka sekitar set point (37ºC). Suhu tubuh
diatur dengan mekanisme thermostat di hipotalamus. Mekanisme ini menerima
masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi perubahan 15
suhu, reseptor-reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke termostat, yang
akan meningkatkan atau menurunkan produksi panas untuk mempertahankan suhu
set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi substansi pirogenik
menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses yang dimediasi
oleh prostaglandin. Akibatnya, hipotalamus meningkatkan produksi panas sampai
suhu inti (internal) mencapai set point yang baru (Connel, 1997 dalam Wong,
2008).
Sebagai tambahan, terdapat kelompok reseptor pada hipotalamus
preoptik/anterior yang disuplai oleh suatu jaringan kaya vaskuler dan
sangat permeabel. Jaringan vaskuler yang khusus ini disebut organum
vasculorum laminae terminalis (OVLT). Sel-sel endotel OVLT ini
melepaskan metabolit asam arkidonat ketika terpapar pirogen endogen
dari sirkulasi. Metabolit asam arkidonat yang sebagian besar
prostaglandin E2 (PGE2), kemudian diduga berdifusi kedalam daerah
hipotalamus preoptik/ anterior dan mencetuskan demam (Connel,
1997 dalam Wong, 2008).

2.4.3 Faktor yang berhubungan

Menurut (Sodikin, 2012) faktor yang berhubungan atau penyebab dari


hipertermia meliputi :
a. Anestesia
Setiap tanda-tanda vital di evaluasi dalam kaitannya dengan
efek samping anestesi dan tanda-tanda ancaman syok, pernapasan
yang memburuk, atau nyeri karena anestesi ini dapat
menyebabkan peningkatan suhu, kekakuan otot,
hipermetabolisme, destruksi sel otot.
b. Penurunan perspirasi
Penguapan yang tidak dapat keluar akan mengganggu
sirkulasi dalam tubuh sehingga menyebabkan hipertermi yang
diakibatkan oleh kenaikan set point hipotalamus.
c. Dehidrasi
Tubuh kehilangan panas secara continue melalui evaporasi.
Sekitar 600 – 900 cc air tiap harinya menguap dari kulit dan paru-
paru sehingga terjadi kehilangan air dan panas. Kehilangan panas
air ini yang menyebabkan dehidrasi pada hipertermia.
d. Pemajanan lingkungan yang panas
Panas pada 85 % area luas permukaan tubuh diradiasikan ke
lingkungan. Vasokontriksi perifer meminimalisasi kehilangan
panas. Jika lingkungan lebih panas dibandingkan kulit, tubuh
akan menyerap panas melalui radiasi.
e. Penyakit
Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang
belakang (yang meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah
kontrol suhu menjadi berat.
f. Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan
Pakaian yang tidak tebal akan memaksimalkan kehilangan
panas.
g. Peningkatan laju metabolisme
Panas yang dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan
metabolisme, yaitu reaksi kimia dalam seluruh sel tubuh.
Aktivitas yang membutuhkan reaksi kimia tambahan akan
meningkatkan laju metabolik, yang juga akan menambah
produksi panas. Sehingga peningkatan laju metabolisme sangat
berpengaruh terhadap hipertermia.
h. Medikasi
Demam juga disebabkan oleh adanya bentuk
hipersensitivitas terhadap obat.
i. Trauma
Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang
belakang (yang meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah
kontrol suhu menjadi berat.
j. Aktivitas berlebihan
Gerakan volunter seperti aktivitas otot pada olahraga
membutuhkan energi tambahan. Laju metabolik meningkat saat
aktivitas berlebih dan hal ini menyebabkan peningkatan produksi
panas hingga 50 kali lipat.
2.4.1 Karakteristik Hipertermia
Menurut (Sodikin, 2012) karakteristik pada hipertermia meliputi :
a. Konvulsi
Suatu kondisi medis saat otot tubuh mengalami fluktuasi
kontraksi dan peregangan dengan sangat cepat sehingga
menyebabkan gerakan yang tidak terkendali seperti kejang.

b. Kulit kemerah-merahan
Tanda pada hipertermia seperti kulit kemerah-merahan
disebabkan karena adanya vasodilatasi pembuluh darah.
Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal Hal ini berhubungan
dengan adanya produksi panas yang berlebih, kehilangan panas
berlebihan, produksi panas minimal, kehilangan panas minimal,
atau kombinasi antara keduanya.
c. Kejang
Kejang terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang
tinggi sehingga otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan
peregangan dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan
yang tidak terkendali seperti kejang.
d. Takikardia
Takikardia merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau
ancaman syok, pernapasan yang memburuk, atau nyeri.
e. Takipnea
Takipnea merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau
ancaman syok, pernapasan yang memburuk, atau nyeri.
f.Kulit terasa hangat
Fase dingin pada hipertermia akan hilang jika titik pengaturan
hipotalamus baru telah tercapai. Dan selama fase plateau, dingin
akan hilang dan anak akan merasa hangat. Hal ini juga terjadi
karena adanya vasodilatasi pembuluh darah sehingga kulit menjadi
hangat.
2.4.2 Proses Pengaturan Suhu Tubuh
Menurut Ganong (2008) mekanisme pengaturan suhu tubuh dibagi
menjadi dua yaitu mekanisme yang diaktifkan oleh dingin dan
mekanisme yang diaktifkan oleh panas. Mekanisme yang diaktifkan
oleh dingin itu sendiri terdiri dari peningkatan produksi panas
(menggigil, lapar, peningkatan aktivitas voluntar, 13 peningkatan
sekresi norepinefrin dan epinefrin) dan penurunan pengeluaran panas
(vasokontriksi kulit, menggulung tubuh, dan horipilasi). Sedangkan
mekanisme yang diaktifkan oleh panas terdiri dari peningkatan
pengeluaran panas (vasodilatasi kulit, berkeringat, peningkatan
pernapasan) dan penurunan pembentukan panas (anoreksia, apati dan
inersia). Respons refleks yang diaktifkan oleh dingin dikontrol dari
hipotalamus posterior. Respons yang dihasilkan oleh panas terutama
dikontrol dari hipotalamus anterior, walaupun sebagian termoregulasi
terhadap panas masih tetap terjadi setelah deserebrasi setingkat rostral
mesensefalon. Rangsangan hipotalamus anterior menyebabkan
terjadinya vasodilatasi kulit dan pengeluaran keringat sehingga lesi di
regio ini menyebabkan panas. Pembentukan panas dapat berubah-ubah
akibat pengaruh mekanisme endokrin walaupun tidak terjadi asupan
makanan atau gerakan otot yang menjadi sumber utama panas.
Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan pembentukan
panas yang cepat namun singkat. Hormon tiroid menimbulkan
peningkatan yang lambat namun berkepanjangan.
Menurut Asmadi (2008) sistem pengatur suhu tubuh terdiri atas
tiga bagian yaitu reseptor yang terdapat pada kulit dan bagian tubuh
lainnya, integrator didalam hipotalamus, dan efektor sistem yang
mengatur produksi panas dengan kehilangan panas. Reseptor sensori
yang paling banyak terdapat pada kulit. Kulit mempunyai lebih
banyak reseptor untuk dingin dan hangat dibanding reseptor yang
terdapat pada organ tubuh lain seperti lidah, saluran pernafasan,
maupun organ visera lainnya. Bila kulit menjadi dingin melebihi suhu
tubuh, maka ada tiga proses yang dilakukan untuk meningkatkan suhu
tubuh. Ketiga proses tersebut yaitu menggigil untuk meningkatkan
produksi panas, berkeringat untuk menghalangi kehilangan panas, dan
vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan panas.
Hipotalamus integrator sebagai pusat pengaturan suhu inti berada
di preoptik area hipotalamus. Bila sensitif reseptor panas di
hipotalamus dirangsang, efektor sistem mengirim sinyal yang
memprakarsai pengeluaran keringat dan vasodilatasi perifer. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menurunkan suhu, seperti menurunkan
produksi panas dan meningkatkan kehilangan panas. Sinyal dari
sensitif reseptor dingin di hipotalamus memprakarsai efektor untuk
vasokontriksi, menggigil, serta melepaskan epineprin yang
meningkatkan metabolisme sel dan produksi panas. Hal tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan produksi panas dan menurunkan
kehilangan panas. Efektor sistem yang lain adalah sistem saraf
somatis. Bila sistem ini dirangsang, maka seseorang secara sadar
membuat penilaian yang cocok, misalnya menambah baju sebagai
respons terhadap dingin, atau mendekati kipas angin bila kepanasan
(Asmadi,2008).

2.5 Konsep Dasar Pemberian Tepid Sponge Bath


2.5.1 Definisi
Kompres adalah salah satu tindakan non farmakologis untuk
menurunkan suhu tubuh bila anak mengalami demam. Ada beberapa
macam kompres yang bisa diberikan untuk menurunkan suhu tubuh
salah satunya tepid sponge bath. Tepid sponge bath efektif
menurunkan demam pada Tifoid yaitu dengan menggunakan kain atau
handuk yang telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada
bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah besar sehingga dapat
memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.
Saat respektor yang peka terhadap panas dihipotalamus dirangsang,
system efektor mengeluarkan sinyal melalui keringat dan vasodilator
perifer. Terjadinya vasodilator menyebabkan pembuangan panas
melalui keringat dan dapat menurunkan suhu tubuh (Mohammad,
2012).
Tepid sponge bath merupakan kombinasi kompres blok dengan
seka. Teknik tepid sponge bath ini menggunakan kompres blok
langsung dibeberapa tempat yang memiliki pembuluh darah besar
seperti di leher, ketiak, dan lipatan paha. Selain itu teknik ini ditambah
dengan memberikan seka dibeberapa area tubuh sehingga perlakuan
yang diterapkan akan lebih kompleks. Kompres blok langsung
diberbagai tempat ini akan menyampaikan sinyal ke hipotalamus
dengan lebih gencar dan pemberian seka akan mempercepat
vasodilatasi pembuluh darah perifer serta memfasilitasi perpindahan
panas di tubuh ke lingkungan sekitar sehingga terjadi penurunan suhu
tubuh. Perawatan ini dilaksanakan selama 3 hari, dan dilakukan 2 kali
sehari pagi dan malam. Perawatan dilakukan untuk melihat penurunan
suhu tubuh dan alergi terhadap antalgin. Dan juga tidak ada riwayat
penyakit keluarga (Wardiyah, 2016).

2.5.2 Kegunaan kompres hangat


Menurut (Yohmi, 2008). Kegunaan Tepid Sponge Bath sebagai berikut:
a. Penanganan demam bukanlah dengan dikompres air dingin seperti
yang biasa dilakukan dahulu kala karena orang demam jika
dikompres dingin akan lebih demam lagi saat kompres dihentikan.
Karena pada saat dikompres dingin, pusat pengatur suhu menerima
sinyal bahwa suhu tubuh sedang dingin maka tubuh harus segera
dihangatkan. Jadi justru akan bertentangan dengan hasil yang
diharapkan. Lain halnya bila dilakukan kompres hangat. Pusat suhu
akan menerima informasi bahwa suhu tubuh sedang hangat, maka
suhu tubuh harus segera diturunkan. Inilah pengaruh yang
diharapkan. Ketika demam kita memang merasa kedinginan
meskipun tubuh kita sebenarnya panas. Kompres hangat membantu
mengurangi rasa dingin & menjadikan tubuh terasa lebih nyaman.
b. Untuk cedera lama/kondisi kronis, yang mana bisa membantu
membuat rileks, mengurangi tekanan pada jaringan serta
merangsang aliran darah ke daerah.
g. Untuk pengobatan nyeri dan merelaksasi otot-otot yang tegang
tetapi tidak boleh digunakan untuk yang cedera akut atau ketika
masih ada bengkak, karena panas dapat memperparah bengkak
yang sudah ada.
2.5.3 Tujuan Tepid sponge bath
Menurut (Widyawati & Cahyanti, 2010) terapi tepid sponge bath
memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Memperlancar sirkulasi darah
2) Menurunkan suhu tubuh
3) Mengurangi rasa sakit
4) Memberi rasa hangat, nyaman, dan tenang pada klien
5) Memperlancar pengeluaran eksudat
6) Merangsang peristaltik usus

2.5.4 Indikasi
Menurut (Widyawati & Cahyanti, 2010) anak yang di berikan
terapi kompres hangat dan tepid sponge bath adalah anak yang
mengalami peningkatan suhu tubuh di atas normal yaitu 39ºC.

2.5.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi pada terapi tepid sponge bath (Widyawati & Cahyanti,
2010) adalah:
1) Tidak ada luka pada daerah pemberian terapi tepid sponge bath
2) Tidak diberikan pada neonates

2.5.6 Mekanisme Kerja Tepid Sponge Bath Terhadap Hipertermia Demam


Tifoid
Pemberian kompres hangat memberikan reaksi fisiologis berupa
vasodilatasi dari pembuluh darah besar dan meningkatkan evaporasi
panas dari pemukaan kulit. Hipotalamus anterior memberikan sinyal
kepada kelenjar keringat untuk melepaskan keringat melalui saluran
kecil pada permukaan kulit. Keringat akan mengalami evaporasi,
sehingga akan terjadi penurunan suhu tubuh (Potter & Perry, 2010).
Pada tepid sponge bath prinsipnya pemberian dapat menurunkan
suhu tubuh melalui proses penguapan dan dapat memperlancar sirkulasi
darah, sehingga darah akan mengalir dari organ dalam kepermukaan
tubuh dengan membawa panas. Kulit memiliki banyak pembuluh darah,
terutama tangan, kaki, dan telinga. Aliran darah melalui kulit dapat
mencapai 30% dari darah yang dipompakan jantung. Kemudian panas
berpindah dari darah melaui dinding pembuluh darah kepermukaan
kulit dan hilang kelingkungan sehingga terjadi penurunan suhu tubuh
(Potter & Perry, 2010).
2.5.7 Penelitian Terkait
Tabel 2.3 Penelitian Terkait

NO JUDUL, PENULIS JENIS SAMPLE/TEMPAT INTERVENSI/ HASIL


& TAHUN PENELITIAN/ PENGAMBILAN DATA
METODE
1. Efektifitas Tepid Desain penelitian Sampel diambil sesuai Jumlah sampel sebanyak 28 Penurunan suhu tubuh setelah
Sponge Bath Suhu yang digunakan dengan kriteria inklusi responden, dibagi menjadi dilakukan pemberian tepid
32ºC dan 37ºC dalam dalam penelitian ini yang telah ditentukan kelompok perlakuan (diberikan sponge bath dengan air
menurunkan suhu adalah quasy- sebagai berikut: intervensi tepid sponge bath dengan hangat dengan suhu 32oC
tubuh anak demam eksperimental pre- kelompok usia toddler suhu air hangat 37ºC) dan sebesar 0,523ºC dan rerata
(The Effectiveness of post test purposive (berumur 1-3 tahun), kelompok kontrol (diberikan penurunan suhu tubuh setelah
Tepid Sponge Bath sampling design. mengalami demam intervensi tepid sponge bath dengan dilakukan pemberian tepid
with 32ºC and 37ºC to akibat penyakit infeksi suhu air hangat 32ºC) dengan sponge bath dengan air
Decrease Body virus, tidak jumlah sampel pada masing-masing hangat dengan suhu 37oC
Temperature at mengalami kejang, kelompok sebanyak 14 orang. sebesar 0,815oC. Berdasarkan
Toddler with Fever). tidak diberikan obat Penelitian dilakukan selama bulan hasil analisis statistik Paired t
antipiretik, tidak Januari 2008. Test pada pemberian tepid
memiliki luka pada sponge bath dengan air
kulit dan keluarga hangat suhu 32oC maupun
bersedia menjadi dengan air hangat suhu 37oC
responden diperoleh nilai p=0,000, yang
berarti pemberian tepid
sponge bath dengan air
hangat suhu 32oC maupun air
hangat suhu 37oC efektif
menurunkan suhu tubuh pada
anak demam
2. Pengaruh Tepid Menggunakan Anak usia 1-10 tahun Jumlah sampel sebanyak 31 Rata-rata suhu tubuh sebelum
Sponge Bath terhadap desain quasi yang mengalami responden, berdasarkan dari jumlah diberikan tepid sponge bath
penurunan suhu tubuh eksperimental hipertermia populasi yang sedikit maka peneliti sebesar 38,5ºC dengan
pada anak umur 1-10 dengan bentuk menetapkan jumlah sampel dengan standar deviasi 0,4ºC. Nilai
tahun dengan rancangan one metode total sampling. Dimana rata-rata setelah diberikan
hipertermia group pretest- peneliti mengambilkeseluruhan tepid sponge bath sebesar
postest. jumlah populasiuntuk dijadikkan 37,1ºC dengan standar deviasi
sampel penelitian ini. 0,5ºC.
3. Perbandingan Desain penelitian Populasi pada Pengambilan sampel pada Rerata (mean) suhu tubuh
efektifitas pemberian ini adalah quasi penelitian ini adalah penelitian ini dengan menggunakan sesudah diberi tindakan tepid
kompres hangat dan eksperiment semua anak yang teknik purposive sampling dan sponge adalah 38,0°C dengan
tepid sponge bath dengan rancangan mengalami demam jumlah sampel yang digunakan standar deviasi 0,5663 dan
terhadap penurunan penelitian pre test dengan penyakit adalah 30 orang. Dengan rincian 15 nilai
suhu tubuh anak yang and post test bronkopneumonia, orang sebagai kelompok kompres minimum serta maksimum
mengalami demam di designs with two demam typhoid, dan hangat dan 15 orang sebagai adalah 37,4°C dan 39,3°C,
Ruang Alamanda comparison DHF dari bulan kelompok tepid sponge. dengan rerata penurunan suhu
RSUD dr. H. Abdul treatments November sampai sebesar 0,7°C.
Moeloek Provinsi Desember yang
Lampung Tahun 2015 dirawat di Ruang
Alamanda RSUD dr.
Abdul Moeloek
berjumlah 185 anak
2.5.8 Prosedur tindakan
a. Fase Prainteraksi
1) Perawat melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum bertemu
pasien seperti membaca status pasien.
2) Mempersiapkan alat penerapan dan air hangat.
3) Mengkaji jadwal pemberian obat antipiretik.
b. Fase orientasi
1) Salam terapeutik
Mengidentifikasi pasien, mengucapkan salam dan memperkenalkan
diri
2) Evaluasi dan validasi
Menanyakan kabar pasien dan suhu tubuh pasien
3) Informed consent
a) Menjelaskan tindakan penerapan tepid sponge bath, tujuan,
manfaat, waktu dan persetujuan pasien
b) Memberikan kesempatan untuk bertanya
c) Meminta persetujuan klien
c. Fase interaksi
1) Persiapan alat
a) Ember/ baskom tempat air
b) Air hangat (30-35ºC)
c) Waslap kecil 4 buah
d) Lap mandi 6 buah
e) Handuk mandi 1 buah
f) Selimut mandi 1 buah
g) Perlak besar 1 buah
h) Thermometer ketiak
i) Selimut tidur 1 buah
j) Kertas/tissue

49
2) Persiapan pasien
Mengatur posisi pasien senyaman mungkin bagi pasien
3) Persiapan lingkungan
Mengatur lingkungan cukup cahaya, suhu dan terjaga privacy
4) Persiapan perawat
Perawat cuci tangan dan jika diperlukan menggunakan handscoon
5) Prosedur tindakan
a) Ukur suhu tubuh anak dan catat (sebelum tepid sponge baht
b) Pasang perlak dibawah tubuh anak
c) Buka seluruh pakaian anak dan selimut dengan handuk
d) Cek tempreatur air
e) Celupkan lap mandi dalam air hangat, peras sebelum digunakan
untuk menyeka
f) Letakan lap mandi lembab di aksila dan pangkal paha, ganti jika
sudah tidak hangat
g) Usap/ seka ekstremitas dengan dengan lembut selama 5 menit,
saat bersamaan ekstremitas yang lain ditutup dengan lap mandi
lembab
h) Lanjutkan menyeka pada ekstremitas yang lain, kemudian seka
dada dan abdomen selama 5 menit
i) Balikkan klien seka punggung sampai bokong selama 5-10 menit
j) Ukur suhu setiap 15 menit
k) Lanjutkan tepit sponge bath sampai suhu tubuh anak mendekati
normal (38ºC) hentikan prosedur jika anak kedinginan atau
menggigil
l) Ganti handuk dengan selimut tidur
m)Pakaikan anak baju yang tipis dan mudah menyerap keringat
d. Fase terminasi
a) Evaluasi subjektif dan objektif Menanyakan bagaimana perasaan
pasien setelah dilakukan penerapan tepid sponge bath
b) Rencana tindakan lanjut
Akan diberikan penerapan tepid sponge bath pada hari selanjutnya
c) Kontrak yang akan dating

Mengkontrak waktu kapan akan dilakukan penerapan tepid sponge


bath
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus


Jenis studi kasus ini deskriptif analitik dalam bentuk studi kasus untuk
mendapatkan gambaran Penerapan Tepid Sponge Bath untuk mengatasi
Hipertermia pada anak Demam Tifoid di Ruang Edelweis RSUD Dr. M Yunus
Bengkulu.

3.2 Subyek penelitian


Subyek penelitian dalam studi kasus ini yaitu pasien Demam Tifoid dengan
hipertermia yang menjalani perawatan di Ruang Edelwis RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu. Jumlah subyek penelitian yang direncanakan yaitu 2 orang pasien
dengan miksimal perawatan selama 3 hari. Kriteria inklusi dan eksklusi yang
ditetapkan pada subjek penelitian yaitu :
1. Kriteria inklusi
a. Penderita demam tifoid yang rawat inap di RSUD M Yunus Bengkulu
b. Demam tifoid yang mengalami hipertermia dengan suhu ≥ 39ºC
c. Penderita demam yaitu anak dengan usia Balita.
d. Anak bersedia menjadi responden
e. Keluarga menyetujui dilakukan penerapan
2. Kriteria eksklusi
a. Penderita tifoid pada bayi

3.3 Fokus studi


Penelitian studi kasus ini difokuskan :
1. Pasien Demam Tifoid
2. Pemberian tepid sponge bath

3.4 Batasan Istilah (Definisi Operasional)


1. Asuhan keperawatan Anak adalah proses pemberian pelayanan kesehatan
sesuai kebutuhan anak dalam lingkup prakrik keperawatan. Asuhan
keperawatan anak ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
diperlukan oleh penerima asuhan keperawatan (pasien) yang tahapannya
terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
2. Pasien adalah orang yang menerima perawatan medis atau asuhan
keperawatan yang dipenuhi kebutuhannya dengan masalah Demam Tifoid.
3. Demam Tifoid adalah diagnosa medis yang ditetapkan oleh dokter sebagai
penyakit.
4. Tepid Sponge Bath tindakan pengompres di bagian tubuh yang memiliki
pembuluh darah besar yaitu dibagian ketiak, lipatan paha, ekstremitas atas
dan bawah, bagian abdomen dan punggung dilakukan selama kurang lebih
30 menit dengan temperature air 30-35ºC.

3.5 Lokasi dan Waktu Penelitian


Studi kasus ini akan dilakukan di Ruang Edelweis RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu. Studi kasus ini direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Januari
2020.

3.6 Prosedur Penelitian


Penelitian diawali dengan penyusunan usulan proposal studi kasus tentang
Penerapan Tepid Sponge Bath untuk mengatasi Hipertermia pada anak
Demam Tifoid di Ruang Edelweis RSUD Dr. M Yunus Bengkulu. Setelah
proposal disetujui dewan penguji, maka tahap yang akan dilakukan adalah
pengurusan surat izin penelitian. Selanjutnya penulis mulai akan melakukan
pengumpulan data, analisa data, menegakkan diagnosa keperawatan,
menyusun intervensi keperawatan, dan melaksanakan implementasi
keperawatan, serta evaluasi keperawatan Penelitian ini dilakukan kepada
pasien Demam Tifoid dengan diagnosa utama Hipertermia. Penelitian ini
dilakukan pada pagi hari dan sore hari jumlah subyek penelitian yang
direncanakan yaitu 2 orang pasien selama 1 hari, jika suhu tubuh pasien masih
tinggi maka penelitian ini akan berlanjut maksimal 3 hari.

3.7 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data


1. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara

Hasil anamnesis yang harus didapatkan berisi tentang identitas


klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat psikologi, pola pola fungsi
kesehatan. Data hasil wawancara dapat bersumber dari klien keluarga dan
dari perawat lainnya.

b. Obsevasi dan pemeriksaan fisik


Teknik pengumpulan data ini meliputi keadaan umum, pemeriksaan
pengelihatan, pemeriksaan pendengaran, pemeriksaan pencernaan,
pemeriksaan hematologi, pemeriksaan urogential, integumen, endokrin,
pemeriksaan hipertermia pendekatan: monitor suhu tubuh dan tanda-tanda
vital pasien.

c. Studi dokumentasi
Instrumen dilakukan dengan mengambil data dari MR (Medical
Record), mencatat pada status pasien, mencatat hasil laboratorium,
melihat cataan harian perawat ruangan, mencatat hasil pemeriksaan
diagnostik.

2. Instrumen Pengumpulan Data


Alat atau instrumen pengumpulan data menggunakan format
pengkajian Asuhan Keperawatan Anak sesuai ketentuan yang ada di Prodi
DIII Kperawatan Bengkulu fokus pengkajian pada hipertermia pasien
demam tifoid

3.8 Keabsahan Data


Keabsahan data dilakukan oleh peneliti dengan cara peneliti mengumpulkan
data secara langsung pada pasien dengan menggunakan format pengkajian yang
telah dibuat terhadap 2 orang pasien. Pengumpulan data dilakukan pada catatan
medis/status pasien, anamnesa dengan klien langsung, anamnesa dengan kelurga
klien, dokter, dan perawat ruangan agar mendapatkan data yang valid, disamping
itu untuk menjaga validitas dan keabsahan data peneliti melakukan obsevasi dan
pengukuran ulang terhadap data data klien yang meragukan yang ditemukan
melalui data sekunder

3.9 Analisa Data


Analisis data dilakukan dengan menyajikan data hasil pengkajian
keperawatan, yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, pemeriksaan fisik,
dan studi dokumentasi hasil laboratorium dalam bentuk narasi. Selanjutnya data
pengkajian yang berhasil dikumpulkan tersebut akan dianalisis dengan
membandingkannya terhadap pengkajian teori yang telah disusun.
Analisis data terhadap diagnosis keperawatan, intervensi keperawatan,
impelementasi, serta evaluasi keperawatan, yang dilaksanakan pada studi kasus
ini akan dianalisis dengan membandingkan antara hasil dengan tahapan proses
yang telah diuraikan pada tinjauan teori.

3.10 Etika Penelitian


Menurut Polit & Beck (2006), etika penelitian yaitu:
1. Beneficence

Prinsip beneficence menekankan peneliti untuk melakukan penelitian


yang memberikan manfaat bagi responden. Prinsip ini memberikan
keuntungan dengan cara mencegah dan menjauhkan responden dari bahaya,
membebaskan responden dari eksploitasi serta menyeimbangkan antara
keuntungan dan risiko. Non Maleficence

Prinsip ini menekankan peneliti untuk tidak melakukan tindakan yang


menimbulkan bahaya bagi responden. Responden diusahakan bebas dari
rasa tidak nyaman. Penelitian ini menggunakan prosedur, sehingga
meminimalkan bahaya yang mungkin timbul pada responden.
2. Autonomy
Autonomy memberikan makna kebebasan bagi responden untuk
menentukan keputusan sendiri. Namun apabila keluarga menolak menjadi
responden, maka tidak ada paksaan dari peneliti kepada responden serta
tetap menghormati dan menghargai keputusan, hak, pilihan dan privasi
responden.
3. Anonimity
Peneliti memberikan jaminan pada responden dengan cara tidak
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data karakteristik dan hasil
penelitian yang disajikan. Peneliti juga menjamin kerahasiaan semua
informasi hasil penelitian yang telah dikumpulkan dari responden.

4. Veracity
Prinsip veracity atau kejujuran menekankan peneliti untuk
menyampaikan informasi yang benar. Peneliti memberikan informasi
mengenai tujuan, manfaat dan prosedur penelitian kepada keluarga
responden.
5. Justice

Prinsip justice atau keadilan, menuntut peneliti tidak melakukan


diskriminasi saat memilih responden penelitian. Selain itu, peneliti
memberikan kesempatan yang sama dengan keluarga responden untuk
mengungkapkan perasaannya baik sedih maupun senang.

Anda mungkin juga menyukai