Penyusunan Perangkat Tes

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 40

UNIT 7.

1
BAB VI
PENYUSUNAN PERANGKAT TES DAN PELAKSANAAN TES

Penyusunan perangkat tes sebagai bagian dari penilaian (appraisal) merupakan


rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses
dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan,
sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Karena
penilaian dalam KTSP adalah penilaian berbasis kompetensi, yaitu bagian dari kegiatan
pembelajaran yang dilakukan untuk mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik yang
meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Penilaian dilakukan selama proses
pembelajaran dan/atau pada akhir pembelajaran. Fokus penilaian pendidikan adalah
keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi yang ditentukan.
Pada tingkat mata pelajaran, kompetensi yang harus dicapai berupa Standar Kompetensi
(SK) mata pelajaran yang selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD). Untuk
tingkat satuan pendidikan, kompetensi yang harus dicapai peserta didik adalah Standar
Kompetensi Lulusan (SKL).
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan satuan pendidikan dalam
mengelola proses pembelajaran. Tes sebagai perangkat penilaian merupakan bagian yang
penting dalam pembelajaran. Dengan dilakukan tes, pendidik sebagai pengelola kegiatan
pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode
mengajar yang digunakan, dan keberhasilan peserta didik dalam meraih kompetensi yang
telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penilaian, pendidik dapat mengambil keputusan secara
tepat untuk menentukan langkah yang harus dilakukan selanjutnya. Hasil penilaian juga
dapat memberikan motivasi kepada peserta didik untuk berprestasi lebih baik. Karena
itulah pada unit 9.1. ini kita akan terlebih dahulu mempelajari tentang penyusunan tes dan
pelaksanaannya sebagai bagian dari kegiatan penilaian.

TEKNIK PENYUSUNAN PERANGKAT TES

Untuk mengukur seberapa jauh tujuan-tujuan pengajaran telah tercapai, dapat


dilakukan dengan evaluasi, dalam hal ini evaluasi hasil belajar. Alat ukur untuk

159
mengevaluasi hasil belajar tersebut digunakan tes. Tes adalah cara (yang dapat
dipergunakan) atau prosedur yang (yang perlu di tempuh) dalam rangka pengukuran dan
penilaian di bidang pendidikan. Pengertian tes lebih ditekankan pada penggunaan alat
pengukuran. Menurut Sumadi Suryabrata (1984 :22) tes adalah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan, yang mendasakan
harus bagaimana peserta tes menjawab pertanyaan atau melakukan perintah-perintah itu,
penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan dengan
standar atau peserta tes yang lain.
Tes sebagai alat pengukur hasil belajar siswa, diharapkan mampu memberikan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Artinya, alat tes dapat
memberikan informasi tentang siswa sesuai keadaan yang mendekati sesungguhnya. Hal
itu penting karena informasi tersebut akan dipergunakan untuk mempertimbangkan dan
kemudian memutuskan berbagai kebijakan baik yang berkenaan dengan siswa maupun
kegiatan pengajaran secara umum.
Pengertian lain tentang tes, diungkapkan dalam kutipan dari beberapa pendapat para
ahli, yaitu :
1. Tes adalah suatu pengukuran yang berisi serangkaian pertanyaan, dimana
masing-masing pertanyaan memiliki jawaban yang benar (Ebel & Frisbie, 1986)
2. Tes merupakan serangkaian tugas-tugas yang digunakan dalam berbagai observasi (Sax,
1980)
3. Tes seringkali berkonotasi dengan adanya pertanyaan-pertanyaan standar yang perlu
dijawab ( Mahrens & Lehmann, 1973)

Tes hasil belajar adalah salah satu alat ukur yang paling banyak digunakan untuk
mengetahui hasil belajar seseorang dalam proses belajar-mengajar atau suatu program
pendidikan. Karena sedemikian banyak tes itu digunakan dalam dunia pendidikan, maka
ada baiknya seorang guru sebagai salah satu pihak yang berwenang menyusun tes hasil
belajar, hendaknya mengetahui karakteristik berbagai bentuk tes sebagai alat ukur hasil
belajar. Hopkins melalui Suyata (1997:18) menjelaskan bahwa penyusunan tes adalah
“lebih pada seni daripada ilmu” dan seni menyusun tes dapat dipelajari lewat petunjuk-
petunjuk yang jelas, praktek penyusunan yang terus menerus, serta umpan balik dari apa
yang disusunnya.
Sebagai alat ukur dalam penilaian hasil belajar, tes digunakan untuk mengukur
perkembangan atau kemajuan belajar peserta didik, setelah mereka mengikuti proses
160
pembelajaran. Dalam menyusun tes hasil belajar maka terlebih dahulu perlu diperhatikan
beberapa hal yang terkait dengan penilaian hasil belajar peserta didik antara lain
(BSNP,2007):
1. Penilaian ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi; tes hasil belajar harus
dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning outcomes) yang telah ditetapkan
sesuai dengan tujuan.
2. Penilaian menggunakan acuan kriteria yakni berdasarkan pencapaian kompetensi
peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran;
3. Bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat bervariasi, sehingga
betul-betul cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan
tes itu sendiri.
4. Penilaian dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan; merupakan sampel yang
representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, sehingga dapat
dianggap mewakili seluruh performance yang telah diperoleh selama peserta didik
mengikuti suatu unit pengajaran.
5. Hasil penilaian ditindaklanjuti dengan program remedial bagi peserta didik yang
pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi
peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan. Hasil penilaian dapat dijadikan
alat untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan
cara mengajar guru itu sendiri.
6. Penilaian harus sesuai dengan kegiatan pembelajaran; tes hasil belajar harus didesain
sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
Menurut Suharsimi (2003) tes yang baik harus mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut: 1) Harus efisien (Parsimony) 2) Harus baku (Standardize) 3) Mempunyai norma
4) Objektif 5) Valid (Sahih) 6) Reliabel (Andal ). Oleh sebab itu untuk memperoleh tes
yang baik, tes tersebut harus di uji cobakan terlebih dahulu dan hasilnya di analisis
sehingga memenuhi syarat-syarat tersebut di atas. Hal ini sejalan dengan pedoman yang
dikeluarkan BSNP (2007) yang berkaitan dengan syarat-syarat penilaian sebagai berikut:
1. Sahih (valid), yakni penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan
yang diukur;
2. Objektif, yakni penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak
dipengaruhi subjektivitas penilai;

161
3. Adil, yakni penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik, dan tidak
membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, agama, bahasa, suku bangsa, dan
jender;
4. Terpadu, yakni penilaian merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari kegiatan
pembelajaran;
5. Terbuka, yakni prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan;
6. Menyeluruh dan berkesinambungan, yakni penilaian mencakup semua aspek
kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik yang sesuai, untuk memantau
perkembangan kemampuan peserta didik;
7. Sistematis, yakni penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti
langkah-langkah yang baku;
8. Menggunakan acuan kriteria, yakni penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian
kompetensi yang ditetapkan;
9. Akuntabel, yakni penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik,
prosedur, maupun hasilnya.
10. Reliabel, sering diterjemahkan dengan istilah keajegan (stability) atau kemantapan
(consystence). Maka sebuah tes dapat dikatakan reliabel apabila hasil-hasil pengukuran
yang digunakan dengan menggunakan tes tersebut secara berulangkali terhadap obyek
yang sama, senantiasa menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg dan stabil.
Guna mengetahui, apakah sebuah tes hasil belajar telah memiliki reliabilitas yang tinggi
ataukah rendah, dapat digunakan tiga jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan single test
atau single trial, (2) pendekatan test retest, dan (3) pendekatan alternate forms.

Agar tes yang disiapkan oleh setiap guru menghasilkan bahan ulangan/ujian yang
sesuai dengan syarat-syarat tersebut di atas, maka harus dilakukan langkah-langkah berikut,
yaitu:
1. Menentukan Tujuan Tes/soal
Penyusunan tes diawali dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai dengan
menyelenggarakan tes tersebut. Dalam tes bahasa pada umumnya tes disusun sebagai
tes hasil belajar. Tes hasil belajar yang mempunyau tujuan utama yaitu untuk
menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan
sampai tahap tertentu hingga tes tersebut diselenggarakan. Selain tujuan utama tersebut

162
biasanya tes dilakukan juga dengan tujuan untuk mengetahui kesulitan belajar siswa,
dan kelemahan butir-butir tes.
2. Penentuan jenis dan bentuk soal
Dalam menentukan jenis tes yang akan digunakan perlu memperhatikan beberapa
faktor yaitu jumlah peserta tes, banyak sedikitnya bahan yang harus dicakup, waktu
yang tersedia, kemampuan pengajar untuk mengembangkan soal, kemudahan
penyelenggaraan, kemudahan pelaksanaan koreksi dan penilaian. Semua itu perlu
diperhatikan dengan seksama agar jenis dan bentuk tes yang digunakan dapat benar-
benar mengukur tingkat kemampuan dan pemahaman siswa.
Faktor-faktor tersebut di atas mempunyai peranan yang sangat banyak pada
penentuan soal yang akan dibuat. Misalnya soal esai, mempunyai kemudahan dalam
penyusunan soalnya tetapi dalam pengoreksian akan membutuhkan waktu yang lama
dan memerlukan pikiran yang tidak sedikit. Soal esai berbanding terbalik dengan soal
pilihan ganda, soal pilihan ganda dalam penyusunanya memang agak berat dan
memakan waktu yang lama dan dalam jumlah yang banyak, tetapi pada akhirnya ketika
memeriksa hasil jawaban yang dikerjakan akan sangat mudah dan cepat.
3. Menyusun Kisi-kisi
Kisi-kisi merupakan deskripsi mengenai ruang lingkup dan isi materi yang akan
diujikan. Tujuan penyusunan kisi-kisi sebelum membuat soal adalah untuk menentukan
ruang lingkup dan tekanan soal yang setepat-tepatnya sehingga dapat menjadi petunjuk
dalam menulis soal. Dengan adanya penyusunan kisi-kisi maka akan sangat mudah
dalam mendeteksi poin mana yang tepat digunakan sebagai tes dari
berbagai kompetensi dasar.
4. Penulisan Butir Soal
Tahap penulisan butir soal dimulai dengan menentukan jumlah soal yang perlu
disusun. Penulisan butir tes pertama-tama mungkin menghasilakan butir soal yang
memeliki berbagai kekurangan dan kelemahan. Dengan kenyataan demikian maka
sebagai persediaan penyusunan butir soal diperlukan jumlah yang lebih besar dari
klebutuhan karena pada akhirnya butir-butir tersebut akan dipilih yang sesuai dengan
kompetensi yang diujikan. Selain membuat butir-butir soal perlu juga disusun kunci
jawaban yang nantinya akan digunakan sebagi acuan penilaian. Setelah mendapatkan
butir-butir soal selanjutnya kita harus memilih lagi butir soal mana yang sekiranya tepat
untuk dipakai.

163
5. Pemantapan Butir Soal atau Validasi Soal dan Kunci Jawaban
Usaha pemantapan yang paling baik dan bertanggung jawab dalam
pengembangan tes dan butir-butirnya dapat diusahakan melalui rangkaian uji coba. Uji
coba biasanya dilakukan hanya pada pengembangan tes berstandar yang luas jangkauan
pernggunaanya dan penting kegunaanya. Usaha pemantapan ini bertujuan untuk
mengetahui kesesuain, kelebihan, dan kekurangan dari soal yang telah disusun.
Setelah soal benar-benar teruji validitasnya, kemudian kunci jawaban yang sudah
dibuat bersamaan pembuatan butir soal diuji kembali kebenaranya dan kemudian
disusun sesuai dengan urutan soal yang telah dibuat.

6. Merakit Soal Menjadi Perangkat Tes


Pembuatan soal tidaklah lengkap tanpa disertai dengan penyusunan soal menjadi
perangkat tes yang baik. Dalam tahapan yang terakhir ini naskah soal yang sudah ada
disusun menjadi alat tes yang sempurna disertai jawabanya.
Kunci jawaban yang dibuat harus sesuai dengan susunanya dengan soal yang telah
tersusun. Perlu diperhatikan pula dalam membuat jawaban untuk soal objektif berupa
jawaban pendek, jawaban berupa alternatif jawaban benar dan untuk soal esai jawaban
berupa rambu-rambu jawaban yang benar. Selain jawaban, cara penilaian dan mengolah
sekor juga harus dibuat agar tidak terjadi kesalahan dalam penilaian.
.
BENTUK-BENTUK TES HASIL BELAJAR DAN TEKNIK PENYUSUNANNYA
Sebagai alat pengukur perkembangan dan kemajuan belajar peserta didik, apabila
ditinjau dari segi bentuk soalnya, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tes hasil
belajar bentuk uraian (selanjutnya disingkat dengan tes uraian), dan tes hasil belajar bentuk
obyektif (selanjutnya disingkat dengan tes obyektif).
1. Tes Hasil Belajar Bentuk Uraian
a. Pengertian Tes Uraian
Tes uraian adalah butiran soal yang mengandung pertanyaan atau tugas yang
jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan
pikiran peserta tes secara naratif. Ciri khas tes uraian ialah jawaban terhadap soal
tersebut tidak disediakan oleh orang yang mengkontruksi butir soal, tetapi disusun
oleh peserta tes. Peserta tes bebas untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Setiap
peserta tes dapat memilih, menghubungkan, dan atau menyampaikan gagasan dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Djiwandono (2008: 57) menjelaskan bahwasanya
164
secara lebih khusus tes uraian (tes esai) mengacu pada tes yang jawabannya berupa
suatu esai atau uraian dalam berbagai gaya penulisan, seperti diskriptif dan
argumentatif, sesuai dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan.Salah satu
pertimbangan dalam menggunakan salah satu bentuk tes, apakah tes subyektif atau
tes objektif, maka perlu dipahami terlebih dulu keunggulan dan kelemahan bentuk
tes tersebut. Jika telah menentukan pilihan untuk menggunakan salah satu bentuk tes
tersebut maka salah satu kiat dalam seni membuat soal tes adalah memaksimalkan
keunggulan tes tersebut dan menekan seminimal mungkin kelemahan-kelemahan dari
soal bentuk tersebut.
Tes uraian adalah tes yang jawabannya menuntut peserta tes untuk
mengorganisasikan gagasan atau hal-hal yang telah dipelajarinya dengan cara
mengemukakan gagasan atau pokok pikiran tersebut dalam bentuk tulisan. Tes uraian
(essay test), yang juga sering dikenal dengan istilah tes subyektif (subjective test),
adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik sebagaimana
dikemukakan berikut ini.
1) tes tersebut berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban
berupa uraian atau paparan kalimat yang pada umumnya cukup panjang.
2) bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itu menuntut kepada peserta tes untuk
memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan
dan sebagainya.
3) jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yaitu berkisar antara lima sampai dengan
sepuluh butir.
4) pada umumnya butir-butir soal tes uraian itu diawali dengankata-kata:
"Jelaskan......", "Terangkan......", "Uraikan ......", "Mengapa ......", "Bagaimana
......" atau kata-kata lain yang serupa dengan itu.
b. Penggolongan Tes Uraian
Sebagai salah satu jenis tes hasil belajar, tes uraian dapat dibedakan menjadi
dua golongan, yaitu tes uraian bebas (extended response) dan tes uraian terbatas
(restricted response). Pembedaan kedua tipe tes uraian ini adalah atas dasar besarnya
kebebasan yang yang diberikan kepada peserta tes untuk mengorganisasikan,
menulis dan menyatakan pikiran, tingkat pemahaman terhadap pokok permasalahan
dan gagasannya.
Pada tes uraian bentuk terbuka, jawaban yang dikehendaki muncul dari peserta
tes sepenuhnya diserahkan kepada peserta tes itu sendiri. Artinya, peserta tes
165
mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam merumuskan, mengorganisasikan
dan menyajikan jawabannya dalam bentuk uraian. Adapun pada tes uraian bentuk
terbatas, jawaban yang dikehendaki muncul dari peserta tes adalah jawaban yang
sifatnya sudah lebih terarah (dibatasi).
Sebagaimana telah dikemukakan, perbedaan utama antara tes uraian bebas dan
uraian terbatas tergantung kepada kebebasan memberikan jawaban. Jawaban yang
diberikan oleh peserta tes dalam tes uraian bebas hampir-hampir tidak ada
pembatasan. Peserta tes memiliki kebebasan yang luas sekali untuk
mengorganisasikan dan mengekspresikan pikiran dan gagasannya dalam menjawab
soal tersebut. Jadi jawaban siswa bersifat terbuka, fleksibel, dan tidak tersrtuktur.

c. Ketepatan Penggunaan Tes Uraian


Tes hasil belajar bentuk uraian sebagai salah satu alat pengukur hasil belajar,
tepat dipergunakan apabila pembuat soal (guru, dosen, panitia ujian dan lain-lain)
disamping ingin mengungkap daya ingat dan pemahaman peserta tes terhadap materi
pelajaran yang ditanyakan dalam tes, juga dikehendaki untuk mengungkap
kemampuan peserta tes dalam memahami berbagai macam konsep berikut
aplikasinya. Kecuali itu, tes subyektif ini lebih tepat dipergunakan apabila jumlah
peserta tes terbatas.

d. Segi-segi Kebaikan dan Kelemahan Tes Uraian


Tes hasil belajar bentuk uraian, disamping memiliki keunggulan-keunggulan
juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Di antara keunggulan yang dimiliki
oleh tes uraian adalah, bahwa:
1) Tes uraian dapat dengan baik mengukur hasil belajar yang kompleks. Hasil belajar
yang kompleks artinya hasil belajar yang tidak sederhana. Hasil belajar yang
kompleks tidak hanya membedakan yang benar dari yang salah, tetapi juga dapat
mengekspresikan pemikiran peserta tes serta pemilihan kata yang dapat memberi
arti yang spesifik pada suatu pemahaman tertentu. Apabila yang diukur adalah
kemampuan hasil belajar yang sederhana, yaitu memilih suatu yang lebih benar
atau yang lebih tepat, maka sebaiknya menggunakan tes objektif.
2) Tes bentuk uraian terutama menekankan kepada pengukuran kemampuan
mengintegrasikan berbagi buah pikiran dan sumber informasi kedalam suatu
pola berpikir tertentu, yang disertai dengan keterampilan pemecahan masalah.
166
Integrasi buah pikiran itu membutuhkan dukungan kemampuan untuk
mengekspresikannya. Tanpa dukungan kemampuan mengekspresikan buah
pikiran secara teratur dan taat asas, maka kemampuan tidak terlihat secara utuh.
Bahkan kemampuan itu secara sederhana sudah akan dapat kelihatan dengan
jelas dalam pemilihan kata, penyusunan kalimat, penggunaan tanda baca,
penyusunan paragraf dan susunan rangkain paragraf dalam suatu keutuhan
pikiran.
3) Bentuk tes uraian lebih meningkatkan motivasi peserta didik untuk melahirkan
kepribadiannya dan watak sendiri, sesuai dengan sifat tes uraian yang menuntut
kemampuan siswa untuk mengekspresikan jawaban dalam kata-kata sendiri.
Untuk dapat mengekspresikan pemahaman dan penguasaan bahan dalam
jawaban tes, maka bentuk tes uraian menuntut penguasaan bahan secara utuh.
Penguasaan bahan yang tanggung atau parsial dapat dideteksi dengan mudah.
Karena itu untuk menjawab tes uraian dengan baik peserta tes akan berusaha
menguasai bahan yang diperkirakannya akan diujikan dalam tes secara tuntas.
Seorang peserta tes yang mengerjakan tes uraian dengan penguasaan bahan
parsial akan tidak mampu menjawab soal dengan benar atau akan berusaha
dengan cara membual.
4) Kelebihan lain tes uraian ialah memudahkan guru untuk menyusun butir soal.
Kemudahan ini terutama disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama, jumlah butir
soal tidak perlu banyak dan kedua, guru tidak selalu harus memasok jawaban
atau kemungkinan jawaban yang benar sehingga akan sangat menghemat waktu
konstruksi soal. Tetapi hal ini tidak berarti butir soal uraian dapat dikontruksikan
secara asal-asalan. Kaidah penyusunan tes uraian tidaklah lebih sederhana dari
kaidah penyusunan tes objektif.
5) Tes uraian sangat menekankan kemampuan menulis. Hal ini merupakan kebaikan
sekaligus kelemahannya. Dalam arti yang positif tes uraian akan sangat
mendorong siswa dan guru untuk belajar dan mengajar, serta menyatakan pikiran
secara tertulis.

Dengan demikian diharapkan kemampuan para peserta didik dalam menyatakan


pikiran secara tertulis akan meningkat. Tetapi dilihat dari segi lain, penekanan yang
berlebihan terhadap penggunaan tes uraian yang sangat menekankan kepada
kemampuan menyatakan pikiran dalam bentuk tulisan yang dapat menjadikan tes
167
sebagai alat ukur yang tidak adil dan tidak reliable. Bagi siswa yang tidak mempunyai
kemampuan menulis, akan menjadi beban.
Adapun kelemahan-kelemahan yang disandang oleh tes subyektif antara lain
adalah, bahwa:
1) Tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup dan
mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan
kepada testee, yang seharusnya diujikan dalam tes hasil belajar.
2) Cara mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit.
3) Dalam pemberian skor hasil tes uraian, terdapat kecenderungan bahwa pemberi
tes (guru) lebih banyak bersifat subyektif.
4) Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes uraian sulit untuk
diserahkan kepada orang lain.
5) Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajegan mengukur (reliabilitas)
yang dimiliki oleh tes uraian pada umumnya rendah sehingga kurang dapat
diandalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang baik.

e. Petunjuk Operasional dalam Penyusunan Tes Uraian


Bertitik tolak dari keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh tes hasil belajar bentuk uraian seperti telah dikemukakan di atas, maka
beberapa petunjuk operasional berikut ini akan dapat dijadikan pedoman dalam
menyusun butir-butir soal tes uraian.
1) dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sejauh mungkin harus dapat
diusahakan agar butir-butir soal tersebut dapat mencakup ide-ide pokok dari
materi pelajaran yang telah diajarkan, atau telah diperintahkan kepada peserta
tes untuk mempelajarinya.
2) untuk menghindari timbulnya perbuatan curang oleh peserta tes (misalnya:
menyontek atau bertanya kepada peserta tes lainnya), hendaknya diusahakan
agar susunan kalimat soal dibuat berlainan dengan susunan kalimat yang
terdapat dalam buku pelajaran atau bahan lain yang diminta untuk
mempelajarinya.
3) sesaat setelah butir-butir soal tes uraian dibuat, hendaknya segera disusun dan
dirumuskan secara tegas, bagaimana atau seperti apakah seharusnya jawaban
yang dikehendaki oleh pemberi tes (guru) sebagai jawaban yang betul.

168
4) dalam menyusun butir-butir soal tes uraian hendaknya diusahakan agar
pertanyaan-pertanyaan atau perintah-perintahnya jangan dibuat seragam,
melainkan dibuat secara bervariasi.
5) kalimat soal hendaknya disusun secara ringkas, padat dan jelas.
6) suatu hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh pemberi tes (guru) ialah, agar
dalam menyusun butir-butir soal yang harus dijawab atau dikerjakan oleh
peserta tes, hendaknya dikemukakan pedoman tentang cara mengerjakan atau
menjawab butir-butir soal tersebut.
f. Penggunaan Tes Bentuk Uraian

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasannya secara umum ada dua jenis


tes yang memiliki karakteristik sangat berbeda yakni tes obyektif dan tes subyektif.
Kapan kedua jenis tes itu dipergunakan akan bergantung pada tujuan soal tes itu
dibuat. Soal-soal yang bertujuan mengungkap kognitif tingkat rendah, seperti
ingatan pemahaman dan aplikasi, maka sesuai menggunakan tes obyektif. Akan
tetapi, hal yang sama tidak berlaku untuk soal-soal yang lebih komplek dan dengan
tujuan mengungkap kognitif tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi (Suyata,
1997:19).
Sebaiknya tes uraian digunakan apabila :
1) Jumlah siswa atau peserta tes relatif sedikit.
2) Waktu yang dipunyai guru untuk mempersiapkan soal relatif singkat dan
terbatas.
3) Tujuan instruksional yang ingin dicapai adalah kemampuan mengekspresikan
pikiran dalam bentuk tertulis, menguji kemampuan dengan baik, atau penggunaan
kemampuan penggunaan bahasa secara tertib.
4) Guru ingin memperoleh informasi yang tidak tertulis secara langsung di dalam
soal ujian tetapi dapat disimpulkan dari tulisan peserta tes, seperti : sikap, nilai,
atau pendapat. Soal uraian dapat digunakan untuk memperoleh informasi
langsung tersebut, tetapi harus digunakan dengan sangat hati-hati oleh guru.
5) Guru ingin memperoleh hasil pengalaman belajar siswanya.

g. Langkah-Langkah Menyusun Tes Uraian

Sebenarnya menyususn tes uraian tidak semudah yang diperkirakan banyak


orang, kalau benar-benar ingin menghasilkan butir soal yang berkualitas. Ada

169
beberapa ketentuan yang perlu diikuti dan dipenuhi. Pemilihan format tes uraian
menjadi pertimbangan lagi apabila mengingat betapa tidak mudahnya pemberian
skor dengan prinsip pengukuran yang benar. Berikut adalah rambu-rambu
bagaimana menyusun tes uraian dengan memenuhi kriteria dan prinsip-prinsip
pengukuran.

1) Penentuan Tujuan Tes


Suyata (1997:19) menguraikan bahwa tes yang baik perlu direncanakan
dengan hati-hati dan teliti. Petunjuk yang biasa diberikan untuk itu adalah
sesuaikan tes yang disusun dengan tujuan kurikulum, bukan pada apa yang
tertulis, melainkan pada apa yang dipelajari. Perhatikan tujuan diadakan tes
tersebut,seperti untuk melihat perbedaan individu, atau untuk penguasaan kelas
akan materi yang dipelajari, serta sesuaikan tes dengan tingkat kemampuan
siswa.
Tujuan tes perlu dinyatakan secara eksplisit dan jelas, agar tes benar-
benar mengukur apa yang hendak diukur. Dikatakan demikian karena tes yang
berkualitas dituntut memenuhi syarat validitas dan reliabilitas.
Yang perlu diperhatikan, jangan sampai terjadi tes uraian prestasi belajar
dipakai untuk mengukur kemampuan menulis atau sebaliknya alat ukur untuk
kemampuan menulis dipakai untuk mengukur prestasi belajar (Suyata,
1997:20).

2) Penyusunan Kisi-Kisi Tes


Kisi-kisi adalah suatu format berupa matrik yang memuat pedoman
untuk menulis soal atau merakit soal menjadi suatu tes. Suyata (1997:20)
menguraikan bahwa kisi-kisi ujian adalah suatu format yang berisi kriteria
tentang soal-soal yang diperlukan oleh suatu tes. Oleh karena tidak semua
penyusun kisi-kisi adalah penulis soal, maka komponen kisi-kisi perlu jelas dan
mudah dipahami agar penulisan soal dapat dilaksanakan. Dengan adanya kisi-
kisi, penulis soal yang berbeda, dengan kualitas yang relatif sama, diharapkan
menghasilkan soal yang relatif sama, baik tingkat kedalamannya maupun
cakupan materi yang dibahas.
Menurut Balitbang Depdikbud dikutip Suyata (1997:21) kisi-kisi yang
baik harus memenuhi kriteria diantaranya (1) dapat mewakili isi kurikulum
170
secara tepat, (2) komponen-komponen jelas dan mudah dipahami, (3) dapat
dilaksanakan atau disusun soalnya.
Kisi-kisi tes prestasi belajar harus memenuhi persyaratan, yaitu: mewakili
isi kurikulum/kemampuan yang akan diujikan; komponen-komponennya rinci,
jelas, dan mudah dipahami; dan soal-soalnya dapat dibuat sesuai dengan
indikator dan bentuk soal yang ditetapkan.
Secara umum komponen-komponen yang biasa dimuat dalam penyusunan
kisi-kisi tes prestasi belajar adalah sebagai berikut: (1) jenis sekolah/jenjang
sekolah, (2) tingkat sekolah, (3) bidang Studi / mata pelajaran, (4) tahun
pelajaran, (5) kurikulum yang diacu/ dipergunakan, (6) jumlah soal, (7) bentuk
soal, (8) standar kompetensi , (9) kompetensi dasar, (10) materi yang akan
diujikan/dijadikan soal, (11) indikator, (12) nomor urut soal (jika diperlukan).
Suyata (1997:21) menjelaskan bahwa komponen yang terdapat pada
sebuah kisi-kisi bermacam-macam, bergantung pada model tesnya. Tes bahasa
komunikatif Carroll misalnya, berisi (1) tujuan kegiatan, (2) kompetensi, (3)
saluran, (4) lingkup, (5)jumlah soal, (6) format tes.
3) Penulisan Butir Soal
Setelah kisi-kisi disiapkan, tahap selanjutnya adalah menulis butir soal.
Sebelum penulisan soal dilakukan, penulis perlu memperhatikan batasan
jawaban soal, seperti kedalaman, ruang lingkup soal, serta jumlah rincian.
Penentuan jawaban soal tersebut penting sebab secara langsung akan berkaitan
dengan perumusan butir soal yang akan ditulis. Butir soal yang terlalu luas atau
terlalu sempit perlu dihindari sebab akan menyulitkan dalam pemberian skor.
Hopkins melalui Suyata (1997:22) memberikan rambu-rambu untuk
menulis butir soal tes bahasa bentuk uraian, yaitu sebagai berikut:
a) Soal ditulis sedemikian rupa sehingga soal menjadi spesifik dan dapat
ditangkap dengan jelas oleh peserta ujian.
b) Pertanyaan uraian diawali dengan kata-kata bandingkan, berilah alasan, atau
jelaskan, dan hendaknya menghindari kata-kata seperti apa, kapan, atau
siapa pada awal soal, sebab hanya akan memancing jawaban yang berupa
reproduksi informasi belaka.
c) Beberapa butir soal dengan jawaban relatif pendek-pendek lebih baik
daripada satu soal tetapi memerlukan jawaban panjang. Hal ini berkaitan

171
dengan masalah reliabilitas tes, yang makin banyak jumlah soal, makin
tinggi koefisien reliabilitas soal tersebut.
d) Disarankan untuk tidak menulis butir soal bentuk pilihan pada soal tes
uraian, kecuali penulis soal dapat memberikan bobot skor yang sama pada
soal-soal yang diberikan.
e) Soal disusun secara berseri dari yang sederhana sampai ke yang kompleks,
dari soal yang relatif mudah, makin lama makin sulit, dan diakhiri dengan
soal yang paling sulit, yaitu soal evaluasi.

Selain rambu-rambu tersebut di atas, Pusat Penelitian Sistem Pengujian


dikutip Suyata (1997:22) menambahkan perlunya rumusan soal tes uraian yang
menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut jawaban uraian, seperti
mengapa, jelaskan, uraikan, tafsirkan, dan sebagainya, serta rumusan soal tes
uraian perlu menggunakan bahasa yang sederhana dan sesuai kaidah bahasa
yang berlaku.

4) Penelaahan Soal Tes Uraian


Soal yang telah selesai ditulis perlu ditelaah kembali. Tujuan kegiatan
adalah untuk melihat dan mengkaji setiap butir soal agar menghasilkan soal
dengan kualitas yang baik, sebelum soal tersebut digunakan dalam suatu
perangkat tes. Penelaahan butir soal dilakukan dengan cara menyesuaikan butir
soal dengan kisi-kisi tes, kurikulum, atau buku sumber. Langkah ini juga
dimaksudkan untuk menjaga validitas isi tes.
Telaah soal yang dilakukan berupa telaah materi dan telaah bahasa.
Telaah materi dimaksudkan untuk melihat kesesuaian antara materi yang telah
diajarkan, tertera dalam kisi-kisi, dengan soal yang ditulis. Sedangkan telaah
bahasa maksudnya untuk melihat kejelasan, kebenaran, dan ketepatan bahasa
yang digunakan agar soal yang ditulis dapat dipahami oleh peserta didik
sebagaimana dimaksudkan oleh pembuat soal. Kegiatan penelaahan soal ini
dapat dilakukan oleh penulis soal sendiri maupun dilakukan oleh orang lain
yang bukan penulisnya.

172
h. Penskoran Tes Uraian
Dari beberapa jenis tes subyektif, tes uraian merupakan jenis tes yang paling
tinggi tingkat subyektivitasnya, karena jawabannya yang relatif panjang, beragam isi
dan kemasannya. Djiwandono (2008: 59) menjelaskan bahwasanya penskoran tes
subyektif dalam bentuk esei tidak dilakukan dengan menggunakan kunci jawaban
seperti pada penskoran tes obyektif, melainkan dengan menggunakan rambu-rambu
penskoran (scoring guide), yang memuat pedoman, kadang-kadang sekadar kriteria,
yang menyebutkan jawaban yang diharapkan dalam hal relevansi isi, susunan,
bahasa yang digunakan termasuk ejaan, bahkan panjang dan pendeknya jawaban,
dan lain-lain. Kadang-kadang disertai proporsi skor yang disediakan bagi masing-
masing unsur berdasarkan tingkat pentingnya suatu unsur yang diskor.
Kriteria penskoran tes esei secara analitik:
1) Relevansi isi jawaban peserta tes dengan jawaban yang diharapkan.
2) Kecukupan isi jawaban peserta tes tentang masalah yang ditanyakan.
3) Kerapian dan kejelasan penyusunan isi jawaban peserta tes.
4) Lain-lain yang perlu dan relevan dengan bidang kajian dan titik berat sasaran tes
(dengan uraian dan rinciannya), misalnya penggunaan bahasa yang lugas dan
mudah dimengerti.

Djiwandono (2008: 6) menjelaskan dengan memberikan contoh rincian


kriteria dengan tingkatan ketercapaian kriteria dan alokasi skor pada tes esei.
Seandaianya semua kriteria itu diperlakukan sama berat tanpa pembobotan, dan
dengan contoh rentangan skor 4, 3, 2, 1 yang menunjukkan tingkat ketercapaian
kriteria yang menggambarkan tingkat mutu esei, maka rincian kriteria itu seperti
pada contoh berikut.
Jika penskoran dilakukan tanpa pembobotan dalam arti bahwa semua kriteria
dianggap sama berat dan dialokasikan rentangan skor yang sama, maka skor jawaban
esei seorang peserta tes diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor yang
diperolehnya. Jika penskoran dilakukan dengan pembobotan, maka bobot masing-
masing kriteria perlu ditentukan berdasarkan pentingnya berbagai komponen
kemampuan dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan.

173
Tabel 26. Penskoran pada Tes Uraian
RINCIAN TINGKAT KETERCAPAIAN
NO KRITERIA SKOR
KRITERIA
Isi sepenuhnya sesuai dengan pertanyaan 4
Isi sebagian besar sesuai dengan pertanyaan 3
1 Relevansi isi
Isi sedikit sesuai dengan pertanyaan 2
Isi jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan 1
Jawaban tuntas 4
Jawaban hampir tuntas 3
2 Ketuntasan
Jawaban kurang tuntas 2
Jawaban jauh dari tuntas 1
Amat sistematis 4
Mendekati sistematis 3
3 pengorganisasian
sedikit sistematis 2
Tidak sistematis 1

Suyata (1997:23) menguraikan beberapa cara yang dapat dilakukan berkaitan


dengan kegiatan penskoran tersebut:
1) Model Jawaban
Sebelum memulai pemberian skor dalam tes uraian, pengoreksian ujian
perlu membuat contoh jawaban benar untuk setiap butir soal sebagai model.
Dengan model tersebut, penskoran akan berjalan relatif sesuai dengan ukuran
yang sama, berlaku untuk setiap jawaban pada soal yang sama. Hal ini akan lebih
menyingkat waktu dan meningkatkan akurasi penskoran.
2) Penskoran Keseluruhan dan Bagian demi Bagian
Penskoran keseluruhan adalah cara penskoran yang tidak dibagi-bagi
atas elemen-elemen. Jawaban ujian dibaca secara keseluruhan, kemudian
ditentukan jumlah skor untuk setiap butir soal. Kriteria penskoran dibuat
bertingkat, seperti sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang.
Cara penskoran yang lain adalah bagian demi bagian. Hal ini lebih
dianjurkan sebab penskoran akan relatif lebih teliti. Dengan menyusun daftar
poin-poin penting dalam setiap jawaban.
3) Satu Butir untuk Seluruh Peserta
Jawaban hendaknya dibaca tiap butir untuk seluruh peserta tes, agar
reliabilitas skor dapat dipertahankan.

174
4) Buat Poin-Poin Penting untuk Setiap Jawaban Soal
Agar penskoran dapat dilakukan dengan lebih obyektif, untuk setiap soal
perlu dibuat daftar poin-poin penting yang perlu ada.

2. Tes Hasil Belajar Bentuk Obyektif (Objective Test)


a. Pengertian Tes Obyektif
Tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara
objektif. Hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari
tes bentuk esai (uraian).
b. Kelebihan Tes Hasil Belajar Bentuk Obyektif
1) Mengandung lebih banyak segi-segi yang positif, misalnya lebih representatif
mewakili isi dan luas bahan, lebih objektif, dapat dihindari campur tangannya
unsur-unsur subjektif baik dari segi siswa maupun segi guru yang memeriksa.
2) Lebih mudah dan cepat cara memeriksanya karena dapat menggunakan kunci
tes bahkan alat-alat hasil kemajuan teknologi.
3) Pemeriksaannya dapat diserahkan orang lain.
4) Dalam pemeriksaan, tidak ada unsur subjektif yang mem-pengaruhi.
c. Kelemahan Tes Hasil Belajar Bentuk Obyektif
1) Persiapan untuk menyununnyajauh lebih sulit daripada tes esai karena soalnya
banyak dan harus teliti untuk menghindari kelemahan-kelemahan yang lain.
2) Soal-soalnya cenderung untuk mengungkapkan ingatan dan daya pengenalan
kembali saja, dan sukar untuk mengukur proses berpikir tingkat tinggi.
3) Banyak kesempatan untuk menebak jawaban, main untung-untungan.
4) "Kerja sama" antarsiswa pada waktu mengerjakan soal tes lebih terbuka.
d. Macam-Macam Tes Objektif
1) Tes benar-salah (true-false)
Soal-soalnya berupa pernyataan-pernyataan (statement). Statement tersebut ada
yang benar dan ada yang salah.
1. Kebaikan tes benar-salah
a. Dapat mencakup bahan yang luas dan tidak banyak memakan tempat
karena biasanya pertanyaan-pertanyaannya singkat saja.
b. Mudah menyusunnya.
c. Dapat digunakan berkali-kali.
d. Dapat dilihat secara cepat dan objektif.
175
e. Petunjuk cara mengerjakannya mudah dimengerti.
2. Keburukan tes Benar-salah
a. Sering membingungkan.
b. Mudah ditebak/diduga.
c. Banyak masalah yang tidak dapat dinyatakan hanya dengan dua
kemungkinan benar atau salah.
d. Hanya dapat mengungkap daya ingatan dan pengenalan kembali.
3. Petunjuk penyusunan
a. Tulislah huruf B-S pada permulaan masing-masing item dengan maksud
untuk mempermudah mengerjakan dan menilai (scoring).
b. Usahakan agar jumlah butir soal yang harus dijawab B sama dengan
butir soal yang harus dijawab S. Dalam hal ini hendaknya pola jawaban
tidak bersifat teratur misalnya: B-S-B. S-B-S atau SS-BB-SS-BB-SS.
c. Hindari item yang masih bisa diperdebatkan:
Contoh: B-S. Kekayaan lebih penting daripada kepandaian.
d. Hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang persis dengan buku.
e. Hindarilah kata-kata yang menunjukkan kecenderungan memberi saran
seperti yang dikehendaki oleh item yang bersangkutan, misalnya:
semuanya, tidak selalu, tidak pernah, dan sebagainya.
2) Tes pilihan ganda (multiple choice test)
Multiple choice test terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan
tentang suatu pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus
memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Atau
multiple choice test terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian
kemungkinan jawaban atau alternatif (options). Kemungkinan jawaban (option)
terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan beberapa pengecoh
(distractor).
a) Penggunaan tes pilihan ganda
Tes bentuk pilihan ganda (PG) ini merupakan bentuk tes objektif
yang paling banyak digunakan karena banyak sekali materi yang dapat
dicakup.
b) Petunjuk penyusunan
Pada dasarnya, soal bentuk pilihan ganda ini adalah soal bentuk
benar-salah juga, tetapi dalam bentuk jamak. Peserta tes diminta
176
membenarkan atau menyalahkan setiap stem dengan tiap pilihan jawaban.
Kemungkinan jawaban itu biasanya sebanyak tiga atau empat buah, tetapi
adakalanya dapat juga lebih banyak
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tes pilihan ganda
(1). Soal harus sesuai dengan indikator.
Artinya soal harus menanyakan perilaku dan materi yang hendak diukur sesuai
dengan rumusan indikator dalam kisi-kisi.
INDIKATOR :
Siswa dapat menentukan tempat terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma pada
manusia.
Contoh Soal Kurang Baik.
Pengaruh kerja pil kontrasepsi adalah ….
A. Mencegah terjadinya haid
B. Mencegah peleburan sel telur dan sel sperma
C. Mencegah pematangan sel telur *
D. Mengurangi jumlah sel telur dalam ovarium
Kunci : C
Contoh indikator :
Contoh soal di atas tidak sesuai dengan indikator karena dalam soal menanyakan
“pengaruh kerja pil kontrasepsi”, sedangkan aspek yang hendak diukur dalam
indikator adalah menentukan tempat terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma
pada manusia.
Contoh Soal yang sesuai dengan indikator.
Pembuahan sel telur oleh sel sperma pada manusia terjadi dalam ….
A. Ovarium
B. Oviduct
C. Uterus*
D. Vagina

(2). Pengecoh harus berfungsi


Contoh soal yang kurang baik :
Alat optik yang digunakan untuk memperoleh bayangan dari gambar kecil menjadi
besar adalah …
A. teleskop
177
B. proyektor
C. bioskop
D. stetoskop
Penjelasan : pilihan jawaban c dan d tidak homogen karena bukan merupakan alat optik.
Pilihan jawaban itu diperbaiki menjadi “kamera” dan “mikroskop”

(3). Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar.


Artinya, satu soal hanya mempunyai satu kunci jawaban. Maksudnya kunci jawaban
benar tidak lebih dari satu atau kurang dari satu.
Contoh soal yang kurang baik :
Faktor-faktor yang mempengaruhi kuat bunyi adalah ….
A. perioda
B. amplitudo*
C. frekuensi
D. resonansi*
Kunci jawaban: B dan D
Penjelasan:
Soal di atas kurang baik kerena memiliki 2 kunci
jawaban.
Contoh soal yang baik:
Perhatikan data berikut ini :
1. Perioda
2. Amplitudo
3. frekwensi
4. Resonansi
Dari data di atas faktor-faktor yang mempengaruhi
kuat bunyi ditunjukan oleh nomor ….
A. 1 dan 2
B. 1 dan 3
C. 2 dan 3
D. 2 dan 4 *

178
(4) Tabel,gambar,grafik,peta atau yang sejenisnya disajikan dengan jelas dan terbaca
Perhatikan gambar berikut !

Gambar 1 : Gerakan kelapa jatuh Gambar


2 : Gerak bola yang dilempar vertikal ke atas oleh seorang anak
Jenis gerak lurus yang dialami kelapa dan bola, adalah....
A. GLB
B. GLBB*
C. GLBB dipercepat
D. GLBB diperlambat

(5) Pokok sola harus dirumuskan secara jelas dan tegas.


Artinya, kemampuan / materi yang hendak diukur/ditanyakan harus jelas tigak
menimbulkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari yang dimaksudkan penulis.
Setiap butir soal hanya mengandung satu persoalan / gagasan.
Contoh soal yang kurang baik :
Pada umumnya tekanan dalam fluida dipengaruhi oleh… .
A. gesekan
B. kecepatan
C. percepatan
D. kedalaman*
Penjelasan : hindarkan penggunaan kata yang tidak pasti, seperti pada umumnya, kira-
kira. Oleh karena itu, pokok soal diperbaiki menjadi “faktor yang mempengaruhi
besarnya tekanan fluida, adalah ….”

(6) Rumusan pokok soal dan pilihan jawanban harus merupakan pernyataan yang diperlukan
saja. Artinya apabila terdapat rumusan atau pernyataan yang sebetulnya tidak diperlukan,
maka rumusan atau pernyataan itu dihilangkan saja.

179
Contoh soal yang kurang baik :
Mesin USG (Ultrasonografi) menggunakan gelombang suara berfrekuensi sangat tinggi
untuk membuat gambar di layar komputer. USG kehamilan antara lain bermanfaat sebagai
berikut, kecuali… .
A. Diagnosis dan konfirmasi awal kehamilan
B. Melihat posisi dan kondisi plasenta
C. Memeriksa denyut jantung janin.
D. Menghitung usia ibu hamil dan beratnya.
Contoh soal yang lebih baik :
Manfaat dari USG (Ultrasonografi) pada kasus kehamilan adalah, kecuali… .
A. Diagnosis dan konfirmasi awal kehamilan
B. Melihat posisi dan kondisi plasenta
C. Memeriksa denyut jantung janin.
D. Menghitung usia ibu hamil dan beratnya.

(7) Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar.
Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat kata, kelompok kata, atau ungkapan
yang dapat memberikan petunjuk ke arah jawaban yang benar.
Contoh soal yang kurang baik
Generator listrik di Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura digerakkan oleh … .
A. tenaga air*
B. tenaga uap panas
C. tenaga gas bumi
D. tenaga solar

(8) Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda.
Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat dua kata atau lebih yang mengandung
arti negatif. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalahan penafsiran siswa terhadap arti
pernyataan yang dimasud. Untuk keterampilan bahasa, penggunaan negatif ganda
diperbolehkan bila aspek yang akan diukur justru pengertian tentang negatif ganda itu
sendiri.

180
Contoh soal kurang baik
Nama bangun geometri di bawah ini bukan merupakan bangun ruang kecuali … .
A. segitiga samakaki
B. segitiga samasisi
C. prisma segitiga*
D. bujur sangkar
Penjelasan : pokok soal diperbaiki menjadi : “Nama bangun geometri di bawah ini yang
merupakan bangun ruang adalah … .

(9) Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi.
Artinya, semua pilihan jawaban berasal dari materi yang sama seperti yang ditanyakan
oleh pokok soal, penulisannya harus setara, dan semua pilihan jawaban harus berfungsi.
Contoh soal kurang baik.
Fungsi berikut yang mempunyai nilai minimum -4 adalah ….
A. f(x) = x² + 3x – 10 C. f(x)= x³ + 4 x² - 5x
B. f(x) = x² + x – 6 D. f(x) = x² + 6x + 5 *
Penjelasan :
Pilihan c tidak homogen dari segi materi karena mempergunakan fungsi berderajar tiga,
sedangkan pilihan lainnya merupakan fungsi berderajat dua.
Contoh Soal yang lebih baik.
Fungsi berikut yang memiliki nilai minimum - 4 adalah ….
A. f(x) = x² + 3x – 10 C. f(x)= x² - 4 x² - 5x
B. f(x) = x² + x – 6 D. f(x) = x² + 6x + 5 *

(10) Panjang rumusan harus relatif sama.


Kaidah ini diperlukan karena adanya kecendrungan siswa memilih jawaban yang paling
panjang karena seringkali jawaban yang lebih panjang itu lengkap dan merupakan kunci
jawaban.
Contoh soal kurang baik
Manfaat dari USG (Ultrasonografi) pada kasus kehamilan adalah, kecuali… .
A. Diagnosis dan konfirmasi pasca kelahiran*
B. Melihat posisi dan kondisi plasenta
C. Memeriksa denyut jantung janin.

181
D. Mengetahui bila Anda memiliki lebih dari satu bayi (kembar), karena Kehamilan
kembar meningkatkan risiko hambatan pertumbuhan janin

Penjelasan : pilihan D diperbaiki menjadi : “Mengetahui bila Anda memiliki lebih dari
satu bayi (kembar)”

(11) Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan “semua pilihan jawaban di atas salah
atau benar”.
Artinya, dengan adanya pilihan jawaban seperti ini, maka secara materi pilihan jawaban
berkurang satu karena pernyataan ini bukan merupakan materi yang ditanyakan dan
pernyataan itu menjadi tidak homogen.
Contoh soal Kurang baik.
Peristiwa menempelnya serbuk sari di kepala putik pada proses penyerbukan dinamakan
….
A. peleburan sel
B. pembuahan
C. fertilisasi
D. semua jawaban salah *
Penjelasan:
Pilihan jawaban kurang baik karena mengandung pernyataan “semua jawaban salah”.
Hal ini akan menyebabkan secara materi pilihan jawaban berkurang satu, sebab
pernyataan tersebut bukan merupakan materi yang ditanyakan.
Perbaikan soal:
Peristiwa menempelnya serbuk sari di kepala putik pada proses penyerbukan dinamakan
….
A. persarian*
B. pembuahan
C. fertilisasi
D. peleburan sel

(12) Pilihan jawaban berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar
kecilnya nilai angka atau kronologis waktunya.
Artinya, pilihan jawaban yang berbentuk angka harus disusun berdasarkan besar kecilnya
nilai angka, dari nilai angka paling kecil berurutan sampai nilai angka yang paling besar,
182
dan sebaliknya. Demikian juga pilihan jawaban yang menunjukkan waktu harus disusun
secara kronologis. Penyusunan secara urut dimaksudkan untuk memudahkan siswa
melihat pilihan jawaban.
Contoh soal yang kurang baik
Hasil dari 4³ adalah … .
A. 7
B. 64*
C. 12
D. 81
Penjelasan : pilihan jawaban diurutkan dari kecil ke besar atau sebaliknya, seperti 7, 12,
64*, 81 atau 81, 64*, 12, 7
(13) Setiap soal harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
(a) Penggunaan kalimat (harus ada unsur subjek, predikat dan harus menghindari
pernyataan yang hanya berupa anak kalimat)
Contoh soal kurang baik.
Di dalam perkembang biakan rhizopus secara generatif adalah dengan cara
pembentukan ….
A. askospora C. zigospora*
B. basidiospora D. sporangiospora

Penjelasan :
Subjek tidak jelas karena diantar oleh kata “di dalam”. Oleh karena itu kata
“Di dalam” dihilangkan.

(b) Pemakaian kata (Pilihlah kata-kata yang tepat dengan pokok masalah yang itanyakan.
Penulisan kata perlu disesuaikan dengan kebenaran penulisan baku)
Contoh soal kurang baik.
Salah satu paktor yang mempengaruhi harga konstanta kesetimbangan reaksi kimia
adalah ….
A. Volume
B. Tekanan
C. Suhu*
D. Sipat sat
Penjelasan :
183
Penulisan kata baku untuk : paktor, konsetanta, sipat,
sat adalah faktor, konstanta, sifat dan zat.

(14) Penyebaran Kunci Jawaban


1. Harus dibuat acak
2. Jumlah pilihan jawaban dalam satu perangkat mengikuti rumus :
a. maksimum = Jumlah soal + 3 Jumlah pilihan Jawaban
b. Minimum = Jumlah soal - 3 Jumlah Pilihan Jawaban

Contoh : Jumlah Soal PG untuk IPA adalah 40 soal.


Tiap soal jumlah optionnya = 4 buah (ABCD), maka :
a. Maksimum = 40 + 3 = 13 Soal
4
b. Minimum = 40 - 3 = 7 soal
4

3) Menjodohkan (matching test)


Matching test dapat kita ganti dengan istilah mempertandingkan,
mencocokkan, memasangkan, atau menjodohkan. Matching test terdiri atas
satu seri pertanyaan dan satu seri jawaban.
Petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes bentuk
matching ialah:
(1) Seri pertanyaan-pertanyaan dalam matching test hendaknya tidak
lebih dari sepuluh soal (item).
(2) Jumlah jawaban yang harus dipilih, harus lebih banyak daripada
jumlah soalnya (lebih kurang 1 1/2 kali).
(3) Antara item-item yang tergabung dalam satu seri matching test harus
merupakan pengertian-pengertian yang benar-benar homogen.
4) Tes isian (completion test)
a) Pengertian
Completion test biasa kita sebut dengan istilah tes isian, tes
menyempurnakan, atau tes melengkapi. Completion test terdiri atas kalimat-
kalimat yang ada bagian-bagiannya yang dihilangkan. Bagian yang

184
dihilangkan atau yang harus diisi oleh murid ini adalah merupakan
pengertian yang kita minta dari siswa.
b) Petunjuk penyusunan
Saran-saran dalam menyusun tes bentuk isian ini adalah sebagai berikut:
(1) Perlu selalu diingat bahwa kita tidak dapat merencanakan lebih dari
satu jawaban yang kelihatan logis.
(2) Jangan mengutip kalimat/pernyataan yang tertera pada buku/ catatan.
(3) Diusahakan semua tempat kosong hendaknya sama panjang.
(4) Diusahakan hendaknya setiap pernyataan jangan mempunyai lebih dari
satu tempat kosong.
(5) Jangan mulai dengan tempat kosong.

e. Tes objektif, sebaiknya digunakan dalam situsasi sebagai berikut:


1) Kelompok yang akan dites banyak dan tesnya akan digunakan lagi berkali-kali.
2) Skor yang diperoleh diperkirakan akan dapat dipercaya (mem-punyai reliabilitas
yang tinggi).
3) Guru lebih mampu menyusun tes bentuk objektif daripada tes bentuk esai (uraian).
4) Hanya mempunyai waktu sedikit untuk koreksi dibandingkan dengan waktu yang
digunakan untuk menyusun tes. Pada umumnya, guru seyogianya menggunakan
dua macam bentuk tes ini dalam perbandingan 3:1, yaitu 3 bagian untuk tes
objektif, dan 1 bagian untuk tes uraian.
f. Petunjuk Operasional Penyusunan Tes Obyektif
1) Untuk dapat menyusun butir-butir soal tes obyektif yang bermutu tinggi, pembuat
soal tes (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) harus membiasakan diri dan sering
berlatih, sehingga dari waktu ke waktu ia akan dapat merancang dan menyusun
butir-butir soal tes obyektif dengan lebih baik dan lebih sempurna.
2) Setiap kali alat pengukur hasil belajar berupa tes obyektif itu selesai dipergunakan,
hendaknya dilakukan penganalisisan item, dengan tujuan dapat mengidentifikasi
butir-butir item mana yang sudah termasuk dalam kategori “baik” dan butir-butir
item mana yang masih termasuk dalam kategori “kurang baik” dan “tidak baik”.
3) Dalam rangka mencegah timbulnya permainan spekulasi dan kerjasama yang tidak
sehat di kalangan peserta tes, perlu disiapkan terlebih dahulu suatu norma yang
memperhitungkan faktor tebakan.

185
4) Agar tes obyektif di samping mengungkap aspek ingatan atau hafalan juga dapat
mengungkap aspek-aspek berpikir yang lebih dalam, maka dalam merancang dan
menyusun butir-butir item tes obyektif hendaknya pemberi tes (guru)
menggunakan alat bantu berupa Tabel Spesifikasi Soal yang sering dikenal dengan
istilah kisi-kisi soal atau blue print.
5) Dalam menyusun kalimat soal-soal obyektif, bahasa atau istilah-istilah yang
dipergunakan hendaknya cukup sederhana, ringkas, jelas dan mudah dipahami
oleh peserta tes.
6) Untuk mencegah terjadinya silang pendapat atau perdebatan antara peserta tes
dengan pemberi tes (guru), dalam menyusun butir-butir soal tes obyektif
hendaknya diusahakan sungguh-sungguh agar tidak ada butir-butir yang dapat
menghasilkan penafsiran ganda atau kerancuan dalam pemberian jawabannya.
7) Cara memenggal atau memutus kalimat, membubuhkan tanda-tanda baca seperti
titik, koma dan sebagainya, penulisan tanda-tanda aljabar seperti kuadrat, akar dan
sebagainya, hendaknya ditulis secara benar, usahakan agar tidak terjadi kesalahan
ketik atau kesalahan cetak, sehingga tidak mengganggu konsentrasi peserta tes
dalam memberikan jawaban soal.
8) Dengan cara bagaimanakah peserta tes seharusnya memberikan jawaban terhadap
butir-butir soal yang diajukan dalam tes, hendaknya diberikan pedoman atau
petunjuknya secara jelas dan tegas.

g. Pembuatan Tabel Spesifikasi Soal Sebagai Salah Satu Upaya dalam Mengatasi
Kelemahan Tes Obyektif
1) Pengertian tabel Spesifikasi
Tabel spesifikasi yang juga dikenal dengan istilah kisi-kisi soal atau blue print
adalah sebuah tabel analisis yang di dalamnya dimuat rincian materi tes dan tingkah
laku beserta proporsi yang dikehendaki oleh pemberi tes (guru), di mana pada tiap
petak (sel) dari tabel tersebut diisi dengan angka-angka yang menunjukkan
banyaknya butir soal yang akan dikeluarkan dalam tes hasil belajar bentuk obyektif.
Tabel spesifikasi itu memuat informasi-informasi yang berhubungan dengan
butir-butir soal tes yang akan disusun. Di dalamnya, dimuat tentang bagian-bagian
dari materi pelajaran yang akan diukur (diteskan), taraf kompetensi yang akan
diungkap, banyaknya butir soal untuk masing-masing bagian dan keseluruhan tes,
taraf kesukaran masing-masing soal dan sebagainya.
186
TEKNIK PELAKSANAAN TES HASIL BELAJAR
Dalam praktek, pelaksanaan tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis
(tes tertulis), dengan secara lisan (tes lisan) dan dengan tes perbuatan.
1. Teknik Pelaksanaan Tes Tertulis
Dalam melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu
sebagaimana dikemukakan berikut ini.
b. agar dalam mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat ketenangan, seyogyanya
ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh dari keramaian, kebisingan,
suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya orang.
c. ruangan tes harus cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat duduk diatur
dengan jarak tertentu yang memungkinkan tercegahnya kerja sama yang tidak sehat
di antara peserta tes.
d. ruangan tes sebaiknya memiliki system pencahayaan dan pertukaran udara yang
baik.
e. jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas tempat
penulis, maka sebelum tes dilaksanakan hendaknya sudah disiapkan alat berupa alat
tulis yang terbuat dari triplex, hardboard atau bahan lainnya.
f. agar peserta tes dapat memulai mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya
lembar soal-soal tes diletakkan secara terbalik.
g. dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar.
h. sebelum berlangsungnya tes, hendaknya sudah ditentukan lebih dahulu sanksi yang
dapat dikenakan kepada peserta tes yang berbuat curang.
i. sebagai bukti mengikuti tes, harus disiapkan daftar hadir yang harus ditandatangani
oleh seluruh peserta tes.
j. jika waktu yang ditentukan telah habis, hendaknya peserta tes diminta untuk
menghentikan pekerjaannya dan secepatnya meninggalkan ruangan tes.
k. untuk mencegah timbulnya berbagai kesulitan di kemudian hari, pada Berita Acara
Pelaksanaan Tes harus dituliskan secara lengkap, berapa orang peserta tes yang hadir
dan siapa yang tidak hadir, dengan menuliskan identitasnya (nomor urut, nomor
induk, nomor ujian, nama dan sebagainya), dan apabila terjadi penyimpangan-
penyimpangan atau kelainan-kelainan harus dicatat dalam berita acara pelaksanaan
tes tersebut.

187
2. Teknik Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa petunjuk praktis berikut ini kiranya akan dapat dipergunakan sebagai
pegangan dalam pelaksanaan tes lisan.
a. sebelum tes lisan dilaksanakan, seyogyanya pemberi tes (guru) sudah melakukan
inventarisasi berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada peserta tes dalam tes
lisan tersebut.
b. setiap butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam tes lisan itu, juga harus
disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban betulnya.
c. jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh peserta
tes menjalani tes lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat ditentukan
di saat masing-masing peserta tes selesai dites.
d. tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya jangan sampai
menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi.
e. dalam rangka menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes
yang dilaksanakan secara lisan itu, pemberi tes (guru) hendaknya jangan sekali-kali
"memberikan angin segar" atau "memancing-mancing" dengan kata-kata, kalimat-
kalimat atau kode-kode tertentu yang sifatnya menolong peserta tes tertentu alasan
"kasihan" atau karena pemberi tes (guru) menaruh "rasa simpati" kepada peserta tes
yang ada dihadapinya itu.
f. tes lisan harus berlangsung secara wajar.
g. sekalipun acapkali sulit untuk dapat diwujudkan, namun sebaiknya pemberi tes
(guru) mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang pasti.
h. pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes lisan hendaknya dibuat bervariasi.
i. sejauh mungkin dapat diusahakan agar tes lisan itu berlangsung secara individual
(satu demi satu).

3. Teknik Pelaksanaan Tes Perbuatan


Tes perbuatan pada umumnya digunakan untuk mengukur taraf kompetensi yang
bersifat keterampilan (psiko-motorik), di mana penilaiannya dilakukan terhadap proses
penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh peserta tes setelah melaksanakan
tugas tersebut. Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pemberi tes (guru):
a. pemberi tes (guru) harus mengamati dengan secara teliti, cara yang ditempuh oleh
peserta tes dalam menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
188
b. agar dapat dicapai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya pemberi tes
(guru) jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi peserta tes
yang sedang mengerjakan tugas tersebut.
c. dalam mengamati peserta tes yang sedang melaksanakan tugas itu, hendaknya pemberi tes
(guru) telah menyiapkan instrumen berupa lembar penilaian yang di dalamnya telah
ditentukan hal-hal apa sajakah yang harus diamati dan diberikan penilaian.

PEMANFAATAN HASIL TES


Manfaat yang dapat diperoleh melalui tes, pengukuran dan penilaian antara lain
sebagaimana diuraikan berikut ini:
1. Seleksi
Menentukan naik tidaknya atau lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini kita dasarkan
pada interpretasi kita terhadap taraf kesiapan siswa tersebut, Dalam penggunaan ini, tes
yang dimaksud adalah tes sumatif. Penentuan ini dilakukan setelah hasil tes tersebut
dipadukan dengan hasil tes-tes formatif atau sub sumatif sebelum.
2. Penempatan
Tes untuk keperluan ini terutama didasarkan pada informasi tentang apa yang telah
dan apa yang belum dikuasai oleh seseorang. Dengan demikian seseorang yang
mengikuti pembelajaran fisika dapat ditempatkan pada kelas yang cocok dengan
kemampaunnya.
3. Diagnosis dan remedial
Hasil tes diperlukan untuk mengetahui perlu tidaknya suatu pelajaran diulang
kembali atau tidak. Hal ini kita dasarkan pada interpretasi terhadap prestasi kelompok.
Dalam penggunaan ini, tes yang dimaksud adalah tes formatif. Tes dirancang dengan
maksud untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan seseorang dalam program
pendidikan. Setelah tes ini dilakukan maka tahap berikutnya dilaksanakan program
remedial.
4. Umpan balik
Hasil suatu pengukuran yang berupa skor tes dapat digunakan untuk
keperluan umpan balik baik untuk individu maupun untuk keperluan dosen atau
pengajar. Skor yang digunakan sebagai umpan balik biasanya skor
yang telah diinterprestasikan baik dengan menggunakan norm reference
test maupun criterion reference test.

189
5. Memotivasi dan membimbing belajar
Hasil tes seyogyanya dapat memotivasi untuk lebih berprestasi, dan dapat
menjadi pembimbing bagi mereka untuk belajar. Ketika hasil tes ditunjukkan, biasanya
siswa berminat sekali untuk mengetahuinya, guru dapat memanfaatkan minat yang besar
tersebut untuk memberikan dorongan kepada siswa untuk belajar lebih giat. Dalam
penggunaan ini, tes yang dimaksud adalah tes formatif.
6. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan
Perbaikan kurikulum dan program pendidikan yang baik hendaknya
didasarkan pada hasil penilaian pendidikan yang tepat pula, sehingga hal itu
tidak sia-sia belaka.
7. Pengembangan ilmu
Hasil tes, pengukuran dan penilaian yang tepat sudah jelas akan
dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan teori dasar pendidikan.
8. Memberikan laporan kepada orang tua.
Laporan diberikan pada orang tua siswa, dengan tujuan agar dia memiliki
gambaran oyektif tentang perkembangan anaknya, untuk kemudian menyikapinya.
Dalam penggunaan ini, tes yang dimaksud adalah tes sumatif. Pemberian laporan ini
dilakukan setelah hasil tes tersebut dipadukan dengan hasil tes-tes formatif atau sub
sumatif sebelumnya.

ETIKA TES, PENGUKURAN DAN PENILAIAN


Kegiatan tes, pengukuran dan penilaian berperan sangat besar dalam sistem
pendidikan dan sistem persekolahan.karena pentingnya itu maka setiap tindakan tes,
pengukuran dan penilaian selalu menimbulkan kritik yang tajam dari masyarakat. Kritik
tersebutt tidak jarang dating dari para ahli, disamping dating dari orang tua yang secara
langsung atau tidak langsung berkepentingan terhadap pengujian. Diantara beberapa kritik
tersebut ada beberapa yang harus menjadi perhatian sungguh sunggup oleh para praktisi
dan ahli tes, pengukuran dan evaluasi. Kritik tersebut antara lain:
1. Tes senantiasa akan mencampuri rahasia pribadi peserta tes. Setiap tes berusaha
mengetahui pengetahuan dan kemampuan peserta tes, yang dapat berarti membuka
kelemahan dan kekuatan pribadi seseorang. Didalam masyarakat yang sangat
melindungi akan hak dan rahasia pribadi,masalah ini seslalu akan menjadi gugatan atau
keluhan.

190
2. Tes selalu menimbulkan rasa cemas peserta tes.memang sampai bats tertentu rasa cemas
itu dibutuhkan untuk dapat mencapai prestasi terbaik, tetapi tes acapkali menimbulkan
rasa cemas yang tidak perlu, yang justru dapat menghambat seseorang mampu
mendemonstrasikan kemampuan terbaiknya.
3. Tes acapkali justru menghukum peserta didik yang kreatif.karena tes itu selalu menuntut
jawaban yang sudah ditentukan pola dan isinya, maka tentu saja hal itu tidak memberi
ruang gerak yang cukup bagi anak yang kreatif.
4. Tes selalu terikat pad kebudayaan tertentu. Tidak ada tes hasil belajar yang bebas budaya.
Karena itu kemampuan peserta tes untuk memberi jawaban terbaik turut ditentukan oleh
kebudayaan penyusun tes.
5. Tes hanya mengukur hasil belajar yang sederhana dan yang remeh. Hampir tidak pernah
ada tes hasil belajar yang mampu mengungkapkan tingkah laku peserta didik secara
menyeluruh, yang justru menjadi tujuan utama pendidikan formal apapun.

Karena banyak kritik yang tajam dari masyarakat terhadap tes hasil pendidikan, maka
para pendidik harus dapat melakukan tes dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu perlu
ditegakan beberapa etika tes, yang membedakan tes yang etik dan tindakan yang tidak etik
dalam pelaksanaan tes secara professional. Praktek tes hasil belajar yang etik terutama
mencangkup empat hal utama :
1. Kerahasiaan Hasil Tes
Setiap pendidik dan pengajar wajib melindungi kerahasiakan hasil tes, baik secara
hasil individual maupun secara kelompok. Hasil tes hanya dapat disampaikan kepada
orang lain bila :
a) Ada izin dari peserta didik yang bersangkutan atau orang yang bertanggung jawab
terhadap peserta didik (bagi peserta didik yang belum dewasa). Jadi dengan
demikian praktek menempelkan hasil tes di papan pengumuman dengan identitas
jelas peserta tes, merupakan pelanggaran terhadap etika ini.
b) Ada tanda-tanda yang jelas terhadap hasil tes tersebut menunjukan gejala yang
membahayakan dirinya atau membahayakan kepentingan orang lain.
c) Bila penyampaian hasil tes tersebut kepada orang lain jelas-jelas menguntungkan
peserta tes.
2. Keamanan tes
Tes merupakan alat pengukur yang hanya dapat digunakan secara professional.
Dengan demikian tes tidak dapat digunakan diluar batas-batas yang ditentukan oleh
191
profesionalisme pekerjaan guru. Dengan demikian maka setiap pendidik harus dapat
menjamin keamanan tes, baik sebelum maupun sesudah digunakan.
3. Interpretasi Hasil Tes
Hal yang paling mengandung kemungkinan penyalahgunaan tes adalah
penginterpretasian hasil tes secara salah. Karena itu maka interpretasi hasil tes harus
diikuti tanggung jawab professional. Bila hasil tes diinterpretasi secara tidak patut,
dalam jangka panjang akan dapat membahayakan kehidupan peserta tes.
4. Penggunaan Tes
Tes hasil belajar haruslah digunakan secara patut. Bila tes hasil belajar tertentu
merupakan tes baku, maka tes tersebut harus digunakan di bawah ketentuan yang
berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut harus digunakan dibawah ketentuan yang
berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut. Tak ada tes baku yang boleh digunakan
diluar prosedur yang ditapakan oleh tes itu sendiri.

Disamping beberapa prinsip seperti yang diuraikan di atas, ada beberapa petunjuk
praktis yang hendaknya ditaati oleh pendidik dalam tes:
1. Pelaksaan tes hendaknya diberi tahu terlebih dahulu kepada peserta tes. Hanya karena
pertimbangan tertentu, yang sangat penting yang dapat membenarkan pendidik tidak
memberi tahu terlebih dahulu kepada peserta tes tentang tes yang akan dilaksanakan.
Bahkan kisi-kisi tes sebaiknya diberi tahu kepada peserta tes sebelum melaksanakan
tes.
2. Sebaiknya pendidik menjelaskan cara menjawab yang dituntut dalam suatu tes.
Petunjuk menjawab tes bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan. Petunjuk yang
bersifat menjebak harus dihindari.
3. Sebaiknya pendidik justru memotivasi peserta tes mengerjakan tesnya secara baik.
Jangan sampai seorang pendidik justru menakut-nakuti peserta didik.
4. Bila pendidik menggunakan tes baku, maka hendaknya pendidik tersebut bertanggung
jawab penuh terhadap keamanan tes tersebut. Tidak ada tes baku yang boleh digunakan
dalam latihan.
5. Seorang pendidik dapat menggunakan hasil tes untuk mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan peserta tes, asalkan hal tersebut tetap menjadi rahasia peserta tes dan
pendidik yang bersangkutan.
6. Guru hendaknya menghindari diri dari keterlibatan dalam bimbingan tes yang dapat
diperkirakan akan menggangu proses hasil belajar peserta didik. Hal ini menjadi
192
penting bila guru yang bersangkutan justru terlibat dalam penyusunan butir tes yang
digunakan.
7. Adalah tidak etik bila seorang guru mengembangkan butir soal atau perangkat soal yang
paralel dengan suatu tes baku dengan maksud untuk digunakan dalam bimbingan tes.
8. Adalah tidak etik untuk mendiskriminasikan peserta didik tertentu atau kelompok
tertentu yang boleh mengikuti suatu tes atau melarang mengikuti tes.
9. Adalah tidak etik untuk memperpanjang waktu atau menyingkat waktu yang telah
ditentukan oleh petunjuk tes.
10. Guru tidak boleh meningkatkan rasa cemas peserta tes dengan penjelasan yang tidak
perlu.

PERAKITAN BUTIR SOAL


A. Pengertian
Merakit soal adalah menyusun soal yang siap pakai menjadi satu perangkat/paket tes
atau beberapa paket tes paralel. Dasar acuan dalam merakit soal adalah tujuan tes dan kisi-
kisinya. Untuk memudahkan pelaksanaannya, guru harus memperhatikan langkah-langkah
perakitan soal. Dalam bagian ini juga diuraikan penskoran jawaban soal. Pemeriksaan
terhadap jawaban peserta didik dan pemberian angka merupakan langkah untuk
mendapatkan informasi kuantitatif dari masing-masing peserta didik. Pada prinsipnya,
penskoran soal harus diusahakan agar dapat dilakukan secara objektif. Artinya, apabila
penskoran dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sama tingkat kompetensinya, akan
menghasilkan skor atau angka yang sama, atau jika orang yang sama mengulangi proses
penskoran akan dihasilkan skor yang sama.

B. Langkah-langkah Perakitan Soal


Para pendidik dapat merakit soal menjadi suatu paket tes yang tepat, apabila para
pendidik memperhatikan langkah-langkah perakitan soal. Berikut langkah-langkah
perakitan soal.
1. Mengelompokkan soal-soal yang mengukur kompetensi dan materi yang sama,
kemudian soal-soal itu ditempatkan dalam urutan yang sama.
2. Memberi nomor urut soal didasarkan nomor urut soal dalam kisi-kisi.
3. Mengecek setiap soal dalam satu paket tes apakah soal-soalnya sudah bebas dari
kaidah “Setiap soal tidak boleh memberi petunjuk jawaban terhadap soal yang lain”.
4. Membuat petunjuk umum dan khusus untuk mengerjakan soal.
193
5. Membuat format lembar jawaban.
6. Membuat lembar kunci jawaban dan petunjuk penilaiannya.
7. Menentukan/menghitung penyebaran kunci jawaban (untuk bentuk pilihan ganda),
dengan menggunakan rumus berikut.

Jumlah soal
Penyebaran kunci jawaban =  + 3
Jumlah pilihan jawaban

8. Menentukan soal inti (anchor items) sebanyak 10 % dari jumlah soal dalam satu paket.
Soal inti ini diperlukan apabila soal yang dirakit terdiri dari beberapa tes paralel.
Tujuannya adalah agar antar tes memiliki keterkaitan yang sama. Penempatan soal inti
dalam paket tes diletakkan secara acak.
9. Menentukan besarnya bobot setiap soal (untuk soal bentuk uraian)
Bobot soal adalah besarnya angka yang ditetapkan untuk suatu butir soal dalam
perbandingan (ratio) dengan butir soal lainnya dalam satu perangkat tes. Penentuan
besar kecilnya bobot soal didasarkan atas tingkat kedalaman dan keluasan materi yang
ditanyakan atau kompleksitas jawaban yang dituntut oleh suatu soal. Untuk
mempermudah perhitungan/penentuan nilai akhir, jumlah bobot keseluruhan pada satu
perangkat tes uraian ditetapkan 100. Perakit soal harus dapat mengalokasikan besarnya
bobot untuk setiap soal dari bobot yang telah ditetapkan. Bobot suatu soal yang sudah
ditetapkan pada satu perangkat tes dapat berubah bila soal tersebut dirakit ke dalam
perangkat tes yang lain.

10. Menyusun tabel konversi skor


Tabel konversi sangat membantu para pendidik pada saat menilai lembar
jawaban peserta didik. Terutama bila dalam satu tes terdiri dari dua bentuk soal, misal
bentuk pilihan ganda dan uraian atau tes tertulis dan tes praktik. Skor dari soal bentuk
pilihan ganda tidak dapat langsung digabung dengan skor uraian. Hal ini karena tingkat
keluasan dan kedalaman materi yang ditanyakan atau penekannya dalam kedua bentuk
itu tidak sama. Nilai keduanya dapat digabung setelah keduanya ditentukan bobotnya.
Misalnya, untuk soal bentuk pilihan ganda (45 soal dengan skor maksimum 45)
bobotnya 60 % dan bentuk uraian (5 soal dengan skor maksimum 20) bobotnya 40 %.
Untuk menentukan skor jadinya adalah skor perolehan peserta didik yang

194
bersangkutan dibagi skor maksimum kali bobot. Tabel konversi ini merupakan tabel
konversi sederhana atau klasik.
Untuk memudahkan penggunaan tabel konversi, kita ingat proses penyamaan
skala atau konversi alat ukur suhu yang didasarkan pada konversi rumus yang sudah
standar, misal skala pengukuran: Celcius (titik awal 00 titik didih 1000). Reamur (titik
awal 00 titik didih 800), Fahrenheit (titik awal 320 titik didih 2120 ), Kelvin (titik awal
2370 titik didih 3730). Masing-masing skala pengukuran ini bukan untuk dibandingkan
atau sebagai penentu kelulusan atau sebagai pengatrol nilai, namun masing-masing
memiliki skala sendiri-sendiri. Keberadaan skala ini tidak bisa dikatakan bahwa orang
yang menggunakan skala pengukuran Celcius dan Reamur akan selalu dirugikan
karena keduanya memiliki nilai 0 sampai dengan 4 (bila acuan kriterianya 4,01),
sedangkan orang yang menggunakan Fahrenheit dan Kelvin selalu diuntungkan karena
titik awalnya 32 dan 237. Demikian pula dengan konversi nilai dalam ulangan atau
ujian. Guru atau panitia ujian mau menggunakan konversi yang mana. Dalam ilmu
pengukuran, konversi dapat disusun melalui konversi biasa dan konversi yang
terkalibrasi dengan model respon butir. Apabila UN atau US sudah mempergunakan
konversi model respon butir, semua nilai peserta didik harus mengacu pada model
konversi ini, tidak membandingkan dengan konversi lain/biasa.
Konversi biasa (model pengukuran secara klasik) penggunaannya biasa digunakan
guru di sekolah, yaitu untuk memperoleh nilai murni peserta didik. Bila menghendaki
skor maksimum 10 digunakan rumus (skor perolehan: skor maksimum) x 10 dan bila
menggunakan skor maksimum 100 digunakan nilai konversi dengan rumus (skor
perolehan: skor maksimum) x 100 atau bila menggunakan skor maksimum 4
digunakan nilai konversi dengan rumus (skor perolehan : skor maksimum) x 4.
Konversi seperti ini memiliki dua kelemahan, pertama adalah bahwa setiap butir soal
dihitung memiliki tingkat kesukaran yang sama. Artinya peserta didik manapun yang
menjawab benar 40 dari 50 butir soal dalam satu tes (terserah nomor butir soal berapa
yang benar, apakah nomor 1 benar, nomor 2 salah, nomor 3 benar atau sebaliknya dan
seterusnya, yang penting benar 40 soal) peserta didik yang bersangkutan akan
memperoleh nilai 8 (untuk konversi skor maksimum 10), 80 (untuk konversi skor
maksimum 100) 0,2 (untuk konversi skor maksimum 4). Kelemahan kedua adalah
bahwa tingkat kesukaran butir soal tidak ditempatkan/dikalibrasi pada skala yang
sama. Artinya bahwa butir-butir soal tidak disusun berdasarkan tingkat kesukarannya
dan kemampuan peserta didik sehingga model konversi ini belum bisa menentukan
195
nilai murni peserta didik yang sebenarnya. Seharusnya hanya peserta didik yang
memiliki kemampuan tinggi (misal pada skala kemampuan 1, kemampuan 2,
kemampuan 3) yang dapat menjawab benar semua soal dalam tes pada skala yang
bersangkutan atau tingkat kesukaran butir (mudah, sedang, sukar) sesuai dengan
kemampuan peserta didik yang bersangkutan. Apabila sekolah mempergunakan
konversi biasa seperti ini justru akan merugikan peserta didik yang memiliki
kemampuan lebih tinggi.
Konversi yang terkalibrasi adalah konversi nilai yang disusun berdasarkan
kemampuan peserta didik dari tingkat kesukaran butir soal yang terkalibrasi dengan
model Rasch (Item Response Theory). Untuk memahami model terkalibrasi ini
diperlukan pengertian berikut. Setiap jumlah jawaban yang benar soal, misal 1 sampai
dengan 50, masing-masing butir memiliki tingkat kemampuan (untuk teori klasik tidak
ada). Tingkat kemampuan ini diperoleh dari rumus model Rasch P= (e (-)) : (1 + e (-
): P adalah peluang menjawab benar satu butir soal. E = 2,7183,  = tingkat
kemampuan peserta didik, dan  = tingat kesukaran butir soal. Kemudian nilai abilitas
(misal -3,00 sampai dengan +3,00) ditransformasi ke dalam skala 0-10, 0-100, atau 0-
4. Misal untuk dapat ditransformasi ke dalam skala 0-100 diperlukan rata-rata 50 dan
standar deviasi 5, sehingga untuk membuat tabel konversi mempergunakan rumus
Y=50+5X. Y=nilai peserta didik dan X adalah nilai abilitas. Dengan rumus inilah
konversi terkalibrasi dapat disusun. Jadi dalam konversi yang terkalibrasi skalanya
didasarkan dua hal penting, yaitu tingkat kesukaran dan tingkat kemampuan peserta
didik. Soal ditempatkan pada tingkat kesukaran dan kemampuan peserta didik yang
telah disamakan skalanya. Bila tes sudah disamakan skalanya, siapapun yang
mengambil tes pada paket yang mudah, sedang, dan sukar, masing-masing tes masih
berada pada skala yang sama dan bisa dibandingkan. Oleh karena itu, tes yang
diberikan kepada peserta didik sudah selayaknya harus sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik. Apabila kemampuan peserta didik dalam memahami materi
yang diajarkan guru itu tinggi (sudah tercapai target kompetensinya), peluang
menjawab benar soal pasti tinggi. Namun sebaliknya bila kemampuan peserta didik
dalam memahami materi yang diajarkan guru itu rendah (belum tercapai target
kompetensinya), peluang menjawab benar soal pasti rendah. Apakah tesnya berbentuk
tes lisan, tertulis (soalnya berbentuk pilihan ganda, uraian, isian, dll.), atau perbuatan.
Model Rasch merupakan salahsatu model dalam teori respon butir yang

196
menitikberatkan pada parameter tingkat kesukaran butir soal. Model ini telah
digunakan di berbagai kalangan seperti untuk sertifikasi ujian kedokteran di USA,
sejumlah program penilaian sekolah di USA, program penilaian di Australia, studi
matematik dan science internasional ketiga, National School English Literacy Survey
di Australia, equating tes English di Provinsi Guandong Cina, dan beberapa tes
diagnostic. Model ini banyak digunakan orang sebagai pendekatan analitik standard
untuk kalibrasi instrumen karena modelnya sederhana, elegant, hemat, atau efektif dan
efisien.
Konversi nilai berdasarkan Model Rasch memiliki keunggulan bila
dibandingkan dengan konversi nilai berdasarkan model pengukuran secara klasik.
Keterbatasan model pengukuran secara klasik adalah seperti berikut. (1) Tingkat
kemampuan dalam teori klasik adalah “true score”. Jika tes sulit artinya tingkat
kemampuan peserta didik rendah. Jika tes mudah artinya tingkat kemampuan peserta
didik tinggi. (2) tingkat kesukaran soal didefinisikan sebagai proporsi peserta didik
dalam kelompok yang menjawab benar soal. Mudah/sulitnya butir soal tergantung
pada kemampuan peserta didik yang dites dan keberadaan tes yang diberikan. (3) Daya
pembeda, reliabilitas, dan validitas soal/tes didefinisikan berdasarkan grup peserta
didik. Artinya bahwa konversi nilai berdasarkan teori tes klasik memiliki kelemahan,
yaitu (1) tingkat kesukaran dan daya pembeda tergantung pada sampel; (2) penggunaan
metode dan teknik untuk desain dan analisis tes dengan memperbandingkan
kemampuan peserta didik pada pembagian kelompok di atas, tengah, bawah.
Meningkatnya validitas skor tes diperoleh dari tingkat kesukaran tes dihubungkan
dengan tingkat kemampuan setiap peserta didik; (3) konsep reliabilitas tes
didefinisikan dari istilah tes paralel; (4) tidak ada dasar teori untuk menentukan
bagaimana peserta didik memperoleh tes yang sesuai dengan kemampuan peserta
didik; (5) Standar kesalahan pengukuran hanya berlaku untuk seluruh peserta didik.
Disamping itu, tes klasik telah gagal memberi kesimpulan yang tepat terhadap
beberapa masalah testing seperti: desain tes (statistik butir klasik tidak memberitahu
penyusun tes tentang lokasi maksimum daya pembeda butir pada skala skor tes),
identifikasi item bias, dan equating skor tes (tidak suksesnya pada item bias dan
equating skor tes karena sulit menentukan kemampuan yang sebenarnya di antara
kelompok). Kelebihan model Rasch atau teori respon butir secara umum adalah
bahwa: (1) model ini tidak berdasarkan grup dependen, (2) skor peserta didik
dideskripsikan bukan tes dependen, (3) model ini menekankan pada tingkat butir soal
197
bukan tes, (4) model ini tidak memerlukan paralel tes untuk menentukan reliabilitas
tes, (5) model ini merupakan suatu model yang memberikan suatu pengukuran
ketepatan untuk setiap skor tingkat kemampuan. Tujuan utama teori respon butir
adalah memberikan invariant pada statistik soal dan estimasi kemampuan. Oleh karena
itu, kelebihan teori respon butir adalah: (1) responden dapat diskor pada skala yang
sama, (2) skor responden dapat dibandingkan pada dua atau lebih bentuk tes yang
sama, (3) semua bentuk soal memperoleh perlakuan melalui cara yang sama, (4) tes
dapat disusun sesuai keahlian berdasarkan tingkat kemampuan yang akan dites.

RANGKUMAN

Untuk mengukur seberapa jauh tujuan-tujuan pengajaran telah tercapai, dapat


dilakukan dengan evaluasi, dalam hal ini evaluasi hasil belajar. Alat ukur untuk
mengevaluasi hasil belajar tersebut digunakan tes. Tes adalah cara (yang dapat
dipergunakan) atau prosedur yang (yang perlu di tempuh) dalam rangka pengukuran dan
penilaian di bidang pendidikan.
Tes yang baik harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut; (1) Harus efisien
(Parsimony) (2) Harus baku (Standardize) (3) Mempunyai norma (4) Objektif (5) Valid
(Sahih) dan (6) Reliabel (Andal ). Oleh sebab itu untuk memperoleh tes yang baik, tes
tersebut harus di uji cobakan terlebih dahulu dan hasilnya di analisis sehingga memenuhi
syarat-syarat tersebut di atas.
Agar tes yang disiapkan oleh setiap guru menghasilkan bahan ulangan/ujian yang
sesuai dengan syarat-syarat tersebut di atas, maka harus dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut: menentukan tujuan tes/soal, penentuan jenis dan bentuk soal, menyusun kisi-kisi,
penulisan butir soal, pemantapan butir soal atau validasi soal dan kunci jawaban, merakit
soal menjadi perangkat tes.
Sebagai alat pengukur perkembangan dan kemajuan belajar peserta didik, apabila
ditinjau dari segi bentuk soalnya, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tes hasil
belajar bentuk uraian (selanjutnya disingkat dengan tes uraian), dan tes hasil belajar bentuk
obyektif (selanjutnya disingkat dengan tes obyektif).
Karena banyak kritik yang tajam dari masyarakat terhadap tes hasil pendidikan, maka
para pendidik harus dapat melakukan tes dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu perlu
ditegakan beberapa etika tes, yang membedakan tes yang etik dan tindakan yang tidak etik
dalam pelaksanaan tes secara professional.
198

Anda mungkin juga menyukai