Risalah - Sidang - 10705 - Putusan No. 48, 69, 75, 76, 81, 84 PUU-XVII.2019 Tgl. 29 Jan 2020

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 59

rtin

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 48/PUU-XVII/2019


PERKARA NOMOR 69/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 75/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 76/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 81/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 84/PUU-XVII/2019

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN
WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-
UNDANG
PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
PERMOHONAN PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TERHADAP UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

ACARA

PENGUCAPAN PUTUSAN DAN KETETAPAN

JAKARTA

RABU, 29 JANUARI 2020


MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 48/PUU-XVII/2019


PERKARA NOMOR 69/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 75/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 76/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 81/PUU-XVII/2019
PERKARA NOMOR 84/PUU-XVII/2019

PERIHAL

- Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapa Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang [Pasal 1 angka 17 frasa panwas
kabupaten/kota, Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) frasa masing-
masing beranggotakan 3(tiga) orang, Pasal 24 ayat (1) serta seluruh pasal]
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana [Pasal 197 ayat (2) frasa batal demi hukum berkaitan
dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h]
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang [Pasal 1 angka 6 sepanjang frasa atau sudah/pernah
kawin] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Permohonan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [Pasal
39 dan Pasal 46] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
- Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi [Pasal 12B, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37B huruf b, Pasal 38
keseluruhan dan ketentuan yang berkaitan dengan frasa Dewan Pengawas serta
Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

i
PEMOHON

1. Surya Efitrimen, Nursari, Sulung Muna Rimbawan, dkk. (Perkara Nomor


48/PUU-XVII/2019)
2. Erko Mojra (Perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019)
3. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi
Perempuan Indonesia (KPI) (Perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019)
4. Forkorus Yaboisembut (Perkara Nomor 76/PUU-XVII/2019)
5. Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, dkk. (Perkara Nomor 81/PUU-
XVII/2019)
6. Martinus Butarbutar, Risof Mario (Perkara Nomor 84/PUU-XVII/2019)

ACARA

Pengucapan Putusan dan Ketetapan

Rabu, 29 Januari 2020, Pukul 10.19 – 12.26 WIB


Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Anwar Usman (Ketua)


2) Aswanto (Anggota)
3) Arief Hidayat (Anggota)
4) Manahan MP Sitompul (Anggota)
5) Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota)
6) Suhartoyo (Anggota)
7) Wahiduddin Adams (Anggota)
8) Saldi Isra (Anggota)
9) Enny Nurbaningsih (Anggota)

Dian Chusnul Chatimah Panitera Pengganti


Ery Satria Pamungkas Panitera Pengganti
Mardian Wibowo Panitera Pengganti
Saiful Anwar Panitera Pengganti

ii
Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XVII/2019:

1. Muh. Salman Darwis


2. Slamet Santoso

B. Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XVII/2019:

1. Surya Efitrimen
2. Nursari
3. Sulung Muna Rimbawan

C. Pemohon Perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019:

Erko Mojra

D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019:

1. Fadli Ramadhanil
2. Khoirunnisa Nur Agustyati

E. Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019:

1. Titi Anggraini
2. Dian Kartikasari

F. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XVII/2019:

Jimmy Monim

G. Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XVII/2019:

Forkorus Yaboisembut

H. Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XVII/2019:

1. Martinus Butarbutar
2. Risof Mario

I. Pemerintah:

1. Purwoko
2. Puti Dwi Jayanti
3. Veri
iii
4. Fauzi Rahim Reza
5. Aisyah
6. Surdiyanto

J. DPR:

1. Aprillia Dessy K.
2. Ester Yolanda Friska
3. Lucia Priharti Dewi Damayanti

K. Pihak Terkait:

1. Muhammad Nur R.
2. Rakhmat
3. Fritz Edward Siregar
4. Eko Tatang
5. Agnes
6. Hamid
7. Muchtar
8. Lita
9. Fiera

iv
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.19 WIB

1. KETUA: ANWAR USMAN

Sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3X

Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita


semua. Agenda persidangan pagi ini adalah pengucapan putusan untuk
enam perkara. Dipersilakan Para Pemohon untuk memperkenalkan diri.
Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019? Tidak hadir, ya, atau belum hadir,
ketetapan, ya.
Nomor 48/PUU-XVII/2019?

2. KUASA HUKUM PEMOHON NOMOR 48/PUU-XVII/2019: MUH.


SALMAN DARWIS

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Salam


sejahtera untuk kita semua. Hadir pada persidangan kali ini, saya sendiri
Salman Darwis. Rekan saya di belakang, Slamet Santoso bersama
dengan Prinsipal Surya Efitrimen (Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera
Barat), Nursari (Ketua Bawaslu Kota Makassar), Sulung Muna Rimbawan
(Komisioner Bawaslu Kabupaten Ponorogo). Terima kasih, Yang Mulia.

3. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, terima kasih. Nomor 69/PUU-XVII/2019?

4. PEMOHON NOMOR 69/PUU-XVII/2019: ERKO MORJA

Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk


kita. Perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019 Pemohon hadir sendiri, Yang
Mulia.

5. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, baik.

6. PEMOHON NOMOR 69/PUU-XVII/2019: ERKO MORJA

Terima kasih.

1
7. KETUA: ANWAR USMAN

Nomor 75/PUU-XVII/2019?

8. KUASA HUKUM PEMOHON NOMOR 75/PUU-XVII/2019: FADLI


RAMADHANIL

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi,


kami dari Perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019 hadir Pemohon Prinsipal Ibu
Titi Anggraini yang mewakili Perludem, Ibu Dian Kartikasari yang
mewakili Koalisi Perempuan Indonesia. Kuasa Hukum hadir saya Fadli
Ramadhanil, di belakang ada Ibu Chaterine Natalia, dan Khorunnisa Nur
Agustyati. Terima kasih, Yang Mulia.

9. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, terima kasih. Nomor 76/PUU-XVII/2019? Nomor 76/PUU-


XVII/2019 melalui vicon, ya.

10. KUASA HUKUM PEMOHON NOMOR 76/PUU-XVII/2019: JIMMY


MONIM

Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Kami dari Jayapura, saya sendiri
Kuasa Hukum Jimmy Monim dan Prinsipal saya Bapak Forkorus
Yaboisembut bersama-sama hadir dalam persidangan ini. Terima kasih.

11. KETUA: ANWAR USMAN

Baik, terima kasih. Nomor 84/PUU-XVII/2019? Ada?

12. PEMOHON NOMOR 84/PUU-XVII/2019: MARTINUS


BUTARBUTAR

Selamat pagi, Yang Mulia.

13. KETUA: ANWAR USMAN

Ya.

14. PEMOHON NOMOR 84/PUU-XVII/2019: MARTINUS


BUTARBUTAR

Kami hadir Pemohon. Saya Martinus Butarbutar dengan rekan


Risof Mario. Yang Mulia, jika boleh kami mohon izin karena kesehatan
saya agak kurang baik, saya sudah minta kawan saya kalau diizinkan
2
Majelis, kami mau meninggalkan ruangan sidang untuk menghantarkan
ke tempat pemeriksaan kesehatan.

15. KETUA: ANWAR USMAN

Oh, ya.

16. PEMOHON NOMOR 84/PUU-XVII/2019: MARTINUS


BUTARBUTAR

Nanti … kami nanti ada waktu, salinan putusannya kami ambil.

17. KETUA: ANWAR USMAN

Oh, ya.

18. PEMOHON NOMOR 84/PUU-XVII/2019: MARTINUS


BUTARBUTAR

Jika boleh.

19. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, silakan.

20. PEMOHON NOMOR 84/PUU-XVII/2019: MARTINUS


BUTARBUTAR

Kalau begitu kami permisi, Yang Mulia.

21. KETUA: ANWAR USMAN

Ya. Ya, silakan. Ya, kami doakan cepat sembuh, ya.


Dari DPR silakan.

22. DPR: APRILIA DESSY K.

Selamat siang, Yang Mulia. Terima kasih. Dari DPR diwakili oleh
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, paling kiri Ester Yolanda
Friska. Sebalah saya, Lucia Priharti Dewi Damayanti. Saya sendiri Aprilia
Dessy. Terima kasih, Yang Mulia.

23. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, baik. Kuasa Presiden?


3
24. PEMERINTAH: PURWOKO

Ya, terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat


pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Kami dari Pemerintah hadir, dari
sebelah kanan saya, Bapak Surdiyanto. Saya sendiri Purwoko. Kemudian
sebelah kiri saya, Ibu Puti Dwi Jayanti. Dan kemudian yang paling kiri,
Bapak Reza. Terima kasih, Yang Mulia.

25. KETUA: ANWAR USMAN

Ya. Pihak Terkait, silakan.

26. PIHAK TERKAIT: FRITZ EDWARD SIREGAR (BAWASLU)

Ya, terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Nama saya
Fritz Edward Siregar, anggota Bawaslu, menjadi Pihak Terkait, Yang Mulia.
Terima kasih.

27. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, baik. Kita mulai dengan Pengucapan Ketetapan.


Bismillahirrahmanirrahim.
KETETAPAN
NOMOR 81/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir menjatuhkan Ketetapan dalam Permohonan Nomor 81/PUU-
XVII/2019 sebagai berikut:
Menimbang : a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima
permohonan bertanggal 25 November 2019 dari i)
Pitra Romadoni Nasution, S.H., M.H.; dan kawan-
kawan, beralamat di Jalan Danau Sunter Utara Blok
R Nomor 71 Blok Sunter Paradise, Kelurahan Sunter
Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Kota Jakarta
Utara, Provinsi DKI Jakarta, serta telah dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor
81/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 November 2019,
perihal permohonan pengujian konstitusionalitas
Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa terhadap permohonan dengan registrasi
Nomor 81/PUU-XVII/2019 tersebut, Mahkamah
Konstitusi telah menerbitkan:
1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 23
... Nomor 213/TAP.MK/2019 tentang
Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa
Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019, bertanggal 26
November 2019;
2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah
Konstitusi Nomor 217/TAP.MK/2019 tentang
Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah
Konstitusi, bertanggal 26 November 2019;
c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah
menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan
pada tanggal 10 Desember 2019 dengan agenda
mendengarkan permohonan para Pemohon dan
sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK),
Majelis Panel telah memberikan nasihat kepada para
Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah
menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan
kedua pada tanggal 9 Januari 2020 dengan agenda
mendengarkan perbaikan permohonan para
Pemohon;
e. bahwa pada tanggal 10 Januari 2020 Mahkamah
menerima surat bertanggal 9 Januari 2020 dari para
Pemohon yang menyatakan pencabutan
permohonan uji materi KUHP dan KUHAP terhadap
UUD 1945 dengan registrasi Perkara Nomor 81/PUU-
XVII/2019;
f. bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK
menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali
Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan
Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan
kembali”;

5
g. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf e di atas,
terhadap permohonan pencabutan atau penarikan
kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim
pada tanggal 15 Januari 2020 telah menetapkan
permohonan pencabutan atau penarikan kembali
permohonan Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019
adalah beralasan menurut hukum dan oleh
karenanya permohonan a quo tidak dapat diajukan
kembali;
h. bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas
terhadap permohonan a quo Mahkamah
mengeluarkan Ketetapan;
Mengingat :1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan seterusnya.
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara dan
seterusnya).

MENETAPKAN:
1. Mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan para
Pemohon;
2. Permohonan Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019 perihal pengujian
konstitusionalitas Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3258) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali;
3. Para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan
Pengujian Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal
46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk
menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan
mengembalikan berkas permohonan kepada para Pemohon.

KETUK PALU 1X

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang


dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua

6
merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan M.P.
Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Daniel
Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu,
tanggal lima belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari,
tahun dua ribu dua puluh, selesai diucapkan pukul 10.31 WIB, oleh
sembilan Hakim Konstitusi tersebut di atas, dengan dibantu oleh Mardian
Wibowo sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Presiden atau yang
mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Ya, kami
ulangi, tanpa dihadiri oleh Pemohon/kuasanya
Berikutnya.

PUTUSAN
NOMOR 48/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diajukan oleh:
1. Surya Efitrimen
Sebagai ----------------------------------------------- Pemohon I;
2. Nursari
Sebagai ---------------------------------------------- Pemohon II;
3. Sulung Muna Rimbawan
7
Sebagai --------------------------------------------- Pemohon III;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 08
Agustus 2019, memberi kuasa dengan hak substitusi kepada
Veri Junaidi, S.H., M.H., dan kawan-kawan, bertindak untuk
secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas
nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai --------------------- para Pemohon;
[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Badan
Pengawas Pemilihan Umum;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Membaca kesimpulan para Pemohon.

2. DUDUK PERKARA
Dan seterusnya dianggap dibacakan.

28. HAKIM ANGGOTA : DANIEL YUSMIC P. FOEKH

3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Yang kedua, Kedudukan Hukum Pemohon dianggap dibacakan.
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah berwenang ... bahwa karena
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Para
Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah
akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok
permohonan.
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya
mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah mempercepat
proses penyelesaian perkara mengingat permohonan a quo
terkait dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020. Di
mana, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15
Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan
8
Umum Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020, para Pemohon akan
memulai Tahapan Penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah
Daerah (NPHD) pada tanggal 1 Oktober 2019.
Terhadap Permohonan Provisi para Pemohon tersebut,
Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya dikarenakan proses
pemeriksaan perkara a quo baru berakhir pada tanggal 2
Desember 2019. Oleh karena itu, tidak relevan lagi untuk
mengaitkan permohonan provisi para Pemohon dengan waktu
penanda-tanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD)
sebagaimana didalilkan. Dengan demikian, permohonan provisi
para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal
1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal
22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B
huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal
23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23 ayat (3); Pasal 24 ayat
(1); Pasal 24 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal
30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf
d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105
ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat
(3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1);
Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal
141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3);
Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal
152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193
ayat (1); Pasal 193 ayat (2); dan Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada,
para Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya
sebagai berikut (alasan-alasan para Pemohon selengkapnya telah
dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut para Pemohon, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) telah
menetapkan institusi Bawaslu sebagai lembaga permanen
hingga tingkat kabupaten/kota sehingga dalam UU 7/2017
tidak mengenal istilah Panwas Kabupaten/Kota tetapi telah

9
diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Seharusnya,
kelembagaan permanen tersebut juga melekat pada
kelembagaan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota dalam
penyelenggaraan pilkada. Pembedaan kelembagaan dalam
UU 7/2017 dengan UU Pilkada adalah tidak sejalan dengan
asas kepastian hukum dan tertib hukum yang
mensyaratkan keadilan hukum dengan ditandai adanya
pemberian kewenangan atau pendekatan yang sama untuk
kelembagaan yang sama walaupun penyelenggaraan
pemilihan yang berbeda yaitu pemilihan kepala daerah dan
pemilihan presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD);
2. Bahwa menurut para Pemohon, dengan berlakunya UU
7/2017 yang memuat norma pelaksanaan penyelenggaraan
pemilihan umum akan tetapi mengatur pula kedudukan
lembaga penyelenggara pemilihan umum seharusnya hal
tersebut berlaku pula bagi kelembagaan penyelenggara
pemilihan dalam rezim pemilihan kepala daerah. Hal
tersebut seharusnya diharmonisasikan antara UU Pilkada
dengan UU 7/2017 sehingga sejalan dengan pertimbangan
Mahkamah dalam Paragraf [3.10.1.5] angka 7 Putusan
Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018. Dalam hal ini,
penggunaan nomenklatur Panwas Kabupaten/Kota
sebagaimana diatur dalam UU Pilkada ditafsirkan sama
dengan kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU
7/2017;
3. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 23 ayat (3)
UU Pilkada yang mengatur tentang jumlah keanggotaan
Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota hanya
berjumlah 3 orang bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum yang adil karena berpotensi menghilangkan hak
konstitusional Para Pemohon yang telah dilantik sebagai
komisioner Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
berdasarkan UU 7/2017 sehingga menghilangkan sumber
penghidupan juga pekerjaan yang layak bagi Para Pemohon
sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;
4. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 24 ayat (1) dan ayat
(2) UU Pilkada yang mengatur tentang tugas dan

10
kewenangan Bawaslu Provinsi untuk membentuk Panwas
Kabupaten/Kota dan menetapkan komisioner Panwas
Kabupaten/Kota menjadi tidak berlaku sebab dengan
ditafsirkannya ketentuan yang mengatur mengenai
kelembagaan Panwas Kabupaten/Kota menjadi sama
dengan Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen
sebagaimana dimaksud dalam UU 7/2017.
[3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon
telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti
P-1 sampai dengan bukti P-6 dan keterangan ahli para Pemohon
atas nama Syamsuddin Haris serta kesimpulan para Pemohon
(sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk
Perkara);
[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah mengajukan keterangan
Presiden yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 21
Oktober 2019 dan keterangan tambahan yang diterima di
Kepaniteraan pada tanggal 29 November 2019;
[3.11] Menimbang bahwa para ... Menimbang bahwa Pihak Terkait
Bawaslu mengajukan keterangan Bawaslu yang diterima di
Kepaniteraan pada tanggal 21 Oktober 2019 dan disampaikan
dalam persidangan pada tanggal 12 November 2019;
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara
saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti
yang diajukan para Pemohon, kesimpulan Pemohon serta
mendengar dan membaca keterangan Presiden, pokok
permasalahan konstitusional yang dimohonkan oleh para
Pemohon adalah sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pokok masalah yang dipersoalkan oleh para
Pemohon adalah pengaturan lembaga pengawas
pemilihan di tingkat kabupaten/kota sebagaimana
norma dalam Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18;
Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal
22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f;
Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D;
Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23 ayat
(3); Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 24 ayat
(3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34
huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82
ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105

11
ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1);
Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119
ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5);
Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141;
Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144
ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3);
Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154
ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1);
Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
[3.12.2] Bahwa dari semua norma yang dimohonkan para
Pemohon pengujian konstitusionalitasnya tersebut,
dapat dibagi dalam tiga kategori. P ertam a , norma
yang dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
mengikat sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota”
tidak dimaknai menjadi “Badan Pengawas Pemilu
dalam hal ini (Bawaslu) Kabupaten/Kota“. Norma-
norma yang berada dalam kategori pertama ini
adalah: Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5
ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat
(3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B
huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat

12
(1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25
ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal
34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5);
Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1);
Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110
ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2);
Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134
ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144
ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3);
Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152
ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1);
Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193
ayat (2); Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada. K edua ,
norma yang dimohonkan untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan mengikat sepanjang frasa “masing-masing
beranggotakan 3 (tiga) orang” tidak dimaknai “sama
dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan
dalam UU Pemilu”. Norma yang berada dalam
kategori kedua ini adalah norma dalam Pasal 23 ayat
(3) UU Pilkada. K etiga , norma yang dimohonkan
untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Norma yang
berada dalam kategori ketiga ini adalah norma
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada.
[3.12.3] Bahwa terkait dengan ketiga kategori sebagaimana
telah dikemukakan dalam Sub-paragraf [3.12.2] di
atas, UU Pilkada mengatur lembaga pengawas
pemilihan kepala daerah adalah Panitia Pengawas
Kabupaten/Kota atau “Panwas Kabupaten/Kota”
yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) Propinsi untuk mengawasi pelaksanaan
pemilihan di wilayah kabupaten/kota. Panwas
Kabupaten/Kota merupakan lembaga yang bersifat
ad-hoc yang dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum tahapan pemilihan kepala daerah dimulai.
Sementara itu, dengan merujuk UU Pemilu, lembaga
pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota adalah

13
Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota yang
merupakan lembaga permanen di mana anggotanya
memegang jabatan selama 5 (lima) tahun yang
dipilih melalui sebuah proses seleksi. Dengan adanya
Bawaslu Kabupaten/ Kota yang bersifat permanen
berdasarkan UU Pemilu di satu sisi dan Panwaslu
kabupaten/kota di sisi lain yang bersifat ad-hoc
berdasarkan UU Pilkada untuk mengawasi pilkada,
sebagaimana didalilkan para Pemohon, hal ini
menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum,
ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam
penyelenggaraan pilkada, sehingga bertentangan
dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27
ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap pokok persoalan tersebut,
keberadaan pengaturan Panwas Kabupaten/Kota dalam UU
Pilkada di tengah telah diubahnya kelembagaan pengawas
pemilu melalui UU Pemilu (...)

29. HAKIM ANGGOTA : WAHIDUDDIN ADAMS

Ya, saya teruskan.


[3.13] Menimbang bahwa terhadap pokok persoalan tersebut,
keberadaan pengaturan Panwas Kabupaten/Kota dalam UU
Pilkada di tengah telah diubahnya kelembagaan pengawas
pemilu melalui UU Pemilu, sebagaimana yang didalilkan oleh
para Pemohon perlu mendapat pertimbangan
konstitusionalitasnya. Dalam hal ini, apakah pengaturan
kelembagaan Panwas Kabupaten/Kota telah menyebabkan
ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan ketidakefisienan pilkada
sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22E ayat
(1) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945?
[3.14] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangan
kategori yang dikemukakan dalam Sub-paragraf [3.12.2] di
atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-
hal berikut.
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan penyelenggara Pilkada,
dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.10.1.4]

14
poin 7, halaman 97, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018,
Mahkamah menyatakan:
Dianggap dibacakan.
Merujuk pertimbangan hukum sebagaimana
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-XVI/2018 a quo, dalam memosisikan
penyelenggara pemilihan, Mahkamah tidak
membedakan antara penyelenggara pemilihan
umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana
termaktub dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
sebagaimana termaktub di dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang di dalam UU Pilkada termasuk juga
pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota. Sesuai dengan pertimbangan dalam
putusan a quo, kesemua pemilihan tersebut
diselenggarakan sesuai dengan semangat Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945;
[3.14.2] Bahwa dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
ditegaskan, “pemilihan umum diselenggarakan oleh
sebuah komisi pemilihan umum.” Terkait dengan
ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tersebut,
sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dalam
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU
22/2007), bertanggal 17 Maret 2010, frasa “komisi
pemilihan umum” dalam ketentuan Pasal 22E ayat
(5) UUD 1945 dimaknai merujuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Ihwal ini, fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum tidak saja
dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum
(KPU), tetapi juga termasuk oleh sebuah Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu
kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Dalam hal
ini, Bawaslu merupakan bagian inheren dari komisi

15
pemilihan umum yang dimaksud dalam Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 yang berfungsi melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan
umum di seluruh wilayah Indonesia.
[3.14.3] Bahwa sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi
pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu, sesuai
dengan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945,
Bawaslu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
tersebut melaksanakan tugas dan wewenang
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu
anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPRD. Hal mana, tugas
pengawasan a quo dilaksanakan oleh lembaga
Bawaslu dan jajarannya sesuai dengan tingkat
hierarki lembaga menurut lingkup wilayah provinsi,
kabupaten, kota hingga tingkat desa/kelurahan dan
Tempat Pemungutan Suara (TPS).
[3.14.4] Bahwa selain melaksanakan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota
DPRD yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 22E
ayat (2) UUD 1945, pembentuk undang-undang juga
memberikan tugas dan wewenang kepada Bawaslu
melalui UU Penyelenggara Pemilu dan UU Pilkada
untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah atau pilkada (vide Pasal 1 angka 5 UU
15/2011). Pemberian tugas dan wewenang
dimaksud sebagai konsekuensi pengaturan bahwa
pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara
langsung. Terakhir kalinya, undang-undang yang
secara khusus mengatur penyelenggara pemilu
adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU
15/2011). Setelah itu, materi muatan terkait
penyelenggara pemilu yang diatur dalam UU
15/2011 digabung atau disatukan menjadi materi
muatan UU Pemilu, yaitu Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

16
[3.14.5] Bahwa dalam UU 15/2011, Bawaslu dan jajaran
sebagai penyelenggara pemilu melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu dan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Penegasan demikian secara eksplisit dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 5 UU 15/2011 sebagai berikut:
Dianggap dibacakan.
[3.14.6] Bahwa kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur
dalam UU 15/2011 lebih lanjut menjadi rujukan saat
pengaturan lembaga pengawas penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam
UU Pilkada. Berkenaan dengan hal ini, Pasal 1 angka
10 UU 8/2015 menyatakan:
Dianggap dibacakan.
Bahkan, Pasal 22A ayat (1) UU 8/2015 menyatakan
bahwa pengawasan penyelenggaraan pemilihan, in
casu pemilihan kepala daerah, menjadi tanggung
jawab bersama Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan
Panwas Kabupaten/Kota. Dengan demikian,
kelembagaan Bawaslu dalam melaksanakan
pengawasan pemilihan kepala daerah sebagaimana
diatur dalam UU Pilkada sesungguhnya adalah
sesuai dengan pengaturan lembaga Bawaslu yang
terdapat dalam UU 15/2011.
[3.14.7] Bahwa dalam perkembangannya, sebagai lembaga
penyelenggara pemilu yang mengawasi
penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah NKRI,
kelembagaan Bawaslu terakhir diatur dalam UU
7/2017. Dengan dibentuknya UU 7/2017, UU
15/2011 dinyatakan tidak berlaku lagi. Salah satu
substansi mendasar di dalam UU 7/2017 adalah
perubahan kelembagaan Bawaslu. Dalam hal ini,
Pasal 89 ayat (2) UU 7/2017 menyatakan Bawaslu
terdiri atas: a. Bawaslu; b. Bawaslu Provinsi; c.
Bawaslu Kabupaten/Kota; d. Panwaslu Kecamatan;
e. Panwaslu Kelurahan/Desa; f. Panwaslu LN; dan g.
Pengawas TPS. Lebih jauh, Pasal 89 ayat (4) dan
ayat (5) menyatakan secara tegas sifat kelembagaan
masing-masing lembaga pengawas pemilu secara

17
hierarkis, yaitu di mana Bawaslu, Bawaslu Provinsi
dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap,
sedangkan Panwaslu Kecamatan, Panwaslu
Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pangawas TPS
bersifat ad hoc.
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan secara saksama
hal-hal sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.14] di
atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
konstitusionalitas norma-norma dalam kategori pertama di atas,
yaitu norma Pasal 1 angka 17 selanjutnya dianggap dibacakan
sampai dengan Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada, sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa meskipun terdapat 45 (empat puluh lima)
norma pada kategori pertama yang dimohonkan
untuk dinilai konstitusionalitasnya, namun
disebabkan semua norma tersebut berkenaan
dengan semua frasa “Panwas Kabupaten/Kota”,
Mahkamah akan mempertimbangkannya menjadi
satu kesatuan dan tidak diuraikan masing-masing
norma;
[3.15.2] Bahwa terjadinya perbedaan nomenklatur
kelembagaan pengawas pemilihan antara yang
diatur dalam UU Pilkada dengan UU 7/2017
disebabkan terjadinya perubahan regulasi pemilu.
Perubahan tersebut terjadi karena Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, UU 15/2011, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
digabung satu undang-undang, yaitu menjadi UU
7/2017. Secara faktual, sekalipun nomenklatur
pengawas pemilu di kabupaten/kota, sebagaimana
diatur dalam UU Pilkada sama dengan apa yang
pernah diatur dalam UU 15/2011, namun ketika
substansi UU 15/2011 telah diganti dengan UU
7/2017, nomenkaltur pengawas pemilihan masih
belum lagi terjadi keseragaman untuk semua jenis
pemilihan. Dalam hal ini, lembaga pengawas
pemilihan, in casu pengawas pemilihan kepala
daerah di tingkat kabupaten/kota dalam pemilihan

18
bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil
walikota dilaksanakan oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota.
[3.15.3] Bahwa ketika UU 7/2017 disahkan, dalam Pasal 571
huruf b UU a quo ditegaskan “Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Ketentuan Penutup UU 7/2017 tidak saja
menegaskan ihwal substansi status UU 15/2011
telah diadopsi dalam UU 7/2017, melainkan juga
menunjukkan terjadinya peralihan atau pergantian
UU yang menjadi dasar atau rujukan pengaturan
kelembagaan penyelenggara pemilu. Pada saat
dasar hukum kelembagaan penyelenggara pemilu
berganti, maka segala peraturan perundang-
undangan yang merujuk pada UU 15/2011
seharusnya menyesuaikan pula dan/atau disesuaikan
dengan pergantian yang terjadi.
[3.15.4] Bahwa ketika UU Pilkada yang mengatur lembaga
pengawas pemilihan yang notabene adalah
pengawas pemilu sebagaimana diatur oleh UU
7/2017 tidak disesuaikan dengan perubahan
nomenklatur pengawas pemilu tingkat kabupaten/
kota, hal demikian akan menyebabkan terjadinya
ketidakseragaman pengaturan dalam
penyelenggaraan fungsi pengawasan terutama
dalam pemilihan kepala daerah. Ketidakseragaman
tersebut dapat berdampak terhadap munculnya dua
institusi pengawas penyelenggaraan pemilihan di
tingkat kabupetan/kota dalam pemilihan anggota
DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
dan anggota DPRD dengan pilkada. Padahal,
kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU
7/2017 adalah lembaga yang diberi status atau sifat
tetap (permanen) hingga di tingkat kabupaten/kota.
Sementara itu, UU Pilkada justru mengatur
pembentukan, nomenklatur, dan sifat yang berbeda
terhadap lembaga pengawas dalam pemilihan kepala
daerah.

19
30. HAKIM ANGGOTA : SALDI ISRA

[3.15.5] Bahwa dengan terjadinya perubahan kelembagaan


Bawaslu Kabupaten/ Kota berdasarkan UU 7/2017,
maka hal tersebut tidak hanya berdampak terhadap
kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam
mengawasi penyelenggaraan pemilu, melainkan juga
dalam menyelenggarakan pengawasan pemilihan
kepala daerah. Artinya, dengan adanya tugas dan
wewenang Bawaslu mengawasi pemilihan kepala
daerah sesuai UU Pilkada, perubahan kelembagaan
Bawaslu melalui UU 7/2017 dengan sendirinya
berlaku pula dalam pelaksanaan pilkada, sehingga
penyesuaian terhadap perubahan dimaksud dalam
UU Pilkada menjadi sangat penting. Dalam konteks
ini, UU 7/2017 sebagai landasan hukum yang
mengatur ihwal kelembagaan Bawaslu harus
dijadikan rujukan ketika lembaga tersebut diberi
tugas dan wewenang untuk mengawasi pilkada.
Dalam arti, tugas dan wewenang pengawasan
pemilihan dalam UU Pilkada dilaksanakan oleh
lembaga Bawaslu sesuai dengan nomenklatur, sifat
dan hierarki kelembagannya sebagaimana dimaksud
dalam UU 7/2017.
[3.15.6] Bahwa dengan adanya perubahan yang dilakukan
oleh UU 7/2017, pengawas pemilu tingkat
kabupaten/kota yang awalnya hanyalah sebagai
lembaga ad hoc sebagaimana diatur dalam UU
Pilkada secara konstitusional harus pula
menyesuaikan menjadi lembaga yang bersifat tetap
dengan nama Bawaslu Kabupaten/Kota serta
mengikuti perubahan lain sebagaimana diatur dalam
UU 7/2017. Selama tidak dilakukan penyesuaian
kelembagaan pengawas pemilihan tingkat
kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU
Pilkada dengan perubahan dalam UU 7/2017, hal
demikian menyebabkan terjadinya ketidakpastian
hukum keberadaan lembaga pengawas pemilihan

20
kepala daerah di kabupaten/kota. Bahkan,
sebagaimana telah dinyatakan dalam pertimbangan
hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-XVI/2018 di atas maka sesuai dengan Pasal
22E ayat (5) UUD 1945, struktur penyelenggara
pemilihan untuk memilih anggota DPR, anggota
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota
DPRD, dan penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah seharusnya tetap sama meskipun
melaksanakan mandat dari dua undang-undang
yang berbeda.
[3.15.7] Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana
dikemukakan di atas, dalil para Pemohon yang
menyatakan norma Pasal 1 angka 17 dan seterusnya
sampai dengan Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada
sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota” tidak
dimaknai menjadi frasa “Badan Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945
adalah beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan norma yang dimohonkan untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
mengikat sepanjang frasa “masing-masing beranggotakan 3
(tiga) orang” dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai
“sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemilu”
adalah bertentangan dengan UUD 1945. Perihal dalil tersebut,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.16.1] Bahwa secara substansi, ketika materi muatan UU
15/2011 diadopsi ke dalam UU 7/2017, terdapat
beberapa perubahan terkait kelembagaan Bawaslu
dan jajarannya, khususnya Bawaslu
Kabupaten/Kota. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam pertimbangan sebelumnya, perubahan
dimaksud terkait dengan nomenklatur kelembagaan,
sifat kelembagaan, dan komposisi keanggotaan
bawaslu provinsi dan pengawas pemilu tingkat
kabupaten/kota. Terkait kelembagaan pengawas di

21
tingkat kabupaten/kota, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Nomenklatur pengawas tingkat kabupaten/kota
yang diatur dalam UU 15/2011 adalah Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (Panwaslu
Kabupaten/Kota). Adapun dalam UU 7/2017,
nomenklatur tersebut diubah menjadi Bawaslu
Kabupaten/Kota. Nomenklatur pengawas tingkat
kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU
15/2011 merupakan dasar atau rujukan dalam
menentukan nomenklatur pengawas yang diatur
dalam UU Pilkada.
2. Terkait sifat kelembagaan, Panwaslu
Kabupaten/Kota dan/atau Panwas Kabupaten/Kota
yang diatur dalam UU 15/2011 dan UU Pilkada
bersifat ad-hoc. Dalam hal ini, Panwas
Kabupaten/Kota tersebut hanya dibentuk 1 (satu)
bulan menjelang tahapan pemilu/pilkada dan
berakhir 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan
pemilu berakhir. Dengan diadopsinya substansi UU
15/2011 ke dalam UU 7/2017, kelembagaan
Panwaslu Kabupaten/Kota yang diubah menjadi
Bawaslu Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai
lembaga yang bersifat tetap (permanen), di mana
keanggotaanya memegang jabatan selama 5
(lima) tahun.
3. Komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi
sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 sebanyak
3 (tiga) orang dan anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang. Dengan
adanya pergantian undang-undang yang
mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu,
komposisi anggota Bawaslu Provinsi menjadi 5
(lima) atau 7 (tujuh) orang, dan anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima)
orang. Selain, komposisi jumlah keanggotaan,
perubahan juga terjadi terkait dengan mekanisme
pengisian anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.
Awalnya, melalui UU 15/2011, anggota Panwaslu

22
Kabupaten/Kota diseleksi dan ditetapkan oleh
Bawaslu Provinsi, kemudian melalui UU 7/2017
diubah menjadi proses seleksi melalui Tim Seleksi
yang dibentuk oleh Bawaslu.
[3.16.2] Bahwa dengan terjadinya perubahan substansi
pengaturan kelembagaan pengawas pemilu
kabupaten/kota dan juga komposisi keanggotaan
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
melalui UU 7/2017, maka sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas, nomenklatur lembaga, sifat
kelembagaan dan komposisi keanggotaan mesti
disesuaikan dengan UU 7/2017 sebagai ketentuan
yang di antaranya mengatur lembaga penyelenggara
pemilu. Apabila penyesuaian tidak dilakukan, akan
berdampak terjadinya ketidakpastian hukum
kelembagaan lembaga pengawas pemilu, termasuk
pengawasan terhadap pemilihan kepala daerah.
Selain itu, berkenaan pula dengan jumlah anggota
Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota, dalam Paragraf [3.18]
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Maret 2019,
Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain
menyatakan bahwa jumlah anggota Bawaslu
Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota sebagaimana termaktub di dalam
UU 7/2017 dinilai sebagai bagian dari agenda setting
rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu
sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan
beban kerja masing-masing lembaga. Artinya,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
XVI/2018 a quo hendak menyatakan bahwa jumlah
penyelenggara pemilu di setiap tingkatan
sebagaimana diatur dalam UU 7/2017, termasuk
jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah
anggota Bawaslu Kabupaten/Kota adalah
konstitusional. Dengan telah dinyatakan bahwa frasa
“Panwas Kabupaten/Kota” dimaknai “Badan
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota”, konstitusional,

23
maka mempersamakan jumlah anggota Bawaslu
Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota sesuai dengan jumlah dalam UU
7/2017 juga merupakan pilihan yang konstitusional,
baik dalam penyelenggaraan pemilu maupun
pemilihan kepala daerah.
[3.16.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam
Sub-paragraf [3.16.1] dan Sub-paragraf [3.16.2]
di atas, bilamana jumlah anggota Bawaslu Provinsi
dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam
Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai sama
dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan
dalam UU 7/2017, tindakan tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum sehingga bertentangan
dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan
dengan inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (3) UU
Pilkada beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan kategori ketiga, terkait
dengan dalil para Pemohon mengenai wewenang Bawaslu
Provinsi dalam membentuk dan menetapkan Panwas
Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pilkada adalah bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum, Mahkamah perlu menegaskan kembali ihwal
pengisian jabatan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang
kemudian diberi wewenang mengawasi pemilihan di tingkat
kabupaten/kota seharusnya juga disesuaikan dengan perubahan
yang terjadi dalam UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil
permohonan a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
[3.17.1] Bahwa sejalan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2)
UU Pilkada, wewenang pembentukan Panwas
Kabupaten/Kota oleh Bawaslu Provinsi juga termuat
dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada dan Pasal 5 ayat
(2) huruf e UU Pilkada. Dalam norma a quo
ditegaskan bahwa Panwas Kabupaten/Kota adalah
panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi dan
menjadi salah satu tahapan persiapan

24
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dengan
dipertimbangkan dan dinyatakannya oleh Mahkamah
kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota menjadi
Bawaslu Kabupaten/Kota yang proses pengisiannya
dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk
oleh Bawaslu, maka definisi Panwas Kabupaten/Kota
dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada yang masih
mencantumkan frasa “dibentuk oleh Bawaslu
Provinsi” harus juga disesuaikan agar tidak
menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi,
sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf
[3.15], Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai
menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka semua
pengaturan yang menentukan batas waktu
pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai
bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas
Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh
Bawaslu Provinsi, karena alasan agar tidak terjadi
ketidakpastian hukum, harus pula dinyatakan
inkonstitusional.
[3.17.2] Bahwa terkait dengan kepastian hukum
sebagaimana dipertimbangkan dalam Sub-paragraf
[3.17.1] di atas, sekalipun tidak dimohonkan dan
didalilkan oleh para Pemohon dalam
permohonannya, disebabkan substansinya
berkelindan dengan “batas waktu pembentukan
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari
tahapan persiapan pilkada dan Panwas
Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh
bawaslu Provinsi” sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas, ketentuan dalam Pasal 1
angka 17 UU Pilkada tidak cukup hanya dengan
menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” adalah
konstitusional sepanjang dimaknai menjadi “Bawaslu
Kabupaten/Kota”, tetapi juga demi alasan kepastian
hukum, frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi”
haruslah tidak berlaku sehingga pengisiannya
merujuk sesuai dengan ketentuan UU 7/2017.

25
[3.17.3] Bahwa begitu pula dengan Pasal 5 ayat (2) huruf e
UU Pilkada, karena alasan untuk kepastian hukum
pula, meski tidak didalilkan dan tidak dimohonkan
oleh para Pemohon, tidak cukup hanya dengan
menyatakan frasa “Panwaslu Kabupaten/Kota”
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota” harus
pula dinyatakan bahwa frasa “Panwaslu
Kabupaten/Kota” dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e UU
Pilkada tidak berlaku dan tidak lagi menjadi dari
rumusan norma a quo.
[3.17.4] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para
Pemohon sepanjang terkait Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pilkada adalah beralasan menurut
hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum
untuk seluruhnya.

31. KETUA : ANWAR USMAN

4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum;
[4.4] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan seterusnya, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara dan seterusnya);

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam Provisi:
Menolak permohonan provisi para Pemohon;

26
Dalam Pokok Permohonan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam Pasal 1 angka
17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1);
Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B
huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23
ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32;
Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat
(5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat
(7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal
119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat
(6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat
(2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal
152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat
(2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai “Bawaslu Kabupaten/Kota”;
3. Menyatakan frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang”
dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

27
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan jumlah anggota
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6109);
4. Menyatakan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5898), bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

KETUK PALU 1X
28
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap
Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo,
Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic
P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal
tiga belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari, tahun dua ribu
dua puluh, selesai diucapkan pukul 11.28 WIB, oleh sembilan Hakim
Konstitusi tersebut di atas, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.
Selanjutnya.

PUTUSAN
NOMOR 69/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir, menjatuhkan putusan dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Erko Mojra
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon;
[1.2] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon.

2. DUDUK PERKARA

Duduk Perkara dan seterusnya.

32. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL

3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Paragraf [3.1] dianggap dibacakan.

29
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah
permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-
undang, in casu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, selanjutnya disebut KUHAP terhadap UUD
1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo;
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo namun sebelum Mahkamah
mempertimbangkan permohonan lebih lanjut mengenai
kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan,
Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan
permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama
permohonan Pemohon, telah ternyata Pemohon
mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal
197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
f, huruf h dan ayat (2) KUHAP namun dalam
menguraikan alasan permohonannya, Pemohon tidak
secara sistematis menjelaskan argumentasinya,
khususnya terhadap alasan inkonstitusionalitas
norma yang diajukan untuk diuji. Selain itu, dalam
alasan permohonannya, Pemohon menguraikan
secara panjang lebar mengenai kasus konkret yang
dialami Pemohon namun tidak menguraikan dengan
jelas kaitan norma yang diajukan untuk diuji dengan
kasus konkret yang dialami Pemohon. Bahkan,
Pemohon sejak awal telah menyatakan dalam
permohonannya, bahwa permasalahan yang dihadapi
oleh Pemohon adalah karena adanya
penyalahgunaan wewenang oleh oknum dalam
usaha menjadikan Pemohon sebagai tersangka.
Pemohon dalam menguraikan permohonannya
mengaitkannya dengan berbagai persoalan konkret
yang dialami Pemohon, di antaranya mengenai delik
pidana yang disangkakan terhadap Pemohon dan
persoalan penyalahgunaan wewenang dalam
penyidikan.
[3.3.2] Bahwa norma yang dimohonkan pengujian, yaitu
Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP pada pokoknya
adalah mengatur mengenai sistematika atau isi dari
surat putusan pemidanaan pada pengadilan tingkat
pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
103/PUU-XIV/2016 bertanggal 10 Oktober 2017].
Terhadap pokok permohonan Pemohon, dikaitkan
30
dengan sistematika permohonan pengujian undang-
undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat
(1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005),
yang pada pokoknya menyatakan permohonan harus
dengan sistematika sebagai berikut: selanjutnya
dianggap dibacakan.
Setelah Mahkamah membaca dengan saksama
permohonan Pemohon dan apabila dikaitkan dengan
aturan tersebut, telah ternyata permohonan
Pemohon hanya memuat kewenangan Mahkamah
dan kedudukan hukum serta petitum tanpa
menyertakan alasan permohonan (fundamentum
petendi atau posita). Tanpa adanya uraian mengenai
alasan permohonan, maka sebuah permohonan akan
kehilangan landasan atau dasar argumentasi untuk
menilai materi apa yang sesungguhnya dipersoalkan
Pemohon.
[3.3.3] Bahwa selain itu, Pemohon dalam bagian Petitum
permohonan … saya ulangi, bagian Petitum
memohon adanya penambahan norma pada Pasal
197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
f, huruf h dan ayat (2) KUHAP yang membuat
permohonan Pemohon menjadi semakin tidak jelas.
Selain itu tidak terdapat kesesuaian antara alasan-
alasan mengajukan permohonan dengan hal-hal
yang diminta untuk diputus.
[3.3.4] Bahwa terkait dengan uraian dan sistematika
permohonan Pemohon, dalam sidang Pemeriksaan
Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 19
November 2019, Panel Hakim telah menasihatkan
kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas
mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa
norma undang-undang yang diajukan pengujian
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan
mempersingkat uraian mengenai kasus konkret yang
dialami Pemohon, agar permohonan Pemohon dapat
lebih fokus. Lebih lanjut, Panel Hakim juga telah
menyarankan kepada Pemohon untuk berkonstul …
saya ulangi, untuk berkonsultasi dengan lembaga
bantuan hukum atau dengan pihak lain yang
memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan
kewenangan Mahkamah atau setidaknya
mempelajari format permohonan pengujian undang-
31
undang [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 69/PUU-
XVII/2019, tanggal 19 November 2019]. Namun,
dalam Perbaikan Permohonan yang diterima
Mahkamah pada tanggal 2 Desember 2019,
permohonan Pemohon tetap tidak jelas karena
alasan permohonan bercampur dengan banyaknya
uraian kasus konkret yang dialami oleh Pemohon.
Bahwa apabila dicermati lebih lanjut, Pemohon tetap
tidak menguraikan permohonannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal
5 ayat (1) PMK 06/2005 termasuk tidak menguraikan
dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara
norma yang diuji dengan UUD 1945 yang semestinya
termuat dalam alasan permohonan. Dengan
demikian, permohonan Pemohon haruslah
dinyatakan tidak jelas atau kabur.
[3.3.5] Bahwa andaikatapun permasalahan konstitusionalitas
norma yang dimaksud oleh Pemohon adalah
dikaitkan dengan syarat batal demi hukum terhadap
putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama,
menurut Mahkamah hal tersebut telah jelas dengan
prinsip bahwa batal demi hukumnya suatu putusan
pengadilan adalah hanya dapat diputus oleh
pengadilan yang lebih tinggi. Sehingga, terpenuhi
atau tidaknya syarat Pasal 197 ayat (1) KUHAP
terhadap suatu putusan pemidanaan di pengadilan
tingkat pertama merupakan kewenangan dari
pengadilan di atasnya untuk menilai dan menyatakan
batal demi hukum putusan a quo, atau dengan kata
lain, putusan pengadilan tidak dapat dinyatakan
“batal demi hukum” kecuali oleh putusan pengadilan
yang lebih tinggi tingkatannya yang menyatakan
demikian.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau
kabur sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan
tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

33. KETUA: ANWAR USMAN

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana


diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
32
[4.2] Permohonan Pemohon kabur;
[4.3] Kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan Pemohon
tidak dipertimbangkan;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan seterusnya, dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara dan
seterusnya).

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:

Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

KETUK PALU 1X

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap
Anggota, Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Enny
Nurbaningsih, Saldi Isra, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, dan
Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal
sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu sembilan belas, yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi tersebut di atas …
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh
sembilan, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, selesai
diucapkan pukul 11.38 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi tersebut
kecuali I Dewa Gede Palguna, digantikan oleh Daniel Yusmic P. Foekh,
dengan dibantu oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti,
serta dihadiri oleh Pemohon, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
Selanjutnya.
PUTUSAN
NOMOR 75/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
33
Selanjutnya disebut ----------------------------------------- Pemohon I;
2. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
Selanjutnya disebut ---------------------------------------- Pemohon II;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 25
Oktober 2019 memberi kuasa kepada Fadli Ramadhanil, S.H.,
M.H., dkk., bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------ Para Pemohon;
[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

Dan seterusnya dianggap dibacakan.

34. HAKIM ANGGOTA: ENNY NURBANINGSIH

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah
[3.1], [3.2] dianggap dibacakan.

Kedudukan Hukum Pemohon


[3.3], [3.4] dianggap dibacakan.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat
(1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para
Pemohon sebagai berikut.
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1
angka 6 UU 8/2015 mengenai frasa “atau sudah/pernah kawin”
yang rumusan lengkapnya sebagai berikut.
Pasal 1 angka 6 dianggap dibacakan.
2. Bahwa Pemohon I adalah Perkumpulan Untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem) yang merupakan organisasi non
pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
dalam Pasal 3 AD/ART menyatakan “Perludem menjalankan
kegiatan yang meliputi pengkajian mengenai pemilu dan
demokrasi, memberikan pendidikan tentang pemilu dan
demokrasi, memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang
pemilu dan demokrasi, serta melakukan pemantauan pemilu
dan demokrasi”;
3. Bahwa menurut Pemohon I dalam menjelaskan kedudukan
hukumnya, berdasarkan Pasal 16 angka 5 AD/ART Perludem,
34
pengurus, yang dalam hal ini adalah Direktur Eksekutif, berhak
mewakili Yayasan Perludem di dalam dan di luar pengadilan,
bertindak untuk dan atas nama pengurus tentang segala hal
dan dalam segala kejadian, sehingga di dalam permohonan ini,
Titi Anggraini selaku Direktur Eksekutif mewakili Pemohon I;
4. Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon I dalam
melakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi, khususnya
terkait dengan undang-undang mengenai kepemiluan dan
undang-undang pemilihan kepala daerah, telah berkali-kali
terpenuhi, di antaranya adalah Perkara Nomor 20/PUU-
XVII/2019 yang memohonkan perpanjangan waktu untuk
pengurusan pindah memilih di dalam Pemilu. Kemudian perkara
Nomor 135/PUU-XIII/2015 terkait perlindungan hak memilih
bagi penyandang disabilitas mental serta dalam perkara Nomor
72/PUU-XV/2019. Di dalam ketiga perkara tersebut, Mahkamah
menyatakan Pemohon I memiliki kedudukan hukum di dalam
melakukan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi,
dan Mahkamah mengabulkan sebagian materi permohonan;
5. Bahwa di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, Pemohon I
menguraikan mengenai adanya pemberlakuan persyaratan
kedewasaan di dalam memilih pada pemilihan kepala daerah
dalam norma pasal yang diujikan akan menimbulkan proses
pemilihan kepala daerah menjadi tidak luber dan jurdil sehingga
bertentangan dengan UUD 1945. Hal demikian ini merugikan
Pemohon karena tidak sesuai dengan tujuan pendirian
organisasi dari Pemohon I serta membuat aktivitas-aktivitas
yang sudah dilakukan oleh Pemohon I untuk mencapai tujuan
organisasi, menjadi sia-sia akibat berlakunya ketentuan pasal a
quo.
6. Bahwa selanjutnya berkaitan dengan Pemohon II di dalam
menjelaskan kedudukan hukumnya, Pemohon II adalah Koalisi
Perempuan Indonesia (KPI) yang diwakili oleh Dian Kartikasari,
Sekretaris Jenderal, yang mendalilkan sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat yang aktif melakukan pembelaan
terhadap hak-hak perempuan dan kelompok yang terpinggirkan
sesuai dengan tujuan organisasi KPI yakni mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender menuju masyarakat yang
demokratis, sejahtera dan beradab berdasarkan Pasal 9
AD/ART KPI.
7. Bahwa lebih lanjut Pemohon II menjelaskan telah pernah
mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah dan diterima
kedudukan hukumnya sebagai Pemohon yaitu dalam Perkara
Nomor 20/PUU-XI/2013 terkait dengan jaminan keterwakilan
perempuan dalam pemilihan umum dan dalam Perkara Nomor
30-74/PUU-XII/2014 terkait dengan batas usia minimal
35
perkawinan bagi perempuan. Oleh karenanya, menurut
Pemohon II dalam permohonan a quo pun Pemohon II
beranggapan memiliki kedudukan hukum.
8. Bahwa terhadap argumentasi Pemohon I dan Pemohon II yang
dijadikan alasan di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya
tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa terhadap
Pemohon I adalah benar ternyata telah beberapa kali diberikan
kedudukan hukum di dalam mengajukan permohonan
sebelumnya, yaitu Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019, Perkara
Nomor 135/PUU-XIII/2015, dan Perkara Nomor 72/PUU-
XV/2019. Oleh karena itu, setelah dicermati secara saksama
oleh Mahkamah permohonan yang diajukan oleh Pemohon I
dalam perkara a quo juga masih berkenaan dengan hak
konstitusional yang berkaitan dengan hak pilih dan hal ini
merupakan salah satu fokus yang menjadi perhatian dan juga
kajian sesuai dengan tujuan organisasi Pemohon I sebagai
Lembaga Swadaya Masyarakat yang menjalankan kegiatan
pengkajian mengenai pemilu dan demokrasi, maka terhadap
permohonan a quo pun Mahkamah berpendapat Pemohon I
memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon
dalam perkara a quo.
9. Bahwa selanjutnya berkaitan dengan kedudukan hukum
Pemohon II, Mahkamah setelah mencermati secara saksama
meskipun Pemohon II telah dinyatakan oleh Mahkamah
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan
sebelumnya, yaitu Perkara Nomor 20/PUU-XI/2013 dan Perkara
Nomor 30-74/PUU-XII/2014. Namun, dalam kaitan ini penting
bagi Mahkamah menegaskan bahwa sekalipun Pemohon II
pernah diberi kedudukan hukum dalam dua perkara di atas,
akan tetapi hal demikian tidaklah berarti serta-merta Pemohon
II memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan
a quo karena setiap perkara memiliki karakteristik yang
berbeda.
Bahwa dalam dua perkara yang pernah diajukan Pemohon II di
atas berkaitan erat dengan kerugian hak konstitusional organisasi
Pemohon dalam rangka memperjuangkan perlindungan hak-hak
perempuan. Sementara itu, dalam perkara a quo Pemohon II tidak
menjelaskan koherensi antara norma pasal yang dimohonkan
pengujian dengan kerugian hak konstitusional organisasi Pemohon
II dalam menjalankan kerja-kerja organisasinya, khususnya
berkaitan dengan hak pilih. Dengan demikian, menurut
Mahkamah, Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk
bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, terlepas dari terbukti
atau tidaknya dalil Pemohon I perihal pertentangan norma frasa
36
“atau sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015
dengan UUD 1945 yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon I memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo dan Pemohon I memiliki kedudukan hukum
untuk bertindak sebagai Pemohon, sekalipun Pemohon II tidak
memiliki kedudukan hukum, maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan
Pemohon I (selanjutnya disebut sebagai Pemohon).

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi
yang memohon agar Mahkamah mempercepat proses
pemeriksaan dan menjadikan permohonan ini sebagai perkara
yang diprioritaskan untuk diputus segera mengingat permohonan
a quo terkait langsung dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah
Tahun 2020. Dalam hal ini, tahapan pendaftaran pemilih akan
dimulai pada tanggal 20 Februari 2020 yang ditandai dengan
penerimaan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari Kementerian Dalam Negeri
berdasarkan Lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan,
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota Tahun 2020.
Terhadap permohonan Provisi a quo, oleh karena pokok
permohonan Pemohon memiliki keterkaitan dengan tahapan
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang secara
faktual tahapan tersebut berkaitan dengan pencalonan kepala
daerah yang akan segera dimulai, maka terlepas dari dikabulkan
atau tidaknya permohonan a quo, demi kepastian hukum bagi
masyarakat, penting bagi Mahkamah untuk memberikan prioritas
dengan mempercepat putusan perkara a quo tanpa menyimpang
dari hukum acara dalam tahapan proses penyelesaian perkara
pengujian undang-undang. Sehingga, permohonan provisi
Pemohon agar perkara a quo diprioritaskan untuk diputus adalah
beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan


[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas frasa
“atau sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015,
Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana
37
selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa, menurut Pemohon, prinsip pemilihan kepala daerah
yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil harus
tercermin dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilihan,
termasuk tahapan pendaftaran pemilih. Namun, menurut
Pemohon, dengan berlakunya frasa “atau sudah/pernah kawin”
dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 telah menimbulkan
ketidakadilan bagi setiap warga negara untuk bisa terdaftar
sebagai pemilih sehingga tidak sesuai dengan asas adil di mana
salah satu satu indikatornya adalah memberikan kesempatan
yang sama kepada setiap warga negara untuk bisa terdaftar
sebagai pemilih, dan dengan terdaftar tersebut pemilih dapat
memberikan pilihan politiknya ketika memilih kepala daerah.
2. Bahwa, menurut Pemohon, berlakunya frasa “atau
sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 sebagai
ukuran kedewasaan sehingga seseorang dapat diberi hak untuk
memilih merupakan kerangka berpikir ketika Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) belum diubah, di mana batas usia minimal
perkawinan bagi laki-laki 19 tahun dan perempuan minimal 16
tahun. Dengan demikian, perempuan yang berusia 16 tahun
ketika sudah atau pernah kawin layak diberi hak memilih.
Ketentuan ini menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksamaan
kedudukan warga negara karena bagi mereka yang berusia
kurang dari 17 tahun dan belum kawin maka belum diberikan
hak memilih kepala daerah, sedangkan bagi mereka yang
berusia kurang dari 17 tahun dan sudah/pernah kawin berlaku
sebaliknya, dalam artian mendapatkan hak untuk memilih
dalam pemilihan kepala daerah.
3. Bahwa, menurut Pemohon, setelah adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang ditindaklanjuti dengan
perubahan UU Perkawinan yaitu dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU 16/2019),
maka ketentuan sepanjang frasa “atau sudah/pernah kawin”
dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 telah menimbulkan
ketidakadilan di dalam sistem pendaftaran pemilih bagi setiap
warga negara, karena ketentuan syarat minimal usia kawin baik
bagi laki-laki maupun perempuan menurut Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan adalah 19 tahun. Sehingga, dengan demikian tidak
dapat lagi digunakan alternatif “atau sudah/pernah kawin” bagi
mereka yang belum berusia 17 tahun untuk mendapatkan hak
memilih. Apabila norma pasal a quo tidak dibatalkan

38
bertentangan dengan asas pemilu dan pemilihan yang dijamin
oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
4. Bahwa, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU
Perkawinan memang memberikan pengecualian dengan
membuka kemungkinan adanya laki-laki maupun perempuan
menikah di bawah syarat minimal usia kawin sepanjang
diberikan dispensasi oleh pengadilan, yang didahului dengan
adanya alasan yang sangat mendesak, serta disertai dengan
bukti-bukti pendukung. Ketentuan ini mestilah dimaknai
terbatas terkait dengan perbuatan hukum melakukan
perkawinan saja, sehingga tidak relevan jika dikaitkan dengan
keterpenuhan syarat sebagai pemilih di dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, perbuatan sudah/pernah kawin tidak dapat
serta-merta memenuhi kedewasaan seorang warga negara,
karena sudah/pernah kawin tersebut terjadi akibat adanya
alasan-alasan yang sangat mendesak yang didukung dengan
bukti-bukti sehingga dapat menjadi alasan menggugurkan
syarat usia minimal perkawinan 19 tahun.
5. Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan Pemohon di atas,
Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan
Pemohon dengan menyatakan frasa “atau sudah/pernah kawin”
dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga,
bunyi Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 menjadi “Pemilih adalah
penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun
yang terdaftar dalam pemilihan”.

35. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

[3.9] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya,


Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi
tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P- 4 (sebagaimana
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas,
Mahkamah berpendapat tidak terdapat kebutuhan maupun
urgensi untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 54 UU MK;
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa
dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang
diajukan, maka terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
[3.11.1]Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya frasa
“atau sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 angka 6 UU
8/2015 telah menimbulkan ketidakadilan bagi setiap
39
warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih.
Terhadap dalil Pemohon tersebut penting bagi Mahkamah
untuk menegaskan keseluruhan norma pasal a quo yang
selengkapnya menyatakan bahwa “Pemilih adalah
penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas)
tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam
Pemilihan”. Apabila dibaca UU 8/2015, norma ini
merupakan bagian dari “Ketentuan Umum” Undang-
Undang a quo. Jika merujuk pada sistem perundang-
undangan Indonesia, dalam “Ketentuan Umum” materi
undang-undang yang berisikan pengertian atau definisi
tidak memerlukan penjelasan. Dengan demikian, Pasal 1
angka 6 UU 8/2015 mengandung rumusan yang bersifat
alternatif, yaitu seorang Warga Negara Indonesia yang
sudah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih
atau sudah kawin (sedang dalam ikatan perkawinan) atau
pernah kawin (tidak lagi berada dalam ikatan perkawinan,
misalnya antara lain karena perceraian atau kematian),
sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016), dapat
didaftar sebagai pemilih atau memiliki hak memilih.
Jikalau hendak diperbandingkan dengan norma serupa
dalam undang-undang lain, pengertian atau definisi
“Pemilih” dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 juga terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam hal ini, norma Pasal
1 angka 34 UU Pemilu menyatakan, “Pemilih adalah
Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17
(tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah
pernah kawin”. Dengan demikian bagi warga Negara
Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau
belum berusia 17 (tujuh belas) tahun tetapi sudah kawin
atau pernah kawin dapat menggunakan hak untuk
memilih. Kedua norma tersebut merupakan ketentuan
umum yang dimaksudkan untuk memberikan batasan
tegas ihwal siapa saja warga negara Indonesia yang dapat
memilih atau mempunyai hak pilih.
Selain pengertian pemilih sebagaimana dinyatakan Pasal 1
angka 6 UU 8/2015, Pasal 57 ayat (1) UU 10/2016
menyatakan, “Untuk dapat menggunakan hak memilih,
40
warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih”.
Dengan demikian, merujuk pengertian pemilih
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU
8/2015 maka batasan sebagaimana dimaksudkan dalam
norma pasal a quo bukanlah menjadi satu-satunya syarat
yang harus dipenuhi bagi seorang warga negara untuk
menggunakan haknya memilih. Ketentuan tersebut harus
diakumulasikan dengan keterpenuhan persyaratan lain
yaitu terdaftar sebagai pemilih sebagaimana diatur dalam
norma Pasal 57 ayat (1) UU 10/2016. Artinya, ihwal
penggunaan hak untuk memilih sehingga terdaftar dalam
daftar pemilih ditentukan oleh apakah seorang warga
negara memiliki KTP atau identitas pengganti yang sah
menurut hukum sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan undang-undang.
Oleh karena itu, untuk menjawab dan mengkonstruksikan
dalil yang diajukan Pemohon, pertanyaan selanjutnya,
siapakah warga negara yang secara hukum dapat memiliki
KTP. Dalam hal ini, Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk)
menyatakan bahwa “Penduduk Warga Negara Indonesia
dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang
telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin
atau pernah kawin wajib memiliki KTP”. Dengan merujuk
ketentuan tersebut, maka Warga Negara Indonesia, yang
telah memiliki KTP, meski belum berusia 17 tahun tetapi
telah kawin atau pernah kawin, yang bersangkutan
memiliki hak untuk memilih dan dapat didaftarkan
sebagai pemilih. Persyaratan demikian pun sepanjang
memenuhi syarat lain yang ditentukan dalam Pasal 57
ayat (3) UU 10/2016, yakni tidak sedang terganggu
jiwa/ingatannya dan/atau tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
Kepemilikan KTP bagi mereka yang belum berusia 17
tahun tetapi telah kawin atau pernah kawin karena yang
bersangkutan dianggap sebagai individu yang sudah
dewasa. Ketentuan ukuran kedewasaan dengan
menggunakan frasa “sudah kawin” atau “pernah kawin”
terdapat juga dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Misalnya, dalam Pasal 330 Kitab Undang-
41
Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) yang menyatakan,
“Yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai usia genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum
usia mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka
tidak kembali berstatus belum dewasa”. Sementara itu,
dengan menggunakan terminologi berbeda, bukan “kawin”
melainkan “menikah”, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
39/1999) menyatakan, “Anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
Artinya, kategori anak dalam UU 39/1999 adalah apabila
seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Apabila sebelum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun
tetapi sudah menikah, seseorang tidak termasuk lagi
dalam pengertian “anak” melainkan sebagai individu yang
dewasa. Dengan kata lain, undang-undang a quo
menegaskan bahwa status sudah menikah atau pernah
menikah adalah juga merupakan parameter alternatif
untuk menentukan kedewasaan seseorang.
Sementara itu, jika merujuk pada batasan kedewasaan
secara hukum adat, sekalipun tidak terdapat keseragaman
soal batas usia dewasa, secara universal pemahaman
dewasa atau belum dewasa secara tegas tidak ditentukan
oleh usia, melainkan kecakapan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Biasanya orang dianggap dewasa
antara lain setelah menikah atau pernah menikah,
meninggalkan rumah keluarga atau telah mencari atau
mulai hidup mandiri, terutama bagi yang sudah menikah
atau pernah menikah. Bahkan, acapkali ukuran dewasa
dengan menggunakan ukuran orang telah “ kuat gawe”,
yaitu orang yang sudah bekerja, sudah bisa mengurus
harta bendanya dan keperluan-keperluannya secara
mandiri. Ukuran yang digunakan dalam hukum adat
tersebut lazimnya adalah keadaan yang ada atau yang
bersifat faktual. Artinya, sebagaimana yang dikemukakan
di atas batasan usia tertentu tidak selalu digunakan untuk
menentukan seseorang dewasa atau belum.
Dengan adanya berbagai ketentuan hukum (tertulis atau
tidak tertulis) yang menggunakan kriteria “kawin” atau
“pernah kawin” sebagai ukuran yang menentukan
dewasanya seseorang, keberlakuan UU 8/2015 adalah
dalam konteks untuk menyatakan bahwa walaupun
42
seseorang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun tetapi
sudah kawin atau pernah kawin maka yang bersangkutan
menjadi individu yang dianggap dewasa dan pada
hakikatnya orang yang dipandang sudah dewasa tersebut
dianggap mampu untuk melakukan perbuatan hukum
dan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut,
termasuk dalam hal ini, perbuatan hukum untuk
menentukan pilihan dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, ukuran dewasa dalam konteks UU
Pemilihan adalah dewasa dalam artian seseorang yang
sudah memenuhi syarat administratif untuk memilih, yaitu
yang ditandai dengan memiliki KTP dan/atau terdaftar
sebagai pemilih. Karena itu, kedewasaan dalam undang-
undang perkawinan tidak serta-merta dapat dijadikan
rujukan untuk hal yang berbeda tujuan dan
penggunaannya. Apalagi, UU Perkawinan masih
mempertahankan mekanisme dispensasi untuk dapat
memberikan “status dewasa“ bagi seseorang yang berusia
di bawah 19 (sembilan belas) tahun sesuai dengan batas
usia minimum perkawinan. Dengan dasar pertimbangan
tersebut, norma pasal yang dimohonkan pengujiannya
tidak berkorelasi dengan ketidakadilan sebagaimana
didalilkan Pemohon. Keadilan bukan berarti harus sama
secara keseluruhan karena keadilan dalam konteks
pemilihan bergantung pada subjeknya yang menurut
pembentuk undang-undang seseorang warga negara
dapat menggunakan hak untuk memilih ketika telah
berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin.
[3.11.2]Bahwa Pemohon mendalilkan dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang
ditindaklanjuti dengan perubahan UU Perkawinan yaitu
UU 16/2019 telah menimbulkan ketidakpastian hukum
terkait dengan batas usia kedewasaan seorang warga
negara yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai
pemilih, dengan tetap diberlakukannya Pasal 1 angka 6
UU 8/2015.
Terkait dengan dalil Pemohon tersebut, sebagai tindak
lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-
XV/2017, bertanggal 13 Desember 2018, pembentuk
undang-undang telah mengubah Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan menjadi “Perkawinan hanya diizinkan apabila
pria dan wanita sudah mencapai usia 19 (sembilan belas)
tahun”. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan batas
usia minimal kawin antara pria dan wanita, khususnya
bagi wanita karena batas minimal usia kawin adalah 19
43
(sembilan belas) tahun. Namun demikian, sebagaimana
telah disinggung pula pada pertimbangan hukum di atas,
UU Perkawinan masih mengatur atau menyediakan
dispensasi perkawinan bagi pria dan wanita yang belum
mencapai batas minimal berusia 19 (sembilan belas)
tahun. Dispensasi tersebut dapat dikatakan sebagai
bentuk “pengecualian” terhadap batas usia minimal
perkawinan karena adanya alasan-alasan yang mendesak.
Oleh karena itu, bagi mereka yang kawin atau menikah
sebelum berusia 19 (sembilan belas) tahun karena
mendapatkan dispensasi maka yang bersangkutan harus
dianggap sudah dewasa sehingga secara administratif
telah memenuhi syarat sebagai pemilih.
Berkenaan dengan dalil Pemohon selanjutnya, apakah
pengakuan administratif demikian bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan
Pemohon. Berkenaan dengan hak memilih, apabila
dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Dalam konteks pemilihan, baik
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan kepala
daerah, setiap orang memiliki hak untuk dipilih dan
memilih. Terkait dengan hal ini, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019 ditegaskan bahwa
segala bentuk pembatasan terhadap hak dipilih dan
memilih bukan berarti ditiadakan, pembatasan terhadap
hak dipilih dan hak memilih tersebut tetap dapat dilakukan
sepanjang ditetapkan secara proporsional dan tidak
berlebihan. Dalam hal ini, pembentuk UU 8/2015 memilih
memberikan batasan terhadap warga negara Indonesia
yang dapat melaksanakan hak untuk memilih, yaitu
berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015. Merujuk
pada Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human
Rights yang menyatakan “In the exercise of his rights and
freedoms, everyone shall be subject only to such
limitations as are determined by law solely for the purpose
of securing due recognition and respect for the rights and
freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order and the general welfare in a
democratic society”, pembatasan demikian bukanlah
44
sesuatu yang dilarang. Bahkan, ketentuan Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945 pun membenarkan dilakukan pembatasan
demikian.
Dengan demikian, pembatasan dalam Pasal 1 angka 6 UU
8/2015 merupakan pembatasan yang dapat dibenarkan
karena memberikan ukuran yang jelas mengenai syarat
seorang warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.
Selain itu pembatasan tersebut pun memberikan kejelasan
bagi penyelenggara pemilihan untuk melaksanakan
tugasnya dalam melakukan pendataan terhadap warga
negara Indonesia yang dapat melaksanakan hak pilihnya
baik karena telah berusia 17 tahun atau karena dianggap
sudah dewasa, sehingga tidak terdapat pertentangan
antara norma pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya
dengan UUD 1945.
[3.11.3]Bahwa lebih lanjut, Pemohon mendalilkan adanya
ketidakadilan terhadap frasa “atau sudah/pernah kawin”
karena bagi seorang warga negara yang berusia di bawah
17 (tujuh belas) tahun dan belum menikah tidak dapat
melaksanakan hak memilihnya. Menurut Mahkamah dalil
tersebut tidak tepat karena bagi warga negara yang
berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan belum
menikah secara administratif mereka belum memiliki
kartu identitas diri (vide Pasal 63 UU Adminduk) yang
merupakan syarat sah seseorang warga negara untuk
dapat menggunakan hak memilihnya sebagaimana
tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
102/PUU-VII/2009, bertanggal 6 Juli 2009. Usia minimum
17 (tujuh belas) tahun untuk menggunakan hak memilih
merupakan pilihan kebijakan sebab di usia 17 (tujuh
belas) tahun itulah seseorang warga negara memperoleh
identitas resmi yang diberikan oleh negara, kecuali jika
yang bersangkutan sudah menikah atau pernah menikah
sebelum berusia 17 (tujuh belas) tahun sebagaimana
telah dipertimbangkan di atas.
Bahwa di samping secara administratif seorang warga
negara yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun
yang belum pernah menikah dan belum bisa diberikan
kartu identitas diri, juga dari sisi kemampuan untuk
melakukan perbuatan dan bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukannya dipandang berbeda dengan
seorang warga negara yang berusia di bawah 17 (tujuh
belas) tahun dan sudah/telah kawin. Sebab, secara
yuridis seorang warga negara yang berusia di bawah 17
(tujuh belas) tahun dan sudah/telah kawin telah
45
mendapatkan predikat/hak pendewasaan (hanslichting)
yang melekat dan tidak dapat dihindari oleh subjek
hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai
konsekuensi yuridisnya kepada yang bersangkutan
dianggap sudah mampu untuk melakukan perbuatan
hukum dan bertanggungjawab atas perbuatan hukum
yang dilakukan. Sebab, secara doktriner hakikat
pendewasaan adalah suatu daya upaya hukum untuk
mencabut seseorang yang belum dewasa dari seluruh
atau sebagian ketidakdewasaan serta akibat hukumnya.
[3.11.4]Bahwa terhadap dalil diskriminasi atas frasa a quo yang
didalilkan oleh Pemohon, Mahkamah menilai perbedaan
antara seseorang yang berusia di bawah 17 (tujuh belas)
tahun dan belum kawin dengan seseorang yang berusia
di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan sudah/telah kawin
dalam kaitannya dengan hak untuk memilih, menurut
Mahkamah, bukan merupakan kebijakan yang bersifat
diskriminatif karena hal tersebut tidak termasuk kategori
diskriminasi karena keduanya tidak bisa dipersamakan
terlebih diperlakukan sama.
Bahwa terkait dengan hal di atas, Pasal 1 angka 3 UU
39/1999 telah memberi batasan diskriminasi yaitu setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya dan aspek kehidupan lainnya. Lebih lanjut, dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU-
IV/2006, bertanggal 12 April 2007 juga sudah diberikan
batasan diskriminasi yaitu “…diskriminasi harus diartikan
sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama (religion), ras (race), warna (color), jenis kelamin
(sex), bahasa (language), kesatuan politik (politcal
opinion) ...”. Sehingga, dengan demikian telah jelas
bahwa pembatasan dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015
tidak dapat dikatakan sebagai diskriminasi terhadap hak-
hak konstitusional warga negara.
Dengan demikian, frasa yang menyatakan “atau
sudah/pernah kawin” telah menimbulkan diskriminasi
46
sebagaimana didalilkan oleh Pemohon adalah tidak
beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan
menurut hukum untuk seluruhnya.

36. KETUA: ANWAR USMAN

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana


diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon I memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.4] Permohonan provisi Pemohon beralasan menurut hukum;
[4.5] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk
seluruhnya.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan seterusnya,

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:

1. Menyatakan permohonan Pemohon II tidak dapat diterima.


2. Dalam Provisi: Mengabulkan permohonan provisi Pemohon untuk
seluruhnya.
3. Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan Pemohon untuk
seluruhnya.

KETUK PALU 1X

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu yaitu Anwar Usman selaku Ketua
merangkap Anggota, Aswanto, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Saldi Isra,
Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede
Palguna masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal
tujuh belas, bulan Desember, tahun dua ribu sembilan belas yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari,
tahun dua ribu dua puluh, selesai diucapkan pukul 12.11 WIB, oleh
sembilan Hakim Konstitusi tersebut di atas kecuali I Dewa Gede Palguna
diganti oleh Daniel Yusmic P. Foekh, dengan dibantu oleh Dian Chusnul
47
Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para
Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili.
Berikutnya.
PUTUSAN
NOMOR 76/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Forkorus Yaboisembut, S.Pd.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 9 November 2019
memberi kuasa kepada Jimmy Monim, S.H., dan kawan bertindak
untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------ Pemohon;
[1.2] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon.

2. DUDUK PERKARA
Dan seterusnya dianggap dibacakan.

37. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut


mengenai Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon,
dan Pokok Permohonan, Mahkamah terlebih dulu akan
mempertimbangkan berkenaan dengan kejelasan permohonan
Pemohon sebagai berikut:
[3.1.1] Bahwa Pemohon mengajukan permohonan
bertanggal 8 November 2019 yang diterima
Mahkamah pada tanggal 14 November 2019 dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 76/PUU-XVII/2019 pada
tanggal 25 November 2019. Terhadap permohonan
tersebut, Mahkamah telah melaksanakan sidang
Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 2 Desember
2019 dengan agenda mendengarkan permohonan
Pemohon yang dihadiri oleh Kuasa Pemohon. Dalam
persidangan a quo, Panel Hakim, sesuai dengan
48
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 dan seterusnya dianggap dibacakan
selanjutnya disebut UU MK, telah memberikan
nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonannya. Secara khusus,
Mahkamah menasihatkan agar Pemohon
memperjelas permohonannya dan memberikan
uraian yang jelas dan tegas mengenai apa yang
menjadi objek permohonan sebenarnya, karena
dalam uraian permohonan, alasan permohonan tidak
menguraikan mengenai inkonstitusionalitas Pasal
yang diajukan namun keberatan terhadap Surat
Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Daerah Papua Nomor: Mak/1/IX/2019, 1 September
2019. Pemohon berusaha mengaitkan surat tersebut
dengan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108,
Pasal 87 dan Pasal 88 KUHP yang dijadikan objek
dalam permohonan a quo. Namun, tidak ada uraian
dalam alasan permohonan mengenai argumentasi
inkonstitusionalitas masing-masing pasal yang
dimohonkan pengujiannya. Terhadap hal tersebut,
Mahkamah pun telah menyarankan agar Pemohon
berkonsultasi dengan pihak yang memahami tata
cara membuat dan mengajukan permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (vide
Risalah Sidang Perkara 76/PUU-XVII/2019, tanggal 2
Desember 2019);
[3.1.2] Bahwa berkenaan dengan syarat permohonan, Pasal
31 ayat (1) UU MK menyatakan, “Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan
alamat Pemohon; b. uraian mengenai perihal yang
menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30; dan c. hal-hal yang diminta untuk
diputus.” Mekanisme tersebut kemudian diuraikan
kembali dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5
ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005),
yang pada pokoknya menyatakan permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus
dengan sistematika sebagai berikut: a sampai e
dianggap dibacakan.

49
Setelah mencermati permohonan Pemohon dengan
saksama, walaupun Pemohon telah menyampaikan
surat yang oleh Pemohon disebut “Perbaikan
Permohonan” bertanggal 10 Desember 2019 yang
diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13
Desember 2019, telah ternyata dalam “Perbaikan
Permohonan” tersebut tidak terdapat perbaikan
terhadap sistematika permohonan maupun kejelasan
uraian terhadap objek permohonan. Bahkan dalam
“perbaikan permohonan” sebagaimana dimaksud
Pemohon, permohonan tetap tidak menguraikan
struktur permohonan sebagaimana yang telah
ditentukan, yaitu kewenangan Mahkamah,
kedudukan hukum Pemohon, alasan-alasan
mengajukan permohonan, dan petitum atau hal-hal
yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah.
Kalaupun dalam “perbaikan permohonan” (halaman
3 sampai dengan 15) terdapat “Alasan-Alasan”
namun tidak menggambarkan alasan atau posita
sebagaimana layaknya permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Demikian juga
dengan petitum Pemohon juga tidak menguraikan
dengan jelas apa sesungguhnya yang diminta oleh
Pemohon yang relevan dengan kewenangan
Mahkamah. Sehingga, permohonan tersebut tidak
memenuhi unsur atau syarat yang seharusnya
terdapat pada permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945.
[3.2] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di
atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas atau
kabur.
[3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas
atau kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan mengenai
Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, dan Pokok
Permohonan lebih lanjut.

38. KETUA: ANWAR USMAN

4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Permohonan Pemohon kabur;
[4.2] Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, dan Pokok
Permohonan tidak dipertimbangkan;

50
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan seterusnya, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara dan seterusnya.

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:

Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

KETUK PALU 1X

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap
Anggota, Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Arief Hidayat,
Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P.
Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga
belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari, tahun dua ribu
dua puluh, selesai diucapkan pukul 12.18 WIB, oleh sembilan Hakim
Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota,
Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Arief Hidayat, Saldi Isra, Enny
Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P.
Foekh masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Ery Satria
Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon,
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang
mewakili.
Terakhir.
PUTUSAN
NOMOR 84/PUU-XVII/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh:
1. Martinus Butarbutar, SH
Selanjutnya disebut sebagai----------------------------Pemohon I;
2. Risof Mario, SH.
Selanjutnya disebut sebagai--------------------------Pemohon II;
51
Selanjutnya semua disebut sebagai------------Para Pemohon;
[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Duduk Perkara dan seterusnya dianggap dibacakan.

39. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum Pemohon


[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-
undang, yaitu a, b, c, d dianggap dibacakan.
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan seterusnya dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007
tanggal dan seterusnya serta putusan-putusan selanjutnya, telah
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, sebagai berikut a, b, c, d, e
dianggap dibacakan.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas,
Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan kedudukan hukum
para Pemohon sebagai berikut: 1, 2 dianggap dibacakan.
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian para Pemohon
dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana termuat
dalam paragraf [3.5] tersebut di atas, Mahkamah tidak dapat
memahami kerugian konstitusional apa yang sebenarnya diderita
oleh para Pemohon dengan keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU
KPK. Padahal norma yang dimohonkan pengujiannya oleh para
52
Pemohon adalah Pasal 37C ayat (2) UU KPK, namun para
Pemohon dalam menguraikan kerugian konstitusionalnya hanya
mengedepankan mengenai UU KPK yang menurut para Pemohon
pada pokoknya UU KPK adalah praktik penyelenggaraan negara
kekuasaan yang mengancam setiap pribadi rakyat Indonesia.
Menurut Mahkamah uraian kerugian konstitusional para Pemohon
tersebut tidak secara spesifik dan aktual terhadap berlakunya
Pasal 37C ayat (2) UU KPK. Para Pemohon hanya menguraikan
kerugian secara umum atas keberlakuan UU KPK namun tidak
secara jelas dan detail kerugian sesungguhnya yang diderita oleh
para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berprofesi
sebagai advokat dengan berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK
sehingga tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari
keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang
diderita oleh para Pemohon berkaitan dengan hak konstitusional
sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam menerangkan
kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon hanya
menyandarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang
menurut Mahkamah ketentuan dimaksud bukanlah merupakan
alas untuk menyatakan kerugian hak konstitusional karena Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 adalah berkaitan dengan konsep negara
hukum yang sama sekali tidak menerangkan hak-hak
konstitusional warga negara. Dengan demikian menurut
Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian
konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh
para Pemohon dengan berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK.
Oleh karenanya, para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan
hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka
Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para
Pemohon.

40. KETUA: ANWAR USMAN

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana


diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok Permohonan tidak dipertimbangkan;
53
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan seterusnya, serta Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara dan
seterusnya).

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:

Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

KETUK PALU 1X

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap
Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo,
Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Daniel Yusmic P.
Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal lima
belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Januari, tahun dua ribu
dua puluh, selesai diucapkan pukul 12.26 WIB, oleh sembilan Hakim
Konstitusi tersebut di atas, dengan dibantu oleh Saiful Anwar sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Para Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.
Ya, dengan demikian pengucapan Putusan selesai dan salinan
Putusan bisa diambil di lantai 4 setelah sidang ini ditutup. Dengan
demikian, sidang selesai dan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 12.26 WIB

Jakarta, 29 Januari 2019


Panitera,

t.t.d

Muhidin
NIP. 19610818 198302 1 001

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 54

Anda mungkin juga menyukai