Filsafat Epistimologi Abed Al-Jabiri
Filsafat Epistimologi Abed Al-Jabiri
Filsafat Epistimologi Abed Al-Jabiri
KONSEP TAUBAT
MENURUT IMAM AL-GHAZALI
DALAM KITAB MINHAJUL ‘ABIDIN
Dosen Pengampu :
Dr. Nelly Marhayati, M.SI
Disusun oleh :
Mhd. Rusydi
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan Taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan aktifitas kita dalam
keadaan sehat walafiyat. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita yang telah merubah tatanan sosial dari alam yang penuh dengan
ketergersangan ilmu menuju alam yang penuh cahaya ilmu yakni agama Islam.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Filsafat Ilmu yang
membahas tentang Epistemologi Muhammad Abed Al-Jabiri.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kesempurnaan serta
banyak sekali kesalahan. Untuk itu diperlukan kritik dan saran yang tertulis ataupun
lisan agar Kami bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya, khususnya ilmu
pengetahuan dibidang filsafat ilmu. Serta dapat memberikan kita semua manfaat yang
dapat membantu hidup kita menjadi lebih baik dan lebih berwawasan.
Mhd. Rusydi
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I .......................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah......................................................................................1
BAB II Pembahasan............................................................................................... 2
A. Biografi Abed Al-Jabiri.................................................................................2
B. Kritik Arab : Catatan Pendahuluan...............................................................4
C. Trilogi Epistimologi......................................................................................6
D. Epistimologi Bayani......................................................................................7
E. Epistimologi ‘Irfani.......................................................................................8
F. Epistimologi Burhani....................................................................................9
G. Makna dan Kata...........................................................................................12
BAB III Penutup.................................................................................................... 14
Kesimpulan..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir ini trend baru pemikiran Islamtelah
mewarnai sejarah pemikiran Islam. Berbagai tokoh danpemikir muslim
bermunculan menyuarakan bagaimanaseyogyanya kebangkitan Islam dimulai; apa
sebab-sebab kemun-duran Islam; bagaimana semestinya kemajuan dan
pembaharuan itu dimulai. Mereka menyoal kembali warisan kebudayaan dan
intelektual Islam. Hal ini terlihat jelas dengan kemunculan beberapa pemikir
muslim kontemporer, seperti Khalil Abdul Karim, HassanHanafi, Nasr Hamid Abu
Zaid, Khalid Abu el-Fadl dan sederetan pemikir muslim lainnya. Masing-masing
dari mereka menawarkan gagasan atau pemikiran tentang pembaharuan Islam yang
berbeda dan khas sesuai dengan disiplin keilmuan dan kecenderungannya.
Artikel ini akan menelisik secara spesifik pemikiran pem-baharuan Abid Al-
Jabiri. Kekhasan pemikiran Al-Jabiri terletak padakritik epistemologi yang
dilakukan terhadap bangunan keilmuan yang berkembang di tengah peradaban
Arab-Islam. Kritik episte-mologi menjadi sebuah ranah ilmu pengetahuan yang
tidak banyakdiperhatikan oleh pemikir muslim khususnya. Lebih-lebih, episte-
mologi sebagai bagian dari filsafat telah sejak lama dijauhkan dariperadaban
keilmuan dunia Islam; mempelajari filsafat sama sajadengan menceburkan diri pada
jurang kekafiran. Setidaknya, kritik epistemologi Al-Jabiri ini, menawarkan kepada
dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi sebuah bangunan nalar-epistemik
pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dan perubahan dunia Islam menuju
kemajuan peradaban.
1
yang tidak sadar, yaitu otoritas teks , otoritas masa lalu, dan otoritas qiyas. Al-jabiri
terinspirasi oleh semangat kritisme Ibn hazm dan Asy-syathibi serta rasionalisme
Ibnu rosyid, yang merupakan dasar untuk membangun tradisi rasionalisme. Dengan
semangat rasionalisme, Al-jabiri kemudian membangun proyek kritiknya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana trilogi nalar menurut Al-Jabiri?
2. Bagaimana epistimologi Bayani, Irfani dan Burhani menurut Al-Jabiri?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Jabiri merupakan anak tunggal dari hasil pernikahan Muhammad dan Al-
Wazinah. Kedua orang tuanya muncul dari dua tradisi yang berbeda. Dari ayahnya
mengalir darah nasionalis-revolusioner pejuang figuig, sedangkan dari ibunya mengalir
darah intelektual. Ibunya merupakan keturunan dari Seyyed Abd Al-Jabbar Al-Figuig,
seorang ulama tersohor yang bahkan karyanya masih tersipan di perpustakaan seorang
orientalis Prancis bernama Jacques Berque. Tidak banyak yang diingat tentang relasi
ayah dan ibunya, karena keduanya bercerai saat Al-Jabiri masih berada dalam
kandungan, selama kurang lebing tujuh tahun, ia diasuh oleh ibunya yang tinggal
bersama kakek dan saudara dari pihah ibu. Atas kesepakatan keluarga, ibunya diminta
agar tetap menjanda hingga Al-Jabiri berusia tujuh Tahun.2
1
Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri ,
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf
hlm. 60
2
Uraian ingatan-ingatan masa momen masa kecilnya bias dilihat : Muhammad Abed Al-Jabiri,
Hafriyat Fi Al-Dzakirah min Ba’id, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-Arabiyah : Beirut cet. I, 1997), h. 24-
26
3
dan Mustofa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran
Islam dan filsafat yang diperuntukkan bagi sarjana muda ditahun akhir sebelum mereka
menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa aktifitas al Jabiri
baik dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum lain telah membentuk dia
menjadi intelektual yang sangat penting era itu. Beberapa artikel dengan beragam isu
yang dihembuskan berhasil dipublikasikan di Maroko.
Muhammad Abed al Jabiri selama kurang lebih 20 tahun membangun tradisi kritik
dalam pemikiran Islam, sejak tahun 1970-an ia menghabiskan waktunya untuk
menghasilkan beberapa karya yang cukup brilian. Diantara karyanya yang terkenal
adalah trilogi Naqd al ‘Aql al ‘Arabi (kritik Pemikiran Arab). Buku ini berisi 1200
halaman lebih. Konsep triloginya ini juga tersebar di tiga buku beliau, pertama, Taqwin
al ‘Aql al ‘Arabi (Formasi Nalar Arab, 1982), Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi (Struktur Nalar
Arab, 1986), al ‘Aql al Siyasi al ‘Arabi (Nalar Politik Arab, 1990) semuanya
diterbitkan oleh Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, Beirut, Libanon.
4
menjadi Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritik – Analitik). Tahun 1989 ia menulis
Isykaliyat al Fikr al Arabi (judul terjemahan Beberapa Problematika Pemikiran Arab
Kontemporer) dan secara kontinyu ia meneliti tradisi Arab dan selalau menulisnya
dalam sebuah karya tahun berikutnya yakni 1990, ia menulis Hiwal al Masyriq wa al
Maghrib:Talihi Silsilah al Rudud wa al Munaqasat (Meleburkan Timur Dan Barat
Dalam Cakrawala Kritik Dan Dialog), kemudian tahun 1991 ia kembali menerbitkan
sebuah karya al Turats wa al Hadasah:Dirasah wa Munaqasah yang kemudian
diterjemahkan menjadi Tradisi dan Modernitas: Studi Kajian dan Perdebatan). Tahun
1992 buku berikutnya terbit dengan Judul Wijhah Nazhr Nahw I’adah Bina Qadlaya
al Fikr al Arabi al Muashir (judul terjemahan Satu Sudut Pandang Menuju
Rekonstruksi Persoalan pemikiran Arab Kontemporer).
Dengan tidak mengenal lelah, al Jabiri terus menorehkan buah karyanya lewat
tulisan yang terus-menerus ia hasilkan tahun 1994 ia menulis al Mas’alah al
Tsaqafiyah (terjemahan ; Problem kultural), di tahun yang sama ia juga menulis
Masalah al Hawiyah (Problem Identitas), tahun berikutnya 1995 buku yang lain terbit
yakni al Mutsaqqafun al Arab fi –I Hadlarah al Islamiyah. Tahun 1998 al Jabiri
terlibat dalam penerbitan buku karya filosuf besar Islam, Ibnu Rusyd. Buku itu diberi
judul al Dharuri fi al Siyasah: Mukhtasar kitab al Siyasah li aflathun, dalam buku ini
al Jabiri hanya sebagai editor dan memeberikan pengantar tentang atas pemikiran Plato
dan Aristoteles yang ditulis oleh Ibnu Rusyd tersebut4.
4
Ibid. Hlm. 61-62
5
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm.
330
5
konteks science ilmiah. Al-jabiri merumuskan langkah-langkah sistematis dengan cara
berikut :
6
Ibid,. Hlm. 331
6
historisitas dan genealogi sebuah pemikiran yang sedang dikaji dan (b) keharusan
menguji seberapa jauh validitas konklusi pendekatan strukturasi diatas. Valiiditas
bukanlah “kebenaran logis” karena ini sudah merupakan tujuan utama
strukturalisme melainkan “kemungkinan historis” (al-‘imkan at-tarikhi), yaitu
kemunginan yang mendorong untuk mengetahui secara jeli apa saja yang mungkin
dikatakan sebuah teks (said) dan apa yang tidak dikatakan (not said), juga apasaja
yang dikatakan , tetapi didiamkannya (never-said).
3. Kritik ideologi, yaitu mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik,
yang dikandung sebuah teks atau pemikiran tertentu, atau yang sengaja dibebankan
pada teks tersebut dakam suatu sistem pemikiran (episteme) tertentu yang menajadi
rujukannya. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakan satu-
satunya cara untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan dirinya. Ini dalam
rangka mendekatkan dirinya satu bentuk historisasi atau sebagai bentuk sejarah.7
C. Trilogi Epistimologi
Setiap agama yang integral memiliki dimensi intelektual yang terdiri atas teologi,
gnosis, dan filsafat. Islam merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan
keagamaan dengan secara akrab dengan ketiga aktivitas intelektual yang dimiliki
sebagai suatu tradisi milenial8. Aktivitas intelektual islam ini diklasifikasikan oleh Al-
jabiri secara tegas pada tiga kelompok istilah tipikal, yaitu epistemilogi bayani, ‘irfani,
dan burhani.
Dalam buku pengantar kritik pemikiran Arab (Naqd Al-‘Aql A-‘Arabi), yang
kemudian dikaji dalam karyanya Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi , Al-Jabiri membagi
struktur pemikiran menjadi tiga sistem pengetahuan, yaitu sistem pengetahuan
eksplanatoris (An-Nizam al-Ma’rifiyah Al-bayaniyyah), gnosis (An-Nizam Al-
Ma’rifiyah Al-Irfaniyah), dan demonstratif (An-Nizam Al-Ma’rifiyah Al-Burhaniyyah).
7
Ibid,. Hlm. 331-332
8
Sayyed Hosein Nasr, intelektual Islam : Teologi, Filafat dan Gnosis (Theology, Philodhopy
and Sprirituality), terj. Suharsono dan Jamaluddin M.Z, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 3
7
oleh para ahli logika dan filsafat. Ketiga sistem ini mempunyai ciri sistem epistemologi
yang berbeda, bahkan dapat bertentangan antara satu dan lainnya.
D. Epistimologi Bayani
Perkembangan nalar bayani bisa di lihat dari kata-kata bahasa Arab, bayani artinya
penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan
kamus Lisan al-Arab yaitu suatu kamus karya Ibnu Mandzur dan dianggap sebagai
karya pertama yang belum tercampuri pengertian lain tentang kata ini, memberikan arti
sebagai memisahkan dan terpisah (al-Fashl wa Infishal) dan jelas dan penjelasan (al-
Dhuhur wa al-Idhar). Makna al-Fashl wa Idhar dalam kaitannya dengan metodologi,
sedang Infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ra‟yu) dari metode bayani.15
Sementara secara termenologi, bayani mempunyai dua arti, (1) aturan-aturan penafsiran
wacana, (2) syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang
telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna termenologi ini baru lahir
belakangan, yakni pada masa kodifikasi.11
9
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm.
334
10
Muhamamad ‘Abid Al-Jabiri, Bunyah Al-‘aql Al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah Al-Wihdah,
1990
8
Al-Jabiri mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar yang melandasi pandangan
dunia bayani dengan menganalisis dua isu utama yang diduga menjadi muara, sekaligus
sumber persoalan metedologis dari sistem epistimologi bayani, yaitu (1) Pandangan
bayani tentang hubungan subyek antarrealitas; dan (2) pandangan bayani tentang
hubungan subyek yang mengetahui (akal) dan obyek yang diketahui (realitas).
Dalam pandangan dunia bayani, segala sesuatu bersifat atomis dan saling
terpisah. Teori Atomistik didorong oleh keinginan untuk menegaskan pandangan
tentang penciptaan yang berkelanjutan. Para ahli bayani menegaskan bahwa Tuhan
menciptakan segala sesuatu tanpa perantara, dengan konsekuensi, penolakan
terhadap relasi kausalitas dan sebaliknya penegasan terhadap prinsip diskontinuitas
dalam segala sesuatu.
2. Konsep Akal
9
penolakan prinsip identitas . satu-satunya prinsip penalaran yang diakui adalah
prinsip non-kontradiktoris. Adapun prinsip ketiga, kadang-kadang diterima,
kadang-kadang ditolak. Ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan partikular
dan indriawi, prinsip tersebut diteriam apabila berhadapan dengan persoalan
universal dan abstrak, sikap mereka cenderung tidak konsisten.
E. Epistimologi ‘Irfani
‘Irfan dalam bahasa Arab merupakan masdar ‘arafa semakna dengan ma’rifah.
Dalam kamus bahasa Arab diartikan pengetahuan. Dikalangan para Sufi ‘irfani
ditunjukan untuk menunjukan jenis pengetahuan yang tinggi, yang dihadirkan dalam
kalbu dengan cara kasyf atau ilham. Adapun ma’rifah dikalangan sufi diartikan sebagai
pengatahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan wahyu. Para sufi membedakan antara
pengatahuan yang didapat melalui indra, atau melalui akal, atau kedua-duanya dengan
pengetahuan yang melalui pandangan langsung. Dzu An-Nun Al- Mashri (w. 245 H)
mengklasifikasikan pengetahuan ada tiga, yaitu :
1. Pengetahuan orang awam yang mengatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan
perantara ucapan syahadat.
2. Pengetahuan ulama, Tuhan Esa menurut logika dan akal;
3. Pengetahuan para sufi yang mengatakan bahwa Tuhan esa dengan perantara hati
dan sanubari.
Dalam bahasa Yunani ‘irfah berasal dari kata gnosis, yang berarti ma’rifah,
al’ilm, dan al-hikmah. Di eropa pengetahuan ‘irfani dipandang sebagai suatu gerakan
agama (gnoticism) yang heretik, menyimpang, dan muncul dalam agama Kristen, serta
fenomena umum yang dikenal dalam tiga agama Samawi, yaitu Islam, Kristen dan
Yahudi. Lebih dari itu Istilah ini dikenal dalam agama paganistik.
Ali Ibn Ústman Al-Hujwiri, Kasyful mahjub, Terj. Suwardo Muthary dan Abdul Hadi W.H.
13
10
dimiliki oleh sekelompok orang tertentu, sedangkan gnoticism merupakan aliran yang
mengklaim dirinya sebagai gerakan keagamaan yang dibangun atas dasar suatu
pengetahuan yang lebih tinggi dari pengetahuan rasional, pengetahuan yang bersifat
esoterik, yang tidak hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga dengan segala sesuatu
yang bersifat rahasia dan samar seperti sihir, astronomi , kimia dan sebagainya.14
F. Epistimologi Burhani
Secara etimologis, Al-Burhan dalam bahasa arab artinya argumentasi yang kuat dan
jelas (al-hujjah al-fashilah al-bayyinah), yang dalam bahasa Inggris disebut
demontration, berasal dari bahasa latin demonstratio yang berarti isyarat, sifat,
keterangan, dan menampakkan.16 Dalam bahasa Prancis dibedakan antara demonter
yang berarti memaparkan sesuatu atau permasalahan secara jelas, logis, dan terstruktur,
dan montrer yaitu kata kerja yang berarti menunjukkan pada sesuatu sehingga dapat
diraba. Al-Burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang tegas (desicive proof)
dan keterangan yang jelas.
Menurut istilah logika (al-mantiq), dengan makna sempit al-burhan adalah aktivitas
intelektual (dzihniyyah) yang menentukan salah benarnya suatu masalah (qadhiyyah)
dengan cara konsklusi atau deduksi (istintaj). Adapun dalam pengertian umum , burhan
adalah semua aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran sebuah prooposisi.
Dalam al-mausu’ah al-falsafiyah, al-burhan adalah aktivitas istidhal yang ditujukan
untuk menegaskan atau mengetahui kebenaran suatu pemikiran. Burhan yang tegak
14
Al-Jabiri, Bunyah ..., hlm. 253-254
15
Ahmad Hasan Ridwan, ..., hlm. 250
16
Ibid
11
pada qadhiyyah yang benar disebut burhan dan burhan yang tegak pada qadhiyyah yang
salah disebut burhan tafnid.
Dalam al-mu’jam al-fasafati dijelaskan bahwa burhan adalah penjelas dalam suatu
hujjah secara transparan, atau meruoakan hujjah itu sendiri yang mengharuskan adanya
tashdiq (pembenaran) terhadap suatu persoalan karena kebenaran argumentasinya.
Menurut terma logika, burhan adalah analogi yang disusun dari beberapa premis untuk
mendapatkan hasil yang meyakinkan.
Kata burhan dalam konteks bahasan ini bukan dalam pengertian terminologis
seperti itu. Istilah ini digunakan dengan suatu pengertian khusus, merujuk pada metode
berfikir khusus berdasarkan pandangan dunia (weltanschauung) tertentu yang tidak
disandarkan pada sistem berfikir, selain metode itu sendiri, yaitu sumbernya berasal
dari kekuatan intelektual manusia, yaitu indera, eksperimen, dan aturan logika. Tradisi
al-burhan masuk dalam tradisi pikir arab pada pertengahan, di samping dua tradisi
berfikir lain yang telah ada.17
Istilah burhani mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, yang
digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham
ma‟rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki
pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia
bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal
yang mengikat pada sebab akibat. Cara berpikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh gaya logika aristoteles. Menurut al-Jabiri logika Aristoteles belum hadir
secara utuh dalam kebudayaan Arab Islam kecuali pada 4 abad H. Atau kurang dari 2
abad H, setelah proses penterjemahan dan kodifikasi berlangsung.18
17
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, (Bandung; Pustaka setia, 2001) hlm.
351-352
18
Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 367.
12
1. Spektrum Historis Al-Burhan
13
adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Filsafat terdiri atas metode
dan visi. Membangun sebagian atau keseluruhan visi dan filsafat tidak dapat
dilakukan tanpa membangun metode karena visi lahir dari metode. Apalagi wilayah
kajian para penentang filsafat meluas memasuki bermacam-macam bidang,
misalnya nahwu dan bayan yang pada mulanya merupakan satu ilmu, bukan hanya
kaidah bahasa, melainkan metode berfikir dengan logika bahasa secara langsung
mendapatkan saingan dan tantangan dari logika yang di bangun Aristoteles.
Pada bagian ini menjelaskan kata, makna, dan qiyas dalam epistemologi burhani
secara metodologis. Penjelasan Al-Jabiri difokuskan pada peran al-Kindi dan Al-Farabi
dalam membawa dan mengembangkan epistemologi burhani di dunia pemikiran islam.
Pandangan al-farabi tentang makna dan kata tidak terlepas dari aristoteles. Al-
farabi menyatakan bahwa makna lebih dulu lahir dari pada kata. Dia mendasarkan
pendapatnya pada teori kelahiran bahasa. Seseorang tidak akan mengungkapkan sesuatu
terlebih dahulu dalam bentuk kata-kata, baru mencari maknanya, tetapi justru
sebaliknya. Dari proses interaksi dan observasinya dengan alam melalui dengan
indranya, seseorang terlebih dahulu memiliki ide atau konsep tentang alam yang dia
amati. Dari sana lahirlah makna, ide, konsep, atau bisa disebut seluruhnya dengan al-
ma’qulat. Ketika mengomunikasikan makna yang sudah ada dalam fikirannya, berturut-
turut ia akan menggunakan isyarat, suara, kata-kata, kemudian berkembang ,enjadi
bahasa. Proposisi Al-Farabi sudah terjadi diametral dengan cara epistemologi bayani
yang menyatakan kata lebih dahulu dari pada makna, atau paling tinggi, keduanya
muncul secara bersamaan.
21
Ibid., hlm. 418
14
Selanjutnya menurut Al-Farabi, makna didapatkan dengan logika, dan
dikomunikasikan dengan kata-kata. Kata-kata memerlukan tata bahasa (al-nahw).
Logika berkaitan denga akal yang difikirkan, sedangkan tata bahasa berkaitan dengan
lisan dan kata-kata. Dengan demikian logika, lebih dahulu dari tata bahasa. Tata bahasa
bersifat khusus karena menyangkut bahasa, sedangkan bahasa bermacam-macam.
Setiap bahasa memiliki tata bahasa sendiri. Sebaliknya, logika bersifat umum karena
menyangkut akal, sedangkan akal itu satu dari seluruh manusia. Tata bahasa
menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara spesifik untuk kata-kata yang
digunakan oleh umat, bangsa, atau masyarakat tertentu, sedangkan logika menetapkan
kaidah-kaidah yang berlaku untuk semua katayang digunakan oleh seluruh umat
manusia. Logika bahasa yang bersifat universal hanya dapat di fahami oleh orang yang
mengusai beberapa bahasa sekaligus. Bagi yang hanya menguasai satu bahasa, ia tidak
akan mengerti bahwa logika yang sama berlaku untuk semua bahasa. Oleh sebab itu,
untuk memahami logika universal itu, menurut Al-Farabi, diperlukan bahasa logika.
Bahasa memerlukan kata-kata.
Al-Farabi tidak hanya mengkritik para nahwiyyin , tetapi juga mutakallimin yang
kehilangan wawasan tentang universalitas. Al-farabi menjelaskan makna universalitas
kata-kata dengan contoh yang jelas. Misalnya, kata “insan” mencakup ‘Ali, ‘Umar dan
Zaid. Begitu pula dengan kata binatang, putih, dan lain-lain. Kata-kata yang bersifat
15
umum tersebut bisa menjadi khusus dengan menggunakan kata penunjuk tertentu,
seperti haza al-insan, haza al-bayad, haza al-hait . kalau ada makna universal, tentu
ada makna partikular.22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
16
segala wujud dengan teori atomisme yang meniscayakan keterpisahan segala sesuatu.
Bentuk sintesis ini melahirkan prinsip diskontuinitas (mabda’ al-infishal) dan
oksonialisme (mabda’ at-tajwiz) dalam memandang hubungan antarrealitas dalam
tatanan semesta. Menurut Al-Jabiri ada hubungan yang tidak terpisahkan antara prinsip-
prinsip yang melandasi pandangan dunia bayani dan kerangka berfikir arab jahiliah
yang pada dasarnya dipengaruhi oleh unsur-unsur geografis, sosiologis, dan kultural.
Epistemologi ‘irfani merupakan pengetahuan yang bersumber dari qalb, melalui
kasyf. Metode yang dipergunakan para sufi adalah metode cita rasa khusus, yaitu
pemahaman instuitif langsung, yang berbeda dengan pemahaman sensual langsung,
pemahaman rasional, dan pemahaman indriawi. Metode di atas lazim disebut metode
pengetahuan iluminasi (kasyf).
Epistemologi burhani adalah suatu sistem berfikir yang sumbernya berasal dari
kekuatan intelektual manusia, yaitu indra, eksperimen, dan aturan logika. Tradisi Al-
burhan masuk dalam tradisi berfikir arab pada abad pertengahan, disamping kedua
tradisi berfikir lain yang telah ada, yaitu al-bayan dan al-irfan.
Secara metodologis, epistemologi burhani berbeda dengan epistemologi bayani,
yang menurut proposisi Al-Farabi, makna lebih dulu lahir dibanding kata. Makna
didapatkan oleh logika, dan dikominikasikan oleh kata-kata. Logika berkaitan dengan
akal. Dengan demikian, logika (al-mantiq) lebih dahulu dari tata bahasa (al-nahwu)
karena tata bahasa bersifat khusus dan sebaliknya logika bersifat umum karena
menyangkut akal. Dalam hal qiyas (silogisme) pada tataran makna, bukan lafadz ketika
logika dihadapkan pada problematika kata dan makna pada tradisi pemikiran arab, yang
di dominasi oleh tradisi bayani.
17
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhamamad ‘Abid. Bunyah Al-‘aql Al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah Al-
Wihdah, 1990.
Al-Hujwiri, Ali Ibn Ústman. Kasyful mahjub, Terj. Suwardo Muthary dan Abdul Hadi
W.H. Bandung: Mizan, 1992.
Ridwan, Ahmad Hasan. Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia,2001.
Nasr, Sayyed Hosein. intelektual Islam : Teologi, Filafat dan Gnosis (Theology,
Philodhopy and Sprirituality), terj. Suharsono dan Jamaluddin M.Z,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996
Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri,
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-
imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf
Uraian ingatan-ingatan masa momen masa kecilnya bias dilihat : Muhammad Abed Al-
Jabiri, Hafriyat Fi Al-Dzakirah min Ba’id, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-
Arabiyah : Beirut cet. I, 1997), h. 24-26
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 178.
18