Referat Sepsis Dan Antibiotik (Fajria Khalida)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 30

Referat

SEPSIS DAN ANTIBIOTIK

Oleh:

Fajria Khalida 1940312010

Preseptor:

dr. Beni Indra, Sp. An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat
ini dengan judul “Sepsis dan Antibiotik”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima
kasih kepada dr. Beni Indra, Sp. An sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan referat ini.

Referat ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian


anestesiologi dan reanimasi, dan menambah wawasan mengenai sepsis dan
antinbiotik. Akhir kata segala kritik dan saran sangat diharapkan demi
kesempurnaan referat ini.

Padang, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 3
2.1 Sepsis 3
2.1.1 Definisi 3
2.1.2 Epidemiologi 4
2.1.3 Etiologi 5
2.1.4 Manifestasi Klinis 7
2.1.5 Diagnosis 7
2.1.6 Tatalaksana 8
2.2 Antibiotik 10
2.2.1 Definisi 10
2.2.2 Penggolongan Antibiotik 10
2.2.3 Penggunaan antibiotik 11
2.2.4 Rasionalitas Penggunaan Antibiotik 13
2.2.5 Terapi Antibiotik pada Sepsis 14
2.2.6 Resistensi antibiotik 18
2.2.7 Evaluasi Penggunaan Antibiotik 20
BAB 3 24
3. 1 Kesimpulan 24
DAFTAR PUSTAKA 25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sepsis didefinisikan sebagai disregulasi respons pejamu terhadap infeksi
sehingga menyebabkan disfungsi organ yang bisa mengancam nyawa.1 Sepsis
merupakan salah satu masalah kesehatan global. Sepsis menjadi beban baik di
negara maju ataupun negara berkembang. Diperkirakan sepsis mengenai lebih dari
30 juta orang di seluruh dunia setiap tahun dan berpotensi menyebabkan 6 juta
kematian diantaranya.2
Tingginya angka kematian atau mortalitas sepsis menyebabkan
diperlukannya identifikasi awal serta terapi yang tepat dan segera untuk mencegah
semakin buruknya keadaan pasien.3 Terapi antibiotik adalah salah satu komponen
penunjang keberhasilan dalam pengobatan sepsis dan terbukti dapat menurunkan
angka mortalitas pada syok septik, yang harus diberikan segera setelah sepsis
terdiagnosa.4 Terapi dengan antibiotik dimulai dengan terapi inisial atau terapi
empirik selama hasil kultur belum tersedia yang didasarkan pada pola kuman
terbanyak sebagai penyebab di lingkungan tersebut dan kepekaannya terhadap
antibiotik.5
Regimen yang sering diberikan sebagai terapi inisial adalah Vankomisin,
Sefalosporin, Karbapenem, Flurokuinolon, Aminoglikosida dan Monobaktam.6
Sementara itu, golongan antibiotik tersebut tampaknya mulai resisten dalam
penggunaannya di ICU.7 Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotika
sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah dan lama
penggunaannya sehingga penelitian mengenai sensitivitas antibiotik di ICU pada
pasien sepsis dapat membantu mengevaluasi penggunaan antibiotik yang biasa
digunakan apakah masih tepat bila dipakai sebagai regimen dalam terapi sepsis di
ICU mengingat semakin meningkatnya kejadian resistensi terhadap berbagai
antibiotik yang biasa digunakan dalam penanganan kasus sepsis dan menurunkan
resiko resistensi kuman terhadap antibiotik serta menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien sepsis di ICU.8
1.2 Batasan Masalah
Penulisan referat ini adalah membahas mengenai sepsis dan antibiotik

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai sepsis dan
antibiotik.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan referat ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan
kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis
2.1.1 Definisi
Menurut konferensi konsensus 1991, sepsis merupakan sindrom respons
inflamasi sistemik (SIRS) yang disebakan oleh infeksi. SIRS yang diikuti dengan
disfungsi organ disebut dengan sepsis, yang dapat berlanjut menjadi syok septik
yang didefinisikan sebagai hipotensi persisten yang diinduksi sepsis kendati
resusitasi cairan yang adekuat.9 Pada tahun 2001 diadakan revisi dengan
memperluas daftar kriteria diagnostik tetapi tidak tersedia alternatif karena
kekurangan bukti pendukung.10 Akibatnya, definisi sepsis, syok septik, dan
disfungsi organ tetap tidak berubah selama lebih dari 2 dekade.1
Dalam jurnal The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock, definsi sepsis yang baru dipublikasikan pada tanggal 25 Maret 2016.
Sepsis didefinisikan sebagai disregulasi respons pejamu terhadap infeksi sehingga
menyebabkan disfungsi organ yang bisa mengancam nyawa. Definisi sepsis yang
baru ini lebih menekankan kepada keutamaan respons tubuh yang tidak seimbang
(nonhomeostatic) terhadap infeksi, potensi kematian yang jauh lebih tinggi
dibanding sekedar infeksi sendiri, dan keperluan untuk mengenali sepsis secara
cepat. Jika ketika infeksi dicurigai terjadi disfungsi organ bahkan pada derajat
ringan maka hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas di rumah sakit
sebesar 10%.1
Definisi yang berkaitan dengan sepsis berdasarkan gejala klinis.11
a. Bakteremia
Kehadiran bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan hasil kultur positif
b. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
Dua atau lebih :
a. Demam (temperatur oral) > 38°C [> 100.4°F]) atau hipotermia (<
36°C [< 96.8°F]);
b. Takipnea (frekuensi nafas > 24 kali/menit);
c. Takikardia (denyut jantung > 90 kali/menit);
d. Leukositosis (> 12,000/μL) atau leukopenia (< 4000/μL), atau
bentuk immature >10%

3
c. Sepsis (atau sepsis berat)
Respons merugikan tubuh terhadap infeksi : respons sistemik terhadap
infeksi yang sudah terbukti atau masih dicurigai ditambah dengan beberapa
derajat hipofungsi organ, yaitu :
a. Kardiovaskular : Tekanan sistolik arteri ≤ 90 mmHg atau mean
arterial pressure ≤ 70 mmHg yang responsif terhadap pemberian
cairan IV
b. Ginjal : Output urin < 0.5 mL/kg per jam selama 1 jam meskipun
resisutasi cairan adekuat
c. Pernapasan: PaO2/FiO2 ≤ 250 atau, jika hanya paru yang
mengalami disfungsi organ ≤ 200
d. Hematologi: Jumlah trombosit <80,000/μL atau penurunan 50%
jumlah trombosit dari nilai tertinggi yang tercatat 3 hari sebelumnya
e. Asidosis metabolik tanpa sebab yang jelas : pH ≤ 7.30 atau defisit
dasar ≥ 5.0 mEq/L dan kadar laktat plasma > 1.5 kali dari batas
d. Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah arterial < 90 mmHg sistolik, atau 40
mmHg kurang dari tekanan darah normal pasien) setidaknya selama 1 jam
meskipun setelah resusitasi cairan yang adekuat atau dibutuhkannya
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah sitolik ≥ 90 mmHg
e. Syok septik refrakter
Syok septik yang berlangsung selama > 1 jam dan tidak merespons terhadap
pemberian cairan atau vasopressor

2.1.2 Epidemiologi
Sepsis merupakan masalah kesehatan global, namun informasi
komprehensif tentang morbiditas dan mortalitas sepsis di seluruh dunia sangat
terbatas. Meskipun telah terjadi kemajuan dalam perawatan, studi-studi
epidemiologi yang telah ada menunjukkan bahwa sepsis tetap menjadi beban besar
di semua wilayah ekonomi.12 Beban sepsis kemungkinan tertinggi berada di negara-
negara berpenghasilan menengah dan rendah. Diperkirakan sepsis mengenai lebih
dari 30 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, dan berpotensi menyebabkan 6 juta

4
kematian diantaranya. Pada bayi baru lahir dan anak-anak sespis diperkirakan
mengenai 3 juta bayi dan 1,2 juta anak secara global setiap tahun.2
Insiden sepsis di RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tahun 2010 sampai
tahun 2013 meningkat sebesar 50% yaitu dengan penderita sebanyak 351 pasien,
512 pasien, 757 pasien, dan 734 pasien dengan sepsis sebagai diagnosis utama.13
Insidens sepsis berdasarkan data rekam medik untuk pasien yang dirawat inap pada
tahun 2016 adalah sebanyak 1066 pasien dan pada tahun 2017 adalah sebanyak
1099 pasien.

2.1.3 Etiologi
Penyebab sepsis terbanyak dengan persentase 60-70% adalah bakteri gram
negatif. Staphylococci, Pneumococci, Strepococci dan bakteri gram positif lainnya
dengan angka kematian 20-40% jarang menyebabkan sepsis. Disamping itu jamur
oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae)
dilaporkan pernah menyebabkan sepsis walaupun jarang.14
Bakteri menghasilkan berbagai produk yang merangsang sel imun. Produk
ini bisa berupa endotoksin atau eksotoksin. Eksotoksin yang dihasilkan oleh
berbagai macam kuman, misalnya α-hemolisin (S. Aurens), E. Coli haemolisin
(E.coli) dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung, sedangkan
produk yang berperan paling penting pada bakteri gram negatif adalah
lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks. LPS merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. Struktur lipid A dalam
LPS bertanggung jawab terhadap reaksi tubuh penderita, LPS sendiri tidak
mempunyai sifat toksik, tetapi dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun
selular dan humoral sehingga merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
kemudian menimbulkan peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita
yang terinfeksi. Oleh karena itu, LPS endotoksin gram negatif dinyatakan sebagai
penyebab sepsis terbanyak.14 Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa penyebab
paling umum dari sepsis adalah infeksi dengan sumber lokasi saluran pernapasan
dan urogenital.15

5
Tabel 2. 1 Penyebab umum sepsis yang didapat di masyarakat.16
Sumber infeksi Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram
positif bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif ben-
tuk batang lainnya
Saluran Pernapasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan
gram negatif bentuk batang lainnya,
Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob

Tabel 2.2 Penyebab umum sepsis yang didapat di rumah sakit.16


Masalah Klinis Mikroorganisme
Pemasangan kateter Escherichia coli, Klebsiella spp.,
Proteus sppSerratia spp.,
Pseudomonas spp.
Penggunaan IV kateter Staphylococcus aureus,
staphylococcus
epidermidis, Klebsiella spp.,
Pasca operasi: Pseudomonas
Wound infection spp., Candida albicans
Staphylococcus aureus,
E. coli,anaerobes(tergantung
lokasinya)
Deep infection Tergantung lokasi anatominya
Luka bakar Coccus gram-positif, Pseudomonas
spp.,
Candida albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme di atas

6
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sepsis sangat bervariasi, tergantung pada lokasi awal
infeksi, organisme penyebab, pola disfungsi organ akut, status kesehatan dasar
pasien, dan interval waktu sebelum memulai pengobatan.14 Manifestasi klinis
biasanya didahului oleh gejala non spesifik meliputi demam, menggigil dan gejala
konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan kebingugan.17 Beberapa pasien
mungkin normotermi atau hipotermi, sepsis tanpa demam biasanya terjadi pada
neonatus, lansia, dan pada pasien dengan uremia dan alkoholisme. Disorientasi,
kebingungan, dan manifestasi lain ensefalopati mungkin juga muncul pada onset
awal, terutama pada lansia dan indvidu dengan gangguan neurologis yang sudah
ada sebelumnya. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat ditemukan
pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius.11
Tempat infeksi paling sering : paru, traktus digestifus, traktus urinarius,
kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi sepsis merupakan faktor
penentu penting berat atau tidaknya gejala-gejala sepsis yang terjadi. Gejala sepsis
tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita lansia, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia. Yang sering diikuti dengan
gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai dengan terjadinya
syok septik.14
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :
1) Sindrom distress pernapasan pada dewasa
2) Koagulasi intravaskular
3) Gagal ginjal akut
4) Perdarahan usus
5) Gagal hati
6) Disfungsi saraf pusat
7) Gagal jantung
8) Kematian

2.1.5 Diagnosis
Faktanya, tidak ada pemeriksaan spesifik untuk diagnosis sepsis. Temuan
diagnostik yang sensitif pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami infeksi

7
meliputi hipertermi atau hipotermia, takipnea, takikardia, dan lekositosis atau
leukopenia, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 2.1, perubahan status
mental akut, trombositopenia, dan peningkatan kadar laktat darah, alkalosis
respiratorik, atau hipotensi dapat menjadi dasar diagnosis. Walaupun demikian
respons sistemik dapat bervariasi. Pada suatu penelitian, 36% pasien dengan sepsis
memiliki temperatur yang normal, 40% memiliki frekuensi nafas normal, 10%
memiliki frekuensi nadi normal, dan 33% memiliki jumlah hitung leukosit yang
normal. Selain itu, respons sistemik dari pasien dengan kondisi lain yang bukan
infeksi mungkin mirip dengan karakteristik sepsis. Misalnya, pada kondisi
pankreatitis, luka bakar, trauma, insufisiensi adrenal, emboli paru, ruptur aneurisma
aorta, infark miokard, perdarahan tersembunyi, tamponade jantung, anafilaksis,
tumor terkait asidosis laktat, dan overdosis obat.11
Diagnosis etiologik definitif membutuhkan identifikasi mikroorganisme
penyebab dari darah atau tempat infeksi lokal. Setidaknya dua sampel darah harus
diperoleh (dari dua vena berbeda) untuk dikultur, pada pasien yang sudah terpasang
kateter, satu sampel harus didapatkan dari masing-masing lumen kateter dan satu
lagi dari vena. Pada banyak kasus, pewarnaan gram dan kultur dari area infeksi
primer atau dari lesi kulit yang terinfeksi mungkin membantu dalam pencarian
mikroorganisme etiologi. Identifikasi DNA mikroba pada darah perifer atau sampel
jaringan dengan PCR mungkin juga dapat dilakukan.11

2.1.6 Tatalaksana
Berdasarkan The Surviving Sepsis Campaign Bundle yang baru direvisi
tahun 2018, berikut hal yang harus dilakukan pada 1 jam pertama sejak diagnosis
sepsis ditegakkan :
a. Pengukur kadar laktat
Kadar laktat secara tidak langsung dapat menggambarkan perfusi jaringan.
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan hipoksia jaringan, percepatan
glikosis aerobik yang dirangsang oleh stimulasi beta-adrenergik yang
berlebihan, atau penyebab lain yang terkait dengan hasil yang lebih buruk.
Uji coba kontrol acak telah menunjukkan resusitasi yang dipandu dengan
pengukuran kadar laktat menghasilkan penurunan signifikan mortalitas.

8
Jika kadar laktat awal meningkat (> 2 mmol/L), pengukuran kembali harus
dilakukan dalam 2-4 jam untuk memandu resusitasi sampai kadar laktat
normal.
b. Memperoleh kultur darah sebelum pemberian antibiotik
Sterilisasi kultur dapat terjadi dalam hitungan menit dosis pertama antibiotik
yang sesuai, sehingga kultur harus didapatkan sebelum pemberian antibiotik
untuk mengoptimalkan identifikasi patogen dan meningkatkan hasil
pengobatan. Kultur darah yang tepat setidaknya ada dua set (aerobik dan
anaerobik).
c. Pemberian antibioktik spektrum luas
Pada pasien sepsis atau syok septik, terapi satu atau lebih antimikroba
empiris spektrum luas intravena harus segera dilakukan agar mencakup
semua kemungkinan patogen. Terapi antimikroba empiris harus dipersempit
setelah patogen teridentifikasi dan tes sensitivitas diperoleh, atau dihentikan
jika ternyata pasien tidak mengalami infeksi.
d. Resusitasi cairan IV
Resusitasi cairan awal yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menstabilisasikan hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh sepsis atau syok
septik. Mengingat kondisi ini merupakan kegawatdaruratan medik,
resusitasi cairan awal harus segera dimulai dan selesai dalam 3 jam setelah
diagnosis sepsis ditegakkan. Panduan yang ada merekomendasikan
pemberian minimal 30 mL/kg cairan kristaloid IV. Pemberian cairan koloid
terbukti tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan cairan
kritaloid. Pemberian cairan melebihi resusitasi cairan awal membutuhkan
penilaian yang cermat bahwa pasien masih merespons terhadap cairan yang
diberikan.
e. Pemberian vasopressor
Pengembalian segera tekanan perfusi organ yang adekuat merupakan kunci
resusitasi dan tidak boleh terlambat dilakukan. Jika tekanan darah tidak
kembali normal setelah resusitasi awal, maka pemberian vasopressor harus
dimulai dalam jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP)
≥65 mmHg.

9
2.2 Antibiotik
2.2.1 Definisi

Antibiotik yang dikenal sebagai agen antimikroba adalah obat yang


melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik untuk pertama kalinya
ditemukan secara kebetulan oleh dr. Alexander Fleming (Inggris, yaitu penisilin).
Terapi penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan pada permulaan Perang
Dunia II di tahun 1941, ketika obat-obat antibakteri sangat diperlukan untuk
menaggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran.18
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Obat pembasmi
mikroba harus memiliki sifat toksisitas selektif yang artinya bersifat sangat toksik
terhadap mikroba tetapi relatif tidak toksik terhadap hospes.19

2.2.2 Penggolongan Antibiotik


a) Berdasarkan toksisitas selektif, antibiotik dibagi menjadi:18,20
1. Antibiotik bakteriosidal, bekerja dengan membunuh sel bakteri,
memiliki kadar inhibitorik yang tinggi. Antibiotik bakteriosidal
merupakan pilihan utama untuk kasus infeksi yang serius dan pejamu
yang imunokompremais. Antibiotik bakteriosidal umumnya bekerja di
dinding sel, membran sel, dan sintesis DNA. Menurut Tan (2007) dan
Waller (2010) obat-obat agen bakterisida dikelompokkan menjadi dua
yaitu : Bekerja terhadap fase tumbuh, seperti ampisillin, sefalosporin,
dan rifampisin. Zat-zat ini kurang efektif terhadap kuman-kuman dalam
fase dorman. Bekerja terhadap fase istirahat (dorman), misalnnya
aminoglikosida, nitrofurantoin, izoniazid, kotrimoksazol, dan juga
polipeptida
2. Antibiotik bakteoristatik, menghambat proliferasi dan pertumbuhan
bakteri, umumnya bekerja dengan menghambat sintesis protein.
Contohnya, sulfonamide, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, dan
linkomisin.

10
b) Berdasarkan aktivitas kerja19
1. Antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat
menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan sebagian besar bakteri. Yang termasuk
golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin,
sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
2. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya
aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah
penisilin ,streptomisin, neomisin, basitrasin.
c) Berdasarkan mekanisme kerja.21
1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, antara lain beta-
laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor
beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin.
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein antara lain,
aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,
azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.
3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat antara lain,
trimetoprim dan sulfonamid.
4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat antara lain,
kuinolon, nitrofurantoin.

2.2.3 Penggunaan antibiotik


Antibiotik yang merupakan antimikroba seringkali digunakan pada
beberapa keadaan.22–25
1) Terapi empirik / presumtif
Terapi empirik merupakan pemberian antibiotik yang bertujuan untuk
mengobati infeksi aktif pada pendekatan buta (blind) sebelum mikroorganisme
penyebab diidentifikasi dan antibiotik yang sensitif ditentukan, yaitu sebelum hasil
hasil kultur dan sensitivitas tes keluar. Dengan harapan intervensi dini akan
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Terapi ini dapat memberikan manfaat yang

11
nyata pada beberapa kasus, namun pada kasus klinis lain juga dapat tidak
bermanfaat atau justru membahayakan.
Pemilihan jenis antibiotik yang digunakan sebagai terapi empirik
dipengaruhi oleh :
a. Faktor penjamu / host, meliputi : penyakit lain yang diderita, riwayat efek
samping obat, gangguan eleminasi obat, usia pasien, dan status kehamilan.
b. Faktor farmakologik obat, meliputi : farmakokinetik obat, kemampuan obat
mencapai tempat infeksi, potensi toksisitas obat, dan interaksi dengan obat
lain

2) Terapi Definitif
Terapi definitif merupakan terapi yang diberikan setelah adanya hasil kultur
dan hasil tes sensitivitas mikroba / Antimicroba Susceptability Test (AST). Terapi
definitif terutama digunakan pada kasus-kasus seperti infeksi mikroba yang
mengancam jiwa, terapi yang berkepanjangan (endocarditis, meningitis, septic
artritis, dll), serta pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah pemberian
terapi antibiotik empirik.

3) Terapi Profilaksis
Terapi profilaksis merupakan pemberian terapi dengan tujuan mencegah
kejadian infeksi pada berbagai keadaan. Terapi profilaksis harus digunakan jika
efikasi dan manfaatnya terbukti. Terapi profilaksis dapat dibagi menjadi dua :
a. Profilaksis bedah.
Bertujuan menurunkan insiden infeksi luka bedah setelah operasi.
Antibiotik yang dipilih harus dapat mengatasi organisme dan mikroba yang
ada di lokasi irisan bedah, serta mempertahankan konsentrasi plasma yang
adekuat selama operasi berlangsung.
The Study of the Efficacy of Nosocomial Infection Control (SENIC)
mengidentifikasi risiko infeksi luka pascabedah, diantaranya : operasi
abdomen, operasi yang berlangsung lebih dari 2 jam, golongan luka
terkontimasi / kotor, dan terdapat minimal 3 diagnosis medis. Pasien

12
dengan 2 risiko SENIC walaupun termasuk luka bersih, harus mendapat
profilaksis antimikroba.
Terapi antibiotik profilaksis juga digunakan pada pasien yang
menjalani operasi dengan risiko infeksi pasca bedah tinggi seperti bedah
jantung terbuka, penempatan alat prostetik, dan penjamu
imunokompromise.

2.2.4 Rasionalitas Penggunaan Antibiotik


WHO mendefinisikan penggunaan antibiotik yang rasional adalah ketika
pasien mendapatkan antibiotik yang tepat, dosis yang sesuai kebutuhan pasien,
selama periode waktu yang adekuat, dengan harga yang dapat dijangkau pasien dan
keluarganya.26 Sedangkan penggunaan antibiotik dikatakan tidak rasional / tidak
tepat jika tidak memenuhi ketentuan-ketentuan penggunaan antibiotik secara
rasional, seperti polifarmasi, self-medication yang tidak tepat, penggunaan
antibiotik yang berlebihan, dll. Rasionalitas penggunaan antibiotik berhubungan
dengan dokter sebagai pembuat resep dan pasien sebagai konsumen antibiotik 27
Beberapa kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI, yaitu:
a. Tepat diagnosis, obat disebut rasional jika diberikan sesuai dengan
diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan tepat,
dampaknya terjadi kesalahan dalam pemilihan obat.
b. Tepat indikasi. Obat harus diberikan sesuai dengan indikasi penyakit.
Berkaitan dengan perlu atau tidaknya obat diberikan pada suatu kasus
tertentu.
c. Tepat pemilihan obat. Obat yang dipilihkan untuk pasien harus memiliki
efek terapi sesuai dengan penyakitnya berdasarkan pertimbangan
manfaat, keamanan, harga, dan mutu.
d. Tepat dosis. Dosis obat yang diberikan harus tepat, tidak berlebihan
maupun terlalu kecil agar efek terapi yang diinginkan dapat tercapai.
Tepat dosis meliputi tepat jumlah, cara pemberian, interval waktu
pemberian, dan lama pemberian.

13
e. Tepat penilaian terhadap kondisi pasien. Pemberian obat disesuaikan
dengan kondisi pasien dengan memperhatikan kontraindikasi,
komplikasi, kehamilan, usia lanjut atau bayi.
f. Waspada terhadap efek samping. Obat yang diberikan kepada pasien
dapat menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, gatal-gatal, dan
sebagainya. Pengertian dari efek samping yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.
g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau.
h. Tepat tindak lanjut. Pemberian obat ke pasien harus mempertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya pasien mengalami sakit
berlanjut dikonsultasikan ke dokter.
i. Tepat penyerahan obat. Penggunaan obat rasional melibatkan pihak
yang menyerahkan obat kepada pasien. Resep diserahkan oleh apoteker
atau asisten apoteker atau petugas penyerah obat di puskesmas kepada
pasien dengan informasi yang tepat.
j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan.
Ketidakpatuhan pasien dalam minum obat bisa disebabkan karena jenis
sediaan obat beragam, jumlah obat terlalu banyak, frekuensi pemberian
obat per hari terlalu sering, pemberian obat dalam jangka panjang tanpa
informasi, pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai
cara menggunakan obat, timbulnya efek samping.

2.2.5 Terapi Antibiotik pada Sepsis


Pemberian antibiotik pada pasien sepsis dimulai dengan terapi awal dengan
menggunakan antibiotik empiris broad spectrum, sebelum hasil kultur didapatkan
untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien.28 Setelah hasil kultur
didapatkan, terapi di evaluasi kembali, selanjutnya dilakukan pengurangan jumlah
regimen ataupun ditambah.29 Antibiotik broad spectrum mengacu pada antibiotik
bagi Pseudomonas aeruginosa, seperti imipenem – cilastatin, piperasilin-
tazobaktam, ceftazidim atau ciprofloxacin. Sementara antibiotik berspektrum
sempit mengacu pada antiotik β-laktam tanpa aktivitas terhadap P. Aeruginosa,
seperti ceftriaxone dan amoxicillin-klavulanat.30

14
Pemilihan antibiotik yang tepat berpengaruh terhadap biaya perawatan yang
optimal, penurunan kejadian hiperinfeksi dan pengurangan resiko terhadap
resistensi antibiotik.31 Langkah – langkah ini harus berdasarkan protokol pada
setiap instansi dan pemantauan secara berkala penting dilakukan untuk mewaspadai
kejadian resistensi tehadap antibiotik yang akan menyebabkan terapi yang tidak
adekuat terhadap pasien sepsis di ICU.31
Pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada karakteristik host, lokasi
infeksi, pola resistensi antibiotik setempat, prevalensi dari mikroorganisme
penyebab serta farmakokinetik dan dinamik dari antibiotik.32 Terapi antibiotik
empiris harus efisien melawan pertumbuhan ataupun membunuh bakteri untuk
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pasien. Selain itu, pemberian
antibiotik empiris yang tepat dalam jam pertama setelah seorang pasien terdiagnosis
sepsis berhubungan dengan peningkatan angka kelangsungan hidup pasien sepsis.33
Oleh karena itu penting untuk memperhatikan ketepatan pemilihan regimen
antibiotik yang diberikan serta waktu pemberian antibiotik yang lebih awal.34
Dalam penanganannya terapi kombinasi diberikan pada pasien sepsis untuk
memperluas spektrum terapi, meningkatkan aktivitas bakterisidal dari regimen
yang diberikan dan mencegah terjadinya resistensi kuman.31 Pemberian antibiotik
satu jenis tidak dibiarkan pada keadaan sepsis berat. Dianjurkan kombinasi
antibiotik yang rasional sesuai dengan kultur dan uji sensitivitas. Antibotika yang
diberikan secara empiris adalah Sefalosporin generasi III atau IV karena memiliki
efek terhadap bakteri gram positif dan negatif. Dapat diberikan juga Sefalosporin
dengan kombinasi β-laktam.35 Selain itu, untuk mencegah agar sepsis tidak jatuh
dalam syok septik sebaiknya diberikan paling tidak dua obat, yaitu diantara
antibiotika βlaktam selektif High Molecular Weight (HMW) PBP, aminoglikosida
dan fluorokuinolon.36 Selain itu, penggunaan antibiotik kombinasi berpengaruh
terhadap lama rawat pasien yang semakin singkat. Setelah hasil kultur kuman
didapatkan dan berdasarkan respon klinis, penurunan jumlah antibiotik biasa
dilakukan untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebihan.34

15
Tabel 2.3 Terapi antibiotik empiris pada sepsis.37
Pengalihan
Kategori Patogen Lazim Terapi IV Utama Terapi IV Alternatif Terapi PO
ke IV
Sumber tidak GNB Meropenem 1g (IV) Kuinolon* (IV) x 2 Moxifloxacin
diketahui B. fragilis tiap 8 jam x 2 minggu minggu 400 mg (PO)
E. faecalis atau ditambah tiap 24 jam x
(VSE) † Piperacillin/ Metronidazol 1 (IV) 2 minggu
Tazobaktam 3.375 g tiap 24 jam x 2
(IV) tiap 6 jam x 2 minggu
minggu atau
atau Clindamycin 600
Moxifloxacin 400 mg mg (IV) tiap 8 jam
(IV) tiap 4 jam x 2 x 2 minggu
minggu
Sumber dari S. peumonia Respiratory Meropenem 1 g Respirator
paru H. influenzae Kuinolone‡ (IV) tiap (IV) tiap 8 jam x 2 Kuinolon‡
Pneumonia K. pneumoniae** 24 jam x 2 minggu minggu (PO) tiap 24
dapatan atau jam x 2
komunitas§ Seftriakson 1g (IV) minggu
(CAP) tiap 24 jam x 2 atau
minggu Doxycyline
200mg (PO)
tiap 12 jam x
11 hari
*Levofloxacin 500 mg (IV atau PO) tiap 24 jam
† Terapi mula-mula untuk E. faecalis (VSE); jika selanjutnya diidentifikasi sebagai E. faecium (VRE),
terapi disesuaikan.
Pneumonia P. aeruginosa Meropenem 1g (IV) tiap 8 jam x 2 minggu Levofloxacin
Nosokomial K. pneumoniae ditambah 750 mg (PO)
E. coli Levofloxacin 750mg (IV) tiap 24 jam x 2 tiap 24 jam x
S. marcescens minggu 2 minggu
(tidak MSSA/MRSA) atau amor
Amikacin 1 g atau 15 mg/kg (IV) tiap 24 jam Ciprofloxacin
x 2 minggu 750 mg (PO)
atau q12h x 2
Aztreonam 2 g (IV) tiap 8 jam x 2 minggu weeks

Sepsis S. epidermidis Meropenem 1 g (IV) Ceftriaxone 1 g (IV) Respiratory


bakterial jalur (CoNS) tiap 8 jam x 2 minggu tiap 24 jam x 2 Kuinolone*
IV sentral S. aureus (MSSA) atau minggu (PO) tiap 24
(Terapi mula- Klebsiella Cefepime 2 g (IV) atau jam x 2
mula untuk Enterobacter tiap 12 jam x 2 Respiratory minggu
MRSA; jika Serratia minggu Kuinolone* (IV) atau
selanjutnya tiap 24 jam x 2 Cephalexin
diidentifikasi minggu 500 mg (PO)
sebagai tiap 6 jam x 2
MSSA, dan minggu
lain-lain terapi
disesuaikan)

16
S. aureus (MRSA) Daptomycin 6 mg/kg (IV) tiap 24 jam x 2 Linezolid
minggu 600 mg (PO)
atau tiap 12 jam x
Linezolid 600 mg (IV) tiap 12 jam x 2 2 minggu
minggu
Quinupristin/Dalfopristin 7.5mg/kg (IV) tiap Minocycline
8 jam x 2 minggu 200 mg (PO)
atau x1,
Vancomycin 1g (IV) tiap 12 jam x 2 minggu selanjutnya
100 mg (PO)
tiap 12 jam x
2 minggu

ILI = Influenza Like Ilness


*Moxifloxacin 400 mg atau Levofloxacin 500 mg
** dalam alkoholik saja
*** jika memungkinkan secara klinis, lepaskan CVC segera mungkin
† Pasien dengan ILI/influenza A (human/swine) yang mengalami MSSA/MRSA CAP simultan sering hadir
dengan syok.
‡ Levofloxacin 750 mg (IV) tiap 24 jam atau Moxifloxacin 400 mg (IV) tiap 24 jam.
§ tanpa komplikasi oleh dekompensasi/kegagalan kardiopulmonari, CAP tidak disertai dengan
hipotensi/syok pada hosts normal. Hiposplenia/asplenia harus dicurigai jika CAP muncul dengan
hipotensi/syok pada pasien dengan fungsi kardiopulmoner yang baik.
Kandidemia Non-albicans Isavuconazole 200 mg (IV) tiap 8 jam x 48 Voriconazole
(terapi mula- Candida¶ jam, selanjutnya 200 mg (IV/PO) tiap 24 jam x 2 minggu¶†
mula untuk atau x 2 minggu atau Micafungin 100 mg (IV) tiap atau
Kandida non- Fluconazole-resistant 24 jam x 2 minggu† atau Voriconazole jika Posaconazole
albicans; jika cakupan tambahan diinginkan atau 400 mg (PO)
selanjutnya Liposomal amphotericin B (L-amb) (IV) tiap tiap 12 jam x
diidentifikasi 24 jam† atau Amphotericin B (lihat 2 minggu
sebagai C. C.albicans, di atas) x 2 minggu† atau
Albicans Voriconazole x 2 minggu¶† atau Itraconazole
terapi (lihat C.albicans, di atas) atau Anidulafungin
disesuaikan) 200 mg (IV) x 1 dosis, selanjutnya 100 mg
(IV) tiap 24 jam x 2 minggu † atau
Caspofungin (lihat C.albicans, di atas)
Sumber GNB Piperacillin/Tazobacta Terapi Kombinasi Monoterapi
Intraabdominl B. fragilis m 3.375 g (IV) tiap 6 Ceftriaxone 1 g (IV) Moxifloxacin
/ pelvik jam x 2 minggu tiap 24jam x 2 400mg (PO)
atau minggu tiap 24jam x 2
Tigecycline 200 mg atau minggu
(IV) x 1 dosis, Levofloxacin 500 atau
selanjutnya 100 mg mg (IV) tiap 24 jam Terapi
(IV) tiap 24 jam x 2 x 2 minggu Kombinasi
minggu ditambah Levofloxacin
atau Ertapenem 1 g Metronidazole 1 g 500 mg (PO)
(IV) tiap 24 jam x 2 (IV) x 2 minggu tiap 24 jam
minggu x 2 minggu
atau ditambah
Meropenem 1 Clindamycin
gm 300 mg (PO)
(IV) q8h x 2 weeks tiap 8 jam x
2 minggu

¶ Agen terbaik tergantung pada spesies yang menginfeksi. Kerentanan Fluconazole bermacam-macam
menurut spesies
† Obati Candidemia selama 2 minggu setelah kultur darah negatif.

17
Urosepsis GNB Piperacillin/Tazobacta Levofloxacin 500 Levofloxacin
dapatan E. faecalis (VSE) m 3.375 g (IV) tiap mg (IV) tiap 24jam 500 mg (PO)
komunitas 6jam x 1-2 minggu tiap 24jam x
atau 1-2 minggu
Meropenem 1 g (IV)
tiap 8 jam x 1-2
minggu

E. faecium (VRE) Daptomycin 12 mg/kg Quinupristin/ Linezolid


(IV) tiap 24jam x 1-2 Dalfopristin 7.5 600 mg (PO)
minggu* mg/kg (IV) tiap tiap 12jam x
atau 8jam x 1-2 minggu 1-2 minggu
Linezolid 600 mg atau
(IV) tiap 12jam x 1-2 Minocycline
minggu 200 mg (PO)
x 1,
selanjutnya
100 mg (PO)
tiap 12jam x
1-2 minggu
Nosokomial P. aeruginosa Meropenem 1 g (IV) Aztreonam 2g(IV) Levofloxacin
tiap 8jam x 1-2 tiap 8jam x 1-2 750 mg (PO)
minggu minggu tiap 24jam x
atau atau 1-2 minggu
Cefepime 2g (IV) tiap Doripenem 1 g (IV)
12ja x 1-2 minggu tiap 8jam x 1-2
atau minggu
Levofloxacin 750 mg
(IV) qtiap 24jam x 1-
2 minggu
CRE Ceftazidime/Avibacta Polymyxin B 1.25
m 2.5g (IV) tiap 8jam mg/kg (IV) tiap
x 1-2 minggu 12jam x 1-2 minggu
atau
Colistin 2.5 mg/kg
(IV) tiap 12jam x 1-
2 minggu
Sepsis luas S. pneumonia Ceftriaxone 2g (IV) Cefepime 2g (IV)Levofloxacin
dengan H. influenza tiap 24jam x 2 minggu tiap 12jam x 2 500 mg (PO)
purpura N. meningitidis atau minggu tiap 24jam x
(asplenia atau Levofloxacin 500 mg atau 2 minggu
hiposplenia) (IV) tiap 24jam x 2 Cefotaxime 2g (IV) atau
minggu tiap 6jam x 2 Amoxicillin
minggu 1g (PO) tiap
8jam x 2
minggu
*VRE MIC = 2 x MRSA. Use double the usual bacteremia dose (6 mg/kg for VRE (12 mg/kg).

Steroid (dosis Aspergillus Perlakukan sebagai Aspergillus pneumonia


tinggi kronik)
Miliary TB M. tuberculosis Perlakukan sebagai TB pulmonari tambah steroid x 1-2minggu
Miliary BCG Bacille Calmette-Guerin Obati dengan INH tambah RIF x 6 bulan; dapat menambahkan
(BCG) steroid, misalnya prednisolone 40 mg tiap 24jam x 1-2 minggu

2.2.6 Resistensi antibiotik


Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah suatu keadaaan dimana
kehidupan bakteri itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antibiotika. Sifat
ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dari suatu makhluk hidup.

18
Penggunaan antibiotika secara berlebihan dan tidak selektif akan meningkatkan
kemampuan bakteri untuk bertahan.38
Masalah resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat
perhatian khusus karena menyebabkan terjadinya banyak kegagalan pada terapi
dengan antibiotika. Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi,
diantaranya dengan mencari antibiotika baru atau menciptakan antibiotika
semisintetik. Meskipun demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan
masalah. Kehadiran antibiotika baru diikuti jenis resitensi baru dari bakteri sebagai
cara pertahanan hidup. Penggunaan bermacam-macam antibiotika yang tersedia
telah mengakibatkan munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih
dari satu jenis antibiotika (multiple drug resistance).39
Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika tergantung
pada jenis bakteri, yaitu resistensi antibiotika oleh bakteri gram negatif dan bakteri
gram positif. Terdapat beberapa mekanisme resistensi antibiotika dari bakteri gram
negatif sebagai perlawanan terhadap antibiotika. Mekanisme-mekanisme tersebut
adalah: resistensi melalui penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding
sel bakteri, sehingga menurunkan jumlah obat yang melintasi membran sel;
peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik, yang akan merusak
struktur betalaktam; peningkatan aktivitas pompa keluaran (efflux pump) pada
transmembran, yang mentebabkan bakteri akan membawa obat keluar sebelum
memberikan efek; modifikasi enzim-enzim, sehingga antibiotika tidak dapat
berinteraksi dengan tempat target; mutasi tempat target, sehingga mengahambat
bergabungnya antibiotika dengan tempat aksi; modifikasi atau mutasi ribosomal,
sehingga mencegah bergabungnya antibiotika yang menghambat sistesis protein
bakteri; mekanisme langsung terhadap metabolik (metabolic bypass mechanism),
yang merupakan enzim alternatif untuk melintasi efek penghambatan antibiotika;
dan mutasi dalam lipopolisakarida, yang biasanya terjadi pada antibiotika
polimiksin, sehingga tidak dapat berikatan dengan targetnya.40
Mekanisme resistensi antibiotika yang umum terdapat pada bakteri gram
positif, misalnya bakteri Methicillin-Resistant Staphylococccus Aureus, dapat
ditempuh melalui 4 jalur, yaitu: peningkatkan produksi enzim betalaktamase
(penisilinase), yang akan menurunkan afinitas penicillin-binding protein (PBP)

19
terhadap antibiotika betalaktam; resistensi tingkat tinggi pada glikopeptida yang
menyebabkan pemindahan atau mutasi asam amino terakhir dari prekursor
peptidoglikan (D-alanin [D-Ala] ke D-laktat [D-Lak]); resistensi tingkat rendah
pada glikopeptida yang berhubungan dengan peningkatan sintesis peptidoglikan,
yaitu penambahan lapisan dinding bakteri yang menyebabkan terjadinya
pengentalan dinding sel, sehingga menghambat antibiotika melintasi membran sel
dan tidak dapat berinteraksi dengan prekursor yang ada dalam sitoplasma; dan
modifikasi atau mutasi dari DNA atau RNA ribosom (rRNA).41

2.2.7 Evaluasi Penggunaan Antibiotik


Penggunaan antibiotik diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Kuantitas
penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit yang
diukur secara retrospektif dan prospektif, dengan studi validasi. Kuantitas
penggunaan antibiotik diukur dengan Defined Daily Doses (DDD)/100 hari.yang
dibandingkan dengan Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) dari WHO.
Kualitas penggunaan antibiotik diukur melalui kriteria gyssen dengan melihat
catatan medik pasien. Penilaian dilakukan dengan pertimbangan kesesuaian
diagnosis, indikasi, regimen dosis, keamanan, dan harga. Kualitas penggunaan
antibiotik mengukur rasional atau tidak rasional suatu pengunaan antibiotik.21
Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik berdasarkan
kriteria Gyssens sebagai berikut22
Kategori Kriteria
Kategori 0 Penggunaan antibiotik tepat dan rasional
Kategori I Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
Kategori IIB Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC Penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA Penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori IIIB Penggunaan antibiotik terlalu singkat
Kategori IVA Ada antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IVB Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC Ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IVD Ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih sempit
Kategori V Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi

20
Diagram alir Gyssens untuk evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dapat
dilihat pada gambar 3.

21
Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan
melihat apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan
antibiotika.
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI
Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada
halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi.
Pemeriksaan penunjang/laboratorium tidak harus dilakukan karena
mungkin tidak ada biaya, dengan catatan sudah direncanakan
pemeriksaannya untuk mendukung diagnosis. Diagnosis kerja dapat
ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila data
lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada infeksi
yang membutuhkan antibiotika?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V
Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat?
3. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori
IVa.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang kurang toksik?
4. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di
kategori IVb.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lebih murah?
5. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori
IVc.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lain yang spektrumnya lebih sempit?
6. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit,
berhenti di kategori IVd.
Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan pertanyaan
di bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang?

22
7. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori
IIIa.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu
singkat?
8. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori
IIIb.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis
antibiotika yang diberikan sudah tepat?
9. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIa.
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah
interval antibiotika yang diberikan sudah tepat?
10. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori
IIb.
Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah
rute pemberian antibiotika sudah tepat?
11. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIc.
Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.
12. Bila antibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI,
antibiotika tersebut merupakan kategori I.

23
BAB 3
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dikarenakan
respon tubuh terhadap infeksi yang mengalami disregulasi. Sepsis adalah masalah
kesehatan utama di dunia yang menyerang jutaan orang di dunia setiap tahunnya
dan menyebabkan kematian pada 1 dari 4 orang. Pengenalan dan penanganan awal
untuk sepsis dan septik syok akan meningkatkan prognosis yang baik. Terapi
antibiotik adalah salah satu komponen penunjang keberhasilan dalam pengobatan
sepsis dan terbukti dapat menurunkan angka mortalitas pada syok septik, yang
harus diberikan segera setelah sepsis terdiagnosa. Penggunaan antibiotik secara
rasional diperlukan dalam penanganan sepsis agar dapat menurunkan resiko
resistensi kuman terhadap antibiotik serta menurunkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien sepsis di ICU.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D,


Bauer M, et al. The third international consensus definitions for sepsis and
septic shock. JAMA. 2016;315(8):801–10. JAMA. 2016;315(8):801–10.
2. WHO. Sepsis. 2018.
3. Rukmana RW. Evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien
sepsis di Intensive Care Unit (ICU) RSUD dr. Moewardi Surakarta tahun
2016-2017. Surakarta; 2018.
4. Astutik AW, Annisa N, Rusli R IA. Kajian kesesuaian pemilihan antibiotik
empiris pada pasien sepsis di instalasi rawat inap RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda. Proceeding 5th Mulawarman Pharm Conf. 2016;38–
47.
5. Sharma S, Kumar A. Antimicrobial management of sepsis and septic
shock. Clin Chest Med. 2008;29(4):677–87.
6. Schmidt G, Mandel J. Management of Severe Sepsis and septic shock in
adults [Internet]. 2009. Available from:
http://www.utdol.com/home/content/topic.do?topicKey=cc_medi/16828
7. Toltzis P, Dul M, O’Riordan M, Melnick D, Lo M, Blumer J. Meropenem
use and colonization by antibiotic-resistant Gramnegative bacilli in a
pediatric intensive care unit. Pediatr Crit Care Med. 2009;10(1):49–54.
8. Micek S, Ward S, Fraser V, Kollef M. A randomized concontinuation
policy for trolled trial of an antibiotic disclinically suspected
ventilatorassociated pneumonia. Chest. 2004;125:1791–99.
9. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA et al.
Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of
innovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1992;101(6):1644–55.
10. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D et al.
International Sepsis Definitions Conference. Intensive Care Med.
2003;29(4):530–8.
11. Munford R. Severe sepsis and septik shock. In: Fauci A, Hauser S, Jameson
J, Kasper D, Longo L, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015. p. 1751–2.
12. Fleischmann C, Scherag A, Adhikari NKJ, Hartog CS, Tsaganos T,
Schlattmann P et al. Assessment of global incidence and mortality of
hospital-treated sepsis current estimates and limitations. . 2016;193(3):. Am
J Respir Crit Care Med. 2016;193(3):259–72.
13. Hidayati, Arifin H R. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Pasien Sepsis
dengan Gangguan Ginjal (Study of Antibiotic Using on Septic Patients with

25
Kidney Disorder). J Sains Farm Klin. 2016;2(2):129–37.
14. Guntur A. Sepsis. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing. In: Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta; 2014. p. 692–9.
15. Marx. Sepsis syndrome. In: Shapiro N, Zimmer G, Barkin A, editors.
Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2013. p. 1869–79.
16. Lie A. Hubungan Kadar Asam Laktat Dengan Kejadian Acute Kidney
Injury (AKI) Pada Pasien Sepsis Dan Syok Septik Di RSUP Haji Adam
Malik Medan Tahun 2016 [Skripsi]. [Medan]: USU; 2017.
17. Sagy M, Al-Qaqaa Y KP. Definitions and pathophysiology of septsis. Curr
Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2013;43(10):260–3.
18. Tan H, Rahardja K. Obat-obat Penting. 6th ed. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia; 2007. 65, 146 p.
19. R. Setiabudy dan Vincent H.S. Gan. Pengantar Antimikroba. In: SG G,
editor. Farmakologi dan Terapi. 4th ed. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI;
1995. p. 571–93.
20. Waller DG, Renwick AG HK. Medical Pharmacology and Therapeutics.
3rd ed. cina: Unders Elsevier; 2010. 587 p.
21. Permenkes RI No.2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik. Jakarta; 2011.
22. Gyssens IC. Chapter 12 Audits for Monitoring the Quality of Antimicrobial
Prescriptions. In: Gould, I.M., Meer V der, editors. Antibiotik Policies:
Theory and Practice. Kluwer Academic Publishers; 2005. p. 197–226.
23. Lampiris HW, Maddix DS. Clinical Use of Antimicrobial Agents. In: 12,
editor. Basic and Clinical Pharmacology.
24. McGregor CJ, E S et al. A Systematic Review of the Methods Used to
Assess the Association between Appropriate Antibiotic Therapy and
Mortality in Bacteremic Patients 2007;45. Clin Infect Dissease.
2007;45(3):329–37.
25. Leekha S, Terrell CL ER. General Principles of Antimicrobial Therapy.
Mayo Clin Proceeding. 2011;86.
26. World Health Organization. The World Medicine Situation 2011 3ed.
Rational Use of Medicine. Geneva; 2011.
27. Sabate E. World Health Organisation. Adherence to long term therapies.
Evidence for action. Geneva, 2003. geneva; 2003.
28. Leone M, Bourgoin A, Cambon S et al. Empirical antimicrobial therapy of

26
septic shock patients: adequacy and impact on the outcome. Crit Care Med.
2003;31:462–467.
29. Depuydt P BS. Antibiotic therapy for ventilator-associated pneumonia: de-
escalation in the real world. Crit Care Med. 2007;35:632–633.
30. Leone M, Garcin F, Bouvenot J et al. Ventilator-associated pneumonia:
breaking the vicious circle of antibiotic overuse. Crit Care Med.
2007;35:379–385.
31. Textoris J, Wirasmus S et al. Antibiotic therapy in patients with septic
shock. Crit Care Med. 2011;28:318–24.
32. American Thoracic Society; Infectious Diseases Society of America.
Guidelines for the management of adults with hospital-acquired,
ventilatorassociated,and healthcare-associated pneumonia. 2005; 171: Am J
Respir Crit Care Med. 2005;171:388–416.
33. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM et al. Surviving Sepsis Campaign:
international guidelines for management of severe sepsis and septic shock.
Crit Care Med. 2008;36:296–327.
34. Kumar A, Ellis P, Arabi Y et al. Initiation of inappropriate antimicrobial
therapy results in a five fold reduction of survival in human septic shock.
Chest. 2009;136:1237–1248.
35. Guntur. Sepsis. In: Prasetyo DA, Sutanto ]Y.S., editors. SIRS & Sepsis
(Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret
University Press; 2006. p. 1–13.
36. Kentjono W. SIRS-Sepsis pada penderita karsinoma nasofaring pasca
radioterapi dan kemoterapi. Surabaya: Bagian/SMF THT FK Unair/RSUD
Dr. Soetomo; 2005.
37. Cunha B. Antibotic Essentials. Ed 15th. 15th ed. Bangladesh: Jaypee
Brothers Medical Publisher; 2017.
38. Stitzel R, Craig C. Moddern Pharmacology. 2005.
39. Augustin P KN. Risk factors for multidrug resistant bacteria and
optimization of empirical antibiotic therapy in postoperative peritonitis.
Crit Care Med. 2010;
40. Peleg A, Hooper D. CurrentConcepts, Hospital-Acquired Infections Due to
Gram-Negative Bacteria. N Engl J Med. 2010;362(19).
41. Arias CA, Murray BE. Antibiotic-Resistant Bugs in the 21st Century —A
Clinical Super-Challenge. N Engl J Med. 2009;360(5).

27

Anda mungkin juga menyukai