Alamanda PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

12

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Alamanda (Allamanda cathartica L.)

Menurut Naiola (1986), tanaman alamanda merupakan golongan

tanaman liana atau merambat. Menurut Widiyastuti dkk. (2009), tanaman

ini memiliki batang berkayu berwarna hitam kecoklatan. Menurut Naiola

(1986), tanaman ini di Indonesia banyak terdapat di Pulau Jawa dan Bali.

Menurut Heyne (1987), taksonomi tanaman alamanda secara lengkap adalah

sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Agiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Apocynales
Suku : Apocynaceae
Marga : Allamanda
Spesies : Allamanda cathartica L.

3
Gambar 1. Tanaman Allamanda cathartica dengan (1) bunga berbentuk terompet
berwarna kuning terang, (2) daun mengkilat, berbentuk lanset
berwarna hijau, dan (3) batang berwarna coklat tua (Sumber:
Encyclopedia of Life, 2011).
12
13

Menurut Heyne (1987), tanaman alamanda memiliki habitus perdu,

tinggi 4-5 m. Batang berkayu, bulat, berbaring, berbuku-buku, tiap buku

terdapat daun yang melingkar, empat sampai lima helai, bergetah,

percabangan monopodial, cabang muda hijau, atas ungu, putih kehijauan.

Daun tunggal, lonjong, tepi rata melipat ke bawah, ujung dan pangkal

meruncing, panjang 5-16 cm, lebar 2,5-5 cm, tebal, pertulangan menyirip,

hijau. Bunga majemuk, bentuk tandan, berkelamin dua, di ujung cabang dan

ketiak daun, tangkai silindris, pendek, hijau, kelopak bentuk lanset,

permukaan halus, hijau, benang sari tertancap pada mahkota, mahkota

berseling pada lekukan, tangkai putik silindris, kepala putik bercangap dua,

berwarna kuning, mahkota bentuk terompet atau corong, permukaan rata,

kuning. Buah kotak, bulat, diameter ± 1,5 cm. Biji bentuk segitiga, masih

muda hijau keputih-putihan setelah tua hitam. Akar tunggang, berwarna

putih kotor.

B. Kandungan dan Manfaat Senyawa dari Daun Alamanda

Penelitian yang dilakukan oleh Vibrianthi (2011), menyatakan

bahwa dalam uji kuntitatif ekstrak air dan metanol daun A. cathartica positif

mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, dan steroid (Tabel

1). Menurut Viaza (1991), senyawa polar yang tertarik dalam ekstrak etanol

seperti saponin, flavonoid dan minyak atsiri mempunyai target aktivitas

pada sel jamur dengan membentuk senyawa kompleks dengan sterol dari

dinding sel, dan selanjutnya memengaruhi permeabilitas membran sel,


14

sintesis asam nukleat, fosforilasi oksidatif dan transport elektron yang

mengakibatkan gangguan metabolisme dan penghambatan pertumbuhan

selnya.

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kasar Air dan Metanol Alamanda
Fitokimia
Sampel Bagian 1 2 1 2 1 2
A A B B C C D1 D2 E1 E2 F1 F2 G1 G2
A. schottii

Cika- Daun + – + – + + + + + + – – + +
bayan 1 Batang + + + + + + – – – – – – – +
Daun + + + + – + + + + + – – + +
Cipanas Batang + + – – – – – – – – – + + +
Bunga + + + + + + – + – + – + + –
Daun + + + + + – + + + + – – – +
Cisarua
Batang – – + – – – – – – – – + + +
A. cathartica
Daun + + + + + + + + + + – – – +
Cika-
Batang – – + + – + – – – – – – – +
bayan 2
Bunga – – + + + – + + + + – + + –
Daun + + + + – + + + + + – – + +
Cibirus Batang + + + + + – – – – – – + – –
Bunga + + + + + – + + + + – + – –
Keterangan: (1) ekstrak air, (2) ekstrak metanol, (A) flavonoid, (B) alkaloid, (C) saponin,
(D) tanin, (E) fenol, (F) terpenoid, (G) steroid, (+) positif, dan (–) tidak terdeteksi.
Sumber: Vibrianthi (2011).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Schmidt dkk.

(2006), dinyatakan bahwa dalam Allamanda cathartica terdapat senyawa

bioaktif iridoid lakton berupa plumerisin, isoplumerisin, alamandin,

plumieride, plumeiride kumarat, dan plumieride kumarat glikosida,


15

sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Amaral dkk. (2013), secara lebih

spesifik menyatakan kandungan iridoid di dalam eksrak etanol daun

Allamanda cathartica berupa isoplumerisin dan plumerisin. Kandungan

iridoid lain pada tanaman alamanda terdapat pada bagian akarnya.

Menurut Silva dkk. (2010) dan Sticher (1977), plumericin adalah

anggota penting dari tetracyclic sesequiterpene yang umum ditemukan

dalam berbagai keluarga tanaman, termasuk dari genus Apocynaceae yang

berbeda, seperti spesies Plumeria sp, Allamanda sp, dan Himatanthus sp.

Menurut Singh, dkk. (2011) dan Sticher (1977), aktivitas antijamur,

antikanker, antivirus, dan antibakteri dari plumericin telah dilaporkan

sebelumnya. Menurut Castillo dkk. (2007), senyawa yang diisolasi dari

spesies lain Apocynaceae (Himatanthus sucuba) telah terbukti memiliki

aktivitas antiparasit terhadap Leishmanial amazonnensis, yang bertanggung

jawab terhadap leishmaniasis kulit. Menurut Kupchan dkk. (1974), hal yang

diyakini bahwa aktivitas yang kuat dari plumerisin tetrasiklik karena adanya

suatu gugus  - metilen - γ - lakton yang peka terhadap nukleofil biologis.

Knobloch dkk. (1989) juga melaporkan bahwa seskuiterpen memengaruhi

keberadaan bakteri yang meliputi penghambatan transpor elektron,

translokasi protein, langkah-langkah fosforilasi dan reaksi yang tergantung

pada enzim lain. Hal tersebut merupakan mekanisme yang paling mirip atau

bertanggung jawab atas aktivitas antijamur dari senyawa yang diteliti.

Menurut Glinski dan Branly (2002), karakteristik struktural dan sifat kimia

dari terpen dan asam lemak memainkan peran utama dalam menandai
16

aktivitas antijamur yang signifikan untuk komposisi yang mengandung

senyawa ini dengan kehadiran kelompok-kelompok oksigen substituen

seperti hidroksil dan karboksil.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prabhadevi dkk. (2012)

mengenai studi fitokimia dari A. cathartica menggunakan metode GC-MS,

kandungan senyawa-senyawa dalam daun A. cathartica kurang lebih

berjumlah 28 macam senyawa (Tabel 2). Senyawa antijamur yang berhasil

diidentifikasi menggunakan metode GC-MS tersebut antara lain asam

heksanoat,etil ester, asam oktanoat, etil ester, asam benzoat, 2-hidroksi-metil

ester, serta skualen yang menurut Haron dkk. (2013) juga merupakan

senyawa antijamur. Skualen merupakan golongan triterpen yang memiliki

manfaat atau kegunaan sebagai antimikrobia, antioksidan, antitumor,

antikanker, imunostimulan, pestisida, dan kemopreventif.


17

Tabel 2. Senyawa-senyawa dalam ekstrak etanol daun Allamanda cathartica yang


diidentifikasi dengan GC-MS.
18

Tabel 2. Lanjutan

Sumber: Prabhadevi dkk. (2012).


19

C. Kegunaan Tanaman Alamanda

Herbal merupakan campuran bahan alami yang berbentuk racikan

atau ramuan yang dalam formulasinya tanpa penambahan bahan kimia

sintetik. Pemakaian herbal untuk penanganan kesehatan telah berkembang

sangat pesat seiring dengan trend kembali ke bahan alami (back to nature)

(Hernani, 2011). Tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat

Indonesia sebagai salah satu alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan

penyakit, penyembuhan, pemulihan kesehatan serta peningkatan derajat

kesehatan (Katno dan Pramono, 2002). Hal ini dikarenakan tanaman

mengandung banyak senyawa-senyawa yang mempunyai khasiat

pengobatan, yang dikenal sebagai senyawa fitokimia, yaitu kelompok

senyawa alami yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan dan

mengobati penyakit (Hernani dan Nurdjanah, 2009).

Alamanda diketahui memiliki banyak spesies, diantaranya A.

cathartica, A. schottii, A. hendersoni, A. blanchetti, dan A. neriifolia

(Heyne, 1987). Tanaman alamanda (Allamanda cathartica L.) yang selama

ini sering dijumpai sebagai tanaman penghias pagar, sebenarnya merupakan

salah satu tanaman obat. Sejak zaman dahulu, tanaman alamanda secara

tradisional telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat.

Menurut Hidayat (2011), daun alamanda dapat digunakan sebagai penawar

racun, obat lever, obat pencahar, dan obat batuk. Menurut Vibrianthi (2011),

daun alamanda juga dapat digunakan untuk mengobati demam. Selain itu,

Suganda, dkk. (2003) juga menyebutkah bahwa daun alamanda dapat


20

digunakan sebagai obat borok dan infeksi kulit lainnya. Menurut Tiwary

dkk. (2002), ekstrak daun A. cathartica telah dilaporkan memiliki efek

antidermatopik yang kuat. Selain berfungsi sebagai antidermatopik,

Yamauchi dkk. (2010), menyebutkan bahwa batang tanaman A. cathartica

memiliki fungsi biologis sebagai inhibitor tirosinase. Menurut Ghani (1998),

ekstrak akar tanaman alamanda diketahui berfungsi untuk hipotensi,

antileukemia, dan juga digunakan sebagai penawar racun untuk gigitan ular.

D. Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah salah satu cara pemisahan komponen-komponen

dari suatu sistem campuran, baik yang berupa campuran padatan-padatan,

padatan-cairan maupun cairan-cairan. Produk utama yang dikehendaki dari

ekstraksi adalah ekstraknya, sedangkan ampas atau residunya merupakan

hasil samping (Earle, 1983). Ekstraksi dibedakan menjadi dua macam, yaitu

ekstraksi kimiawi dan ekstraksi fisis-mekanis. Ekstraksi cara mekanis hanya

dapat dilakukan untuk pemisahan komponen dalam sistem campuran padat-

cair (Suyitno, 1989). Pada ekstraksi padat-cair, komponen yang dipisahkan

berasal dari benda padat (Earle, 1983).

Menurut Harborne (1987), ekstraksi merupakan proses pemisahan

dua zat atau lebih dengan menggunakan pelarut yang tidak saling campur.

Berdasarkan fase yang terlibat, terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi

cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pemindahan komponen dari padatan ke

pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui tiga tahapan, yaitu difusi pelarut ke
21

pori-pori padatan atau ke dinding sel, di dalam dinding sel terjadi pelarutan

padatan oleh pelarut, dan tahapan terakhir adalah pemindahan larutan dari

pori-pori menjadi larutan ekstrak. Ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh

waktu ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut

yang digunakan. Menurut Sudarmadji dan Suhardi (1996), tingkat ekstraksi

bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan yang diekstrak

sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan

pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik.

Menurut Muchsony (1997), terdapat dua macam ekstraksi padat-cair,

yaitu dengan cara sokletasi dan perkolasi dengan atau tanpa pemanasan.

Metode lain yang lebih sederhana dalam mengekstrak padatan adalah

dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan

larutan dengan padatan tak terlarut. Menurut Harborne (1987), metode

ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan

ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi,

reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terdiri dari sokletasi,

arus balik, dan ultrasonik.

Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak jaringan tanaman

yang belum diketahui kandungan senyawanya yang kemungkinan bersifat

tidak tahan panas sehingga kerusakan komponen tersebut dapat dihindari.

Kekurangan dari metode ini adalah waktu yang relatif lama dan

membutuhkan banyak pelarut (Harborne, 1987). Ekstraksi dengan metode

maserasi menggunakan prinsip kelarutan (Harborne, 1987). Prinsip


22

kelarutan adalah like dissolve like, yaitu (1) pelarut polar akan melarutkan

senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut non-polar akan melarutkan

senyawa non-polar, (2) pelarut organik akan melarutkan senyawa organik.

Menurut Ansel (1989), prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif

yang dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai

selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya,

pelarut akan masuk ke dalam sel dari tanaman melewati dinding sel. Isi sel

akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel

dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar

dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa

tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di

luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi (biasanya berkisar 2-14

hari) dilakukan pengadukan atau pengocokan setiap hari. Pengocokan

memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh

permukaan simplisia yang halus. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan

filtratnya dipekatkan.

Menurut Williams (1981), ada dua syarat agar pelarut dapat

digunakan di dalam proses ekstraksi, yaitu pelarut tersebut harus merupakan

pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut tersebut harus

dapat terpisah dengan cepat setelah pengocokan. Dalam pemilihan pelarut

yang harus diperhatikan adalah toksisitas, ketersediaan, harga, sifat tidak

mudah terbakar, rendahnya suhu kritis, dan tekanan kritis untuk

meminimalkan biaya operasi serta reaktivitas. Menurut Harborne (1987),


23

ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis

pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan untuk memperoleh

hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang

terkandung dalam contoh uji.

Pelarut yang digunakan untuk maserasi daun alamanda, yaitu etanol.

Pelarut etanol dipilih berdasarkan penelitian terdahulu oleh Prabhadevi dkk.

(2012), yang mana pelarut etanol dapat melarutkan senyawa fitokimia

tertentu di dalam daun alamanda dan setelah diuji menggunakan GC-MS

ternyata beberapa senyawa di dalamnya diduga merupakan senyawa yang

memiliki aktivitas sebagai antijamur, antikhamir, bahkan spesifik sebagai

anticandida. Selain itu etanol, juga dipilih karena menurut Harborne (1987)

dan Voight (1994), etanol memiliki sifat yang mampu melarutkan hampir

semua zat, baik yang bersifat polar, semi polar, dan non-polar serta

kemampuannya untuk mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim

sehingga dapat terhindar dari proses hidrolisis dan oksidasi. Menurut

Ramadhan dan Phaza (2010), etanol merupakan pelarut yang tidak beracun

dan berbahaya.

Pelarut etanol yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah pelarut

etanol pro-analisis karena dinilai memiliki kualitas yang baik. Menurut

Christian (1980), pada umumnya kualitas zat kimia dapat dibedakan

menjadi 3 tingkat, yaitu:


24

1. Teknis

Zat kimia ini agak kasar, masih mengandung sedikit zat-zat kimia

lain yang dianggap mencemari zat asli (bahan baku), dan biasanya

digunakan untuk percobaan yang tidak memerlukan ketelitian tinggi.

Bahan kimia teknis adalah bahan kimia yang tidak memiliki kemurnian

setinggi bahan kimia pro-analisis dan biasa dipergunakan dalam proses

produksi karena harganya yang relatif jauh lebih murah dari bahan

kimia pro-analisis. Bahan kimia teknis dihitung kadar atau

konsentrasinya hanya dengan hitungan stokiometri tanpa analisis secara

kuantitatif. Bahan kimia teknis, umumnya hanya digunakan sebagai

larutan pembersih atau penambah.

2. Purified

Zat kimia ini lebih sempurna dari zat kimia teknis dan dapat

digunakan untuk beberapa jenis percobaan serta analisis.

3. Extrapure atau pro-analisis (p.a.)

Zat kimia ini sempurna dan dapat atau harus digunakan untuk

analisis yang memerlukan ketelitian tinggi. Bahan kimia pro-analisis

adalah bahan kimia yang memiliki kemurnian sangat tinggi (>99,5%)

dan biasanya digunakan untuk keperluan laboratorium. Bahan kimia

p.a. (pro-analisis) adalah bahan kimia yang telah dianalisis atau diteliti

kadar atau konsentrasinya secara kuantitatif di laboratorium tempat

bahan kimia itu diproduksi. Penggunaan bahan kimia p.a. biasanya

sebagai reagen, baik itu primer atau sekunder di laboratorium.


25

Pada proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak awal (crude extract)

yang mengandung berturut-turut senyawa non-polar, semipolar, dan polar

(Hostettmann dkk., 1997). Hasil ekstrak yang diperoleh tergantung pada

beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi

yang digunakan, ukuran partikel contoh uji, kondisi dan waktu

penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut

terhadap jumlah contoh uji (Shahidi dan Naczk, 1991).

E. Mekanisme Kerja Antijamur

Antijamur merupakan zat berkhasiat yang digunakan untuk

penanganan penyakit jamur. Umumnya suatu senyawa dikatakan sebagai zat

antijamur apabila senyawa tersebut mampu menghambat pertumbuhan

jamur (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Zat antijamur bekerja menurut

salah satu dari berbagai cara, antara lain menyebabkan kerusakan dinding

sel, perubahan permeabilitas sel, perubahan molekul protein dan asam

nukleat, penghambatan kerja enzim, atau penghambatan sintesis asam

nukleat dan protein. Kerusakan pada salah satu situs ini dapat mengawali

terjadinya perubahan-perubahan yang menuju pada matinya sel tersebut

(Pelczar dan Chan, 2005).

a. Kerusakan pada dinding sel

Dinding sel merupakan penutup yang melindung bagian sel dan

berpartisipasi di dalam proses-proses fisiologi tertentu. Strukturnya

dapat dirusak dengan cara menghambat pembentukannya atau


26

mengubah setelah selesai terbentuk (Pelczar dan Chan, 2005).

b. Perubahan permeabilitas sel

Membran sitoplasma memelihara integritas komponen-

komponen seluler. Membran ini juga merupakan situs beberapa reaksi

enzim. Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya

pertumbuhan sel atau matinya sel (Pelczar dan Chan, 2005).

c. Perubahan molekul protein dan asam nukleat

Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-

molekul protein dan asam nukleat pada membran alamiahnya. Suatu

kondisi atau substansi yang mengubah keadaan ini, yaitu

mendenaturasikan protein dan asam-asam nukleat dapat merusak sel

tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi pekat

beberapa zat kimia dapat mengakibatkan koagulasi (denaturasi)

irreversible (tak dapat balik) komponen-komponen seluler yang vital

ini (Pelczar dan Chan, 2005).

d. Penghambatan kerja enzim

Setiap enzim dari beratus-ratus enzim berbeda-beda yang ada di

dalam sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu

penghambat. Banyaknya zat kimia telah diketahui dapat mengganggu

reaksi biokimiawi. Penghambatan ini dapat mengakibatkan

terganggunya metabolisme atau matinya sel (Pelczar dan Chan, 2005).


27

e. Panghambatan sintesis asam nukleat dan protein

DNA, RNA, dan protein memegang peranan sangat penting di

dalam proses kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan

apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat

tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel (Pelczar dan

Chan, 2005).

Terdapat berbagai macam obat antijamur. Salah satunya, yaitu

ketokonazol. Menurut Tan dan Rahardja (2002), ketokonazol bekerja

berdasarkan pada pengikatan enzim sitokrom P450, sehingga sintesis

ergosterol dirintangi dan terjadi kerusakan membran sel pada jamur.

F. Jenis Jamur Uji

a. Candida albicans

Menurut Ali (2008), Candida albicans diklasifikasikan sebagai

berikut:

Kerajaan : Fungi
Divisi : Ascomycota
Subdivisi : Ascomycotina
Kelas : Ascomycetes
Bangsa : Saccharomycetales
Suku : Saccharomycetaceae
Marga : Candida
Spesies : Candida albicans

Cendawan patogen C. albicans dapat tumbuh setidaknya dengan tiga

bentuk yang berbeda, yaitu sel khamir, pseudohifa dan hifa (Sudbery,

2001). Khamir merupakan mikroorganisme bersel satu, berbentuk bulat,


28

dan berdinding halus. Pseudohifa dan hifa merupakan satu kesatuan yang

berbentuk filamen dari suatu cendawan. C. albicans membentuk koloni

berwarna putih. Candida albicans merupakan cendawan dimorfik karena

kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu

sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora (sel

khamir) dan sebagai hifa yang akan membentuk pseudohifa (Ali, 2008).

C. albicans jika dibandingkan dari spesies Candida lainnya dapat

dibedakan dengan menggunakan dua tes morfologik sederhana, yaitu

pembentukan tabung kecambah (germ tube) dan khlamidospora. Sel-sel

khamir C. albicans akan mulai membentuk tabung kecambah (germ tube)

setelah dilakukan inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada

suhu 37ºC (Magdalena, 2009), sedangkan khlamidospora akan terbentuk

saat keadaan lingkungan yang rendah oksigen, cahaya, suhu dan nutrisi.

Khlamidospora merupakan spora berbentuk besar, dan berdinding tebal,

serta memiliki kadar lemak dan karbohidrat yang tinggi. Khlamidospora

merupakan spora aseksual yang berperan sebagai tempat sel

penyimpanan (storage cell) (Citiulo dkk., 2009).

Gambar 2. Blastospora C. albicans yang membentuk tabung kecambah


(yang ditunjuk anak panah) ketika dibiakkan di dalam serum
(Sumber: Sudbery, 2001).
29

C. albicans melakukan asimilasi karbohidrat untuk mendapatkan

sumber karbon dan energi untuk pertumbuhan sel. Candida albicans

menggunakan glukosa, maltosa, dan sukrosa melalui proses asimilasi ini.

Selain proses asimilasi, C. albicans juga melakukan proses fermentasi

pada glukosa, maltosa, dan sukrosa (Tjampakasari, 2006). Beberapa

tahapan khusus untuk identifikasi terhadap C. albicans terpapar di Tabel

3 di bawah ini.

Tabel 3. Karakteristik Makrobiologi dan Mikrobiologi C. albicans


Karakter makrobiologi Karakter mikrobiologi
Metode identifikasi
Candida albicans Candida albicans
Potato dextrose agar Berbentuk bulat,
Permukaan halus,
-
Berwarna putih
Uji natif Blastospora, Hifa,
-
Pseudohifa
Uji tabung kecambah - Tabung kecambah
Sugar Glukosa ( + )
assimilation Sukrosa ( + )
medium Maltosa ( + )
Galaktosa ( + ) -
Laktosa ( – )
Corn meal agar - Khlamidospora
Keterangan: (+) positif, (–) negatif
Sumber: CMPT (2006); Marinho dkk. (2010).

Spesies C. albicans merupakan mikrobiota normal di saluran

pernapasan bagian atas, saluran pencernaan, saluran kelamin, kulit, kuku,

ambing, serta membran mukosa (mulut, vagina atau dubur) (Hanafi dkk.,

2010). Spesies ini umumnya ditemukan sebagai organisme komensal

yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Dalam kondisi normal,

bakteri dan cendawan C. albicans akan hidup secara bersama. Akan


30

tetapi, dalam kondisi yang tidak baik, seperti ketika kurangnya nutrisi,

spesies ini akan berubah bentuk dari bentuk khamir menjadi filamen

(hifa) yang akan membunuh bakteri (Hogan, 2002).

b. Pityrosporum ovale

Menurut Freedberg dkk. (2003), Pityrosporum ovale

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Fungi
Divisi : Basidiomycota
Subdivisi : Ustilaginomycotina
Kelas : Exobasidiomycetes
Bangsa : Malasseziales
Suku : Malasseziaceae
Marga : Malassezia
Spesies : Pityrosporum (Malassezia) ovale

P. ovale adalah golongan jamur (yeast) non-dermatofita yang

menginfeksi kulit bagian luar. Jamur non-dermatofita adalah jamur yang

tidak dapat mencerna keratin kulit sehingga hanya menyerang lapisan

kulit bagian luar. Bentuk dimorfik, lipofilik, saprofitik, unipolar, dan

merupakan bagian dari mikrobiota kulit normal. P. ovale termasuk varian

dari Malassezia sp. yang merupakan jamur penyebab mikosis

superfisialis yang mengenai stratum korneum pada lapisan epidermis.

Ciri-ciri P. ovale adalah termasuk Gram positif, ukuran 1-2 x 2-4 μm,

berbentuk oval atau seperti botol, berdinding ganda, dan memperbanyak

diri dengan blastospora atau bertunas (Freedberg dkk., 2003).


31

Gambar 3. Hasil pemeriksaan mikroskopik P. ovale dari kerokan kulit


kepala pasien yang positif (Sumber: Freedberg dkk., 2003).

G. Parameter Aktifitas Antijamur

1. Zona Hambat

Menurut Gaman dan Sherrington (1992), metode difusi agar dari

prosedur Kirby-Bauer, sering digunakan untuk mengetahui sensitivitas

mikrobia. Prinsip dari metode ini adalah penghambatan terhadap

pertumbuhan mikrobia, yaitu zona hambat akan terlihat sebagai daerah

jernih di sekitar sumuran yang mengandung zat antimikrobia. Luas

zona hambat pertumbuhan mikrobia menunjukkan sensitifitasnya

terhadap zat anti yang digunakan. Selanjutnya, dikatakan bahwa

semakin besar luas zona hambat yang terbentuk berarti mikrobia

tersebut semakin sensitif. Menurut Pelczar dan Chan (2005), zona

hambat merupakan tempat mikrobia terhambat pertumbuhannya akibat

senyawa antimikrobia.
32

2. Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau lebih dikenal

dengan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi

terendah dari senyawa antibiotik atau antimikrobia yang dapat

menghambat pertumbuhan mikroba tertentu (Jawetz dkk., 2001).

Menurut Pratiwi (2008), KHM merupakan bagian dari metode tube

dilution. KHM ditentukan dengan mengamati tingkat kekeruhan pada

tabung yang telah dibuat seri pengenceran. Penentuan KHM mula-

mula dilakukan dengan membuat pengenceran ekstrak antijamur pada

medium cair yang ditambahkan dengan jamur uji pada beberapa

konsentrasi berbeda dalam % (persen). Larutan ekstrak antijamur pada

kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan jamur uji

ditetapkan sebagai KHM.

3. Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)

Bahan antimikrobia bersifat menghambat bila digunakan dalam

konsentrasi kecil, namun bila ditingkatkan dapat mematikan

mikroorganisme. Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui KBM

(Konsentrasi Bunuh Minimum) bahan antimikrobia terhadap

mikroorganisme. KBM adalah konsentrasi terendah bahan

antimikrobia yang mematikan (Lay, 1994). Pada penentuan KBM, uji

tidak menggunakan medium perbenihan sehingga jamur tidak diberi

nutrisi untuk tumbuh sehingga yang dibunuh adalah jamur yang tidak

mengalami pertumbuhan (Dewi, 2009).


33

H. Hipotesis

1. Ekstrak etanol daun Allamanda cathartica L. dapat menghambat

pertumbuhan jamur Candida albicans dan Pityrosporum ovale.

2. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dari ekstrak etanol daun

Allamanda cathartica L. terhadap Candida albicans dan Pityrosporum

ovale dapat ditentukan.

3. Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari ekstrak etanol daun

Allamanda cathartica L. terhadap Candida albicans dan Pityrosporum

ovale dapat ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai