Risalah - Sidang - 10705 - Putusan No. 48, 69, 75, 76, 81, 84 PUU-XVII.2019 Tgl. 29 Jan 2020
Risalah - Sidang - 10705 - Putusan No. 48, 69, 75, 76, 81, 84 PUU-XVII.2019 Tgl. 29 Jan 2020
Risalah - Sidang - 10705 - Putusan No. 48, 69, 75, 76, 81, 84 PUU-XVII.2019 Tgl. 29 Jan 2020
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN
WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-
UNDANG
PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
PERMOHONAN PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TERHADAP UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
ACARA
JAKARTA
PERIHAL
i
PEMOHON
ACARA
SUSUNAN PERSIDANGAN
ii
Pihak yang Hadir:
1. Surya Efitrimen
2. Nursari
3. Sulung Muna Rimbawan
Erko Mojra
1. Fadli Ramadhanil
2. Khoirunnisa Nur Agustyati
1. Titi Anggraini
2. Dian Kartikasari
Jimmy Monim
Forkorus Yaboisembut
1. Martinus Butarbutar
2. Risof Mario
I. Pemerintah:
1. Purwoko
2. Puti Dwi Jayanti
3. Veri
iii
4. Fauzi Rahim Reza
5. Aisyah
6. Surdiyanto
J. DPR:
1. Aprillia Dessy K.
2. Ester Yolanda Friska
3. Lucia Priharti Dewi Damayanti
K. Pihak Terkait:
1. Muhammad Nur R.
2. Rakhmat
3. Fritz Edward Siregar
4. Eko Tatang
5. Agnes
6. Hamid
7. Muchtar
8. Lita
9. Fiera
iv
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.19 WIB
KETUK PALU 3X
Ya, baik.
Terima kasih.
1
7. KETUA: ANWAR USMAN
Nomor 75/PUU-XVII/2019?
Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Kami dari Jayapura, saya sendiri
Kuasa Hukum Jimmy Monim dan Prinsipal saya Bapak Forkorus
Yaboisembut bersama-sama hadir dalam persidangan ini. Terima kasih.
Ya.
Oh, ya.
Oh, ya.
Jika boleh.
Ya, silakan.
Selamat siang, Yang Mulia. Terima kasih. Dari DPR diwakili oleh
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, paling kiri Ester Yolanda
Friska. Sebalah saya, Lucia Priharti Dewi Damayanti. Saya sendiri Aprilia
Dessy. Terima kasih, Yang Mulia.
Ya, terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Nama saya
Fritz Edward Siregar, anggota Bawaslu, menjadi Pihak Terkait, Yang Mulia.
Terima kasih.
4
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa terhadap permohonan dengan registrasi
Nomor 81/PUU-XVII/2019 tersebut, Mahkamah
Konstitusi telah menerbitkan:
1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 23
... Nomor 213/TAP.MK/2019 tentang
Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa
Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019, bertanggal 26
November 2019;
2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah
Konstitusi Nomor 217/TAP.MK/2019 tentang
Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah
Konstitusi, bertanggal 26 November 2019;
c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah
menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan
pada tanggal 10 Desember 2019 dengan agenda
mendengarkan permohonan para Pemohon dan
sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK),
Majelis Panel telah memberikan nasihat kepada para
Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah
menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan
kedua pada tanggal 9 Januari 2020 dengan agenda
mendengarkan perbaikan permohonan para
Pemohon;
e. bahwa pada tanggal 10 Januari 2020 Mahkamah
menerima surat bertanggal 9 Januari 2020 dari para
Pemohon yang menyatakan pencabutan
permohonan uji materi KUHP dan KUHAP terhadap
UUD 1945 dengan registrasi Perkara Nomor 81/PUU-
XVII/2019;
f. bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK
menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali
Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan
Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan
kembali”;
5
g. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf e di atas,
terhadap permohonan pencabutan atau penarikan
kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim
pada tanggal 15 Januari 2020 telah menetapkan
permohonan pencabutan atau penarikan kembali
permohonan Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019
adalah beralasan menurut hukum dan oleh
karenanya permohonan a quo tidak dapat diajukan
kembali;
h. bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas
terhadap permohonan a quo Mahkamah
mengeluarkan Ketetapan;
Mengingat :1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan seterusnya.
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara dan
seterusnya).
MENETAPKAN:
1. Mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan para
Pemohon;
2. Permohonan Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019 perihal pengujian
konstitusionalitas Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3258) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali;
3. Para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan
Pengujian Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal
46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk
menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan
mengembalikan berkas permohonan kepada para Pemohon.
KETUK PALU 1X
6
merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan M.P.
Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Daniel
Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu,
tanggal lima belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari,
tahun dua ribu dua puluh, selesai diucapkan pukul 10.31 WIB, oleh
sembilan Hakim Konstitusi tersebut di atas, dengan dibantu oleh Mardian
Wibowo sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Presiden atau yang
mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Ya, kami
ulangi, tanpa dihadiri oleh Pemohon/kuasanya
Berikutnya.
PUTUSAN
NOMOR 48/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
2. DUDUK PERKARA
Dan seterusnya dianggap dibacakan.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Yang kedua, Kedudukan Hukum Pemohon dianggap dibacakan.
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah berwenang ... bahwa karena
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Para
Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah
akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok
permohonan.
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya
mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah mempercepat
proses penyelesaian perkara mengingat permohonan a quo
terkait dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020. Di
mana, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15
Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan
8
Umum Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020, para Pemohon akan
memulai Tahapan Penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah
Daerah (NPHD) pada tanggal 1 Oktober 2019.
Terhadap Permohonan Provisi para Pemohon tersebut,
Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya dikarenakan proses
pemeriksaan perkara a quo baru berakhir pada tanggal 2
Desember 2019. Oleh karena itu, tidak relevan lagi untuk
mengaitkan permohonan provisi para Pemohon dengan waktu
penanda-tanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD)
sebagaimana didalilkan. Dengan demikian, permohonan provisi
para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal
1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal
22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B
huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal
23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23 ayat (3); Pasal 24 ayat
(1); Pasal 24 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal
30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf
d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105
ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat
(3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1);
Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal
141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3);
Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal
152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193
ayat (1); Pasal 193 ayat (2); dan Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada,
para Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya
sebagai berikut (alasan-alasan para Pemohon selengkapnya telah
dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut para Pemohon, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) telah
menetapkan institusi Bawaslu sebagai lembaga permanen
hingga tingkat kabupaten/kota sehingga dalam UU 7/2017
tidak mengenal istilah Panwas Kabupaten/Kota tetapi telah
9
diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Seharusnya,
kelembagaan permanen tersebut juga melekat pada
kelembagaan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota dalam
penyelenggaraan pilkada. Pembedaan kelembagaan dalam
UU 7/2017 dengan UU Pilkada adalah tidak sejalan dengan
asas kepastian hukum dan tertib hukum yang
mensyaratkan keadilan hukum dengan ditandai adanya
pemberian kewenangan atau pendekatan yang sama untuk
kelembagaan yang sama walaupun penyelenggaraan
pemilihan yang berbeda yaitu pemilihan kepala daerah dan
pemilihan presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD);
2. Bahwa menurut para Pemohon, dengan berlakunya UU
7/2017 yang memuat norma pelaksanaan penyelenggaraan
pemilihan umum akan tetapi mengatur pula kedudukan
lembaga penyelenggara pemilihan umum seharusnya hal
tersebut berlaku pula bagi kelembagaan penyelenggara
pemilihan dalam rezim pemilihan kepala daerah. Hal
tersebut seharusnya diharmonisasikan antara UU Pilkada
dengan UU 7/2017 sehingga sejalan dengan pertimbangan
Mahkamah dalam Paragraf [3.10.1.5] angka 7 Putusan
Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018. Dalam hal ini,
penggunaan nomenklatur Panwas Kabupaten/Kota
sebagaimana diatur dalam UU Pilkada ditafsirkan sama
dengan kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU
7/2017;
3. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 23 ayat (3)
UU Pilkada yang mengatur tentang jumlah keanggotaan
Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota hanya
berjumlah 3 orang bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum yang adil karena berpotensi menghilangkan hak
konstitusional Para Pemohon yang telah dilantik sebagai
komisioner Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
berdasarkan UU 7/2017 sehingga menghilangkan sumber
penghidupan juga pekerjaan yang layak bagi Para Pemohon
sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;
4. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 24 ayat (1) dan ayat
(2) UU Pilkada yang mengatur tentang tugas dan
10
kewenangan Bawaslu Provinsi untuk membentuk Panwas
Kabupaten/Kota dan menetapkan komisioner Panwas
Kabupaten/Kota menjadi tidak berlaku sebab dengan
ditafsirkannya ketentuan yang mengatur mengenai
kelembagaan Panwas Kabupaten/Kota menjadi sama
dengan Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen
sebagaimana dimaksud dalam UU 7/2017.
[3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon
telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti
P-1 sampai dengan bukti P-6 dan keterangan ahli para Pemohon
atas nama Syamsuddin Haris serta kesimpulan para Pemohon
(sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk
Perkara);
[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah mengajukan keterangan
Presiden yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 21
Oktober 2019 dan keterangan tambahan yang diterima di
Kepaniteraan pada tanggal 29 November 2019;
[3.11] Menimbang bahwa para ... Menimbang bahwa Pihak Terkait
Bawaslu mengajukan keterangan Bawaslu yang diterima di
Kepaniteraan pada tanggal 21 Oktober 2019 dan disampaikan
dalam persidangan pada tanggal 12 November 2019;
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara
saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti
yang diajukan para Pemohon, kesimpulan Pemohon serta
mendengar dan membaca keterangan Presiden, pokok
permasalahan konstitusional yang dimohonkan oleh para
Pemohon adalah sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pokok masalah yang dipersoalkan oleh para
Pemohon adalah pengaturan lembaga pengawas
pemilihan di tingkat kabupaten/kota sebagaimana
norma dalam Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18;
Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal
22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f;
Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D;
Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23 ayat
(3); Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 24 ayat
(3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34
huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82
ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105
11
ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1);
Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119
ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5);
Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141;
Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144
ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3);
Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154
ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1);
Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
[3.12.2] Bahwa dari semua norma yang dimohonkan para
Pemohon pengujian konstitusionalitasnya tersebut,
dapat dibagi dalam tiga kategori. P ertam a , norma
yang dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
mengikat sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota”
tidak dimaknai menjadi “Badan Pengawas Pemilu
dalam hal ini (Bawaslu) Kabupaten/Kota“. Norma-
norma yang berada dalam kategori pertama ini
adalah: Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5
ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat
(3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B
huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat
12
(1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25
ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal
34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5);
Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1);
Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110
ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2);
Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134
ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144
ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3);
Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152
ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1);
Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193
ayat (2); Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada. K edua ,
norma yang dimohonkan untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan mengikat sepanjang frasa “masing-masing
beranggotakan 3 (tiga) orang” tidak dimaknai “sama
dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan
dalam UU Pemilu”. Norma yang berada dalam
kategori kedua ini adalah norma dalam Pasal 23 ayat
(3) UU Pilkada. K etiga , norma yang dimohonkan
untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Norma yang
berada dalam kategori ketiga ini adalah norma
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada.
[3.12.3] Bahwa terkait dengan ketiga kategori sebagaimana
telah dikemukakan dalam Sub-paragraf [3.12.2] di
atas, UU Pilkada mengatur lembaga pengawas
pemilihan kepala daerah adalah Panitia Pengawas
Kabupaten/Kota atau “Panwas Kabupaten/Kota”
yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) Propinsi untuk mengawasi pelaksanaan
pemilihan di wilayah kabupaten/kota. Panwas
Kabupaten/Kota merupakan lembaga yang bersifat
ad-hoc yang dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum tahapan pemilihan kepala daerah dimulai.
Sementara itu, dengan merujuk UU Pemilu, lembaga
pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota adalah
13
Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota yang
merupakan lembaga permanen di mana anggotanya
memegang jabatan selama 5 (lima) tahun yang
dipilih melalui sebuah proses seleksi. Dengan adanya
Bawaslu Kabupaten/ Kota yang bersifat permanen
berdasarkan UU Pemilu di satu sisi dan Panwaslu
kabupaten/kota di sisi lain yang bersifat ad-hoc
berdasarkan UU Pilkada untuk mengawasi pilkada,
sebagaimana didalilkan para Pemohon, hal ini
menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum,
ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam
penyelenggaraan pilkada, sehingga bertentangan
dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27
ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap pokok persoalan tersebut,
keberadaan pengaturan Panwas Kabupaten/Kota dalam UU
Pilkada di tengah telah diubahnya kelembagaan pengawas
pemilu melalui UU Pemilu (...)
14
poin 7, halaman 97, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018,
Mahkamah menyatakan:
Dianggap dibacakan.
Merujuk pertimbangan hukum sebagaimana
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-XVI/2018 a quo, dalam memosisikan
penyelenggara pemilihan, Mahkamah tidak
membedakan antara penyelenggara pemilihan
umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana
termaktub dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
sebagaimana termaktub di dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang di dalam UU Pilkada termasuk juga
pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota. Sesuai dengan pertimbangan dalam
putusan a quo, kesemua pemilihan tersebut
diselenggarakan sesuai dengan semangat Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945;
[3.14.2] Bahwa dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
ditegaskan, “pemilihan umum diselenggarakan oleh
sebuah komisi pemilihan umum.” Terkait dengan
ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tersebut,
sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dalam
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU
22/2007), bertanggal 17 Maret 2010, frasa “komisi
pemilihan umum” dalam ketentuan Pasal 22E ayat
(5) UUD 1945 dimaknai merujuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Ihwal ini, fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum tidak saja
dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum
(KPU), tetapi juga termasuk oleh sebuah Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu
kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Dalam hal
ini, Bawaslu merupakan bagian inheren dari komisi
15
pemilihan umum yang dimaksud dalam Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 yang berfungsi melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan
umum di seluruh wilayah Indonesia.
[3.14.3] Bahwa sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi
pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu, sesuai
dengan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945,
Bawaslu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
tersebut melaksanakan tugas dan wewenang
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu
anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPRD. Hal mana, tugas
pengawasan a quo dilaksanakan oleh lembaga
Bawaslu dan jajarannya sesuai dengan tingkat
hierarki lembaga menurut lingkup wilayah provinsi,
kabupaten, kota hingga tingkat desa/kelurahan dan
Tempat Pemungutan Suara (TPS).
[3.14.4] Bahwa selain melaksanakan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota
DPRD yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 22E
ayat (2) UUD 1945, pembentuk undang-undang juga
memberikan tugas dan wewenang kepada Bawaslu
melalui UU Penyelenggara Pemilu dan UU Pilkada
untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah atau pilkada (vide Pasal 1 angka 5 UU
15/2011). Pemberian tugas dan wewenang
dimaksud sebagai konsekuensi pengaturan bahwa
pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara
langsung. Terakhir kalinya, undang-undang yang
secara khusus mengatur penyelenggara pemilu
adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU
15/2011). Setelah itu, materi muatan terkait
penyelenggara pemilu yang diatur dalam UU
15/2011 digabung atau disatukan menjadi materi
muatan UU Pemilu, yaitu Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
16
[3.14.5] Bahwa dalam UU 15/2011, Bawaslu dan jajaran
sebagai penyelenggara pemilu melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu dan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Penegasan demikian secara eksplisit dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 5 UU 15/2011 sebagai berikut:
Dianggap dibacakan.
[3.14.6] Bahwa kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur
dalam UU 15/2011 lebih lanjut menjadi rujukan saat
pengaturan lembaga pengawas penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam
UU Pilkada. Berkenaan dengan hal ini, Pasal 1 angka
10 UU 8/2015 menyatakan:
Dianggap dibacakan.
Bahkan, Pasal 22A ayat (1) UU 8/2015 menyatakan
bahwa pengawasan penyelenggaraan pemilihan, in
casu pemilihan kepala daerah, menjadi tanggung
jawab bersama Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan
Panwas Kabupaten/Kota. Dengan demikian,
kelembagaan Bawaslu dalam melaksanakan
pengawasan pemilihan kepala daerah sebagaimana
diatur dalam UU Pilkada sesungguhnya adalah
sesuai dengan pengaturan lembaga Bawaslu yang
terdapat dalam UU 15/2011.
[3.14.7] Bahwa dalam perkembangannya, sebagai lembaga
penyelenggara pemilu yang mengawasi
penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah NKRI,
kelembagaan Bawaslu terakhir diatur dalam UU
7/2017. Dengan dibentuknya UU 7/2017, UU
15/2011 dinyatakan tidak berlaku lagi. Salah satu
substansi mendasar di dalam UU 7/2017 adalah
perubahan kelembagaan Bawaslu. Dalam hal ini,
Pasal 89 ayat (2) UU 7/2017 menyatakan Bawaslu
terdiri atas: a. Bawaslu; b. Bawaslu Provinsi; c.
Bawaslu Kabupaten/Kota; d. Panwaslu Kecamatan;
e. Panwaslu Kelurahan/Desa; f. Panwaslu LN; dan g.
Pengawas TPS. Lebih jauh, Pasal 89 ayat (4) dan
ayat (5) menyatakan secara tegas sifat kelembagaan
masing-masing lembaga pengawas pemilu secara
17
hierarkis, yaitu di mana Bawaslu, Bawaslu Provinsi
dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap,
sedangkan Panwaslu Kecamatan, Panwaslu
Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pangawas TPS
bersifat ad hoc.
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan secara saksama
hal-hal sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.14] di
atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
konstitusionalitas norma-norma dalam kategori pertama di atas,
yaitu norma Pasal 1 angka 17 selanjutnya dianggap dibacakan
sampai dengan Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada, sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa meskipun terdapat 45 (empat puluh lima)
norma pada kategori pertama yang dimohonkan
untuk dinilai konstitusionalitasnya, namun
disebabkan semua norma tersebut berkenaan
dengan semua frasa “Panwas Kabupaten/Kota”,
Mahkamah akan mempertimbangkannya menjadi
satu kesatuan dan tidak diuraikan masing-masing
norma;
[3.15.2] Bahwa terjadinya perbedaan nomenklatur
kelembagaan pengawas pemilihan antara yang
diatur dalam UU Pilkada dengan UU 7/2017
disebabkan terjadinya perubahan regulasi pemilu.
Perubahan tersebut terjadi karena Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, UU 15/2011, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
digabung satu undang-undang, yaitu menjadi UU
7/2017. Secara faktual, sekalipun nomenklatur
pengawas pemilu di kabupaten/kota, sebagaimana
diatur dalam UU Pilkada sama dengan apa yang
pernah diatur dalam UU 15/2011, namun ketika
substansi UU 15/2011 telah diganti dengan UU
7/2017, nomenkaltur pengawas pemilihan masih
belum lagi terjadi keseragaman untuk semua jenis
pemilihan. Dalam hal ini, lembaga pengawas
pemilihan, in casu pengawas pemilihan kepala
daerah di tingkat kabupaten/kota dalam pemilihan
18
bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil
walikota dilaksanakan oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota.
[3.15.3] Bahwa ketika UU 7/2017 disahkan, dalam Pasal 571
huruf b UU a quo ditegaskan “Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Ketentuan Penutup UU 7/2017 tidak saja
menegaskan ihwal substansi status UU 15/2011
telah diadopsi dalam UU 7/2017, melainkan juga
menunjukkan terjadinya peralihan atau pergantian
UU yang menjadi dasar atau rujukan pengaturan
kelembagaan penyelenggara pemilu. Pada saat
dasar hukum kelembagaan penyelenggara pemilu
berganti, maka segala peraturan perundang-
undangan yang merujuk pada UU 15/2011
seharusnya menyesuaikan pula dan/atau disesuaikan
dengan pergantian yang terjadi.
[3.15.4] Bahwa ketika UU Pilkada yang mengatur lembaga
pengawas pemilihan yang notabene adalah
pengawas pemilu sebagaimana diatur oleh UU
7/2017 tidak disesuaikan dengan perubahan
nomenklatur pengawas pemilu tingkat kabupaten/
kota, hal demikian akan menyebabkan terjadinya
ketidakseragaman pengaturan dalam
penyelenggaraan fungsi pengawasan terutama
dalam pemilihan kepala daerah. Ketidakseragaman
tersebut dapat berdampak terhadap munculnya dua
institusi pengawas penyelenggaraan pemilihan di
tingkat kabupetan/kota dalam pemilihan anggota
DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
dan anggota DPRD dengan pilkada. Padahal,
kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU
7/2017 adalah lembaga yang diberi status atau sifat
tetap (permanen) hingga di tingkat kabupaten/kota.
Sementara itu, UU Pilkada justru mengatur
pembentukan, nomenklatur, dan sifat yang berbeda
terhadap lembaga pengawas dalam pemilihan kepala
daerah.
19
30. HAKIM ANGGOTA : SALDI ISRA
20
kepala daerah di kabupaten/kota. Bahkan,
sebagaimana telah dinyatakan dalam pertimbangan
hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-XVI/2018 di atas maka sesuai dengan Pasal
22E ayat (5) UUD 1945, struktur penyelenggara
pemilihan untuk memilih anggota DPR, anggota
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota
DPRD, dan penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah seharusnya tetap sama meskipun
melaksanakan mandat dari dua undang-undang
yang berbeda.
[3.15.7] Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana
dikemukakan di atas, dalil para Pemohon yang
menyatakan norma Pasal 1 angka 17 dan seterusnya
sampai dengan Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada
sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota” tidak
dimaknai menjadi frasa “Badan Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945
adalah beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan norma yang dimohonkan untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
mengikat sepanjang frasa “masing-masing beranggotakan 3
(tiga) orang” dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai
“sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemilu”
adalah bertentangan dengan UUD 1945. Perihal dalil tersebut,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.16.1] Bahwa secara substansi, ketika materi muatan UU
15/2011 diadopsi ke dalam UU 7/2017, terdapat
beberapa perubahan terkait kelembagaan Bawaslu
dan jajarannya, khususnya Bawaslu
Kabupaten/Kota. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam pertimbangan sebelumnya, perubahan
dimaksud terkait dengan nomenklatur kelembagaan,
sifat kelembagaan, dan komposisi keanggotaan
bawaslu provinsi dan pengawas pemilu tingkat
kabupaten/kota. Terkait kelembagaan pengawas di
21
tingkat kabupaten/kota, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Nomenklatur pengawas tingkat kabupaten/kota
yang diatur dalam UU 15/2011 adalah Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (Panwaslu
Kabupaten/Kota). Adapun dalam UU 7/2017,
nomenklatur tersebut diubah menjadi Bawaslu
Kabupaten/Kota. Nomenklatur pengawas tingkat
kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU
15/2011 merupakan dasar atau rujukan dalam
menentukan nomenklatur pengawas yang diatur
dalam UU Pilkada.
2. Terkait sifat kelembagaan, Panwaslu
Kabupaten/Kota dan/atau Panwas Kabupaten/Kota
yang diatur dalam UU 15/2011 dan UU Pilkada
bersifat ad-hoc. Dalam hal ini, Panwas
Kabupaten/Kota tersebut hanya dibentuk 1 (satu)
bulan menjelang tahapan pemilu/pilkada dan
berakhir 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan
pemilu berakhir. Dengan diadopsinya substansi UU
15/2011 ke dalam UU 7/2017, kelembagaan
Panwaslu Kabupaten/Kota yang diubah menjadi
Bawaslu Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai
lembaga yang bersifat tetap (permanen), di mana
keanggotaanya memegang jabatan selama 5
(lima) tahun.
3. Komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi
sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 sebanyak
3 (tiga) orang dan anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang. Dengan
adanya pergantian undang-undang yang
mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu,
komposisi anggota Bawaslu Provinsi menjadi 5
(lima) atau 7 (tujuh) orang, dan anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima)
orang. Selain, komposisi jumlah keanggotaan,
perubahan juga terjadi terkait dengan mekanisme
pengisian anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.
Awalnya, melalui UU 15/2011, anggota Panwaslu
22
Kabupaten/Kota diseleksi dan ditetapkan oleh
Bawaslu Provinsi, kemudian melalui UU 7/2017
diubah menjadi proses seleksi melalui Tim Seleksi
yang dibentuk oleh Bawaslu.
[3.16.2] Bahwa dengan terjadinya perubahan substansi
pengaturan kelembagaan pengawas pemilu
kabupaten/kota dan juga komposisi keanggotaan
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
melalui UU 7/2017, maka sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas, nomenklatur lembaga, sifat
kelembagaan dan komposisi keanggotaan mesti
disesuaikan dengan UU 7/2017 sebagai ketentuan
yang di antaranya mengatur lembaga penyelenggara
pemilu. Apabila penyesuaian tidak dilakukan, akan
berdampak terjadinya ketidakpastian hukum
kelembagaan lembaga pengawas pemilu, termasuk
pengawasan terhadap pemilihan kepala daerah.
Selain itu, berkenaan pula dengan jumlah anggota
Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota, dalam Paragraf [3.18]
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Maret 2019,
Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain
menyatakan bahwa jumlah anggota Bawaslu
Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota sebagaimana termaktub di dalam
UU 7/2017 dinilai sebagai bagian dari agenda setting
rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu
sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan
beban kerja masing-masing lembaga. Artinya,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
XVI/2018 a quo hendak menyatakan bahwa jumlah
penyelenggara pemilu di setiap tingkatan
sebagaimana diatur dalam UU 7/2017, termasuk
jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah
anggota Bawaslu Kabupaten/Kota adalah
konstitusional. Dengan telah dinyatakan bahwa frasa
“Panwas Kabupaten/Kota” dimaknai “Badan
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota”, konstitusional,
23
maka mempersamakan jumlah anggota Bawaslu
Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota sesuai dengan jumlah dalam UU
7/2017 juga merupakan pilihan yang konstitusional,
baik dalam penyelenggaraan pemilu maupun
pemilihan kepala daerah.
[3.16.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam
Sub-paragraf [3.16.1] dan Sub-paragraf [3.16.2]
di atas, bilamana jumlah anggota Bawaslu Provinsi
dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam
Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai sama
dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan
dalam UU 7/2017, tindakan tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum sehingga bertentangan
dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan
dengan inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (3) UU
Pilkada beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan kategori ketiga, terkait
dengan dalil para Pemohon mengenai wewenang Bawaslu
Provinsi dalam membentuk dan menetapkan Panwas
Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pilkada adalah bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum, Mahkamah perlu menegaskan kembali ihwal
pengisian jabatan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang
kemudian diberi wewenang mengawasi pemilihan di tingkat
kabupaten/kota seharusnya juga disesuaikan dengan perubahan
yang terjadi dalam UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil
permohonan a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
[3.17.1] Bahwa sejalan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2)
UU Pilkada, wewenang pembentukan Panwas
Kabupaten/Kota oleh Bawaslu Provinsi juga termuat
dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada dan Pasal 5 ayat
(2) huruf e UU Pilkada. Dalam norma a quo
ditegaskan bahwa Panwas Kabupaten/Kota adalah
panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi dan
menjadi salah satu tahapan persiapan
24
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dengan
dipertimbangkan dan dinyatakannya oleh Mahkamah
kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota menjadi
Bawaslu Kabupaten/Kota yang proses pengisiannya
dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk
oleh Bawaslu, maka definisi Panwas Kabupaten/Kota
dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada yang masih
mencantumkan frasa “dibentuk oleh Bawaslu
Provinsi” harus juga disesuaikan agar tidak
menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi,
sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf
[3.15], Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai
menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka semua
pengaturan yang menentukan batas waktu
pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai
bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas
Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh
Bawaslu Provinsi, karena alasan agar tidak terjadi
ketidakpastian hukum, harus pula dinyatakan
inkonstitusional.
[3.17.2] Bahwa terkait dengan kepastian hukum
sebagaimana dipertimbangkan dalam Sub-paragraf
[3.17.1] di atas, sekalipun tidak dimohonkan dan
didalilkan oleh para Pemohon dalam
permohonannya, disebabkan substansinya
berkelindan dengan “batas waktu pembentukan
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari
tahapan persiapan pilkada dan Panwas
Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh
bawaslu Provinsi” sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas, ketentuan dalam Pasal 1
angka 17 UU Pilkada tidak cukup hanya dengan
menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” adalah
konstitusional sepanjang dimaknai menjadi “Bawaslu
Kabupaten/Kota”, tetapi juga demi alasan kepastian
hukum, frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi”
haruslah tidak berlaku sehingga pengisiannya
merujuk sesuai dengan ketentuan UU 7/2017.
25
[3.17.3] Bahwa begitu pula dengan Pasal 5 ayat (2) huruf e
UU Pilkada, karena alasan untuk kepastian hukum
pula, meski tidak didalilkan dan tidak dimohonkan
oleh para Pemohon, tidak cukup hanya dengan
menyatakan frasa “Panwaslu Kabupaten/Kota”
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota” harus
pula dinyatakan bahwa frasa “Panwaslu
Kabupaten/Kota” dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e UU
Pilkada tidak berlaku dan tidak lagi menjadi dari
rumusan norma a quo.
[3.17.4] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para
Pemohon sepanjang terkait Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pilkada adalah beralasan menurut
hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum
untuk seluruhnya.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum;
[4.4] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan seterusnya, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara dan seterusnya);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam Provisi:
Menolak permohonan provisi para Pemohon;
26
Dalam Pokok Permohonan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam Pasal 1 angka
17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1);
Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B
huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23
ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32;
Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat
(5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat
(7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal
119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat
(6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat
(2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal
152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat
(2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai “Bawaslu Kabupaten/Kota”;
3. Menyatakan frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang”
dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
27
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan jumlah anggota
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6109);
4. Menyatakan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5898), bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
KETUK PALU 1X
28
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap
Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo,
Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic
P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal
tiga belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari, tahun dua ribu
dua puluh, selesai diucapkan pukul 11.28 WIB, oleh sembilan Hakim
Konstitusi tersebut di atas, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.
Selanjutnya.
PUTUSAN
NOMOR 69/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
2. DUDUK PERKARA
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Paragraf [3.1] dianggap dibacakan.
29
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah
permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-
undang, in casu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, selanjutnya disebut KUHAP terhadap UUD
1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo;
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo namun sebelum Mahkamah
mempertimbangkan permohonan lebih lanjut mengenai
kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan,
Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan
permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama
permohonan Pemohon, telah ternyata Pemohon
mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal
197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
f, huruf h dan ayat (2) KUHAP namun dalam
menguraikan alasan permohonannya, Pemohon tidak
secara sistematis menjelaskan argumentasinya,
khususnya terhadap alasan inkonstitusionalitas
norma yang diajukan untuk diuji. Selain itu, dalam
alasan permohonannya, Pemohon menguraikan
secara panjang lebar mengenai kasus konkret yang
dialami Pemohon namun tidak menguraikan dengan
jelas kaitan norma yang diajukan untuk diuji dengan
kasus konkret yang dialami Pemohon. Bahkan,
Pemohon sejak awal telah menyatakan dalam
permohonannya, bahwa permasalahan yang dihadapi
oleh Pemohon adalah karena adanya
penyalahgunaan wewenang oleh oknum dalam
usaha menjadikan Pemohon sebagai tersangka.
Pemohon dalam menguraikan permohonannya
mengaitkannya dengan berbagai persoalan konkret
yang dialami Pemohon, di antaranya mengenai delik
pidana yang disangkakan terhadap Pemohon dan
persoalan penyalahgunaan wewenang dalam
penyidikan.
[3.3.2] Bahwa norma yang dimohonkan pengujian, yaitu
Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP pada pokoknya
adalah mengatur mengenai sistematika atau isi dari
surat putusan pemidanaan pada pengadilan tingkat
pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
103/PUU-XIV/2016 bertanggal 10 Oktober 2017].
Terhadap pokok permohonan Pemohon, dikaitkan
30
dengan sistematika permohonan pengujian undang-
undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat
(1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005),
yang pada pokoknya menyatakan permohonan harus
dengan sistematika sebagai berikut: selanjutnya
dianggap dibacakan.
Setelah Mahkamah membaca dengan saksama
permohonan Pemohon dan apabila dikaitkan dengan
aturan tersebut, telah ternyata permohonan
Pemohon hanya memuat kewenangan Mahkamah
dan kedudukan hukum serta petitum tanpa
menyertakan alasan permohonan (fundamentum
petendi atau posita). Tanpa adanya uraian mengenai
alasan permohonan, maka sebuah permohonan akan
kehilangan landasan atau dasar argumentasi untuk
menilai materi apa yang sesungguhnya dipersoalkan
Pemohon.
[3.3.3] Bahwa selain itu, Pemohon dalam bagian Petitum
permohonan … saya ulangi, bagian Petitum
memohon adanya penambahan norma pada Pasal
197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
f, huruf h dan ayat (2) KUHAP yang membuat
permohonan Pemohon menjadi semakin tidak jelas.
Selain itu tidak terdapat kesesuaian antara alasan-
alasan mengajukan permohonan dengan hal-hal
yang diminta untuk diputus.
[3.3.4] Bahwa terkait dengan uraian dan sistematika
permohonan Pemohon, dalam sidang Pemeriksaan
Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 19
November 2019, Panel Hakim telah menasihatkan
kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas
mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa
norma undang-undang yang diajukan pengujian
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan
mempersingkat uraian mengenai kasus konkret yang
dialami Pemohon, agar permohonan Pemohon dapat
lebih fokus. Lebih lanjut, Panel Hakim juga telah
menyarankan kepada Pemohon untuk berkonstul …
saya ulangi, untuk berkonsultasi dengan lembaga
bantuan hukum atau dengan pihak lain yang
memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan
kewenangan Mahkamah atau setidaknya
mempelajari format permohonan pengujian undang-
31
undang [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 69/PUU-
XVII/2019, tanggal 19 November 2019]. Namun,
dalam Perbaikan Permohonan yang diterima
Mahkamah pada tanggal 2 Desember 2019,
permohonan Pemohon tetap tidak jelas karena
alasan permohonan bercampur dengan banyaknya
uraian kasus konkret yang dialami oleh Pemohon.
Bahwa apabila dicermati lebih lanjut, Pemohon tetap
tidak menguraikan permohonannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal
5 ayat (1) PMK 06/2005 termasuk tidak menguraikan
dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara
norma yang diuji dengan UUD 1945 yang semestinya
termuat dalam alasan permohonan. Dengan
demikian, permohonan Pemohon haruslah
dinyatakan tidak jelas atau kabur.
[3.3.5] Bahwa andaikatapun permasalahan konstitusionalitas
norma yang dimaksud oleh Pemohon adalah
dikaitkan dengan syarat batal demi hukum terhadap
putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama,
menurut Mahkamah hal tersebut telah jelas dengan
prinsip bahwa batal demi hukumnya suatu putusan
pengadilan adalah hanya dapat diputus oleh
pengadilan yang lebih tinggi. Sehingga, terpenuhi
atau tidaknya syarat Pasal 197 ayat (1) KUHAP
terhadap suatu putusan pemidanaan di pengadilan
tingkat pertama merupakan kewenangan dari
pengadilan di atasnya untuk menilai dan menyatakan
batal demi hukum putusan a quo, atau dengan kata
lain, putusan pengadilan tidak dapat dinyatakan
“batal demi hukum” kecuali oleh putusan pengadilan
yang lebih tinggi tingkatannya yang menyatakan
demikian.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau
kabur sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan
tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUK PALU 1X
2. DUDUK PERKARA
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1], [3.2] dianggap dibacakan.
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi
yang memohon agar Mahkamah mempercepat proses
pemeriksaan dan menjadikan permohonan ini sebagai perkara
yang diprioritaskan untuk diputus segera mengingat permohonan
a quo terkait langsung dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah
Tahun 2020. Dalam hal ini, tahapan pendaftaran pemilih akan
dimulai pada tanggal 20 Februari 2020 yang ditandai dengan
penerimaan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari Kementerian Dalam Negeri
berdasarkan Lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan,
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota Tahun 2020.
Terhadap permohonan Provisi a quo, oleh karena pokok
permohonan Pemohon memiliki keterkaitan dengan tahapan
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang secara
faktual tahapan tersebut berkaitan dengan pencalonan kepala
daerah yang akan segera dimulai, maka terlepas dari dikabulkan
atau tidaknya permohonan a quo, demi kepastian hukum bagi
masyarakat, penting bagi Mahkamah untuk memberikan prioritas
dengan mempercepat putusan perkara a quo tanpa menyimpang
dari hukum acara dalam tahapan proses penyelesaian perkara
pengujian undang-undang. Sehingga, permohonan provisi
Pemohon agar perkara a quo diprioritaskan untuk diputus adalah
beralasan menurut hukum.
38
bertentangan dengan asas pemilu dan pemilihan yang dijamin
oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
4. Bahwa, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU
Perkawinan memang memberikan pengecualian dengan
membuka kemungkinan adanya laki-laki maupun perempuan
menikah di bawah syarat minimal usia kawin sepanjang
diberikan dispensasi oleh pengadilan, yang didahului dengan
adanya alasan yang sangat mendesak, serta disertai dengan
bukti-bukti pendukung. Ketentuan ini mestilah dimaknai
terbatas terkait dengan perbuatan hukum melakukan
perkawinan saja, sehingga tidak relevan jika dikaitkan dengan
keterpenuhan syarat sebagai pemilih di dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, perbuatan sudah/pernah kawin tidak dapat
serta-merta memenuhi kedewasaan seorang warga negara,
karena sudah/pernah kawin tersebut terjadi akibat adanya
alasan-alasan yang sangat mendesak yang didukung dengan
bukti-bukti sehingga dapat menjadi alasan menggugurkan
syarat usia minimal perkawinan 19 tahun.
5. Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan Pemohon di atas,
Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan
Pemohon dengan menyatakan frasa “atau sudah/pernah kawin”
dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga,
bunyi Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 menjadi “Pemilih adalah
penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun
yang terdaftar dalam pemilihan”.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUK PALU 1X
2. DUDUK PERKARA
Dan seterusnya dianggap dibacakan.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
49
Setelah mencermati permohonan Pemohon dengan
saksama, walaupun Pemohon telah menyampaikan
surat yang oleh Pemohon disebut “Perbaikan
Permohonan” bertanggal 10 Desember 2019 yang
diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13
Desember 2019, telah ternyata dalam “Perbaikan
Permohonan” tersebut tidak terdapat perbaikan
terhadap sistematika permohonan maupun kejelasan
uraian terhadap objek permohonan. Bahkan dalam
“perbaikan permohonan” sebagaimana dimaksud
Pemohon, permohonan tetap tidak menguraikan
struktur permohonan sebagaimana yang telah
ditentukan, yaitu kewenangan Mahkamah,
kedudukan hukum Pemohon, alasan-alasan
mengajukan permohonan, dan petitum atau hal-hal
yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah.
Kalaupun dalam “perbaikan permohonan” (halaman
3 sampai dengan 15) terdapat “Alasan-Alasan”
namun tidak menggambarkan alasan atau posita
sebagaimana layaknya permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Demikian juga
dengan petitum Pemohon juga tidak menguraikan
dengan jelas apa sesungguhnya yang diminta oleh
Pemohon yang relevan dengan kewenangan
Mahkamah. Sehingga, permohonan tersebut tidak
memenuhi unsur atau syarat yang seharusnya
terdapat pada permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945.
[3.2] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di
atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas atau
kabur.
[3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas
atau kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan mengenai
Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, dan Pokok
Permohonan lebih lanjut.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Permohonan Pemohon kabur;
[4.2] Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, dan Pokok
Permohonan tidak dipertimbangkan;
50
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan seterusnya, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara dan seterusnya.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUK PALU 1X
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUK PALU 1X
KETUK PALU 3X
t.t.d
Muhidin
NIP. 19610818 198302 1 001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 54