Filsafat Epistimologi Abed Al-Jabiri

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL

KONSEP TAUBAT
MENURUT IMAM AL-GHAZALI
DALAM KITAB MINHAJUL ‘ABIDIN

Makalah diajukan guna memenuhi tugas pada


Mata kuliah “Metodologi Penelitian Filsafat dan Sosial”

Dosen Pengampu :
Dr. Nelly Marhayati, M.SI
Disusun oleh :

Mhd. Rusydi

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM (AFI)


PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BENGKULU
TAHUN AKADEMIK 2020 M / 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan Taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan aktifitas kita dalam
keadaan sehat walafiyat. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita yang telah merubah tatanan sosial dari alam yang penuh dengan
ketergersangan ilmu menuju alam yang penuh cahaya ilmu yakni agama Islam.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Filsafat Ilmu yang
membahas tentang Epistemologi Muhammad Abed Al-Jabiri.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kesempurnaan serta
banyak sekali kesalahan. Untuk itu diperlukan kritik dan saran yang tertulis ataupun
lisan agar Kami bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya, khususnya ilmu
pengetahuan dibidang filsafat ilmu. Serta dapat memberikan kita semua manfaat yang
dapat membantu hidup kita menjadi lebih baik dan lebih berwawasan.

Semoga makalah yang kami buat dapat menambah pengetahuan, sekaligus


bertambahnya pengetahuan.

Bengkulu, Januari 2020

Mhd. Rusydi

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I .......................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah......................................................................................1

BAB II Pembahasan............................................................................................... 2
A. Biografi Abed Al-Jabiri.................................................................................2
B. Kritik Arab : Catatan Pendahuluan...............................................................4
C. Trilogi Epistimologi......................................................................................6
D. Epistimologi Bayani......................................................................................7
E. Epistimologi ‘Irfani.......................................................................................8
F. Epistimologi Burhani....................................................................................9
G. Makna dan Kata...........................................................................................12
BAB III Penutup.................................................................................................... 14
Kesimpulan..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir ini trend baru pemikiran Islamtelah
mewarnai sejarah pemikiran Islam. Berbagai tokoh danpemikir muslim
bermunculan menyuarakan bagaimanaseyogyanya kebangkitan Islam dimulai; apa
sebab-sebab kemun-duran Islam; bagaimana semestinya kemajuan dan
pembaharuan itu dimulai. Mereka menyoal kembali warisan kebudayaan dan
intelektual Islam. Hal ini terlihat jelas dengan kemunculan beberapa pemikir
muslim kontemporer, seperti Khalil Abdul Karim, HassanHanafi, Nasr Hamid Abu
Zaid, Khalid Abu el-Fadl dan sederetan pemikir muslim lainnya. Masing-masing
dari mereka menawarkan gagasan atau pemikiran tentang pembaharuan Islam yang
berbeda dan khas sesuai dengan disiplin keilmuan dan kecenderungannya.

Artikel ini akan menelisik secara spesifik pemikiran pem-baharuan Abid Al-
Jabiri. Kekhasan pemikiran Al-Jabiri terletak padakritik epistemologi yang
dilakukan terhadap bangunan keilmuan yang berkembang di tengah peradaban
Arab-Islam. Kritik episte-mologi menjadi sebuah ranah ilmu pengetahuan yang
tidak banyakdiperhatikan oleh pemikir muslim khususnya. Lebih-lebih, episte-
mologi sebagai bagian dari filsafat telah sejak lama dijauhkan dariperadaban
keilmuan dunia Islam; mempelajari filsafat sama sajadengan menceburkan diri pada
jurang kekafiran. Setidaknya, kritik epistemologi Al-Jabiri ini, menawarkan kepada
dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi sebuah bangunan nalar-epistemik
pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dan perubahan dunia Islam menuju
kemajuan peradaban.

Al-jabiri berupaya mengkritik nalar arab yang telah mendominasi


penganutnya secara tidak sadar dengan cara merekonstruksi. Bagi Al-Jabiri,
perubahan struktur nalar dengan menggantinya dengan nalar lain, tidak akan
tercapai tanpa adanya sebuah praksis, yaitu “ praksis rasionalisme“ dalam persoalan
pemikiran dan kehidupan, terutama praksis rasionalisme kritis yang ditunjukan
terhadap tradisi yang mewarisi segenap otoritas berfikir dalam bentuk bangunan

1
yang tidak sadar, yaitu otoritas teks , otoritas masa lalu, dan otoritas qiyas. Al-jabiri
terinspirasi oleh semangat kritisme Ibn hazm dan Asy-syathibi serta rasionalisme
Ibnu rosyid, yang merupakan dasar untuk membangun tradisi rasionalisme. Dengan
semangat rasionalisme, Al-jabiri kemudian membangun proyek kritiknya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana trilogi nalar menurut Al-Jabiri?
2. Bagaimana epistimologi Bayani, Irfani dan Burhani menurut Al-Jabiri?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri

Al-Jabiri terkenal dengan sebagai tokoh filsuf pengemban semangat, lahir di


Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia
tempuh di kotanya sendiri, mulanya ia dikirim ke sekolah agama, lalu ke sekolah swasta
nasionalis (Madrasah hurrah wathaniyah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan.
Sejak tahun 1951–1963 ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah lanjutan negeri
(setingkat SMA) di Casablanca. Setelah Maroko merdeka, Al Jabiri mendapatkan gelar
diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu pengetahuan).1

Al-Jabiri merupakan anak tunggal dari hasil pernikahan Muhammad dan Al-
Wazinah. Kedua orang tuanya muncul dari dua tradisi yang berbeda. Dari ayahnya
mengalir darah nasionalis-revolusioner pejuang figuig, sedangkan dari ibunya mengalir
darah intelektual. Ibunya merupakan keturunan dari Seyyed Abd Al-Jabbar Al-Figuig,
seorang ulama tersohor yang bahkan karyanya masih tersipan di perpustakaan seorang
orientalis Prancis bernama Jacques Berque. Tidak banyak yang diingat tentang relasi
ayah dan ibunya, karena keduanya bercerai saat Al-Jabiri masih berada dalam
kandungan, selama kurang lebing tujuh tahun, ia diasuh oleh ibunya yang tinggal
bersama kakek dan saudara dari pihah ibu. Atas kesepakatan keluarga, ibunya diminta
agar tetap menjanda hingga Al-Jabiri berusia tujuh Tahun.2

Tahun 1958 Al Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk memperdalam


filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Akan tetapi ia tidak bertahan lama di Syiria,
satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Muhammad V Rabath yang saat itu baru
didirikan. Selama masa pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti aktivitas
politiknya. Tahun 1964 al Jabiri mulai mengajar filsafat ditingkat sarjana muda, selain
itu juga ia tergabung dalam beberapa forum. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati

1
Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri ,
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf
hlm. 60
2
Uraian ingatan-ingatan masa momen masa kecilnya bias dilihat : Muhammad Abed Al-Jabiri,
Hafriyat Fi Al-Dzakirah min Ba’id, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-Arabiyah : Beirut cet. I, 1997), h. 24-
26

3
dan Mustofa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran
Islam dan filsafat yang diperuntukkan bagi sarjana muda ditahun akhir sebelum mereka
menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa aktifitas al Jabiri
baik dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum lain telah membentuk dia
menjadi intelektual yang sangat penting era itu. Beberapa artikel dengan beragam isu
yang dihembuskan berhasil dipublikasikan di Maroko.

Ia kemudian melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar magister sampai


tahun 1967, dengan judul tesis Falsafah al Tarikh ‘inda Ibnu Kholdun, dibawah
bimbingan M. Aziz Lahbabi. Dan saat itu dia sudah mulai mengajar filsafat di
Universitas V Rabat Maroko. Tahun berikutnya sampai 1970 al Jabiri menyelesaikan
studi untuk memperoleh gelar Ph.D dengan disertasi tentang pemikiran Ibn Kholdun,
dibawah bimbingan Najib Baladi. Nah, selama dekade 1970 an nama al Jabiri terus
berkibar lewat beberapa tulisannya yang diterbitkan secara berkala baik khususnya yang
berkenaan dengan Pemikiran Islam, sehingga cepat mendapat respon dari berbagai
kalangan baik intelektual maupun akademisi dunia Arab.3

1. Karya-karya Muhammad Abed al Jabiri

Muhammad Abed al Jabiri selama kurang lebih 20 tahun membangun tradisi kritik
dalam pemikiran Islam, sejak tahun 1970-an ia menghabiskan waktunya untuk
menghasilkan beberapa karya yang cukup brilian. Diantara karyanya yang terkenal
adalah trilogi Naqd al ‘Aql al ‘Arabi (kritik Pemikiran Arab). Buku ini berisi 1200
halaman lebih. Konsep triloginya ini juga tersebar di tiga buku beliau, pertama, Taqwin
al ‘Aql al ‘Arabi (Formasi Nalar Arab, 1982), Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi (Struktur Nalar
Arab, 1986), al ‘Aql al Siyasi al ‘Arabi (Nalar Politik Arab, 1990) semuanya
diterbitkan oleh Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, Beirut, Libanon.

Tahun 1976 ia kembali melanjutkan karyanya dengan menulis tentang epistemologi


pengetahuan, dengan judul Madkhal ila Falsafah al-Ulum (pengantar Filsafat Ilmu).
Buku ini merupakan hasil pergulatannya dengan beberapa referensi filsafat Prancis dan
Barat. Tahun 1980 al Jabiri juga menerbitkan karya berikutnya Nahnu wa-I Turats:
Qira’ah Muasyiroh fi Turatsina al Falsafi yang kemudian diterjemahkan menjadi Kita
dan Tradisi: Pembacaan kontemporer atas Tradisi Filsafat Kita. Ia juga menulis al
Khitab al Arabi al Muashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah dalam edisi Indonesia
3
Ibid.

4
menjadi Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritik – Analitik). Tahun 1989 ia menulis
Isykaliyat al Fikr al Arabi (judul terjemahan Beberapa Problematika Pemikiran Arab
Kontemporer) dan secara kontinyu ia meneliti tradisi Arab dan selalau menulisnya
dalam sebuah karya tahun berikutnya yakni 1990, ia menulis Hiwal al Masyriq wa al
Maghrib:Talihi Silsilah al Rudud wa al Munaqasat (Meleburkan Timur Dan Barat
Dalam Cakrawala Kritik Dan Dialog), kemudian tahun 1991 ia kembali menerbitkan
sebuah karya al Turats wa al Hadasah:Dirasah wa Munaqasah yang kemudian
diterjemahkan menjadi Tradisi dan Modernitas: Studi Kajian dan Perdebatan). Tahun
1992 buku berikutnya terbit dengan Judul Wijhah Nazhr Nahw I’adah Bina Qadlaya
al Fikr al Arabi al Muashir (judul terjemahan Satu Sudut Pandang Menuju
Rekonstruksi Persoalan pemikiran Arab Kontemporer).

Dengan tidak mengenal lelah, al Jabiri terus menorehkan buah karyanya lewat
tulisan yang terus-menerus ia hasilkan tahun 1994 ia menulis al Mas’alah al
Tsaqafiyah (terjemahan ; Problem kultural), di tahun yang sama ia juga menulis
Masalah al Hawiyah (Problem Identitas), tahun berikutnya 1995 buku yang lain terbit
yakni al Mutsaqqafun al Arab fi –I Hadlarah al Islamiyah. Tahun 1998 al Jabiri
terlibat dalam penerbitan buku karya filosuf besar Islam, Ibnu Rusyd. Buku itu diberi
judul al Dharuri fi al Siyasah: Mukhtasar kitab al Siyasah li aflathun, dalam buku ini
al Jabiri hanya sebagai editor dan memeberikan pengantar tentang atas pemikiran Plato
dan Aristoteles yang ditulis oleh Ibnu Rusyd tersebut4.

B. Kritik Arab: Catatan Pendahuluan


Akal Arab adalah La raison constituee (‘aql muqawwam), yaitu kumpulan
prinsip dan kaidah yang diberikan oleh kultur Arab kepada para pengikutnya sebagai
landasan untuk memperoleh pengetahuan atau sebagai aturan epistemologis, yaitu
kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bahwa sadar dari pengetahuan
dalam fase sejarah tertentu. Akal Arab, dalam kapasitasnya sebagai instrumen
pemikiran dan pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristiknya dibentuk oleh
peradaban tertentu, yaitu peradaban Arab. 5

Menurut Al-jabiri, diskursus kebangkitan arab tidak akan mencapai kemajuan


dalam menciptakan proyek kebangkitan peradaban, baik cara ideal maupun dalam

4
Ibid. Hlm. 61-62
5
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm.
330

5
konteks science ilmiah. Al-jabiri merumuskan langkah-langkah sistematis dengan cara
berikut :

1. Kritik historis terhadap permasalahan yang ditinggalkan masa lalu, kemudian


menyitematisasikan rentetan fakta sejarah. Al-jabiri menegaskan bahwa struktur
akal arab telah di bekukan dan di sistematisasikan pada era kondifikasi (‘ashr at-
tadwin) pertengahan abad ke 2 H. Sebagai konsekuensinya, dunia berfikir yang
dominan pada mas itu mempunyai kontribusi besar dalam menentukan orientasi
pemikiran yang berkembang kemudian, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap
khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya.
2. Pada era kodifikasi baru (‘ashr at-tadwin al-jadid), pemikiran arab dikendalikan
oleh akal yang afektif (munfa’il) , bukan akal aktif (fa’il). Akal afektif dipengaruhi
oleh : (a) kesadaran akan tantangan barat yang membangunkan dari tidur panjang
dan memosisikannya pada pinggiran lingkaran dengan barat sebagai (axis) pusat
rotasinya ; (b) reaksi balik yang berusaha menggapai legitimasinya dari masa
lampau menjadikannya sebagai pusat rotasi dan yang lain berapa di pinggiran
lingkarannya.
Pengaruh kedua inilah yang mebguasai secara dominan diskursus pemikiran
arab kontemporer, yaitu kecenderungan yang berlindung di balik legimitasi para
pendahulu (salaf) , besenjatakan analogi di deduktif fiqh dan ideologis. 6
Al-jabiri mengemukakan tiga pendekatan untuk memahami tradisi dan
menumbuhkan tingkat objektiivitas, yaitu sebagai berikut :
1. Pendekatan dengan metode strukturalis dalam mengkaji sebuah tradisi, kita
berangkat dari teks-teks sebagaiman adanya. Ini berarti kita perlu meletakkan
berbagai jenis pemahaman tentang persoalan-persoalan tradisi dalam tanda kurung,
serta membatasi objek kajian pada teks-teks tersebut, yaitu teks-teks dalam
posisinya sebagai sebuah korpus, satu kesatuan sebuah sistem. Teks unsur-unsur
baku yang ada di dalamnya berperan mengarahkan perubahan-perubahan yang
berlaku pada dirinya pada satu lingkaran fokus tertentu.
2. Analisis sejarah ini berkaitan dengan upaya untuk mempertautkan pemikiran si
pemilik teks yang telah dianalisis dalam pendekatan pertama dengan lingkup
sejarahnya, dengan segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya.
Pertautan semacam ini penting karena dua hal : (a) keharusan memahami

6
Ibid,. Hlm. 331

6
historisitas dan genealogi sebuah pemikiran yang sedang dikaji dan (b) keharusan
menguji seberapa jauh validitas konklusi pendekatan strukturasi diatas. Valiiditas
bukanlah “kebenaran logis” karena ini sudah merupakan tujuan utama
strukturalisme melainkan “kemungkinan historis” (al-‘imkan at-tarikhi), yaitu
kemunginan yang mendorong untuk mengetahui secara jeli apa saja yang mungkin
dikatakan sebuah teks (said) dan apa yang tidak dikatakan (not said), juga apasaja
yang dikatakan , tetapi didiamkannya (never-said).
3. Kritik ideologi, yaitu mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik,
yang dikandung sebuah teks atau pemikiran tertentu, atau yang sengaja dibebankan
pada teks tersebut dakam suatu sistem pemikiran (episteme) tertentu yang menajadi
rujukannya. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakan satu-
satunya cara untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan dirinya. Ini dalam
rangka mendekatkan dirinya satu bentuk historisasi atau sebagai bentuk sejarah.7

C. Trilogi Epistimologi

Setiap agama yang integral memiliki dimensi intelektual yang terdiri atas teologi,
gnosis, dan filsafat. Islam merupakan agama yang telah mengembangkan kehidupan
keagamaan dengan secara akrab dengan ketiga aktivitas intelektual yang dimiliki
sebagai suatu tradisi milenial8. Aktivitas intelektual islam ini diklasifikasikan oleh Al-
jabiri secara tegas pada tiga kelompok istilah tipikal, yaitu epistemilogi bayani, ‘irfani,
dan burhani.

Dalam buku pengantar kritik pemikiran Arab (Naqd Al-‘Aql A-‘Arabi), yang
kemudian dikaji dalam karyanya Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi , Al-Jabiri membagi
struktur pemikiran menjadi tiga sistem pengetahuan, yaitu sistem pengetahuan
eksplanatoris (An-Nizam al-Ma’rifiyah Al-bayaniyyah), gnosis (An-Nizam Al-
Ma’rifiyah Al-Irfaniyah), dan demonstratif (An-Nizam Al-Ma’rifiyah Al-Burhaniyyah).

Menurut Al-jabiri, sistem pengetahuan eksplanatoris ditopang oleh para ahli


bahasa-struktur-balaghah Arab, ushul fiqih, dan mutakalimun. Sementara sistem
pengetahuan gnosis ditopang oleh para pengikut tasawuf, filsafat iluminatif, dan imu-
ilmu kebatinan (‘ulum as-sirriyah). Adapun sistem pengetahuan demonstratif ditopang

7
Ibid,. Hlm. 331-332
8
Sayyed Hosein Nasr, intelektual Islam : Teologi, Filafat dan Gnosis (Theology, Philodhopy
and Sprirituality), terj. Suharsono dan Jamaluddin M.Z, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 3

7
oleh para ahli logika dan filsafat. Ketiga sistem ini mempunyai ciri sistem epistemologi
yang berbeda, bahkan dapat bertentangan antara satu dan lainnya.

Epistemologi di atas di bedakan berdasarkan segi otoritas penentuan kebenaran.


Dalam epistemologi Bayani, otoritas kebenarannya ada pada nash. termasuk pada pola
pikir Bayani adalah rumpun keilmuan bahasa arab, ushul fiqih,dan kalam. Titik temu
antar berbagai rumpun keilmuan tersebut terletak pada hubungan antar teks dan
pemaknaan teks secara esensial. Epistemologi ‘Irfani otoritas kebenarannya ada pada
intuisi (kasyf) , sedangkan Al-Burhan sebagai epistemologi berbeda secara menonjol
dari kedua epistemologi tersebut, yaitu penentuan otoritasnya pada akal an sich.9

Selanjutnya, Al-Jabiri menjelaskan bahwa akal Arab direkonstruksi pada tiga


konstruksi , yaitu epistemologi Bayani, epistemologi irfani , dan epistemologi burhani.

D. Epistimologi Bayani

Al-Jabiri menyimpulkan bahwa terma al-bayan mengandung empat pengertian,


yaitu pemisahan keterpisahan, jelas dan penjelasan. Keempat pengertian tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok , yaitu al-bayan sebagai metedologi, yang
berarti pemisah dan penjelasan; dan al-bayan sebagai pandangan dunia10, yang berarti
keterpisahan dan jelas.

Perkembangan nalar bayani bisa di lihat dari kata-kata bahasa Arab, bayani artinya
penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan
kamus Lisan al-Arab yaitu suatu kamus karya Ibnu Mandzur dan dianggap sebagai
karya pertama yang belum tercampuri pengertian lain tentang kata ini, memberikan arti
sebagai memisahkan dan terpisah (al-Fashl wa Infishal) dan jelas dan penjelasan (al-
Dhuhur wa al-Idhar). Makna al-Fashl wa Idhar dalam kaitannya dengan metodologi,
sedang Infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ra‟yu) dari metode bayani.15
Sementara secara termenologi, bayani mempunyai dua arti, (1) aturan-aturan penafsiran
wacana, (2) syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang
telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna termenologi ini baru lahir
belakangan, yakni pada masa kodifikasi.11

9
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia, 2001 hlm.
334
10
Muhamamad ‘Abid Al-Jabiri, Bunyah Al-‘aql Al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah Al-Wihdah,
1990

8
Al-Jabiri mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar yang melandasi pandangan
dunia bayani dengan menganalisis dua isu utama yang diduga menjadi muara, sekaligus
sumber persoalan metedologis dari sistem epistimologi bayani, yaitu (1) Pandangan
bayani tentang hubungan subyek antarrealitas; dan (2) pandangan bayani tentang
hubungan subyek yang mengetahui (akal) dan obyek yang diketahui (realitas).

1. Perspektif Bayani tentang Realisasi Antar realitas

Hubungan antar segala sesuatu membawa konsekuensi pada problem kausalitas.


Unsur pokok dari persoalan kausalitas berkaitan dengan persoalan konsep ruang
dan waktu. Konsep ruang dalam pandangan bayani bersifat konkret. Sedangkan
konsep waktu, selalu dikaitkan dengan kejadian tertentu. Konsep absolut waktu
yang tidak berawal dan berakhir mutlak tidak pernah ada dalam pandangan dunia
bayani. Konsep waktu selalu berarti waktu tertentu: Musim Panas, musim buah,
tahun gajah, zaman Mu’wiyah dan seterusnya. Tegasnya waktu bersifat
diskontinuitas sesuai dengan diskontinuitas kejadian.12 Pada akhirnya, dapat
dipahami konsep ruang dan waktu dalam pandangan dunia bayani bersifat
atomistik, atau dengan kata lain sepenuhnya pada prinsip diskontinuitas.

Dalam pandangan dunia bayani, segala sesuatu bersifat atomis dan saling
terpisah. Teori Atomistik didorong oleh keinginan untuk menegaskan pandangan
tentang penciptaan yang berkelanjutan. Para ahli bayani menegaskan bahwa Tuhan
menciptakan segala sesuatu tanpa perantara, dengan konsekuensi, penolakan
terhadap relasi kausalitas dan sebaliknya penegasan terhadap prinsip diskontinuitas
dalam segala sesuatu.

2. Konsep Akal

Akal dalam epistimologi bayani dianggap bukan substansi, melainkan


aksidensi. Menurut Al-Jabiri bahwa definisi akal harus tunduk pada prinsip
akasionalisme agar tidak membawa implikasi dan gambaran tentang konsep
keniscahyaan akal. Pada akhirnya, berdasarkan kajian terhadap jalur penalaran ahli
bayani tentang konsep keniscahyaan, Al-Jabiri berkesimpulan bahwa pandangan
dunia bayani berpijak pada prinsip okasionalisme, yang berkonsekuensi pada
11
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
178.
12
Ibid., 188-190

9
penolakan prinsip identitas . satu-satunya prinsip penalaran yang diakui adalah
prinsip non-kontradiktoris. Adapun prinsip ketiga, kadang-kadang diterima,
kadang-kadang ditolak. Ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan partikular
dan indriawi, prinsip tersebut diteriam apabila berhadapan dengan persoalan
universal dan abstrak, sikap mereka cenderung tidak konsisten.

E. Epistimologi ‘Irfani

‘Irfan dalam bahasa Arab merupakan masdar ‘arafa semakna dengan ma’rifah.
Dalam kamus bahasa Arab diartikan pengetahuan. Dikalangan para Sufi ‘irfani
ditunjukan untuk menunjukan jenis pengetahuan yang tinggi, yang dihadirkan dalam
kalbu dengan cara kasyf atau ilham. Adapun ma’rifah dikalangan sufi diartikan sebagai
pengatahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan wahyu. Para sufi membedakan antara
pengatahuan yang didapat melalui indra, atau melalui akal, atau kedua-duanya dengan
pengetahuan yang melalui pandangan langsung. Dzu An-Nun Al- Mashri (w. 245 H)
mengklasifikasikan pengetahuan ada tiga, yaitu :

1. Pengetahuan orang awam yang mengatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan
perantara ucapan syahadat.
2. Pengetahuan ulama, Tuhan Esa menurut logika dan akal;
3. Pengetahuan para sufi yang mengatakan bahwa Tuhan esa dengan perantara hati
dan sanubari.

Pengetahuan dalam tingkat pertama dan kedua belum merupakan pengetahuan


hakiki sebab keduanya baru disebut ilmu. Pengetahuan dalam arti ketiga merupakan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang kemudian disebut ma’rifah.13

Dalam bahasa Yunani ‘irfah berasal dari kata gnosis, yang berarti ma’rifah,
al’ilm, dan al-hikmah. Di eropa pengetahuan ‘irfani dipandang sebagai suatu gerakan
agama (gnoticism) yang heretik, menyimpang, dan muncul dalam agama Kristen, serta
fenomena umum yang dikenal dalam tiga agama Samawi, yaitu Islam, Kristen dan
Yahudi. Lebih dari itu Istilah ini dikenal dalam agama paganistik.

Dengan demikian, istilah gnosis harus dibedakan dengan gnoticism. Gnosis


lebih tepat dipandang sebagai pengetahuan tentang rahasia-rahasia ketuhanan yang

Ali Ibn Ústman Al-Hujwiri, Kasyful mahjub, Terj. Suwardo Muthary dan Abdul Hadi W.H.
13

Bandung: Mizan, 1992, hlm. 249

10
dimiliki oleh sekelompok orang tertentu, sedangkan gnoticism merupakan aliran yang
mengklaim dirinya sebagai gerakan keagamaan yang dibangun atas dasar suatu
pengetahuan yang lebih tinggi dari pengetahuan rasional, pengetahuan yang bersifat
esoterik, yang tidak hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga dengan segala sesuatu
yang bersifat rahasia dan samar seperti sihir, astronomi , kimia dan sebagainya.14

Pembuktian kebenaran pengetahuan dan metode ‘irfani bersifat intersubyektif,


artinya kebenaran dapat dibuktikan melalui pemahaman dan ppengalaman rohani dari
subyek-subyek yang lain megenai hal yang sama. Menurut Al-Jabiri, kasyf tidak tidak
berada diatas akal, sebaimana diklaim para gnostikus, tetapi merupakan metode
pemikiran paling rendah dengan pemahaman yang terkendali. ‘irfani bersifat irasional
dan anti kritik penalaran. Metode yang digunakan adalah logika paradoksal, segala-
galanya bosa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang
mendahuluinya. Akibatnya pemikiran para sufi kehilangan dimensi kritis yang bersifat
magis sebagai sumber kemunduran umat Islam.15

F. Epistimologi Burhani

Secara etimologis, Al-Burhan dalam bahasa arab artinya argumentasi yang kuat dan
jelas (al-hujjah al-fashilah al-bayyinah), yang dalam bahasa Inggris disebut
demontration, berasal dari bahasa latin demonstratio yang berarti isyarat, sifat,
keterangan, dan menampakkan.16 Dalam bahasa Prancis dibedakan antara demonter
yang berarti memaparkan sesuatu atau permasalahan secara jelas, logis, dan terstruktur,
dan montrer yaitu kata kerja yang berarti menunjukkan pada sesuatu sehingga dapat
diraba. Al-Burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang tegas (desicive proof)
dan keterangan yang jelas.

Menurut istilah logika (al-mantiq), dengan makna sempit al-burhan adalah aktivitas
intelektual (dzihniyyah) yang menentukan salah benarnya suatu masalah (qadhiyyah)
dengan cara konsklusi atau deduksi (istintaj). Adapun dalam pengertian umum , burhan
adalah semua aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran sebuah prooposisi.
Dalam al-mausu’ah al-falsafiyah, al-burhan adalah aktivitas istidhal yang ditujukan
untuk menegaskan atau mengetahui kebenaran suatu pemikiran. Burhan yang tegak

14
Al-Jabiri, Bunyah ..., hlm. 253-254
15
Ahmad Hasan Ridwan, ..., hlm. 250
16
Ibid

11
pada qadhiyyah yang benar disebut burhan dan burhan yang tegak pada qadhiyyah yang
salah disebut burhan tafnid.

Dalam al-mu’jam al-fasafati dijelaskan bahwa burhan adalah penjelas dalam suatu
hujjah secara transparan, atau meruoakan hujjah itu sendiri yang mengharuskan adanya
tashdiq (pembenaran) terhadap suatu persoalan karena kebenaran argumentasinya.
Menurut terma logika, burhan adalah analogi yang disusun dari beberapa premis untuk
mendapatkan hasil yang meyakinkan.

Kata burhan dalam konteks bahasan ini bukan dalam pengertian terminologis
seperti itu. Istilah ini digunakan dengan suatu pengertian khusus, merujuk pada metode
berfikir khusus berdasarkan pandangan dunia (weltanschauung) tertentu yang tidak
disandarkan pada sistem berfikir, selain metode itu sendiri, yaitu sumbernya berasal
dari kekuatan intelektual manusia, yaitu indera, eksperimen, dan aturan logika. Tradisi
al-burhan masuk dalam tradisi pikir arab pada pertengahan, di samping dua tradisi
berfikir lain yang telah ada.17

Istilah burhani mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, yang
digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham
ma‟rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki
pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia
bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal
yang mengikat pada sebab akibat. Cara berpikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh gaya logika aristoteles. Menurut al-Jabiri logika Aristoteles belum hadir
secara utuh dalam kebudayaan Arab Islam kecuali pada 4 abad H. Atau kurang dari 2
abad H, setelah proses penterjemahan dan kodifikasi berlangsung.18

Epistemologi burhani merupakan sebagai bagian dari klasifikasi epistemologi


khazanah keilmuan islam, yaitu epistemologi bayani, ‘irfani dan burhani. Epistemologi
burhani berada secara khas dari epistemologi bayani dan ‘irfani. Perbedaannya terletak
pada otoritas menentukan kebenaran. Dalam epistemologi bayani, otoritas ada pada
nash (Al-Quran dan As-Sunnah), ijma; dan ijtihad ; dalam epistemologi ‘irfani, otoritas
ada pada al-kasyf sementara dalam epistemologi burhani, otoritas ada pada akal.

17
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistimologi Islam, (Bandung; Pustaka setia, 2001) hlm.
351-352
18
Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 367.

12
1. Spektrum Historis Al-Burhan

Secara historis, al-burhan sebagai sebuah epistemologi, lahir pertama kali di


Yunani 3 abad sebelum masa aristoteles. Al-burhan kemudian di kembangkan dan
di perkenalkan aristoteles kedalam dunia pemikiran arab islam.19

Usaha pengakaran epistemologi burhani pada kebudayaan islam


mendapatkan tantangan yang cukup berat dari epistemologi yang secara inhern
telah mengakar kuat sehingga pemekaran dan pengakarannya memerlukan proses
panjang dalam sejarah sebagaimana yamg dilakukan oleh al-kindi dan al-farabi.

Filsuf pertama yang berjasa membawa epistemologi burhani kedalam tradisi


fikir arab adalah al-kindi (w. 873 M). Akan tetapi, karena pada masa al-kindi
pembahasan tentang epistemologi burhan belum sempurna diterjemahkan, hanya
berapa bagian dari berapa ilmu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa arab,
usaha al-kindi membawa epistemologi burhani ke dalam dunia arab islam bersifat
parsial (juz’iyyah) dan tidak utuh.20 Ketidakutuhan usahanya disebabkan lemahnya
pengusahaan al-kindi terhadap logika. Kelemahannya inilah yang menyebabkan ia
dalam menjelaskan filsafat dan menjawab serangan fukaha, tidak menempuh cara-
cara burhani. Misalnya, untuk mempertahankan al-falsafah al-ula dari serangan
fukaha, Al-kindi menempuh cara yang sama dengan yang dilakukan penentangnya,
yaitu terjebak dengan al-sijjal dan al-jidal serta menggunakan pendekatan
birokratis kekuasaan.

Usaha al-kindi mendekati penguasa berhasil ketika ia mempersembahkan


setelah terlebih dahulu memberi kata pengantar yang menjelaskan tentang filsafat,
kedudukan filsafat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain , dan hubungan antara
agama dan filsafat seraya tidak lupa menunjukkan kelemahan para penentangnya
dalam mencari dan memahami kebenaran. Model dan cara pertahanan seperti inilah
dinilai oleh al-jabiri sebagai tindakan yang tidak bersifat burhani, atau dapat kita
sebut semacam depense mechanism. Al-kindi terjebak pada as-sijjal wa al-jidal
(contest and polemic)

Rekonstruksi epistemologi burhani oleh al-kindi tentu tidak cukup


memadai. Karena filsafat secara umum, atau filsafat Aristoteles secara khusus,
19
Ibid.
20
Al-Jabiri, Bunyah ..., hlm. 416

13
adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Filsafat terdiri atas metode
dan visi. Membangun sebagian atau keseluruhan visi dan filsafat tidak dapat
dilakukan tanpa membangun metode karena visi lahir dari metode. Apalagi wilayah
kajian para penentang filsafat meluas memasuki bermacam-macam bidang,
misalnya nahwu dan bayan yang pada mulanya merupakan satu ilmu, bukan hanya
kaidah bahasa, melainkan metode berfikir dengan logika bahasa secara langsung
mendapatkan saingan dan tantangan dari logika yang di bangun Aristoteles.

Perdebatan kemudian muncul pasca Al-Kindi, seperti perdebatan yang


terjadi antara Abu Sa’id As-Sirafi An-Nahwi dengan Abd Basyar Mata Al-Mantiqi.
Tubrukan metodologis antara ahli bahasa dan ahli logika ini merupakan
representasi dari benturan antara logika bayan dan logika burhan. Oleh karena itu
ada gambaaran yang utuh tentang hubungan antara bayan dan burhan, baik dari
segi metode maupun dari segi visi. Al-Farabi berijtihad untuk menemukan
penyusunan kaitan antara nahwu dan logika pada satu pihak, dan antara agama dan
filsafat pada pihak lain.21

G. Makna dan Kata

Pada bagian ini menjelaskan kata, makna, dan qiyas dalam epistemologi burhani
secara metodologis. Penjelasan Al-Jabiri difokuskan pada peran al-Kindi dan Al-Farabi
dalam membawa dan mengembangkan epistemologi burhani di dunia pemikiran islam.

Pandangan al-farabi tentang makna dan kata tidak terlepas dari aristoteles. Al-
farabi menyatakan bahwa makna lebih dulu lahir dari pada kata. Dia mendasarkan
pendapatnya pada teori kelahiran bahasa. Seseorang tidak akan mengungkapkan sesuatu
terlebih dahulu dalam bentuk kata-kata, baru mencari maknanya, tetapi justru
sebaliknya. Dari proses interaksi dan observasinya dengan alam melalui dengan
indranya, seseorang terlebih dahulu memiliki ide atau konsep tentang alam yang dia
amati. Dari sana lahirlah makna, ide, konsep, atau bisa disebut seluruhnya dengan al-
ma’qulat. Ketika mengomunikasikan makna yang sudah ada dalam fikirannya, berturut-
turut ia akan menggunakan isyarat, suara, kata-kata, kemudian berkembang ,enjadi
bahasa. Proposisi Al-Farabi sudah terjadi diametral dengan cara epistemologi bayani
yang menyatakan kata lebih dahulu dari pada makna, atau paling tinggi, keduanya
muncul secara bersamaan.
21
Ibid., hlm. 418

14
Selanjutnya menurut Al-Farabi, makna didapatkan dengan logika, dan
dikomunikasikan dengan kata-kata. Kata-kata memerlukan tata bahasa (al-nahw).
Logika berkaitan denga akal yang difikirkan, sedangkan tata bahasa berkaitan dengan
lisan dan kata-kata. Dengan demikian logika, lebih dahulu dari tata bahasa. Tata bahasa
bersifat khusus karena menyangkut bahasa, sedangkan bahasa bermacam-macam.
Setiap bahasa memiliki tata bahasa sendiri. Sebaliknya, logika bersifat umum karena
menyangkut akal, sedangkan akal itu satu dari seluruh manusia. Tata bahasa
menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara spesifik untuk kata-kata yang
digunakan oleh umat, bangsa, atau masyarakat tertentu, sedangkan logika menetapkan
kaidah-kaidah yang berlaku untuk semua katayang digunakan oleh seluruh umat
manusia. Logika bahasa yang bersifat universal hanya dapat di fahami oleh orang yang
mengusai beberapa bahasa sekaligus. Bagi yang hanya menguasai satu bahasa, ia tidak
akan mengerti bahwa logika yang sama berlaku untuk semua bahasa. Oleh sebab itu,
untuk memahami logika universal itu, menurut Al-Farabi, diperlukan bahasa logika.
Bahasa memerlukan kata-kata.

Dimaklumi bahwa pembhasan tentang kata-kata dalam buku-buku logika arab


lebih luas dibandingkan dengan yang di tulis oleh Aristoteles, yaitu al-maqulat al-
ibarat. Dalam tradisi filsafat arab, pembahasan tentang kata-kata dimulai oleh Al-Farabi
dalam kitab Al-Alfaz Al-Musta’malah fi Al-Matiq. Tema utama dalam pembahasan
tentang kata-kata adalah masalah universalitas. Hal ini dapat dimengerti karena salah
satu sebab utama kemunduran ilmu kalam adalah hilangnya konsep universalitas dalam
epistemologi bayani. Untuk mengingatkan para epistemolog bayani tentang konsep
universalitas yang telah hilang. Al-Farabi terpaksa harus menggunakan bahasa bayani
di samping bahasa logika.

Selanjutnya, pembahasan mengenai huruf merupakan karya orisinal al-Farabi.


Dengan karyanya, al-farabi secara jelas membedakan antara logika dan bahasa antara
kata-kata. Dalam logika, kata mengikuti makna, sementara dalam tata bahasa, makna
mengikuti kata.

Al-Farabi tidak hanya mengkritik para nahwiyyin , tetapi juga mutakallimin yang
kehilangan wawasan tentang universalitas. Al-farabi menjelaskan makna universalitas
kata-kata dengan contoh yang jelas. Misalnya, kata “insan” mencakup ‘Ali, ‘Umar dan
Zaid. Begitu pula dengan kata binatang, putih, dan lain-lain. Kata-kata yang bersifat

15
umum tersebut bisa menjadi khusus dengan menggunakan kata penunjuk tertentu,
seperti haza al-insan, haza al-bayad, haza al-hait . kalau ada makna universal, tentu
ada makna partikular.22

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Bayani sebagai pandangan dunia, boleh dikatakan merupakan bentuk sintesis


(bukan dialog) dari konsep tauhid yang meniscayakan keterpisahan Tuhan dengan
22
Ahmad Hasan Ridwan, ..., hlm. 253-255

16
segala wujud dengan teori atomisme yang meniscayakan keterpisahan segala sesuatu.
Bentuk sintesis ini melahirkan prinsip diskontuinitas (mabda’ al-infishal) dan
oksonialisme (mabda’ at-tajwiz) dalam memandang hubungan antarrealitas dalam
tatanan semesta. Menurut Al-Jabiri ada hubungan yang tidak terpisahkan antara prinsip-
prinsip yang melandasi pandangan dunia bayani dan kerangka berfikir arab jahiliah
yang pada dasarnya dipengaruhi oleh unsur-unsur geografis, sosiologis, dan kultural.
Epistemologi ‘irfani merupakan pengetahuan yang bersumber dari qalb, melalui
kasyf. Metode yang dipergunakan para sufi adalah metode cita rasa khusus, yaitu
pemahaman instuitif langsung, yang berbeda dengan pemahaman sensual langsung,
pemahaman rasional, dan pemahaman indriawi. Metode di atas lazim disebut metode
pengetahuan iluminasi (kasyf).
Epistemologi burhani adalah suatu sistem berfikir yang sumbernya berasal dari
kekuatan intelektual manusia, yaitu indra, eksperimen, dan aturan logika. Tradisi Al-
burhan masuk dalam tradisi berfikir arab pada abad pertengahan, disamping kedua
tradisi berfikir lain yang telah ada, yaitu al-bayan dan al-irfan.
Secara metodologis, epistemologi burhani berbeda dengan epistemologi bayani,
yang menurut proposisi Al-Farabi, makna lebih dulu lahir dibanding kata. Makna
didapatkan oleh logika, dan dikominikasikan oleh kata-kata. Logika berkaitan dengan
akal. Dengan demikian, logika (al-mantiq) lebih dahulu dari tata bahasa (al-nahwu)
karena tata bahasa bersifat khusus dan sebaliknya logika bersifat umum karena
menyangkut akal. Dalam hal qiyas (silogisme) pada tataran makna, bukan lafadz ketika
logika dihadapkan pada problematika kata dan makna pada tradisi pemikiran arab, yang
di dominasi oleh tradisi bayani.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhamamad ‘Abid. Bunyah Al-‘aql Al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah Al-
Wihdah, 1990.
Al-Hujwiri, Ali Ibn Ústman. Kasyful mahjub, Terj. Suwardo Muthary dan Abdul Hadi
W.H. Bandung: Mizan, 1992.
Ridwan, Ahmad Hasan. Dasar-Dasar Epistimologi Islam, Bandung; Pustaka setia,2001.
Nasr, Sayyed Hosein. intelektual Islam : Teologi, Filafat dan Gnosis (Theology,
Philodhopy and Sprirituality), terj. Suharsono dan Jamaluddin M.Z,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996
Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri,
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-
imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf
Uraian ingatan-ingatan masa momen masa kecilnya bias dilihat : Muhammad Abed Al-
Jabiri, Hafriyat Fi Al-Dzakirah min Ba’id, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-
Arabiyah : Beirut cet. I, 1997), h. 24-26

A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 178.

Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003)

18

Anda mungkin juga menyukai