Thesis CBT Terapi Musik Terhadap Anxiety Dan Self Efficacy 2018

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 154

KEEFEKTIFAN KONSELING KELOMPOK

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT)


DENGAN TEKNIK PASSIVE DAN ACTIVE MUSIC
THERAPY
TERHADAP ACADEMIC ANXIETY DAN SELF-EFFICACY

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Pendidikan

Oleh
Dominikus David Biondi Situmorang
0105515050

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
PENGESAHAN UJIAN TESIS

Tests dengan judul “Keefektifan Konseling Kelompok Cognitive Beha»ior Therapy


(CBT) dengan Teknik Passive vs Active Music Therapy terhadap Academic Anxiet y
dan Self-Efficacy” karya,
Nama : Dominikus David Biondi Situmorang
NIM 0105515050
Program Studi : Magister Biinbingan dan Konscling
telah dipertahankan dalam siclang panitia ujian tesis Pascasarjalâ‹l, UHi VClsitas Negeri
Semarang pada hari Kainis, tanggal 15 Februari 20.1 S.

Seiiiarang, Afar i1 2018

Panitia Ujian

Ketua, Sekrctaris,

rof. Dr. H. Achmad Slamet, M.Si. Dr. Awalya, M.Pd., Kons.


NIP. 196105241986011001 NIP. 196011011
'7S7102001

Penguji II,

Dr. Drs. Edy Purwanto, M.Si.


NIP. 196301211957031001 Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D.
NIP. 197712232005011001

Penguji III,

rof. Dr. Mungin E dy Wibowo, M.Pd., Kons. NIP. 19521120197. 031002


PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya,


Nama : Dominikus David Biondi Situmorang
NIM 0105515050
Program Studi : S2 Bimbingan dan Konseling
Menyatakan bahwa yang tertulis dalam tesis yang berjudul “Keefektifan
Konseling Kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan Teknik Passive
dan Active Music Therapy terhadap Academic Anxiety dan Self-Efficacy” ini
benar-benar karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Atas
pernyataan ini saya secara pribadi siap menanggung resiko/sanksi hukum yang
dijatuhkan apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam
karya ini.

Semarang, Januari 2018


Yang membuat pernyataan,

Dominikus David Biondi Situmorang


MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:
“Orang boleh mengaku dirinya hebat, namun jika ia tidak memiliki karya, maka ia
akan ditelan sejarah dan tidak menjadi apa-apa.“

(Dominikus David Biondi Situmorang)

Persembahan:
Untuk Almamater S2
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

iv
ABSTRAK

Situmorang, Dominikus David Biondi. 2018. “Keefektifan Konseling Kelompok


Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan Teknik Passive dan Active Music
Therapy terhadap Academic Anxiety dan Self-Efficacy. Tesis. Program Studi
Bimbingan Konseling Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons., Pembimbing II
Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D.

Kata kunci: konseling kelompok, cognitive behavior therapy, CBT, passive music
therapy, active music therapy, academic anxiety, self-efficacy

Skripsi merupakan salah satu penyebab academic anxiety yang sering


terjadi pada mahasiswa tingkat akhir. Pada dasarnya academic anxiety dilandasai
self-efficacy yang rendah. Efek dari academic anxiety yang tinggi dan self-efficacy
yang rendah dapat mempengaruhi motivasi dan perilaku mahasiswa, khususnya
dalam menyusun skripsi. Konseling kelompok CBT dengan teknik passive music
therapy, membantu mengubah pikiran negatif melalui aktivitas mendengarkan
musik secara reseptif/pasif, sedangkan teknik active music therapy, membantu
mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki melalui aktivitas musik secara aktif.
Tujuan dari penelitian ini untuk menguji keefektifan konseling kelompok CBT
dengan teknik passive dan active music therapy untuk mereduksi academic
anxiety dan self-efficacy mahasiswa penyusun skripsi.
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi-eksperimen, desain
pretest-posttest comparison group design (repeated measures) dengan melibatkan
sebanyak 14 orang mahasiswa BK Unika Atma Jaya yang dipilih secara purposive
random sampling. Instrumen penelitian disusun berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Ottens (1991) untuk Academic Anxiety Scale dan Bandura
(1997) untuk Self-Efficacy Scale. Hasil analisis dengan menggunakan uji One-
Way ANOVA Repeated Measure menunjukan bahwa kedua teknik efektif untuk
mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy.
Selain itu, perbandingan tingkat keefektifan kedua teknik tersebut
menyatakan bahwa konseling kelompok CBT dengan teknik passive music
therapy lebih efektif untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-
efficacy pada saat pretest vs posttest, sedangkan pada saat pretest vs follow-up dan
posttest vs follow-up, active music therapy lebih efektif.
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang diberikan bagi praktisi
(konselor) ialah diharapkan dapat mempraktikkan music therapy dalam konseling,
sehingga dapat membantu mahasiswa penyusun skripsi dalam mereduksi
academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy secara lebih optimal.

v
ABSTRACT

Situmorang, Dominikus David Biondi. 2018. "The Effectiveness of Cognitive


Behavior Therapy (CBT) Group Counseling with Passive and Active Music
Therapy Technique against Academic Anxiety and Self-Efficacy. Thesis.
Guidance and Counseling Postgraduate Program, Universitas Negeri
Semarang. First Supervisor: Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons.,
Second Supervisor: Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D.

Keywords: group counseling, cognitive behavior therapy, CBT, passive music


therapy, active music therapy, academic anxiety, self-efficacy

The undergraduate thesis is one of the causes of academic anxiety that


often occurs in final year students. Basically academic anxiety is based on low
self- efficacy. The effects of high academic anxiety and low self-efficacy can
influence student’s motivation and behavior, especially in preparing the
undergraduate thesis. CBT group counseling with passive music therapy
techniques, helps change negative thoughts through the receptive / passive
listening activity of music, while active music therapy techniques, help optimize
the ability possessed through active musical activity. The purpose of this study is
to test the effectiveness of CBT group counseling with passive and active music
therapy techniques to reduce the academic anxiety and self-efficacy of students
who compose undergraduate thesis.
The research method used quasi-experiment, pretest-posttest comparison
group design (repeated measures) involving 14 students of BK Unika Atma Jaya
who selected by purposive random sampling. The research instrument is based on
the theory proposed by Ottens (1991) for Academic Anxiety Scale and Bandura
(1997) for Self-Efficacy Scale. The results of the analysis using One-Way
ANOVA Repeated Measure test show that both techniques are effective for
reducing academic anxiety and improving self-efficacy.
In addition, the comparison of the effectiveness rates of both techniques
suggests that CBT group counseling with passive music therapy techniques is
more effective for reducing academic anxiety and improving self-efficacy during
pretest vs. posttest, whereas at pretest vs follow-up and posttest vs. follow-up,
active music therapy is more effective.
Based on the results of this study, the advice given to the practitioner
(counselor) is expected to practice music therapy in counseling, so it can help
students to reduce academic anxiety in preparing thesis and improve self-efficacy
more optimal.
PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah Bapa Tri Tunggal Maha Kudus yang telah
melimpahkan berkat-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini yang
berjudul “Keefektifan Konseling Kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT)
dengan Teknik Passive dan Active Music Therapy terhadap Academic Anxiety dan
Self-Efficacy”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan meraih gelar
Magister Pendidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang.

Keberhasilan ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak.


Oleh karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis
ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan pertama kali kepada para
pembimbing: Prof. Dr. Mungin Edy Wibowo, M.Pd., Kons. dan Mulawarman,
S.Pd, M.Pd., Ph.D. yang telah memberikan masukan yang sangat berharga dalam
penelitian ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan juga kepada semua pihak
yang telah membantu selama proses penyelesaian studi, diantaranya:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang


yang telah memberikan kesempatan dan arahan selama proses pendidikan.
2. Prof. Dr. Achmad Slamet, M.Si., Direktur Pascasarjana UNNES yang telah
memberikan kesempatan serta arahan selama pendidikan, penelitian, dan
penyusunan tesis.
3. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons., Koordinator Program Studi
Bimbingan dan Konseling S2 dan S3 Pascasarjana UNNES yang telah
memberikan kesempatan dan arahan dalam penulisan tesis.
4. Dr. Awalya, M.Pd., Kons, Sekretaris Program Studi Bimbingan dan
Konseling S2 dan S3 Pascasarjana UNNES yang telah memberikan
kesempatan serta arahan dalam penulisan tesis.
5. Bapak dan Ibu Dosen Pascasarjana UNNES yang telah banyak memberikan
bimbingan dan ilmu kepada peneliti selama menempuh pendidikan.

vii
6. Yayasan Atma Jaya yang telah membiayai studi dan memberikan
kepercayaan kepada peneliti untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
7. Orang tuaku tercinta, Papa Darwin P. Situmorang dan Mama Renika Sihotang
yang selalu mendukung baik berupa doa dan dukungan lainnya tanpa kurang
sedikitpun.
8. Abangku Rafael Yohanes Paulus Situmorang, adik-adikku Febrina Tiurma
Bernadeth Situmorang dan Mikael Louis Radja Situmorang yang banyak
membantu dan memberikan motivasi selama penyusunan tesis ini.
9. Rekan-rekan sejawat PPs UNNES angkatan 2015 yang telah mengukir
sejarah bersama dalam menempuh pendidikan di almamater tercinta.

Peneliti sadar bahwa dalam penulisan tesis ini mungkin masih terdapat
kekurangan, baik isi maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak sangat peneliti harapkan. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat dan merupakan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bimbingan dan konseling.

Semarang, Januari 2018

Peneliti
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
PENGESAHAN UJIAN TESIS..........................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN.............................................................................iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN......................................................................iv
ABSTRAK..........................................................................................................v
PRAKATA..........................................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................ix
DAFTAR TABEL...............................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xviii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah...............................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.....................................................................................16
1.3 Cakupan Masalah.........................................................................................17
1.4 Rumusan Masalah........................................................................................18
1.5 Tujuan Penelitian.........................................................................................19
1.6 Manfaat Penelitian.......................................................................................21

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA


BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka..............................................................................................23
2.1.1 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan.................................................23
2.2 Kerangka Teoretis........................................................................................43
2.2.1 Anxiety................................................................................................43
2.2.2 Academic Anxiety...............................................................................49
2.2.3 Self-Efficacy........................................................................................53
2.2.4 Konseling Kelompok..........................................................................59

xiii
2.2.5 Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT)...............................65
2.2.6 Konseling Kelompok Pendekatan CBT.............................................70
2.2.7 Asumsi Masalah Academic Anxiety menurut CBT............................75
2.2.8 Konseling Kelompok CBT dengan Music Therapy...........................79
2.2.9 Music Therapy sebagai Teknik CBT.................................................82
2.2.10 Teknik Passive Music Therapy.......................................................85
2.2.11 Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive Music
Therapy untuk mereduksi Academic Anxiety dan meningkatkan
Self-Efficacy.....................................................................................93
2.2.12 Teknik Active Music Therapy..........................................................94
2.2.13 Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Active Music
Therapy untuk mereduksi Academic Anxiety dan meningkatkan
Self-Efficacy...................................................................................103
2.2.14 Tahap Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive dan
Active Music Therapy....................................................................105
2.2.15 Proses dan Aplikasi Konseling Kelompok CBT dengan Teknik
Passive dan Active Music Therapy untuk mereduksi Academic
Anxiety Mahasiswa terhadap Skripsi.............................................108
2.3 Kerangka Berpikir.....................................................................................109
2.4 Hipotesis Penelitian...................................................................................115

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Desain Penelitian.......................................................................................117
3.1.1 Prosedur Penelitian...........................................................................119
3.2 Subyek Penelitian......................................................................................122
3.2.1 Populasi............................................................................................122
3.2.2 Sampel..............................................................................................123
3.2.3 Eksperimentor..................................................................................125
3.3 Variabel Penelitian....................................................................................126
3.3.1 Identifikasi Variabel.........................................................................126
3.3.2 Definisi Operasional........................................................................128

xiii
3.4 Lokasi Penelitian.......................................................................................130
3.5 Teknik, Instrumen, dan Bahan Pengumpulan Data...................................130
3.5.1 Teknik Pengumpulan Data...............................................................130
3.5.2 Bahan Pengumpulan Data................................................................135
3.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen.........................................................139
3.6.1 Uji Validitas Instrumen....................................................................139
3.6.2 Uji Reliabilitas Instrumen................................................................144
3.7 Teknik Analisis Data.................................................................................146
3.7.1 Analisis Deskriptif...........................................................................146
3.7.2 Uji Asumsi.......................................................................................148
3.7.3 Uji Hipotesis....................................................................................149

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian.........................................................................................153
4.1.1 Analisis Deskriptif...........................................................................153
4.1.2 Keefektifan Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive
dan Active Music Therapy untuk mereduksi Academic Anxiety
Mahasiswa.......................................................................................166
4.1.3 Keefektifan Konseling Kelompok CBT dengan Teknik
Passive
dan Active Music Therapy untuk meningkatkan Self-Efficacy
Mahasiswa.......................................................................................179
4.1.4 Analisis Korelasional antara Academic Anxiety dan Self-Efficacy
....................................................................................................... 191
4.2 Pembahasan...............................................................................................197
4.2.1 Kondisi Academic Anxiety dan Self-Efficacy Mahasiswa................197
4.2.2 Keefektifan Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive
dan Active Music Therapy dalam mereduksi Academic Anxiety.....202
4.2.3 Keefektifan Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive
dan Active Music Therapy dalam meningkatkan Self-Efficacy........210
4.3 Keterbatasan Penelitian.............................................................................216

xiii
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan....................................................................................................218
5.2 Saran..........................................................................................................220

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................222
LAMPIRAN......................................................................................................237

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Daftar Lagu yang digunakan dalam Terapi Musik..............................100


Tabel 2.2 Daftar Komposisi Lagu Indonesia untuk Terapi Musik......................101
Tabel 3.1 Pretest-Posttest Comparison Group Design dengan Repeated
Measures...............................................................................................118
Tabel 3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi...............................................................124
Tabel 3.3 Kategori Jawaban Instrumen Penelitian untuk Academic Anxiety
Scale dan Self-Efficacy Scale................................................................131
Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Skala Kecemasan Akademik (Academic
Anxiety Scale).......................................................................................133
Tabel 3.5 Kisi-kisi Instrumen Self-Efficacy Scale...............................................135
Tabel 3.6 Hasil Uji Coba Pertama Validitas Pearson Product-Moment
Correlation Academic Anxiety Scale....................................................141
Tabel 3.7 Hasil Uji Coba Pertama Validitas Pearson
Product-Moment Correlation Self-Efficacy Scale.............................142
Tabel 3.8 Hasil Uji Coba Kedua Validitas Pearson Product-Moment
Correlation Academic Anxiety Scale.................................................143
Tabel 3.9 Hasil Uji Coba Kedua Validitas Pearson
Product-Moment Correlation Self-Efficacy Scale.............................144
Tabel 3.10 Klasifikasi Academic Anxiety dan Self-Efficacy................................147
Tabel 4.1 Kondisi Academic Anxiety dan Self- Efficacy Mahasiswa...................153
Tabel 4.2 Skor Pretest, Posttest, dan Follow-up Academic Anxiety
Kelompok A..........................................................................................156
Tabel 4.3 Skor Pretest, Posttest, dan Follow-up Self-Efficacy
Kelompok A..........................................................................................158
Tabel 4.4 Skor Pretest, Posttest, dan Follow-up Academic Anxiety
Kelompok B..........................................................................................161
Tabel 4.5 Skor Pretest, Posttest, dan Follow-up Self-Efficacy
Kelompok B..........................................................................................163
Tabel 4.6 Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Pretest...................................167
Tabel 4.7 Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Posttest.................................167
Tabel 4.8 Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Follow-up.............................168
Tabel 4.9 Uji Mauchly’s Test of Sphericity Passive Music Therapy...................169
Tabel 4.10 Uji Mauchly’s Test of Sphericity Active Music Therapy...................170
Tabel 4.11 Rata-rata, SD dan Hasil Uji Repeated Measures ANOVA
Academic Anxiety Kelompok Passive Music Therapy.......................170
Tabel 4.12 Hasil Post Hoc Test Academic Anxiety Kelompok Passive
Music Therapy....................................................................................171
Tabel 4.13 Rata-rata, SD dan Hasil Uji Repeated Measures ANOVA
Academic Anxiety Kelompok Active Music Therapy..........................173
Tabel 4.14 Hasil Post Hoc Test Academic Anxiety Kelompok Active
Music Therapy....................................................................................173
Tabel 4.15 Perbandingan Repeated Measures Academic Anxiety
Mahasiswa Kelompok Passive dan Active Music Therapy................175
Tabel 4.16 Pairwise Comparisons Academic Anxiety Mahasiswa Kelompok
Passive dan Active Music Therapy.....................................................177
Tabel 4.17 Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Pretest.................................179
Tabel 4.18 Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Posttest...............................180
Tabel 4.19 Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Follow-up...........................180
Tabel 4.20 Uji Mauchly’s Test Sphericity Passive Music Therapy.....................182
Tabel 4.21 Uji Mauchly’s Test Sphericity Active Music Therapy.......................182
Tabel 4.22 Rata-rata, SD dan Hasil Repeated Measures ANOVA
Self-Efficacy kelompok Passive Music Therapy.................................183
Tabel 4.23 Hasil Post Hoc Test Self-Efficacy kelompok Passive Music
Therapy...............................................................................................183
Tabel 4.24 Rata-rata, SD dan Hasil Repeated Measures ANOVA
Self-Efficacy kelompok Active Music Therapy...................................185
Tabel 4.25 Hasil Post Hoc Test Self-Efficacy kelompok Active Music
Therapy...............................................................................................185
Tabel 4.26 Perbandingan Repeated Measures Self-Efficacy Mahasiswa
Kelompok Passive dan Active Music Therapy...................................187
Tabel 4.27 Pairwise Comparisons Self-Efficacy Mahasiswa Kelompok
Passive dan Active Music Therapy.....................................................189
Tabel 4.28 Korelasi Academic Anxiety dan Self-Efficacy pada Kelompok
A (Passive Music Therapy).................................................................191
Tabel 4.29 Korelasi Academic Anxiety dan Self-Efficacy pada Kelompok
B (Active Music Therapy)...................................................................194
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Hubungan antara Academic Anxiety dan Performance.....................51


Gambar 2.2 Bentuk Adaptasi Konsep “Hot Cross Bun (HCB)” dan CBT
Untuk Academic Anxiety....................................................................78
Gambar 2.3 Nada Dasar dan Frekuensi yang disarankan sesuai dengan
Hukum Pytagoras untuk Terapi Musik..............................................91
Gambar 2.4 Kunci Nada Mayor dan Minor yang dapat menimbulkan
Efek Terapi.......................................................................................102
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir dalam mereduksi Academic Anxiety dan
meningkatkan Self-Efficacy Mahasiswa yang sedang
menyusun Skripsi..............................................................................114
Gambar 3.1 Alur Penelitian dalam Pelaksanaan Eksperimen..............................121
Gambar 3.2 Hubungan antar Variabel.................................................................127
Gambar 4.1 Grafik Academic Anxiety Mahasiswa Kelompok A
(Passive Music Therapy)..................................................................156
Gambar 4.2 Grafik Self-Efficacy Mahasiswa Kelompok A
(Passive Music Therapy)..................................................................159
Gambar 4.3 Grafik Academic Anxiety Mahasiswa Kelompok B
(Active Music Therapy)....................................................................161
Gambar 4.4 Grafik Self-Efficacy Mahasiswa Kelompok B
(Active Music Therapy)....................................................................164
Gambar 4.5 Estimated Marginal Means Kelompok A
(Passive Music Therapy)..................................................................172
Gambar 4.6 Estimated Marginal Means Kelompok B
(Active Music Therapy)....................................................................174
Gambar 4.7 Plot Perbandingan pereduksian Academic Anxiety
Kelompok A (Passive) dan B (Active Music Therapy)....................178
Gambar 4.8 Estimated Marginal Means Kelompok A
(Passive Music Therapy)..................................................................184
Gambar 4.9 Estimated Marginal Means Kelompok B
(Active Music Therapy)....................................................................186
Gambar 4.10 Plot Perbandingan peningkatan Self-Efficacy Kelompok A
(Passive) dan B (Active Music Therapy)........................................190
Gambar 4.11 Arah Korelasi Academic Anxiety dan Self-Efficacy
Kelompok A (Passive Music Therapy)..........................................193
Gambar 4.12 Arah Korelasi Academic Anxiety dan Self-Efficacy
Kelompok B (Active Music Therapy).............................................196
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 SK Pembimbing...............................................................................237
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana UNNES..............................238
Lampiran 3 Surat Keterangan dari Prodi BK Unika Atma Jaya..........................239
Lampiran 4 Surat Permohonan Validator Ahli....................................................240
Lampiran 5 Lembar Validasi Academic Anxiety Scale........................................241
Lampiran 6 Lembar Validasi Self-Efficacy Scale................................................242
Lampiran 7 Instrumen Academic Anxiety Scale..................................................243
Lampiran 8 Instrumen Self-Efficacy Scale...........................................................244
Lampiran 9 Tabulasi Uji Coba Pertama Academic Anxiety Scale.......................245
Lampiran 10 Tabulasi Uji Coba Kedua Academic Anxiety Scale........................246
Lampiran 11 Tabulasi Uji Coba Pertama Self-Efficacy Scale.............................247
Lampiran 12 Tabulasi Uji Coba Kedua Self-Efficacy Scale................................248
Lampiran 13 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Uji Coba Pertama
Academic Anxiety Scale.................................................................249
Lampiran 14 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Uji Coba Kedua
Academic Anxiety Scale.................................................................250
Lampiran 15 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Uji Coba Pertama
Self-Efficacy Scale.........................................................................251
Lampiran 16 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Uji Coba Kedua
Self-Efficacy Scale.........................................................................252
Lampiran 17 Kumpulan RPL Konseling Kelompok CBT Passive dan
Active Music Therapy....................................................................253
Lampiran 18 Tabulasi Hasil Pretest, Posttest, dan Follow-up
Academic Anxiety Konseling Kelompok CBT dengan
Passive Music Therapy..................................................................254
Lampiran 19 Tabulasi Hasil Pretest, Posttest, dan Follow-up
Academic Anxiety Konseling Kelompok CBT dengan
Active Music Therapy....................................................................255

xviii
Lampiran 20 Tabulasi Hasil Pretest, Posttest, dan Follow-up
Self-Efficacy Konseling Kelompok CBT dengan
Passive Music Therapy..................................................................256
Lampiran 21 Tabulasi Hasil Pretest, Posttest, dan Follow-up
Self-Efficacy Konseling Kelompok CBT dengan
Passive Music Therapy..................................................................257
Lampiran 22 Hasil Uji Normalitas......................................................................258
Lampiran 23 Hasil Uji Sphericity dan Repeated Measures.................................259
Lampiran 24 Dokumentasi..................................................................................260
Lampiran 25 Sertifikat Eksperimentor................................................................261
Lampiran 26 Panduan Perlakuan Eksperimen CBT dengan Music Therapy.......262

xix
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi merupakan salah satu karya tulis yang dibuat oleh mahasiswa untuk

membuktikan bahwa mahasiswa telah berhasil mencernakan ilmu yang dipelajarinya,

sehingga dapat menerapkannya dalam bentuk karya ilmiah atas tanggung jawabnya

sendiri (Widyarto, 1988 dalam Sudarnoto, Pedhu, Mamahit, Prasetiyo, 2012).

Sebagai karya tulis ilmiah, skripsi harus memenuhi persyaratan tertentu baik

mengenai isi dan sistematika maupun mengenai teknik penulisan. Pada prinsipnya

skripsi mengkaji suatu masalah yang didasarkan dan didukung melalui kegiatan

penelitian atau kajian pustaka. Penelitian yang dimaksudkan adalah suatu proses

mencari jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah melalui metode sistematis dan

terkendali (Widyarto, 1988 dalam Sudarnoto et al., 2012).

Menurut Hidajat (2007) sebagai karya ilmiah, skripsi harus berbentuk

penelitian yang memuat laporan tentang rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengkaji, menjawab suatu fenomena, permasalahan, atau pertanyaan tertentu.

Hasilnya disajikan dalam karya yang bersinambung, dari judul, permasalahan, teori,

metode, pengolahan data sampai pada kesimpulan, diskusi, dan saran. Penulisan

skripsi mempunyai dua fungsi, yakni fungsi didaktis dan fungsi evaluatif. Fungsi

didaktis berarti mahasiswa melatih diri dan mengembangkan penalarannya secara

sistematis dan menuangkannya secara tertulis dalam bentuk karya ilmiah. Fungsi
2

evaluatif berarti mahasiswa membuktikan kemampuan dirinya dalam mencapai suatu

gelar akademis pada sarjana strata satu (Widyarto, 1988 dalam Sudarnoto et al.,

2012).

Mahasiswa strata satu untuk mencapai gelar akademisnya, harus

menyelesaikan skripsinya dengan baik. Bagi sebagian mahasiswa, skripsi adalah

suatu hal yang dianggap biasa saja. Akan tetapi bagi sebagian mahasiswa yang lain,

skripsi bisa menjadi suatu hal yang dapat memicu kecemasan atau stres (Rosanty,

2014) yang disebabkan oleh motivasi berprestasi dan kreativitas mahasiswa yang

rendah (Situmorang, 2016). Proses penyusunan skripsi yang sering kali menyita

waktu dan pikiran menjadikan mahasiswa merasa terbebani. Oleh karena itu, skripsi

dapat digolongkan sebagai salah satu stresor kecemasan bagi mahasiswa. Dampak

kecemasan yang ditimbulkan bagi mahasiswa akan memunculkan masalah-masalah

yang berhubungan dengan motivasi, prestasi, dan dampak psikologis.

Menurut Ottens (1991), kecemasan mahasiswa dalam menyusun tugas akhir

(skripsi) di Universitas merupakan salah satu gejala academic anxiety (kecemasan

akademik). Academic anxiety adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya perasaan

cemas yang berlebihan dengan berbagai tugas akademis yang ada di dalam institusi

pendidikan. Ketika kecemasan yang dirasakan oleh mahasiswa berlebihan maka akan

berpengaruh secara negatif, karena mahasiswa mengalami tekanan psikologis,

sehingga mahasiswa tersebut mendapatkan hasil belajar yang kurang baik dan lebih

banyak menghindari tugas, hal ini disebabkan oleh penurunan rentang perhatian,

konsentrasi dan memori pada mahasiswa.


3

Hasil studi yang dilakukan oleh Emory University (2015) berdasarkan kajian

yang dilakukan bersama American Association of Suicidology dan Suicide Prevention

Resource Center, menunjukkan bahwa di Amerika Serikat terdapat sekitar lebih dari

1000 kasus bunuh diri per tahun yang dilakukan oleh mahasiswa di bawah usia 21

tahun. Secara persentase, 80% terjadi pada mahasiswa laki-laki, dan 20% terjadi pada

mahasiswa perempuan. Namun, faktanya percobaan bunuh diri sering kali dilakukan

oleh mahasiswa perempuan, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Mayoritas

disebabkan oleh pressure academically (i.e. academic anxiety of undergraduated

thesis), selebihnya disebabkan oleh faktor lainnya seperti new environment, loss of a

social network, loss of the safety net found at home, pressure socially, isolation and

alienation, lack of coping skills, difficulty adjusting to new demands of college life,

decreased academic performance and subsequent feelings of failure, dan

experimentation with drugs and alcohol.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kingkade (2015) juga menyimpulkan

hasil yang senada, bahwa ada 20% mahasiswa masa kini mencari perawatan dan

konsultasi jiwa terkait tekanan yang mereka alami di dunia akademis. Bahkan, 9% di

antaranya mengaku, secara serius mereka sempat terlintas untuk bunuh diri karena tak

kuat menanggung beban yang dialaminya. Kingkade (2015) mengatakan bahwa

angka-angka yang didapatkan dari hasil penelitian di atas merupakan indikasi bahwa

mahasiswa masa kini mengalami hal serius yang disebut krisis kesehatan mental.

Jumlah mahasiswa yang mengalami depresi dan anxiety (kecemasan) berlebih di

pertengahan tahun 80-an, berkisar di angka 10% hingga 15%. Melonjak di tahun
4

2010-an di angka 33% hingga 40% dengan berbagai gejala yang mengikutinya,

seperti gangguan makan, menyakiti diri sendiri hingga keputusan untuk bunuh diri.

Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia, bahwa cukup banyak

mahasiswa yang mengalami academic anxiety karena skripsi, di antara mereka ada

yang melakukan bunuh diri bahkan hingga membunuh dosen pembimbing skripsinya

sendiri. Berdasarkan berita yang dilansir dalam media kompas.com

(2008), Hendrawan Winata, mahasiswa Universitas YAI Salemba melakukan bunuh

diri dengan melompat dari Gedung Universitas Atma Jaya Jakarta lantaran skripsinya

tak kunjung selesai. Berita yang dilansir oleh Wika (2016) melalui

kompasnasional.com, memberitakan bahwa salah satu dosen Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, yang bernama Hj. Nuraini Lubis

tewas terbunuh oleh mahasiswanya sendiri di dalam toilet pada 2 Mei 2016. Motif

pembunuhan yang dilakukan oleh Roy Mandosah Siregar terhadap dosennya tersebut

lantaran persoalan skripsi. Berita yang terakhir dirilis oleh Indrawan (2016) melalui

Detik News.com pada tanggal 27 Juli 2016, diberitakan bahwa salah satu mahasiswa

semester 8 Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang bernama Efren Ody

Ekiriandra ditemukan tewas tergantung di rumahnya sendiri menggunakan kabel

antena. Menurut Kasubag Humas Polres Jakarta Selatan Kompol Purwanta dalam

keterangannya korban diduga bunuh diri karena lantaran dua kali proposal skripsinya

ditolak oleh dosen pembimbing.

Jika dikaitkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fimantyo dan Alsa

(2016), individu yang memiliki kecemasan akademik yang tinggi akan semakin
5

memiliki integritas akademik yang rendah. Hal ini mengakibatkan seorang individu

dapat melakukan hal-hal di luar batas kewajaran, dikarenakan integritasnya sebagai

seorang peserta didik telah pudar. Ottens (1991) juga menyatakan bahwa academic

anxiety atau kecemasan akademik memiliki empat karakteristik yang biasanya akan

ditimbulkan, yaitu pola kecemasan yang menimbulkan aktivitas mental (patterns of

anxiety-engendering mental activity), perhatian yang menunjukkan arah yang salah

(misdirected attention), distres secara fisik (physiological distres), dan perilaku yang

kurang tepat (innappropriate behaviors). Keempat karakteristik tersebut akan muncul

ketika seorang mahasiswa mengalami academic anxiety yang cukup tinggi dalam

menyusun skripsi.

Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, skripsi memang merupakan tugas

akhir yang membuat cemas para mahasiswa. Menurut Rosanty (2014) masalah yang

umum dihadapi oleh mahasiswa dalam menyusun skripsi adalah banyaknya

mahasiswa yang tidak mempunyai kemampuan tulis menulis, serta adanya

ketidaktertarikan mahasiswa pada penelitian. Gejala-gejala academic anxiety yang

mereka rasakan secara afektif, diantaranya ialah perasaan jengkel karena dosennya

sulit ditemui, merasa pesimis, dan mudah marah. Gejala-gejala fisik yang muncul

antara lain berkurangnya nafsu makan, tidak bisa tidur, sulit berkonsentrasi, sakit

pinggang, migrain, mata tegang, sariawan, sakit perut, dan gemetar ketika melakukan

konsultasi. Selain itu gangguan perilaku yang muncul adalah mereka banyak

menghabiskan waktu untuk merokok, menonton televisi, menjadi pendiam, dan malas

berinteraksi. Banyak mahasiswa yang terbebani oleh skripsi. Tidak sedikit mahasiswa
6

yang lama lulusnya karena skripsi, hal tersebut disebabkan karena terlalu lama dalam

mencari judul dan lambat dalam menyelesaikan revisi.

Bandura (1997) mengatakan bahwa hal-hal tersebut dipicu oleh adanya

ketidakyakinan mahasiswa akan kemampuan dirinya untuk mengatasi tugas-tugas

akademik. Keyakinan kecakapan diri/efikasi diri (self-efficacy) memainkan peran

yang sentral bagi timbulnya kecemasan (Purwanto dalam Prawitasari, 2012). Self-

efficacy adalah keyakinan seseorang tentang kapabilitas dirinya untuk bisa mengatasi

tugas yang ia hadapi, bahwa dirinya mampu menguasai situasi dan memberikan hasil

yang positif. Self-efficacy yang tinggi akan berdampak pada tereduksinya pikiran-

pikiran yang menyakitkan (intrusive aversive thoughts) terkait tugas yang dihadapi

dan pada gilirannya akan terjadi penurunan tingkat kecemasan.

Akar dari academic anxiety adalah self-efficacy yang rendah. Hasil penelitian

Csikszentmilhalyi (dalam Schunk, Pintrich, & Mecce, 2008) menyimpulkan bahwa

ada tiga kategori respons afektif yang akan terjadi dalam diri mahasiswa terkait

dengan tugas-tugas akademik, yaitu mereka mengalami kebosanan, mereka

mengalami kecemasan, atau hanyut dalam tugas atau mengalami flow. Flow adalah

keadaan seorang individu yang hanyut atau lebur sepenuhnya dalam aktivitas yang

dikerjakan, segenap perhatian tercurah pada aktivitas tersebut. Respon afektif mana

yang akan terjadi dalam diri individu ketika menghadapi tugas-tugas akademik pada

dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor; pertama adalah derajat tantangan (kesulitan

tugas) yang dihadapi dan kedua adalah derajat kapabilitas atau skill yang dimiliki

individu terkait dengan tugas akademik yang harus mereka kerjakan. Seseorang akan
7

mengalami kebosanan dalam mengerjakan suatu tugas ketika mereka memandang

bahwa kecakapan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tugas yang harus

dilakukan tersebut, sebaliknya mereka akan mengalami kecemasan ketika mereka

meyakini bahwa tantangan yang dihadapi melampaui kecakapan yang dimiliki. Dan

individu akan mengalami flow ketika terjadi keseimbangan antara besarnya tantangan

dan kapabilitas individu.

Hal tersebut didukung oleh data studi pendahuluan melalui wawancara

singkat di Program Studi Bimbingan Konseling Unika Atma Jaya Jakarta. Bahwa 7

dari 10 mahasiswa semester VII yang peneliti wawancarai, mengeluhkan bahwa

mereka mengalami academic anxiety karena memiliki self-efficacy yang rendah

dalam menghadapi skripsi di semester VIII tahun ajaran 2016/2017. Mereka merasa

cemas bahwa mereka tidak dapat memilih judul skripsi yang tepat, kurang memiliki

kemampuan tulis menulis yang mumpuni, tidak dapat menyusun skripsi dengan baik,

mendapat pembimbing skripsi yang “killer”, dan tidak dapat lulus tepat waktu karena

skripsi yang terlalu lama. Padahal, jika dikaji lebih jauh seharusnya sebagai

mahasiswa yang belajar mengenai keilmuan bimbingan dan konseling, “self-healing”

dapat diterapkan, sehingga hal tersebut tidak menjadi suatu kecemasan yang

berlebihan. Mereka mengatakan bahwa intervensi yang dilakukan oleh PA (Penasehat

Akedemik) belum optimal karena masih menggunakan layanan yang masih bersifat

konvensional yaitu hanya dengan proses konseling individual saja. Selain itu juga,

belum dilaksanakannya layanan konseling kelompok sebagai intervensi yang dapat

digunakan untuk mereduksi kecemasan mahasiswa dalam menyusun skripsi.


8

Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya upaya suatu intervensi bagi

mahasiswa yang mengalami academic anxiety dan memiliki self-efficacy yang rendah

pada saat penyusunan skripsi. Zarei, Fini, dan Khajehzadeh (2010) pernah melakukan

penelitian untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa di University of Hormozgan

– Iran melalui konseling kelompok dengan menggunakan pendekatan konseling

cognitive, namun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendekatan konseling

cognitive tidak berhasil mereduksi academic anxiety. Penelitian lainnya juga pernah

dilakukan oleh Ghasemzadeh (2011) untuk mereduksi academic anxiety dengan

menggunakan konseling kelompok “systematic motivational counseling” (SMC)

namun hasilnya kurang signifikan.

Menurut Vianna, Barbosa, Carvalhaes, dan Cunha (2012 dalam Rosanty,

2014), seorang individu yang mengalami anxiety disebabkan oleh produksi hormon

tiroksin yang tinggi dalam otak manusia. Seseorang yang mengalami proses

emosional yang negatif akan merangsang hipotalamus memproduksi hormon tiroksin

yang tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan individu mudah lelah, mudah cemas,

mudah tegang, mudah takut, dan susah tidur, sehingga keadaan individu menjadi

kurang optimal. Untuk menanggulangi hal tersebut, menurut Mucci dan Mucci (2002)

seseorang harus dapat menyeimbangkan diri dalam setiap kondisi yang dialami. Otak

manusia memiliki empat morfin alami tubuh yaitu hormon positif yang dapat

meredakan penyakit dan membuat hidup menjadi bahagia. Morfin tersebut yaitu

hormon endorphin, dopamin, serotonin, dan oksitosin. Fungsi dari morfin-morfin


9

alami tersebut dapat membuat tubuh menjadi lebih rileks, sehingga dapat mereduksi

kecemasan atau stres.

Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002) menjelaskan bahwa salah satu

intervensi untuk meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonin ialah

dengan melakukan relaksasi melalui mendengarkan musik. Secara psikologis, musik

memiliki hubungan yang positif dalam kehidupan manusia. Musik, dapat membuat

seseorang menjadi lebih rileks, mengurangi stres, menimbulkan rasa aman dan

sejahtera, meningkatkan rasa bahagia, dan membantu melepaskan rasa sakit (Djohan,

2006). Hal ini diperkuat juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Laura, Sylvie, dan

Aurore (2015) dan Zarate (2016) bahwa musik dapat meningkatkan produksi hormon

endorphin dan serotonin yang mengakibatkan seorang individu dapat merasa lebih

bahagia dan mereduksi kecemasan yang dialami.

Musik sebagai suatu intervensi yang dapat dilakukan dalam membantu

seorang individu dalam mereduksi kecemasan dan meningkatkan self-efficacy telah

banyak terbukti. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma dan Jagdev (2012)

menunjukkan bukti bahwa dengan penggunaan musik dapat mereduksi stres

akademis yang dialami oleh 30 orang remaja. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan

oleh Lilley, Obercle, dan Thompson (2014) membuktikan efektivitas musik dapat

mereduksi kecemasan sebelum melakukan performance. Penelitian yang dilakukan

oleh Clements-Cortés (2016) menunjukkan bahwa melalui music therapy mampu

meningkatkan self-efficacy individu.


10

Menurut Skudrzyk, Zera, McMahon, Schmidt, Boyne, dan Spannaus (2014),

penggunaan musik dapat diberikan dalam proses konseling. Musik dapat digunakan

untuk membantu individu memahami perkembangan emosi dan kognitif mereka.

Individu dapat mendengarkan lagu, ataupun memainkan alat musik secara aktif.

Melalui musik, konselor dapat membuat proses konseling menjadi lebih menarik dan

efektif. Bradley, Whiting, Hendricks, Parr, dan Jones Jr. (2014) juga mengungkapkan

bahwa ada beberapa teknik yang dapat membantu konselor dan klien dalam

melakukan reframing ide, memfokuskan perspektif, eksternalisasi emosi, dan

memperdalam pemahaman dari sebuah pengalaman atau masalah. Salah satunya ialah

melalui musik. Penggunaan musik dalam proses konseling memiliki banyak manfaat

yang terapeutik.

Gladding (2016) juga mengungkapkan bahwa salah satu strategi konseling

untuk mengurangi, menurunkan dan mengatasi kecemasan dan ketegangan emosi

adalah berupa teknik relaksasi melalui terapi musik. Teknik relaksasi merupakan

coping skill yang efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan. Keberadaan musik

sebagai media terapi ini merupakan salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji

dan dikembangkan. Sejak tahun 1992, Gladding (2016) memperkenalkan penggunaan

musik dalam konseling. Musik digunakan sebagai media untuk menenangkan, dan

membantu konseli untuk merasa nyaman, sehingga proses konseling menjadi lebih

efektif. Penggunaan musik dalam proses konseling dikenal sebagai music therapy.

Capuzzi dan Gross (2011), dan Sharf (2012), mengkaji bahwa music therapy sebagai

salah satu bentuk intervensi terapi ekspresif/seni kreatif dalam pendekatan konseling
11

integratif, yang dapat diterapkan dalam proses konseling. Selain itu juga, dalam jurnal

yang dituliskan oleh Bastemur, Dursun-Bilgin, Yildiz, dan Ucar (2016) disebutkan

bahwa music therapy adalah salah satu teknik alternatif yang dapat dilakukan oleh

konselor dalam membantu klien dalam mengentaskan permasalahannya. Namun pada

kenyataannya di lapangan, konselor di Indonesia masih kurang menerapkan bentuk

intervensi terapi musik ini dalam layanan konseling sehari-hari. Hal ini dibuktikan

dengan sedikitnya jumlah kajian literatur buku konseling Indonesia yang membahas

tentang terapi musik, sedikitnya penelitian mengenai terapi musik yang diterapkan

dalam proses konseling, dan sedikitnya pembahasan mengenai terapi musik dalam

kehidupan sehari-hari di Indonesia (Djohan, 2006).

Terapi musik yang dilakukan di College of Notre Dame, Belmont, California

menggunakan stimulus suara (bunyi, musik) untuk mengetahui dampak suara

terhadap kondisi stres dan rileks yang dialami oleh seseorang, saat ini telah mendunia

(Djohan, 2006). Namun, penerapan terapi musik ini masih jarang ditemukan, karena

masih merupakan hal yang baru, khususnya dalam konseling. Terapi musik dapat

berdampak positif untuk mengatasi kecemasan. Terapi musik merupakan teknik yang

sangat mudah dilakukan dan terjangkau, namun efeknya cukup besar. Studi mengenai

musik sebagai media terapi pernah dilakukan oleh Dewi (2015). Dari hasil studi

metaanalisis tersebut, disarankan bahwa musik dapat digunakan sebagai pendekatan

dalam membantu individu yang mengalami hambatan kondisi fisik, perilaku, dan

psikologis agar mampu menjadi lebih baik. Penelitian mengenai pengaruh musik

sebagai media terapi terhadap kecemasan akademik mahasiswa juga pernah dilakukan
12

oleh Rosanty (2014). Dari hasil penelitian tersebut, musik dapat digunakan sebagai

intervensi untuk menurunkan kecemasan yang dialami oleh mahasiswa. Namun,

penelitian ini hanya membuktikan penggunaan musik Mozart sebagai passive music

therapy (terapi musik pasif) saja, dan belum mengkaji tentang pemberian musik

dalam teknik active music therapy (terapi musik aktif). Berdasarkan hal tersebut,

dirasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan efektivitas

pemberian terapi musik dengan teknik passive music therapy dan active music

therapy untuk membuktikan teknik yang paling efektif dalam mereduksi kecemasan

akademik mahasiswa.

Dalam penerapannya, terapi musik itu di bagi menjadi dua, yaitu passive

music therapy dan active music therapy (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2002). Terapi

musik pasif adalah pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara mengajak

konseli untuk mendengarkan sebuah instrumen tertentu secara seksama. Sedangkan

terapi musik aktif adalah proses pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara

mengajak konseli untuk memainkan sebuah instrumen, bernyanyi, maupun

menciptakan lagu. Kedua teknik terapi musik ini dapat dilakukan melalui konseling

individual maupun kelompok.

Menurut Liebmann (2004), terapi musik merupakan salah satu jenis art

therapy yang dapat dilaksanakan dalam proses kelompok. Seorang terapis atau

konselor dapat menerapkan terapi musik dalam konseling kelompok untuk membantu

konseli yang memiliki permasalahan yang sama, sehingga terjadi sebuah proses yang

disebut dengan mutual support for each other and help with mutual problem-solving
13

yang terjadi di antara anggota konseling kelompok dengan sarana media musik.

Selain itu juga, terapi musik aktif lebih efektif diterapkan dalam suasana kelompok

karena setiap anggota kelompok memainkan alat musiknya masing-masing sehingga

menciptakan suatu alunan musik yang teraupetik bagi seluruh anggota kelompok.

Dalam ranah bimbingan dan konseling, menurut Gibson dan Mitchell (2011)

konseling kelompok adalah proses interpersonal yang dipimpin oleh konselor yang

terlatih secara profesional dan dilaksanakan dengan individu-individu yang sedang

menghadapi problem-problem perkembangan khusus. Hal itu berfokus pada pikiran,

perasaan, sikap, nilai, tujuan tingkah laku, tujuan individu, dan grup secara

keseluruhan. Konseling kelompok merupakan sebuah layanan bantuan yang dalam

pelaksanaannya membutuhkan sebuah dinamika, sedangkan dinamika akan tercipta

apabila hubungan interpersonal di dalam kelompok dapat berjalan dengan baik. Corey

(2013) memberi pengertian konseling kelompok adalah sebuah proses interpersonal

yang dinamis yang terfokus pada kesadaran, pikiran dan perilaku yang berguna

sebagai fungsi terapi, pemahaman yang benar, pelepasan (katarsis), membangun

kepercayaan saling peduli, saling memahami, saling menerima, dan saling

mendukung.

Gladding (2012) menyatakan bahwa kerja kelompok itu dapat saling

membantu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Di sana ada proses dinamika, saling

mengubah saling menghargai, saling menyembuhkan, dan mempromosikan. Dengan

kata lain kerja kelompok itu dapat menjadi wahana pengembangan diri ke arah

keterampilan hidup (life skill) yang baik. Nilai-nilai yang tumbuh dalam kerja
14

kelompok juga sejalan dengan nilai-nilai yang ingin diperoleh dari kegiatan layanan

konseling kelompok.

Dalam pendekatan konseling integrative approach, penggunaan musik dalam

proses konseling disebut dengan music therapy (Capuzzi & Gross, 2011; Sharf,

2012). Gladding (2016) menyarankan bahwa dalam proses konseling yang modern

diharapkan para konselor dapat mengintegrasikan terapi seni dalam proses bantuan

terhadap konseli. Salah satu terapi seni yang dapat menembus batas-batas budaya

ialah melalui musik. Siapapun menyukai musik, tanpa memandang usia, gender,

suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan lainnya (Djohan, 2006).

Menurut Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002), perkembangan music therapy

di dunia dewasa ini dalam praktiknya banyak berpusat pada teori Behavior, yang

secara spesifik lebih mengarah pada Cognitive Behavior Therapy (CBT). Penelitian

mutakhir mengenai music therapy yang berpusat pada teori CBT dalam pelaksanaan

konseling telah banyak dilakukan, yaitu di antaranya penelitian yang dilakukan oleh

Zhang et al. (2017), Gómez Gallego dan Gómez Garcia, (2017), Stamoua et al.

(2016), Gomez-Romero et al. (2016), Vargas (2015), Spahn (2015), Hui-Chi Li et al.

(2015), Fredenburg dan Silverman (2014), Rogers et al. (2007), Baker, Gleadhill, dan

Dingle (2007). Mayoritas penelitian tersebut membuktikan efektivitas integrasi CBT

dengan music therapy untuk para klien demensia, alzheimer, adiksi narkoba, dan

transplantasi organ. Namun, sampai saat ini penelitian dalam bidang pendidikan

belum ada.
15

Berangkat dari hal tersebut dirasa cukup penting untuk menguji efektivitas

CBT dengan music therapy dalam ranah pendidikan, khususnya untuk membantu

mahasiswa penyusun skripsi yang sedang bermasalah. Dengan melakukan konseling

kelompok dengan pendekatan integrative approach (expressive therapies) yang

berpusat pada teori pendekatan utama Cognitive Behavior Therapy (CBT), dengan

menggunakan teknik passive dan active music therapy, diharapkan dapat mereduksi

academic anxiety yang dialami oleh mahasiswa, sekaligus meningkatkan self-efficacy

mereka dalam suasana kelompok. Pemberian layanan ini diharapkan juga mampu

untuk menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan setiap anggota kelompok

untuk dapat berbagi pengalaman dalam menghadapi kondisi kecemasan yang dialami

akibat self-efficacy yang rendah, serta memperoleh penguatan untuk menghadapi

academic anxiety tersebut.

Berdasarkan kajian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian terkait

dengan keefektifan layanan konseling kelompok CBT dengan teknik passive dan

active music therapy pada mahasiswa yang mengalami academic anxiety dan self-

efficacy yang rendah. Penelitian ini dianggap penting, karena berdasarkan hasil studi

literatur dari penelitian-penelitian terdahulu dan kondisi obyektif di lapangan

menunjukkan bahwa mahasiswa-mahasiswa yang sedang menyusun skripsi

mengalami academic anxiety yang cukup tinggi, karena disebabkan oleh self-efficacy

mereka yang cukup rendah, sehingga perlu penanganan yang serius dalam proses

konseling. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Sharma & Jagdev, 2012; Rosanty,

2014; Laura, Sylvie, & Aurore, 2015; Dewi, 2015; Zarate, 2016; Clements-Cortés
16

2016) menunjukkan bahwa salah satu cara yang dapat digunakan untuk mereduksi

academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy adalah melalui intervensi music

therapy. Namun, sejauh ini penelitian yang secara spesifik meneliti tentang

perbandingan efektivitas antara passive dan active music therapy yang dilakukan

dalam layanan konseling kelompok pendidikan belum ada, khususnya secara spesifik

untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy terhadap

mahasiswa penyusun skripsi. Hal inilah yang menjadi dasar dalam penelitian lanjutan

yang diharapkan mampu memberikan mozaik baru dalam penelitian-penelitian

relevan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan alasan-alasan

tersebut, dipandang perlu untuk dilakukannya penelitian lanjutan terkait dengan

keefektifan layanan konseling kelompok CBT dengan teknik passive dan active

music therapy untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy

mahasiswa prodi Bimbingan & Konseling Unika Atma Jaya yang sedang menyusun

skripsi.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dapat diidentifikasi

permasalahan berikut ini:

1. Mahasiswa prodi Bimbingan & Konseling yang seharusnya dapat melakukan

self-healing terhadap dirinya sendiri, namun masih tetap memiliki academic

anxiety dalam menyusun skripsi.


17

2. Academic anxiety yang tinggi yang disebabkan oleh self-efficacy yang rendah

merupakan gejala-gejala yang dapat menghambat mahasiswa dalam

menyusun skripsi.

3. Jumlah mahasiswa yang mengalami academic anxiety karena self-efficacy

yang rendah dalam menyusun skripsi, khususnya di Prodi Bimbingan &

Konseling Unika Atma Jaya tergolong cukup banyak.

4. Intervensi yang dilakukan oleh PA (Penasehat Akademik) belum optimal

karena masih menggunakan layanan yang masih bersifat konvensional

misalnya hanya dengan proses konseling individual saja.

5. Belum dilaksanakannya layanan konseling kelompok sebagai intervensi yang

dapat digunakan untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-

efficacy mahasiswa yang menyusun skripsi.

6. Dibutuhkannya layanan bimbingan konseling yang dapat mereduksi academic

anxiety dan meningkatkan self-efficacy mahasiswa yang menyusun skripsi,

misalnya dengan menggunakan konseling kelompok dengan beberapa teknik.

7. Adanya kesenjangan antara teori dengan kenyataan, bahwa penerapan

intervensi music therapy secara teori dapat dilaksanakan dalam penerapan

konseling, namun kenyataannya di Indonesia tidak terlalu diterapkan.

1.3 Cakupan Masalah

Cakupan masalah dalam penelitian ini ialah untuk mengkaji academic anxiety

dan self-efficacy mahasiswa ketika menyusun skripsi, namun jika dikaji dengan
18

berbagai pendekatan konseling yang ada maka akan sangat kompleks. Oleh sebab

itu, agar lebih terfokus dan mendalam mengingat luasnya treatment yang dapat

dilakukan dalam layanan konseling kelompok, maka peneliti memfokuskan pada

dua variabel independent sebagai treatment (perlakuan) yang diberikan, yaitu

teknik passive dan active music therapy dalam konseling kelompok CBT.

Batasan subyek penelitian yaitu mahasiswa aktif yang sedang menyusun skripsi,

semester VIII tahun ajaran 2016/2017 Prodi BK Unika Atma Jaya Jakarta.

1.4 Rumusan Masalah

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis “apakah ada

perbedaan keefektifan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT)

dengan teknik passive music therapy dan teknik active music therapy terhadap

academic anxiety dan self-efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi?”.

Dari rumusan masalah tersebut, selanjutnya dijabarkan secara spesifik sebagai

berikut:

1. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy

efektif untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa dalam menyusun

skripsi?

2. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy efektif

untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa dalam menyusun skripsi?


19

3. Bagaimana perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT

dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap

academic anxiety mahasiswa dalam menyusun skripsi?

4. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy

efektif untuk meningkatkan self-efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi?

5. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy efektif

untuk untuk meningkatkan self-efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi?

6. Bagaimana perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT

dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap self-

efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi?

7. Bagaimana korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy mahasiswa

dalam menyusun skripsi yang diberikan konseling kelompok CBT dengan

teknik passive music therapy?

8. Bagaimana korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy mahasiswa

dalam menyusun skripsi yang diberikan konseling kelompok CBT dengan

teknik active music therapy?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, secara umum penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis perbedaan keefektifan dari konseling kelompok

CBT dengan teknik passive music therapy vs active music therapy terhadap
20

academic anxiety mahasiswa penyusun skripsi. Sedangkan tujuan secara khusus

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive

Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dalam

mereduksi academic anxiety mahasiswa penyusun skripsi.

2. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive

Behavior Therapy (CBT) dengan teknik active music therapy dalam

mereduksi academic anxiety mahasiswa penyusun skripsi.

3. Untuk menganalisis perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok

Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dan

active music therapy terhadap academic anxiety mahasiswa penyusun skripsi.

4. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive

Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dalam

meningkatkan self-efficacy mahasiswa penyusun skripsi.

5. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive

Behavior Therapy (CBT) dengan teknik active music therapy dalam

meningkatkan self-efficacy mahasiswa penyusun skripsi.

6. Untuk menganalisis perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok

Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dan

active music therapy terhadap self-efficacy mahasiswa penyusun skripsi.


21

7. Untuk menganalisis korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy

mahasiswa penyusun skripsi yang diberikan konseling kelompok CBT dengan

teknik passive music therapy.

8. Untuk menganalisis korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy

mahasiswa penyusun skripsi yang diberikan konseling kelompok CBT dengan

teknik active music therapy.

1.6 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kajian teoritis serta data empiris

melalui hasil analisis dari efektivitas konseling kelompok Cognitive Behavior

Therapy (CBT) dengan menggunakan teknik passive music therapy dan active

music therapy untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-

efficacy mahasiswa penyusun skripsi, sehingga secara akademis mampu

memberikan kontribusi bagi khazanah ilmu pengetahuan dan pengembangan

wawasan keilmuan bimbingan dan konseling Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Adapun secara praktis, manfaat dari hasil penelitian ini antara lain ialah

sebagai berikut:

a. Bagi Mahasiswa
22

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau

wawasan mahasiswa untuk dapat mereduksi academic anxiety dan

meningkatkan self-efficacy dalam penyusunan skripsi.

b. Bagi Konselor

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan insight baru bagi para

konselor di Indonesia untuk dapat menyusun sebuah rancangan program

dan strategi intervensi, melalui layanan konseling kelompok CBT dengan

menggunakan teknik passive music therapy dan active music therapy untuk

mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy mahasiswa

aktif penyusun skripsi. Secara khusus juga, dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat memberikan sebuah ide untuk pemberian pelatihan music

therapy bagi para konselor yang berminat di bidang art therapy dalam

konseling.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bagi

peneliti selanjutnya agar dapat terus dikembangkan melalui penelitian lebih

lanjut, khususnya untuk melakukan kajian yang lebih konstruktif dengan

tujuan memperbaiki keterbatasan-keterbatasan yang terdapat di dalam

penelitian ini.
23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Kajian hasil penelitian yang relevan merupakan hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya dan dikaji keterkaitannya dengan penelitian yang

sedang dilangsungkan. Adapun beberapa hasil penelitian yang kajiannya dapat

digunakan untuk mendukung penelitian ini berkenaan dengan academic anxiety,

self-efficacy, passive music therapy, active music therapy, dan konseling kelompok

Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu:

Self-efficacy (efikasi diri) merupakan salah satu faktor penentu dalam

keberhasilan hidup (Adicondro & Purnamasari, 2012; Sawitri, 2009;

Dwitantyanov, 2010; Dewi, 2013; Sitepu, 2013; Hendiani, Sakti & Widiyanti,

2013; Hayati, 2015; Sulistyaningsih, 2018). Dalam situasi pendidikan, self-

efficacy menjadi faktor penentu terjadinya academic anxiety yang dialami

individu. Penelitian yang dilakukan oleh Nurlaila (2011), Pratiwi (2012), Sedjati

(2013), Martha (2015), Haryanto (2016) dan Ardasheva, Rahmayati dan Lubis

(2017), Carbonneau, Roo dan Wang (2018) menunjukkan hasil bahwa adanya

korelasi negatif antara academic anxiety dengan self-efficacy. Penelitian ini

menemukan hasil bahwa semakin rendah self-efficacy yang dimiliki oleh seorang

peserta didik
24

maka akan mengakibatkan semakin tingginya academic anxiety mereka dalam

mempelajari mata pelajaran tertentu. Penelitian ini juga menambahkan bahwa

kedua variabel ini sangat menentukan prestasi peserta didik, di mana peserta didik

yang mengalami self-efficacy yang rendah dan academic anxiety yang tinggi akan

mengakibatkan prestasi mereka rendah dalam pelajaran-pelajaran tertentu. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Rizki, Prawitasari, dan Soetjipto (1997), Ningrum

(2012), Aini dan Mahardayani (2012), Aziz dan Rahardjo (2013), Akhtar dan

Helmi (2017) menjelaskan bahwa efikasi diri sebagai prediktor terhadap

prokrastinasi akademik mahasiswa.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Arjanggi dan Suprihatin (2011), Wijaya

(2012), Wahyuni (2013), Etiafani & Listiara (2015), Wikarta (2016), Minauli dan

Butar-butar (2017), Morosanova dan Fomina (2017), Variansyah dan Listiara

(2017), Mamahit dan Situmorang (2017), dan Suseno (2017) menemukan variabel

lain dalam kaitannya dengan self-efficacy dan academic anxiety yang dimiliki oleh

seorang individu. Penelitian ini menemukan bahwa self-regulation di dalam diri

individu menjadi mediator dalam hubungannya antara academic anxiety, self-

efficacy, dan academic examination performance seorang peserta didik. Penelitian

lain yang dilakukan oleh Fimantyo dan Alsa (2016) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan negatif antara academic anxiety (kecemasan akademik) dan integritas

akademik pada siswa dalam menghadapi Ujian Nasional. Hal ini menunjukkan

bahwa semakin tinggi kecemasan akademik yang dirasakan oleh siswa maka

semakin rendah pula integritas akademik yang dimiliki oleh siswa. Sebaliknya,
25

semakin rendah kecemasan akademik yang dirasakan oleh siswa maka semakin

tinggi pula integritas akademik yang dimiliki oleh siswa. Kecenderungan ini

muncul ketika siswa berada dalam keadaan tertekan seperti dalam persiapan

menghadapi Ujian Nasional (UN). Dalam penelitian lain, kecemasan akademik

dinilai memiliki hubungan negatif dengan prestasi belajar siswa. Selain itu,

kecemasan akademik yang tinggi juga akan menimbulkan menurunnya motivasi

belajar yang dimiliki oleh siswa dalam kegiatan akademik. Keadaan seperti ini

akan berdampak buruk pada prestasi belajar yang diraih oleh siswa. Kecemasan

merupakan salah satu emosi negatif yang dimunculkan siswa saat berada dalam

kegiatan atau lingkungan akademik.

Academic anxiety (kecemasan akademik) merupakan salah satu gejala yang

perlu direduksi agar tercipta suasana pembelajaran yang kondusif bagi para peserta

didik. Salah satu cara untuk mereduksi academic anxiety ialah melalui proses

konseling yang dapat dilakukan oleh konselor. Zarei, Fini, dan Khajehzadeh

(2010) pernah melakukan penelitian untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa

di University of Hormozgan – Iran melalui konseling kelompok dengan

menggunakan pendekatan konseling cognitive, namun hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa pendekatan konseling cognitive tidak berhasil mereduksi

academic anxiety. Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Ghasemzadeh

(2011) untuk mereduksi academic anxiety dengan menggunakan konseling

kelompok “systematic motivational counseling” (SMC) namun hasilnya kurang

signifikan.
26

Penelitian yang dilakukan oleh Skudrzyk, Zera, McMahon, Schmidt, Boyne,

dan Spannaus (2014) melakukan cara yang berbeda dengan menggunakan

intervensi kreatif dalam konseling. Salah satu intervensi kreatif yang dapat

dilakukan dalam proses konseling dengan menggunakan media musik. Musik

dapat digunakan untuk membantu remaja memahami perkembangan emosi dan

kognitif mereka. Individu dapat mendengarkan lagu dan bersantai, ataupun

memainkan alat musik secara aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat

proses konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Selanjutnya, penelitian lain

yang dilakukan oleh McPherson dan McCormick (2006), Rojas dan Springer

(2014), Zelenak (2015), Clements-Cortés (2016), dan Hendricks, K. S. (2016)

membuktikan bahwa melalui aktivitas musik dan music therapy mampu

meningkatkan self-efficacy individu. Dalam studi-studi tersebut, secara khusus

didapatkan hasil bahwa melalui mendengarkan dan memainkan musik secara

bersama-sama, dapat mempengaruhi self-belief terkait self-efficacy para individu

yang melakukan aktivitas bersama. Adanya dorongan dari dalam diri dan dari

orang lain dalam memainkan musik agar dapat terdengar secara harmonis, maka

seseorang akan memiliki self-efficacy yang baik.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Luddin (2014), Bastemur,

Dursun-Bilgin, Yildiz, dan Ucar (2016) yang menjelaskan bahwa ada beberapa

alternatif terapi sebagai pendekatan baru dalam konseling yang dapat dilakukan

oleh seorang konselor dalam membantu klien. Di antaranya ialah melalui art

therapy, fairytale therapy, music therapy, cinematherapy, bibliotherapy,


27

integrative therapy, dan sand therapy. Penelitian yang dilakukan oleh Bradley,

Whiting, Hendricks, Parr, dan Jones Jr. (2014), Arizona, Wibowo, dan Japar

(2016), serta Sutisna dan Tadjri (2017) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa

teknik yang dapat membantu konselor dan klien dalam melakukan reframing ide,

memfokuskan perspektif, eksternalisasi emosi, dan memperdalam pemahaman dari

sebuah pengalaman atau masalah. Salah satunya ialah melalui musik. Penggunaan

musik dalam proses konseling memiliki banyak manfaat yang terapeutik

(Rahardjo, 2007). Teknik mendengarkan musik dijelaskan bahwa dapat secara

efektif membantu permasalahan yang dialami oleh anak-anak, remaja, dan orang

dewasa. Konselor dapat membantu klien berhubungan dengan perasaan yang

mereka alami seperti rasa bahagia, kepercayaan diri (self-confidence), dan

keyakinan diri (self-efficacy). Metode musik ini dapat digunakan dalam proses

konseling baik secara individual maupun kelompok.

Konseling kelompok secara empiris terbukti dalam membantu klien

mengentaskan permasalahan yang dialami (Efastri, Wibowo, 2015; Eka &

Nurhayati, 2015; Wibawa, Sutoyo & Sugiyo, 2015; Indri, Sugiharto & Purwanto,

2016; Dwistia, Purwanto & Sunawan, 2016; Erfantinni, Purwanto & Japar, 2016;

Ashari, Sugiharto & Supriyo, 2016; Habiba, Wibowo & Japar, 2017; Hamzah,

Sugiharto & Tadjri, 2017; Selvia, Sugiharto & Samsudi, 2017; Ana, Wibowo &

Wagimin, 2017; Sholikkah, Sugiharto & Tadjri, 2017; Saputra, Purwanto &

Awalya, 2017; Mahfud, Jafar & Sunawan, 2017). Dalam praktiknya, konseling

kelompok dapat menggunakan teknik passive music therapy dan active music
28

therapy untuk mereduksi kecemasan yang dialami oleh klien. Penelitian

eksperimen yang dilakukan oleh Sharma dan Jagdev (2012) bertujuan untuk

mengevaluasi efektivitas terapi musik dalam meningkatkan harga diri remaja yang

mengalami stres akademis. Penelitian ini mengidentifikasi 30 remaja dengan harga

diri yang rendah dan mengalami stres akademik yang tinggi. Terapi musik

diberikan dalam jangka waktu 15 hari. Hasil menunjukkan bahwa terapi musik

dapat meningkatkan self-esteem remaja, hal ini dapat dilihat dari skor self-esteem

kelompok eksperimen yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Perbedaan yang signifikan juga ditemukan antara skor pra dan pasca-intervensi

dari kelompok eksperimen sedangkan kelompok kontrol tidak menunjukkan

perbedaan statistik antara pra dan skor pasca-intervensi.

Selain itu juga, penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto (2000), Raharja

dan Hum (2011), Lidyansyah (2014), Suidah dan Cahyono (2016), Roffiq, Qiram

dan Rubiono (2017), Ansoriyah (2017), Rahmayati dan Handayani (2017),

Pramudhanti dan Mabruri (2017) membuktikan bahwa musik memiliki efek yang

positif bagi kehidupan manusia. Lilley, Obercle, dan Thompson (2014) menguji

secara spesifik efektivitas musik untuk mereduksi kecemasan sebelum

performance. Para responden dipisah menjadi dua kelompok, kelompok pertama

diberikan musik yang tenang dan kelompok kedua diberikan musik yang keras

selama 5 menit sebelum tes dilaksanakan. Tingkat kecemasan diukur melalui

kuesioner, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan denyut jantung.

Dibandingkan dengan para responden yang mendengarkan musik keras, para


29

responden yang mendengarkan menenangkan memiliki tekanan darah sistolik

lebih rendah, detak jantung yang lebih rendah, dan skor tes performance yang

lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik menenangkan bermanfaat

untuk mereduksi kecemasan yang dialami oleh responden. Temuan dari penelitian

ini menunjukkan bahwa musik yang menenangkan dapat mengurangi kecemasan,

sedangkan musik yang serba cepat meningkatkan kadar ketegangan. Hal ini senada

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faradisi (2012), Susanti dan Rohmah

(2012).

Penelitian eksperimental musik terapi juga pernah dilakukan oleh Rosanty

(2014). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas musik klasik Mozart

dalam mengurangi tingkat stres pada enam belas mahasiswa yang sedang menulis

skripsi. Penelitian ini menggunakan pretest posttest control group design. Proses

pemberian musik klasik Mozart dilakukan di empat sesi selama 1 jam. Skor

tingkat stres dianalisis untuk membandingkan hasil antara pretest dan posttest,

setelah itu dianalisis menggunakan uji Friedman. Hasil ini menunjukkan bahwa

musik klasik Mozart cukup efektif dalam mengurangi stres di kalangan mahasiswa

yang menulis skripsi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mendengarkan

musik klasik Mozart memberikan efek penurunan pada simptom stres mahasiswa

yang sedang mengerjakan skripsi. Hal ini juga didukung oleh data kualitatif yang

dilaporkan subjek dalam lembar apresiasi, evaluasi, dan wawancara di mana

penurunan tingkat stres yang dirasakan oleh subjek terjadi setelah mengikuti

pelatihan mendengarkan musik klasik Mozart. Mendengarkan musik klasik Mozart


30

dapat mempengaruhi tubuh, pikiran dan emosi, sehingga dapat memberikan

ketenangan dan kedamaian ketika aktivitas mental meningkat sekaligus dapat

mengurangi tekanan akibat keadaan. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang

didapatkan oleh Oktavia, Gandamiharja, dan Akbar (2013).

Kajian literatur yang ditulis oleh Wicaksono (2009), Iswandi (2015), dan

Situmorang (2017a; 2017b) semakin membuktikan efek positif dari musik. Studi

metaanalisis juga pernah dilakukan oleh Dewi (2015). Studi ini dilakukan terhadap

40 studi yang terdiri dari total sampel penelitian sebanyak 1.555 orang. Penelitian

ini menunjukkan bahwa musik dapat membantu dalam meningkatkan relaksasi

pada situasi yang menimbulkan stres dengan nilai yang diperoleh 0,22. Analisis

selanjutnya mencoba untuk melihat bagaimana peran musik pada aspek‐aspek

stres yang meliputi aspek fisik, perilaku dan psikologis. Hasilnya menunjukkan

bahwa musik mampu meningkatkan kualitas aspek fisik lebih baik dengan nilai

yang diperoleh 0,39, begitu pula musik dapat meningkatkan kualitas aspek

perilaku dan psikologis dengan nilai yang diperoleh 0,05 untuk aspek perilaku dan

0,23 untuk aspek psikologis. Dari hasil koreksi terhadap sampling pada studi‐studi

primer dapat disimpulkan bahwa musik dapat meningkatkan perasaan relaksasi

pada situasi yang menimbulkan stres. Dengan kata lain musik dapat menurunkan

stres, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa musik dapat menurunkan stres

dapat diterima. Berdasarkan analisis tambahan juga didapatkan bahwa musik dapat

memperbaiki kualitas aspek fisik, perilaku dan psikologis. Musik dapat


31

menurunkan stres karena musik berperan dalam menyeimbangkan gelombang

otak. Semakin lambat gelombang otak, maka semakin santai, puas, dan timbulnya

rasa damai dalam diri.

Penelitian eksperimen juga pernah dilakukan oleh Bibb, Newton, dan Newton

(2015). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik pasif dalam

menurunkan kecemasan setelah makan terhadap para pasien yang mengidap

anorexia nervosa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok

penelitian yang diberikan intervensi terapi musik secara efektif merasakan manfaat

dalam mengurangi tingkat kecemasan, dibandingkan dengan kelompok kontrol

yang tidak diberikan terapi musik. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah

para pasien rawat inap yang berusia rata-rata 22 tahun. Dalam penelitian ini juga

diketahui bahwa musik adalah kegiatan menarik bagi kaum muda dan memotivasi

para peserta untuk berpartisipasi dalam proses terapi. Para peserta mengakui

bahwa mereka merasa terbantu dengan terapi musik, karena melalui terapi musik

mereka dapat mengendalikan emosi mereka setelah makan, sehingga mencegah

mereka untuk melakukan anorexia.

Hal tersebut didukung juga melalui penelitian yang dilakukan oleh Hatice

Çiftçi dan Öztunç (2015). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi

musik untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang berada di unit Intensive

Care. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa pasien yang diberikan terapi musik

selama 30 – 60 menit per sesi, tingkat kecemasannya terbukti menurun. Penelitian

ini menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan denyut jantung dan
32

membuat nafas menjadi lebih teratur. Peneliti mengatakan bahwa terapi musik

adalah sebuah bentuk intervensi yang tidak berbahaya dan murah. Penelitian ini

menemukan bahwa tingkat kenyamanan umum pasien meningkat setelah mereka

mendengarkan musik. Penelitian ini telah berhasil mengungkapkan bahwa musik

mampu menciptakan perubahan yang signifikan dalam menurunkan kecemasan

yang ditunjukkan melalui hasil analisis skala kecemasan, dan musik juga mampu

meningkatkan tingkat kenyamanan pasien secara umum.

Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Fox dan McKinney (2015).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik pasif dengan

menggunakan The Bonny Method of Guided Imagery kepada para kaum

profesional. Hasil penelitian menunjukkan adanya perkembangan aspek pribadi

dan keterampilan profesional dari para responden. Mayoritas responden

mengalami hasil positif dalam beragam bidang pertumbuhan pribadi dan

profesional, termasuk memahami mengenai pentingnya kebutuhan untuk

memelihara potensi diri sendiri dan memahami bagaimana emosi dapat

mempengaruhi aspek kehidupan. Penelitian ini merekomendasikan bahwa terapi

pribadi dalam bentuk GIM untuk para kaum profesional dapat diterapkan.

Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh Beck, Hansen, dan Gold (2015).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas dari terapi musik pasif dengan

menggunakan metode guided imagery and music (GIM). Intervensi musik terapi

ini dilakukan kepada para pekerja yang mengalami stres kerja dengan cara

relaksasi dan mendengarkan musik. Efek positif ditunjukkan secara signifikan


33

setelah sembilan minggu dilakukannya proses intervensi. Meningkatnya

kesejahteraan psikologis, berkurangnya gangguan mood, berkurangnya tingkat

depresi, berkurangnya tingkat kecemasan, dan berkurangnya tekanan mental

menjadi indikator keberhasilan terapi ini. Diperkuat juga dengan penelitian yang

dilakukan oleh Gutiérrez dan Camarena (2015). Penelitian ini bertujuan untuk

merekomendasikan terapi musik sebagai salah satu metode yang dapat diterapkan

untuk mengatasi generalized anxiety disorder. Para pasien direkomendasikan

berdasarkan diagnosis yang sesuai dengan DSM-IV. Penelitian ini menggunakan

desain pretest dan posttest, dan menggunakan Beck Depression Inventory sebagai

instrumen. Dari hasil uji statistik wilcoxon, menunjukkan adanya penurunan yang

signifikan setelah diberikan intervensi musik terapi. Hasil menunjukkan bahwa

terapi musik efektif dalam mengurangi tingkat kecemasan dan depresi pada pasien

dengan generalized anxiety disorder.

Dalam proses konseling kelompok, pemberian intervensi active music therapy

juga dapat dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Gladding, Newsome,

Binkley, dan Henderson (2015) menunjukkan active music therapy dengan

menggunakan lirik dapat secara efektif membantu proses konseling. Lirik dalam

sebuah lagu memiliki peran penting dalam kehidupan banyak orang, termasuk

kehidupan yang dialami oleh para klien. Penelitian ini menjelaskan tentang cara

lirik bisa digunakan untuk membantu klien menyampaikan perasaan sakit yang

dialami untuk membantunya dalam proses penyembuhan (recovery). Lirik adalah

kata-kata dari sebuah lagu. Terkadang terdiri dari kata-kata berima, kadang-
34

kadang tidak. Seringkali lirik bercerita. Biasanya lirik pada bagian reff adalah

bagian utama dalam sebuah lagu. Terlepas dari suasana hati yang disampaikan,

lirik membawa kembali kenangan, emosi, dan pikiran tertinggi dan terendah dari

kehidupan seseorang yang mungkin tertidur atau terpendam. Dengan

mendengarkan dan bahkan mengucapkan lirik lagu, klien dapat berbagi perasaan

dengan konselor. Dengan demikian, ada sebuah proses katarsis yang terjadi dalam

proses konseling melalui lirik lagu ini. Dengan perasaan yang dinyatakan dalam

lirik akan membantu klien dalam menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam

mengalami sakit seperti itu. Klien dapat menemukan beberapa penghiburan dan

bahkan beberapa resolusi penuh makna, terutama jika mereka berbagi kata-kata

dari lagu tersebut dengan konselor. Penyembuhan melalui lirik akan berdampak

pada motivasi dan dapat secara instruktif klien dapat menemukan kebahagiaan

dalam hidup mereka.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, terapi musik aktif melalui lirik terbukti

efektif dalam membantu klien menyelesaikan pengalaman kesedihan yang dialami

oleh mereka. Dalam proses konseling, lirik dapat membantu klien dan konselor

menemukan tujuan yang hendak dicapai. Lirik yang berfokus pada rasa sakit, sakit

hati, dan kesedihan dapat membantu klien mengakui kesedihan yang dialami. Lirik

yang berfokus pada pemulihan, recovery, atau penyembuhan dapat benar-benar

membantu klien melihat berbagai kemungkinan dan membantu mereka untuk

menyadari hal-hal positif yang dapat dilakukan untuk membantu mereka

menyelesaikan masalah.
35

Penelitian terhadap active music therapy juga pernah dilakukan oleh Zarate

(2016). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik aktif

dengan melakukan kegiatan musik improvisasi dengan alat musik dan bernyanyi

dalam mereduksi kecemasan. Penelitian ini menggunakan single subject design

(SSD) kepada 16 orang responden yang mengalami kecemasan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa setelah dilaksanakannya proses intervensi improvisasi

instrumental dan vokal, gejala kecemasan peserta secara signifikan menurun pada

minggu ke-6. Hasil penelitian juga mengungkapkan penurunan gejala kecemasan

secara signifikan. Mungas dan Silverman (2014) juga pernah melakukan penelitian

yang sama. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menguji dampak langsung

dari intervensi terapi musik aktif dengan menggunakan drum berbasis kelompok

tunggal. Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan bahwa ada perbedaan

antara hasil pretest dengan posttest. Kondisi eksperimental memiliki angka

pengukuran posttest yang lebih tinggi dari pretest. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa terapi musik aktif menggunakan permainan drum efektif dalam membantu

klien meningkatkan kemampuan afektifnya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, Giovagnoli, Oliveri, Schifano, dan Raglio (2014) melakukan

penelitian yang bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik aktif dalam

meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku pada pasien yang mengalami

chronic vascular encephalopathy. Penelitian ini menggunakan desain single

subject untuk menyelidiki perubahan kognitif dan perilaku yang berbeda setelah

mendapatkan terapi musik aktif. Intervensi yang dilakukan selama empat bulan
36

dengan menggunakan terapi musik kreatif dan proses interaktif yaitu bermain

musik. Enam belas sesi dilakukan bersamaan dengan terapi farmakologi. Hasil:

pada awalnya pasien memiliki kecenderungan untuk mudah merasa tegang, gugup,

dan marah. Tes neuropsikologi menunjukkan adanya defisit dalam kefasihan lisan,

memori verbal yang pendek, memori spasial yang pendek, dan memiliki perhatian

yang selektif. Setelah terapi musik aktif, profil kognitif meningkat secara

signifikan dalam perhatian, koordinasi visuomotor, ingatan verbal, dan spasial.

Hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengenai penelitian yang dilakukan

oleh Silverman (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas dari

sesi terapi musik aktif dengan menciptakan lagu, untuk meningkatkan motivasi

dan kesiapan dalam pengobatan detoksifikasi. Penelitian ini dilakukan kepada

kelompok tunggal pasien yang akan diberikan detoksifikasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan

posttest dalam hal motivasi dan kesiapan untuk pengobatan. Dari hasil penelitian

ini, dapat disimpulkan bahwa sesi terapi musik aktif dengan menciptakan lagu

kelompok tunggal dapat menjadi intervensi yang efektif dalam meningkatkan

motivasi dan kesiapan dalam pengobatan detoksifikasi.

Penelitian lain mengkaji perbandingan antara pemberian passive music

therapy dan active music therapy dalam proses konseling kelompok untuk

mereduksi kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Laura, Sylvie, dan Aurore

(2015) mengkaji bahwa terapi musik pasif dan aktif dapat mengatasi kecemasan

dan depresi. Selama ini terapi yang dilakukan untuk mengatasi kedua hal tersebut
37

yaitu melalui musik terapi pasif dengan mendengarkan musik dan terapi musik

aktif dengan memberikan kesempatan kepada peserta terapi untuk memainkan alat

musik atau bernyanyi. Penelitian mengeksploitasi efek terapi musik pasif pada

orang tua yang mengalami demensia. Terbukti bahwa, terapi musik aktif dapat

mengobati gangguan kecemasan dan depresi yang dialami oleh pasien. Peneliti

mengukur tingkat rasa sakit dan kecemasan pasien (sebelum, setelah dan 30 menit

setelah setiap pemberian terapi musik). Terapi musik menunjukkan bahwa dapat

menurunkan rasa sakit dan kecemasan secara signifikan, sampai dengan 30 menit

setelah sesi. Terapi musik berhasil meningkatkan kualitas hidup dari pasien

sehingga memungkinkan para pasien untuk melakukan relaksasi, dan dapat

melakukan interaksi yang baik dengan orang lain dengan berbicara dan

mendengarkan.

Penelitian lain dilakukan untuk menguji efektivitas terapi musik untuk

mengatasi kecemasan dan depresi yang dialami oleh pasien yang mengalami

aphasia. Para pasien diajak untuk mengekspresikan dirinya dengan menggunakan

suara (bernyanyi) atau bermain instrumen. Aktivasi ini meningkatkan hormon

endorphin dan serotonin yang dapat membuat pasien lebih merasa bahagia.

Melalui irama, nada suara, intensitas, dan melodi dapat membantu pasien untuk

pulih dan menemukan perasaan positif melalui kesenangan, dan mengembangkan

kemampuan sosialnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Atiwannapat, Thaipisuttikul, Poopityastaporn,

dan Katekaew (2016) bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi musik


38

aktif dengan terapi musik pasif dalam mengobati pasien yang mengalami major

depressive disorder. Hasil penelitian yang dihasilkan ialah pada 1 bulan, 3 bulan,

dan 6 bulan, kedua kelompok terapi menunjukkan hasil statistik yang tidak

signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang diberikan treatment

konseling kelompok). Pengurangan gejala major depressive disorder sedikit lebih

besar pada kelompok terapi musik aktif dibandingkan dengan kelompok terapi

musik pasif. Meskipun ada kecenderungan menuju yang hasil yang lebih baik pada

laporan diri yang berkaitan dengan tingkat depresi dan kualitas hidup, perbedaan

tersebut tidak signifikan secara statistik. Kesimpulan penelitian ini ialah terapi

musik kelompok, baik yang melalui treatment musik aktif atau pun pasif,

merupakan pilihan pengobatan yang menarik bagi pasien rawat jalan dengan

major depressive disorder. Kelompok terapi musik pasif dapat mencapai puncak

efek terapi lebih cepat, tetapi kelompok terapi musik aktif memiliki efek puncak

yang lebih tinggi. Terapi musik dalam konseling kelompok layak untuk dilakukan

studi lebih lanjut secara lebih komprehensif.

Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Ilie (2013). Penelitian ini

bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara bermain musik dengan

mendengarkan musik untuk me-recovery para responden yang mengalami acute-

stres. Penelitian ini menginstruksikan 54 peserta untuk bermain 'Twinkle, Binar,

Little Star" menggunakan aplikasi Smule Ocarina pada iPhone yang melibatkan

mereka untuk meniup ke mikrofon iPhone dan menempatkan jari di layar untuk

menghasilkan catatan yang berbeda (kelompok yang bermain musik) dan hanya
39

sekedar mendengarkan saja (kelompok yang mendengarkan musik). Satu minggu

setelah menerima instruksi, peserta secara acak ditunjuk untuk dilakukan

pengukuran. Kelompok peserta yang bermain musik menunjukkan penurunan

yang signifikan dalam kadar kortisol dibandingkan dengan mereka yang hanya

duduk dalam diam (kelompok yang mendengarkan musik). Namun, seperti yang

diharapkan, peserta dalam kelompok yang mendengarkan musik menunjukkan

penurunan yang signifikan juga dalam kadar kortisol walaupun tidak sebesar

kelompok yang bermain musik.

Berdasarkan beberapa kajian pustaka penelitian terdahulu di atas, dapat

dianalisis secara komprehensif bahwa terapi musik dapat secara efektif diterapkan

dalam proses konseling kepada seorang individu maupun kelompok, melalui dua

teknik, yaitu passive dan active music therapy. Hal tersebut didukung oleh hasil

penelitian yang dilakukan oleh Skudrzyk et al. (2014), Bastemur et al. (2016), dan

Bradley et al. (2014) yang menyatakan bahwa pentingnya intervensi kreatif dalam

konseling. Salah satu intervensi kreatif yang dapat dilakukan dalam proses

konseling ialah dengan menggunakan media musik yang dapat dilakukan dengan

musik pasif maupun aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat proses

konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Selain itu juga, penggunaan musik

dalam proses konseling memiliki banyak manfaat yang terapeutik. Hal lain yang

tidak kalah pentingnya ialah bahwa penerapan terapi musik dapat secara efektif

mereduksi kecemasan dan meningkatkan self-efficacy yang dimiliki oleh seorang

individu. Penelitian yang pertama ialah mengenai penggunaan passive music


40

therapy yang terbukti secara efektif mereduksi kecemasan. Penelitian yang

dilakukan oleh Sharma dan Jagdev (2012), Lilley et al. (2014), Rosanty (2014),

Dewi (2015), Bibb et al. (2015), Hatice Çiftçi dan Öztunç (2015), Beck et al.

(2015), dan Gutiérrez & Camarena (2015) di atas membuktikan bahwa terapi

musik pasif dapat secara efektif mereduksi kecemasan. Penelitian yang dilakukan

oleh Clements-Cortés (2016) menunjukkan bahwa melalui passive music therapy

mampu meningkatkan self-efficacy individu.

Penelitian berikutnya ialah mengenai penggunaan active music therapy.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Gladding et al. (2015), Zarate (2016), Mungas

dan Silverman (2014), Giovagnoliet al. (2014), dan Silverman (2012). Penelitian

mereka berhasil membuktikan bahwa penggunaan active music therapy dapat

secara efektif mereduksi kecemasan dan meningkatkan aspek-aspek positif yang

dimiliki oleh seorang individu.

Penelitian lain juga mengujicoba perbandingan efektivitas antara passive

music therapy dan passive music therapy dalam satu penelitian yang sama.

Penelitian yang dilakukan oleh Laura (2015) menyatakan bahwa terapi musik aktif

lebih efektif dalam mengobati gangguan kecemasan dan depresi yang dialami oleh

pasien. Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Atiwannapat et

al. (2016) yang menyatakan bahwa pengurangan gejala major depressive disorder

sedikit lebih besar pada kelompok terapi musik aktif dibandingkan dengan

kelompok terapi musik pasif. Selain itu juga, ada penelitian lainnya yang

dilakukan oleh Ilie (2013) yang menunjukkan bahwa kelompok peserta yang
41

bermain musik mengalami penurunan yang signifikan dalam kadar kortisol

dibandingkan dengan mereka yang hanya duduk dalam diam (kelompok yang

mendengarkan musik). Namun, seperti yang diharapkan, peserta dalam kelompok

yang mendengarkan musik menunjukkan penurunan yang signifikan juga dalam

kadar kortisol walaupun tidak sebesar kelompok yang bermain musik.

Menurut Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002), perkembangan music therapy

di dunia dewasa ini dalam prakteknya banyak berpusat pada teori Behavior, yang

secara spesifik lebih mengarah pada Cognitive Behavior Therapy (CBT).

Penelitian mutakhir mengenai music therapy yang berpusat pada teori CBT dalam

pelaksanaan konseling telah banyak dilakukan, yaitu di antaranya penelitian yang

dilakukan oleh Zhang et al. (2017), Gómez Gallego dan Gómez Garcia, (2017),

Stamoua et al. (2016), Gomez-Romero et al. (2016), Vargas (2015), Spahn (2015),

Hui-Chi Li et al. (2015), Fredenburg dan Silverman (2014), Rogers et al. (2007),

Baker, Gleadhill, dan Dingle (2007). Konseling kelompok dengan pendekatan

integrative approach (expressive therapies) yang berpusat pada teori pendekatan

utama Cognitive Behavior Therapy (CBT), dengan menggunakan teknik passive

dan active music therapy untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa terhadap

skripsi adalah sebuah layanan bimbingan konseling yang diberikan untuk

membantu para mahasiswa terbebas dari kecemasannya dalam penyusunan tugas

akhir dalam suasana kelompok. Pemberian layanan ini diharapkan mampu untuk

menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan setiap anggota kelompok untuk

dapat berbagi pengalaman dalam menghadapi kondisi kecemasan yang dialami


42

akibat self-efficacy yang rendah, serta memperoleh penguatan untuk menghadapi

academic anxiety tersebut.

Namun, sejauh ini penelitian yang secara spesifik meneliti tentang

perbandingan efektivitas antara passive dan active music therapy yang dilakukan

dalam layanan konseling kelompok pendidikan belum ada, khususnya secara

spesifik untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy yang

dimiliki oleh mahasiswa penyusun skripsi. Penelitian ini diharapkan mampu

menjawab kelemahan penelitian yang telah dilakukan oleh Zarei, Fini, dan

Khajehzadeh (2010) yang membandingkan efektivitas antara tiga jenis pendekatan

yaitu, behavioral, cognitive, dan cognitive-behavioral dalam mereduksi academic

anxiety mahasiswa melalui konseling kelompok. Dari hasil penelitan tersebut

menunjukkan bahwa pendekatan konseling cognitive tidak berhasil mereduksi

academic anxiety dibandingkan dengan pendekatan behavioral, dan cognitive-

behavioral. Hal ini dikarenakan konseling dengan pendekatan cognitive hanya

berfokus pada perubahan dalam aspek kognitif saja, tanpa melihat efek dari emosi

dan perilaku yang ditampilkan akibat academic anxiety. Selain itu juga, penelitian

yang akan dilakukan ini ialah sebagai respon dari hasil penelitian pernah dilakukan

oleh Ghasemzadeh (2011) dengan menggunakan konseling kelompok “systematic

motivational counseling” (SMC), yang menunjukkan hasil yang kurang signifikan

dalam mereduksi academic anxiety. Terakhir, penelitian ini juga merupakan

sebagai tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan oleh Rosanty (2014).

Dari hasil penelitian tersebut, musik dapat digunakan sebagai intervensi untuk
43

menurunkan academic anxiety yang dialami oleh mahasiswa yang sedang

menyusun skripsi. Namun, penelitian ini hanya membuktikan penggunaan musik

Mozart sebagai passive music therapy (terapi musik pasif) saja, dan belum

mengkaji tentang pemberian musik dalam teknik active music therapy (terapi

musik aktif). Hal inilah yang menjadi dasar dalam penelitian lanjutan yang

diharapkan mampu memberikan mozaik baru dalam penelitian-penelitian relevan

yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.

2.2 Kerangka Teoretis

2.2.1 Anxiety

Pada bagian ini, anxiety yang dimaksud meliputi (1) definisi anxiety; (2) gejala-

gejala anxiety; (3) tingkat anxiety; dan (4) ciri-ciri gangguan anxiety. Adapun

penjelasannya sebagai ialah berikut:

2.2.1.1 Definisi Anxiety

Kecemasan atau dalam bahasa Inggris ialah “anxiety”, berasal dari

bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti

mencekik. Kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi

yang bercampur baur yang dimiliki individu. Menurut Freud (dalam Alwisol,

2014) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk

memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya

sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi

sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal


44

kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat

maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Kecemasan adalah

suatu keadaan yang memotivasi individu untuk berbuat sesuatu. Fungsi

kecemasan adalah untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni

sinyal dari ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak

untuk mengatasi ancaman tidak diambil. Apabila tidak bisa mengendalikan

kecemasan melalui cara-cara rasional dan cara-cara langsung, maka ego akan

mengandalkan cara-cara yang tidak realistik, yakni perilaku yang berorientasi

pada pertahanan ego atau defence mechanism (Freud dalam Corey, 2013).

Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan yang

disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis, suatu dorongan yang

menjadi perantara antara situasi yang mengancam dan perilaku menghindar.

Kecemasan dapat diukur dengan self report, dengan mengukur ketegangan

fisiologis dan dengan perilaku yang tampak (Jeffrey, 2005). Dinyatakan juga

oleh Jeffrey (2005) bahwa anxiety atau kecemasan adalah suatu keadaan

aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang

buruk akan segera terjadi.

2.2.1.2 Gejala-gejala Anxiety

Anxiety atau kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak

menyenangkan dan suatu rasa cemas yang mencengkam, keadaan khawatir

akan masa depan atau akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atau adanya

pertentangan dalam diri sehingga rasa cemas itu akan mencengkam dengan
45

menimbulkan reaksi fisik yang juga akan mengganggu. Menurut Dacey

(2000), dalam mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga

komponen, yaitu:

1. Komponen psikologis adalah reaksi yang tampak pada gejala-gejala

psikologis berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman,

takut, cepat terkejut.

2. Komponen fisiologis yaitu tubuh terutama pada organ-organ berupa

jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah

meninggi (mudah emosi), sentuhan dari luar berkurang, gerakan

peristaltik bertambah, gejala fisik (otot), gejala sensorik, gejala

respiratori, gejala gastrointertinal, gejala urogenital.

3. Komponen sosial yaitu sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di

lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa: tingkah laku (sikap) dan

gangguan tidur.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat mengalami kecemasan

seseorang dapat mengalami tiga reaksi yaitu berubahnya keadaan psikologis,

fisiologis, dan keadaan sosial sehingga menyebabkan perilakunya tidak

efektif.

2.2.1.3 Tingkat Anxiety

Gejala anxiety atau kecemasan ada dalam bermacam-macam bentuk dan

kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang

mengalami kecemasan cenderung untuk terus menerus merasa khawatir akan


46

keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang

dikenalnya dengan baik. Stuart & Sundeen (1995) membagi kecemasan

menjadi 4 tingkatan yaitu:

1. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa

kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan

individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar

yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Respon fisiologis:

sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada

lambung, muka berkerut dan bibir bergetar. Respon kognitif: mampu

menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah,

menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi: tidak

dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang

meninggi.

2. Kecemasan sedang

Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun/individu

lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal

lain. Respon fisiologis: sering nafas pendek, tekanan darah naik, mulut

kering, diare/konstipasi, gelisah. Respon kognitif: rangsangan luar tidak

mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya. Respon

perilaku dan emosi: gerakan tersentak-sentak (meremas tangan) bicara

banyak dan lebih cepat, perasaan tidak nyaman.


47

3. Kecemasan berat

Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung

memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain.

Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak

pengarahan/tuntutan. Respon fisiologis: sering bernafas pendek, nadi dan

tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur.

Respon kognitif: lapang persepsi sangat menyempit, tidak mampu

menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi: perasaan ancaman

meningkat, verbalisasi cepat, blocking.

4. Panik

Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak

dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa

walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan. Respon fisiologis: nafas

pendek, rasa tercekik dan berdebar, sakit dada, pucat, hipotensi, tidak

dapat menahan buang air kecil. Respon kognitif: tidak dapat berfikir lagi.

Respon perilaku dan emosi: mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-

teriak, blocking, persepsi kacau.

Berdasarkan kajian di atas, tingkat anxiety (kecemasan) yang menjadi

fokus dalam penelitian ini ialah kecemasan yang berat.

2.2.1.4 Ciri-ciri Gangguan Anxiety

Menurut Jeffrey (2005), kecemasan terdiri dari begitu banyak ciri

fisik, kognisi, dan perilaku seperti:


48

1. Ciri-ciri fisik dari anxiety

Kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh bergetar atau

gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi,

kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dahi, banyak keringat,

telapak tangan berkeringat, pening atau pingsan, mulut atau

kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, bernafas

pendek, jantung berdebar keras atau berdetak kencang, suara yang

bergetar, jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin, pusing,

merasa lemas atau mati rasa, sulit menelan, kerongkongan terasa

tersekat, leher atau punggung terasa kaku, sensasi seperti tercekik atau

tertahan, tangan yang dingin dan lembab, terdapat gangguan sakit perut

atau mual, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa memerah,

diare, merasa sensitif atau mudah marah.

2. Ciri-ciri kognisi dari anxiety

Khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau

aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan

bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada

penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi kebutuhan, sangat waspada

terhadap sensasi kebutuhan, merasa terancam oleh orang atau peristiwa

yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian, ketakutan

akan kehilangan kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk

mengatasi masalah, berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan,


49

berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan, berpikir bahwa

semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir

terhadap hal-hal sepele, berpikir tentang hal mengganggu yang sama

berulang-ulang, berpikir harus bisa lari dari keramaian, kalau tidak

pasti akan pingsan, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan,

tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, berpikir akan

segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah

secara medis, khawatir akan ditinggal sendirian, sulit berkonsentrasi

atau memfokuskan pikiran.

3. Ciri-ciri perilaku dari anxiety

Perilaku menghindar, melekat / dependen, dan terguncang.

Berdasarkan kajian di atas, ciri-ciri gangguan anxiety (kecemasan) yang

menjadi fokus dalam penelitian ini ialah meliputi ciri-ciri fisik, kognisi, dan

perilaku.

2.2.2 Academic Anxiety

Pada bagian ini, academic anxiety yang dimaksud meliputi (1) definisi

academic anxiety; dan (2) karakteristik academic anxiety. Adapun

penjelasannya ialah sebagai berikut:

2.2.2.1 Definisi Academic Anxiety

Menurut Cornell University (2007), academic anxiety atau kecemasan

akademik adalah hasil dari proses biokimia dalam tubuh dan otak yang

meningkat dan membutuhkan perhatian. Perubahan terjadi dalam respon


50

terhadap situasi akademik, seperti menyelesaikan tugas-tugas di

sekolah/universitas, diskusi di kelas atau ketika ujian. Ketika kecemasan

meningkat, tubuh akan memberikan reaksi atau respon untuk menolak atau

memperjuangkannya. Menurut Ottens (1991), academic anxiety atau

kecemasan akademik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya

perasaan cemas yang berlebihan dengan berbagai tugas akademis yang ada

di dalam institusi pendidikan. Ketika kecemasan yang dirasakan oleh

mahasiswa berlebihan maka akan berpengaruh secara negatif karena

mahasiswa mengalami tekanan psikologis, sehingga mahasiswa tersebut

mendapatkan hasil belajar yang kurang baik dan lebih banyak menghindari

tugas. Hal ini disebabkan oleh penurunan rentang perhatian, konsentrasi

dan memori pada mahasiswa. Namun di sisi lain, kecemasan memiliki

pengaruh yang positif terhadap mahasiswa karena dapat memotivasi

mahasiswa untuk menyelesaikan berbagai tugas akademisnya.

Lebih lanjut, Ottens (1991) dan Cornell University (2007)

menjelaskan mengenai hubungan antara anxiety dengan performance

mahasiswa dalam lingkup pendidikan. Jika semakin low (rendah) level of

anxiety seorang mahasiswa, maka akan semakin low (rendah) juga level of

performancenya dalam pencapaian akademik. Selain itu juga, jika semakin

high (tinggi) level of anxiety seorang mahasiswa, maka akan semakin low

(rendah) juga level of performancenya dalam pencapaian akademik.

Namun, jika seorang mahasiswa memiliki level of anxiety yang wajar atau
51

mengarah pada level middle akan cenderung memiliki level of performance

yang high (tinggi). Hal ini yang membuktikan bahwa kecemasan memiliki

pengaruh yang positif terhadap mahasiswa karena dapat memotivasi

mahasiswa untuk menyelesaikan berbagai tugas akademisnya.

(Ottens, 1991 dan Cornell University, 2007)

Gambar 2.1 Hubungan antara Academic Anxiety dan Performance


Mahasiswa

2.2.2.2 Karakteristik Academic Anxiety

Ottens (1991) menyatakan bahwa academic anxiety atau kecemasan

akademik adalah masalah penting yang akan mempengaruhi sejumlah besar

peserta didik. Terdapat empat karakteristik kecemasan akademik, yaitu:

1. Pola kecemasan yang menimbulkan aktivitas mental (patterns of

anxiety-engendering mental activity):


52

Individu menunjukkan pikiran, persepsi, dan pandangan yang mengarah

pada kesulitan akademik yang akan dihadapi. Hal ini melibatkan tiga

aktivitas mental. Pertama dan yang terpenting adalah kekhawatiran.

Individu sering merasa tidak aman dengan menganggap semua yang

dilakukannya salah. Kedua, kecemasan akademik disebabkan karena

self-dialog yang maladaptif. Self-dialog pada individu yang mengalami

kecemasan akademik sering ditandai dengan kritik diri (self-critism)

yang keras, menyalahkan diri, dan kepanikan berbicara pada diri sendiri

(self-talk) yang mengakibatkan timbulnya perasaan cemas dan

berkontribusi merendahkan kepercayaan diri dan mengacaukan individu

dalam pemecahan masalah. Ketiga adalah rendahnya self-efficacy

(keyakinan diri) individu. Individu memiliki keyakinan yang salah

tentang isu-isu penting yang dapat menyebabkan munculnya kecemasan

akademik, seperti bagaimana menetapkan nilai dalam diri, bagaimana

cara memotivasi diri, dan bagaimana cara mengatasi kecemasan.

2. Perhatian yang menunjukkan arah yang salah (misdirected attention):

Ini merupakan masalah besar dalam kecemasan akademik. Pada

umumnya individu diharapkan dapat berkonsentrasi penuh pada tugas-

tugas akademik, seperti membaca buku, ujian, dan mengerjakan tugas

rumah. Akan tetapi, individu yang mengalami kecemasan akademik

membiarkan perhatian mereka teralihkan. Perhatian dapat dialihkan


53

melalui faktor eksternal (perilaku peserta didik lain, jam, suara-suara

bising), atau faktor internal (kecemasan, melamun, dan reaksi fisik).

3. Distres secara fisik (physiological distres):

Banyak perubahan pada tubuh diasosiakan dengan emosi dari kecemasan

menjadi terganggu jika diinterpretasikan sebagai hal yang berbahaya

atau menjadi fokus utama dari perhatian selama tugas akademik

berlangsung.

4. Perilaku yang kurang tepat (innappropriate behaviors):

Individu yang mengalami kecemasan akademik memilih perilaku yang

mengarah pada situasi akademis yang tidak tepat. Menghindar

(prokrastinasi) adalah hal yang umum dijumpai, seperti menghindar dari

melaksanakan tugas (berbicara dengan teman ketika sedang belajar).

Individu yang cemas juga menjawab pertanyaan ujian dengan terburu-

buru atau terlalu teliti untuk menghindari kesalahan dalam ujian.

Tindakan lain yang tidak tepat adalah memaksakan diri ketika dalam

waktu bersantai (relax).

2.2.3 Self-Efficacy

Pada bagian ini, self-efficacy yang dimaksud meliputi (1) definisi self-

efficacy; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy; dan (3) aspek-

aspek self-efficacy. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:

2.2.3.1 Definisi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1986), self-efficacy adalah penilaian seseorang


54

terhadap kemampuannya untuk menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam

menyelesaikan tugas-tugas khusus yang dihadapi. Self-efficacy tidak

berkaitan langsung dengan kecakapan yang dimiliki individu, melainkan

pada penilaian diri tentang apa yang dapat dilakukan, tanpa terkait dengan

kecakapan yang dimiliki. Di samping itu, Schultz (2005) mendefinisikan

self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan

kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Baron dan Byrne (dalam

Ghufron & Rini, 2010) mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi

seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan

suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan mengatasi hambatan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-

efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap

kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan

tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan

mencapai tujuan yang diharapkannya.

2.2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy

Bandura (1986) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi self-efficacy seseorang, yakni:

1. Pencapaian kinerja (performance attainment)

Hasil yang diharapkan secara nyata merupakan sumber penting

tentang informasi self-efficacy karena didasari oleh pengalaman otentik

yang telah dikuasai (Bandura, Adam, & Beyer; Biran & Wilson; Felzt,
55

Landers, & Reader, dalam Bandura, 1986). Keberhasilan yang diperoleh

akan membawa seorang pada tingkat self-efficacy yang lebih tinggi,

sedangkan kegagalan akan merendahkan self-efficacy, terutama jika

kegagalan tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan

disebabkan oleh kurangnya usaha atau juga karena hambatan dari faktor

eksternal. Keberhasilan yang terjadi karena bantuan dari faktor eksternal

atau keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai hasil dari

kemampuan sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap

peningkatan self-efficacy. Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman

baru tergantung pada sifat dan kekuatan dari persepsi diri yang ada

sebelumnya. Setelah self-efficacy terbentuk karena keberhasilan yang

berulang, kegagalan yang muncul terhadap kemampuannya.

2. Pengalaman orang lain (vicarious experience)

Self-efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman orang lain.

Individu yang melihat atau mengamati orang lain yang mencapai

keberhasilan dapat menimbulkan persepsi self-efficacy-nya. Dengan

melihat keberhasilan orang lain, individu dapat meyakinkan dirinya

bahwa ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang yang ia

amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain dapat

melakukannya, ia juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang

melihat bahwa orang lain yang memiliki kemampuan yang sama ternyata

gagal meskipun ia telah berusaha dengan keras, maka dapat menurunkan


56

penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga akan mengurangi

usaha yang akan dilakukan (Brown & Inonye dalam Bandura, 1986).

Ada kondisi-kondisi di mana penilaian terhadap self-efficacy

khususnya sensitif pada informasi dari orang lain. Pertama adalah

ketidakpastian mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self-

efficacy dapat diubah melalui pengaruh modeling yang relevan ketika

seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian

kemampuannya. Karena pengetahuan yang dimiliki tentang kemampuan

diri sendiri sangat terbatas, maka individu tersebut lebih bergantung pada

indikator yang dicontohkan (Tataka & Tataka dalam Bandura, 1986).

Kedua adalah penilaian self-efficacy selalu berdasarkan kriteria di mana

kemampuan dievaluasi (Festinger; Suls & Miller dalam Bandura, 1986).

Kegiatan yang dapat memberikan informasi eksternal mengenai tingkat

kinerja dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi

sebagian besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup

memenuhi, sehingga penilaian self-efficacy diukur melalui

membandingkannya dengan kinerja dari orang lain (Bandura, 1986).

3. Persuasi verbal (verbal persuasion)

Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada

seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk

mencapai apa yang diinginkan. Seseorang yang berhasil diyakinkan

secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang lebih keras jika
57

dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya

memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun,

peningkatan keyakinan individu yang tidak realistis mengenai

kemampuan diri hanya akan menemui kegagalan. Hal ini dapat

menghilangkan kepercayaan self-efficacy orang yang dipersuasi.

4. Keadaan dan reaksi psikologis (physicological state).

Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber

informasi untuk memberikan penilaian terhadap kemampuan

dirinya. Individu merasa gejala-gejala somatik atau ketegangan yang

timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda bahwa ia tidak

dapat untuk menguasai keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini

dapat menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan

kekuatan dan stamina tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa

sakit yang ia alami merupakan tanda-tanda kelemahan fisik dan hal ini

menurunkan keyakinan akan kemampuan fisiknya.

2.2.3.3 Aspek-aspek Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), keyakinan akan kemampuan diri individu

dapat bervariasi pada masing-masing dimensi. Dimensi-dimensi tersebut

yaitu:

1. Tingkat (level) / magnitude

Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas di mana individu

merasa mampu atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan diri


58

individu berbeda-beda. Konsep dalam dimensi ini terletak pada

keyakinan individu atas kemampuannya terhadap tingkat kesulitan tugas.

Jika individu dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat

kesulitannya, maka keyakinan individu akan terbatas pada tugas-tugas

yang mudah, kemudian sedang, hingga tugas-tugas yang paling sulit,

sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi

tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Individu

yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang

tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

2. Kekuatan (strength)

Dimensi ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau

kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan

bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang

sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar

bagi dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui

hambatan sekalipun. Orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan

bertekun pada usahanya, meskipun pada tantangan yang sulit, tidak

mudah merasa putus asa terhadap rintangan yang dialami. Dimensi ini

mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya.

Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan individu.

3. Keluasan (Generality)

Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan individu akan


59

kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Aktivitas yang

bervariasi menuntut individu yakin atas kemampuannya dalam

melaksanakan tugas atau aktivitas tersebut, apakah individu merasa

yakin atau tidak. Dengan semakin banyak self-efficacy yang dapat

diterapkan pada berbagai kondisi maka semakin tinggi self-efficacy

seseorang. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu

menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas.

Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai

sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

Individu mungkin yakin akan kemampuannya pada banyak bidang atau

hanya beberapa bidang tertentu, misalnya seorang mahasiswa

yakin akan kemampuannya pada mata kuliah statistik tetapi ia tidak

yakin akan kemampuannya pada mata kuliah bahasa inggris, atau

seseorang yang ingin melakukan diet, yakin akan kemampuannya dapat

menjalankan olahraga secara rutin, namun ia tidak yakin akan

kemampuannya mengurangi nafsu makan, itulah mengapa dietnya tidak

berhasil.

2.2.4 Konseling Kelompok

2.2.4.1 Definisi Konseling Kelompok

Konseling kelompok adalah bagian dari proses pendidikan yang

teratur dan sistematis yang terwujud dalam suatu proses pemberian bantuan
60

yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli yang

disebut konselor kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah

pada akhirnya individu atau klien itu dapat mengatasi masalah yang

dihadapinya. Proses bantuan itu melalui kegiatan dinamika kelompok

(Prayitno, 2013).

Menurut Gibson dan Mitchell (2011) konseling kelompok adalah

proses interpersonal yang dipimpin oleh konselor yang terlatih secara

profesional dan dilaksanakan dengan individu-individu yang sedang

menghadapi problem-problem perkembangan khusus. Hal itu berfokus

pada pikiran, perasaan, sikap, nilai, tujuan tingkah laku dan tujuan individu

dan grup secara keseluruhan. Konseling kelompok merupakan sebuah

layanan bantuan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan sebuah

dinamika, sedangkan dinamika akan tercipta apabila hubungan

interpersonal di dalam kelompok dapat berjalan dengan baik.

Lebih lanjut, Wibowo (2005) mengatakan bahwa konseling kelompok

adalah suatu proses interpersonal yang dinamis yang menitikberatkan

(memusatkan) pada kesadaran berpikir dan tingkah laku, melibatkan fungsi

terapeutik, berorientasi pada kenyamanan, ada rasa saling percaya

mempercayai, ada pengertian, penerimaan dan bantuan. Serupa dengan

pendapat Winkel dan Hastuti (2011), konseling kelompok yaitu suatu

proses antarpribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan

perilaku yang disadari.


61

Corey (2012) memberi pengertian konseling kelompok adalah sebuah

proses interpersonal yang dinamis yang terfokus pada kesadaran, pikiran

dan perilaku yang berguna sebagai fungsi terapi, pemahaman yang benar,

pelepasan (katarsis), membangun kepercayaan saling peduli, saling

memahami, saling menerima, dan saling mendukung. Gladding (2012)

menyatakan bahwa kerja kelompok itu dapat saling membantu apa yang

menjadi kebutuhan mereka. Di sana ada proses dinamika, saling mengubah

saling menghargai, saling menyembuhkan, dan mempromosikan. Dengan

kata lain kerja kelompok itu dapat menjadi wahana pengembangan diri ke

arah keterampilan hidup (life skill) yang baik. Nilai-nilai yang tumbuh

dalam kerja kelompok juga sejalan dengan nilai-nilai yang ingin diperoleh

dari kegiatan layanan konseling kelompok.

Selanjutnya, menurut White (2010) konseling kelompok membantu

para anggota mengurangi dampak dari keyakinan negatif dan

mengembangkan pengalaman hidup saat ini yang lebih bermanfaat. Dalam

prosesnya, akan ada penciptaan keyakinan positif berdasarkan pengalaman

nyata dari perasaan dicintai dari sesama anggota kelompok.

Menurut Brabender dan Fallon (2009) konseling kelompok sangat

membantu dalam membantu anggota kelompok dalam menempatkan

struktur informasi yang membingungkan dalam konteks dan menyediakan

kerangka kerja untuk mengatur dan menggunakan informasi tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, konseling kelompok terlepas dari teori orientasi


62

atau pengalaman mereka, bisa mendapatkan keuntungan yang diperoleh

dari pengetahuan tentang bagaimana kelompok berkembang dan belajar

keterampilan yang dibutuhkan untuk efek perubahan dari sudut pandang

perkembangan.

Layanan konseling kelompok memungkinkan sejumlah anggota

kelompok yang secara bersama-sama memperoleh berbagai informasi dari

nara sumber yaitu guru pembimbing, serta informasi dari teman-teman

anggota kelompoknya yang berguna untuk menunjang kehidupan sehari-

hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok, yang pada

akhirnya ia dapat mengambil keputusan sendiri.

Layanan konseling kelompok dan bimbingan kelompok memang

hampir sama. Bedanya hanya terletak pada muatan materi yang

didukungnya. Pada konseling kelompok materi yang didukungnya bersifat

individual, sedangkan topik pada bimbingan kelompok bersifat umum.

Prayitno (2013) mencirikan kelompok sebagai berikut: (1) adanya interaksi

di antara orang-orang dalam kumpulan itu, (2) adanya ikatan emosional

sebagai pernyataan kebersamaan, (3) ada tujuan bersama yang ingin

dicapai, (4) adanya kepatuhan terhadap pimpinan, (5) adanya norma yang

harus ditaati bersama.

Dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok merupakan layanan

bantuan yang diberikan kepada konseli yang dilaksanakan dalam suasana

kelompok, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut pemimpin kelompok.


63

Dalam konseling kelompok terdapat dinamika kelompok yang sangat

bermanfaat untuk membantu dalam mengentaskan masalah anggota

kelompok.

2.2.4.2 Tujuan Konseling Kelompok

Setiap layanan yang dilaksanakan selalu memiliki tujuan yang akan

dicapai, begitu pula dengan konseling kelompok. Adapun tujuan konseling

kelompok menurut Wibowo (2005) adalah pengembangan diri,

pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-

masing anggota kelompok, agar terhindar dari masalah, dan masalah

terselesaikan dengan cepat melalui bantuan dari anggota kelompok yang

lain. Menurut Gibson dan Mitchell (2011), konseling kelompok bertujuan

untuk membantu konseli mengatasi masalah mereka melalui penyesuaian

diri dan perkembangan kepribadian hari ke hari. Beberapa hal yang

menjadi gambaran tujuan konseling kelompok menurut Corey (2012),

antara lain:

1. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri, serta untuk

mengembangkan identitas sebagai pribadi yang unik.

2. Untuk mengetahui kesamaan kebutuhan dan masalah sesama anggota

dan untuk mengembangkan rasa keterhubungan.

3. Untuk membantu anggota kelompok belajar bagaimana membangun

hubungan yang intim dan bermakna.


64

4. Untuk membantu anggota kelompok dalam menemukan sumber daya

dalam keluarga dan masyarakat sebagai cara mengatasi keprihatinan

mereka.

5. Untuk meningkatkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri dan

untuk mencapai pandangan baru tentang diri sendiri dan orang lain.

6. Untuk mempelajari cara mengekspresikan emosi dengan cara yang

sehat.

7. Untuk mengembangkan kepedulian dan kasih sayang untuk kebutuhan

dan perasaan orang lain.

8. Untuk menemukan cara alternatif dalam menangani masalah yang

sedang berkembang dan untuk menyelesaikan konflik tertentu.

9. Untuk meningkatkan pengarahan diri sendiri, saling ketergantungan,

dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

10. Untuk menjadi sadar akan pilihan seseorang dan mampu membuat

pilihan yang bijak.

11. Untuk membuat rencana yang spesifik untuk mengubah perilaku

tertentu.

12. Untuk mempelajari keterampilan sosial yang lebih efektif.

13. Untuk mempelajari cara dalam menantang orang lain secara baik-baik,

peduli, jujur dan terus terang.

14. Untuk memperjelas nilai-nilai seseorang dan memutuskan apa dan

bagaimana mengubah perilaku mereka.


65

2.2.5 Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Konseling pendekatan CBT adalah konseling yang berfokus pada wawasan

yang menekankan pada proses untuk mengubah pikiran negatif dan keyakinan

maladaptif yang dimiliki oleh individu (Corey, 2013). Inti dari pendekatan CBT

didasarkan pada alasan teoritis mengenai cara manusia merasa dan berperilaku,

yang ditentukan oleh bagaimana mereka memandang dan menstruktur

pengalaman mereka sendiri. Asumsi teoritis konseling CBT adalah bahwa

komunikasi internal manusia dapat diakses oleh introspeksi, bahwa

kepercayaan konseli memiliki makna yang sangat pribadi, dan bahwa makna ini

dapat ditemukan oleh konseli dari apa yang dipelajari atau ditafsirkan oleh

konseli.

Konseling CBT pada hakekatnya memiliki tujuan untuk mengubah cara

berpikir konseli yang maladaptif dengan membantu mereka menyadari

automatic thought (pikiran-pikiran otomatis) dan distorsi kognitif yang

bersumber pada core belief yang telah menetap. Maka hal yang perlu untuk

dilakukan adalah dengan membantu individu menstruktur kembali pikiran-

pikiran negatif yang dimiliki menuju pikiran-pikiran yang lebih adaptif.

Individu cenderung untuk mempertahankan keyakinan mereka tentang diri

mereka sendiri, dunia mereka, dan masa depan mereka. Fokus utama dari

konseling CBT adalah untuk membantu konseli dalam menguji dan

merestrukturisasi keyakinan inti yang mereka miliki. Dengan mendorong

konseli untuk mengumpulkan dan mempertimbangkan bukti yang mendukung


66

keyakinan mereka tersebut, konselor membantu konseli untuk mengubah

suasana hati dan perilaku mereka (Corey, 2013).

2.2.5.1 Tujuan Pendekatan CBT

Jika seseorang sering mengalami pikiran maladaptif dapat

menyebabkan stres atau gangguan psikologis. Tujuan dasar dari CBT adalah

untuk menghilangkan prasangka atau distorsi kognitif sehingga individu dapat

berfungsi lebih efektif. Distorsi kognitif ditantang, diuji, dan dibahas untuk

membawa perasaan, perilaku, dan pemikiran yang lebih positif (Corey, 2013).

Sehingga, ketika pikiran maladaptif sering terjadi pada individu, pendekatan

CBT berguna untuk mencari pikiran maladaptif dan membantu individu

memahami kesalahan berpikir dan membuat perubahan di pemikiran konseli.

2.2.5.2 Karakteristik CBT

CBT memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari

pendekatan lain. Hal ini bergantung pada prinsip-prinsip dan prosedur dari

metode ilmiah, dan prinsip-prinsip eksperimen yang berasal dari pembelajaran

secara sistematis yang diterapkan untuk membantu individu dalam mengubah

perilaku maladaptif. Menurut Corey (2012), karakteristik khas yang

membedakannya dengan pendekatan lainnya adalah CBT memiliki kegiatan

yang sistematis untuk tujuan spesifik dan evaluasi. Konsep dan prosedur

dinyatakan secara eksplisit, diuji secara empiris, dan terus direvisi. Penilaian

dan pengobatan terjadi secara bersamaan. Adapun karakteristiknya meliputi:


67

1. Penilaian perilaku

Penilaian perilaku terdiri dari satu set prosedur yang digunakan untuk

mendapatkan informasi yang akan memandu pengembangan rencana

perawatan spesifik untuk setiap konseli dan membantu mengukur

efektivitas pengobatan. Menurut Corey (2012), penilaian perilaku

melibatkan lima karakteristik yang konsisten dengan terapi perilaku; (1)

penilaian perilaku ditujukan untuk mengumpulkan informasi yang unik dan

rinci tentang masalah konseli; (2) berfokus pada fungsi dan kondisi

kehidupan konseli saat ini; (3) berkaitan dengan pengambilan sampel dari

perilaku konseli untuk memberikan informasi tentang bagaimana konseli

biasanya berfungsi dalam berbagai situasi; (4) fokus yang sempit daripada

berurusan dengan seluruh kepribadian konseli, dan (5) terintegrasi dengan

terapi.

2. Tujuan utama terapi

Aspek yang paling unik dari konseling kelompok CBT adalah

mengenai tujuan perubahan yang spesifik. Pendekatan CBT untuk terapi

kelompok lebih berfokus pada daerah tujuan perubahan yang spesifik

dibandingkan dengan pendekatan yang lainnya. Pada konseling kelompok

CBT, tahap awal kerja kelompok yang dikhususkan untuk konseli

memperluas langkah penilaian mereka dengan merumuskan pernyataan

spesifik dari tujuan pribadi yang ingin mereka capai. Tujuan identifikasi

menentukan arah gerakan terapi. Meskipun pemimpin kelompok memandu


68

diskusi dan bekerja sama dengan anggota, anggota kelompok sendiri

memilih tujuan pribadi mereka (Corey, 2012). Anggota kelompok

menguraikan perilaku bermasalah yang ingin mereka ubah dan

keterampilan baru yang mereka ingin pelajari. Tujuan pribadi yang diatur

oleh konseli, mungkin mengurangi kecemasan dalam situasi ujian,

menghilangkan fobia yang mengganggu fungsi efektif, mengatasi depresi,

belajar keterampilan dalam komunikasi, mengembangkan strategi

pemecahan masalah untuk mengatasi berbagai situasi yang dihadapi dalam

kehidupan sehari-hari, menurunkan berat badan, dan menyingkirkan

kecanduan (untuk merokok, alkohol, atau obat lain). Pada awal setiap sesi

agenda diatur untuk memprioritaskan tujuan anggota dan untuk

menjelaskan bagaimana waktu akan dipergunakan. Agenda ini diciptakan

oleh anggota dan pemimpin kelompok. Sebuah kelompok CBT yang

terbaik adalah yang memiliki usaha kolaboratif.

3. Rencana treatment

Setelah anggota menentukan tujuan mereka, rencana pengobatan untuk

mencapai tujuan tersebut dirumuskan. Teknik perilaku kognitif berorientasi

pada tindakan; anggota diharapkan untuk mengambil peran aktif dengan

tugas, bukan hanya bersikap pasif dan hanya berbicara tentang masalah

mereka sendiri. Awalnya, pemimpin kelompok secara umum

mengembangkan rencana secara kolaboratif yang mencakup setiap anggota

kelompok. Setelah penilaian awal dilaksanakan, peserta kelompok


69

bersama-sama dengan pemimpin kelompok menetapkan strategi intervensi

yang mungkin digunakan dalam proses konseling yang akan dilaksanakan.

Pada akhirnya, orang yang memiliki masalah adalah penentu dari strategi

atau tindakan yang harus diambil. Beberapa teknik yang paling umum

digunakan adalah modeling, pembentukan, latihan perilaku, pembinaan,

pekerjaan, umpan balik, restrukturisasi kognitif, desensitisasi, pemecahan

masalah, meditasi, latihan relaksasi (melalui musik), manajemen stres, dan

pemberian informasi.

4. Evaluasi tujuan

Setelah sasaran perilaku telah diidentifikasi dengan jelas, tujuan

pengobatan tertentu, dan prosedur terapi digambarkan, hasil terapi dapat

secara obyektif dinilai. Karena kelompok CBT menekankan pentingnya

mengevaluasi keefektifan teknik yang mereka gunakan, penilaian kemajuan

konseli ke arah tujuan mereka masing-masing. Jika kelompok bertemu

selama 10 minggu untuk pelatihan keterampilan sosial, misalnya, data

dasar tentang keterampilan ini kemungkinan akan diambil pada sesi awal.

Pada setiap sesi berikutnya penilaian perubahan perilaku dapat dilakukan

sehingga anggota dapat menentukan bagaimana tingkat keberhasilan yang

sudah terpenuhi. Menyediakan anggota dengan umpan balik adalah bagian

penting dari konseling kelompok CBT ini.

Keputusan untuk menggunakan teknik-teknik tertentu berdasarkan

keefektifan yang dimiliki. Kisaran teknik ini cukup luas, dan banyak
70

praktisi konseling kelompok CBT sangat eklektik dalam pilihan mereka

dari prosedur perawatan. Mereka bersedia untuk menarik teknik dari

banyak pendekatan terapi dalam membantu anggotanya mengubah pola

berpikir mereka, perasaan, dan perilaku.

2.2.6 Konseling Kelompok Pendekatan CBT

Konseling kelompok CBT membantu untuk menetapkan tujuan individual

dan keterampilan mengatasi masalah. Konseling kelompok pendekatan CBT

melibatkan partisipasi dan keterlibatan anggota secara bertahap untuk menetapkan

tujuan, perencanaan, pengambilan keputusan, dan saling membantu orang lain

(Corey, 2012). Adapun tahapan konseling kelompok pendekatan CBT adalah

sebagai berikut (Corey, 2012):

1. Tahap Awal (Initial Stage)

Calon anggota kelompok umumnya hanya mengetahui sedikit mengenai

program perilaku kognitif. Jadi, untuk memberikan semua informasi terkait

tentang proses kelompok sebelum para anggota bergabung. Anggota kelompok

harus diberi tahu mengenai apa itu CBT, bagaimana cara kerjanya, dan apa

yang unik dari pendekatan CBT.

Selama fase awal konseling kelompok, anggota mempelajari bagaimana

fungsi kelompok dan bagaimana masing-masing sesi disusun berdasarkan

tujuan. Pada tahap ini berhubungan dengan membantu para anggota kelompok

untuk berkenalan satu sama lain, mengorientasikan para anggota kelompok,

meningkatkan motivasi anggota kelompok, memberikan harapan bahwa


71

perubahan itu memungkinkan, mengidentifikasi area masalah untuk eksplorasi,

menciptakan rasa aman, dan membangun kohesi awal.

Membangun kohesi adalah pondasi untuk kerja efektif selama setiap

tahap pengembangan kelompok, dan pemimpin memiliki peran sentral dalam

membangun kepercayaan dan menciptakan iklim “keselamatan”. Setiap sesi

dibuka oleh anggota kelompok yang check-in dengan menyatakan

perkembangan yang signifikan satu seminggu, melaporkan pekerjaan rumah

mereka, dan mengidentifikasi topik atau isu yang ingin mereka masukkan ke

dalam agenda sesi. Jika pemimpin tidak memperhatikan proses kelompok,

tinjauan ulang ini mungkin menjadi deenergizing karena setiap orang dapat

melaporkan bagaimana pekerjaan rumahnya.

Reinecke dan Freeman (dalam Corey, 2012) menyarankan agar setiap sesi

diakhiri dengan ulasan atau ringkasan sesi. Proses ini, yang paling baik

dilakukan oleh anggota kelompok, memberi kesempatan kepada para anggota

kelompok untuk mengklarifikasi tujuan mereka dan mengidentifikasi wawasan

dan keterampilan yang telah dieksplorasi.

2. Tahap Kerja: Perencanaan Perlakuan dan Penerapan Teknik (Working Stage:

Treatment Plan and Techniques Application)

Perencanaan perlakuan melibatkan pemilihan seperangkat prosedur yang

paling sesuai dari beberapa strategi spesifik yang telah terbukti efektif dalam

mencapai perubahan perilaku. Penilaian dan evaluasi berlanjut sepanjang tahap


72

kerja, dan pemimpin kelompok harus terus mengevaluasi tingkat keefektifan

sesi dan seberapa baik pencapaian tujuan pengobatan.

Untuk melakukan evaluasi ini selama tahap kerja, para pemimpin terus

mengumpulkan data mengenai hal-hal seperti partisipasi, kepuasan anggota,

kehadiran, dan penyelesaian tugas yang disepakati di antara sesi. Penilaian ini

juga mencakup mengumpulkan data untuk menentukan apakah ada masalah

dalam kelompok dan sejauh mana tujuan kelompok tercapai. Sepanjang

jalannya kelompok, individu memantau perilaku dan situasi di mana hal

tersebut terjadi. Dengan cara ini mereka dapat dengan cepat menentukan

strategi yang efektif atau tidak efektif. Dengan proses evaluasi yang terus

berlanjut ini, baik anggota maupun pemimpin memiliki dasar untuk melihat

strategi alternatif dan strategi yang lebih efektif.

3. Tahap Pengakhiran (Final Stage)

Pada tahap pengakhiran dari konseling kelompok CBT, pemimpin

kelompok bersama dengan para anggota kelompok mentransfer perubahan yang

telah mereka tunjukkan dalam kelompok, ke lingkungan hidup mereka sehari-

hari. Sesi latihan yang melibatkan simulasi dunia nyata digunakan untuk

mempromosikan transfer perubahan kea rah yang lebih baik ini.

Anggota melatih apa yang ingin mereka katakan kepada orang-orang

yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempraktikkan perilaku

baru yang lebih adaptif. Umpan balik dari orang lain dalam kelompok, bersama

dengan pembinaan, dapat sangat berguna pada tahap akhir. Sesi dirancang
73

secara sistematis sehingga perilaku baru secara bertahap terbawa ke dalam

kehidupan sehari-hari. Meskipun persiapan untuk generalisasi dan

pemeliharaan perubahan perilaku diberi fokus khusus pada tahap akhir, namun

hal ini merupakan karakteristik khas dari semua fase konseling kelompok CBT.

Proses konsolidasi dan mengembangkan strategi untuk mentransfer apa

yang dipelajari dalam kelompok ke kehidupan sehari-hari adalah tujuan utama

dari tahap akhir. Penghentian dan tindak lanjut merupakan salah satu perhatian

khusus dalam kelompok CBT. Wawancara lanjutan jangka pendek dan jangka

panjang dapat dilakukan, untuk menentukan hasil kelompok. Wawancara

lanjutan dapat berfungsi sebagai "sesi pendorong" yang membantu anggota

mempertahankan perilaku yang berubah dan terus terlibat dalam perubahan

yang diarahkan sendiri.

Sesi tindak lanjut memberi kesempatan kepada para anggota kelompok

untuk meninjau kembali apa yang telah mereka pelajari, untuk memperbarui

kelompok tentang bagaimana keadaan mereka, dan untuk mendorong anggota

agar bertanggung jawab atas perubahan atau kekurangan mereka.

Dari penjelasan di atas langkah konseling kelompok pendekatan CBT

dalam penelitian ini adalah: (1) tahap awal, yakni menjelaskan tentang

konseling kelompok CBT kepada anggota kelompok dan membangun kohesi;

(2) tahap kerja, yakni menerapkan teknik spesifik yakni teknik passive music

therapy dan active music therapy; (3) tahap pengakhiran, yakni anggota

kelompok mempertahankan perubahan yang diperoleh dari tahap kerja; (4)


74

tindak lanjut, yakni memberikan posttest 2 dan melakukan wawancara tentang

passive music therapy dan active music therapy untuk mengetahui keberhasilan

teknik.

2.2.6.1 Peran Pemimpin Kelompok CBT

Corey (2012) menjelaskan bahwa peran pemimpin kelompok ialah

membantu anggota kelompok dalam memecahkan masalah dan mengembangkan

keterampilan baru. Pemimpin kelompok harus terampil dalam berbagai intervensi

singkat yang ditujukan, agar efisien dan efektif. Pemimpin kelompok CBT,

mengasumsikan bahwa anggota kelompok belajar dan berlatih keterampilan sosial

dalam kelompok, sehingga mereka dapat berperilaku untuk hidup sehari-hari.

Peran pemimpin kelompok pada pendekatan CBT memiliki struktur yang

rinci, berorientasi masalah dan cenderung memanfaatkan intervensi jangka

pendek. Adapun beberapa peran dari pemimpin kelompok kognitif perilaku di

antaranya: (a) pemimpin kelompok menarik beragam teknik yang dirancang untuk

mencapai tujuan bersama, (b) pemimpin memberikan penguatan kepada anggota

untuk mengembangkan keterampilan baru, (c) pemimpin mengajarkan anggota

kelompok bahwa mereka bertanggung jawab untuk menjadi terlibat baik dalam

kelompok maupun di luar kelompok, (d) pemimpin membantu anggota kelompok

untuk berlatih keterampilan baru dan menerapkannya di rumah serta arahan yang

tepat dibuat ketika tujuan yang wajar belum tercapai.

Fungsi utama dari pemimpin adalah melayani sebagai model perilaku

yang tepat dan mempersiapkan anggota sebagai model dengan peran bermain
75

untuk satu sama lain. Pemimpin kelompok diharapkan mampu menerapkan

pengetahuan mereka tentang prinsip-prinsip perilaku dan keterampilan untuk

penyelesaian masalah. Dalam pandangan Bandura, salah satu proses yang

mendasar di mana konseli belajar perilaku baru adalah imitasi dari pemodelan

sosial yang disediakan oleh konselor. Oleh karena itu, pemimpin kelompok harus

menyadari dampak dari nilai-nilai mereka, sikap, dan perilaku pada anggota

kelompok, serta perilaku model anggotanya satu sama lain.

2.2.7 Asumsi Masalah Academic Anxiety menurut CBT

Berdasarkan konsep dasar terkait academic anxiety yang telah dijelaskan

sebelumnya, bahwa academic anxiety merupakan penilaian subyektif atau sikap

individu tentang pikiran, persepsi, dan pandangan yang mengarah pada kesulitan

akademik yang akan dihadapi. Penilaian individu terhadap kesulitan akademik

berdasarkan pengalaman atau peristiwa, ketika individu dihadapkan pada peristiwa

atau pengalaman masa lalu, maka akan mempengaruhi cara individu menghadapi

masalah, meliputi cara berpikir, perasaan yang ditimbulkan, perilaku yang

dilakukan, serta reaksi tubuh yang muncul. Sehingga dibutuhkan suatu pendekatan

yang memandang masalah individu dari bagaimana individu tersebut berpikir,

merasa, dan berperilaku terhadap tubuhnya. Pendekatan yang tepat adalah

pendekatan kognitif perilaku (CBT).

Model kognitif perilaku (CBT) terdiri dari hierarki pikiran yang dibagi

menjadi tiga bagian utama yaitu: (a) Negative Automatic Thoughts (NATs):

pikiran yang muncul secara otomatis, cepat, dan tanpa sadar dari dalam pikiran
76

ketika seseorang sedang mengalami stres atau emosi negatif terkait dengan

kesulitan akademik yang akan dihadapi, seperti pikiran “skripsi itu sulit”, “skripsi

itu adalah sesuatu yang menakutkan”, dll, kemudian (b) Asumsi dasar, merupakan

asumsi yang mendasari dan memandu perilaku individu sehari-hari, menetapkan

standar, nilai-nilai hidup, dan aturan untuk hidup. Selanjutnya adalah (c)

Keyakinan inti (core belief), merupakan keyakinan paling dasar tentang diri, yaitu

keyakinan bahwa tidak mampu secara akademik dan keyakinan tidak berdaya.

Keyakinan individu terhadap ketidakberdayaan ini seperti, “saya tidak sanggup

mengerjakan skripsi karena kemampuan akademis saya kurang mumpuni”, “saya

tidak memiliki kemampuan menulis yang baik”, dll. Keyakinan inti (core belief)

inilah yang telah menetap dan dapat memunculkan distorsi kognitif, yaitu kondisi

yang mencirikan pikiran depresif tentang kesulitan akademik yang akan dihadapi,

sehingga individu mengalami masalah dan memiliki gambaran tertentu dari

masalahnya tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika

individu memiliki academic anxiety maka akan mengakibatkan gangguan

emosional seperti: tidak percaya diri, kecemasan, depresi, dll. Kondisi yang

mencirikan pikiran depresif ini muncul karena adanya distorsi kognitif atau

pikiran-pikiran negatif terkait ketidakberdayaan atau ketidakmampuannya dalam

hal akademik. Distorsi kognitif terbentuk dari core belief yang telah menetap yaitu

merupakan keyakinan paling dasar tentang diri, adanya keyakinan tidak mampu

secara akademik dan keyakinan tidak berdaya, keyakinan-keyakinan ini terbentuk


77

berdasarkan pengalaman atau peristiwa yang dialami oleh individu. Sehingga

ketika individu mengalami masalah terkait academic anxiety, maka hal yang perlu

untuk dilakukan adalah dengan membantu individu menstruktur kembali pikiran-

pikiran negatif yang dimilki menuju pikiran-pikiran yang lebih adaptif. Berikut ini

merupakan bentuk adaptasi konsep “Hot Cross Bun” (HCB) dan CBT untuk

Academic Anxiety:
78

Pengalaman Masa Lalu


Misal: Mengalami kegagalan akademis (seperti tidak naik kelas, atau mendapatkan
nilai yang jelek), mendapat label sebagai anak yang kurang pandai dari lingkungan
semasa kecil, tuntutan orang tua untuk nilai akademis terlalu tinggi.

Keyakinan Diri (Core Belief)


Misal: “Saya tidak sanggup mengerjakan skripsi karena kemampuan akademis saya
kurang mumpuni”, “saya tidak memiliki kemampuan menulis yang baik”, “saya sulit
menulis skripsi dengan baik karena saya kurang pandai”, “saya adalah anak yang
bodoh atau tidak berdaya”, dll.

Distorsi Kognitif
Misal: “Jika saya pintar, saya akan dapat mengerjakan skripsi dengan baik”,
“namun jika saya bodoh, saya tidak akan dapat mengerjakan skripsi dengan baik”,
“orangtua saya menganggap bahwa saya adalah orang yang tidak berdaya atau
bodoh maka orang lain akan melakukan hal yang sama”, “kemampuan menulis saya
buruk, itu menandakan bahwa saya tidak dapat menyusun skripsi dengan baik”.

Pemicu (Peristiwa dan Situasi)


Misal: Skripsi merupakan tugas akhir yang cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran;
cukup banyak mahasiswa yang mengganggap skripsi sebagai hal yang menakutkan,
media berita melaporkan kasus bunuh diri banyak terjadi pada mahasiswa penyusun
skripsi, jumlah bobot SKS skripsi yang begitu besar sehingga menuntut mendapatkan
nilai yang ideal agar tidak mengganggu IPK, mendapat label negatif dari orang lain
jika tidak dapat lulus dengan tepat waktu.
HOT CROSS BUN

Pikiran Otomatis (Automatic Thought)


Misal: ”Saya bodoh atau tidak berdaya,”Saya tidakdapat menyusun skripsi
dengan baik karena saya bodoh”, “kemampuan menulis saya tidak baik”,
”saya tidak sepintar teman saya”.

Reaksi Tubuh Perasaan


Jantung berdebar, sulit tidur, Ketidakpuasan terhadap
keringat dingin, gemetar, dll. kemampuan akademik,
harga diri rendah, tidak
percaya diri dengan
kemampuan, cemas
dan takut gagal, cemas
tidak dapat lulus.
Perilaku
Prokrastinasi, menghindari dosen, dan melakukan aktivitas non-productive

Hasil
Academic anxiety terhadap skripsi tinggi, Self-efficacy rendah
79

2.2.8 Konseling Kelompok CBT dengan Music Therapy

Dalam pendekatan konseling integrative approach, penggunaan musik dalam

proses konseling disebut dengan music therapy (Capuzzi & Gross, 2011; Sharf,

2012). Gladding (2016) menyarankan bahwa dalam proses konseling yang

modern diharapkan para konselor dapat mengintegrasikan terapi seni dalam

proses bantuan terhadap konseli. Salah satu terapi seni yang dapat menembus

batas-batas budaya ialah melalui musik. Siapapun menyukai musik, tanpa

memandang usia, gender, suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan

lainnya (Djohan, 2006).

Dalam penelitian ini menggunakan teknik passive dan active music therapy

berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002),

Djohan (2006), Natalia (2013), dan Gladding (2016) yang berpusat pada teori

pendekatan utama Cognitive Behavior Therapy (CBT). Kedua teknik tersebut

dielaborasikan ke dalam salah satu layanan konseling, yaitu konseling kelompok

yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Wibowo (2005), dan Corey

(2012). Menurut Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002), perkembangan music

therapy di dunia dewasa ini dalam praktiknya banyak berpusat pada teori

Behavior, yang secara spesifik lebih mengarah pada Cognitive Behavior Therapy

(CBT). Penelitian mutakhir mengenai music therapy yang berpusat pada teori

CBT dalam pelaksanaan konseling telah banyak dilakukan, yaitu di antaranya

penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2017), Gómez Gallego dan Gómez

Garcia, (2017), Stamoua et al. (2016), Gomez-Romero et al. (2016), Vargas


80

(2015), Spahn (2015), Hui-Chi Li et al. (2015), Fredenburg dan Silverman

(2014), Rogers et al. (2007), Baker, Gleadhill, dan Dingle (2007).

Konseling kelompok dengan pendekatan integrative approach (expressive

therapies) yang berpusat pada teori pendekatan utama Cognitive Behavior

Therapy (CBT), dengan menggunakan teknik passive dan active music therapy

untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa terhadap skripsi adalah sebuah

layanan bimbingan konseling yang diberikan untuk membantu para mahasiswa

terbebas dari kecemasannya terhadap penyusunan tugas akhir dalam suasana

kelompok. Pemberian layanan ini diharapkan mampu untuk menciptakan sebuah

kondisi yang memungkinkan setiap anggota kelompok untuk dapat berbagi

pengalaman dalam menghadapi kondisi kecemasan yang dialami akibat self-

efficacy yang rendah, serta memperoleh penguatan untuk menghadapi academic

anxiety tersebut.

Berdasarkan teori Music Therapy based on Cognitive Behavior Therapy

(Wigram, Pedersen, & Bonde 2002), seorang mahasiswa yang mengalami

academic anxiety disebabkan oleh adanya karena adanya distorsi kognitif atau

pikiran-pikiran negatif terkait ketidakberdayaan atau ketidakmampuannya dalam

hal akademik. Distorsi kognitif terbentuk dari core belief yang telah menetap,

yaitu merupakan keyakinan paling dasar tentang diri, adanya keyakinan tidak

mampu secara akademik dan keyakinan tidak berdaya, keyakinan-keyakinan ini

terbentuk berdasarkan pengalaman atau peristiwa yang dialami oleh individu.

Sehingga, ketika individu mengalami masalah terkait academic anxiety, maka hal
81

yang perlu untuk dilakukan adalah dengan membantu individu menstruktur

kembali pikiran-pikiran negatif yang dimiliki menuju pikiran-pikiran yang lebih

adaptif. Dengan menggunakan teknik passive music therapy yang berpusat pada

CBT ini, diharapkan dapat membantu mereka menyadari pikiran-pikiran negatif

yang menyebabkan hal tersebut, kemudian mengevaluasi pikirannya, dan

selanjutnya mereka bereksplorasi alternatif untuk mengubah pikiran negatif

tentang dirinya dan lingkungannya melalui aktivitas mendengarkan musik secara

reseptif/pasif dengan guided imagery.

Selain itu juga, dengan menggunakan teknik active music therapy yang

berpusat pada CBT ini, diharapkan dapat membantu menyadari kecemasannya

tersebut, kemudian mengevaluasi kecemasannya tersebut berdasarkan

pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan, selanjutnya mereka

berdamai dengan pengalaman masa lalunya, dan mengoptimalkan kemampuan

yang dimiliki agar dapat menyelesaikan skripsi dengan baik melalui aktivitas

musik secara aktif, yaitu menciptkan lagu (composing), improvisasi, dan re-

creating music. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dari pemberian music

therapy ini ialah untuk membantu konseli meningkatkan produksi 4 hormon

positif yang dimiliki oleh setiap individu, yaitu endorphin, dopamin, serotonin,

dan oksitosin (Mucci & Mucci, 2002) yang berperan sebagai pemicu

kebahagiaan yang diharapkan. Fungsi dari keempat hormon positif tersebut dapat

membuat tubuh menjadi lebih rileks, sehingga dapat mereduksi kecemasan atau

stres yang dialami oleh individu.


82

2.2.9 Music Therapy sebagai Teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Corey (2012) mengatakan bahwa dalam penerapan CBT, keputusan untuk

menggunakan teknik-teknik tertentu berdasarkan keefektifan yang dimiliki.

Penggunaan teknik dalam CBT cukup luas, dan banyak praktisi kelompok CBT

sangat eklektik (integratif) dalam penerapan prosedur perawatan. Mereka

bersedia untuk menggunakan teknik dari banyak pendekatan terapi dalam

membantu kliennya dalam mengubah pola berpikir mereka, perasaan, dan

perilakunya.

Salah satu teknik dalam pelaksaan konseling eklektik (integratif) CBT ialah

dengan music therapy (White & Davis, 2011; Capuzzi & Gross, 2011; Sharf,

2012). Gladding (2016) juga menyarankan bahwa dalam proses konseling yang

modern diharapkan para konselor dapat mengintegrasikan terapi seni dalam

proses bantuan terhadap konseli. Salah satu terapi seni yang dapat menembus

batas-batas budaya ialah melalui musik. Siapapun menyukai musik, tanpa

memandang usia, gender, suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan

lainnya (Djohan, 2006).

Dalam penerapannya, terapi musik itu di bagi menjadi dua, yaitu passive

music therapy dan active music therapy (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2002).

Terapi musik pasif adalah pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara

mengajak konseli untuk mendengarkan sebuah instrumen tertentu secara

seksama. Sedangkan terapi musik aktif adalah proses pemberian terapi musik
83

yang dilakukan dengan cara mengajak konseli untuk memainkan sebuah

instrumen, bernyanyi, maupun menciptakan lagu. Kedua teknik terapi musik ini

dapat dilakukan melalui konseling individual maupun kelompok.

Menurut Gladding (2016), konselor dapat melakukan kegiatan seperti

mendengarkan musik kepada konseli, melakukan improvisasi, dan

menyusun/menciptakan lagu. Mendengarkan musik dapat membantu konseli

mengubah suasana hati mereka dengan baik, mengurangi kecemasan mereka atau

membangkitkan emosi mereka. Ketika konselor bekerja dengan konseli dengan

menggunakan musik, improvisasi dapat dicapai secara konkret dengan meminta

konseli untuk melakukan variasi pada tema musik (Wigram 2004, dalam

Gladding, 2016). Improvisasi yang dimaksudkan ialah konseli dapat bermain

dengan instrumen mereka dan mengubah melodi (yaitu, membuat musik menjadi

lebih cepat, lebih lambat, atau divariasikan).

Teknik yang terakhir ialah proses menciptakan dan mengembangkan sebuah

lagu/musik, dipandang sebagai terapi yang berasal dari dalam diri konseli itu

sendiri (Nordoff & Robbins, 1977 dalam Gladding, 2016). Menciptakan

lagu/musik adalah tindakan kreatif yang menempatkan konseli berada pada

perasaan mereka sendiri. Hal ini dapat digunakan sebagai cara untuk

penyembuhan yang melekat dalam tindakan kreatif (Schmidt, 1983 dalam

Gladding, 2016). Dalam praktik yang sebenarnya, konselor dapat meminta atau

mendorong konseli untuk menulis/menciptakan sebuah karya lagu/musik yang


84

mewakili diri mereka sendiri. Pada sesi berikutnya, konseli dapat berbicara

tentang pengalaman menulis/menciptakan sebuah karya lagu/musik tersebut.

Menurut Djohan (2006) dan Gladding (2016), pada dasarnya hampir semua

jenis musik bisa dinamakan untuk terapi musik. Namun kita harus tahu pengaruh

setiap jenis musik terhadap pikiran. Setiap nada, melodi, ritme, harmoni, timbre,

bentuk dan gaya musik akan memberi pengaruh berbeda kepada pikiran dan yang

kita capai. Ada dua macam teknik terapi musik:

1. Terapi Musik Aktif (Active Music Therapy)

Dalam terapi musik aktif, klien diajak untuk bernyanyi, belajar main

menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu

singkat. Dengan kata lain, klien berinteraksi aktif dengan dunia musik.

2. Terapi Musik Pasif (Passive Music Therapy)

Dalam terapi musik pasif, klien diajak untuk mendengarkan musik. Terapi

ini merupakan terapi musik yang murah, mudah dan efektif. Klien hanya

mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu yang

disesuaikan dengan masalahnya. Hal terpenting dalam terapi musik pasif

adalah pemilihan jenis musik harus tepat dengan kebutuhan pasien.

Menurut Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002) dan Natalia (2013), teknik

terapi musik itu dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Musik Terapi Pasif (Passive Music Therapy)

Dalam sesi reseptif, klien akan mendapat terapi dengan mendengarkan

musik. Terapi ini lebih menekankan pada physical, emotional intellectual,


85

aesthetic of spiritual dari musik itu sendiri, sehingga klien akan merasakan

ketenangan atau relaksasi. Musik yang digunakan dapat bermacam jenis

dan style, tergantung dengan kondisi yang dihadapi oleh klien.

2. Musik Terapi Aktif (Active Music Therapy)

Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk

ikut aktif dalam sebuah sesi terapi, melalui cara:

a. Menciptakan lagu (composing). Cara ini dilakukan dengan mengajak

klien untuk menciptakan lagu sederhana ataupun membuat lirik dan

terapis yang akan melengkapinya secara harmoni.

b. Improvisasi. Cara ini merupakan upaya membuat musik secara spontan

dengan bernyanyi ataupun bermain musik pada saat itu juga dan

membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis.

c. Re-creating Music merupakan cara mengajak klien bernyanyi ataupun

bermain instrumen musik dari lagu-lagu yang sudah dikenal.

2.2.10 Teknik Passive Music Therapy

Pada bahasan tentang teknik passive music therapy yang dimaksud meliputi

(1) definisi teknik passive music therapy; (2) tujuan teknik passive music

therapy; (3) tahapan teknik passive music therapy; dan (4) keunggulan teknik

passive music therapy. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:

2.2.10.1 Definisi Teknik Passive Music Therapy

Passive music therapy merupakan salah satu teknik music therapy yang

dapat dipergunakan dalam proses konseling (Wigram, Pedersen, & Bonde 2002;
86

Gladding, 2016). Passive music therapy adalah sebuah teknik dalam terapi,

konseling, dan pembinaan untuk membantu individu atau sekelompok orang agar

menjadi sadar dan dapat mengatasi masalah dalam kehidupan nyata, dengan

bantuan melalui mendengarkan musik secara reseptif dengan guided imagery.

Passive music therapy dilakukan dengan merefleksi dan berdiskusi tentang

pengalaman masa lalu, pengalaman masa kini, dan harapan-harapan di masa depan

(Situmorang, 2018).

Jika dipandang dari pendekatan CBT, memanfaatkan musik sebagai sebuah

sarana bantuan dapat menyediakan perangkat yang mendukung untuk memahami

keyakinan inti maladaptif dan restrukturisasi kognitif individu (Situmorang, 2018).

Selain itu, musik dapat merubah perasaan, memberikan pemahaman baru dan

meningkatkan kemungkinan bahwa individu akan melaksanakan perilaku baru dan

diinginkan. Melalui musik dengan guided imagery, seseorang dapat belajar

bagaimana perilaku yang tidak diinginkan menjadi berperilaku dalam perilaku

yang diinginkan (Situmorang, 2018).

Passive music therapy sangat mempengaruhi individu karena dampak

sinergis dari musik, dialog, dan efek suara. Dengan passive music therapy

membawa konseli ke dalam setiap peristiwa penting dalam kehidupannya

(Situmorang, 2018). Berdasarkan pandangan psikoanalisis, memanfaatkan passive

music therapy dalam terapi dapat membuat alam bawah sadar berkomunikasi

dengan pikiran sadar dari musik yang didengarkan (Wigram, Pedersen, & Bonde

2002). Saat musik diperdengarkan, perasaan individu akan tersentuh oleh alunan
87

musik dan guided imagery dengan emosi menyenangkan atau tidak menyenangkan

yang mencerminkan pengalaman individu secara simbolis menuju alam sadar

(Situmorang, 2018).

Passive music therapy adalah intervensi terapeutik yang memungkinkan

konseli menilai secara visual di dalam imajinasinya mengenai pengalaman-

pengalaman berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya, dan masalah-masalah

pribadi. Dengan passive music therapy dapat membantu memperkuat aliansi

terapeutik dengan komunikasi dan pengalaman antara klien dan terapis

(Situmorang, 2018). Bahkan, penggunaan passive music therapy dalam konseling

memungkinkan konselor untuk dapat menarik kesimpulan dari beberapa orientasi

psikologis.

Dari penjelasan di atas, dapat dianalisis bahwa passive music therapy adalah

salah satu teknik yang dapat digunakan dalam proses konseling dengan

menggunakan musik dengan guided imagery guna menumbuhkan eksplorasi diri

dan pengubahan guna mengatasi masalah individu. Jika dikaitkan dengan

penelitian, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok CBT dengan

teknik passive music therapy adalah layanan yang diberikan untuk membantu

anggota kelompok yang menunjukkan academic anxiety, sehingga dapat

membantu mereka untuk mampu menyadari pikiran-pikiran negatif yang

menyebabkan hal tersebut, kemudian mengevaluasi pikirannya, dan selanjutnya

mereka bereksplorasi alternatif untuk mengubah pikiran negatif tentang dirinya


88

dan lingkungannya melalui aktivitas mendengarkan musik secara reseptif/pasif

dengan guided imagery.

2.2.10.2 Tujuan Teknik Passive Music Therapy

Tujuan pelaksanaan konseling kelompok dengan teknik passive music

therapy adalah untuk membantu anggota kelompok yang menunjukkan academic

anxiety, sehingga dapat membantu mereka menyadari pikiran-pikiran negatif yang

menyebabkan hal tersebut, kemudian mengevaluasi pikirannya, dan selanjutnya

mereka bereksplorasi alternatif untuk mengubah pikiran negatif tentang dirinya

dan lingkungannya melalui aktivitas mendengarkan musik secara reseptif/pasif

dengan guided imagery. Adapun penjabaran tujuan dari pelaksanaan konseling

kelompok dengan teknik passive music therapy adalah sebagai berikut:

1. Anggota kelompok mampu menyadari pikiran-pikiran negatif yang selama ini

menyebabkan kecemasan akademik yang membuat mereka merasa tertekan.

2. Anggota kelompok mengenal dan menyadari automatic thought dan distorsi

kognitif yang dimiliki.

3. Anggota kelompok mengevaluasi kecemasannya tersebut berdasarkan

pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan.

4. Anggota kelompok berdamai dengan masa lalunya.

5. Anggota kelompok dapat menjadi rileks dan mereduksi kecemasannya.

6. Anggota kelompok dapat meningkatkan rasa bahagianya, sehingga lebih dapat

optimal dalam hidup kesehariannya.


89

7. Anggota kelompok memiliki keterampilan untuk melawan pikiran dan

keyakinan maladaptif dengan automatic thought alternative.

8. Anggota kelompok mampu menyadari kemampuan yang dimilikinya.

9. Anggota kelompok dapat meningkatkan self-efficacy yang dimiliki guna

menyelesaikan skripsi dengan baik.

10. Anggota kelompok memiliki keterampilan yang efektif dilakukan untuk

mengaktivasi perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.10.3 Tahapan Teknik Passive Music Therapy

Untuk melaksanakan teknik passive music therapy dapat ditempuh dengan

beberapa tahapan. Dalam teknik passive music therapy dengan guided imagery

terdapat bebarapa tahapan atau langkah-langkah seperti berikut (Situmorang,

2018):

1. Pengarahan

Mempersiapkan atau menyusun petunjuk membantu individu untuk

mempersiapkan diri. Hal ini juga dapat membantu individu untuk menangkap

kesan mereka, dan mampu untuk mengingatkan mereka mengenai proses sesi

mendengarkan musik secara reseptif. Dalam petunjuk ini dapat

direkomendasikan kepada para anggota kelompok agar tetap nyaman dalam

mendengarkan musik, memperhatikan posisi tubuh, mengatur pernapasan guna

untuk melepaskan ketegangan, dan hal terkait reaksi pribadi yang terbentuk.
90

2. Pemilihan Musik

Musik dapat dipilih sendiri oleh individu atau kelompok atau oleh konselor.

Musik yang dipilih hendaknya memberikan nuansa ketenangan dalam

membantu para konseli dalam proses pemahaman diri selama konseling

berlangsung. Konselor harus memilih musik yang dapat disesuaikan situasi

individu, masalah, kebutuhan, dan tujuan. Selanjutnya, yang menjadi

pertimbangan lainnya adalah isu-isu keragaman seperti latar belakang dan

budaya. Tidak semua jenis musik dapat digunakan dalam passive music

therapy. Menurut Nilsson (2009), karakteristik musik yang bersifat terapi

adalah musik yang nondramatis, dinamikanya bisa diprediksi, memiliki nada

yang lembut, harmonis, dan tidak berlirik, temponya 60-80 beat per minute, dan

musik yang dijadikan terapi merupakan musik pilihan konseli. Musik yang

bersifat sebaliknya adalah musik yang menimbulkan ketegangan, tempo yang

cepat, irama yang keras, ritme yang irregular, tidak hamonis, atau dibunyikan

dengan volume keras tidak akan menimbulkan efek terapi. Efek yang timbul

adalah meningkatkan denyut nadi, tekanan darah, laju pernafasan, dan

meningkatkan stres.

Musik sedatif adalah musik yang memiliki frekuensi rendah, tanpa lirik,

kombinasi dari alat musik yang memiliki unsur string, tempo lambat, kenaikan

nada, frekuensi dan ketukan disarankan mengikuti hukum Pytagoras (Andrzej,

2009). Diagram di bawah ini menunjukkan bagaimana nada dasar yang


91

disarankan sesuai dengan frekuensi berdasarkan Hukum Pytagoras sehingga

dapat memunculkan efek terapi.

180

160

140

120

100

80
60

40

20

0
G Gis A Ais

Gambar 2.3 Nada Dasar dan Frekuen

3. Pemberian Guided Imagery

Pemberian guided imagery terbukti menjadi teknik yang berguna dalam passive music therapy. Ketika
memiliki fokus imajinasi yang terarah. Konselor dapat membantu konseli

menyadari pengalaman-pengalaman baik yang menyedihkan maupun yang

membahagiakan di masa lalu dan saat ini, selain itu juga konselor dapat

membantu konseli untuk dapat merestrukrisasi pikiran-pikiran yang maladaptif


92

menjadi lebih adaptif. Selama proses passive music therapy berlangsung,

konselor dapat melakukan proses diskusi dengan konseli. Di akhir sesi,

konselor dapat membantu konseli dalam menetapkan komitmen dan harapan-

harapnnya di masa depan.

2.2.10.4 Keunggulan Teknik Passive Music Therapy

Secara teknis, proses passive music therapy menginstruksikan konseli

untuk mendengarkan musik yang relevan dengan guided imagery terkait dengan

permasalahan yang dialami. Menurut Situmorang (2018) adapun keunggulan

passive music therapy dalam proses terapeutik adalah:

1. Memfasilitasi individu untuk belajar lebih banyak tentang dirinya

(eksplorasi diri).

2. Individu dapat belajar pola maladaptif tentang masalah emosi dan

sosialnya.

3. Menawarkan altrenatif yang adaptif untuk mengatasi permasalahan yang

dialami.

4. Menawarkan pengalaman emosional yang mendalam dan peluang untuk

koneksi sosial yang lebih dalam.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa passive music therapy

berpotensi sebagai solusi untuk sejumlah kesulitan dan dapat memberikan

manfaat terapeutik. Selain itu, passive music therapy dapat memberikan cara

yang aman bagi seseorang untuk mendiskusikan pikiran dan perasaan mereka

baik secara pribadi maupun kelompok.


93

2.2.11 Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive Music Therapy


untuk mereduksi Academic Anxiety dan meningkatkan Self-Efficacy
Konseling kelompok CBT mencakup beragam topik dan format yang

diarahkan pada memberikan informasi dan pengentasan masalah (Corey, 2012).

Konseling kelompok dengan menggunakan musik menjadi pilihan alternatif saat

ini (Gladding, 2016). Konseling kelompok CBT dengan menggunakan teknik

passive music therapy dapat bekerja dengan baik jika pemimpin kelompok dan

anggota kelompok menjalin kerjasama dan komunikasi yang baik hingga

mencapai tujuan (Rogers, Sue Ei, Rogers, & Cross, 2007). Penelitian yang

dilakukan oleh Skudrzyk et al. (2014) melakukan cara yang berbeda dengan

menggunakan intervensi kreatif dalam konseling. Salah satu intervensi kreatif

yang dapat dilakukan dalam proses konseling dengan menggunakan media musik.

Musik dapat digunakan untuk membantu individu memahami perkembangan

emosi dan kognitif mereka. Individu dapat mendengarkan lagu dan bersantai,

ataupun memainkan alat musik secara aktif. Melalui musik, konselor dapat

membuat proses konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Rosanty (2014) menunjukkan bahwa musik klasik Mozart cukup

efektif dalam mengurangi stres di kalangan mahasiswa yang menulis skripsi

mereka, kemudian hasil penelitian Clements-Cortés (2016) menunjukkan bahwa

melalui music therapy mampu meningkatkan self-efficacy individu.

Dalam penelitian ini, penerapan konseling kelompok CBT berfokus pada

penggunaan teknik passive music therapy. Konseling kelompok CBT ini

dilaksanakan dengan menggunakan musik dan guided imagery yang bertujuan


94

untuk membangkitkan keinginan atau suatu kesadaran kepada para mahasiswa

dalam rangka mencapai suatu tujuan yang diharapkan yakni agar dapat mereduksi

academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy dalam menyusun skripsi.

2.2.12 Teknik Active Music Therapy

Pada bahasan tentang teknik active music therapy yang dimaksud meliputi (1)

definisi teknik active music therapy; (2) tujuan teknik active music therapy; (3)

tahapan teknik active music therapy; dan (4) keunggulan teknik active music

therapy. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:

2.2.12.1 Definisi Teknik Active Music Therapy

Active music therapy merupakan salah satu teknik music therapy yang dapat

dipergunakan dalam proses konseling (Wigram, Pedersen, & Bonde 2002;

Gladding, 2016). Active music therapy adalah sebuah teknik dalam terapi,

konseling, dan pembinaan untuk membantu individu atau sekelompok orang agar

menjadi sadar dan dapat mengatasi masalah dalam kehidupan nyata, dengan bantuan

melalui memainkan musik secara aktif, meliputi menciptakan lagu (composing),

improvisasi, dan re-creating music. Active music therapy dilakukan dengan upaya

berdiskusi tentang pengalaman masa lalu, pengalaman masa kini, dan harapan-

harapan di masa depan melalui menciptakan lagu baru yang dibimbing oleh

pemimpin konseling, melakukan improvisasi dengan lagu tertentu, dan memainkan

alat musik secara bersama-sama dengan lagu yang sudah dikenal (Situmorang,

2018).
95

Jika dipandang dari pendekatan CBT, memanfaatkan musik sebagai sebuah

sarana bantuan dapat menyediakan perangkat yang mendukung untuk memahami

keyakinan inti maladaptif dan restrukturisasi kognitif individu (Situmorang, 2018).

Selain itu, musik dapat mengubah perasaan, memberikan pemahaman baru dan

meningkatkan kemungkinan bahwa individu akan melaksanakan perilaku baru dan

diinginkan. Melalui musik dengan menciptakan lagu (composing), improvisasi, dan

re-creating music, seseorang dapat belajar bagaimana dapat mengubah kebiasaan

lama yang maladaptif menjadi lebih adaptif (Situmorang, 2018).

Active music therapy adalah teknik yang memanfaatkan peralatan musik yang

dimainkan secara bersama-sama (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2002). Memainkan

musik secara bersama-sama dapat mempengaruhi sikap, perasaan, dan perilaku

individu. Active music therapy melibatkan jenis instrumen yang dimainkan, lagu

atau musik yang dipilih, dan lirik yang diciptakan, yang semuanya memiliki tujuan

terapeutik (Situmorang, 2018).

Dalam layanan konseling, active music therapy menawarkan konselor

mengenai strategi yang kreatif dan menyenangkan. Konselor dapat menggunakan

active music therapy sebagai intervensi untuk memfasilitasi konseli dalam

memperoleh keakraban, mengidentifikasi keunikan pribadi, dan perasaan klien

(Gladding, 2016). Active music therapy juga dapat digunakan sebagai mekanisme

terapi untuk membantu membangun hubungan konseling, mengeksplorasi isu-isu

gaya hidup, untuk mempromosikan wawasan dan kesadaran, dan reorientasi

(Wigram, Pedersen, & Bonde 2002).


96

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dianalisis bahwa active music

therapy adalah salah satu teknik yang dapat digunakan dalam proses konseling

dengan memainkan musik secara aktif, meliputi menciptakan lagu (composing),

improvisasi, dan re-creating music; di mana individu yang mengalami masalah

diminta untuk memainkan musik dengan tujuan membantu dirinya dan memotivasi

agar mempercepat penyembuhan. Jika dikaitkan dengan penelitian, selanjutnya

dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok CBT dengan teknik active music

therapy adalah layanan yang diberikan untuk membantu anggota kelompok yang

menunjukkan academic anxiety terhadap skripsi, sehingga dapat membantu mereka

untuk menyadari kecemasan yang dialami, kemudian mengevaluasi kecemasannya

tersebut berdasarkan pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan.

Selanjutnya anggota kelompok diajak untuk berdamai dengan pengalaman masa

lalunya tersebut, dan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki agar dapat

menyelesaikan skripsi dengan baik melalui aktivitas musik secara aktif, yaitu

menciptkan lagu (composing), improvisasi, dan re-creating music.

2.2.12.2 Tujuan Teknik Active Music Therapy

Tujuan pelaksanaan konseling kelompok dengan teknik active music therapy

adalah untuk membantu anggota kelompok yang menunjukkan academic anxiety

terhadap skripsi, menyadari kecemasannya tersebut, kemudian mengevaluasi

kecemasannya tersebut berdasarkan pengalaman masa lalunya yang tidak

menyenangkan, selanjutnya mereka berdamai dengan pengalaman masa lalunya

tersebut, dan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki agar dapat menyelesaikan


97

skripsi dengan baik melalui aktivitas musik secara aktif, yaitu menciptkan lagu

(composing), improvisasi, dan re-creating music. Adapun penjabaran tujuan dari

pelaksanaan konseling kelompok dengan teknik active music therapy adalah sebagai

berikut:

1. Anggota kelompok mampu menyadari pikiran-pikiran negatif yang selama ini

menyebabkan kecemasan akademik yang membuat mereka merasa tertekan.

2. Anggota kelompok mengenal dan menyadari automatic thought dan distorsi

kognitif yang dimiliki melalui aktivitas menciptakan lagu (composing),

improvisasi, dan re-creating music.

3. Anggota kelompok mengevaluasi kecemasannya tersebut berdasarkan

pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan.

4. Anggota kelompok berdamai dengan masa lalunya.

5. Anggota kelompok dapat menjadi rileks dan mereduksi kecemasannya.

6. Anggota kelompok dapat meningkatkan rasa bahagianya, sehingga lebih dapat

optimal dalam hidup kesehariannya.

7. Anggota kelompok memiliki keterampilan untuk melawan pikiran dan

keyakinan maladaptif dengan automatic thought alternative.

8. Anggota kelompok mampu menyadari kemampuan yang dimilikinya.

9. Anggota kelompok dapat meningkatkan self-efficacy yang dimiliki guna

menyelesaikan skripsi dengan baik.

10. Anggota kelompok mampu membuat komitmen dan harapan-harapan positif

melalui lagu yang diciptakan atau dimainkan.


98

11. Anggota kelompok memiliki keterampilan yang efektif dilakukan untuk

mengaktivasi perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari.

Active music therapy adalah teknik yang memanfaatkan peralatan musik yang

dimainkan secara bersama-sama (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2002). Memainkan

musik secara bersama-sama dapat mempengaruhi sikap, perasaan, dan perilaku

individu. Active music therapy melibatkan jenis instrumen yang dimainkan, lagu

atau musik yang dipilih, dan lirik yang diciptakan, yang semuanya memiliki tujuan

terapeutik (Situmorang, 2018).

2.2.12.3 Tahapan Teknik Active Music Therapy

Sebelum melaksanakan active music therapy ada hal yang harus diperhatikan.

Menurut Situmorang (2018), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

active music therapy adalah:

1. Konseli dapat memilih musik atau lagu dalam sesi atau di rumah sebelum sesi.

2. Konseli dipersiapkan untuk pembahasan musik atau lagu yang dipilih dalam

sesi.

3. Pelaksanaan active music therapy harus memiliki fleksibilitas untuk

memfasilitasi diskusi yang berkaitan masalah yang relevan sesuai dengan

karakter, katarsis, dan wawasan unik tiap individu.

4. Pengalaman active music therapy dapat difasilitasi dengan menggunakan

berbagai pilihan musik atau lagu.


99

Selanjutnya, dalam penerapan active music therapy sebaiknya melewati tiga

tahapan berikut ini (Situmorang, 2018):

1. Identifikasi

Konselor mengidentifikasi jenis musik atau lagu yang tepat sesuai dengan

permasalahan yang dialami oleh konseli. Bila jenis musik dan lagu yang

disarankan tepat, maka individu akan memahami permasalahan yang dialami.

2. Katarsis

Individu menjadi terlibat secara emosional dan menyalurkan emosi-emosi yang

terpendam dalam dirinya secara aman melalui memainkan musik secara aktif

dan menciptakan lagu.

3. Wawasan mendalam (insight)

Setelah katarsis individu menjadi sadar bahwa permasalahannya bisa

disalurkan atau dicarikan jalan keluarnya. Permasalahan individu menemukan

maksud utama dari musik atau lagu, sehingga dalam menyelesaikan masalah,

individu dapat terus memainkan lagu yang telah diciptakan sebagai motivasi

terhadap permasalahan yang dialami.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan active music

therapy mengutamakan jenis musik dan lagu yang tepat. Musik yang sejak awal

sesuai dengan suasana hati individu, biasanya merupakan pilihan yang paling baik.

Musik klasik, pop, dan modern digunakan pada terapi musik. Jenis musik yang

direkomendasikan selain instrumentalia musik klasik, bisa juga slow jazz, pop, yang

popular dan hits, folk, western country, easy listening, bisa juga disertai dengan
100

unsur suara natural alam atau musik yang sesuai dengan budaya asal konseli (Good,

et al., 2001; Wigram, 2002; Finnerty, 2006; Chiang, 2012). Wigram (2002) juga

merekomendasikan musik yang unsur sumber getarnya adalah harpa, gitar, piano

(klasik dan modern) yang popular pada era 1940an - 1980an, dan flute India-

Amerika. Chiang (2012) dalam penelitiannya menyarankan jenis musik- musik ada

pada tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1 Daftar Lagu yang digunakan dalam Terapi Musik

Judul Lagu Artis

The unforgetting heart Michael Hoppe


Vaya con dios Gray Bartlett
If I fell / My life Ed Gerhard
Lake of heart Shen-Di Wang
Imagine John Lennon
Love me tender Elvis Presley
Song of Silence Gray Bartlett
Can’t help falling in love Elvis Presley
Let it be me Gray Bartlett
To all the girls I’ve loved before Julio Iglesias
You needed me Boyzone
Reflection Christina Aguilera
Unchained melody Elvis Presley
The first time ever I saw your face Celine Dion
You’ll never walk alone Roger Williams
nd Unknown
Piano sonata no.14 dalam C minor 2
Unforgettable Nat King Cole
My Way Frank Sinatra
Ave Maria Unknown
Simphony #6 Patorale Beethoven
Romanze Eine Klein Nachmusik Mozart
Wind Serenade No. 12, C Minor, K.388 Mozart
Piano Concerto, A Major, K.491 Mozart
Clarinet Concerto, No. 24, K. 622 Mozart
Horn Concerto, E-Flat, K. 495 Mozart
101

The Swan Unknown


Morning Calm (harp) Sylvia Woods
The quite Garden (harp) Philip Boulding
Give me your hand (harp) Patrick Ball
Aeolian temple music (harp) Georgia Kelly
Can’t help lovin’ that man (harp) Harpo Max
(Chiang, 2012)

Selain musik yang direkomendasikan oleh Chiang (2012) tersebut,

berdasarkan jenis-jenis musik yang bisa dijadikan sebagai terapi musik, peneliti

juga menambahkan instrumen musik baru yang merupakan lagu popular di

Indonesia. Walaupun jenis musik ini belum diteliti evidence based-nya, tetapi

pemilihan jenis musiknya telah disesuaikan dengan kriteria musik yang bisa

dijadikan terapi (musik berdasarkan lagu-lagu Indonesia popular, tempo 60-80,

frekuensi 60-80, dengan kunci nada mayor dan minor mengikuti pola kunci hukum

Pytagoras).

Tabel 2.2 Daftar Komposisi Lagu Indonesia untuk Terapi Musik

Judul Lagu Artist


Rencana Tuhan itu Indah Jakarta Bomb Blast
Aku Bisa Sherina
Jangan Menyerah D’Massiv
Buka Semangat Baru Ello, Ipang, Berry

Melompat Lebih Tinggi Sheila on 7


Meraih Mimpi J-Rocks
Tetap Semangat Bondan & Fade 2
102

2.2.12.4 Keunggulan Teknik Active Music Therapy

Melalui memainkan musik secara aktif, seseorang bisa mengenali dirinya

sendiri sekaligus menyadari permasalahan yang tengah dialami. Informasi dan

pengetahuan yang diperoleh dari lirik lagu yang positif dapat menjadi masukan

untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca lirik,

menyanyikan lirik, dan memainkan alat musik, konseli dapat menginterpretasi serta

menerjemahkan makna dari isi lagu. Proses ini dapat “membersihkan diri” dan

mendorong seseorang untuk berperilaku lebih positif.

Menurut Chiang (2012), teknik active music therapy dapat dikelompokkan

dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional.

1. Pada tingkat intelektual, individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku

yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan

wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan

dalam menangani masalah.

2. Pada tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat

melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain yang

tercipta pada saat proses penciptaan lagu bersama-sama. Teknik ini dapat

menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling

memiliki.

3. Pada tingkat perilaku, individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk

membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut,


103

malu, dan bersalah. Lewat menciptakan lagu bersama, individu didorong untuk

diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.

4. Pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan

mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat

menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah

dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu

untuk memecahkan masalahnya.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kelebihan active music

therapy adalah dapat menambah pengetahuan, mengasah kepekaan sosial indivdu,

meningkatkan kepercayaan diri, dan mengembangkan kesadaran emosional.

2.2.13 Konseling Kelompok CBT Teknik Active Music Therapy untuk mereduksi
Academic Anxiety dan meningkatkan Self-Efficacy

Konseling kelompok CBT mencakup beragam topik dan format yang

diarahkan pada memberikan informasi dan pengentasan masalah (Corey, 2012).

Konseling kelompok dengan menggunakan musik menjadi pilihan alternatif saat ini

(Gladding, 2016). Konseling kelompok CBT dengan menggunakan teknik active

music therapy dapat bekerja dengan baik jika instrumen yang dimainkan, lagu atau

musik yang dipilih, dan lirik yang diciptakan, semuanya memiliki tujuan terapeutik

(Giovagnoli, Oliveri, Schifano, & Raglio, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Skudrzyk, Zera, McMahon, Schmidt, Boyne,

dan Spannaus (2014) melakukan cara yang berbeda dengan menggunakan intervensi
104

kreatif dalam konseling. Salah satu intervensi kreatif yang dapat dilakukan dalam

proses konseling dengan menggunakan media musik. Musik dapat digunakan untuk

membantu individu memahami perkembangan emosi dan kognitif mereka. Individu

dapat mendengarkan lagu dan bersantai, ataupun memainkan alat musik secara

aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat proses konseling menjadi lebih

menarik dan efektif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Giovagnoli, Oliveri,

Schifano, dan Raglio (2014) menunjukkan bahwa active music therapy cukup

efektif dalam mengurangi kecemasan, kemudian hasil penelitian Clements-Cortés

(2016) menunjukkan bahwa melalui music therapy mampu meningkatkan self-

efficacy individu.

Dari penjelasan di atas, maka konseling kelompok CBT dengan teknik active

music therapy dapat menjadi salah satu alternatif dalam upaya mereduksi academic

anxiety dan meningkatkan self-efficacy. Tujuan utama konseling kelompok CBT

dengan teknik active music therapy ini adalah untuk memberikan informasi guna

mengembangkan rasa yang lebih positif dari diri mereka sendiri, belajar tentang

dunia, mengatasi stres, memberikan wawasan terhadap suatu masalah, menegaskan

pikiran dan perasaan, merangsang diskusi tentang masalah, menciptakan kesadaran

orang lain yang memiliki masalah yang sama, memberikan solusi untuk masalah,

mengkomunikasikan nilai-nilai dan sikap baru, dan menemukan makna dalam

kehidupan yang terkait dengan perilaku academic anxiety yang merugikan, melalui

menciptakan lagu (composing), improvisasi, dan re-creating music.


105

2.2.14 Tahap Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive dan Active
Music Therapy

Tahapan konseling kelompok CBT menurut Corey (2012) terdiri dari tiga

tahapan, yaitu: (a) tahap awal (initial stage), di mana pada tahap ini membantu

anggota berkenalan, berorientasi, meningkatkan motivasi anggota kelompok,

memberikan rasa harapan bahwa perubahan itu mungkin ada, mengidentifikasi

masalah untuk eksplorasi, menciptakan rasa aman, dan membangun kohesi dari

awal; (b) tahap kerja/kegiatan (working stage: treatment plan and techniques

application), di mana pada tahap ini anggota kelompok merencanakan treatment

dan teknik aplikasi, perencanaan treatmen yakni memilih strategi prosedur yang

paling tepat di antara strategi khusus yang telah terbukti efektif dalam mencapai

perubahan perilaku, dan (c) tahap akhir (final stage), pada tahap ini anggota

kelompok memberi dan menerima umpan balik, memberikan banyak kesempatan

untuk mempraktikkan perilaku baru dan lebih efektif dan belajar lebih lanjut dengan

mengembangkan rencana spesifik tindakan untuk melanjutkan penerapan perubahan

pada situasi di luar kelompok.

Berdasarkan tahapan konseling kelompok CBT di atas, maka setiap pertemuan

sesi konseling dengan teknik passive music therapy dan active music therapy

dilengkapi dengan struktur tahapan konseling yang dimulai dari tahap awal hingga

tahap akhir. Adapun beberapa tema yang akan dibahas dalam setiap pertemuan

adalah sebagai berikut:


106

1. Tahap Awal (Initial Stage)

Terdiri dari satu pertemuan, yaitu Pertemuan I.

1.1 Pertemuan I dengan tema “Build a Family” (100 menit)

Kegiatan yang dilakukan pada pertemuan ini adalah membantu

anggota berkenalan dan meningkatkan motivasi anggota

kelompok, membangun rasa kekeluargaan untuk dapat saling

membantu satu sama lain, memberikan rasa harapan bahwa

perubahan itu mungkin ada, mengidentifikasi masalah untuk

eksplorasi, menciptakan rasa aman, dan membangun kohesi dari

awal.

2. Tahap Kerja/Kegiatan (Working Stage: Treatment Plan and Application

Techniques)

Terdiri dari tiga pertemuan, yaitu pertemuan II, III, dan IV.

2.1 Pertemuan II dengan tema “Academic Anxiety according to CBT” (100 menit)

Kegiatan yang dilakukan pada pertemuan ini adalah mengajak

anggota kelompok untuk berpikir rasional dengan cara

memperkuat keyakinan anggota kelompok bahwa pernyataan diri

tentang ketidakyakinan terhadap kemampuan akademis (dalam

mengerjakan skripsi) dapat mempengaruhi perilaku dan dapat

menyebabkan tekanan emosional, serta mendeskripsikan

bagaimana masalah academic anxiety dapat dikonseptualisasikan


107

dengan mengaitkan antara aspek pikiran, perasaan dan perilaku

dari pendekatan CBT.

2.2 Pertemuan III dengan tema “Case Conceptualization” (100 menit)

Kegiatan yang dilakukan pada pertemuan ini adalah pemimpin

kelompok berkolaboratif dengan anggota kelompok untuk

menentukan automatic thought yang menjadi akar atau dasar

masalah mereka dan bersama menskala frekuensi intensitas

kemunculannya dan mengajak anggota kelompok untuk fokus

kepada pikiran-pikiran positif, yaitu dari pikiran ketidakberdayaan

akan kemampuan akademik ke pikiran yang lebih konstruktif.

2.3 Pertemuan IV dengan tema “Make a Positive Song” (100 menit)

Kegiatan yang dilakukan pada pertemuan ini adalah pemimpin

kelompok mengajak anggota kelompok menemukan alasan untuk

berlatih penguatan pernyataan positif dan memberikan

kesempatan kepada anggota kelompok untuk mempraktikkan

keterampilan yang diperoleh untuk mengatasi academic anxiety.

Selain itu juga, kegiatan yang dilakukan pada pertemuan ini

adalah pemimpin kelompok membahas tugas rumah yang telah

dikerjakan oleh anggota kelompok dan menanyakan suasana hati

masing-masing anggota kelompok. Memberikan kesempatan pada

anggota kelompok untuk menyampaikan hal-hal yang telah

dipelajari dari sesi-sesi sebelumnya dan menyampaikan kemajuan


108

yang telah dicapai oleh anggota kelompok selama pertemuan-

pertemuan yang telah dilakukan.

3. Tahap Akhir (Final Stage)

Terdiri dari satu pertemuan, yaitu Pertemuan V.

3.1 Pertemuan V dengan tema “Soundtrack for Your Life” (100 menit)

Kegiatan yang dilakukan pada pertemuan ini adalah pemimpin

kelompok membahas tugas rumah yang telah dikerjakan oleh

anggota kelompok dan menanyakan suasana hati masing-masing

anggota kelompok. Memberikan kesempatan pada anggota

kelompok untuk menyampaikan hal-hal yang telah dipelajari dari

sesi-sesi sebelumnya dan menyampaikan kemajuan yang telah

dicapai oleh anggota kelompok selama pertemuan-petemuan yang

telah dilakukan.

2.2.15 Proses dan Aplikasi Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive
dan Active Music Therapy untuk mereduksi Academic Anxiety Mahasiswa
terhadap Skripsi
Proses dan aplikasi konseling kelompok dengan teknik passive music

therapy terdiri dari lima pertemuan. Pada pedoman eksperimen ini setiap

pertemuan akan dijabarkan sesuai dengan tahapan-tahapan konseling kelompok

yaitu tahap awal, kerja/kegiatan, dan tahap akhir, serta adanya lembar pekerjaan

rumah yang akan diisi oleh anggota kelompok sebagai bahan evaluasi. Rincian

setiap pertemuan konseling kelompok dengan teknik passive dan active music

therapy terlampir dalam lampiran.


109

2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan penjelasan dalam kajian pustaka dan kerangka teori, maka

kerangka berpikir mengenai penelitian ini ialah sebagai berikut:

Skripsi adalah tugas akhir yang harus dipenuhi sebagai bagian untuk

mendapatkan gelar Sarjana (S1). Bagi sebagian mahasiswa, skripsi adalah suatu

hal yang dianggap biasa saja. Akan tetapi bagi sebagian mahasiswa yang lain,

skripsi bisa menjadi suatu hal yang dapat memicu kecemasan atau stres (Rosanty,

2014). Proses penyusunan skripsi yang sering kali menyita waktu dan pikiran

menjadikan mahasiswa merasa terbebani. Oleh karena itu, skripsi dapat

digolongkan sebagai salah satu stresor kecemasan bagi mahasiswa. Dampak

kecemasan yang ditimbulkan bagi mahasiswa akan memunculkan masalah-

masalah yang berhubungan dengan motivasi, prestasi, dan dampak psikologis.

Menurut Ottens (1991), kecemasan mahasiswa dalam menyusun tugas akhir

(skripsi) di Universitas merupakan salah satu gejala academic anxiety

(kecemasan akademik). Academic anxiety adalah kondisi yang ditimbulkan oleh

adanya perasaan cemas yang berlebihan dengan berbagai tugas akademis yang

ada di dalam institusi pendidikan. Ketika kecemasan yang dirasakan oleh

mahasiswa berlebihan maka akan berpengaruh secara negatif, karena mahasiswa

mengalami tekanan psikologis, sehingga mahasiswa tersebut mendapatkan hasil

belajar yang kurang baik dan lebih banyak menghindari tugas, hal ini disebabkan

oleh penurunan rentang perhatian, konsentrasi dan memori pada mahasiswa.


110

Menurut Rosanty (2014) masalah yang umum dihadapi oleh mahasiswa

dalam menyusun skripsi adalah banyaknya mahasiswa yang tidak mempunyai

kemampuan tulis menulis, serta adanya ketidaktertarikan mahasiswa pada

penelitian. Gejala-gejala academic anxiety yang mereka rasakan secara afektif,

diantaranya ialah perasaan jengkel karena dosennya sulit ditemui, merasa

pesimis, dan mudah marah. Gejala-gejala fisik yang muncul antara lain

berkurangnya nafsu makan, tidak bisa tidur, sulit berkonsentrasi, sakit pinggang,

migrain, mata tegang, sariawan, sakit perut, dan gemetar ketika melakukan

konsultasi. Selain itu gangguan perilaku yang muncul adalah mereka banyak

menghabiskan waktu untuk merokok, menonton televisi, menjadi pendiam, dan

malas berinteraksi. Banyak mahasiswa yang terbebani oleh skripsi. Tidak sedikit

mahasiswa yang lama lulusnya karena skripsi, hal tersebut disebabkan karena

terlalu lama dalam mencari judul dan lambat dalam menyelesaikan revisi.

Bandura (1997) mengatakan bahwa hal-hal tersebut dipicu oleh adanya

ketidakyakinan mahasiswa akan kemampuan dirinya untuk mengatasi tugas-

tugas akademik. Keyakinan kecakapan diri/efikasi diri (self-efficacy) memainkan

peran yang sentral bagi timbulnya kecemasan (Purwanto dalam Prawitasari,

2012). Self-efficacy adalah keyakinan seseorang tentang kapabilitas dirinya untuk

bisa mengatasi tugas yang ia hadapi, bahwa dirinya mampu menguasai situasi

dan memberikan hasil yang positif. Self-efficacy yang tinggi akan berdampak

pada tereduksinya pikiran-pikiran yang menyakitkan (intrusive aversive


111

thoughts) terkait tugas yang dihadapi dan pada gilirannya akan terjadi penurunan

tingkat kecemasan.

Menurut Vianna, Barbosa, Carvalhaes, dan Cunha (2012 dalam Rosanty,

2014), seorang individu yang mengalami anxiety disebabkan oleh produksi

hormon tiroksin yang tinggi dalam otak manusia. Seseorang yang mengalami

proses emosional yang negatif akan merangsang hipotalamus memproduksi

hormon tiroksin yang tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan individu mudah

lelah, mudah cemas, mudah tegang, mudah takut, dan susah tidur, sehingga

keadaan individu menjadi kurang optimal. Untuk menanggulangi hal tersebut,

menurut Mucci dan Mucci (2002) seseorang harus dapat menyeimbangkan diri

dalam setiap kondisi yang dialami. Otak manusia memiliki empat morfin alami

tubuh yaitu hormon positif yang dapat meredakan penyakit dan membuat hidup

menjadi bahagia. Morfin tersebut yaitu hormon endorphin, dopamin, serotonin,

dan oksitosin. Fungsi dari morfin-morfin alami tersebut dapat membuat tubuh

menjadi lebih rileks, sehingga dapat mereduksi kecemasan atau stres.

Wigram, Pedersen, dan Bonde (2002) menjelaskan bahwa salah satu

intervensi untuk meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonin ialah

dengan melakukan relaksasi melalui mendengarkan musik. Secara psikologis,

musik memiliki hubungan yang positif dalam kehidupan manusia. Musik, dapat

membuat seseorang menjadi lebih rileks, mengurangi stres, menimbulkan rasa

aman dan sejahtera, meningkatkan rasa bahagia, dan membantu melepaskan rasa

sakit (Djohan, 2006). Hal ini diperkuat juga oleh penelitian yang dilakukan oleh
112

Laura, Sylvie, Aurore (2015), dan Zarate (2016) bahwa musik dapat

meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonin yang mengakibatkan

seorang individu dapat merasa lebih bahagia dan mereduksi kecemasan yang

dialami. Penelitian yang dilakukan oleh Clements-Cortés (2016) juga

menunjukkan bahwa melalui music therapy mampu meningkatkan self-efficacy

individu.

Gladding (2016) mengungkapkan bahwa salah satu strategi konseling untuk

mengurangi, menurunkan dan mengatasi kecemasan dan ketegangan emosi

adalah berupa teknik relaksasi melalui terapi musik. Teknik relaksasi merupakan

coping skill yang efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan. Keberadaan

musik sebagai media terapi ini merupakan salah satu fenomena yang menarik

untuk dikaji dan dikembangkan. Sejak tahun 1992, Gladding (2016)

memperkenalkan penggunaan musik dalam konseling. Musik digunakan sebagai

media untuk menenangkan, dan membantu konseli untuk merasa nyaman,

sehingga proses konseling menjadi lebih efektif. Penggunaan musik dalam proses

konseling dikenal sebagai music therapy. Capuzzi dan Gross (2011), Sharf

(2012), mengkaji bahwa music therapy sebagai salah satu bentuk intervensi

terapi ekspresif/seni kreatif dalam pendekatan konseling integratif, yang dapat

diterapkan dalam proses konseling. Selain itu juga, dalam jurnal yang dituliskan

oleh Bastemur, Dursun-Bilgin, Yildiz, dan Ucar (2016) disebutkan bahwa music

therapy adalah salah satu teknik alternatif yang dapat dilakukan oleh konselor

dalam membantu konseli dalam mengentaskan permasalahannya.


113

Dalam penerapannya, terapi musik itu di bagi menjadi dua, yaitu passive

music therapy dan active music therapy (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2002).

Terapi musik pasif adalah pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara

mengajak konseli untuk mendengarkan sebuah instrumen tertentu secara

seksama. Sedangkan terapi musik aktif adalah proses pemberian terapi musik

yang dilakukan dengan cara mengajak konseli untuk memainkan sebuah

instrumen, bernyanyi, maupun menciptakan lagu. Kedua teknik terapi musik ini

dapat dilakukan melalui konseling individual maupun kelompok.

Menurut Liebmann (2004), terapi musik merupakan salah satu jenis art

therapy yang dapat dilaksanakan dalam proses kelompok. Seorang terapis atau

konselor dapat menerapkan terapi musik dalam konseling kelompok untuk

membantu konseli yang memiliki permasalahan yang sama, sehingga terjadi

sebuah proses yang disebut dengan mutual support for each other and help with

mutual problem-solving yang terjadi di antara anggota konseling kelompok

dengan sarana media musik. Selain itu juga, terapi musik aktif lebih efektif

diterapkan dalam suasana kelompok karena setiap anggota kelompok memainkan

alat musiknya masing-masing sehingga menciptakan suatu alunan musik yang

teraupetik bagi seluruh anggota kelompok. Menurut Wigram, Pedersen, dan

Bonde (2002), perkembangan music therapy di dunia dewasa ini dalam

prakteknya banyak berpusat pada teori Behavior, yang secara spesifik lebih

mengarah pada Cognitive Behavior Therapy (CBT).


114

Berdasarkan kajian di atas, kerangka berpikir penelitian ini ialah dengan

konseling kelompok CBT yang dilaksanakan menggunakan teknik passive music

therapy dan active music therapy dapat secara efektif untuk mahasiswa yang

mengalami academic anxiety karena disebabkan oleh self-efficacy yang rendah.

Setelah pelaksanaan konseling kelompok ini dilaksanakan, mahasiswa

diharapkan dapat lebih baik dalam mengelola academic anxiety yang dialami dan

berhasil meningkatkan self-efficacynya, sehingga dapat menyelesaikan skripsinya

dengan baik dan berhasil meraih gelar sarjana yang selama ini diharapkan.

Adapun kerangka berpikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

CBT dengan menggunakan teknik Passive


Music Therapy
Kelompok A

ecenderungan Academic Anxiety Tinggi karena Self- Efficacy yang rendah


Kecenderungan
Academic Anxiety
Menurun dan Self-
Efficacy
meningkat
CBT dengan menggunakan teknik Active Music Therapy

Kelompok B

Gambar 2.5 Kerangka Berpikir dalam mereduksi Academic Anxiety dan meningkatkan
Self- Efficacy Mahasiswa yang sedang menyusun Skripsi
115

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan penelitian

masalah yang didasarkan atas teori yang relevan (Creswell, 2015). Berdasarkan

kajian pustaka yang diuraikan di atas, maka hipotesis mayor dalam penelitian ini

ialah sebagai berikut:

Konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy dan active music

therapy dapat secara efektif mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-

efficacy mahasiswa yang sedang menyusun skripsi (Ha).

Hipotesis minor dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy efektif untuk

mereduksi academic anxiety mahasiswa yang sedang menyusun skripsi (Ha1).

2. Konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy efektif untuk

mereduksi academic anxiety mahasiswa yang sedang menyusun skripsi (Ha2).

3. Terdapat perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT

dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap

academic anxiety mahasiswa dalam menyusun skripsi (Ha3).

4. Konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy efektif untuk

meningkatkan self-efficacy mahasiswa yang sedang menyusun skripsi (Ha4).

5. Konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy efektif untuk

meningkatkan self-efficacy mahasiswa yang sedang menyusun skripsi (Ha5).


116

6. Terdapat perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT

dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap self-

efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi (Ha6).

7. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara academic anxiety dan self-

efficacy mahasiswa yang diberikan konseling kelompok CBT dengan teknik

passive music therapy (Ha7).

8. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara academic anxiety dan self-

efficacy mahasiswa yang diberikan konseling kelompok CBT dengan teknik

active music therapy (Ha8).


218

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap mahasiswa BK Unika

Atma Jaya Jakarta angkatan 2013 untuk menguji efektivitas konseling kelompok

CBT dengan teknik passive dan active music therapy untuk mereduksi academic

anxiety dan meningkatkan self-efficacy, maka didapatkan kesimpulan penelitian

sebagai berikut:

1. Konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy terbukti

efektif untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa dalam menyusun

skripsi.

2. Konseling kelompok konseling kelompok CBT dengan teknik active music

therapy terbukti efektif untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa dalam

menyusun skripsi.

3. Terdapat perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT

dengan teknik passive music therapy vs active music therapy terhadap

academic anxiety mahasiswa dalam menyusun skripsi. Passive music therapy

terbukti lebih efektif dibandingkan dengan active music therapy pada saat

pretest vs posttest, namun active music therapy terbukti lebih efektif pada saat

pretest vs follow-up dan posttest vs follow-up dibandingkan dengan passive

music therapy.
219

4. Konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy terbukti

efektif untuk meningkatkan self-efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi.

5. Konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy terbukti efektif

untuk untuk meningkatkan self-efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi.

6. Terdapat perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT

dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap self-

efficacy mahasiswa dalam menyusun skripsi. Passive music therapy terbukti

lebih efektif dibandingkan dengan active music therapy pada saat pretest vs

posttest, namun active music therapy terbukti lebih efektif pada saat pretest vs

follow-up dan posttest vs follow-up dibandingkan dengan passive music

therapy.

7. Ada korelasi negatif antara academic anxiety dan self-efficacy mahasiswa

dalam menyusun skripsi yang diberikan konseling kelompok CBT dengan

teknik passive music therapy.

8. Ada korelasi negatif antara academic anxiety dan self-efficacy mahasiswa

dalam menyusun skripsi yang diberikan konseling kelompok CBT dengan

teknik active music therapy.


220

5.2 Saran

1. Bagi Mahasiswa

Para mahasiswa diharapkan dapat melakukan self-healing melalui passive

atau active music therapy, sehingga academic anxiety dapat tereduksi dengan

baik dan self-efficacy dapat ditingkatkan.

2. Bagi Konselor

Para konselor di Indonesia diharapkan dapat menyusun sebuah rancangan

program & strategi intervensi, melalui layanan konseling kelompok CBT

dengan menggunakan teknik passive music therapy dan active music therapy

untuk meningkatkan self-efficacy dan mereduksi academic anxiety mahasiswa

aktif penyusun skripsi. Selain itu juga, semoga konselor Indonesia

mendapatkan insight baru untuk mengembangkan konseling kreatif dengan

mengintegrasikan praktik keilmuan dengan seni (art) melalui expressive

therapies, seperti musik (music therapy), tari (dance therapy), permainan

(play therapy), menulis (writing therapy), drama (psychodrama therapy),

pasir (sand therapy), buku (bibliotherapy), video (film/video-based therapy),

dan lain sebagainya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penggunaan metodologi penelitian dalam penelitian ini juga dapat dijadikan

sebagai referensi untuk menyempurnakan berbagai keterbatasan penelitian

yang dilakukan sebelumnya, sehingga direkomendasikan kepada para peneliti

selanjutnya untuk merancang penelitian yang lebih baik lagi. Serta para
221

peneliti hendaknya mampu mempersiapkan diri dengan baik dan semaksimal

mungkin dalam melaksanakan konseling kelompok. Jika ingin mereplikasi

penelitian ini, sebaiknya menggunakan desain true experiment sehingga pada

saat pemilihan sampel dapat dilakukan dengan random sampling, sekaligus

dapat melakukan random assignment sebagai random placement dari sampel

yang terpilih. Kemudian, peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambahkan

kelompok ketiga sebagai kontrol atau kelompok yang diberikan teknik

passive dan active music therapy secara bersama-sama (simultan), sehingga

dapat membandingkan efektivitas tiga variasi treatment sekaligus. Terakhir,

peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan pengacakan pada setiap item

instrumen yang diberikan pada saat pretest, posttest, maupun follow-up,

sehingga hal tersebut dapat mengontrol faktor kejenuhan para responden

terhadap testing.
222

DAFTAR PUSTAKA

Adicondro, N., & Purnamasari, A. (2012). Efikasi diri, dukungan sosial keluarga dan
self-regulated learning pada siswa kelas VIII. Humanitas (Jurnal Psikologi
Indonesia), 8(1), 17-27.

Aini, A. N., & Mahardayani, I. H. (2012). Hubungan antara kontrol diri dengan
prokrastinasi dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa Universitas Muria
Kudus. Jurnal Psikologi: PITUTUR, 1(2), 65-71.

Akhtar, H., & Helmi, A. F. (2017). Penyusunan dan identifikasi properti psikometris
skala strategi koping akademik pada mahasiswa. Humanitas (Jurnal Psikologi
Indonesia), 14(2).

Alwisol. (2014). Psikologi kepribadian (cetakan ke-empat belas). Malang: UMM


Press.

Ana, A., Wibowo, M. E., & Wagimin, W. (2017). Bimbingan kelompok dengan
teknik role playing untuk meningkatkan self-efficacy dan harapan hasil
(outcome expectations) karir siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1), 49-53.

Andrzej, W., M. (2009). Stimulation methods in music therapy: Short discussion


towards the bio-cybernetic aspect. Journal of Medical Informatics and
Technologies, 13, 255-258.

Ansoriyah, S. (2017). Pengaruh pemberian musik klasik terhadap kemampuan


menulis berita siswa SMAN 37 Jakarta. AKSIS: Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, 1(1), 104-117.

Ardasheva, Y., Carbonneau, K. J., Roo, A. K., & Wang, Z. (2018). Relationships
among prior learning, anxiety, self-efficacy, and science vocabulary learning of
middle school students with varied English language proficiency. Learning and
Individual Differences, 61, 21-30.

Arizona, Wibowo, M. E., & Japar, M. (2016). Teknik relaksasi berbasis musik
instrumental meningkatkan self-efficacy siswa SMP melalui pengembangan
model konseling kelompok. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 86-92.

Arjanggi, R., & Suprihatin, T. (2011). Metode pembelajaran tutor teman sebaya
meningkatkan hasil belajar berdasar regulasi-diri. Makara Hubs-Asia, 8(3).
223

Arslan, S., Ozer, N., & Ozyurt, F. (2007). Effect of music on preoperative anxiety in
me during undergoing urogenital surgery. Australian Journal of Advanced
Nursing, 26 (2), 46-54.

Ashari, W., Sugiharto, D. Y. P., & Supriyo. (2016). Pengembangan model konseling
kelompok dengan teknik pengelolaan diri untuk meningkatkan efikasi diri siswa
terhadap perilaku berisiko merokok di SMK YPT 1 Purbalingga. Jurnal
Bimbingan Konseling, 5(2), 126-133.

Atiwannapat, P., Thaipisuttikul, P., Poopityastaporn, P., & Katekaew, W. (2016).


Active versus receptive group music therapy for major depressive disorder—A
pilot study. Complementary therapies in medicine, 26, 141-145.

Aziz, A., & Rahardjo, P. (2013). Faktor-faktor prokrastinasi akademik pada


mahasiswa tingkat akhir yang menyusun skripsi di Universitas Muhammadiyah
Purwokerto tahun akademik 2011/2012. PSYCHOIDEA, 11(1).

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baker, F. A., Gleadhill, L. M., Dingle, G. A. (2007). Music therapy and emotional
exploration: Exposing substance abuse clients to the experiences of non-drug-
induced emotions. The Arts in Psychotherapy, 34, 321–330.
Doi:10.1016/j.aip.2007.04.005

Bandura, A. (1986). Social foundation of thought and action: A social cognitive


theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The exercise of control. New York: WH.


Freeman.

Bastemur, S., Dursun-Bilgin, M., Yildiz, Y., & Ucar, S. (2016). Alternative therapies:
new approaches in counseling. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 217,
1157-1166.

Beck, B. D., Hansen, Å. M., & Gold, C. (2015). Coping with work-related stress
through guided imagery and music (GIM): randomized controlled trial. Journal
of music therapy, thv011.

Bibb, J., Castle, D., & Newton, R. (2015). The role of music therapy in reducing post
meal related anxiety for patients with anorexia nervosa. Journal of eating
disorders, 3(1), 50.
224

Brabender, V., & Fallon, A. (2009). Group development in practice: Guidance for
clinicians and researchers on stages and dynamics of change. Washington, DC:
American Psychological Association.
Bradley, L. J., Whiting, P., Hendricks, B., Parr, G., & Jones Jr, E. G. (2014). The use
of expressive techniques in counseling. Journal of Creativity in Mental Health,
3(1), 44-59.
rd
Campbell, D. (2006). Music: Physician for times to come (3 ed.). Wheaton: Quest
Books.

Capuzzi, D., & Gross, D. R. (2011). Counseling and psychotherapy: Theories and
intervention (5th ed.). New Jersey: Merril Prentice Hall.

Chiang, L. (2012). The effect of music and nature sounds on cancer pain and
anxiety in hospice cancer patients (Unpublished dissertation paper). Frances
Payne Bolton School of Nursing Case Western Reserve University.

Clements-Cortés, A. (2016). Development and efficacy of music therapy techniques


within palliative care. Complementary therapies in clinical practice, 23, 125-
129.

Corey, G. (2012). Theory and practice of group counseling (8th ed.). American
Board of Professional Psychology: Brooks/Cole.

Corey, G. (2013). Theory and practice of counseling and psychotherapy (9th ed.).
California: Brooks/Cole.

Cornell University. (2007). Understanding academic anxiety. USA: Cornell


University.

Creswell, J. (2015). Riset pendidikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi riset


kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cozby, P. C., & Bates, S. C. (2016). Methods in Behavioral Research (12th ed.). New
York: Mc Graw Hill Education.

Dacey, J. S. (2000). Your anxious child: How parents and teachers can relieve
anxiety in children. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Dewi, M. P. (2015). Studi Metaanalisis: Musik untuk menurunkan stres. Jurnal


Psikologi, 36(2), 106-115.
225

Dewi, R. (2013). Kinerja kepala sekolah: Pengaruh kepemimpinan transformasional,


konflik dan efikasi diri. Jurnal Ilmu Pendidikan, 18(2).

Djohan. (2006). Terapi musik teori dan aplikasi. Yogyakarta: Galang Press.

Djohan. (2010). Respon emosi musikal. Bandung: Lubuk Agung.

Dwistia, H., Purwanto, E., & Sunawan. (2016). Keefektifan konseling kelompok
dengan strategi self-management dalam meningkatkan classroom engagement
siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 113-118.

Dwitantyanov, A., Hidayati, F., & Sawitri, D. R. (2010). Pengaruh pelatihan berpikir
positif pada efikasi diri akademik mahasiswa (studi eksperimen pada
mahasiswa fakultas psikologi Undip Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 8(2),
135-144.

Eerikainen, H., A. (2007). Low Frequencies research-client population and annual


frequenxies used. Sound Effects Annual, 4, 2-5.

Efastri, S. M., & Wibowo, M. E. (2015). Keefektifan konseling kelompok dengan


pendekatan behavioral untuk mengurangi perilaku bullying, perilaku
agresif. Jurnal Bimbingan Konseling, 4(2), 114-120.

Eka, D. A., & Nurhayati, E. (2015). Konseling singkat berfokus solusi untuk
meningkatkan orientasi masa depan pada bidang pendidikan. Humanitas
(Jurnal Psikologi Indonesia), 12(1), 1-11.

Eka, E. (2009). Pusat Riset Terapi Musik dan Gelombang Otak. Indonesia:
http://terapimusik.com.

Emory University. (2015). Suicide Statistics. Retrieved from


http://www.emorycaresforyou.emory.edu/resources/suicidestatistics.html

Erfantinni, I. H., Purwanto, E., & Japar, M. (2016). Konseling kelompok cognitive-
behavior therapy dengan teknik cognitive restructuring untuk mereduksi
prokrastinasi akademik. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 119-125.

Etiafani, E., & Listiara, A. (2015). Self-regulated learning dan kecemasan akademik
pada siswa SMK. Empati, 4(4), 144-149.
226

Faradisi, F. (2012). Efektivitas terapi murotal dan terapi musik klasik terhadap
penurunan tingkat kecemasan pasien pra-operasi di Pekalongan. Jurnal ilmiah
kesehatan, 5(2).

Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS (3rd ed.). British: Sage
Publications.
Finnerty, R. (2006). Music therapy as an intervention for pain perception
(Unpublished Thesis Paper). England; Anglia Ruskin University Cambridge.

Firmantyo, T., & Alsa, A. (2016). Integritas akademik dan kecemasan akademik
dalam menghadapi ujian nasional pada siswa. Psikohumaniora: Jurnal
Penelitian Psikologi, 1(1), 1-11.

Fox, E. I., & McKinney, C. H. (2015). The bonny method of guided imagery and
music for music therapy interns: A survey of effects on professional and
personal growth. Music Therapy Perspectives, miu049.

Fredenburg, H. A., Silverman, M. J. (2014). Psychotherapy effects of cognitive-


behavioral music therapy on fatigue in patients in a blood and marrow
transplantation unit: A mixed-method pilot study. The Arts in Psychotherapy,
41, 433–444. http://dx.doi.org/10.1016/j.aip.2014.09.002

Ghasemzadeh, A. (2011). Effects of group “systematic motivational counseling”


(SMC) on university student's academic achievement and test anxiety.
Procedia-Social and Behavioral Sciences, 30, 2482-2486.

Ghufron, M. N., & Rini R. S. (2010). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media.

Gibson, R. L., Mitchell, M. H. (2011). Bimbingan dan konseling (edisi ketujuh).


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giovagnoli, A. R., Oliveri, S., Schifano, L., & Raglio, A. (2014). Active music
therapy improves cognition and behaviour in chronic vascular encephalopathy:
A case report. Complementary therapies in medicine, 22(1), 57-62.

Gladding, S. T., Newsome, D., Binkley, E., & Henderson, D. A. (2015). The lyrics of
hurting and healing: Finding words that are revealing. Journal of Creativity in
Mental Health, 3(3), 212-219.
Gladding, S. T. (2012). Konseling profesi yang menyeluruh. Jakarta: Indeks.
227

Gladding, S. T. (2016). The creative arts in counseling. Alexandria, VA – USA:


American Counseling Association.

Gómez Gallego, M., & Gómez Garcia, J. (2017). Music therapy and Alzheimer’s
disease: Cognitive, psychological, and behavioural effects. Journal of
Neurología, http://dx.doi.org/10.1016/j.nrl.2015.12.003
Gómez-Romero, M., Jiménez-Palomares, M., Rodríguez-Mansilla, J., Flores-Nieto,
A., Garrido-Ardila, E.M., & González-López-Arza, M.V. (2016). Benefits of
music therapy on behaviour disorders insubjects diagnosed with dementia: A
systematicreview. Journal of Neurología,
http://dx.doi.org/10.1016/j.nrl.2014.11.001

Good, M., Stanton-Hicks, M., Grass, J. A., Anderson, G.C., Lai, H., Roykulcharon,
V., & Adler, P. A. (2001). Relaxation and music to reduce postsurgical pain.
Journal of Advanced Nursing, 33 92, 208-215.

Gutiérrez, E. O. F., & Camarena, V. A. T. (2015). Music therapy in generalized


anxiety disorder. The Arts in Psychotherapy, 44, 19-24.

Habiba, A., Wibowo, M. E., & Japar, M. (2017). Model konseling kelompok teknik
self-instruction untuk meningkatkan self-confidence siswa SMP. Jurnal
Bimbingan Konseling, 6(1), 1-6.

Hamzah, H., Sugiharto, D. Y. P., & Tadjri, I. (2017). Efektifitas konseling kelompok
dengan teknik relaksasi religius untuk mengurangi kejenuhan belajar
mahasiswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1), 7-12.

Haryanto, B. (2016). Efikasi diri, kualitas pengajaran, sikap positif, dan kinerja
akademis mahasiswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(3).

Hatice Çiftçi , R. N., & Öztunç, G. (2015). The effect of music on comfort, anxiety
and pain in the intensive care unit: A case in Turkey. International Journal of
Caring Sciences, 8(3), 594.

Hayati, S. (2015). Peran efikasi diri, persepsi human resource management practices
(HRMP) terhadap inovasi kerja dengan sukses karir. Humanitas (Jurnal
Psikologi Indonesia), 12(2).

Heather, S. (2010). The healing power of sound: the latest research related to health
and music therapy. (www.tlfi.com/2010/06/the-latest-research--related-to-
health-and-music.pdf, diperoleh tanggal 19 April 2017)
228

Hendiani, N., Sakti, H., & Widiyanti, C. G. (2013). Hubungan antara persepsi
dukungan keluarga sebagai pengawas minum obat dan efikasi diri penderita
tuberkolosis di BKPM Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 12(1), 1-10.

Hidajat, L. L. (2007). Panduan penyusunan dan penulisan skripsi. Jakarta:


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

http://css.loyno.edu/counseling/dual-degree-master-science-counseling-and-master-
music-therapy

http://www.lesley.edu/master-of-arts/expressive-therapies/music-therapy/mental-
health-counseling/

Hui-Chi Li R. N., Hsiu-Hung Wang R. N., Fan-Hao Chou R. N., & Kuei-Min Chen
R. N. (2015). The effect of music therapy on cognitive functioning among older
adults: A systematic review and meta-analysis. JAMDA The Society for Post-
Acute and Long-Term Care Medicine., 16, 71-77.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jamda.2014.10.004

Ilie, G. (2013). Effects of individual music playing and music listening on acute-
stress recovery. Canadian Journal of Music Therapy, 19(1), 23-46.

Indonesia, P. R. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Indrawan, A.F. (2016). Stres skripsi ditolak, Efren tewas gantung diri.
https://news.detik.com/berita/3263003/stres-skripsi-ditolak-efren-tewas-
gantung-diri (Diakses pada 2 Oktober 2016).

Indri, M. D. B., Sugiharto, D. Y. P., Purwanto, E. (2016). Pengembangan model


konseling kelompok dengan teknik spirituality-cognitive restructuring untuk
meningkatkan self-esteem siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 100-106.

Iswandi, I. (2015). Refleksi psikologi musik dalam perilaku masyarakat sehari-


hari. Humanus, 14(2), 152-157.

Jeffrey. (2005). Psikologi abnormal. Jakarta: Erlangga.

Kingkade, T. (2015). The number of college students seeking mental health treatment
is growing rapidly. Retrieved from
http://www.huffingtonpost.com/entry/college-students-mental-health-
treatment_us_5696a1dde4b0ce496422e8f1
229

Kompas.com. (2008). Hendrawan nekat bunuh diri karena masalah kuliah.


http://nasional.kompas.com/read/2008/12/15/17173291/hendrawan.nekat.bunuh
.diri.karena.masalah.kuliah (Diakses pada 2 Oktober 2016).

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamentals of Nursing,
th
Concepts, Process, and Practice. (8 ed.), California: Addison-Wesley.
Kuntjojo. (2009). Metode penelitian. Kediri: Universitas Nusantara PGRI.

Laura, D., Sylvie, J., & Aurore, S. (2015). The effects of music therapy on anxiety
and depression. Ann Depress Anxiety, 2(4), 1057.

Lidyansyah, I. P. D. (2014). Menurunkan tingkat stres kerja pada karyawan melalui


musik. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(1), 62-74.

Liebmann, M. (2004). Art therapy for groups: A handbook of themes and exercises.
London: Psychology Press.

Lilley, J. L., Oberle, C. D., & Thompson Jr, J. G. (2014). Effects of music and grade
consequences on test anxiety and performance. Psychomusicology: Music,
Mind, and Brain, 24(2), 184.

Limb, C. (2006). Structural and functional neural correlates of music perception. The
Anatomical Record Part A, 288, 435-446.

Luddin, A. B. M. (2014). Atribut konselor dan resistensi pelajar dalam


konseling. Jurnal Ilmu Pendidikan, 20(2).

Mahanani. (2013). Durasi pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat
kecemasan pada anak. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.

Mahfud, A., Jafar, M., & Sunawan, S. (2017). Dampak konseling kelompok cognitive
behavior therapy dengan teknik stress inoculation training terhadap toleransi
distres akademik melalui hardiness. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1), 94-100.

Mamahit, H. C., & Situmorang, D. D. B. (2017). Hubungan self-determination dan


motivasi berprestasi dengan kemampuan pengambilan keputusan siswa
SMA. Psibernetika, 9(2).
230

Martha, J. A. (2015). Peningkatan hasil belajar, aktivitas, dan efikasi diri melalui
pembelajaran model carousel feedback dan showdown pada mata pelajaran
kewirausahaan. JKI (Jurnal Konseling Indonesia), 1(1), 68-75.

Minauli, I., & Butar-butar, I. B. B. (2017). Hubungan antara efikasi diri dan regulasi
diri dalam belajar dengan prestasi akademik mahasiswa. Analitika, 3(2), 79-84.

Morosanova, V. I., & Fomina, T. G. (2017). Self-regulation as a mediator in the


relationship between anxiety and academic examination
performance. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 237, 1066-1070.

Mucci, R., & Mucci, K. (2002). The healing sound of music. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.

Mungas, R., & Silverman, M. J. (2014). Immediate effects of group-based wellness


drumming on affective states in university students. The Arts in Psychotherapy,
41(3), 287-292.

Myrick, R. D. (2011). Developmental guidance and counseling: A practical


approach (5th ed.). Minneapolis: Educational Media Corporation.

Nasional, D. P. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia Pusat Bahasa-4/E.

Natalia, D. (2013). Terapi musik bidang keperawatan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Nilsson, U. (2009). Caring music: Music intervention for improved health.


(www.orebroll.se/uso/page_2436.aspx, diperoleh tanggal 19 April 2017).

Ningrum, D. W. (2011). Hubungan antara optimisme dan coping stres pada


mahasiswa UEU yang sedang menyusun skripsi. Jurnal Psikologi, 9(01).

Novita, P. (2012). Pengaruh terapi musik terhadap nyeri post operasi open
Reduction and internal fixation (ORIF) di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung. Depok: Tesis Universitas Indonesia.

Nurlaila, S. (2011). Pelatihan efikasi diri untuk menurunkan kecemasan pada siswa-
siswi yang akan menghadapi ujian akhir nasional. GUIDENA: Jurnal Ilmu
Pendidikan, Psikologi, Bimbingan dan Konseling, 1(1), 1-22.

Oktavia, N. S., Gandamiharja, S., & Akbar, I. B. (2013). Perbandingan efek musik
klasik Mozart dan musik tradisional gamelan jawa terhadap pengurangan nyeri
231

persalinan kala I fase aktif pada nulipara. Majalah Kedokteran Bandung, 45(4),
218-225.

Ottens, A. J. (1991). Coping with academic anxiety. New York: The Rosen
Publishing Group.

Pasero, C., & McCaffery, M. (2007). Orthopaedic post operative pain management.
Journal of Peri Anesthesia Nursing, 22 (3), 160-174.

Pramudhanti, H., & Mabruri, M. I. (2017). Efektivitas meditasi transedental untuk


menurunkan stres pada penderita hipertensi. Intuisi: Jurnal Psikologi
Ilmiah, 9(2), 115-128.

Pratiwi, P. C., Andayani, T. R., & Karyanta, N. A. (2012). Perilaku adiksi game-
online ditinjau dari efikasi diri akademik dan keterampilan sosial pada remaja
di Surakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 1(2).

Prayitno & Erman, A. (2013). Dasar-dasar bimbingan & konseling. Jakarta: Rineka
Cipta.

Purwanto, E. [sebagai kontributor] dalam Prawitasari, J. E. (2012). Psikologi


terapan: melintas batas disiplin ilmu. Jakarta: Erlangga.

Purwanto, E. (2013). Metode penelitian kuantitatif. Semarang: Fakultas Ilmu


Pendidikan Universitas Semarang.

Raharja, B., & Hum, M. (2011). Efek musik terhadap prestasi anak usia prasekolah:
Studi komparasi efek lagu anak, dolanan jawa, dan musik klasik. Cakrawala
Pendidikan Edisi Juni 2009.

Raharjo, E. (2007). Musik sebagai media terapi. Harmonia: Journal of Arts Research
and Education, 8(3).

Rahmayati, E., & Handayani, R. S. (2017). Perbedaan pengaruh terapi psikoreligius


dengan terapi musik klasik terhadap kecemasan pasien pre operatif di RSUD dr.
H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Kesehatan, 8(2), 191-198.

Rahmayati, T. E., & Lubis, Z. (2017). Hubungan Efikasi Diri Akademik dan
Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri. Analitika, 5(2), 43-49.
232

Rizvi, A., Prawitasari, J. E., & Soetjipto, H. P. (1997). Pusat kendali dan efikasi-diri
sebagai prediktor terhadap prokrastinasi akademik mahasiswa. Psikologika:
Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 2(3), 51-66.

Roffiq, A., Qiram, I., & Rubiono, G. (2017). Media musik dan lagu pada proses
pembelajaran. JPDI (Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia), 2(2), 35-40.

Rogers, D. R. B., Sue Ei, Rogers, K. R., Cross, C. L. (2007). Evaluation of a multi-
component approach to cognitive–behavioral therapy (CBT) using guided
visualizations, cranial electrotherapy stimulation, and vibroacoustic sound.
Complementary Therapies in Clinical Practice, 13, 95–101.
Doi:10.1016/j.ctcp.2006.10.002

Rosanty, R. (2014). Pengaruh musik Mozart dalam mengurangi stres pada mahasiswa
yang sedang skripsi. Journal of Educational, Health and Community
Psychology, 3(2), 71-78.

Samsudi. (2009). Desain penelitian pendidikan. Semarang: UNNES PRESS.

Saputra, R., Purwanto, E., & Awalya, A. (2017). Konseling kelompok teknik self-
instruction dan cognitive restructuring untuk mengurangi prokrastinasi
akademik. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1), 84-89.

Sarwono, J. (2006). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yogjakarta: Graha


Ilmu.

Sawitri, D. R. (2009). Pengaruh status identitas dan efikasi diri keputusan karir
terhadap keraguan mengambil keputusan karir pada mahasiswa tahun pertama
di Universitas Diponegoro. Junal Psikologi Undip.

th
Schultz, D. & Schultz, E. S. (2005). Theories of personality (8 ed.).

Schunk, D. H., Pintrich, P. R., Meece, J. L. (2008). Motivation in education, theory,


research, and applications (3rd ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Schwarzer. (1996). Indonesian adaptation of the general self-efficacy scale.


http://www.ralfschwarzer.de/ diakses pada tanggal 17 April 2017.

Sedjati, F. (2013). Hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan
kebermaknaan hidup pada penderita tuberkulosis paru di balai pengobatan
233

penyakit paru-paru (BP4) Yogyakarta. EMPATHY: Jurnal Fakultas


Psikologi, 2(1).

Selvia, F., Sugiharto, D. Y. P., & Samsudi, S. (2017). Teknik cognitive restructuring
dan thought stopping dalam konseling kelompok untuk mengurangi perilaku
bullying siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1), 20-27.

Sharf, R.S. (2012). Theories of psychotherapy and counseling: Concepts and cases
(5th ed.). California: Brooks/Cole.

Sharma, M., & Jagdev, T. (2012). Use of music therapy for enhancing self-esteem
among academically stressed adolescents. Pakistan Journal of Psychological
Research, 27(1), 53.

Sholikhah, L. D., Sugiharto, D. Y. P., & Tadjri, I. (2017). Model konseling kelompok
dengan teknik penguatan positif untuk mereduksi prokrastinasi akademik
siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1), 62-72.

Silverman, M. J. (2012). Effects of group songwriting on motivation and readiness


for treatment on patients in detoxification: A randomized wait-list effectiveness
study. Journal of music therapy, 49(4), 414-429.

Sitepu, N. L. (2013). Pelatihan appreciative inquiry untuk meningkatkan efikasi diri


wiraniaga dalam melakukan tugas penjualan. Jurnal Psikologi Undip, 12(2),
131-151.

Situmorang, D. D. B. (2016). Hubungan antara potensi kreativitas dan motivasi


berprestasi mahasiswa program studi bimbingan dan konseling angkatan 2010
FKIP Unika Atma Jaya. JBKI (Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia), 1(1), 6-
9.

Situmorang, D. D. B. (2017a). Efektivitas pemberian layanan intervensi music


therapy untuk mereduksi academic anxiety mahasiswa terhadap skripsi. JBKI
(Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia), 2(1), 4-8.

Situmorang, D. D. B. (2017b). Mahasiswa mengalami academic anxiety terhadap


skripsi? Berikan konseling cognitive behavior therapy dengan musik. Jurnal
Bimbingan dan Konseling Ar-Rahman, 3(2), 31-42.

Situmorang, D. D. B. (2018). Keefektifan konseling kelompok cognitive behavior


therapy (CBT) dengan teknik passive dan active music therapy terhadap
234

academic anxiety dan self-efficacy (Unpublished master’s thesis). Program


Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Indonesia.

Skudrzyk, B., Zera, D. A., McMahon, G., Schmidt, R., Boyne, J., & Spannaus, R. L.
(2014). Learning to relate: Interweaving creative approaches in group
counseling with adolescents. Journal of Creativity in Mental Health, 4(3), 249-
261.

Spahn, C. (2015). Treatment and prevention of music performance anxiety. Progress


in Brain Research, ISSN 0079-6123,
http://dx.doi.org/10.1016/bs.pbr.2014.11.024

Stamoua V., Chatzoudi, T., Stamouc, L., Romod, L., & Grazianie, P. (2016). Music-
assisted systematic desensitization for the reduction of craving in response to
drug-conditioned cues: a pilot study. The Arts in Psychotherapy, S0197-
4556(15)30023-X. http://dx.doi.org/doi:10.1016/j.aip.2016.08.003

Stuart, G. W., & Sundeen, S. J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing
(4th ed.). St. Louis: Mosby Year Book.

Sudarnoto, L. F. N., Pedhu, Y., Mamahit, H. C., & Prasetiyo, T. D. (2012). Panduan
penulisan skripsi. Jakarta: FKIP Unika Atma Jaya.

Sugiyono. (2015). Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif,


dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suidah, H., & Cahyono, E. A. (2016). Intervensi terapi musik klasik sebagai
penanganan depresi pada lansia. Jurnal Keperawatan, 9(2), 09-16.

Sulistyaningsih, D. R. (2018). Efektivitas training efikasi diri pada pasien penyakit


ginjal kronik dalam meningkatkan kepatuhan terhadap intake cairan. Majalah
Ilmiah Sultan Agung, 50(128), 11-25.

Sumaryanto, F. T. (2000). Kemampuan musikal (musical ability) dan pengaruhnya


terhadap prestasi belajar musik. Harmonia: Journal of Arts Research and
Education, 1(1).

Susanti, D. W., & Rohmah, F. A. (2012). Efektivitas musik klasik dalam menurunkan
kecemasan matematika (math anxiety) pada siswa kelas XI. HUMANITAS
(Jurnal Psikologi Indonesia), 8(2), 129-142.
235

Suseno, M. N. M. (2017). Pengaruh pelatihan komunikasi interpersonal terhadap


efikasi diri sebagai pelatih pada mahasiswa. JIP: Jurnal Intervensi
Psikologi, 1(1), 93-106.

Sutisna, Y., & Tadjri, I. (2017). Keefektifan konseling kelompok behavioral teknik
systematic desensitization berbantuan musik klasik jawa untuk mereduksi
communication apprehension. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 74-81.

The Association for Creativity in Counseling (ACC)


(http://www.creativecounselor.org/)

Vargas, M. E. R. (2015). Music as a resource to develop cognition. Procedia - Social


and Behavioral Sciences, 174, 2989 – 2994.

Variansyah, V., & Listiara, A. (2017). Hubungan orientasi tujuan performa dengan
kecemasan akademik pada siswa kelas X di SMA negeri “a”
Semarang. Empati, 6(1), 419-424.

Wahyuni, S. (2013). Hubungan efikasi diri dan regulasi emosi dengan motivasi
berprestasi pada siswa SMK Negri 1 Samarinda. E Journal Psikologi, 1(1), 88-
95.

White, J. R. (2000). Cognitive behavioral group therapy for specific problems and
populations. Washington, DC: American Psychological Association.
White, S. D., & Davis, N. L. (2011). Integrating the expressive arts into counseling
practice (theory-based interventions). New York: Springer Publishing
Company.

Wibawa, A. E. Y., Sutoyo, A, & Sugiyo. (2015). Pengembangan model konseling


kelompok behaviour dengan teknik modeling untuk meningkatkan kedisiplinan
siswa SMA kabupaten Lamongan. Jurnal Bimbingan Konseling, 4(2), 85-91.

Wibowo, M. E. (2005). Konseling kelompok perkembangan. Semarang: UNNES


Press.

Wicaksono, H. Y. (2009). Kreativitas dalam pembelajaran musik. Jurnal Cakrawala


Pendidikan, 1(1).

Wigram, T., Pedersen, I. N., & Bonde, L. O. (2002). A comprehensive guide to music
therapy (theory, clinical practice, research and training). London: Jessica
Kingsley Publisher, Ltd.
236

Wijaya, I. P. (2012). Efikasi diri akademik, dukungan sosial orangtua dan


penyesuaian diri mahasiswa dalam perkuliahan. PERSONA: Jurnal Psikologi
Indonesia, 1(1).

Wika. (2016). 10 fakta mahasiswa bunuh dosen di toilet.


http://kompasnasional.com/10-fakta-mahasiswa-bunuh-dosen-umsu-di-toilet/m
(Diakses pada 2 Oktober 2016).

Wikarta, V. S. (2016). Pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan person-


centered therapy dalam menangani regulasi diri rendah empat mahasiswa
angkatan 2014 prodi bimbingan dan konseling fakultas pendidikan dan bahasa
Unika Atma Jaya. Psiko-Edukasi, 14(2), 125-142.

Winkel, W. S., & Hastuti, S. (2011). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan.
Yogyakarta: Media Abadi.

Zarate, R. (2016). Clinical improvisation and its effect on anxiety: A multiple single
subject design. The Arts in Psychotherapy, 48, 46-53.

Zarei, E., Fini, A. A. S., & Khajehzadeh Fini, H. (2010). A comparison of Effect of
group counselling methods, behavioural, cognitive and cognitive-behavioural to
reduce students Test anxiety in the University of Hormozgan. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 5, 2256-2261.

Zhang, Y., Jiayi Cai, Li An, Fuhai Hui, Tianshu Ren, Hongda Ma, & Qingchun Zhao.
(2017). Does music therapy enhance behavioral and cognitive function in
elderly dementia patients? A systematic review and meta-analysis. Ageing
Research Reviews, S1568-1637(16)30280-X.
http://dx.doi.org/doi:10.1016/j.arr.2016.12.003

Anda mungkin juga menyukai