Manusia Dan Pendidikan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAHLUK PENDIDIKAN


DAN IMPLIKASINYA

Dosen Pengampu : Dr. Abdul Saman, S.Pd., M.Si.Kons

Oleh :
MUH. IRFAN HATTABE
NIM. 181051401016

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAHLUK PENDIDIKAN DAN


IMPLIKASINYA

Disusun dan diajukan oleh :


MUH. IRFAN HATTABE
NIM. 181051401016

Telah disahkan oleh dosen pengampu


Pada tanggal 17 Desember 2018

Dosen Pengampu,

Dr. Abdul Saman, S.Pd., M.Si.Kons


DAFTAR ISI

Halaman Sampul ………………………………………………………….. i


Halaman Pengesahan ……………………………………………………… ii
Daftar Isi ………………………………………………………………….... iii
Prakata ……………………………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………….. 2
C. Tujuan yang akan dicapai ……………………………………….. 2
D. Manfaat yang akan dicapai ………………………………………. 3
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………. 4
A. Filsafat Manusia Dalam Pendidikan ……………………………… 4
B. Implikasi Pandangan filSafat Tentang Hakikat Manusia Dalam
Ilmu Pendidikan ………………………………………………..…
6
C. Implikasi Pandangan Filsafat Tentang Perilaku Manusia Dalam
Pendidikan…………………………………………………………
16
BAB III PENUTUP ………………………………………………………. 18
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 18
B. Saran …………………………………………………………….. 18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 19
PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah swt, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
makalah dengan judul “Hakikat Manusia Sebagai Mahluk Pendidikan dan
Implikasinya” pada mata kuliah Filsafat Pendidikan dapat diselesaikan dengan baik
oleh penulis.
Proses penyelesaian makalah ini, merupakan suatu perjuangan cukup panjang
bagi penulis. Selama proses penyusunan makalah ini, tidak sedikit mengalami
kendala yang dihadapi. Namun demikian, berkat keseriusan penulis sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis tidak lupa menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Dr. Abdul
Saman, S.Pd., M.Si.Kons selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan
atas arahan, nasihat, bimbingan dan usahanya dalam memotivasi seluruh mahasiswa
dalam mengikuti mata kuliah beliau. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
teman-teman mahasiswa Program Studi Administrasi Pendidikan Kelas A yang
banyak memberikan masukan yang sangat berarti dalam penyusunan makalah ini.
Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang diberikan mendapat pahala dari Allah
swt.
Terwujudnya makalah ini juga atas doa, dorongan, dan restu keluarga. Oleh
karena itu, penulis menghaturkan terima kasih kepada seluruh keluarga tercinta, yang
memberikan motivasi dan dukungan sampai selesainya makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh
berbagai pihak dapat bernilai ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah swt.

Makassar, 15 Desember 2018


Penulis,

Muh. Irfan Hattabe


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sadar atau tidak sadar, manusia
cenderung melihat dan bahkan tertarik untuk menikmati, memiliki dan berambisi
untuk menguasai segala hal yang dianggap penting di luar dirinya. Terobsesinya
manusia sebagai kepada dunia luar sering menggiringnya men-ciptakan
ketergantungan kuat pada se-suatu yang ada di luar dirinya. Karenanya tidak heran
bila manusia dihadapkan dengan persoalan hidup yang justru berkecenderungan kuat
mencari solusi dari segala sesuatu yang relavan dan ada di luar dirinya, termasuk
dalam menghadapi manusia itu sendiri dalam ber-bagai konteks dan aspek
kehidupan. Padahal sesungguhnya, jika manusia sadar dan menghayatinya, justru
apapun ragam persoalan yang muncul dan terjadi dalam kehidupan manusia, pada
hakikatnya berpangkal dan berujung pada diri manusia itu sendiri.
Atas dasar itu, persoalan mendasar yang harus terjawab adalah bahwa manusia
tidak saja perlu, tetapi mutlak, mengenal dirinya dengan upaya memahami apa
sesungguhnya manusia itu? Untuk menjawab persoalan itu, tidak ada instrumen lain
bagi manusia kecuali melalui ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Melalui filsafat
akan dicoba dipahami hakikat manusia, terutama ha-kikat manusia sebagai makhluk
pen-didikan. Persoalannya, apakah filsafat itu? Webter (dalam Adisasmita, 1988:34)
mendefinisikan filsafat itu sebagai “love is wisdom” dan sebagai ilmu pengetahuan
yang menyelidiki fakta dan prinsip-prinsip kenyataan hakikat dan kelakuan manusia.
Mudyaharjo (2006:3) menyebutkan filsafat khusus mempunyai objek kenyataan
salah satu aspek kehidupan manusia yang penting (misalnya: hukum sejarah, seni,
moral, sosial, olahraga, religi, ilmu, dan pendidikan). Sementara filsafat sebagai
kebijakan memandang lebih menyeluruh terhadap nilai-nilai dalam berbagai aliran-
aliran filsafat secara umum.
Filsafat sebagai penambah ilmu pengetahuan manusia dapat dibagi dalam
beberapa pokok bidang studi. Etika adalah pelajaran moralitas atau salah dan benar.
Metafisika adalah pelajaran hakikat pokok manusia dan alam dunia. Ilmu itu
mencoba menjelaskan hakikat kenyataan yang pasti. Politik adalah pelajaran tentang
pemerintahan. Estetika adalah pelajaran tentang hakikat keinda-han. Logika adalah
pelajaran metode untuk memeriksa kebenaran melalui metode alasan seperti induktif
dan deduktif. Epistimologi adalah pelajaran asal mula, batas, dan hakikat
pengetahuan (Adisasmita, 1988:36).
Di satu sisi, ilmu pengetahuan berusaha melukiskan, menemukan, dan
menganalisis fakta, maka di sisi lain, filsafat berfungsi mengkritik, menilai, dan
mengsintesis tentang fakta. Ilmu pengetahuan menentukan bagaimana cara
meninggikan kekuatan dan tenaga manusia lebih efektif, tetapi filsafat menilai
kegunaan relatif dari usaha ini. Keduanya, baik ilmu pengetahuan maupun filsafat,
melibatkan pantulan dan berpikir kritis, teori prinsip dan membangun, teori
menunjukkan dan mem-buktikan untuk membentuk hipotesis baru; akan tetapi dalam
filsafat ada tambahannya, yaitu berkenaan dengan nilai-nilai.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah
1. Bagaimanakah pandangan filsafat ten-tang hakikat manusia dalam pendidikan?
2. Bagaimanakah implikasi pandangan filsafat tentang hakikat manusia dalam ilmu
pendidikan?
3. Bagaimanakah implikasi pandangan filsafat tentang perilaku manusia dalam
pendidikan, khususnya membentuk kepribadian manusia?

C. Tujuan yang akan dicapai


Adapun tujuan yang akan dicapai pada penyusunan makalah ini berdasarkan
rumusan masalah di atas adalah memahami hal sebagai berikut :
1. Pandangan filsafat tentang hakikat manusia dalam pendidikan;
2. Implikasi pandangan filsafat tentang hakikat manusia dalam ilmu pendidikan;
3. Implikasi pandangan filsafat ten-tang perilaku manusia dalam pendidikan,
khususnya membentuk kepribadian manusia.
4. Pada tataran praksisnya, se-lanjutnya, diharapkan agar para insan pendidikan
dapat menerapkan panda-ngan filsafat itu dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan dan pembelajaran.

D. Manfaat yang akan dicapai


Manfaat kehadiran makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam
pembelajaran Filsafat Pendidikan khususnya hakikat manusia sebagai mahluk
pendidikan dan implikasinya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Filsafat Manusia Dalam Pendidikan


Sehubungan dengan pandangan filsafat tentang hakikat manusia dalam
pendidikan, Syam (1988:153) menulis bahwa hakikat “manusia adalah subjek
pendidikan, sekaligus juga sebagai objek pendidikan”. Manusia dewasa yang
berkebudayaan adalah subjek pendidikan dalam arti yang bertanggung jawab secara
moral atas perkembangan pribadi anak-anak mereka, generasi penerus mereka.
Manusia dewasa, apalagi ber-profesi keguruan (pendidikan), memiliki tanggung
jawab formal untuk melak-sanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-
nilai yang dikehendaki masyarakat dan bangsa.
Dalam proses perkembangan kepribadiannya, manusia yang belum dewasa, baik
menuju pembudayaan mau-pun proses kematangan dan integritas, adalah “objek”
pendidikan. Artinya, mereka adalah sasaran atau “bahan” yang dibina, meskipun
sering juga di-sadari bahwa perkembangan kepribadi-an adalah self-development
melalui self-activities; jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.
Proses pendidikan yang berlang-sung di dalam kondisi antaraksi yang pluralistis
(antara subjek dengan ling-kungan alamiah, sosial dan kultural) amat ditentukan oleh
aspek manusianya. Sebab, kedudukan manusia sebagai subjek di dalam masyarakat,
bahkan dalam alam semesta, memberikan konsekuensi tanggung jawab yang besar
bagi manusia. Manusia mengemban amanat untuk membina masyarakat, memelihara
alam lingkungan hidup bersama. Bahkan manusia terutama bertanggung jawab atas
martabat kemanusiaannya (human dignity).
Sejarah usaha manusia untuk mengerti dirinya sendiri, kepribadiannya, sudah
ada sejak ada ilmu pengetahuan. Ilmu jiwa (psikologi) yang mula-mula berupa ilmu
jiwa metafisika adalah salah satu usaha tersebut. Makin mendalam manusia
menyelidiki kepribadiannya, makin banyak problema yang timbul, makin banyak
pula rahasia yang meminta jawaban. Manusia adalah makhluk misterius yang unik
dan penuh rahasia.
Pencapaian beberapa manusia genial memberi bukti pula betapa potensi manusia
sebagai subjek yang mengagumkan sesamanya. Pencapaian ini pula yang memberi
keyakinan bagi manusia untuk mengembangkan kepribadian semaksimal mungkin.
Manusia sebagai subjek dihadapkan kepada fenomena baru dalam kesadarannya,
yakni menghadapi problem yang jauh lebih sulit daripada problema-problema
sebelumnya. Manusia sebagai makhluk berpikir bertanya, siapakah atau apakah aku
ini sesungguhnya? Manusia sebagai subjek menjadikan dirinya sendiri (sebagai
pribadi dan sebagai keutuhan) dan kalau sebagai objek yang menuntut pengertian,
pengetahuan atau pemahamannya. “Kenalilah dirimu!” adalah kata-kata klasik yang
tetap mengandung makna yang ideal, khususnya amat bersifat pedagogis, di samping
bernilai filosofis. Sedemikian jauh, ma-nusia masih belum yakin bahwa ia telah
mengenali dirinya sendiri. Bahkan ma-kin dalam ia menyelami dan memahami
kepribadiannya, makin sukar ia menger-ti identitasnya. Apa yang ia mengerti tentang
kepribadiannya makin ia sadari sebagai suatu asumsi yang amat “dangkal” dan
relatif, bahkan juga amat subjektif.
Perwujudan kepribadian seseorang akan tampak dalam keseluruhan pribadi
manusia dalam hubungan antar aksinya dengan lingkungan hidupnya. Penafsiran
manusia tentang tingkah lakunya belum menjamin pengertiannya tentang kepribadian
manusia sebagai makhluk berpikir. Apa yang disimpulkan sebagai pengertian itu
lebih bersifat statis, sedangkan usaha untuk mengerti manusia secara aktif dan terus
menerus di dalam kondisi antar hubungan dan antaraksi sesama itu bersifat dinamis.
Asas dinamis ini merupakan esensi watak manusia, yang terus berkembang,
bertumbuh dan menuju integritas kepribadiannya. Demikian pula pengertian manusia
tentang seseorang, tentang kepribadiannya, selalu berkembang. Itulah sebabnya
dikatakan: “tak kenal maka tak cinta”. Bahkan “cinta itu tumbuh dari pengenalan”.
Artinya, makin kita kenal, makin kita memahami kepribadiannya. Implikasi
pandangan ini ialah jangan tergesa-gesa menjauhi atau membenci seseorang, karena
kita belum mengenal seseorang itu. Bahkan sesungguhnya, adalah kewajiban
seseorang untuk mengerti tingkah laku, kepribadian orang lain di dalam
antarhubungan dan antaraksi sosial. Dan sesuai dengan asas-asas nilai demokrasi,
seseorang wajib menghormati martabat pribadi orang lain. Prinsip self-respect,
menghormati pribadi orang lain, me-rupakan pangkal untuk kehormatan diri sendiri.
Artinya, untuk dihormati, hormatilah lebih dahulu orang lain.

B. Implikasi Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia Dalam Ilmu


Pendidikan
Pandangan filsafat tentang manusia dalam pendidikan seperti diuraikan di atas,
berimplikasi serius jika diterapkan dalam ilmu pendidikan. Idealnya, pandangan ilmu
pendidikan terhadap manusia, khususnya terhadap para murid, harus bertolak sebagai
sosok manusia yang utuh dan sempurna. Seperti dikemukakan Syam (1988:153),
bahwa hakikat “manusia adalah subjek pendidikan, sekaligus juga sebagai objek
pendidikan”. Proses pendidikan yang berlangsung di dalam antaraksi yang pluralistis
(antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan kultural) amat ditentukan oleh
aspek manusianya. Sebab, kedudukan murid sebagai manusia dengan fitrah
kemanusiaannya yang luar biasa dari Tuhan merupakan objek pembelajaran yang
membawa konsekuensi tanggung jawab yang besar bagi diri murid maupun guru bagi
terwujudnya martabat kemanusiaannya (human dignity), yang menyejahterakan dan
membahagiakan (Prayitno, 2010:19).
Sejarah usaha manusia untuk mengerti, mengaktivasi dan mengembangkan
potensi individu yaitu berupa pancadayanya (daya takwa, daya cipta, daya rasa, daya
karsa, dan daya karya) pada setiap diri individu sudah ada sejak adanya ilmu
pengetahuan. Ilmu jiwa (psikologi) yang mula-mula berupa ilmu jiwa metafisika
adalah salah satu usaha tersebut. Makin mendalam manusia menyelidiki
kepribadiannya, ma-kin banyak problemanya timbul; makin banyak rahasia yang
meminta jawaban. Manusia adalah makhluk misterius yang unik dan penuh rahasia.
Pencapaian beberapa manusia ge-nial memberi bukti pula betapa potensi
manusia sebagai subjek yang mengagumkan sesamanya. Pencapaian ini pula yang
memberi keyakinan bagi manusia untuk mengembangkan kepribadian semaksimal
mungkin. Perwujudan kepribadian seseorang (peserta didik) secara optimal akan
tampak dan dapat dikembangkan secara optimal dengan optimalisasi sinergis dari
aktivasi keseluruhan sumber energi baik yang ada pada diri peserta didik, pendidik,
energi lingkungan, dan energi pembelajaran itu sendiri (Prayitno, 2010:8-38).
Menurut Prayitno (2009), harkat martabat manusia (HMM) terdiri dari hakikat
manusia, dimensi kemanusiaan dan pancadaya (15 butir HMM). Kemudian muncul
pertanyaan, apakah kelima belas HMM ini sudah universal ? Menurut penulis, kelima
belas butir HMM ini memiliki nilai universal, karena setiap individu di dunia diakui
mem-punyai kelima belas butir HMM ini. Hakikat manusia tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Hakikat Manusia
Ada lima hakikat manusia jika ditinjau dari pandangan filsafat, yaitu :
a. Manusia sebagai makhluk yang paling indah dan sempurna dalam
pencitraannya
Manusia merupakan makhluk yang paling indah dibandingkan dengan
semua makhluk ciptaan Tuhan. Indah di sini berarti manusia itu indah
dipandang yang membuatnya mempunyai keuni-kan dibandingkan dengan
makhluk lain ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, ma-nusia mempunyai budaya
dan peradaban. Implikasinya dalam pendidikan adalah pendidikan seharusnya
mampu menyadarkan manusia/peserta didik bahwa mereka makhluk yang
indah yang mempuyai budaya dan peradaban. Dengan demikian mereka harus
mampu memperlakukan dirinya dan bersikap sesuai dengan budaya dan
adabnya. Selain itu pendidikan juga harus mampu mengembangkan
keindahan yang ada pada peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan harus
mampu mengembangkan budaya dan peradaban manusia ke arah yang lebih
baik, karena tidak bisa dipungkiri bahwa budaya dan peradaban manusia itu
selalu berkembang.
Kemudian seperti disebutkan di atas, manusia adalah makhluk yang
paling sempurna pencitraannya yang berarti manusia mempunyai akal
pikiran, perasaan dan emosi dan dapat mengaktualisasikan dirinya karena apa
yang ia punyai merupakan bekal dapat hidup di dunia dan akhirat dengan
baik. Implikasinya dalam pendidikan adalah pendidikan seharusnya didasari
pada hakikat manusia ini yaitu manusia adalah makhluk yang sempurna
pencitraannya. Oleh karena itu, janganlah dunia pendidikan dalam hal ini
guru, memandang rendah peserta didik. Misalnya, memperlakukan anak
pintar berbeda dengan anak lainnya sehingga munculnya kelas unggul untuk
anak-anak pintar. Padahal semua peserta didik itu adalah anak-anak yang
sempurna dalam pencitraannya yang mempunyai akal pikiran, perasaan dan
emosi.
b. Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya
Manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan
makhluk lainnya ciptaan Tuhan. Hal ini berarti bahwa manusia seharusnyalah
mampu menjaga kehormatannya dan menolak hal-hal yang merendahkan
nilai-nilai kemanusiaannya. Implementasinya dalam pendidikan adalah
pendidikan seharusnya didasari atas hakikat manusia sebagai makhluk yang
paling tinggi derajatnya. Pendidikan dalam prakteknya misalnya guru tidak
boleh melecehkan atau merendahkan derajat peserta didiknya bahkan tidak
boleh memperlakukan peserta didik seperti binatang. Misalnya, guru tidak
boleh menghukum peserta didik dengan menyuruhnya melakukan sesuatu
yang membuatnya berlaku seperti binatang dengan kawan-kawan lainnya dan
menjatuhkan harga dirinya. Bahkan seharusnya pendidikan seharusnya
didasari atas menjaga atau mempertahankan dan mengembangkan
kehormatan dan nilai-nilai kemanusiaan yang dipunyai oleh peserta didik agar
mereka mampu bersikap sesuai dengan derajatnya atau kehormatannya dan
tidak bertingkah laku yang dapat merendahkan nilai-nilai kemanusiaannya.
c. Manusia sebagai khalifah di muka bumi
Manusia karena ia makhluk yang paling sempurna pencitraannya
dibandingkan makhluk lainnya membuat ia menjadi khalifah di muka bumi
ini. Oleh karena itu seharusnyalah pendidikan didasari atas kekhalifahan
manusia tersebut. Hal ini berarti bahwa pendidikan didasari atas
pengembangan kemampuan peserta didik untuk menguasai dan mengelola
sumber daya alam dan sumber daya manusia, dalam hal ini peserta didik
untuk kehidupan yang damai dan sejahtera dalam alam yang nyaman dan
tentram. Pendidikanlah yang mampu mengoptimalkan kekhalifahan manusia
tersebut agar dia tidak dikalahkan oleh makhluk lainnya di muka bumi ini
untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Di sisi lain, pendidikan
juga harus mampu membuat manusia menyadari bahwa dia tidak boleh
menjadi predator bagi makhluk lainnya di muka bumi ini yang berarti dia
tidak boleh merusak kehidupan makhluk lainnya.
d. Manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Karena manusia adalah makhluk yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan, selayaknyalah pendidikan didasari atas hakikat yang melekat pada
dirinya ini. Hal ini berarti bahwa pendidikan harus didasari atas kaidah-
kaidah dan keimanan kepada Tuhan agar pendidikan mampu membuat
manusia hidup bahagia, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Lebih
lanjut, praktek pendidikan selayaknyalah memperhatikan atau
memperlakukan peserta didik sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan.
e. Manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Karena manusia mempunyai hak-hak asasi, pendidikan didasari atas
hakikat yang melekat pada dirinya. Hal ini berarti bahwa praktek pendidikan
tidak boleh merendahkan atau tidak menghiraukan hak-hak asasi manusia.
Pendidikan harus mampu memenuhi hak-hak asasi peserta didik sebagai
manusia dengan saling pengertian, saling memberi, saling menerima, serta
saling melindungi, mensejahterakan dan membahagiakan. Dalam hal ini guru
yang berhubungan langsung dengan peserta didik harus mampu
memperlakukan peserta didik sebagai makhluk yang punya hak asasi.
2. Dimensi Kemanusiaan
Dari hakikat manusia tersebut, ada beberapa dimensi substansial yang melekat
pada setiap diri manusia, yaitu :
a. Dimensi kefitrahan
Individu manusia pada dasarnya bersih dan mengarahkan diri kepada hal-
hal yang benar dan luhur, serta menolak hal-hal yang salah, tidak berguna dan
remeh serta tidak terpuji. Implementasinya dalam pendidikan adalah
pendidikan harus berorientasi pada dimensi kemanusiaan ini yaitu dimensi
kefitrahan. Yang berarti pendidikan mampu mempertahankan dan
mengembangkan kefitrahan manusia yaitu kebenaran dan keluhuran. Dengan
pendidikan, manusia mampu berbuat sesuai dengan fitrahnya, yaitu mampu
berbuat baik atau benar dan luhur serta meghindarkan diri hal-hal yang
dilarang atau salah.
b. Dimensi keindividualan
Pada dasarnya manusia mempu-nyai potensi, baik potensi fisik maupun
mental psikologis, serta kemampuan intelegensi, bakat dan kemampuan
pribadi lainnya. Tetapi potensi yang dimiliki oleh setiap individu berbeda-
beda : sangat tinggi, tinggi, sedang, kurang dan kurang sekali. Oleh karena
itu, pendidkan harus berorientasi kepada dimensi keindividualan, berarti
bahwa pendidikan dapat mengembangkan potensi setiap individu yang
berbeda dengan optimal.
c. Dimensi kesosialan
Tidak bisa dipungkiri, manusia selain sebagai makhluk individu juga
sebagai makhluk sosial, yang berarti bahwa individu membutuhkan untuk
berkomunikasi dengan individu lain dan sekaligus menggalang kerjasama
dengan individu lainnya. Implementasinya dalam pendidikan adalah
pendidikan didasari oleh pengembangan atau pe-ningkatan kemampuan
manusia untuk dapat berkomunikasi dan berkerja sama dengan individu
lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai makhluk sosial. Oleh
karena itu, ada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mulai dari sekolah
dasar sampai tingkat sekolah menengah atas.
d. Dimensi kesusilaan
Seperti sudah dijelaskan di atas, manusia selain mempunyai dimensi
kefitrahan, individualitas, kesosialan, juga ada dimensi kesusilaan, karena
sebagai makhluk sosial individu butuh untuk berkomunikasi dan berkerja
sama dengan orang lain. Oleh karena itu, manusia membutuhkan kesusilaan
yang mengandung nilai dan moral yang mengatur hubungan individu satu
dengan individu lainnya. Dimensi kesusilaan menekankan pada kemampuan
memberikan penghargaan terhadap se-suatu, dalam rentang penilaian tertentu.
Implementasinya dalam pendidikan adalah pendidikan harus didasari atas
pembentukan individu yang mempunyai kesusilaan, yaitu individu yang me-
mahami nilai dan moral serta mampu mematuhinya sebagai pedoman dalam
berhubungan dengan sesama manusia di dunia. Oleh sebab itu, harus ada
mata pelajaran yang berhubungan dengan pengajaran dan pembentukan moral
dan nilai di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
e. Dimensi keberagamaan
Lengkaplah dimensi kemanusiaan manusia itu dengan adanya dimensi
keberagamaan, yang berarti bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki
ke-cenderungan dan kemampuan untuk mempercayai adanya Sang Maha
Pencipta dan Maha Kuasa serta mematuhi segenap aturan dan perintah-Nya.
Setiap manusia di manapun tinggal di dunia ini menyadari bahwa ada yang
lebih berkuasa di dunia ini. Implementasinya dalam pendidikan adalah
praktek pen-didikan harus memperhatikan kaidah-kaidah keimanan dan
ketakwaan. Oleh karena itu, ada mata pelajaran agama mulai dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi. Kelima dimensi di atas merupakan suatu
kesatuan sehingga pengembangannya dalam pendidikan harus secara
menyeluruh. Kalau tidak, bisa saja satu atau hanya beberapa dimensi
kemanusiaan yang dikembangkan. Misalnya, hanya mengembangkan dimensi
ke-individualan dan kesosialan, tanpa menghiraukan dimensi lain misalnya
kesusilaan. Maka apa yang akan terjadi ? Terjadilah manusia yang apabila
berhubungan dengan orang lain dalam rangka berkomunikasi atau berkerja
sama dalam rangka pemenuhan kebutuhannya tidak punya kesusilaan.
3. Manusia Memiliki Pancadaya
Untuk pengembangan dimensi-dimensi manusia tersebut diperlukan perangkat
instrumental dasar berupa pancadaya. Pancadaya tersebut adalah :
a. Daya takwa
Daya takwa merupakan basis dan kekuatan pengembangan yang secara
hakiki ada pada diri manusia (masing-masing individu) untuk mengimani dan
mengikuti perintah dan larangan dari Tuhan. Implementasinya dalam
pendidikan adalah pendidikan seharusnyalah dapat mengembangkan daya
takwa peserta didik seoptimal mungkin agar selain ia mendapatkan
kebahagiaan di dunia juga akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Dengan
kata lain, daya takwa manusia dapat dikembang-kan setinggi mungkin
melalui pendidikan untuk memberikan kekuatan keimanan dan ketakwaan
bagi dimensi-nya sebagai kefitrahan, kesosialan, keindividualan, kesusilaan,
dan keberagamaan.
b. Daya cipta
Daya cipta berkenaan dengan akal, pikiran, fungsi kecerdasan, dan fungsi
otak. Implementasinya dalam pendidikan adalah untuk mengembangkan dan
mengaktualisasikan daya cipta ini seoptimal mungkin dibutuhkan pendidikan.
Artinya, pendidikan harus mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan
daya yang sudah ada pada peserta didik dengan baik.
c. Daya karsa
Daya karsa merupakan kekuatan yang mendorong individu untuk
melakukan sesuatu secara dinamis bergerak dari satu posisi ke posisi lain,
baik dalam arti psikis maupun keseluruhan dirinya. Implementasinya dalam
pendidikan adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan dan
mengembangkan daya karsa peserta didik agar ia lebih terdorong atau
bermotivasi dan mengarahkan individu untuk mengaktifkan dirinya, untuk
berkembang, dan untuk berubah ke arah yang lebih baik di dalam hidupnya.
d. Daya rasa
Daya rasa mengacu kepada ke-kuatan perasaan atau emosi dan sering
disebut sebagai unsur afektif. Hal-hal yang terkait dengan suasana hati dan
penyikapan termasuk ke dalam daya rasa. Implementasinya dalam pendidikan
adalah pendidikan harus mampu mengembangkan potensi daya rasa manusia
dan memberikan sentuhan afektif dalam perilaku individu dengan dimensi
kemanusiaannya yang lain.
e. Daya karya
Daya karya mengarah kepada di-hasilkannya produk-produk nyata yang
secara langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan baik oleh diri sendiri,
orang lain dan/atau lingkungannya. Implementasinya dalam pendidikan
adalah pendidikan harus mampu mangembangkan/mengaktualisasikan
potensi yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, pendidikan mampu
mengembangkan individu untuk mewujudkan kelima dimensi
kemanusiaannya dengan isi produk-produk karya nyata yang dapat dihayati
dan dirasakan kemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pengembangan HMM
(harkat dan martabat manusia) dengan seoptimal mungkin melalui pendidikan
dapat memanusiawikan manusia secara utuh bagi kehidupan dunia dan
akhirat. Keharusan kita menghargai atau menghormati martabat pribadi
seseorang sesungguhnya aktualisasi dari prinsip self-respect. Menghormati
pribadi orang lain merupakan pangkal dan sesungguhnya merupakan
penghormatan terhadap diri sendiri. Artinya, untuk dihormati, hormatilah
lebih dahulu orang lain.
Ilmu pengetahuan yang khusus menyelidiki manusia sebenarnya cukup
banyak. Ada ilmu pendidikan, sosiologi, kesehatan, genetika, ilmu ekonomi,
politik, ilmu jiwa yang akhir-akhir ini makin berkembang. Bahkan umumnya
orang mengira bahwa ilmu yang menyelidiki manusia itu ialah psikologi atau
ilmu jiwa saja.
Perlu dimengerti bahwa ilmu-ilmu sosial dasar (basic social sciences)
dan humanities ialah ilmu yang mengarahkan pusat perhatian dan orientasi-
nya demi pengertian yang lebih baik tentang manusia dan “dunia”nya. Ilmu-
ilmu itu meliputi : sejarah, ilmu bumi, ekonomi, politik, kewarganegaraan,
sastra dan filsafat. Basic social sciences dan humanities selanjutnya
diterjemahkan menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan humanitas
merupakan bidang yang menyelidiki secara khusus dan mendalam tentang
kehidupan sosial-budaya manusia. Untuk ini berarti pula membina pengertian
yang lebih men-dalam tentang manusia dan “dunia” nya termasuk
antarhuhungan dan antaraksi manusia dengan sesamanya, alam sekitar, dan
nilai-nilai (Syam, 1988: 157).
Manusia tak terpisahkan dari lingkungan hidupnya, baik lingkungan
alamiah maupun lingkungan fisik/ma-teril, dan lebih-lebih lingkungan sosial
(manusia dan nilai-nilai yang ada). Tingkah laku manusia sebagai per-
wujudan atau representasi kepribadiannya ialah serentetan reaksi-reaksinya
atas semua antarhubungan dan antar-aksinya dengan lingkungan hidup itu.
Dan reaksi-reaksi itu dimaksudkan sebagai proses adaptasi dan readaptasi
yang bertujuan supaya manusia tetap survive, tetap hidup.
Beberapa ahli ilmu jiwa menganalisis tingkah laku itu untuk mengerti
kepribadian manusia. Masalah atau isu utama yang biasa diambil terkait
aspek manusia sekarang adalah apa hakikat manusia, atau apa sesungguhnya
manu-sia, dan bagaimana “bentuk” perbedaan manusia dengan makhluk
lainnya (tumbuhan, binatang, objek mati) dalam eksistensinya (Thiroux,
1985:67). Sedemikian luas analisis itu, sehingga melahirkan cabang ilmu jiwa
yang disebut ilmu tentang hakikat manusia, yang di sini diuraikan analisis
Sigmun Freud tentang kepribadian.
Pandangan Freud tentang struktur jiwa (kepribadian) merupakan
kesimpulan ilmu pengetahuan (dalam hal ini psikologi) yang ada
persamaannya dengan kesimpulan filsafat manusia (antropologia metafisika).
Pokok-pokok pandangan Freud itu ialah tiga bagian struktur jiwa, yang secara
teoritis analitis dapat dibedakan sebagai berikut :
Pertama, bagian yang disebut das Es atau bagian dasar (the Id). Bagian
sumber nafsu kehidupan, yakni hasrat-hasrat biologis (libido-sexualis). Das
Es ini terisolasi dari dunia luar, dalam arti ia mementingkan diri sendiri (ego-
centric) yang menuntut pemuasan tun-tutan-tuntutan nafsu biologis berupa
kesenangan, kepuasan (lust-principle). Semua tuntutan das Es semata-mata
demi kepuasan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang berlaku,
tanpa pertimbangan baik dan buruk. Dorongan-dorongan das Es ini
sedemikian kuat dan tak terkendalikan. Jika hasrat-hasrat itu tak terpenuhi,
pemuasan belum tercapai, maka akan terjadi ketegangan-ketegangan, konflik-
konflik di dalam pribadi seseorang. Akibat ini dapat berupa macam-macam
bentuk tingkah laku yang menyimpang, dan dapat pula berupa psychosomatic,
berbuat a-sosial dan amoral. Martabat manusia tiada berbeda dengan makhluk
alamiah yang lain. Bagian jiwa yang dinamakan das Es ini dapat dianggap
sebagai aspek individual manusia.
Kedua, bagian jiwa yang disebut das Ich (= aku, ego). Bagian ini terletak
di antara das Es dengan das Uber Ich, jadi di tengah-tengah. Letaknya paralel
pula dengan sifatnya, yakni menjadi penengah antara kepentingan das Es dan
tujuan-tujuan (3, Uber Ich). Dengan perkataan lain, das Ich berfungsi sebagai
badan sensor antara kehendak-kehendak das Es yang lust-principle dan
tujuan-tujuan das Uber Ich yang normatif. Ini berarti pula das Ich ini bersifat
realistis dan objektif. Dengan adanya fungsi das Ich yang realistis antara
kepentingan das Es yang berprinsip pemuasan dan tujuan-tujuan das Uher
Ich yang etis itu, maka pribadi seseorang akan seimbang dan harmonis.
Proses pertimbangan dan keputusan das Ich semata-mata demi kepentingan
pribadi, terlepas daripada prinsip-prinsip kesenangan das Es dan prinsip
normatif das Uber Ich. Akan tetapi fungsi das Ich mampu menjadi penengah,
menuju keputusan-keputusan yang kompromis antara dua pola kepentingan
yang bertentangan itu. Sesuai dengan letaknya das Ich ini dapat mengerti
dunia a-sadar yang a-sosial dan a-moral daripada das Es di samping juga
mengerti hasrat luhur das Uber Ich yang etik dan sadar norma. Das Ich ini
dapat disamakan sebagai aspek sosial kepribadian manusia (makhluk sosial).
Ketiga, bagian atas atau das Uber Ich (superego). Bagian ini merupakan
bagian jiwa yang paling tinggi (atas) letaknya. Demikian pula sifatnya, paling
sadar norma, paling luhur. Bagian ini ialah yang lazim disamakan dengan
budinurani (consciencia, gewessen). Bagian jiwa yang disebut superego ini
tidak hanya menyadari realita sosial, melainkan juga mengerti dan
mendukung norma-norma sosial. Yakni nilai-nilai yang berlaku di dalam
antarhubungan dan antaraksi di mana setiap pribadi warga suatu masyarakat.
Setiap motif, cita-cita dan tindakan das Uber Ich selalu didasarkan atas asas-
asas normatif itu. Superego atau das Uber Ich selalu menjunjung tinggi nilai-
nilai, baik nilai ethika, maupun nilai-nilai religius. Ia bersikap loyal kepada
nilai-nilai, bahkan ia membuka diri akan nilai-nilai, dalam arti telah menjadi
wataknya untuk sadar nilai. Dengan demikian superego adalah bagian jiwa
paling sadar terhadap makna kebu-dayaan, membudaya dalam arti terutama
sadar nilai-nilai moral. Watak superego ialah susila sadar nilai-nilai religius,
dalain arti keagamaan, secara apriori kepribadian manusia itu bersifat luhur
(suci, etis, religius).
Berdasarkan bahasan di atas, diketahui bahwa struktur jiwa manusia
adalah tingkah laku yang bersumber pada penekanan oleh tiga bagian ter-
sebut, yaitu das Es, das Ich, dan das Uber Ich. Setiap motif, cita-cita dan
tingkah laku manusia bersumber atas dorongan asasi ketiga bagian jiwa itu.
Oleh karena itu, pendidikan wajib diperdalam untuk lebih memahami tingkah
laku atau watak seseorang.
Secara khusus, untuk tujuan-tujuan pendidikan, memahami hakikat
manusia, kepribadian, berarti mengerti kepentingan individu, minat, cita-cita,
potensi dan identitas pribadi. Pengertian itu merupakan dasar bagi efektifnya
pelaksanaan proses pendidikan. Lebih daripada itu merupakan kewajiban pula
untuk menghormati martabat, kepri-badian dan keunikan seseorang dalam
rangka realisasi diri.
Sebagaimana diketahui, ilmu jiwa bagi ilmu pendidikan adalah suatu
kom-plementasi yang amat bernilai. Pedagogik tanpa ilmu jiwa, sama dengan
praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti, manusia, berarti membina
sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik.
Tanpa pengertian atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik
maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah.
Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan memperkosa kodrat
manusia.

C. Implikasi Pandangan Filsafat Tentang Perilaku Manusia Dalam


Pendidikan
Cinta kebijaksanaan atau kearifan dan juga berarti ilmu pengetahuan yang
meneliti hal yang bersifat nyata beserta prinsip-prinsipnya merupakan hakikat
manusia serta perilakunya. Dengan filsafat maka manusia berusaha untuk mencari
kenyataan, kebenaran, dan kebaikan. Filsafat merupakan gabungan dari ilmu
pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan nilai yang membentuk landasan bagi tindakan
seseorang untuk mencapai tujuan kegiatannya.
Dalam kehidupan sebagai pendidik, banyak ditemui masalah dan pengambilan
keputusan yang sulit atau rumit. Filsafat memberikan/menyediakan metoda untuk
secara kritis melihat berbagai masalah dan situasi yang dihadapi oleh manusia
sebagai para pendidik. Filsafat memberikan atau menyediakan bagi para guru
(sebagai subjek) suatu dasar rasional dan filosofis untuk memperhatikan masyarakat
dan bagaimana, peran umum atau khu-sus dari pendidikan di dalam masyarakat.
Filsafat juga membantu mengevaluasi tindakan manusia dengan didasari oleh nilai
moral dan etika. Suatu landasan falsafah, yaitu landasan falsafah pendidikan (di
Indonesia yakni Pancasila sebagaimana dijabarkan ke dalam atau menjadi tujuan
pendidikan nasional), sangatlah penting bagi para, baik guru secara individu maupun
institusi. Landasan filosofi merupakan dasar untuk membuat suatu keputusan yang
melekat dalam mengkreasikan dan mengimplementasikan program pendidikan.
Landasan ini juga akan mem-berikan arah di dalam menyeleksi tujuan dan objektif
dari program, kurikulum, dan mata pelajaran. Selain itu, ia juga akan dapat
menjelaskan apa yang harus diajarkan, bagaimana mengajarkannya, dan bagaimana
pekerjaan guru dinilai.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa untuk terwujudnya
nilai-nilai manusiawi dalam kompleksitas kehidupan dan dalam dunia pendidikan
khususnya, mutlak diperlukan kejelasan dan bahkan kepastian terpahaminya manusia
sebagai makhluk yang manusiawi, termasuk makhluk yang manusiawi dalam dunia
pendidikan. Pemahaman dan selanjutnya perlakuan terhadap manusia itu sendiri
sangat diperlukan melalui pengertian filosofis tentang harkat martabat manusia itu.
Tanpa bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia, mustahil atau akan sulit
mewujudkan tata nilai yang manusiawi dalam berbagai dimensi hubungan
antarmanusia, khususnya dalam dunia pendidikan. Itu pulalah yang menjadi landasan
objektif atas mutlaknya kejelasan filosofis beserta ilmu kependidikan dalam dunia
pen-didikan. Sebab, sebagai subjek maupun sebagai objek dari proses pendidikan itu,
manusia harus dipandang sebagai makhluk yang unik sekaligus istimewa, dan harus
diperlakukan secara manusiawi juga.
Demikian kupasan dan kesimpulan dari tulisan ini. Semoga hal ini bisa
membantu kita dalam memahami dan menyadari hakikat manusia sebagai makhluk
pendidikan, dan bisa pula memberikan tambahan pengetahuan dan bermanfaat bagi
para insan pendidikan.

B. Saran
Sehubungan dengan keterbatasan referensi yang digunakan dalam penyusunan
makalah ini, maka kami menyarankan para pembaca dapat mengembangkan makalah
ini dengan lebih memperbanyak lagi referensi-referensi mengenai hakikat manusia
sebagai mahluk pendidikan dan implikasinya.

DAFTAR PUSTAKA
Suparlan Suhartono. 2017. Filsafat Pendidikan. Makassar. Badan Penerbit UNM.

Dukha Yunitasari. 2018. Hakikat Manusia sebagai Mahluk Pendidikan dan


Implikasinya. Nusa Tenggara Barat. (
https : // ejournal.unri.ac.id/ index.php/ JPB/ article/ download/ 5150/ 4828. Diakses,
15 Desember 2018)

Anda mungkin juga menyukai