Prosiding Semnas Gorontalo 2019 Final
Prosiding Semnas Gorontalo 2019 Final
Prosiding Semnas Gorontalo 2019 Final
i
ii
PROSiDiNG
TeMu APliKASi TeKnoloGi & SeMinAR NASionAl
PeRtAniAn DAn PeteRnAKAn
```
Kerjasama :
iii
PROSIDING
TEMU APLIKASI TEKNOLOGI & SEMINAR NASIONAL
PERTANIAN DAN PETERNAKAN:
AKSELERASI INOVASI PERTANIAN ERA INDUSTRI 4.0
MENDUKUNG KAWASAN PERTANIAN SEJAHTERA (SAPIRA)
ISBN : 978-602-9309-32-4
Pengarah : Kepala Balai Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Penanggungjawab:
Dr. Amin Nur, SP., MSi (Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Gorontalo)
Panitia Pelaksana :
Ketua : Dr. Andi Yulyani Fadwiwati, SPt., MSi
Sekretaris : Dr. Aisyah Ahmad, S.TP, MP
Bendahara : Muh. Yusuf Antu, S.TP., MSi
Anggota :
Fatmah Sari Indah Hiola, SP; Muh. Fitrah Irawan Hannan, SP., MSi
Nanang Buri SP, Msi; Ari Abdul Rouf, SPt, Msi; Surya, S.Pt, MSi
Dedi Hertanto, SP, Msi; Nova Maya Muhammad, SP; Serli Anas, SPt
Soimah Munawaroh, SPt; Non Botutihe, SP; Rosdiana, SP
Ammini Amrina Saragih, SP; Teddy Wahyana Saleh, SP
Reviewer:
Dr. A. Yulyani Fadwiwati, S.Pt, M.Si (BPTP); Dr. Ir. Rahmat H. Anasiru, M.Eng (BPTP);
Dr. Aisyah Ahmad, S.TP,MP (BPTP); Dr. Zulkifli Mantau, S.Pi., MSi (BPTP);
Dr. Ir. Zulzain Ilahude, MP (UNG); Prof. Dr. Ir. Rubiyo (Badan Litbang Pertanian);
Ir. Rachmat Hendayana, MS, APU (BBP2TP)
Penyunting Pelaksana:
Ketua : Jaka Sumarno, STP. MSi
Anggota : Ari Abdul Rauf, SPt, MSi
Erwin Najamuddin, SP
Desain Sampul:
Teddy Wahyana Saleh, SP
Heppy Prasillia Hariyani, SP
Diterbitkan oleh:
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114. Telp: +61 251 8351277. Faks,: +62 251 8350928
E-mail: [email protected]
Redaksi:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Moh.Van Gobel No 270. Kec. Tilong Kabila, Kab. Bone Bolango Gorontalo
Telp: 0435 827627; Faks: 0435 827627. E-mail: [email protected]
iv
KATA PENGANTAR
Temu Aplikasi Teknologi dan Seminar Nasional dengan tema “Akselerasi Inovasi
Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Kawasan Pertanian Sejahtera (SAPIRA)”
terselenggara pada tanggal 14 November 2019 di Ballrom Damhil Training Center
Universitas Negeri Gorontalo. Acara ini diinisiasi oleh Balitbangtan BPTP Gorontalo
sebagai unit pelaksana teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPTP)
di bawah koordinasi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
(BBP2TP) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo, Perguruan
Tinggi dan Peragi Komda Gorontalo.
Penyelenggaraan Temu Aplikasi Teknologi dan Seminar Nasional ini bertujuan
untuk : Pertama, untuk mensinergikan hasil-hasil penelitian dan rumusan kebijakan
pembangunan wilayah dan pembangunan pangan untuk terwujudnya kedaulatan
pangan di Indonesia. Kedua, untuk memperoleh umpan balik terhadap teknologi
yang pendukung program pembangunan kawasan pertanian sejahtera (SAPIRA) di
Indonesia.
Seminar diikuti oleh 240 peserta dari berbagai kalangan yang terdiri dari peneliti,
penyuluh, dosen, praktisi dan mahasiswa dengan jumlah makalah yang masuk 78
yang terdiri dari hasil penelitian/pengkajian Budidaya, Pascapanen, Sosial Ekonomi
dan Sumberdaya.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam penyelenggaraan Temu Aplikasi Teknologi
dan Seminar Nasional dan memohon maaf atas segala kekurangan yang terjadi
selama pelaksanaan acara ini. Semoga hasil penelitian/pengkajian yang dirangkum
dalam prosiding ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan pertanian
nasional, utamanya pembangunan pertanian di Provinsi Gorontalo.
v
vi
DAFTAR ISI
vii
11. PENGARUH BIOURINE DAN MULSA PADA PERTANAMAN BAWANG MERAH
DI LAHAN SUBOPTIMAL, BATAM KEPULAUAN RIAU
Karlina Syahruddin, Jonri Suhendra, Muhammad Abid, Amin Nur.....................................................81
12. PRODUKTIVITAS VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH IRIGASI DALAM
BUDIDAYA SISTEM GOGO RANCAH DI LAHAN TADAH HUJAN KABUPATEN
LOMBOK TENGAH
Lia Hadiawati, Yanti Triguna, Rosdiana ...............................................................................................89
13. PENGGEMUKAN SAPI DENGAN MEMANFAATAN LIMBAH RUMAH POTONG
HEWAN DI KABUPATEN MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN
Matheus Sariubang, Novia Qomariyah, Andi Nurhayu dan Serli Anas ...............................................97
14. POTENSI UMBI GADUNG SEBAGAI BIOINSEKTISIDA RAMAH LINGKUNGAN
Muainah Hasibuan dan Soimah Munawaroh ...................................................................................... 103
15. ANALISA PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS BLOTONG TEBU TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG
Muh. Iqbal Jafar, Ripaldi Sunandar ..................................................................................................... 109
16. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KAMBING PE MELALUI PEMANFATAAN
HIJAUAN LOKAL DI KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN Novia
Qomariyah, Abdul Rahman dan Serli Anas ......................................................................................... 115
17. PRODUKSI TOMAT DENGAN APLIKASI BERBAGAI KONSENTRASI DAN
FREKUENSI PEMBERIAN GIBERELIN
Nursyamsih Taufik, Religius Heryanto, Yesika Resonya Silitonga ..................................................... 121
18. INOVASI VETERINER ERA INDUSTRI 4.0 MENDUKUNG SIWAB
Ratri Retno dan Derek Polakitan.......................................................................................................... 129
19. KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA HUTAN SAGU DI MALUKU
Rein E. Senewe dan Marietje Pesireron ............................................................................................... 133
20. RESPON HAMA WERENG COKLAT TERHADAP KETAHANAN DAN
KERENTANAN VARIETAS PADI
Rein Estefanus Senewe, Abdul Gaffar dan Marietje Pesireron ............................................................ 151
21. PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA ULAT BAWANG MENGGUNAKAN
BAHAN AKTIF SIPEMETRIN DAN KLORANTRANILIPROL PADA BUDIDAYA
BAWANG PUTIH
Riza Ulil Fitria, Baswarsiati, Nanang Buri ......................................................................................... 157
22. KERAGAAN HAMA, PENYAKIT DAN MUSUH ALAMI PADA BUDIDAYA
BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO DI LAHAN SAWAH
Teddy Wahyana Saleh, Nanang Buri, Ammini Amrina Saragih ......................................................... 163
23. INDUKSI KERAGAMAN SIFAT MENGGUNAKAN KOLKHISIN PADA
TANAMAN CABAI RAWIT VARIETAS MALITA FM
Tiyansi Tolinggi, Indriati Husain, Sutrisno Hadi Purnomo ............................................................... 171
24. PENGARUH BAP DALAM PERTUMBUHAN BIBIT STUM MATA TIDUR PADA
OKULASI TANAMAN KARET KLON IRR112 DAN PB260
Yesika Resonya Silitonga, Nursyamsih Taufik, Religius Heryanto ..................................................... 179
viii
25. FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR AYAM KUB DI GORONTALO
Surya, Andi Yulyani F., Serli Anas, Soimah Munawaroh, Rosdiana, Ammini Amrina
Saragih, Sulastri Puyo, Awaluddin Hipi ............................................................................................. 187
26. IDENTIFIKASI FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN
AYAM KUB DAN AYAM SENSI DI BPTP GORONTALO
Andi Yulyani Fadwiwati, Surya, Amin Nur, Serli Anas, Rosdiana, Soimah Munawaroh,
Awaluddin Hipi, Ammini Amrina Saragih dan Sulastri Puyo ........................................................... 191
27. ADOPSI DAN KENDALA PRODUKSI KEDELAI
Olvie Grietjie Tandi dan Jeaneke Wowiling ......................................................................................... 197
28. PRODUKTIVITAS BEBERAPA VARIETAS PADI SAWAH MELALUI
PENDEKATAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU
Dewi Haryani....................................................................................................................................... 207
29. POTENSI PENGEMBANGAN PADI GOGO LOKAL SERIBU NAIK DI
KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI
Eva Salvia, Desi Hernita, Nanang Buri dan Deni Arsandi ................................................................. 215
30. RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN NILAM TERHADAP PEMBERIAN
MULSA ORGANIK PADA LERENG LAHUMBO
Zulzain Ilahude .................................................................................................................................... 221
PASCA PANEN................................................................................................................................. 229
31. PENGARUH PENAMBAHAN CMC PADA APLIKASI LIDAH BUAYA SEBAGAI
EDIBLE COATING PADA BUAH TOMAT SELAMA PENYIMPANAN DINGIN
A. Khairun Mutia dan Trisnawaty AR ................................................................................................ 231
32. PRODUK LIMBAH KULIT PISANG SEBAGAI SUMBER ENERGI PAKAN AYAM
Hasrianti Silondae dan Serli Anas ....................................................................................................... 239
33. IDENTIFIKASI SENYAWA FITO KIMIA EKSTRAK DAUN DAN BATANG
SORGUM MANIS
Luh Gde Sri Astiti dan Nurul Agustini ............................................................................................... 245
34. PELUANG PENGEMBANGAN JAGUNG MANADO KUNING SEBAGAI SUMBER
PANGAN FUNGSIONAL
Meivie Lintang ..................................................................................................................................... 249
35. KAJIAN BEBERAPA JENIS MIKROORGANISME LOKAL PADA TANAMAN
SELADA
Milawati Lalla dan Yuyun M.Yanjode ................................................................................................ 263
36. PENGARUH LAPISAN LILIN LEBAH DENGAN PENAMBAHAN CMC UNTUK
MEMPERTAHANKAN KARAKTERISTIK CABAI RAWIT SELAMA
PENYIMPANAN
M. Darmawan, Ary Muhamma dan Muhammad Fitrah Irawan......................................................... 271
37. TEKNOLOGI SILASE SOLUSI RAWAN PAKAN SAPI MUSIM KERING
Paulus C. Paat...................................................................................................................................... 279
38. SIFAT FISIKOKIMIA BERAS JAGUNG INSTAN BEBERAPA VARIETAS DI
SULAWESI UTARA
Payung Layuk, Herlina Salamba, Meivie Lintang ............................................................................... 289
ix
SOSIAL EKONOMI ........................................................................................................................... 295
39. PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAWA PASANG
SURUT BERBASIS MEKANISASI
Bunaiyah Honorita, Herwenita dan Budi Raharjo ............................................................................... 297
40. KONTINUITAS KETERSEDIAAN BAHAN PANGAN BERSUMBER DARI
PEKARANGAN
Conny N Manoppo dan August Polakitan........................................................................................... 305
41. INKORPORASI AGRIBISNIS BUAH NAGA DALAM PENGEMBANGAN DESA
WISATA BANUROJA
Dewa Oka Suparwata, Ramlan Pomolango, Moh. Muchlis Djibran, Taufik Jarot Andrayanto .......... 321
42. DUKUNGAN PENYULUHAN DALAM AKSELERASI INOVASI PERTANIAN DI ERA
REVOLUSI INDUSTRI 4.0.
Hartin Kasim........................................................................................................................................ 327
43. PERENCANAAN POLA TANAM BERDASARKAN LENGAS TANAH UNTUK
PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI LAHAN KERING KABUPATEN
SUMBAWA
Ieke Wulan Ayu, Soemarno, Sugeng Prijono, Husni Thamrin Sebayang, Nina Dwi Lestari,
Reyga Yhosa Novantara ....................................................................................................................... 335
44. KELAYAKAN FINANSIAL DAN MANFAAT SOSIAL USAHA PEMBIBITAN
KELAPA DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR
Ika Novita Sari, Sylvia K. Utami, Yohannes G. Bulu .......................................................................... 343
45. DAYA HASIL DAN PREFERENSI PETANI TERHADAP JAGUNG HIBRIDA
VARIETAS BADAN LITBANG PERTANIAN DI GORONTALO
Jaka Sumarno, Fatmah Sari Indah Hiola, Muh. Fitrah Irawan, Andi Yulyani Fadwiwati, dan
Awaludin Hipi...................................................................................................................................... 351
46. PEMBENTUKAN LEMBAGA EKONOMI PETANI MENUNJANG AKSELERASI
PENGELOLAAN USAHATANI PRESISI DI BOLAANG MONGONDOW,
SULAWESI UTARA
Jantje G. Kindangen, Rita Novarianto, dan Jefny B. Markus Rawung ................................................ 359
47. KELAYAKAN FINANSIAL PENGELOLAAN USAHATANI PRESISI PADA LAHAN
PT DUA RADJAWALI BOLAANG MONGONDOW
Jantje G. Kindangen, Paulus Paat, dan Yusuf ..................................................................................... 367
48. KARAKTERISTIK PETANI KAWASAN KEDELAI BERBASIS KORPORASI DI
KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR Juliana C.Kilmanun, Amik Krismawati dan
Andi Yulyani Fadwiwati ...................................................................................................................... 379
49. RANTAI PASOK JERUK DI KAWASAN BERBASIS KORPORASI PETANI DI
KABUPATEN BANYUWANGI JAWA TIMUR
Juliana C.Kilmanun, Titiek Purbiaty dan Andi Yulyani Fadwiwati ................................................... 385
50. PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI DI
KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH
Muhammad Abid.................................................................................................................................. 391
x
51. KAJIAN ANALISIS USAHATANI JAGUNG PADA DATARAN RENDAH DI
KECAMATAN MALUNDA KABUPATEN MAJENE SULAWESI BARAT
Muhtar, Nini Kusrini, Marwayanti Nas ............................................................................................. 401
52. RINTISAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN SEJAHTERA
BERKELANJUTAN DI JAWA BARAT
Oswald Marbun dan Puspita Yani ...................................................................................................... 407
53. ANALISIS USAHATANI KEDELAI TAHAN NAUNGAN DI KABUPATEN PIDIE
JAYA PROPINSI ACEH
Rini Andriani, Fenty Ferayanti, Idawanni, Asis, Elviwirda dan Rahmat H. Anasiru....................... 417
54. SISTEM INTEGRASI KOPI-TERNAK SAPI DAN KELEMBAGAAN PETANI PADA
BIOINDUSTRI DI DATARAN TINGGI GAYO ACEH TENGAH
Rini Andriani, Cut H. Rahmi, Eka Fitria, Rachman Jaya dan Rahmat H. Anasiru ............................ 421
55. KAJIAN PENERAPAN INOVASI HORTIKULTURA MELALUI PENDEKATAN
SPECTRUM DISEMINASI MULTI CHANNEL
Rita Indrasti dan Jefny B. Markus Rawung ......................................................................................... 427
56. ANALISIS TATA NIAGA PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA: KASUS INDUSTRI
TAHU SUMBER REZEKI DI BOALEMO, GORONTALO
Andi Lelanovita Sardianti .................................................................................................................... 435
57. TINGKAT PENDAPATAN PETANI TEBU PADA PERTANIAN LAHAN KERING
IKLIM KERING
Sylvia Kusumaputri Utami, Ika Novita Sari, Yohanes Geli Bulu ........................................................ 441
58. PERANAN KELEMBAGAAN TANI DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN
BIOINDUSTRI SISMTEM INTEGRASI TANAMAN - TERNAK SAPI PADA
PERTANIAN LAHAN KERING
Yohanes G. Bulu, Sylvia Kusumaputri Utami, dan Ika Novita Sari.................................................... 453
59. UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEDELAI MELALUI PENERAPAN
TEKNOLOGI PTT
Yuliana Susanti & Bq. Tri Ratna Erawati ........................................................................................... 465
60. PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK
MENINGKATKAN LAJU ADOPSI TEKNOLOGI PERTANIAN
Zulham Sirajuddin ............................................................................................................................... 471
61. POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM TUMPANGSARI BERBASIS JAGUNG DI
PROVINSI GORONTALO
Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh ............................................................................................ 483
62. DAMPAK TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI TERHADAP PRODUKTIVITAS
DAN PENDAPATAN PETANI PADA SENTRA PRODUKSI JAGUNG DI
KABUPATEN SUMBAWA NUSA TENGGARA BARAT
Baiq Tri Ratna Erawati, Yuliana Susanti dan Yanti Triguna ............................................................. 491
63. PREFERENSI PETANI TERHADAP PENENTUAN VARIETAS UNGGUL PADI
UNTUK LAHAN SAWAH DI WILAYAH GORONTALO
Dedy Hertanto, Nova Maya Muhammad, Santy F. Pomalingo ........................................................... 497
xi
64. POTENSI PENGEMBANGAN AYAM KAMPUNG UNGGUL BADAN LITBANG DI
PROVINSI BANTEN
Dewi Haryani, Ivan Mambaul Munir dan Andi Yulyani Fadwiwati.................................................. 505
SUMBER DAYA ................................................................................................................................ 513
65. POTENSI LAHAN DAN PRODUKTIVITAS JAGUNG PADA POLA TUMPANGSARI
JAGUNG-KEDELAI DI DATARAN TINGGI
Marthen P. Sirappa, Muhtar, Religius Heryanto ................................................................................ 515
66. SUMBER SILIKON UNTUK PERTANIAN DAN PERANANNYA TERHADAP
TANAMAN PADI
Mirawanty Amin, Conny N. Manoppo ............................................................................................... 527
67. DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN BERBASIS KELAPA DI
WILAYAH PERBATASAN SULAWESI UTARA
Agustinus N. Kairupan dan Anggella Tomboku ................................................................................. 535
68. PENGARUH DOLOMIT MERK MAGFET 100 SEBAGAI PEMBENAH TANAH
TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG LAHAN
KERING KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR
M. Saeri, C. Tafakresnanto dan Aisyah Ahmad ................................................................................... 547
69. EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR PERTANIAN DI GORONTALO SERTA
TEKNOLOGI ADAPTASI DAN MITIGASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Ali Pramono, Helena Lina Susilawati dan Mas Teddy Sutriadi .......................................................... 555
70. POTENSI PERKEBUNAN SAWIT SEBAGAI SUMBER PAKAN SAPI BALI DI
KABUPATEN BARITO KUALA
Pritha Kartika Sukmasari, Mariyono, Ari Abdul Rouf ........................................................................ 565
71. KARAKTERISTIK DAN POTENSI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN
ANGGREK ENDEMIK KABUPATEN MAMASA, SULAWESI BARAT
Religius Heryanto, Yesika Resonya Silitonga dan M. P. Sirappa ........................................................ 571
72. PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI BALI DI DESA RAKNAMO NUSA
TENGGARA TIMUR
Sophia Ratnawaty, Achadri Y dan Medo Kote ..................................................................................... 577
73. PERFORMA AYAM KUB-1 JANTAN FASE GROWER MENDUKUNG
KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA UTARA
Sri Haryani Sitindaon, Muainah, Serli Anas dan Khadija El Ramija.................................................. 583
74. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS JAGUNG MELALUI SISTEM TANPA OLAH
TANAH DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN KABUPATEN LOMBOK UTARA
Yanti Triguna dan Bq Tri Ratna Erawati ............................................................................................ 589
75. OPTIMALISASI SUMBERDAYA SEKTOR HORTIKULTURA TANAMAN HIAS
PADA USAHA ISTANA BUNGA KOTA GORONTALO
Zainal Abidin, Nur Pratiwi Rasyid, Fatan Kamba .............................................................................. 595
76. DIGITALISASI PRODUK PERTANIAN MENDUKUNG PETANI DI ERA REVOLUSI
INDUSTRI .4.0
Anggella T. Tombuku dan Agustinus Kairupan.................................................................................. 599
xii
GUBERNUR GORONTALO
SAMBUTAN
Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia-Nya kita masih
diberi nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga dapat hadir bersama pada acara Temu Aplikasi
Teknologi Dan Seminar NasionalYang bertemakan “Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0
Mendukung Kawasan Pertanian Sejahtera (Sapira) Serta Launching Taman Sains Pertanian BPTP
Gorontalo”.
xiii
Hadirin Yang Saya Hormati,
Sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan
perekonomian di Provinsi Gorontalo, ini dapat terlihat pada kontribusi sektor pertanian terhadap
PDRB sebesar 38,01%. demikian pula halnya dengan struktur lapangan pekerjaan utama sektor
pertanian mencapai 32,23 persen, sehingga sektor pertanian menjadai salah satu program prioritas
daerah.
Alhamdulillah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun program pemerintah telah memberikan dampak
yang cukup signifikan terhadap peningkatan produksi komoditi unggulan di daerah ini antara lain
produksi padi pada tahun 2018 mencapai 354.036 ton atau meningkat 42,4% dari tahun 2012 yang
hanya sebesar 245.786 ton. dan produksi jagung pada tahun 2018 mencapai 1.554.751 ton atau
meningkat sangat signifikan 140% dari tahun 2012 hanya sebanyak 644.754 ton.
Gambaran peningkatan produksi tanaman pangan ini berbanding lurus dengan peningkatan nilai
tukar petani (ntp) selama pemerintahan NKRI (Rusli-Idris) atau mengalami kenaikan signifikan, yang
pada tahun pada tahun 2011 masih berkisar diangka 91 % di tahun 2018 mencapai 107,28 %, dan
yang menarik menurut laporan BPS capaian NTP Provinsi Gorontalo merupakan kedua terbesar di
Kawasan Timur Indonesia dan lebih tinggi dibandingkan provinsi tetangga Sulut.
Selain itu geliat ekspor komoditas unggulan dan komoditas olahan pertanian memperlihatkan
perkembangan yang menggembirakan, ini dibuktikan dengan realisasi ekspor Jagung Provinsi
Gorontalo pada tahun 2018 mencapai 109.800 ton atau memberikan kontribusi sebesar 30 persen
terhadap ekspor jagung nasional, demikian pula komoditi olahan tepung kelapa mencapai 12.600
ton dan tetes tebu sebanyak 12.005,309 ton ke negara tujuan Asia dan Eropa pada tahun 2018.
Pemerintah Provinsi Gorontalo sangat menaruh perhatian yang cukup besar terhadap
peningkatan produktivitas dan produksi pertanian, salah satunya adalah melalui terobosan
pengakuan dari Bapak Menteri Pertanian RI sebagai percontohan Brigade Alsintan secara nasional.
xiv
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan. harapan saya melalui Temu Aplikasi
Teknologi dan Seminar Nasional ini dapat dirumuskan dan direkomendasikan strategi peningkatan
Dan dengan mengucapkan Bismillahirohmannirrahim saya membuka kegiatan ini dengan resmi.
Sekian
Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh
Gubernur Gorontalo,
xv
xvi
PERUMUSAN HASIL
Temu Aplikasi Teknologi dan Seminar Nasional dengan tema “Akselerasi Inovasi Pertanian Era
Industri 4.0 Mendukung Kawasan Pertanian Sejahtera (SAPIRA)’ diselenggarakan atas kerjasama
BPTP Gorontalo, perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo.
Acara Temu Aplikasi Teknologi dan seminar nasional diikuti oleh peneliti, penyuluh, dosen,
mahasiswa, perwakilan Pemerintah Daerah, dibuka secara resmi oleh Gubernur Provinsi Gorontalo
yang diwakili Kepala Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo.
Seminar ini menghasilkan rumusan sebagai berikut :
Peran Perguruan Tinggi dalam pembanguan pertanian saat ini bukan hanya pada melahirkan
konsep dan teori-teori, namun juga dituntut implementasi dan diseminasinya di tingkat
lapang, lebih khusus lagi pada pemberdayaan petani. Penyelerasan kurikulum Perguruan
Tinggi dengan aplikasi serta kebutuhan Industri 4.0 aspek pendidikan vokasi.
Networking atau sinergitas antar institusi dan pihak swasta (industri) sangat penting
dilaksanakan saat ini, terutama dalam menghadapi Era Industri 4.0 bidang pertanian
Pertanian Indonesia harus dapat bertanformasi dari pertanian konvensional ke pertanian
modern atau kekinian. Sangat perlu untuk menanamkan kecintaan pertanian sejak dini pada
para generasi milenial
Hilirisasi produk-produk penelitian sangat urgen dilaksanakan agar bisa dimanfaatkan
industri.
Pemanfaatan aplikasi-aplikasi android dan atau smarthphone lainnya utk hilirisasi produk2
teknologi pertanian.
KostraTani KOMANDO STRATEGIS PEMBANGUNAN PERTANIAN, merupakan
program driven dan penguatan penyuluhan ditingkat kecamatan. Sekretariat Kostratani
adalah semua kepala BPTP seluruh Indonesia.
Trisula petani harus didampingi oleh para penyuluh dan peneliti.
Kostratani ditingkat kecamatan akan menjadi pusat seluruh kegiatan atau aktivitas
pembangunan pertanian secara holistik dan komprehensif.
Menunjang Kostratani maka akan segera dilakukan pelatihan-pelatihan bagi para penyuluh
lapangan tingkat kecamatan, dengan catatan harus memenuhi persyaratan pokok yg
ditentukan oleh Kostratani
xvii
Kemampuan dan fasilitas IT bagi para penyuluh dan Balai-balai Penyuluhan mutlak
dibutuhkan.
Apa yg akan disuluhkan atau diimplementasikan di lapang oleh petani, harus dimulai dulu
oleh para penyuluh melalui demonstration plot.
xviii
BUDI DAYA TANAMAN
Olvie GrietjieTandi
ABSTRACT
The Red Goroho banana research activity aims to see the agronomic performance of plants so that they can be used as
basic data and reference material for further development. This banana is one of the local superior and has its own
uniqueness. This study uses exploration methods from February 2013 to December 2013 in the KP Pandu Banana
collection garden. Retrieval of agronomic physical data of plants taken from plants that have undergone a reproductive
phase. Based on agronomic observations, the Goroho Merah banana has an average stem height of 267.5 cm with a
stem diameter of 29.1 cm. The average leaf length is 186.8 cm with a width of 70.4 cm. The average fruit length is 16.5
cm, with a diameter of 3.5 cm fruit. The number of combs per bunch is 4-5 combs. And the average weight of bunches
/ trees is 16.4 kg. Red Goroho bananas are also resistant to pests and diseases such as Erionata thrax, Nacolea octosema
(banana scab moth), fusarium wilt (Panama disease) and blood diseases. Goroho banana farming income in the first
year can reach Rp. 7,830,000.
ABSTRAK
Kegiatan penelitian pisang Goroho Merah bertujuan untuk melihat keragaan agronomis tanaman
sehingga dapat dijadikan data dasar dan bahan acuan untuk pengembangan selanjutnya. Pisang ini
merupakan salah satu unggul lokal dan memiliki kekhasan tersendiri, Penelitian ini menggunakan
metode eksplorasi mulai Februari 2013 sampai dengan Desember 2013 di kebun koleksi Pisang KP
Pandu. Pengambilan data fisik agronomis tanaman diambil dari tanaman yang telah mengalami fase
reprodukstif. Berdasarkan hasil pengamatan agronomis, pisang Goroho Merah memiliki tinggi batang
rerata 267,5 cm dengan diameter batang 29,1 cm. Rerata panjang daun adalah 186,8 cm dengan lebar 70,4
cm. Panjang buah rerata adalah 16,5 cm, dengan diameter buah 3,5 cm. Jumlah sisir per tandan adalah 4-
5 sisir. Dan Rerata berat tandan/pohon adalah 16,4 kg. Pisang Goroho merah juga tahan terhadap
serangan hama dan penyakit seperti Erionata thrax, Nacolea octosema (banana scab moth), layu fusarium
(Panama disease) dan penyakit darah (blood disease). Pendapatan usahatani pisang goroho pada periode
tahun pertama dapat mencapai Rp Rp 7.830.000.
PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu buah tropis yang populer di masyarakat, dan potensial
dikembangkan di Indonesia. Saat ini pisang menjadi komoditas unggulan yang memberikan
kontribusi paling besar terhadap produksi buah-buahan nasional. Selain rasanya yang enak, juga
mengandung gizi, vitamin, dan kalori, sehingga bermanfaat untuk kesehatan (Prahardiniet et al.,
2010).
Sifat pisang yang adaptif terhadap lingkungan menyebabkan tanaman pisang mempunyai
penyebaran yang luas. Cara budidaya yang mudah menyebabkan tanaman ini mudah dijumpai di
setiap pekarangan rumah masyarakat pedesaan di Indoensia. Produksi pisang yang terus menerus
sepanjang tahun dapat dimanfaatkan sebagai pengaman pendapatan petani income security.
Kandungan karbohidratnya cukup tinggi yaitu kurang lebih 25,8% (Direktorat Tanaman dan Buah,
2005)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 3
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Sulawesi Utara merupakan salah satu daearah yang memiki keanekaragaman varietas pisang lokal
dan berpeluang besar dikembangkan sebagai sumber ekonomi petani. Salah satu diantaranya adalah
pisang Goroho. Pisang ini oleh masyarakat setempat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu Goroho
merah dan Goroho putih. Kedua jenis ini mempunyai nilai jual yang tinggi dan digemari oleh
konsumen.
Pemanfaatan pisang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai buah meja dan olahan (Kusumo,
1996). Pisang Goroho masuk dalam kategori pisang olahan. Pada umumnya pisang ini di panen
sebelum buahnya memasuki fase matang fisiologis, yang kulit buah masih berwarna hijau tua.
Matang fisiologis dicirikan dengan kulit buah berwarna hijau kekuningan). Setelah dipanen buah
pisang Goroho dapat diolah dalam bentuk pisang rebus/kukus, ada juga dalam bentuk gorengan
dan keripik pisang.
Produk olahan pisang ini dapat memberikan nilai tambah pada suatu produk karena masuknya
unsur pengolahan menjadi lebih baik. Dengan adanya kegiatan mengubah bentuk primer menjadi
produk baru yang lebih tinggi nilai ekonomisnya setelah melalui proses pengolahan, maka akan
dapat memberikan nilai tambah karena dikeluarkannya biaya-biaya sehingga terbentuk harga baru
yang lebih tinggi dan keuntungannya lebih besar bila dibandingkan tanpa melalui proses pengolahan.
Dari hasil penelitian Karamoy at al., (2017), nilai tambah pisang Goroho setelah di olah: menjadi
stik tepung sebesar Rp.2816,78., stik sebesar Rp.1567,97., kripik sebesar Rp Rp.1091,78., dan nilai
tambah pisang goroho belah 4 nilainya Rp.1176,78.
Selain dapat meningkatkan pendapatan petani, pisang goroho ini sangat bermanfaat bagi
kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kahempe (2012), buah Pisang Goroho mempunyai
potensi menurunkan kadar glukosa dara, dan paling tinggi terkandung dalam ekstrak buah pisang
segar sebesar 67,6 mg/dL Karena adanya senyawa flavanoid yang terkandung didalamnya.
Flavanoid merupakan suatu kelompok senyawa polifenol yang tersebar yang ditemukan di alam
(Harbone 1987 dalam Syamsuddin dkk 201), Efektivitas antioksidan dari Flavanoid dilaporkan
beberapa kali lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C dan E (Nurheti, 2009 dalam Syamsuddin
dkk, 2013).
Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah yang mempunyai plasma nutfah pisang yang
beragam. Plasma nutfah pisang tersebut belum banyak yang didayagunakan secara optimal.
Kendalanya adalah belum diperolehnya data rinci tentang karakter masing-masing kultivar (Dinas
Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, 2013). Namun beberapa kultivar pisang
mempunyai beberapa keunggulan ditinjau dari potensi hasil, preferensi konsumen, dan ketahanan
terhadap hama penyakit.
Perbedaan karakter antar kultivar dapat dilihat dari penampilan tanaman (batang semu),
daun,bunga, dan buah. Sifat atau karakter tersebut dapat dijadikan modal dalam perbaikan sifat
genetic tanaman. Dengan keragamannya karakter kultivar pisang maka pengembangannya diarahkan
menurut kesesuaian varietas/kultivar dengan agroekologi.
Pisang dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan pH tanah 4,5-7,5. Tanaman
pisang mempunyai perakaran yang dangkal, menyebar di bawah permukaan tanah dan menghendaki
tanah yang banyak mengandung bahan organik. Produktivitas tanaman ditentukan oleh interaksi
antara lingkungan dan faktor genetik (Allard, 1989). Faktor lingkungan dapatdimodifikasi dengan
memperhitungkan efisiensi pengelolaannya dengan pengaturan jarak tanam, penggunaan bibit, dan
pemupukan yang sesuai, sehingga tanaman dapat berproduksi dengan optimal (Kasijadi, 2001),
Faktor genetis bergantung pada varietas yang ditanam dengan karakter masing-masing.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di KP Pandu, Minahasa Utara, mulai Februari 2013 hingga Februari 2014,
dengan tahapan kegiatan, sebagai berikut:
Pengembangan beberapa koleksi pisang kultur jaringan dari Balai Penelitian Buah Solok dan
pisang unggul lokal Sulawesi Utara kemudian pengambilan data dan keragaan agronomis
tanaman di Kebun Percobaan.
Mengumpulkan data sekunder dari Dinas Pertanian Kabupaten dan instansi terkait lainnya
tentang jenis pisang dan habitat tumbuhnya, kemudian wawancara dengan informan kunci,
petani/masyarakat, dan penyuluh tentang preferensi tanaman pisang.
Pencatatan data deskripsi indigenous untuk memperoleh gambaran dan deskripsi tanaman.
Karakterisasi pendahuluan atau pra evaluasi, yaitu mengkarakter data yang meliputi aspek
morfologi, agronomi, dan fisiologi tanaman.
Karakter agronomi diinterpretasikan sebagai potensi per individu tanaman. Karakterisasi lanjutan
yang mengevaluasi potensi hasil maupun daya adaptasi suatu aksesi terhadap lingkungan biotik
maupun abiotik.
Karakterisasi tanaman pada setiap bagian tanaman meliputi batang, daun, bunga, dan buah
(IBPGR, 1984; Valmayor et al., 2002). Untuk mengetahui lebih lengkap tentang kondisi tanaman
seperti produktivitas, kualitas buah, ciri khusus, dan keunggulan lainnya maka dilakukan wawancara
dengan petani penyuluh, dan informan kunci.
Tanaman yang diamati berumur 4-5 bulan 10-24 bulan yaitu saat tanaman memasuki
pertumbuhan optimal. Identifikasi dan karakterisasi tanaman dilanjutkan di Lab. Pascapanen BPTP
Sulawesi Utara. Analisis data dilakukan secara deskriptif sesuai dengan keragaan pertumbuhan
tanaman dilapangan. Langkah analisis diawali dengan menghimpun, mengedit, dan tabulasi secara
sistematis.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 5
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Indonesia telah memiliki peraturan
nasional perlindungan terhadap penemuan
varietas tanaman baru yaitu: UU No. 29/2000
tentang Perlindungan Varietas Tanaman
(BPHN, 2006). Perlindungan tersebut memberi
pengaruh terhadap motivasi para pemulia
tanaman. Pisang Goroho merupakan salah
satu komoditas hortikultura Sulut yang telah
mendapat PVT dari Kementrian Pertanian.
Pisang olahan ini sangat digemari oleh
konsumen. Peluang kedepan diharapkan ada
Gambar 1. Persentase Produksi Pisang di Sulawesi perbaikan produksi dan kualitasi buah pisang
Utara Tahun 2018 agar diminati oleh pihak swasta terutama
industri makanan olahan seperti keripik
pisang, stik pisang dan tepung pisang. Dukungan teknologi disediakan BPTP Balitbangtan Sulawesi
Utara.
Keragaan Agronomis Tanaman
Pisang Goroho merah ditanam dalam bentuk tunas/anakan. Setelah 6 bulan, rata-rata tinggi
tanaman mencapai 267,5 cm, jumlah anakan antara 5-6 batang, sehingga banyak tersedia bibit untuk
perbanyakan tanaman.
Ukuran buahnya bervariasi. Rerata panjang buah 17,5 cm dengan diameter 3,5 cm dan jumlah sisir
per tandan adalah 4-5 sisir. Rerata berat tandan16,4 kg/tandan. Ukuran buah berhubungan dengan
produk yang dihasilkan berupa buah olahan dalam bentuk keripik pisang. Keragaan agronomis
pisang Goroho merah dapat dilihatpada Tabel 2.
Tabel 2. Keragaan Agromomis pisang Goroho Merah di KP Pandu 2014
Hama penyakit seperti ulat penggulung daun (Erionata thrax) tertinggi pada pisang lokal Roa
sebesar 0,84%, diikuti pisang jarum sebesar 0,08% dan terendah pada pisang Barangan sedangkan
pada pisang Goroho tidak ada serangan. Untuk hama Ulat buah pisang, Nacolea octosema(scab moth)
tertinggi pada pisang Barangan 0.86%, Pisang Jarum 0.62% dan terendah pada pisangRoa sebesar
0.06%, sedangkan pisang Goroho tidak ada serangan.
Penyakit Bercak daun Sigatoka disease tertinggi pada pisang Roa sebesar 0.34%, pisang Mas Jarum
0.28%, pisang Barangan sebesar 0,18% dan terendah pada pisang Goroho yakni 0,026 %. Sedangkan
penyakit LayuFusarium(Panamadisease) banyak menyerang pada jenis pisang Barangan (Gapi)
sebesar 0,024%, pisang Roa 0,02%, dan pisang Mas 0,048%. Sedangkan serangan penyakit ini tidak
terlihat pada pisang Goroho merah. Penyakit layu fusarium pisang sudah tersebar luas di Indonesia.
Kerusakan karena penyakit ini selalu meningkat setiap tahun. Berdasarkan laporan Balai Proteksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura pada tahun 2000-2003, serangan penyakit layu fusarium pada
tahun 2003 mencapai 2.781.059 rumpun (Daryanto, 2004).
Penyakit layu bakteri/penyakit darah darah (Blood disease)tidak dijumpai pada pertanaman pisang
di Kebun koleksi namun penyakit ini banyak dijumpai di lahan petani khususnya menyerang pada
jenis pisang sepatu (Kepok)di sekitar KP bahkan hampir menyebar di seluruh Kabupaten/kota yang
ada di Sulawesi Utara. Serangan penyakit initergolong tinggi dan hampir menyebar di beberapa
sentra perkebunan pisang yang ada di Sulawesi Utara sehingga perlu perhatian dari pemerintah
setempat.
Sifat atau karakter tahan terhadap hama dan penyakit dari pisang Goroho merah ini dapat
dijadikan modal dalam perbaikan sifat genetic tanaman pisang goroho itu sendiri bahkan merupakan
salah satu sumber kekayaan (plasma Nutfah) pisang yang dapat dipakai untuk arah pengembangan
varietas-varietas baru kedepan.
Usahatani Pisang Goroho Merah
Tanaman pisang yang di tanam di Kebun Percobaan Pandu maupun yang ada di desa ditanam
dalam bentuk tanaman campuran dengan tanaman kelapa. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan
hanya pembabatan sekitar pertanaman dan penjarangan anakan pisang yang berlebihan. Anakan
pisang disisakan berkisar 4-5 anakan yang mesih kecil. Pengolahan tanah, pemupukan serta
pemberantasan hama dan penyakit kelapa tidak pernah dilakukan. Tanaman pisang umumnya
ditanam diantara kelapa, dengan populasi berkisar 25-75 rumpun, sedang100-200 rumpun/ha dan
populasi padatberkisar 300-400 rumpun/ha. Untuk tanaman pisang raja, ambon, sepatu dan goroho
sampai diperoleh produksi membutuhkan waktu sekitar18-20 bulan. Untuk penanaman awal,yang
dipanen sebanyak satu tandan/pohon/periode panen, kemudian pisang membentuk rumpun selama
pertumbuhannya, sehingga pada periode panen kedua dan selanjutnya akan memproduksi2
tandan/rumpun. Pada periode panen ketiga dan berikutnya akan menghasilkan 2-3
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 7
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tandan/rumpun,namun buah dan ukuran tandan mengecil, karena tanpa pemupukan. Buah pisang
seperti ini harganya menurun bahkan kadang-kadang sulit untuk dipasarkan. Untuk
mempertahankan ukuran buah dan tandan yang stabil, tindakan yang diperlukan adalah pemupukan
sesuai anjuran.
Pada lahan seluas satu hektar, pisang ditanam dengan jarak tanam yang ada sekarang (10 x 10
m2), diperoleh 261 rumpun/pohon dengan produksi : (1) Periode pertama : 261 pohon @ 30.000 = Rp
7.830.000, dan (b) Periode kedua dan seterusnya menghasilkan sekitar dua kali lipat dari tahun I
dengan diupayakan pertumbuhan tanaman 4-5 pohon/rumpun. Pendapatan yang diperoleh sebesar:
522 x Rp. 30.000 = Rp 15.560.000.
KESIMPULAN
Karakteristik agronomi pisang Goroho Merah sebagai unggul lokal Sulawesi Utara memiliki rerata
tinggi batang 267,5 cm dengan diameter batang 29,1 cm. Rerata panjang daun adalah 186,8 cm, jumlah
daun 7,3 lembar dengan lebar daun 70,4 cm. Jumlah anakan 5-6, Rerata panjang buah adalah 17,5 cm
dengan diameter buah 3,5 cm dan jumlah sisir per tandan adalah 4-5 sisir. Dan Rerata berat
tandan/pohon adalah 16,4 kg.
Sifat keunggulan lain pisang Goroho selain sebagai pisang olahan dan sangat baik untuk penderita
diabetes, pisang Goroho merah juga, tahan terhadap beberapa jenis hama sepertiulat penggulung
daun Erionata thrax, dan hama buah pisang Nacolea octosema (banana scab moth). Pisang Goroho merah
juga tahan terhadap serangan penyakit pisang seperti layu fusarium (Panama disease
DAFTAR PUSTAKA
Allard, R.W. 1989. Pemuliaan Tanaman 2. Bina Aksara. Jakarta. hlm. 339-409
BPS. 2019. Sulawesi Utara Dalam Angka. Statistik Hortikultura 2018. ISBN : 978-602-5673-29-0
BPHN, 2006. Analisi Perlindungan Varietas Tanaman. Badan Perlindungan Hukum Nasional.
https://www.bphn.go.id/data/documents/ perlindungan_ varietas _tanaman.pdf
Daryanto 2004. Laporan Perkembangan Penyakit Layu Pisang. Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura, Agustus 2004.
Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jendral Hortikultura, Departemen Pertanian. 2005.
Pemanfaatan buah untuk kesehatan keluarga. 91 halaman.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, 2012. Laporan Perkembangan Areal dan
populasi Tanaman Pisang di Sulut.
IBPGR. 1984. Revised Banana Descriptors. FAO. Rome
Kasijadi, F. 2001. Prospek pengembangan pisang Agung di Kabupaten Lumajang. Makalah
disampaikan pada Temu Teknis Penyuluh Pertanian Kabupaten Lumajang. 13 hlm
Kahempe. Hindang. 2012. Potensi Ekstrak Buah Pisang Goroho (Musa acuminafe sp.) ter- Hadap
Kadar Gula Darah Dan MDA (Malonaldehida) Tikus Putih(Rattus norvegic) [Altikel Ilmiah].
PascaSarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado
Karamoy, V, Loho , A dan Lolowang, T., 2017. Analisis Nilai Tambah Pisang Goroho (Musa acuminafe
sp) (Studi Kasus: Sabuah Ungu Pantai Malalayang Kota Manado. Agri-Sosio Ekonomi Unsrat,
ISSN 1907– 4298 ,Volume 13 Nomor 2 A, Juli 2017 : 261 - 286
Kusumo, S., R.E. Nasution, H. Sunarjono, F.A. Bahar, dan S. Pratikno. 1996. Koleksi, konservasi dan
evaluasi plasma nutfah pisang. Laporan Hasil Penelitian RUT I. Proyek Pusat Penelitian Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Serpong. 40 hlm.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 9
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
10 | Teknologi Pertanian
PERATAAN LAHAN SAWAH DIPANDU LASER MENDUKUNG
REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DI LAHAN PASANG SURUT
SUMATERA SELATAN
ABSTRACT
The level of land evenness is one of the important factors in lowland rice cultivation. Therefore we need an appropriate
land leveling system, one of which is through a laser guided land leveling system that is introduced by IRRI. The
purpose of the study was to determine the effect of laser-assissted land leveling technology on the growth and yield of
rice in the tidal land of South Sumatra. The study was conducted in Telang Jaya Village, MuaraTelang District,
Banyuasin Regency, South Sumatra in rainy season 2018, since October 2018 until January 2019. Two rice varieties
which have adaptible in tidal namely Inpari 32 and Inpari 43 were cultivated in 1 hectare of farmer land.
Landlevelingare consisting of laser-assisstedland leveling system which is an adaptation of IRRI technology and
farmer practice by using fourwheels dozer-tractor. Whereas planting method is carried out with direct seeding system
using a modified tractor pulled which is called AMATOR. Cultivation technology follows the principle of integrated
crop management by spraying bio-silica in addition to fertilizer. The results of the study show that the level of land
level is more optimal through a laser leveling system. The highest yield was achieved by Inpari 43 rice varieties
without bio-silica application on flat land conditions, where productivity reached 12.96 t / ha.
ABSTRAK
Tingkat kerataan lahan merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya padi sawah karena itu
diperlukan sistem perataan lahan yang tepat, salah satunya melalui sistem perataan lahan dipandu laser,
yang dihasilkan oleh Internation Rice Research Institute. Tujuan kegiatan untuk mengetahui pengaruh
teknologi perataan lahan dipandu laser terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi di lahan pasang
surut Sumatera Selatan. Kajian dilaksanakan di Desa Telang Jaya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan pada MT I 2018 yakni bulan Oktober 2018-Januari 2019. Dua varietas unggul
baru (VUB) padi adaptif lahan pasang surut yakni Inpari 32 dan Inpari 43 ditanam pada masing-masing
seluas 1 hektar lahan. Perataan lahan dilakukan dengan menggunakan sistem perataan lahan dipandu
laser yang merupakan adaptasi teknologi IRRI. Sedangkan penanaman dilakukan dengan sistem tanam
benih langsung menggunakan atabela modifikasi ditarik traktor. Teknologi budidaya mengikuti prinsip
pengelolaan tanaman terpadu dengan penyemprotan bio-silika sebagai tambahan pupuk. Hasil kajian
menunjukkan tingkat kerataan lahan lebih optimal melalui sistem laser leveling. Hasil tertinggi dicapai
padi varietas Inpari 43 yang tanpa aplikasi bio-silika pada kondisi lahan yang rata, dimana
produktivitasnya mencapai 12,96 t/ha.
Kata kunci: padi, pasang surut, perataan dipandu laser, Sumatera Selatan.
PENDAHULUAN
Di era industri 4.0, sektor pertanian tanaman pangan akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi pada era ini, dimana kecepatan dan ketepatan sistem akan menjadi faktor penentunya.
Sebagai contoh misalnya pemanfaatan lahan pasang surut di Sumatera Selatan untuk peningkatan
produksi padi, tentunya membutuhkan teknologi untuk pengelolaannya. Penyiapan lahan yang
hanya mengandalkan tenaga manusia akan terkendala ketika terbatasnya jumlah tenaga kerja di lahan
pasang surut, begitu juga dengan penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk pengolahan
lahan akan menjadi tidak efektif dan efisien jika hanya mengandalkan kemampuan visual operator.
Oleh karena itu, penyiapan lahan pasang surut harus dirancang dengan prinsip otomatisasi sehingga
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 11
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
kemampuan operator tidak lagi menjadi faktor utama lagi dalam mencapai kerakuratan dan efisiensi
kerja.
Era industri 4.0 ditandai dengan peningkatan digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat
faktor: 1) peningkatan volume data, kekuatankomputasi, dankonektivitas; 2) munculnya analisis,
kemampuan, dan kecerdasan bisnis; 3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan
mesin; dan 4) perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing.
Ada empat desain prinsip industri 4.0, yaitu, interkoneksi (sambungan) yaitu kemampuan mesin,
perangkat, sensor, dan orang untuk terhubung dan berkomunikasi satu sama lain melalui Internet of
Things (IoT) atau Internet of People (IoP) International Rice Research Institute (IRRI) telah menghasilkan
teknologi perataan lahan dipandu laser (land laser leveling) yang dapat menginsiasi penerapan
otomatisasi dalam perataan lahan di era industri 4.0. Teknologi ini sudah diterapkan di beberapa
Negara seperti Kamboja, Laos dan Vietnam serta sudah pernah didemonstrasikan di lahan pasang
surut Sumatera Selatan [4]. Teknologi ini memberikan beberapa manfaat seperti dapat meratakan
lahan pada hamparan yang luas serta kerataan lahan dapat dipertahankan sampai 5 tahun. IRRI
membuktikan bahwa teknologi ini berdampak pada penggunaan input produksi lebih efisien,
pengaturan air dan pengendalian gulma lebih mudah, pemupukan yang lebih merata yang pada
akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Teknologi perataan lahan dengan LLL memberikan beberapa keunggulan dibanding teknologi
konvensional, dimana teknologi ini diketahui mampu meningkatkan hasil 5-15%, penghematan
penggunaan air 20-25%, efisiensi penggunaan nitrogen 10-13% dan di Vietnam terbukti mampu
meningkatkan kandungan beras kepala hingga 2%. Pengujian teknologi laser leveling ini, sudah
beberapa kali dilakukan oleh BPTP Sumatera Selatan terutama lahan pasang surut dengan tipe luapan
C. Akan tetapi, pengujian di lahan pasang surut tipe B, belum dilakukan. Melihat potensi lahan
pasang surut yang besar, yakni penyumbang luas tanam padi di Sumsel terbesar kedua setelah rawa
lebak (Dinas Pertanian Propinsi Sumsel, 2018), maka pengujian perataan lahan pasang surut perlu
terus dilakukan.
Teknologi perataan lahan yang selama ini dilakukan petani di pasang surut yakni hanya
mengandalkan perataan secara manual artinya mengandalkan visual operator traktor. Cara
konvensional ini tentunya memiliki tingkat kerataan yang kurang optimal, di samping tentunya
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses perataan lahan. Oleh karenanya, teknologi
perataan lahan dipandu laser sangat memungkinkan dilakukan di lahan pasang surut.
METODE PENELITIAN
Kajian dilaksanakan di Desa Telang Jaya Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin pada
MT I 2018 yakni Oktober 2018 sampai Januari 2019. Bahan yang digunakan terdiri dari benih padi
Inpari 32 dan Inpari 43 dari UPBS BB-Padi Sukamandi, Urea, TSP, KCl, kapur, insektisida berbahan
aktif fipronil. Peralatan di antaranya alat pengolah tanah traktor roda 4, peralatan perataan lahan
dipandu laser (lasertransmitter, laser receiver, control box, hidraulic valve, bucket), Atablea AMATOR
(atabela modifikasi ditarik traktor roda 2), traktor roda 2, dan peralatan pengendali OPT yakni
knapsack sprayer bermesin.
Prosedur
Penyiapan lahan, dilakukan pada saat puncak musim kemarau (Juli-Agustus 2018). Lokasi kajian
merupakan lahan pasang surut dengan tipologi luapan B, dengan pola tanam padi-padi (IP 200).
Pengkajian menggunakan RAK dengan dua perlakuan yakni perataan lahan dengan laser leveling
dan tanpa perataan lahan yang diuji pada luasan masing-masing 1 ha. Pada setiap hektar lahan
ditanam dua varietas padi yakni Inpari 32 dan Inpari 43. Sebelumnya lahan dibajak rotary,
Perbedaan ketinggian awal lahan yakni -0.5 sampai +14.5 cm, sedangkan setelah perataan hanya
+0.3 sampai -8.7 cm. Tanda (-) mengindikasikan bahwa lahan berada pada kondisi yang rendah,
sedangkan (+) menandakan lahan lebih tinggi dibandingkan rata-rata.
Menurut Raharjo et al., (2018), menyatakan bahwa saat demonstrasi perataan lahan dengan laser
leveling dibutuhkan hanya 2 orang operator yakni operator untuk menjalankan traktor dan untuk
pelaksanaan survei topografi. Menurutnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perataan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 13
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
lahan sekitar 6-8 jam untuk setiap hektarnya tergantung dengan tingkat kerataan awal lahan. Bahan
bakar yang diperlukan yakni sebanyak 15 l/ha, artinya teknologi ini cukup efisien untuk diterapkan di
tingkat lapang.
Kecepatan Tanam Padi pada Perataan Lahan Dipandu Laser
Teknologi perataan lahan menggunakan laser leveling berpengaruh terhadap kecepatan
penanaman padi menggunakan AMATOR. Teknologi laser leveling relatif lebih efisien dalam hal
waktu penanaman padi varietas Inpari 32 dibandingkan perataan lahan yang dilakukan oleh petani
(dozer sederhana) (Tabel 1). Untuk luasan 0,5 ha, waktu penanaman padi Inpari 32 lebih cepat 13
menit 6 detik dibandingkan dengan cara non laser leveling.Sebaliknya, pada varietas Inpari 43
penanaman relatif lebih lambat, dimana perbedaan waktu sekitar 11 menit 9 detik. Namun demikian,
jika dirata-ratakan waktu penanaman padi pada sistem laser leveling masih lebih singkat dibanding
non laser leveling.
Tabel 1.Pengaruhlaser leveling terhadap kecepatan tanam padi
menggunakan Amator.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 15
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
KESIMPULAN
Teknologi perataan lahan dengan laser leveling memberikan tingkat kerataan lahan dan efisiensi
waktu tanam dibanding perataan lahan tanpa dipandu laser. Namun demikian, keragaan tinggi
tanaman padi di lahan yang diratakan dengan laser leveling lebih rendah dibanding non-laser
leveling. Sebaliknya, jumlah anakan produktif dan produktivitas padi cenderung lebih tinggi
dibanding lahan yang diratakan tanpa dipandu laser, dimana produktivitas tertinggi dicapai padi
varietas Inpari 43 tanpa aplikasi bio-silika yang mencapai 12,96 t/ha.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kajian ini merupakan bagian dari kegiatan KP4S BPTP Sumatera Selatan yang didanai SMARTD-
Balitbangtan Kementerian Pertanian melalui Program KP4S tahun 2018. Terima kasih disampaikan
kepada Bapak Juwedi yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan kegiatan di tingkat
lapangan. Terima kasih kepada Closing Rice Yield Gaps in Asia (CORIGAP) International Rice
Research Institute (IRRI) yang telah memfasilitasi peralatan Laser Land Leveling.
DAFTAR PUSTAKA
Bell. M.A.. J.F. Rickman. E.C.Jr. Castro. L.B. Aclan. J. McNamara. 1998. Precision Land Leveling for Rice
Production in Asia. Proceedings of the International Agricultural Engineering Conference.
Bangkok. Thailand. 7-10 December 1998.
El-Sahrigi, A.F, Ishihara, S. 1989. Mechanization of Rice Production in Egypt. In “Rice Farming System.
New Directions” Proceeding of an International Symposium 31 January-3 February 1989. Rice
Research and Training Center. Sakha, Egypt.
Hermann, M., Pentek, T., & Otto, B. 2016. Design Principles for Industrie 4.0 Scenarios. Presented at the
49th Hawaiian International Conference on Systems Science.
International Rice Research Institute (IRRI) Postharvest Unit. 2013. Laser Leveling Training Manual.
Lee, J., Lapira, E., Bagheri, B., Kao, H., 2013. Recent Advances and Trends in Predictive Manufacturing
Systems in Big Data Environment. Manuf. Lett. 1 (1), 38–41.
Raharjo, B., Syahri, R.U. Somantri, P. Sasmita. An Assessment on The Effects oif Laser-Assisted Land
Leveling to Soil Properties and Rice Yield in South Sumatera. Presented on Workshop on
Agricultural Risk and Dryland Development for Poverty Alleviation. Bogor, 8-9 May 2018.
Somantri, R.U., B. Raharjo, Syahri. 2018. Pengaruh Teknologi Perataan Lahan Dipandu Laser
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian
Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”. Palembang, 19-20 Oktober 2017.
ABSTRACT
Distribution and rate attack of pink cassava mealybug (Phenacoccus manihoti Matile-Fererro) in Bone Bolango.
Potential economic and social value of cassava is a useful future foodstuff and raw materials for various industries and
animal feed. Since the last 9 years, cassava production in Indonesia has been partly affected by the presence of new pest
is pink cassava mealybug (Phenacoccus manihoti). This research aims to obtain data on the distribution, population
and level of pink cassava mealybug infestation in cassava plantations in Bone Bolango District and to identify
morphology of P. manihoti. The method that was used is descriptive exploratory method with field observation
techniques and specimen collection. The study was conducted in October 2018 to January 2019 in 11 Districts. There
were South Bulango District, East Bulango District, Tilongkabila District, Tapa District, North Bulango District,
Kabila District, Suwawa District, Center Suwawa District, South Suwawa District, Kabila Bone District, and Botu
Pingge District. The results showed of the 11 subdistricts observed, there were 9 subdistricts containing P. manihoti,
and then 2 other subdistricts had not been found for P. manihoti. The colour of eggs P. manihoti are yellowish, shaped
like a somewhat oval capsule, has a length of 0.30 mm and width of 0.15 mm. Nimph-1 measures 0.50 mm long and
0.25 wide. Nimph-2 measures 0.90 mm long and 0.45 mm wide. Nimph-3 is 1.20 mm long and 0.60 mm wide. Adult
has a length of 2.80 mm and a width of 1.50 mm.
ABSTRAK
Serangan P.manihoti pada tanaman ubikayu menyebabkan tanaman kerdil, daun menguning,
berguguran, Bunchy top, dan ruas batang memendek, serta batang ubikayu menjadi lembek. Penelitaian
ini bertujuan untuk mendapatkan data distribusi, populasi dan tingkat serangan hama kutu putih
Phenacoccus manihoti pada pertanaman ubikayu di Kabupaten Bone Bolango serta mengidentifikasi
morfologi kutu putih khususnya ukuran tubuh P.manihoti. Metode yang digunakan adalah metode
deskriptif eksploratif dengan teknik observasi lapangan dan koleksi spesimen. Penelitian dilakukan pada
Bulan Oktober 2018 sampai Januari 2019 di sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Bulango Selatan,
Kecamatan Bulango Timur, Kecamatan Tilongkabila, Kecamatan Tapa, Kecamatan Bulango Utara,
Kecamatan Kabila, Kecamatan suwawa, Kecamatan Suwawa Tengah, Kecamatan Suwawa Selatan,
Kecamatan Kabila Bone, dan Kecamatan Botu Pingge. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sebelas
kecamatan yang diamati, ada Sembilan kecamatan yang terdapat kutu putih P.manihoti, sedangkan dua
kecamatan lainnya belum ditemukan adanya kutu putih P.manihoti. Telur P.manihoti berwarna
kekuningan, berbentuk seperti kapsul agak lonjong, memiliki ukuran panjang 0,30 mm dan lebar 0,15 m.
Instar 1 berukuran panjang 0,50 mm dan lebar 0,25 mm. Instar 2 berukuran panjang 0,90 mm dan lebar
0,45 mm. Instar 3 berukuran panjang 1,20 mm dan lebar 0,60 mm. Imago memiliki ukuran panjang 2,80
mm dam lebar 1,50 mm.
Kata Kunci : Persebaran, Ukuran Tubuh, Phenacoccus manihoti, Ubikayu
PENDAHULUAN
Potensi nilai ekonomi dan sosial ubikayu (Manihot esculanta) merupakan bahan pangan masa
depan yang berdaya guna serta bahan baku berbagai industri dan pakan ternak. Ubikayu merupakan
tanaman perta-nian yang berasal dari Amerika Selatan, tepatnya di Amerika Selatan, tepatnya di
Negara Brazil yang beriklim tropis (Thamrin et al, 2013).
Pada lima tahun terakhir ini produksi ubikayu di Indonesia teranacam oleh kehadiran hama baru
yaitu kutu putih (Phenacoccus manihoti). Kutu putih termasuk dalam ordo Hemiptera, Famili
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 17
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pseuducoccidae (Rauf, 2014). Asal mula keberadaan hama ini berasal dari tanaman inangnya di Brazil
kemudian hama ini mulai menyebar ke kawasan Afrika pada awal tahun 1970-an dan berkembang
menjadi hama penting yang menyerang tanaman ubikayu di Asia, termasuk di Indonesia (Setyorini,
2017).
Hama P.manihoti pada tanaman ubikayu menyebabkan tanaman kerdil, daun menguning,
berguguran, Bunchy top, dan ruas batang memendek (distorsi batang). Gejala Bunchy top mulai
muncul pada tanaman terinfeksi yang berumur 8 Minggu Setelah Tanam (MST) dan akan terus
bekembang, dan pada 16 MST seluruh populasi ubikayu akan menun-jukkan gejala Bunchy top.
Serangan yang berat dapat mengakibatkan daun tanaman habis (Zakaria, 2015).
Kutu putih ubikayu awalnya ditemukan di Bogor kemudian menyebar ke wilayah Jawa dan
informasi terakhir telah menyebar di Pulau Lombok (Laporan terbaru) (Awan, 2018). Adapun hasil
penelitian rata-rata populasi P.manihoti dan tingkat serangan di Pulau Lombok yaitu sebesar 35,88
individu/tanaman. Selanjutnya tingkat serangan P.manihoti sebesar 38,52% (Awan, 2018). Menurut
informasi dari Balai Karantina Pertanian Kota Gorontalo mengatakan bahwa belum ada tanda-tanda
adanya keberadaan hama P.manihoti (Komunikasi pribadi: Wulan, 2018). Sehingga saat ini belum ada
informasi atau penelitian terkait persebaran dan gejala serangan P.manihoti kutu putih di Gorontalo
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Survei dilaksanakan di Kabupaten Bone bolango. Penelitian dimulai Oktober 2018 sampai Januari
2019. Identifikasi populasi kutu putih dilaksanakan di Laboratorium Balai Proteksi Tanaman Pangan
dan Hortikultura Provinsi Gorontalo.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan adalah tanaman ubikayu, hama kutu putih (Phenacoccus manihoti), alkohol,
dan wadah plastik. Sedangkan alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), hand
counter, tabung ependof, kaca pembesar, kuas serangga, dino lite 2.0, dan alat dokumentasi
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif eksploratif dengan teknik observasi
lapangan dan koleksi spesimen. Teknik observasi lapangan digunakan untuk menentukan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel. Koleksi spesimen digunakan untuk keper-luan identifikasi.
Penentuan Lokasi dan Parameter yang diamati
Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten Bonebolango. Masing-masing ditentukan
titik lokasi pengambilan sampel dengan ukuran luas setiap titik lokasi/pertanaman ubikayu mulai
dari 1 are hingga yang luasnya 1 ha. Jarak antar titik lokasi minimal 1 km untuk memastikan
perbedaan kelimpahan kutu putih. Posisi geografi setiap titik lokasi pengamatan dicatat
menggunakan GPS. Parameter yang diamati meliputi: Kerapatan populasi dan intensitas kerusakan
dan ukuran panjang dan lebar tubuh setiap stadium
Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan adalah simple random sampling yaitu sampel diambil dari satu petak lahan
dan ditentukan lima area tanaman. Masing-masing area diwakili 5 tanaman menggunakan pola
diagonal sehingga didapatkan 25 sampel tanaman. Jumlah populasi tanaman masing-masing lokasi
pengambilan sampel sekurang-kurangnya 25 tanaman. Ini didasarkan pada rumus pengambilan
sampel Slovin (Ellen, 2017). Pengamatan jumlah kutu putih (Phenacoccus manihoti) dimulai dari
membalik bagian bawah daun tanaman hingga pada pucuk dengan cara membuka bagian pucuk
tanaman. Hama yang terlihat dihitung menggunakan hand counter.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 19
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Nimfa P.manihoti terbagi menjadi 3 instar dan berwarna merah muda. Nimfa instar 1 berukuran
panjang 0,50 mm dan lebar 0,25 mm, instar 2 panjang 0,90 mm dan lebar 0,45mm, instar 3 panjang 1,20
mm dan lebar 0,60 mm. Seperti nimfa, serangga imago juga berwarna merah muda dengan ukuran
panjang 2,80 mm dan lebar 1,50 mm.
Hal tersebut tidak berbeda jauh dari penelitian awan (2018) tentang morfologi P.manihoti pernah
dilakukan di Lombok. Adapun hasil yang didapatkan meliputi pengukuran masing-masing panjang
dan lebar tubuh yang terdiri dari instar-1 0,47 mm dan 0,21 mm, instar-2 0,90 mm dan 0,42 mm, instar-
3 1,20 mm dan 0,60 mm, dan imago 2,45 mm dan 1,35 mm.
Selain itu menurut Saputro (2013), Nimfa terdiri dari 3 instar dan berwarna merah jambu. Nimfa
instar-1 berukuran panjang 0,41 mm dan lebar 0,17 mm, instar-2 panjang 0,60 mm dan lebar 0,26 mm,
instar-3 panjang 0,86 mm dan lebar 0,39 mm. Seperti nimfa, serangga imago juga berwarna merah
jambu dengan ukuran panjang 1,25 mm dan lebar 0,63 mm.
Penyebaran Spesies Phenacoccus manihoti
Hasil Pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa kutu putih P. manihoti sudah menyebar di
Kabupaten Bone Bolango dan ditemukan hampir di semua Kecamatan. Sebelumnya, informasi dan
laporan dari Balai Karantina Pertanian Kota Gorontalo tentang keberadaan hama ini belum diketahui
(komunikasi pribadi: Wulan, 2018). Dengan demikian informasi tentang hama Phenacoccus manihoti ini
termasuk dalam hama baru yang menyerang pada pertanaman ubikayu di Kabupaten Bone Bolango
(new record). Dari sebelas lokasi pengamatan, terdapat sembilan lokasi yang menunjukkan keberadaan
hama P.manihoti. Keberadaan hama tersebut hampir tersebar disemua kecamatan .
Keberadaan hama P.manihoti disetiap lokasi pengamatan dapat dikenali dari tubuhnya yang
berwarna pink, berbentuk oval, dilapisi oleh lilin tipis berwarna putih. Umumnya ditemukan di
bawah permukaan daun. Jika pucuk tanaman ubi kayu dibuka maka akan terdapat koloni P. manihoti.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wyckhuys (2014) yang menyatakan bahwa P.manihoti memiliki
Ciri spesifik tersebut yang menyebabkan terjadinya gejala bunchy top karena hama ini menghisap
cairan pada pucuk daun tanaman.
Di lokasi pengamatan ditemukan koloni P.manihoti dengan stadium instar yang bervariasi mulai
dari instar-1, instar-2, instar-3, imago, dan kantung telur (ovisak) berwarna putih sepeti kapas yang
menempel pada daun tanaman. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh hama P.manihoti selama
pengamatan dilapangan cukup bervariasi mulai dari serangan ringan, sedang sampai berat.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Abduchalek et al (2017) yang menyatakan bahwa keberadaan
P.manihoti pada tanaman ubikayu ditandai oleh adanya koloni putih yang terdiri dari nimfa yang
berwarna merah jambu serta imago dan ovisac yang berwarna putih seperti kapas, khususnya pada
bagian pucuk tanaman ubikayu. Selain itu, tanaman yang terserang tampak daun pucuknya
mengeriting dan menggumpal (Bunchy top), dan tidak berkembang normal.
Skala pengukuran tingkat kerusakan tanaman dilihat dari gejala tanaman yang mengacu pada
Neuenschwander et al. (1989). Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama P.manihoti pada
umumnya ditandai dengan mengkerutnya daun tanaman dan berwarna kuning pucat. Hal ini
disebabkan karena hama Phenacoccus manihoti menghisap cairan yang ada pada jaringan daun
(Wyckhuys, 2014).
Populasi Hama Phenacoccus manihoti
Populasi hama P.manihoti yang ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan berbeda-
beda. Kepadatan populasi hama P. manihoti disetiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada tabel 1.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa populasi P.manihoti ditemukan paling banyak di
Kecamatan Tilongkabila yaitu 413,28 individu/ tanaman. Adapun lokasi yang tidak
Dari tabel dan diagram tersebut terlihat bahwa tingkat kerusakan tanaman yang disebebkan oleh
hama P.manihoti cukup berfluktuasi pada semua lokasi pengamatan. Secara umum fluktuasi intensitas
serangan hama P.manihoti tertinggi di Kecamatan Tilongkabila, sedangankan di Kecamatan lainnya
secara umum memiliki fluktuasi tingkat serangan yang rendah.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 21
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Serangan paling tinggi yaitu terdapat pada Kecamatan Tilongkabila dengan intensitas serangan
mencapai 45%, kemudian Kecamatan Kabila Bone tertinggi kedua dengan intensitas serangan 40,90%,
diikuti oleh Kecamatan Botu Pingge 32%, Kecamatan Suwawa 30%, Kecamatan Bulango Selatan 26%,
Kecamatan Kabila 24%, Kecamatan Bulango Timur 22%, Kecamatan Suwawa Selatan 11,11%,
Kecamatan Suwawa Tengah 7,14%, Kecamatan Tapa dan Kecamatan Bulango Utara tidak terdapat
populasi P.manihoti.
Serangan terberat dari hama P.manihoti di Kecamatan Tilongkabila yang ditemukan menunjukkan
daun tanaman pada pucuknya mengeriting dan menggumpal (Bunchytop) sehingga membuat
tanaman susah atau terganggu dalam berfotosintesis. Hal serupa sama seperti pernyataan Wardani
(2015) bahwa tanaman yang terserang tampak daun-daunnya mengeriting dan menggumpal
(Bunchytop), dan tidak berkembang normal. Selain itu, banyak ditemukan gejala distorsi atau
pemendekan batang tanaman. Hal ini sama dengan temuan Abduchalek (2016) yang menemukan
gejala distorsi banyak ditemukan di pulau Jawa. Riwayat serangan P.manihoti dapat dikenali dari
bagian - bagian buku yang memendek atau adanya distorsi pada batang tanaman ubikayu.
KESIMPULAN
Terdapat populasi hama P.manihoti di Kabupaten Bone Bolango yang berjumlah 11 lokasi
pengamatan. Sembilan diantaranya terdapat kutu putih Phenacoccus manihoti sementara dua lainnya
belum ditemukan populasi P.manihoti.
Intensitas serangan P.manihoti tertinggi terdapat pada Kecamatan Tilongkabila dengan kelimpahan
populasi hama berkisar 413,28 individu/tanaman dengan intensitas serangan mencapai 45%, disusul
Kecamatan Kabila Bone tertinggi kedua dengan intensitas serangan 40,90%. Kemudian berturut-turut,
Kecamatan Botu Pingge 32%, Kecamatan Suwawa 30%, Kecamatan Bulango Selatan 26%,
Kecamatan Kabila 24%, Kecamatan Bulango Timur 22%, Kecamatan Suwawa Selatan 11,11%,
Kecamatan Suwawa Tengah 7,14%. Sedangkan di Kecamatan Tapa dan Kecamatan Bulango Utara
belum terdeteksi adanya populasi P.manihoti.
DAFTAR PUSTAKA
Abduchalek B., Rauf A. Pudjianto. 2017. Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudococcidae): Persebaran Geografi Di Pulau Jawa Dan Rintisan Pengendalian
Hayati. Jurnal Hama Penyakit Tanaman Tropika. Vol 17, No.1: 1-8
Achdami M. 2014. IPB Impor 2.000 Tawon Thailand Berantas Hama Singkong.
http://harnas.co/2014/09/24/ipb-impor-2000-tawon-thailand-berantas-hama-singkong. [27
Oktober 2017]. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi). 2012. Lahan
Kering NTB Potensial untuk Produksi Benih Kedelai.
Awan H. 2018. Distribusi Dan Karakteristik Hama Kutu Putih Ubikayu Di Pulau Lombok. Jurnal
Ilmiah
[BPS] Badan Pusat Statistik Gorontalo. 2016. Data Produksi Ubikayu di Gorontalo. Di akses Pada
Tanggal 27 september 2018
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2016. Data Produksi Ubikayu di Indonesia. Di Akses Pada
Tanggal 27 september 2018
[BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika Gorontalo. 2018. Data Pemeriksaan Curah Hujan. Di Akses
Pada Tanggal 09 April 2019
[CABI] Center for Agriculture and Biosciences International. 2017. Phenacoccus manihoti (cassava
mealybug). http://cabi.org/isc/mobile/datasheet/40173. [20 September 2018].
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 23
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Wardani N. 2015. Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:
Pseudococcidae), Hama Invasif Baru di Indonesia. [Disertasi, published]. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia.
Williams D. J., Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CABI. World
Service to Agriculture. USA.
Winotai, A., Goergen G., Tamo M., Neuenschwander P. 2010. Cassava Mealybug has Reached Asia.
Biocontrol News and Info. 31 (2): 10–11
Wyckhuys K.A.G. 2014. Pest and Disease of Cassava in Southeast Asia. Seminar Kutu putih vs
Parasitoid: Pengelolaan hama asing invasif berbasis ekologi. Bogor
ABSTRAK
Komoditas kelapa yang selama ini diolah menjadi kopra atau minyak kurang strategis untuk
dikembangkan karena tersaingi oIeh minyak kelapa sawit dan minyak nabati lainnya seperti minyak
kedelai, kacang tanah bunga matahari dan rapeseed. Akibatnya harga dari minyak kelapa, walaupun
terdapat kecenderungan naik namun sangat berfluktuasi. Untuk memperkecil pengaruh fluktuasi harga,
diperlukan usaha diversifikasi pemanfaatan dan pengolahannya. Selain sebagai minyak makan, minyak
kelapa dapat diolah lanjut menjadi produk oleochemical. Produk-produk oleochemical yang penting
yaitu asam lemak, metil ester asam lemak, asam lemak beralkohol, dan gliserin. Pengembangan industri
oleochemical di Indonesia sangat memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia ditinjau dari segi
kemungkinan ketersediaan bahan baku, keunggulan teknis, penyerapan tenaga kerja, dan pe luang pasar
dalam maupun luar negeri. Masalah yang mungkin dihadapi adalah persaingan dengan negara-negara
Asia Pasifik yang juga mengembangkan industri oleochemical. Untuk menjamin pasar bagi oleochemical,
pengembangan industri ini harus diikuti dengan pengembangan industri dalam negeri yang
memanfaatkan produk oleochemical dalam cakupan sistim industri 4.0.
PENDAHULUAN
Sektor pertanian masih tergolong sebagai sektor unggulan dalam membangun perekonomian
di Indonesia, kontribusinya terhadap perekonomian nasional masih dominan yaitu sekitar 30 –
35 % (BPS, 2015). Lebih dari 90 persen usaha disektor ini dikelola oleh masyarakat tani yang sampai
saat ini perolehan nilai dari berbagai produk masih terbatas pada beberapa produk primer. Karena
itu perolehan pendapatan petani pada usaha sektor ini masih sangat rendah, belum sebanding
dengan potensial sumberdaya yang tersedia untuk menghasilkan berbagai produk yang
berdaya saing dan bernilai ekonomi lebih tinggi (Allorerung, dkk. 2003: Manggabarni, 2006).
Negara-negara sedang berkembang dewasa ini berusaha mengembangkan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi barang jadi melalui usaha penerapan teknologi. Pengembangan
industri dengan teknologi tinggi yakni era industry 4.0 ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah
produk yang dihasilkan, memenuhi kebutuhan hasil industri dalam negeri serta menghemat devisa.
Di Indonesia dikenal istilah produksi olahan kelapa konvensional dan non-konvensional.
Industri olahan kelapa konvensional di antaranya meliputi kopra, minyak kelapa mentah (CCO), dan
minyak goreng kelapa. Produksi olahan kelapa yang bersifat non-konvensional diantaranya adalah
kelapa parut (desiccated coconut), tepung kelapa, dan oleochemical, seperti fatty acid, fatty alcohol,
gliserin, dan gliseral.
Pada beberapa dekade sampai tahun 1970, perkembangan konsumsi produk olahan konvensional
di dalam negeri sampai pada tingkat yang tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Pada periode tersebut pertumbuhan konsumsi 4,9% per tahun, sedangkan pertumbuhan produksi
hanya mencapai 4,0% pertahun. Keadaan inilah yang mendorong pemerintah untuk menerapkan
kebijaksanaan untuk meningkatkan produksi (Socbiapradja, 1991). Namun pada saat produksi kelapa
meningkat, harga produk olahan konvensional, yakni kopra dan minyak kelapa cenderung menurun
mengikuti perubahan yang terjadi dipasar dunia. Masalah ini menjadi lebih kompleks karena minyak
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 25
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
goreng kelapa sawit yang sebelumnya bersifat pelengkap dalam perdagangan dalam negeri berubah
menjadi bersifat kompetitif karena harganya yang lebih murah (Simatupang, 2003).
Dengan demikian, kopra dan minyak kelapa sebagai bahan baku minyak goreng kelapa
menghadapi tantangan dalam pemasaran. Daya saing minyak kelapa kalah terhadap minyak goreng
nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak jagung dan minyak rape di pasar luar negeri (Basrah,
1991). Perkembangan seperti ini menyebabkan kebijakan yang telah diterapkan terdahulu tidak
mencapai basil sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dimensi baru
kebijakan pengembangan kelapa umumnya dan produk olahannya pada khususnya.
Minyak kelapa merupakan hasil pengolahan kelapa yang utama di Indonesia dan umumnya
dikonsumsi sebagai bahan makanan. Peran minyak kelapa sebagai makan diperkirakan makin hari
semakin tergeser dengan adanya sumber minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak
jagung, minyak kacang tanah dan minyak inti sawit. Minyak kelapadapat diperoleh melalui ekstrak
basah dan kering (Rindengan dan Karouw, 2002: Rindengan dkk, 2004: Lay dan Karouw, 2007: Che
Man dkk, 1997). Perubahan poIa konsumsi masyarakat negara-negara maju maupun negara sedang
berkembang dari konsumsi minyak kelapa ke minyak nabati lainnya yang kandungan asam lemak
jenuhnya lebih tinggi dan adanya kampanye anti minyak nabati tropis, semakin menggeser peranan
minyak kelapa sebagai minyak makan. Selain itu apabila produksi minyak kelapa hanya
diperuntukkan sebagai minyak makan kemungkinan pengaruh fluktuasi harga sangat besar terhadap
pendapatan petani. Hal ini disebabkan adanya persaingan antara minyak kelapa dengan minyak
nabati lainnya. Akibatnya jaminan peningkatan pendapatan petani menjadi tidak pasti. Dengan
adanya masalah ini perlu dipikirkan kemungkinan pemanfaatan lain dari minyak kelapa sebagai
bahan baku industri lainnya.
Minyak kelapa sebenarnya tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai minyak goreng saja, akan
tetapi dapat diolah lanjut menjadi produk-produk tertentu yang dikenal sebagai oleochemical
(Leonard dan Kopald, 1984: Siahaan, 1992). Produk ini mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi
dibanding minyak goreng.Oleochemical merupakan senyawa-senyawa atau produk-produk yang
diperoleh sebagai hasil proses pemisahan atau pemecahan dan reaksi lanjut dari minyak dan lemak.
Oleochemical terdiri dari senyawa-senyawa asam lemak, gliserin, asam lemak metil ester, asam lemak
beralkohol, amine dan turunan senyawa-senyawa ini.
Berdasarkan bahan bakunya oleochemical tcrdiri atas dua jenis. Oleochemical alami diolah dari
lemak/minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sedangkan oleochemical sintetis
dihasilkan dari bahan bakar minyak (petrochemical). Di negara-negara maju seperti negara-negara di
Eropa Barat dan Amerika Serikat industri oleochemical sudah berkembang sejak tahun 1950an,
sedangkan di wilayah Asia nanti tahun 1980-an. Sampai sekarang di Philipina ada 4 buah pabrik
perintis yang memproduksi oleochemical dengan minyak kelapa sebagai bahan baku dan di
Malaysia ada sebuah pabrik yang mengolah minyak inti sawit menjadi senyawa oleochemical (Chen
dan Berger, 1984).
Sampai saat ini era tahun 2000an Di Indonesia industri oleochemical belum berkembang,
padahal peluang untuk pengembangannya cukup baik apabila ditinjau dari segi potensi bahan baku
dan peluang pasarnya baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam tulisan ini akan disajikan
sejauh mana kemungkinan pengembangan industri oleochemical di Indonesia ditinjau dari potensi
bahan baku dan peluang pasarnya.
Esters
Polylkymethacrylates
Epoxides
Hydrogenation products
Ethoxylates
Berdasarkan bahan bakunya oleochemical tcrdiri atas dua jenis. Oleochemical alami diolah dari
lemak/minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sedangkan oleochemical sintetis
dihasilkan dari bahan bakar minyak (petrochemical).
Di negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat industri
oleochemical sudah berkembang sejak tahun 1950an, sedangkan di wilayah Asia nanti tahun 1980-an.
Sampai sekarang di Philipina ada 4 buah pabrikperintis yang memproduksi oleochemical dengan
minyak kelapa sebagai bahan baku dan di Malaysia ada sebuah pabrik yang mengolah minyak inti
sawit menjadi senyawa oleochemical (Chen dan Berger, 1984). Sampai saat ini era tahun 2000an Di
Indonesia industri oleochemical belum berkembang, padahal peluang untuk pengembangannya
cukup baik apabila ditinjau dari segi potensi bahan baku dan peluang pasarnya baik dalam negeri
maupun luar negeri. Dalam tulisan ini akan disajikan sejauh mana kemungkinan pengembangan
industri oleochemical di Indonesia ditinjau dari potensi bahan baku dan peluang pasarnya.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 27
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menjadi asam lemak yang beratom C6-C10 dan C12-C18 (Ong dkk, 1989). Proses produksi asam-asam
lemak dari kelapa disajikan pada Gambar 2.
MinyakKelapa
PemisahanLemak
Larutangliserin Asamlemakterpisah
Distilasipemutiha
Fraksionasi
n
Distilasi Fraksionasi
Gambar 2. Proses Produksi Asam Lemak Dari Kelapa (Graalman, 1984)
Alkohol C12-C18
Asam lemak digunakan dalam industri pengolahan asam lemak beralkohol, amina, ester-ester,
sabun, plastik, detergen, kosmetik, cat, karet, ban, tekstil, kulit, kertas, pelumas, dan lain-lain.
Metil Ester Asam Lemak
Senyawa ini merupakan produk antara dari asam-asam lemak untuk menjadi senyawa seperti
asam lemak beralkohol. Metil ester asam lemak dapat diperoleh melalui proses transesteriflkasi
lemak/minyak atau proses esterifikasi asam lemak (Karouw dkk, 2013). Pengolahan senyawa ini
disajikan pada Gambar 3.
Metil ester asam lemak mempunyai titik cair lebih rendah
dan bersifat kurang korosif dan warnanya lebih tahan selama
penyimpanan dibanding asam-asam lemak.Senyawa ini
dapat diolah lanjut menjadi derivat-derivatnya seperti
alkanolamida, metil ester sulfo-asam lemak yang dapat
diperoleh melalui proses sulfonasi. Metil ester asam lemak
dan derivat-derivatnya dapat digunakan sebagai surfaktan
untuk bahan makanan dan non bahan makanan. Di Philipina
metil ester asam lemak telah dicobakan sebagai substitusi
minyak diesel.
Gambar 3. Proses produksi asam Asam Lemak Beralkohol
lemak alkohol (Graalman,1984)
Asam lemak beralkohol dapat diproduksi/diproses dari
lemak/minyak alami dan sintetis. Lemak/minyak alami dapat bersumber dari minyak nabati dan
lemak hewani sedangkan bahan sintetis yang digunakan yaitu minyak bumi. Produksi asam lemak
beralkohol dari bahan sintetis sejak tahun 1979/1980 mulai berkurang dan produsen mulai beralih
memanfaatkan asam-asam lemak nabati (terutama minyak yang tergolong pada minyak laurat)
sebagai bahan baku. Hal ini disebabkan produksi asam lemak beralkohol dari bahan alami tidak
Secara skematis pengolahan asam lemak beralkohol disajikan pada Gambar 3. Asam Iemak
beralkohol yang diperolch dari proses hidrogenasi masih mengandung air dan sisa-sisa ester sehingga
masih memerlukan proses distilasi dan fraksionasi lebih lanjut.
Gliserin
Produk ini merupakan hasil sampingan pada pengolahan asam-asam lemak dan metil ester dari
lemak/minyak. Seperti produk oleochemical lain, gliserin dapat diperoleh dari sumber bahan
Iemak/minyak alami maupun sintetis. Dalam proses pemecahan lemak/minyak menjadi asam-asam
lemak dan metil ester asam Iemak, gliserin yang diperoleh dapat mencapai 15%. Gliserin yang
diperoleh tersebut masih dalam bentuk terikat dengan air.
Untuk memperoleh gliserin murni, pada tanki pemisahan minyak ditambahkan Na-aluminat dan
diberi perlakuan asam kemudian disaring. Selesai proses penyaringan gliserin kasar masih perlu
diuapkan melalui 3 tahap penguapan. Kemudian disaring pada keadaan vakum, selanjutnya diberi
perlakuan pcmutihan (bleaching) dan disaring dengan arang aktif. Pada akhir tahap penyaringan
dapat diperoleh gliserin untuk food grade dan pharmaceutical grade 99.5%. Gliserin digunakan
sebagai bahan baku dalam industri farmasi, kosmetika, ester, makanan, resins, selulosa, polyol,
poliuretan, tembakau, dan nitrasi (Poremski, 1991: Weiss, 1987).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 29
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Konsumsi minyak dan lemak asal kelapa dalam negeri diperkirakan sebesar 8.5/kapita/tahun
sehingga total konsumsi minyak dan lemak asal kelapa sebesar 1.240.830 ton. Dari total konsumsi
tersebut 650.750ton adalah minyak kelapa asal kopra dan sisanya sebanyak 950.950 ton berasal dari
kelapa segar atau setara 1.650.255 ton kopra. Jadi total konsumsi minyak dan lemak asal kelapa tahun
2014 sebanyak 2.950.155 ton ekivalen kopra. Dengan produksi sebanyak 2.850.000 ekivalen kopra
maka tahun 2014 diperkirakan akan terjadi kekurangan kelapa sebanyak 90.080 ton ekivalen kopra.
Perhitungan ini belum termasuk konsumsi kelapa muda(BPS, 2015).
Dari data yang dikemukakan ternyata bahwa untuk pengembangan industri oleochemical masih
diperlukan upaya peningkatan produksi kelapa dalam rangka menjamin ketersediaan bahan baku
minyak kelapa. Produksi kelapa yang meningkat dengan laju pertumbuhan 4,5% per tahun belum
dapat mengimbangi laju pertumbuhan konsumsi kelapa untuk keperluan bahan makanan sebesar
5,5% per tahun dalam periode 2000-2014 (BPS, 2015). Peningkatan produksi minyak sawit dan inti
sawit diharapkan dapat menunjang ketersediaan bahan baku karena kemampuannya sebagai
substitusi konsumsi minyak/ lemak untuk bahan makanan.
PROSPEK PASAR
Data yang pasti mengenai konsumsi minyak kelapa untuk kebutuhan non makanan dalam negeri
belum diperoleh. Namun dengan semakin berkembangnya industri-industri dalam negeri yang
menggunakan oleochemical sebagai bahan baku seperti industri farmasi, obat-obatan, kosmetika,
detergen, bahan cat, tekstil, kulit, dan lain-lain, diperkirakan permintaan oleochemical dalam negeri
semakin meningkat. Sebagian besar kebutuhan oleochemical dalam negeri masih diimpor.
Berdasarkan data tahun 2000 konsumsi minyak kelapa dunia meningkat 3,5% per tahun. Dalam
periode 2000-2014 konsumsi minyak kelapa di negara-negara Afrika, Amerika, Eropa Timur, dan
Eropa Barat diproyeksikan meningkat berturut-turut 6,1%, 1,2%, 5.9%, dan 0.4%. Pada tahun 2014,
konsumsi minyak kelapa di Afrika diproyeksikan sebanyak 151.550 MT, Amerika 857.700.800 MT ,
Eropa Timur 3.200.580 MT, Eropa Barat 65.590 MT (BPEN, 2015). Pada tahun 2014, Amerika Serikat
mengimpor minyak kelapa 550.500 MT dan Eropa Barat 650.500 MT (BPS, 2015). Dari jumlah yang
diimpor tersebut 80% dimanfaatkan untuk bahan makanan dan 20% untuk non makanan (industri
oleochemical). Amerika Serikat merupakan pelopor dalam industri oleochemical diikuti oleh Eropa
Barat. Filipina, Malaysia, dan Jepang mulai mengembangkan industri oleochemical mulai era tahun
1980-an. (Wattimena, 1990). Di Eropa Barat dalam periode diatas tahun 2000 diperkirakan produksi
asam lemak meningkat dengan laju pertumbuhan 1-5%, asam lemak metil ester 4%, asam lemak
beralkohol 3%, gliserin 4%, dan asam lemak amina 5% per tahun (BPS, 2015). Pertumbuhan produksi
oleochemical ini cukup mengimbangi kebutuhan Eropa Barat saja.
Untuk kawasan Asia Pasifik, prospek oleochemical tercermin dari beberapa data berikut (BNI
1946, 2015) :
1. Produksi asam lemak di Jepang dari tahun 2000-2014 meningkat rata-rata 3,2 % setahun.
Kebutuhan tahun 2014 sekitar 250 100 ton dan pada tahun 2020 diperkirakan berkisar antara
350.000-450.000 ton. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya pemakaian detergen.
Kapasitas produksi asam lemak di Jepang saat ini kurang dari 300.000 ton. Pada tahun 2020
diperkirakan pasaran Jepang akan kekurangan asam lemak sekitar 510.000 ton. Walaupun
Malaysia memiliki industri asam lemak dengan kapasitas ditas 200.000 ton/tahun, tetapi
sebagian besar produksinya diekspor ke Eropa.
2. Produsen asam lemak beralkohol di kawasan Asia Pasifik adalah Jepang dan Filipina. Jumlah
produksi Jepang dan Filipina sekitar diataa 55.000 ton/tahun. Sedangkan pertumbuhan
konsumsi di Asia Pasifik berkisar 4-8% setahun. Dengan tingkat pertumbuhan konsumsi
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 31
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Masalah
Masalah yang harus diantisipasi dalam pengembangan industri oleochemical di Indonesia yaitu
persaingan dengan negara-negara penghasil oleochcmical lainnya. Kini terdapat kccenderungan
negara-negara penghasil kelapa di kawasan Asia Pasifik seperti Filipina, Malaysia, India, Sri Lanka
giat melakukan pendalaman struktur industri pengolahan kelapa. Negara-negara tersebut seperti juga
Indonesia tidak menghendaki lagi mengekspor bahan baku minyak kelapa tetapi berusaha
mengekspor barang jadi yang akan memberi nilai tambah terhadap produknya. Pada tahun 2000 an
Filipina telah mengekspor oleochemical sebanyak 150.550 MT.
Pengembangan industri oleochemical secara besar-besaran di kawasan ini dikuatirkan akan
menyebabkan kelebihan produksi yang pada akhirnya mempengaruhi harga oleochemical itu sendiri.
Untuk mengatasi masalah di atas di dalam negeri pengembangan industri oleochemical haruslah
dalam suatu sistim agribisnis yang dapat menjamin efisiensi produksi serta jaminan pasar dalam
negeri. Pengembangan industri oleochemical harus pula diikuti pengembangan industri dalam negeri
yang memanfaatkan oleochemical. Keterkaitan pengembangan industri oleochemical disajikan pada
Gambar 4. Secara garis besar sistim agribisnis oleochemical terdiri dari produsen minyak kelapa
sebagai bahan baku pengolahan oleochemical, produsen oleochemical dasar yang mengolah minyak
kelapa menjadi oleochemical dasar, produsen derivat oleochemical dan konsumen dalam hal ini
industri yang menggunakan derivat oleochemical dalam pengolahan produknya seperti industri
tekstil, kulit, kosmetika, farmasi, deterjen dan lain-lain. Peranan petani yaitu sebagai penghasil bahan
baku kelapa untuk pengolahan minyak kelapa.
Selain masalah strategis seperti yang dikemukakan diatas, maka ada hal penting perlu
diantisipasi dan dapat menjadi penentu yakni kesiapan dan suatu keharusan penguasaan teknologi
digital presisi tinggi diera industri 4,0. Drucker (1959) memberikan pemahaman bahwa teknologi
harus dianggap sebagai suatu sistem, yaitu suatu himpunan dari satuan-satuan dan kegiatan yang
saling terkait dan saling berkomunikasi. Sebagai suatu sistem maka teknologi memiliki tujuan dan
sasaran yang harus dicapai sehingga komponen-komponen di dalamnya yang saling berkaitan serta
adanya pengaruh lingkungan maka perlu adanya kendali sistem manajemen yang sesuai.
Asamlemak PASAR
Tekstil
Kulit
Kertas
Asamlemaka Kosmetik
mina Farmasi
Bahanbangunan
Produsen Produsenoleoc Produsen Pestisida
minyakkela hemicaldasar Asamlemak derivate Isektisida
pa oleochemical Deterjen
Pembersih
Industry minyak
Asamlemakm Polymerisasi
etil ester Produksiminyak
Cat
Lilin
Anti kebakaran
Gliserin Sabun
Menurut Sharif (1993) terdapat empat komponen teknologi, yaitu (1) humanware, (2) infoware, (3)
orgaware, dan (4) technoware. Technoware adalah obyek yang mencakup fasilitas fisik berupa mesin-
mesin atau semua peralatan yang dapat meningkatkan kekuatan fisik manusia serta dapat
mengontrol jalannya proses kegiatan. Humanware adalah terkait dengan kemampuan manusia itu
sendiri seperti keterampilan, keahlian, pengetahuan, serta kreativitas yang berperan untuk
mewujudkan manfaat lebih besar dari sumberdaya alam dan sumberdaya teknologi untuk tujuan
produktif.
KESIMPULAN
Oleochemical dan derivatnya digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, barang-barang
toilet, deterjen, sabun mandi, barang jadi karet, farmasi, plastik, dan fiber, dan lilin. Manfaat lainnya
adalah sebagai emulsifier, plasticizer, stabilizer, booster, depressant, pelumas, penahan air, pelembut
kulit, supfactant, dan lain-lain. Industri oleochemical memasuki era induntri 4.0 cukup prospektif
dan sangat memungkinkan dan berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia dalam meraih nilai
ekonomi optimal dari buah kelapa ditinjau dari segi ketersediaan bahan baku, keunggulan teknis,
penyerapan tenaga kerja, dan peluang pasar dalam maupun luar negeri.
Kendala yang mungkin dihadapi dan perlu diantisipasi secara proporsional adalah kompetitor
negara-negara Asia Pasifik yang secara simultan mengembangkan industri oleochemical. Untuk
menjamin pasar bagi oleochemical, pengembangan industri ini harus diikuti dengan pengembangan
industri dalam negeri yang memanfaatkan produk oleochemical.
DAFTAR PUSTAKA
Allorerung, D., H.T. Luntungan, D.S. Effendi, I.N. Maya, C. Syukur, H. Supriadi dan Yuliusman, 2003.
Pengembangan Kelapa Secara Berkelanjutan Berdasarkan Teknologi yang Menciptakan
Pendapatan Sebagai Suatu Strategi untuk Pengurangan Kemiskinan di Masyarakat Pedesaan
Miskin dan Konservasi Sumberdaya Genetik di Lahan Petani di Indonesia. Badan Litbang
Pertanian.
BPEN, 2015. Ekspor Kelapa dan Produk Kelapa. Prosiding Seminar Ekonomi Perkelapaan.
BNI 1946, 2015. Kebutuhan Oleochemical Dunia. Majalah Tinjauan Ekonomi 2015.
Che Man, Y.B., M.I.B. Abdul Karim dan C.T. Teng. 1997. Extraction of coconut oil with Lactobacillus
plantarum 1041 IAM. Journal of the American Oil Chemists Society 74.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 33
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Chen, S.S dan Bcrger,K G 1984. The emerging oleochemiéal industry in Malaysia. Palm Oil
Development No. 1, PORIM, Kuala Lumpur.
Graalmann, M. 1984. A few percent more. A big step forward. Coconuts Today. November 12, 1984.
Jamil, K. 1992. Prospek Perdagangan Kelapa dan Hasil-hasilnya. Makalah pada Seminar Nasional
Strategi Pengembangan Industri Perkelapaan Dalam Era Deregulasi, 30.31 Januari 1992.
Manado.
Karouw, S., Suparmo, P. Hastuti. dan T. Utami. 2013. Sintesis ester metil rantai medium dari minyak
kelapa dengan cara metanolisis kimiawi. Agritech 33(2).
Lay, A., dan S. Karouw. 2007. Pengolahan minyak kelapa dari kopra putih dengan metode kering.
Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VI. Gorontalo 16-18 Mei 2006.
Leonard, E.C dan Kopald, S.L. 1984. Challenges to a mature industry : marketing and ee_onimics of
oleochemicals in the United States. Journal of the American Oil Chemists" Society V0161 (2)
Manggabarani, A. 2006. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kelapa. Prosiding Konperensi Nasional
Kelapa VI Gorontalo, 16 – 18 Mei 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Martin, D., G. Regiero dan F.J. Senorans. 2010. Oxidative stability of structured lipids. Europe Food
Research Technology 231.
Ong, A. SH. Yoo, K, Cheah, dan bhoo, Y.M. 1989. Oleochemicals from palm oil and palm kernel oil.
PORIM, Kuala Lumpur.
Poremski, H.J. 1991. Life cycle analysis on detergents. Paper presented on PORIM International palm
Oil Conference, 9-14 September, PORIM, Kuala Lumpur.
Richtlcr, H1. and J. Knaut. 1984. Challenges to a mature industry: Marketing and economics of
oleochemicals in Western Europe. JAOCS, Vol 61, No. 2 (February 1984).
Rindengan, B., dan S. Karouw. 2002. Peluang Pengolahan Minyak Kelapa Murni. Prosiding Konferensi
Nasional Kelapa V. Tembilahan, Riau 21-21 Okotober 2002.
Rindengan, B., S. Karouw, dan P.M. Passang. 2004. Pengaruh Konsentrasi Starter Saccharomyces
cerevisiae dan Lama Fermentasi Terhadap Rendemen Dan Mutu Minyak Kelapa. Jurnal
Penelitian Tanaman Industri 10(3).
Simatupang, P., 2003. Strategi Pengembangan Agribisnis Menuju Usahatani Berkelanjutan. Prosiding
Seminar Nasional Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam Mendukung Agribisnis.
Yogyakarta 24 September 2003.
Soebiapradja, R., 1991. Kebijaksanaan dan peranan pemerintah dan pengembangan kelapa di
Indonesia. Dirjen Perkebunan.
Supriyati, 2010. Dinamika ekonomi ketenagakerjaan pertanian: Permasalahan dan kebijakan strategis
pengembangan. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol 8 No. 1 Maret 2010. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Siahaan, D. 1992. Oleokimia : Kegunaan dan proses produksi. Di dalam buku Kelapa. Pusat Pcnelitian
Perkebunan MarihotBandar Kuala. Pematang Siantar.
Wattimene, J.F. 1990. Industri oleo-chemicals clan peluangnya untuk Indonesia. Ditjcn Aneka
Industri-Dcpartemen Perindustrian, Jakarta.
Weiss, D. 1987. Potensial palm-based down-stream product high lights on detergent. Prociding of the
1987 Oil Palm/palm oil Conferecc II: Kuala Lumpur.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui alternatif teknologi VUB baru yang mampu tumbuh baik pada
intensitas cahanya yang tidak penuh atau terlindung naungan untuk produksi/budidaya kedelai pada
lahan kering spesifik lokasi. Penelitian ini dilaksanakan di di lokasi kebun sawit umur 3.5 tahun yang
berlokasi di Desa Pandan Sari Kecamatan Kintab Kabupaten Tanah laut dan pelaksanaan kegiatan
dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2019 menggunakan Rancangan acak kelompok,
dengan petani sebagai ulangan sebanyak 6 petani. Faktor utama adalah kultivar kedelai yaitu Grobogan,
Dena 1 dan Anjasmoro, faktor petak yang diamati adalah pengamatan pada usia tanaman kedelai 40 ahri
dan 65 hari dengan variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga, jumlah
cabang, dan jumlah polong. Data yang diperoleh dianalisis varian (ANOVA) pada taraf signifikansi (α) 5%
dan dilanjutkan dengan uji DMRT(Duncan’s Multiple Range Test) apabila terdapat beda nyata antar
perlakuakn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Tidak terdapat beda nyata pada usia tanaman
kedelai usia 40 hari pada tinggi tanaman, jumlah daun, jumah bunga dan jumlah cabang. Pada usia
tanaman 65 hari didapatkan hasil beda nyata pada tinggi tanaman kedelai yang menunjukkan gejala
etiolasi karena dipengaruhi hormon auksin; dan dapat diberikan urutan rekomendasi kultivar yang dapat
ditumpangsarikan dengan tanaman sawit yang berusia 3.5 tahun yaitu kultivar: Grobogan – Dena 1 –
Anjasmoro.
ABSTRACT
This study aims to determine alternative new VUB technology that is able to grow well at the intensity of the light that
is not full or shade protected for the production / cultivation of soybeans on site-specific dry land. This research was
carried out at the 3.5 year old oil palm plantation located in Pandan Sari Village, Kintab Subdistrict, Tanah Laut
Regency and the implementation of the activity was carried out in March to July 2019 using a randomized block
design, with 6 farmers being replicated. The main factor was soybean cultivars namely Grobogan, Dena 1 and
Anjasmoro, the observed plot factors were observations at the age of soybean plants 40 days and 65 days with observed
variables were plant height, number of leaves, number of flowers, number of branches, and number of pods. The data
obtained were analyzed for variance (ANOVA) at a significance level (α) of 5% and continued with the DMRT
(Duncan's Multiple Range Test) test if there were significant differences between treatments. The results showed that
there was no significant difference in the age of soybean plants aged 40 days in plant height, number of leaves, flower
beds and number of branches. At 65 days, the results showed significant differences in soybean plant height which
showed symptoms of etiolation because it was influenced by the auxin hormone; and can be given a sequence of
cultivar recommendations that can be intercropped with 3.5-year-old oil palm plants namely cultivar: Grobogan -
Dena 1 - Anjasmoro.
PENDAHULUAN
Kedelai adalah salah satu komoditas penting pada penyediaan pangan dan industri untuk
pembangunan pertanian di Indonesia (Adimiharja, 1992).Produksi kedelai Indonesia dari tahun 2010-
2014 berturut-turut sebesar 907.031 ton, 851.286 ton, 843.153 ton, 779.992 ton dan 954.997 ton,
meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,93 % per tahun. Peningkatan produksi kedelai
disebabkan oleh peningkatan produktivitas periode 2010-2014 sebesar 1,37 ton/ha, 1,37 ton/ha, 1,48
ton/ha, 1,41 ton/ha, dan 1,55 ton/ha dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,25 % per tahun.
Walaupun terjadi peningkatan produksi, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1,96 juta ton
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 35
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai sekitar 2,95 juta ton pada tahun
2014 (Badan Pusat Statistik, 2015).
Kemeterian Pertanian menargetkan pada tahun 2020 tanaman kedelai mampu swasembada dan
produksi bisa mencapai 2,5 juta ton. Hal ini dikarenakan tingginya impor kedelai Indonesia dari
luar. Berdasarkan data Kemementerian Pertanian pada tahun 2017 impor kedelai sudah mencapai
2,7 juta ton dan tahun 2018 sebanyak 2,6 juta ton. Sedangkan produksi di 2017 hanya sebesar 538.728
ton dan pada tahun 2018 adalah 982.598 ton. Hasil Produksi nantinya bisa diharapkan bisa menyuplai
kebutuhan industri pengolahan tahu,tempe, dan kecap yang paling dominan membutuhkan kedelai
hingga 2 juta ton. Dalam hal ini, perluasan tanam dan peningkatan produktivitas jadi hal wajib yang
harus dilakukan untuk mencapai taget tersebut.
Luas tanam kedelai di Kalimantan Selatan adalah 3.749 Ha dengan produktivitas 1,15 ton/ha
(Distan Provinsi Kalsel, 2014), sehingga belum dapat menutup kebutuhan sendiri. Imporkedelai
secara nasional mencapai 650.000 ton/tahun (Tjandramukti, 2000), dan menurut Hastuti (2014) impor
kedelai tahun 2013 meningkat menjadi 1.810.083 ton, sementara produksi di dalam negeri hanya
mencapai 780.163 ton.
Peluang peningkatan produksi kedelai di dalamnegeri masih terbuka lebar, baik melalui
peningkatan produktivtas maupun perluasan areal tanam. Saat ini rata-rata produktivitas nasional
kedelai baru 1,3 ton/ha dengan kisaran 0,6–2,0 ton/ha di tingkat petani, sedangkan di tingkat
penelitian telah mencapai 1,7–3,2 ton/ha bergantung pada kondisi lahan dan teknologi yang
diterapkan.
Sementara rata-rata produktivitas kedelai di Kalimantan Selatan tahun 2014 diperkirakan 1,3
ton/ha. Luas tanam kedelai di Kalimantan Selatan tahun 2014 diperkirakan 7.825Ha, keperluan
kedelai di Kalimantan Selatan mencapai 18.000 ton, sehingga untuk memenuhi keperluan kedelai
terpaksa mendatangkan dari luar Kalimantan Selatan. Sentra produksi kedelai di Kalimantan Selatan
adalah Kabupaten Kotabaru (1.525 ha) Tabalong (1.000 ha), Kabupaten Tanah Laut (1.500 ha),
Kabupaten Banjar (1.000 ha), Kaupaten Hulu sungai Tengah (1.500 ha) dan lain-lain (Distan Provinsi
Kalsel, 2014).
Berbagai upaya pemerintah telah dilaksanakan untuk meningkatkan produksi kedelai seperti
menggerakkan intensifikasi kedelai melalui program Intensifikasi Khusus dan Intensifikasi Umum
tahun 1974, adanya subsidi bagi petani kedelai dan lain-lain, semua mendorong berkembangnya luas
areal pertanaman di berbagai daerah. Beberapa strategi bisa dimanfaatkan dalam rangka
peningkatan produktivitas adalah memanfaatkan Varietas Unggul Baru (VUB) tanaman kedelai yang
sudah banyak diperkenalkan oleh Kementerian Pertanian melalui Balitbangtan pada unit pelaksana
tugas yaitu Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi (Balitkabi), yang tentunya bisa menjawab
kebutuhan akan VUB yang mampu beradaptasi dengan baik sesuai dengan peruntukan lahan atau
tipe agroekosistem dan preferensi petani agar pada saat produsi nanti bisa di terima pasar dengan
baik. Selain itu VUB adalah teknologi yang mudah diterapkan dan diadopsi petani, jika mereka sudah
bisa melihat dan merasakan manfaatnya.
Hal lain yang juga menjadi pertimbangan yang dapat dilakukanuntuk meningkatkan produksi
kedelai adalahdengan cara perluasan areal tanam. Perluasan areal tanaman kedelai antaralaindapat
dilakukan dilahan tegakan tanamanperkebunan, Hutan Tanaman Industrilingkungan(HTI)atau
dengan sistem tumpang sari (Sundaridan Susanto, 2012). Salah satu solusinya adaah memanfaatkan
lahan sela tanaman karet atau sawit yang cukup luas dan biasanya jarang dimanfaatkan dan bisa
digunakan sebelum kanopi tanaman menyatu atau umur di bawah 5 tahun.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian dilaksanakan di Desa Pandan Sari Kecamatan Kintab Kabupaten
Tanah laut pada bulan Maret sampai dengan Juli 2019. Lokasi merupakan area sawit rakyat yang di
usahakan sejak tahun 2016, berada di ketinggian 0,5-7 m dpl. Bahan dan alat yang digunakan adalah
benih kedelai kultivar Anjasmoro, Dena 1 dan Grobogan. Penanaman dilakukan akhir Maret dengan
jarak tanam 40 x 20 cm2 dengan jumlah satu biji perlubang, dipupuk sesuai rekomendasi dengan
pemberian pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha, NPK Phonska Plus 400 Kg/ha, pengolahan lahan
sempurna dilakukan dengan menggunakan traktor. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penggaris, gunting, timbangan analitik Rancangan Percobaan penelitian ini menggunakan
Rancangan acak kelompok, dengan petani sebagai ulangan sebanyak 6 petani.
Pemeliharaan tanaman dilakukan jika terdapat gulma yang di kendalikan dengan cara dicabut
atau menggunakan herbisida selektif dan kondisi lahan yang kekeringan akan di aliri air dengan
menggunakan pompa dan selang. Pengamatan dan pengendalian hama dilakukan secara kimia
menggunakan insektisida dengan frekuensi 1 (satu) minggu sekali atau jika dianggap ada serangan
dan harus segera dkendalikan dan dilakukan dari tanaman umur 1 minggu sampai dengan polong
mulai mengering atau masak panen dilakukan saat polong telah berwarna kecoklatan dan kehilangan
seluruh warna hijaunya. Panen dilakukan dengan cara menggunting tangkai polong dan tetap
membiarkan tanaman kedelai hidup dengan polong lain yang belum bisa dipanen, sampai semua
polong habis dipanen.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 37
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pengamatan peubah pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi batang per tanaman, jumlah
daun, umur berbunga jumlah polong, jumlah cabang dan hasil produksi biji kedelai, Sedangkan
karakter produksi terdiri dari jumlah polong berisi per tanaman, bobot biji kering per tanaman dan
bobot 100 biji. Data hasil pengamatan dianalisis dengan Uji F, uji lanjut dilakukan apabila pengaruh
tunggal dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur dengan uji DMRT
pada taraf α 5%.
Berdasarkan data di tabel 1, tidak tampak perbedaan di antara tiga kultivar sampai tanaman
berumur 40 hari atau saat memasuki periode fase
generatif. Hal yang menarik adalah pada fase ini
atau di fase vegetatif pertumbuhan nampak seragam
baik baik jika di lihat pada tinggi tanaman, jumlah
cabang dan jumlah daun yang dihasilkan. Tentunya
hal ini menunjukan bahwa kultivar yang dikaji
menunjukan potensi yang saat pada fase vegetatif
tidak terlihat perbedaan, sehingga semua kultivar
cocok ditanam di lahan naungan sawit sampai umur
3,5 tahun. Setelah di lalukan uji DMRT 5% hasilnya
pun menunjukan hasil yang sama (Tabel 2)
Gambar 1. Grafik Tinggi tanaman, jumlah daun,
bunga dan cabang pada 3 kultivar usia 40 hari Tabel 2. Uji DMRT 5% Pada Tanaman Kedelai 3
Kultivar Usia 40 Hari
Berdasarkan hasil uji tidak ada variebel yang menunjukan adanya perbedaaan baik tinggi tanaman
jumlah daun dan jumlah cabang, bahkan pada jumlah bunga yang walaupun secara angka terdapat
perbedaan, namun setelah di uji dianggap tidak berbeda. Hal ini memperjelas bahwa sampai umur 40
hari setiap kultivar menunjukan tampilan yang sama saat berada di bawah naungan sawit umur 3,5
tahun. Hal lain yang mungkin jadi perhatian adalah kondisi tanaman dilapang, bahwa tanaman
kedelai kultivar Grobogan lebih cepat berbunga dibanding kultivar yang lain dengan rerata dari tiap
petakan yang di amati pada saat umur tanaman 29 hari, dengan tercepat umur 27 hari, hal ini berbeda
Variabel Pengamatan
No Kultivar
Tinggi Jumlah Daun Jumlah Polong Jumlah Cabang
1 Grobogan 82.78 14.57 37.17 2.37
2 Dena 1 104.03 17.8 45.90 2.30
3 Anjasmoro 96.03 19.73 44.87 2.30
Keterangan: Hasil berdasarkan pengukuran langsung di lapangan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 39
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Bagian tajuk tanaman yang terkena cahaya pertumbuhannya akan lambat karena kerja auksin
dihambat oleh cahaya, sedangkan pada bagian tajuk tanaman yang tidak terkena cahaya
pertumbuhannya cepat karena kerja auksin tidak dihambat. Kondisi ini membuat bagian tajuk
(apikal) tanaman mengalami pertumbuhan yang paling aktif sehingga tanaman mencari cahaya untuk
melakukan fotosintesis yang lebih optimal (Adiwitya et al., 2016).Gejala etiolasi atau pemanjangan
ruas merupakan akibat dari tanaman yangmengalami kekurangan cahaya akibat ternaungi.
Etiolasi berkaitan dengan produksi dan distribusi auksin akibat intensitas matahari. Auksin pada
dasarnya tidak menyukai cahaya matahari, sehingga pada keadaan ternaungi produksi auksin yang
terjadi di pucuk-pucuk tanaman akan lebih tinggi dan mengakibatkan perpanjanga sel lebih cepat dan
akhirnya tanaman tumbuh memanjang (Sugito, 1999). Lebih lanjut Elfarisna (2000) mengemukakan
bahwa kondisi naungan berat (dengan tingkat naungana 50%) dapat meningkatkan tinggi tanaman,
luas daun dan jumlah klorofil tanaman kedelai, tetapi menurunkan jumlah cabang, ketebalan daun,
kerapatan stomata, polong isi, polong hampa, ukuran biji dan bobot biji per tanaman.
Perbedaan tinggi tanaman kultivar Grobogan, Dena 1 dan Anjasmoro, menunjukkan bahwa
kultivar Grobogan memiliki tinggi tanaman yang nyata lebih rendah dibandingkan kedua kultivar
lainnya pada umur 65 hari, hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik (genetik) pada kultivar
Grobogan dibandingkan kultivar Dena 1 dan Anjasmoro. Anonim (2012), megemukakakn bahwa
kultivar Grobogan memiliki tinggi tanaman 50 cmsedangkan pada Dena 1 dan Anjasmoro masing-
masing memiliki tinggi tanaman 59 cm dna 64 cm. Tinggi tanaman paling rendah pada kultivar
Grobogan adalah strategi tanaman berumur pendek dalam meningkatkan hasil biji.
Berdasarkan tabel jumlah daun usia 65 hari pada kultivar Grobogan menunjukkan hasil paling
rendah dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan kultivar Dena 1 dan Anjasmoro. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa pada kultivar Grobogan memulai fase pembentukan polong.Kultivar Grobogan
merupakan kultivar kedelai yang memiliki tipe pertumbuhan determinit.Akibatnya pada fase ini
pertumbuhan vegetatif Grobogan mulai berhenti dan sebagian daun mulai mengalami perontokan.
Hal ini menunjukan jika ketiga kultivar yang diamati pada penelitian ini, memberikan tampilan
yang mirip jika di tanam pada lahan naungun sawit umur 3,5 tahun, sehingga rekomendasi yang bisa
diinformasikan adalah kultivar Grobogan, Dena 1 dan Anjasmoro dapat dikembangkan pada lahan
sawit sampai dengan umur 3,5 tahun, dan mampu menunjukan pertumbuhan yang baik serta
menghasilkan biji kedelai rerata 1,5 ton per/ha dengan jarak tanam 40 x 20 cm untuk tanaman sela
kedelai dan jarak tanam sawit adalah 9 x 9 m. Hal lainnya adalah tidak adanya beda nyata pada
tampilan pertumbuhan sampai pada umur 40 hari dan 65 hari, walaupun pada indikator tinggi ada
perbedaan antara grobogan dengan 2 kultivar lainnya.
Tabel 4. Presentase bunga yang menjadi polong.
KESIMPULAN
Pada penanaman kultivar Grobogan, Dena 1 dan Anjasmoro yang ditumpangsarikan dengan
tanaman sawit usia 3.5 tahun, Tidak terdapat beda nyata pada usia tanaman kedelai usia 40 hari pada
tinggi tanaman, jumlah daun, jumah bunga dan jumlah cabang.
Pada usia tanaman 65 hari didapatkan hasil beda nyata pada tinggi tanaman kedelai yang
menunjukkan gejala etiolasi karena dipengaruhi hormon auksin. Dapat diberikan urutan rekomendasi
kultivar yang dapat ditumpangsarikan dengan tanaman sawit yang berusia 3.5 tahun yaitu kultivar:
Grobogan – Dena 1 – Anjasmoro.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, M. 1992. Pengaruh pemupukan awal dan inokulasi rhizobium terhadap pertumbuhan
dan hasil beberapa kultivar kedelai.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor.
Anonim. 2012. Deskripsi kultivar unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian.Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Asadi, D.A. 1991. Adaptasi kultivar kedelai pada pertanaman tumpang sari dan naungan buatan.
Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2015. Luas panen, produktivitas dan produksi kedelai 2014.
<http://www.bps.go.id>. Diakses 25 Agustus 2019.
Distan Provinsi Kalsel, 2014. Evaluasi Capaian Produksi Kedelai Kalimantan Selatan Tahun 2013 dan
Target Produksi Tahun 2014. Disampaikan Pada Rapat Koordinasi Pelaksanaan SL-PTT Kedelai
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 41
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kalimantan Selatan Tahun 2014. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura, Banjarbaru.
Elfarisna. 2000. Adaptasi kedelai terhadap naungan: studi morfologi dan anatomi. Jurnal Ilmu
Pertanian 2 (3): 47-56.
Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Diterjemahkan oleh Ir.
Tohari, M.Sc., Ph.D. Fakultas Pertanian Univeritas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Handayani, T. 2003. Pola pewarisan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai
(Glycine max L. Merr.) dengan penciri spesifik karakter anatomi, morfologi dan
molekuler.Disertasi.Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Handriawan, A., Respatie, D.W., Tohari. 2016. Pengaruh intesitas naungan terhadap pertumbuhan dan
hasil tiga kultivar kedelai 9Glycine max (L.) Merrill) di Lahan Pantai Bugel, Kulon Progo. Jurnal
Vegetalika 5 (3): 1-14.
Hastuti, RD., 2014. Upaya Pencapaian Produksi Kedelai Tahun 2014. Direktur Jenderal Tanaman
Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Rahmanda, R., Sumarni, T., Tyasmoro, S.Y. 2017. Respon dua varietas kedelai (Glycine max (L.) Merr)
terhadap perbedaan intensitas cahaya pada sistem agroforestry berbasis sengon. Jurnal
Produksi Tanaman 5(9): 1561-1569.
Sopandie, D., M.A Chozin, S.Tjitrosumarno, T. Juhaeti, Sahardi.2003. Toleransi Terhadap
NaunganPadi Gogo.Hayati. 10:71-75.
Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian Univeritas Brawijaya. Malang.
Sundari, Gwa dan Susanto. 2012. Tingkat Adaptasi Beberapa Varietas Kedelai Terhadap Naungan.
Jurnal penelitian Tanaman Pangan.31 (02) : 124-130.
Tjandramukti, 2000. Teknologi Produksi Kedelai Berdasarkan Kebutuhan Ideal Tanaman di Daerah
Tropis. Prosiding Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Hayati pada Tanaman dan Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbangtan. Bogor, tgl 8-9 Maret 2000, hal 12-21.
Widiastuti, L., Tohari dan E. Sulistiyaningsih. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida
terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman krisan dalam pot. Jurnal Ilmu Pertanian 11 (2):
35-42.
ABSTRACT
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) is a herbaceous plant originated from East India which has spread to the tropical and
subtropical area. To disseminate this plant to the public or a visitor Rosella has been displayed in Agroinovasi Park at
Assessment Institute for Agricultural Technology of Bali (BPTP Bali). The varieties used were Roselindo 1 and
Roselindo 2, obtained from Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute (Malang, East Java).
Cultivation of rosella was done similar to other common plants using semi-manual equipment “tugal,” with planting
distance 70 x 60 cm of each plant. Fertilization was done by compost and chemical, and water immersion of soil in the
location was conducted once in a week, and normal watering was applied twice in a day (morning and afternoon).
Harvesting was done in 3 months after planting which indicated by the open state of flower petals using a scissor.
After harvesting the post-harvest treatment conducted were as follows, flower sorting, separation of petals and seeds,
washing, drying and processing. Dried rosella was processed as food coloring, tea and syrup.
ABTSRAK
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman perdu berasal dari India Timur kemudian menyebar
luas ke daerah tropis dan sub tropis. Tanaman rosella ditanam sebagai salah satu tanaman display di
taman agroinovasi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali yang bertujuan untuk mengenalkan
tanaman rosella kepada masyarakat atau pengunjung. Benih rosella diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Malang - Jawa Timur, antara lain Varietas Roselindo 1 (merah) dan
Roselindo 2 (ungu). Budidaya tanaman rosella sama seperti tanaman lain pada umumnya. Penanaman
dilakukan dengan cara tugal dengan jarak tanam 70 x 60 cm. Karena tanah di taman agroinovasi tergolong
jenis tanah liat berpasir setiap 1 minggu sekali dilakukan penggenangan air dan penyiraman 2 kali sehari
pada pagi dan sore hari. Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 3 bulan yang ditandai dengan
kelopak bunga rosella terbuka. Panen dilakukan menggunakan gunting pangkas karena jika
menggunakan tangan dapat merusak batang tanaman (batang berserat). Pasca panen yang dilakukan
antara lain sortasi bunga, pemisahan kelopak bunga dengan biji, pencucian, penirisan, pengeringan, dan
pengolahan. Bunga rosella yang telah kering selanjutnya diolah menjadi pewarna makanan, teh, dan
sirup.
PENDAHULUAN
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman perdu berasal dari India Timur kemudian
menyebar luas ke daerah tropis dan sub tropis. Tanaman ini tumbuh optimal di dataran medium (600
mdpl), tinggi tanaman mencapai 3 – 5 meter dan berbunga hampir sepanjang tahun. Tanaman rosella
merupakan tumbuhan semak tegak yang kebanyakan bercabang, memiliki bunga dan batang yang
sewarna, berdaun warna hijau gelap serta kulit dan batang berserat kuat.
Budidaya tanaman pada umumnya sama seperti tanaman lainnya, yaitu persiapan lahan,
persiapan bahan tanaman, pembibitan, jarak tanam, pengairan, penyiangan, pemupukan,
pengendalian HPT, dan pemangkasan, serta panen dan pasca panen. Saat musim kering diatasi
dengan pengairan yang baik, namun periode kering juga dibutuhkan untuk proses pembungaan dan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 43
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
produksi biji. Sedangkan hujan dan kekeringan selama masa panen dapat menurunkan kualitas
kelopak bunga dan menurunkan produksi (Reni, 2012).
Bunga rosella berwarna merah cerah dan ungu kehitaman dengan jumlah kelopak 3 - 7 buah,
memiliki putik sekaligus serbuk sari sehingga tidak membutuhkan bunga lain untuk berreproduksi.
Bunga rosella dapat dipanen saat biji telah tua (umur 3-4 minggu) yang ditandai dengan kulit
pembungkus biji majemuk yang berwarna coklat dan sedikit terbuka / membelah. Pemetikan
dilakukan dengan bantuan alat pasca panen untuk menghindari rusaknya batang (Reni, 2012).
Setelah dilakukan kegiatan panen selanjutnya dilakukan kegiatan pasca panen, antara lain
pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, penirisan, perubahan bentuk, pengeringan,
sortasi kering dan pengepakan serta penyimpanan. Kesalahan dalam pengolahan dan penyimpanan
akan berpengaruh terhadap efektivitas kandungan zat dalam rosella. Rosella yang telah mengalami
penyimpangan akan terlihat pada warna seduhan kelopak bunga rosella. Tidak adanya warna merah
khas rosella dalam air seduhan menandakan bahwa kandungan antosianin telah terdegradasi dan
khasiatnya sudah tidak ada (Wikipedia, 2019). Bunga rosella secara emperis berkhasiat sebagai
antiseptik, diuretik, meningkatkan daya tahan tubuh, antihipertensi, antikolesterol, antibakteri dan
bersifat antioksidan (Hodgson & Kevin, 2006; Kusumastuti,2014; Rizki dkk.,2017 dalam Syahrana,
2017). Dikarenakan terdapat kandungan asam organic, poly-sakarida dan flavonoid serta kandungan
Vitamin C dalam ekstrak kelopak bunga rosella sebagai farmakologi.
Tabel 1. Nilai Gizi dalam 100 gram kelopak bunga rosella
Zat Kandungan Gizi
Air 9,2 g
Protein 1,145 g
Lemak 2,61 g
Serat 12 g
Karbohidrat 8,88 g
Abu 6,9 g
Kalsium 1,296 g
Fosfor 273,2 mg
Zat besi 8,89 g
Betakaroten 0,023 mg
Vitamin C 11,2 mg
Thiamine 0,117 mg
Riboflavin 0,277 mg
Niacin 3,765 mg
Kalori 35,2 kal
Sumber : Reni Rahmawati, 2012
Bunga rosella dapat diolah menjadi beberapa produk olahan, yaitu sirup, jam buah, selai, manisan,
teh celup dan sebagai pewarna makanan. Yang umum saat ini rosella diolah menjadi teh dan sirup.
Teh bunga rosella memiliki khasiat antara lain menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar
lemak, membantu melawan infeksi b atkeri, membantu menurunkan berat badan, dan melawan
radikal bebas (Widya, 2019). Teh rosella dibuat untuk memudahkan konsumen mengkonsumsi bunga
rosella.
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan di BPTP Bali, menggunalan observasi/pengamatan langsung. Pengukuran
karakteristik tanaman rosella dilakukan pada tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah kelopak
bunga, berat bunga perbiji, bentuk daun, panjang daun, lebar daun, berat biji segar dan rendemen
rosella kering. Bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan panen dan pasca panen
Panen dilakukan saat tanaman berumur 3 bulan dan biji telah tua (3-4 minggu) yang ditandai
dengan kulit pembungkus biji majemuk sedikit terbuka atau membelah. Panen dilakukan
menggunakan gunting pangkas untuk menghindari kerusakan pada batang dan cabang tanaman.
Bunga rosella yang telah dipanen dimasukkan ke dalam keranjang, dilakukan proses sortasi basah
yakni pemisahan bunga rosella yang kualitas bagus dengan yang rusak. Pemisahan dilakukan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 45
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menggunakan alat untuk menghindari rasa gatal pada tangan yang disebabkan oleh bulu halus yang
terdapat pada bagian kelopaknya. Alat tersebut terbuat dari besi bulat, pemisahan dilakukan dengan
cara mendorong dari bagian bawah bunga.
Kelopak bunga rosella selanjutnya dicuci pada air mengalir kemudian ditiriskan. Kelopak bunga
rosella yang telah dicuci dan ditiriskan lalu dikeringkan dalam oven pengering dengan suhu 50 0C (1
– 2 hari) atau sampai kering dengan kadar air 4-5% (jika diremas kelopak bunga hancur). Bunga
rosella yang telah kering selanjutnya diolah menjadi bubuk, teh, dan sirup. Sedangkan biji rosella
dipilih yang telah tua, dikeringanginkan selanjutnya disimpan pada stoples kaca untuk
pengembangan sebagai stok benih.
Bubuk Rosella. Bunga rosella yang telah kering dihancurkan menggunakan blender selanjutnya
diayak sebelum dikemas dalam botol kaca. Penggunaan pewarna sintesis pada makanan tidak baik
untuk kesehatan karena memiliki sifat karsinogenik oleh karena itu dipilih bahan alami yang dapat
dimanfaatkan sebagai pewarna salah satunya bunga rosella. Pemanfaatan bubuk rosella sebagai
pewarna alami dapat digunakan pada produk olahan kacang goyang (Fauziati, 2016). Bubuk rosella
dapat digunakan sebagai pewarna merah alami pada olahan pangan, namun bubuk rosella memiliki
rasa sedikit asam. Serbuk rosela dalam bentuk kapsul juga digunakan untuk pengobatan Interleukin
yakni bagian dari sistem kekebalan yang disebut sitokin yang mengaktifkan sistem kekebalan tubuh
(Syahrana, 2017).
Teh. Bunga rosella yang telah kering ditumbuk kasar menggunakan cawan porselen atau diremas-
remas. Diambil sebanyak 2-3 gram rosella kering kemudian dimasukkan ke dalam kertas teh,
masukkan benang ke dalam kertas teh sebelum disealer. Kemas teh siap saji ke dalam kemasan
karton. Penyajian teh rosella sama seperti teh pada umumnya, dapat ditambahkan gula batu, madu
atau jeruk nipis saat penyajian.
Sirup. Pembuatan sirup dapat dibuat dari bahan kelopak bunga rosella masih segar maupun
kering. Kelopak bunga rosella kering sebanyak 1 ons ditambahkan 2 kg gula pasir dan 1 liter air. Cara
pembuatan : masukkan air dan bunga rosella ke dalam panci, rebus sampai mendidih. Setelah
mendidih masukkan gula pasir sedikit demi sedikit sambil diaduk rata selama 20 menit. Selanjutnya
disaring, setelah dingin dikemas dalam botol kaca bening. Sirup yang dihasilkan sebanyak 900 ml.
KESIMPULAN
Budidaya, panen dan pasca panen tanaman rosella pada dasarnya sama dengan budidaya
tanaman pertanian lain, diawali dari kegiatan penanaman, pemupukan dasar dan lanjutan,
penggenangan dan penyiraman dan pada waktunya dilakukan panen. Pemanenan dilakukan saat
tanaman berumur 3 bulan menggunakan gunting pangkas.
DAFTAR PUSTAKA
Reni Rahmawati. 2012. Budidaya Rosella Strategi “Memanen” Uang dalam 4 Bulan. Pustaka Baru.
Yogyakarta.
Wikipedia. Rosela. 2019. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/rosela. Tanggal : 26 Agustus 26
Agustus 2019
Materi Pertanian. 2015. Klasifikasi dan ciri-ciri morfologi rosela. Diakses dari https://www.
materipertanian.com/klasifikasi-dan-ciri-ciri-morfologi-rosela/. Tanggal : 26 Agustus 2019
Widya Citra Andini. 2019. Tak Hanya Nikmat, Ini 5 Manfaat Teh Rosella Untuk Kesehatan. Diakses
dari : https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/manfaat-teh-rosella tanggal 21 Agustus
2019
Fauziati dan Eldha S. 2016. Pemanfaatan Ekstrak Bunga Rosella Sebagai Bahan Pewarna Pada Produk
Kacang Goyang. Jurnal riset teknologi industri. Diakses dari http://ejournal.
kemenperin.go.id/jrti/article/view/2072 tanggal 21 Agustus 2019
Syahrana N.A.,Akrom, dan Endang D. 2017. Efek Serbuk Bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.)
Terhadap Ekspresi IL-10 Pada Sukarelawan Sehat. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian
Indonesia Vol. 4 No. 1 Juli 2017. Diakses dari https://www.researchgate.net/ publication/
330707448 pada tanggal 21 Agustus 2019
Purwiyatno H., dan Nur Aini. 2015. Dasar-dasar Penanganan Pasca Panen Buah dan Sayur. Alfabeta.
Bandung.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 47
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
48 | Teknologi Pertanian
INOVASI TEKNOLOGI PADA BUDIDAYA CABAI
DI SULAWESI BARAT
Ida Andriani
ABSTRACT
The chilli cultivation technology innovation activity was carried out at the Chili development area in Beru-Beru
Village, Kalukku District, Mamuju Regency (paddy field) with an area of 1 ha and in Baruga Dua Village, Banggae
Timur District, Majene Regency (dry land) with an area of 1 ha using a participatory approach and partnership
between researchers, extension workers and farmers. The activity aims to determine the impact of assistance
(demfarm) on the productivity of chili in dry land and paddy fields. Through the improvement and application of chilli
cultivation technology packages, both in paddy fields and on dry land, it has been proven to increase the productivity
of chili plants. Economically, chilli farming at the farm level, both in paddy fields and on dry land is still profitable.
Introducing technology, both in paddy fields and on dry land, provides far greater benefits compared to farmer
technology. The technology is feasible to be applied / developed. All varieties of chili planted (Var. Imola, Arimbi 85,
Horizon, Steel, and Kriss) with introduction technology, both in paddy fields and on dry land, give greater benefits
compared to the way farmers and the technology is feasible to apply.
ABSTRAK
Kegiatan inovasi teknologi budidaya cabai dilaksanakan di lokasi pengembangan kawasan Cabai di
Desa Beru-Beru, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju (lahan sawah) dengan luasan 1 ha dan di Desa
Baruga Dua, Kecamatan Banggae Timur, Kabupaten Majene ( lahan kering) dengan luasan 1 ha
menggunakan pendekatan partisipatif dan kemitraan antara peneliti, penyuluh dan petani. Kegiatan
bertujuan mengetahui dampak pendampingan (demfarm) terhadap produktivitas cabai di lahan kering
dan lahan sawah. Melalui perbaikan dan penerapan paket teknologi budidaya cabai, baik di lahan sawah
maupun di lahan kering terbukti dapat meningkatkan produktivitas tanaman cabai. Secara ekonomis,
usahatani cabai di tingkat petani, baik di lahan sawah ataupun di lahan kering masih menguntungkan.
Teknologi introduksi, baik di lahan sawah ataupun di lahan kering memberikan keuntungan jauh lebih
besar dibanding dengan teknologi petani. Teknologi tersebut layak untuk diterapkan/dikembangkan.
Semua varietas cabai yang ditanam (Var. Imola, Arimbi 85, Horison, Baja, dan Kriss) dengan teknologi
introduksi, baik di lahan sawah maupun di lahan kering memberkan keuntungan yang lebih besar
dibanding dengan cara petani dan teknologi tersebut layak untuk diterapkan.
PENDAHULUAN
Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak
dibudidayakan karena daya adaptasinya yang luas dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Nilai ekonomis
cabai yang cukup tinggi sangat menarik minat petani untuk mengusahakan komoditas tersebut secara
komersial, yaitu tercermin dari pola pengusahaannya yang intensif dan berorientasi pasar (Soetiarso
et al. 1998). Selain itu, karena daya adaptasinya yang cukup luas, yaitu dapat ditanam mulai dari
dataran rendah hingga dataran tinggi serta dapat tumbuh baik pada musim kemarau maupun musim
hujan. Meskipun demikian ditinjau dari segi hasil, tingkat produktivitas cabai nasional masih
rendah, hanya rerata produktivitas sekitar 5,61 t/ha (Kementerian Pertanian, 2011).
Demikian halnya di Sulawesi Barat tahun 2012 produksi cabai besar hanya sebesar 1917,5 ton
dengan luas panen sebesar 619 hektar dan rata-rata produktivitasnya 3,1 ton per hektar (BPS Sulbar
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 49
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
2013). Produktivitas tersebut sangat rendah apa bila dibandingkan dengan potensi hasil cabai yang
berkisar antara 12–20 t/ha (Soetiarso dan Setiawati, 2010).
Permintaan cabai terus meningkat sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan
berkembangnya pengolahan bahan makanan yang menggunakan cabai sebagai bahan bakunya
seperti sambel, saus, dan mie instan cenderung meningkatkan kebutuhan cabai merah dalam negeri
(Rukmana 2008). Di Sulawesi Barat, cabai telah dikenal dan dibudidayakan petani, baik di lahan
basah (seperti di Kabupaten Mamuju dan Polewali Mandar) ataupun di lahan kering ( seperti di
Kabupaten Majene dan Mamuju Tengah). Adanya introduksi berbagai jenis cabai hibrida yang
mempunyai potensi hasil yang tinggi tampaknya akan semakin memacu perhatian petani untuk
menanam cabai. Namun demikian masih dijumpai berbagai kendala dalam pengelolaannya.
Menurut Basuki (2009), di satu sisi penggunaan benih varietas impor perlu dibatasi karena
memboroskan devisa negara dan di sisi lain menyebabkan kebergantungan petani terhadap benih
varietas impor. Sementara itu, sumber benih cabai merah varietas lokal yang umum digunakan petani
masih berasal dari pembenihan sendiri dari pertanaman sebelumnya (Soetiarso et al. 1999). Yang
menjadi permasalahan ialah petani belum menguasai teknologi dan proses perbenihan secara baik,
sehingga benih yang dihasilkan berdaya kecambah rendah, membawa patogen, dan produktivitasnya
tidak optimal. Di sisi lain, Badan Litbang Pertanian telah banyak melepas varietas unggul cabai
(cabai besar, cabai keriting, ataupun cabai kecil) yang beradaptasi baik di dataran rendah , maupun di
dataran tinggi.
Varietas tersebut didukung dengan inovasi teknologi budidaya tepat guna yang dikemas dalam
pengelolaan tanaman terpadu (PTT), diantaranya adalah penggunaan benih unggul yang tahan
terhadap OPT (organism pengganggu tanaman), pemupukan berimbang dengan menggunakan
pupuk organic, pengelolaan hama dan penyakit dengan menggunakan perangkap likat, perangkap
berferomon, pestisida nabati, solarisasi tanah, penggunaan mulsa MPHP (Mulsa Plastic Hitam Perak),
dan menggunakan rumah kasa untuk pembibitan, serta cara-cara memeliharaan lainnya seperti
system pengairan, pemasangan ajir dan perempelan.
Untuk pencapaian target produksi cabai di kawasan pengembangan di Sulawesi Barat, diperlukan
berbagai upaya penerapan inovasi teknologi melalui demfarm inovasi teknologi yang terfokus,
sinergi dan terintegrasi baik dari segi pembinaan maupun pembiayaan.
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan di Desa Beru-Beru, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju (lahan sawah)
seluas 1 ha dan di Desa Baruga Dua, Kecamatan Banggae Timur, Kabupaten Majene ( lahan kering)
seluas 1 ha, menggunakan pendekatan partisipatif dan kemitraan antara peneliti, penyuluh dan
petani.
Pelatihan
Pelatihan PPL dan petani/kelompok tani dilaksanakan pada setiap kelompok tani di lokasi
demfarm, sebelum pelaksanaan kegiatan, terutama untuk pelatihan budidaya. Petani dibekali
pengetahuan yang diperlukan untuk mengelola usahataninya. Pada pelatihan teknologi budidaya
cabai, petani diberi pemahaman tentang cara pengelolaan usahatani yang berwawasan ekonomi dan
lingkungan, dimana inovasi teknologi yang diaplikasikan dapat meningkatkan produktivitas dan
pendapatan usahatani cabai tanpa menyebabkan pencemaran lingkungan, misalnya: pada
pengendalian OPT kutu kebul (vector virus Gemini) digunakan perangkap likat warna kuning,
pemasangan kelambu di pembibitan atau pembibitan dilakukan di dalam rumah kasa, penggunaan
mulsa plastik hitam perak; pengendalian lalat buah dengan menggunakan perangkap botol bekas air
mineral yang diberi metil eugenol; pengendalian gulma dengan menggunakan MPHP dan lain
sebagainya. Pelatihan pembuatan pestisida nabati dan pembuatan perangkap lalat buah juga
dilakukan di kelompok tani lahan kering karena serangan lalat buah cukup tinggi di lahan kering.
Demfarm Inovasi Teknologi
Perumusan perbaikan teknologi disesuaikan dengan teknologi yang dibutuhkan di lokasi
demfarm dengan berdasarkan hasil identifikasi masalah yang dihadapi petani, teknologi eksisting,
dan potensi sarana produksi yang tersedia. Selanjutnya ditetapkan teknologi yang akan diintroduksi.
Inovasi teknologi budidaya cabai yang diterapkan di lokasi demfarm tertera pada Tabel 2. Inovasi
teknologi tersebut yang diterapkan di lokasi demfarm diintroduksi dari BALITSA.
Tabel 2. Perumusan perbaikan teknologi budidaya cabai
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 51
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
No Aspek Komp. Teknologi Uraian
Transplanting pemeliharaan bibit di rumah kasa
Jarak tanam Jarak tanam cabai 50 x 60 pada lahan kering dan 60 x 70
cm pada lahan sawah. Penerapan pola tanam monokultur
5. Pemupukan Pupuk organic Pemupukan berdasarkan rekomendasi Balitsa
Pupuk anorganik
6. Pemeliharaan Ajir Pemasangan ajir bamboo
Pengendalian OPT Pengendalian hama/penyakit berdasarkan PHT
7. Panen dan pascapanen Cara panen Menggunakan alat gunting pangkas
Ke empat varietas cabai besar yang diintroduksi di lahan kering nampaknya produktivitasnya
jauh lebih rendah disbanding jika ditanam di lahan sawah. Hal ini kemungkinan varietas tersebut
selain agak peka terhadap serangan lalat buah yang tinggi, juga karena keterbatasan air di lahan
kering. Berbeda dengan var. LABA menunjukkan tingkat ketahanan yany relative tahan terhadap
serangan lalat buah.
Analisis Usahatani
Analisis usahatani cabai (Var. Lado Baru/LABA), demfarm inovasi teknologi budidaya cabai dan
non demfarm, baik di lahan sawah maupun dilahan kering masing-masing seluas 1 ha disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata produktivitas tanaman cabai di 2 lokasi
demfarm inovasi teknologi budidaya cabai TA. 2018.
Petani yang menerapkan teknologi introduksi memerlukan biaya produksi lebih besar dari pada
teknologi petani karena penerapan teknologi yang berbeda seperti pada penggunaan benih, jenis
dan dosis pupuk, penggunaan mulsa MPHP, dan lain-lain. Walaupun demikian akan dimbangi oleh
peningkatan hasil masing-masing sebesar 200,20 % (lahan sawah) dan sebesar 300 % (lahan kering)
dengan keuntungan masing-masing sebesar 200,55 % (lahan sawah) dan sebesar 300,64 % (lahan
kering).
Pada Tabel 5 terlihat bahwa perbaikan budidaya cabai memberikan keuntungan sebesar Rp. 198
juta,-lebih besar dari pada teknologi petani Rp. 55,785 juta,-(lahan sawah), dan perbaikan budidaya
cabai di lahan kering memberikan keuntungan sebesar RP. 260,987 juta,- lebih besar dari pada
teknologi petani Rp. 55,985 ribu,-. Perbedaan besarnya penerimaan dan biaya usahatani berpengaruh
terhadap nilai BC ratio. Usahatani cabai di tingkat petani, baik di lahan sawah ataupun di lahan
kering memberikan nilai BC ratio antara 3,9 – 3,94.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 53
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Meskipun demikian teknologi introduksi memberikan nilai BC ratio lebih tinggi ( BC ratio 5,78 di
lahan sawah dan 6,69 di lahan kering) untuk usahatani cabai varietas LABA. dibanding dengan
teknologi petani , baik di lahan sawah ataupun di lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa
usahatani cabai tersebut secara ekonomis menguntungkan karena BC ratio > 1. Berdasarkan analisis
MBCR 7,42 (lahan sawah) dan 11,25 (lahan kering) menunjukkan bahwa teknologi introduksi layak
untuk diterapkan/dikembangkan. Selanjutnya semua varietas cabai yang ditanam (Var. Imola, Arimbi
85, Horison, Baja, dan Kriss) dengan teknologi introduksi, baik di lahan sawah maupun di lahan
kering memberkan keuntungan yang lebih besar dibanding dengan cara petani dan teknologi tersebut
layak untuk diterapkan (data analisis tidak disajikan, cukup satu varietas mewakili varietas lainnya).
Tabel 6. Analisis Usahatani cabai Var. LABA per ha
di 2 lokasi demfarm inovasi teknologi budidaya cabai TA. 2018.
Nilai (Rp)
No. Uraian Lahan Sawah Lahan Kering
Demfarm Non Demfarm Demfarm Non Demfarm
1. Tenaga Kerja 13.700.000 8.540.000 13.800.000 13.800.000
KESIMPULAN
Perbaikan dan penerapan paket teknologi budidaya cabai, di lahan sawah maupun di lahan kering
terbukti meningkatkan produktivitas tanaman cabai. Secara ekonomis, usahatani cabai di lahan sawah
ataupun di lahan kering masih menguntungkan. Teknologi introduksi, memberikan keuntungan jauh
lebih besar dibanding dengan teknologi petani, baik di lahan sawah ataupun di lahan kering. Dengan
demikian teknologi tersebut layak untuk diterapkan/dikembangkan.
Semua varietas cabai yang ditanam (Var. Imola, Arimbi 85, Horison, Baja, dan Kriss) dengan
teknologi introduksi, baik di lahan sawah maupun di lahan kering memberkan keuntungan yang
lebih besar dibanding dengan cara petani dan teknologi tersebut layak untuk diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aisha, A.H., Rizk, F.A., Shaheen, A.M. and Abdel-Mouty, M.M. 2007.Onion plant growth, bulbs yield
and its physical and chemical properties as affected by organic and natural fertilization.
Research Journal of Agriculture and Biological Science, 3 (5): 380-388.
Asandhi, A.A. dan Suryadi. 1989. Pola Usahatani Berbasis Sayuran dengan Berwawasan lingkungan
untuk meningkatkan Pendapatan Petani. Balai Penelitian Sayuran. Litbang.
Basuki, R.S. 2009. Analisis Tingkat Preferensi Petani terhadap Karakteristik Hasil dan Kualitas
Bawang Merah Varietas Lokal dan Impor. J. Hort. 19(2):237-248.
Jeyathilake, P.K.S., Reddy, I.P., Srihari,D. and Reddy, K.R. 2006. Productivity and soil fertility status as
influenced integrated use of N-fixing biofertilizers, organic manures and inorganic fertilizers in
onion. Journal of Agricultural Sciences, 2 (1): 46-68.
Rukmana, R. 2008. Cabai Hibrida System Mulsa Plastik.Kanisius. Jakarta. 92 hal.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 55
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
56 | Teknologi Pertanian
PENGARUH JARAK TANAM DAN WAKTU PENYIANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN HASIL TANAMAN OKRA HIJAU VARIETAS NAILA IPB.
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of planting distance and weeding time on the growth and yield of
the okra green plant of Naila variety IPB. This study used Factorial Randomized Block Design (RBD), the first factor
was planting distance (30 x 30 and 30 x 40 cm) and the second factor was weeding time (control, 32 days after
planting and 46 days after planting). Each treatment was repeated three times. Parameters observed were plant
height, number of leaves, number of fruits, length of fruit, weight of fruit. Data were analyzed for diversity of ANOVA
(Analysis of variance) and continued with the Lest Significant Difference (LSD). The results showed that the spacing
had a significant effect on plant height of two weeks after planting, the number of leaves of six weeks after planting and
the length of the fruit of the second and third harvests. The results showed that weeding time had a significant effect on
the fruit length of the second and third harvests. Interactions occur between treatment of planting distance and
weeding time at the length of the fruit of the second and third harvests. The best treatment is in the spacing of 30 x 30
cm and the weeding time of 32 days after the second harvest and the third harvest.
PENDAHULUAN
Tanaman okra (Abelmoschus esculentus Moench) adalah sayuran penting yang tersebar luas di
Afrika, Asia, Eropa Selatan dan Amerika. Buah okra memiliki peranan sebagai sumber karbohidrat,
mineral dan vitamin seperti kalium, natrium, magnesium, dan kalsium. Tanaman okra yang lebih
dikenal dengan sebutan kacang arab atau lady’s finger (jemari putri), masih terdengar asing bagi
sebagian masyarakat Indonesia, banyak ditanam di Philipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Buah
okra mempunyai kandungan gizi yang tinggi, kaya serat, antioksidan dan vitamin C. Oleh karena itu
buah okra banyak dikonsumsi baik sebagai sayur maupun sebagai obat karena buah okra dapat
memberi manfaat positif bagi tubuh dalam menjaga kesehatan. Bagian yang dikonsumsi adalah buah
muda, dimasak sebagai sayur, digoreng atau sebagai lalapan. Dalam 100 g buah muda terkandung 90
g air, 2 g protein, 7 g karbohidrat, 1 g serat, (70 – 90) mg kalsium dengan total energi 145 kJ (Yuliartini
dkk, 2017).
Tanaman okra telah lama diusahakan oleh petani tionghoa sebagai sayuran yang sangat disukai
utamanya untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, pasar swalayan, rumah makan, restoran, dan hotel.
Dapat juga menjadi komoditas non migas yang potensial, sehingga tanaman ini mempunyai peluang
bisnis yang mendatangkan keuntungan yang besar bagi petani. Bagian yang dibuat sayur adalah
buahnya (buah muda). Buah tersebut banyak mengandung lendir sehingga baik dijadikan sup (Ichsan
dkk, 2016).
Okra merupakan tanaman introduksi di Indonesia. Masyarakat Indonesia khususnya di provinsi
Gorontalo belum begitu mengenal tanaman ini atau terdengar asing dan masih langka bagi sebagian
masyarakat. Tanaman ini belum dibudidayakan secara luas, sedangkan tanaman ini memiliki manfaat
yang banyak bagi kesehatan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di Gorontalo.
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi okra yaitu melalui pengaturan jarak tanam.
Pengaturan jarak tanam dilapangan juga merupakan salah satu faktor yang menentukan keragaman
pertumbuhan tanaman. Beberapa penelitian tentang jarak tanam menunjukan bahwa semakin rapat
jarak tanam, maka semakin tinggi tanaman tersebut dan secara nyata berpengaruh pada jumlah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 57
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
cabang serta luas daun. Tanaman yang diusahakan pada musim kering dengan jarak tanam rapat
akan berakibat pada pemanjangan ruas, oleh karena jumlah cahaya yang dapat mengenai tubuh
tanaman berkurang. Jarak tanam berhubungan erat dengan populasi tanaman. Jarak tanam antar
barisan tetap dan jarak tanam dalam barisan sempit, populasi tanaman tinggi. Sebaliknya, populasih
tanaman rendah bila jarak tanam dalam barisan lebar. Hasil komunitas tanaman adalah fungsi hasil
dari per tanaman dan jumlah tanaman persatuan luas. Jumlah tanaman genotipe tertentu dapat
menguntungkan, bergantung pada sumberdaya lingkungan (Abudi, 2015).
Selain jarak tanam, faktor penting lainya yang dapat meningkatkan produksi tanaman okra adalah
waktu penyiangan. Pengendalian gulma kadangkala sebagai suatu hal yang diabaikan oleh petani
karena dianggap membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Perlu dilakukan upaya
pola penyiangan yang tepat disesuaikan dengan tingkat stres tanaman terhadap keberadaan gulma.
Hal yang perlu dilakukan adalah dengan mencari waktu penyiangan yang tepat yang dapat
mempertahankan hasil.
Intensitas penyiangan gulma yang tepat akan memberikan pengaruh yang baik terhadap
pertumbuhan dan akan mengurangi jumlah gulma yang tumbuh serta dapat mempersingkat masa
persaingan dengan tanaman pokok. Persaingan tanaman pokok dengan gulma menyebabkan
persaingan dalam hal pemanfaatan sumber daya yang sama yang bisa mengurangi produksi
fotosintat tanaman. Penyiangan dapat menyebabkan laju fiksasi CO2 tinggi dengan meningkatnya
CO2 akan menyebabkan meningkatnya fotosintesis dalam daun (Gomes dkk, 2014). Berdasarkan
uraian di atas maka perlu untuk dilakukan penelitian tentang pengaruh jarak tanam dan waktu
penyiangan terhadap pertumbuhan dan hasiltanaman okra (A. esculentus (L.) Moench).
Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil pertumbuhan tinggi tanaman berdasarkan perlakuan jarak
tanam yang berbeda belum memberikan hasil yang maksimal hampir pada seluruh pengamatan. Hal
ini ditunjukan dengan nilai yang didapatkan diantara kedua perlakuan jarak tanam tersebut masih
terlihat sama. Sehingga dapat disimpulkan pada penelitian ini bahwa perlakuan jarak tanam
menggunakan jarak 30 cm x 30 cm dan 30 cm x 40 cm belum efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan tinggi tanaman okra. Salah satu faktor yang mempengaruhi perumbuhan vegetatif
tanaman adalah cahaya. Pengaturan jarak tanaman sangat menentukan seberapa
besar cahaya yang masuk pada tanaman. Tajuk tanaman pada jarak tanam rapat yang saling
tumpang tindih akan menutup ruang antar tanaman. Daun tanaman yang saling tumpang tindih akan
mengakibatkan tanaman tidak menerima cahaya matahari secara maksimal dan proses fotosintesis
berlangsung kurang optimal sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Menurut Taiz dan
Zeiger (2002) pengaturan jarak tanam akan mempengaruhi penerimaan gelombang cahaya pada
fitokrom terhadap pertumbuhan tanaman, gelombang cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan
yaitu cahaya merah dan merah jauh. Cahaya merah umumnya diserap di atas permukaan tajuk
tanaman dan cahaya merah jauh diteruskan sampai ke tanaman yang di bawahnya dan cahaya merah
jauh mengaktifkan gen yang merespon pemanjangan batang.
Perlakuan waktu penyiangan 32 HST dan 46 HST juga terlihat belum memberikan perbedaan
petumbuhan tinggi tanaman okra pada seluruh pengamatan. Hal ini diduga karena waktu
penyiangan yang masih kurang efektif. Pada penyiangan pertama yang dilakukan terlihat
pertumbuhan gulma sudah sangat lebat sehingga sudah terjadi persaingan unsur hara dalam tanah
diantara gulma dan tanaman. Selain itu penyiangan yang dilakukan belum terlalu sempurna sehingga
menyisakan biji biji gulma yang kemudian tumbuh kembali dan menjadi kompetitor bagi tanaman.
Jumlah Daun (helai)
Hasil pengamatan jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam hanya memberikan
pengaruh nyata pada pengamatan 6 MST sedangkan di 2 MST, 4 MST dan 8 MST terlihat tidak
memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman. Sedangkan perlakuan waktu
penyiangan juga tidak memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh pengamatan. Sehingga ini
dapat diindikasikan bahwa pada penelitian ini perlakuan jarak tanam maupun waktu penyiangan
belum memberikan hasil yang efektif terhadap peningkatan pertumbuhan jumlah daun tanaman
okra. Rata–rata jumlah daun tanaman dan hasil uji BNT 5 % disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 59
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2 . Rata–Rata Jumlah Daun Okra Berdasarkan Perlakuan Jarak Tanam dan Waktu Penyiangan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pertumbuhan jumlah daun okra berdasarkan perlakuan jarak
tanam yang berbeda nyata hanya pada pengamatan 6 MST. Sedangkan pada waktu pengamatan yang
lain belum memberikan hasil yang maksimal. Hal ini ditunjukan dengan nilai yang didapatkan
diantara kedua perlakuan jarak tanam tersebut masih terlihat sama. Sehingga dapat disimpulkan
pada penelitian ini bahwa perlakuan jarak tanam menggunkan jarak 30 cm x 30 cm dan 30 cm x 40 cm
belum efektif dalam meningkatkan pertumbuhan jumlah daun tanaman okra. Pengaruh jarak tanam
sangat menentukan pertumbuhan vegtatif tanaman dimana tanaman yang terlalu rapat akan
berpengaruh pada per-saingan diantara tanaman ialah adalah hal radiasi surya yang dapat diterima
dan digunakan secara efisien. Semakin tinggi kerapatan populasi, maka makin tinggi batang, makin
sedikit jumlah daun pertanaman, dengan sendirinya makin rendah luas daun per tanaman dan makin
rendah bobot bagian atas tanaman (Rahma 2012).
Perlakuan waktu penyiangan belum efektif menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap
peningkatan jumlah daun pada seluruh pengamatan. Hal ini ditunjukan dengan nilai yang
didapatkan diantara dua perlakuan tersebut masih terlihat sama. Hal dikarenakan waktu penyiangan
dilakukan terlalu lama setelah tanaman mulai tumbuh dan memerlukan suplai unsur hara yang
cukup. Pada umur 28 HST gulma sudah mulai tumbuh pada areal tanaman dan penyiangan baru
dilakukan setelah 32 HST. Selain itu penyiangan yang dilakukan belum terlalu sempurna sehingga
menyisakan biji biji gulma yang kemudian tumbuh kembali dan menjadi kompetitor bagi tanaman.
Sukman dan Yakup (2002) menjelaskan bahwa gulma cenderung lebih boros dan aktif menyerap
usnur hara jika dibandingkan dengan tanaman budidaya sehingga pertumbuhan tanaman akan
terhambat.
Jumlah Buah Pertanaman
Hasil pengamatan jumlah buah menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam dan waktu
penyiangan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil jumlah buah tanaman orka. Rata–rata
hasil pengamatan jumlah buah dan hasil uji BNT 5 % disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata–Rata Hasil Jumlah Buah Tanaman Okra Berdasarkan Perlakuan Jarak Tanam dan Waktu
Penyiangan.
Perlakuan waktu penyiangan secara mandiri juga tidak memberikan hasil yang nyata terhadap
produksi jumlah buah tanaman okra. Hal ini diduga penyiangan yang dilakukan belum sempurna.
Menurut Sukman dan Yakup (1995) mengemukakan bahwa penyiangan gulma yang sempurna akan
menghambat keberadaan gulma sebagai kompetitor hara bagi tanaman. Penundaan penyiangan
sampai gulma berbunga menyebabkan pembongkaran akar gulma tidak maksimum dan gagal
mencegah tumbuhnya bijibiji gulma yang viable sehingga memberi kesempatan untuk
perkembangbiakan dan penyebarannya yang dapat mempengaruhi terhambatnya masa produksi
tanaman.
Panjang Buah Pertanaman
Hasil pengamatan panjang buah menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam dan waktu
penyiangan tidak terlihat pengaruh nyata terhadap hasil panjang buah tanaman okra pada panen ke
1, sedangkan panen ke 2 dan ke 3 tedapat interaksi antar pelakuan. Rata–rata hasil pengamatan
panjang buah tidak adanya perlakuan jarak tanam dan waktu penyiangan yang disajiakan pada Tabel
4.
Tabel 4. Rata–Rata Hasil Panjang Buah Tanaman Okra Berdasarkan Perlakuan
Jarak Tanam dan Waktu Penyiangan Panen Ke 1.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 61
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tanam lainnya. Brar dan Singh (2016) dalam Raditya et, al., (2017) menyatakan bahwa penggunaaan
jarak tanam yang lebih lebar mampu menyediakan ruang yang lebih lebar bagi tanaman untuk
tumbuh, sehingga dapat meningkatkan jumlah cabang dalam setiap tanaman sehingga jumlah daun
tanaman bertaambah oyomatis proses fotosintesis berlajan dengan baik.
Perlakuan waktu penyiangan kontrol, 32 HST dan 46 HST panjang buah rata-rata 13,44 juga tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil panjang buah tanaman okra. Hal ini diduga karena
pertumbuhan gulma dilahan penanaman okra semakin tinggii sehingga persaingan antara tanaman
okra dan gulma besar kemungkinannya akibatnya berpengaruh terhadap panjang buah okra sejalan
dengan Puspita et, al., (2017) populasi gulma dilahan semakin meningkat sehingga meningkatkan
bobot kering gulma. Persaingan yang semakin besar ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman. Rata–rata hasil pengamatan panjang buah berdasarkan interaksi dan hasil uji BNT
5 % disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata–Rata Hasil Panjang Buah Tanaman Okra Berdasarkan Interaksi
Jarak Tanam dan Waktu Penyiangan Panen Ke 2.
Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan jarak tanam dan waktu
penyiangan. Pada panen ke 2 terlihat bahwa kombinasi perlakuan jarak tanam 30 cm x 30 cm dan
waktu penyiangan kontrol dengan panjang buah rata-rata 13,29 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan jarak tanam 30 cm x 40 cm dan waktu penyiangan kontrol, jarak tanam 30 cm x 40 cm dan
waktu penyiangan 32 HST dan jarak tanam 30 cm x 40 cm dan waktu penyiangan 46 HST, tetapi
berbeda nyata dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm dan waktu penyiangan 32 HST dan jarak tanam 30
cm x 30 cm dan waktu penyiangan 46 HST dengan panjang buah rata-rata 13,59. Hal ini diduga
karena perlakuan jarak tanam dapat meningkatkan hasil panen ke 2 didukung dengaan waktu
penyiangan yang tepat membuat tanaman okra dapat menyerap unsur hara dengan baik tanpa ada
gangguan dari gulma sehingga produksi tanaman meningkat. Menurut Simamora (2006) jarak
tanaman yang tepat akan meningkatkan hasil dan produksi tanaman apabila semakin tinggi
kerapatan antara tanaman menyebabkan semakintinggi persaingan antara tanaman. Rata–rata hasil
pengamatan panjang buah berdasarkan interaksi dan hasil uji BNT 5 % disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata–Rata Hasil Panjang Buah Tanaman Okra Berdasarkan
Interaksi Jarak Tanam dan Waktu Penyiangan Panen Ke 3.
Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan jarak tanam dan waktu
penyiangan. pada panen ke 3 juga terlihat kombinasi perlakuan yang sama memberikan hasil yang
terbaik yakni 13,62 cm. Hasil ini berbeda dengan parameter produksi lainnya kombinasi perlakuan ini
tidak memberikan hasil yang maksimal. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), pengaturan jarak
tanam adalah salah satu cara untuk mempersiapkan faktor-faktor yang dibutuhkan tanaman agar
pertanaman Jarak tanam yang rapat kurang maksimal. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tingkat
penyerapan sinar matahari oleh daun, yang akan digunakan untuk proses fotosintesis. Menurut
Sitompul & Guritno (1995), pengaturan jarak tanam merupakan salah satu cara untuk menciptakan
faktor-faktor yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia bagi setiap tanaman dan mengoptimalisasi
penggunaan faktor lingkungan yang tersedia.
Perlakuan waktu penyiangan dengan interval waktu 32 HST dan 46 HST juga belum efektif untuk
menekan dominasi gulma terhadap tanaman. Hail ini dikerenakan gulma lebih dulu tumbuh dan
berkecambah diareal pertanaman. Sehingga perlu dilkuakn penyiangan terlebih dahulu. Gulma yang
muncul atau berkecambah lebih dulu atau bersamaan dengan tanaman yang dikelola berakibat besar
terhadap pertumbuhan dan hasil panen utama. Menurut Purba (2009) gulma menggangg karena
bersaing dengan tanaman utama terhadap kebutuhan sumberdaya (resources) yang sama yaitu unsur
hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Kehilangan hasil tanaman sangat bervariasi, dipengaruhi
olehsejumlah faktor, antara lain kemampuan tanaman berkompetisi, jenis-jenis gulma, umur tanaman,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 63
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
umur gulma, teknik budidaya. Populasi gulma menentukan persaingan dan makin besar pula
penurunan produksi tanama. Persaingan dan gangguan gulma menjelang panen berpengaruh besar
terhadap kualitas hasil (Sukman dan Yakup 2002).
KESIMPULAN
Jarak tanam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman okra (Abelmoschus
esculentus L. Moench) meliputi tinggi tanaman pada umur 2 MST, jumlah daun pada umur 6 MST.
Waktu penyiangan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman okra (Abelmoschus
esculentus L. Moench) hanya pada panjang buah panen dua dan ketiga. Interaksi terjadi antara
perlakuan jarak tanam dan waktu penyiangan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman okra
(Abelmoschus esculentus L. Moench) hanya pada panjang buah panen dua dan ketiga. Perlakuan
terbaik terdapat pada jarak tanam 30 x 30 cm dan waktu penyiangn 32 HST pada panen kedua dan
panen ketiga. Perlakuan terbaik terdapat pada jarak tanam 30 x 30 cm dan waktu penyiangn 32 HST
pada panen kedua dan panen ketiga.
Perlakuan jarak tanam dan waktu penyiangan yang diaplikasikan belum dapat memberikan hasil
yang maksimal, sehingga perlu adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan jarak tanam dan
waktu penyiangan yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abudi A. 2015. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Phaseoulus radiatus L.) Pada
Pemberian Pupuk Organik dan JarakTanam Berbeda. Skripsi. Program Studi Agroteknologi.
Fakultas Pertanian. Universitas Negri Gorontalo. Gorontalo.
Ainun M. Taufan H. dan Husna N. 2012. Pengaruh Varietas Dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan
Kedelai (Glicine Max (L.) Merrill). Jurnal Agrista Vol. 16 No. 1, 2012.
Baiq, TR. 2016 Pengaruh Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil BeberapaVarietas Jagung
Hibrida di Kawasan Pengembangan Jagung Kabupaten Sumbawa. Balai Pengkajian teknologi
Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Gomes E, Gede W, I K Suada. 2014. Pengaruh Varietasdan Waktu Penyiangan Gulma Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Jurnal Arotrop 4 (1):
19-26.
Ichsan M C, I Santoso, Oktarina. 2016. Uji Efektivitas Waktu Aplikasi Bahan Organik Dan Dosis Pupuk
Sp-36 Dalam Meningkatkan Produksi Okra (Abelmoschus esculentus). Jurnal 134 Agritrop
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 29 (1): 135-150.
Puspita K D, Dyah W R, PYudono. 2017. Pengaruh Waktu Penyiangan Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Dua Kultivar Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Jurnal Vegetalika. 6 (3): 24 – 36.
Purba E. 2009. Keanekaragaman herbisida dalam pengendalian gulma MengatasiPopulasi Gulma
Resisten dan Toleran herbisida. Pidato pengukuhan jabatan guru besar. Medan : universitas
Sumatera Utara. Penebar Swadaya.
Raditya J. E D Purbajanti. W Slamet. 2017. Pertumbuhan Dan Produksi Okra (Abelmoschus Esculentus
L.) Pada Level Pemupukan Nitrogen dan Jarak Tanam Yang Berbeda. Jurnal. Agro Complex
1(2): 49-56.
Rahma.,Y. 2012. Pengaruh jarak tanam dan dosis pupuk kotoran kambing terhadap pertumbuhan dan
hasil Tanaman buncis (phaseolus vulgaris l).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 65
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
66 | Teknologi Pertanian
PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN DAN PETERNAKAN BERKELANJUTAN
MELALUI SISTEM INTEGRASI KAKAO-KAMBING ERA DIGITALISASI
ABSTRACT
The main characteristic of an integrated farming system is the existence of a mutually profiting each other between
plants and livestock. One of the mainstay plantation commodities is the cocoa plant. Was skin of cacao a lot is
castaway and let without processing causing spoilage and only a small portion is used as animal feed. Goat livestock
represents one of the ruminant livestock that is easily maintained, breeds quickly and can be used as a producer of meat
and also milk. Goat livestock business enough easy to because do not require wide of the farm, small capital investment,
is easy to market, and fast-moving business capital inflation. Applying of the system of the cocoa and goat plant
integration will create a synergistic business pattern through the utilization and efficiency of the cocoa-goat business.
The opportunity of development of livestock business through the use of waste of cocoa as alternative feed livestock.
Discard goat livestock product can be processed to become economically valuable product biogas for example, solid
fertilizer and liquid fertilizer. The presence of digital companies really helps people to do business to with a new look in
the digital world today's. Considering that Indonesia is an agrarian country, many entrepreneurs in the
technologycal sector take advantage of this opportunity and create a start-up business in agriculture. Some digital
companies (start-up) that promoting the result of agricultural and livestock products as well as processed waste
products.
ABSTRAK
Ciri utama sistem pertanian terintegrasi adalah adanya keterkaitan saling menguntungkan antar tanaman
dan ternak. Salah satu komoditas andalan perkebunan yaitu Kakao. Limbah kulit kakao hanya sebagian
kecil yang memanfaatkan sebagai pakan ternak. Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak
ruminansia yang mudah dipelihara, cepat berkembang biak, dan dapat dimanfaatkan sebagai penghasil
daging serta susu. Usaha ternak kambing cukup mudah karena tidak membutuhkan lahan yang luas,
investasi modal kecil, mudah dipasarkan, dan inflasi modal usaha cepat berputar. Penerapan sistem
integrasi tanaman kakao dan kambing akan menciptakan pola usaha yang sinergis melalui pemanfaatan
dan efisiensi usaha kakao-kambing. peluang pengembangan usaha peternakan melalui pemanfaatan
limbah kakao sebagai pakan ternak alternatif. Produk buangan ternak kambing dapat diolah menjadi
produk bernilai ekonomis antara lain biogas, pupuk padat dan pupuk cair. Kehadiran perusahaan digital
sangat membantu masyarakat untuk berbisnis dengan gaya baru di dunia digital era sekarang ini.
Mengingat Indonesia adalah negara agraris, banyak pengusaha di bidang teknologi memanfaatkan
peluang ini dan menciptakan bisnis start up di bidang pertanian. Beberapa perusahaan digital (start up)
yang mempromosikan produk-produk hasil pertanian-peternakan sekaligus produk olahan limbahnya.
PENDAHULUAN
Pertanian dan peternakan merupakan sumber mata pencaharian sebagian masyarakat di
Indonesia. Pertanian dan peternakan tidak hanya dijadikan sumber pendapatan petani dan devisa
negara, namun saat ini telah banyak dikembangkan sebagai agroindustri (Nappu dan Taufik 2016).
Namun selain dapat meningkatkan ekonomi negara, industri pertanian dan peternakan juga memiliki
limbah buangan yang berdampak buruk pada lingkungan. Konsep integrasi pertanian dan
peternakan merupakan suatu sistem yang berkesinambungan dalam menghadapi permasalahan
tersebut. Integrasi dianggap dapat menunjang dan saling mendukung dalam menanggulangi limbah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 67
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pertanian-peternakan. Ciri utama integrasi adalah adanya keterkaitan saling menguntungkan antar
tanaman dan ternak. Sistem usaha tani integrasi tanaman dan ternak pada prinsipnya adalah adanya
pola integrasi keterkaitan seluruh komponen usaha pertanian baik secara horizontal maupun vertikal
sehingga sampai kepada limbah buangan pun dapat dimanfaatkan sebagai nilai tambah.
Salah satu komoditas andalan perkebunan dalam Negeri yang berperan penting dalam
perekonomian nasional yaitu tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Permintaan dunia terhadap kakao
semakin meningkat dari tahun ke tahun. International Cocoa Organization (ICCO) memperkirakan
produksi kakao dunia pada tahun 2017 akan mencapai 4,50 juta ton, sementara konsumsi akan
mencapai 4,51 juta ton, sehingga akan terjadi defisit produksi sekitar 10 ribu ton per tahun (Suryani
dan Zulfebriansyah 2007). Hal lain yang menjadi isu aktual sistem pertanian dunia adalah tuntutan
implementasi sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan (ecofriendly)
(Kementerian Pertanian 2014).
Selain perkebunan kakao, dunia peternakan juga ikut andil dalam menyumbang ekonomi
nasional. Salah satu pengembangan usaha peternakan yang mulai ditingkatkan adalah usaha
peternakan kambing. Pengembangan usaha peternakan sebaiknya dilakukan melalui pendekatan pola
integrasi dengan tanaman pangan atau hortikultura dan perkebunan agar limbah dari komoditas-
komoditas tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Saat ini permasalahan-permasalahan tersebut
mulai diminimalisir dengan dinamika pembangunan pertanian-peternakan yang mendorong
terjadinya perubahan lingkungan strategis. Refocusing konsep pengembangan sistem pertanian berupa
pertanian berkonsep bioindustri. Pada pengembangan pertanian konsep bioindustri mengandung
komponen sistem ekologis, berkelanjutan, pertanian intensif ekologis dan bioindustri ekologi yang
semuanya diharapkan dapat menciptakan integrasi pertanian bioindustri ekologis.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 69
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
penanggulangan limbah pertanian dan peternakan masih menjadi kendala di tingkat petani karena
keterbatasan ilmu, waktu, tenaga kerja, dan area pembuangan. Partisipasi petani-peternak yang mulai
dikembangkan oleh pemerintah yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok tani-ternak,
melakukan sistem kemitraan, bimbingan teknis lapangan mengenai pertanian dan peternakan, dan
pelatihan teknologi. Peningkatan teknologi pertanian sanagt dibutuhkan untuk meningkatkan nilai
mutu produk pertanian lokal. Pengenalan teknologi kepada petani-peternak sangat penting dalam
rangka pendayagunaan sumber daya pertanian secara efektif untuk kemajuan pertanian dan
kesejahteraan petani-peternak dalam negeri.
KESIMPULAN
Integrasi kakao-kambing dapat menjadi prospek pengembangan bioindustri yang bernilai
ekonomis dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani-peternak serta dapat membuka prospek-
prospek pengembangan pemasaran pada produk-produk limbah menjadi bernilai jual tinggi melalui
teknologi digitalisasi. Sistem integrasi merupakan sistem yang mengoptimalkan semua komponen
sampai kepada limbah yang dapat dimanfaatkan, ramah lingkungan serta memperluas sumber
pendapatan petani-peternak. Produk pertanian peternakan harus dikelola dan dipasarkan
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih dan penghargan kami sampaikan kepada Kepala BPTP Maluku Utara yang
telah memberikan dukungan dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.
Terimakasih juga kepada Ibu Lintje Hutahaean, Peneliti Ahli Madya di BBP2TP yang telah
memberikan ide topik pada tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alemawor F, Dzogbefia V, Oddoye E, Oldham J. 2009. Enzyme cocktail for enhancing poultry
utilisation of cocoa pod husk. Sci Res Essay. 4:555-559.
Djoko P. Basuki SB. Setianti C. 2004. Peran ternak dalam sistem usaha tani di dataran tinggi lahan
kering (Kasus Desa Canggal, Kec, Kledung, Kab. Temanggung). BPTP Jawa Tengah.
http//litbang.deptan.go.id/jurnal/oc.
Ilham, N. Kariyasa, K. Wiryono, B. Kriom, M.N.A, Hastuti, S. 2001. Analisis Penawaran dan
Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor (ID).
Indira. 2017. Integrated Crop-Livestock Farming System For The Sustainable Livestok Production.
International Journal of Innovative Research and Advanced Studies (IJIRAS). 4: 6 Juni 2017.
Kementerian Pertanian. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-
Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Biro Perencanaan,
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, Jakarta (ID).
Leo, P.B. 2004. Pola Pengembangan Usaha Ternak Kambing Melalui Pendekatan Integrasi dengan
Sistem Usaha Perkebunan Karet dan Kelapa Sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. 129-135.
Nappu MB, Taufik M. 2016. Sistem Usaha Tani Kakao Berbasis Bioindustri Pada Sentra Pengembangan
Di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 4: 187-196.
Priyanto D. 2008. Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan
Petani. Balai Penelitian Ternak. Wartazoa; Bogor (ID).
Subagyono. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. Prosiding
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Bali. 2004 Juli 20-22; Denpasar.
Suparjo KG, Wiryawan, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Performa Kambing yang Diberi Kulit
Buah Kakao Terfermentasi. J. Media Peternakan; 35-41.
Suryani, D. dan Zulfebriansyah. 2007. Komoditas kakao: Potret dan peluang pembiayaan. Econ. Rev.
210 (9).
Takano M, Nakamura M, Nishida A, Ishihara M. 2004. Manganase peroxidase from Phanerochaete
crassa WD1694. Bulletin of FFPRI. 3 (1); 7-13.
Wibowo B, Rusdiana S, Adiati U. 2016. Pemasaran Ternak Domba di Pasar Hewan Palasari Kabupaten
Indramayu. Agriekonomika, 5 (2); 85- 93.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 71
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
72 | Teknologi Pertanian
MANAJEMEN PEMELIHARAAN AYAM KAMPUNG UNGGUL BALITBANGTAN
DI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN NUSA TENGGARA TIMUR
ABSTRAK
Ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) merupakan rumpun baru ayam lokal hasil inovasi penelitian
Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Ayam KUB mulai dikembangkan di BPTP NTT sejak tahun 2014
dengan sistem pemeliharaan semi intensif dengan model kandang postal. Tujuan dari penulisan ini untuk
mengetahui sistem pemeliharaan ayam KUB, performans produksi, hasil penetasan, dan pengendalian
penyakit ternak ayam KUB di BPTP NTT. Penelitian ini dilaksanakan bulan Maret – Mei 2019 di Kandang
Ayam BPTP NTT. Materi yang digunakan dalam penelitian adalah ayam KUB umur 25-37 minggu (fase
layer), ayam betina 224 ekor, dan ayam jantan 25 ekor. Pemberian pakan berupa konsentrat komersial
berbentuk pellet sebanyak 105 g/ekor/hari dan air minum adlibitum. Data yang diamati antara lain:
performans produksi (berat telur, Feed Conversion Ratio, Hen Day Production) dan hasil penetasan antara
lain: seleksi telur, fertilitas, dan daya tetas telur.Hasil pengamatan performans produksi antara lain: berat
telur (46,04 g), FCR (2,28), HDP (41,21). Hasil pengamatan untuk penetasan meliputi: seleksi telur (73,19%),
fertilitas telur (91,39%), dan daya tetas telur (77,78%).
ABSTRACT
KUB chicken is a new breed of local chickens as the result of selection by the Indonesian Research Institute for Animal
Production, Ciawi-Bogor. KUB chicken has been developed in BPTP NTT since 2014 with semi intensif raising
system. The research was carried out to study KUB chicken raising system, performance production, hatcability,
prevent diseases of KUB chicken in BPTP NTT. This research was conducted in March-May 2019 at the chicken farm
of BPTP NTT. The material used in this research was KUB chicken age 25-37 weeks (layer), chicken population 224
hen, and 25 rooster. Feeding form 105 g/chicken/day of commercial pellet concentrate and water is given adlibitum.
The observed data were performance production (egg weight, FCR, HDP) and hatching result were egg selection data,
fertility, hatchability. The result of performance production data were egg weight (46.04 g), FCR (2.28), HDP (41.21).
The result of hatching data were egg selection (73.19%), fertility (91.39), and hatcability (77.78%).
PENDAHULUAN
Ayam kampung memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Ayam kampung
memiliki ketahanan yang cukup baik dalam menghadapi iklim yang sulit, seperti musim kemarau
yang panjang. Oleh karena itu, ayam kampung merupakan ternak yang cukup mudah beradaptasi di
daerah lahan kering seperti di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada berbagai jenis ayam
kampung yang dapat dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia, salah satunya adalah ayam
Kampung Unggul Balitnak (KUB).
Ayam KUB merupakan salah satu nama ayam kampung hasil pemuliabiakan yang dilakukan oleh
Badan Litbang Pertanian, Ciawi, Bogor. Proses pembentukan ayam KUB pada 1997--1998, Balitnak
berinisiatif melakukan penelitian breeding ayam kampung dengan mendatangkan indukan ayam
kampung dari beberapa daerah di Jawa Barat yakni dari Kecamatan Cipanas/Kabupaten Cianjur,
Kecamatan Jatiwangi/Kabupaten Majalengka, Kecamatan Pondok Rangon/ Kota Depok, Kecamatan
Ciawi/Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Jasinga/Kabupaten Bogor (Sartika et al., 2013). Keunggulan
dari ayam kampung unggul balitnak (KUB) pedaging, yaitu bobot badan dapat mencapai 1 kg pada
umur 70 hari. Keunggulan lain dari ayam KUB diantaranya konsumsi ransum rendah, mortalitas
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 73
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
rendah, daya tetas telur yang tinggi, pertumbuhan lebih cepat, dan mengandung gen MX++ 60% yaitu
gen penanda ketahanan terhadap flu burung sehingga membuatnya lebih tahan terhadap serangan
Avian Influenza (AI).Kelebihan lainnya, yaitu pada pemeliharaan intensif dengan diberi ransum
komersil mampu menghasilkan daging secara cepat dalam waktu kurang dari 70 hari. Tata laksana
pemeliharaan ayam KUB meliputi tata laksana pemberian ransum, perkandangan, dan biosekuriti
(Sartika et al., 2013).
Pengembangan ayam KUB di NTT dapat memberikan nilai tambah ekonomis melalui sistem
pemeliharaan semi intensif. Dalam rangka mengeksplorasi dan mengetahui lebih lanjut informasi
kinerja produksi ayam KUB yang dilakukan pada tingkat peternakan rakyat, maka perlu dilakukan
suatu demo plot pengembangan usaha ayam KUB di tingkat peternakan rakyat di NTT. BPTP
Balitbangtan NTT merupakan lokasi pengembangan ayam KUB sejak tahun 2014 sampai dengan
sekarang.
Hal ini didorong oleh permintaan masyarakat akan daging ayam dan telur ayam yang terus
meningkat, sehingga perlu dilakukan pengembangan jumlah populasi ayam KUB agar varietas ini
lestari. Peningkatan populasi ternak ayam KUB agar selalu berkembang baik secara kualitas maupun
kuantitas maka harus memperhatikan manajemen pemeliharaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengembangkan ayam KUB di BPTP NTTdengan memperhatikan sistem pemeliharaan ayam
KUB,performans produksi, hasil penetasan, dan pengendalian penyakit ternak ayam KUB.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Ayam BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Timur, selama 3
bulan, dimulai bulan Maret – Mei 2019. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak
ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) umur 25-37 minggu (fase layer), ternak ayam betina
berjumlah 224 ekor dan ternak ayam jantan berjumlah 25 ekor, kandang pemeliharaan menggunakan
model kandang litter alas tanah dengan luas 8 meter x 12 meter, pakan konsentrat komersial
berbentuk pellet, minum adlibitum, dan air.
Metode Penelitian
Sistem pengambilan data dilakukan dengan mengamati perkembangan ayam KUB fase layer. Data
yang diamati antara lain produksi telur harian (hen day), seleksi telur untuk persiapan penetasan
(berat telur, abnormalitas telur), FCR, penanganan telur pada saat penetasan (fertilitas telur,
penetasan). Berikut rumus untuk menghitung produksi telur ayam harian (Hen Day Production) dan
konversi pakan (Feed Convertion Ratio) adalah sebagai berikut:
𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 (𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟)
𝐻𝐷𝑃 = x 100 %
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐴𝑦𝑎𝑚 (𝑒𝑘𝑜𝑟)
FCR = Jumlah pakan yang dihabiskan untuk produksi telur (kg). Produksi telur yang
diperoleh (kg). Setelah data diamati dan dicatat maka data dianalisis secara kuantitatif disajikan
dengan tabel dan diagram, serta analisa kualitatif dijelaskan secara deskriptif dengan
membandingkan literatur.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 75
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 1. Konsumsi Pakan, Berat Telur, FCR, dan HDP Ayam KUB di BPTP NTT
Produksi telur dapat dinyatakan dengan ukuran hen day egg production (HDP). Produksi telur
harian (hen day egg production) merupakan salah satu ukuran produktivitas ayam petelur yang
diperoleh dengan membagi jumlah telur dengan jumlah ayam saat itu. HDP yang tinggi umumnya
diiringi dengan pemberian pakan yang mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi.Hasil data
penelitian untuk rata-rata HDP adalah 41,21%. Menurut Sartika (2013), Ayam KUB (Kampung Unggul
Badan Litbang) mempunyai keunggulan produksi telur tinggi (henday) 44-70%, sampai puncak
produksi 65- 70%, produksi telur/tahun 180 butir, umur pertama bertelur 20-22 minggu, bobot telur
35-45 gram.
Hasil Penetasan
Penerapan manajemen penetasan yang dilakukan di BPTP NTT meliputi koleksi telur tetas dari
hasil panen, penyimpanan, penetasan, pembalikan telur, dan pengamatan suhu kelembaban (37°C-
38.5°C dan 60%-70%). Telur hasil panen dari kandang sebelum penetasan dilakukan proses seleksi.
Proses seleksi telur ayam KUB di BPTP NTT memiliki standar operasional prosedur (SOP). Standar
telur ayam KUB yang masuk untuk ditetaskan antara lain; telur dengan berat 40 gram – 52 gram, telur
tidak abnormal, telur tidak retak, telur yang diambil dari kotak pengeraman/ tidak di litter tanah,
telur tidak dalam kondisi kotor, telur umur penyimpanan maksimal 6 hari. Data hasil pengamatan
proses pra penetasan sampai penetasan meliputi: seleksi telur, fertilitas, dan daya tetas ayam KUB di
BPTP NTT dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Seleksi Telur, Fertilitas Telur, dan Daya Tetas Telur Ayam KUB di BPTP NTT
Seleksi Telur (%) Fertilitas Telur (%) Daya Tetas Telur (%)
Lolos Tidak Lolos Fertile Infertile Tetas Tidak Tetas
73.19 26.81 91.39 8.61 77.78 22.33
Hasil pengamatan dari seleksi telur yang lolos untuk penetasan sebesar 73.19%, fertilitas telur
sebesar 91.39%, dan daya tetas telur sebesar 77.78%. Menurut Suryana (2017) rata-rata fertilitas telur
pemeliharaan ayam KUB di Kalimantan Selatan sebesar 90,21-92,61% yang dihasilkan ayam KUB
umur 15 bulan. Menurut Hayanti (2014) kinerja ayam KUB memiliki daya tetas telur 74 – 85%.
Suryana et al. (2014), menyatakan bahwa rata-rata daya tetas ayam KUB yang dipelihara di
Kalimantan Selatan berkisar antara 65,55-89,92%, sementara Priyanti et al. (2016) melaporkan bahwa,
a b
Gambar 2. Telur yang Tidak Lolos Seleksi untuk Penetasan: a.) Telur ukuran besar, kecil, dan
abnormal, b.) Telur kotor
Bentuk telur tetas normal yaitu oval. Telur yang berbentuk oval memiliki perbandingan antara
garis melintang (lebar) dan garis membujur (panjang) sekitar 2:3. Telur bentuk oval memiliki daya
tetas yang tinggi dibandingkan telur yang berbentuk lonjong atau bulat (Rashid et al., 2013). Hal ini
ada kaitannya dengan kemudahan menentukan bagian ujung tumpul telur sehingga posisi peletakan
telur selama diinkubasi di dalam mesin tetas tidak salah, yaitu ujung tumpul di bagian atas. Bentuk
telur yang abnormal umumnya tidak baik untuk ditetaskan. Telur tetas dengan keadaan kerabang
yang porus, tipis, berlapis, dan pengapurannya tidak merata tidak baik untuk ditetaskan. Ketebalan
kerabang sangat menentukan daya tetas. Kualitas kerabang telur tetas dipengaruhi oleh faktor
genetik, ransum, temperatur lingkungan dan kesehatan.
Suhu yang baik untuk penetasan adalah 37,8°C, dengan kisaran 37,2°C sampai 38,2°C (Hodgetts,
2000). Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum. Temperatur dan kelembaban
merupakan faktor penting untuk perkembangan embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan
menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban
mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio.
Penyimpanan telur tetas sebelum diinkubasi merupakan hal yang biasa dilakukan dengan tujuan
untuk memaksimalkan kapasitas tampung mesin tetas. Telur tetas memiliki batas waktu tertentu
dalam masa penyimpanan yaitu tidak lebih dari 7 hari. Penyimpanan telur tetas yang lebih dari 7 hari
dapat menyebabkan penuruna daya tetas (Suryadi et al., 2018). Faktor yang mempengaruhi daya tetas
telur antara lain kualitas telur, serta lama penyimpanan telur yang akan ditetaskan (King’ori, 2011).
Fertilitas dan daya tetas telur dipengaruhioleh : umur kawin pertama,pengaturan penetasan, dan
perkawinan kembali. Ayam KUB memiliki sifat mengeram rendah sehingga lama waktu mengeram
lebih singkat dibandingkan ayam kampung biasa, untuk itu penetasan telur dianjurkan dengan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 77
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menggunakan mesin tetas. Setelah telur menetas DOC diseleksi kembali untuk mendapatkan
keturunan dengan kualitas baik. DOC yang diseleksi memiliki ciri-ciri: a.) Tidak cacat: kaki segar
(tidak kering), struktur normal, dubur bersih, perut puput dan kering, b.) Bobot DOC minimum 27
gram/ekor (Hayanti, 2014).
Pengendalian penyakit
Penyakit-penyakit yang sering menyerang ayam KUB adalah ND, gumboro, fowl fox, snot, CRD,
AI dan lumpuh (Suryana & Yasin 2014). Penyakit ND di samping sering terjadi pada ayam KUB, juga
umumnya menjangkit pada ayam kampung dengan tingkat morbiditas dan mortalitas antara 80-100%
(Zainuddin & Wibawan 2007).
Lebih lanjut dikemukakan ada dua cara mengatasi penyakit pada ayam kampung, yaitu dengan
program pengendalian dan pembasmian penyakit. Program pengendalian antara lain: (1) Menjauhkan
ternak ayam dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya; (2) Meningkatkan daya tahan
tubuh ayam dengan vaksinasi, pengelolaan dan pengawasan yang baik; dan (3) Melakukan
pemeriksaan untuk diagnosis sedini mungkin secara cepat dan tepat.
Program pembasmian penyakit dapat dilakukan melalui: (1) Test and slaughter, yaitu apabila ternak
dicurigai positif menderita penyakit pullorum, CRD atau lainnya harus dibunuh; (2) Test and treatment,
bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan; dan (3) Stamping out, yaitu bila terjadi kasus
penyakit menular dan menyerang seluruh ayam di peternakan, maka ayam, kandang dan peralatan
harus dimusnahkan (Suryana, 2017).
Program pencegahan penyakit pada ayam KUB yang dilaksanakan di kandang ayam KUB BPTP
NTT dilakukan dengan pemberian vaksin ND pada DOC umur 3 hari. Pemberian vitamin ayam
setiap pagi hari dengan dosis 1 cc/ekor melalui air minum. Manfaat pemberian vitamin ini di samping
dapat mencegah ayam KUB dari serangan penyakit ND dan AI, juga dapat meningkatkan nafsu
makan dan menekan biaya obat komersial.
KESIMPULAN
Sistem pemeliharaan ayam KUB di BPTP NTT menggunakan sistem semi intensif dengan kandang
postal. Hasil pengamatan performans produksi, meliputi: berat telur (46,04 g), FCR (2,28), HDP
(41,21). Hasil pengamatan untuk penetasan meliputi: seleksi telur (73,19%), fertilitas telur (91,39%),
dan daya tetas telur (77,78%).
Pemeliharaan ayam KUB di BPTP NTT memiliki potensi besar dikembangkan untuk produksi
telur dan penghasil bibit. Strategi dan upaya pengembangan untuk meningkatkan populasi, produksi,
produktivitas ternak ayam KUB di BPTP NTT perlu didukung oleh teknologi yaitu perbaikan kualitas
dan kuantitas pakan, pencegahan dan pengendalian penyakit (pemberian vitamin dan vaksinasi ND)
serta menjaga kebersihan atau sanitasi kandang dan lingkungannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Procula Rudlof
Matitaputy, M.Si selaku Kepala Balai BPTP NTT atas bimbingan, arahan, dan motivasinya dalam
penulisan, Ir. Evert Y. Hosang, M.Si, Ph.D atas bimbingan penulisan, serta tim Peneliti Peternakan
BPTP NTT yang membantu dalam penelitian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 79
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
80 | Teknologi Pertanian
PENGARUH BIOURINE DAN MULSA PADA PERTANAMAN BAWANG MERAH
DI LAHAN SUBOPTIMAL, BATAM KEPULAUAN RIAU
Email: [email protected]
ABSTRACT
The agricultural land on the island of Batam is a suboptimal, sandy land with low nutrient content. Lack of nutrients
can trigger high fusarium wilt disease attacks on onion crops. This condition causes the input of fertilizers and
pesticides in Batam is also high and leave a high enough residue on the ground and cause pollution. Biourine contains
nutrients and stimulants of plant growth can be used as alternative fertilizer to overcome the problem of nutrient
deficiency and leave no residue. The use of mulch can reduce the use of herbicides in agricultural land. The purpose of
this research is to know the effect of giving biorin and mulch to onion vegetable commodity on farm land in Batam
islands. The study used bovine biourine, D'grow as comparison and mulch. The experiment was prepared using
Group Random Design with 3 replications. Observational data were analyzed using STAR program version 2.0.1.
The results showed that the attack rate of fusarium wilt and caterpillar pests in Batam district was very high during
the rainy season and difficult to control with the application of pesticides. Biourine can be used as an alternative
organic fertilizer because it has the same growth effect as the use of more commercial fertilizers. The use of mulch can
reduce the attack rate of fusarium wilt on shallot in the rainy season.
ABSTRAK
Lahan pertanian di pulau Batam merupakan lahan suboptimal, berpasir dengan kandungan hara yang
rendah. Kekurangan hara dapat memicu tingginya serangan penyakit layu fusarium pada pertanaman
bawang merah. Kondisi tersebut menyebabkan Input pupuk dan pestisida pada pertanaman bawang
merah di Batam juga tinggi dan meninggalkan residu yang cukup tinggi dilahan dan menjadi polusi.
Biourine mengandung zat hara dan perangsang pertumbuhan tanaman dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk alternatif untuk mengatasi permasalahan kekurangan unsur hara dan tidak meninggalkan residu.
Penggunaan mulsa dapat mereduksi penggunaan herbisida di lahan pertanian. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian biourin dan mulsa pada komoditas bawang merah di
lahan pertanian di pulau Batam. Penelitian menggunakan biourine sapi, pupuk D’grow sebagai
pembanding serta mulsa. Percobaan disusun menggunakan rancangan lingkungan split plot dengan 3
ulangan. Data pengamatan dianalisis menggunakan program STAR versi 2.0.1. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat serangan penyakit layu fusarium dan hama ulat di kabupaten Batam sangat
tinggi pada musim hujan dan sulit dikendalikan dengan aplikasi pestisida. Biourine dapat digunakan
sebagai pupuk organik alternatif karena memiliki efek pertumbuhan yang sama dengan penggunaan
pupuk yang lebih komersial. Penggunaan mulsa dapat mereduksi tingkat serangan penyakit layu
fusarium pada partanaman bawang merah dimusim hujan.
Kata kunci : Biourine, lahan suboptimal, Bawang merah, Layu Fusarium, pulau Batam.
PENDAHULUAN
Kota Batam adalah salah satu kota di Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan pulau terluar yang
berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia (Evers and Gerke, 2006). Pemerintah daerah
KEPRI menjadikan sektor pertanian sebagai sektor andalan, agar dapat memenuhi kebutuhan daerah
yang semakin meningkat, mengingat sebagian besar kebutuhan pertanian masih didatangkan dari
luar Provinsi. Ketersediaan produk pertanian yang sebagian besar dari luar provinsi, sangat
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 81
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tergantung pada keadaan cuaca dan gelombang laut, sehingga sering terjadi kelangkaan suatu produk
pertanian. Berpijak dari persoalan tersebut, merupakan suatu terobosan yang tepat untuk
menciptakan kemandirian pangan di provinsi ini (Izhar, et al 2014).
Bawang merah (Allium ascolonicum L.) merupakan komoditas tanaman sayuran dengan beragam
manfaat antara lain sebagai sayuran, bumbu penyedap masakan, bahan obat tradisional untuk
kesehatan dan kecantikan. Kandungan quercetin flavonoid pada bawang merah dapat mengobati
katarak, penyakit jantung dan kanker dan senyawa organosulfur dapat menurunkan tekanan darah
dan kolesterol. Umbi bawang merah dapat dimanfaatkan untuk obat cacing, anti-inflamasi, antiseptik,
antispasmodik, karminatif, diuretik, ekspektoran, obat penurun panas, hipoglikemik, hipotensi,
lithontripic, obat perut dan tonik (Kumar,2010). Permintaan bawang merah semakin meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah konsumen dan daya beli masyarakat. Dengan menjamurnya
bisnis kuliner di berbagai daerah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kebutuhan pasar akan
bawang merah. Bawang merah memiliki pengaruh besar dalam perekonomian terutama terjadinya
inflasi harga yang disebabkan dinamika produksi terutama saat off season.
Kota Batam walaupun sangat berpotensi untuk pengembangan sayur-sayuran, namun ketersediaan
benih unggul, teknologi pengolahan terpadu, fluktuasi harga dan akses pasar, infrastruktur dan kebijakan
selalu menjadi kendala (Wijaya dan Sutapa. 2013). Sukarnya mendapatkan lahan produktif dimana
tanahnya berupa tanah merah yang kurang subur dengan cuaca yang sering berubah sehingga hanya
tanaman tertentu yang dapat tumbuh (Badan Pusat Statistik Kepulauan Riau. 2014), kurangnya tenaga
kerja untuk mengelola lahan sehingga petani harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi (Susila, 2006),
harga bibit/benih unggul yang mahal sehingga menyebabkan daya beli petani menurun (Theresia et al,
2016; Ginting et al, 2013), rendahnya penanggulangan hama penyakit, mutu produk dan tingginya residu
pestisida, penanganan kelembagaan sarana produksi dan pemasaran yang masih kurang baik (Izhar et al.,
2014).
Berdasarkan beberapa permasalahan yang ada tersebut, maka dibutuhkan inovasi teknologi untuk
wilayah Batam seperti introduksi jenis varietas bawang unggul, penggunaan pupuk cair organik dari
urine sapi dan penggunaan mulsa untuk mengendalikan penyakit (Bahar, 2011).Penggunaan pupuk
anorganik yang berlebihan menyebabkan beberapa masalah pada tanah dan dapat mencemari air
sehingga keseimbangan alam menjadi terganggu (Indriani, 2011). Penggunaan pupuk anorganik untuk
meningkatkan produktivitas tanaman dapat ditekan dengan beralih menggunakan pupuk organik.
Limbah cair pada peternakan sapi yang berupa urin kurang dimanfaatkan, sehingga dapat mencemari
lingkungan. Setiap harinya satu ekor sapi mampu menghasilkan kurang lebih 5 liter urin. Urin sapi yang
melimpah berpotensi untuk dijadikan sebagai pupuk organik berupa biourin.
Biourine ialah pupuk cair yang mengandung unsur yang lengkap yaitu nitrogen, fosfor, dan
kalium dalam jumlah yang sedikit serta seng, besi, mangan, dan tembaga. Biourin dapat memberikan
peningkatan hasil tanaman yang hampir menyamai bahan penyubur tanaman (BPT) (Perdana, 2015).
Kurniadinata (2007), menyatakan bahwa penggunaan urin sapi sebagai pupuk organik akan
memberikan keuntungan diantaranya harga relatif murah, mudah didapat dan diaplikasikan, serta
memiliki kandungan hara yang dibutuhkan tanaman. Pupuk urine sapi mengandung hormon
tertentu yang dapat merangsang perkembangan tanaman dan mengandung lebih banyak N dan K
dibandingkan dengan pupuk kandang sapi padat (Aisyah et al., 2011). Urin sapi dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk biourin dengan cara menginkubasinya terlebih dahulu hingga terdekomposisi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada Bulan September sampai Desember 2017. Bertempat di Lahan milik
Bapak Edi Kelompok Tani Bunga Melati, Kampung Bumi Aji Kelurahan Sei Binti Kecamatan Sagulung
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 83
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
NPK serta pestisida juga diberikan dalam rangka meningkatkan performa pertanaman bawang
merah.
Hasil kajian menunjukkan penggunaan mulsa dan bahan organik tidak menunjukkan pengaruh
signifikan baik secara tunggal maupun interaksinya (Tabel 1). Hal ini disebabkan hujan dan aplikasi pupuk
yang sering tercuci serta serangan hama yang cukup tinggi, sehingga tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan. Rinsema (1986) menyatakan bahwa pemberian pupuk yang tepat macam, dosis dan waktu
serta cara pemberian dapat mendorong pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman baik kualitas
maupun kuantitas.
Tabel 1. Nilai kuadrat tengah pengaruh mulsa, pupuk organik, interaksi dan koefisien keragaman
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 85
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 3. Nilai Korelasi perlakuan dan karakter pengamatan
Pupuk
Mulsa Organik TT JD JU BbT BbU BbD DU TU PA JU2 BbUT2 BbU2
TT R 0.1415 0.0318
Sig 0.4398 0.863
JD R 0.1061 0.0038 0.8804
Sig 0.5633 0.9834 0*
JU R -0.2235 -0.0673 0.5233 0.71
Sig 0.2188 0.7142 0.0021* 0*
BbT R 0.071 -0.0683 0.8932 0.8953 0.6846
Sig 0.6996 0.7102 0* 0* 0*
BbU R -0.1451 -0.2242 0.4168 0.3842 0.6294 0.6957
Sig 0.4282 0.2173 0.0176* 0.0299* 0.0001* 0*
BbD R 0.1135 -0.0123 0.9295 0.9403 0.6226 0.9794 0.5405
Sig 0.5363 0.9465 0* 0* 0.0001* 0* 0.0014*
DU R 0.0048 -0.0247 -0.4872 -0.6557 -0.3918 -0.3529 0.2179 -0.4691
Sig 0.9794 0.8932 0.0047* 0* 0.0266* 0.0475* 0.2308 0.0068*
TU R -0.1176 0.0195 -0.0106 -0.2925 -0.0955 0.0109 0.4615 -0.1012 0.6809
Sig 0.5214 0.9156 0.9541 0.1042 0.6032 0.953 0.0078* 0.5815 0*
PA R -0.0564 -0.1451 0.1395 0.2139 0.1708 0.0719 -0.0635 0.1122 -0.18 -0.1676
Sig 0.759 0.428 0.4463 0.2397 0.3501 0.6959 0.73 0.5408 0.3243 0.3593
JU2 R 0.0884 -0.1769 0.1823 0.1425 0.2666 0.2177 0.2329 0.1851 -0.1058 -0.1021 0.196
Sig 0.6303 0.3328 0.3181 0.4366 0.1402 0.2313 0.1996 0.3106 0.5645 0.5782 0.2822
BbUT2 R 0.0942 0.2005 0.2063 0.1158 -0.0012 0.1426 0.0466 0.1563 -0.1349 0.0782 -0.1233 0.4114
Sig 0.6082 0.2713 0.2572 0.5278 0.9947 0.4362 0.8001 0.3928 0.4617 0.6703 0.5013 0.0193*
BbU2 R -0.0519 -0.0737 -0.2297 -0.2061 0.0223 -0.1963 -0.0308 -0.2112 0.0696 0.0193 0.0794 -0.0161 -0.1295
Sig 0.778 0.6886 0.2059 0.2577 0.9038 0.2816 0.8669 0.2459 0.7049 0.9166 0.6656 0.9303 0.4799
DU2 R -0.1585 -0.1527 -0.276 -0.3067 -0.2141 -0.2473 -0.0768 -0.2738 0.0912 -0.0718 -0.1201 -0.0718 0.0334 -0.0934
Sig 0.3863 0.404 0.1263 0.0878 0.2394 0.1723 0.6761 0.1295 0.6197 0.696 0.5125 0.6962 0.8562 0.6111
Ket : JD : jumlah daun ; JU : Jumlah Umbi; BbT : Bobot Tanaman; BbU : Bobot Umbi; BbD : bobot daun; DU : Diameter
Umbi; TU : Tinggi Umbi; PA : Panjang Akar; JU2 : Jumlah Umbi minggu ke-6; BbUT : Bobot Umbi per tanaman;
BbU2 : Bobot umbi minggu ke-6; DU2 : diameter umbi minggu ke-6
Permasalahan penanaman Bawang Merah di Batam adalah tingginya serangan layu fusarium, ulat
grayak (Spodoptera exigua) dan intensitas hujan yang tinggi yang bertepatan pada musim hujan dan
juga karena kota Batam merupakan daerah kepulauan. Serangan penyakit pada lokasi pertanaman
adalah layu fusarium, pada Gambar 2, sedangkan Seragan Hama pada lokasi pertanaman Bawang
adalah ulat grayak (Spodoptera exigua) pada Gambar 3.
Gambar 3. Hama ulat grayak (Spodoptera exigua) pada pertanaman bawang merah
Gambar 3. Panen bawang merah di umur 40 HST / 6 mst disebabkan serangan layu fusarium.
Intesitas curah hujan yang tinggi pada musim pertanaman menyebabkan tingginya serangan layu
fusarium maupun serangan hama ulat grayak menyebabkan tanaman bawang harus dilakukan panen
sebelum waktunya pada umur 40 HST. Pengendalian Hama dan Penyakit dilakukan secara intensif,
namun tetap tidak dapat menunjukkan tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit dan hama.
Tindakan yang dilakukan adalah Pemasagan Light trap, Penggunaan Insektisida untuk serangan
hama ulat grayak: Pegasus, Endure yang diaplikasikan bergantian, Peggunaan Fungisida untuk
penyakit layu yang juga diaplikasikan bergantian Amistartop, Daconil, Score, Antracol dan Dithane.
Aplikasi pestisida pada musim hujan juga menggunakan perekat agar pestisida tidak tercuci.
KESIMPULAN
Tingkat serangan penyakit layu fusarium dan hama ulat di Kota Batam sangat tinggi pada musim
hujan dan sulit dikendalikan dengan aplikasi pestisida. Pemberian biourine direkomendasikan
sebagai pupuk organik dengan kualitas setara pupuk komersial. Penggunaan mulsa
direkomendasikan untuk mengurangi serangan penyakit layu fusarium pada pertanaman bawang
merah di musim hujan.
Penanaman Bawang merah di Batam sebaiknya tidak dilakukan pada musim hujan yang berakibat
pada tingginya serangan penyakit dan hama dan sulitnya pengendalian. Perlu pengkajian mendalam
tentang pengaruh pupuk biourine terhadap peningkatan serangan penyakit layu fusarium.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Kepulauan Riau, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian yang yang
telah berkontribusi atau terlibat membantu dalam pendanaan, pelaksanaan penelitian, dan penulisan
naskah jurnal.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 87
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S., N. Sunarlim, B. Solfan. 2011. Pengaruh urine sapi terfermentasi dengan dosis dan interval
pemberian yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman sawi (Brassica juncea L.). Jurnal
Agroteknologi. 2(1): 1-5.
Bahar, Y.H. 2011. Arah dan Strategi Pengembangan sayuran Organik Mendukung Pengembangan
Pertanian Berkelanjutan. Makalah Seminar nasional. Direktur Budidaya dan Pascapanen
Sayuran dan Tanaman Obat. 2011. Padang.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kepulauan Riau. 2014. Kepulauan Riau Dalam Angka.
BPP Jatinom. 2013. Pembuatan FERINSA (Fermentasi Urin Sapi). Dikutip dari
http://cybex.deptan.go.id/lokalita/pembuatan-ferinsa-fermentasi-urin-sapi. Diakses pada
tanggal 5 April 2014.
Damayanti Sinaga, 2009. Pembuatan Pupuk Cair Dari Sampah Organik Dengan Menggunakan Boisca
Sebagai Starter. [Skripsi]. [Medan (ID)] Fak. Pertanian, USU.
Ginting, M., T. Sebayang, dan Iskandarini. 2013. Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani
terhadap Luas Tanam Bawang Merah Berdasarkan Pendapatan Petani di Kabupaten Dairi.
[Tesis]. [Medan (ID)]Universitas Sumatera Utara.
Indriani, Y.H. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Izhar, L., Dahono, Supriadi, Y., Zurriyati., R.C. Prasetiyono., dan O.I.,Safitri. 2014. Indentifikasi
Kebutuhan Teknologi di Provinsi Riau Kepulauan. Laporan tahunan LPTP kepri
Kumar, K. P. Sampath, Debjit Bhowmik, Chiranjib, Biswajit, and Pankaj Tiwari. 2010. Allium cepa: A
tradisional med. herb and its health benefits. J. Chem. Pharm. Res., 2(1): 283- 291.
Kurniadinata, O.F. 2007. Pemanfaatan feses urin sapi sebagai pupuk organik dalam perkebunan kelapa
sawit. Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya
sebagai Pakan Ternak. Paser, Kalimantan Timur. Juli 2007: 65-72.
Perdana, S.N., W.S. Dwi, M. Santoso. 2015. Pengaruh aplikasi biourin dan pupuk terhadap pertumb.
dan hasil tan. bawang merah (Allium ascalonicum L.). J. Prod. Tan. 3(6): 457-463.
Riky, Priangga dan Suwarno. 2013. Pengaruh Level Pupuk Organik Cair Terhadap Produksi Bahan
Kering Dan Imbangan Daun-Batang Rumput Gajah Defoliasi Keempat. [SKRIPSI]. [Purwokerto
(ID)]. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.
Rinsema, W.T. 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Bratarya Karya Aksara. 235 hal.
Supriadi, Lutfi Izhar, Oktariani Indri Safitri. 2014. Potensi Ketersediaan Hijauan Pakan dari Limbah
Tanaman Jagung Manis di Provinsi Kepulauan Riau. Disampaikan pada Seminar Nasional
dalam rangka HUT Litbang Pertanian ke 40 dan BPTP Sumatera Selatan ke 20 tanggal 16
September di Palembang.
Susila, A.D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bagian Produksi Tanaman. Departemen
Agronomi dan Hortikultura. Bogor: IPB. SANREM-CRSP-USAID Project: 68.
Surya, Adhe, Hariadi. 2011. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosisi Urin Sapi terhadap Pertumbuhan
Dan Hasil Tanaman Rosella.[ Skripsi]. [Padan (ID] Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Padang.
Theresia, V dkk., Analisis Persepsi Petani Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan Impor di
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat Jurnal Penyuluhan, Maret 2016 Vol. 12 No. 1
ABSTRACT
Productivity of some irrigated lowland rice variety Grown Under Direct Dry Seeded System of Gogo Rancah in
Rainfed of Central Lombok District. Gogo rancah system is direct dry seeded rice planting on rainfed that has
potential to develop at the downstream area of irrigated land, especially during El-nino years. West Nusa Tenggara
(NTB) Province is known as Bumi Gora due to the gogo rancah (gora) rice cultivation system that introduced on 1978
and brought NTB to be self-sufficient of rice in the 1980s. Along with the incessant release of new rice varieties (VUB),
it is necessary to study the adaptability of some irrigated VUBs when grown under aerobic environmnet to mitigate
unsufficient water from irrigation. The on-farm experiment using randomized block design (RAK) aimed to compare
the growth and yield of VUB Inpari 32, Inpari 33, Inpari 39, and Inpari 41. Gogo rancah system used direct dry-seed
on zero tillage dryland, than the seedling managed based on integrated rainfed and rice management guidelines (PTT).
The results show that Inpari 41 is significantly adaptive to gogo rancah system on rainfed agroecosystem compared to
other VUBs. Inpari 41 produced highest grain yield (t/ha) 4.46 t/ha that 19.9% lower compare to its potential on
irrigated lowland, even tought Inpari 41 grow higher and produce heavier 1000 grain weight than its potensia l on
lowland field.
ABSTRAK
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal juga sebagai Bumi Gora akibat masalnya budidaya padi
sistem gogo rancah (Gora) pada tahun 1978 dalam program Intensifikasi Khusus (INSUS), program
tersebut telah membawa NTB mencapai swasembada beras di era 1980an. Seiring dengan gencarnya
pelepasan berbagai Varietas Unggul Baru (VUB) padi inbrida, maka perlu dikaji produktivitas VUB dalam
sistem budidaya gogo rancah di lahan sawah tadah hujan. Percobaan on-farm menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan dan hasil VUB Inpari 32, Inpari 33,
Inpari 39, dan Inpari 41. Sistem gogo rancah menggunakan benih kering yang ditanam secara tugal tanpa
adanya pengolahan tanah, selanjutnya benih yang telah tumbuh dikelola berdasarkan panduan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
Inpari 41 secara nyata paling tinggi menghasilkan persentase anakan produktif (97.65%), persentase
gabah isi per rumpun (55.65%), dan berat 1000 gabah (29.98 gr). Hal tersebut diduga berkontribusi pada
berat gabah kering panen (GKP) tertinggi yaitu 4.48 t/ha. Berat GKP selanjutnya diikuti oleh Inpari 32,
Inpari 39, dan Inpari 33 sebesar 4.30 t/ha, 4.12 t/ha, dan 3.27 t/ha secara berturut-turut.
PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu lumbung padi nasional dengan total luas
panen pada tahun 2016 mencapai 433.712 ha dan produksi sebesar 2,12 juta ton. Sebanyak 212.526 ton
produksi beras tersebut merupakan kontribusi dari lahan non-irigasi yang sebagain besar merupakan
lahan tadah hujan. Luas panen padi di lahan tadah hujan di NTB cenderung meningkat yaitu dari
25.197 ha pada tahun 1997, mejadi 42.435 Ha di tahun 2007, kemudian menjadi 62.108 ha di tahun
2016 (BPS, 2016). Luas lahan dengan teknik budidaya padi serupa mencapai 40 juta ha, atau sekitar
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 89
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
28% dari total luas areal penanaman padi global, dan menyumbang sekitar 18% produksi beras dunia
(Pandey et al, 2002).
Provinsi NTB dikenal juga sebagai Bumi Gora, hal tersebut disebabkan karena teknik budidaya
padi dengan sistem gogo rancah (gora) yang diperkenalkan sekitar tahun 1980 - 1981 telah berhasil
mengantarkan NTB berswasembada pangan. Sistem gora sudah mulai tercatat sejak 1905 pada
sebagian wilayah Jawa dan Madura, namun penelitian untuk memperbaiki teknologinya mulai
banyak dilakukan pada tahun 1922 – 1927 (Fagi dan Kartaatmadja, 2002). Kesuksesan gora
membudaya dalam masyarakat NTB dan masih banyak dipraktikkan terutama di lahan tadah hujan
dan lahan irigasi di daerah hilir yang kadang tidak mendapat air irigasi di tahun-tahun El-nino kuat.
Dibandingkan dengan metode pelumpuran pada olah tanah sempurna di lahan irigasi, sistem gora
lebih ramah lingkungan karena hanya dilakukan pengolahaan tanah minimum, bahkan tanpa olah
tanah. Sistem gora lebih efisien menggunakan air karena padi tumbuh pada kondisi tanah tidak jenuh
air/tergenang (Kato and Katsura, 2014). Dalam sistem gora, benih kering langsung ditugal pada lahan
yang sudah dibersihkan akan tumbuh 5-7 hari setelah tanam apabila curah hujan memadai. Selain
menghemat waktu, sistem gora lebih hemat tenaga kerja untuk tanam dan pemeliharaan (Balingtan,
2013).
Kendala utama sistem gora adalah ketersediaan air yang sangat tergantung pada curah hujan.
Selain curah hujan, topograpi dan kesuburan tanah tanah juga mempengaruhi hasil gabah dan
pemilihan varietas (Wade et al, 1999). Oleh karena itu, penentuan waktu tanam merupakan faktor
yang sangat menentukan. Sebagain besar masyarakat di lokasi pengkajian masih menggunakan
kearifan lokal berupa kalender sasak/warige untuk menentukan waktu tanam. Namun perubahan
iklim global telah mengakibatkan pergeseran pola hujan. Selain berkurangnya beberapa indikator
alami untuk menentukan waktu tanam, ketertarikan petani muda untuk mempelajari warige juga
semakin berkurang. Sehingga pada beberapa kasus, kesalahan penentuan waktu tanam dapat menjadi
penyebab gagal panen, bahkan gagal tumbuh, sehingga benih harus di tugal ulang.
Selain ancaman kekeringan, curah hujan yang berlebih pada periode tertentu juga dapat
mengakibatkan banjir karena air tertahan cukup lama dalam lahan yang dikelilingi pematang.
Mahrup et al (2005) juga melaporkan bahwa wilayah Lombok Selatan yang didominasi tanah vertisol
sering kali mengalami bajir akibat tingginya intensitas hujan pada musim hujan yang singat. Gulma
dan serangan hama penyakit di lahan tadah hujan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
sawah. Jenis gulma dominan antara lain Cyperus difformis, F. littoralis, Paspalum distichum, E. colona,
and Alternanthera sp. (Pane et al, 1995)
Strategi untuk meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan adalah dengan pemilihan
kombinasi VUB pada lingkungan yang tepat dan manajemen budidaya yang baik (Stephan et al,
2016). Selain 11 varietas inbrida padi gogo (inpago), terdapat beberapa varietas inbrida padi sawah
irigasi seperti Inpari 38, Inpari 39, Inpari 40, dan Inpari 41 yang merupakan inpari tadah hujan agritan
yang telah dilepas Badan Litbang Pertanian (Wahab et al, 2017). Jumlah VUB amphibi tersebut masih
sedikit dibandingkan dengan VUB padi sawah inbrida yang sudah mencapai 114 varietas (Sembiring,
2010). Hal tersebut menyebabkan ketersediaanya di tingkat petani juga rendah, sehingga petani di
lahan tadah hujan akan menanam varietas yang mudah mudah tersedia, termasuk varietas yang tidak
diperuntukkan untuk lahan tadah hujan.
Untuk itu perlu dikaji daya adaptasi beberapa VUB inpari sebagai alternatif varietas bagi petani
yang masih menerapkan sistem gora di NTB. Umumnya VUB mudah diadopsi petani karena
peningkatan produksi dapat langsung dirasakan dengan tambahan biaya yang relatif murah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil beberapa VUB sebagai indikasi
kemampuan adaptasinya dalam budidaya padi sistem gogo rancah di lahan tadah hujan.
Pengamatan komponen pertumbuhan dan hasil tanaman dilakukan pada sampel 5 rumpun
tanaman yang diambil secara acak dari setiap petak, yaitu meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan,
persentase anakan produktif, panjang malai, berat kering biomas, jumlah gabah/rumpun, persentase
gabah isi, berat kering gabah/rumpun, berat kering gabah isi/rumpun, berat 1000 gabah isi.
Sedangkan produksi berupa berat gabah kering giling (GKP) didasarkan pada produksi real setiap
petak. Data yang terkumpul dianalisi secara deskriptif dan analisis ragam menggunakan analysis of
variance dalam program Statistic for Agriculture Reseach (STAR) versi 2.1.1, dilanjutkan dengan uji
LSD dan Duncan test pada taraf 5% untuk perlakuan yang berbeda nyata (STAR, 2014).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 91
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah di Desa Segala Anyar, Kecamatan Pujut, Kabupaten
Lombok Tengah, NTB pada MH I 2016/2017
Pertumbuhan tanaman
Hasil analisis ragam terhadap beberapa parameter pertumbuhan ditampilkan dalam Tabel 3.
Tanaman tumbuh sesuai dengan potensi genetik masing-masing. Parameter persentase anakan
produktif tertinggi yang dihasilkan oleh Inpari 39 sebesar 97.65, dan tidak berbeda nyata dengan
Inpari 33 dan Inpari 41. Sedangkan Inpari 32 menghasilkan anakan produktif terendah.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa semua varietas tumbuh lebih tinggi daripada deskripsi
potensinya (Tabel 1). Apabila dibandingkan dengan potensi tinggi tanaman, maka terjadi
penambahan tinggi sebesar 12 cm untuk Inpari 32, 14.8 cm untuk Inpari 33, 10.6 cm untuk Inpari 39,
dan 17.4 cm untuk Inpari 41. Sebaran rata-rata data jumlah anakan produktif dalam Gambar 2a
memperlihatkan Inpari 39 dan Inpari 41 merupakan VUB lahan tadah hujan yang stabil dalam
pertumbuhannya.
Parameter tinggi tanaman tidak menentukan hasil gabah. Dalam sistem gora terjadi perubahan
radikal dalam pertumbuhan tanaman akibat berubahnya regim air tanah dari kering menjadi basah
terutama 5-6 minggu setelah tumbuh. Menurut Kato dan Okami (2001) diperlukan modifikasi sistem
perakaran padi yang adaptif terhadap perubahan kondisi aerobik di lahan tadah hujan. Sistem
perakaran kering berupa perakaran serabut yang tumbuh menyebar terbentuk pada kondisi tanah
aerobik, kemudian perakaran kering tersebut mati dan digantikan sistem perakaran anaerobik apabila
tanah tergenang. Pada kondisi tersebut, pertumbuhan terhenti dan daun menjadi kekuningan
(Giessen, 1942).
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan, persentase anakan produktif, dan berat kering biomas
beberapa varietas padi dalam sistem budidaya gogo rancah di lahan tadah hujan Kabupaten
Lombok Tengah, MH 2016/2017
Gambar 2. Persentase anakan produktif (a) dan bobot 1000 gabah isi (b) beberapa VUB dalam sistem budidaya
gogo rancah di lahan tadah hujan Kabupaten Lombok Tengah, MH 2016/2017
Gambar 3. Rata-rata produksi dan selisih Semua varietas menunjukkan penurunan hasil GKP
produksi beberapa VUB dalam sistem bila ditanam dengan sistem gogo rancah di lahan tadah
budidaya gogo rancah di lahan tadah hujan (Gambar 3). Dibandingkan dengan data rata-rata
hujan Kabupaten Lombok Tengah, MH
hasil GKP dalam Tabel 1, maka penurunan GKP
2016/2017
tertinggi terjadi pada Inpari 33 sebesar 50.6% (dari 6.6
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 93
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menjadi 3,26 t/ha) , diikuti oleh Inpari 32 sebesar 31.7% (dari 6.3 menjadi 4.3 t/ha), kemudian Inpari 39
sebesar 30.1% (dari 5.89 mejadi 4.12 t/ha), dan selisih GKP terendah pada Inpari 41 sebesar 19.9% (dari
5.57 menjadi 4.46 t/ha). Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Fagi et al (2002) yang
menyatakan bahwa penggunaan VUB pada sistem gora menghasilkan produksi berkisar antara 4 – 6.1
t/ha, sedangkan penggunaan varietas lokal hanya menghasilkan 1.8-3.1 t/ha. Diduga fluktuasi
ketersediaan air menyebabkan penurunan produksi tersebut. Kekeringan dapat menurunkan
produksi antar 1.26 – 4.75 t/ha dari potensinya sebesar 7.48 t/ha (Kumar et al, 2016)
Inpari 41 menunjukkan daya adapatasi yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lainnya. Hal
tersebut mungkin disebabkan karena Inpari 41 merupakan keturanan dari beberapa varietas amphibi
seperti Limboto, Towuti dan Ciherang sebagai tetua asal. Sedangkan Inpari 32 merupakan turunan
dari Ciherang dan IRBB64 yang dirancang tahan penyakit kresek atau penyakit hawar daun bakteri
(Xanthomonas oryzae). Asal seleksi dari Inpari 33 adalah BP360E-MR-79- PN-2/IR71218-38-4-
3//BP360E-MR-79-PN-2. Inpari 33 merupakan penyempurnaan dari Inpari 13 yang lebih tahan
terhadap hama wereng coklat baik biotip 1,2,3 dan 4 (Majalah Sains Indonesia, 2014). Asal Inpari 39
adalah BP342B-MR-1-3/Dendang//IR69502-6SKM-UB (Wahab et al, 2017)
KESIMPULAN
Rata-rata hasil GKP VUB yang dikaji lebi rendah dari rata-rata potensinya. Penurunan GKP Inpari
41 sebesar 19.9% (4.46 t/ha GKP), Inpari 39 sebesar 41, 30.1% (4.12 t/ha GKP), Inpari 32 sebesar 39,
31.7% (4.3 t/ha GKP), dan Inpari 33 sebesar 50.6% (3.26 t/ha GKP). Dengan demikian Inpari 41
merupakan varietas yang paling adaptif di tanam dalam sistem gogo rancah di lahan tadah hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Balingtan, 2013. Sistem budidaya padi gogo rancah di daerah tadah hujan dan lahan kering. Diakses
pada tanggal 9 September 2017 di http://balingtan. litbang. pertanian.go.id/ind/
index.php/berita/173-sistem-budidaya-padi-gogo-rancah-di-daerah-tadah-hujan-dan-lahan-krg
BPS. 2016. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi NTB.
Fagi, A.M and S. Kartaatmadja, 2002. Gogorancah rice in Indonesia: a traditional method in the modern
era. Proceedings of the International Workshop on Direct Seeding in Asia Rice System: Strategic
Research Issues oand Opportunities, 25-28 January 2000, Bangkok, Thailand. 47h.
FOA, 2015. Conservation agriculture. Diakses pada tanggal 11 September 2017 di
http://www.fao.org/ag/ca/
Giessen C van der. 1942. Gogorancah method of rice cultivation. Contribution No. 11. Chuo Noozi
Sikenzyoo, Bogor, 1-6h.
Haefele, S.M., Y. Kato, and S. Singh. 2016. Climate ready rice: augmenting drought tolerance with best
management practices. Field Crop Res. http://dx.doi.org/10.1016/j.fcr.2016.02.001
Kato, Y. and Okami, M., 2010. Root growth dynamics and stomatal behaviour of rice(Oryza sativa L.)
grown under aerobic and flooded conditions. Field Crops Res.117, 9–17p.
Kato, Y. And K. Katsura. 2014. Rice adaptation to aerobic soils: physiological consideration and
implication for agronomy. Plant Prod. Sci. 17(1).1-12h.
Kumar, S. S.K Dwivedi, V. Prakash, K.K. Rao, S.K. Samal, J.S. Mishra, and A. Kumar. 2016. Rice
breeding for drought tolerance under the changing climate scenario. Springer Sciece. DOI
10.1007/978-981-10-2558-7_22
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 95
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
96 | Teknologi Pertanian
PENGGEMUKAN SAPI DENGAN MEMANFAATAN LIMBAH
RUMAH POTONG HEWAN DI KABUPATEN MAROS
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Matheus Sariubang*), Novia Qomariyah*), Andi Nurhayu*) dan Serli Anas **)
ABSTRACT
This study conducted in the city of Makassar, while fattening activities in Maros, South Sulawesi. Concentrate feed
formula slaughterhouse waste that contains PK composed of 14.13% with the following composition: paunch (60%);
blood meal (5%); bone meal (2%); coconut cake (10%) and rice bran (23%). Studies using Bali cattle as many as 16
heads were divided into 4 treatments with 4 replicates ie: Treatment T1: control; Treatment T2: 25% concentrate
formula abattoir waste + 75% grass; Treatment T3: 50% concentrate formula abattoir waste + 50% grass; T4
treatment: 75% concentrate formula abattoir waste + 25% grass. Collected data includes: feed intake, protein intake,
weight gain, feed conversion, feed cost per gain, and the economic feasibility analysis. Data were analyzed ANOVA, if
significantly different to do a further test of Duncan. Slaughterhouse waste utilization as feed concentrates can
increase the value to feed and show better growth in Bali cattle fattening. Concentrate feed based slaughterhouse waste
can improve feed intake and average daily gain. Concentrate feed based slaughterhouse waste can be given to the level
of 75 % to increase body weight Bali cattle fattening.
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar KP Gowa, dan penggemukan di Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan. Penelitian ini menggunakan sapi Bali sebanyak 16 ekor dibagi dalam 4 perlakuan dengan 4
ulangan yaitu : Perlakuan P1: kontrol; Perlakuan P2: 25% konsentrat formula limbah RPH+75% rumput;
Perlakuan P3:50% konsentrat formula limbah RPH+50% rumput; Perlakuan P4: 75% konsentrat formula
limbah RPH+25% rumput. Data yang dikumpulkan meliputi : konsumsi pakan, konsumsi protein,
pertambahan berat badan, konversi pakan, feed cost per gain, dan analisa kelayakan ekonomi. Data yang
diperoleh dianalisis ANOVA, jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan. Pemanfaatan limbah RPH
sebagai pakan konsentrat mampu meningkatkan nilai guna pakan dan menunjukkan pertumbuhan yang
lebih baik pada sapi Bali penggemukan. Pemberian konsentrat formula berbasis limbah RPH mampu
meningkatkan konsumsi pakan dan PBBH. Pakan konsentrat formula berbasis limbah RPH dapat
diberikan sampai dengan level 75% untuk meningkatkan bobot badan sapi Bali penggemukan.
PENDAHULUAN
Pakan adalah komponen biaya yang paling besar dalam usaha peternakan, yaitu mencapai 60-70%
dari total biaya produksi. Ketersediaan pakan yang kontinu sepanjang tahun, murah, dan bernilai gizi
tinggi sangat diperlukan dalam menunjang usaha peternakan terutama sapi potong guna mendukung
program kemandirian pangan hewani.
Salah satu sumber pakan yang belum banyak dimanfaatkan adalah limbah peternakan/by product.
Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang tidak dipergunakan kembali dari hasil aktivitas
manusia, ataupun proses-proses alam yang belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan mempunyai
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 97
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
nilai ekonomi yang sangat kecil. Dikatakan mempunyai nilai ekonomi yang sangat kecil karena
limbah dapat mencemari lingkungan dan penanganannya memerlukan biaya yang cukup besar.
Pemanfaatan limbah peternakan merupakan salah satu alternatif untuk menaikkan nilai ekonomi
limbah tersebut.
Salah satu limbah peternakan yang tersedia sepanjang tahun adalah limbah yang berasal dari
Rumah Potong Hewan (RPH). Seekor sapi yang dipotong dapat menghasilkan sisa pakan sebesar 5-7
kg/ekor; kotoran 7,5-10 kg, darah 15-20 liter/ekor, isi rumen 25-35 kg/ekor, isi intestinal dan intestinal
mucus 10-15 kg/ekor (Baller et al, 1982) serta jumlah limbah tulang mencapai 16,6% dari total berat
badan hidup (Widayati dan Suawa, 2007). Setiap hari RPH Tamangapa dan RPH lainnya di Kota
Makassar dapat menyembelih sapi 200 ekor (Hasil diskusi bersama Puslitbangnak dan SKPD lingkup
Peternakan Sul-Sel, 2015). Limbah yang dihasilkan berupa sisa pakan, darah, tulang dan isi rumen
belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan. Padahal limbah RPH dapat diolah menjadi bahan
baku konsentrat murah untuk penggemukan sapi Bali dengan menambahkan sumber serat (dedak,
tongkol jagung, kulit kacang, tumpi jagung dan limbah sayuran) serta sumber energi/lemak (bungkil
kelapa dan jagung). Teknologi pembuatan konsentrat murah telah banyak diteliti di Lolit Sapi Potong
yang dikenal dengan teknologi pakan lengkap (feed complete).
Disatu sisi Sulawesi Selatan pada tahun 1900-an merupakan salah satu sentra produksi ternak
potong atau lumbung ternak sapi potong yang terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan data BPS Sulawesi Selatan tahun 2015 menyebutkan bahwa populasi sapi potong
mencapai 984.036 ekor yang tersebar pada 24 kabupaten/kota sentra pengembangan sapi.
Perdagangan sapi antarpulau masih terus berlangsung, terutama untuk memasok daging kebutuhan
masyarakat di kawasan timur Indonesia seperti Kalimantan, Maluku, Papua, Gorontalo dan Sulawesi
Utara. Berdasarkan data pengeluaran sapi tercatat pada tahun 2012 sapi yang diantarpulaukan
sebesar 11.124 ekor, meningkat sebesar 44% dari tahun sebelumnya yang hanya 6.264 ekor (Ditjenak,
2014).
Peningkatan angka pengeluaran ternak antar pulau disebabkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya protein hewani bagi pertumbuhan menyebabkan permintaannya semakin meningkat dari
tahun ke tahun, oleh karena impor sapi tidak bisa dibendung volumenya semakin meningkat
akibatnya dapat menguras devisa Negara. Selain itu dukungan pakan murah berbasis limbah
peternakan diharapkan mampu mengurangi kelangkaan pakan pada musim kemarau. Dukungan
penyediaan pakan yang murah melalui pemanfaatan limbah RPH sebagai pakan ternak mendukung
program penggemukan sapi diharapkan mampu memecahkan solusi kesulitan pakan dimusim
kemarau sekaligus mendukung penyediaan daging bagi masyarakat di Sulawesi Selatan. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui level terbaik pemberikan pakan berbasis limbah RPH untuk sapi
penggemukan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar KP Gowa, sedangkan kegiatan penggemukan di
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari 16 ekor sapi jantan
Bali umur kurang dari 2,5 tahun dan kandang individual yang terbuat dari kayu dilengkapi tempat
pakan dan air minum. Sebelum penelitian, kandang disanitasi dengan formalin 2%. Konsentrat
formula limbah RPH yang disusun memiliki kandungan PK sebesar 14,13% dengan susunan sebagai
berikut : isi rumen (60%); tepung darah (5%); tepung tulang (2%); bungkil kelapa (10%) dan dedak
padi (23%). Formula ransum disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi sapi jantan penggemukan, yaitu
protein kasar (PK) 16% (NRC, 2000).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4
kelompok ternak, dengan perlakuan masing-masing sebagai berikut:
Perlakuan P1: kontrol
Perlakuan P2: 25% konsentrat formula limbah RPH+75% rumput
Perlakuan P3: 50% konsentrat formula limbah RPH+50% rumput
Perlakuan P4: 75% konsentrat formula limbah RPH+25% rumput
Berikut pada Tabel 2 disajikan kandungan nutrisi berbagai limbah RPH yang digunakan dalam
penelitian.
Tabel 2. Hasil analisa proksimat limbah RPH
Pengumpulan Data
Kegiatan koleksi data dilakukan setiap minggu meliputi (1) penimbangan bobot badan sapi (2)
pencatatan tingkat konsumsi pakan. Data yang diperoleh dianalisis ANOVA, jika berbeda nyata
dilakukan uji lanjut Duncan (Stell dan Torrie, 1980). Peubah yang diamati konsumsi pakan,
pertambahan bobot badan harian, dan Income Over Feed Cost (Bailey et al., 2009)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 99
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
bobot badannya. Pemberian konsentrat dan rumput gajah pada usaha penggemukan dapat
memperpendek waktu penggemukan yaitu 4 bulan yang tadinya dengan pemberian jerami padi 6 –
12 bulan. Data tingkat konsumsi pakan disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Data Konsumsi Pakan selama Pemeliharaan
Perlakuan
Parameter
P1 P2 P3 P4
Total Konsumsi Pakan (kg/e):
Konsentrat 660 646.4 1314.7 2085.8
Hijauan 4240 1939.2 1314.7 695.3
Rata-rata Konsumsi Pakan (kg/e/h) : 6.2 6.1 12.4 19.7
Konsentrat Hijauan 40 18.3 12.4 6.6
Sumber : Data Primer yang diolah (2016)
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap
konsumsi pakan baik hijauan maupun konsentrat. Sementara pengelompokkan ternak berpengaruh
nyata (P< 0.05) terhadap konsumsi hijauan namun tidak pada konsumsi konsentrat. Adapun rata-rata
konsumsi hijauan dan konsentrat selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 3.
Dari data diatas tampak bahwa tingkat konsumsi
pakan konsentrat semakin tinggi dengan
peningkatan level pemberiannya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pakan berbasis konsentrat
formula limbah RPH sangat palatabel dikonsumsi
ternak sapi. Peningkatan konsumsi pakan yang
diberikan sangat berpengaruh terhadap pasokan
nutrien yang dibutuhkan, baik untuk hidup pokok
maupun pertumbuhan.
Parameter Perlakuan
P1 P2 P3 P4
PBBH (g/e/hr) 253 310 393 463
Biaya Pakan (Rp/e/hr) 5750.00 3811.40 4651.16 6918.39
IOFC (Rp/e/h) 4391.51 8594.26 11103.56 12798.52
Keterangan : Harga Pakan hijauan Rp. 500/kg; pakan konsentrat berbasis limbah RPH Rp. 1.000/kg; harga dedak padi Rp. 1.500/kg ;
harga eceran sapi ditingkat petani Rp. 40.000/kg
IOFC merupakan analisis pendapatan dengan cara menghitung harga eceran sapi hidup ditingkat
petani dikalikan dengan pertambahan bobot badannya dikurangi dengan jumlah biaya pakan harian
yang dikeluarkan. Faktor yang mempengaruhi IOFC pada sapi penggemukan adalah pertambahan
bobot badan yang dihasilkan, pakan yang dikonsumsi serta biaya pakan itu sendiri.
Sapi penggemukan menghasilkan kenaikan bobot badan sebagai produk utamanya sehingga
dengan adanya penambahan pakan konsentrat berbasis limbah RPH diharapkan pencapaian bobot
badan ideal untuk dijual lebih cepat. Berdasarkan analisis ragam menunjukkan perlakuan
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai IOFC, semakin tinggi level pemberian konsentrat formula
berbasis limbah RPH semakin tinggi nilai IOFC. Sementara pengelompokkan ternak tidak
berpengaruh nyata (P> 0.05) terhadap nilai IOFC.
Pendapatan diperoleh dari pendekatan pertambahan bobot badan selama penelitian dengan harga
jual eceran sapi di tingkat petani, sedangkan pengeluaran diperoleh dari biaya pakan selama
pemeliharaan. Penambahan konsentrat formula berbasis limbah RPH sampai 75% menghasilkan nilai
IOFC paling tinggi dari perlakuan lain. Hal ini dikarenakan pertambahan bobot badan yang tinggi
dan nilai efisiensi pakan yang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian konsentrat. Ditambahkan
oleh Thiruvenkadan et al. (2011) bahwa efisiensi pertumbuhan diukur dari kenaikan berat badan per
kg berat awal dan akan menurun dengan bertambahnya usia.
KESIMPULAN
Pemanfaatan limbah RPH sebagai pakan konsentrat mampu meningkatkan nilai guna pakan dan
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik pada sapi Bali penggemukan. Pemberian pakan
konsentrat berbasis limbah RPH mampu meningkatkan konsumsi pakan dan PBBH. Pakan konsentrat
berbasis limbah RPH dapat diberikan sampai dengan level 75% untuk meningkatkan bobot badan
sapi Bali penggemukan. Perlu adanya sosialisasi ke masyarakat akan pentingnya memanfaatkan
limbah RPH. Dimana nantinya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia, sehingga biaya
pakan konsentrat bisa ditekan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat pada penelitian yang
didanai oleh Badan Litbang Pertanian melalui kegiatan KKP3SL TA 2017.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 101
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
DAFTAR PUSTAKA
Baller, G., U. Bethke and H.J. Wiemer. 1982. The situation regarding the possibilities of waste
utilization in the fodd industry “Gurkle III”. Research report 10301309703 Part I, Schlachthoefe,
on behalf of The Federal Enviroment Bureau.
Bailey, K., T. Beck, E. Cowan and V. Ishler. 2009. Dairy Risk – Management Education: Managing
Income Over Feed Costs. Agricultural Communications and Marketing, The Pennsylvania State
University, PA, USA.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
National Research Council. 2000. Nutrient Requirements of Beef Cattle. 7th Revised Edition.
Washington DC (US): National Academy Press.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics Second Edition. New York (US):
McGraw-Hill.
Thiruvenkadan AK, Karunanithi K, Muralidharan J, Narendra BR. 2011. Genetic analysis of pre-
weaning and post-weaning growth traits of mecheri sheep under dry land farming conditions.
Asian-Australasian Journal of Animal Sciences
24(8):1041-1047.doi:10.5713/ajas.2011.10361.
Utomo R, Soejono M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta (ID): Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Widayati, T.W. dan I. Sumpe. 2005. Analisa Sistem Agribisnis Sapi Potong di Propinsi Irian Jaya Barat.
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua.
ABSTRACT
Potential of umbi gadung (Dioscoea sp) as a friendly enviromental bioinsecticide. One of the problems faced in crop
cultivation is the presence of pests or diseases on plants. Severe attacks can result in plant death and even to the loss of
yield. Therefore it is necessary to take control. To overcome these problems, one alternative that can be done is to use
perticides derived from plants or so-called bioinsecticides. The use of bioinsecticides can reduce enviromental pollution
and the cost are relatively cheaper when compared to chemical pesticides. One type of plant that can be used as a
bioinsecticides is yamtubers (Dioscorea sp). Cassava tubers have chemical compounds such as cyanogenic glocosides
which can be toxic because they can be hydrolyzed to form cyanide acid which has the potenial to cause metabolic
disorders in insects. Gadung tuber extract has the potential to be effective in controlling pests caterpilar pests, rat
pests, aphids, grayak caterpillars and pest
ABSTRAK
Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya tanaman adalah adanya serangan hama atau penyakit
pada tanaman. Serangan yang berat dapat mengakibatkan kematian tanaman dan bahkan sampai
kehilangan hasil. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pengendalian. Untuk mengatasi masalah
tersebut salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan pestisida yang berasal
dari tumbuhan atau yang disebut bioinsektisida. Pemanfaatan bioinsektisida dapat mengurangi
pencemaran lingkungan, dan biayanya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan pestisida kimia.
Salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida adalah umbi gadung
(Dioscorea sp). Umbi gadung memiliki senyawa kimia seperti Glokosida sianogenik dapat bersifat
toksik karena dapat terhidrolisis sehingga terbentuk asam sianida yang berpotensi menimbulkan
gangguan metabolisme pada serangga. Ekstrak umbi gadung berpotensi efektif untuk mengendalikan
hama ulat kantong, hama tikus, Aphids, ulat grayak dan hama walang sangit
Kata kunci : Umbi gadung, Bioinsektisida, Hama
PENDAHULUAN
Petani lebih banyak menggunakan insektisida sintesis untuk mengendalikan hama ulat grayak.
Pengendalian hama menggunakan insektisida sintesis dihadapkan pada masakah harga, insektisida
yang mahal dan pencemaran lingkungan (Indiati, 2012). Dengan biaya yang tinggi, organisme yang
tumbuh juga bukan saasaran, terjadi pencemaran lingkungan, keracunann pada manusia dan
meninggalkan sisa hasil pestisida pada hasil pertanian (Sari, Supriyatdi dan Hamdani, 2013).
Untuk mengurangi dampak negatif pencemaran lingkungan teknologi pengendalian hama yag
bisa dilakukan adalah dengan pemanfaatan insektisida nabati yang berasal dari ekstra tanaman yang
berguna untuk mengendalikan hama (Thaher, Hamdani dan Supriyatdi, 2013).
Penggunaan insektisida yang berlebih dapat menimbulkan efek negatif terhadap petani maupun
lingkungan seperti musnahnya serangga berguna (parasitoid, predator dan penyerbuk) dan
munculnya gejala resurgensi dan resistensi hama terhadap insektisida juga dapat mengurangi
kualititas makanan (Lau et all 2003). Penerapan PHT bertujuan untk menekan dampak negatif
pemakaian pestisida sistesis, hal ini sejalan dengan tujuan pemakaian pestisida nabati yang ramah
lingkungan (Sukorini 2006).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 103
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Di Indonesia banyak terdapat jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati
diantaranya umbi gadung, babadotan dan biji jarak (Kardinan 2004). Penggunaan pestisida oleh
petani berdampak negatif pada beberapa aspek, seperti lahan pertanian, perikanan, flora dan fauna,
bahkan meningkatnya mortalitas manusia yang terpapar oleh pestisida tersebut (Wilson and Tisdell,
2001).
Penggunaan yang berlebihan menyebabkan resistensi terhadap hama itu sendiri. Salah satu
alternatif dalam pengendalian penggunaan hama adalah penggunaan biopestisida, yang bertujuan
untuk mengurangi kepadatan populasi (Aziz, 2014). Mengingat hal tersebut maka pilihan yang baik
saat ini adalah dengan menggunakan bioinsektisida. Bioinsektisida merupaka jenis pestisida yang
terbuat dari bahan alami atau makhluk hidup untuk mengontrol hama tanaman, seperti serangga
(Chandler et al., 2011).
Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bioinsektisida adalah gadung (Discorea
hispida L.). Gadung mengandung racun berupa senyawa HCN (asam sianida), dioscorin dan histamin
yang berpotensi menimbulkan gangguan syaraf, hingga menyebabkan kematian (Bhandari and
Kawabata, 2005). Pestisida nabati merupakan salah satu sarana pengendalian hama alternatif yang
layak dikembangkan karen senyawa pestisda dari tumbuhan mudah terurai di lingkungan dan relatif
terhadap makhluk bukan sasaran (Martono 2004). Pestisida nabati termasuk pestisida ramah
lingkungan dan cenderung memiliki dampak negatif yang kecil. Pestisida ini berbahan aktif tunggal
atau majemuk dapat berfungsi sebagai penolak, pembunuh (Susetio dkk 2008). Penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui potensi umbi gadung (Dioscore sp) sebagai bioinsektisida yang ramah
lingkungan.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 105
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Menurut Utami dan Haneda 2012 bahwa senyawa aktif yang terkadung di dalam umbi gadung.
Mempunyai efek menurunkan kemampuan dalam mencerna makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. Pernyataan tersebut didukung Rhomadhon (2013) mengemukakan bahwa tumbuhan
yang mengandung senyawwa dioscorin dapat digunakan sebagai insektisida nabati yang memiliki
efek tidak disukai ulat grayak sehingga lebih efektif untuk mengendalikan hama ulat dengan rasanya
yang pahit maka tingkat konsumsi pakan ulat grayak akan menurun. Dan apabila terganggu maka
ulat grayak kehilangan energi lama-kelamaan ulat mati (Ningsih 2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmantho dkk 2019 menyatakan bahwa
pemberian kombinasi ekstrak umbi gadung dan ekstrak buah maja berpengaruh ada tingkat
mortalitas ulat grayak. Menurut Waluo 2014, konsentrasi terbaik dalam mematikan mencit pada
pemberian umbi gadung konsentrasi 30% karena pada konsentrasi tersebut merupakan waktu yang
paling tepat dalam mematikan mencit putih. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Irawan
dkk 2016 menyatakan bahwa konsentrasi 25% larutan umbi gadung adalah perlakuan yang paling
baik dalam mematikan mencit putih jantan pada jenis umpan beras. Dengan waktu kematian mencit
putih jantan tercepat 246 jam.
Menurut Waluyo 2014, mencit putih yang telah mengkonsumsi pelet umbi gadung setelah aplikasi
umpan terlihat lesuh, lemah, serta kehilangan nafsu makan jari kaki dan ekor berwarna pucat,
mengeluarkan air mata, kedua kaki belakang lumpuh, kejang-kejang, mengeluarkan darah pada
bagian mulutnya dan akhirnya mati. Kematian mencit putih jantan dikarenakan adanya kandungan
racun dalam umbi gadung. Menurut Heyna 1993, at sari umbi gadung yaitu Dioscorine mempunyai
pembangkit kejang apabila dimakan oleh hewan. Umbi gadung memiliki kandungan 0,2 – 0,7%
diosegenin, 2,34% dioscorine dan diosecinin 0,04% yang menyebabkan kelumpuhan sistem syaraf dan
akhirnya mati. Berdasarkan penelitian dari Yustisia 2017 menyatakan pemberian makanan tikus
dengan ekstrak umbi gadung memberikan mortalitas tikus hasil yang terbaik (36,67%). Berdasarkan
hasil penelitian dari Rahmawati dan Widyanto menyatakan bahwa ada pengaruh penggunaan
berbagai dosis umbi gadung terhadap kematian tikus mencit putih. Dosis umbi gadung 750 gr
merupakan dosis yang menyebabkan kematian tikus dengan jumlah kematian terbanyak yaitu tiga
ekor, sedangkan dosis 500 gr menyebabkan kematian satu ekor mencit putih dan dosis 250 gr tidak
menyebabkan kematian.
Dosis 750 gr merupakan dosis yang paling efektif untuk membunuh tikus mencit putih setelah
adanya perlakuan 48 jam. Kardinan 2005 melaporkan bahwa umbi gadung dapat dipakai sebagai
rodentisida dengan mencampur dalam umpan yang berupa pakan untuk tikus. Dari penelitian yang
dilaksanakan oleh Butarbutar dkk 2013 menyatakan bahwa perlakuan larutan umbi gadung dengan
dosis 120 gr per liter air adalah yang paling efektif dengan persentasi kerusakan terendah (35,40%),
persentase mortalitas larva tertinggi (88,33%) dan persentase produksi tanaman tertinggi 11,22 gr per
plot. Menurut penelitian Utomo dkk (2017) insektisida nabati campuran akar tuba dan umbi gadung
sangat berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva spodotera. Perlakuan insektisida nabati umbi
gadung sebesar 58,14 ml per liter dapat membunuh haa plutela silostela sebanyak 50% pada
konsentrasi umbi gadung nilai LC 50 sebesar 53,25 ml per liter dapat membunuh hama plutela
silustela sebesar 50%.
Cara Pembuatan Ekstrak umbi gadung
Pestisida nabati umbi gadung dibuat dengan menghaluskan umbi gadung 1 kg diblender dan
ditambahkan air 1 liter. Kemudian setelah dilakukan penghalusan dicampur dengan sabun colek atau
detergen. Kemudian larutan didiamkan selama 24 jam dan disaring menggunakan kain halus
insektisida siap digunakan.
KESIMPULAN
Tanaman umbi gadung mentah mengandung alkaloid yang dapat digunakan sebagai bahan racun
hewan sehingga dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Ekstrak umbi gadung dapat
mengendalikan hama ulat grayak, tikus mencit putih, walang sangit. Dari potensinya tersebut, umbi
gadung dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami yang ramah terhadap lingkungan, sehingga
penggunaan pestisida kimia pada tanaman dapat dikurangi
DAFTAR PUSTAKA
Afidah, R. Dkk. 2013. Pengaruh Kombinasi Filtrat Umbi Gadung, Daun Sirsak, Herba Anting – Anting
terhadap Mortalitas Larva Ordo Levidoptera. Jurnal Lentera Bio. 3(1), 45-49.
Arifin,M. 2011. Teknik Produksi dan Pemanfaatan Bioinsektisida NPV untuk Mengendalikan Ulat
Grayak dan Kedelai. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor.
Aziz IR 2018. Kemampuan tumbuh pseudomonas putida strain 071 pada medium diajinon. Jurnal
teknosain vol 8(1) 87-94.
Bhandari MR and Kawabata J. 2005. Bitterness and tosicity in wild yam (dioscorea spp) tubers of nepal.
Plant food for human nutrition vol 60 129-135
Butarbutar R. Tobing M.C.Tarigan M.U. 2013. Pengaruh beberapa jenis pestisida nabati untuk
mengendalikan ulat grayak spodoptera litura pada tanaman tembakau deli di lapangan. Jurnal
online agroegroteknologi vol 1 No. 4.
Chandeler, Bayley AS,Tachel GM, Davidson G,Greafes, Grant WP. 2011. The development regulation
and use o biopesticides for integrated pest managenent. Phil trans R Soc. B. Vol 366 1987-1998.
Departemen Pertanian, 2009. Pestisida Nabati. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jambi.
Djojosumanto P 2000. Teknik aplikasi pestisida pertanian Yogyakarta kanesius.
Handayani. S.W, Boesri. H. Dan Prianto. H. 2017. Potensi umbi gadung dan daun zodia sebagai
insektisida nabati. Media litbangkes, vol 27 No. 1 49-56.
Indiati, S,W 2013. Pengaruh insektisida nabati dan kimia terhadap hama trips dan hama kacang hujau.
Jurnal penelitian tanaman pangan 31(3) 152-157.
Kardinan A, 2004. Pestisida Nabati Ramuan Aplikasi. Penebar Swadaya .Jakarta
Laoh J., F. Puspita dan Hendra, 2003. Kerentanan Larva Spodoptera litura terhadap Virus Nuclear
Polihedrosis. Universsitas Riau Pekanbaru. J. Natur Indonesia 5(2) 145-151.
Mayasari E. Lestari F dan Harmoko. Pengaruh Ekstrak Umbi Gadung terhadap Mortalitas Ulat Grayak
pada Tanaman Kubis.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 107
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Mutiara, D dan Novalia, N. 2010. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Umbi Gadung terhadap Kematian Larva
Spodoptera litura. Jurnal Sainmatika, 7(2) 26-32.
Ningsih, T. U. Dkk. 2013. Pengaruh Kombinasi Filtrat Umbi Gadung, Daun Sirsak, Herba Anting –
Anting terhadap Mortalitas Larva Ordo Levidoptera. Jurnal Lentera Bio 2(1) 33-36.
Nirwana, 2012. Pemanfaatan Pestisida Nabati untuk Mengendalikan Organisme Pengganggu
Tanaman. http://burikanirwana/2011/02/15/Pemanfaatan Pestisida Nabati untuk
Mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman.
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Pambayun, R 2007. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung. Ardana Media Yogyakarta.
Rahmawati A dan Widyanto A, 2015. Pengaruh Berbagai Dosis Umbi Gandung Racun terhadap
Kematian Tikus Mencit Putih. Keslingmas vol.34 hal.124-223.
Romadhon, K.I. 2013. Pengaruh Ekstrak Umbi Gadung terhadap Pertumbuhan dan Serangan Hama
Kopi Skripsi : diterbitkan Gember Fakultas Pertanian Universitas Gember.
Rozi Z. F Febrianti, Y, Telaumbanua. Y 2018. Potensi sari pati gadung sebagai bioinsektisida tanaman
walang sangit pada tanaman padi (oryza sativa L) jurnal ilmiah biologi vol 6 No. 1 hal 18-22.
Safii I, Harijono dan E. Martati 2009. Detoksifikasi umbi gadung dengan pemanasan dan pengasaman
pada pembuatan tepung. Univ Brawijawa Malang.
Saleha S, Saidi N, Saipul, Murniana, Rasnopi, Iqbalsah TM. 2018. Nutritional composition of dioscorea
hispida from different location around leuser ecosistem area journal natural vol 18(1) 1-6.
Santi,S,R 2010. Seyawa Aktif Antimakan dari Umbi Gadung. Jurusan Kimia FMIPA Univ. Udayana
Bukit Jimbaran. Jurnal Kimia 4(1) 71-78.
Sari,A.L;Supriadi,D.dan Hamdani 2013. Pengaruh konsentrasi ekstrak biji ketepeng cina dan ekstrak
biji bengkuang pada mortalitas ulat grayak. Jurnal agroindustri perkebunan 1(2) 67-75.
Sukorini. H 2006. Pengaruh pestisida organik dan interval penyemptotan terhadap hama plutrlla
silostellapada budidaya kubis tanaman kubis organik. Gamma 2(1) 11-16.
Susetyo,T, Ruswandi dan E. Purwanti. Teknologi pengendalian organisme pengganggu tumbuhan
ramah lingkungan. Direktorat perlindungan tanaman pangan Jakarta.
Thaher, A.P;Hamdani dan Supriadi, D. 2013. Evikasi ekstrak daun mimba dan ekstrak daun ketepeng
cina pada ulat grayak. Jurnal agroindustri perkebunan 1(2) 95-104.
Tamrin,M,dkk. 2013. Tumbuhan Kirinyu sebagai Insektisida Nabati untuk Mengendalikan Ulat
Grayak Spodoptera litura. Jurnal Litbang Pertanian, 32(3) 112-121.
Utami, S, dan Haneda, N, F. 2012. Bioaktifitas Ekstrak Umbi Gadung dan Minyak Nyamplung sebagai
Pengendali Hama Ulat Kantong. Jurnal Penelitian Huta Tanaman 9(4) 209-218.
Utomo. I.S Hoesain. M, Jadmiko M W 2017. Uji efekktifitas akar tua dan umbi gadung terhadap
mortalitas dan perkembangan hama plutela xylostela L di laboratorium Gontor Agrotek
Science Journal vol 3 No. 1
Wilson C and Tisdel C. 2001. Why farmers continue to use pesticides despite enviromental health and
sustainablity cost ecological economy vol 39(3) 449-462.
Yutisia D dan Ismail, 2017 Efek Beberapa Ekstrak Tanaman Terhadap Hama Tikus Sawah. Jurnal
Agrominansia, 2(1 Juni 2017).
This study attempts to analyse the influence the compost organic fertilizers blotong cane for growth and the
production of a corn plant until now have not use and agricultural waste .Research was carried out in Villages
Pilobuhuta , Batudaa Sub district, and Laboratory Integrated Agricultural, Ichsan Gorontalo University, time
research last December until March 2019 .This study has been carried out by using the method a random group shelf
with 5 times tests and 3 treatment, treatment with p0: control /no treatment, p1: manure compost blotong / plant 200
gram dregs of cane exctract, p2: manure compost blotong /plant 250 grams of dregs of cane exctract, p3: manure
compost blotong/plant 300 gram dregs of cane exctract p4: fertilizer plant compost blotong dregs of cane exctract 350
grams / plant, at a distance of 40 and 60 cm x that extends from the north to the south. The provision of turned into
fertilizer kompos blotong of the sugar cane be conducted by way of i can lay them out in the vicinity of the rooting a
plant, is given before the planting and 1 mst, 2 mst, 3 mst, 4 mst , 5 mst, 6 mst, 7mst, 8 mst .Of the observation of
covers the issue among others high in plant , number of leaves , long the tunny , the weight of the tunny wet, the
weight of the tunny dry, this research result indicates that the provision of turned into fertilizer kompos blotong of the
sugar cane to exert an influence real especially to treatment p2 ( 250 the most ten grams of / a plant ) on high in plant,
number of leaves , the total weight of the wet the tunny and weigh as much as the tunny dry.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian pupuk organik kompos blotong tebu
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung yang selama ini tidak termanfaatkan dan menjadi
limbah pertanian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pilobuhuta, Kecamatan Batudaa, Kabupaten
Gorontalo dan Laboratorium Pertanian Terpadu Universitas Ichsan Gorontalo, Waktu Pelaksaanaan
penelitian berlangsung Desember sampai dengan Maret 2019. Penelitian ini telah dilaksanakan dengan
menggunakan metode rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, dengan
perlakuan P0 : Tanpa Perlakuan/Kontrol, P1: Pupuk kompos blotong ampas tebu 200gram/tanaman, P2:
Pupuk kompos blotong ampas tebu 250 gram/tanaman, P3: Pupuk kompos blotong ampas tebu
300gram/tanaman P4 : Pupuk kompos blotong ampas tebu 350 gram/tanaman, dengan jarak tanam 40 x 60
cm yang memanjang dari arah utara ke selatan. Pemberian kompos blotong tebu dilakukan dengan cara
disebar di sekitar perakaran tanaman, diberikan sebelum penanaman dan 1 MST, 2 MST, 3 MST, 4 MST, 5
MST, 6 MST, 7 MST, 8 MST. Pengamatan yang dilakukan terkait tinggi tanaman, jumlah daun, panjang
tongkol, Berat Tongkol Basah, Berat Tongkol Kering, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
kompos blotong tebu memberikan pengaruh nyata terutama untuk perlakuan P2 (250 gram/tanaman)
pada tinggi tanaman, jumlah daun, berat tongkol basah dan berat tongkol kering.
Kata Kunci : Organik, Ampas Blotong Tebu, Jagung (Zea mays L.)
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi
karena jagung merupakan salah satu komoditi serealia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Peranan jagung selain sebagai pangan dan pakan, sekarang banyak digunakan sebagai bahan baku
energi serta bahan baku industri lainnya yang kebutuhannya setiap tahun terus mengalami
peningkatan (Hermanto, dkk. 2009).
Upaya peningkatan produksi jagung masih perlu dilakukan melalui pemenuhan unsur hara
untuk kelangsungan hidup tanaman jagung. Unsur hara yang dibutuhkan tersebut terdiri dari
C,H,O,N,P, K, Ca, Mg, S, Fe, B, Cu, Zn, Mo, Mn,Cl, Si, Na, dan Co (Salisbury dan Ross,1992).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 109
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Beberapa unsur hara tersebut tersedia dari pelapukan batuan dalam tanah. Namun, kemampuan
tanah dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman sangat terbatas karena mikroorganisme yang
berperan dalam proses pelapukan tersebut jumlahnya berbeda antara jenis dan lapisan tanah satu
dengan lainnya. Pemenuhan unsur hara dengan penanganan budidaya yang tepat, salah satunya
adalah pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk kimia sintetis dan
pupuk organik (Utomo et al. 2016).
Menurut Prahasta (2009) pemupukan merupakan salah satu cara untuk menyediakan unsur hara
yang dibutuhkan oleh tanaman. Pemupukan dapat meningkatkan hasil panen jagung baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini disebabkan pemupukan dapat meningkatkan ketersediaan
unsur hara, kesehatan tanaman dan menekan perkembangan penyakit
Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan unsur hara pada tanaman yaitu
kompos blotong tebu. Kompos blotong tebu merupakan bahan buangan yang biasanya dibuang tanpa
pengelolaan lebih lanjut sehingga akan menimbulkan gangguan lingkungan dan bau yang tidak
sedap (Cahaya dan Dody, 2012).
Pada proses pengolahan tebu menjadi gula yang dilakukan di pabrik gula menghasilkan ampas
yang diperoleh dari proses penggilingan berkisar 32% dari total tebu yang diolah. Selama ini hampir
disetiap pabrik gula tebu menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler, campuran pakan ternak dan
sisanya dibakar atau dibuang (Hamawi, 2005).
Kompos blotong tebu yang dihasilkan dari proses pemerahan, baru sekitar 50% yang sudah
dimanfaatkan misalnya sebagai bahan bakar dalam proses produksi, namun selebihnya masih
menjadi limbah yang perlu penanganan lebih serius untuk diolah kembali.Salah satu alternatif
penanganan limbah padat adalah dengan mengubah limbah padat menjadi kompos. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Guntoro dkk, (2003) menyatakan bahwa ampas tebu kering
mengandung kadar air 15.86%, C 13.324%, N 0.422%, C/N 31.57 dan pH 7. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian kompos blotong tebu dengan dosis kompos blotong tebu yang
terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi budidaya tanaman jagung.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pilobuhuta, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo. Waktu
pelaksanaan penelitian dimulai dari Bulan Desember sampai dengan Maret 2019.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
5 perlakuan dan 3 kali ulangan sehingga terdapat 15 unit percobaan.
P0 = Tanpa Perlakuan/Kontrol
P1 = Pupuk kompos ampas tebu 200 gram/tanaman
P2 = Pupuk kompos ampas tebu 250 gram/tanaman.
P3 = Pupuk kompos ampas tebu 300 gram/tanaman
P4 = Pupuk kompos ampas tebu 350 gram/tanaman
Pemberian pupuk kompos blotong dilakukan sesuai perlakuan dosis 200 gram/tanaman, 250
gram/tanaman, 300 gram/tanaman dan 350g gram/tanaman sekali aplikasi. Pemberian kompos
blotong tebu dilakukan pada waktu sebelum penanaman dan 1 MST, 2 MST, 3 MST, 4 MST, 6 MST,
hingga 8 MST. Pengaplikasian pupuk kompos blotong dilakukan dengan cara disebar ke seluruh
luasan petakan
Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian pupuk kompos blotong tebu dengan dosis 350
gram/tanaman menunjukkan hasil yang signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada umur
2 MST, 4 MST, 6 MST, dan 8 MST, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya tetapi berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol. Pertumbuhan tanaman jagung yang di beri perlakuan kompos
blotong tebu menunjukan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jagung
kontrol. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Marsiono (2001) menyatakan pengaruh kompos
dengan dosis tertinggi pada penggunaanya adalah menyediakan unsur hara yang diperlukan bagi
tanaman, misalnya unsur hara makro (N, P dan K). Menurut Zubachtirodin & Subandi (2007) tinggi
tanaman dipengaruhi pemberian nitrogen yang dapat meningkatkan tinggi tanaman sampai 35 cm
lebih tinggi dibanding tanaman yang tidak diberi nitrogen. Parinduri (2005) menyebutkan bahwa
penambahan kompos blotong tebu dalam berbagai komposisi dapat berpengaruh meningkatkan
tinggi tanaman.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 111
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Jumlah Daun
Uji BNJ taraf 1% terhadap perlakuan jumlah daun menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk
kompos blotong tebu 200 gram/tanaman memberikan pengaruh nyata. Adapun rata-rata jumlah daun
jagung waktu pengamatan 2 MST, 4 MST, 6 MST, dan 8 MST (Tabel 2.)
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun Jagung (helai) pada perlakuan
2, MST 4 MST, 6 MST dan 8 MST
Tabel diatas menunjukkan bahwa pemberian pupuk kompos blotong tebu dosis 200
gram/tanaman dapat meningkatkan jumlah daun pada tanaman jagung dibandingkan dengan
perlakuan kontrol yang menghasilkan jumlah daun tersedikit pada setiap waktu pengamatan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hanafiah (2010) yang menyatakan bahwa kompos tebu sebagai bahan
organik berperan penting dalam ketersediaan unsur hara bagi tanaman terutama dalam ketersedian
unsur P sehingga mendorong peningkatan sistem metabolisme tanaman. selain itu pula ampas
blotong mengandung kalsium dimana unsur ini yang paling berperan adalah pertumbuhan sel serta
merawat dinding sel sehingga memacu pertumbuhan organ sekunder (Suprayitno, 2016).
Panjang Tongkol
Uji BNJ taraf 1% terhadap panjang tongkol jagung menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk
kompos blotong tebu 350 gram/tanaman memberikan pengaruh nyata. Adapun rata-rata panjang
tongkol jagung disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Panjang Tongkol Jagung (cm)
Perlakuan Panjang Tongkol
Kontrol 13.93 b
200 g/tanaman 15.90 ab
250 g/tanaman 16.62 ab
300 g/tanaman 16.32 ab
350 g/tanaman 16.68 a
NP BNJ 1% 2.65
Keterangan :
Angka-angka yang diikuti oleh huruf (abc) pada kolom
yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ0,01
Kontrol 96.37 b
200 g/tanaman 107.90 ab
250 g/tanaman 124.00 a
300 g/tanaman 102.87 ab
350 g/tanaman 107.50 ab
NP BNJ 1% 26.51
Keterangan :
Angka-angka yang diikuti oleh huruf (abc) pada kolom
yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ0,01
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada pemberian pupuk kompos blotong tebu dosis 250
gram/tanaman dapat meningkatkan berat tongkol basah (124.00 gram). Pemberian kompos blotong
tebu dapat meningkatkan C-organik di dalam tanah sebanyak 1,20% dan ketersediaan unsur hara
N,P, dan Mg.Ini sejalan dengan pendapat Sirappa (2002) pemberian 10 t/ha blotong yang
dikombinasikan dengan 75 kg/ha urea meningkatkan kandungan C-organikdari 1,12 menjadi 2,89%.
(Muhammad, 2003)
Berat Kering Tongkol
Uji BNJ taraf 1% terhadap berat tongkol kering memberikan pengaruh nyata. Rataan berat kering
tongkol jagung disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Berat Kering Tongkol Jagung (gram)
Kontrol 70.37 b
200 g/tanaman 86.97 ab
250 g/tanaman 97.67 a
300 g/tanaman 76.20 ab
350 g/tanaman 86.03 ab
NP BNJ 1% 21.97
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf (abc) pada kolom
yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ0,01
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 113
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk kompos blotong tebu dosis 250
gram/tanaman mendapatkan hasil lebih berat (97.67 gram) sedangkan perlakuan kontrol
mendapatkan hasil lebih ringan (70.37 gram). Menurut pendapat Sutanto (2002), penambahan bahan
organik dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah. Bobot kering tanaman pada perlakuan
P2 (250 gram/tanaman) menunjukkan hasil paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain.
Peningkatan bobot kering tongkol jagung pada perlakuan dapat diakibatkan oleh P yang optimal dari
tanaman, sehingga pertumbuhan nya optimal dan menghasilkan bobot kering yang tinggi
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan yakni dengan
pemberian dosis pupuk kompos blotong tebu dosis 350 gram/tanaman mampu meningkatkan tinggi
tanaman jagung dan panjang tongkol jagung, sedangkan pemberian dosis pupuk 200 gram/tanaman
meningkatkan jumlah daun tanaman jagung, dan pemberian dosis 250 gram/tanaman mampu
meningkatkan hasil berat tongkol basah dan berat kering tongkol pada tanaman jagung.
DAFTAR PUSTAKA
Cahaya dan Dody. (2012). Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah
Sayuran dan Ampas Tebu). Semarang. Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro. 1-7.
Guntoro, D., Purwono, dan Sarwono. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos terhadap Serapan Hara dan
Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L). IPB. Bogor. Bul. Agron. (31) (3): 112-
120.
Hanafiah, K. A., A Napoleon, dan N. Ghoffar. 2005. Ekologi dan Mikrobiologi Tanah. Rajawali Press.
Jakarta: 157 hlm.
Hermanto DW, Sadikin E, Hikmat (2009) Deskripsi varietas unggul palawija 1918 -2009. Puslitbangtan
Pangan. Balitbang Pertanian.
Kusuma,Galih Arif, 2014. “Uji Daya Hambat dari Ekstrak Tanaman Pacar Air (Impatiens balsamica L.)
terhadap Pertumbuhan Bakteri Aeromonas hydrophila”. Jurnal Ilmiah
Parinduri, S. 2005. Respon Tanaman Tebu (saccharum officinarum l.) Terhadap Pemberian Blotong
Yang Diperkaya Dengan Bakteri Pelarut Fosfat Dan Azospirillum. Tesis. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prahasta, A., 2009. Agribisnis Jagung. CV Pustaka Grafika, Bandung.
Salisbury dan Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. ITB Press. Bandung.
Suprayitno. (2016). Unsur Hara Makro yang Dibutuhkan Oleh Tanaman. Blitar. THL-TBPP BP3K
Kecamatan Wonotirto.
Sutanto, R. 2002. Partanian organik. Kanisius. Yogyakarta, 180 halaman.
Utomo, M., T. Sabrina, Sudarsono, J. Lumbanraja, B. Rusman, Wawan. 2016. Ilmu Tanah: Dasar-dasar
dan Pengelolaan. Kencana, Prenada Media Group. Jakarta. 433 hal.
Zubachtirodin, M.S.P. Subandi. 2007. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Dalam
Sumarno, et.al. (Editor). Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan: 464-473. Puslitbang
Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
ABSTRACT
Improvement Productivity of Peranakan Etawah goat With Utilization of Local Forage in Pangkep District, South
Sulawesi Province. Feed is a basic need in livestock raising business both ruminant and non ruminant. The cost for
feed occupies the largest percentage compared to other costs. To reduce the high cost of goat feed, it can be done by
utilizing local feed ingredients which have not been done optimally, one of them is forage. This study aims to increase
the productivity of PE goats through local forages. This study was conducted at Barabatu Village, Labakkang
Sub-district, Pangkep District in January - December 2018. This activity used 16 tails goat PE females are placed in
individual cages. The design used was Randomized Block Design with 4 treatments and 4 groups. The feeding
treatment as follows: A = 30% elephant grass + 30% gamal + 0% indigofera sp + 40% concentrate; B = 30% elephant
grass + 20% gamal + 10% indigofera sp + 40% concentrate; C = 30% elephant grass + 10% gamal + 20% indigofera sp
+ 40% concentrate and D = 30% elephant grass + 0% gamal + 30% indigofera sp + 40% concentrate. The results
showed that 30% of elephant grass, 20% gamal, 10% indogofera and 40% concentrate (treatment B) showed the best
performance indicated by consumption level of 4.17 kg / head / day and resulted in ADG of 0.95 kg / head / day
ABSTRAK
Pakan merupakan kebutuhan pokok dalam usaha pemeliharaan ternak baik ruminansia maupun non
ruminansia. Biaya untuk pakan menempati presentase terbesar dibandingkan dengan biaya lainnya.
Untuk menekan biaya pakan kambing yang tinggi maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan
pakan lokal yang selama ini belum dilakukan secara optimal salah satunya hijauan. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kambing PE melalui pemberian hijauan lokal. Kajian ini
dilaksanakan di Desa Barabatu, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep pada Bulan Januari –
Desember 2018. Kegiatan ini menggunakan 16 ekor kambing PE betina yang di tempatkan dalam kandang
individu. Adapun perlakuan pakan sebagai berikut : A = 30% rumput gajah + 30% gamal + 0% indigofera
sp + 40% konsentrat ; B = 30% rumput gajah + 20% gamal + 10% indigofera sp + 40% konsentrat ; C = 30%
rumput gajah + 10% gamal + 20% indigofera sp + 40% konsentrat dan D = 30% rumput gajah + 0% gamal
+ 30% indigofera sp + 40% konsentrat. Dari hasil penelitian tampak bahwa pemberian 30% rumput gajah,
20% gamal, 10% indogofera dan 40% konsentrat (perlakuan B) menunjukkan performa terbaik yang
ditunjukkan oleh tingkat konsumsi sebesar 4.17 kg/ekor/hari dan menghasilkan PBBH sebesar 0.95
kg/ekor/hari
PENDAHULUAN
Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang potensial dikembangkan di Provinsi Sulawesi
Selatan selain sapi sebagai pemasok daging, karena memiliki keunggulan antara lain dapat
berkembang dengan baik pada kondisi lingkungan dengan kondisi agroekosistem yang berbeda-
beda, dapat memanfaatkan pakan (terutama hijauan) yang rendah kandungan nutrisinya,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 115
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
dan bersifat prolifik (beranak lebih dari satu ekor per kelahiran). Populasi ternak kambing di Sulawesi
Selatan sebesar 722.878 ekor (BPS, 2016).
Selain populasi dan produksi daging berkembang dengan baik, juga daging kambing menjadi
salah satu alternatif pilihan masyarakat di daerah ini di samping daging sapi sebagai daging merah,
karena semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat di daerah ini akan pentingnya protein yang
bersumber dari hewani. Kelebihan dari daging kambing sebagai daging merah adalah kandungan
lemak paling rendah (leanest of the red meat), bebas bakteri dan bebas bahan kimia. Kandungan
lemaknya lebih rendah 50-60% dari daging sapi, 42-59% dan lebih rendah dari daging domba. Namun
pemanfaatannya untuk penghasil daging masih dirasakan kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat
produktivitas kambing PE, masih rendah (Sinar Tani, 2011). Salah satu faktor penyebab belum
optimalnya produktivitas kambing PE adalah lingkungan.
Produktivitas kambing yang dipelihara rakyat umumnya beragam karena pengaruh lingkungan,
seperti pakan. Kondisi pakan yang jelek (kuantitas dan kualitas) dan tidak sesuai dengan kebutuhan
fisiologisnya menyebabkan produktivitas ternak rendah karena laju pertumbuhannya lambat. Pakan
menyediakan nutrien yang penting untuk hidup, produksi, dan reproduksi. Dalam manajemen
budidaya ternak khususnya ruminansia, pakan merupakan kebutuhan tertinggi sehingga perlu
mendapat perhatian dalam penyediaannya baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada
peternakan tradisional, umumnya peternak menyediakan pakan utama bagi ternak ruminansia
berupa Hijauan Pakan Ternak (HPT). HPT merupakan bahan pakan yang berasal dari tanaman yang
terdiri dari daun-daunan yang tercampur dengan batang, ranting serta bunganya, yang umumnya
berasal dari tanaman sebangsa rumput (graminae), kacang-kacangan (leguminosae), limbah pertanian
atau hijauan dari tumbuhan lain (Hadi et al. 2011).
Ketersediaan pakan yang tidak berkesinambungan serta rendahnya kualitas pakan menyebabkan
kambing akan kekurangan suplai zat gizi yang diperlukan untuk dapat mengekspresikan potensi
genetik yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kambing PE
melalui pemanfataan hijauan lokal di kabupaten pangkep, provinsi sulawesi selatan
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa Barabatu Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep pada bulan
Januari – Desember 2018. Bahan dan Alat yang digunakan terdiri dari ternak kambing peranakan
etawah (PE) betina umur 1-2 tahun, kandang individu (uk. 1,2 x 0,8 m) 16 petak dengan alas dan sekat
menggunakan kayu. Setiap petak dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum.
Bahan penyusun ransum terdiri dari rumput gajah, gamal, Indigofera sp,dan konsentrat. Jumlah
ransum yang diberikan dalam bahan kering sebanyak 4% dari berat badan per hari dan diberikan dua
kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Air minum berasal dari air sumur dan diberikan secara ad
libitum.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan
empat perlakuan pakan (4 ekor per perlakuan), sehingga terdapat 16 unit percobaan. Keempat
perlakuan tersebut adalah :
A = 30% rumput gajah + 30% gamal + 0% indigofera sp + 40% konsentrat
B = 30% rumput gajah + 20% gamal + 10% indigofera sp + 40% konsentrat
C = 30% rumput gajah + 10% gamal + 20% indigofera sp + 40% konsentrat
D = 30% rumput gajah + 0% gamal + 30% indigofera sp + 40% konsentrat
Parameter Perlakuan
A B C D
Total Konsumsi Pakan selama pemeliharaan (%BK)
Rumput gajah (kg) 118.404 112.608 103.896 115.38
Gamal (kg) 118.404 75.072 34.632 0
Indigofera (kg) 0 37.536 69.264 115.38
Konsentrat (kg) 157.872 150.144 138.528 153.84
Rata-rata Konsumsi Pakan selama pemeliharaan (%BK)
Rumput gajah (kg) 1.315 1.251 1.154 1.282
Gamal (kg) 1.315 0.834 0.384 0
Indigofera (kg) 0 0.417 0.769 1.282
Konsentrat (kg) 1.754 1.668 1.539 1.709
Total Konsumsi 4.384 4.17 3.846 4.273
Sumber : data primer yang diolah (2018)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 117
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Hal ini menunjukkan bahwa kambing PE memiliki tingkat konsumsi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kambing Caninde, kambing lokal Korea, dan kambing Saanen. Jumlah bahan
kering yang diperlukan untuk kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan kambing muda, sebanding
dengan bobot badan dan kecepatan laju pertumbuhannya (National Research Council 2007). Menurut
National Research Council (2007) kambing dengan bobot badan 15 kg untuk hidup pokok
memerlukan bahan kering sebesar 0.650 kg/ ekor/hari dengan tingkat konsumsi pakan sebesar 4.31%
dari bobot badan.
Pada penelitian ini rataan bobot kambing PE adalah 22.71 kg dengan tingkat konsumsi bahan
kering 0.56-1.40 kg/ekor/hari (4% dari bobot badan). Berdasarkan bobot badan tersebut, maka
konsumsi BK sudah melebihi kebutuhan untuk hidup pokok, sehingga memungkinkan digunakan
untuk pertumbuhan. Peningkatan konsumsi bahan kering yang diberikan sangat berpengaruh
terhadap pasokan nutrien yang dibutuhkan, baik untuk hidup pokok maupun pertumbuhan.
Menurut Utomo dan Soejono (1999) bahwa banyak sedikitnya konsumsi pakan tergantung pada
jumlah BK pakan yang dikonsumsi oleh ternak dan kandungan nutrien dalam pakan yang diberikan.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran kecepatan pertumbuhan dan
merupakan salah satu cermin dari kemampuan untuk mencerna makanan. Menurut Kuswandi dan
Thalib (2005) bahwa pertumbuhan kambing PE lepas sapih yang diberi pakan konsentrat terbatas dan
rumput gajah secara ad libitum mampu mencapai pertumbuhan 36.5 g/hari, jauh lebih baik dibanding
pertumbuhan kambing Kacang yang hanya 19.8 g/ hari. Ditambahkan oleh Souza et al. (2014) bahwa
pertumbuhan anak kambing Caninde kastrasi yang diberi pakan secara ad libitum mencapai
pertumbuhan 74.88 kg/ekor/hari. Sedangkan pertambahan bobot badan kambing pada penelitian ini
lebih tinggi berkisar antara 0.65-0.95 kg/ekor/hari. Hal ini disebabkan tingkat konsumsi yang tinggi
akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula.
Banyaknya bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor ternak berhubungan erat dengan
bobot badannya, semakin tinggi bobot badannya maka kemampuan dari seekor ternak akan tinggi
pula dalam mengkonsumsi pakan. Tingkat konsumsi rata-rata perlakuan A sebesar 4.384 kg/e/h
menghasilkan PBBH sebesar 78 g/ekor/h; konsumsi perlakuan B sebesar 4.17 kg/e/h menghasilkan
PBBH 95 g/e/h, tingkat konsumsi perlakuan C sebesar 3.846 kg/e/h menghasilkan PBBH 65 g/e/h dan
tingkat konsumsi perlakuan D sebesar 4.273 kg/e menghasilkan PBBH sebesar 76 g/ekor/h. Tampak
bahwa P2 memiliki tingkat konsumsi yang rendah namun menghasilkan PBBH yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan lainnya.
Tabel 2. Data Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan PBBH
Parameter Perlakuan
A B C D
Total konsumsi (kg/ekor/hari) 4.384 4.17 3.846 4.273
Bobot badan awal (kg/e/h) 24.25 22.00 21.00 23.57
Bobot badan akhir(kg/ekor) 31.30 30.55 26.87 30.37
PBBH (kg/e) 0.078 0.095 0.065 0.076
Sumber : data primer yang diolah (2018)
Parameter Perlakuan
A B C D
Pengeluaran :
Biaya bakalan (Rp/e) 4850000 4400000 4200000 4715000
Biaya Pakan (Rp/e) 285156 271197 250216 277873
Total pengeluaran 5135156 4671198 4450216 4992874
Pendapatan :
Penjualan (Rp/e) 6260000 6110000 5375000 6075000
Keuntungan (Rp/e) 1124844 1438802 924783 1082127
R/C rasio 1.25 1.34 1.20 1.24
Keterangan : Harga Pakan hijauan rumput gajah, legume gamal dan legume indigofera masing-masing
Rp. 500/kg bahan segar; pakan konsentrat Rp. 3475/kg; harga pasaran induk kambing PE ditingkat
petani Rp. 150.000-Rp.200.000/kg
KESIMPULAN
Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas kambing PE dapat dilakukan dengan
pemberian pakan hijauan kombinasi antara rumput gajah, gamal dan indigofera dan konsentrat.
Pemberian 30% rumput gajah, 20% gamal, 10% indigofera dan 40% konsentrat menunjukkan tingkat
konsumsi dan pertumbuhan ternak kambing yang lebih baik. Perlu adanya sosialisasi ke masyarakat
akan pentingnya memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami hijauan lokal yang berkualitas. Dimana
nantinya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak kambing, sehingga biaya pakan hijauan bisa ditekan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dinas Pertanian Kabupaten Pangkep dan kelompok
tani yang terlibat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2016. Populasi Ternak Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Badan Pusat Statistik Prov.
Sulawesi Selatan.
Bompadre TFV, Neto OB, Mendonca AN, Souza SF, Oliveira D, Fernandes MHMR, Harter CJ, Almeida
AK, Resende KT, Teixeira IAMA. 2014. Energy requirements in early life are similar for male
and female goat kids. Asian Australas. J. Anim. Sci 27(12):1712-1720.
Hadi RF, Kustantinah, Hartadi H. 2011. Kecernaan in Sacco Hijauan Leguminosa dan Non Leguminosa
dalam Rumen Sapi PO. Buletin Peternakan. 35(2): 79 85.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 119
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kuswandi, Thalib A. 2005. Pertumbuhan kambing lepas sapih yang diberi konsentrat terbatas. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor (ID), Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Lee J-J, Seo J, Jung JK, Lee J, Lee J-H, Seo S. 2014. Effects of β-mannanase supplementation on growth
performance, nutrient digestibility, and nitrogen utilization of Korean native goat (Capra hircus
coreanae). Livestock Science 169(0):83-87.
Medeiros AN, Resende KT, Teixeira IAMA, Araújo MJ, Yáñez EA, Ferreira ACD. 2014. Energy
requirements for maintenance and growth of male saanen goat kids. Asian Australas. J. Anim.
Sci 27(9):1293-1302.
[NRC] National Research Council. 2007. Nutrient Requirements of Small Ruminants. Sheep, Goats,
Cervids, and New World Camelids. Washington DC (US): National Academy Press.
Sinar Tani. 2011. Kambing Peranakan Etawah Sumberdaya Ternak Penuh Berkah. Agroinovasi. Badan
Litbang Pertanian Edisi 19-25 Oktober 2011 No.3427 Tahun XLII.
Soedomo, R 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. PT Gramedia, Jakarta.
Souza AP, Medeiros AN, Carvalho FFR, Costa RG, Ribeiro LPS, Bezerra AB, Branco GLC, Silva Jr CG.
2014. Energy requirements for maintenance and growth of Canindé goat kids. Small Ruminant
Research 121(2–3):255-261.
Utomo R, Soejono M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta (ID): Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
ABSTRACT
This study aims to determine the production of tomato plants with the application of gibberellins growth regulators.
This research was conducted at the Experimental Farm, Faculty of Agriculture, Hasanuddin University, Tamalanrea
from May to September 2017. The research was conducted in the form of an experiment using a 2 -factor factorial
design with a Randomized Group Design as an environmental design that was repeated 3 times. The first factor in this
study is gibberellins consisting of 4 levels, namely 0 mgL-1, 15 mgL-1, 30 mgL-1, and 45 mgL-1, the second factor is
the frequency of administration of gibberellins consisting of 3 levels, namely 1 time, 2 times, and 3 times. The results
showed that the interaction between the concentration of gibberellins 45 mgL-1 and the frequency of giving
gibberellins 1 time produced the fastest fruiting age (48.92 days), the concentration of 0 mgL-1 and the frequency of
giving 1 time showed the highest number of fruits per plant (18.75 fruit), concentration of 0 mgL-1 and frequency of
administration once showed the highest total number of fruits (75.00 pieces), concentration of 45 mgL -1 and
frequency 3 times showed the lowest number of seeds (21.73 seeds) and concentration of 30 mgL-1 and 3 times the
frequency of giving the fastest ripe fruit age (86.17 days). The concentration of gibberellins 45 mgL-1 gave the best
results on the lowest number of seeds (28.98 seeds) compared to other treatments and fruit thickness (6.92 mm).
Frequency of administration of gibberellins 3 times gave the best results on the parameters of number of seeds (28.98
seeds) and thickness of fruit flesh (7.06 mm).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi tanaman tomat dengan aplikasi zat pengatur
tumbuh giberelin. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin Tamalanrea dari bulan Mei hingga September 2017. Penelitian dilaksanakan dalam bentuk
percobaan menggunakan Rancangan Faktorial 2 Faktor dengan Rancangan Acak Kelompok sebagai
rancangan lingkungan yang diulang 3 kali. Faktor Pertama pada penelitian ini yaitu giberelin yang terdiri
dari 4 taraf yaitu 0 mg L-1, 15 mg L-1 , 30 mg L-1, dan 45 mg L-1, faktor kedua frekuensi pemberian
giberelin yang terdiri dari 3 taraf yaitu 1 kali, 2 kali, dan 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi antara konsentrasi giberelin 45 mg L-1 dan frekuensi pemberian giberelin 1 kali menghasilkan
umur berbuah paling cepat (48,92 hari), konsentrasi 0 mg L-1 dan frekuensi pemberian 1 kali
menunjukkan jumlah buah per tanaman tertinggi (4,32 buah), konsentrasi 0 mg L-1 dan frekuensi
pemberian 1 kali menunjukkan jumlah buah total tertinggi (8,55 buah), konsentrasi 45 mg L-1 dan
frekuensi 3 kali menunjukkan jumlah biji terendah (21,73 biji) serta konsentrasi 30 mg L-1 dan frekuensi
pemberian 3 kali menunjukkan umur buah matang paling cepat (86,17 hari). Konsentrasi giberelin 45 mg
L-1 memberikan hasil terbaik pada parameter jumlah biji (28,98 biji) terendah daripada perlakuan lainnya
dan ketebalan daging buah (6,92 mm). Frekuensi pemberian giberelin 3 kali memberikan hasil yang
terbaik pada parameter jumlah biji (28,98 biji) dan ketebalan daging buah (7,06 mm).
PENDAHULUAN
Tomat merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Di Indonesia,
kebutuhan pasar sayuran terutama buah tomat sangat tinggi yaitu mencapai 1.230.000 ton namun
produksi tomat dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Badan Pusat
Statistik (2016) produksi tomat di Indonesia pada 5 tahun terakhir dimulai pada tahun 2011 produksi
sebesar 954.046 ton, tahun 2012 mengalami penurunan produksi menjadi 893.504 ton, pada tahun 2013
mengalami peningkatan produksi dari tahun sebelumnya mencapai 992.780 ton, pada tahun 2014 dan
2015 produksi tomat kembali menurun yaitu 916.001 ton dan 877.801 ton.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 121
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Permintaan yang tinggi mendorong petani untuk membudidayakan tomat namun masih banyak
kendala yang ditemui di lapangan seperti hama dan penyakit, rendahnya persentase fruitset di
dataran rendah, keadaan iklim yang tidak menentu, dan kesuburan tanah. Untuk meningkatkan
produksi tomat dapat diberikan unsur hara yang cukup bagi tanaman. Selain itu dapat pula
menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) giberelin. Giberelin (GA) merupakan salah satu dari zat
pengatur tumbuh. Giberelin memiliki beragam fungsi antara lain membantu pembentukan bunga,
membantu mempercepat pertumbuhan, merangsang pembentukan bunga, merangsang serbuk sari,
mengurangi jumlah biji pada buah, membuat daging buah lebih tebal dan meninggikan tanaman
kerdil menjadi tanaman normal. Giberelin sebenarnya telah diproduksi sendiri oleh tanaman namun
untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibutuhkan rangsangan giberelin dari luar.
Aplikasi giberelin butuh konsentrasi yang optimal sesuai varietas. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rolistyo dkk (2014), pemberian giberelin dari luar (secara eksogen) memberikan
pengaruh nyata terhadap umur berbunga tomat. Pada varietas Tymoty dengan konsentrasi 40 ppm
dapat menurunkan jumlah biji sebesar 9,13%. Selanjutnya hasil penelitian Adnyesuari, Rudi, Suyadi
(2015) bahwa penyemprotan giberelin sebanyak tiga kali dengan konsentrasi 30 ppm meningkatkan
padatan total terlarut buah dan penyemprotan pada genotipe Gamato 3 dengan konsentrasi 20 ppm
dapat menurunkan jumlah biji sebanyak 93%. Penyemprotan GA3 membuat biji tidak berkembang
karena pertumbuhan atau pembesaran buah disokong dari luar.
Selain konsentrasi yang optimal, frekuensi pemberian giberelin mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman. Penelitian Sundahri, Hariyanti, Setiyono (2014) menunjukkan parameter jumlah
buah dan berat buah dengan konsentrasi 100 ppm frekuensi pemberian giberelin 21 hari sekali
memberikan pengaruh paling efektif. Sedangkan penyemprotan giberelin dengan frekuensi satu kali
14 hari dan satu kali 7 hari, memberikan pengaruh yang tidak efektif terhadap berat buah.
Penelitian Tiyas, Soeparjono, Sundahri (2014) menunjukkan perlakuan dengan konsentrasi 100
ppm memiliki nilai yang paling baik untuk parameter jumlah buah dibandingkan dengan
perlakuan lain, dan perlakuan kontrol atau tanpa konsentrasi giberelin memiliki jumlah
buah yang paling rendah. Pengaruh frekuensi penyemprotan hormon giberelin menghasilkan
perbedaan yang nyata terhadap jumlah buah. Frekuensi dengan 21 hari sekali memiliki hasil
terbaik yaitu 16,00, dibanding 7 hari sekali yaitu 8,00. Derajat pembentukan buah diatur
oleh kadar GA3 yang terdapat di dalam tanaman (Isbandi, 1983). Pada penelitian ini digunakan
tomat varietas Permata F1 untuk membandingkan dan menguji pengaruh giberelin pada hasil
produksinya agar diperoleh konsentrasi dan frekuensi giberelin yang sesuai untuk mencapai
produksi optimal.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
Tamalanrea, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan yang berlangsung pada bulan Mei hingga
September 2017. Penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial 2 Faktor dengan Rancangan Acak
Kelompok sebagai rancangan lingkungan yaitu:
Faktor 1: Konsentrasi Giberelin (G) dengan 4 taraf perlakuan yaitu; G0 : 0 mg L-1, G1 : 15 mg L-1, G2
: 30 mg L-1, G3 : 45 mg L-1. Faktor 2: Frekuensi pemberian (F) dengan 3 taraf perlakuan yaitu; F1 : 1
kali, F2 : 2 kali, F3 : 3 kali.Penelitian ini terdiri dari 12 kombinasi perlakuan dengan 3 kali ulangan
sehingga terdapat 36 unit percobaan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 4 tanaman. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu benih tomat varietas Permata F1, pupuk kompos, polybag, zat
pengatur tumbuh giberelin, dan insektisida (Furadan dan Klensect). Sedangkan alat yang digunakan
Keterangan:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris (x,y,z) dan kolom (a,b,c) berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNJ 0,1
Tabel 1. menunjukkan bahwa tomat yang diberi giberelin pada konsentrasi 45 mg L1, frekuensi
pemberian 1 kali (G3F1) memiliki rata-rata umur berbuah paling cepat (48,92 hari) berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya. Sedangkan rata-rata umur berbuah terlama terdapat pada perlakuan
kontrol (G0F2) yaitu 53,92 hari dan berbeda nyata dengan G0F1 dan G0F3 namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan G1F3, G2F1, G2F2, G3F2, dan G3F3.
Bobot Segar Per Buah
Hasil pengamatan bobot segar per buah dan sidik ragam disajikan pada tabel.
Tabel 2. Rata-Rata Bobot Segar Per Buah (g) Pada Perlakuan Berbagai Konsentrasi dan Frekuensi
Pemberian Giberelin
Konsentrasi Frekuensi Pemberian Giberelin Rata-rata NP BNJ 0,1
Giberelin Satu kali (F1) Dua kali (F2) Tiga Kali (F3)
0 mg L-1 (G0) 25,23 26,77 29,03 27,01 a 4,47
15 mg L-1 (G1) 23,16 25,06 19,12 22,45 b
30 mg L-1 (G2) 21,79 22,28 16,32 20,13 b
45 mg L-1 (G3) 22,44 22,42 16,12 20,33 b
rata-rata 23,15 xy 24,13 x 20,15 y
NP BNJ 0,1 3,45
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom (a,b) dan baris (x,y) berarti
berbeda nyata pada uji BNJ0,1.
Tabel 2. menunjukkan bahwa perlakuan kontrol memiliki bobot segar buah tertinggi (27,01 g),
berbeda nyata dengan perlakuan G1, G2 dan G3. Perlakuan G2 memiliki rata-rata bobot segar buah
terendah (20,13 g) dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, tapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan G1 dan G3.
Perlakuan frekuensi pemberian 2 kali (F2) memiliki rata-rata bobot segar buah tertinggi yaitu 24,13
g dan berbeda nyata dengan perlakuan F1 dan F3. Bobot segar buah terendah pada perlakuan F3
yaitu 20,15 g.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 123
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Diameter Buah
Hasil pengamatan diameter buah dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel 3
Tabel 3. Rata-Rata Diameter Buah (cm) Pada Perlakuan Berbagai Konsentrasi
dan Frekuensi Pemberian Giberelin.
Konsentrasi Frekuensi Pemberian Giberelin rata-rata NP BNJ 0,1
Pemberian
Giberelin Satu kali Dua kali Tiga Kali
(F1) (F2) (F3)
0 mg L-1 (G0) 3,32 3,31 3,52 3,38 a 0,29
15 mg L-1 (G1) 3,19 3,28 2,96 3,14 ab
30 mg L-1 (G2) 3,14 3,10 2,73 2,99 b
45 mg L-1 (G3) 3,20 3,21 2,81 3,08 b
Tabel 3. menunjukkan perlakuan frekuensi pemberian giberelin 2 kali (F2) memiliki rata-rata
diameter buah tertinggi (3,23 cm), berbeda nyata dengan perlakuan F1 dan F3. Perlakuan Frekuensi
pemberian giberelin 3 kali (F3) memiliki diameter buah terendah yaitu 3 cm. Perlakuan kontrol (G0)
memiliki rata-rata diameter buah tertinggi (3,38 cm), berbeda nyata dengan perlakuan G1, G2 dan G3.
Perlakuan konsentrasi giberelin 30 mg L-1 (G2) memiliki rata-rata diameter buah terendah (2,99 cm).
Perubahan Warna
Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi giberelin dan frekuensi pemberian
giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap perubahan warna tomat.
95,00
Perubahan Warna Buah (hari)
90,00
85,00
80,00
75,00
70,00
G0F1 G0F2 G0F3 G1F1 G1F2 G1F3 G2F1 G2F2 G2F3 G3F1 G3F2 G3F3
Stadia 1 80,92 82,39 81,92 82,00 79,92 79,11 79,33 80,69 78,42 80,67 80,69 79,25
Stadia 2 81,37 84,25 83,33 83,14 81,50 80,39 80,61 81,94 79,75 81,67 81,78 80,69
Stadia 3 82,17 86,25 85,17 84,94 83,08 81,83 82,28 83,53 81,42 83,25 83,67 82,33
Stadia 4 85,00 87,75 87,08 86,94 84,58 83,58 84,00 85,72 83,25 85,25 85,50 84,08
Stadia 5 86,25 88,94 88,50 88,14 86,17 85,31 85,64 87,28 84,83 86,75 87,08 85,61
Stadia 6 87,50 90,56 89,92 89,39 87,33 86,78 86,72 88,67 86,17 88,25 88,36 86,78
Gambar 1. Rata-rata perubahan warna buah (hari) pada perlakuan berbagai konsentrasi
dan frekuensi pemberian giberelin
Gambar 1. Perubahan warna buah stadia 1 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi giberelin
30 mg L-1 dengan frekuensi pemberian 3 kali (G2F3) menunjukkan rata-rata perubahan warna paling
cepat yaitu 78,42 hari. Perlakuan G2F3 juga menunjukkan rata-rata perubahan warna paling cepat
pada stadia 2 (79,75 hari), stadia 3 (81,42 hari), stadia 4 (83,25 hari), stadia 5 (84,83 hari) dan stadia 6
(86,17 hari). Sedangkan rata-rata perubahan warna buah dari stadia 1 sampai stadia 6 paling lama
yaitu perlakuan kontrol (G0F2).
Perlakuan konsentrasi 0 mg L-1 dan frekuensi 1 kali (G0F1) lebih cepat mengalami perubahan
warna dari stadia 1 sampai stadia 6 yaitu 6,58 hari. Perlakuan 0 mg L-1 dan frekuensi 3 kali (G0F3)
mengalami perubahan warna dari stadia 1 sampai stadia 6 paling lama yaitu 8,00 hari.
Persentase Fruitset
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi giberelin dan frekuensi pemberian
giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap persentase fruitset.
65,94
70,00 60,56 60,48 61,40 60,37
56,89 56,59 57,47
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
G0F1 G0F2 G0F3 G1F1 G1F2 G1F3 G2F1 G2F2 G2F3 G3F1 G3F2 G3F3
Perlakuan
Gambar 2, persentase fruitset menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (G0F1) menunjukkan rata-
rata persentase fruitset tertinggi yaitu 72,64%. Sedangkan rata-rata persentase fruitset terendah pada
perlakuan 15 ppm giberelin dan frekuensi pemberian 1 kali (G2F2) yaitu 56,59%.
Total Padatan Terlarut
Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi giberelin dan frekuensi pemberian
giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap total padatan terlarut. Gambar 4. total padatan terlarut
menunjukkan bahwa konsentrasi giberelin 30 mg L-1 dengan frekuensi pemberian 2 kali (G2F2)
menunjukkan rata-rata total padatan terlarut tertinggi yaitu 6,94 % brix. Sedangkan rata-rata total
padatan terlarut terendah pada perlakuan 0 mg L-1 giberelin dan frekuensi pemberian 3 kali (G0F3)
yaitu 5,95 % brix.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 125
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
7,20
6,94
7,00
6,80
6,80 6,68
6,63
6,57
Gambar 3. Rata-rata total padatan terlarut (% brix) pada perlakuan berbagai konsentrasi
dan frekuensi pemberian giberelin.
Tabel 5. menunjukkan bahwa perlakuan G3 memiliki ketebalan daging buah rata-rata tertinggi
6,92 mm berbeda nyata dengan perlakuan G0, G1 dan G2. Perlakuan kontrol (G0) memiliki rata-rata
terendah dengan rata-rata ketebalan daging buah 5,19 mm. Perlakuan frekuensi pemberian giberelin
3 kali (F3) menunjukkan hasil tertinggi dengan rata-rata 7,06 mm berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya (F1 dan F2). Perlakuan frekuensi pemberian giberelin 2 kali menunjukkan hasil terendah yaitu
rata-rata 5,76 mm.
Bobot Segar Buah Total
Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi giberelin berpengaruh sangat nyata
terhadap bobot segar buah total sedangkan perlakuan frekuensi pemberian giberelin berpengaruh
tidak nyata pada bobot buah segar total. Interaksi antar kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
terhadap bobot segar buah total.
Tabel 6. menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (G0) memiliki rata-rata bobot segar buah total
tertinggi yaitu 1483,78 g, berbeda nyata dengan perlakuan G2 dan G3 namun tidak berbeda nyata
dengan G1. Perlakuan 30 mg L-1 (G2) memiliki rata-rata bobot segar buah total terendah (850,11 g) dan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan G3.
KESIMPULAN
Terdapat interaksi antara konsentrasi dan frekuensi pemberian giberelin. Konsentrasi giberelin 45
mg L-1 dan frekuensi pemberian giberelin 1 kali menghasilkan umur berbuah paling cepat (48,92 hari),
konsentrasi 0 mg L-1 dan frekuensi pemberian 1 kali menunjukkan jumlah buah per tanaman tertinggi
(18,75 buah), konsentrasi 0 mg L-1 dan frekuensi pemberian 1 kali menunjukkan jumlah buah total
tertinggi (75,00 buah), konsentrasi 45 mg L-1 dan frekuensi 3 kali menunjukkan jumlah biji terendah
(21,73 biji) serta konsentrasi 30 mg L-1 dan frekuensi pemberian 3 kali menunjukkan umur buah
matang paling cepat (86,17 hari).
Konsentrasi giberelin 0 mg L-1 memberikan hasil yang terbaik terhadap produksi buah tomat.
Giberelin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi karena berdasarkan hasil
sidik ragam perlakuan 0 mg L-1 memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Konsentrasi giberelin 45 mg L-1 memberikan hasil terbaik pada parameter jumlah biji (28,98 biji) lebih
rendah daripada perlakuan lainnya dan ketebalan daging buah (6,92 mm). Frekuensi pemberian
giberelin 3 kali memberikan hasil yang terbaik pada parameter jumlah biji (28,98 biji) dan ketebalan
daging buah (7,06 mm). Untuk mendapatkan ketebalan daging buah yang lebih baik pada tomat
varietas permata F1 dapat dilakukan dengan menggunakan konsentrasi giberelin lebih tinggi dari 45
mg L-1. Untuk mendapatkan produksi optimal diperlukan perlakuan lain selain giberelin.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyesuari, Anak Agung., H.M., Rudi, dan M., Suyadi. 2015. Jurnal Induksi Partenokarpi Pada Tiga
Genotipe Tomat Dengan GA3. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Annisah. 2009. Skripsi Pengaruh Induksi Giberelin Terhadap Pembentukan Buah Partenokarpi
Beberapa Varietas Tanaman Semangka. Universitas Sumatera Utara Medan.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Sayuran Di Indonesia. https://www.bps.go.id/site/resultTab.
Diakses pada Tanggal 28 Februari 2017 pukul 09.00 WITA.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2013. Data Ekspor Impor Komoditi Tomat. https://www.
hortikultura.pertanian.go.id.
Gelmesa, D., B. Abebie, L. Desalegn. 2013. Effects of gibberellic acid and 2,4dichlorophenoxy acetic acid
sprayon vegetative growth, fruit anatomy and seed setting of tomato (Lycopersicon esculentum
Mill.). Science, Technology and Arts Research Journal 2(3):25-34.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 127
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Ginting, Natassa K.B.R., 2011. Skripsi Pengaruh Pemberian Giberelin Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Pada Beberapa Varietas Kentang (Solanum tuberosum L.). Universitas Sumatera Utara
Medan.
Grennan, Aleel K. 2006. Gibberellin Metabolism Enzymes in Rice. http://www. plantphysiol.
org/content/141/2/524. Diakses tanggal 10 Februari 2017.
Isbandi, D. 1983. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan. Yayasan Pembina. Fakultas
Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Nasaruddin, dan Yunus Musa, 2013. Fisiologi Tumbuhan. Makassar: Masagena Press.
Pandolfini T, Rotino GL, Camerini S, Defez R and Spena A. 2002. Optimization of transgene action at
the posttranscriptional level: High quality parthenocarpic fruits in industrial tomatoes. BMC
Biotechnology 2, 1-10.
Pardal, S.J., 2008. Tanpa Biji Tinggi Produksi. Trubus No. 468 Edisi November 2008 / XXXIX.
Pitojo, S., 2005. Benih Tomat. Yogyakarta: Kanisius.
Purnomo, Sudarmadi., 2013. Identifikasi Panen dan Pascapanen Benih Hortikultura.
https://www.slideshare.net/sudarmadip/bahan-draft-perbenihan-indikator-panen-hortikultura.
Diakses pada tanggal 8 Agustus 2018 pukul 20.00 WITA.
Redaksi Agromedia, 2007. Panduan Lengkap Budidaya Tomat. Jakarta: Agromedia.
Rismunandar, 2001. Tanaman Tomat. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rolistyo, Alpano., Sunaryo, Tatik Wardiyati., 2014. Jurnal Pengaruh Pemberian Giberelin Terhadap
Produktivitas Dua Varietas Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.). Universitas
Brawijaya Malang.
Santoso, U., dan N., Fatimah. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: UMM-Press.
Salisbury, Frank B dan Cleon W Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Bandung: ITB.
Serrani, J. C, Fos, M., Atare´s, A., and Garcı´a- Martı´nez, J. L. 2007. Effect of gibberellin and auxin on
parthenocarpic fruit growth induction in the cv microtom of tomato. Plant Growth Regul
26:211–221.
Setiawan, Agus Budi., H. M. Rudi., Purwantoro, Aziz. 2015. Jurnal Pengaruh Giberelin Terhadap
Karakter Morfologi dan Hasil Buah Partenokarpi pada Tujuh Genotipe Tomat (Solanum
lycopersicum L.). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Setiowati, Tetty., Furqonita, Deswaty. 2007. Biologi Interaktif. Azka Press : Jakarta.
Sundahri., Hariyanti N.T., Setiyono. 2014. Jurnal Efektivitas Pemberian Giberelin Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tomat. Universitas Jember.
Tiyas, H.N., Soeparjono, Sigit., Sundahri., 2014. Jurnal Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian
Hormon Giberelin Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buah Tomat. Universitas Jember.
Tugiyono, H., 2001. Bertanam Tomat. Penebar Swadaya: Jakarta.
Wiryanta, W.T.B., 2008. Bertanam Tomat. Agromedia Pustaka: Jakarta.
ABSTRAK
Kementerian Pertanian mencanangkan suatu program untuk mempercepat populasi dengan tujuan
tercapainya swasembada daging. Program ini telah dicanangkan sejak tahun 2017. Salah satu kendala
dalam program SIWAB adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman peternak terkait dengan
permasalahan kesehatan sapi dan gangguan reproduksi pada ternaknya. Pada era industri 4.0 ini banyak
inovasi veteriner yang dapat digunakan petani ataupun petugas di lapangan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Sehingga tujuan SIWAB tercapai dan dapat memberikan dampak positif pada
perekonomian Negara.
ABSTRACT
The Ministry of Agriculture has launched a program to accelerate population with the aim of achieving self-
sufficiency in meat. This program has been launched since 2017. One obstacle in the SIWAB program is the lack of
knowledge and understanding of farmers related to cattle health problems and reproductive disorders in their
animals. In the industrial era 4.0, there are many veterinary innovations that can be used by farmers or officers in the
field to overcome these problems. So that, the objectives of SIWAB are achieved and can have a positive impact on the
country's economy.
PENDAHULUAN
Angka empat pada istilah Industri 4.0 merujuk pada revolusi yang ke empat. Revolusi industri 4.0
sejatinya dimulai dari industri 1.0, 2.0, 3.0 dan sekarang industri 4.0. Industri 1.0 ditandai dengan
mekanisasi produksi untuk menunjang efektifitas dan efisiensi aktivitas manusia, industri 2.0
dicirikan oleh produksi massal dan standarisasi mutu, dan industri 3.0 ditandai dengan penyesuaian
massal dan fleksibilitas manufaktur berbasis otomasi dan robot. Industri 4.0 selanjutnya hadir
menggantikan industri 3.0 yang ditandai dengan cyber fisik dan kolaborasi manufaktur (Yahya, M.,
2018).
Ada beberapa pendapat mengenai arti dari industri 4.0. Menurut Angela Merkel (2014) Industri
4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui
penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. Sedangkan menurut
Schlechtendahl dkk (2015) definisi industry 4.0 menekankan kepada unsur kecepatan dari
ketersediaan informasi, yaitu lingkungan industri di mana seluruh identitasnya selalu terhubung dan
mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.
Dunia veteriner Indonesia saat ini juga harus dapat mengikuti perkembangan zaman dalam
menjamin kesehatan hewan dan produknya untuk menyejahterakan (Manusya Mriga Satwa Sewaka).
Saat ini, Kementerian Pertanian mencanangkan suatu program untuk mempercepat populasi dengan
tujuan tercapainya swasembada daging. Program tersebut adalah Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib
Bunting (Upsus Siwab) yang sudah dimulai sejak tahun 2017 (Munawaroh, 2019).
Percepatan peningkatan populasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan asal hewan dan
dilakukan melalui Inseminasi Buatan (IB) atau Intensifikasi Kawin Alam (INKA) dengan menerapkan
sistem manajemen reproduksi. Melalui program ini diharapkan ada peningkatan system pelayanan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 129
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
terhadap peternak, perbaikan manajemen reproduksi dan produksi serta pendataan melalui aplikasi
iSikhnas (Kementerian Pertanian, 2019; Rusdiana dan Soeharsono, 2017).
Agar program SIWAB dapat berjalan dengan baik, pemerintah perlu mengevaluasi kembali hasil
yang diperoleh sebelumnya. Akan tetapi masih ada beberapa persoalan yang dihadapi, antara lain :
rendahnya pengetahuan dan pemahaman peternak terkait dengan permasalahan kesehatan sapi dan
gangguan reproduksi pada ternaknya, kondisi ternak yang bervariasi tergantung sistem
pemeliharaannya yang dapat mempengaruhi keberhasilan IB, pelaporan data ternak yang masih
berjalan lambat, dan lain sebagainya (Said, S., 2017).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BALITBANGTAN) melalui unit kerjanya Balai
Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) telah mengembangkan aplikasi berbasis android yang berisi
tentang informasi kesehatan sapi. Aplikasi ini diberi nama TAKESI (Teknologi Android Kesehatan
Sapi) yang bisa langsung diunduh di Play Store. Dalam pengembangannya, aplikasi TAKESI
melibatkan para ahli yang berkompeten di bidang kesehatan hewan, termasuk para petugas tenaga
kesehatan hewan di lapangan.
Dampak lain apabila peternak atau masyarakat manfaatkan internet adalah bahwa pemanfaatan
internet di pedesaan diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan di pedesaan sehingga
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Samuels et al., 2017 dalam Putra, 2018)
Sejalan dengan hal tersebut, tujuan pengembangan aplikasi TAKESI adalah untuk memberikan
edukasi atau pembelajaran kepada para peternak, penyuluh atau masyarakat, termasuk mahasiswa
agar mampu mengenal berbagai macam penyakit dan gangguan reproduksi yang terjadi pada ternak.
Sehingga pengguna mampu memberikan laporan gambaran klinis yang lebih jelas kepada petugas
kesehatan hewan di lapangan. Melalui informasi yang diperoleh dari TAKESI, diharapkan kejadian
kematian ternak ruminansia akibat keterlambatan penanganan medis dapat diminimalkan.
Secara garis besar, aplikasi ini terdiri dari empat komponen utama, yaitu penyakit dan gangguan
reproduksi pada sapi indukan, penyakit dan gangguan pada anak sapi, manajemen kesehatan sapi
dan kontak ahli. Berdasarkan jenis penyakitnya, aplikasi ini dibagi menjadi penyakit infeksius dan
non infeksius. Untuk memudahkan pemahaman informasi bagi pengguna, aplikasi ini disusun
menggunakan bahasa yang sederhana, singkat dan jelas, termasuk memasukkan beberapa bahasa
daerah popular perihal nama penyakit-penyakit tertentu.
Peternak atau petugas dapat berkomunikasi dan berkonsultasi dengan dokter hewan setempat
atau ahli. Sehingga, aplikasi Takesi ini dapat menjadi ajang promosi para dokter hewan dapat
membuka praktik dalam jaringan (online), tetapi tidak dipungut biaya selama berkonsultasi melalui
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 131
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
PENUTUP
Peningkatan populasi ternak terutama sapi dan kerbau masih menjadi fokus pemerintah saat ini.
Akan tetapi berbagai kendala masih menjadi masalah dalam program ini. Sehingga di era indutri 4.0
banyak inovasi yang dikembangkan untuk mengatasi kendala – kendala tersebut yang dapat
diterapkan bukan saja oleh petugas tetapi peternak pun dapat mengaplikasikannya. Pelatihan dalam
penggunaan sistem tersebut sangat dibutuhkan agar berbagai inovasi tersebut dapat digunakan
secara maksimal dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, . iSikhnas. http://wiki.isikhnas.com/images/f/f3/ What_is_iSIKHNAS_v9 _IND.pdfDiakses
tanggal 1 November 2019
iShikhnas. 2019. iSikhnas.com Diakses tanggal 5 November 2019.
Kementerian Pertanian. 2019. Pedoman Pelaksanaan UPSUS SIWAB. Upaya Khusus Percepatan
Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting 2019. Kemeterian Pertanian. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Lesmana, Setia. 2018. Inilah Peket Teknologi Kesehatan Ternak Produk Balitbangtan. Sains Indonesia
Merkel, A. (2014). Speech by Federal Chancellor Angela Merkel to the OECD Conference.
https://www.bundesregierung.de/Content/EN/Reden/2014/2014-02-19-oecd-merkel-paris_en.ht
ml,
Munawaroh, Muhammad. 2019. Dunia Veteriner Indonesia di Era Industri 4.0. Civas (Centre for
Indonesian Veterinery Analytical Studies)
Putra, R Ahmad R.S. 2018. Konstribusi Usaha Peternakan Terhadap Pembangunan Pedesaan di Era
Revolusi Industri 4.0. Prosiding Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Tropik. Inovasi teknologi Peternakan Menyongsong Era Industri 4.0. Hal. : 218-222.
Rusdiana, S dan Soeharsono. 2017. Program Siwab untuk Meningkatkan Populasi Sapi Potong dan
Nilai Ekonomi Usaha Ternak. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 35 No. 2 Desember 2017.
Hal : 125-137
Said, S. 2017. Peranan Teknologi Reproduksi Dalam Mendukung Program Upaya Khusus Sapi Induk
Wajib Bunting (Upsus Siwab) Untuk Program Peternakan Berkelanjutan. Seminar Nasional
Peternakan 3 tahun 2017. Hal: 1-8
Schlechtendahl, J., Keinert, M., Kretschmer, F., Lechler, A., & Verl, A. (2015). Making existing
production systems Industry 4.0-ready. Production Engineering, Vol. 9, Issue.1, pp.143-148.
Yahya, Muhammad. 2018. Era Industri 4.0: Tantangan Dan Peluang Perkembangan Pendidikan
Kejuruan Indonesia. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Professor Tetap dalam Bidang
Ilmu Pendidikan Kejuruan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.
ABSTRACT
Diversity of Arthropods on Sago Forest in Maluku. Sago plants in Maluku grow naturally in a sago forest ecosystem
in which there are various organisms, including Arthropods. The purpose of this research is to study the diversity of
Arthropod on sago forest in Maluku. The research in Ariate, Eti, Waisamu, Rutong, Tawiri, and Tulehu, Maluku.
The Arthropods was collected obtained with insect nets, light traps, yellow pan traps, and pitfall traps in the dry and
rainy seasons. The results of research on the diversity of Arthropod in the sago area in Maluku were found as many
as 19 orders, 130 families, and 283 morphospecies. The Arthropods of the Insecta group was more dominant than the
Arachnida and Crustacean groups. The functional role as herbivore 123 morphospecies, where as natural enemies
predators 69 morphospecies and parasitoids 35 morphospecies, while detritivor 37 morphospecies and polinators 15
morphospecies. The existence of Arthropods that exist only in certain locations, ie: Ariate 59 morphospecies, Eti 19
morphospecies, Tulehu 18 morphospecies, Rutong 8 morphospecies, Tawiri 8 morphospecies, and Waisamu 4
morphospecies. The diversity of morphospecies was quite high in a community, characterized by the value of the
diversity index (H ') was 2.76 - 3.39 and the community are in stable condition in which the evenness index (E) of
morphospecies was 0.93 <E ≤0.98.
Key words: species evenness, species richness, morphospecies, pitfall trap, insect net, yellow pan trap, light trap
ABSTRAK
Keanekaragaman Arthropoda Pada Hutan Sagu Di Maluku. Tanaman sagu di Maluku tumbuh secara
alami dalam satu ekosistem hutan sagu, dimana terdapat berbagai organisme, diantaranya Arthropoda.
Tujuan penelitian yaitu mengkaji keanekaragaman Arthropoda pada hutan sagu di Maluku. Lokasi
penelitian di Desa Ariate, Eti, Waisamu, Rutong, Tawiri, dan Tulehu, Maluku. Arthropoda di dapatkan
dengan jaring serangga, perangkap lampu, nampan kuning, dan perangkap lubang di musim kemarau
dan hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa areal hutan sagu di Maluku memiliki keanekaragaman
Arthropoda dengan kelimpahan 19 ordo, 130 famili, dan 283 morfospesies. Jenis Arthropoda dari
kelompok Insecta lebih dominan dari kelompok Arachnida dan Crustacea. Peran fungsional sebagai
herbivor 123 morfospesies, sedangkan musuh alami predator 69 morfospesies dan parasitoid 35
morfospesies, sedangkan detritivor 37 morfospesies dan polinator 15 morfospesies. Keberadaan
Arthropoda yang hanya ada pada lokasi tertentu, yakni: Ariate 59 morfospesies, Eti 19 morfospesies,
Tulehu 18 morfospesies, Rutong 8 morfospesies, Tawiri 8 morfospesies, dan Waisamu 4 morfospesies.
Keanekaragaman morfospesies cukup tinggi dalam suatu kumunitas, ditandai dengan nilai indeks
keanekaragaman (H') antara 2.76 – 3.39 serta komunitasnya dalam keadaan stabil atau indeks kemerataan
spesies E (0.93 < E ≤0.98).
Kata kunci: kemerataan spesies, kekayaan spesies, morfospesies, perangkap lubang, jaring serangga, nampan kuning,
perangkap lampu
PENDAHULUAN
Tanaman sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu jenis tanaman palma yang tumbuh secara
alami di wilayah tropis dataran rendah dan lembab. Sagu merupakan tanaman asli Maluku dan
tersebar pada kondisi lahan pesisir, dekat sungai, rawa-rawa, kering, datar-curam, dan umumnya
pada ketinggian ±6 m dpl. Selain itu pada daerah-daerah dengan karakteristik tanah-tanah aluvial
(Entisol dan Inceptisol), ketinggian sampai dengan 250 m dpl, kemiringan sampai dengan 8% dan jarak
dari sungai < 300 m (Botanri 2010; Gosleana 2012). Perkiraan luas areal sagu di Maluku sekitar
53.866 ha yang tersebar di delapan Kabupaten/Kota, dengan produktivitas tepung basah 1.088.887
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 133
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
ton/ha/thn (BPS Maluku 2013) atau perkiraan luas areal sagu dapat mencapai 617.500,31 ha
berdasarkan analisis regresi logistik (Gosleana 2012).
Sagu di Maluku tumbuh membentuk ekosistem hutan sagu atau menjadi hutan sagu alami dengan
berbagai keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman spesies tanaman, binatang dan mikroorganisme
yang ada dan berinteraksi dalam suatu ekosistem (Primack et al. 1998). Secara keseluruhan diantara
sekian banyak jenisnya, Arthropoda memainkan berbagai ragam peran di dalam ekosistem hutan.
Kelompok peran dimaksud yaitu 1) peran dalam sesama Arthropoda, 2) peran pada tanaman, 3)
peran pada binatang selain Arthropoda, 4) peran pada bahan organik yang siap mengalami proses
dekomposisi, 5) peran pada cuaca, 6) peran di tanah, dan 7) peran pada manusia (Husaeni et al. 2006).
Setiap individu akan selalu berhimpun atau terdiri dari individu-individu kedalam suatu kelompok
membentuk populasi yang kemudian populasi-populasi ini akan membentuk suatu asosiasi yang
disebut komunitas. Kumpulan dari komunitas-komunitas akan membentuk satu ekosistem.
Arthropoda merupakan komponen keanekaragaman hayati yang paling besar jumlahnya,
mempunyai fungsi ekologis yang penting dan dapat menjadi indikator rusaknya lingkungan.
Serangga merupakan hewan dengan jumlah anggota terbesar diantara kelas lainnya dalam
filum Arthropoda dan hewan lainnya di dunia (Gullan & Cranston 2010). Jumlah serangga
diperkirakan mencapai lebih dari 11 kali jumlah spesies Arthropoda yang ada. Sekitar 950.000
spesies telah teridentifikasi sebagai serangga dari 1.956.000 total spesies Arthropoda yang ada atau
sekitar 59.5% dari 67.4% total spesies Arthropoda dunia (Borror et al. 1995). Speight et al. (1999)
menyebutkan 77% dari kelompok binatang Metazoa adalah insekta dan dapat dijumpai hampir di
seluruh permukaan bumi yang meliputi daratan, perairan, dan udara. Berdasarkan peranannya,
komposisi ordo-ordo serangga terdiri dari 19 ordo sebagai scavengerr/dekomposer, 16 ordo sebagai
karnivor, 6 ordo sebagai fungifor, 3 ordo algae/moss dan 8 ordo sebagai herbivora. Diantara delapan
ordo herbivora ini; Orthoptera, Lepidoptera dan Hemiptera adalah ordo terbesar sebagai pemakan
tanaman.
Indeks Keanekaragaman (Index of Diversity) merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan
organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur
komunitas. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas tersebut sangat tinggi.
Suatu komunitas tersebut dinyatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas
tersebut disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya, suatu komunitas dinyatakan rendah apabila
komunitas tersebut disusun oleh spesies yang sedikit dan hanya ada spesies yang dominan (Kusmana
1997). Areal hutan sagu di Maluku diyakini memiliki kekayaan hayati yang penting untuk di
eksplorasi. Informasi tentang kekayaan hayati Arthropoda pada areal hutan di Maluku masih belum
tersedia.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Rutong dan Tawiri Kotamadya Ambon, Desa Tulehu, Kabupaten
Maluku Tengah serta Desa Ariate, Desa Eti, dan Desa Waisamu Kabupaten Seram Bagian Barat
Provinsi Maluku. Identifikasi Arthropoda dilakukan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Balitbangtan Maluku, Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Bidang Zoologi Puslit
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Identifikasi tumbuhan dilakukan di
H′
E= E = nilai sebaran indeks
ln S
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 135
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Perbedaan atau komposisi spesies antar habitat dapat dilakukan diukur dengan menggunakan
pendekatan keragaman-β (Maguran 1988). Cara mudah untuk menghitung keragaman-β adalah
dengan menggunakan koefisien kemiripan. Salah satu koefisien kemiripan yang umum dipakai
adalah indeks Jaccard (Cj) yang dihitung dengan rumus: Cj = j / (a+b-j). Dimana: j = jumlah spesies
yang ditemukan pada a dan b ; a = jumlah spesies di a ; dan b = jumlah spesies di b
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 137
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 1. Perbandingan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H'), indeks kemerataan (E) dan nilai
rataan keanekaragaman Arthropoda terhadap indikator pengamatan (musim, jenis dan lokasi) di
areal sagu, Maluku.
Dari 18 ordo arthropoda, ordo Diptera, Hymenoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan Orthoptera
yang dominan ditemukan pada semua jenis perangkap serangga yang digunakan. Hubungan
korelasi antara individu perangkap lubang dengan individu jaring serangga memiliki nilai P<0.05
sehingga hanya korelasi keduanya yang berpengaruh nyata, jika nilai individu perangkap lubang
meningkat maka nilai individu jaring serangga juga meningkat (Tabel 1).
Nilai rataan indeks keanekaragaman (H') berdasarkan musim, jenis perangkap dan lokasi areal
sagu yakni 2.76 – 3.46. Meskipun penggunaan perangkap lampu memiliki kelimpahan individu
tetapi nilai rataan indeks H'<3 atau berbeda nyata dengan ketiga jenis perangkap lainnya. Semakin
tinggi (H'>3) berarti keragaman spesies semakin tinggi pula (Magurran 1988). Indeks kemerataan
spesies E (0.77 < E ≤1.09) menunjukkan komunitas berada pada kondisi stabil atau keberadaan spesies
memiliki kelimpahan yang sama. Jika nilai E semakin mendekati 1 artinya jumlah individu setiap
jenisnya hampir merata (Margalef 1958). Nilai indeks keanekaragaman ini tergantung dari
kekayaan spesies dan kemerataan spesies. Kekayaan spesies arthropoda yang berperan sebagai
herbivor, predator, parasitoid, pollinator, detritivor, dan serangga lainnya menunjukkan kestabilan
ekosistem hutan sagu. Ekosistem hutan sagu dengan beragam vegetasi/tumbuhan bawah
(understori) yang spesifik menjadi ruang habitat arthropoda yang spesifik juga. Struktur vegetasi dan
ketersediaan pakan pada habitat merupakan faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman jenis
di suatu habitat (Campbell & Neil 2009).
Berdasarkan proporsi setiap peran fungsional Arthropoda di areal sagu (Gambar 1), didominasi
oleh beberapa famili, antara lain: Formicidae 20 morfospesies, Crambidae 10 morfospesies,
Chrysomelidae 9 morfospesies, Curculionidae 8 morfospesies, Staphylinidae 7 morfospesies,
Scarabaeidae 7 morfospesies, Pyralidae 7 morfospesies, Geometridae 6 morfospesies dan Noctuidae 6
morfospesies.
Sedangkan perbandingan morfospesies Arthropoda di setiap lokasi dengan musim yang berbeda,
diperoleh kisaran indeks kemiripan (Cj) 0.33–1.00. Penggunaan perangkap lampu pada enam areal
sagu di Maluku, diperoleh kisaran: 4–13 ordo, 7–64 famili, 8–117 morfospesies, indeks
keanekaragaman (H') 1.59–3.56, indeks kemerataan (E) 0.65–0.89 dan indeks dominansi (C) 0.05–0.27
Arthropoda baik musim hujan dan kemarau. Sedangkan perbandingan morfospesies Arthropoda
di setiap lokasi dengan musim yang berbeda, diperoleh kisaran indeks kemiripan (Cj) 0.35–0.39.
Penggunaan perangkap nampan kuning pada enam areal sagu di Maluku, diperoleh kisaran: 5–10
ordo, 3–28 famili, 6–39 morfospesies, indeks keanekaragaman (H') 2.86–3.95, indeks kemerataan (E)
0.92–1.29 dan indeks dominansi (C) 0.04–0.25 Arthropoda baik musim hujan dan kemarau.
Sedangkan perbandingan morfospesies Arthropoda di setiap lokasi dengan musim yang berbeda,
diperoleh kisaran indeks kemiripan (Cj) 0.18–0.55. Penggunaan perangkap lubang pada enam
areal sagu di Maluku, diperoleh kisaran: 5–11 ordo, 8–27 famili, 9–37 morfospesies, indeks
keanekaragaman (H') 2.60–3.98, indeks kemerataan (E) 0.81–1.27 dan indeks dominansi (C) 0.04–0.31
Arthropoda baik musim hujan dan kemarau. Sedangkan perbandingan morfospesies Arthropoda di
setiap lokasi dengan musim yang berbeda, diperoleh kisaran indeks kemiripan (Cj) 0.41–0.71.
Hubungan korelasi antara individu perangkap lubang dengan individu jaring serangga memiliki
nilai P<0.05 sehingga hanya korelasi keduanya yang berpengaruh nyata, jika nilai individu perangkap
lubang meningkat maka nilai individu jaring serangga juga meningkat (Tabel 2). Semakin tinggi
(H'>3) berarti keragaman spesies semakin tinggi pula (Magurran 1988). Indeks kemerataan spesies E
(0.93 < E ≤0.98) menunjukkan komunitas berada pada kondisi stabil atau keberadaan spesies memiliki
kelimpahan yang sama. Jika nilai E semakin mendekati 1 artinya jumlah individu setiap jenisnya
hampir merata (Margalef 1958). Nilai indeks keanekaragaman ini tergantung dari kekayaan
spesies dan kemerataan spesies.
Keberadaan arthropoda pada suatu tempat dapat menjadi indikator biodiversitas, kesehatan
ekosistem, dan degradasi landscape. Oleh karena itu, konservasi arthropoda tidak dapat diabaikan
karena arthropoda mempunyai fungsi/peran penting di lingkungan. Hal ini beranjak dari
pemahaman bahwa adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan, dimana jenis
atau populasi tumbuhan, hewan termasuk arthropoda dan mikroorganisme akan mengalami
perubahan kehadiran, vitalitas dan respon sebagai akibat pengaruh kondisi lingkungan.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 139
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2 Hubungan korelasi antara individu dengan jenis alat perangkap dan vegetasi
Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi
(rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat
pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut (Speight et.al., 1999). Kelimpahan populasi
arthropoda pada suatu habitat ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber
pakan maupun sumber daya lain yang tersedia pada habitat tersebut. Serangga menanggapi sumber
daya tersebut dengan cara yang kompleks.
Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi faktor pembatas bagi keberadaan
populasi arthropoda di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar individu. Jumlah dan jenis
arthropoda akan semakin meningkat pada komunitas yang memiliki kuantitas dan kualitas pakan
yang sesuai dengan kebutuhan arthropoda. Antara vegetasi dan arthropoda terjadi hubungan yang
dapat menstabilkan ekosistem hutan. Bila salah satu komponen terganggu maka akan
mempengaruhi keberadaan komponen lainnya.
Keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya
suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang rendah jika komunitas itu disusun oleh
sedikit spesies dan jika hanya sedikit spesies yang dominan. Jumlah spesies pada suatu habitat
dipengaruhi oleh beraneka faktor lingkungan yang saling mempengaruhi. Secara umum jumlah
spesies akan dipengaruhi oleh faktor temporal dan spasial (Begon et al. 2006).
Faktor temporal berkaitan dengan sejarah geologi,
suksesi, musim dan variasi iklim sedangkan faktor
spasial berupa kondisi habitat, penyebaran tumbuhan
dan kondisi geografis. Faktor spasial menurut (Begon et
al. 2006), tingkat produktivitas suatu wilayah berkaitan
dengan jumlah sumberdaya yang tersedia. Semakin
produktif suatu area maka jumlah spsiesnya yang hidup
pada lokasi tersebut semakin meningkat. Namun
demikian peningkatan produktivitasnya juga
memungkinkan terjadinya penambahan individu per
spesies dibandingkan penambahan spesies.
Keheterogenan habitat memberikan kemungkinan bagi
organisme dari berbagai tingkatan untuk dapat hidup
Gambar 2 Kedekatan antar objek individu
berdampingan. Habitat yang heterogen akan lebih
yang diperoleh dengan berbagai
jenis perangkap arthropoda di banyak menyediakan variasi habitat mikro dan iklim
areal sagu. mikro dibandingkan dengan habitat yang lebih
F1 (67.00 %)
a1 = ariate hujan jaring serangga b1 = ariate hujan perangkap c1 = ariate hujan nampan d1 = ariate hujan perangkap
lampu kuning lubang
a2 = ariate kemarau jaring b2 =ariate kemarau perangkap c2 = ariate kemarau nampan d2 = ariate kemarau perangkap
serangga lampu kuning lubang
a3 = eti hujan jaring serangga b3 = eti hujan perangkap lampu c3 = eti hujan nampan d3 = eti hujan perangkap lubang
kuning
a4 = eti kemarau jaring serangga b4 = eti kemarau perangkap c4 = eti kemarau nampan d4 = eti kemarau perangkap
lampu kuning lubang
a5 = waesamu hujan Jaring b5 = waesamu hujan perangkap c5 = waesamu hujan nampan d5 = waesamu hujan perangkap
Serangga lampu kuning lubang
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 141
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
a6 = waesamu kemarau jaring b6 = waesamu kemarau c6 = waesamu kemarau d6 = waesamu kemarau perangkap
serangga perangkap lampu nampan kuning lubang
a7 = tulehu hujan jaring serangga b7 = tulehu hujan perangkap c7 = tulehu hujann ampan d7 = tulehu hujan perangkap
lampu kuning lubang
a8 = tulehu kemarau jaring b8 = tulehu kemarau perangkap c8 = tulehu kemarau nampan d8 = telehu kemarau perangkap
serangga lampu kuning lubang
a9 = rutong hujan 142arring B9 = rutong hujan perangkap c9 = rutong hujan nampan d9 = rutong hujan perangkap
serangga lampu kuning lubang
a10 = rutong kemarau jaring b10 = rutong kemarau c10 = rutong kemarau d10 = rutong kemarau perangkap
serangga perangkap lampu nampan kuning lubang
a11 = tawiri hujan jaring b11 = tawiri hujan perangkap c11 = tawiri hujan nampan d11 = tawiri hujan perangkap
serangga lampu kuning lubang
a12 = tawir kemarau jaring b12 =tawiri kemarau c12 = tawiri kemarau d12 = tawiri kemarau perangkap
serangga perangkap lampu nampan kuning lubang
Gambar 4. Nilai ordo, famili, genus dan indeks keanekaragam H' pada setiap areal sagu dengan masing-masing
jenis perangkap arthropoda.
Gambar biplot di atas terlihat bahwa objek yang berada pada kuadran I lebih dijelaskan oleh
variabel H' dan variabel ordo, sedangkan objek pada kuadran IV dijelaskan oleh varabel ordo, family
dan genus (Gambar 4). Suatu komunitas tersebut dinyatakan memiliki keanekaragaman spesies
yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya, suatu komunitas
dinyatakan rendah apabila komunitas tersebut disusun oleh spesies yang sedikit dan hanya ada
spesies yang dominan (Kusmana 1997). Dalam situasi dan kondisi tertentu, setiap populasi memiliki
batas geografi dan juga ukuran populasi atau jumlah individu (Schowalter 2011).
Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas tersebut sangat tinggi.
Komunitas arthropoda pada areal hutan sagu dipengaruhi oleh keberadaan tumbuhan sebagai
makanan/inang. Jenis tumbuhan yang lebih beragam akan menyediakan lebih beragam serangga
serta musuh alami spesialisnya (Shaw 2006). Arthropoda yang mendiami habitat hutan sagu
memiliki banyak sumber makanan serta tempat berlindung.
Bila keragaman tanaman cukup tinggi, musuh alami dapat berkembang dengan baik dan akan
tetap bertahan hidup di tempat tersebut. Tinggi rendahnya jumlah populasi di suatu habitat
berkaitan dengan kondisi lingkungan habitat yang bersangkutan. Kondisi lingkungan tersebut dapat
berubah-ubah akibat pengaruh eksternal dan internal. Faktor eksternal atau akibat aktivitas manusia
dan kebakaran hutan, sedangkan faktor internal yakni persaingan dan sifat ketergantungan dari
komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan habitat itu sendiri misalnya ketersediaan
makanan/pakan bagi arthropoda seperti vegetasi atau serangga lain yang berukuran lebih kecil
sebagai mangsa.
Secara umum, apabila grazer besar serta kepadatan tinggi dapat merugikan kekayaan spesies
arthropoda, kekayaan akan meningkat saat penurunan kerapatan. Peningkatan kekayaan
arthropoda secara linier atau asimtotik dengan penurunan kerapatan grazer, dengan kekayaan
memuncak tanpa herbivora. Peningkatan kompleksitas vertikal vegetasi salah satu faktor penting
menentukan kekayaan spesies arthropoda (van Klink et al. 2013).
Rerumputan memberi efek positif pada kekayaan arthropoda, peningkatan heterogenitas vegetasi
yang diciptakan oleh grazer besar, sebagian besar spesies Arthropoda menunjukkan respons spesifik
terhadap areal padang rumput, beberapa spesies melimpah di vegetasi rumput pendek, sementara
yang lain melimpah di vegetasi tinggi. Terdapat hubungan positif antara habitat heterogenitas dan
kekayaan arthropoda (Woodcock et al. 2007; van Klink et al. 2013).
Arthropoda sebagai indikator yang sangat baik dalam memantau kesehatan ekosistem, karena
merupakan bagian integral dalam proses ekosistem yang melimpah, tersebar luas dengan beragam
Jenis tumbuhan dan arsitektur tumbuhan yang kompleks pada suatu ekosistem dengan sistem
tumpang sari atau tanaman sela akan meningkatkan keanekaragaman dan kekayaan jenis antara lain
musuh alami parasitoid, predator dan serangga penyerbuk. Keanekaragaman hayati dapat
meningkatkan atau menstabilkan serangga musuh alami dan penyerbuk dalam suatu ekosistem
(Mody et al., 2017). Kelompok serangga seperti Hymenoptera berkaitan dengan kepadatan
inangnya.
Hymenoptera parasitoid pada hutan mempunyai keanekaragaman jenis lebih tinggi dibandingkan
dengan komunitas-komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan tertentu seperti pada agroekosistem
atau lahan terganggu (Maeto et al. 2009; Ruiz-Guerra et al. 2015). Parasitoid sensitif terhadap
perubahan dan kerusakan habitat sehingga ekosistem yang berbeda tersebut dapat mempengaruhi
keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid yang hidup di dalamnya terutama kekayaan
spesies (Sharkey 2007). Yaherwandi et al. (2007) melaporkan bahwa keanekaragaman Hymenoptera
parasitoid dipengaruhi oleh tipe lanskap pertanian, yaitu lanskap pertanian dengan struktur yang
kompleks.
Ketertarikan Hymenoptera parasitoid untuk mendiami suatu ekosistem dikarenakan kesesuaian
mikrohabitat, ketersediaan makanan (pollen, nektar, dan embun madu) dan ketersediaan inang
parasitoid yang berasosiasi dengan jenis tanaman tertentu di suatu ekosistem. Kelimpahan
parasitoid Scelionidae lebih tinggi pada kondisi ekosistem yang terbuka seperti habitat padang
rumput dibandingkan hutan (Masner 1993). Scelionidae merupakan jenis parasitoid generalis yang
memarasit telur serangga dan laba-laba sehingga mempunyai potensial inang yang luas
(Sithanantham et al. 2013).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 143
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Parasitoid Telenomus sp (Scelionidae), Stictopisthus sp (Ichneumonidae) dan Chrysocharis sp
(Eulophidae) lebih dominan pada setiap tipe koleksi serangga (Tabel 3.7). Keberadaan jenis
parasitoid dan dominansi dari spesies tertentu pada areal sagu menunjukkan adanya interaksi antara
tanaman sagu dan serangga hama. Kumbang R. ferrugineus dan O. rhinoceros, beberapa jenis belalang
S. nubila, C. brachypterus, O. chinensis, D. femorata, kumbang B. longissima, dan kumbang P. reichei
teridentifikasi banyak menimbulkan kerusakan pelepah daun sagu. Ditemukan juga predator
Forficula sp.,pada kuncup daun sagu dan investasi larva R. ferrugineus pada tual sagu.
Faktor ini akan menimbulkan respon parasitoid untuk menemukan target inangnya. Dicke et al.
(2009) menyatakan bahwa bau-bauan dari tanaman sehat tidak menunjukkan keberadaan inang
secara jelas, tanaman menyediakan informasi yang lebih baik bagi parasitoid melalui interaksi
tanaman dan herbivor. Proses pencarian inang, parasitoid dihadapkan pada reliability-detectability
problem terhadap berbagai rangsangan kimiawi disekitar habitat inang.
Nilai informasi kimia yang dihasilkan oleh tanaman inang (Habitat Location Hypothesis) maupun
informasi kimia yang dihasilkan tanaman sebagai akibat adanya interaksi antara hama (inang) dengan
tanaman (Host Location Hypothesis) membuktikan bahwa interaksi tersebut bermanfaat bagi tanaman
untuk mengatasi serangan hama dengan pertahanan tidak langsung oleh parasitoid (Vet et al. 1991).
Parasitoid telur famili Trichogrammatidae, Scelionidae, Eulophidae dan Mymaridae sangat
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendalian biologi. Genus Trichogramma Westwood
dan Trichogrammatoidea Girault merupakan eksklusif parasitoid telur dan genera penting lainnya
seperti Oligosita, Telenomus dan Anagrus (Mawela et al 2013). Parasitoid telur dari genus Telenomus
(Hymenoptera: Scelionidae: Telenominae) paling menjanjikan, juga parasitoid Trichogramma pada
masa lalu secara terpadu telah banyak digunakan dengan tingkat parasitasi tinggi terhadap telur
serangga dari ordo Lepidoptera (Tavares et al. 2009; Guz et al. 2013).
Parasitoid Scelio sp (Scelionidae) dapat ditemukan pada inang (telur) serangga ordo Orthoptera
dan Mantodea. Parasitoid telur Telenomus podisi Ashmead dan Trissolcus erugatus Johnson
(Hymenoptera: Scelionidae) digunakan untuk mengendalikan hama invasif Halyomorpha halys (Stål)
(Heteroptera: Pentatomidae) di Amerika Utara (Tognon et al. 2017). Parasitoid Trissolcus grandis
efektif menyerang telur hama Eurygaster integriceps Puton (Hemiptera: Scutelleridae) pada kondisi
iklim kering sampai musim dingin (Yasemi et al. 2016).
Komposisi spesies parasitoid telur Trissolcus sangat bervariasi berdasarkan distribusi temporal dan
geografis (Tarla & Kornosor 2009). Tawon Eulophid Aprostocetus sp. (Hymenoptera: Eulophidae)
adalah parasitoid telur Nilaparvata lugens yang selalu ditemukan areal padi sawah dan telah banyak
dikembangkan sebagai agens hayati (Vongpa et al. 2016).
Famili Ichneumonidae, Eulophidae, Pteromalidae, Braconidae, Eucoilidae, Diapriidae,
Chalcididae, Scoliidae, Platygastridae dan Bethylidae merupakan kelompok Hymenoptera parasitoid
yang banyak berasosiasi dengan larva-pupa serangga herbivor. Parasitoid larva-pupa Ichneumonid
yang penting dalam pengendalian biologis serangga hama dan merupakan salah satu famili yang
paling beragam dari ordo Hymenoptera. Stictopisthus sp (Ichneumonidae) dikenal sebagai
hiperparasitoid dari Brachimeria yang memarasit pupa/cocoon.
Faktor lain juga terkait tumbuhan bawah (vegetasi understory) atau vegetasi di bawah tegakan
dan sekitar rumpun sagu. Jenis tumbuhan yang lebih beragam akan menyediakan lebih beragam
serangga serta musuh alami. Semakin banyak vegetasi bawah yang terdapat di dalam suatu habitat,
maka semakin banyak pula sumber nutrisi dan inang alternatif yang dapat digunakan oleh musuh
alami untuk dapat melangsungkan kehidupannya (Putra et al. 2012). Batang dan tual sagu yang
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 145
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tidak dimanfaatkan, menarik serangga herbivor, predator, dan detritivor yang memungkinkan
tersediannya telur, larva, pupa, dan imago sebagai inang parasitoid. Kualitas nutrisi herbivor
dipengaruhi kualitas nutrisi tanaman, sedangkan tingkat parasitasi dipengaruhi oleh kualitas
inangnya. Tscharntke et al. (2016) menyatakan bahwa habitat alami gagal untuk mendukung
pengendalian hama secara biologis, yakni 1) populasi hama tidak memiliki musuh alami yang efektif
di wilayah tersebut, 2) habitat alami adalah sumber hama yang lebih besar daripada musuh alami, 3)
tanaman menghasilkan lebih banyak sumber daya untuk musuh alami daripada habitat alami, 4)
habitat alami tidak mencukupi untuk menyediakan populasi musuh alami yang cukup besar yang
dibutuhkan untuk pengendalian hama, dan 5) praktik pertanian yang menghambat pembentukan
musuh alami dan pengendalian biokonversi yang disediakan oleh habitat alami. Biokontrol dalam
habitat alami dapat bervariasi tergantung jenis tanaman, hama, predator, pengelolaan lahan, dan
struktur lansekap. Variasi ini perlu dipertimbangkan saat merancang langkah-langkah untuk
meningkatkan layanan biokontrol melalui pemulihan atau pemeliharaan habitat alami areal sagu.
KESIMPULAN
Kelimpahan arthropoda di enam areal sagu di Maluku didapatkan sebanyak 18 ordo, 130 famili,
dan 7573 individu. Ordo Coleoptera 27 Famili, Diptera 24 Famili, Hymenoptera 19 Famili,
Hemiptera 16 Famili, Lepidoptera 16 Famili, Orthoptera 6 Famili, Blattodea 2 Famili, Odonata 2
Famili, Megaloptera 1 Famili, Mantodea 1 Famili, Ephemeroptera 1 Famili, Phasmatodea 1 Famili,
Collembola 2 Famili, Dermaptera 1 Famili, Psocoptera 1 Famili, Isopoda 2 Famili, Pseudoscorpiones
1 Famili, dan Araneae 7 Famili. Kekayaan morfospesies di semua lokasi penelitian sebanyak 8 ordo,
19 famili, 784 individu, sedangkan pada di masing-masing areal hutan sagu yaitu Ariate 445 individu,
Eti 391 individu, Waisamu 320 individu, Rutong 311 individu, Tawiri 212 individu, dan Tulehu 317
individu. Nilai rataan indeks keanekaragaman (H') berdasarkan musim, jenis perangkap dan lokasi
areal sagu yakni 2.76 – 3.46.
Indeks kemerataan spesies E (0.77 < E ≤1.09). Musim berpengaruh nyata terhadap nilai rataan
kelimpahan ordo dan indeks keanekaragaman (H') pada areal sagu atau kelimpahan ordo Arthropoda
akan banyak ditemukan pada musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan. Jenis
Arthropoda dari kelompok Insecta lebih dominan dari kelompok Arachnida dan Crustacea, dimana
yang berperan sebagai herbivor (801 morfospesies), predator (569 morfospesies), detritivor (408
morfospesies), parasitoid (169 morfospesies), pollinator (48 morfospesies) dan serangga lain (7
morfospesies).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Pertanian dan Kepala BPTP Maluku yang telah
berkontribusi dalam menunjang penelitian ini
DAFTAR PUSTAKA
Ares A, Neill AR, Puettmann KJ. 2010. Understory abundance, species diversity and functional
attribute response to thinning in coniferous stands. For. Ecol. Manage. 260, 1104–1113.
Azhar B, Saadun N, Puan CL, Kamarudin N, Aziz N, Nurhidayu S., et al. 2015. Promoting landscape
heterogeneity to improve the biodiversity benefits of certified palm oil production: evidence
from Peninsular Malaysia. Glob. Ecol. Conserv. 3,553–561.
Bauhus J, Aubin I, Messier C, Connell M. 2001. Composition, structure, light attenuation and nutrient
content of the understorey vegetation in a Eucalyptus sieberi regrowth stand 6 years after
thinning and fertilisation. Forest Ecol. Manage. 144, 275–286.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 147
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Knapp EE, Skinner CN, North MP, Estes BL. 2013. Long-term overstory and understory change
following logging and fire exclusion in a Sierra Nevada mixed-conifer forest. For. Ecol. Manage.
310, 903–914.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: Penerbit Institut Pertanian Bogor
Lee E-D, Min H-K, Oh K-S. 2012. Appearance of carrion beetles (Coleoptera:Silphidae) by altitudes in
Deogyusan National Park, Jeollabuk-do, Korea. Journal of Korean Nature 5:11-15.
Lee CM, Kwon T-S, Park YK. 2014. Diversity of beetles in Gariwangsan Mountain, South Korea:
influence of forest management and sampling efficiency of collecting method. Journal of Asia-
Pacific Biodiversity 7:319-346.
Lingbeek BJ, Higgins CL, Muir JP, Kattes DH, Schwertner TW. 2017. Arthropod diversity and
assemblage structure response to deforestation and desertification in the Sahel of western
Senegal. Global Ecology and Conservation 11:165-176.
Letourneau D, Jedlicka J, Bothwell S, Moreno C. 2009. Effects of natural enemy biodiversity on the
suppression of arthropod herbivores in terrestrial ecosystems. Annu. Rev. Ecol. Syst. 40, 573–592.
Luke SH, Fayle TM, Eggleton P, Turner EC, Davies RG. 2014. Functional structure of ant and termite
assemblages in old growth forest, logged forest and oil palm plantation in Malaysian Borneo.
Biodivers. Conserv. 23, 2817–2832.
Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurements. London: Croom Helm Limited.
London.
Marsono D. 1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas
Kehutanan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Maeto K, Noerdjito WA, Belokobylskij SA, Fukuyama K. 2009. Recovery of species diversity and
composition of braconid parasitic wasps after reforestation of degraded grasslands in lowland
East Kalimantan. J Insect Conserv. 13(2):245-257.
Mody K, Collatz J, Bucharova A, Dorn S. 2017. Crop cultivar affects performance of herbivore
enemies and may trigger enhanced pest control by coaction of different parasitoid species.
Agriculture, Ecosystems and Environment 245: 74–82.
Nambiar EKS, Sands R. 1993. Competition for water and nutrients in forests. Canadian Journal of
Forest Research 23, 1955–1968.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi konservasi.Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Ramirez SR, Roubik DW, Skov C, Pierce NE. 2010. Phylogeny, diversification patterns and historical
biogeography of Euglossine orchid bees (Hymenoptera: Apidae). Biol. J. Linn. Soc. 100, 552–572.
Ruiz-Guerra B, López-Acosta JC, Zaldivar-Riverón A, Velázquez-Rosas N. 2015. Braconidae
(Hymenoptera: Ichneumonoidea) abundance and richness in four types of land use and
preserved rain forest in southern Mexico. Rev Mexi Biodivers. 86(1):164-171.
Selmants PC, Knight DH. 2003. Understory plant species composition 30–50 years after clearcutting in
southeastern Wyoming coniferous forests. For. Ecol. Manage. 185, 275–289.
Schowalter TD. 2011. Insect Ecology: an Ecosystem Approach, third ed. Academic Press, San Diego.
Schowalter TD. 2012. Insect Responses to Major Landscape-level Disturbance. Annu. Rev. Entomol. 57,
1–20.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 149
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
150 | Teknologi Pertanian
RESPON HAMA WERENG COKLAT TERHADAP KETAHANAN
DAN KERENTANAN VARIETAS PADI
ABSTRACT
The aim of the study was to compare the response of brown planthopper meal to resistant and vulnerable rice varieties
through measurement of secreted honeydew. The study was conducted in November 2013 at the Toxicology
Laboratory, Department of Plant Protection , Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural Institute. Rice seeds for
testing honeydew when they are 30 days after seedling. Testing by infesting 3 female BPH into a plastic cage which
filtered down the bottom (Whatman No.40 9 cm in diameter) which had been sprayed with Ninhydrin 0.01 mg/ml
acetone solution. The treatment consisted of 3 rice varieties on each oven filter paper and not oven and repeated 3 times
so that a total of 18 treatments were used by infesting each of the 3 female BPH nymphs. Whereas in 3 treatments
without filter oven paper (repeat 3 times) which were infested only 3 BPH female imago each. So that the total
treatment is a total of 27 feeding tubes. Honeydew issued by BPH which eats on the test varieties for 24 hours is
collected on filter paper and forms blue/purple spots. The extent of the spots of honeydew formed are measured and
analyzed. The results showed that the average value of phloem consumption in Ciherang, IR-64 and Pelita rice
varieties showed that the three varieties were very susceptible to BPH sucking pests. The more food nutrients are
sucked by BPH pests from rice plants, the more the number of honeydew spots and the wider honeydew spot spots
produced. The spot width of honeydew spots Pelita varieties (33.78 m 2), IR-64 (28.26 mm2), and Ciherang (22.44
mm2). Pelita rice varieties when compared to Ciherang and IR-64 varieties, have a high susceptibility to BPH pests
because Pelita varieties do not have resistance genes to BPH pests
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk membandingkan respon makan wereng batang coklat pada varietas padi
tahan dan rentan melalui pengukuran embun madu yang disekresikan. Penelitian dilaksanakan
November 2013 di Laboratorium Toksikologi, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Benih padi untuk pengujian embun madu saat berumur 30 hari setelah semai.
Pengujian dengan menginfestasi 3 ekor WBC betina ke dalam kurungan plastik yang dibagian bawahnya
diletakkan kertas saring (Whatman No.40 berdiameter 9 cm) yang telah disemprot dengan larutan
Ninhidrin 0,01 mg/ml aseton. Perlakuan terdiri dari 3 varietas padi pada masing-masing kertas saring
oven dan tidak oven dan ulangan 3 kali sehingga total 18 perlakuan dengan menggunakan/menginfestasi
masing-masing 3 ekor nimfa betina WBC. Sedangkan pada 3 perlakuan kertas saring tanpa oven
(ulangan 3 kali) yang diinfestasi hanya masing-masing 3 ekor imago betina WBC. Sehingga total
perlakuan seluruhnya sebanyak 27 tabung makan. Embun madu yang dikeluarkan oleh WBC yang
makan pada varietas uji selama 24 jam tertampung pada kertas saring dan membentuk bercak berwarna
biru/ungu. Luas bercak embun madu yang terbentuk diukur dan dianalisis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat konsumsi floem pada varietas padi Ciherang, IR-64 dan Pelita,
menunjukkan bahwa ketiga varietas ini sangat rentan terhadap hama pengisap WBC. Semakin banyak
nutrisi makanan yang disedot oleh hama WBC dari tanaman padi, maka semakin banyak jumlah spot
bercak honeydew dan semakin luas spot bercak honeydew yang dihasilkan. Luas spot bercak honeydew
varietas Pelita (33,78 m2), IR-64 (28,26 mm2), dan Ciherang (22,44 mm2). Varietas padi Pelita bila
dibandingkan dengan varietas Ciherang dan IR-64, memiliki kerentanan yang tinggi terhadap hama WBC
karena varietas Pelita ini tidak memiliki gen ketahanan terhadap hama WBC.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 151
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
PENDAHULUAN
Serangga wereng batang coklat (WBC) Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae)
merupakan salah satu hama penting yang menyerang tanaman padi. Hama ini merusak padi secara
langsung dengan menghisap cairan dari batang hingga tanaman kering dan mati. Serangan wereng
batang coklat di lapangan berfluktuatif, mulai ringan sampai mencapai puncak perkembangannya
saat terjadi ledakan yang menimbulkan puso/mati terbakar (hopperburn).
Wereng batang coklat menyerang langsung tanaman padi dengan mengisap cairan sel tanaman
sehingga tanaman menjadi kering. Serangan tidak langsungnya yaitu wereng dapat mentransfer virus
yang berbahaya bagi tanaman padi, yaitu virus kerdil hampa, virus kerdil rumput tipe 1, dan virus
kerdil rumput tipe 2.Hubungan serangga hama WBC dengan tanaman padi akibat dari serangga
dapat mengenali atau merasakan keberadaan senyawa kimia dalam jumlah/konsentrasi rendah di
dalam makanannya.
Senyawa-senyawa yang telah dikenal baik oleh serangga akan dijadikan tanda bahwa tanaman
tersebut adalah inang mereka dan kebanyakan senyawa-senyawa yang telah dikenal dijadikan
sebagai penarik (atraktan). Sebaliknya kehadiran senyawa-senyawa yang belum dikenal (foreign
compounds) dapat mengakibatkan penolakan pada serangga. Inilah yang mendasari mengapa
serangga memilih inang tertentu dan tidak memilih inang yang lain. Penolakan serangga terhadap
kehadiran senyawa-senyawa kimia tertentu dapat dimanfaatkan untuk dikaji lebih mendalam tentang
aspek pengendalian serangga hama (Dadang dan Prijono 2008).
Senyawa-senyawa yang terkandung di dalam tanaman, dapat menunjukkan berbagai macam
aktivitas biologi pada serangga seperti penghambatan/penolakan makan, penolakan peneluran,
penghambatan pertumbuhan dan perkembangan, kematian dan lain-lain (Dadang dan Prijono 2008).
Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi atau tidak
menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Menurut
Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti
menolak tamu. Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau antixenosis
kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologi.
Antixenosis kimiawi terjadi karena tanaman mengandung allelokimia yang menolak kehadiran
serangga pada tanaman. Antixenosis morfologi, ketahanan tanaman disini terbawa oleh adanya sifat-
sifat struktural atau morfologi tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan dan
peletakan telur yang normal. Ketahanan beberapa varietas tanaman padi dapat dianalisis
berdasarkan sekresi honeydew yang dikeluarkan oleh WBC untuk menentukan juga suatu
populasi/biotipe wereng coklat. Varietas-varietas padi yang banyak di kembangkan seperti
Ciherang, IR-64 dan Pelita menjadi objek dalam penelitian ini. Berdasarkan hal ini, penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari perbandingan respon makan wereng batang coklat pada varietas padi tahan
dan rentan melalui pengukuran embun madu yang disekresikan.
METODE PENELITIAN
Benih padi untuk pengujian embun madu saat berumur 30 hari setelah semai. Pengujian dengan
menginfestasi 3 ekor WBC betina ke dalam kurungan plastik (tabung makan) yang menyungkup
bagian batang sebelah bawah dari tanaman yang diuji (Gambar 1). Dibagian bawah tabung makan ini
diletakkan kertas saring (Whatman No.40 berdiameter 9 cm) yang telah disemprot dengan larutan
ninhidrin 0,01 mg/ml aseton. Perlakuan yang terdiri dari 3 varietas padi pada masing-masing kertas
saring oven dan tidak oven dan ulangan 3 kali sehingga total 18 perlakuan dengan menggunakan/
menginfestasi masing-masing 3 ekor nimfa betina WBC.
HASIL PEMBAHASAN
Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae), atau wereng batang coklat (WBC) merupakan
salah satu hama penting yang menyerang tanaman padi. Hama ini merusak padi secara langsung
dengan menghisap cairan dari batang hingga tanaman kering dan mati. Secara tidak langsung WBC
menjadi vektor bagi penyebaran penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa yang disebabkan oleh
virus (Bahagiawati dan Habib, 2005), sehingga pada saat menusuk dapat menularkan penyakit Virus
Kerdil Rumput (rice grassy stunt virus = VKR) tipe 1 dan tipe 2 dan Virus Kerdil Hampa (rice ragged
stunt virus =VKH) (Baehaki, 2011). Hama ini menyerang berbagai varietas tanaman padi khususnya
varietas unggul tipe baru (VUTB) serta padi hibrida yang diketahui rentan terhadap serangan
organisme pengganggu tanaman, serta padi varietas unggul baru (VUB) (Baehaki, 2008 dalam
Rahmini, 2012).
Sumber pakan dan keberadaan musuh alami dalam suatu ekosistem dan habitat tanaman padi
dapat mempengaruhi kelimpahan serangga WBC. Keberadaan musuh alami dapat memengaruhi
populasi WBC yang berada pada lahan sawah (Gunawan et al., 2015). Musuh alami baik parasitoid,
predator dan pathogen secara alami bekerja tergantung pada kepadatan serangga herbivore.
WBC termasuk serangga bertipe r-strategi, artinya populasi serangga dapat menemukan
habitatnya dengan cepat, berkembang biak dengan cepat dan mampu menggunakan sumber daya
makanan yang baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, mempunyai sifat menyebar dengan
cepat ke habitat yang baru sebelum habitat lain tidak berguna lagi. WBC dapat memanfaatkan
makanan yang banyak dalam waktu singkat sehingga dapat menimbulkan ledakan dan kerugian
yang tidak sedikit (Baehaki 2011).
Tabel 1. Perbandingan rata-rata luas area bercak honeydew imago dan nimfa betina WBC pada kertas
saring tanpa di oven pada varietas padi Ciherang, Pelita dan IR 64.
Luas Bercak honeydew
Jenis Padi (mm2)
Investasi imago WBC Investasi nimfa WBC
Ciherang 7,83±5,97 37,04±44,25
IR-64 38,25±35,20 18,26±9,24
Pelita 66,89±65,38 0,67±0,58
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata taraf 5% uji DMRT.
WBC hidup dengan mengisap cairan floem tanaman padi, yang mengakibatkan daun berubah
warna menjadi kuning oranye sebelum menjadi coklat, mengering dan kemudian mati. Kondisi ini,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 153
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
disebut “hopperburn” karena tanaman terlihat seperti terbakar (Cagampang et al., 1974 dalam Rahmini,
2012). WBC dapat menyebabkan puso pada fase vegetatif maupun generatif tanaman, yaitu pada
daun, batang, dan malai hingga menjadi kering kecoklatan seperti terbakar. Penggunaan varietas padi
rentan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemunculan WBC di lahan sawah (Rahmini et
al., 2012).
Untuk mengetahui ketahanan tanaman padi yang diuji
terhadap suatu populasi/biotipe wereng coklat,
didasarkan pada luas ekskreta (honeydew) yang
dikeluarkan oleh wereng coklat yang makan pada varietas
uji selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dari ketiga varietas padi (Ciherang, IR-64 dan Pelita)
memiliki bercak embun madu (honeydew) (Gambar 2) yang
nampak tertampung pada kertas saring atau membentuk
bercak berwarna biru/ungu. Bercak honeydew dipindai
dan kemudian diukur luas areanya (mm2).
Hasil penelitian berupa honeydew atau embun madu yang disekresikan baik imago maupun
nimfa hama WBC pada varietas padi Ciherang, IR-64 dan Pelita yang tertampung pada kertas saring
yang tanpa di oven menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Nimfa hama WBC yang makan pada
varietas padi Pelita mengeluarkan ekskreta/bercak honeydew dengan rata-rata ukuran relatif besar,
yaitu 66,89 mm2 dibandingkan dengan luas ekskreta yang dikeluarkan WBC varietas padi IR-64 yaitu
38,25 mm2 dan varietas padi Ciherang 7,83 mm2
Berdasarkan nilai rata-rata tingkat konsumsi floem pada varietas padi Ciherang, IR-64 dan Pelita,
menunjukkan bahwa ketiga varietas ini sangat rentan terhadap hama pengisap WBC (Tabel 2).
Varietas padi Pelita bila dibandingkan dengan varietas Ciherang dan IR-64, memiliki kerentanan yang
tinggi terhadap hama WBC karena varietas Pelita ini tidak memiliki gen ketahanan terhadap hama
WBC. Kalau dilihat interaksi antara perlakuan secara keseluruhan, menujukkan bahwa varietas
Pelita memiliki total luas bercak honeydew sebesar 33,78 (Tabel 3). Embun madu yang tersekresi
dari serangga WBC tersebut berbasis floem menunjukkan tanaman rentan, sedangkan yang
transparan menunjukkan tanaman tahan. Senyawa ninhidrin menghasilkn produk berwarna ungu
Faktor ketidakmurnian hama WBC juga merupakan faktor penentu, karena untuk menjamin
kemurnian biotipe WBC tidak hanya memerlukan populasi WBC yang murni, namun juga sarana
pemeliharaan WBC lainnya seperti rumah kaca yang kedap serangga untuk memperbanyak tanaman
makanan WBC dan memperbanyak WBC itu sendiri. Sehingga diharapkan di masa mendatang,
penyaringan varietas/galur padi untuk ketahanan terhadap WBC tidak memerlukan populasi murni
apabila dilihat bahwa populasi WBC di lapang reaksinya hanya sedikit berbeda satu dengan yang lain
(Suyono et al., 2000).
Pengontrolan pada fase vegetative tanaman padi sangat penting, karena fase vegetatif sebelum
pembentukan bulir, populasi WBC akan bertambah dimana dalam fase ini tanaman padi diduga
cenderung menyerap lebih banyak unsur nitrogen untuk pembentukan protein, dilain pihak sebagai
sumber nutrisi bagi WBC (Rashid et al.,dkk., 2016). Penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan dan
tidak tepat dalam waktu aplikasi atau sesuai dengan kondisi pertanaman padi, dapat memicu
peningkatan populasi WBC (Kadja, 2015).
KESIMPULAN
Berdasarkan nilai rata-rata tingkat konsumsi floem pada varietas padi Ciherang, IR-64 dan Pelita,
menunjukkan bahwa ketiga varietas ini sangat rentan terhadap hama pengisap WBC. Semakin
banyak nutrisi makanan yang disedot oleh hama WBC dari tanaman padi, maka semakin banyak
jumlah spot bercak honeydew dan semakin luas spot bercak honeydew yang dihasilkan.
Luas spot bercak honeydew varietas Pelita (33,78 m2), IR-64 (28,26 mm2), dan Ciherang (22,44
mm2).Varietas padi Pelita bila dibandingkan dengan varietas Ciherang dan IR-64, memiliki
kerentanan yang tinggi terhadap hama WBC karena varietas Pelita ini tidak memiliki gen ketahanan
terhadap hama WBC.
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki, SE. 2011. Strategi fundamental pengendalian hama wereng batang coklat dalam pengamanan.
Pengembangan Inovasi Pertanian. 4(1): 15-16.
Bahagiawati, Habib R. 2005. Pengelompokan Biotipe Wereng Cokelat Berdasarkan Hasil PCR-RAPD
Clustering of Brown Planthopper Biotype Based on RAPD-PCR. Hayati, Vol. 12, No. 1. hlm. 1-6.
Dadang dan Prijono D, 2008. Insektisida Nabati, Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan.
Penerbit: Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
ISBN:978-979-25-3571-6.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 155
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Gunawan, CSE, G Mudjiono, dan LP Astuti. 2015. Kelimpahan populasi wereng batang coklat
Nilaparvata lugens Stal. (Homoptera: Delphacidae) dan laba-laba pada budidaya tanaman padi
dengan penerapan pengendalian hama terpadu dan konvensional. Jurnal HPT. 3(1): 117-122.
Kadja, DH. 2015. Pengaruh jenis pupuk dan tinggi genangan air terhadap perkembangan populasi
wereng batang padi coklat pada tanaman padi. Jurnal Ilmu Pertanian. 18(1): 18-23.
Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In; Metcalf RL, Luckmann WH, editor.
Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. Pp 93-
134.
Manzila I, Rijzaani H, dan Bahagiawati 2000. Pemurnian Wereng Coklat Biotipe Laboratorium.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman.
Paguia P, Pathak MD, Heinrichs EA. 1980. Honeydew excretion measurement techniques for
determining differential feeding activity of biotypes of Nilaparvata lugens on rice varieties. J.
Econ Entomol 73:35-40.
Rahmini. 2012. Respon Biologi Wereng Batang Coklat terhadap Biokimia Tanaman Padi’, Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan, 2(31), hal.117–123.
Rashid, M. 2016. Impact of nitrogen, phosporus and potassium on brown planthopper and tollerancde
of its host rice plant. Rice Science. 23(3): 119-131.
Harini SA, Sai Kumar S, Balaravi P, Sharma R, Dass A, and Shenoy V 2013. Biotechnology
Evaluation of rice genotypes for brown planthopper (BPH) resistance using molecular markers
and phenotypic methods. African Journal of Biotechnology Vol. 12(19), pp. 2515-2525.
Suyono M, Sutrisno I, Suwenda D, dan Isak. 2000. Karakterisasi populasi WBC dengan varietas
diferensial. Laporan Hasil Penelitian. Balitbio 1999/2000.
ABSTRAK
Bawang putih merupakan salah satu komodis yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Salah satu kendala
dilapangan adanya serangan hama dan penyakit Populasi musuh alami semakin menurun akibat
penggunaan pestisida kimia di sentra produksi sayuran sangat tinggi. Oleh karena itu perlu adanya
alternatif yang lain dalam pengendalian yang ramah lingkungan dengan menggunakan insektisida secara
bijaksana. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh insektisida dengan bahan aktif
klorantraniliprol dan sipermetrin terhadap populasi ulat bawang (Spodoptera exigua) pada varietas
bawang putih (bawang kayu dan lumbu kuning) . Pengkajian dilakukan di Desa Maron, Kecamatan
Ngantang, Kabupaten Malang dari bulan Agustus sampai November 2018. Pengkajian menunjukkan
intensitas serangan ulat (Spodoptera exigua) yang menyerang pertanaman bawang putih dari dua
varietas yang digunakan dapat diketahui bahwa varietas bawang kayu lebih tahan dibandingkan varietas
lumbu kuning dan tingkat serangan yang tinggi pada musim kemarau dan menurun pada musim
penghujan.
Kata kunci : Spodoptera exigua , bahan aktif sipermetrin dan klorantraniliprol, bawang putih
PENDAHULUAN
Bawang putih merupakan komoditas sayuran yang banyak mendatangkan keuntungan karena
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Umbi bawang putih banyak digunakan sebagai bumbu masak.
Selain dikonsumsi sebagai bumbu masak, bawang putih dapat digunakan sebagai obat dan kosmetik
(Santoso, 1988).
Permintaan bawang putih semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS (2016),
kebutuhan nasional akan bawang putih diperkirakan telah mencapai 500 ribu ton per tahun
sedangkan produksi bawang putih nasional selama lima tahun terakhir masih menunjukkan kisaran
antara 17-22 ribu ton. Peningkatan permintaan tidak diimbangi dengan ketersediaan produksi
bawang putih nasional sehingga tingkat impor bawang putih selalu meningkat. Saat ini sekitar 95%
bawang putih yang dikonsumsi di Indonesia berasal dari bawang putih impor dari China dimana
harganya lebih murah dibanding harga bawang putih lokal, selain itu ukuran umbi juga lebih besar.
Tingkat produktivitas yang masih rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
seperti cuaca, kondisi agroekologi, varietas serta teknik budidaya yang digunakan. Salah satu kendala
yang paling berpengaruh pada teknik budidaya, yaitu adanya serangan OPT pada lahan budidaya
bawang putih. OPT utama yang paling menyebabkan kerugian hasil yaitu serangan hama ulat
bawang (Spodoptera exigua).
Hama ulat bawang (Spodoptera exigua ) menyerang daun bawang dengan menggerek ujung
pinggiran daun, terutama daun yang masih muda. Akibatnya, pinggiran dan ujung daun terlihat
bekas gigitan dan gerekan. Ulat ini juga memakan jaringan dalam daun sehingga menyebabkan daun
bawang putih menerawang tembus cahaya. Serangan yang parah dapat menyebabkan daun
terpotong dan jatuh terkulai. Serangan berat ulat bawang dapat mengakibatkan daun mengering dan
gugur sebelum waktunya sehingga kualitas dan kuantitas hasil tanaman menurun. Serangan
Spodotera exigua dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 100% jika tidak dilakukan upaya
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 157
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pengendalian (Marsadi dkk., 2017).Apabila tidak segera dikendalikan, maka akan terjadi penurunan
kuantitas dan kualitas bawang putih. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan salah satunya, yaitu
dengan penyemprotan insektisida. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai keefektifan penggunaan
insektisida dalam mengendalikan hama ulat bawang (Spodoptera exigua) pada 2 varietas bawang
putih.
METODE PENELITIAN
Pengkajian di lakukan didesa Purworejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang dari bulan
Oktober sampai November 2018. Alat yang digunakan adalah meteran, penggaris, spidol, tali rafia,
alat tulis, gelas beaker 1000 ml, gelas ukur 25 ml, handsprayer, ember, dan kamera. Bahan yang
digunakan,bibit bawang putih varietas bawang kayu dan lumbu kuning, pupuk urea, pupuk ZA,
pupuk NPK, insektisida berbahan aktif Sipermetrin dan Klorantraniliprol.
Penetapan penggunaan pestisida pada budidaya bawang putih yang umum dilakukan oleh petani
yaitu dengan menggunakan insektisida berbahan aktif Sipermetrin dan Klorantraniliprol pada 2 varietas
bawang putih pada musim yang berbeda. Pengamatan dilakukan pada 10 rumpun tanaman
contoh/petak dan dimulai umur 7 hingga 70 HST. Peubah yang diamati meliputi : Tinggi tanaman,
Jumlah daun, Lebar daun, dan Populasi ulat bawang (Spodoptera exigua).
Berdasarkan pengamatan keragaan tanaman yang dilakukan selama 2 minggu sekali pada varietas
bawang kayu dan lumbu kuning, rata-rata jumlah daun pada 50 sampel tanaman adalah sebagai
berikut :
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui
rerata jumlah daun pada varietas bawang kayu
lebih banyak daripada lumbu kuning. Hal ini
dikarenakan bawang kayu yang tumbuh lebih
dulu sehingga jumlah daunnya pun lebih banyak
yang tumbuh. Daun pada lumbu kuning masih
bisa bertambah apabila dilakukan pengamatan
lanjutan, karena lumbu kuning masih dalam
tahap pertumbuhan, berbeda dengan bawang
kayu yang mendekati masa panen sehingga
Gambar 2. Grafik Rerata Jumlah Daun Pada pertumbuhan melambat atau bahkan terhenti.
Bawang Kayu dan Lumbu Kuning Menurut Samadi (1999), banyaknya daun pada
lumbu kuning yaitu 7-8 helai daun per tanaman.
Lebar Daun
Berdasarkan pengamatan keragaan tanaman
2 yang dilakukan selama 2 minggu sekali pada
1,76
1,8
varietas bawang kayu dan lumbu kuning, rata-rata
1,6
1,4
1,344 lebar daun pada 50 sampel tanaman adalah
1,2
1,008 sebagai berikut
0,92 0,938 Bawang kayu
1
0,792
0,8 Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui
Lumbu Kuning
0,6
bahwa daun lumbu kuning lebih lebar daripada
0,4
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jumlah ulat yang menyerang pertanaman bawang putih
di dua varietas yang berbeda, yaitu bawang kayu dan lumbu kuning dapat diketahui bahwa tingkat
serangan yang tinggi pada musim kemarau dan menurun pada musim penghujan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik.2016. Badan Pusat Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. (1 Januari 2019)
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta : AgroMedia Pustaka.
Felania, C. 2017. Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan Kacang Hijau (Phaceolus
radiatus). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi.
Marsadi, D., I. W. Supartha, dan A.A.A.A.S. Sunari. 2017. Invasi dan Tingkat Serangan Ulat Bawang
(Spodoptera exigua Hubner) pada Dua Kultivar Tanaman BawangMerah di Desa Songan,
Kecamatan Kintamani,Kabupaten Bangli. Agroekoteknologi Tropika, 6 (4) : 360-369.
Rahmawati, A. F., S. Ikawati, dan T. Himawan. 2016. Evaluasi Berbagai Insektisida Terhadap Hama
Ulat Bawang (Spodotera exigua) (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Bawang Merah. HPT,
4 (2) : 54-60.
Rukmana, R. 1994. Budidaya Bawang Putih. Majalengka : Kanisius
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 161
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
162 | Teknologi Pertanian
KERAGAAN HAMA, PENYAKIT DAN MUSUH ALAMI PADA BUDIDAYA
BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO DI LAHAN SAWAH
ABSTRACT
This study aims to determine the performance of pests, diseases, and natural enemies in upland rice cultivation in
irigated rice fields. The research has been carried out on farmers rice fields in Buludawa Village, Suwawa District,
Bone Bolango Regency from May to August 2019. The study used a Non Factorial Randomized Block Design with the
main factors consisting of 3 varieties and five repetitions. Three varieties tested is Inpago 8, Inpago 11 and Rindang 2.
Fertilization uses anorganic fertilizer with a dose of 200 kg urea and 300 kg of phonska for all treatments.
Observations of pests, diseases, and natural enemies were carried out at 5, 7, 9, and 11 Weeks After Planting as many
as 30 clumps per plot. The results are pests found are rice stem borer (Scirpophaga innotata), Leaf folder
(Cnaphalocrocis medinalis), bedbug (Scotinophara coarctata) and golden snail (Pomacea canaliculata). The attack
intensity of white rice stem borer (Scirpophaga innotata) is very dominant on Rindang 2 varieties. pest attack
intensity on the Inpago 11 variety is lower than other varieties, the attack intensity of Stem borer (Scirpophaga
innotata) and leaf folder (Cnaphalocrocis medinalis) are lowest on Inpago 11 than other variety.The intensity of pest
attacks increases with age pests and natural enemies populations fluctuate. the densest pest populations on the
Rindang 2 and densest natural enemies populations on Inpago 11
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan hama, penyakit, dan musuh alami pada budidaya padi
gogo dilahan sawah. Penelitian dilaksanakan di di lahan petani di Desa Buludawa, Kecamatan Suwawa,
Kabupaten Bone Bolango pada bulan Mei sampai Agustus 2019. Penelitian menggunakan Rancangan
Acak Kelompok Non Faktorial dengan faktor utama terdiri dari 3 varietas sebagai perlakuan diulan g
lima kali. Tiga macam varietas yang diuji yaitu varietas Inpago 8, Inpago 11 dan Rindang 2. Pemupukan
dengan pupuk anorganik pada semua perlakuan dengan dosis 200 kg urea dan phonska 300 kg.
Pengamatan hama, penyakit, dan musuh alami pada 5, 7, 9, dan 11 MST sebanyak 30 rumpun per plot.
Hasil pengkajian menunjukan hama yang ditemukan adalah penggerek batang padi (Scirpophaga
innotata), hama putih palsu (Cnaphalocrocis medinalis), Kepinding (Scotinophara coarctata) dan
Keong mas (Pomacea canaliculata). Intensitas serangan Penggerek batang padi putih (Scirpophaga
innotata) sangat dominan terutama pada varietas Rindang 2. Tingkat serangan hama pada varietas
Inpago 11 cenderung lebih rendah dibanding varietas lainnya demikian juga tingkat serangan Penggerek
batang (Scirpophaga innotata) dan Hama putih palsu (Cnaphalocrocis medinalis) paling rendah
ditemukan pada varietas Inpago 11. Intensitas serangan hama umumnya meningkat seiring dengan
bertambahnya umur padi, sedangkan kepadatan populasi hama dan musuh alami berfluktuasi.
Kepadatan hama cukup tinggi pada varietas Rindang 2, sedangkan kepadatan musuh alami cukup tinggi
pada Inpago 11.
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Tingkat produksi maupun konsumsi padi
selalu menempati urutan pertama diantara komoditas tanaman pangan lainnya. Konsumsi padi dari
tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Demikian
juga dengan produksi maupun produktivitas padi semakin meningkat seiring dengan penggunaan
varietas unggul dan teknik budaya yang intensif.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 163
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Permasalahan yang muncul dalam budidaya padi adalah ketersediaan air. Di Provinsi Gorontalo
seringkali petani hanya mengandalkan air hujan untuk mengairi sawahnya, bahkan sawah irigasi pun
sering mengalami kekeringan. Salah satu upaya yang digerakkan oleh Kementan yaitu melalui
percepatan tanam padi gogo di lahan sawah. Tanam padi gogo di lahan sawah dilaksanakan di lokasi
dengan pengairan yang terbatas.
Sebagai penyangga pangan nasional, Gorontalo memiliki potensi lahan sawah dan lahan kering
yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman pangan. Semakin berkurangnya lahan
sawah karena alih fungsi lahan, maka pengembangan dan peningkatan produksi pangan diarahkan
dengan memanfaatkan lahan kering.
Pengembangan padi gogo merupakan salah satu program pemerintah sebagai upaya
meningkatkan produksi padi nasional dalam upaya mendukung kecukupan pangan dan peningkatan
kesejahteraan petani. Provinsi Gorontalo merupakan wilayah pengembangan baru untuk produksi
padi gogo. Luas wilayah Provinsi Gorontalo sekitar 1,22 juta ha, mempunyai potensi lahan
pertanian seluas 443.140 ha dimana 285.449 ha atau 64,4% terdiri dari lahan kering. Luas panen padi
gogo saat ini tercatat sebesar 2.201 ha dan hanya berkontribusi sekitar 3,6% dari total luas panen padi
di Gorontalo (BPS Provinsi Gorontalo, 2017). Luas panen padi gogo tersebut berpotensi ditingkatkan
karena tersedianya lahan kering yang sesuai untuk pengembangan padi gogo.
Penanaman padi gogo di lahan kering dilakukan pada awal musim hujan, baik secara monokultur
maupun tumpang sari dengan beberapa tanaman pangan lainnya. Budidaya padi gogo dilahan sawah
utamanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan benih padi gogo yang akan ditanam dilahan kering
musim selanjutnya sehingga perbanyakan benih dilakukan satu musim sebelumnya.
Mempertimbangkan keterbatasan air di musim kemarau di lahan kering, salah satu upaya agar
penyediaan benih padi gogo agar tidak tergantung pada musim adalah melaksanakan produksi benih
di lahan sawah (Ardi dan Yardha, 2014).
Seiring meningkatnya kebutuhan pangan nasional yang sejalan dengan pertumbuhan penduduk,
upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional dilakukan dengan cara mengimpor, cara ini selain
menguras banyak devisa, juga tidak strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional dalam
jangka panjang. Hal ini secara tidak langsung membutuhkan solusi dari segi varietas tanaman pangan
yang berkualitas.
Peningkatan produktivitas padi dapat diperoleh dengan menggunakan benih yang berasal dari
varietas unggul baru (VUB) yang memiliki potensi hasil tinggi (Husnain et al. 2016). Sasaran
perbaikan varietas padi adalah menghasilkan varietas – varietas baru yang mempunyai sifat-sifat
unggul sesuai dengan tujuan pengembangan pada masing-masing tipologi wilayah padi yaitu : lahan
sawah, dataran tinggi, gogo, lebak air dalam dan pasang surut (Harahap dan Silitongga, 1993).
Varietas yang memiliki prospek untuk menggantikan varietas-varietas padi sawah yang rentan
terhadap kekeringan adalah menggunakan varietas unggul baru padi gogo yang memiliki
karakteristik berdaya hasil tinggi, tahan pada penyakit utama, dan berumur genjah sehingga dapat
dikembangkan dengan pola tanam tertentu, serta memiliki rasa nasi enak dengan kadar protein yang
relatif tinggi (Nazirah et al. 2015).
Varietas padi gogo yang potensial dikembangkan dilahan sawah rentan kekeringan adalah Inpago
8, Inpago 11 dan Rindang 2. Varietas ini termasuk dalam golongan varietas unggul baru yang belum
dikenal masyarakat, khususnya para petani di Kabupaten Bone Bolango, sehingga perlu diketahui
bagaimana kemampuan adaptasinya jika ditanam di Kabupaten Bone Bolango dan dapat menjadi
pilihan atau alternatif varietas tanaman padi yang dapat ditanam dengan hasil yang lebih baik. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan produktivitas padi gogo yang ditanam di lahan kering maupun
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di Desa Buludawa Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango pada
Mei sampai Agustus tahun 2019, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan
varietas terdiri dari 3 yang masing-masing diulang 5 kali. Analisis keragaman (Analysis of Variance)
dilakukan untuk semua data hasil pengamatan utama. Jika hasil uji F untuk perlakuan dalam sidik
ragam menunjukkan berbeda nyata, maka untuk mengetahui perlakuan paling baik pengujian
dilanjutkan dengan uji beda rata-rata dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
taraf nyata 5 % (Gomez dan Gomez, 2007) Tiga macam varietas yang diuji yaitu varietas Inpago 8,
Inpago 11 dan Rindang 2.
Pengamatan terhadap hama, penyakit dan musuh alami dilakukan pada umur padi 5, 7, 9, dan 11
MST pada 30 rumpun sampel masing-masing plot. Pengamatan hama dan musuh alami dengan cara
menghitung kepadatan populasi pada masing-masing rumpun sampel. Intensitas serangan penggerek
batang padi dihitung dengan menggunakan rumus (Direktorat Perlindungan tanaman Pangan, 2018)
sebagai berikut :
𝑎
𝐼 = 𝑥 100 %
𝑎+𝑏
Dalam hal ini : I = intensitas serangan; a = jumlah anakan yang terserang, dan b = jumlah anakan
yang tidak terserang.
Intensitas serangan hama putih palsu padi dihitung dengan menggunakan rumus (Direktorat
Perlindungan tanaman Pangan, 2018) sebagai berikut :
∑(𝑛𝑖 𝑥 𝑣𝑖)
𝐼= 𝑥 100 %
(𝑁 𝑥 𝑉)
dengan penjabaran :
I=Intensitas Serangan; ni=Contoh dengan Skala Kerusakan vi; vi=Nilai Skala Kerusakan Contoh;
N=Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman Contoh yang Diamati; Z=Nilai Skala Kerusakan Tertinggi
Nilai skala kerusakan beberapa jenis OPT penting pada beberapa tanaman pangan (padi dan
jagung) yang sering digunakan oleh pengamat lapangan adalah sebagai berikut (Direktorat
Perlindungan tanaman Pangan, 2018) : 1 = Serangan / kerusakan kurang dari 25 %; 2 = Serangan
antara 25 – 50 %; 3 = Serangan antara 50 – 75 %; 4 = Serangan> 75 %
Kepadatan populasi keong mas diukur menggunakan metode kuadran dengan rumus D= N/S,
dimana D= kepadatan populasi, N= jumlah individu (spesies) dan S =ruang/habitat (Saputra et.al
2018). Ukuran kuadran 5 x 5 m. Setiap plot varietas terdiri dari 5 kuadaran. Pengambilan sampel tidak
berdasarkan ukuran.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 165
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
misalnya varietas Rindang 2 mempunyai anakan yang sedikit dan rentan terhadap serangan hama
sedangkan varietas Inpago 8 dan 11 memiliki anakan yang lebih banyak dan hampir anakannya
produktif. Selain itu varietas tersebut tahan terhadap serangan hama (Anonim, 2004).
Tingkat serangan penggerek batang cenderung fluktuatif, Perilaku imago penggerek batang
berbeda dalam setiap varietas dan biasanya lebih banyak ditemukan pada inang yang disenangi.
Selain itu tingkat keseimbangan populasi penggerek batang di suatu daerah dapat berubah bila terjadi
perubahan varietas. Selain hal tersebut perbedaan intensitas serangan dapat juga dipengaruhi oleh
perilaku penggerek batang setelah menemukan inangnya. Sebagai contoh imago Scirpophaga inotata
dalam melakukan peletakan telur mencoba setiap varietas tapi akan meletakkan lebih banyak telur
pada varietas yang disenangi.
Intensitas serangan penggerek batang padi pada varietas inpago 11 umur 5 MST cenderung sangat
rendah tetapi serangan menjadi tinggi pada umur tanaman 7 MST hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya populasi imago penggerek yang menyebar dari varietas lain dan menyerang pertanaman
padi varietas Inpago 11.
Tingginya intensitas serangan padi dilokasi percobaan disebabkan beberapa hal diantaranya suhu
udara. Suhu udara memiliki fungsi dalam menentukan fisiologi dan ekologi hama terutama pada
distribusi populasi, tingkat perkembangan, dan fenologi (Baehaki. 2013). Suhu optimum untuk
pertumbuhan telur penggerek batang padi kuning, yaitu sekitar 24–29 °C. Penggerek batang padi
(Scirpophaga inotata) akan dapat berkembang pada fase telur hingga pupa pada suhu 16 °C–35 °C.
Rata-rata tingkat serangan penggerek batang pada padi relatif tinggi pada budidaya padi dengan
sistem tanam pindah hal ini disebabkan bibit yang dicabut dari persemaian akan terjadi pelukaan
pada sistem perakarannya, hal ini mempengaruhi daya tahan tanaman dimana luka yang ada akan
menyebabkan bibit penyakit dapat masuk ke dalam tanaman serta rentan terhadap serangan hama.
Selain itu pada persemaian sistem tapin inang penggerek akan bertelur sehingga ketika bibit
dipindah tanam telur ataupun larva penggerek sudah terbawa ke areal pertanaman (Saleh, 2018).
Tabel 1. Intensitas Serangan Penggerak Batang.
Intensitas serangan Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis) antara beberapa varietas
menunjukan tingkat serangan yang meningkat setiap minggunya.
Tabel 2. Intensitas Serangan Hama Putih Palsu
Populasi Kepinding tanah hanya ditemukan pada umur padi 5 MST dengan kepadatan relatif
lebih tinggi dijumpai pada varietas Inpago 11. Keberadaan kepinding tanah hanya dijumpai pada
umur padi 5 MST karena bertepatan dengan bulan purnama sehingga banyak ditemukan di
pertanaman padi. Namun apabila telah melewati bulan purnama, populasi Kepinding tanah secara
perlahan menghilang dari pertanaman padi (Yuliani dan Sudir, 2017). Populasi Kepinding tanah tidak
berbeda nyata pada semua perlakuan varietas karena hama tersebut menyebar secara merata pada
semua petak percobaan.
Imago Kepinding tanah mulai ditemukan pada pertanaman padi setelah 3 MST, fase telur setelah 4
MST, nimfa kecil setelah 5 MST, dan nimfa besar setelah 6 MST. Kepadatan populasi Kepinding tanah
umumnya meningkat setelah tanaman memasuki fase generatif pada umur 9 MST dan perkembangan
populasi Kepinding tanah berfluktuasi sampai menjelang panen.
Tabel 3. Kepadatan Populasi Kepinding Tanah.
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah individu yang didapat pada saat pengamatan umur
tanaman 5 MST dilokasi penelitian populasi keong mas pada tabel di bawah bahwa biotop lahan
Rindang 2 adalah populasi terbanyak (5,40 ind/m2), kemudian biotop lahan Inpago 8 (3,07 ind/m2)
dan Inpago 11 (2,65 ind/m2). Jumlah ini menurun pada pengamatan umur 7 MST yaitu biotop
Rindang 2 (4,87 ind/m2), biotop lahan Inpago 8 (2,60 ind/m2) dan Inpago 11 (2,33 ind/m2).
Pada pengamatan selanjutnya tidak ditemukan lagi populasi keong mas hal ini disebabkan oleh
adanya pengendalian secara mekanis berupa pengambilan individu secara manual. Populasi tidak
terlalu tinggi ini juga dikarenakan tanaman padi sudah mulai berbuah, sehingga sumber makan bagi
keong mas hampir tidak ada dan keong berpindah ke tempat lain yang sumber pakannya tersedia
untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu juga lokasi lahan yang berada relatif tinggi sehingga mudah
dilakukan pengeringan.
Tingginya populasi di biotop lahan Rindang 2 diduga ditempat ini banyak terdapat jenis sumber
makanan yang lebih bervariasi dibandingkan dengan kedua biotop lainya, selain itu juga adanya
faktor abiotik seperti air yang jernih dan sedikit mengalir, kemudian bagian dasarnya terdapat
lumpur yang sangat mendukung untuk kehidupan populasi keong mas. Pernyataan ini didukung
oleh pendapat Nurhidayati (1993), yang menyatakan keong mas lebih menyukai perairan yang jernih,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 167
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
banyak tumbuhan air dan substrat yang berlumpur, jarang hadirnya predator golongan utama dan
tidak adanya arus air di biotop Rindang 2, keadaan ini menyebabkan populasi keong mas tidak akan
terganggu misalnya oleh kematian dan perpindahan ke biotop lain. Perubahan populasi dapat terjadi
karena peristiwa imigrasi, emigrasi, kematian dan kelahiran.
Tabel 4. Kepadatan Populasi Keong Mas
Musuh Alami
Kepadatan populasi Phaederus sp. relatif lebih tinggi pada umur padi 11 MST teridentifikasi pada
varietas Inpago 8. Populasi Phaederus sp. dengan kepadatan relatif lebih tinggi Kepadatan populasi
Phaederus sp. tidak berbeda nyata pada perlakuan varietas pada semua waktu pengamatan.
Peningkatan populasi Phaedarus disebabkan karena serangga ini berkembang biak di dalam tanah
yang lembab. Telur Phaedarus diletakkan di dalam tanah, begitu juga larva dan pupanya hidup dalam
tanah. Begitu menjadi dewasa (menjadi kumbang) Phaedarus akan keluar dari dalam tanah dan hidup
pada tanaman. Aktifitasnya pun akan semakin meningkat seiring pertumbuhan tanaman.
Tabel 5. Kepadatan Populasi Phaedarus
Kepadatan populasi capung relatif lebih tinggi pada umur padi 9 hingga 11 MST ditemukan
pada varietas Inpari 8. Populasi capung tidak berbeda nyata di semua varietas padi selama waktu
pengamatan. Kepadatan populasi capung tidak berbeda nyata pada semua plot perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa aplikasi pestisida aman bagi musuh alami. Capung juga dapat dijadikan sebagai
bioindikator kualitas perairan.
Tabel 6. Kepadatan Populasi Capung
Capung termasuk serangga air yang sangat sensitif terhadap perubahan kandungan zat di dalam
air. Sehingga perubahan jumlah nimfa capung dapat dijadikan sebagai indikator baik buruknya
perairan.
KESIMPULAN
Hasil pengamatan menunjukkan penggerek batang padi dan hama putih palsu menyerang pada
tiga varietas padi sejak umur 5 MST sampai berumur 11 MST. Intensitas serangan penggerek batang
padi dominan menyerang pada varietas Rindang 2. Varietas Inpago 11 lebih toleran terhadap hama
putih palsu dibanding pada varietas lainnya. Intensitas serangan hama umumnya meningkat seiring
dengan bertambahnya umur padi, sedangkan kepadatan populasi hama dan musuh alami
berfluktuasi. Kepadatan hama cukup tinggi pada varietas Rindang 2, sedangkan kepadatan musuh
alami cukup tinggi pada Inpago 11.
Tingkat serangan hama cenderung berbeda pada setiap varietas. Hama umumnya akan memilih
varietas yang disenangi sebagai inangnya. Keseimbangan populasi hama dan musuh alami di satu
agroekosistem akan berubah bila terjadi perubahan varietas. Pemilihan varietas yang sesuai dengan
permintaan pasar (rasa, warna, penampakan, ukuran.), mempunyai produktivitas tinggi, tahan
terhadap serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dan cocok ditanam pada kondisi
ekosistem setempat merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya padi gogo baik dilahan kering
atau lahan sawah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala BPTP Gorontalo, para teknisi dan semua pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ardi dan Yardha. 2014. Upaya peningkatan produktivitas padi melalui varietas unggul Jurnal Agrista
16(3):114-121.
Baehaki, S.E. 2013. Hama Penggerek Batang Padi dan Teknologi Pengendalian. Jurnal Iptek Tanaman
Pangan 8(1):1 - 14.
BPS Provinsi Gorontalo. 2017. Gorontalo Dalam Angka Tahun 2017. Gorontalo. Badan Pusat Statistik
Provinsi Gorontalo.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2018. Petunjuk Teknis Pengamatan dan Pelaporan
Organisme Pengganggu Tumbuhan dan Dampak Perubahan Iklim (OPT-DPI). Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 169
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Gomez, K.A. dan A.A.Gomez. 2007. Statistical procedures for agricultural research (Prosedur statistik
untuk penelitian pertanian, alih bahasa E. Syamsuddin, J.S. Baharsyah, dan A.H. Nasution). UI
Press. Jakarta.
Harahap, Z. dan Silitongga. 1993. Perbaikan Varietas Padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. http://www.bps.go.id (03 April 2011)
Husnain D, Nursyamsi, Syakir M. 2016. Teknologi pemupukan mendukung jarwo super. Jurnal
Nazirah, Laila dan dan B. Sengli J. Damanik 2018. Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Padi Gogo
Pada Perlakuan Pemupukan. J. Floratek 10: 54 - 60.
Nuhidayati. 1993. Studi Biologi Siput Murbai di Sumatra Selatan dan Sumbangannya pada Pengajaran
Biologi di Sekolah Menengah Atas. Sarjana Biologi FKIP UNSRI. Hal 39.
Saleh, Teddy Wahyana dan Awaludin Hipi 2018. Pengaruh Sistem Tanam Terhadap Produktivitas dan
Serangan OPT Beberapa Varietas Unggul Padi. Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi. Vol 4
No. 2, 2018 Hal. 69-75.
Saputra, K., Sutriyono, dan B. Brata 2018. Populasi dan Distribusi Keong Mas (Pomacea canaliculata
L.) sebagai Sumber Pakan Ternak pada Ekosistem Persawahan di Kota Bengkulu. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia. Vol. 13 (2) edisi Hal. 189-201.
Saragih, Ammini Amrina dan Awaludin Hipi 2018. Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa
Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah Untuk Produksi Benih. Buletin Inovasi Pertanian Spesifik
Lokasi. Vol 4 No. 2, 2018 Hal. 87-96.
Sudjarwo, Herminanto dan Leo Ardiyanto. 2003. Eksistensi Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis
medinalis) dan Pengaruhnya Pada Usaha Tani Padi di Kabupaten Banyumas. Jurnal
Pembanguan Pedesaan Vol. III No. 2 Agustus 2003. Hal. 109-119
Wahyuni, S, T. S. Kadir, dan U. S. Nugraha. 2017. Hasil dan mutu benih padi gogo padalingkungan
tumbuh berbeda. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(1):30-37.
Wahyuni, S. 2008. Hasil padi gogo dari dua sumber benih yang berbeda. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan 27(3):135-140.
Yuliani, Dini dan Sudir 2017. Keragaan Hama, Penyakit dan Musuh Alami Pada Budidaya Padi
Organik. Jurnal Agro Vol. IV, No. 1, 2017 Hal. 50-67.
ABSTRACT
The aims of this study was 1) Found out the effect of 0-20 ppm colchicine concentration on the growth of the cayenne
pepper seedlings of Malita FM varieties, 2) Found out the phenotype diversity of the cayenne pepper seedlings of
Malita FM varieties of putative mutant M1 (MHM1) as the results of mutation induction with colchicine 0-20 ppm,
3) Obtained a value of Lethal Concentration 50% (LC50) from 0-20 ppm colchicine for cayenne pepper of Malita FM
varieties. The research was conducted from June to August 2019 at the screenhouse of Department of Agrotechnology,
Faculty of Agriculture, Gorontalo State University. The experimental design used a randomized block design (RBD)
with 5 levels of treatment of colchicine mutagen, namely 0; 5; 10; 15 and 20 ppm were repeated 3 times, so there were
15 experimental units. Each unit of experiment contained 5 samples. The results showed that 1) Colchicine mutagen
given at a concentration of 0-20 ppm has not significantly different effect on the growth of cayenne pepper seedlings of
Malita FM variety between treatments; 2) The diversity of the phenotypes of the cayenne pepper seedlings of the
Malita FM varieties resulted from mutation induction (Putative Mutant M1 (MHM1)) with a colchicine solution of
0-20 ppm concentration was low. The level of diversity obtained only reached 17-26%. Colchicine mutagen with this
concentration has not been able to induced genetic changes in the cayenne pepper of Malita FM varieties permanently;
and 3) Value of Lethal Concentration 50% (LC50) for the cayenne pepper plants of the Malita FM varieties induced by
colchicine mutagen has not been obtained at a range concentration of 0-20 ppm.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui pengaruh pemberian mutagen kolkhisin konsentrasi 0-20
ppm terhadap pertumbuhan bibit cabai rawit varietas Malita FM, 2) Mengetahui keragaman fenotipe bibit
cabai rawit varietas Malita FM mutan harapan M1 (MHM1) hasil induksi mutasi dengan kolkhisin 0 -20
ppm, 3)Memperolehnilai Lethal Concentration 50% (LC50) dari kolkhisin 0-20 ppm
untukcabairawitvarietasMalita FM. Penelitian ini dilaksanakan dari Juni sampai Agustus 2019 di
Screenhouse Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo. Rancangan
percobaan menggunakan rancangan lingkungan rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan
mutagen kolkhisin sebanyak 5 taraf konsentrasi yaitu 0; 5; 10; 15 dan 20 ppm yang diulang sebanyak 3 kali,
sehingga terdapat 15 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdapat 5 sampel. Hasil penelitian, yaitu1)
Mutagen kolkhisin yang diberikan pada konsentrasi 0-20 ppm pengaruhnya belum berbedanyata
terhadap pertumbuhan bibit cabai rawit varietas Malita FMM1; 2) Keragaman fenotipe bibit tanaman
cabai rawit varietas Malita FM hasil induksi mutasi (MutanHarapanM1 (MHM1)) dengan larutan
kolkhisin konsentrasi 0 – 20 ppm adalah rendah. Tingkat keragaman yang diperoleh hanya mencapai 17 –
26%. Mutagen kolkhisin dengan konsentrasi tersebut belum dapat menginduksi terjadinya perubahan
genetikpada tanaman cabai rawit varietas Malita FMsecarapermanen; dan 3)Lethal konsentrasi 50% (LC50)
untuk tanaman cabai rawit varietas Malita FM hasil induksi dengan mutagen kolkhisin belum diperoleh
pada kisaran konsentrasi 0 – 20 ppm.
PENDAHULUAN
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura dari famili
Solanaceae yang tidak saja memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi juga karena buahnya yang memiliki
kombinasi warna, rasa, dan nilai nutrisi yang lengkap (Kouassi dkk,2012dalam Edowai dkk, 2016).
Menurut Rodrigues & Tam (2010) dalamSujitno &Dianawati (2015),cabai rawit digunakan sebagai
bumbu masakan dan bahan obat. Varietas cabai rawit dengan tingkat kepedasan sedang dan tinggi
digunakan baik dalam bentuk segar maupun olahan, sedangkan dengan tingkat kepedasan rendah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 171
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
digunakan untuk produksi oleoresin atau bahan pelengkap makanan (Sharma dkk, 2008dalamSujidno
& Dianawati,2015). Secara umum, buah cabai rawit mengandung zat gizi antara lain lemak, protein,
karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1, B2, C, dan senyawa alkaloid seperti capsaicin,
oleoresin, flavanoid dan minyak esensial.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produksi cabai rawit ialah dengan
menggunakan kultivar atau varietas unggul. Kultivar atau variertas unggul dapat dihasilkan melalui
program pemuliaan tanaman. Metode-metode yang dapat digunakan seperti persilangan, mutasi,
atau melalui rekayasa genetik tanaman. Teknik mutasi telah digunakan untuk mendapatkan berbagai
varieties tanaman termasuk cabai. Metode ini terbukti berguna dalam mendapatkan sifat atau
karakter genotipe dan fenotipe baru, terbentuknya variasi genetika dan menambah referensi dalam
pemuliaan konvensional (Sangsiri dkk, 2005; Anbarasanet dkk,2013dalam Fathurrahman, 2016).
Keragaman genetik ini diperlukan untuk pemuliaan tanaman, jika pada organisme lain dapat terjadi
mutasi, maka pada tumbuhan juga dapat mengalami mutasi (Aliero, 2006; Bolbhatet dkk, 2012dalam
Fathurrahman, 2016). Mutasi dapat diinduksi secara buatan menggunakan mutagen fisik dan kimia.
Salah satu mutagen kimia yang digunakan yaitu kolkhisin (Anggraito, 2004; Soeranto, 2003).
Kolkhisin diberikan pada bagian tanaman yang aktif membelah atau memiliki jaringan meristem
seperti benih, kecambah, dan ujung batang tanaman.
Menurut Suryo (2007),kolkhisin ialah suatu alkaloid yang terdapat pada tanaman Colchicum
autumnale yang mempunyai fungsi menghalang-halangi terbentuknya spindel (gelendong inti) pada
mitosis. Bila sel-sel meristem setelah mendapat perlakuan kolkhisin mengadakan mitosis, maka
kromosom-kromosom membelah menjadi dua seperti lazimnya, tetapi metafase dan anafase tidak
terjadi. Akibatnya, jumlah kromosom di dalam sel menjadi lipat dua. Pembelahan sel menjadi lambat
disebabkan jumlah kromosom yang mengganda.
Wiendradkk (2011)menyatakanbahwakolkhisin akan menghambat tahap metafase, mencegah
polimerisasi tubulin menjadi mikrotubulin, mencegah tubulin tersebut menjadi serat benang
fungsional (benang gelendong) sehingga tahapan anafase untuk pemisahan kromosom tidak terjadi
tanpa benang gelendong tersebut, dinding pemisah gagal terbentuk sehingga kromosom dan duplikat
tetap berada didalam sel yang sama sehingga pembelahan sel tidak berlangsung dengan baik dan
membentuk sel dari diploid menjadi tetraploid. Menurut Suryo (2007), tanaman yang bersifat
poliploid menghasilkan ukuran morfologi lebih besar dibandingkan tanaman diploid. Kolkhisin akan
bekerja efektif pada konsentrasi 0.01-1 ppm untuk jangka waktu berbeda dan setiap jenis tanaman
memiliki respon yang berbeda beda.
Avery dkk (1947) dalam Rahayu dkk (2013) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
tanaman akibat pemberian kolkhisin bisa bervariasi. Sebagian tanaman mengalami mutasi pada
hampir seluruh bagian tanaman mulai titik tumbuh hingga organ generatif. Namun, sebagian lainnya
hanya mengalami mutasi pada beberapa organ saja, sehingga kolkhisin yang diberikan kepada setiap
individu tanaman tidak mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian sel-sel saja.
Pengaruh yang berbeda pada sel-sel tanaman karena kolkhisin hanya efektif pada sel yang sedang
aktif membelah.
Konsentrasi kolkhisin0.01% (0.1 ppm) secara morfologi menyebabkan peningkatan tinggi
tanaman, diameter batang dan menambah variasi genetik (Hindarti, 2002).Variasi genetik yang terjadi
akibat pemberian mutagen kolkhisin dapat dideteksi dengan pengamatan karakter morfologi,
anatomi, fisiologi dan penanda molekuler. Penelitian Syaifudin dkk,(2013) menunjukkan bahwa
konsentrasi 15 ppm efektif untuk menginduksi poliploidi pada pertumbuhan dan produktivitas
tanaman cabai. Damayanti & Mariska (2003) menyatakan bahwa pemberian kolkhisin dapat
mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang rusak dan memerlukan waktu lama
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Screenhouse, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas
Negeri Gorontalo(UNG). Penelitian dimulai pada bulan Juni sampai Agustus 2019. Bahan yang
digunakan adalah benih cabai rawit varietas Malita FM dan kolkhisin. Percobaan menggunakan
rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 taraf perlakuan kolkhisin (0, 5, 10, 15 dan 20 ppm). Setiap
perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 15 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdapat 5
sampel. Benih yang digunakan dipilih ukuran bentuk dan warna seragam, tidak cacat atau luka,
bersih dari kotoran, dan tidak keriput. Sebelum disemai, benih cabai direndam dengan air selama 1
jam dan dikecambahkan menggunakan media kapas lembab. Kecambah kemudian direndam dalam
larutan kolkhisin sesuai perlakuan selama 6 jam. Setelah itu, kecambah ditanam pada media tanam
dengan komposisitanah:pupuk kandang ayam:sekam padi (1:1:1).
Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman sampel dalam setiap unit percobaan. Variabel yang
diamati adalah tinggi dan jumlah daun bibit pada umur 2, 4 dan 6 minggu setelah perlakuan(MSPr),
jumlah bibit abnormal dan keragaman morfologi bibit.Keragaman morfologi diamatipada 2 MSPr
dengan melihat warna daun (hijau muda, hijau tua), bentuk daun (bulat telur, lonjong), bentuk ujung
daun (runcing, tumpul), bentuk tepi daun (rata, bergerigi), warna batang (hijau muda, hijau tua) dan
bentuk batang (pipih, bulat).
Analisis data dianalisis berdasarkan analisis ragam pada uji Ftaraf 5%. Apabila F hitung lebih dari
F tabel maka dilakukan uji lanjut DMRTtaraf 5%. Keragaman morfologi mutan harapan (M1) cabai
rawit varietas Malita FM dianalisis menggunakan aplikasi Numerical Taxonomy and Multivariate
Analysis System (NT-SYS). Lethal concentration (LC50) larutan kolkhisin 0-20 ppm dianalisis
menggunakan aplikasi cvxpt32 berdasarkan persentase jumlah bibit yang tumbuh abnormal.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 173
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 1. Analisis ragam berdasarkan perlakuan konsentrasi kolkhisin 0 - 20 ppm.
Perlakuan Pertambahan Tinggi Bibit (cm) Pertambahan Jumlah Daun (helai) Persentase
Konsentrasi Minggu Setelah Perlakuan (MS Pr) Jumlah Bibit
Kolkhisin 0–2 2-4 4–6 0-2 2-4 4-6 Abnormal
(ppm) (%)
Kontrol 2.33 5.87 23.95 2.27 3.27 10 0
5 2.06 5.83 20.63 1.93 3.53 7.4 6.7
10 1.72 5.53 19.95 2.33 2.93 7.8 13.3
15 1.86 5.2 23.08 1.93 3.33 8.07 0
20 1.87 5.19 16.34 2.27 2.73 5 33.3
Hasil penelitian Syaifudin dkk (2013), perlakuan kolkhisin tidak berpengaruh nyata pada tinggi
tanaman, tapi berpengaruh dalam penambahan berat basah tanaman, jumlah buah, dan berat basah
buah. Namun, rata-rata tinggi tanaman yang mereka peroleh mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya konsentrasi kolkhisin. Lebih lanjut dikatakan bahwa,konsentrasi 15 ppm merupakan
konsentrasi yang efektif untuk menginduksi poliploidi pada pertumbuhan dan produktivitas
tanaman cabai.
Pada tanaman yang telah mengalami poliploidisasi, terjadi peningkatan jumlah kromosom dalam
selnya. Jumlah kromosom yang meningkat dalam sel juga mengakibatkan peningkatan aktivitas gen-
gen yang berfungsi mengatur berbagai metabolisme dalam sel termasuk sintesis protein, sehingga
berakibat pula pada peningkatan produksi hormon-hormon pertumbuhan tanaman yang berperan
sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (Syaifudin dkk., 2013). Oleh karena itu, mereka berasumsi
bahwa kolkhisin yang diberikan pada tanaman cabai merupakan salah satu faktor internal yang
mampu memacu penambahan tinggi tanaman cabai melebihi tanaman kontrol.
Karakter tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor internal (hormon) dan lingkungan. Hormon yang
mempengaruhi tinggi tanaman adalah auksin dan giberelin, sedangkan faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman adalah unsur hara dan cahaya (Salisbury & Ross, 1995).
Konsentrasi kolkhisin yang terlalu tinggi atau lama perendaman yang terlalu lama, akan
memperlihatkan pengaruh negatif, yaitu penampilan tanaman menjadi jelek, sel-sel banyak yang
rusak atau bahkan menyebabkan matinya tanaman (Suryo, 2007).
Mutasipadasel-selpenyusundaundapatmempengaruhikadarklorofil yang dihasilkan. Pada saat
benih diperlakukan dengan kolkhisin, mitosis pada sel-sel embrio diikuti dengan pembelahan
proplastid, meskipun kromosom yang mengganda mungkin gagal berpisah pada anaphase akibat
rusaknya formasi mikrotubula penyusun benang-benang spindle oleh kolkhisin sehingga
menghasilkan tanaman yang mempunyai kadar klorofil yang lebih tinggi (Syaifudin dkk, 2013).
Menurut Loveless (1991)dalam Syaifudin dkk (2013), jumlah klorofil yang banyak sebagai pigmen
utama dalam proses fotosintesis meningkatkan efisiensi fotosintesis sehingga bahan kering yang
dapat ditimbun tanaman lebih banyak.
Pembelahan sel yang lambat akibat pemberian kolkhisin dapat menyebabkan pembentukan dan
perkembangan primordial daun yang lambat (Haryantidkk, 2009).Sebaliknya, pembelahan serta
perpanjangan sel yang berlangsung cepat dapat mempercepat pertumbuhan daun, batang dan akar
tanaman. Proses metabolisme yang meningkat mengakibatkan proses pembelahan, pemanjangan sel,
dan juga pembentukan jaringan meningkat dan akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
dan jumlah daun (Hermansyah & Inoriah 2009).
Pada induksi terjadinyamutasi sering terdapat ketidaksesuaian pada tanaman yang diinduksi.
Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka semakin menurunkan jumlah daun. Aryantodkk
Koefisien Kemiripan
Gambar 1. Dendrogram hasil analisis keragaman morfologi bibit cabai rawit Malita FM mutan harapan M1
berdasarkan warna daun, ujung daun, tepi daun, bentuk daun, warna daun dan bentuk batang
menggunakan aplikasi NTSYS
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 175
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Menurut Suranto (2001), munculnya keragaman dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor
lingkungan dan faktor genetik. Apabila faktor genetik memiliki pengaruh yang lebih kuat dari pada
faktor lingkungan, maka apabila tumbuhan tersebut hidup pada lingkungan yang berbedapun tidak
akan menunjukkan keragaman morfologi tapitetap sesuai dengan tempat asalnya. Sitompul &
Guritno (1995) mengatakan bahwa penampilan bentuk tanaman dikendalikan oleh sifat genetik
tanaman di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan. Fenotipe pada individu merupakan interaksi
antara genotipe dan lingkungan. MenurutCahyarini dkk(2004), faktor lingkungan diyakini dapat
mempengaruhi terjadinya perubahan morfologi tanaman.
Tabel 2. Pengelompokan Individu-individu Sampel Bibit Cabai Rawit
Malita FM yang Mirip secara Morfologi.
Kelompok Individu Mutan Harapan M1
I II III IV
P011 P133 P033 P021 P031
P012 P213 P232 P022 P222
P013 P221 P313 P233 P211
P023 P223 P323 P411 P212
P111 P231 P333 P412 P431
P112 P311 P423 P421 P432
P113 P312 P422 P032
P121 P321 P232
P122 P322 P433
P123 P331
P131 P332
P132
Keragaman yang luas dari suatu karakter akan memberikan peluang yang baik dalam proses
seleksi terhadapkarakter yang diharapkan. Menurut Helyanto dkk (2000), apabila suatu populasi
memiliki keragaman genetik cukup tinggi, makaperbedaankarakter setiap individu dalam populasi
hasilnya akan tinggi pula, sehingga seleksi akan lebih mudah untuk mendapatkan sifat-sifat yang
diinginkan. Oleh sebab itu, informasi keragaman genetik sangat dibutuhkan untuk memperoleh
varietas baru yang diharapkan.
Perubahan morfologi pada tanaman akibat pemberian kolkhisin sangat bervariasi. Setiap tanaman
memiliki respon yang berbeda-beda apabila diberi kolkhisin. Kolkhisin yang diberikan pada tanaman
tidak mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian sel saja dan masuknya zat kimia
kolkhisin kedalam sel tanaman tidak dalam waktu yang bersamaan. Pengaruh yang berbeda pada sel
tanaman karenakolkhisin hanya efektif pada sel tanaman yang sedang aktif membelah (Suryo 2007).
Hasil analisis program Curve Expert terhadap nilai LC50 akibat daripemberian kolkhisin
konsentrasi 0-20 ppm berdasarkan persentase jumlah bibit cabai rawit malita FM yang abnormal
dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan data jumlah persentase bibit cabai rawit Malita FMM1
yang tumbuh abnormal diperoleh kurva hubungan antara perlakuan konsentrasi kolkhisin (ppm) dan
persentase jumlah bibit tumbuh abnormal (%) (Gambar 2). Dari Gambar 2 tersebut memperlihatkan
bahwa nilai lethal concentration 50% (LC50) belum diperoleh dari perlakuankolkhisin kisaran 0 – 20
ppm yang diterapkan terhadap kecambah cabai rawit malita FM tersebut.
Nilai LC 50% dari bibit cabai rawit varietas malita FM belum diperoleh karena jumlah kerusakan
bibit akibat dari mutasi induksi dengan larutan kolkhisin belum mencapai 50% jumlah cabai rawit.
Kerusakan tertinggiterjadi pada konsentrasi larutan kolkhisin 20 ppmyaituhanya sebesar 33,3%.
Konsentrasi optimum dapat menghasilkan variasi terbanyak dengan minimal mutan yang tidak
diinginkan, yang biasa terjadi di sekitar LD50(Albokari dkk,2012dalam Rahman & Aisyah, 2018). Lethal
concentration 50% (LC50) adalah konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% populasi tanaman
(Asadi, 2011).
KESIMPULAN
Mutagen kolkhisin yang diberikanpada konsentrasi 0-20 ppmpengaruhnya belum
berbedanyataterhadap pertumbuhan bibit cabai rawit varietas malita FMM1.Keragaman fenotipe bibit
tanaman cabai rawit varietas Malita FM hasil induksi mutasi (mutanharapanM1) dengan larutan
kolkhisin konsentrasi 0 – 20 ppm adalah rendah. Tingkat keragaman yang diperoleh hanya mencapai
17 – 26%.
Mutagen kolkhisin dengan konsentrasi tersebut belum dapat menginduksi terjadinya perubahan
genetikpada benih tanaman cabai rawit varietas Malita FMsecarapermanen. Lethal konsentrasi 50%
(LC50) untuk tanaman cabai rawit varietas Malita FM yang diinduksi dengan mutagen kolkhisin
belum dapat diperoleh pada konsentrasi 5 – 20 ppm. Perlu dilakukan penelitian
untukmelakukaninduksimutasi dengan larutan kolkhisinpada konsentrasi yang sama tapi dengan
waktu perendaman yang lebih lama dari 6 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraito YU. 2004. Identifikasi Berat, Diameter, dan Tebal Daging Buah Melon (Cucumis melo, L.)
Kultivar Action 434 Tetraploid Akibat Perlakuan Kolkhisin. J Hayati. 10 (1):37-42.
Asadi. 2011. Pemanfaatan Sinar Radiasi dalam Pemuliaan Tanaman. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 33(1):7-8.
Cahyarini, Dewi R, Yunus A, Purwanto E. 2004. Identifikasi Keragaman Genetik Beberapa Varietas
Lokal Kedelai di Jawa Berdasarkan Analisis Isozim. Agrosains. 6 (2): 83-91.
Damayanti F danMariska I. 2003. Induksi Poliploidi pada Hibrid F1 Hasil Persilangan Antar Spesies
pada Tanaman Panili secara In Vitro. J Ilmiah Mulawarman Scientifie. 2:12-17.
EdowaiDN, Kairupan S danRawung H. 2016. Mutu Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) pada Tingkat
Kematangan dan Suhu yang Berbeda Selama Penyimpanan. Agrointek. 10 (1):12-16.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 177
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Fathurrahman. 2016. Pengaruh Pemberian Kolkhisin terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai Hitam (Glycine max (l.) Merr). Dinamika Pertanian. 32 (1):21-26.
Haryanti S, HastutiRB, Setiari N danBanowo A. 2009. Pengaruh Kolkhisin terhadap Pertumbuhan,
Ukuran Sel Metafase dan Kandungan Protein Biji Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata (L)
Wilczek). J Penelitian Sains & Teknologi. 10(2):112−120.
Helyanto B, Budi US, Kartamidjaja A dan Sumardi D. 2000. Studi Parameter Genetik Hasil Serat dan
Komponennya pada Plasma Nutfah Rosela. J Pertanian Tropika. 8 (1): 82-87
Hermansyah Y dan Inoriah E. 2009. Penggunaan Pupuk Daun dan Manipulasi Jumlah Cabang yang
Ditinggalkan pada Panen Kedua Tanaman Nilam. Akta Agrosia. 12(2): 194-203.
Hindarti NW. 2002. Lama Perendaman dan Konsentrasi Kolkhisin pada Poliploidisasi Bawang Putih.
[Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Nursalmin A, Komariah A danHidayat O. 2018. Pengaruh Lama
PerendamanKolkisinterhadapPertumbuhanPlanletKrisan (Chrysanthemunmorifolim
R)VarietasPasopati Cara In Vitro. J Il Pert Paspalum. 6(2):124-133.
Rahayu YS dan Prasetyo KI. 2013. Pengaruh Pemberian Kolkhisin terhadap Produksi Umbi dan Umur
Berbunga Tanaman Sedap Malam (Polianthes tuberose L.) di Dataran Medium. Malang.
Rahman K dan Aisyah IS. 2018. Induksi Mutasi Pada Paku Bintik (Microsorum puctatum) melalui
Iridiasi Sinar Gamma. Bul. Agrohorti. 6 (3) : 422-429.
Rahmawati B danMahajoeno E. 2009. VariasiMorfologi, IsozimdanKandungan Vitamin C
padaVarietasBuah Naga. J Nusantara Biosience. 1:131-137.
Salisbury FB dan Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung. Penerbit ITB
Sartika VT dan Basuki N. 2017. Pengaruh Konsentrasi Kolkhisin terhadap Perakitan Putative Mutan
Semangka (Citrulus lanatus). Produksi Tanaman. 5 (10): 1669-1677
SitompulSM dan Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soeranto H. 2003. Peran Iptek Nuklir dalam Pemuliaan untuk Mendukung Industri Pertanian.
Proseeding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir
P3TM-BATAN. ISSN 0216- 3128. 8 hlm.
Sujitno Edan Dianawati M. 2015. Produksi Panen Berbagai Varietas Unggul Bar Cabai Rawit (Capsicum
frustescens L.) diLahan Kering Kabupaten Garut Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian. Pro Sem Nas Masy Biodiv Indom. 1(4) : 874-877.
Suranto. 2001. Study on Ranunculus Population: Isozymic pattem. J Biodiversitas 2 (1): 85-91.
Suryo. 2007. Sitogenetika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Syaifudin A, Evie R dan Isnawati. 2013. Pengaruh Pemberian Berbagai Konsentrasi Kolkhisin terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum annum) Varietas Lado F1. LenteraBio. 2 (2):
167-171.
Wiendra NMS, Pharmawati M, Astuti NPA. 2011. Pemberian kolkhisin dengan Lama Perendaman
Berbeda pada Induksi Poliploid Tanaman Paca Air (Impatiens balsamina L.).J Biologi. 15(1):9-14
ABSTRACT
Rubber (Hevea brasilliensis Mull Arg) is an important crop which has high economic value in Indonesia. The superior
clone obtained from dormant bud grafting. Plant Growth Regulator (PGR) such as benzyalminopurine (BAP) can be
used to overcome bud dormancy. The objective the experiment were to observe the interaction of two clones of rubber
with the concentrations of BAP to obtain the best concentrations of BAP on the growth of IRR122 and PB 260 clones.
The experiment was conducted at Faculty of Agriculture Andalas University Campus Dharmasraya during the
period of March to July 2017. Treatments were arranged factorially in Complete Randomized Design (CRD). The first
factor is clones : IRR 112 and PB 260: and the second factor is concentrations of BAP : 0,10 ppm, 15 ppm, and 20
ppm. Result indicated that BAP at 20 ppm gave the better growth PB 260, while on IRR 122 was 15 ppm.
ABSTRAK
Karet (Hevea brasilliensis Mull Arg) merupakan salah satu komoditas tanaman perkebunan yang memiliki
peranan penting di Indonesia. Rendahnya hasil produktifitas karet rakyat dikarenakan pada sumber
bahan tanaman yang digunakan bukan berasal dari tanaman klon yang diperbanyak secara okulasi. Salah
satu jenis bibit klon unggul hasil okulasi adalah bibit stum mata tidur. Adapun masalah yang dihadapi
dengan menggunakan bibit stum mata tidur adalah masa dormansi yang terlalu lama. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi lamanya masa dormansi pada okulasi stum mata tidur adalah
dengan menggunakan ZPT yang berupa sitokinin. Sitokinin merupakan salah satu zat untuk merangsang
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, jenis sitokinin yang digunakan adalah BAP (benzilaminopurin).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat interaksi antara dua jenis klon tanaman karet dengan pemberian
beberapa konsentrasi BAP (benzilaminopurin), mendapatkan konsentrasi sitokinin BAP (benzilaminopurin)
terbaik dalam pertumbuhan okulasi tanamanan karet dan mendapatkan perbandingan pertumbuhan
tanaman yang terbaik pada okulasi karet klon IRR112 dan PB260. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah jenis klon yaitu klon
IRR112 dan klon PB260. Faktor kedua adalah konsentrasi sitokinin BAP (benzilaminopurin) yaitu tanpa
BAP, BAP konsentrasi 10 ppm, BAP konsentrasi 15 ppm, BAP konsentrasi 20 ppm. Hasil penelitian bahwa
bibit stum mata tidur pada okulasi tanaman karet klon PB260 dengan konsentrasi BAP 20 ppm yang
terbaik terhadap pertumbuhan tanaman karet, sedangankan pada klon IRR112 adalah dengan konsentrasi
BAP 15 ppm.
PENDAHULUAN
Karet (Hevea brasilliensis Mull Arg) merupakan komoditas perkebunan yang peranannya sangat
penting di Indonesia. Selain sebagai sumber devisa negara kedua setelah perkebunan kelapa sawit,
karet juga mampu mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah
pengembangannya (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, 2010). Hasil utama tanaman karet
adalah getah (lateks). Lateks tersebut berperan besar sebagai bahan baku, mulai dari peralatan
transportasi, alat-alat medis, dan alat-alat rumah tangga. Perkembangan teknologi dan industri yang
semakin maju, menyebabkan penggunaan karet alam yang semakin luas dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini secara langsung mendorong peningkatan konsumsi karet dunia serta permintaan
terhadap karet alam.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 179
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Sebagian besar perkebunan karet di Indonesia diperkirakan 3.4 juta hektar, yang terdiri
diantaranya 85% (sekitar 2.9 juta hektar) merupakan perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat
ataupun petani skala kecil dan sisanya dikelola oleh perkebunan besar milik negara ataupun swasta.
Tidak kurang dari 20 juta jiwa rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman karet
alam ini. Pada tahun 2003 nilai ekspor tanaman karet mencapai US $ 1.2 Miliar atau kurang lebih 20%
dari nilai ekspor produksi pertanian (Heru dan Andoko, 2008).
Produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil/petani sekitar 30% lebih rendah dari
perkebunan swasta besar/BUMN. Hal ini mempunyai dampak pada profitabilitas dari rantai nilai
perkebunan secara keseluruhan. Pada tahun 2011 produktivitas kebun karet rakyat baru mencapai
926 kg/ha/tahun bila dibandingkan dengan perkebunan negara telah mencapai 1.327 kg/ha/tahun dan
perkebunan besar swasta mencapai 1.565 kg/ha/tahun (Direktorat Jendral Perkebunan, 2015).
Mengingat produktifitas karet rakyat yang dihasilkan rendah dibandingkan perkebunan milik negara
dan swasta, dikarenakan pada sumber bahan tanaman yang digunakan bukan berasal dari bahan
tanaman klon yang diperbanyak secara okulasi, dibandingkan dengan menggunakan bibit hasil
persemaian. Penggunakan tanaman klon dapat menaikkan hasil produksi yang lebih tinggi, serta
pertumbuhan tanaman yang lebih seragam.
Suatu klon tanaman karet dengan produktifitas yang tinggi memerlukan bibit unggul berkualitas
yang berasal dari klon unggul hasil dari okulasi. Okulasi merupakan salah satu teknik perbanyakan
tanaman secara vegetative dengan penempelan mata tunas antara batang bawah dan batang atas
(entres). Pada batang bawah yang digunakan dalam okulasi tanaman karet diharapkan memiliki
sistem perakaran yang baik serta tahan terhadap keadaan tanah yang kurang menguntungkan
termasuk tahan terhadap hama dan penyakit yang ada didalam tanah. Pada pemilihan batang atas
(entres) dalam okulasi tanaman karet diambil dari mata tunas yang kulit batangnya masih berwarna
hijau. Batang atas (entres) dari klon unggul diharapkan mampu meningkatkan hasil produktivitas.
(Simanjuntak, 2010).
Salah satu jenis bibit klon unggul hasil okulasi tanaman karet yang digunakan adalah bibit stum
mata tidur. Bibit stum mata tidur ini cocok digunakan untuk rakyat, karena pada perkebunan rakyat
umumnya didaerah terpencil sehingga bibit dengan mudah dibawa dan disuplai ke petani karet.
Adapun masalah yang dihadapi dengan menggunakan bibit stum mata tidur yaitu masa dormansi
yang terlalu lama pada mata okulasi stum mata tidur (Mirna et al., 2013). Adapun salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi lamanya masa dormansi pada mata okulasi stum mata tidur
adalah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang berupa sitokinin. Sitokinin
merupakan salah satu zat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Yang
termasuk ke dalam jenis sitokinin yang sering digunakan adalah Benzilaminopurine (BAP) (Sato dan
Mori, 2001). Salah satu golongan sitokinin yang aktif adalah BAP, karena selain harganya relatif
murah, efektifitasnya juga tinggi.
Arif et al., (2016) menambahkan bahwa sitokinin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang
berfungsi memacu pembelahan sel dan pembentukan organ, memecah kerusakan klorofil, serta
perkembangan tunas. Kadar sitokinin yang optimal untuk pertumbuhan tunas dapat menghambat
pertumbuhan akar. Menurut Yelnititis et al., (1999) BAP pada konsentrasi rendah lebih banyak
merangsang pertumbuhan tunas kearah pemanjangan dibandingkan penggunaan BAP pada
konsentrasi tinggi. Penggunaan BAP (benzilaminopurin) dalam mengatur pertumbuhan tanaman
dapat menjadikan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pembiakan vegetatif pada okulasi
tanaman karet (Hevea brasiliensis). Sitokinin mampu meningkatkan pembelahan sel pada jaringan
tumbuhan, yang mengakibatkan bibit stum mata tidur akan cepat merangsang pertumbuhan tunas
pada okulasi tanaman karet.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada April 2017 sampai Juli 2017 di Kebun Percobaan dan laboratorium
Universitas Andalas Kampus III Dharmasraya. Bahan yang digunakan adalah bibit stum mata tidur
klon IRR112 dan PB260 dari Kebun Pembibitan Karet Kelompok Tani Budidaya yang sudah berumur
20 hari, BAP (6-benzylaminopurine).
Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2x4 dengan 3
kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis klon yaitu klon (K) IRR112 dan PB260 sedangkan faktor
kedua adalah kosentrasi BAP (6-benzylaminopurine) (S) yaitu 0 ppm, 10 ppm, 15 ppm dan 20 ppm.
Diperoleh 24 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 3 Polybag tanaman sehingga
didapatkan 72 polybag. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan sidik
ragam (uji F) untuk RAL pada taraf nyata 5% dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
DNMRT taraf 5%.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 181
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian BAP memberikan pengaruh nyata terhadap
waktu muncul tunas okulasi dapat. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan pernyataan
Karintus (2011) yang menyatakan konsentrasi yang lebih tinggi pertumbuhannya lambat
dibandingkan dengan pemberian BAP dengan konsentrasi rendah, yaitu konsentrasi 15 ppm dengan
rata-rata 45 hari yang pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan konsentrasi rendah yaitu 5 ppm
dengan rata-rata 36 hari dan 10 ppm dengan rata-rata 34 hari, pemberian sitokinin dengan konsentrasi
yang tinggi terlalu pekat bagi tanaman sehingga dapat menunda pertumbuhan.
Pemberian BAP dengan konsentrasi 20 ppm memberikan hasil muncul tunas yang paling cepat.
hal ini sesuai dengan pernyataan Pamungkas et al., (2009) menyatakan bahwa kandungan sitokinin
dalam sel yang lebih tinggi akan memacu sel untuk membelah secara cepat dan berkembang menjadi
tunas.
Tinggi Tunas Tanaman
Perlakuan jenis klon bibit stum mata tidur tanaman karet dengan pemberian beberapa konsentrasi
BAP menunjukkan interaksi yang tidak nyata dalam pengaruh pertumbuhan tinggi tunas tanaman
karet.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap rata-rata tinggi tunas tanaman.
Faktor utama perlakuan klon unggul IRR112 tanaman karet menunjukkan berbeda tidak nyata
dengan perlakukan klon unggul PB260 tanaman, tetapi dari segi angka pada klon PB260 memiliki
tinggi tunas tanaman yang lebih besar dengan tinggi rata-rata 30.54 cm dibandingan dengan klon
IRR112 memberikan tinggi rata-rata yaitu 28.38 cm.
Faktor utama pada perlakuan pemberian beberapa konsentrasi pemberian BAP memberikan
pengaruh berbeda tidak nyata terhadap tinggi tunas tanaman karet. Dimana pertumbuhan tinggi
tunas tanaman karet cenderung hampir sama pada setiap perlakuan, tetapi dari segi angka pemberian
BAP dengan konsentrasi 20 ppm memiliki rata-rata tinggi tunas tanaman yang lebih tinggi, yaitu
31.08 cm, sedangkan tinggi tunas tanaman yang terendah terdapat pada konsentrasi 10 ppm yaitu
28.42 cm. hal ini diduga karena karbohidrat dan protein yang ada pada batang bawah tanaman karet
sudah mampu mensuplai nutrisi yang dibuthkan oleh tanaman untuk tumbuh.
Diameter Batang
Diameter batang stum mata tidur terhadap pengaruh jenis klon unggul tanaman karet dengan
pemberian beberapa konsentrasi BAP menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap
pertumbuhan diameter batang bibit stum mata tidur tanaman karet. Faktor tunggal jenis klon unggul
tanaman karet dan faktor tunggal pemberian konsentrasi BAP menunjukkan pengaruh berbeda
sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman karet.
Faktor utama perlakuan klon unggul IRR 112 menunjukkan berbeda nyata dengan klon unggul
PB260 tanaman karet. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah pada klon unggul IRR 112 memiliki
diameter batang yang lebih besar dibandingkan dengan klon unggul IRR 112 yaitu rata-rata 6.21 mm,
sedangkan pada klon unggul PB 260 memiliki rata-rata sebesar 5.57 mm. Hal ini karena peningkatan
diameter batang dari hasil okulasi dapat dipegaruhi oleh terjadinya proses metabolisme yang
merubah zat makanan menjadi karbohidrat dan protein.
Faktor utama pada pemberian kosentrasi BAP 15 ppm dan 20 ppm berbeda nyata dengan
konsentrasi BAP 0 ppm. Diameter batang pada konsentrasi BAP 15 ppm dan 20 ppm masing-masig
sebesar 6.30 mm dan 6.03 mm, dan perlakuan kosentrasi BAP 0 ppm sebesar 5.41 mm. Konsentrasi
BAP 10 ppm tidak berbeda nyata terhadap semua perlakuan.
Jumlah Daun
Pengaruh tunggal jenis klon dan pengaruh tunggal pemberian beberapa konsentrasi BAP
berpengaruh tidak nyata terhadap penambahan jumlah daun pada tanaman karet. Faktor utama
perlakuan klon unggul IRR112 tanaman karet menunjukkan berbeda tidak nyata dengan perlakukan
klon unggul PB260 tanaman (Tabel 4). Tetapi dari segi angka perlakukan klon unggul PB260 memiliki
jumlah helai daun yang lebih banyak dibandingkan dengan klon unggul IRR112 dengan jumlah rata-
rata yaitu 32.29 helai dan 34.71 helai. Hal ini diduga karena adanya faktor genotip dan umur tanaman
karet yang sama sehingga terjadi jumlah daun yang hampir sama. Menurut Gardner et al., (1991)
jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotip dan lingkungan, posisi daun pada tanaman yang
terutama dikendalikan oleh genotip, juga mempunyai pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan.
Tabel 4. Rata-rata jumlah daun bibit stum mata tidur klon IRR112 dan PB260
tanaman karet dengan pemberian BAP (benzilaminopurin).
Faktor utama pada pemberian BAP terhadap klon IRR112 dan PB260 memberikan pengaruh nyata
pada pengamatan 12 MST dimana perlakukan pemberian BAP 20 ppm berbeda nyata terhadap
pemberian BAP 0 ppm. Pemberian BAP 20 ppm dan 0 ppm masing-masing memiliki rata-rata jumlah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 183
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
daun sebesar 38.50 helai dan 28.50 helai. Sedangkan pemberian BAP 10 ppm dan 15 ppm tidak
berbeda nyata terhadap semua perlakukan. Hal ini disebabkan karena BAP mampu merangsang
pertumbuhan jaringan muda seperti daun. Hal ini sesuai dengan Karintus (2011) sitokinin
mempengaruhi berbagai proses fisiologi didalam tanaman, aktivitas utamanya adalah mendorong
pembelahan sel serta bertambah jumlah daun dan luas daun akibat dari pembelahan sel.
Jumlah Payung
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terlihat bahwa dua jenis klon karet dengan pemberian
beberapa konsentrasi BAP menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap penambahan jumlah
payung pada tanaman karet. Faktor tunggal jenis klon dan faktor tunggal pemberian beberapa
konsentrasi BAP berpengaruh tidak nyata terhadap penambahan jumlah payung pada tanaman karet.
Tabel 5. Rata-rata jumlah payung bibit stum mata tidur klon IRR112
dan PB260 tanaman karet dengan pemberian BAP.
Faktor tunggal perlakuan klon unggul tanaman karet IRR112 menunjukkan berbeda tidak nyata
dengan perlakuan klon unggul tanaman karet PB260. Sedangkan pada faktor tunggal perlakukan
pemberian BAP 20 ppm berbeda nyata terhadap konsentrasi BAP 0 ppm dan 10 ppm. Konsentrasi
pemberian BAP 20 ppm jumlah payung rata-ratanya sebesar 1.67 payung dan konsentrasi pemberian
BAP 0 ppm dan 10 ppm masing-masing rata-rata jumlah payung sebesar 1.16 dan 1 payung.
Pemberian konsentrasi 15 ppm tidak berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Hal ini dikarenakan
pertumbuhan jumlah payung tanaman berhubungan dengan pertumbuhan tinggi tanaman dan umur
tanaman karet, semakin tua umur tanaman karet akan semakin tinggi pertumbuhan tunas tanaman
dan semakin banyak jumlah payung. Tanaman karet akan mengalami siklus stagnasi pertumbuhan,
dimana akan mengalami mucul tunas pada tanaman yang akan membentuk payung pada tanaman
karet. Menurut Intan (2008) Sitokinin berfungsi sebagai memacu pembelahan sel dalam jaringan
meristematik, sitokinin juga berfungsi untuk mendorong pertumbuhan tunas samping, dominasi
apical dan perluasan daun. Semakin cepat daun terbentuk sempurna, klorofil yang dihasilkan daun
akan semakin bertambah. Klorofil berfungsi menyerap energi dari cahaya matahari dalam proses
fotosintesis.
Menurut Karintus (2011) daun pada payung pertama yang luas maka cahaya matahari yang
diterima semakin besar yang digunakan untuk menghasilkan cadangan makanan, cadangan makanan
inilah yang digunakan untuk pembentukan tunas selanjutnyan. Tunas baru akan muncul dan akan
mengalami pertumbuhan tinggi tunas pada tanaman dan lamanya waktu tumbuh tanaman yang akan
membentuk banyaknya jumlah daun dan jumlah payung pada tanaman karet.
Rasio Tajuk Akar
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dua jenis klon karet dengan
pemberian beberapa konsentrasi BAP menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap rasio tajuk
akar pada tanaman karet. Faktor tunggal jenis klon dan faktor tunggal pemberian perlakuan BAP
Pada Tabel 6 diatas, terlihat bahwa terjadinya perbedaan yang tidak nyata terhadap rasio tajuk
akar pada tanaman karet akibat dari berbagai perlakukan konsentrasi BAP. Hal ini diduga karena
pemberian BAP pada titik tumbuh tunas tidak sampai ke akar tanaman, sedangkan yang
mempengaruhi bobot akar adalah unsur hara. Akar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari tanaman dan mempunyai fungsi yang sama pentingnya dengan bagian atas tanaman. Akar
mampu menompang batang tanaman yang tumbuh tinggi. Akar berfungsi untuk mengabsorbsi air
dan mineral untuk penambatan, transport, penyimpanan dan sumber hormon tumbuh. Peran akar
dalam pertumbuhan tanaman sama pentingnya dengan tajuk, kalau tajuk berfungsi untuk
menyediakan karbohidrat melalui proses fotosintesis, maka fungsi akar adalah menyediakan unsur
hara dan air yang diperlukan dalam metabolism tanaman (Darmayanti, 2016).
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi antara BAP
dengan jenis klon tumbuh muncul tunas, tinggi tunas tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah
payung dan rasio tajuk akar. Pemberian BAP (benzilaminopurin) dengan konsentrasi 20 ppm terbaik
untuk pertumbuhan bibit stum mata tidur okulasi tanaman karet. Pertumbuhan terbaik terhadap
tinggi tunas tanaman karet didapat pada klon PB260. Berdasarkan penellitian yang telah dilakukan
disarankan untuk menggunakan BAP dengan konsentrasi 20 ppm untuk meningkatkan pertumbuhan
tunas tanaman klon PB260 sebagai bahan perbanyakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M., Murniati., Ardian. 2016. Uji Beberapa Zat Pengatur Tumbuh Alami Terhadap Pertumbuhan
Bibit Karet (Hevea brasiliensis Mull Arg) Stum Mata Tidur. Fakultas Pertanian. Universitas Riau.
Pekanbaru.
Darmayanti, N. 2016. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Kambing Terhadap Pertumbuhan Dua
Klon Unggul Bibit Karet (Hevea brasiliensis): Skripsi. Fakultas Pertanian Kampus III
Dharmasraya. Universitas Andalas. Padang.
Dinas Perkebunan Provinsi Sumbar. 2013. Produksi Tanaman Perkebunan. Sumatera Barat.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2010. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2009-2011.
Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan: Jakarta.
Direktorat Jendral Perkebunan, 2015. Statistik Perkebunan Indonesia 2008 – 2010. Departemen
Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 185
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Gardner F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Heru, D.S dan A.Andoko. 2008. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet Edisi Revisi. Agromedia Pustaka:
Jakarta.
Intan, R, D, A. 2008. Peranan dan Fungsi fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman. Semarang:
Fakultas Pertanian. Universitas Pajajaran: Bandung.
Karintus. 2011. Pengaruh Macam Entres dan Konsentrasi BAP Pada Pertumbuhan Okulasi Karet
(Hevea brasiliensis Muell Arg): Skripsi. Fak. Pertanian Univ. Sebelas Maret: Surakarta.
Mirna, E.F, Helmi. S dan Zul F. G. 2013. Pengaruh Biourine Sapi Terhadap Pertumbuhan Bibit Karet
(Hevea brasiliensis Mull. Arg) Asal Stum Mata Tidur. Vol 2 No.1. Falkutas Pertanian,
Universitas Jambi: Jambi.
Pamungkas, T.M., N. Lizawati., H. Aswidinnoor dan I. Boerhendy. 2009. Pengaruh Batang Bawah
Terhadap Pola Pita Isoenzim dan Protein Batang Atas Pada Okulasi Tanaman Karet (Hevea
brasiliensis) I. J Sains & Mat.
Pierik, R.L.M. 1987.In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff publisher, Dordrecht.
Salisbury, F.B dan Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Terjemah Diah R Lukman dan Sumaryono, 1995.
ITB. Bandung.
Sato, S.S and H. Mori. 2001. Control outgrowth and dormancy in axilary bud.
http://www.plantphysiol.org (11 Oktober 2016).
Simanjuntak, F. 2010. Pembiakan Vegetatif. Penebar Swadaya.
Yelnititis, N. Bermawie, dan Syafaruddin. 1999. Perbanyakan Klon Lada Varietas Panniyur Secara
In Vitro. Jurnal Littri.
ABSTRACT
Fertility and hatchability are indicators of success in hatching in the nursery program. Superior Local Chicken
Agricultural Research and Development Center (Balitbangtan) abbreviated as KUB chicken is a type of laying hens.
Fertility and hatchability are very important to know the potential of native chicken. Therefore it is necessary to
conduct research aimed at identifying the fertility and hatchability of KUB chicken eggs. The research using
descriptive method. Eggs are collected for 7 days, weighed, and recorded every hatching cycle for 5 hatching periods.
The parameters measured include fertility and hatchability. The results obtained indicate that fertility and
hatchability are quite good with an average fertility of 91,97 ± 1,31 and hatchability of 85,18 ± 2,10. The highest
fertility and hatchability in the fifth period.
ABSTRAK
Fertilitas dan daya tetas merupakan suatu indikator keberhasilan dalam penetasan pada program
pembibitan. Ayam Kampung Unggul Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan)
disingkat ayam KUB merupakan tipe ayam petelur. Fertilitas dan daya tetas sangat penting untuk
mengetahui potensi ayam kampung tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengidentifikasi fertilitas dan daya tetas telur ayam KUB. Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif. Telur dikumpulkan selama 7 hari, ditimbang, dan dicatat setiap siklus penetasan
selama 5 periode penetasan. Parameter yang diukur meliputi fertilitas dan daya tetas. Hasil yang
diperoleh menunjukan fertilitas dan daya tetas yang cukup baik dengan rata-rata fertilitas 91,97 ± 1,31 dan
daya tetas 85,18 ± 2,10. Fertilitas dan daya tetas yang paling tertinggi pada periode penetasan ke-5.
PENDAHULUAN
Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup terjangkau masyarakat. Tetapi,
tingkat konsumsi protein telur dan daging masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan
dengan Malaysia, Thailand dan Filipina. Data BPS menunjukkan konsumsi protein telur dan daging
ayam di Indonesia yaitu 2.152 kg/kapita/minggu dan 0,121 kg/kapita/minggu pada tahun 2018 (BPS,
2018).
Ayam Kampung Unggul Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) atau biasa
disebut juga ayam KUB adalah ayam hasil riset dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(dalam hal ini Balai Penelitian Ternak) Bogor yang dibuat untuk tujuan petelur dan berhasil dilepas
sebagai salah satu galur unggul nasional dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
698/Kpts/PD.410/2/2014. Ayam KUB merupakan ayam kampung murni hasil seleksi betina selama
enam generasi. Warna bulu masih seperti ayam kampung pada umumnya yaitu beragam, meskipun
masih didominasi oleh warna hitam, campur coklat dan kehitaman. Jengger berbentuk tunggal (single
comb) dan berbentuk pea. Ayam kampung ini menghasilkan telur produksi tinggi yaitu mencapai 180
butir/tahun, mempunyai 60% henday dengan sifat mengeram yang dapat ditekan sampai 10% dari
total populasinya, sehingga ayam dapat bertelur kembali. Daya tetas ayam KUB di Kalimantan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 187
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Selatan adalah 79,67-81,80% (Suryana, 2017), sedangkan di Jember sebesar 53,57% (Hasanah et. al,
2018).
Produktivitas dari ayam dapat diketahui berdasarkan fertilitas dan daya tetas dari telur yang
dihasilkan. Fertilitas berkaitan dengan ada tidaknya embrio di dalam telur, sedangkan daya tetas
berhubungan dengan suhu untuk menetaskan telur ayam fertil. Suhu optimal untuk menetaskan telur
berkisar antara 38-40oC (Maria dan daud, 2015). Berdasarkan uaraian di atas, penulis melakukan
penelitian tentang fertilitas dan daya tetas ayam KUB.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo pada bulan
April-Mei 2019.Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam KUB (jantan dan betina),
pakan ternak, vaksin, vitamin, desinfektan, air, tisu dan perlengkapan alat tulis menulis. Alat yang
digunakan adalah mesin tetas modern, kandang, lampu candler (alat teropong telur), rak plastik
untuk telur dan timbangan.
Prosedur
Telur dikumpulkan setiap hari selama 7 hari, dibersihkan, diberi tanda sesuai asal kandangnya,
dihitung jumlah produksi telur setiap kandang/hari, ditimbang berat telur 30-50 gr, telur bentuk
oval (tidak bulat dan tidak lonjong), dan permukaan telur halus. Telur yang terkumpul selama 7 hari
dimasukkan ke dalam rak penetasan yang telah disucihamakan (desinfektan) dengan cara
disemprotkan, dan dimasukkan ke mesin tetas setter selama 18 hari dan mesin hatcher selama 3 hari
(total 21 hari untuk 1 periode penetasan). Data dikumpulkan setiap siklus penetasan selama 5 periode
penetasan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data dikumpulkan selama 5 kali 21 hari (5 periode
penetasan). Setiap periode penetasan pada hari ke-18 dilakukan candling (pemeriksaan embrio di
dalam telur yang akan ditetaskan menggunakan bantuan cahaya) untuk mengetahui telur fertil (telur
yang terbuahi dengan adanya embrio ketika dilakukan candling) dan telur infertil (telur yang tidak
terbuahi dengan kosongnya isi telur saat dilakukan candling). Hari ke-21 dilakukan panen DOC (Day
Old Chicken) dari telur yang menetas untuk mengumpulkan data daya tetasnya. Data yang diperoleh
adalah jumlah telur yang masuk ke mesin tetas setter setiap kandang selama 7 hari, jumlah telur fertil,
jumlah telur infertil, jumlah DOC (Day Old Chicken) yang menetas, dan jumlah telur yang tidak
menetas.
Analisis Data
Peubah yang diamati adalah fertilitas dan daya tetas. Data yang diambil adalah data yang
diperoleh dari hasil penetasan telur ayam KUB. Persentase fertilitas dan daya tetas yang dihasilkan
dibagi menjadi 3 kategori menurut Obidi et. al. (2004) yaitu, rendah (< 50%), sedang (50 ≥ dan ≤ 75%)
dan tinggi (> 75%). Mencari nilai yang diharapkan dengan menghitung persentase.
Persentase fertilitas telur (%) =
Keterangan :
a=jumlah telur yang fertil; b=jumlah telur yang masuk ke mesin tetas
c=jumlah telur yang menetas (Kaharuddin dan Kususiyah, 2006)
Data yang diperoleh diolah secara statisik deskriptif dengan menghitung rata-rata/mean,
simpangan baku, dan koefisien variasi.
Dari Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata fetilitas telur ayam KUB di BPTP Gorontalo adalah 91,97 ±
1,31, yang menunjukkan tingkat fertilitas yang cukup baik untuk 5 periode penetasan. Nilai koefisien
variasi rata-rata berkisar 1,42%, artinya sebaran data memiliki variasi yang bersifat relatif. Populasi
dianggap seragam jika memiliki koefisien variasi dibawah 15%
(Howel, 2013). Telur yang fertil diartikan sebagai jumlah telur yang dapat dibuahi oleh sperma
jantan. Persentase telur yang fertil dikatakan cukup
baik minimal 85% dengan infertil 15% (Hamiyanti, et
al., 2011). Fertilitas merupakan persentase telur yang
fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam
periode penetasan. Gambar 1 nampak periode
fertilitas tertnggi di periode penetasan ke-5
sedangkan yang terendah pada periode penetasan ke-
4. Namun persentase fertilitasnya masih dikatakan
cukup baik. Fertilitas dihitung dengan cara membagi
jumlah yang fertil dengan jumlah telur yang
ditetaskan dikalikan dengan 100 persen. Faktor yang
mempengaruhi fertilitas antara lain adalah nutrient, Gambar 1. Fertilitas Telur Ayam KUB Per
Periode Penetasan di BPTP Gorontalo.
mortalitas sperma, dan persentase sel sperma yang
abnormal atau mati. Faktor nutrient misalnya kekurangan mineral atau vitamin E dalam pakan dapat
menyebabkan telur menjadi tidak fertil (King’ori, 2011).
Daya Tetas
Daya tetas adalah jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang fertil dikalikan
dengan 100%. Hasil penelitian daya tetas telur dapat di lihat pada Tabel 2. Rata-rata daya tetas telur
ayam KUB di BPTP Gorontalo 85,18 ± 2,10 menunjukkan tingkat daya tetas yang cukup baik untuk 5
periode penetasan, dibandingkan daya tetas ayam KUB di Kelompok Gumukmas Jember yang
berkisar antara 49,64 - 68,84% (Niswatin, et. al., 2019) dan daya tetas di KBI Banjarbaru berkisar antara
50,34 - 68,11% (Suryana, 2017).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 189
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Daya Tetas Telur Ayam KUB di BPTP
Gorontalo
Daya tetas paling tertinggi di periode penetasan ke-5 dan terendah pada periode penetasan ke-1
(Gambar 2), namun daya tetas ayam KUB masih tergolong baik. Menurut Suryana (2018), bahwa daya
tetas ayam KUB di Kalimantan Selatan berkisar antara 79,67-81,80% sedangkan pada ayam buras bisa
menncapai daya tetas 95% (Maria dan Daud, 2015).
KESIMPULAN
Ayam Kampung Unggul Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) disingkat
ayam KUB menunjukan fertilitas dan daya tetas yang cukup baik dengan rata-rata fertilitas 91,97 ±
1,31 dan daya tetas 85,18 ± 2,10. Fertilitas dan daya tetas yang paling tertinggi pada periode penetasan
ke-5.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Beberapa Macam Bahan
Makanan Penting, 2007-2018. BPS Indonesia.
Hamiyanti, A.A., Achmanu., Muharlien dan A.P. Putra. 2011. Pengaruh Jumlah Telur Terhadap Bobot
Telur, Lama Mengeram, Fertilitas serta Daya Tetas Telur Burung Kenari. J. Ternak Tropika. 12
(1) : 95-101.
Hasanah N., Nanang D. W., Achmad M. 2018. Teknik Manajemen Penetasan Telur Tetas Ayam
Kampung Unggul KUB Di Kelompok Gumukmas Jember. Jurusan Peternakan Politeknik
Negeri Jember, Jember.
Howel, D. C. 2013. Statistical Methods fo Psychology. Canada: Wadsworth Cengage Learning.
Maria, D. B. dan Daud O. B. 2015. Sistem Kontrol Suhu pada Mesin Tetas Telur Ayam Buras Hemat
Energi Daya Tetas Optimal. J. Ilmiah Flash. 1 (1) : 43-49.
Niswatin, H., N. D. Wahyono, A. Marzuki. 2019. Teknik Manajemen Penetasan Telur Tetas Ayam
Kampung Unggul KUB di Kelompok Gumukmas Jember. [Internet]. [diunduh 2019 Oktober 1];
13-22. Tersedia dari : http://ejournal.uniska-kediri.ac.id.
Kaharuddin, Desia dan Kususiyah. 2006. Fertilitas dan Daya Tetas Telur Hasil Persilangan Antara
Puyuh Asal Bengkulu, Padang dan Yogyakarta. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
King’ori, A. M. (2011). Review of the factors that influence egg fertility and hatchability in Poultry. Int. J.
Poult. Sci. 10: 483-492.
Obidi JA, Onyeanusi BI, Ayo JO, Rekwot PI, and Abdullah SJ. 2004. Effect of Timing of Arttifical
Insemina tion on Fertility and Hatchability of Shikabrown Breeder Hens. Poult. Sci.
Suryana. 2017. Pengembangan Ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) di Kalimantan Selatan.
Wartazoa. 27 (1) : 045-052.
ABSTRACT
Improvement of genetic quality of chickens can be crossed because it is very important to be able to produce offspring
with higher productivity. This study aims to identify the fertility and hatchability of potential breeding results of
crossbreeding of KUB chickens and Sensi chickens at the Gorontalo Agricultural Technology Assessment Center. The
research using descriptive method. KUB chicken eggs (female) crossed with Sensi chicken (male) are collected for 7
days, weighed, and recorded every hatching cycle for 5 hatching periods. The variables observed were fertility and
hatchability. The results obtained indicate fertility and hatchability are quite good with an average fertility of 85.20%
and 84.67%. The highest fertility and hatchability in the 5th hatching period.
ABSTRAK
Perbaikan mutu genetik ayam bisa melalui persilangan karena sangat penting untuk dapat menghasilkan
keturunan dengan produktivitas yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi fertilitas dan
daya tetas potensi pembibitan hasil persilangan ayam KUB dan ayam Sensi di Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Gorontalo. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Telur ayam KUB
(betina) yang disilangkan dengan ayam Sensi (jantan) dikumpulkan selama 7 hari, ditimbang, dan dicatat
setiap siklus penetasan selama 5 periode penetasan. Peubah yang diamati adalah fertilitas dan daya tetas.
Hasil yang diperoleh menunjukan fertilitas dan daya tetas yang cukup baik dengan rata-rata fertilitas
85,20% dan 84,67%. Fertilitas dan daya tetas yang paling tertinggi pada periode penetasan ke-5.
Kata Kunci : fertilitas, daya tetas, ayam KUB, ayam Sensi, persilangan
PENDAHULUAN
Ternak ayam di Indonesia secara turun temurun dilaksanakan sebagai usaha sampingan mulai
bergeser menjadi usaha yang menjanjikan. Hal ini ditandai dengan jumlah ternak ayam kampung
rata-rata meningkat tiap tahunnya. Di Provinsi Gorontalo jumlah ternak ayam kampung sebanyak
1.519.679 ekor lebih tinggi dari tahun sebelumnya (BPS, 2018).
Ayam Kampung Unggul Balitangtan (KUB) merupakan ayam kampung yang memiliki produksi
telur yang tinggi jika dibandingkan dengan ayam kampung lainnya, rata-rata produksi telur yang
dihasilkan bisa mencapai 180 butir/induk/tahun untuk pemeliharaan secara intensif (Prinyanti et al.,
2016). Sedangkan ayam Sentul Terseleksi (Sensi) merupakan ayam lokal pedaging unggul, rata-rata
bobot badan pada ayam jantan Sensi terseleksi dengan bulu Pucak 1.051+76 g/ekor dan bulu Abu
1.015+107 g/ekor (Hasnely et al., 2017). Kedua jenis ayam kampung ini adalah ayam hasil riset hasil
penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (dalam hal ini Balai Penelitian Ternak).
Upaya memperbaiki mutu genetik ayam bisa melalui persilangan karena sangat penting untuk
dapat menghasilkan keturunan dengan produktivitas yang lebih tinggi. Hasil persilangan ayam
pelung dengan ayam pedaging menghasilkan kandidat ayam hibrida pedaging yang potensial
(Ayudha, et.al., 2017). Penelitian lain menggunakan ayam Arab disilangkan dengan ayam kampung
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 191
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menghasilkan performa Selain itu ayam hasil persilangan mempunyai performa produksi tinggi
(Husmaini dan Sabrina, 2006).
Produktivitas dari ayam dapat diketahui berdasarkan fertilitas dan daya tetas dari telur yang
dihasilkan. Fertilitas berkaitan dengan ada tidaknya embrio di dalam telur, sedangkan daya tetas
berhubungan dengan suhu untuk menetaskan telur ayam fertil. Suhu optimal untuk menetaskan telur
berkisar antara 38-40oC (Maria dan Daud, 2015). Penelitian tentang identifikasi fertilitas dan daya tetas
telur hasil persilangan ayam KUB dan ayam Sensi perlu dilakukan karena sangat penting untuk
mengetahui potensi pembibitan hasil persilangan dari kedua jenis ayam kampung tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo pada bulan
Mei-Juni 2019. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam KUB (betina), ayam Sensi
(jantan), pakan ternak, vaksin, vitamin, desinfektan, air, tisu dan perlengkapan alat tulis menulis. Alat
yang digunakan adalah mesin tetas modern, kandang, lampu candler (alat teropong telur), rak plastik
untuk telur dan timbangan.
Pengumpulan Sampel
Telur ayam KUB yang disilangkan dengan ayam Sensi (jantan) dikumpulkan setiap hari selama 7
hari, dibersihkan, diberi tanda sesuai tanggal menetas, dihitung jumlah produksi telur setiap hari,
ditimbang berat telur 30-50 gr, telur bentuk oval (tidak bulat dan tidak lonjong), dan permukaan telur
halus. Telur yang terkumpul selama 7 hari dimasukkan ke dalam rak penetasan dan dimasukkan ke
mesin tetas setter selama 18 hari dan mesin hatcher selama 3 hari (total 21 hari untuk 1 periode
penetasan). Data dikumpulkan setiap siklus penetasan selama 5 periode penetasan.
Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data dikumpulkan selama 5 kali 21 hari (5 periode
penetasan). Setiap periode penetasan pada hari ke-18 dilakukan candling (pemeriksaan embrio di
dalam telur yang akan ditetaskan menggunakan bantuan cahaya) untuk mengetahui telur fertil (telur
yang terbuahi dengan adanya embrio ketika dilakukan candling) dan telur infertil (telur yang tidak
terbuahi dengan kosongnya isi telur saat dilakukan candling). Hari ke-21 dilakukan panen DOC (Day
Old Chicken) dari telur yang menetas untuk mengumpulkan data daya tetasnya. Data yang diperoleh
adalah jumlah telur yang masuk ke mesin tetas setter setiap kandang selama 7 hari, jumlah telur fertil,
jumlah telur infertil, jumlah DOC (Day Old Chicken) yang menetas, dan jumlah telur yang tidak
menetas.
Peubah yang diamati adalah fertilitas dan daya tetas telur ayam hasil persilangan ayam KUB dan
ayam Sensi
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑒𝑙𝑢𝑟 𝐹𝑒𝑟𝑡𝑖𝑙
𝐹𝑒𝑟𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥 100 %
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑀𝑎𝑠𝑢𝑘
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑀𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
𝐷𝑎𝑦𝑎 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑠 = 𝑥 100 %
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑒𝑙𝑢𝑟 𝐹𝑒𝑟𝑡𝑖𝑙
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan analisis statistika deskriptif terhadap fertilitas dan daya tetas
telur hasil persilangan ayam KUB dan ayam Sensi dengan menggunakan rumus Sudjana (2005)
sebagai berikut:
Simpangan Baku atau Standar Deviasi. Simpangan baku adalah akar ragam. Ragam merupakan
jumlah kuadrat semua deviasi nilai-nilai individu terhadap rata-rata populasi, rumusnya adalah:
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata fetilitas telur ayam hasil persilangan ayam KUB
dan ayam Sensi di BPTP Gorontalo selama 5 periode penetasan cukup baik yaitu 85,20%. Hasil
penelitian lebih tinggi dari ayam kampung hasil IB dengan pemberian dosis semen berbeda dengan
persentase fertilitas dibawah 70% (Asmarawati et al., 2013), rata-rata persentase fertilitas telur ayam
kampung jantan disilangkan dengan ayam ras petelur memiliki fertilitas sebesar 87,08%, ayam broiler
jantan disilangkan dengan ayam kampung betina memiliki fertilitas sebesar 65,56%, ayam petelur
jantan disilangkan dengan ayam kampung betina memiliki fertilitas sebesar 78,21%, dan ayam
kampung jantan disilangkan dengan ayam kampung betina memiliki fertilitas sebesar 88,38%
(Herlina et al., 2016).
Perkawinan silang antara ayam KUB dan ayam Sensi dilakukan untuk melihat produktivitas ayam
hasil silangan tersebut. Persilangan ayam lokal bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ayam
lokal dengan memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya genetik melalui persilangan (Sartika,
2012).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 193
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Adapun grafik persentase fertilitas telur ayam hasil persilangan ayam KUB dengan ayam Sensi di
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo selama 5 periode penetasan dapat dilihat
pada Gambar 1.
KESIMPULAN
Persilangan ayam KUB dan ayam Sensi menunjukan fertilitas dan daya tetas yang cukup baik
dengan rata-rata fertilitas 85,20% dan daya tetas 84,67%. Fertilitas dan daya tetas yang paling tertinggi
pada periode penetasan ke-5.
DAFTAR PUSTAKA
Asmarawati, W., Kustono, D.T. Widayanti, S. Bintara, dan Ismayana. 2013. Pengaruh Dosisi Sperma
yang Diencerkan dengan NaCl Fisiologis terhadap Fertilitas Telur pada Inseminai Buatan Ayam
Kampung. Buletin Peternakan. 37 (1) : 1-5.
Ayudha, B. I. P., Trijoko, B.S. Daryono. 2017. Pertumbuhan dan Keseragaman Warna Bulu Ayam
Persilangan (BC2) Hasil Seleksi Genetik Persilangan Ayam Pelung dengan Ayam Pedaging.
Jurnal Veteriner. Vol. 18 (4)
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Beberapa Macam Bahan
Makanan Penting, 2007-2018. BPS Indonesia.
Beell, D.D. and Weaver, W.D. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. Academic
Publisher. United.
Hamiyanti, A.A., Achmanu, Muharlien dan A.P. Putra. 2011. Pengaruh Jumlah Telur Terhadap Bobot
Telur, Lama Mengeram, Fertilitas serta Daya Tetas Telur Burung Kenari. J. Ternak Tropika. 12
(1) : 95-101.
Hasnelly, Iskandar S, Sartika T. 2017. Quantity and Quantitative Characteristics of Sensi-1 Agrinak
Chicken. JITV. 22 (2) : 68-79.
Herlina, La Ode Nafiu, M.A. Palaga. Bobot Tetas dan Fertilitas pada Ayam Kampung dan Hasil
Persilangannya. JITRO. 3 (3) : 32-37.
Husmaini, H., & Sabrina, S. 2006. Performa Produksi Telur Turunan Pertama (F1) Persilangan Ayam
Arab dan Ayam Kampung yang Diberi Ransum dengan Level Protein Berbeda. Jurnal
Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science), 11(1), 18.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 195
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kartasudjana, R dan Suprijatna, E. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Maria, D. B. dan Daud O. B. 2015. Sistem Kontrol Suhu pada Mesin Tetas Telur Ayam Buras Hemat
Energi Daya Tetas Optimal. J. Ilmiah Flash. 1 (1) : 43-49.
Priyanti, A., Sartika, T., Priyono., Juliyanto, T. D., Bahri, S. dan Tiesnamurti, B. 2016. Kajian Ekonomik
dan Pengembangan Inovasi Ayam kampung Unggul Balitbangtan (KUB). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Rukmana, R. 2003. Ayam Buras Intensifikasi dan Kiat Pengembangan. Cetakan ke-1. Kanisius.
Yogyakarta.
Rusli, B., Syamsuddin, F. Astuty, M. A. Pagala. 2017. Performa Penetasan Telur Ayam Hasil
Persilangan Ayam Bangkok dengan Ayam Ras Petelur. JITRO. 4 (2) : 1-9.
Sartika, T. 2012. Ketersediaan Sumberdaya Genetik Ayam Lokal dan Strategi Pengembangannya untuk
Pembentukan Parent dan Grand Parent Stock. Workshop Nasional Unggas Lokal. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Sudjana. 2005. Metode Statistik. Tarsito. Bandung.
Suprijatna, E. 2005. Ayam Buras Krosing Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta.
ABSTRAK
Kedelai menjadi bagian integral dari bahan pangan masyarakat sehari-hari sepanjang tahun, tidak
terdapat produk substitusi untuk bahan pangan olahan berbahan baku kedelai (tahu, terigu,kecap),
kebutuhan akan bungkil kedelai sebagai pakan ternak semakin meningkat, dan adanya kemungkinan
kurang sesuainya kedelai negara maju untuk bahan baku industri pangan, karena berasal dari tanaman
transgenik. Upaya peningkatan produksi kedelai selain ditentukan oleh ketersediaan lahan, juga
ditentukan oleh teknologi produksi yang tersedia dan dapat diterapkan oleh petani. Untuk mencapai
tingkat produktivitas yang seragam disetiap daerah sentra produksi kedelai, maka ketersediaan teknologi
produksi yang baku untuk masing-masing agroekologi mutlak diperlukan agar swasembada kedelai
dapat dicapai. keberhasilan teknologi yang dianjurkan harus disebarkan sampai ditingkat petani, perkuat
modal dan kelembagaan petani dan peyuluhan serta peningkatan nilai tambah produk kedele sehingga
adopsi teknologi ditingkat petani dapat ditingkatkan. Beberapa kendala dalam produksi kedele seperti
faktor alam, faktor Abiok dan social ekonomi yang bisa menghambat dalam peningkatan produksi
kedele perlu disikapi dengan penerapan teknologi yang spesifik dan tepat guna. Untuk meningkatkan
produksi kedele dibutuhkan pengetahuan produksi kedele dari aspek budidaya sampai kepada pasca
panen sehingga dapat dihasilkan produk kedele yang berkualitas. Tujuan penulisan ini adalah untuk
melihat adopsi serta kendala produksi kedele.
PENDAHULUAN
Selama 10 tahun terakhir luas panen kedelai di Indonesia menurun, dan sebaliknya terjadi
peningkatan sangat besar di Amerika Serikat, Brasil dan India. Luas panen kedelai Indonesia bertahan
sekitar 0,7 – 0,8 juta hektar. Dari aspek produktivitas Negara penghasil kedelai di Asia, Indonesia dan
India masih pada posisi sekitar 1,0 t/ha, sedangkan AS dan Brasil diatas 2,5 t/ha. Di India, penanaman
luas areal panennya mencapai 22% per tahun, dan sekitar 1 juta hektar pada tahun 1991 menjadi 10
juta hektar pada tahun 2000, sehingga India mampu menjadi salah satu Negara eksportir kedelai di
dunia ( Sunarlim et al., 1999).
Konsep sistem produksi kedelai mencapai swasembada perlu diupayakan dengan penambahan
luas areal panen pada wilayah baru yang dapat memposisikan kedelai sebagai tanaman utama, atau
tanaman komersial. Sistem produksi kedelai yang berkelanjutan di Indonesia memerlukan
tersedianya wilayah produksi kedelai permanen, pada agroekologi yang sesuai untuk tanaman
kedelai. Walaupun keputusan untuk menanam atau tidak menanam kedelai tetap sepenuhnya
ditangan petani, namun penunjukkan “ wilayah produksi kedelai” dengan berbagai prasarana yang
diperlukan, perlu difasiltasi. Indonesia akan tetap menjadi negara konsumen kedelai dengan tendensi
kebutuhan yang terus meningkat disebabkan oleh : (1) kedelai menjadi bagian integral dari bahan
pangan masyarakat sehari-hari sepanjang tahun, (2) tidak terdapat produk subtitusi untuk bahan
pangan olahan berbahan baku kedelai ( tahu, terigu, kecap), (3) kebutuhan akan bungkil kedelai
sebagai pakan ternak semakin meningkat, (4) adanya kemungkinan kurang sesuainya kedelai dari
negara maju untuk bahan baku industri pangan, karena berasal dari tanaman transgenik
(Adisarwanto et.al 2013).
Kedelai adalah salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan
bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 197
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
SDM Indonesia. Kedelai dapat dikonsumsi langsung dan dapat juga digunakan sebagai bahan baku
agroindustri (PDIN, 2013).
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat,
maka permintaan akan komoditas kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun dan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan akan gizi. Akan tetapi, kapasitas produksi dalam negeri
belakangan ini cenderung menurun. Setiap tahunnya pemerintah melakukan impor kedelai yang
belakangan ini sudah mencapai 600 ribu ton per tahun (Arsyad dan Syam, 1998 dalam Hisna, 2012).
Menurut Hilman, et al. (2004) dalam Hisna 2012, proyeksi permintaan kedelai tahun 2018 sebesar
6,11 juta ton, sedangkan produksi kedelai tahun 2003 sekitar 672.000 ton, padahal produksi tahun 1992
pernah mencapai 1,87 juta ton. Karenanya, tanpa upaya dan kebijakan khusus, hingga tahun 2018
kebutuhan kedelai nasional tetap akan bergantung pada impor. Rendahnya produksi tersebut dapat
disebabkan oleh banyak faktor pembatas yang menyebabkan produksi yang dihasilkan belum mampu
memenuhi kebutuhan di Indonesia.
Menurunnya gairah petani untuk menanam kedelai karena dianggap kurang menguntungkan.
Produktivitas kedelai masih rendah, karena anjuran teknologi belum diterapkan secara tepat dan
benih kedelai unggul masih terbatas. Demi kepentingan nasional yang multifaset, sudah lama
disadari bahwa produksi kedelai dalam negeri harus dipacu dan dijaga sehingga tidak tergantung
pada impor. Kuncinya adalah penguasaan dan pengembangan teknologi mulai dari varietas unggul
yang sesuai secara agroklimatik, budidaya, pasca panen, prosesing dan aspek-aspek pendukung
lainnya, seperti pemasaran, prasarana, dan sebagainya (PDIN, 2013).
Produksi kedelai dalam negeri terus menurun secara tajam sejalan dengan penurunan areal tanam.
Menurunnya areal tanam kedelai sebagai akibat rendahnya partisipasi petani dalam menanam
kedelai, karena budidaya kedelai yang diusahakan tidak memberi keuntungan yang layak kepada
petani. hal tersebut karena terbatasnya ketersediaan teknologi dan rendahnya adopsi teknologi
ditingkat petani serta rendahnya tingkat harga yang diterima, sehingga menurunnya nilai tukar
petani. program kebijakan insentif dengan kegiatan penguatan kelembagaan dan pembiayaan yang
dilaksanakan melalui penggalangan partisipasi petani melalui wadah kelompok tani yang disertai
pembinaan melalui sekolah lapang merupakan strategi untuk meningkatkan produksi serta
mengurangi impor kedelai dan menuju swasembada kedelai (Zakaria, 2010).
Menurut Arsyad et.al (2013), menyatakan bahwa penyediaan teknologi produksi kedelai sering
terkendala oleh factor non teknis, termasuk skala usaha yang kecil, cara kerja secara manual.
Dengan asupan modal sangat rendah, dan alokasi tenaga kerja yang minimal. Hal-hal tersebut
selain menyulitkan pemilihan jenis teknologi maju yang sesuai, juga menjadi penghambat adopsi
teknologi yang telah disediakan. Jenis teknologi yang terkait dengan penggunaan alat mesin
pertanian seperti yang diterapkan di negara maju, menjadi tidakrelevan penerapannya dengan sistim
budidaya kedelai di Indonesia.
Petani masih ada yang menjual kedelai dengan sistim tebasan, sehingga nilai tambah dari
teknologi tidak dapat dirasakan manfaatnya
Teknologi produksi kedelai yang benar-benar spesifik lokasi belum tersedia
Kegiatan penyuluhan tentang kehandalan paket teknologi belum optimal
Kenaikan nilai tambah produksi dan keuntungan dari penerapan teknologi tersebut kurang
mencolok dibanding tanaman lain.
Adopsi teknologi yang paling mudah bagi petani adalah dari komponen varietas unggul yang
produktivitasnya lebih tinggi. Namun adopsi varietaspun sering dihambat oleh ketidaktersediaan
benihnya, karena belum berkembangnya industri perbenihan kedelai. Demikian pula adopsi
penggunaan biopestisida sering terhambat belum tersedianya produk yang bersangkutan di tingkat
pedesaan. Komponen pupuk juga kurang jelas pengaruhnya terhadap produksi pada lahan sawah
yang sudah sering dipupuk NPK. Teknologi terkait dengan kelengasan tanah optimal untuk
pertumbuhan tanaman, pada musim kemarau sering sukar diterapkan karena tidak tersedianya air
irigasi bagi tanaman kedelai. Begitu pula pengendalian gulma, kadang-kadang terkendala oleh
tingginya biaya tenaga kerja penyiang.
Banyaknya factor yang menjadi penghambat masalah adopsi teknologi budidaya kedelai tersebut
bukan untuk menunjukkan rasa pesimisme, tetapi dapat memberikan keterangan lambatnya adopsi
teknologi dalam budidaya kedelai. Untuk keberhasilan upaya peningkatan produksi kedelai,
hambatan dan masalah tersebut perlu dihilangkan.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 199
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Di lahan sawah tadah hujan, tanaman kedelai sering mengalami kekeringan pada fase kritis,
yaitu periode pembentukan bunga dan polong
Di lahan kering, bila tanaman kedelai ditanam pada awal musim hujan, curah hujan seringkali
terlalu banyak pada fase berbunga sehingga dapat mengurangi jumlah polong yang tebentuk
dan akibatnya pertumbuhan menjadi tidak normal
Didaerah tropis, panjang hari (photoperiodisitas efektif) rata-rata sekitar 11 – 12 jam, sedangkan di
daerah sub tropis dapat mencapai 14 -16 jam. Karena kedelai termasuk tanaman yang peka
terhadap photoperiode, maka di Indonesia umur kedelai menjadi pendek, cepat berbunga dan
produktivitas rendah
Intensitas radiasimatahari rendah selama musim hujan karena sering terjadi mendung.
Tanah
Kondisi fisik tanah yang dikehendaki tanaman kedelai adalah tanah gembur dengan pH 5,5 – 7,0,
lengas tanah antara 70 – 85% kapasitas lapang. Lapisan olah dalam dengan tingkat kesuburan tanah
sedang – cukup. Kondisi tanah yang ideal tersebut biasanya tidak tersedia cukup luas untuk kedelai,
karena kondisi tersebut juga cook untuk tanaman lain. Untuk itu, seringkali kedelai terpaksa ditanam
pada tanah yang kurang sesuai, antara lain tanah masam, tanah berpasir, dan tanah-tanah yang sering
kekurangan air. Penanaman kedelai yang dipasakan pada kondisi tersebut data menjadi penyebab
produktivitas tanaman menjadi kurang optimal.
Tanaman kedelai umumnya ditanam tidak dalam satu hamparan yang luas (> 500 ha), tetapi
menyebar pada areal yang sempit diantara tanaman pangan yang lain, hortikultura atau tebu. Di
beberapa sentra produksi malah belum ditunjang dengan kondisi infrastruktur yang memadai
sehingga sulit untuk penyediaan sarana produks, sehingga hal ini seringkali menjadi penghambat
upaya pembinaan kepada petani.
Faktor Biotik
Produktivitas tanaman kedelai di daerah tropis sulit untuk mengimbangi produktivitas kedelai di
negara subtropis. Misalnya di AS rata-rata 2,25 t/ha dicapai dengan umur 140 hari atau sekitar 16
kg/ha/hari, sedangkan di Indonesia apabila rata-rata 1,2 t/ha, maka dengan umur 85 hari diperoleh
produksi sebanyak 14 kg/ha/hari. Adaptasi varietas sulit dilaksanakan karena kedelai sangat
dipengaruhi oleh panjang hari, sehingga varietas unggul di luar negeri tidak selalu sesuai untuk
ditanam di Indonesia.Potensi hasil varietas nggul yang dilepas 2,0 t/ha, sedangkan di lahan petani
masih jauh dibawah potensi tersebut.
Hama. Jenis serangga hama yang menyerang tanaman kedelai di Indonesia jumlahnya sangat
banyak, yaitu sekitar 20 jenis sedangkan di daerah subtropics hanya ada 1 – 2 jenis hama. Jumlah yang
banyak tersebut memberi gambaran betapa sulit pengendaliannya apalagi serangan hama kedelai
umumnya bersifat polipage, dalam arti mampu untuk berkembang sepanjang tahun.
Penyakit. Ada dua penyakit utama yang dominan pada tanaman kedelai, yaitu karat daun dan
virus. Penurunan hasil oleh serangan karat daun dapat mencapai 30 -60%, dan terjadi pula penurunan
kualitas biji. Upaya untuk pengendaliannya adalah memakai fungisida dan penanaman varietas
toleran, antara lain Kerini, Merbabu, dan Dempo.
Penyakit virus lebih sulit upaya pengendaliannya. Pada tingkat kerusakan tanaman karena virus,
dapat dilakukan upaya pencegahan dengan rotasi tanam, pembakaran tanaman inang,memberantas
serangga vector,penggunaan benih sehat dan pembuangan tanaman sakit.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 201
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
TEKNOLOGI PRODUKSI
Penanaman Varietas Unggul dan Penggunaan Benih
Pemilihan varietas unggul yang adaptif dan diikuti pengunaan benih bermutu tinggi merupakan
penunjang pokok keberhasilan bertanam dan memperoleh hasil biji yang tinggi dalam usahatani
kedelai. Varietas kedelai unggul yang telah dilepas mempunyai jangkuan daya adaptasi yang baik
pada seluruh tipe lahan dan sentra pertanaman kedelai, karena selama pertumbuhan kedelai tidak
ada perbedaan panjang hari maupun suhu yang mencolok diantara wilayah pertanaman kedelai.
Disamping itu, waktu tanam antara musim kemarau dengan musim penghujan antar sentra
pertanaman kedelai tidak berbeda jauh sehingga boleh dikatakan hamper serempak diseluruh sentra
pertanaman. Namun demikian ada beberapa varietas unggul menunjukkan daya adaptasi yang lebih
baik dengan potensi hasil yang tinggi (> 2,00 ton/ha pada lahan sawah). Untuk penanaman di lahan
sawah pada MK I dalam pola tanam padi-kedelai-kedelai dianjurkan menanam varietas kedelai
berumur sedang (80 -90 hari), sedangkan pada MK II dianjurkan menanam varietas berumur genjah
(< 80 hari). Hal ini untuk mencegah terjadinya cekaman kekurangan air pada saat periode pengisian
polong karena akan berpengaruh terhadap kuantitas maupun kualitas biji yang dihasilkan.
Penggunaan benih bermutu tinggi merupakan syarat mutlak dalam budidaya kedelai, untuk
mencapai populasi tanaman yang optimal (400.000 – 500.000 tanaman/ha)dan pertumbuhan yang
seragam. Syarat utama benih bermutu adalah murni, sehat, bebas penyakit, bersih dan daya tumbuh >
90%. Jumlah benih yang diperlukan tergantung dari daya tumbuh dan kuran biji. Keperluan benih
untuk kedelai berbiji ukuran kecil sekitar 40 -50 kg/ha, sedangkan untuk ukuran biji sedang – besar
diperlukan sebanyak 55 – 60 kg/ha.
Keragaan dan Adopsi Teknologi Produksi
Keragaan teknologi produksi kedelai di lapang tercermin dari tingkat produktivitas yang dicapai
oleh petani dilahan petani masih beragam dari 0,50 – 2,50 t/ha. Adanya keragaman tersebut
mencerminkan bahwa teknik budidaya kedelai yang baku untuk masing-masing daerah pertanaman
kedelai belum dikuasai dan diterapkan dengan tepat oleh petani. Untuk mencapai tingkat
produktivitas yang seragam disetiap daerah sentra produksi kedelai seperti halnya yang telah dicapai
pada tanaman padi, maka ketersediaan teknologi produksi yang baku untuk masing-masing
agroekologi mutlak diperlukan.
Masih rendahnya produksi kedelai ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, seperti
teknologi bercocok tanam yang masih kurang baik, kesiapan dan ketrampilan petani kedelai yang
masih kurang, penyediaan sarana produksi yang masih belum tepat serta kurangnya permodalan
petani kedelai untuk melaksanakan proses produksi sampai ke pemasaran hasil (Syam, 1991). Lebih
lanjut disampaikan untuk menekan laju impor diperlukan strategi peningkatan produksi melalui
peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan
kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar,
perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur,serta pengaturan tata niaga dan insentif
usaha untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, dengan sasaran peningkatan produksi 15% per
tahun,
Upaya swasembada kedelai dapat dicapai apabila petani sudah menerapkan teknologi produksi
spesifik secara tepat dan benar, sehingga keragaman produktivitas antar pertanaman kedelai dapat
ditekan. Adisarwanto (2004), melaporkan bahwa teknologi produksi kedelai yang telah ada dalam
kurun waktu 30 tahun banyak mengalami perubahan/penambahan komponen teknologi yang
dianjurkan walaupun begitu varietas unggul kedelai masih merupakan komponen utama. Potensi
produktivitas varietas unggul kedelai dalam dasawarsa terakhir telah bisa mencapai > 2,50 t/ha.
Di lahan sawah, tidak diperlukan pengolahn tanah untuk tanaman kedelai sesudah padi karena
sulit dilakukan, tidak efisien dan tidak meningkatkan hasil. Akan tetapi keberadaan saluran drainase
mutlak diperlukan, terutama untuk kedelai musim kemarau I ( MK I : April – Juni). Pada MK I
saluran drainase berfungsi sebagai saluran pematus atau pembuang kelebihan air, sedangkan pada
MK II berfungsi dalam pembagian /pemerataan air pengairan. Pemanfaatan jerami padi sebagai
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 203
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
mulsa juga berpeluang meningkatkan hasil, juga berfungsi menekan pertumbuhan gulma dan
serangan lalat batang, selain itu dapat mengurangi evapotranspirasi.
Sumarno et al (1989), melaporkan bahwa terjadinya penurunan hasil kedelai apabila ditanam di
luar waktu tanam optimal. Penurunan hasil tersebut berkaitan dengan kondisi kelembaban tanah atau
curah hujan, suhu dan panjang hari. Didaerah tropis faktor lingkungan yang dominan berpengaruh
terhadap fluktuasi hasil kedelai adalah jumlah dan sebaran curah hujan.
Untuk mencapai tingkat perkecambahan benih yang optimal di lahan sawah memerlukan
kelembaban tanah 70 – 90% kapasitas lapang. Keadaan ini dicapai sekitar 4 – 6 hari setelah padi
dipanen apabila jerami dibersihkan saat panen atau 6 – 9 hari setelah padi dipanen apabila jerami
dibiarkan berada dipetakan sawah ( Karama, 1979). Waktu tanam optimal kedelai adalah dua hari
setelah panen padi (HSPP). Kelebihan air dan keterbatasan waktu dan tenaga kerja pada musim
tanam kedelai MK I menjadi penyebab petani menanam dengan cara disebar. Peningkatan jumlah
benih dua kali lipat dengan cara disebar memberikan hasil sama dengan cara tanam ditugal.
Dari hasil pengamatan dilapangan bahwa pola waktu tanam yang terbanyak di Jawa pada bulan
Pebruari ( MK I), bulan Juli ( MK II) dan bulan Oktober ( MH), sedangkan untuk luar Jawa MK I
bergeser pada bulan april, hal ini dikarenakan penanaman dilakukan di lahan kering setelah tanam
jagung. Untuk awal musim hujan juga bergeser ke bulan November.
Pemupukan
Tanah sebagai media tumbuh tanaman mempunyai daya dukung terbatas baik sebagai sumber
unsur hara maupun kelembaban. Pengelolaan sumber daya tanah dan pupuk harus dilakukan secara
efisien dan efektif untuk memperoleh nilai manfaat yang berkelanjutan tanpa menimbulkan
kerusakan lingkungan. Selama ini program pemupukan lebh ditekankan pada aspek produktivitas
dari pada aspek total serapan oleh tanaman atau aspek ekonomis. Tanaman kedelai diketahui sering
tidak seau respon terhadap pemupukan, tergantung pada ketersediaan lengas tanah, kompetisi
dengan gulma, dan ketersediaan unsur hara dalam tanah.
Pengairan
Untuk memenuhi kebutuhan pertumbhan optimal, tanaman kedelai memerlukan sekitar 300 – 450
mm air yang diperlukan sangat tergantung pada kondisi tanah, akan tetapi ada 4 ( empat) tahap
pertumbuhan kedelai yang kritis apabila tidak ada air, yaitu pertumbuhan awal, saat berbunga,
pembentukan polong dan pengisian biji. Kelembaban yang cukup tinggi (70-80% kapasitas lapang)
adalah kondisi optimal untuk menunjang dan mempercepat perkecambahan, sedangkan fase
pemasakan polong sangat sedikit memerlukan air irigasi. Anjuran secara umum adalah pengairan
minimal 3 – 4 kali, tergantung pada kondisi tanah. Cara pengairan dapat melalui saluran irigasi atau
secara luapan/genangan. Tanaman kedelai memiliki derajat toleran kondisi kering asalkan lapisan
olah tanahnya dalam. Pada kondisi tanah 12,5 – 25% dibawah kapasitas lapang, tanaman kedelai
masih dapat bertahan dan mampu berproduksi normal di jenis tanah Vertisol dan Entisol, dengan
pupuk P dan K pada takaran rendah atau tinggi. ( Rahmianna et al. 1999).
Pengendalian Gulma
Untuk pertanaman kedelai di lahan sawah sesudah tanaman padi, penggunaan jerami sekitar 5
t/ha sebagai mulsa dapat menekan perkembangan gulma sampai 65%. Apabila ditambah dengan satu
kali penyiangan secara mekanis (memakai sabit/cangkul),maka akan menekan sampai 90%.
Penyiangan dua kali sebelum masa berbnga sudah cukup menekan gulma pada tanaman kedelai.
Penggunaan herbisida pratumbuh baru digunakan apabila populasi gulma sudah mencapai > 30%
dan kondisi ini ummnya sering dijumpai pada pertanaman kedelai MK II.
KESIMPULAN
Dari bahasan yang dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa keberhasilan teknologi
yang dianjurkan harus disebarkan sampai ditingkat petani, perkuat modal dan kelembagaan petani
dan peyuluhan serta peningkatan nilai tambah produk kedele sehingga adopsi teknologi ditingkat
petani dapat ditingkatkan. Beberapa kendala dalam produksi kedele seperti faktor alam, faktor Abiok
dan social ekonomi yang bisa menghambat dalam peningkatan produksi kedele perlu disikapi
dengan penerapan teknologi yang spesifik dan tepat guna. Untuk meningkatkan produksi kedele
dibutuhkan pengetahuan produksi kedele dari aspek budidaya sampai kepada pasca panen sehingga
dapat dihasilkan produk kedele yang berkualitas.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 205
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous (2013), Kedelai. Teknis Produksi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Adisarwanto, T. The influence of planting method and mulching on soybean seed yield. Proceeding of
A Symposium Soybean in Tropical and Sub Tropical Cropping System. Tsukaba, September 26
October I 1983
Adisarwanto et.al 2000. Penetapan Anjuran pupuk P berdasarkan uji tanah di jenis tanah Entisol.
Laporan Tahunan Balittan Malang.p. 45 – 54.
Arsyad, D.M.dan M.Syam.1998. Kedelai, sumber pertumbuhan produksi dan teknik budidaya.
Puslitbangtan. Bogor
Harnowo,D.,Saleh, Marwoto, A.Harsono, dan Purwanto.1993. Perakitan Teknologi system produksi
benih kedelai di lahan sawah dan lahan tegal. Laporan Hasil Penelitian Dana ARM 1992/1993.
Balittan Malang.p. 1-7
Karama, A.S. 1979. Establisment and performance of rainfed corn (Zea mays L) and soybean (Glycine
max L.Merrill) in the dry season after puddle flooded rice. University of The Philipines at Los
Banos.
Kuntyastuti, H. dan T. Adisarwanto.1995. Tanggap Kedelai Terhadap perbedaan waktu tanam di lahan
sawah. Disampaikan pada symposium PERHIMPI III tanggal 26 – 28 Januari 1995 di
Yogyakarta.25 p.
Makarim, A.K., Suharsono, D.M. Arysad, T. Adisarwanto, Marwoto dan N. Saleh.2005. Pengembangan
Kedelai di lahan sub.optimal. Prosiding Lokakarya. Puslitbangtan. Bogor
Manurung, R.M.H. 2002. Tantangan dan Peluang pengembangan tanaman kacang-kacangan dan
umbi-umbian. P.19 – 40. Prosiding Seminar Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan
umbi-umbian mendukung Ketahanan Pangan.Balitkabi.
PDIN. 2013. Kedelai Varietas Unggul Baru Hasil Pemuliaan Mutasi Radiasi. Media Informasi Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Nuklir Atomos. Pusat Diseminasi Iptek Nuklir.
http://www.batan.go.id. Diakses tanggal 10 Juli 2013.
Sunarlim, N.,D. Pasaribu, dan Sunihardi.1999. Strategi Pengembangan Produksi kedelai. Prosiding
Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional.Puslitbangtan. Bogor.
Sumarno, F.Dauphin, A.Rachim, N. Sunarlim, B. Santoso, H. Kuntyastuti dan Harnoto. 1989. Analisis
Kesenjangan hasil kedelai di Jawa. ESCAP-CPGRT. Bogor.71p.
Syam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan Kedelai. Potensi, kendala dan peluang.
Puslitbangtan. Bogor.
Dewi Haryani
ABSTRAK
Upaya peningkatan produksi, produktivitas, serta mutu produk dan nilai tambah, tidak terlepas dari
dukungan inovasi teknologi yang memegang peranan penting. Salah satu komponen teknologi yang
mampu meningkatkan produksi secara nyata adalah penggunaan varietas unggul. Tujuan dari kajian
untuk mengetahui produktivitas beberapa varietas padi sawah dan penerimaan usahatani padi sawah
melalui pendekatan PTT. Kajian dilakukan di Kabupaten Pandeglang, varietas yang digunakan adalah
Inpari-4, Inpari-9, Inpari-19 dan Inpari-31. Dengan system tanam jarwo 4 : 1. Komponen hasil yang
diamati meliputi tinggi tanaman, anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah, dan gabah isi. Hasil
kajian menunjukkan produktivitas padi sawah melalui pendekatan PTT produktivitas tertinggi diperoleh
pada varietas Inpari-31 yakni 6,49 ton/ha dan terendah Inpari-19 yakni 5,94 ton/ha. keuntungan usahatani
padi sawah melalui pendekatan PTT adalah Rp. 17.119.200 dengan B/C ratio 1,83,
ABSTRACT
Efforts to increase production, productivity, and quality of products and value-added, are in spite of the support of
technological innovations that play an important role. One of the technology components that can significantly
improve production is the use of superior varieties. The purpose of this study is to know the productivity of some
paddy rice varieties and the acceptance of rice farming through PTT approach. The study was conducted in
Pandeglang Regency, the varieties used were Inpari-4, Inpari-9, Inpari-19 and Inpari-31. With the jarwo plant
system 4: 1. The components of the observed results include plant height, productive seed, long tiredness, number of
grain, and grain of contents. The results showed that the productivity of rice paddy through the highest productivity
PTT approach was obtained in Inpari-31 varieties of 6.49 ton / ha and Inpari-19, which was 5,94 ton / ha. The profit of
rice farming through PTT approach is Rp. 17.119.200 with B / C ratio 1,83,
PENDAHULUAN
Provinsi Banten merupakan salah satu wilayah sentra produksi, karena memiliki lahan sawah
seluas 198.100 ha dan bukan sawah 433.454 ha (BPS, 2011). Berdasarkan jenis irigasi, lahan sawah
yang bisa ditanami padi tiga kali seluas 10.361 ha; dua kali 153.891 ha; satu kali 32.934 ha; tidak
ditanami 926 ha; dan tidak diusahakan 67 ha. Selanjutnya lahan bukan sawah terdiri dari :
tegal/kebun 167.148 ha;rkebunan 52.501 ha; hutan rakyat 79.424 ha; tambak 9.340 ha; kolam/empang
3.794 ha; padang pengembalaan 1.807 ha; tidak diusahakan 15.177 ha; dan lainnya 25.902 ha.
Djaenudin dan Sambas (2006) melaporkan, lahan sawah di Provinsi Banten sebagian besar tergolong
tanah Entisol dan Inceptisol dengan luas 191.659 ha, yang tersebar di Kab. Lebak seluas 19.896 ha;
Kab. Pandeglang 40.982 ha; Kab. Serang 73.314 ha; Kab. Tangerang 55.772 ha; Kota Tangerang 717 ha
dan Kota Cilegon 978 ha.
Pengembangan usahatani padi sawah model PTT dilakukan melalui penerapan komponen
teknologi dasar dan teknologi pilihan (Deptan, 2007). Komponen teknologi dasar padi meliputi ; (1)
Varietas unggul baru inbrida/hibrida, (2) Benih bermutu dan berlabel, (3) Pemberian bahan organik
berupa jerami 5 ton/ha atau pupuk kandang minimal 2 ton/ha, (4) Pengaturan populasi tanaman
secara optimal melalui sistem tanam jajar legowo, (5) Pemupukan berdasarkan staus hara dan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 207
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
kebutuhan tanaman, dan (6) Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. Selanjutnya komponen
pilihan adalah ; (1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, (2) Penanaman bibit muda <21
hari, (3) Tanam bibit 1-3 batang, (4) Pengairan secara efektif dan efisien, (6) Penyiangan dengan
landak/gasrok, dan (6) Panen tepat waktu, gabah segera dirontok.
Penerapan PTT padi di Provinsi Banten memperlihatkan hasil yang cukup baik. Pengkajian PTT
padi pada lahan sawah irigasi di Desa Panancangan, Kec. Cibadak-Kabupaten Lebak diperoleh GKP
6,1-7,2 ton/ha (varietas Memberamo) dengan biaya produksi Rp. 4.617.500, sedangkan tingkat
keuntungannya adalah Rp. 1.841.500,-. Selanjutnya produktivitas padi yang diperoleh petani non-
kooperator hanya 3,1-3,9 ton/ha (biaya produksi Rp. 2.510.750,- dan tingkat keuntungan Rp. 699.250,-).
Hasil lain menunjukkan bahwa rataan luas garapan sawah di lokasi kajian adalah 0,62 ha/petani
(Rachman et al., 2003), sedangkan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga adalah Rp. 5.052.850,-
dan Rp. 5.229.500,-. Selanjutnya Mayunar et al. (2005) melaporkan bahwa penerapan PTT padi sawah
di Desa Pegadingan, Kecamatan Kramatwatu dapat meningkatkan produktivitas padi sawah sebesar
15,7-36,3 % atau 915-2.115 kg/ha dibandingkan teknologi petani.
Di Desa Pamengkang - Kecamatan Kramatwatu, produktivitas padi sawah dengan sistem tanam
legowo berkisar antara 7,12-9,12 ton/ha (rataan 7,75 ton/ha), sedangkan pada sistem tanam tegel 5,36-
8,16 ton/ha dengan rataan 6,58 ton/ha (Mayunar et al., 2006). Selanjutnya dilaporkan bahwa adopsi
dan perkembangan model PTT padi sawah baru terlihat pada tahun ke-2, dimana terjadi peningkatan
dari 5,0 ha (25 orang) menjadi 20 ha (85 orang). Berdasarkan hasil analisis dari rataan produktivitas
dan harga jual GKP, penerimaan kotor usahatani padi sawah melalui model PTT berkisar Rp.
10.728.000-15.939.000,- dengan tingkat keuntungan Rp. 4.582.500-7.556.500,- dan R/C ratio 1,68-1,92.
Lainnya halnya di Sukamandi (Dajatiharti et al., 2004), produktivitas padi sawah varietas Way
Apoburu melalui pendekatan PTT pada MK 2000 berkisar antara 6,9-9,7 ton/ha (rataan 8,3 ton/ha),
sedangkan pada MH 2000/2001 adalah 7,7-9,7 ton/ha (rataan 8,38 ton/ha). Selanjutnya pada MK 2001
(varietas Ciherang, IR-64 dan Way Apoburu), produktivitas yang diperoleh adalah 6,4-7,1 ton/ha
(rataan 6,76 ton/ha).
Peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan (padi, jagung dan kedelai) di Provinsi
Banten memiliki peluang cukup besar karena belum optimalnya penerapan teknologi, melalui
pendekatan PTT diharapkan produksi padi, jagung dan kedelai di Provinsi Banten bisa meningkat,
sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap produksi nasional sebesar 5-6 %. Harapan tersebut
dapat dicapai karena tersedianya sumberdaya lahan sawah seluas 198.100 ha dan lahan bukan sawah
berupa tegal/kebun campuran 167.148 ha, ladang/huma 78.361 ha dan perkebunan 52.501 ha (BPS
Provinsi Banten, 2011). Menurut Dinas Pertanian dan Peternakan (2013), pembangunan pertanian di
Prov. Banten menunjukkan hasil yang positif karena terjadi peningkatan luas tanam, luas panen,
produksi dan produktivitas dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2013, luas panen padi di
Provinsi Banten mencapai 386.889 ha dengan produksi sebesar 2.046.831 ton (produktivitas 52,90
ku/ha); luas panen jagung 3.540 ha dengan produksi 11.897 ton (produktivitas 33,61 ku/ha);
sedangkan luas panen kedelai mencapai 8.258 ha dengan produksi 11.900 ton (produktivitas 12,85
ku/ha). Selanjutnya dilaporkan bahwa target luas tanam padi di Prov. Banten tahun 2014 adalah
413.656 ha, luas panen 392.973 ha dengan produksi 2.161.685 ton (produktivitas 55,01 ku/ha).
Dalam peningkatan produksi, produktivitas, serta mutu produk dan nilai tambah, inovasi
teknologi memegang peranan penting untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satu komponen
teknologi yang mampu meningkatkan produksi secara nyata adalah penggunaan varietas unggul,
karena hasilnya lebih tinggi dan stabil, serta memiliki tingkat ketahanan terhadap hama dan penyakit.
Khusus usahatani padi di Provinsi Banten,
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Pandeglang, Kecamatan Jiput Desa Pamarayan seluas 18 Ha,
pada bulan September s/d Desember 2015. Varietas yang digunakan adalah Inpari-4, Inpari-9, Inpari-
19 dan Inpari-31; Pelaksanan teknis usahatani padi sawah model PTT secara rinci adalah sebagai
berikut :
Seleksi Benih : Benih dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air (ember/baskom), volume air 2
kali volume benih, kemudian diaduk-aduk. Benih yang terapung diambil, sedangkan benih yang
tenggelam berarti bernas dan baik digunakan. Benih bernas hasil seleksi direndam selama 24 jam dan
diperam selama 1 malam.
Persemaian : Luas lahan persemaian sekitar 5 % dari luas lahan yang akan ditanami. Tanah diolah
secara sempurna (dihaluskan/digembur) dan gulma dibersihkan. Buat bedengan selebar 1,5 m,
sedangkan panjang sesuai kebutuhan. Sebaiknya diberi pupuk kandang 3-4 kg/m2, sedangkan pupuk
kimia berupa Urea + SP-36 + KCl (4 kg + 3 kg + 2 kg/100 m2). Benih yang telah direndam dan diperam
ditabur secara merata. Saat tabor benih, kondisi air di lahan persemaian macak-macak. Tanaman
persemaian dipantau 2-3 hari sekali. Bibit siap ditanam pada umur 15-20 hari setelah semai (HSS).
Untuk mencegah hama dan penyakit, dilakukan penyemprotan dengan insektisida (Reagent 50 EC).
Penyiapan Lahan : Apabila menggunakan pupuk kandang/kompos (2-5 ton/ha), sebaiknya ditabur
sebelum olah tanah. Lahan digenangi air setinggi 2-5 cm dan biarkan beberapa hari, lalu dibajak
sedalam 15-20 cm, kemudian dibiarkan 3-4 hari. Selanjutnya dilakukan pembajakan ke-2 untuk
pelumpuran, sekaligus perbaikan dan teplok pematang. Sebelum tanam bibit, permukaan tanah
diratakan dengan garu atau papan (kondisi lahan macak-macak).
Penanaman : Benih padi ditanam pada umur 15-20 HSS dengan cara legowo 2:1 (jarak taam 25 x
12,5 – 50 cm) atau 4:1 (jarak tanam 25 x 12,5 – 50 cm atau 20 x 20 - 40 cm),
dimana pada barisan pinggir dilakukan penyisipan. Pada sistem tanam jajar legowo, caplak ditarik
secara bersilang dari timur ke barat dengan sudut 90 derajat. Sistem dan jarak tanam yang digunakan,
diantaranya :
Pemupukan : Pupuk organik/kompos diberikan sebelum pengolahan tanah atau menjelang tanam
(dosis 2.000 kg/ha), sedangkan pupuk dasar berupa Urea (75-100 kg/ha), SP-36 (50-100 kg/ha) dan
NPK Phonska (75-100 kg/ha) diberikan pada umur 7-14 HST. Selanjutnya pupuk susulan diberikan
pada umur 21-28 HST yakni berupa Urea (75-100 kg/ha) dan NPK Phonska (75-100 kg/ha).
Pengairan : Buat pintu masuk air (inlet) pada pematang bagian depan dekat saluran tersier,
sedangkan pintu pembuangan (outlet) dibuat pada ujung petakan sawah. Tinggi celah pintu
pembuangan 5 cm dari permukaan tanah/lumpur. Pada umur tanaman 1-10 HST, ketinggian air
dipetakan sawah 2-5 cm, selanjutnya dibuat macak-macak dengan sistem intemitten yaitu kondisi
basah-kering dengan interval 7-10 hari. Kondisi kering dipertahankan hingga air turun mencapai 10
cm dibawah permukaan, selanjutnya tanah digenangi lagi hingga ketinggian air dipetakan sawah 2-5
cm.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 209
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Penyiangan : Jika lahan memiliki populasi gulma tinggi, gunakan herbisida pratumbuh setelah
perataan tanah dan kondisi air macak-macak. Penyiangan gulma secara mekanis dilakukan pada
umur 21 HST dan 42 HST dengan menggunakan landak/gasrok.
Pengendalian OPT : Pengendalian hama dan penyakit dilakukan melalui pendekatan PHT
berbasis pemantauan jenis OPT dan mush alaminya. Tindakan pengendalian harus bersifat ramah
lingkungan, efektif, praktikal dan ekonomis. Penggunaan herbisida harus rasional, efektif dan tidak
mencemari lingkungan. Untuk mencegah hama penggerek batang (sundep/beluk) dan hama putih
palsu, gunakan insektisida berbahan aktif karbofuran (Fueadan, Curater) atau Fipronil (regent). Pada
saat tanam perlu diberikan insektisida Furadan atau jenis lainnya (Spontan 500 WP atau Bancol 50
WP). Selanjutnya walang sangit dan ulat grayak disemprot dengan Baycarb/Decis. Sedangkan wereng
batang coklat (WBC) dengan Mitac/Aplaud/Baycarb/Regent. Selanjutnya pengendalian penyakit blast
dengan Topsin/Kasumiron, dan busuk batang dengan belerang atau fungisida Score. Penggunaan
pestisida, disesuaikan dengan label petunjuk pada kemasan. Panen dan Pascapanen : Panen tepat
waktu akan menghasilkan mutu gabah yang baik. Umur panen dilakukan sesuai deskripsi varietas
(daun bendera dan 90 % bulir padi telah menguning dan kadar air gabah 18-10 %). Alat yang
digunakan adalah sabit bergerigi yang tajam, sedangkan perontokan gabah dengan sistem gebotan
atau threser. Untuk menjaga mutu gabah, penyimpanan dilakukan sebaik mungkin pada tempat yang
kering dan bersih (pakai karung dan kadar air 12-14 %).
Produktivitas Inpari-3 yang diperoleh berkisar 6,20-8,75 t/ha, Inpari-4 (5,30-8,90 ton/ha), Inpari-7
(6,20 ton/ha), Inpari-10 (7,01-8,16 ton/ha), Inpari-13 (6,29-8,16 ton/ha), dan Mekongga 7,20 ton/ha.
Berdasarkan rataan produktivitas, hasil tertinggi diperoleh pada varietas Inpari-3 yaitu 7,52 ton/ha;
kemudian diikuti Mekongga (7,50 ton/ha); Inpari-10 (7,48 ton/ha), Inpari-4 (7,39 ton/ha), Inpari-13
(6,90 ton/ha), dan Inpari-7 sebesar 6,20 ton/ha. Khusus Inpari-13, walaupun pada beberapa lokasi
menghasilkan produktivitas cukup tinggi, namun banyak dikeluhkan petani dan konsumen karena
susah digebot, rendemen beras kurang, dan adanya butiran kapur.
Pada sistem usahatani padi dengan hasil 8,0 ton/ha akan mengangkut hara dari dalam tanah
secara berturut-turut 269 kg N/ha, 44 kg P2O5/ha, 207 kg K2O/ha, 28 kg Mg/ha dan 24 kg S/ha
(Kartaatmaja et al, 2000). Selanjutnya Anonim (2008) menyatakan bahwa untuk memproduksi padi 1
ton/ha dibutuhkan unsur hara N sebanyak 22,5 kg; P 3,5 kg; K 2,7 kg; Ca 3 kg; Mg 2,5 kg dan S 1 kg.
Untuk menjamin stabilitas hasil dan berkelanjutan sistem produksi, pengembalian hara dalam bentuk
pupuk organik mutlak diperlukan. Pada tanah dengan kandungan C-organik tinggi, unsur hara
menjadi lebih tersedia bagi tanaman, sehingga pemupukan lebih efisien (Tisdale et al, 1990; Hevlin et
al, 1999). Selanjutnya Adiningsih (2000) dan Dwiyanto (2000), pemberian pupuk organik 1,5-2,0 ton/ha
pada lahan sawah dapat memberikan dampak positif terhadap hasil panen. Hasil penelitian Karida et
al. (2008) menunjukan bahwa pemberian pupuk organik 5,10 dan 15 ton/ha diperoleh hasil varietas
Ciherang sebanyak 5,12 ton/ha; 6,10 ton/ha dan 6,48 ton/ha; sedangkan dengan penggunaan pupuk
kimia (Urea 350 kg + SP-36 100 kg + KCl 50 kg per hektar) sebagai kontrol sebanyak 6,66 ton/ha.
Analisis lain yang sangat penting dalam usahatani padi sawah adalah tingkat pendapatan, yang
besarnya dipengaruhi oleh biaya produksi, tingkat produktivitas, dan harga jual. Pada usahatani padi
sawah melalui pendekatan PTT, perubahan komponen teknologi mengakibatkan perubahan struktur
biaya dan pendapatan. Oleh karena itu, teknologi yang akan dikembangkan harus didasarkan pada
kelayakan teknis dan finansial. Menurut Swastika (2004), kelayakan finansial merupakan syarat
mutlak bagi suatu teknologi untuk dapat diadopsi oleh petani. Simatupang dan Pasandaran (1995)
menyatakan, pengembangan teknologi pertanian seharusnya bersifat netral terhadap skala usaha,
karena dominannya petani dengan lahan sempit. Pengembangan teknologi yang tidak netral terhadap
skala usaha akan mempertajam perbedaan antar kelas petani di pedesaan. Teknologi benih/bibit yang
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 211
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
dapat memacu peningkatan produksi merupakan salah satu contoh teknologi yang bersifat netral
terhadap skala usaha.
Pengembangan suatu komoditas pertanian di suatu wilayah harus benar-benar
memmpertimbangkan aspek efisiensi usahatani. Artinya, dengan tingkat produksi tertentu harus
diupayakan biaya yang minimal, sehingga lebih menguntungkan petani. Sebab dalam era globalisasi
pasar bebas, hanya produk yang dihasilkan secara efisien yang mampu bersaing, baik di pasar
domestik maupun internasional. Dalam konteks tersebut, maka teknologi yang akan dikembangkan
harus dievaluasi kelayakan teknis dan finansial. Teknologi dapat dikatakan tepat guna kalau
memenuhi kriteria : (1) secara teknis mudah dilakukan, (2) secara ekonomi atau finansial
menguntungkan, (3) secara sosial budaya diterima masyarakat, dan (4) tidak merusak lingkungan.
Beberapa teknik analisis yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kelayakan finansial suatu
teknologi adalah : analisis anggaran parsial, analisis kelayakan perubahan teknologi, serta analisis B/C
ratio, NPV, IRR dan Pay Back Period.
Berdasarkan beberapa hal diatas, termasuk dalam percontohan teknologi usahatani padi sawah di
Desa Pamarayan, Kec. Jiput yang dilakukan melalui pendekatan PTT, maka dalam penerapannya
perlu dilakukan anslisis finasial terhadap hasil percontohan yang telah dilakukan. Dalam usahatani
padi sawah, tingkat pendapatan sangat dipengaruhi oleh biaya produksi, tingkat produktivitas, dan
harga jual.
Pada percontohan usahatani padi sawah melalui pendekatan PTT di Desa Pamarayan, Kec. Jiuput,
produktivitas yang diperoleh berkisar 5,25-7,10 ton/ha (rataan 6,16 ton/ha), sedangkan dengan
teknologi petani 5,6 ton/ha (varietas Ciherang) sedangkan dengan teknologi petani 4,5 ton/ha (varietas
Ciherang). Berdasarkan harga GKP pada saat panen sebesar Rp. 4.300,-/kg) maka penerimaan
usahatani padi sawah melalui pendekatan PTT di Desa Pamarayan adalah Rp. 26.488.000, (Tabel 2).
Analisis lebih lanjut diperoleh bahwa keuntungan usahatani padi sawah melalui pendekatan PTT di
Desa Pamarayan adalah Rp. 17.119.200 dengan B/C ratio 1,83. Hasil lain terlihat bahwa penerapan
model
PTT menambah biaya usahatanii sebesar Rp. 625.600-685.800,-/ha, sedangkan tambahan
pendapatan yang diperoleh berkisar Rp. 1.172.200-1.180.400. Mayunar (2012) melaporkan, penerimaan
usahatani padi sawah melalui model PTT di Kabupaten Serang berkisar Rp. 10.728.000 s/d 15.939.000,
sedangkam biaya produksi Rp. 6.165.500 s/d 8.870.000, maka keuntungan yang diperoleh adalah
4.562.500 s/d 7.556.500 dengan B/C ratio 1,68-1,92.
Berdasarkan aspek teknis dan analisis finansial yang dilakukan, model PTT padi sawah layak
dikembangkan pada daerah/wilayah lainnya yang memiliki karakteritik yang sama, sehingga upaya
peningkatan produksi padi dan pendapatan petani dapat terwujud. Proses adopsi inovasi oleh
pengguna pada umumnya melalui 5 tahapan, yaitu : mengetahui, berminat, menilai, mencoba, dan
menerima (Rogers, 1983).
Untuk menarik perhatian calon pengguna, pada tahap awal dilakukan sosialisasi dan komunikasi
melalui berbagai media cetak dan/atau elektronik, sedangkan pada tahap menilai dan mencoba
diarahkan kepada individu/kelompok potensial melalui percontohan inovasi dalam bentuk gelar
teknologi, demplot, display, pelatihan dan temu lapang. Selanjutnya pada tahapan adopsi
dilaksanakan secara paralel, sehingga inovasi berjalan secara berkesinambungan dan serentak sesuai
dengan karakteristik pengguna, dan inovasi yang diintroduksikan.
KESIMPULAN
Berdasarkan data teknis dan kelayakan finansial usahatani, penerapan teknologi padi sawah
melalui pendekatan PTT layak dikembangkan pada daerah/wilayah yang memiliki kondisi dan
karakteristik yang sama, sehingga produksi dan pendapatan petani dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Julistia, B., Jumakir, dan Endrizal. 2011. Keragaan dan Produksi Hasil Varietas Unggul Baru (VUB)
Inapri di Lahan Sawah Irigasi Mendukung Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) di
Provinsi Jambi. Pros, Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. BBP2TP (Buku 1),
Balitbang Pertanian. 90-94.
Mayunar et al, 2006. Pengkajian Sistem Usahatani dan Model Pengelolaan Sumberdaya Terpadu Lahan
Sawah Irigasi. Laporan Akhir Kegiatan BPTP Banten. 28 hal.
Mayunar, 2011. Kajian Produktivitas dan pendapatan usahatani padi sawah melalui pengelolaan
tanaman terpadu di Kramatwatu Kabupaten Serang. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian
dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian (Buku
2). BBP2TP, Badan Litbang Pertanian. Hal 1256-1263
Mayunar, 2012. Peran Percontohan Inovasi Dalam Adopsi Teknologi dan Pengambangan Model PTT
Padi Sawah di Kab. Serang. Pros, Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. BBP2TP,
Balitbang Pertanian. 888-893.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 213
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Mayunar et al., 2013. Pendampingan Mendukung Program SL-PTT Padi, Jagung dan Kedelai di
Provinsi Banten. Laporan Akhir Kegiatan BPTP Banten. 44 hal.
Rahman, A. dan A. Fattah. 2011. Kajian Varietas Unggul Baru Padi Sawah dalam Mendukung Program
Ketahanan Pangan di Sulawesi Selatan. Pros, Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi. BBP2TP, Balitbang Pertanian. 223-227.
Roger. S.M, 1983. Diffusion of Inovations Third Edition, New York. The Free Press.
Simatupang, D dan E. Pasandaran. 1999. Prospektif Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan
Agribisnis. Pros. Simposium Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.
Swastika.D.K.S. 2004. Beberapa Teknis Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
BPPT, Vol. 7(1) : 90-103.
Makarim, A.K.D. Pasaribu, Z. Zaini dan J. Las. 20-5. Analisis dan Sistesis Pengembangan Model
Penglolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Balai Penelitian Tanaman Padi, Puslitbangtan. 18
hal.
Zaini Z. Irsal las, Suwarno, Budi H, Eko A. 2002. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan Peningkatan
Produktivitas Padi Terpadu 2002. Departemen Pertanian, Jakarta.
BalaiPengkajianTeknologiPertanian Gorontalo
2
ABSTRAK
Padi gogo Seribu Naik merupakan salah satu padi lokal unggul yang berasal dari KabupatenTebo.
Pertanaman dilakukan baik secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman akasia. Pengkajian ini
dilaksanakan pada tahun 2015-2018 di Kabupaten Tebo dengan metode observasi dan karakterisasi serta
pengumpulan data primer dan data sekunder. Hasil Pengkajian menunjukkan bahwa padi Seribu naik ini
merupakan padi gogo yang adaptif dan berproduktifitas tinggiyaitu 3 -3,8ton/ha lebih tinggi
dibandingkan varietas unggul Situ Bagendiddan Situ Patenggang.Varietas ini juga tahan terhadap
serangan hama penyakit dominan seperti penyakit blast, hawar daun, walang sangit maupun burung dan
rasa nasi lebih enak dan disukai masyarakat setempat.
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas tanaman pangan yang sangat penting. Padi menghasilkan beras yang
menjadi bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat,
karena lebih dari 95% penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan konsumsi utama dan
adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras (Sadimantara dan Muhidin,
2012). Menurut Handayani et al. (2013) selama kurun waktu 37 tahun rata-rata konsumsi beras di
Indonesia per tahun sebesar 27.859,14 ribu ton yang masih lebih tinggi dari rata-rata produksi beras
per tahun yang hanya mencapai 26.725,78 ribu ton.
Tanaman padi selain ditanam di sawah dengan pengairan sepanjang musim, juga dapat ditanam
di lahan kering dan dilahan rawa. Alih fungsi lahan yang terjadi dewasa ini menyebabkan
berkurangnya lahan sawah, maka pengembangan dan peningkatan produksi padi diarahkan dengan
memanfaatkan lahan kering. Lahan kering dapat dimanfaatkan untuk ekstensifikasi padi dengan
mengembangkan budi daya padi gogo (Fitria et al., 2014). Padi gogo merupakansalah satu tanaman
pangan yang berpotensi untuk dikembangkan karena berdasarkan data bahwa lahan kering Indonesia
berkisar 11 juta hektar (Pusat data dan Sistem Infromasi Pertanian, 2017).
Menurut Haryanto (2008)Potensi lahan kering di Indonesia ibarat mutiara yang terlupakan, karena
belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan lahan kering untuk budidaya tanaman padi gogo
diharapkan dapat mengatasi masalah kemandirian pangan. Masalah yang dihadapi petani dalam
membudidayakan padi gogo yaitu kurang tersedianya varietas dan benih unggul (Soerjandono dan
Robi’in, 2012). Padaumumnya petani membudidayakan varietas lokal (Sunjaya, 2011) yang
mempunyai rasa enak, toleran terhadap lahan marginal, tahan terhadap beberapa jenis hama dan
penyakit, memerlukan masukan pupuk yang rendah serta pemeliharan mudah dan sederhana. Akan
tetapi, memiliki produksi yang rendah (Ahadiyat, 2011).
Tebo.Luas pertanaman saat ini 1.975 ha.Petani belum bisa beralih ke varietas unggul dikarenakan
produksi varietas padi lokal Seribu Naik lebih tinggi dibandingkan varietas unggul padi gogo yang
ditanam di KabupatenTebo, yaitu 3 - 3,8 ton/ha (BPSPT, 2019). Keunggulan utama yang disenangi
oleh petani terhadap varietas ini adalah daya tahan terhadap serangan hama penyakit dominan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 215
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
seperti penyakit blast, hawar daun, walang sangit maupun burung. Berdasarkan uraian diatas perlu
melihat lebih lanjut dan menggali potensi pengembangan padi gogo Seribu Naik dalam peningkatan
produktivitas padigogodi Provinsi Jambi yang merupakantujuandaripenulisanmakalahini
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di KabupatenTebo padaTahun 2015-2018 dengan metode observasi dan
karakterisasi yang dilakukan pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, yaitu fase vegetatif dan
generatif. Hasil karakterisasi selanjutnya didukung oleh data primer berupa wawancara langsung
dengan petani dan tokoh masyarakat serta data sekunder berupa studi literatur.
4 Bunga :
Leher malai dan Kesuburan malai Tertutup / tidak berleher dan Fertil
Warna (kepala putik) dan sterillema (kelopak bunga) Krem dan Putih
Type malai dan Panjang malai Intermediate. 30 – 35 cm
5 Buah :
Bulu pada gabah dan ekor gabah (Apiculus) Tidak ada, dan hampir tidak ada
Kerontokan Sedang
Warna ujung gabah dan Warna gabah Terdapat titik hitam, Kuning jerami
Bentuk gabah Bulat pendek
Dimensiberas:**
Panjang, Lebar (mm) dn Bentuk (Rasio P/L) 6,22 (sedang); 2,13, 2,91 (sedang)
6. Sifat-Sifat Khusus
Ketahanan terhadap hama Agak tahan blas, Agak rentan Wereng Coklat
Aroma dan Rasa Nasi Netral dan Agak pulen
Produksi 3,0 – 3,8 ton/ha
Padi gogo varietas seribu naik sangat digemari oleh petani setempat khususnya di Kabupaten
Tebo memiliki daya adaptif yang cukup tinggi terhadap karakter lahan yang memiliki jenis tanah
dominan podzolid merah kuning, dan curah hujan yang sedang. Tampilan padi gogo seribu naik pada
fase generatif dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagian tanaman padi Seribu Naik (Rumpun, malai dan gabah) (BPSPT, 2012)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 217
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
POTENSI PENGEMBANGAN PADI SERIBU NAIK
Kabupaten Tebo memiliki karakteristik lahan kering yang dominan, sehingga memiliki peluang
yang cukup besar untuk pengembangan padi gogo. Varietas padi gogo yang dibudidayakan sudah
mengarah pada penggunaan varietas unggul seperti varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang.
Namun petani kurang berminat untuk menanam varietas unggul tersebut. Hal ini disebabkan cita
rasa nasi dihasilkan dari varietas unggul tersebut tidak sesuai dengan selera masyarakat. Selain itu
varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang tidak adaptif untuk Kabupaten Tebo, karena kebanyakan
petani padi gogo menggunakan pola tanam tumpang sari dengan tanaman perkebunan dan masih
merupakan usaha sampingan (BPSPT, 2012).
Luas tanam padi gogo Seribu Naik terus meningkat (Tabel 2) dan saat ini varietas lokal ini sudah
terdaftar di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian dengan Nomor:
1028/PVL/2019 dan menjadi milik masyarakat di wilayah Kabupaten Tebo. Berdasarkan sertifikat
tanda daftar tersebut varietas ini dapat diperbanyak dan benih yang dihasilkan bisa dilabel/sertifikasi.
Tabel 2. Data LuasTanamdanLuasPanenPadiGogo di KabupatenTebo 2013-2016
Kabupaten 2013 2014 2015 2016
Tebo Padi Gogo (Hektar) Padi Gogo (Hektar) Padi Gogo (Hektar) Padi Gogo (Hektar)
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen Tanam Panen
Tebo Ilir 180 119 149 178 223 145 189 218
Muara Tabir 0 0 0 0 52 0 126 70
Tebo Tengah 54 15 68 54 66 68 50 65
Sumay 937 247 672 957 889 594 616 889
Tengah Ilir 2435 1250 2010 2428 1408 2006 1139 1403
Rimbo Bujang 0 0 0 0 4 0 0 4
Rimbo Ulu 0 0 0 0 2 0 0 2
Rimbo Ilir 0 0 0 0 0 0 0 0
Tebo Ulu 28 28 0 20 34 13 59 21
VII Koto 495 397 440 495 499 500 503 501
Serai 1100 220 1200 1100 2421 1200 1600 2408
Serumpun
VII Koto Ilir 500 289 1404 500 1809 1381 1370 1794
Tebo 5729 2565 5943 5732 7407 5907 5652 7375
Sumber : BPS Tebo, 2018
Berdasarkan Tabel 2. Luas tanam padi gogo pada beberapa kecamatan di Kabupaten Tebo cukup
mengalami peningkatan dari tahun 2013 – 2016. Hal ini menunjukkan bahwa poten silahan masih
memungkinkan untuk pengembangan padi gogo. Luas pertanaman padi gogoseribunaik paling
tinggidibandingkanpadigogolokallainnya yang ada di Provinsi Jambi yaitusebesar 1.975
ha.Perluasantanamajugadilakukan di kabupatenTanjungJabung Barat yang
berbatasandenganKabupatenTebo (BPSPT, 2019)
Produktivitas yang tinggi juga merupakan salah satu potensi dalam pengembangan padi gogo
varietas Seribu Naik. Rata-rata produktivitas padi gogo Seribu Naik 3,0 – 3,8 ton/ha. Hasil ini lebih
tinggi dibandingkanhasilpenelitian Edi et al. (2015) pada 8 padi gogo lokal(Tunggung, Seni Bungin
Putih, Kuning, Perak, Rejang, Kasah, Silangdan Air Mas) di kabupaten Merangin dengan
produktivitas 1,1 -2,06 ton/ha.
KESIMPULAN
Padi Gogo Varietas Seribu Naik merupakan padi gogo lokal yang berproduksi tinggi (3 – 3,8 ton),
adaftif di lahan kering dengan curah hujan sedang, agak tahan blast dan wereng oklat dan berpotensi
untuk dikembangkan di Provinsi Jambi
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 219
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
220 | Teknologi Pertanian
RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN NILAM TERHADAP PEMBERIAN
MULSA ORGANIK PADA LERENG LAHUMBO
Zulzain Ilahude
ABSTRAK
Tanaman Nilam mempunyai prospek yang sangat cerah. Kendala-kendala dalam budidaya antara lain,
bahan tanaman yang kurang sesuai, panen, kekeringan, penanganan bahan dan penyulingan yang kurang
baik mengakibatkan produktivitasnya rendah,. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh
perlakuan varitas nilam, mulsa organik, dan lereng pada pertumbuhan tanaman nilam. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok terdiri dari 6 perlakuan dan dilaksanakan di Tilamuta
Boalemo Gorontalo. Hasil yang diperoleh menunjukkan varitas Pajelina memperlihatkan kecepatan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan Lhokseumawe dan Sindikalang. Pertumbuhan
tanaman nilam cocok dikembangkan di wilayah Kabupaten Boalemo pada lereng dengan kemiringan <
15%, dan paling baik pertumbuhannya pada lereng bagian bawah. Jenis mulsa organik yang baik untuk
pertumbuhan tanaman nilam adalah mulsa jerami padi yang diberikan di atas permukaan tanah.
PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan penghasil minyak atsiri (patchouli oil) yang
mempunyai prospek baik dalam memenuhi kebutuhan industri kimia, parfum, dan kosmetik.
Indonesia saat ini masih merupakan negara pemasok terbesar kebutuhan minyak nilam yang
mensuplai 90% dari kebutuhan minyak dunia. Produksi minyak nilam Indonesia amat diminati oleh
produsenparfum dan wewangian di negara-negara Eropa, Amerika, dan India. 60% persen minyak
nilam diekspor ke Eropa dan Amerika, 20% ke India, sedangkan sisanya ke negara lain (Hariyani
dkk., 2015). Tanaman nilam merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang dapat menyumbang
devisa lebih dari 50 % dari total ekspor minyak atsiri Indonesia. Minyak nilam bersifat fixatif
(pengikat) sehingga mempunyai peluang yang baik karena belum ada produk substitusinya
(pengganti) baik secara sintetis (buatan) maupun alami. Di Indonesia telah dilepas beberapa varietas
nilam unggul nasional, dimana tiga diantaranya adalah varietas Sidikalang, Tapak tuan, dan
Lhokseumawe yang memiliki produksi hasil tinggi (Nuryani dkk., 2005). Namun demikian ketiga
varietas unggul yang telah dilepas tersebut masih relatif rentan terhadap adanya aplikasi pupuk
organik cair, serta belum diketahui berapa dosis dan cara pemupukan yang cocok untuk
meningkatkan hasil produksinya.
Rata-rata produksi nilam di tingkat petani di Indonesia saat ini masih rendah berkisar ± 10 ton /ha
daun basah atau ± 2 ton/ha daun kering dengan kadar minyak 2 – 3%. Kisaran produksi ini
sebenarnya masih jauh di bawah potensi hasil tanaman nilam yang mampu menghasilkan daun nilam
segar sebesar 52 ton/ha.Rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam antara lain disebabkan oleh
mutu genetik yang rendah, teknik budidaya yang sederhana, serangan berbagai penyakit serta panen
dan pasca panen yang belum tepat. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu genetik nilam adalah
dengan mengumpulkan plasma nutfah nilam dari berbagai daerah, baik daerah sentra produksi
maupun daerah lainnya (Balitro, 2004).
Di Indonesia telah dilepas beberapa varietas nilam unggul nasional, dimana tiga diantaranya
adalah varietas Sidikalang, Tapak tuan, dan Lhokseumawe yang memiliki produksi hasil tinggi
(Nuryani et al., 2005). Namun demikian ketiga varietas unggul yang telah dilepastersebut masih relatif
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 221
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
rentan terhadap adanya cekaman kekeringan yang tinggi, sertabelum diketahui berapa dosis dan cara
pemupukan yang cocok untuk meningkatkanhasil produksinya.
Menurut hasil esplorasi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) pada tahun 1997
melakukan tanaman nilam sebanyak 28 nomor yang kadar minyaknya bervariasi antara 1.60 – 3.59 %.
Dari hasil uji multi lokasi diperoleh 3 varietas unggul nilam, yaitu Tapaktuan, Lhokseumawe, dan
Sidikalang.Ketiga varietas nilam ini telah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul pada
tanggal 1 Agustus 2005. Penamaan ketiga varietas unggul Tapaktuan,Lhokseumawe, dan Sidikalang
adalah didasarkan pada nama daerah asalnya. Ketiga varietasunggul ini mempunyai
keunggulannya masing-masing.Dalam penelitian di Kabupaten Boalemo ini digunakan varitas
unggul Pajelina,Lhokseumawe, dan Sidikalang.
Tanaman Nilam mempunyai prospek yang sangat cerah.Di samping permintaan pasar masih
sangat tinggi yaitu 6.000 sampai 8.000 ton per tahunnya, harga minyaknyapun sangat tinggi.Oleh
negara konsumen minyak Nilam digunakan sebagai bahan minyak Wangi (farpum) dan industri
komestik. Oleh sebab itu tanamana ini perlu mendapat perhatian dan respons dari masyarakat dan
dukungan pemerintah melalui pemanfaatan lahan tidur atau kurang produktif dengan bimbingan
intensif dari dinas terkait.
Minyak nilam merupakan produk yang terbesar untuk minyak atsiri dan pemakaiannya di dunia
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat.Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum
ada produk apapun baik alami maupun sintetis yang dapat menggantikan minyak nilam dalam
posisinya sebagai fixative.
Kendala-kendala dalam budidaya antara lain, bahan tanaman yang kurang sesuai, panen,
kekeringan, penanganan bahan dan penyulingan yang kurang baik mengakibatkan produktivitasnya
rendah. Salah satu pendekatan untuk mengatasi kekeringan atau kehilangan air akibat evaporasi
tanah adalah dengan cara pemberian mulsa. Mulsa merupakan material penutup tanah tanaman
budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma
dan penyakit sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan optimal. Penggunaan mulsa jerami
padi dapat mengendalikan evaporasi sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air (Hamdani,
2009).
Nugraha dkk, (2013) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tanaman jagung yang diberi mulsa
hingga umur 35 HST berpengaruh baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
dibandingkan tanpa mulsa. Jenis mulsa organik pengaruhnya sangat nyata terhadap pertumbuhan
tinggi tanaman jagung manis umur 9 HST dan komponen produksi tanaman. Hasil tertinggi
diperoleh pada perlakuan mulsa jerami padi (Hayati dkk, 2010). Samiati dkk, (2012) melaporkan hasil
penelitiannya bahwa semua variabel yang diamati (tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, berat
segar tanaman, berat segar akar, berat kering tanaman, berat kering akar dan produksi). Takaran
mulsa jerami 10 ton/ha memberikan produksi rata - rata berat segar sebesar 178,33g tanaman atau
12,48 ton/ha. Puji dkk, (2009) melaporkan bahwa pemberian mulsa organik 6 ton/ha -1 dapat
meningkatkan lengas tanah 12,02% dan suhu tanah 2,21% oC lebih tinggi daripada tanah tanpa mulsa.
Mulsa organik meningkatkan KPK sebesar 4,18 me. 100 g1 , C organik tanah (0,12%), bahan organik
tanah (0,29%), N total (0,12%), K tersedia (0,64 me 100 g-1 ), nisbah C/N tanah (0,25) lebih tinggi
daripada tanpa mulsa, tetapi tidak menunjukkan perbedaan terhadap P tersedia dan pH (H2O) tanah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan Bulan September sampai Desember 2017 di Kebun Percobaan Desa
Lahumbo Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo Gorontalo, terletak di lahan kering dengan
topografi miring dan bergelombang.
Terdapat 6 kombinasi perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 18 unit percobaan.
Untuk merangsang pertumbuhan awal diberikan pupuk dasar dan pupuk organik cair. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini berupa cangkul, sabit, kincir air, ember, tali, alat ukur, timbangan,
plastik, amplop, kamera sebagai alat dokumentasi dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan
adalah bibit unggul tanaman nilam yang sebelumnya telah di setek selama 1 bulan, pupuk cair,
pupuk kandang. Selanjutnya permukaan lahan diberikan mulsa jerami padi, alang-alang, dan
serbuk kayu sebagai perlakuan.
Pelaksanaan penelitian diawali dengan penyiapan bibit setek tanaman nilam, kemudian persiapan
lahan melalui pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan yang berukuran 1,5m x 1,5m dan
tinggi bedengan 25cm. Jarak petak satu dengan lainnya 50cm dan antar kelompok adalah 100cm.
Seminggu sebelum tanam dilakukan pemupukan awal dengan menggunakan pupuk dasar. Seminggu
sebelum tanam dilakukan pemberian mulsa sesuai perlakuan yang dicobakan. Penanaman bibit nilam
3 varitas dilakukan pada sore hari dengan jarak tanam 30x30 cm sesuai perlakuan.
Parameter Pengamatan
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang dicobakan, maka dilakukan sejumlah pengamatan
terhadap pertumbuhan tanaman nilam. Pengamatan dilakukan setelah tanaman berumur 1 bulan
pada tanaman sampel yang telah ditentukan sebelumnya sebanyak 5 tanaman setiap petak percobaan.
Adapun yang diamati sebagai berikut :
Tinggi tanaman (cm), yaitu dengan cara mengukur mulai dari batas permukaan tanah sampai
dibagian ujung daun tertinggi tanaman. Pengukuran dilakukan pada tanaman di lereng bagian
atas dan bagian bawah.
Jumlah daun (helai), pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah
terbentuk sempurna. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam
sesuai dengan perlakuan pada lereng atas dan bawah.
jumlah tunas dilakukan dengan menghitung pertambahan tunas yang terbentuk pada tanaman
nilam pada semua perlakuan lereng atas dan bawah.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 223
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Sumber : Data Hasil olahan penelitian (2017)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 225
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Sumber : Data Hasil olahan penelitian (2017)
Grafik 7. Rata-rata pertambahan pertumbuhan tinggi tanaman nilam varitas
Lhokseumawe yang ditanam pada lereng bagian atas dan bawah
dengan menggunakan mulsa organik umur 1 bulan sesudah tanam
DAFTAR PUSTAKA
(PDIP) Pusat Data Informasi Pertanian. 2010. Outlook Komoditas PertanianPerkebunan. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian
[DBPP] Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Nilam. Statistik PerkebunanIndonesia. 2001-2003.
Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.
Ahmed M. 2002. Patchouli, an ideal aromatic crop of commercial importance. Guwahati (Indian):
North Eastern Development Finance Corporation Ltd.
Hariyani., Eko, Widaryanto., Ninuk Herlina. 2015. Pengaruh Umur PanenTerhadap Rendemen Dan
Kualitas Minyak Atsiri Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Jurnal Produksi Tanaman.
Vol. 3.No. 3. Hal 205 – 211.
Hobi Dan Bisnis. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Junaedi, Ahmad., Asep Hidayat. 2010. Uji Asal Sumber Bibit Nilam (Pogostemon cablin Benth.) di
Pasaman Barat Sumatera Barat. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat.
Nasruddin., Erwin, Masrul Harahap., Chairani Hanum., Luthfi A. M. Siregar. 2014,.Respon
Pertumbuhan Tiga Varietas Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Unggulan Nasional Pada
Berbagai Perlakuan Dosis Pemupukan Dan Cekaman Kekeringan.Prosiding Seminar Nasional
Perhimpunan Pemuliaan Indonesia (PERIPI). Hal 465 – 473.
Nilam (Pogostemon cablin Benth.).Makalah Seminara Nasional StrategiReduksi dan Adaptasi
Perubahan Iklim dalam Bidang Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Jember.
NuryaniY. 2005. Pelepasan Varietas Unggul Nilam. Warta Penelitian danPengembangan Tanaman
Industri
Nuryani, Y., Emmyzar., Wiratno. 2005. Budidaya Tanaman Nilam. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Bogor.
Prihmantoro, H.I. Dan H.Y. Indriani. 2001. Hidroponik Tanaman Buah Untuk
Roni K. 2003. Kajian teknis budidaya dan manajemen produksi pengolahanminyak nilam di beberapa
sentra Nilam Jawa Barat.Bandung (ID):Dinas Pertanian
Sudarmono.2008. Keanekaragaman nilam (Pogostemon spp.; Lamiaceae)perilaku bunga dan
budidayanya. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu
Tanaman Jahe dan Nilam.Bogor-4 Nopember 2008.Balai Penelitian Tanaman Obat danAromatik.
Bogor.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 227
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Sulistyono, Eko., Sandi Yanuar. 2008. Pengaruh Jadwal Irigasi Terhadap Pemakaian Air Konsumtif dan
Produksi Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Bul. Agron. Vol. 36 No. 1.Hal. 64 – 69.
Wahyuni, Yanuar, Fita., Sigit Soeparjono., Usmadi. 2011. Pengaruh Dosis Pupuk Nitrogen Terhadap
Produksi Biomassa dan Minyak Atsiri Dua Varietas
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 229
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
230 | Teknologi Pertanian
PENGARUH PENAMBAHAN CMC PADA APLIKASI LIDAH BUAYA
SEBAGAI EDIBLE COATING PADA BUAH TOMAT
SELAMA PENYIMPANAN DINGIN
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui konsentrasi CMC dan penyimpanan dingin yang dapat
memperpanjang umur simpan buah tomat. Buah tomat yang digunakan dalam penelitian adalah buah
tomat dengan tingkat kematangan optimum 80%. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
rancangan acak lengkap dengan faktor konsentrasi CMC yaitu 0,5%, 1% dan 1,5% dan dilakukan
penyimpanan pada suhu 10ºC. Pengambilan data dilakukan setiap 4 hari sekali selama 20 hari. Masing-
masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Analisi Data yang diamati meliputi karakteristik fisik
buah tomat yaitu susut bobot, kekerasan dan warna selama penyimpanan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi edible coating dengan konsentrasi CMC memiliki pengaruh yang nyata
terhadap susut bobot, kekerasan dan warna pada buah tomat selama penyimpanan. Berdasarkan hasil
penelitian ini, konsentrasi CMC sebanyak 1% mampu mempertahankan kualitas fisik dari buah tomat
selama penyimpanan.
Kata Kunci :CMC, lidah buaya, edible coating, tomat, penyimpanan dingin
ABSTRACT
This study aims to determine the concentration of CMC and cold storage that can extend the shelf life of tomatoes.
Tomatoes used in this study are tomatoes with an optimum maturity level of 80%. The method used in this study was
a completely randomized design with a CMC concentration factor of 0.5%, 1% and 1.5% and stored at 10ºC. Data is
collected every 4 days for 20 days. Each treatment was repeated three times. Analysis The data observed included the
physical characteristics of tomatoes, namely weight loss, hardness and color during storage. The results showed that
the application of edible coatings with CMC concentrations had a significant effect on weight loss, hardness and color
of tomatoes during storage. Based on the results of this study, a 1% CMC concentration was able to maintain the
physical quality of tomatoes during storage.
PENDAHULUAN
Tomat, adalah salah satu komoditas hortikultura yang memegang peran penting dalam
pemenuhan pangan masyarakat dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Penggunaannya semakin luas,
karena selain dikonsumsi dalam bentuk segar dan bahan bumbu masakan, tomat juga dijadikan
produk olahan sebagai bahan baku industri makanan. Tomat memerlukan penangan serius terutama
dalam hal peningkatan kuantitas produksi dan kualitas buahnya (Hanindita 2008). Tomat memiliki
kandungan antioksidan yang cukup tinggi banyak ditemui di Indonesia termasuk genus lycopersicum
(Maong et al., 2016).
Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura terbesar setelah kentang yang bersifat
perishabel. Mikroorganisme pembusuk akan mendapatkan kondisi pertumbuhannya yang ideal
dengan adanya peningkatan suhu, kelembaban dan siap menginfeksi produk melalui pelukaan-
pelukaan yang sudah ada (Risni, 2015). Pada dasarnya, para petani dan pedagang buah, sebagian
telah melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit pasca panen, di antaranya pemanenan
secara hati-hati, penghindaran terjadinya luka, transportasi yang baik, dan memisahkan buah
yangterserang penyakit dari buah-buah yang sehat. Namun cara-cara di atas belum mampu
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 231
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menghilangkan inokulum patogen secara sempurna dari permukaan buah (Pamekas, 2002). Oleh
karena itu, upaya penanganan perlu diperbaiki mulai saat panen maupun pascapanen sehingga
dihasilkan produk yang bermutu tinggi dan dapat memperpanjang umur simpan buahTomat.
Edible coating merupakan pelapis makan yang berfungsi menahan kehilangan kelembapan
produk. Mempertahankan warna pigmen alami gizi, sebagai pengawet dan mempertahankan warna
sehingga menjaga mutu produk. Lidah Buaya adalah salah satu jenis yang dapat dijadikan edible
coating. Beberapa penelitian telah dilakukan pada buah untuk memperoleh pasca panen yang baik.
Salah satunya adalah dengan coating berbahan LidahBuaya yang dilakukan oleh Marpudi et al.,
(2011). Pelapisan gel Lidah Buaya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembuatan gel Lidah
Buayayang berasal dari gel tanaman Lidah Buaya.Lidah Buaya juga mengandung beberapa senyawa
bioaktif yang bersifat antimikroba dan dapat menyembuhkan luka jaringan sehingga diharapkan
pada pelapisan gel Lidah Buaya mampu mempertahankan mutu serta memperpanjang masa simpan
tomat. Valverde et al. (2006) yang menggunakan gel lidah buaya untuk melapisi buah Anggur
Crimson, berhasil memperpanjang umur simpan buah anggur dari 7 hari menjadi 35 hari.Menurut
Athmaselvi (2013), Lidah Buaya dikenal memiliki zat antibiotik dan anti jamur yang dapat
menghambat pertumbuhan mikoorganisme dan pembusukan pada buah dan sayur, sehingga
menambah umur simpan.
Penelitian mengenai CMC (Carboxyl methyl cellulose) saat ini mulai dikembangkan. CMC
merupakan additive makanan yang aman dan mempunyai ciri-ciri tidak mempengaruhi warna pada
bahan yang ditambahkan walaupun dalam konsentrasi yang tinggi, larut dalam air panas dan air
dingin,menaikkan viskositas larutan, terlarut dan stabil pada kondisi asam dan basa, tidak mudah
terdegradasi oleh enzim, (Monsanto, 2004) Selain itu CMC sebagai pengemulsi dan penstabil larutan
edible coating. Perlakuan kedua kombinasi tersebut diharapkan dapat mempertahankan mutu buah
Tomat, menurunkan pertumbuhan mikroorganisme, dan memperpanjang umur simpan tomat.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat Dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2018 di Laboratorium Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo dan Laboratorium Teknologi Hasil
Pertanian Politeknik Gorontalo.
Bahan Dan Alat
Bahan utama yang telah digunakan adalah buah Tomat dengan tingkat kematangan 80%. Bahan
yang telah digunakan untuk membuat edible coating adalah Lidah Buaya (Aloe vera L.). asam sitrat,
asam askorbat, gliserol dan aquadestilata. Alat yangdigunakan adalah refractometer, rheometer,
Seperangkat uji kadar air, Blender, timbangan analitik, Refrigator, alat pendukung (alat tulis, buku
catatan dan label).
Metode Penelitian
Metode penelitian dari penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan
dan 3 kali ulangan. Perlakuan dari penelitian ini adalah: A1= Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 0,5%;
A2 = Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1% dan A3= Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1,5%
Prosedur Penelitian
Pembuatan Gel Lidah Buaya
Lidah buaya yang sudah dicuci bersih kemudian direndam dengan larutan asam sitrat 10%
selama 45 menit. Kemudian dibilas dengan air matang. Setelah itu, dilakukan proses trimming dan
filleting. Kemudian dilakukan proses pembilan untuk menghilangkan yellow sap (lendir kuning).
Pengukuran warna menggunakan Chromameter. Chromameter yaitu alat untuk memperoleh tingkat
intensitas cahaya dengan sistem notasi warna Hunter dalam bentuk 3 parameter, yaitu L, a, dan b.
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan [L=0 (hitam) dan L=100 (putih)]. Nilai a terdiri dari a+ yang
menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60 dan –a yang menunjukkan warna hijau dengan
nilai 0 hingga -60. Nilai b terdiri dari +b yang menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60
dan –b yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60. Nilai L, a*, dan b* yang semakin
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 233
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
meningkat pada buah Tomat menunjukkan proses pemasakan buah Tomat yang ditandai perubahan
warna kulit buah tomat dari hijau menjadi merah.
Pengukuran dilakukan dengan menempelkan kulit buah dan daging buah Tomat pada alat yang
telah dikalibrasi. Pengukuran warna dilakukan pada tiga titik, yaitu sisi bagian pangkal, sisi bagian
tengah, dan sisi bagian ujung. Pengukuran dilakukan stiap 4 hari sekali. Hasil pengukuran nilai a*
dan b* dikonversikan kedalam satuan kromatik ohue. Representasi warna dari nial 0hue dapat di
lihat pada gambar 4. Nilai ohue mendeskripsikan warna murni yang menunjukkan warna dominan
dalam campuran beberapa warna. Nilai ohue diperoleh dari rumus sebagai berikut (Pradhana et al.
2013):
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan alat bantu
pengolah data menggunakan programStatistical Analysis System(SAS)Untuk melihat taraf perlakuan
yang berbeda, dilakukan uji lanjut BNT pada taraf kepercayaan 95% atau (α) = 5%
Pengukuran warna pada buah tomat selama penyimpanan dengan berbagai perlakuan
konsentrasi berkisar antara 73.70 – 87.90 pada 16 hari setelah perlakuan. Pengukuran warna
mengalami penurunan sampai hari ke 16 penyimpanan. Hal ini terjadi karena seiring dengan proses
pematangannya, buah Tomat akan memproduksi lebih banyak likopen sehingga produksi akan
Nilai L* semakin menurun atau meningkat berarti kecerahan warna buah semakin gelap atau
semakin terang selama penyimpanan. Dari hasil penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 7, nilai
L*terjadi peningkatan sampai akhir selama penyimpanan pada suhu dingin, berarti kecerahan warna
buah semakin terang. Hutabarat (2008), menjelaskan bahwa warna yang ada pada buah-buahan dan
sayuran disebabkan oleh pigmen yang dikandungnya dan pigmen tersebut umumnya dibagi menjadi
empat kelompok yaitu klorofil, anthosianin, flavonoid dan karotenoid (karoten, xantofil dan likopen).
Kadar Vitamin C
Vitamin C merupakan komponen gizi yang penting untuk buah termasuk buah Tomat. Hasil uji
lanjut dengan uji BNT taraf 5% pada Tabel 4, menunjukkan bahwa berbagai perlakuan berbeda nyata
untuk kadar vitamin C selama penyimpanan pada suhu dingin.
Tabel 3 Hasil pengukurankadar vitamin C selama penyimpanan
dengan berbagai dosis perlakuan CMC
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 235
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pelapisan buah Tomat dengan
edible coating Lidah Buaya yang disimpan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang nyata pada
hari ke-12 setelah perlakuan. Hal ini didugaedible coating gel lidah buayadapat menghambat etilen
dalam pematangan dan menghambat degradasi pati menjadi gula sehingga vitamin C lebih dapat
dipertahankan. Secara teoritis Chempakam, (1983), menyatakan bahwa kerusakan vitamin C
berhubungan dengan aktivitas enzim ascorbic acid oxidase yang terdapat dalam jumlah lebih tinggi
pada buah yang masak.
Kandungan vitamin C pada buah tomat selama penyimpanan dengan berbagai perlakuan
konsentrasi berkisar antara 2.89-10.31. Vitamin C mengalami peningkatan sampai hari ke-16
penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa edible coatingLidah Buaya dapat menghambat difusi O2
kedalam jaringan buah, dan reaksi oksidasi penyebab kerusakan vitamin C dapat
diperlambat.Masfufatun et al. (2009) menyatakan bahwa vitamin C bersifat tidak stabil, mudah
teroksidasi jika terkena udara (oksigen) dan proses ini dapat dipercepat oleh panas.
Lebih lanjut Rudito (2005), adanya pelapisan pada buah Tomat dapat menghambat laju respirasi.
Dalam proses respirasi, selain gula, asam organik juga dapat dioksidasi. Sehingga apabila laju
respirasi suatu produk tinggi maka laju pengurangan asam organiknya juga semakin cepat. Krotcha
et al. (1994) menambahkan hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa pada pati. Amilosa memiliki
sifat transparasi, kekuatan dan elastisitas yang rendah tetapi tinggi kerapatannya. Semakin tinggi
kandungan amilosa maka matriks film yang terbentuk akan semakin baik dalam menahan laju
respirasi.
Pengukuran Susut Bobot
Susut bobotmenjadi salah satu faktor penentu terhadap kuantitas produk hortikultura selama
penyimpanan. Susut bobot pada produk hortikultura dapat terjadi sejak panen hingga dikonsumsi,
dan besarnya susut bobot yang terjadi tergantung pada jenis komoditi dan cara penanganan (Novita
et al. 2012).
Hasil uji lanjut dengan uji BNT taraf 5% pada Tabel 6, memperlihatkanbahwa berbagai perlakuan
berbeda nyata untuk total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu dingin. Berdasarkan
hasil analisis sidik ragam (lampiran 6) memperlihatkan bahwa pelapisan buah Tomat dengan edible
coating Lidah Buaya yang disimpan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang nyata pada hari
ke-8, ke-12, ke-16 setelah perlakuan. Hal ini diduga pelapisan edible coating dan penyimpanan pada
suhu dingin sangat efektif menekan terjadinya susut bobot pada buah Tomat.
Tabel 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-Rata Pengukuran Susut Bobot Buah Tomat
Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase susut bobot buah Tomat dari perlakuan mengalami
kenaikan selama penyimpanan (Gambar 10). Hal ini diduga karena adanya proses hilangnya air
melalui pengupan, akibat dari pengaruh kondisi lingkungan luar, dan respirasi. Menurut Kader
(1992), menyatakan bahwa terjadinya susut bobot disebabkan oleh transpirasi atau hilangnya air
dalam buah dan sebagian kecil oleh respirasi yang mengubah CO2 dan H2O. Respirasi yang terjadi
KESIMPULAN
Aplikasi edible coating berbahan dasar lidah buaya dan penyimpanan pada suhu dingin lebih baik
dalam mempertahankan mutu fisik buah Tomat. Perlakuan edible coating berpengaruh nyata terhadap
parameter kekerasan buah, pengukuran warna, kecerahan L*, vitamin C, total padatan terlarut (TPT)
dan pengukuran susut bobot.
DAFTAR PUSTAKA
Amin NA. 2013. Uji Kualitatif Kandungan Pektin Pada Buah. [Diunduh: 21 Jan 2018]. Tersedia pada:
http://misskalabur.blogspot.co.id/2014/09/uji- kualitatif -kandungan -pektin-pada.html
Alsuhendra, Ridawati, & Santoso, A. I. 2011.PengaruhPenggunaan Edible CoatingTerhadapSusut
Bobot, pH danKarakteristik Organoleptik Buah Potong pada Penyajian Hidangan
Dessert.Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan. Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta
Fatsecret. 2016. Kalori Dalam Tomat (100 gram) dan Fakta Gizi. Diakses dari :
www.mobile.fatsecret.co.id>kalori-gizi>umum. Tanggal :20 Januari 2018
Hanindita N. 2008. Analisis Ekspor Tomat Segar Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Humaeroh I, 2016. Aplikasi Pelapisan Lidah Buaya (Aloe vera L.) dan Penyimpanan Suhu Dingin
untuk Meningkatkan Daya Simpan Buah Pepaya Callina (Carica pepaya L. IPB 9). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Hutabarat OS. 2008. Kajian Pengurangan Gejala Chilling Injury Tomat Yang Disimpan Pada Suhu
Rendah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Iflah T, Sutrisno, Sunarti TC. 2012. Pengaruh Kemasan Starch-Based Plastics (Bioplastik) Terhadap
Mutu Tomat Dan Paprika Selama Penyimpanan Dingin. J Teknologi Industri Pertanian. 22
(3):189-197
Kader, A. A. 1992. Postharvest Biology and Technology of HorticulturalCrops. University of California.
Davies.
Kanara N, 2009. Pengemasan Dan Penyimpanan Buah Tomat. Tersedia pada
http://agrikanara.blogspot.co.id/2009/03/pengemasan-dan-penyimpanan-buah-tomat.html.
Diunduh pada: 21 Januari 2018
Kitinoja L dan Kader AA. 2003. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala Kecil:Manual untuk
Produk Hortikultura. Edisi ke-4. Davis: Postharvest Technology Research and Information
Center
Krochta JM. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Departement of Food Science
and Technology. Departement of Biological and Agricultural Engineering University of
California. Davis, California, U.S.A.
Maong A, Johnly Alfreds Rorong A, Feti Fatimah. 2016. Aktivitas Ekstrak Buah Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill) Sebagai Penstabil Oksigen Singlet Dalam Reaksi Fotooksidasi Asam Linoleat
Reynal.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 237
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Marpudi SL, Abirami LSS, Pushkala R, Srividya N. 2011. Enhacement Of Storage Life And Quality
Maintenance Of Pepaya Fruits Using Aloe Vera Based Antimocrobial Coating. Indian Journal of
Biotechnology. 10:83-89.
Masfufatun, Widaningsih, Nurkumala T. Rahayuningsih. 2009. Pengaruh Suhu Dan Waktu
Penyimpanan Terhadap Vitamin C Dalam Jambu Biji (Psidiumguajava).Jfakultas Teknik
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.Vol. 11.No. 2.
Pradhana AY, Hasbullah R, Purwanto YA. 2013. Pengaruh Penambahan Kalium Permanganat
Terhadap Mutu Pisang (CV. Mas Kirana) Pada Kemasan Atmosfir Termodifikasi Aktif.Jurnal
Pascapanen. 10(2):83-94.
Prasetyo, B.B, Purwadi dan D. Rosyidi. 2015. Penambahan CMC (Carboxy Methyl Cellulose) Pada
Pembuatan Minuman Madu Sari Buah Jambu Merah (Psidium Guajava) Ditinjau dari pH,
Viskositas, Total Kapang dan Mutu Organoleptik. Universitas Brawijaya, Malang. p. 1-8
Roiyana M, Izzati M, Prihastanti E. 2012. Potensi Dan Efisiensi Senyawa Hidrokoloid Nabati Sebagai
Bahan Penunda Pematangan Buah. Buletin Anatomi Dan Fisiologi. 6(2): 40
Rudito. 2005. Perlakuan Komposisi Gelatin Dan Asam Sitrat Dalamedible Coating Edible Coatingyang
Mengandung Gliserol Pada Penyimpanan Tomat. J. Teknologi Pertanian. Vol 6 No 1.-6
Sampaio SA, Bora PS, Holschuh HJ, Silva SM. 2007. Postharvest Respiratory Activity And Changes In
Some Chemical Constituents During Maturation Of Yellow Mombin (Spondias Mombin) Fruit.
Ciênc Tecnol Aliment. 27(3): 511-515
Valverde, J. M., Valero D., Domingo M., Fabian G., Salvador C., Maria Serrano. 2006. Noveledible
coating based on aloe vera gel to maintain table grape quality and safety. J of Agricultural and
Food Chemistry, 53:7807-7813
Wills R, Mcglasson B, Graham D, Dan Joyce D. 2007. Postharvest, An Introduction To The Physiology
And Handling Of Fruits, Vegetables And Ornamentals. 4th Ed. UNSW Press.
Email : [email protected]
ABSTRACT
The issue of feed plays a major role in the chicken farming business. Limited costs and increasingly expensive feed
prices led to the study and innovation of animal feed from time to time. This aims to help farmers to continue to
survive in managing their livestock business, especially chicken farming. Agricultural products sometimes cause
problems in the final management due to the abundance of waste from these products. One of agricultural waste that
has potential and promises as high nutritional feed is banana skin waste. The nutritional content of banana skin is
quite complete such as carbohydrates, fats, proteins, calcium, phosphorus, iron, B vitamins, vitamin C and water.
These nutritional elements are a source of energy for the growth and performance achievement of poultry. Several
studies and innovations by researchers prove that banana skin can be recommended as animal feed products,
especially chicken feed.
ABSTRAK
Masalah pakan memegang peran utama dalam usaha peternakan ayam. Keterbatasan biaya dan makin
mahalnya harga pakan memunculkan kajian dan inovasi pakan ternak dari masa ke masa. Hal ini
bertujuan untuk membantu para peternak untuk tetap survive dalam mengelola usaha ternaknya,
khususnya usaha ternak ayam. Hasil-hasil pertanian terkadang menimbulkan masalah dalam
pengelolaan akhir disebabkan melimpahnya limbah dari produk-produk tersebut. Salah satu limbah
pertanian yang memiliki potensi dan menjanjikan sebagai pakan ternak bernutrisi tinggi adalah limbah
kulit pisang. Kandungan nutrisi kulit pisang cukup lengkap seperti karbohidrat, lemak, protein, kalsium,
fosfor, zat besi, vitamin B, vitamin C dan air. Unsur-unsur gizi ini menjadi sumber energi bagi
pertumbuhan dan pencapaian kinerja ternak ayam. Beberapa kajian dan inovasi para peneliti
membuktikan bahwa kulit pisang dapat direkomendasikan sebagai produk pakan ternak, khususnya
pakan ayam.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara penghasil berbagai keragaman pisang baik pisang segar, olahan
dan pisang liar. Terdapat 200 jenis pisang yang tumbuh dan dibudidayakan di negeri ini. Pisang
adalah tanaman asli Indonesia (Kuswanto, 2003). Hal ini di buktikan dengan beragam jenis pisang
yang tumbuh di hutan asli pulau seluruh Indonesia. Selain tumbuh sebagai tanaman liar, tanaman
pisang juga banyak dibudidayakan dan diklasifikasikan dalam berbagai jenis. Beberapa jenis pisang
yang familiar dikalangan masyarakat luas antara lain, pisang ambon, pisang nangka, pisang mas,
pisang klutuk, pisang tanduk, pisang hias, pisang kapok, pisang gapih dan goroho dan lain-lain.
Produksi pisang di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut mulai dari 2016 hingga 2018 terus
mengalami peningkatan.
Berdasarkan data BPS dan Dirjen Hortikultura (2016), Indonesia memproduksi pisang 7 juta ton
di tahun 2017; 7,16 ton di tahun 2018 meningkat kembali 7,26 juta (Anonim, 2019). Peningkatan
produksi ini berbanding lurus dengan daya konsumsi masyarakat yang meningkat dari waktu ke
waktu. Sejalan dengan itu, peningkatan permintaan dan kebutuhan masyarakat akan buah pisang
menimbulkan dampak baru, yaitu banyaknya limbah kulit pisang. Tentu saja, persoalan ini tidak
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 239
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
begitu mengkhawatirkan disebabkan limbah kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pakan ternak sehingga limbah kulit pisang dapat memberikan nilai tambah. Sejalan dengan Wilar et
al (2014), produksi pisang yang melimpah juga menghasilkan permasalahan klasik, yaitu limbah
kulit pisang. Kulit pisang merupakan bahan buangan yang jumlahnya cukup banyak. Umumnya
kulit pisang belum dimanfaatkan secara efektif, dibuang sebagai limbah organik atau digunakan
sebagai makanan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau. Apabila dimanfaatkan sebagai bahan
baku makanan, kulit pisang akan menguntungkan.
Apriliani dan Agustinus (2013) melaporkan bahwa kulit pisang mengandung komponen yang
bernilai seperti karbohidrat, vitamin C, kalsium dan nutrient lainnya. Kulit pisang yang difermentasi
dengan probiotik mampu meningkatkan kandungan protein kasar 6,56 %, Serat kasar 15,32 %, lemak
6,7 %dan abu 11,15 % menjadi protein kasar 14,88 %, serat kasar 11,43 %, lemak 7,0 %, dan abu 23,86
% (Ujianto, 2003). Pertumbuhan, produksi dan efisiensi pakan yang maksimal ternak ayam, dapat
diperoleh dengan penambahan pakan berkualitas. Konsumsi dan efisiensi pakan broiler jantan
tergantung pada kualitas pakan. Protein kasar dan energi yang terkandung dalam ransum dapat
menentukan kualitas pakan (Wahju, 2004 dalam (Kumalasari et al. 2014).
Dari berbagai komposisi kulit pisang yang merupakan kebutuhan nutrisi penting ayam pedaging
dalam proses pembuatan pakan antara lain air, lemak, karbohifrat, dan protein (Sudaro & Siriwa,
2005 dalam Hidayat et al. 2016). Karbohidrat merupakan bahan penting sebagai sumber energi, fungsi
utama karbohidrat dalam ransum ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan energi dan panas bagi
semua proses-proses tubuh. Pergerakan ayam yang cukup aktif akan membutuhkan energi secara
berkesinambungan, sehingga kulit pisang sangat tepat untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif
pakan sumber energi bagi pertumbuhan ternak ayam. Disamping justifikasi ketersediaan stok kulit
pisang tentu sangat mendukung upaya pengolahan limbah tersebut menjadi sumber pakan ternak
bernutrisi tinggi.
Diketahui bahwa pada konsentrasi 25% tepung kulit pisang dengan campuran pakan komersil
dengan rerata berat ayam pedaging 514,07 gram merupakan hasil yang paling baik khususnya
diantara campuran pakan kulit pisang yaitu 50%,75% dan 100% dalam hal ini menunjukkan bahwa
pada konsentrasi ini ayam pedaging dapat menyerap pakan tersebut untuk dimanfaatkan sebagai
aktifitas pertumbuhannya.
Hasil analisa dari penelitian Ujianto et al (2005) menunjukan, bahwa pertumbuhan anak ayam
pada pemberian limbah kulit pisang fermentasi pada konsentarasi 5 % dapat memberikan respon
positif. Pada pemberian LKPF diatas 10 % dapat menurunkan kinerja pertumbuhan ayan pedaging.
Safitri et al (2016) menyatakan bahwa walaupun terjadi peningkatan protein kasar pada kulit pisang
kepok yang difermentasi, namun penggunaannya terbatas hingga 10% dalam ransum ayam
pedaging. Bila digunakan lebih dari 10% dapat menurunkan bobot badan.
Penggunaan kulit pisang fermentasi 15% dalam ransum mempunyai bobot karkas yang paling
rendah daripada ketiga perlakuan lainnya hal ini disebabkan karena pada perlakuan 15% kulit
pisang fermentasi, pertambahan bobot badan terendah yang pada akhirnya menghasilkan bobot
potong rendah dan diikuti oleh bobot karkas yang rendah juga, dengan meningkatnya penggunaan
kulit pisang fermentasi maka makin tinggi penurunan bobot karkas (Koni, 2013)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 241
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Situmorang et al (2016) dalam penelitiannya menemukan bahwa perlakuan dengan pemberian
kulit pisang T1 (5%), T2 (10%) dan T3 (15%) tidak berbeda nyata dengan T0 (ransum tanpa kulit
pisang biokonversi). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kulit pisang biokonversi sampai level
15% masih efisien digunakan dalam pakan ayam broiler. Serat kasar yang tinggi dalam kulit pisang
tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan karena serat kasar sudah mengalami degradasi
dalam proses fermentasi dengan cairan rumen.
KESIMPULAN
Limbah kulit pisang dapat menjadi pakan substitusi dalam ransum ayam yang mendukung
kinerja pertumbuhan ayam karena mengandung nutrisi tinggi. Akan tetapi penggunaanya harus
dibatasi karena mengandung tanin. Perbaikan mutu sebagai pakan ternak dapat dilakukan dengan
memberikan sentuhan teknologi pengolahan. Pemberian limbah kulit pisang dalam ransum ayam
sebaiknya pada konsentrasi 5 % karena ayam masih bisa mencerna zat yang terkandung didalamnya.
Konsentrasi 10 % ke atas dapat menurunkan bobot badan ayam.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2019. Keren, Produksi dan Ekspor Komoditas Pisang Indonesia Membanggakan [Internet].
[diunduh 2019 Okt 27] Tersedia dari https://www.wartaekonomi.co.id.
Asteria Apriliani dan Franky Agustinus. 2013. Pembuatan Etanol Dari Kulit Pisang Secara
Fermentasi. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2(2).
Indraningsih, R. Widiastuti Dan Y. Sani. 2005. Limbah Pertanian Dan Perkebunan Sebagai Pakan
Ternak: Kendala Dan Prospeknya. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. [Internet]. [diunduh tanggal 27
Oktober 2019]. Tersedia dari balitnak.litbang.pertanian.go.id.
Hidayat, R., Setiawan, A., Nofyan, E. 2016. Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Lilin (Musa paradisiaca)
Sebagai Pakan Alternatif Ayam Pedaging (Gallus galus domesticus). Jurnal Ilmu Lingkungan.
14(1: 11-17.
Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Yogyakarta:
Kanisius.
Kumalaningsih, S. 1993. Sistem Penanganan dan Pengolahan Pisang Segar Modern. Malang: Sekolah
Tinggi Pertanian Tribhuwana.
Kumalasari, D.A., Warsito, S.H., Prawesthirini, S. 2014. Pemanfaatan Kulit Pisang Kepok Kuning
(Musa Balbisiana) Sebagai Sumber Energi Terhadap Konsumsi dan Efisiensi Pakan Broiler
Jantan Agroveteriner. (2)2: 104-109.
Koni TNI. 2013. Pengaruh pemanfaatan kulit pisang yang difermentasi terhadap karkas broiler. JITV
18(2): 153-157.
Retno D T, Nuri W. 2011. Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang. Prosiding Seminar Nasional Tekhnik
Kimia “Kejuangan” : 1693- 4393.
Safitri, Y, Zulfan, Latif, H. 2016. Pengaruh Penggunaan Tepung Kulit Pisang Kepok Fermentasi (Musa
paradisiaca normalis) terhadap Performan Ayam Broiler. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian
Unsyiah, 1(1): 781-789.
Situmorang, N.A., B. Sukamto, E. Suprijatna. 2016. Pengaruh Penggunaan Kulit Pisang Biokonversi
Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Broiler. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah.
14(2): 215-222.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 243
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
244 | Teknologi Pertanian
IDENTIFIKASI SENYAWA FITO KIMIA EKSTRAK DAUN
DAN BATANG SORGUM MANIS
ABSTRACT
Sweet sorgum(Sorgum bicolar L. Moench) is the one multifunction cerealia used as an alternative for food, feed and
biofuel. This plant is easy to cultivar, resistant to drought including on dry land and ex pumice minning land. The
purpose of this study was to analysis the fitochemical ekstract of leaf and stem of sweet sorgum in methanol solvent.
The study used 105 days old plant. The fresh leaves and stems of sweet sorgum taken than dried in 70 0 C oven for
about 7 days to reduces water content and get a constant weight. Futhermore the dried leaves and stem floured using
of the SR-2 type Retsch mill then solve by the methanol to fitochemical analyze. The results showed that the leaves
and stems of sweet sorghum have flavonoids, alkaloids, steroids / triterpenoids, tannins and tepernoids that have
anti-oxidants, sedatives, analgesics, antibacterial, anti-inflammatory, anti-virus, anti-cancer, biofuel product
development and it is a good as feed for ruminant.
ABSTRAK
Sorgum manis (Sorgum bicolar L. Moench) merupakan salah satu tanaman serealia yang multifungsi dapat
digunakan sebagai sumber makanan bagi manusia, pakan ternak dan biofuel. Tanaman ini mudah
ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia dengan berbagai kondisi lahan termasuk lahan bekas
tambang batu apung. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan analisis fitokimia ekstrak daun dan
batang sorgum manis dengan pelarut metanol. Tanaman sorgum manis yang digunakan berumur 105
hari. Daun dan batang sorgum yang telah dipanen kemudian dikeringkan dengan oven dengan suhu
700C kurang lebih selama 7 hari dan selanjutnya di buat menjadi tepung dengan alat penepung SR-2 dan
dilarutkan dalam pelarut methanol untuk selanjutnya dianalisis. Hasil analisis fitokimia ekstrak
methanol daun dan batang sorgum manis mengandung senyawa flavanoid, alkaloid, steroid/triterpenoid,
tanin dan tepernoid yang memiliki aktivitas anti oksidan, sedative, analgesik, antibakteri, antiinflamasi,
antiviral, antikanker, sebagai pengembangan produk biofuel dan juga merupakan pakan yang baik
untuk ternak ruminansia.
PENDAHULUAN
Sorgum batang manis (Sorgum bicolar L. Moench) merupakan salah satu tanaman serealia yang
mudah dibudidayakan dan telah dikenal sebagai sumber makanan yang baik bagi manusia dan
sebagai sumber pakanbagi ternak ruminansia dan unggas (Agbangnan et al. 2012). Di Indonesia, areal
yang berpotensi untuk pengembangan sorgum sangat luas meliputi daerah kurang subur ataupun di
daerah marginal bahkan di daerah bekas tambang batu apung (Sasongko et al. 2017).
Bila dibandingkan dengan tanaman jagung tanaman sorgum membutuhkan air 30-50% lebih
sedikit sehingga tanaman sorgum memiliki daya adaptasi yang tinggi dan toleran terhadap
kekeringan (Rooney et al. 2007). Daun dan batang sorgum sangat digemari oleh ternak baik sapi
ataupun kambing. Khusus untuk batang sorgum, batang tanaman sorgum ini mengandung kadar
nira antara 11,3% Noerhartati dan Rahayuningsih (2013) sehingga menjadi keunggulan tersendiri bila
digunakan sebagai pakan ternak. Mengingat fungsinya maka banyak penelitian yang telah
dilaksanakan untuk mengetahui manfaat dan kandungan tanaman sorgum, akan tetapi informasi
tentang komposisi kimia sorgum masih perlu dikaji. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
komposisi kimia daun dan batang Sorgum manis dengan menggunakan pelarut Metanol.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 245
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
METODE PENELITIAN
Daun dan batang Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini dibudidayakan di wilayah
Lombok Timur dengan karakter lahan merupakan lahan bekas tambang batu apung. Daun dan
batang sorgum yang digunakan merupakan daun dan batang tanaman yang berumur 105 hari.
Sampel daun dan batang diperoleh dengan cara panen pada petak tanaman di masing-masing pojok
dan tengah petak. Masing-masing sampel kemudian di pool menjadi satu untuk selanjutnya
dikeringkan menggunakan oven suhu 700C kurang lebih selama 7 hari atau sampai mencapai berat
kering yang konstan. Setelah kering, masing-masing sampel baik daun dan batang sorgum manis di
giling dan dibuat menjadi tepung menggunakan alat penepug tipe SR-2. Analisis fitokimia dalam
pelarut metanol dilakukan di laboratorium FMIPA Universitas Mataram.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada petani kooperator dan laboran FMIPA Universitas
Mataram, anggota tim pengkajian dan semua pihak atas kerjasama dan dukungannya sehingga
penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Agbangnan PDC, Tachon C, Bonin H, Chrostowka A, Fouquet E, Sohounhloue DCK. 2012.
Phytochemical study of a tinctorial plant of benin traditional pharmacopoeia: the red sorghum
(sorghum caudatum) of benin. Scientific Study & Research Chemistry & Chemical Engineering,
Biotechnology, Food Industry13 (2): 121-135.
Belch JF, Belch PA. 2000. Prescription for Nutritional Healing. New York: A very penguin puntam Inc.
267-270.
Hidayah N. 2016. Pemanfaatan senyawa metabolit sekunder tanaman (Tanin dan Saponin) dalam
mengurangi emisi metan ternak ruminansia. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 11 (2): 89-98.
Jisika M, Ohigashi H, Nogaka H, Tada T, Hirota M. 1992. Bitter steroid glycosides, Vernon sides A1,
A2, and A3 and related B1 from the possible medicinal plant Vernonia amygdalina used by the
wild chimpanzees. Tetrahedron, 48: 625-630.
Endang N, Tri R. 2013. Karakterisasi gula cair batang sorgum (Sorgum sp.) Jurnal Agroteknologi vol 7
(2): 111-119.
Nassar, Zeyad, Abdalrahim, Amin MS. 2010. The Pharmacological Properties of terpenoid from
Sandoricum Koetjape. Journal Medcentral, 2010, 1- 11.
Odhiambo RS, Patrick KG, Helen KL, Gathu NC, Francis NK, Richard WW. 2014. Evaluation of in
vitro ovicidal activity of ethanolic extracts of Prosopis juliflora(Sw.) DC (Fabaceae).IOSR
Journal of Pharmacy and Biological Sciences (IOSR-JPBS) 9 (3) Ver. II: 15-18
Rooney WL, Blumenthal J, Bean B, Mullet JE. Designing sorghum as a dedicated bioenergy feedstock.
Biofuels Bioprod Bioref 200 (1):147–57.
Sasongko W R, Astiti LGS dan Erawaty B T R. 2017. Potensi tanaman sorgum manis untuk
pemanfaatan lahan bekas penambangan batu apung sebagai pakan sapi betina di kelurahan
ijobalit. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan
Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. 2017: 900-906.
Tholl D. 2015. Biosynthesis and Biological Functions of Terpenoids in Plants. In: Schrader J., Bohlmann
J. (eds) Biotechnology of Isoprenoids. Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology, vol
148.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 247
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tyler, VE, Braddyu LR, Roberts JE. 1998. A textbook of pharmacology Lea and Pernoager,
Philadelphia Pg 85-90
Widowati S. 2010. Karakteristik mutu gizi dan diversifikasi pangan berbasis Sorgum (Sorghum vulgare).
PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 373-382.
Meivie Lintang
ABSTRACT
Manado Kuning’scorn is a superior variety from North Sulawesi, as one of the local food sources.It is high interest to
the community and has advantages compared to corn’s hybrid varieties that are intensively developed. This
commodity is preferred because it resistance to disease and sweet taste, but in some areas in North Sulawesi the
development has begun to diminish. Besides being a source of prime food and feed, Manado Kuning’scorn is potential
as a functional food that is benefit for health. Some research results that manadokuning’s corn contains several
nutrients such as fiber, carotene compounds and phenolic compounds that function as antioxidants, so that they can
be processed into various types of functional food, both primary and secondary products, as the main ingredients and
substitutes products. Various types of functional food that can be processed from Manado kuning’s corn are corn
flour, analog rice, flakes, and cheese and corn instant noodles. The functional food processing process is also closely
related to the post-harvest stage based on Standard Operating Procedures to produce quality raw materials. Manado
Kuning’s corn processing,beside addition to increasing added value, is expected to encourage farmers in North
Sulawesi develop this local commodity. This paper describes the opportunities for Manado Kuning’s corndeveloping
as functional food sources.
ABSTRAK
Jagung varietas manado kuning merupakan varietas unggul Sulawesi Utara, sebagai salah satu sumber
pangan lokal, diminati masyarakat dan mempunyai kelebihan dibandingkan jagung jenis varietas
hibrida yang gencar dikembangkan. Komoditi ini disukai karena tahan penyakit dan rasa
jagungnyamanis, namun di beberapa daerah di Sulawesi Utara pengembangannya mulai berkurang.
Selain sebagai sumber pangan pokok dan pakan, jagung manado kuning berpotensi sebagai pangan
fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jagung
manado kuning mengandung beberapa zat gizi seperti serat, senyawa karoten dan senyawa fenolik yang
berfungsi sebagai antioksidan, sehingga dapat diolah menjadi berbagai jenis pangan fungsional, baik
olahan primer maupun sekunder sebagai bahan utama dan subtitusi. Berbagai jenis pangan fungsional
yang dapat diolah dari jagung manado kuning adalah tepung jagung, beras analog, flake, cheese dan mie
instan jagung. Proses pengolahan pangan fungsional juga sangat terkait dengan tahapan pasca panen
berdasarkan Standar Operasional Prosedur untuk menghasilkan bahan baku bermutu. Pengolahan
jagung manado kuning selain dapat meningkatkan nilai tambah diharapkan dapat mendorong petani di
Sulawesi Utara untuk mengembangkan komoditi lokal ini. Tulisan ini menguraikan tentang peluang
pengembangan jagung varietas manado kuning sebagai sumber pangan fungsional.
Kata kunci : Jagung manado kuning, pengembangan, pangan fungsional, pengolahan
PENDAHULUAN
Jagung varietas Manado Kuning merupakan varietas unggul Sulawesi Utara, sebagai salah satu
sumber pangan lokal, diminati masyarakat dan mempunyai kelebihan dibandingkan jagung varietas
hibrida yang gencar dikembangkan dan komoditi ini disukai karena rasa jagungnya manis.
Walaupun potensi produktivitas relatif lebih rendah jika dibandingkandengan jenis hibrida maupun
jagung komposit yang dilepas oleh Kementerian Pertanian, akan tetapi sampai sekarang jagung
manado kuning masih banyak ditanam oleh petani di daerah ini. Ada beberapa hal yang menjadi
alasan sehingga jagung ini tetap dibudidayakan, sebagaimana ciri-ciri varietas lokal umumnya,
jagung Manado Kuning lebih toleran terhadap naungan, lebih tahan hama sitopilus, mampu
memberikan hasil memuaskan pada pemupukan yang tidak optimal, bahkan mampu memberikan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 249
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
hasil pada lahan marginal sekalipun, dan yang paling utama adalah tanaman jagung Manado Kuning
menjadi pakan yang disukai ternak sapi (Erungan et al, 2012)
Jagung mempunyai kandungan gizi seperti lemak dan protein lebih tinggi dibanding beras,
sehingga berpotensi sebagai sumber pangan pokok dan sebagai pakan ternak.Begitu pula untuk
kandungan kalsium, fosfor dan besi jagung lebih unggul dibanding beras.Disamping itu, jagung juga
mengandung komponen pangan fungsional antara lain; serat pangan yang dibutuhkan tubuh (dietary
fiber), asam lemak esensial, isoflavon, mineral Fe (tidak ada dalam terigu), β-karoten (pro vitamin A),
komposisi asam amino esensial, dan vitamin serta mineral lainnya (Suarni, 2009 dalam Lailiyati,
2014). Dengan komposisi tersebut jagung termasuk jagung manado kuning dapat diolah menjadi
berbagai jenis pangan fungsional.
Pangan fungsional adalah bahan pangan yang mengandung komponen bioaktif yang
memberikan efek fisiologis multifungsi bagi tubuh, antara lain memperkuat daya tahan tubuh,
mengatur ritme kondisi fisik, memperlambat penuaan, dan membantu mencegah penyakit.
Komponen bioaktif tersebut adalah senyawa yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu di luar zat
gizi dasar (Suarni, 2017). Menurut Hassan (2014) pangan fungsional adalah bahan pangan yang
dikonsumsi sebagai salah satu dietdalam pola makan sehari-hari yang mampu memberikan
pengaruh positif terhadapkesehatan seseorang. Pengaruh positif inidiperoleh dari kandungan
komponen bioaktifyang ada dalam bahan pangan tersebut.Komponen aktif dalam bahan pangan
yangmemberikan efek fisiologis atau menimbulkanadanya sifat fungsional dapat berasal daripangan
nabati maupun hewani.
Permintaan pangan fungsional mulai meningkat dewasa ini.Seiring perkembangan tingkat
pendidikan dan pendapatan masyarakat Indonesia, keinginan konsumen akan produk pangan
semakin kompleks. Konsumen tidak hanya menginginkan pangan enak dan mengenyangkan, namun
juga memiliki nilai tambah terhadap kesehatan meskipun dibandrol dengan harga sedikit lebih tinggi
dibandingkan ëproduk pangan biasa (Food Review, 2016). Faktor pendorong meningkatnya
permintaan terhadap pangan fungsional diantaranya adalah populasi dan pendapatan, kesadaran
konsumen, biaya kesehatan, dan tumbuhnya Industri-industri pangan pengguna probiotik
(Nuraida, 2016). Seperti jagung pada umumnya, jagung manado kuning berpotensi untuk
dikembangkan sebagai pangan fungsional. Dalam tulisan ini dibahas tentang Peluang
Pengembangan Jagung Varietas Manado Kuning Sebagai Sumber Pangan Fungsional.
Jagung manado kuning berdasarkan penelitian dari Landeng (2017) juga mengandung
antioksidan terlihat dari jumlah kandungan senyawafenol sebesar 54,69 mg/kg. Masyarakat di
Minahasa umumnya mengolah jagung manado kuning menjadi beras jagung dan bahan olahan
pangan sinduka. Hasil penelitian dari Lalujan et al (2016) disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi beras jagung (Grits) dan sinduka vareitas Manado Kuning
Secara spesifik jagung manado kuning mengandung asam-asam amino esensial yang bermanfaat
bagi kesehatan, seperti tersaji pada tabel 3.
Tabel 3.Kandungan asam amino tepung jagung manado kuning
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 251
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
SIFAT FUNGSIONAL JAGUNG MANADO KUNING
Jagung manado kuning berdasarkan komposisi gizinya mengandung berbagai dan senyawa
bioaktif yang dapat memberikan efek fisiologis bagi manusia bila mengkonsumsinya. Menurut
Suarni (2017), unsur-unsur pangan fungsional yang ada di jagung adalah serat pangan, asam lemak
esensial, zat warna alami untuk jagung kuning beta karoten dan untuk jagung ungu adalah
antosianin, dan asam amino terutama lisin dan triptopan.Selain zat gizi tersebut jagung mengandung
kandungan mineral dan fenol dan mempunyai sifat indeks glikemik.
Kandungan serat
Jagung manado kuning mengandung serat kasar sebesar 2,76% (Landeng,et al, 2017). Kandungan
serat ini penting untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kandungan serat yang cukup
tinggi dalam jagung dapat membantu dalam mengurangi masalah pencernaan seperti sembelit dan
wasir, serta menurunkan resiko kanker usus(Hassan, 2014).
Serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan.Secara umum serat pangan didefinisikan sebagai kelompok polisasakarida dan polimer-
polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh system gastro intestinal bagian atas tubuh manusia. Serat
pangan total terdiri dari komponen serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Serat pangan
larut diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas, sedangkan serat
pangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak dapat larut dalam air panas maupun air dingin
(Mucthadi, 2009)
Zat warna alami
Warna kuning beras jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat di dalam biji
jagung.Pigmen ini termasuk ke dalam golongan pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil
(Lalujan et al, 2017).Karotenoid merupakan senyawa yang tidak larut dalam air dan sedikit larut
dalam minyak atau lemak (Rao et al, 2007).Karotenoid terdapat dalam buah pepaya, kulit pisang,
tomat, cabai merah, mangga, wortel, ubi jalar, labu kuning, jagung dan pada beberapa bunga yang
berwarna kuning dan merah.Diperkirakan lebih dari 100 juta ton karotenoid diproduksi setiap tahun
di alam.Senyawa ini baik untuk mewarnai margarin, keju, sop, pudding, es krim dan mie dengan
pemakaian 1 sampai 10 ppm.
Beta-karoten adalah senyawa yang terkandung pada jagung, sebuah karotenoid yang larut dalam
lemak yang dianggap pro-vitamin karena mereka dapat dikonversi menjadi vitamin A aktif (retinol),
yang penting untuk penglihatan.Vitamin A secara alami ada dalam makanan, tetapi tidak sebagai
senyawa tunggal.Vitamin A terutama ada dalam bentuk retinil ester bukan retinol, dan beta-karoten
selalu ditemukan dalam bentuk campuran karotenoid dengan klorofil.Beta-karoten dianggap sebagai
antioksidan kuat dan peredam oksigen tunggal yang terbaik. Beta-karoten memberikan perlindungan
antioksidan untuk jaringan yang kaya lipid (Silvia, et al, 2016). Jagung mengandung senyawa
karotenoid sebesar 6,4-11,3 µ/g, 22% merupakan karoten dan 51% xantofil sehingga akan
memberikan warna kuning alami pada makanan (Koswara, 2009 dalam Sari et al, 2018), dan
menurut Bacchetti dkk. (2013) dalam Landeng et al (2017) biji jagung mengandung senyawa
karotenoid (zeaxantin) yang melimpah dalam konsentrasi berkisar antara 176-218 mg/100 g, beta-
karoten dan lutein berkisar 27-39 mg/100 g dan 23-49 mg/ 100 g.
Kandungan asam lemak esensial
Sifat fungsional yang dimiliki oleh jagung diantaranya kandungan minyak nabatiyang cukup
tinggi yang merupakan sumber asam lemak omega-6 yang bermanfaat dalamproses pertumbuhan
anak, menjaga kesehatan kulit, mencegah penyakit jantung, dan stroke.Kandungan lemak jagung
varietas manado kuning sebesar 6,09%, cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jagung
lainnya.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 253
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Nilai IG yang rendah pada beras analog dapat diperoleh karena kandungan serat pangan dan
senyawa fenolik yang terkandung di dalam bahan bakunya.Serat pangan berperan dalam
memperlambat kecepatan pencernaan bahan pangan dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih
lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk
mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi makin sedikit.Oleh karena
itu, pangan yang memiliki serat tinggi umumnya memiliki nilai IG yang rendah. Senyawa fenolik
juga diketahui dapat menurunkan IG pangan melalui proses penghambatan enzim (Budijanto, et al,
2017)
No Uraian Karakteristik
1 Pengolahan beras analog Beras analog memiliki rata-rata nilai kadar air 5,37 %, daya serap air
berbasis tepung maizena, 1,84, daya pengembangan 8,8 %, kerapatan curah 0,61 gr/ml,
tepung talas dan ubi jalar expansion ratio 0,99, Water Absorption Index 1,71, water Solubility
(Srihari, et al, 2016) Index sebesar 0,13,dan waktu rehidrasi sebesar 15,37 menit.
2 Pengolahan beras analog Kadar pati resisten sebanyak 2,59%-3,31%, total fenol sekitar 0,18-0,25
jagung putih dan penambahan mg GAE/g sampel dan serat pangan antara 5,35%-6,14%.
kedelai (Noviasari, et al, 2015)
3 Pengolahan beras analog Total fenol beras analog (0,10 ± 0,00 mg GAE/g sampel), serat
jagung, sorghum dan aren panganberas analog (5,18%) dan nilai IG nasi analog 47,09 ± 4,79
(Budiyanto, et al, 2017)
Serat pangan beras analog yang dihasilkan sebesar dari jagung dengan penambahan tepung
sorghum dan aren (5,18% dan 5,22%) sudah lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras sosoh yaitu
0,19%. Makanan dapat disebut sebagai sumber serat jika mengandung serat pangan minimal
3%.Sedangkan makanan disebut tinggi serat jika mengandung serat pangan minimal 6%.Berdasarkan
kandungan seratnya, beras analog dari jagung dapat dikatakan sebagaimakanan sumber serat
pangan (Budijanto, 2017).
Beras jagung instan
Beras instan merupakan salah satu bentuk olahan divesifikasi jagung. Beras instan menurut
Richana et al (2012) mempunyai kelebihan yaitu daya simpan lama, tidak mudah terkontaminasi
Aflatoxin, nilai cerna yang lebih
tinggi sehingga tidak
menimbulkan rasa sebah di
Jagung Kuning Pipilan perut, indeks glikemik rendah
sehingga baik untuk dikonsumsi
penderita diabetes, mempunyai
Penggilingan
flavor yang tidak asam,
sebagaimana yang sering terjadi
padapengolahan beras jagung di
pedesaan, lebih cepat tanak
Pengayakan dengan
20 mesh hanya memerlukan waktu sekitar
15 menit di rice cookerseperti
halnya beras padi, sehingga
seandainya mau substitusi
Beras jagung yang tidak Beras jagung yang lolos
lolos ayakan 20 mesh ayakan 20 mesh dengan berasmisalkan 50:50
maka beras padi dan berasan
jagung dapat bersamaan tanak.
Proses pembuatan beras
Gambar 1 Diagram alir pengolahan
berasan jagung (Lailayati, et al, 2014)
instanadalah pencucian jagung
pipilan, perendaman 2malam,
pencucian dan pengukusan,
pengeringan dan pengemasan. Apabila akan dikonsumsi, beras tersebut dikukus sebentar. Kelebihan
cepat dimasak dan tidak menyebabkan sebah dan lebih mudah dicerna.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 255
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pengolahan jagung menjadi jagung instan menghasilkan produk beras jagung instan yang dapat
dimasak dalam waktu 4-6 menit.Namun, nasi jagung instan yang selama ini sudah ada memiliki
kandungan gizi yang kurang mencukupi kebutuhan gizi tubuh terutama protein.Sehingga perlu
adanya penambahan protein yang bisa berasal dari protein hewani maupun nabati.Salah satu sumber
protein nabati adalah kacang-kacangan dan turunannya. Pembuatan beras instan dapat dilakukan
menggunakan tepung tempe. Hasil penelitian dari Lailayati et al (2014), Beras jagung dengan
penambahan tepung tempe 20% merupakan nasi jagung yang paling disukai panelis.
Penambahan tepung tempe tidak berpengaruh terhadap aroma dan tekstur nasi jagung instan.
Hasil penelitian Lailayati, et al (2014), diperoleh lama masak nasi jagung instan formula terbaik 3,2
menit, rasio rehidrasi 3,59 (b/b), penyerapan air 157% dan densitas kamba 0,53 (g/ml). Nasi jagung
instan formula terbaik memiliki nilai gizi yang lebih besar terutama protein, lemak dan abu
sedangkan kadar air dan karbohidrat mengalami penurunan. Pengolahan nasi jagung instan
diperoleh kadar air 7,56%, kadar abu 0.70%, kadar protein 17.30%, kadar lemak 5.17% dan kadar
karbohidrat 76.84% (Lailayati, et al, 2014)
Flakes
Flakes adalah salah satu bentuk produk pangan kering, berbentuk bulat pipih dengan tepi yang
tidak beraturan, berkadar air rendah serta mempunyai daya rehidrasi dan terbuat dari bahan utama
tepung (Susanti, 2017).Flakes merupakan makanansereal siap santap yang umumnyadikonsumsi
dengan susu. Awalnya,flakes dibuat dari biji jagung utuh yangdikenal dengan nama corn
flakes.Namun, pada saat ini telahdikembangkan inovasi dalampengolahan flakes.
Flakes merupakansalah satu bentuk dari produk panganyang menggunakan bahan
panganserealia seperti beras, gandum ataujagung dan umbi-umbian. Flakesdigolongkan kedalam
jenis makanansereal siap santap yang telah dandirekayasa menurut jenis dan bentuknyadan
merupakan makanan siap saji yangpraktis (Susanti et al, 2017), dalam penyajiannyamembutuhkan
kurang dari 3 menit dalam penyajiannya dan umumnya dikonsumsi dengan menambahkan susu cair
(Sari, et al, 2018)
Proses pembuatan Flakes dibuat dengan cara pemanggangan adonan yang telah dicetak pada
suhu dan lama waktu pemanggangan yang beragam berdasarkan bahan baku yang digunakan. Flakes
yang diperoleh biasanya dipanggang untuk mengurangi kadar air, menimbulkan aroma dan untuk
menghasilkan efek melembung (Susanti et al, 2017).
Penelitian tentang pembuatan flakes telah dilakukan, tabel 5 menyajikan hasil penelitian tentang
pembuatan flakes berbasis tepung jagung
Tabel 5 Hasil penelitian pembuatan flakes berbasis tepung jagung dan karakteristiknya
3 Pengolahan flake berbasis Pembuatan flakes dari tepung komposit dengan perbandingan tepung
jagung dan kacang hijau serta jagung 70%, ubikayu 20%, kacang hijau 10%) lebih disukai panelis
ubi kayu (Suarni, 2009) termasuk uji rasa, warna, kerenyahan, dan aroma
4 Pengolahan flake berbasis Pembuatan flakes dari campuran tepung jagung 60%, tepung pisang
jagung, tepung pisang goroho goroho 35%, tepung kacang hijau 5% adalah yang terbaik, berdasarkan
dan tepung kacang hijau pada waktu ketahanan kerenyahan kerenyahan selama 4 menit 47 detik,
(Papunas et al, 2015) kadar air 1,7%, abu 1,55%, protein 6,59%, 88,56%.
Peningkatan protein dari flake dapat diperoleh dengan penambahan tepung ikan, hal ini terlihat
dari penelitian dari semakin meningkat formulasi tepung ikan tembang maka meningkat pula kadar
protein flake dan juga kadar air (Sari et al, 2018).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 257
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Mie Instan Jagung
Mie merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat selain beras sebagai bahan
makanan pokok.Produk mie baik berupa mie basah, mie kering, maupun mie instan kini sudah
menjadi bahan makanan utama kedua di Indonesia (Usu et al, 2016).
Pembuatan Mie instan jagung dapat diformulasi dengan bahan lain seperti tepung kacang
hijau.Sebelum pembuatan mie instan jagung dengan subtitusi tepung kacang hijau, dilakukan
pembuatan tepung kacang hijau menggunakan 2 macam perlakuan yaitu perendaman dan
perebusan.Pembuatan tepung kacang hijau dengan perlakuan perendaman yaitu biji kacang hijau
kering dicuci dan direndam selama 8 jam, sedangkan pembuatan tepung kacang hijau dengan
perebusan yaitu kacang hijau kering dicuci dan direbus selama 20 menit.Tahap berikutnya dilakukan
pengupasan kulit dan penirisan.Biji kacang hijau kemudian dikeringkan pada suhu 70 oC selama 7
jam, dilanjutkan dengan penggilingan dan pengayakan dengan ayakan 60 mesh.
Pengolahan mi jagung dapat dilakukan dengan beberapa teknik.Teknik-teknik yang telah
dikembangkan oleh peneliti adalah teknik kalendering, ekstrusi dan gabungan antara teknik ekstrusi
dengan teknik kalendering (Ekafitri, 2010).Karakteristik fisik mieyang terpenting adalah KPAP dan
elongasi. Mie basah jagung dinyatakan bermutu baik apabila memiliki persen elongasi yang tinggi
dan KPAP yang rendah. Kedua parameter ini dipengaruhi oleh rasio amilosa-amilopektin dan sifat
fungsional pati yang dimiliki bahan baku pembuatan mie. Hasil penelitian dari Canti et al (2018)
menyatakan bahwa Mi instan dengan penambahan tepung kacang hijau rendam 20% mampu
meningkatkan kandungan protein sebesar 1,38 kali dengan kadar protein sebesar 13,14% db
Cheeze analog
Pembuatan cheese analog diawali dengan pembuatan susu jagung. Sebanyak 300 gram jagung pipil
yang telah direbus diblender dengan 375 ml air hangat dan disaring hingga didapatkan susu jagung.
Susu jagung lalu ditambahkan susu skim sebanyak 30 gram dan 1,5 gram agar-agar kemudian
dipasteurisasi pada suhu 60°C selama 30 menit. Setelah didinginkan hingga mencapai suhu ruang
susu jagung ditambah dengan 90 ml ektrak buah nanas dan diaduk hingga rata. Susu jagung
dipanaskan pada suhu 70°C hingga terbentuk curd yang kemudian disaring dan diberi garam. Berat
yang dihasilkan dari proses tersebut adalah sebesar 34,38 gram cheese analog. Dari hasil uji yang
dilakukan didapatkan kadar air yang terkandung di dalam cheese analog adalah 60% dan kadar
proteinnya adalah 7,52% (Rahartya, 2016)
POTENSI PENGEMBANGAN
Luas lahan di Propinsi Sulawesi Utara khusus tegalan yang diusahakan adalah 180.883 ha, ladang
yang diusahakan adalah 167.108 ha sedang yang belum diusahakan adalah 69.371 ha.Hal ini
menunjukkan terdapat potensi lahan yang cukup luas untuk diusahakan tanaman jagung (BPS
Sulut, 2019). Jagung dikenal sebagai komoditi unggulan di Sulawesi Utara terutama di daerah
potensi seperti Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow utara,
Bolaang Mongondow selatan, Bolaang Mongondow timur dan daerah Kotamobagu. Apabila
sebagian lahan tersebut dikembangkan jagung varietas manado kuning maka akan mendukung
ketersediaan bahan baku selain sebagai pangan pokok, pakan ternak tapi juga sebagai sumber bahan
baku pangan fungsional.
Kebiasaan masyarakat Sulawesi Utara untuk mengkonsumsi jagung cukup besar sehingga tidak
sulit untuk melakukan diversifikasi pangan.Saat ini produk olahan jagung yang ada di masyarakat
terbatas pada pangan olahan tradisional diantaranya beras milu (beras jagung), perkedel, pudding,
sup, aneka sayuran dan bahan pencampur untuk makanan tradisional tinutuan, belum pada produk
olahan yang berdaya saing.
PENUTUP
Pengembangan Pangan fungsioanal dari jagung sangat terbuka lebar dan berpotensi untuk
dikembangkan. Proses pengolahan pangan fungsional sangat terkait dengan tahapan panen dan
pasca panen berdasarkan Standar Operasional Prosedur untuk menghasilkan bahan baku bermutu.
Pengolahan jagung manado kuning selain dapat meningkatkan nilai tambah diharapkan dapat
mendorong petani di Sulawesi Utara untuk secara optimal mengembangan komoditas ini dengan
sistem usahatani yang intensif dan sesuai anjuran sehingga mampu meningkatkan produksi dan
pendapatan petani
DAFTAR PUSTAKA
Arief, R. W Dan R. Asnawi, 2009. Kandungan Gizi Dan Komposisi Asam Amino Beberapa Varietas
Jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol: 9 (2) 61-66.
BPS Sulawesi Utara, 2019.Sulawesi dalam Angka. BPS Sulut. Manado
Budijanto, Yanica Ivory Andri, Didah Nur Faridah, Santi Noviasari. 2017. Karakterisasi Kimia dan
Efek Hipoglikemik Beras Analog Berbahan Dasar Jagung, Sorgum, dan Sagu Aren.AGRITECH,
Vol. 37, No. 4, November 2017.
Budijanto.2015. Beras Analog Sebagai Vehicle Penganekaragaman Pangan Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap.Fakultas Teknologi Pertanian
Canti, M. Anggrahini, Triwitono, 2018. Peningkatan Kandungan Protein Mi Instan Dari Substitusi
Tepung Jagung Dengan Tepung Kacang Hijau.Jurnal Ilmu Pangan Dan Hasil Pertanian Vol. 2
No. 1 Thn. 2018
Darawati, Hadi Riyadi, Evy Damayanthi, Lilik Kustiyah. Pengembangan Pangan Fungsional
Berbasis Pangan Lokal Sebagai Produk Sarapan Untuk Remaja Gemuk. J. Gizi Pangan,
Maret 2016, 11(1):43-50
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 259
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Ekafitri, R. 2010. Teknologi Pengolahan Mie Jagung: Upaya Menunjang Ketahanan Pangan Indonesia.
Pangan, Vol. 19 No. 3 September 2010: 283-293
Erungan, R. Runtunuwu, Rogi, 2012. Produksi Jagung Manado Kuning Pada Jarak Tanam Dan Dosis
Pupuk Nitrogen Berbeda. Eugenia Vo. 18 no 3
Foodreview Indonesia In-Depth Seminar Challenges And Opportunities Of Functional Food Industry
(13 Oktober 2016), Bogor. www.foodreview.co.id/download.Html
Hassan,.2014. Aneka Tepung Berbasis Bahan Baku Lokal Sebagai Sumber PanganFungsional Dalam
Upaya Meningkatkan Nilai Tambah ProdukPangan Lokal.PANGAN, Vol. 23 No. 1 Maret 2014 :
93 – 107
Hwang, T., Ndolo, V.U., Katunndu, M., Nyirenda, B. Kerr, K.R., Artifield, S. &Beta, T. 2016.
Provitamin A Potential Of Landrace Orange Maize Variety (Zea Mays L.) Grown In Different
Geographical Locations Of Central Malawi. Food Chemistry.196(1):1315-1324.
Lailiyati, Dian Rahmawanti , MAM Andriani, 2014. Formulasi Dan Kajian Karakteristik Nasi Jagung
(Zea Mays L) Instan dengan Penambahan Tepung Tempe
Lalujan, G.S. Suhartati Djarkasi, Thelma J.N. Tuju, Dekie Rawung, And Maria F. Sumual. Komposisi
Kimia Dan Gizi Jagung Lokal Varietas ’Manado Kuning’ Sebagai Bahan Pangan Pengganti
Beras 1jurnal Teknologi Pertanian Volume 8, Nomor 1, Juni 2017
Landeng P, Edi Suryanto, Lidya Irma Momuat. 2017. Komposisi Proksimat Dan Potensi Antioskidan
Dari Biji Jagung Manado Kuning (Zea Mays L.)Chem. Prog. Vol. 10. No. 1, Mei 2017.
Lienargo B. Bonaventura Rizky, Semuel D. Runtunuwu, Johannes E.X. Rogi, Pemmy Tumewu.
Pengaruh Waktu Penyemprotan Dan Konsentrasi Paclobutrazol (Pbz) Terhadap Pertumbuhan
Dan Produksi Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Varietas Manado Kuning
Mayai, Slamet Budijanto, Nancy Dewi Yuliana, 2016. Karakterisasi Dan Indeks Glikemik Beras
Analog Berbahan Dasar Tepung Jagung.J. Gizi Pangan, November 2016, 11 (3):169-174
Mishra A, Mishra Hn, Rao Ps. 2012. Preparation Of Rice Analogues Using Extrusion Technology.
Int J Food Sci Tech(9):1789-1797. Doi:10.1111/J.1365-2621.2012.03035.X.
Noviasari, S. Kusnanadar Dan Budijanto, 2013. Pengembangan Beras Analod Dengan Memanfaatkan
Jagung Putih. J. Teknologi Dan Industri Pangan Vol 24. No 2
Nuraida.L. 2016.Pangan Fungsional Untuk Kesehatan Pencernaan. Seafast Center Dan Departemen
Ilmu Dan Teknologi Pangan IPB
Papunas, Djarkasi, Moningka. 2014. Karakteristik Fisikokimia Dan Sensoris Flakes Berbahan Baku
Tepung Jagung (Zea Mays L), Tepung Pisang Goroho (Musa Acuminafe,Sp) dan Tepung
Kacang Hijau (Phaseolus Radiates). Jurnal Teknosains Pangan Vol 3 No 1 Januari 2014
Rahartya, 2016.Pembuatan Cheese Analog Berbahan Dasar Susu Jagung Manis Dengan
Metode Pengasaman Langsung Menggunakan Ekstrak Buah Nanas. Laporan
Tugas Akhir. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Santi Noviasari, Feri Kusnandar1, Agus Setiyono, Slamet Budijanto. 2015.. Beras Analog Sebagai
Pangan Fungsional Dengan Indeks Glikemik Rendah (Rice Analogues As Functional Food With
Low Glycemic Index). J. Gizi Pangan, November 2015, 10(3): 225-232
Silvia, Kezia Katharina, Stefanny Agness Hartono, Vanessa Anastasia, Yunita Susanto.Pengumpulan
Data Base Sumber Antioksidan Alami Alternatif Berbasis Pangan Lokal Di
Indonesia.Department Of Nutrition And Food Technology, Surya University.Surya Octagon
Interdisciplinary Journal Of Technology, Maret 2016, 181- 198 Vol.1, No.2 ISSN : 2460-8777
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 261
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
262 | Teknologi Pertanian
KAJIAN BEBERAPA JENIS MIKROORGANISME LOKAL
PADA TANAMAN SELADA
ABSTRACT
Local microorganisms are liquidsthat are ekstarcted from various organic materials that contain bacteria and
nutriens for plant growth. The research aims to assess the respons of lettuce plants by administering Local
Microorganisms (MOL) and obtain the best types of MOL in lettuce plants. The research lasted for ± 3 months
(November 2019-February 2019) in the East Bulotalangi village, Bone Bolango regency Gorontalo Province. The
study was arranged in a Randomized Block Design 1 factor consisting of 4 treantments including control and
repeated 3 times. M0 without MOL (control), M1 : MOL Rice, M2 : MOL Papaya Fruit, M3 : MOL Mustard. The
research variables consisted of the number of leaves, harvest weight, consumption weight, root weight and root
volume. The results showed that the lettuce plant showed a positive response to the observed variables. MOL rice
provides the best results compared to MOL papaya and MOL mustard.
Keywords :Local Microorganisms, MOL Rice, MOL Papaya, MOL Mustard, Lettuce
ABSTRAK
Mikroorganisme Lokal adalah cairan yang diekstrak dari berbagai bahan organik yang mengandung
bakteri dan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman.Penelitian bertujuan untuk mengkaji respon tanaman
selada dengan pemberian Mikroorgansme Lokal (MOL) dan memperoleh jenis MOL yang terbaik pada
tanaman selada.Penelitian berlangsung selama ±3 bulan (November 2018-Februari 2019) di Desa
Bulotalangi Timur Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.Penelitian disusun dalam Rancangan
Acak Kelompok 1 Faktor yang terdiri atas 4 perlakuan termasuk kontrol dan diulang sebanyak 3 kali.M0 :
tanpa MOL (kontrol), M1 : MOL Nasi, M2 : MOL Buah Pepaya, dan M3 : MOL Sawi. Variabel
penelitian terdiri atas jumlah daun, bobot panen, bobot konsumsi, bobot akar dan volume akar.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanaman selada menunjukkan respon yang positif terhadap variable
yang diamati.MOL nasi memberikan hasil yang terbaik dibanding dengan MOL pepaya dan MOL Sawi.
Kata Kunci :Mikroorganisme Lokal, MOL Nasi, MOL Pepaya, MOL Sawi, Selada
PENDAHULUAN
Sayuran merupakan komoditi hortikultura penting untuk pemenuhan kebutuhan gizi
masyarakat. Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu komoditi sayuran yang memiliki
prospek dan komersil yang cukup baik. Kebutuhan selada semakin meningkat seiring dengan
berkembangnya industri makanan. Selada dapat dijadikan sebagai lalapan, campuran salad,
hamburger dan masakan lainnya. Selada mengandung kalsium 22 g, posfor 25 g, vitamin A 162 mg,
protein 1,2 g untuk setiap 10 gram selada. Selain itu mengandung vitamin, B, C, lemak dan
karbohidrat (Haryanto, 2007).Selada juga mengandung serat, provitamin A (Karotenoid) (Supriati
dan Herlina, 2014).
Budidaya tanaman selada di Indonesia khususnya di kota Gorontalo saat ini belum begitu meluas
dan masih sangat kurang dapat dilihat dari masih kurangnya petani yang membudidayakan
tanaman ini sehingga peredarannya di pasaran masih sulit ditemukan. Padahal apabila ditinjau
dari segi iklim, selada sesuai untuk ditanam di Gorontalo. Dilihat dari konsumsi selada yang
banyak dijadikan sebagai sayur lalapan atau dikonsumsi dalam keadaan mentah, maka dalam
pembudidayaan tanaman selada hendaknya menghindari penggunaan bahan kimia sintetik.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 263
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tanaman sayuran yang menggunakan bahan kimia akan terserap ke dalam jaringan tanaman
sehingga tidak aman untuk dikonsumsi secara langsung tanpa melalui pemanasan.
Sebagian besar petani dalam pembudidayaan tanaman sayuran menggunakan pestisida kimia
dan pupuk kimia menyebabkan ketergantungan petani terhadap input bahan kimia. Sehingga
berdampak pada menurunnya kesuburan tanah akibat menurunnya populasi mikroorganisme tanah
yang berperan dalam daur biogeokimia tanah, mengakibatkan pencemaran lingkungan dan
menimbulkan residu pada hasil tanaman.Oleh karena itu perlu pengembangan tanaman yang
menggunakan bahan organik dengan melibatkan mikroorganisme sebagai pengganti bahan
kimia.Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan mikroorganisme lokal.
Mikroorganisme lokal (MOL) adalah cairan hasil fermentasi dari substrat atau media tertentu
yang berada di sekitar kita (misalnya nasi, buah-buahan, telur, susu, keong, dan lain-lain). MOL
dapat juga diartikan mikroorganisme yang berasal dari substrat/bahan tertentu dan diperbanyak
dengan bahan alami yang mengandung karbohidrat (gula), protein, mineral, dan vitamin (Mursalim,
2018).Sumber mikroorganisme lokal dapat diperoleh dengan mudah karena memanfaatkan sisa-sisa
bahan organik yang telah membusuk seperti nasi basi, buah papaya busuk dan sayuran daun yang
tidak termanfaatkan.
Mikroorganisme local adalah (MOL) adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya
alam yang tersedia setempat. MOL mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga
mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan
dan sebagai agen pengendalian hama penyakit tanaman (Fitriani, et.al., 2015). Adanya
mikroorganisme di dalam tanah dapat menentukan tingkat kesuburan tanah dan memperbaiki
kondisi tanah (Mulyono, 2016).
Mikroorganisme Lokal berperan sebagai pengurai selulotik, dapat memperkuat tanaman dari
infeksi penyakit, dan berpotensi sebagai fungisisda hayati. Pemanfaatan pupuk cair MOL lebih
murah, ramah lingkungan dan menjaga keseimbangan alam. Perbedaan antara MOL dan pupuk
organik lainnya terutama yang dibuat oleh pabrik memiliki keunggulan, antara lain : bahan
pembuatan MOL mudah didapat dan ramah lingkungan, cara pembuatan MOL lebih mudah dan
ekonomis, masa produksi tanaman yang diberikan MOL lebih lama, buah yang dihasilkan lebih
banyak dan ukuran buah relatif lebih besar (Aliksa, 2011).
Menurut Panundju (2011), MOL juga dapat berfungsi sebagai tambahan nutrisi bagi tanaman,
yang dikembangkan dari mikroorganisme yang berada di tempat tersebut sehingga mampu
menambah sumber nutrisi bagi tanaman. Maspary (2012), mengatakan bahwa ada 3 sumber nutrisi
dalam pembuatan MOL, yaitu karbohidrat sebagai sumber energi untuk menyediakan karbohidrat
bagi mikroorganisme, glukosa sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dan sumber bakteri yaitu
bahan yang mengandung banyak bahan mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman.
Bahan mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman antara lain buah-buah busuk, sayur-
sayuran busuk, keong mas, nasi, rebung bambu, bonggol pisang, urin kelinci, pucuk daun labu, tape
singkong, dan buah maja. Biasanya dalam MOL terdapat jenis Mikroorganisme diantaranya Rizobium
sp., Azospirilium sp., Azotobacter sp.,Pseudomanas sp., Bacillus sp., dan bakteri pelarut phospat
(Maspary, 2012).
”Nasi basi dapat dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik cair dan terdapat jumlah Nitrogen
total pada pupuk organik cair nasi sebanyak 92 mg/L (92 ppm)” (Sriyundiyatiet.al., 2013). Menurut
Pratiwi et.al (2013), penambahan MOL nasi basi dapat meningkatkan suhu pada proses termofilik
diawal pembuatan kompos, menurunkan kadar C dan menaikkan kadar N sehingga dapat
menurunkan rasio C/N pada bahan pembuatan kompos.Jumlah Nitrogen Total dapat teramati pada
Pupuk organik cair yang berbahan dasar limbah sayur sawi mengandung karbon 0,83%, karbon
merupakan hara makro yang berperan sebagai sumber energi yang dibutuhkan tanaman.
Kandungan Nitrogen sebanyak 0,13.Limbah sayuran merupakan tempat yang disukai oleh
mikroorganisme sebagai media untuk hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna
dalam mempercepat penghancuran bahan-bahan organik (dekomposer) atau sebagai tambahan
nutrisi bagi tanaman (Sundari et.al, 2012). Larutan MOL limbah sayuran mengandung unsur hara
makro, mikro, dan mengandung mikroorganisme yang berpotensei sebagai perombak bahan
organik, perangsang pertumbuhan dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik
digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida organik. Kandungan MOL sayuran
setelah fermentasi 15 hari mengandung N (0,18), P (278,63 ppm), K (155,93 ppm), Ca (180,45 ppm),
Mg (1201,36 ppm), C-Organik (19,38%0 dan pH 4,52 (Handayani et al, 2015).
Pemanfaatan mikroorganisme lokal pada tanaman merupakan salah satu penerapan teknologi
dalam peningkatan kualitas dan kuantitas tanaman yang ramah lingkungan yang murah dan mudah
dilakukan.Larutan mikroorganisme lokal dapat dijadikan sebagai pupuk yang mudah dibuat karena
hanya difermentasi selama ± 2 minggu dan murah sehingga dapat menekan biaya pupuk dan
pestisida.
METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan adalah timbangan digital, blender, jerigen dan alat untuk penanaman.
Bahan terdiri atas benih selada varietas Grand Rapids, nasi basi, buah (pepaya), sayuran daun
(sawi),gula merah, air cucian beras, pupuk kandang sapi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri
dari 4 perlakuan yaitu M0 (kontrol), M1 (MOL Nasi), M2 (MOL Buah Pepaya) dan M3 (MOL sayuran
daun). Dilaksanakan pada bulan November 2018-Februari 2019 di kebun percontohan BPP Bulango
Timur Bone Bolango. Petakan berukuran 1 m x 1 m ditanam pada jarak ±25 cm x 25 cm.
Parameter pengamatan adalah jumlah daun, bobot segar panen, bobot segar konsumsi,bobot akar
dan volume akar. Data dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Anlysis of Varian).Data
yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan persamaan sesuai Hanafiah(2011), sebagai
berikut:
Yij= µ + λi + βj + Ƹij
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 265
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Daun
Jumlah daun selada dihitung selama 4 minggu pengamatan yaitu 14, 21, 28 dan 35 hari setelah
tanam.Rata-rata jumlah daun tanaman selada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
25,00
15,00
10,00
5,00
0,00
14 HST 21 HST 28 HST 35 HST
200
150
gram
100
50
0
M0 M1 M2 M3
Bobot Segar 78,17 176,5 133,25 156,33
Tabel 2 adalah hasil Uji Jarak Nyata Duncan 5% diperoleh nilai sebesar 0,059.Berdasarkan nilai
tersebut diperoleh hasil bahwa M0 berbeda nyata dengan M1 (MOL nasi) dan M3 (MOL Sayuran).M0
tidak berbeda nyata dengan M2 (MOL Buah).M1, M2 dan M3 memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata.Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada dasarnya ketiga jenis MOL (nasi, sayuran dan
buah) memberikan pengaruh terhadap bobot konsumsi selada yang dihasilkan.Namun MOL nasi
memberikan hasil tertinggi dibanding dengan kedua jenis MOL lainnya.Dilihat dari segi ekonomis,
ketiga jenis bahan yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan MOL (nasi basi, sayuran daun
dan buah busuk) dapat digunakan karena merupakan bahan yang tidak dimanfaatkan.Namun nasi
basi lebih mudah diperoleh sehari-hari.
Bobot Akar
Variabel Bobot akar selada diketahui setelah dipisahkan dari batangnya kemudian
ditimbang.Bobot akar menunjukkan jumlah dan ukuran akar yang terbentuk berdasarkan aplikasi
MOL pada tanah.Hasil pengamatan bobot akar selada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 3.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 267
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan M1 (MOL nasi basi) menghasilkan rata-rata bobot akar
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.M0 menghasilkan bobot akar terendah dari
semua perlakuan. Meskipun demikian bobot akar tidak menujukkan hasil yang berbeda nyata
berdasarkan Analisis Sidik Ragam.
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh terlihat bahwa pada dasarnya pemberian MOL
pada tanah dapat meningkatkan bobot akar.Hal ini dapat dilihat pada perlakuan yang tidak
diberikan MOL (control) menghasilkan bobot akar yang terendah.Pemberian MOL pada tanah dapat
meningkatkan kesuburan tanah sehingga akar lebih berkembang baik dari pertambahan jumlah,
panjang dan ukuran akar.Perkembangan akar yang optimal dapat mempengaruhi ukuran dan
jumlah hasil panen.
Kesuburan tanah merupakan kesanggupan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi
pertumbuhan tanaman.Kesuburan tanah dan faktor luar sekitar tanaman dapat menunjang
pertumbuhan tanaman secara optimal.Penyerapan hara dapat terjadi dengan perpanjangan akar
sehingga laju peningkatan hara dapat ditingkatkan (Jumin, 2012).
Volume Akar
Volume akar diamati dengan cara mencelupkan akar pada gelas ukur yang telah diberikan air.
Data diperoleh dengan menghitung volume air akhir dan volume air awal.Rata-rata hasil
pengamatan volume akar disajkan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan M1
(MOL) nasi basi menghasilkan volume akar terbesar dibanding perlakuan lainnya kemudian disusul
dengan perlakuan M3 (MOL sayuran daun).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian MOL dapat meningkatkan volume akar
tanaman dibandingkan dengan tanpa pemberian MOL.Meskipun demikian tidak ada perlakuan yang
berbeda nyata berdasarkan hasil Analisis Sidik Ragam. Volume akar merupakan gambaran jumlah
dan ukuran akar yang terbentuk akibat perlakuan pemberian MOL. MOL mengandung sejumlah
bakteri yang dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga meningkatkan ketersediaan hara pada
tanaman.Akar yang berkembang lebih baik merupakan indicator kesuburan tanah pada area
perakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Aliksa. 2011. Sri organik consultant. Jawa Barat :Kabupaten Tasikmalaya.
Fitriani,M.S., Evita dan Jasminarni, 2015. Uji Efektivitas Beberapa Mikroorganisme Lokal Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.).Jurnal Penelitian Universitas
Jambi Vol.17 No.2 Juli-Desember 2015 hal.67-74.
Handayani,S.H., Yunus,A dan Susilowati, 2015. Uji Kualitas Pupuk Organik Cair dari Berbagai
Macam Mikroorganisme Lokal (MOL).Jurnal El Vivo Vol.3 No.1 Hal.54-64.
Haryanto,E., 2007. Sawi dan Selada.Jakarta, Penebar Swadaya.
Herniawati.2016 “Karakteristik Mikroorganisme Lokal Sebagai Biodekomposer Pada Pengomposan
Bahan Organik”.Jurnal Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.
Jumin, Hasan., 2012. Dasar-dasar agronomi.Jakarta, Rajawali Press.
Maspary, 2011, Tricoderma Sp sebagai pupuk biologis dan biofungisi
dahttp://www.Gerbangpertanian .Com/2011/02/Tricoderma-Sp-Sebagai-Pupuk-Biologis.Html
Mulyono, 2016.membuat mikroorganisme lokal (mol) dan kompos dari sampah rumah
tangga.Jakarta :Agro Media Pustaka.
Mursalim,I., Mustami,K. dan Ali,A., 2018. Pengaruh Penggunaan Pupuk Organik Mikroorganisme
Lokal Media Nasi, Batang Pisang, dan Ikan Tongkol Terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi
(Brassica juncea L.).Jurnal Biotek Vol.6 No.1 Hal.32-42 Juni 2018.
Panudju, T. I. 2011. Pedoman teknis pengembangan rumahkompostahun anggaran 2011.Jakarta,
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian Kementrian Pertanian.
Pratiwi I Gusti, A. P., Atmaja, dan Soniari. Analisis Kualitas Kompos Limbah Persawahan Dengan
Mol Sebagai Dekomposer. E-Jurnal Agroteknologi Tropika. Vol. 2, No. 4, Oktober 2013
Supriati dan Herliana, 2014.15 sayuran organik dalam pot.Jakarta :Penebar Swadaya.
Sriyundiyati, N. P. Supriadi dan Siti Nuryanti, 2013.Pemanfaatan Nasi Basi Sebagai Pupuk Organik
Cair Dan Aplikasinya Untuk Pemupukan Tanaman Bunga Kertas Orange (Bougainvillea
Spectabilis).Jurnal Akademika Kimia Vol.2 No.4, 187-195.
Sundari E., Sari E., dan Rinaldo, R. 2012. Pembuatan Pupuk Organik cair menggunakan bioaktivator
Biosca dan EM.Skripsi Fakultas Teknologi Industri Universitas Bung Hatta. Palembang.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 269
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
270 | Teknologi Pertanian
PENGARUH LAPISAN LILIN LEBAH DENGAN PENAMBAHAN CMC
UNTUK MEMPERTAHANKAN KARAKTERISTIK CABAI RAWIT
SELAMA PENYIMPANAN
ABTRACT
Edible coating is an edible thin layer that serves to withstand the loss of moisture in the product, maintain the natural
pigment color of nutrition, as a preservative and maintain color so as to maintain product quality. Material
requirements used for coating are able to withstand the permeability of oxygen and water vapor, colorless, tasteless,
and more importantly do not cause changes in food properties. The research method used was completely randomized
design (CRD) with 3 treatments and 3 replications. The treatments of this study were R0 (control), R1 (CMC 5g),
R2 (CMC 10g), R3 (CMC 15g). The results showed the best treatment in the application of beeswax -based edible
coatings with the addition of different CMCs, namely in the treatment of R2 the concentration of CMC 10g. Where
the results of the analysis after 12 HSP on the parameters of weight loss are 6.67, color 45.30, brightness 41.30,
vitamin C levels 2.57, and damage 13.33. Application of edible coatings made from beeswax with the addition of
different CMC doses can maintain the physical quality of the chili. The use of edible beeswax coating with the
addition of different CMC doses significantly affects the weight loss, color, brightness, and vitamin c parameters. But
no significant effect on the level of damage to the chili.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsentrasi lilin lebah dan CMC pada pembuatan lapisan edible
coating yang akan diaplikasikan pada cabai rawit. Metode penelitian yang digunakan dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan dari penelitian ini adalah R0
(control), R1 (CMC 5g), R2 (CMC 10 g), R3 (CMC 15g). Hasil penelitian menunjukan perlakuan terbaik
dalam aplikasi edible coating berbahan dasar lilin lebah dengan penambahan CMC yang berbeda yaitu
pada perlakuan R2 konsentrasi CMC 10g. Dimana hasil analisis setelah 12 HSP pada parameter susut
bobot yaitu 6.67, warna 45.30, kecerahan 41.30, kadar vitamin C 2.57, dan kerusakan 13.33. Aplikasi edible
coating berbahan dasar lilin lebah dengan penambahan dosis CMC yang berbeda dapat mempertahankan
mutu fisik buah Cabai rawit. Penggunaan edible coating lilin lebah dengan penambahan dosis CMC yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap parameter susut bobot, warna, kecerahan, dan vitamin c. Namun
tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan Cabai rawit.
PENDAHULUAN
Cabai rawit adalah salah satu rempah yang banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia.
Produksi cabai rawit dalam kurun waktu 7 tahun terakhir ini terus naik. Data BPS dan Dirjen
Jendral Holtikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2017 produksi cabai rawit mencapai 1 juta
ton (BPS, 2017). Meningkatnya tingkat produksi dari cabai rawit ini memerlukan adanya penanganan
pasca panen terhadap Cabai rawit. Hal ini disebabkan karena cabai rawit memiliki umur simpan
yang relatf pendek, yaitu 2-3 hari setelah masa panen. Faktor yang menyebabkan pendeknya masa
simpan pada Cabai rawit adalah terjadinya kontak atau respirasi (Suyonto et al., 2016).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 271
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Umumnya buah-buahan mempunyai lapisan lilin secara alami yang dapat berfungsi untuk
mengendalikan proses transpirasi sehingga kerusakan seperti keriput dan layu tidak berlangsung
secara cepat. Namun, saat pemanenan dan pertambahan umur buah terjadi gesekan pada lapisan
alami tersebut sehingga terdegradasi dan menghilang. Untuk itu diperlukan pelapisan (coating)
untuk mencegah proses transpirasi yang cepat dan pembusukan yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Salah satu metode untuk memperpanjang masa simpan sayuran atau buah dan
tetap mempertahankan mutu produk adalah dengan menerapkan edible coating pada buah
tersebut.
Aplikasi edible coating yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
coating lilin lebah. Lilin lebah merupakan komponen lipid yang diperoleh dari ampas perasan madu
yang dimasak dan kemudian disaring sehingga diperoleh lilin. Keunggulan lilin lebah sebagai bahan
baku sebagai bahan baku edible coating adalah tergolong food grade, tersedia sepanjang tahun, relatif
murah dan mudah diperoleh (Santoso, 2014). Penelitian ini juga akan digunakan CMC (carboxy methy
cellulose) sebagai pengemulsi dan penstabil larutan edible coating. CMC merupakan derivate selulosa
yang sifatnya mengikat air dan sering digunakan sebagai pembentuk tekstur halus (Indriyani, 2006).
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi lilin lebah
dan CMC pada pembuatan lapisan edible coating yang akan diaplikasikan pada cabai rawit.
METODE PENELITIAN
Penelitian telah dilaksanakan pada Februari sampai April 2019 di Kelurahan Kayubulan
Kecamatan Limboto dan Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Gorontalo. Pendekatan
penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan
dari penelitian ini adalah:
R0 = sebagai kontrol
R1 = Carboxy methyl cellulose (CMC) 5gr
R2 = Carboxy methyl cellulose (CMC) 10gr
R3 = Carboxy methyl cellulose (CMC) 15gr
Prosedur Penelitian
Pembuatan Emulsi Lilin Lebah ( Christina et al, 2014)
Lilin lebah sebanyak 120 gr diletakkan pada panci A dan aquades sebanyak 840 mL dimasukkan
ke dalam panci B, keduanya dipanaskan hingga suhu mencapai 90-95oC (diukur menggunakan
thermometer) sambil keduanya terus diaduk. Setelah mencapai suhu 90-95oC, asam oleat sebanyak 20
mL dimasukkan ke dalam panci sedangkan trietanolamin 40 mL dimasukkan ke dalam panci B.
Setelah tercampur, didinginkan sampai suhu mencapai 65oC sambil terus diaduk. Campuran dari
panci B dimasukkan ke dalam panci A sambil terus diaduk sampai campuran semua bahan mencapai
suhu ruang, setelah itu dilakukan penyaringan emulsi lilin lebah 12% agar hasil yang didapatkan
lebih bersih.
Hasil yang diperoleh adalah 1 liter emulsi lilin lebah 12%. Pada penelitian ini dibuat emulsi lilin
dengan konsentrasi yang diinginkan, dilakukan pengenceran emulsi lilin 12% (larutan stock) dengan
aquades pada saat emulsi mencapai suhu ruang dengan cara dicampur langsung sambil terus
diaduk. Setelah itu, lilin lebah kemudian ditambahkan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebanyak 5gr,
10gr, dan 15gr. Setelah itu, didinginkam sampai suhu ruang.
Pelapisan dan Penyimpanan Cabai Rawit
Cabai Rawit setelah disortir untuk mendapatkan buah dengan ukuran seragam dan dibersihkan
dari kotoran-kotoran yang melekat pada kulit Cabai Rawit. Cabai Rawit dicelupkan ke dalam larutan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 273
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 1. Hasil Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-Rata Pengukuran Susut Bobot Cabai Rawit
Menunjukkan bahwa berbagai perlakuan berbeda nyata selama penyimpanan pada suhu rendah.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragammenunjukkan bahwa pelapisan Cabai Rawit dengan edible
coating lilin lebah dengan penambahan CMC memberikan pengaruh yang nyata pada hari ke-12
setelah perlakuan, dimana perlakuan R2 yang memiliki nilai susut bobot yang rendah. Hal ini
diduga pelapisan edible coating lilin lebah dengan penambahan CMC yang berbeda dan disimpan
pada suhu rendah dapat menekan terjadinya susut bobot pada Cabai Rawit.
Pengukuran Warna
Warna adalah parameter mutu yang pertama dilihat konsumen dalam memilih buah karena
dapat dilihat secara langsung dan visual. Pengukuran warna pada Cabai Rawit dilakukan pada hari
ke-0, ke-6, dan ke-12. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji BNJ taraf 5% (tabel 2) memperlihatkan
bahwa pengukuran warna pada buah Cabai Rawit berbeda nyata pada setiap perlakuan. Berdasarkan
hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pelapisan Cabai Rawit dengan edible coating lilin
lebah dengan penambahan dosis CMC yang berbeda memberikan pengaruh nyata pada hari ke-12
setelah perlakuan.
Tabel 2. Hasil Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-Rata Pengukuran Warna
Hal ini diduga karena perlakuan edible coating berbahan dasar lilin lebah dengan penambahan
dosis CMC yang berbeda mampu menghambat proses pematangan lebih besar, dimana laju
respirasai dan transpirasi dihambat. Adapun perlakuan R2 memilki nilai terendah yaitu 45,30,
disebabkan beberapa faktor, seperti pada saat menganalisis sampel titik letak pengukuran warna
berada pada bagian buah yang memiliki warna gelap sehingga mengakibatkan nilai warna menjadi
turun.
Tingkat Kecerahan (L)
Nilai L merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan buah. Tabel 2 menunjukkan bahwa
berbagai perlakuan berbeda nyata untuk tingkat kecerahan selama penyimpanan. Berdasarkan hasil
analisis sidik ragam (lampiran 3) menunjukkan bahwa pelapisan edible coating lilin lebah pada Cabai
Rawit yang di simpan pada suhu rendah dan dosis CMC yang berbeda memberikan pengaruh sangat
nyata pada hari ke-6 dan ke-12 setelah perlakuan.
Nilai L* semakin menurun atau meningkat berarti kecerahan warna buah semakin gelap atau
semakin terang selam penyimpanan. Dari hasil penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 7, bahwa
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sofie (2015) bahwa CMC memiliki warna yang cerah sehingga
dengan menambahkan CMC dapat meningkatkan tingkat kecerahan buah. Namun pada hari ke-12
mengalami penurunan nilai L, karena semakin lama penyimpanan maka nilai kecerahan akan
semakin turun. Hal ini sesuai dengan penelitian Usman (2014) yang menyatakan bahwa nilai
kecerahan yang semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan sesuai dengan warna fisik
buah yang awalnya cerah semakin lama semakin gelap.
Kadar Vitamin C
Vitamin C adalah komponen gizi yang penting untuk buah termasuk Cabai Rawit. Hasil uji lanjut
dengan uji BNJ taraf 1% pada Tabel 4, menunjukkan bahwa berbagai perlakuan berbeda nyata untuk
kadar vitamin C selama penyimpanan pada suhu rendah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
memperlihatkan bahwa pelapisan Cabai Rawit dengan edible coating lilin lebah dengan penambahan
dosis CMC yang disimpan pada suhu rendah memberikan pengaruh nyata pada hari ke-6 setelah
perlakuan. Hal ini diduga penggunaan edible coating lilin lebah dengan penambahan CMC yang
berbeda dapat menarik partikel-partikel koloid yang lebih banyak pada buah sehingga dapat
menekan terjadi kerusakan pada vitamin C. Hal ini sejalan dengan penelitian Feri (2006) yang
menyatakan bahwa dengan adanya penarikan partikel koloid yang banyak, maka kemungkinan
oksigen bebas yang akan menyebabkan reaksi oksidasi pada buah rendah sehingga rusaknya vitamin
C akibat reaksi oksidasi dapat ditekan. Pada hari ke-12 pelapisan Cabai Rawit dengan edible coating
lilin lebah dengan penambahan CMC yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata hal ini
diduga disebabkan karena pada hari ke-12 seluruh buah telah mengalami proses kematangan,
sehingga menyebabkan kadar vitamin C pada hari ke-6 dan ke-12 tidak memberikan pengaruh yang
nyatra.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kadar Vitamin C Selama Penyimpanan
dengan Berbagai Dosis Perlakauan CMC
Kerusakan
Indikator kerusakan Cabai Rawit pada penelitian ini berdasarkan pengamatan visual yaitu
terdapat tekstur yang sudah lunak, tangkai buah sudah layu bahkan kering dan terjadi kebusukan
dalam wadah keranjang plastik. Pengamatan kerusakan dilakukan setiap 6 hari sekali. Pada setiap
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 275
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
perlakuan (hari ke 0) kerusakan Cabai Rawit bernilai 0 karena Cabai Rawit belum mengalami
kerusakan.
Tabel. 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-Rata Kerusakan
Hasil analisis pada tabel 5 menunjukkan disetiap perlakuan berbeda nyata untuk kerusakan
selama penyimpanan rendah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (lampiran 5) memperlihatkan
bahwa lapisan edible coating lilin lebah dengan penambahan CMC tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat kerusakan. Hal ini diduga karena lapisan edible coating dengan penambahan CMC yang
berbeda tidak dapat menghambat tumbuhnya cendawan pada cabai rawit.
KESIMPULAN
Perlakuan terbaik dalam aplikasi edible coating berbahan dasar lilin lebah dengan penambahan
CMC yang berbeda yaitu pada perlakuan R2 konsentrasi CMC 10g. Dimana hasil analisis setelah 12
HSP pada parameter susut bobot yaitu 6.67, warna 45.30, kecerahan 41.30, kadar vitamin C 2.57, dan
kerusakan 13.33.
Aplikasi edible coating berbahan dasar lilin lebah dengan penambahan dosis CMC yang berbeda
dapat mempertahankan mutu fisik buah Cabai Rawit. Penggunaan edible coating lilin lebah dengan
penambahan dosis CMC yang berbeda berpengaruh nyata terhadap parameter susut bobot, warna,
kecerahan, dan vitamin c. Namun tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan Cabai Rawit.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2017. Produksi Cabai Merah dan Cabai Rawit 2017. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
Christina Dhyan S, Sumardi Hadi Sumarlan, Bambang Susilo, 2014. Pengaruh Pelapiasan Lilin Lebah
dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kualitas Buah Jambu Biji (Psidium guajavva L.). Jurnal
Keteknikan Pertanian- Fakultas Teknologi Pertanian- Universitas Brawijaya. Vol 4. Hal. 22-31.
Feri Manoi, 2006. Pengaruh Konsentrasi Karbosil Metil Selulosa (CMC) Terhadap Mutu Sirup Jambu
Mete (Anacardium occidentale L). Jurnal Agroecular. Vol. 9 No.2 Hal 11-22.
Hary Susanto. 2018. Pengaruh Lapisan Lidah Buaya (Aloe vera L) dengan penambahan CMC
(Carboxyl Methyl Cellulose) yang berbeda terhadap daya simpan buah tomat [skripsi]. Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo.
Hidayah. 2013. Pengaruh Perbandingan Sari Biji Nangka Dengan Sari Buah Naga Merah Dan
Perbandingan Zat Penstabil Terhadap Mutu Yoghurt Buah Naga. J. Rekayasa Pangan dan
Pertanian. 2 (4) : 9-19.
Indriyani, L. Indrarti, & E. Rahimi. 2006. Pengaruh Carboxyl Methyl Cellulose (CMC) dan Gliserol
Terhadap Sifat Mekanik Lapisan Tipis Komposit Bakterial Selulosa. JurnalSains Materi
Indonesia. Vol. 2. Hal. 12-25.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 277
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
278 | Teknologi Pertanian
TEKNOLOGI SILASE SOLUSI RAWAN PAKAN SAPI
MUSIM KERING
Paulus C. Paat
ABSTRAK
Pakan masih merupakan factor pembatas utama peningkatan produksi peternakan sapi rakyat yang
mendominasi sekitar 95% kepemilikan sapi di Indonesia. Pada musim kemarau jumlah produksi dan
mutu hijauan pakan mengalami penurunan yang berdampak pula pada produksi ternak sapi. Sebaliknya
pada musim penghujan, tanaman pakan produktivitasnya melebihi kebutuhan ternak. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut maka salah satu inovasi yang dapat diterapkan adalah pembuatan silase, sebuah
produk pakan awetan segar dengan metode fermentasi anaerob. Prinsip pembuatan silase adalah
pertama, menciptakan kondisi anaerobic dalam lingkungan silo dan kedua, menghambat aktivitas
bakteri Clostridia yang bekerja merombak karbohidrat terlarut menjadi asam butirat dan asam amino
menjadi amoniak. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas silase adalah; (1) jenis hijauan pakan, (2)
kandungan karbohidrat terlarut, (3) kandungan bahan kering, (4) kapasitas buffer dari hijauan, (5) jenis
mikroba dalam proses fermentasi, (6) ukuran partikel hijauan, dan (7) kondisi anaerobik lingkung silo.
Umur pemotongan hijauan pakan ternak sebaiknya dilakukan pada periode akhir vegetative atau
menjelang berbunga untuk menjamin pertumbuhan kembali yang optimal dan kandungan nutrisi yang
tinggi. Beberapa keunggulan teknologi silase adalah dapat dibuat dari berbagai jenis hijauan, tidak
tergantung cuaca, dapat menghindari pencucian nutrisi pakan, produk awetannya tetap segar, umur
panen dapat diatur pada fase dimana kandungan nutrisi tertinggi, dan dapat terhindar dari bahaya
kebakaran tanaman pakan.
ABSTRACT
Feed is still the main limiting factor in increasing production of smallholder cattle farms that dominate around 95%
of cattle ownership in Indonesia. In the dry season the amount of production and quality of forage has decreased
which also affects cattle production. Conversely in the rainy season, forages productivity exceeds livestock needs. In
connection with these problems, one of the innovations that can be applied is silage, a fresh preserved feed product
with anaerobic fermentation method. The principle of silage making is firstly, creating anaerobic conditions in the silo
environment and secondly, inhibiting the activity of the Clostridia bacteria which ferment carbohydrates into butyric
acid and amino acids into ammonia. The factors that influence the quality of silage are; (1) forage type, (2) ready
available carbohydrate content, (3) dry matter content, (4) buffer capacity of forage, (5) microbial type in the
fermentation process, (6) forage particle size, and (7) anaerobic environment of silo. The age of forage cutting should
be done in the late vegetative period or before flowering to ensure optimal regrowth and high nutrient content. Some
of the advantages of silage technology are that it can be made from various types of forage, oksigen containt of silo, can
avoid leaching of nutrient, preserved products still fresh, harvest age can be set at the phase where the highest
nutrient content, and can avoid the danger of forage fire.
PENDAHULUAN
Jumlah populasi sapi di Indonesia tahun 2018 adalah 16,8 juta ekor dengan pertumbuhan sebesar
3,8% per tahun (Kementan RI, 2018). Peternakan sapi potong di Indonesia belum mampu menutupi
kebutuhan permintaan daging dalam negeri sehingga harus terus berupaya meningkatkan
produksinya.
Pakan masih merupakan factor pembatas utama peningkatan produksi peternakan sapi rakyat
yang mendominasi sekitar 95% kepemilikan sapi di Indonesia (Nulic, 2013, Rachman, 2013, Paat,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 279
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
2016). Dalam memenuhi kebutuhan pakan, petani selalu berhadapan dengan masalah ketersediaan
hijauan pakan yang sangat berfluktuasi sebagai dampak perubahan iklim tropis yaitu musim
kemarau dan musim hujan.
Pada musim kemarau tanaman hijauan pakan mengalami kesulitan pertumbuhan antara lain
karena kesulitan air dan suhu udara yang tinggi. Pada saat itulah jumlah produksi dan mutu hijauan
pakan mengalami penurunan yang berdampak pula pada produksi ternak ruminansia termasuk sapi.
Sebaliknya pada musim penghujan, tanaman hijauan pakan tumbuh dengan baik sehingga
produktivitasnya mengalami peningkatan bahkan melebihi kebutuhan ternak.
Berkaitan dengan problema pakan ternak sapi di atas maka perlu menerapkan inovasi
pengawetan hijauan pakan, artinya menyiapkan cadangan hijauan pakan yang
dilakukan pada saat pasokan berlimpah pada musim hujan untuk kebutuhan pada saat krisis
pakan dalam kualitas yang baik (Paat, 1999). Salah satu inovasi pengawetan yang umum dilakukan
adalah pembuatan silase. Silase adalah produk pakan awetan segar yang diawetkan dengan metode
fermentasi anaerob (Van Soest, 1994). Silase juga adalah makanan ternak yang diawetkan dengan
teknologi fermentasi untuk mengatasi kesulitan pakan di musimm kemarau (LIPI, 2019).
Pada proses silase output pakan yang diharapkan adalah hijauan pakan awetan dalam keadaan
mendekati segar dan stabil pada kondisi nutrisi optimal. Dalam hal ini setidak-tidaknya masalah
kehilangan nutrient akibat dekomposisi pada proses pengawetan diminimalkan. Apabila suatu
hijauan pakan yang akan diawetkan sengaja dipanen pada fase critical point, yaitu suatu fase di
mana tanaman berada pada stadium menghasilkan produksi bahan kering dan nutrisi yang optimal
maka kondisi tersebut diupayakan tetap dipertahankan pada proses silase (Van Soest, 1994).
Makalah reviu ini bertujuan memaparkan beberapa inovasi pengawetan hijauan pakan melalui
metode silase, baik yang berasal dari tanaman hijauan pakan maupun limbah pertanian segar untuk
mengantisipasi kekurangan pasokan pakan di musim kemarau. Dipaparkan juga prinsip-prinsip
silase, factor-faktor pengaruh kualitas silase, beberapa jenis produk silase hijauan pakan, dan
tantangan peluang strategi pengembangan inovasi silase.
Pada proses silase hijauan segar tanpa perlakuan sumber karbohidrat, dilaporkan kehilangan
bahan kering dan nitrogen berkisar 20% (Mc Donald, 1981). Penurunan bahan kering ersebut
disebabkan karena adanya aktivitas enzim oleh sel tanaman dan fermentasi aerobic yang sebagian
tidak terhindarkan (unavoidable). Penurunan juga disebabkan kurang cepatnya pertumbuhan bakteri
asam laktat yang menhghasilkan asam laktat, padahal asam organic ini berperan dominan dalam
mempercepat tercapainya pH rendah.
Suatu hasil penelitian melaporkan bahwa asam laktat juga, oleh karena sifat antagonismenya
dapat menekan aktivitas dan pertumbuhan bakteri Clostridium yang bersifat proteolisis (Bockle et
al., 1985 dan Dessroiser, 1988). Akan tetapi jika kadar bahan kering hijauan pakan memenuhi syarat
(30-40% )maka kandungan karbohidrat terlarut menjadi tidak penting karena biasanya akan
menghasilkan silase yang baik (Hartadi, 1992).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 281
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Faktor ukuran partikel pakan yang diawetkan untuk silase terkait dengan mudahnya bakteri
asam laktat mendapatkan nutrisi karbohidrat terlarut. Kemudahan itu mempercepat terciptanya
kondisi pH kritis untuk berlangsungnya pengewetan. Semakin kecil ukuran partikelhijauan pakan
maka semakin cepat suplai karbohidrat terlarut, sebaliknya semakin besar ukuran partikel maka
semakin lambat suplai karbohidrat terlarut. Oleh karena itu dalam praktek umumnya hijauan pakan
untuk silase dicacah terlebih dahulu menggunakan grass chopper (mesin pencacah rumput.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam menetukan kualitas silase adalah kapasitas buffer hijauan
pakan. Kapasitas buffer adalah jumlah mol basa kuat yang dibutuhkan untuk mengubah derajat
keasaman (pH) 1 liter larutan sebesar 1 pH satuan (Paat, 1999). Telah diteliti bahwa hijauan pakan
jenis-jenis leguminosa biasanya memiliki kapasitas buffer yang lebih tinggi daripada jenis rumput
(Mc Donald, 1981). Dengan demikian jika hijauan pakan yang diawetkan mengandung daun legume,
tidak saja bertujuan meningkatkan kandungan protein kasar pakan tetapi juga meningkatkan
kualitas silase itu sendiri.
Menyangkut jenis mikroba dalam proses silase, terdapat terutama tiga kelompok mikroba yang
berperan dalam proses silase yakni bakteri selulolitik aerobic, bakteri selulolitik fakultatif anaerobic,
dan bakteri asam laktat anaerobic (Paat, 1999). Kelompok bakteri selulolitik aerobic beraktivitas di
awal proses silase di mana iklim silo masih terdapat oksigen terperangkap (trap oxygen). Kondisi ini
berlangsung selama beberapa hari awal proses tergantung ketarsediannya. Semakin tipis oksigen
terperangkap ini maka semakin singkat aktivitas bakteri selulolitik aerobic (Basri, 1999.
Kelompok bakteri fakultatif selulolitik anaerobic beraktivitas setelah fase awal (bakteri selulolitik
aerobic beraktivitas) berakhir di mana iklim silo hampir tidak terdapat lagi persediaan oksigen
terperangkap (Soewarso, 1999). Aktifitas fermentasi kelompok bakteri asam laktat akan mulai bekerja
ketika kondisi anaerob lingkungan silo tercapai (Paat, 1999).
Kelompok bakteri asam laktat akan beraktivitas terus dan setelah lingkungan silo mencapai pH
kritis (pH 4) maka aktifitas fermentasi bakteri ini akan berakhir. Terhentinya aktivitas kelompok
bakteri asam laktat sebagai mikroba terakhir yang tahan kondisi asam adalah menandai dimulainya
ndisi tanpa kehidupan, maka pengawetan hijauan pakan sudah dimulai. Jika tidak ada oksigen yang
menyusup ke dalam silo selapa penyimpanan maka pakan akan awet dalam waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu pembuatan silase dengan perlakuan penambahan bakteri asam laktat terbukti
meningkatkan kualitas silase hijauan pakan (Paat, 1999).
Gambar 1. Hubungan antara hasil bahan kering dan dayacerna dan fase fisiologis
tanaman pakan (Van Soest, 1994).
Tanaman rumput yang samapun terkadang berbeda umur optimumnya pada musim yang
berbeda. Rumput gajah dwarf (Pennisetum cv. Mott) dilaporkan pada musim hujan akan berbunga
pada umur 45 hari setelah devoliasi (pemangkasan) dan pada musim kemarau berbuynga pada 50
hari (Paat dkk, 2012; Taulu dkk, 2012).
Rumput benggala (Panicum- maximum) pada musim hujan akan berbunga pada umur 30 hari
setelah devoliasi (pemangkasan) dan pada musim kemarau berbuynga pada 40 hari (Paat dkk, 2012).
Tabel 1 menyajikan interval panen beberapa tanaman pakan ternak jenis rumput.
Tabel 1. Interval panen beberapa tanaman pakan ternak dan hasil bahan kering (t/ha/tahun)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 283
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
APLIKASI INOVASI SILASE
Memang silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara yang
mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput segar untuk diberikan
ternak. Namun sesungguhnya di wilayah tropis seperti di Indonesia tingkat kemanfaatnya tidak
kalah penting, misalnya pada musim kemarau. Banyak daerah-daerah yang sangat kekurangan
pakan pada musim kemarau sehingga performans ternaknya menurun drastic. Di sisi lain pada
musim hujan terjadi over produksi hijauan pakan sehigga berpeluang untuk melakukan panen
serentak untuk diproses silase dalam rangka cadangan pakan musim kemarau.
Inovasi yang sangat sederhana dalam aplikasi silase adalah dengan mengepak hijauan pakan
yang sudah menjadi partikel kecil setelah di cacah dalam kantong plastic hampa udara. Selain itu
dapat juga menggunakan tong atau kotak hampa udara. Bahkan dalam sekala besar dibuatkan silo
berbentuk tower dengan vasilitas otomatis untuk memenuhi kebutuhan pakan dalam waktu cukup
lama (Van Soest, 1994 dan Santosa, 2010). Dengan prinsip hampa udara ini (Santoso, 2010) maka silo
juga dapat terbuat dari lobang tanah berbentuk silender atau kotak (pit silo).
Silase yang asli hanya terdiri dari hijauan pakan segar yang sudah dihancurkan sedemikian rupa
agar ukuran partikelnya jauh lebih kecil dari aslinya, lalu diproses silase. Pada sekitar minggu ke tiga
maka pengawetan sudah berjalan dengan asumsi kadar air hijauan sudah berkurang sekitar 20-30%
dari kadar air bahan segar, dinding silo kedap usara dan kedap air, pengisian silo culup padat agar
udara yang terperangkap seminim mungkin.
Bebera inovasi praktis untuk mempercepat terjadinya pengawetan adalah dengan menambahkan
bahan pakan sumber karbohidrat terlarut seperti dedak padi, tepung jagung, tepung gaplek dan lain-
lain. Hal ini agar kondisi asam dalam lingkungan silo lebih cepat tercapai karena produksi asam
laktat lebih cepat. Penambahan daun leguminosa yang secara alami memiliki kapasitas buffer yang
tinggi juga dapat dimanfaatkan sebagai suplemen. Di wilayah-wilayah yang terdapat produksi
molasses maka bahan ini praktis digunakan sebagai suplemen pembuatan silase tanaman pakan.
Bahkan di suatu tempat di mana sudah tersedia secara komersil stater bakteri asam laktat, mikroba
yang ditambahkan biasanya bakteri penghasil asam laktat. Secara komersil lapangan dikenal
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri, Pediocococcus
acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun (NUSIO, 2005).
Selain terbuat dari tanaman pakan maka limbah pertanian seperti jerami jagung juga merupakan
bahan yang potensil di untuk silase di Indonesia. Bahkan untuk seluruh bagian tanaman jagung,
termasuk buah mudanya atau buah yang hampir matang atau limbah yang berupa tanaman jagung
setelah buah dipanen dan kulit jagung dapat diproses menjadi silase.
Bagian tanaman jagung yang tersisa dari panen jagung umumnya masih berkadar air tinggi.
Syarat untuk pembuatan silase adalah berkadar air sekitar 60%. Untuk itu tanaman jagung yang
segar harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari. Limbah dipotong menjadi potongan-potongan dengan
ukuran partikel kecil (3-5 cm) lalu dimasukkan sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam
kantong-kantong plastik kedap udara atau dalam silo-silo yang berbentuk bunker (NUSIO, 2005).
Dalam kondisi seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka
karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Jika bahan
silase tidak ada buahnya maka biasanya menambahkan sumber karbohidrat lain seperti dedak padi.
Atau, jika bahan yang dibuat silase hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka dapat ditambahkan
molases sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau
campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 285
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
PELUANG PENGEMBANGAN INOVASI SILASE DI INDONESIA
Silase dapat diaplikasikan pada semua hijauan pakan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang
berlimpah termasuk berbagai hijauan pakan yang tumbuh dengan subur di musim hujan, bahkan
beberapa dari itu tahan di musim kemarau.silase juga dapat dibuat dari campuran beberapa jenis
hijauan bauk antar jenis rumput, antar jenis jegum, ataupun campuran rumput dan legume. Legume,
bahkan memiliki kapasitas buffer yang tinggi sehingga menjadi salah satu bahanyang dapat
meningkatkan mutu silase. Limbah pertanian yang masih hijaupun dapat diawetkan dengah
inovasi silase termasuk jerami jagung yang dipanen masih hijau seperti jagung manis, atau
brangkasan yang dipanen lebih dulu daripada tongkolnya, jerami kacang tanah, dan lain-lain.
Pembuatan dan pemanfaatan silase tidak tergantung cuaca. Waktu yang paling baik untuk
membuat silase adalah pada musim hujan di saat terjadi kelimpahan produksi hijauan pakan. Akan
tetapi dimusim kemaraupun tidak masalah membuat silase jika musim panennya jatuh pada musim
kemarau. Penggunaan silase sebagai pakan juga tidak mengenal musim, biasanya sebagai cadangan
pakan di masa paceklik pada musim kemarau tetapi dapat juga menjadi cadangan pakan pada
musim hujan. Untuk sapi-sapi yang sudah dikandangkan dapat melakukan panen hijuan pakan
secara serentak pada umur optimum (produksi bahan kering dan nilai nutrisi tertinggi) dan dibuat
silase. Hal ini membuat system pemberian pakan menjadi sangat mudah dan efisien, selain itu ternak
mendapatkan pakan dengan jumlah dan mutu yang stabil.
Mengurangi terjadinya pencucian (bleaching) nutrisi pakan. Bleaching selalu terjadi pada bahan
pakan yang berada di ruang terbuka apakan di ladang atau di gudang atau ditempat penyimpanan
terbuka. Bleaching dapat terjadi oleh karena factor mekanik misalnya adanya gesekan dengan benda
lain, factor alami misalnya terjangan angin atau terjangan air hujan atau air banjir yang
melewatinya. Bleaching juga terjadi karena factor biologis seperti terjadi fermentasi karena kondisi
lembab, gangguan binatang hama serangga atau hama pengerat, atau hewan yang menggesek-gesek
menyebabkan terjadi pencuciann atau penguraian untuk terjadinya penyusutan unsur-unsur gizi
pada bahan pakan hijauan. Pada proses silase penyusutan gisi tetap terjadi hanya pada awal proses
ketika kondisi lingkungan silo belum bersifat anaerobic yang berlangsung sekitar selama 3 minggu
awal.
Silase dihasilkan dalam bentuk segar. Produk silase tetap merupakan pakan hijauan yang sama
dengan keadaan segar. Kondisi ini membuat pemberian kepada ternak sapi lebih mudah terutama
sapi sapi yang memang terbiasa mengkonsumsi pakan hijauan segar. Bahkan hijauan untuk silase
dapat dipanen pada saat yang tepat mutu dan jumlah atau pada fase hidup hijauan yang edang
berada pada periode kabdungan gizi yang tinggi. Sebagai contohnuntuk rumput gajah atau rumput
raja dapat dipanen perdana serentak pada umur sekitar 70 hari setelah tanam, kemudian interval
panen berikut-berikutnya adalah pada 45 hari setelah panen.
Pembuatan silase dapat mencegah kebakarannkebun rumput. Hijauan yang dibiarkan menua
atau mongering di ladang terbuka dapat menimbulkan bahaya kebakaran. Dengan dipanen serentak
untuk pembuatan silase secara serentak sebelum berumur tua atau sebelum mongering maka dapat
terhindar dari kebakaran. Jerami jagung sering dijadikanhijauan pakan dalam bentuk standing hay
atau tetap berdiri di lahan sekalipaun sudah dipanen tongkolnya. Salah satu kelemahan standing hay
adalah bahaya kebakaran karena kadar airnya sudah lebih kecil dari 20%, berbeda dengan hijauan
segar yang masih sangat tinggi kadar airnya masih sekitar 80%.
PENUTUP
Inovasi silase hijauan pakan berguna untuk diterapkan demi mengatasi kerawanan hijuan
pakan ternak sapi dan ruminansia lainnya pada muusim kemarau. Faktor-faktor yang
DAFTAR PUSTAKA
Alla A., G.J. Blair, W.W,. Stur. 1991. Effect of age os forage tree legumes at the firt cutting on
subsequent production. Tr opical grassland 25. Indonesia.
Aminudin, S. 1990. Beberapa jenis dan metode pengawetan hijauan pakan ternak tropic. Depdukbud
Undsoed Purwokerto.
Carr, J.G., C.V. Cutting and G.C. Withing. 1975. Lactic Asid Bacteria nin Baverage and Fppd.
Academin Press London,
Bannerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford and IBH Publishing Co. New Dehli.
Basri, M. 1999. Inokulasi bakteri selulolitik aerobic pada proses silase rumput raja. Thesis. Program
Pasca Sarjana Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Crowder, L.V. and H.R, Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman Group Limited .
London and New York.
Djuned H., Mansyur, dan H.B. Wijayanti. 2005. Pengaruh umur pemotongan terhadap kandungan
fraksi serat hijauan murbei , Seminar Nasional teknologi Pakan dan Veteriner.
Forbes, J.M., J.K. Rees and T.G. Boas. 1967. Silase as e feed for pregnant ewes. J. Of Anim. Prod, 9:339
Hartadi, H., Soedomo, R, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah
Mada Univ. Press.
Hartadi, H. 1992. Fermentasi silase sorgum biji dan kedelai yang ditumpangsarukan. Buletin
Peternakan, Vol. 16, 1992. Fakultas Peternakian UGM. Yogyakarta.
Health, M.E, D.S. Metcalee and RS. Barnes. 1973. Forages. and RS. Barnes. 1973. Forages. 3rd Edition.
The Iowa State Univ. Press, Iowa.
Horn, P.M., D.W. Catchpoole. End A. Ella. 1985. Cuttig management of tree and shrubs legumes.
Forage in South and East Asian and South pacific Agricultura.
Kementan RI. 2018. Statistik Peternaan Indonesia. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
LIPI. 2019. Teknologi Pembuatan Silase. Pusat Penelitian Bioteknologi Bidang Pengelolaan Diseminasi
dan Hasil Penelitian LIPI. www.biotek,lipi.go.id
McDonald, P. 1981. Biochemestry of Silage. Jhon Wiley and Sons, New York.
Nulik,J. 2015. Kinerja hasil pendampingan PSDSK di NTT tahun 2014. Makalah pada: Workshop
Pendampingan Kawasan Sapi Potong, BBP2TP Bogor.
Paat. P.C. 2016. Limbah pertanian padi dan jagung untuk pakan sapi. Cetakan I. Penerbit IAARD.
Bogor. 120p.
Paat P.C., D. Polakitan, A.A. Kairupan, Mardiana, W.J. Rembang, dan R.R. Ivada, 2019. Laporan
Tengan Tahun Model Pertanian Bioindistri Integrasi jagung-Sapi. BPTP Sulut.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 287
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Paat P.C. 2019. Inovasi Silase Jerami Jagung Untuk Pakan Sapi. Makalah pada Pendampingan Inovasi
Peternaian Sapi di Bolmong Utara oleh Bank Ind0nesia di Manado.
Paat, P.C. 1999. Inokulasi bakteri asam laktat pada proses silasi rumput raja. Thesis. Program Pasca
Sarjana Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Paat, P.C. dan L.A. Taulu. 2012. Introduksi tanaman npakan unggul Pennisetum purpureum cv Mott
di sentra produksi sapi potong di Sulawesi Utara. Pros. Semnas Teknologi Peternkian. Mataram,
11 Desenber 2012. Puslit Bioteknologi LIPI dan Kemenristek RI. p:284-392
Prawiradiputra, R.B., Sajimin, N.D. Purwantari, dan I. Herdiawan. 2006. Hijauan Pakan Ternak di
Indonesia. Balitbangtan, Departemen Pertanian. 163p.
Rachman, R. 2013. Laporan Perkembangan Pendampingan PSDSK di Sulsel tahun 2013. Makalah pada:
Rakor Pendampingan PSDSK Sulut 2013. Rakor PSDSK di Jambi, Puslitbangnak Bogor.
Sajimin dan N.D. Purwantari. 2006. Produksi beberapa jenis hijauan leguminosa pohon untuk pakan
ternak. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Santoso, U. 2010. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional. Penerbit Penebar Swadaya.
Depok-Jawa Barat. 179p.
Siregar, S. 1994. Ransum ternak ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soeharto, P. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPEF Yogyakarta.
Soewarso, J. 1999. Inokulasi bakteri asam selulolitik dakultatif anaerobic pada proses silasi rumpur
raja. Thesis. Program Pasca Sarjana Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Taulu, L.A. dan P.C. Paat. 2012. Kajian organism pengganggu tanaman pada tanaman pakan unggul
Pennisetum purpureum cv Mott yang diintroduksikan di perkebunan kelapa Sulawesi Utara.
Pros. Semnas Teknologi Peternkian. Mataram, 11 Desenber 2012. Puslit Bioteknologi LIPI dan
Kemenristek RI. p:376-383
Van Soest, P.J. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant, Edisi II. Cornell University Press. Ithaca and
London. P 476.
Williamson, G. and W.J. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropik. Ed. 3. Gadjah Mada
Univ. Press, Yogyakarta.
ABSTRACT
The assessment was carried out from January 2017 to December 2017. Processing into instant corn rice, consumers
are expected to be more interested in consuming corn because it is easily obtained and fast in its presentation. Besides
that, in the form of Instant rice, storage is easier and more durable than in the form of seeds. Of the five varieties
studied, namely “Bisma, Sukmaraga, Srikandi Kuning, Provit A and Manado Kuning”, the highest yield of instant
corn rice was “Manado Kuning” at 80.78%. However, the highest protein content was Srikandi Kuning (9.95%),
followed by “Manado Kuning” (7.90%), Provit A (7.10%), Bisma (6.6%) and “Sukmaraga” (6.1%). The
carbohydrate composition of the five varieties ranged from 72.70 - 75.50%. Until the storage of eman month of
instant rice, maize had not experienced a significant increase in water content and there were no Sitophilus Zeamais
pests.
ABSTRAK
Berdasarkan urutan bahan makanan pokok di dunia, jagung menduduki urutan ke tiga setelah gandum
dan padi. Permintaan jagung terus mengalami peningkatan berbanding lurus dengan pertumbuhan
penduduk, sebagai dampak dari peningkatan kebutuhan pangan, konsumsi protein hewani dan energi.
Pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari 2017 sampai dengan Desember 2017. Pengolahan menjadi
beras jagung instan, diharapkan konsumen lebih tertarik untuk mengkonsumsi jagung karena mudah
diperoleh dan cepat dalam penyajiannya. Selain itu dalam bentuk beras Instan penyimpanannya lebih
mudah dan tahan lama, dibanding dalam bentuk biji. Dari lima varietas yang diteliti yaitu Jagung
Bisma, Sukmaraga, Srikandi Kuning, Provit A dan Manado Kuning, rendemen beras jagung inst an
tertinggi adalah Manado Kuning yaitu 80,78%. Namun untuk Kadar protein tertinggi adalah Srikandi
Kuning (9,95%) disusul oleh Manado Kuning (7,90%), Provit A (7,10%), Bisma (6,6%) dan Sukmaraga
(6,1%). Komposisi karbohidrat ke lima varietas berkisar 72,70 – 75,50%. Sampai penyimpanan eman
bulan beras instan jagung belum mengalami kenaikan kadar air yang signifikan dan tidak dijumpai
adanya hama Sitophilus Zeamais.
PENDAHULUAN
Salah satu cara mendukung ketahanan pangan adalah pemanfaatan hasil pertanian yang lain
selain beras dengan pertimbangan ketersediaanya besar dan nilai gizi yang memadai atau sama
dengan beras. Jagung sebagai sumber karbohidrat merupakan komoditas strategis yang dapat
dijadikan sebagai pangan pokok, karena produksinya lebih tinggi dari beras yaitu sekitar 5-10
ton/ha dan mengandung proteinyang lebih tinggi (9,5%) dari beras (7,1 %). Selain itu di beberapa
daerah jagung sudah dijadikan sebagai makanan pokok antara lain NTT dan Sulawesi Utara
dan beberapa daerah lainnya.
Luas panen jagung di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2014 adalah 80.8127.475 ha dengan
produksi 488.362 ton ( BPS , 2015). Jagung mempunyai nilai gizi yang hampir sama dengan beras.
Komponen utama jagung adalah pati (72 – 73 persen), dengan perbandingan amilosa dan
amilopektin 25 – 30 persen : 70 – 75 persen. Kandungan protein lebih tinggi yaitu sebesar 9,5 persen
dibandingkan dengan beras yaitu sebesar 7,1 persen (Sugiyono, dkk., 2004).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 289
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Menurut Suarni dan Widowati (2009) protein dalam jagung terdiri dari 5 fraksi yaitu albumin,
globulin, prolamin, glutelin dan nitrogen non-protein. Komposisi tersebut sangat tergantung pada
faktor genetik, varietas, dan kondisi penanamannya. Jagung dari beberapa varietas dan jenis lokal
mempunyai Indeks Glikemik rendah rata-rata IG<40 (Richana et al., 2014). Dengan demikian jagung
merupakan pangan alternatif yang sangat baik di konsumsi oleh penderita diabetes karena dapat
menstabilkan glukosa dalam darah. Produk olahannya juga dapat disubstitusi dengan bahan pangan
lain untuk meningkatkan kandungan gizi dan citarasa khususnya bagi penderita diabetes mellitus.
Riandani (2013) menambahkan kedelai sebagai sumber protein pada nasi jagung instan sehingga
kandungan proteinnya meningkat dari 7,02% menjadi 7,41% dan seratnya dari 0,68% menjadi 0,84%.
Beras jagung instan atau beras jagung termodifikasi atau disebut juga jagung sosoh pratanak
merupakan produk pangan instan berbentuk berasan. Cara pemasakannya p hampir sama dengan
beras padi. Teknologi pembuatan beras jagung ini dilakukan karena hasilnya memiliki banyak
keunggulan dibanding berasan jagung biasa, yaitu: 1) daya simpan lama dan tidak mudah
terkontaminasi Aflatoxin, 2) nilai cerna yang lebih tinggi sehingga tidak menimbulkan rasa sebah di
perut, 3) Indeks Glikemik rendah sehingga baik untuk dikonsumsi penderita diabetes, 4) lebih cepat
tanak hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit di rice cooker seperti halnya beras padi, sehingga jika
disubstitusi dengan beras padi dapat bersamaan tanak, dan 5) mempunyai flavor yang tidak asam,
sebagaimana yang sering terjadi pada pengolahan beras jagung secara tradisional (Richana, 2010).
Terdapat beberapa alternatif teknologi pembuatan berasan jagung instan yaitu dengan menggunakan
penambahan starter mikroba (Richana, 2010), perebusan pada suhu 100⁰ C selama 30-60 menit
(Sugiyono, dkk., 2004), dan pembekuan pada suhu -20⁰ C dalam freezer selama 24 jam ( Erlisa dan
Hambali, dkk., 2006).
Jagung mempunyai nilai gizi yang hampir sama dengan beras. Komponen utama jagung adalah
pati (72 – 73 persen), dengan perbandingan amilosa dan amilopektin 25 – 30 persen : 70 – 75 persen.
Kandungan protein lebih tinggi yaitu sebesar 9,5 persen dibandingkan dengan beras yaitu sebesar 7,1
persen (Sugiyono, dkk., 2004). Menurut Suarni dan Widowati (2009) protein dalam jagung terdiri dari
5 fraksi yaitu albumin, globulin, prolamin, glutelin dan nitrogen non-protein. Penelitian bertujuan
untuk mengetahui komponen kimia beras jagung dan beras jagung instan dari beberapa varietas
jagung yang dikembangkan di Sulawesi Utara dan pengaruh pengolahannya terhadap instan jagung
yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Kegiatan pengkajian dilaksanakan di daerah sentra jagung Kabupaten Minahasa Untuk Kajian
penyimpanan dan pengolahan dilakukan di Laborotorium BPTP. Pengkajian dilaksanakan dari bulan
Januari 2017 sampai dengan Desember 2017.
Bahan pengkajian berupa jagung, bahan kemasan dan bahan pembantu lainnya. Peralatan yang
digunakan, alat penggilingan beras jagung, alat pengering, alat peyimpanan jagung pipilan kering
dan alat yang digunakan dalam kemasan dan pengolahan jagung antar lain kompor, dandang,
tirisan, frizeer, oven kabinet, dan alat untuk analisis.
Tahapan penelitian
Biji Jagung di giling berbentuk grits. Kemudian pencucian dengan air bersih. Diaron selama 30
menit pada suhu 85-93oC sambil diaduk secara kontinyu. Pengaronan bertujuan untuk pra-
gelatinisasi pati dalam beras jagung. Volume air yang digunakan adalah 1 bagian beras jagung dan 4
bagian air (Lalitya, 2009). Setelah pengaronan selesai, beras jagung dikukus dan didinginkan. Proses
pendinginan dilakukan sampai tidak terdapat uap panas dalam beras jagung, dan beras jagung siap
dibekukan pada suhu (-17) – (-20)o dengan lama C pembekuan sesuai perlakuan 24 jam.
Pemasakan (perbandingan beras jagung dengan air = 1:4) Beras jagung dan beras jagung instan
( T 850C -930C, 30 menit) dikemas dengan plastik standing pouch
12X16/l sebanyak 500 gram. Selama
Pembekuan pada suhu -20oC dalam freezer (24 jam)
penyimpanan di beri perlakuan yaitu arang
Thawing
aktif, zeolit dan bubuk sereh wangi masing2
10% dari berat bahan dengan cara dibungkus
Pengeringan dengan cabinet dryer (T: 60-700C selama 5-6 jam) dengan kain tile halus selanjutnya
dimasukkan ke dalam kemasan. Penyimpanan
Beras jagung instan selama 0 bulan, 3 bulan dan 6 bulan. Setiap
perlakuan dilakukan pengukuran kadar air
Gambar 1. Proses pembuatan beras jagung instan
dan pengamatan terhadap tumbuhnya janur
dan hama.
Prosedur Analisis
Beras jagung dan beras jagung instan yang dihasilkan dihitung rendemennya dan di analisis
kadar air, kadar protein, kadar serat, kadar lemak, kadar abu, karbohidrat dengan metode
Sudarmatji dkk. (2007). Hama dan jamur diamati secara visual dengan menggunakan kaca pembesar.
Terlihat bahwa rendemen beras jagung bervariasi dari 66,00 – 80,78%. Rendemen tertinggi adalah
jagung lokal yaitu manado kuning. Berdasarkan pengalaman petani (Minahasa Selatan) selama ini
konsumsi beras jagung pada umumnya diperoleh dari Jagung manado Kuning karena rendemen
berasnya lebih tinggi dibanding dengan jagung lainnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang
diperoleh bahwa ada selisih rendemen beras sebanyak 10-20%. Hal ini yang menyebabkan di
beberapa daerah di Sulawesi Utara seperti di Kec. Motoling Kabupaten Minahasa selatan dan
Tondano (tonsea lama) Kabupaten Minahasa, masih mempertahankan varietas ini. Kebiasaan daerah
tersebut masih mengkonsumsi beras jagung dicampur dengan beras tetap bertahan sampai sekarang.
Komposisi Kimia Jagung
Hasil analisis proksimat beras jagung dan beras jagung instan ditampilkan pada Tabel 1.Air di
dalam setiap bahan makanan di bedakan atas dua yaitu air bebas dan air terikat. Kandungan air
beras instan rata-rata di bawah 10%. Dimana kadar air seperti ini dapat menjaga stabilitas produk
tetap baik dalam jangka waktu yang lama selama penyimpanan. Kandungan air beras jagung
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 291
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
instan lebih kecil dari pada kandungan beras jagung biasa. Hal ini disebahkan terjadinya penguapan
air selama pengolahan terutama pada saat pengeringan. Secara keseluruhan terjadi penurunan
kadar air sekitar 2 – 3 %.
Kadar Karbohidrat beras jagung pada 5 varietas berkisar antara 75,50 – 72,70% dan terjadi
peningkatan pada beras jagung instan yaitu 75,60-79,40%. Kenaikan ini disebabkan terjadinya
penurunan komponen lain seperti kadar air dan hilangnya sebagian pericap bagian pangkal dan
lembaga selama proses. Hal yang sama dilaporkan oleh Haimasa (2016), bahwa terjadinga kenaikan
protein pada beras jagung instan karena terjadi penurunan pada komponen yang lainnya
menyebabkan total yang lainnya meningkat seperti protein.
Demikian halnya dengan kadar protein mengalami peningkatan dimana proten jagung terbesar
pada endosperma (73%) dan lembaga 26% . Protein jagung pada endosperma terbesar adalah Zein
dan pada lembaga yaitu albumin dan globulin. Pada proses pengolahan beras jagung instan
melalui berapa tahapan mulai dari penggilingan menjadi ukuran partikel beras jagung, pengupasan
perikap dan hancurnya lembaga dan bagian pangkal biji jagung, mengakibatkan pengurangan
kandungan protein. Menurut Suarni dan Widowati (2009), protein dalam jagung terdiri dari 5 fraksi
yaitu albumin, globulin, prolamin, glutelin dan nitrogen non-protein.
Demikian juga dengan perlakuan pemasakan membuat protein bisa berkurang karena protein
larut air akan larut dalam air menyababkan total protein dalam beras jagung berkurang. Pada Tabel
2, dapat dilihat dari 5 varietas yang diuji terdapat peningkatan protein 2-4%, diduga disebabkan
penurunan kandungan lainnya seperti kadar air, lemak dan abu, juga diduga karena turunnya
kandungan mineral beras jagung instan .
Serat makanan memberikan manfaat terhadap metabolisme tubuh, antara lain meningkatkan
jumlah mikroba yang menguntungkan dalam saluran pencernaan, meningkatkan imunitas dan
resistensi terhadap bakteri patogen mem-perlancar buang air besar dan mencegah kanker (Gong dan
Yang, 2012). Kandungan serat dan abu beras jagung instan mengalami penurunan dibanding
dengan beras jagung. Serat ada jagung banyak terdapat pada bagian pericap, pada saat proses
pengolahan beras jagung biji jagung menyebabkan sebagian pericap terkelupas dan hancur,
menyebabkan turunnya kandungan serat dan abu pada beras jagung Instan. Hal yang sama
dilaporkan oleh Sugiona dkk .,(2004)
Tabel 1. Hasil Rata-rata Analisis proksimat beberapa varietas beras jagung 2017
Komposisi Bisma Sukmaraga Srkandi Manado Kuning Provit A
kuning
Beras jagung
Beras jagung
Beras jagung
Beras jagung
Beras jagung
Jagung
Jagung
jagung
jagung
jagung
Instan
Instan
Instan
Instan
Instan
Kadar air (%) 12,6 10,6 12,9 10,2 11,3 9,80 11,9 10,9 11,2 10,6
Protein (%) 6,60 7,82 6,16 7,64 9,95 10,40 7,90 9.56 7,10 9,60
Lemak (%) 0,60 0,30 0,50 0,20 0,50 0,40 0,60 0,30 0,30 0,20
Kadar abu (%) 0,50 0,45 0,60 0,54 0,90 0,70 0,60 0,50 0,80 0,60
Karbohidrat (%) 75,10 79,20 75,50 79,40 72,70 75,60 74.50 76,20 74,50 76,20
Serat (%) 4,60 3,56 4,60 3,50 4,70 3,16 4,50 3,05 6,10 4,12
Sumber : Data primer 2017
Gambar 2. Pengaruh peyimpanan beras jagung Faktor lain yang juga sangat berperan pada
umur simpan berasan jagung instan adalah
terhadap kadar air selama penyimpanan 6 bulan
kemasan. Kemasan platik PE 0,08 mm
dikombinasikan dengan aluminium foil dapat mempertahankan kualitas berasan jagung instan 12.8
hingga 13.4 bulan (Sugiyono, dkk., 2004).
Kemasan plastik yang tebal memiliki kemampuan untuk menjaga sifat higroskopis beras jagung
instan dari kerusakan mutunya (tumbuhnya jamur) dan hama akibat penetrasi uap air dari luar
kemasan lebih baik dibanding kemasan dari bahan lainnya. Sampai penyimpanan 6 bulan belum
dijumpai adanya jamur dan hama Sitophilus Zeamais. Menurut Tandiabang dkk.,( 2015) dan Baco
dkk., (2000), hama S. Zeamays dapat dikendalikan dengan menggunakan bahan nabati seperti
sereh A. Nandus namun keefetifannya sebagai bahan pestisida relatif pendek. Hal sama dilaporkan
oleh Astriani (2012), bahwa akar wangi dan sereh wangi dengan dosis 5-20% dapat menekan
populasi hama bubuk Sitpphilus spp. pada benih jagung selama 9 minggu, juga dapat memperkecil
penurunan bobot benih dan namun tidak mempengaruhi daya tumbuh.
KESIMPULAN
Dari lima varietas yang diteliti yaitu Jagung Bisma, Sukmaraga, Srikandi Kuning, Provit A dan
Manado Kuning, rendemen beras jagung instan tertinggi adalah Manado Kuning yaitu 80,78%.
Namun untuk Kadar protein tertinggi adalah Srikandi Kuning (9,95%) disusul oleh Manado
Kuning (7,90%), Provit A (7,10%), Bisma (6,6%) dan Sukmaraga (6,1%). Komposisi karbohidrat ke
lima varietas berkisar 72,70 – 75,50%. Sampai penyimpanan eman bulan beras instan jagung
belum mengalami kenaikan kadar air yang signifikan dan tidak dijumpai adanya jamur dan hama
Sitophilus Zeamais.
DAFTAR PUSTAKA
Astriani, D. 2012. Kajian Bioaktivitas Formulasi Akar Wangi Dan Sereh Wangi Terhadap Hama
Bubuk Jagung Sitophilus Spp. Pada Penyimpanan Benih Jagung. Jurnal Agri Sains Vol.3 No.4,
Mei 2012 ISSN : 2086-7719 44
Baco, D., M. Yasin, J. Tandiabang, S. Saenong, dan T.M. Lando. 2000. Penanggulangan kerusakan biji
jagung oleh hama S. zeamays dengan berbagai alat/cara penyimpanan. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 19:1-5.
BPS.2015 Sulawesi Utara dalam Angka.
Erlisa dan Hambali. 2006. Membuat Aneka Olahan Jagung. Jakarta: Penebar Swadaya.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 293
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Gong, J , Yang, C. 2012. Advances in The Methods for Studying Gut Microbiota and Their Relevance to
The Research of Dietary Fiber Functions. Food Research International Journal. Vol.48: 916–929.
Hamaisa Atika. 2016. Prospek Teknologi Pengolahan Beras Jagung Instan Di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada
Era Masyarakat Ekonomi ASEAN
Hasnah, Rahim dan Suryanti, 2014. Efikasi Serbuk Lada Hitam Dalam Mengendalikan Hama
Sitophilus zeamais Pada Biji Jagung Selama Penyimpanan. Volume 16, Nomor 2, Hal. 23-32
ISSN:0852-8349. Juli – Desember 2014
Lalitya, N. 2009. Optimasi Teknologi Pengolahan dan Penyusunan Standard Operating Procedures
(SOP) Penanakan Beras Jagung dengan Alat Penanak Nasi Otomatis (Rice Cooker). Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Richana N dan Suarni. 2010.“Teknologi Pengolahan Jagung”. Teknologi Produksi Jagung. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Bogor
Sudarmadji, S, Haryono dan Sutardi., 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty. Yogyakarta
Saenong dan Mas’ud, 2009. Keragaan Hasil Teknologi Pengelolaan Hama Kumbang Bubuk Pada
Tanaman Jagung Dan Sorgum. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9 410. Balai Penelitian Tanaman Serealia
Sudarwati, 2014. Penyimpanan Jagung. www.kaltim.litbang.go.id. Diakses 15 Nopember 2015
Sudarmajdi, S. Suhardi, Haryono,B. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan makanan dan Pertanian.
Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Sugiyono, Soewarno, T.S., Purwiyatno, H., Agus, S. 2004. Kajian OptimasiTeknologi Pengolahan Beras
Jagung Instan. Jurnal. Teknol. dan IndustriPangan, XV (2): 119-128.
Tandiabang, J.A. Tenriawe, dan Surtikanti, 2015. Pengelolaan Hama Pascapanen Jagung. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Maros (http:balitsereal litbang.pertanian.go.id)
Widowati, S., R. Nurjanah, W. Amrinola. 2010. Proses Pembuatan dan Karakterisasi Nasi Sorghum
Instan. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai Besar Penelitian Serealia.
http://www.balitsereal. litbang.deptan.co.id. [14 Juli 2014]
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 295
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
296 | Teknologi Pertanian
PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA
PADI RAWA PASANG SURUT BERBASIS MEKANISASI
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji beberapa metode pemasyarakatan inovasi teknologi yang telah
dilakukan dan pengaruhnya terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap petani sehingga inovai
teknologi yang didiseminasikan mudah dikenal, dipahami, dan diadopsi oleh petani. Kajian
dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2018 dengan petani padi rawa pasang surut Kecamatan Muara
Telang Kabupaten Banyuasin sebagai responden. Data diambil dengan menggunakan daftar pertanyaan
(kuesioner) dan on farm research, dianalisis secara deskriptif dan dilanjutkan dengan analisis
menggunakan Uji Wilcoxon Match Pairs Test. Hasil kajian menunjukkan bahwametode pemasyarakatan
inovasi teknologi budidaya padi rawa pasang surut melahirkan sikap positif dan petani terbuka terhadap
inovasi teknologi yang didiseminasikan meskipun tidak langsung dapat meningkatkan pengetahuan
petani. Oleh karena itu, upaya pemasyarakatan teknologi budidaya padi rawa pasang surut berbasis
mekanisasi ini perlu untuk terus ditingkatkan secara intensif agar inovasi teknologi yang
diintroduksikan dapat diadopsi cepat oleh petani. Selain itu, metode pemasyarakatan yang digunakan
dapat dilakukan dengan beberapa cara dengan dikombinasikan dengan metode diseminasi lainnya
untuk meningkatkan efektivitas adopsi teknologi.
Kata kunci: Budidaya padi, mekanisasi, pemasyarakatan, rawa pasang surut, teknologi
PENDAHULUAN
Sulaiman, et al. (2018) menyebutkan lahan rawa diidentikkan seperti “raksasa tidur” yang selama
ini belum diperhatikan sebagaimana mestinya. Dimana kontribusi lahan rawa terhadap pangsa
produksi pangan nasional masih tergolong rendah, tidak sebanding dengan potensi luasannya yang
mencapai 34,12 juta hektar. Dari total luas lahan tersebut, 41% nya atau sebesar 14,18 juta hektar dapat
digunakan untuk pengembangan pertanian. Namun, lahan rawa yang telah dikembangkan hingga saat ini
baru sekitar 6,77 juta hektar, diantaranya adalah lahan rawa yang dibuka oleh pemerintah (sekitar 3,77
hektar) dan swadaya masyarakat sekitar 3,0 juta hektar. Sebagian besar lahan rawa yang telah dibuka
tersebut telah digunakan untuk pengembangan tanaman semusim (padi dan palawija) sedangkan sisanya
untuk tanaman tahunan (karet, kelapa, kakao) dan hortikultura (sayuran, jeruk, pisang, dan aneka buah
lainnya). Penggunaan lahan rawa oleh masyarakat masih terbatas hanya pada pola tanam setahun sekali (IP
100), hal ini juga menyebabkan kontribusi lahan rawa jauh lebih rendah dibandingkan potensinya.
Berbagai terobosan usaha telah dilakukan oleh pemerintah sebagai komitmen untuk
meningkatkan produksi padi, salah satunya adalah menjadikan lahan rawa sebagai areal produksi
pertanian tanaman pangan. Meskipun lahan rawa digolongkan lahan suboptimal secara teknis
dikarenakan kondisi sifat fisik dan kimia tanahnya termasuk keasaman tanah, akan tetapi lahan ini
berpotensi sebagai lahan pertanian yang produktif (Suriadikarta dan Sutriadi, 2007). Senada dengan
hal tersebut, Susanto (2010) juga menyebutkan bahwa lahan rawa menjadi salah satu alternatif lahan
yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan.
Pemanfaatan lahan suboptimal tersebut untuk tanaman pangan sudah cukup optimal dilakukan
dan bahkan di beberapa lokasi di Sumatera Selatan sudah mencapai indeks pertanaman (IP) 200.
Namun, hasil yang diperoleh masih belum seoptimal penggunaan lahannya. Bahkan, senjang hasil
masih sangat besar terutama pada sentra pertanaman padi di lahan suboptimal seperti lahan pasang
surut.Alihamsyah et al. (2003) menyebutkan bahwa produktivitas lahan pasang surut dapat
ditingkatkan dengan melakukan pengelolaan lahan yang tepat seperti pemberian bahan amelioran,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 297
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pemupukan, penggunaan varietas yang sesuai dengan kondisi lahan dan sistem penyiapan lahan
yang tepat.Disamping itu, pemanfaatan lahan suboptimal tentunya terus dipacu dengan juga
didukung oleh teknologibudidaya berbasis mekanisasi.
Potensi lahan pasang surut di Sumatera Selatan yang luas tetapi tidak didukung dengan tenaga
kerja mengharuskan petani menanam padi dengan sistem tanam benih langsung (TABELA).Di
daerah pasang surut Sumatera Selatan, tabur benih rata (broadcast seeding) cukup populer dengan
sebutan sistem tanam "sonor". Namun, permasalahan yang muncul dengan penanaman sistem sonor
ini adalah jarak tanam yang rapat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman serta
meningkatnya serangan hama penyakit serta gulma. Penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan)
pada lahan rawa pasang surut menjadi penting karena mampu mengatasi kelangkaan tenaga dan
sekaligus kapasitas kerja yang rendah pada kegiatan-kegiatan budidaya padi mulai dari pengolahan
tanah, tanam atau tabur, pemeliharaan tanaman, panen dan pasca panen. Selain itu, mekanisasi juga
dapat mempercepat waktu kerja, mempertahankan kualitas hasil dan meningkatkan nilai tambah,
memperluas cakupan kerja (luas garapan) serta biaya operasional yang lebih rendah. Dalam hal
pembuatan alur jajar legowo, dapat dilakukan dengan penggunaan alat tanam benih langsung atau
atabela. Teknologi ini penggunaannya sangat praktis sehingga diharapkan dapat dengan mudah
diadopsi oleh petani.
Saat ini, teknologi-teknologi tersebut sebagian telah berkembang dan sebagian lagi masih perlu
terus didesiminasikan pada skala/hamparan yang lebih luas. Beberapa inovasi teknologi tersebut
dirasakan masih belum teradopsi dengan baik dan menyeluruh di lahan pasang surut sehingga
peningkatan produktivitas masih sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang
tepat agar inovasi teknologi yang telah dihasilkan Balitbangtan dapat terdiseminasi dengan baik dan
memasyarakat sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan produksi padi di lahan pasang surut.
Hal ini tentunya mendukung program upaya khusus yang membutuhkan waktu yang cepat untuk
implementasi dan pemasyarakatannya. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa metode
pemasyarakatan inovasi teknologi yang telah dilakukan dan pengaruhnya terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap petani sehingga inovai teknologi yang didiseminasikan mudah dikenal,
dipahami, dan diadopsi oleh petani.
Djamhari (2009) menyebutkan bahwa upaya dalam penerapan teknologi baru baik yang diperoleh dari
luar maupun yang dikembangkan dari dalam daerah sendiri hendaknya disesuaikan dengan kondisi
setempat, contohnya penggunaan traktor di daerah pertanian yang sampai sekarang masih belum
banyak berkembang karena adanya beberapa kendala yang dapat terjadi dari petani pengguna
maupun pengusaha sebagai penyedia. Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh petani
berupa lahan yang sempit, produktivitas lahan rendah, belum adanya jaminan pasar yang mantap
dari produk, kerjasama antara kelompok tani dan kelembagaan desa masih sangat rendah, yang akan
berakibat pada rendahnya pendapatan petani.
METODOLOGI
Kajian dilaksanakan pada Juli – Desember 2018 terhadap petani padi rawa pasang surut di
Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin sebagai responden. Jenis data yang dikumpulkan
adalah data primer menggunakan kuesioner. Teknik analisa data yang digunakan berupa metode
analisa kualitatif. Data-data yang diperoleh di lapangan dianalisa dengan tahapan sebagai berikut:
pertama, Menelaah seluruh data yang tersedia. Kedua, Menyusun data yang berkaitan langsung
dengan penelitian secara sistematis, dan terakhir, interpretasi data. Agar data tingkat ordinal dapat
dianalisis secara statistik, maka sebelumnya ditransformasi ke tingkat data interval.
Data kemudian dianalisis menggunakan SPSS 17.0 mengaplikasikan analisis statistik non
parametrik Wilcoxon Match Pair Test yang merupakan pengujian efektivitas (Narbuko, 2004),
Dari hasil uji Wilcoxon Match Pairs diperoleh hasil mean sesudah pelatihan (11,54) lebih besar
dibandingkan sebelum pelatihan (11,45) yang mengindikasikan terdapat perubahan pengetahuan
petani. Akan tetapi dengan taraf kesalahan 5% menunjukkan nilai p value sebesar 0,695 yang
mengindikasikan bahwa hasil tidak signifikan atau tidak ada perbedaan pengetahuan petani sebelum
dan sesudah mengikuti pelatihan. Hal ini disebabkan karena petani sebelumnya sudah mengenal
teknologi yang disampaikan selama pelatihan. Tingginya pengetahuan petani ini tidak terlepas dari
peran penyuluh pertanian dan kelompok tani yang aktif dalam mencari informasi. Namun tingginya
tingkat petani ini tidak berarti petani sudah paham dengan teknologi yang diajarkan dikarenakan
petani baru sekedar mengenal teknologi budidaya padi maupun mekanisasi di lahan pasang surut
dan belum memahami secara lebih terutama cara aplikasi dan penerapan di lapangan. Oleh karena
itu selain pemaparan materi, pelatihan juga berfokus pada pengenalan alsintan secara langsung
maupun demonstrasi penayangan video di lapangan.
Setelah pelaksanaan pelatihan, selain diberikan pertanyaan dalam post test, responden (petani)
juga diminta untuk memberikan penilaian terhadap materi untuk mengetahui sikap dan respon
selanjutnya. Penilaian yang diberikan terkait dengan: manfaat materi yang diberikan, kemudahan
materi untuk diterapkan, kelebihan keuntungan yang didapat dalam penerapan materi, kesesuaian
materi dengan kebutuhan usahatani, kesukaan atau ketertarikan terhadap materi yang diberikan, dan
keingian untuk menerapkan materi yang diberikan
Berdasarkan Tabel 2, kriteria manfaat materi yang diberikan dinilai tinggi untuk materi Inotek
RAISA (81,8%), traktor 72,7%), dan combine harvester (81,8%); sementara hanya sebagian responden
yang menilai materi transplanter (42,4%) dan amator (48,5%) sangat bermanfaat. Untuk kriteria
kemudahan materi untuk diterapkan, responden menilai materi relatif mudah untuk diterapkan.
Terdapat 51,5 persen responden menilai materi inotek Raisa sangat mudah diterapkan, dan 54,5
persen responden menilai combine harvester sangat mudah diterapkan. Untuk item materi traktor,
masing-masing 16 responden (48,5%) menilai materi traktor sangat mudah dan cukup mudah untuk
diterapkan. Sementara untuk materi transplanter dan amator masing-masing 51,5 persen responden
menilai cukup mudah diterapkan.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 299
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Sikap dan Respons Petani Terhadap Materi yang Disampaikan
Combine
Inotek RAISA Transplanter Traktor Amator
Kriteria Harvester
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
1. Manfaat materi yang diberikan
Sangat Bermanfaat 27 81,8 14 42,4 24 72,7 16 48,5 27 81,8
Cukup Bermanfaat 6 18,2 15 45,5 8 24,2 11 33,3 5 15,2
Kurang Bermanfaat 0 0,0 4 12,1 1 3,0 6 18,2 1 3,0
Dalam hal keuntungan yang didapat dalam penerapan materi, responden menilai inotek RAISA
(87,9%), traktor (78,8%), amator (51,5%), dan combine harvester (78,8%) sangat menguntungkan
untuk diterapkan. Sedangkan 45,5 persen responden menilai transplanter cukup menguntungkan
apabila diterapkan. Responden juga menilai tinggi untuk materi Inotek Raisa (69,7%), traktor (66,7%),
dan combine harvester (81,8%) dalam hal kesesuaian dengan kebutuhan usahatani. Sedangkan
hampir separuh responden (45,4%) menilai transplanter sangat sesuai dan 51,5 persen responden
menilai amator cukup sesuai dengan kebutuhan.
Petani sebagai responden sangat tertarik terhadap materi inotek RAISA (75,8%), traktor (69,7%),
dan combine harvester (84,8%). Sedangkan petani cukup tertarik untuk menerapkan transplanter
(48,5%) dan amator (51,5%). Untuk keinginan menerapkan materi, responden menilai tinggi akan
semua materi yang diajarkan yaitu 87,9 persen sangat ingin untuk menerapkan inotek RAISA; 66,7
persen sangat ingin menerapkan transplanter; 78,8 persen sangat ingin menerapkan traktor dan
combine harvester; serta 57,9 persen sangat ingin menerapkan amator. Untuk rencana penerapan
materi yang diberikan disajikan pada Tabel 3.
Berbanding lurus dengan keinginan untuk menerapkan materi pelatihan, responden juga
berencana untuk menerapkan teknologi yang diajarkan dalam materi pelatihan. Seluruh responden
(100%) menyatakan bahwa mereka akan menerapkan teknologi inotek RAISA, traktor, dan combine
harvester; dan 84,8 persen menyatakan akan menerapkan transplanter dan amator. Untuk penerapan
traktor dan combine harvester sendiri pada dasarnya petani telah banyak menerapkan teknologi ini
terutama sejak banyaknya bantuan alsintan dari pemerintah melalui UPJA dan Brigade Alsintan.
Petani banyak merasakan manfaatnya sehingga akan terus menerapkan teknologi ini.
Dalam hal cara penerapan materi, terdapat tiga tingkatan rencana responden dalam rencana
penerapannya, yaitu: a) ketegori tinggi dimana responden (petani) berencana untuk mencoba
menerapkan senditi, mencoba menerapkan di kelompok tani, dan menyampaikan kepada petani lain
di pertemuan kelompok; b) kategori sedang artinya responden (petani) berencana mencoba
menerapkan sendiri dan di kelompok tani; c) ketegori sedang artinya responden (petani) hanya
berencana mencoba menerapkan sendiri.
Berdasarkan hasil tabulasi data pada Tabel 3 diketahui bahwa sebanyak 12 responden (36,4%)
menilai pada kategori tinggi dan 20 responden (60,6%) menilai pada ketegori sedang dan hanya satu
responden menilai pada kategori rendah. Hal ini berarti petani memiliki motivasi tinggi untuk
bersama-sama menerapkan teknologi baik melalui kelompok tani maupun menyebarkan teknologi
kepada petani lain.
Tabel 4. Cara Penerapan Materi
Tingkat Pengetahuan dan Sikap Petani Melalui Metode Demonstrasi Cara Alsintan
Laser Land Levelling(LLL)
Efektivitas pelaksanaan demonstrasi LLL diketahui dengan cara menilai perubahan sikap dan
pengetahuan petani sebelum dan sesudah mengikuti demonstrasi dengan menggunakan bantuan
kuesioner. Dari hasil analisis deskriptif diketahui bahwa 50% responden cukup mengenal LLL dan
50% orang lainnya belum mengenal LLL, 80% cukup mengetahui dan 20% belum mengetahui cara
menggunakan LLL, sedangkan 80% cukup memahami dan 20% belum memahami cara
menggunakan LLL. Dalam hal pengalaman mengikuti pelatihan dan melakukan praktek LLL, 80%
menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan dan belum pernah mempraktekkan penggunaan LLL
yang menunjukkan bahwa teknologi LLL merupakan teknologi baru ini sehingga layak untuk
didiseminasikan.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Wilcoxon Match Pairs Testmemperlihatkan bahwa
terdapat perubahan pengetahuan petani terhadap alsintan LLL sebelum dan sesudah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 301
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
dilaksanakannya demonstrasi cara. Hasil kajian menunjukkan bahwa hasil mean sesudah pelatihan
(10,2) lebih besar dibandingkan sebelum pelatihan (6,0) yang menunjukkan terdapat perubahan
pengetahuan petani. Dengan taraf kesalahan 5% menunjukkan nilai p value sebesar 0,004 yang
mengindikasikan bahwa hasil signifikan atau terdapat perbedaan pengetahuan responden sebelum
dan sesudah mengikuti demo LLL. Hal ini menunjukkan bahwa demonstrasi yang dilakukan efektif
dalam merubah pengetahuan responden dikarenakan responden melihat langsung cara praktek
aplikasi teknologi di lapangan dan bahkan mencoba sendiri dalam pengoperasian mesin LLL.
Tabel 5. Hasil analisis statistik uji Wilcoxon Match Pairs Test
Dari hasil tabulasi diketahui bahwa seluruh responden setuju bila lahan dilakukan perataan lahan
dengan menggunakan LLL. Sebanyak 6 orang (60 %) menyatakan bahwa LLL mudah diaplikasikan
di tingkat petani dan efisien dari segi tenaga. Akan tetapi 50 persen menyatakan LLL kurang efisien
dari segi biaya dan 70 persen menyatakan kurang efisien dari segi waktu. Hal ini dikarenakan harga
teknologi yang cukup mahal dan responden harus mengalokasikan tambahan waktu untuk
pengerjaan lanjutan untuk perataan lahan.
Dikarenakan biaya modal relatif mahal maka 80 persen responden menyatakan pengadaan alat
dapat dilakukan dengan mengajukan bantuan ke Dinas Pertanian. Sedangkan apabila alat tersebut
sudah ada di petani maka 70 persen menyatakan setuju apabila diterapkan sistem pembayaran di
akhir setelah panen (yarnen) untuk jasa pemakaian alat.
Upaya pengembangan lahan rawa ke depan bukan berarti tidak dimulai dari nol. Pengembangan lahan
rawa sangat berhubungan dengan berbagai aspek penting seperti reklamasi dan kesesuaian lahan,
pemilihankomoditas dan teknologi pengelolaan, serta dukungan prasaranadan kelembagaan. Oleh karena
itu, pembukaan atau reklamasi lahan rawa untuk pertanian seharusnya direncanakan dan dilakukan secara
cermat dan hati-hati terutama dalam pengelolaan air. Stabilitas dan kontinuitas menjadi hal yang penting
untuk diperhatikan karena sifat lahan rawa yang sangat rapuh,sensitif dan rentan terhadap intervensi dan
perubahan iklim,serta lingkungan sekitarnya. Sehingga jika teknik pengembangan dalam pengelolaan lahan
rawa salah dilakukan, maka akan mengakibatkan kerusakan lahan dan lingkungan. Padahal untuk
rehabilitasi dan pemulihan kerusakaan lahan rawa sangat memerlukan biaya tinggi dan waktu yang relatif
lama.
Penambahan tenaga kerja manusia sebenarnya menjadi alternatif terbaik karena dapat mengurangi
tenaga kerja pengangguran, namun pada kenyataannya sumberdaya manusia sudah banyak beralih
pekerjaan di luar pertanian. Sedangkan penambahan tenaga kerja hewan juga dihadapkan pada semakin
berkurangnya populasi hewan pekerja karena lebih diprioritaskan sebagai hewan potong sehingga alternatif
yang dapat ditawarkan adalah dengan mendatangkan mesin-mesin pertanian.
KESIMPULAN
Hasil analisis statistik non parametrik Uji Wilcoxon Match Pair Test menunjukkan bahwa metode
pemasyarakatan inovasi teknologi budidaya padi rawa pasang surut melahirkan sikap positif dan
petani terbuka terhadap inovasi teknologi yang didiseminasikan meskipun tidak langsung dapat
meningkatkan pengetahuan petani. Oleh karena itu, upaya pemasyarakatan teknologi budidaya
padi rawa pasang surut berbasis mekanisasi ini perlu untuk terus ditingkatkan secara intensif agar
inovasi teknologi yang diintroduksikan dapat diadopsi cepat oleh petani. Selain itu, metode
pemasyarakatan yang digunakan dapat dilakukan dengan beberapa cara dengan dikombinasikan
dengan metode diseminasi lainnya untuk meningkatkan efektivitas adopsi teknologi.
DAFTAR PUSTKA
Alihamsyah, T., M, Sarwani dan I. Ar. Riza. 2003. Lahan pasang surut sebagai sumber produksi padi
masa depan. Dalam Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku dua. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Hal. 263-287.
Djamhari, Sudaryanto. 2009. Kajian Penerapan Mekanisasi Pertanian di Lahan Rawa Lebak Desa
Putak-Muara Enim. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 11 (3), Desember 2009 Hlm. 157-
161.
Raharjo, B., et al. 2018. Laporan Hasil Kajian Diseminasi Teknologi Budidaya Berbasis Mekanisasi
untuk Menekan Senjang Hasil Padi di Lahan Pasang Surut. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Selatan.
Sulaiman, Andi Amran, dkk. 2018. Buku Seri Pembangunan Pertanian 2015-2018: Membangkitkan
Lahan Rawa, Membangun Lumbung Pangan Indonesia. IAARD Press.
Suriadikarta, DA dan Sutriadi, MT, 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi Untuk Pengembangan
Pertanian Di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 303
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Susanto, R. H. 2010. Pengelolaan Lahan Rawa Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Seminar
Universitas Sriwijaya, Inderalaya 6 September 2010. 63 Hal.
ABSTRACT
A Home garden has a great potential that is not small in providing a variety of food and meet the family's food needs,
even if it needs to be increased can increase family income. The objective of this study is to analyse the factors
corelated to the continuity of food supply sourced from the home garden. The study was conducted from March to
December 2015. The research sites were in Bitung City and Minahasa Regency, North Sulawesi Province. The
number of samples is 267 people. Data was analysed descriptively and the Spearman Rank correlation test.The
results showed: continuity of availability of food sourced from the home garden was in the medium category.
Continuity of food supply in the home gardens correlated significantly with the level of formal education, non-formal
education, time allocation on home gardens, availability and suitability of information, availability of production
facilities, perceptions about the function and benefits of the home gardens, and perceptions about food diversification.
ABSTRAK
Pekarangan mempunyai potensi yang tidak kecil dalam menyediakan bahan pangan yang
beranekaragam dan mencukupi kebutuhan pangan keluarga, bahkan kalau dikembangkan secara baik
dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Tujuan penelitian menganalisis faktor-faktor yang
berkorelasi dengan kontinuitas ketersediaan bahan panganbersumber dari pekarangan. Penelitian
dilaksanakan bulan Maret sampai Desember 2015. Lokasi penelitian di Kota Bitung dan Kabupaten
Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah sampel 267 orang. Data dianalisis secara deskriptif dan uji
korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan: kontinuitas ketersediaan bahan pangan
bersumber dari pekarangan berada pada kategori sedang. Kontinuitas bahan pangan di pekarangan
berkorelasi nyata dengan tingkat pendidikan formal, pendidikan nonformal, curahan waktu,
ketersediaan dan kesesuaian informasi, ketersediaan sarana produksi, persepsi tentang fungsi dan
manfaat pekarangan, persepsi tentang diversifikasi pangan.
PENDAHULUAN
Pekarangan mempunyai potensi yang tidak kecil dalam mencukupi kebutuhan pangan keluarga,
bahkan kalau dikembangkan secara baik dapat bermanfaat lebih, karena dapat meningkatkan
pendapatan keluarga. BP2TP (2011) mengatakan bahwa, pemanfaatan pekarangan sangat penting
artinya dan dapat mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan usaha pertanian pokok (sawah,
kebun). Selanjutnya dikatakan pula bahwa, luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta
ha atau 14% dari keseluruhan luas lahan pertanian. Luas lahan pekarangan tersebut merupakan salah
satu sumber potensial bagi penyedia bahan makanan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi
tinggi (BP2TP 2011).
Pemanfaatan pekarangan untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga di Sulawesi Utara sudah
dilakukan oleh masyarakat sejak lama dan terus berlangsung hingga sekarang, namun belum
dirancang dengan baik dan sistematis pengembangannya, terutama dalam menjaga kelestarian
sumber daya (keberlanjutan usaha pekarangan). Sampai saat ini pemanfaatan pekarangan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan keluarga belum mendapat perhatian serius dari keluarga, bahkan
cenderung dibiarkan begitu saja. Kalaupun pekarangan ditanami dengan bermacam tanaman
(tanaman campuran), jenis tanaman yang umumnya ditanam adalah tanaman yang tidak produktif
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 305
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
(sekedar mengisi kekosongan lahan) dan tidak tertata dengan baik.Selain itu, pemenuhan pangan
keluarga masih bersumber dari luar (membeli), belum berorientasi pada penguatan pangan lokal.
Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam pemenuhan pangan melalui
pemanfaatan pekarangan perlu diaktualisasikan dengan menggerakkan kembali budaya menanam di
lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Resmayeti (2012) mengatakan bahwa
salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi keluarga dapat dilakukan melalui
pemanfaatan sumberdaya yang tersedia maupun yang dapat disediakan di lingkungannya secara
berkelanjutan.
Kementerian Pertanian telah mengembangkan konsep pemanfaatan lahan pekarangan dengan
sebutan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Pengembangan KRPL menjadi salah satu alternatif
dengan menggunakan potensi lahan pekarangan yang dikelola secara ramah lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan, gizi keluarga, dan peningkatan pendapatan, yang akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan sehingga mampu mewujudkan kemandirian pangan.Karena konsep
KRPL ini berbasis keluarga, maka pelaku utama dari program ini adalah seluruh anggota keluarga.
Namun demikian, karena lingkup kegiatan ini berada disekitar rumah atau tempat kediaman
keluarga, maka kegiatan ini lebih diarahkan bagi kaum perempuan (ibu rumah tangga) agar mereka
lebih produktif dalam membantu pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.
Peran perempuan yang menjadi lebih dominan didukung anggapan bahwa, wanita lebih banyak
di rumah dari pada pria, dan pemanfaatan lahan pekarangan juga merupakan bagian dari program
PKK. Komalawati et al. (2012) dan Adenkule (2013), menyatakan bahwa perempuan memiliki peran
yang dominan dalam pengelolaan pekarangan rumah tangga, baik dalam hal perencanaan penataan
pekarangan, pemilihan komoditas, maupun pengambilan keputusan terkait pengelolaan lahan
pekarangan. Ijinu et al. (2011) menyatakan perempuan dianggap kunci untuk pengembangan kebun
rumah. Menurut Yamasaki (2012), tantangan utama untuk ketahanan pangan rumah tangga berasal
dari peran ganda perempuan dalam menyediakan pangan untuk keluarga.
Program kegiatan Pemerintah yang dilakukan di suatu wilayah, pada umumnya tidak
berkelanjutan. Kegiatan dilakukan apabila ada pendampingan pelaksanaan program kegiatan
tersebut. Setelah program kegiatan berakhir, maka inovasi teknologi yang diterapkan pada program
kegiatan tersebut akan berakhir pula. Sehingga apabila program kegiatan telah berakhir maka
masyarakat sebagai sasaran program,akan kembali ke kondisi semula tanpa ada keberlanjutan dalam
penerapan teknologi. Tidak berlanjutnya program kegiatan yang telah dirintis akan menyebabkan
sulitnya penerapan teknologi secara berkesinambungan.
Melanjutkan kegiatan pengelolaan pekarangan pasca program merupakan salah satu potensi dan
strategi untuk mewujudkan kemandirian pangan di tingkat rumahtangga. Kesadaran tentang
pentingnya upaya pemenuhan pangan melalui program-program pengelolaan pekarangan telah sejak
lama dilaksanakan di Indonesia, namun demikian hasil yang dicapai belum seperti yang diharapkan.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan pengelolaan pekarangan semakin ditinggalkan, dan banyak
pekarangan di perdesaan justru kembali tidak dimanfaatkan, dibiarkan terlantar dan gersang (tidak
berkelanjutan).
Keberlanjutan penerapan inovasi teknologi pengelolaan pekarangan berkaitan erat dengan
lingkungan, sosial dan ekonomi suatu teknologi. Artinya, suatu inovasi akan terus berlanjut jika
secara teknis sesuai dengan lingkungan, secara sosial dapat diterima masyarakat dan secara ekonomi
menguntungkan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kontinuitas bahan pangan bersumber dari
pekarangan, serta menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan kontinuitas bahan pangan
bersumber dari pekarangan.
Instrumen yang digunakan berupa kuesioner,dibuat berdasarkan skala Likert dengan empat
skala: rendah (skala 1), sedang (skala 2), tinggi (skala 3) dan sangat tinggi (skala 4).Pengolahan dan
analisis data untuk melihat keeratan hubungan antar peubah, dan faktor yang berkorelasi dengan
kontinuitas bahan pangan bersumber dari pekarangan, dilakukan menggunakan uji korelasi Rank
Spearman. Peubah yang diukur pada tahapan penelitian: (1) kontinuitas bahan pangan di
pekarangan; serta (2) faktor-faktor yang diduga berkorelasidengan kontinuitas bahan pangan
meliputi: karakteristik wanita; aksesibilitas terhadap informasi; lingkungan; peran kelompok;
penyuluhan; serta persepsi.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 307
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Kontinuitas bahan pangan di pekarangan
Mangkunegara (Rosihan dan Rahmah 2010) mengatakan bahwa, pengetahuan gizi yang dimiliki
ibu rumahtangga merupakan bagian dari proses pembelajaran dalam proses pengambilan
keputusan. Pengetahuan gizi yang berbeda dapat menimbulkan perbedaan pemahaman gizi yang
berdampak pada keputusan yang diambil oleh ibu rumahtangga khususnya dalam melakukan
konsumsi makanan beragam. Tabel 3 menunjukkan bahwa, tingkat pendidikan berkorelasi nyata
(=0.05) dengan kontinuitas bahan pangan. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan formal yang dimiliki oleh ibu rumahtangga akan meningkatkan kemampuan mereka
dalam memanajemen usaha pekarangan, agar bahan pangan bersumber dari pekarangan dapat selalu
tersedia dan berkelanjutan.
Rata-rata tingkat pendidikan responden di kedua lokasi penelitian (Kabupaten Minahasa dan
Kota Bitung) berada pada kategori pendidikan tinggi (SMA). Dengan modal pendidikan yang
tergolong tinggi ini, responden lebih mudah memahami isi dari informasi tentang program
pemanfaatan pekarangan dan responden dapat menyerap dengan baik teknologi pemanfaatan
pekarangan yang merupakan salah satu sumber bahan pangan untuk keluarganya. Disamping itu
pula, dengan mengetahui fungsi dan manfaat dari pekarangan, serta dengan berbekalkan materi
penyuluhan tentang pemanfaatan pekarangan, responden dapat memilih jenis-jenis komoditas usaha
pekarangan yang lebih bermanfaat bagi kecukupan pangan keluarganya.
Widadie (Rosihan dan Rahmah 2010) menunjukkan bahwa, tingkat diversifikasi konsumsi pangan
rumahtangga perdesaan dipengaruhi oleh pendidikan ibu rumahtangga. Responden yang memiliki
pendidikan tinggi cenderung untuk menerapkan informasi-informasi mengenai pemanfaatan
pekarangan guna meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, dan lebih aktif mencari informasi
pemanfaatan pekarangan dan pengolahan pangan yang mereka butuhkan. Responden yang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah cenderung kurang berminat menerapkan informasi yang mereka
terima, karena mereka belum memahami bagaimana cara agar usaha pekarangan tetap
berkelanjutan.
Pendidikan non formal berkorelasi nyata (=0.05) dengan kontinuitas bahan pangan di
pekarangan. Ini berarti bahwa semakin sering responden mengikuti penyuluhan dan pelatihan
tentang pemanfaatan pekarangan dan pengolahan pangan bersumber dari pekarangan, akan
meningkatkan kemampuan responden dalam memelihara/menjaga agar bahan pangan bersumber
dari pekarangan tetap berkelanjutan. Kegiatan pemanfaatan pekarangan sudah dilakukan oleh
wanita dan keluarganya sebelum adanya program P2KP dan MKRPL. Namun, jenis usaha di
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 309
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pekarangan masih terbatas, dan pemeliharaannya hanya sekedarnya saja. Melalui kegiatan
penyuluhan dan pelatihan yang diikuti oleh ibu rumahtangga, maka pengetahuan dan keterampilan
mereka tentang budidaya sayuran di pekarangan, serta pemilihan jenis-jenis komoditas usaha
pekarangan yang mempunyai nilai ekonomi dan kemanfaatan bagi pemenuhan pangan keluarga
semakin meningkat. Peningkatan pengetahuan tersebut, berdampak pada peningkatan usaha ibu
rumahtangga dalam menjaga agar ketersediaan bahan pangan di pekarangan selalu ada.
Tabel 2. Nilai Korelasi antara karakteristik ibu rumah tangga dengan kontinuitas bahan pangan
Karakteristik KK P
Tingkat pendidikan formal 0.134* 0.029
Pendidikan nonformal 0.238* 0.000
Jumlah anggota keluarga 0.094 0.124
Pendapatan keluarga 0.077 0.213
Curahan waktu 0.169** 0.066
Motivasi 0.049 0.427
**. Signifikan korelasi pada level 0.01
*. Signifikan korelasi pada level 0.05
Curahan waktu pada kegiatan pekarangan berkorelasi nyata (=0.01) dengan kontinuitas bahan
pangan di pekarangan. Menurut hasil penelitian, alokasi curahan waktu yang dikeluarkan oleh ibu
rumahtangga pada kegiatan pemanfaatan pekarangan, sebagian besar hampir pada semua aspek
kegiatan, mulai dari kegiatan budidaya/pemeliharaan komoditas usaha di pekarangan (penyiapan
media tanam, penentuan jenis tanaman, penentuan tata letak tanaman, pemeliharaan tanaman), serta
pascapanen dan pengolahan hasil. Ini berarti besarnya curahan waktu yang diberikan pada kegiatan
pemanfaatan pekarangan sangat berkorelasi dengan ketersediaan bahan pangan di pekarangan.
Semakin sering atau banyaknya waktu yang dicurahkan ibu rumahtangga dalam kegiatan
pemanfaatan pekarangan akan semakin meningkatkan kemampuan mereka dalam
memelihara/menjaga agar bahan pangan bersumber dari pekarangan tetap berkelanjutan.
Aksesibilitas terhadap Informasi
Aksesibilitas informasi adalah ketepatan dan kecepatan responden dalam mengakses berbagai
informasi teknologi pertanian yang dibutuhkan. Informasi teknologi pertanian memegang peran
penting dalam proses pembangunan pertanian. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat
dengan mudah dimanfaatkan, apabila informasinya tidak dihimpun, diolah, dan disajikan dengan
baik, sesuai dengan harapan dan keinginan pengguna.
Kemudahan akses terhadap informasi pemanfaatan pekarangan diharapkan dapat mendorong
pemanfaat pekarangan untuk terus mencari informasi dalam mendukung kegiatan usaha
pekarangannya. Ketersediaan sumber informasi di dekat responden akan berpengaruh terhadap
intensitas akses responden terhadap informasi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan
usahatani pekarangan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suryantini (2004), tersedianya berbagai informasi teknologi
pertanian akan mempercepat kemajuan usaha pertanian. Ketersediaan informasi teknologi pertanian
di suatu wilayah akan berdampak terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan informasi petani.
Glendenning et al. (Andriaty dan Setyorini 2012), dalam memanfaatkan informasi, petani
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain reliabilitas, relevansi, dan kemudahan informasi untuk
dipahami, yang ketiganya dapat dicapai melalui bantuan penyuluh pertanian. Penerapan inovasi
juga ditentukan oleh aksesibilitas terhadap inovasi itu sendiri, ketersediaan dan kredibilitas sumber
informasi serta sarana akses informasi juga akan menentukan kebutuhan informasi pengguna.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 311
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
komoditas pangan lokal, bersifat sambilan, serta hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
dan belum berorientasi pasar.
Menurut responden, ketersediaan informasi mengenai pemanfaatan pekarangan dan pengolahan
pangan bersumber dari pekarangan yang ada di kedua lokasi penelitian, dikategorikan tersedia.
Adanya atau tersedianya informasi teknologi di kedua lokasi penelitian tersebut, memudahkan
responden dalam mengembangkan usaha pemanfaatan pekarangan ke arah yang lebih baik.
Melalui informasi yang diperoleh, responden dapat memilih jenis-jenis komoditas yang sesuai
dikembangkan di lahan pekarangan miliknya, serta jenis-jenis komoditas yang mempunyai nilai
kemanfaatan yang baik, terutama bermanfaat bagi kecukupan pangan dan gizi keluarga. Semakin
tersedianya jumlah dan jenis komoditas usaha di pekarangan, maka akan berpengaruh pada
besarnya kontribusi hasil pekarangan bagi kecukupan pangan keluarga.
Ketersediaan jumlah dan jenis komoditas usaha di pekarangan, juga berkorelasi dengan
kontribusi hasil pekarangan terhadap pendapatan keluarga. Kelebihan produksi hasil pangan yang
telah dipanen, dapat dijual, sehingga keluarga mendapatkan tambahan pendapatan secara tunai.
Dari nilai korelasi yang diperoleh, diindikasikan bahwa semakin tersedianya informasi tentang
pemanfaatan pekarangan dan pengolahan pangan bersumber dari pekarangan, yang ada di lokasi
penelitian, maka akan meningkatkan: kemampuan responden dalam mengusahakan kontinuitas
bahan pangan di pekarangan. Penerapan informasi inovasi teknologi juga ditentukan oleh sifat
inovasi itu sendiri. Suatu informasi inovasi teknologi yang diterima, akan diterapkan pengguna jika
secara teknis mudah dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial budaya dapat
diterima masyarakat. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian informasi yang dibutuhkan responden,
digunakan parameter: seberapa sering informasi yang diperoleh tersebut diterapkan, bagaimana nilai
kemanfaatan dari informasi yang diterima oleh responden, apakah penerapan informasi teknologi
yang diperoleh sesuai dengan ketersediaan sarana, apakah informasi yang diperoleh sejalan dengan
tujuan yang ingin responden capai.
Tabel 3 menunjukkan bahwa, kesesuaian informasi berkorelasi nyata (=0.01) dengan kontinuitas
bahan pangan di pekarangan. Meskipun ketersediaan informasi di lapangan dikategorikan tinggi,
tetapi apabila informasi tersebut tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh responden serta tidak
sesuai dengan kondisi riil yang ada di lapangan, misalnya informasi tersebut sulit diterapkan (sarana
produksi yang akan digunakan tidak tersedia/tidak mendukung, dari segi biaya termasuk mahal,
tidak sesuai kondisi iklim), maka inovasi teknologi yang termuat dalam informasi yang ada, sulit
diterapkan. Kondisi ini dikarenakan intensitas akses ditentukan oleh kebutuhan informasi;
responden akan jarang mengakses sumber informasi tertentu jika informasi yang tersedia kurang
sesuai dengan kebutuhannya, meskipun sumber tersebut mudah diakses. Oleh karena itu,
penyediaan informasi yang sesuai dengan kebutuhan responden serta penyediaan sarana akses yang
memadai sangat dibutuhkan.
Melalui kesesuaian informasi yang diperoleh, responden dapat memilih jenis-jenis komoditas
usaha pekarangan yang sesuai dikembangkan di lahan pekarangan miliknya, serta jenis-jenis
komoditas yang mempunyai nilai kemanfaatan terutama bermanfaat bagi pemenuhan pangan dan
gizi keluarga serta mempunyai nilai ekonomi. Semakin banyaknya jumlah dan jenis komoditas usaha
di pekarangan, terutama komoditas pangan, maka akan berpengaruh pada besarnya kontribusi hasil
pekarangan bagi kecukupan pangan keluarga. Ketersediaan jumlah dan jenis komoditas usaha di
pekarangan, juga berkorelasi dengan kontribusi hasil pekarangan terhadap pendapatan keluarga.
Kelebihan produksi hasil pangan yang telah dipanen, dapat dijual, sehingga keluarga mendapatkan
tambahan pendapatan.
Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor eksternal yang dapat memberikan kontribusi, baik secara positif
maupun negatif dalam mempengaruhi seseorang. Delgado (Rakhmat 2002) menyatakan baik
lingkungan fisik (bersifat kealaman) maupun lingkungan sosial, secara signifikan mempengaruhi
perilaku individu. Ditambahkan pula bahwa, respons otak dan perilaku individu dipengaruhi oleh
setting atau suasana yang melingkupi individu tersebut. Faktor lingkungan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah luas pekarangan, ketersediaan sarana produksi, sosial budaya, dan dukungan
keluarga.Tabel 4, menunjukkan bahwa faktor lingkunganketersediaan sarana produksi berkorelasi
sangat nyata dengan kontinuitas bahan pangan di pekarangan.
Pekarangan di lokasi penelitian umumnya mempunyai daya hasil atau produktivitas lahan yang
rendah, serta luas lahan pekarangan yang terbatas, terutama yang ada di Bitung. Kondisi demikian
antara lain disebabkan oleh penggunaan pekarangan secara terus-menerus tanpa memberikan input
hara yang dibutuhkan tanaman, serta merupakan lokasi perumahan yang sudah ditentukan luas
tanahnya. Ini juga ditambah dengan anggapan responden, bahwa usaha pekarangan hanya
merupakan usaha sambilan.
Kondisi ini diperkuat dengan harga sarana produksi di lapangan dianggap mahal, sehingga
alokasi dana untuk pembelian input pupuk yang menambah daya dukung lahan dan sarana
produksi lainnya termasuk benih, cenderung tidak dilakukan. Pemerolehan sarana produksi baik
benih maupun pupuk, serta media tanam (polibag) masih menggunakan benih bantuan dari
pemerintah. Dengan adanya bantuan sarana produksi dari pemerintah (benih, pupuk, polibag dan
sarana produksi pendukung lainnya), terlihat jelas perbedaan kuantitas komoditas bahan pangan
yang ada di pekarangan, dibanding dengan kuantitas bahan pangan yang ada di pekarangan non
peserta program.
Sosial budaya yang berlaku di lokasi penelitian tidak berkorelasi nyata dengan kontinuitas bahan
pangan bersumber dari pekarangan. Jenis komoditas usaha di pekarangan tidak lagi tergantung pada
adat/budaya leluhur misalnya, dulu setiap rumah tangga menanam kucai dan jahe, yang diyakini
dapat mengusir roh jahat terutama yang dapat mengganggu kesehatan anak mereka. Tetapi setelah
mengetahui manfaat dari tanaman kucai dan jahe tersebut, mereka bukan lagi menanam tanaman ini
dengan tujuan agar terhindar dari roh jahat, tetapi lebih memperhatikan nilai kemanfaatan (dapat
dijadikan tanaman obat dan sebagai bumbu makanan) tanaman tersebut.
Jenis tanaman yang ditanam di pekarangan merupakan tanaman yang bernilai ekonomi sehingga
jika produksi dari tanaman ini berlebihan maka hasilnya dapat dijual. Beberapa jenis komoditas
berasal dari pekarangan, yang dijual oleh responden seperti: daun gedi, kemangi, sereh, cabe, terong,
tomat, jahe, seledri, daun bawang, labu kuning, labu siam, daun singkong, pakcoi, kembang kol, ubi
kayu, jeruk nipis, pisang, sirsak, ayam buras dan babi. Pemilihan komoditas usaha ditentukan
dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga serta kemungkinan
pengembangannya secara komersial. Konsumsi sayuran dari hasil budidaya di pekarangan sendiri
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 313
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
akan membantu perekonomian rumah tangga. Bila sayuran harus dibeli dari pedagang maka
rumah tangga harus mengeluarkan uang untuk membeli, namun dengan budidaya sendiri maka
rumah tangga bisa berhemat, dan uang bisa dipergunakan untuk kebutuhan lain.
Mirjam de Bruijn (2006) mengatakan bahwa perempuan merupakan motor perubahan dan
sebagai pusat produksi makanan. Sebagai motor bagi perubahan ke arah yang lebih baik, wanita
memerlukan dukungan dari keluarga. Dukungan keluarga dalam upaya mempertahankan
kontinuitas bahan pangan, dapat diberikan melalui keterlibatan langsung pada kegiatan
pemanfaatan pekarangan. Pada dasarnya kegiatan pemanfaatan pekarangan tidak membutuhkan
tenaga kerja yang banyak, tidak seperti usaha sawah atau kebun.
Usaha pekarangan hanya melibatkan tenaga kerja dari luar, yaitu pada kegiatan pembersihan
lahan dari rumput atau gulma. Sumber tenaga kerja bagi kegiatan pemanfaatan pekarangan dapat
tercukupi, jika semua anggota keluarga terlibat di dalamnya. Masing-masing dari anggota keluarga,
mendapat tugas untuk melakukan kegiatan pemanfaatan pekarangan. Kondisi keterlibatan anggota
keluarga dalam usaha pemanfaatan pekarangan di kedua lokasi penelitian, dikategorikan rendah.
Ini disebabkan karena kebanyakan anggota keluarga adalah anak-anak yang masih kecil dan masih
bersekolah.
Sehingga fokus kegiatan dari anak adalah sekolah, bukan pada kegiatan pemanfaatan
pekarangan. Demikian juga suami, yang fokus kerja di luar rumah. Sehingga curahan waktu yang
dikeluarkan oleh anggota keluarga (suami dan anak) dikategorikan rendah. Dukungan keluarga
yang diberikan pada responden, adalah dukungan agar responden mengikuti kegiatan penyuluhan
pemanfaatan pekarangan dan pengolahan hasil pangan.
Tabel 4. Korelasi antara lingkungan dengankontinuitas bahan pangan
Lingkungan KK P
Luas pekarangan 0.028 0.646
Ketersediaan sarana produksi 0.242** 0.000
Sosial budaya 0.103 0.092
Dukungan keluarga 0.105 0.088
**. Signifikan korelasi pada level 0.01
*. Signifikan korelasi pada level 0.05
Peran Kelompok
Keberadaan kelompok tani sejak awal dimaksudkan sebagai wahana pemberdayaan petani.
kelompok tani dinilai sebagai organisasi yang efektif untuk memberdayakan petani, meningkatkan
produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani dengan bantuan fasilitasi pemerintah melalui
program dari berbagai kebijakan pembangunan pertanian. Kelompok tani merupakan kelembagaan
petani yang langsung mengorganisir para petani sebagai anggota kelompok dalam mengembangkan
usahataninya.
Kelompok tani berfungsi menjadi titik penting untuk menjalankan dan menterjemahkan konsep
hak petani ke dalam kebijakan, strategi, dan program yang layak dalam satu kesatuan utuh dan
sebagai wadah transformasi dan pengembangan ke dalam langkah operasional.
Menurut Mosher (Nuryanti dan Swastika 2011), bahwa kelompok tani penting sebagai wadah
pembinaan petani yang tergabung di dalamnya, sehingga dapat memperlancar pembangunan
pertanian. Tabel 5 menunjukkan bahwa peran kelompok sebagai kelas belajar mengajar, unit
produksi dan wahana kerjasamatidak berkorelasi nyata dengan kontinuitas bahan pangan bersumber
dari pekarangan.
Peran Kelompok KK P
Kelas belajar mengajar 0.039 0.524
Unit produksi 0.025 0.686
Wahana kerjasama -0.017 0.777
Penyuluhan
Penyuluhan dan pelatihan pada berbagai aspek pemanfaatan pekarangan sangat diperlukan dan
dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang mengelola lahan
pekarangan. Rogers (2003) menyatakan bahwa penyuluh bertugas untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam mengadopsi inovasi. Menurut Sumardjo
(2012) penyuluhan pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku
seseorang atau individu, yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik/konotif sehingga memiliki
individualitas (human capital bukan individualistis) yang siap mewujudkan kesejahteraan keluarga
dan masyarakatnya.
Penyuluhan sebagai suatu pendidikan untuk kelompok wanita tani dan keluarganya haruslah
menggunakan falsafah kerja meningkatkan potensi dan kemampuan para petani dan keluarganya,
sehingga mereka akan dapat mengatasi sendiri kekurangannya, dan dapat memenuhi sendiri
kebutuhannya tanpa harus tergantung pada orang lain (Slamet 2003). Tabel 6 menunjukkan bahwa
materi penyuluhan, metode penyuluhan intensitas penyuluhan, dan kemampuan penyuluh, tidak
berkorelasi nyata dengan kontinuitas bahan pangan bersumber dari pekarangan.
Materi penyuluhan merupakan pesan-pesan yang dikomunikasikan penyuluh kepada
masyarakat sasaran (petani). Pesan tersebut harus bersifat inovatif yang mampu mengubah atau
mendorong terjadinya perubahan perilaku, sehingga terwujud perbaikan-perbaikan mutu hidup
setiap individu dan seluruh masyarakat (Mardikanto 1996).
Materi penyuluhan yang diberikan meliputi: (1) pengoptimalan lahan yang masih kosong; (2)
penentuan jenis bibit sayuran, buah, umbi-umbian; (3) pengolahan lahan dan pembibitan; (4)
pemupukan; (5) pengendalian hama dan penyakit; serta (6) pengolahan hasil pangan bersumber dari
pekarangan (materi pengolahan hasil pangan diberikan oleh Badan Ketahanan Pangan).
Menurut responden, ke enam materi yang diberikan dilihat dari isi materi, kesesuaian dengan
usaha dan tujuan pemanfaatan pekarangan, kesesuaian dengan alokasi waktu, urutan penyajian
materi, perbandingan waktu antara teori dan praktik, sudah sesuai. Namun tingkat kemudahan
dalam menerapkan materi yang digunakan masih kurang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan
dan inginkan juga bahasa yang digunakan oleh petugas kurang dimengerti oleh responden.
Meskipun responden menilai materi yang diberikan hampir semuanya “sesuai”, namun menurut
mereka materi lebih diarahkan pada teknologi produksi, belum pada teknologi usaha pekarangan
secara terpadu. Materi tentang teknologi panen, pengolahan, serta peluang pasar belum mendapat
perhatian dari petugas lapangan. Sebagaimana dikemukakan Tjitropranoto (2005) materi penyuluhan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 315
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
selama tiga dekade lebih didominasi oleh aspek alih teknologi, berorientasi pada kepentingan
program/proyek untuk mencapai target suatu produksi.
Pemahaman responden mengenai materi yang disampaikan, menurut sebagian responden, masih
kurang dimengerti. Karena penggunaan bahasa dan istilah-istilah yang digunakan oleh petugas
lapangan, tidak dimengerti oleh responden, ditambah lagi mereka malu bertanya jika apa yang
disampaikan tidak dimengerti oleh mereka. Untuk itu, cakupan materi penyuluhan dan penggunaan
bahasa perlu dikemas.
Materi penyuluhan seharusnya tidak lagi terbatas pada teknologi produksi, namun juga
memperhatikan teknologi yang mendukung usaha pekarangan seperti teknologi panen, pengolahan,
pengemasan, transportasi, dan informasi pasar, sehingga usahatani pekarangan yang dikelola dapat
menguntungkan dan berkelanjutan. Materi penyuluhan yang dibutuhkan responden harus
didasarkan pada kesempatan, kemauan dan kemampuan mereka untuk menerapkan, bukan karena
perhitungan ilmiah yang dinilai menguntungkan.
Metode penyuluhan menurut Ibrahim et al. (2003) adalah cara-cara penyampaian materi
penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan tersebut dapat dimengerti dan diterima
oleh masyarakat sasaran. Metode penyuluhan dalam pelaksanaan pemanfaatan pekarangan yang
dilakukan di kedua lokasi, adalah metode sekolah lapang dengan membuat demonstrasi plot
(demplot) berupa sebidang kebun bibit milik kelompok yang luasnya ditentukan oleh kelompok.
Kegiatan penyuluhan tentang pemanfaatan pekarangan sejalan dengan kegiatan pelatihan, yaitu
praktik lapang yang semuanya dilakukan di lokasi kebun bibit. Hasil wawancara tentang penilaian
responden terhadap metode yang dilakukan oleh petugas lapang dinilai sudah sesuai. Beberapa
saran dari responden adalah sebaiknya metode serta pendekatan penyuluhan yang digunakan,
ditambah dengan kunjungan ke lokasi atau lahan pekarangan milik anggota. Sehingga lebih
tercipta komunikasi yang lebih akrab antara anggota dan petugas, juga petugas lapangan dapat
melihat langsung kondisi riil yang ada di lapangan.
Tabel 6. Korelasi antara penyuluhan dengan kontinuitas bahan pangan di pekarangan
Penyuluhan KK P
Materi penyuluhan 0.028 0.647
Metode penyuluhan 0.066 0.279
Intensitas penyuluhan 0.043 0.488
Kemampuan penyuluh 0.025 0.687
Intensitas penyuluhan atau banyaknya kontak penyuluh dengan petani merupakan frekuensi dari
petani bertatap muka dengan penyuluh untuk membicarakan hal-hal yang terkait dengan usahatani
mereka. Dalam proses penyuluhan pemanfaatan pekarangan selain teknis budidaya komoditas
usaha di pekarangan, banyak hal lain yang dibutuhkan oleh responden, diantaranya informasi
peluang pasar komoditas usaha pekarangan serta informasi lainnya yang mendukung usa
pekarangan. Tabel 6 menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan tidak berkorelasi nyata dengan
kontinuitas bahan pangan dari pekarangan. Intensitas penyuluhan yang dilakukan di kedua lokasi
penelitian umumnya dilakukan satu kali setiap bulan. Safaruddin et al. (2010) bahwa intensitas
penyuluhan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jenis adopsi inovasi. Artinya
tinggi rendahnya intensitas penyuluhan yang diikuti oleh petani, akan meningkatkan produksi dan
pendapatan petani padi. Hasil penelitian Slameto et al. (2014) menunjukkan intensitas penyuluhan
berpengaruh nyata dan arahnya positif terhadap kemungkinan efektivitas proses pembelajaran
SLPTT padi sawah pada petani etnis jawa.
Jarmie (Sundari 2015) menyatakan bahwa, penyuluhan pertanian merupakan agen perubahan
yang langsung berhubungan dengan petani. Fungsi utamanya yaitu mengubah perilaku petani
dengan pendidikan nonformal sehingga petani mempunyai kehidupan yang lebih baik secara
berkelanjutan. Penyuluh dapat mempengaruhi sasaran dalam perannya sebagai motivator,
edukator, dinamisator, organisator, komunikator maupun sebagai penasehat petani. Dalam proses
penyuluhan pertanian diharapkan terjadi penerimaan sesuatu yang baru oleh responden yang
disebut adopsi. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar
dapat melaksanakan atau menerapkan dengan benar serta menghayatinya dalam usahatani. Jika
teknologi produksi yang diajarkan penyuluh dapat diterapkan oleh responden akan terjadi
peningkatan produksi usahatani pekarangan.
Persepsi
Tabel 7 menunjukkan bahwa persepsi ibu rumahtangga tentang fungsi dan manfaat pekarangan,
serta persepsi tentang diversifikasi pangan bersumber dari pekaranganberkorelasipositif nyata
terhadap kontinuitas bahan pangan.Meningkatnya persepsi positif yang dimiliki oleh ibu
rumahtangga tentang fungsi pekarangan sebagai sumber kenekaragaman bahan makanan yang
dibutuhkan oleh keluarga dalam upaya pemenuhan gizi yang berimbang, cenderung akan diikuti
oleh peningkatan kemampuan perempuan dalam memanfaatkan pekarangan.
Atau dengan kata lain, untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam memanfaatkan
pekarangan sebagai penghasil keanekaragaman pangan yang bergizi dan aman bagi keluarga, maka
perempuan sebagai pemilik dan pemanfaat pekarangan, harus memiliki persepsi yang positif
terhadap fungsi pekarangan sebagai sumber makanan sehat. Oleh sebab itu, perlu upaya untuk terus
memotivasi perempuan dan keluarganya akan pentingnya fungsi pekarangan terutama sebagai
sumber pangan bagi keluarga.
Tabel 7. Korelasi antara persepsidengan kontinuitas bahan pangan di pekarangan
Persepsi KK P
Persepsi tentang fungsi dan manfaat pekarangan 0.134* 0.029
Persepsi tentang diversifikasi pangan bersumber dari 0.136* 0.026
pekarangan
Persepsi tentang pentingnya makanan sehat -0.041 0.504
*. Signifikan korelasi pada level 0.05
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 317
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
KESIMPULAN
Kontinuitas bahan pangan bersumber dari pekarangan yang dimiliki oleh ibu rumahtangga
peserta program KRPL dan P2KP berada pada kategori sedang. Faktor-faktor yang berkorelasipositif
nyatadengan kontinuitas bahan pangan bersumber dari pekarangan adalah: (1) Karakteristik
responden, meliputi: tingkat pendidikan formal,pendidikan nonformal dan curahan waktu pada
usaha pemanfaatan pekarangan; (2)Aksesibilitas informasi, meliputiketersediaan dan kesesuaian
informasi (3) Lingkungan yakni: ketersediaan sarana produksi, serta (4) Persepsi:persepsi tentang
fungsi dan manfaat pekarangan dan persepsi tentang diversifikasi pangan.
Strategi pengembangan pekarangan secara berkelanjutan dilaksanakan lebih bersifat
keberpihakan (affirmative) kepada perempuan dan masyarakat. Untuk itu, lembaga penelitian dan
perguruan tinggi perlu bersinergi untuk mengembangkan teknologi siap terap di masyarakat.
Teknologi yang perlu dikembangkan khususnya untuk kebun bibit desa yang kekurangan sumber air
adalah sistem irigasi hemat air dan hemat tenaga kerja, pengembangan media non tanah, pengolahan
hasil produk pekarangan, pengendalian organisme pengganggu tanaman, serta teknik budidaya
tanaman spesifik lokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adenkule OO. 2013. “The Role of Home Gardens in Household Food Security in Eastern Cape: A
Case Study of Three Villages in Nkonkobe Municipality.” Journal of Agricultural Science; Vol. 5,
No. 10; 2013 Published by Canadian Center of Science and Education. [diunduh 9 September
2014]. Tersedia pada:
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/jas/article/viewFile/27277/17938
Andriaty E, Setyorini E. 2012. Ketersediaan Sumber Informasi Teknologi Pertanian di Beberapa
Kabupaten di Jawa. Jurnal Perpustakaan Pertanian. Vol. 21 No. 1 April 2012: 30-35. [Diunduh
31 Agustus 2014] Tersedia pada: http://203.176.181.72/index.php/jpp/article/viewFile/493/pdf
Ashari, Saptana, dan Purwantini TB. 2012. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan
untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 30 (1), 13-20.
Ibrahim JT. Sudiyono A, Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Malang: Bayu
Media Publishing
Ijinu TP, Anish N, Shiju H, George V, Pushpangadan. 2011. “Home gardens for nutritional and
primary health security of rural poor of South Kerala. Amity Institute for Herbal and Biotech
Products Development, Peroorkada PO, Thiruvananthapuram, Kerala, India-695 005.” Indian
Journal of Traditional Knowledge. Vol. 10(3), July 2011, pp. 413-428
Komalawati, Renie O, Agus H, Ahmad R. 2012. Peran Wanita dalam Memanfaatkan Lahan
Pekarangan Guna Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi
Pekarangan, Semarang 6 November 2012 Hal. 70-76. Undip Press
Mardikanto. 1996. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Jakarta.
Mirjam de Bruijn. 2006. “Gender Equality and Food security: A Development Myth.”African Studies
Centre, Leiden, The Netherlands. CODESRIA Bulletin, Nos 1 & 2, 2006 Page 63.
Nuryanti S, Swastika DKS. 2011. Peran Kelompok Tani dalam Penerapan Teknologi Pertanian. Forum
Penelitian Agro Ekonomi, Volume 29 No. 2, Desember 2011: 115 - 128
Permana R. Sarwititi S. Susanto D, Saleh A. 2014. Efektivitas Komunikasi Program Optimalisasi Lahan
Pekarangan. (Kasus Program Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Mulyasari Kecamatan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 319
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Yumi. 2011. Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
(Kasus di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DI Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri Provinsi
Jawa Tengah). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 8 No. 3 September 2011.
Hlm. 196-210.
ABSTRACT
The study aimed to examine the incorporation of the development of Banuroja Tourism Village through dragon fruit
agribusiness. The study was conducted in Banuroja Village, Randangan District, Pohuwato Regency, Gorontalo
Province, from March 2019 to June 2019. The approach used a Focus Group Discussion (FGD), with a total sample
of 48 respondents. Data analysis used was descriptive qualitative, with several steps namely data collection, data
reduction, data presentation, and concluding. The results showed that: the incorporation of the development of an
integrated tourism village with dragon fruit agribusiness was categorized into 3 aspects namely planning,
implementation and evaluation. 1. The planning includes: (a) intensification of socialization, counseling,
coordination with various parties, (b) planning of replanting plants with new varieties, (c) increasing community
participation. 2. The implementation phase includes: (a) organizing plants, (b) constructing tourist village marker
buildings, (c) involving various elements in implementation, (d) carry out assistance and empowerment for
processing post-harvest of dragon fruit. 3. The evaluation includes: (a) data collection and analysis of the success of
farming and village tourism, (b) assistance and coaching in the context of evaluating the tourism village program.
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mengkaji inkorporasi pengembangan Desa Wisata Banuroja melalui agribisnis
buah naga. Penelitian dilakukan di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato,
Provinsi Gorontalo, pada Bulan Maret sampai Juni 2019. Pendekatan menggunakan pendekatan Focus
Group Discussions (FGD), dengan jumlah sampel berjumlah 48 responden. Analisis data digunakan ialah
deskriptif kualitatif, dengan beberapa langkah yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: dalam inkorporasi pengembangan
desa wisata terintegrasi dengan agribisnis buah naga dikategorikan ke dalam 3 aspek yakni perencanaan,
pelaksanaa dan evaluasi. 1. Pada perencanaan meliputi: (a) intensifikasi sosialisasi, penyuluhan,
koordinasi dengan berbagai pihak, (b) perencanaan penyulaman tanaman dengan varietas baru, (c)
peningkatan partisipasi masyarakat. 2. Tahap pelaksanaan meliputi: (a) melakukan penataan tanaman, (b)
pembuatan bangunan penanda desa wisata, (c) pelibatan berbagai elemen dalam pelaksanaan, (d)
melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan untuk pengolahan pasca panen buah naga. 3. Evaluasi
meliputi: (a) dilakukan pendataan dan analisa terhadap kerberhasilan usahatani dan desa wisata, (b)
pendampingan dan pembinaan dalam rangka evaluasi program desa wisata.
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian yang berkelanjutan akan selalu mengintegrasikan bentuk-bentuk
kearifan baik kearifan sumberdaya alam dan kearifan sosial-budaya dari masyarakat. Menurut
Fadhilah (2013), bahwa kearifan akan memediasi nilai yang didukung oleh kinerja inteligensi praktis.
Pola pembangunan tersebut secara eksplisit dijadikan pedoman dalam merubah cara pandang
masyarakat terhadap kehidupannya. Pembangunan yang tepat akan berkontribusi secara maksimal
terhadap peningkatan sosial-ekonomi masyarakat, baik di daerah, maupun di tingkat nasional,
sekaligus tetap mengendalikan dan mengkonservasi sumber daya alam (SDA) yang ada agar tetap
lestari (Suparwata, 2018). Potensi alam dan kearifan lokal merupakan modal besar yang dapat
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 321
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
diimplikasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Hilman, 2017). Kemajuan teknologi
di pertanian mengarahkan pada upaya integrasi antar berbagai sektor dengan memanfaatkan sumber
daya lokal.
Adanya upaya kreatif dan inovatif agar lahan yang ada tetap mampu memberikan hasil yang
optimal, termasuk menjadikan daya tarik wisata. Pengembangan pariwisata berbasis sumber daya
pertanian atau yang sering disebut agrowisata (Marwanti, 2015). Secara ekonomi, agrowisata berbasis
usahatani dapat meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat, sedangkan secara sosial budaya,
agrowisata turut menjaga kelestarian dan kearifan lokal dalam pengelolaan usahatani (Handayani,
2016). Agroekowisata dapat menjadi nilai tambah lahan pertanian melalui jasa wisata
(Dwiridotjahjono et al., 2017). Strategi yang dapat dikembangkan oleh Rustiono (2014), ialah
pengembangan kapasitas sumber daya yang dimiliki masyarakat lokal, strategi edukasi dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan kewirausahaan sosial serta strategi
kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan demikian pengembangan pertanian
berbasis wisata buah naga dapat dikembangkan dengan keberagaman kearifan lokal yang terdapat di
Desa Banuroja.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2019, di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan,
Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo yang dipilih secara purposive atau sengaja. Pertimbangan
pemilihan lokasi yakni: (1) kesesuaian dnegan topic penelitian yang di bahas, (2) masyarakat di Desa
Banuroja telah mengembangkan usahatani buah naga sejak tahun 2009, (3) desa banuroja juga
merupakan desa wisata multi etnis, (4) masyarakat dominan bermata pencaharian sebagai petani
(68,8%). Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa desa ini sangat potensi untuk dilakukan
pengembangan program wisata pertanian dengan melakukan inkorporasi/penyatuan dengan wisata
multikultur.
Desain Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focus Group Discussions (FGD). Peneliti
berupaya untuk menggali informasi dari masyarakat petani yang berkaitan dengan pola, kebiasaan,
tindak usahatani, dukungan, saran, penyataan, dalam suatu diskusi terarah. Pada kegiatan ini
peneliti menempatkan diri sebagai fasilitator dan moderator. Peneliti hanya mengarahkan, mencatat,
dan memfasilitasi responden dalam diskusi. Hal ini dilakukan agar tidak terdapat intervensi dan
tendensi dari peneliti terhadap apa yang akan disampaikan ataupun diungkapkan oleh masyarakat.
Populasi dan Sampel
Populasi dimaksud dalam penelitian adalah petani buah naga yang terdapat di Desa Banuroja
yakni sebanyak 160 orang. Sampel ditentukan sebesar 30% dari populasi, sehingga diperoleh 48
responden. Dari sampel ini telah dapat mewakili dari keeluruhan populasi yang ada dalam suatu
kegiatan diskusi.
Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Untuk memperoleh sajian data yang baik
dalam penelitian ini, beberapa langkah dilakukan dalam analisis data (Sugiyono, 2013), yang
meliputi: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan.
Dalam penelitian ini, desa banuroja merupakan satu daerah yang telah mengembangkan diri
menjadi desa wisata dengan keberagaman adat, suku, dan agama. Olehnya, desa ini dikatakan
sebagai desa wisata multikultural. Untuk lebih berkembangnya desa wisata banuroja, peneliti
berupaya untuk melakukan penyatuan program terhadap promosi wisata di bidang pertanian. Hal
ini dikarenakan bahwa penduduk masyarakat desa banuroja yang secara umum bermata
pencaharian sebagai petani. Disamping itu, pada pekarangan rumah masyarakat terdapat satu usaha
yang dikembangkan yakni usahatani buah naga. Kondisi ini menjadi menarik bila dikembangkan
menjadi satu wisata pertanian di dalam desa wisata multikultural.
Untuk mencapai kesepakatan bersama dalam upaya inkorporasi agribisnis buah naga ke dalam
desa wisata di banuroja maka dilakukan proses diskusi terarah bersama masyarakat, tokoh adat,
tokoh pemuda, dan pemerintah setempat (Gambar 1a,b). Tujuan dari diskusi ini tidak lain untuk
menggali informasi, potensi, dan kesepakan bersama dari berbagai pihak untuk menentukan arah
pengembangan desa wisata yang berdampingan dengan pertanian. Dalam diskusi ini masyarakat
begitu antusias untuk mengikutinya, banyak hal-hal yang diusulkan demi kemajuan desa banuroja.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 323
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Posisi peneliti dalam diskusi ini adalah sebagai mediator dan pengarah dalam diskusi. Posisi ini
peneliti ambil untuk memberikan keleluasaan dan keterbukaan kepada masyarakat.
Pada kegiatan diskusi ini beberapa hal yang diusulkan oleh masyarakat yang peneliti kategorikan
menjadi 3 aspek usulan yakni pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Usulan-usulan tersebut
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil kegiatan FGD bersama masyarakat dalam upaya
pengembangan agribisnis buah naga
Usulan-usulan masyarakat dalam kegiatan diskusi sangat membantu dalam rangka sustainability
desa wisata. Dalam hal ini masyarakat menjadi subjek dan bagian pelaku usaha pengembangan desa
wisata berbasis pertanian. Oleh karena itu, untuk lebih mempromosikan desa wisata terintegrasi
dengan agribisnis buah naga diperlukan merubah strategi dari hanya terfokus pada budidaya saja
kearah pengembangan Agrowisata, pemilihan varietas trend dan disukai konsumen dan perlunya
membentuk kelompok tani dalam pengelolaan agrowisata berbasis buah naga di Desa Banuroja.
Dalam hal ini, pengembangan agroekowisata dapat menjadi nilai tambah lahan pertanian melalui
jasa wisata dan pemasaran produk pertanian yang lebih baik. Agroekowisata sebagai suatu bentuk
pariwisata yang memanfaatkan budaya petani sebagai daya tarik wisata. Agrowisata hampir sama
dengan ecotourism kecuali penekanan pemanfaatannya bukan terhadap natural landscape
(Dwiridotjahjono et al., 2017). Lebih lanjut Avenzora dan Teguh dalam Dwiridotjahjono et al., (2017),
menjelaskan ekowisata tidak hanya menawarkan rekreasi, namun juga dapat meningkatkan
pengetahuan pertanian pengunjungnya dan mengurangi arus urbanisasi dengan memandirikan dan
memajukan perekonomian setempat terutama petani.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah WR, Praptapa A, dan Mafudi. 2017. Strategi pengembangan desa wisata berbasis
masyarakat (community based rural tourism) di Desa Papringan. Dalam Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII, 17-18
November 2017, pp. 1072–1083.
Atmoko TPH. 2014. Strategi pengembangan potensi Desa Wisata Brajan Kabupaten Sleman. Jurnal
Media Wisata. 12(2): 146–154.
Dwiridotjahjono J, Arifin Az, Sasongko PE, Maroeto, dan Santoso W. 2017. Pengembangan
agroekowisata berbasis perkebunan kopi rakyat di Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan.
Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat Agrokreatif. 3(2): 157–165.
Fadhilah A. 2013. Kearifan lokal dalam membentuk daya pangan lokal komunitas molamahu
Pulubala Gorontalo. Jurnal Al-Turas Kearifan Lokal. 19(1): 25-37.
Handayani S. 2016. Agrowisata berbasis usahatani padi sawah tradisional sebagai edukasi pertanian
(studi kasus Desa Wisata Pentingsari). Habitat. 27(3): 133–138.
Hilman YA. 2017. Strategi pembangunan pariwisata internasional berbasis pertanian organik “shining
batu”. Aristo. 5(1): 82-100. doi: 10.24269/ARS.V5I1.402.
Marwanti S. 2015. Pengembangan agrowisata berbasis masyarakat di Kabupaten Karanganyar.
Caraka Tani - Journal of Sustainable Agriculture. 30(2): 48–55.
Rustiono, Trimurti dan Suparwi. 2014. Model desa wisata pendidikan pertanian berbasis
kewirausahaan sosial dan kemitraan (studi pengembangan pariwisata Di Kabupaten Wonogiri
Jawa Tengah ). Agronomika. 09(02): 191–212.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suparwata DO. 2018. Pandangan masyarakat pinggiran hutan terhadap program pengembangan
agroforestri. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 15(1): 47–62.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 325
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Trisnawati AE, Wahyono H, dan Wardoyo C. 2018. Pengembangan desa wisata dan pemberdayaan
masyarakat berbasis potensi lokal. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian dan Pengembangan.
3(1): 29–33.
Wuri J, Hardanti YR, dan Hartono LB. 2015. Dampak keberadaan kampung wisata terhadap
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Jurnal Penelitian. 18(2): 143–156.
Hartin Kasim
ABSTRAK
Munculnya fenomena industri 4.0 dalam konteks penyuluhan inovasi pertanian dapat disikapi menjadi
peluang sekaligus tantangan untuk akselerasi inovasi pertanian.Makalah bertujuan untuk: (a)
mengelaborasi perspektif kegiatan penyuluhan pertanian dalam mendukung percepatan (akselerasi)
inovasi pertanian di Era Industri 4.0, dan (b) Mengidentifikasi faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
kinerja penyuluhan pertanian. Pembahasan didasarkan hasil observasi lapangan di Wilayah Sulawesi
Utara tahun 2018 diperkaya dengan tinjauan pustaka yang relevan. Data dan informasi yang
dikumpulkan meliputi antara lain: Performa penyuluh pertanian, kegiatan penyuluhan, capaian hasil
penyuluhan, karakteristik petani, dan identifikasi faktor-faktor yang diprediksi mempengaruhi kinerja
penyuluhan. Data dan informasi yang terkumpul dideskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif
menggunakan pendekatan SCP kemudian dipertajam dengan SWOT. Hasil pembahasan menunjukkan
bahwa pada dasarnya keberadaan penyuluhan masih diperlukan dalam era industry 4.0.Orientasi
dukungan penyuluh ditujukan pada kegiatan yang tidak dapat disubstitusi kemajuan teknologi yaitu
antarta lain mendorong penumbuhan sikap yang positif sehingga sasaran (petani) menjadi apresiatif
terhadap inovasi pertanian, dorongan peningkatan pengetahuan sehingga petani memiliki wawasan
yang luas dan bimbingan teknis keterampilan sehingga petani bekerja efektif dan efisien. Hal yang perlu
dilakukan penyuluh dalam menghadapi era industri 4.0, adalah mengadaptasi metoda penyuluhan,
memformulasikan kemasan materipenyuluhan danrekayasa mekanisme penyuluhan pertanian.
Kata Kunci: Era Industri 4.0, penyuluhan, akselerasi inovasi, SCP, SWOT
PENDAHULUAN
Dalam era pembangunan pertanian yang sangat dinamis seperti saat ini, kegiatan penyuluhan
menjadi faktor determinan strategis untuk mendukung percepatan atau akselerasi inovasi pertanian
menuju tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di dalam Permentan No 18 tahun
2018,penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha agar
mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi
pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran
dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Keberhasilan penyuluhan pertanian ini pada tataran empiris tidak terlepas dari kondisi
dinamika perubahan lingkungan strategis. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluhan
pertanian, salah satunya adalah munculnya fenomena disrupsi sebagai indikasi terjadinya era
revolusi 4.0. Menurut para pakar ekonomi dan manajemen yang dimaksud era revolusi 4.0 adalah
suatu era yang menunjukkan terjadi perubahan besar dan mendasar dalam berbagai aspek
kehidupan (Rhenald Kasali, 2017). Era disrupsi ini tentu akan menuntut perubahan dalam berbagai
aspek, mencakup kebijakan, budaya, pola pikir (mindset) dan termasuk pada pendekatan
penyuluhan pertanian.
Berkenaan dengan kondisi dinamika perubahan itu, maka melakukan antisipasi era disrupsi
dalam perspektif penyuluhanpertanian menjadi krusial.Persoalannya adalah:(1) Bagaimanakah
performapenyuluhan pertanian di era industri 4.0 atau era disrupsi?, (2) Bagaimanakah cara
mengubah tantangan menjadi peluang yang terjadi dalam era disrpsi?, dan (3) Bagaimanakah strategi
efektif penyuluhan di era disrupsi ?. Makalah ini secara umum bertujuan untuk mengungkap
dukungan penyuluhan pertanian dalam akselerasi inovasi pertanian di era industry 4.0, dan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 327
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menyusun strategi penyuluhan efektif menghadapi era industry 4.0. Secara spesifik, makalah
bertujuan untuk: (a) mengetahui performa penyuluhan era disrupsi dalam perspektif akselerasi
pertanian, (b) mengetahui peluang penyuluhan di era disrupsi, dan (c) memformulasikan strategi
penyuluhan yang efektif menghadapi era disrupsi.
PENDEKATAN
Makalah disusun berdasarkan hasil observasi dan dan data hasil tinjauan, yang mengakomodasi
berbagai sumber informasi yang relevan. Pengumpulan data dilakukan dalam periode 2017 – 2018,
dengan cara desk study, penelusuran data statistik, laporan dan surfing web. Cakupan wilayah studi
adalah Provinsi Sulawesi Utara.
Jenis data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari: sebaran data penyuluh pertanian, rumah
tangga yang menjadi sasaran penyuluhan, penguasaan lahan oleh rumah tangga usaha pertanian,
dan perkembangan rumah tangga usaha pertanian. Data dan informasi yang terkumpul dianalisis
menggunakan pendekatan SWOT (Strenghtening, Weaknesses, Opportunities, Threats) atau
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman) mengikuti cara Hendayana, R (2016) yang
mengutipRangkuti (1999), Fardiaz, et.al.(2019).
Dengan kondisi penyuluh pertanian seperti itu, tampaknya Sulawesi Utara masih perlu ada
tambahan penyuluh, mengingat jangkauan wilayahnya yang luas. Meskipun dari perhitungan pada
Tabel 1, rata-rata penyuluh ada satu orang per desa namun sebarannya tidak merata. Bahkan ada
beberapa desa dilayani oleh satu orang penyuluh.
Sasaran Penyuluhan
Obyek yang menjadi sasaran penyuluhan adalah masyarakat tani yang dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu pelaku utama dan pelaku usaha. Pelaku Utama (petani) adalah Warga Negara
Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usahatani di bidang tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan, sedangkan Pelaku Usaha adalah setiap
orang yang melakukan usaha sarana produksi pertanian, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian,
serta jasa penunjang pertanian yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia
(Permentan 82/2013). Materi yang disuluhkan adalah kegiatan usahatani, yang meliputi kegiatan
dalam bidang pertanian, mulai dari produksi/budidaya, penanganan pascapanen, pengolahan,
sarana produksi, pemasaran hasil, dan/atau jasa penunjang. Komoditas yang diusahakan terdiri dari
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Sasaran anggota rumah tangga yang
menjadi target penyuluhan di Sulawesi Utara, tercatan sekitar 540.520 jiwa. Dari jumlah sasran
tersebut, sebagian adalah laki-laki (465.617 jiwa) dan sisanya (74.903 jiwa) perempuan.. Ditinjau dari
bidang usahanya, sebagian besar petani di Sulawesi Utara memiliki pilihan bidang usaha di
subsektor perkebunan (35,9 persen). Subsektor berada dalam posisi kedua, lalu subsektor
hortikultura dan terakhir subsektor peternakan (Tabel 2).
Tabel 2. Rumah Tangga Usaha Pertanian yang menjadi sasaran
penyuluhan di Sulawesi Utara
laki-laki Perempuan
Berdasarkan Subsektor Jumlah (jiwa) Proporsi (%)
(jiwa) (jiwa)
Tanaman Pangan 119.028 19.382 138.410 25,61
Hortikultura 95.574 21.561 117.135 21,67
Perkebunan 172.148 21.831 193.979 35,89
Peternakan 78.867 12.129 90.996 16,83
Jumlah 465.617 74.903 540.520 100
Sumber: Survey Sosial Ekonomi, 2013.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 329
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Berdasarkan sensus pertanian 2013, dalam kurun waktu 10 tahun (2003 – 2013) terjadi perubahan
jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) seperti tampak pada Tabel 3.
Tabel 3. Perubahan Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
di Sulawesi Utara 2003 - 2013
Dari Tabel 3, terlihat secara keseluruhan jumlah RTUP berkurang mencapai 23,07 persen, yaitu
dari semula sekitar 750 ribu RTUP pada tahun 2003 berkurang menjadi tinggal 580 ribu RTUP, atau
berkurang sekita 174 ribu RTUP.Menurunnya jumlah RTUP tersebut, terjadi pada hampir seluruh
RTUP yang bergerak di semua bidang, kecuali kehutanan. Bahkan RTUP di sektor kehutanan itu
dalam kurun waktu 10 tahun meningkat lebih dari 20 persen.
Penurunan jumlah RTUP paling banyak terjadi pada RTUP yang bergerak di bidang jasa
pertanian, diikuti RTUP di sektor perikanan. Sementara itu penurunan paling rendah terjadi pada
RTUP yang bergerak di subsektor tanaman perkebunan.
Tabel 6. Penguasaan Lahan Pertanian oleh RTUP di Sulawesi Utara
RTUP Persentase
Luas lahan (ha)
2003 2013 2003 2013
<0,1 62086 30179 19,14 11,9
0,1-0,19 18185 13789 5,61 5,44
0,2-0,49 45780 35090 14,11 13,84
0,5-0,9 70646 53546 21,78 21,12
1,0-1,9 80301 68733 24,76 27,11
2,0-2,9 26626 26595 8,21 10,49
>3 20750 25571 6,4 10,09
Jumlah 324374 253503 100 100
Sumber: Survey Sosial Ekonomi, 2013.
Menurunnya jumlah RTUP dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain ada yang pindah mata
pencaharian ke sektor non formal. Berdagang atau pindah untuk mengadu nasib di kota. Namun ada
juga RTUP yang keluar karena faktor usia. Jika ditinjau dari penguasaan lahan pertanian yang
menjadi basis melakukan usahatani, terjadi dinamika sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.
Proporsi petani yang memiliki lahan sempit berkurang proporsinya, sementara itu yang lahannya
relatif luas jumlahnya meningkat. Kondisi tersebut menunjukkan adanya perbaikan performa
pemilikan luas lahan.
Dimensi Dukungan Penyuluhan
Era disrupsi atau era revolusi industri 4.0 merubah tatanan kehidupan, akan berpengaruh pada
kegiatan penyuluhan. Bukan berarti penyuluhan tidak lagi diperlukan di era revolusi industri, akan
tetapi cara atau pendekatan penyuluhan perlu menyesuaikan dengan dinamika perubahan yang
terjadi.Bahwa dukungan penyuluhan masih tetap akan diperlukan di era revolusi industri, hal itu
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 331
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Strategi Efektifitas Penyuluhan
Era revolusi industri 4.0, memberi peluang sekaligus tantangan untuk rancang bangun
penyuluhan pertanian dalam mempercepat inovasi pertanian kepada masyarakat calon pengguna
inovasi. Menghadapi kondisi demikian penyuluh dituntut mampu beradaptasi, dan mengakomodasi
perubahan yang terjadi untuk dijadikan landasan dalam mengatur strategi penyuluhan.
Dalam tataran empiris, kita menyaksikan dan bahkan telah terlibat didalam aktivitas seperti:
telekonferensi, video call, website atau blog, vlog, FB, IG, WA, line, telegram yang semuanya
memanfaatkan keberadaan telepon pintar atau smartphone.Keberadaan inovasi di era revolusi 4.0 ini
dapat mengubah pendekatan penyuluhan konfensional yang selama ini dilakukan.
KESIMPULAN
Dalam era revolusi industri 4.0, dukungan penyuluh masih tetap akan diperlukan karena
kegiatan penyuluhan lebih ditujukan pada pemberian motivasi dan fasilitasi kebutuhan pengguna.
Oleh karena itu, meskipun kegiatan pertanian sudah mengakomodasi perubahan karena revolusi 4.0
kedudukan penyuluh tetap urgen. Agar keberadaan penyuluh tetap eksis di era industri 4.0, maka
penyuluh perlu terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dengan cara proaktif mengikuti
pelatihan, meningkatkan kemampuan literasi, dan meningkatkan keterampilan terkait inovasi
teknologi digital.
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, John R and Mohammed Rafiquzzaman. 1998. The Determinant of The Adoption Lag for
Advanced Manufacturing Technologies. Management of Technology, Sustainable
Development and Eco-Efficiency. Elsevier Science Ltd, UK
Fagi, A.M., 2008. Alternatif Teknologi Peningkatan Produksi Beras Nasional. Iptek Tanaman Pangan
Vol.3 No.1
Fardiaz, D., Joerg Hartmann, Edi armanto, Soetrisno Kusumohadi, Edjen Djenal Arifin. 1999.
Pedoman Analisis SWOT BPTP/LPTP/IPPTP. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipatif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deartemen Pertanian Republik
Indonesia.
Fathan Muhammad Taufiq, 2016. PP No. 18 Tahun 2016 Tidak Mengubah Tugas dan Fungsi Penyuluh
Pertanian. Kompasiana.
Hendayana, R., 2006. Lintasan dan Peta Jalan (Road Map) Diseminasi Teknologi Pertanian Menuju
Masyarakat Tani Progresif. Prosiding Lokakarya Nasional Akselerasi Diseminasi Inovasi
Pertanian Mendukung Pembangunan Berawal dari Desa. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian.
Hendayana, R., 2011. Analisis Efektivitas Pendampingan Program Strategis Kementerian Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian.
Hendayana, R., 2014. Akuntabilitas Diseminasi Teknologi Hasil Penelitian dan Pengkajian oleh Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.
Hendayana, R., 2015. Aplikasi Analisis Adopsi dan Difusi Teknologi Pertanian. Contoh dan Latihan.
Materi dalam Workshop Pemanfaatan dan Penggunaan Alat Analisa Sosial Ekonomi Dalam
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 333
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Menganalisis Penerapan Teknologi Pertanian 6 – 11 September 2015. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Hendayana, R., 2016. Analisis Data Pengkajian. Cerdas dan Cermat Menggunakan Alat Analisis Data
Untuk Karya Tulis Ilmiah. IAARD.PRESS
Hendayana, R., 2018. Membangun Sistem Diseminasi Inovasi Pertanian Di Era Disrupsi Untuk
Mempercepat Hilirisasi Teknologi Pada Masyarakat Tani. Orasi Purna Tugas. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Rangkuti, F., 2009. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan
Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rhenald Kasali. 2017. Disruption: “Tak Ada Yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi”. Menghadapi
lawan-lawan tak Kelihatan Dalam Peradaban Uber. PT Gramedia Pustaka Utama
Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The Free Press.
Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press.
Stanley Wood, Liangzhi You dan Wilfred Baitx, 2001. International Food Policy Research Institute,
Washington, D.C
Jl. Veteran, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
4JurusanBudidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang,
Jl. Veteran, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
[email protected]
ABSTRACT
Soil moisture is the main barrier to food crop production in areas with low rainfall. Planting patterns with the use of
soil moisture can increase food crop production. The study aims to determine the planning of planting patterns
according to the availability of soil moisture and farm income levels obtained by farmers. The research was conducted
from March 2015 to May 2018 located in Unter Iwes Subdistrict, Sumbawa Regency, West Nusa Tenggara Province.
The research method used a survey of 347 farmers as respondents using a questionnaire. The data analysis method
used in the research is descriptive analysis by combining qualitative and quantitative approaches. Cropwat Model 8.0
with monthly meteorological data input in the last two years to calculate soil moisture balance and crop water
requirements, to adjust planting time and to evaluate field crop production in the arid zone. The research results
revealed that the potential planting time, based on the moisture balance was November, with the cropping pattern
that had higher benefits than monoculture. Namely intercropping, corn with either green beans, or peanuts.
ABSTRAK
Lengas tanah merupakan pembatas utama produksi tanaman pangan pada wilayah yang memiliki curah
hujan rendah.Pola tanam dengan pemanfaatan lengas tanah dapat meningkatkan produksi tanaman
pangan.Penelitian bertujuan untuk mengetahui perencanaan pola tanam sesuai ketersediaan lengas
tanah dan tingkat pendapatan usahatani yang diperoleh petani.Penelitian dilaksanakan mulai bulan
Maret 2015 sampai dengan bulan Mei 2018 berlokasi di Kecamatan Unter Iwes, Kabupaten Sumbawa,
Propinsi Nusa Tenggara Barat.Penelitian menggunakan surveipada 347 orang responden dengan
menggunakan kuesioner.Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis
deskriptif dengan memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model Cropwat 8.0 dengan input
data meteorologi bulanan dari tahun 2005-2016 untuk menghitung neraca lengas tanah dan kebutuhan
air tanaman, untuk penyesuaian waktu tanam dan evaluasi produksi tanaman dibawah kondisi lahan
kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu potensial tanam berdasarkan neraca lengas, yaitu
bulan Nopember, dengan pola tanam yang memiliki keuntungan tertinggi yaitu pola tanam jagung dan
kacang hijau, jagung dan kacang tanah.
Kata kunci: curah hujan, lahan kering, pendapatan,usahatani
PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah provinsi yang memiliki lahan kering iklim kering
(LKIK) seluas 1,5 juta ha sehingga memiliki posisi strategis dalam penyediaan kebutuhan pangan
(Mulyani et al., 2014, dan Ayu et al., 2017). Kabupaten Sumbawa, merupakan salah satu daerah di
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki lahan seluas 664.398 Ha, dan baru 86.494 Ha
dimanfaatkan sebagai lahan kering pertanian tanaman pangan, sekaligus menjadi lahan kering
tanaman pangan terluas di NTB (BPS Kabupaten Sumbawa, 2017).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 335
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pengembangan tanaman pangan di lahan kering, semakin diperburuk oleh perubahan iklim yang
berdampak terhadap peningkatan suhu udara rata-rata dan penurunan total curah hujan tahunan
akibat dampak perubahan iklim (Chisanga, Phiri dan Chinene, 2017), termasuk yang terjadi di lahan
kering Kabupaten Sumbawa. Jumlah curah hujan rata-rata Kabupaten Sumbawa dalam kurun
waktu 13 tahun terakhir, relatif rendah dengan distribusi tidak seragam (108,12 mm/tahun) (BPS
Kabupaten Sumbawa, 2004-2016). Kondisi curah hujan yang rendah mempengaruhi luas panen dan
produksi, terutama pada kondisi terjadi iklim ekstrim El-Nino atau La-Nina (Suciantini, 2015),
berdampak terhadap produksi pangan dan ketahanan pangan (Apriyana et al., 2017).
Perubahan iklim di lahan kering mempengaruhi kejadian kekeringan yang ekstrim, awal musim
hujan dan kemarau menjadi tidak teratur, kesulitan menentukan waktu menabur benih,
keterlambatan waktu tanam, meningkatkan ancaman cekaman air bagi tanaman, kejadian gagal
tanam dan gagal panen (Cakir, 2004; Hamdy et al., 2016; Ali et al., 2017; Petrović, Labović dan
Dašić, 2019). Kondisi suhu tinggi dalam rentang yang panjang dan penurunan curah hujan
mempengaruhi ketersediaan lengas tanah, dan berkorelasi dengan hilangnya air melalui
evapotranspirasi pada suatu wilayah (Vogel et al., 2017).
Lengas tanah tersedia mencerminkan banyaknya air yang dapat disimpan dalam profil tanah,
sebagai gambaran surplus dan defisit lengas tanah yang berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Hal
ini sangat penting dalam kaitannya dengan perencanaan waktu tanam, keberhasilan pertumbuhan
tanaman dan produksi tanaman di suatu hamparan lahan kering (Otegui, Andrade, dan Suero, 1995;
Cavero et al., 2000; Barron et al., 2003; Chachalis, Lolas dan Zanakis, 2007; Ayu et al., 2013; Bonelliet
al., 2016; Petrović, Labović dan Dašić, 2019).
Pemanfaatan lengas tanah merupakan faktor penting dalam pengelolaan pertanian lahan kering,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pangan pada suatu periode tertentu
(Denmead dan Shaw, 1960; Doorenbos dan Kassam, 1979). Peningkatan produksi tanaman dengan
cara mengoptimalkan ketersediaan lengas tanah menjadi fokus utama dalam pengelolaan tanah dan
lengas-tanah di daerah kering dan semi kering, karena secara umum air tersedia dalam solum tanah
ini yang dapat diserap oleh tanaman lahan kering, seperti jagung, kedelai, kacangtanah, kacang hijau
(Claassen dan Shaw, 1970; Sadras dan Calvino, 2001; Calviño, Andrade dan Sadras, 2003; Payero et
al., 2006; Dağdelenet al., 2009; Pejićet al., 2009; Xu, 2014).
Pemilihan teknologi pengelolaan lahan dan pemilihan jenis komoditi tanaman yang sesuai
dengan kondisi fisik tanah yang efektif dapat memperbaiki jadwal tanam dan meningkatkan
intensitas tanam di lahan kering dari sekali tanam menjadi dua kali tanam (Staggenborg et al., 1999;
Sorensen, Stone dan Rogers, 2000; Debaeke dan Aboudrare, 2004; Saseendran et al., 2005; Rost et al.,
2009; Tsimba et al., 2013; Zhouet al., 2011). Hal ini akan membawa konsekuensi perubahan sistem
sosial petani, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah berkelanjutan di Kabupaten Sumbawa.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola tanam di lahan kering yang sesuai dengan ketersediaan
lengas tanah dan tingkat pendapatan usahatani yang diperoleh petani.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Unter Iwes Kabupaten Sumbawa NTB, dari Maret 2015-
Desember 2017. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
dikumpulkan secara langsung dilapangan, terkait dengan karakteristik responden, input produksi,
dan harga input produksi. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan, kuisioner, wawancara di
lapangan dengan petani responden. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait, yaitu:
data meteorologi periode tahun 2005-2016 dari data BMKG Kabupaten Sumbawadata meteorologi
Bulan P PE D S
Januari 145,4 96,1 0,0 162
Februari 152 97,73 0,0 54,3
Maret 135,2 107,26 0,0 27,9
April 102,1 118,8 0,90 0.0
Mei 57,6 124,31 18,53 0.0
Juni 23,4 117,9 54,29 0.0
Juli 15,7 119,66 81,06 0.0
Agustus 1,6 124 109,62 0.0
September 15,4 125,1 104,45 0.0
Oktober 34,1 126,17 89,83 0.0
November 93,8 111 16,91 0.0
Desember 134,8 99,82 0,0 0.0
Jumlah 911,1 1367.85 475,59 244,2
Sumber: Penelitian (2018)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 337
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kebutuhan Air Tanaman dan Skenario Waktu Tanam
Curah hujan berdampak terhadap waktu tanam pada lahan kering sangat singkat, sehingga
memajukan waktu tanam merupakan upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan hujan yang singkat
dalam memenuhi kebutuhan air tanaman setiap fase pertumbuhan tanaman.
Pemanfaatan ketersediaan lengas pada tanah melalui memajukan waktu tanam pada bulan
November dasarian I merupakan upaya peningkatan produksi tanaman mencapai
maksimal.Penanaman yang dilakukan pada bulan Februari menunjukkan bahwa kebutuhan air
tercukupi oleh lengas tanah, dan penanaman yang dilakukan setelah bulan Februari membutuhkan
irigasi tambahan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman. Irigasi tambahan menjadi penting,
karena penyediaan air yang cukup pada saat periode kritis dapat menghindarkan efek cekaman
airpada tanaman dan memperbaiki produksi tanaman (NeSmithdanRitchie,1992; Herrero dan
Johnson, 1981; Earl dan Davis, 2003; Mansouri-Faret al., 2010).
Hasil simulasi jadwal pemberian air pada masing-masing pola tanam memperlihatkan perbedaan
besar nilai pemberian air pada bulan-bulan tertentu. Pola tanam pada dasarian November
menunjukkan suplai penambahan air dapat dilakukan pada bulan Februari sampai bulan Agustus
dan bulan Desember dengan jenis tanaman dan kebutuhan air yang berbeda, menunjukkan bahwa
peningkatan hasil tanam ditentukan oleh penetapan tanggal tanam, kalender tanam paling awal.
Pemahaman kebutuhan air tanaman sangat penting untuk penjadwalan waktu tanam dan pemilihan
pola tanam di daerah lahan kering (Grant et al., 1989; Nafziger, 1994; Norwood dan Currie, 1996;
Larson, dan Clegg, 1999; Norwood, 2001; Ortega, Peterson dan Westfall, 2002; Hossain et al.,
2017). Hasil analisis masing-masing pola tanam dengan jenis tanaman yang berbeda memiliki skema
pemberian air yang berbeda. Pada MT I, tidak terdapat penambahan irigasi disebabkan oleh curah
hujan efektif tersedia lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan air tanaman (Tabel 2,3).
Dinamika lengas tanah didalam tanah sangat dipengaruhi oleh presipitasi yang terinfiltrasi dan
tertahan didalam zona perakaran tanah dan dipengaruhi oleh kondisi tanah.Pengetahuan tentang
dinamika kelembaban tanah dalam profil tanah memberikan informasi yang berharga pada
variabilitas spasial resapan air tanah (Ries et al., 2015).
Pengembangan pola tanam dari satu kali tanam menjadi dua, adalah untuk meningkatkan
intensitas tanam dan dapat diterima petani. Pemilihan kacang hijau sebagai tanaman kedua setelah
jagung, didasarkan bahwa secara teknis agronomis dan ekonomis, kacang hijau memiliki beberapa
kelebihan, dibanding tanaman kacang lainnya. Kelebihan kacang hijau terletak pada sifat
agronomisnya seperti tahanterhadap kekeringan, berumur genjah (55–60 hari), cocok untuk daerah
Total rata-rata biaya penggunaan untuk mendanai tenaga kerja pada kegiatan usahatani pola 4
(Rp. 3.540.000/ha) terdiri untuk mendanai tenaga kerja pada kegiatan usahatani jagung (Rp. 1.560.000
/ha), dan kacang hijau (Rp. 1.980.000 /ha). Jumlah terbesar yang dikeluarkan untuk biaya jagung yaitu
biaya panen (Rp. 600.000 /Ha) dan untuk biaya kacang hijau (Rp.720,000 /ha). Hasil analisis
pendapatan bersih (Rp. 29.031.500/ha), terdiri dari pendapatan bersih usaha tani jagung yang lebih
besar dibanding usahatani kacang hijau (Rp. 17.868.000 /ha) dan pendapatan bersih usahatani kacang
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 339
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
hijau (Rp. 11.163.500/ha), dan pendapatan yang dihasilkan oleh usahatani jagung dan kacang hijau
dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan selama kegiatan budidaya.
Hasil analisis sistem relay jagung dan kacang tanah (Tabel 5) menunjukkan bahwa total biaya
produksi (Rp. 9.692.400/ha/tahun) merupakan penjumlahan biaya produksi usahatani jagung (Rp.
4.532.000/ha) dan kacang tanah (Rp. 5.160.400/ha). Pengeluaran biaya produksi usahatani jagung
lebih rendah dibanding usahatani kacang tanah, disebabkan oleh pengeluaran biaya input usahatani
jagung lebih rendah dibanding usahatani kacang tanah.
Tabel 5. Analisis Pendapatan Petani dari Usahatani Jagung-Kacang Tanah
Pengeluaran biaya saprodi tertinggi untuk usahatani jagung adalah pembelian pupuk NPK
sebanyak 250 kg/ha (Rp. 2.250.000/ha). Pengeluaran tertinggi pada kacang tanah adalah pembelian
benih dengan berat 78,5 kg/ha (Rp. 1.256.000 /ha). Total rata-rata biaya penggunaan untuk mendanai
tenaga kerja (Rp. 3.660.000/ha) terdiri untuk mendanai tenaga kerja pada kegiatan usahatani jagung
(Rp. 1.560.000 /ha), dan usahatani kacang tanah (Rp. 2.100.000 /ha). Jumlah terbesar yang dikeluarkan
untuk biaya jagung yaitu biaya panen (Rp. 600.000 /ha) dan untuk biaya kacang tanah yaitu biaya
panen dan penanaman (Rp.600,000 /ha). Hasil analisis total pendapatan bersih untuk usahatani (Rp.
29.707.600) terdiri dari pendapatan bersih usaha tani jagung (Rp. 17.868.000 /ha) dan pendapatan
bersih usahatani kacang tanah (Rp. 11.839.600 /ha), dan pendapatan yang dihasilkan oleh usahatani
jagung dan kacang tanah dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan selama kegiatan budidaya.
Analisis kelayakan usahatani di lokasi penelitian merujuk dari efesiensi penggunaan biaya dan
besarnya perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam
memproduksi, dihitung dengan R/C Ratio. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani yang
dilakukan pada musim hujan dan musim kemarau, rata-rata memiliki nilai rata-rata R/C 4,1-4,4
sehingga secara berurutan dari nilai rata-rata R/C tertinggi sampai terendah, yaitu pola jagung dan
kacang hijau > jagung dan kacang tanah. Soekartawi (1995), menjelaskan bahwa suatu usahatani
dinyatakan layak jika R/C Ratio (Return Cost Ratio) > 1. Meskipun usahatani dinyatakan layak
dengan R/C Ratio > 1, namun belum tentu efisien dalam penggunaan biaya.
KESIMPULAN
Pola tanam jagung-kacang hijau, jagung-kacang tanah yang ditanam pada dasarian I November-
bulan Februari memiliki kebutuhan air yang tercukupi, dan penanaman yang dilakukan setelah
bulan Februari membutuhkan tambahan irigasi. Usahatani jagung-kacang hijau dan jagung kacang
tanah merupakan usahatani yang layak dan menguntungkan untuk diusahakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,M.H. and S.Mubarak. 2017. Effective Rainfall Calculation Methods for Field Crops: An Overview,
Analysis and New Formulation. Asian Research Journal of Agri., 7(1): 1-12.
Apriyana Y. andSiburian I.M. 2014. Farmers Strategy Responding to ClimateVariability in Rice
Production Centers region of West Java. Proceedings of the National Seminar. on Food
Sovereignty and Agriculture. Results of Socio-Economic Research, Faculty of Agriculture,
UGM, Yogyakarta.
Ayu, I.W. 2013. Simulasi Pendugaan Ketersediaan Lengas Tanah Lahan Kering Kecamatan Unter Iwes
Di Kabupaten Sumbawa. [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Ayu, I.W.,L. Hakim., S.Nurwahidah dan Y. Hartono. 2017. Kajian One Village One Product (OVOP)
Kabupaten Sumbawa. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM)
Universitas Samawa. Sumbawa Besar.
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2017. Staistik Daerah Kabupaten Sumbawa 2017. BPS. Kabupaten
Sumbawa. Sumbawa. ISBN 978-602-5567-19-3.
Barron,J., J.Rockström, F.Gichuki and N.Hatibu. 2003. Dry spell analysis and maize yields for two
semi-arid locations in east Africa. Agricultural and forest meteorology, 117(1-2), 23-37.
Bonelli, L. E., J.P.Monzon, A.Cerrudo, R.H.Rizzalli and F.H.Andrade. 2016. Maize grain yield
components and source-sink relationship as affected by the delay in sowing date.Field Crops
Research, 198: 215-225.
Cakir,R. 2004. Effect of water stress at different development stages on vegetative and reproductive
growth of corn. Field Crops Research, 89(1): 1-16.
Calviño, P. A., F.H.Andrade and V.O.Sadras. 2003. Maize yield as affected by water availability, soil
depth, and crop management. Agronomy journal, 95(2): 275-281.
Chachalis, D., P.C.Lolas and G.Zanakis. 2007. Ultra-early planting effects on maize crop development,
yield, and weed control. Journal of New Seeds, 8(2): 57-72.
Chisanga, C. B. 2014. Evaluation of the CERES-Maize model in simulating maize (Zea mays L.) growth,
development and yield at different planting dates and nitrogen rates in a subtropical
environment of Zambia. The University of Zambia.
Chisanga, C. B., E.Phiri and V.R.Chinene. 2017. Climate change impact on maize (Zea mays L.) yield
using crop simulation and statistical downscaling models: A review.Scientific Research and
Essays, 12(18): 167-187.
Earl, H.J. and R.F.Davis. 2003. Effect of drought stress on leaf and whole canopy radiation use
efficiency and yield of maize.Agronomy journal, 95(3): 688-696.
Gerten, D., J.Heinke, H.Hoff, H.Biemans, M.Fader and K.Waha. 2011. Global water availability and
requirements for future food production. Journal of hydrometeorology, 12(5): 885-899.
Ghanbari, A., M.Dahmardeh, B.A.Siahsar and M.Ramroudi. 2010. Effect of maize (Zea mays L.)-
cowpea (Vigna unguiculata L.) intercropping on light distribution, soil temperature and soil
moisture in arid environment. Journal of Food, Agriculture and Environment, 8(1): 102-108.
Gower, D.B., Jampel Dell’Angelo., Paul F McCord., Kelly K. Caylor, dan Tom P Evans. 2016. Modeling
Ecohydrological Dynamics of Smallholder Strategies For Food Production in Dryland
Agricultural Systems. Environ. Res. Lett. 11 (2016) 115005. Doi:10.1088/1748-9326/11/11/115005.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 341
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Grant, R. F., B.S.Jackson, J.R.Kiniry and G.F.Arkin. 1989. Water deficit timing effects on yield
components in maize.Agronomy journal, 81(1): 61-65.
Hamdy, A., Adel Aly, Noureddin Driouech. 2016. Conservation Agriculture Between Concept and
Application. AGROFOR International Journal, 1(1).
Herrero, M. P., and R.R.Johnson. 1981. Drought stress and its effects on maize reproductive systems
1. Crop Science, 21(1): 105-110.
Hossain MB, Yesmin S, Maniruzzaman M, Biswas JC (2017) Irrigation Scheduling of Rice (Oryza
sativa L.) Using CROPWAT Model in the Western Region of Bangladesh . The Agriculturists,
15: 19-27.
Kiziloglu, F. M., Sahin, U., Kuslu, Y., and T.Tunc. 2009. Determining water–yield relationship, water
use efficiency, crop and pan coefficients for silage maize in a semiarid region.Irrigation
science, 27(2): 129.
Mansouri-Far, C., Sanavy, S. A. M. M.and S.F.Saberali. 2010. Maize yield response to deficit irrigation
during low-sensitive growth stages and nitrogen rate under semi-arid climatic
conditions. Agricultural Water Management, 97(1): 12-22.
Mulyani, A., Dedi Nursyamsi, dan Irsal Las. 2014. Percepatan Pengembangan Pertanian Lahan Kering
Iklim Kering di Nusa Tenggara. Pengembangan Inovasi Pertanian Vol. 7 No. 4 Desember 2014:
187-198.
Nila Prasetiaswati, M.M. Muchlis Adie, dan D. Harnowo. 2016. Evaluasi Kelayakan Teknologi dan
Analisis Usahatani Kacang Hijau di Lahan Kering Gresik Jawa Timur.Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2016.https://balitkabi.litbang.pertanian.go.id ›
uploads › 2017/07 › pros16_56.
Pejić, B., Bošnjak, Đ., Mačkić, K., Stričević, R., Simić, D., and Drvar, A. 2009. Response of maize (Zea
mays L.) to soil water deficit at specific growth stages. Letopis naučnih radova Poljoprivrednog
fakulteta, 33(1): 155-166.
Petrović, G., Labović, B., and Dašić, B. 2019. The influence of climate elements on the yield of
agricultural crops in the area of Sumadija in Serbia. Economics of Agriculture, 66(1): 173-187.
Suciantini. 2015. Hubungan Antara Iklim (curah hujan) dan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten
Pacitan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon,1 (2): 358-365.
Tsimba, R., Edmeades, G. O., Millner, J. P.and Kemp, P. D. 2013. The effect of planting date on maize
grain yields and yield components. Field Crops Research, 150: 135-144.
Vogel, M. M., Orth, R., Cheruy, F., Hagemann, S., Lorenz, R., van den Hurk, B. J. J. M., and Seneviratne,
S. I. 2017. Regional Amplification of Projected Changes in Extreme Temperatures Strongly
Controlled by Soil Moisture-Temperature.
Xu,X., M.Zhang, J.Li, Z.Liu, Z.Zhao, Y.Zhang, S.Zhou and Wang. 2018. Improving Water Use
Efficiency and Grain Yield of Winter Wheat by Optimizing Irrigations in the North China Plain.
Field Crops Research, 221: 219-227.
Zhou, J. B., Wang, C. Y., Zhang, H., Dong, F., Zheng, X. F., Gale, W.and Li, S. X. 2011. Effect of water
saving management practices and nitrogen fertilizer rate on crop yield and water use efficiency
in a winter wheat–summer maize cropping system.Field Crops Research, 122(2): 157-163.
ABSTRACT
Coconut (cocos nucifera L) as a strategic commodity that has high economic value and has a social, cultural and
economic role in the lives of Indonesian people. This study aims to: (1) study the profitability of coconut nurseries on
Lombok Island; (2) Study the socio-economic benefits of coconuts on the Lombok island. The research uses a case
study approach to the coconut nursery business and the utilization of the results from the coconut parts. Data
collection through interviews and recording information. Data on coconut nurseries such as production costs,
revenues, profits, and income are analyzed economically. Data and information about the use of other parts of
coconut for people's daily needs are analyzed in a descriptive qualitative manner. The results showed that the coconut
nursery business was relatively profitable at B/C ratio of more than 1. The socio-economic aspects of utilizing other
parts of coconut can improve social relations and kinship of the Sasak community in Lombok.
ABSTRAK
Kelapa (cocos nucifera L) sebagai komoditas strategis perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tujuan penelitian
ini adalah untuk : (1) mengetahui tingkat keuntungan usaha pembibitan kelapa dalam di Pulau Lombok;
(2) mengetahui manfaat sosial ekonomi kelapa di Pulau Lombok. Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus pada
usaha pembibitan kelapa dan pemanfaatan hasil dari bagian-bagian kelapa.Teknik pengumpulan data
melalui wawancara dan pencatatan.Data usaha pembibitan kelapa seperti biaya produksi, penerimaan,
keuntungan dan pendapatan dianalisis secara ekonomi.Data dan informasi mengenai pemanfaatan
bagian-bagian kelapa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat dianalisis secara
diskriptif kualitatif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pembibitan kelapa relatif
menguntungkan dengan nilai B/C ratio lebih dari 1.Aspek social ekonomi pemanfaatan hasil dari
bagian-bagian tanaman kelapa mampu meningkatkan hubungan-hubungan sosial dan kekarabatan
masyarakat Sasak di Pulau Lombok.
PENDAHULUAN
Kelapa (cocos nucifera L) merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan
ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Tanaman ini merupakan salah satu tanaman
perkebunan serbaguna dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Manfaat dari tanaman kelapa tidak
hanya terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi produk pangan dan pangan
fungsional, namun seluruh bagian dari tanaman kelapa memiliki manfaat yang cukup besar untuk
kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manfaat dan nilai ekonomis tinggi tersebut berasal dari
akar, batang, daun, buah kelapa yang nantinya dapat difungsikan sebagai bahan utama industry
kerajinan mebel, industry kecantikan, serta buahnya sebagai bahan baku minyak goreng (Yohanes
dkk, 2018).
Penyebaran kelapa dalam meliputi 10 Kabupaten/Kota di Provinsi NTB.Semua daerah tersebut
memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kelapa, karena didukung oleh kondisi lahan dan
iklim yang sesuai.Menurut data statistik Ditjenbun (2016), luas tanam kelapa di Provinsi NTB seluas
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 343
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
57.951 ha dengan produksi mencapai 48.581 ton.Luas tanam kelapa di NTB semakin lama semakin
menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2012 seluas 65.310,54 ha, dan pada tahun 2015
seluas 58.387,1 ha.
Penurunan luas tanam kelapa disebabkan oleh banyaknya tanaman kelapa yang sudah tua dan
ditebang oleh masyarakat untuk kebutuhan industry mebel di NTB. Dengan berkembangnya
industry pariwisata di NTB, berkembang pula beberapa industry kerajinan dan mebel yang
menggunakan batang kayu kelapa sebagai bahan baku utamanya. Pengembangan industry ini tidak
diikuti dengan perkembangan pertanian/perkebunan dalam meremajakan tanaman kelapa yang
sudah ditebang masyarakat.Masyarakat relative lebih lebih mengembangkan tanaman pangan
dibandingkan tanaman kelapanya.Hal ini terlihat dari banyaknya kebun kelapa yang beralih fungsi
menjadi lahan jagung dan tanaman lainnya.
Bila dilihat dari produksi kelapa yang dihasilkan, rata-rata produksi kelapa per hektar di Provinsi
NTB tahun 2016 sangat rendah yaitu berkisar 0,1 ton per hektar. Oleh karenanya, diperlukan varietas
unggul untuk meningkatkan produksi kelapa di NTB.Varietas unggul yang diperoleh melalui seleksi
pada parameter keunggulan genetik dari beberapa jenis kelapa, diharapkan mampu meningkatkan
produksi serta pendapatan petani kelapa.Dari beberapa varietas kelapa dalam yang sudah dilepas
oleh Menteri Pertanian sebagai varietas kelapa dalam unggul, salah satunya ada di NTB yaitu
varietas mastutin.Dikarenakan kebun benih yang berada di Pulau Sumbawa sedikit menyulitkan
untuk penyebaran varietas ini, oleh karenanya perlu adanya pembibitan varietas ini di Pulau
Lombok.
Potensi wilayah pengembangan kelapa di Kabupaten Lombok Timur masih relative
luas.Banyaknya lahan yang belum termanfaatkan dengan kenyataan masih banyak lahan yang
kosong dan masih ditumbuhi alang-alang yang termasuk lahan kritis potensi untuk ditanami kelapa
dengan memanfaatkan ketersediaan air pada musim hujan dan sisa hujan di musim kemarau.Usaha
penanaman kelapa dalam merupakan hal yang baik untuk memperbaiki kondisi lingkungan atau
rehabilitasi lahan dan dapat juga menghasilkan keuntungan bagi masyarakat baik berupa hasil
komiditas kelapa dalam berupa buah dan hasil yang lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan benih kelapa, perlu banyak pihak yang melakukan usaha
pembibitan kelapa dalam.Usaha pembibitan kelapa mempunyai prospek yang sangat
menguntungkan.Dewasa ini sudah terjadi penurunan luas panen kelapa karena ditebang, sehingga
perlu dilakukan peremajaan untuk menggantikan tanaman yang telah ditebang.Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan usaha pembibitan kelapa dalam di Pulau Lombok
dan manfaat sosial ekonomi kelapa.
METODA PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat pada tahun
2018 yang merupakan salah satu daerah sentra pengembangan komoditas kelapa di Provinsi NTB.
Pendekatan yang digunakan adalah teknik survei menggunakan kuisioner sebagai alat
mengumpulkan data. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui hasil wawancara dan observasi langsung. Data sekunder berasal dari instansi
terkait diantaranya BPS, Dinas Pertanian, dan lainnya yang mendukung penelitian ini. Untuk
mengetahui keadaan finansial dari usaha pembibitan kelapa, dilakukan melalui studi analisis
finansial yang mencakup biaya produksi, penerimaan, keuntungan, dan pendapatan.
Biaya Produksi. Biaya produksi merupakan jumlah keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan
oleh seorang produsen untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan penunjang lainnya
untuk menghasilkan produk sesuai dengan yang sudah direncanakan. Biaya produksi (TC) menurut
Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan selama kegiatan pembibitan kelapa yang jumlahnya
tetap setiap tahun antara lain biaya sertifikat dan pelabelan, bahan bakar untuk pengairan, dan
penyusutan alat. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk biaya tetap sebesar Rp. 130.883.333 (Table
1). Berdasarkan data dalam Tabel 1, biaya pencetakan label bibit merupakan biaya tetap terbesar
dalam kegiatan pembibitan kelapa. Biaya ini tergantung pada jumlah label yang akan dicetak,
dimana semakin banyak produksi bibit maka semakin besar pula biaya yang dianggarkan untuk
kegiatan ini.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 345
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 1. Jenis dan jumlah biaya tetap usaha pembibitan kelapa per volume usaha di NTB
Total biaya produksi bibit kelapa dalam di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB sesuai
dengan pendapat Soekartawi (2002) bahwa total biaya yang digunakan merupakan jumlah dari
seluruh biaya tetap dan biaya variable yang digunakan dalam memproduksi bibit kelapa.
Berdasarkan hal tersebut, besarnya biaya operasional yang digunakan dalam usaha pembibitan
kelapa dalam sebesar Rp 54.819.000.
Analisis Kelayakan Usaha
Produksi bibit kelapa dalam varietas mastutin dibibitkan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi
NTB.Benih yang digunakan berasal dari kebun induk yang berada di Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan hasil observasi dan penelitian, produk bibit kelapa dalam yang dapat dihasilkan
mencapai 5.838 batang bibit yang siap tanam setelah 6-8 bulan proses pembibitan.
Tabel 3. Produksi dan penerimaaan usaha pembibitan kelapa per volume usaha di NTB
Penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 116.760.000. Dengan harga jual sebesar Rp 20.000 per
batang maka perolehan keuntungan dari usaha pembibitan kelapa dalam sebesar Rp 61.941.000.
Berdasarkan perhitungan efisiensi usaha tani diperoleh hasil perhitungan BC rasio sebesar 1,13.
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) > 1. Suatu produksi bibit kelapa dalam dipengaruhi faktor benih
yang bermutu atau varietas yang unggul, media tanam, pemeliharaan yang tepat. Kelayakan usaha
terkait dengan efeiensi ekonomis. Pencapaian efisiensi menjadi syarat keharusan dan kecukupan
tercapainya efisiensi ekonomis usaha pembibitan kelapa dalam yang akan memberikan keuntungan
maksimum bagi petani sebagai pelaku usaha. Produksi yang diperoleh selama proses pembibitan
kelapa Dalam akan memperoleh tingkat jual yang layak sebagai penerimaan petani (Vaulina, et al.,
2018).
Aspek Sosial Ekonomi Pemanfaatan Tanaman Kelapa
Luas tanam dan produksi buah kelapa di Nusa Tenggara Barat, terutama di pulau Lombok belum
seimbang dengan jumlah kebutuhan masyarakat, baik untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari
maupun kebutuhan pesta.Untuk kebutuhan pesta yang dilakukan oleh rumah tangga seperti pesta
kawin, sunatan dan lainnya membutuhkan buah kelapa yang sudah tua antara 200 - 300 buah.Bagi
masyarakat Indonesia maupun masyarakat Sasak khususnya bahwa kelapa merupakan bagian dari
kehidupan dan bahkan menjadi sumber kehidupan karena tanaman kelapa dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi aspek-aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.Pohon kelapa
sering disebut pohon kehidupan karena hampir seluruh bagian dari pohon dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari. Pemanfaatan bagian-bagian dari kelapa untuk memenuhi
kebutuhan dalam kehidupan masyarakat sehari meningkatkan keretan hubungan dan komunikasi
antara anggota masyarakat untuk saling memberi dan perilaku tukar menukar (sistem barter).
Buah kelapa merupakan produk utama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Sasak (Lombok)
untuk bumbu sayuran dalam pesta-pesta tradisional.Selain itu, masyarakat Sasak selain
membutuhkan buah kelapa juga membutuhkan bongkol kelapa dari tanaman muda (tanaman yang
belum terbentuk batang pohon) untuk dijadikan sayuran dalam pesta adat.
Manfaat buah kelapa tidak hanya terletak pada daging buah dan air kelapa juga bagian dari buah
kelapa seperti sabut kelapa dan tempurung kelapa.Daging buah dimanfaatkan masyarakat untuk
membuat santan, minyak kelapa, es krim, dan kopra.Daging buah kelapa muda diproses lebih lanjut
untuk membuat nata coco. Ampas kelapa dimanfaatkan masyarakat menjadi bahan baku pakan
ternak. Bagi masyarakat Sasak di pulau Lombok mengolah ampas daging kepala menjadi sate
kelapa. Buah kelapa muda sudah banyak dimanfatkan untuk minuman segar, es kelapa. Selain itu air
kelapa yang sudah tua dimanfaatkan masyarakat menjadi bumbu pembuatan tempe bacem
danjuga menjadi bahan baku untuk pembuatan pupuk organik cair. Sabut kelapa terutama tulang
sabut kelapa dijual ke pengrajin diproses membuat sapu ijuk kelapa, keset, dan tali, sedangkan
serbuk dari sabut kelapa juga dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi media tanam untuk tanaman
sayuran.Tempurung kelapa diolah masyarakat memproduksi arang dan briket arang. Tempurung
kelapa atau batok kelapa dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kerajinan, diantaranya fash
Bunga, gayung air, mangkuk, sendok, tempat air minum, kancing baju dan sisir serta jenis kerajinan
lainnya.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 347
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Cairan nira kelapa yang diambil dari ketandan buah kelapa dapat diproses menjadi gula
kelapa.Ketandan buah yang baru tumbuh sampai posisi tegak diambil cairannya dan menghasilkan
nira. Nira ini kelapa dapat diproduksi sebagai minuman segar di Lombok disebut Tuak manis, dan
tuak pahit yang mengandung alcohol serta diolah menjadi gula kelapa. Tanaman kelapa yang masih
muda atau tanaman yang belum terbentuk batang kelapa, biasa masyarakat Sasak di Lombok
mengambil bongkolnya untuk menjadi bahan baku sayuran untuk acara adat maupun pesta
pernikahan. Setiap ada pesta pernikahan atau upacara adat sayur bongkol kelapa salah satu ciri
khas suku Sasak dalam menyajikan kepada para undangan.
Daun muda dari kelapa sudah dominan digunakan untuk pembungkus makanan olahan,
ketupat.ayaman untuk sembayang bagi masyarakat Hindu, dipergunakan membuat janur untuk
upacara keagamaan masyarakat Hindu dan pesta pernikahan. Daun kelapa dan pelepa daun kelapa
juga dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak. Daun kelapa yang sudah tua dianyam untuk
tempat bertelur ayam kampung, bisa juga dianyam menjadi keranjang ayam dan kerajinan lainnya.
Selain itu daun kelapa yang sudah tua dipergunakan sebagai bahan atap rumah.Tulang daun kelapa
yang sering disebut lidi sudah banyak dipergunakan untuk membuat sapu lidi dan membuat
kerajinan piring (inka) serta jenis-jenis kerajinan lainnya.
Akir-akhir ini batang kelapa sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun
bahan baku mebel dan kerajinan lainnya. Seiring dengan eterbatasan ketersediaan kayu untuk
bahan bangunan, maka pohon kelapa menjadi pilihan utama, sehingga batang kepala yang sudah di
proses menjadi balok, ususk dan reng menjadi relatif sangat mahal. Meningkatnya harga batang
kelapa untuk bahan bangunan maka pohon kelapa yang belum mencapai umur 20 tahun pun telah di
tebang untuk di jual.Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya strategis untuk membangkitkan
kembali perkebunan kelapa rakyat di Nusa Tenggara Barat karena kelapa berpotensi dalam
pengembangan agribisnis di pesedaan. Perkembangan komoditas dan potensi ekonomi kelapa
memiliki potensi sebagai sektor bisnis
Luas panen dan produksi kelapa dalam yang semakin menurun diperlukan upaya-upaya untuk
melakukan peremajaan dan pengembangan kelapa dalam dengan meningkatkan produksi benih
kelapa yang berkualitas. Seiring dengan perkembangan industri pariwisata yang semakin maju maka
masyarakat pariwisata membutuhkan minuman segar dari kelapa danmakanan olahan dari kelapa.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan bahan baku industri maka jenis
kelapa yang dikembangkan adalah kelapa dalam. Untuk memenuhi kebutuhan minuman segar bagi
masyarakat dan dalam mendukung industri pariwisata, maka jenis kelapa yang dikembangkan
adalah kelapa dalam berumur genjah (kelapa hibrida) dan kelapa kopyor umur genjah.Dari aspek
ekonomi peluang penumbuhan dan pengembangan agribisnis kelapa dengan berbagai produk
bernilai ekonomi tinggi sangat besar, namun kesadaran masyarakat untuk mengembangkan kelapa
dalam masih rendah.
Penyediaan benih kelapa di Nusa Tenggara Barat relatif sangat kurang bila dibandingkan dengan
kebutuhan akan benih kelapa oleh petani. Minat petani untuk menanam kelapa cukup tinggi, namun
ketersedian benih relatif sangat terbatas.Berkaitan dengan pemenuhan benih kelapa berkualitas bagi
petani maka sangat mendesak untuk mengembangan kegiatan perbenihan kelapa, baik yang
dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan swasta maupun instansi pemerintah.Sistem dan usaha
agribisnis kelapa perlu berkembang secara optimal agar kinerja antar simpul-simpul agribisnis dapat
terintegrasi dengan baik (Damanik, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Akmal MA, Ilham L, Eka L, Erwin NA, Iman YH, M. Edwin SL. 2018.Analisis Finansial dan Ekonomi
Tanaman Sela (Jagung dan Kedelai) pada Areal Tanaman Belum Menghasilkan Kelapa Sawit.
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 26(3): 141-152.
Damanik S. 2007. Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa (Cocos nucifera) untuk Meningkatkan
Pendapatan Petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Jurnal Perspektif Vol. 6 No. 2 / Desember
2007. Hal 94 – 104; ISSN: 1412-8004.
Ditjenbun. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017 Kelapa. Jakarta.
Mubyarto, 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian.Pustaka LP3SE. Jakarta.
Nengsih Y. 2016 Tumpangsari Tanaman Kelapa Sawit (Elaieis guineensis Jacq) dengan Tanaman Karet
(Heyea brassiliensis L).Jurnal Media Perkebunan Vol. 1 No. 2 2016 Hal 69-77
Singarimbun. 1987. Metode Penelitian Survai. LP3 ES Yogyakarta.Yogyakarta.
Soekartawi, 2002.Analisis Usaha Tani, UI-Press, Jakarta.
Soekartawi, 2004.Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil.UI Press. Jakarta.
Sukirno S. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suryana, 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. Edisi 3. Penerbit
Salemba Empat. Jakarta.
Valuna S., Khairizal dan Hajry Arief Wahyudy. 2018. Efesiensi Produksi Usahatani Kelapa Dalam
(Cocos nucifera Linn) di Kecamatan Gaung Anak Serka, Kabupaten Indragiri Hilir.Jurnal
Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 1, Juni 2018); halaman 47-58 47 ISSN 2354-5690; E-ISSN
2579-3594.
Wijayanti T, Saefuddin. Analisis Pendapatan Usahatani Karet (Hevea brasiliensis) Di Desa Bunga
Putih Kecamatan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara [internet]. [Diunduh 2019
Oktober].34(2):137-149. Tersedia dari: https://herup966.files.
wordpress.com/2017/03/analisis-pendapatan-usahatani-karet-hevea-brasiliensis.pdf
Yohanes G Bulu, Sudarto, Ika NS, Ai Rosa, M. Yahmin.2018. Dukungan Perbenihan Komoditas
Strategis Kementan (Pemeliharaan Bibit Kelapa Dalam) di Nusa Tenggara Barat. Laporan Akhir.
Mataram (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 349
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
350 | Teknologi Pertanian
DAYA HASIL DAN PREFERENSI PETANI TERHADAP JAGUNG HIBRIDA
VARIETAS BADAN LITBANG PERTANIAN DI GORONTALO
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui keragaan hasil tanaman jagung varietas unggul baru (VUB)
Badan Litbang Pertanian di tiga Kabupaten di Gorontalo, dan 2)mengetahui preferensi petani terhadap
jagung varietas unggul baru Badan Litbang Pertanian di Gorontalo. Pengkajian dilaksanakan dengan
pendekatan partisipatif yang melibatkan 20 petani kooperator di 3 (tiga) kabupaten yakni Kabupaten
Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara dan Kabupaten Boalemo pada tahun 2019. Total lahan display
jagung yang digunakan yaitu seluas 20 ha. Varietas jagung hibrida yang digunakan yaitu Nasa 29, Bima
20 Uri, Bima 2, Bima 14, JH 27, JH 45, dan HJ 21. Sedangkan sebagai pembanding menggunakan varietas
swasta /multinasional yaitu Bisi 2, Bisi 18 dan NK 212. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata
produktivitas jagung hibrida varietas Badan Litbang Pertanian di tiga Kabupaten relatif tinggi yaitu
mencapai 8.5 ton/ha. Rata-rata produktivitas jagung hibrida tertinggi yaitu di Kabupaten Gorontalo
Utara, mencapai 9.3 ton/ha, kemudian Kabupaten Boalemo mencapai 8.8 ton/ha, dan Kabupaten
Gorontalo mencapai 7.4 ton/ha. Produktivitas rata-rata tertinggi dicapai oleh varietas Nasa 29 (9.0 ton/ha).
Preferensi petani terhadap jagung hibrida Badan Litbang Pertanian diketahui bahwa varietas jagung
hibrida Nasa 29 paling banyak disukai oleh petani di lokasi kegiatan (92 persen). Hal ini menurut petani
bahwa varietas Nasa 29 memiliki pertumbuhan yang sangat cepat dan seragam, daya tumbuh dan hasil
tinggi.
PENDAHULUAN
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan strategis di Indonesia. Permintaan
komoditas jagung di Indonesia sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak
dan industri. Bantacut el al.(2015) menyebutkan bahwa separuh dari penggunaan jagung saat ini
adalah sebagai bahan baku utama industri pakan ternak, dan lainnya adalah sebagai bahan pangan
langsung, bahan baku minyak nabati non kolesterol, tepung jagung dan makanan. Kebutuhan jagung
untuk industri pakan ternak, mencapai 51 persen dari kebutuhan nasional (Saptana et al., 2018).
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian terus berupaya memacu peningkatan produksi dan
produktivitas jagung guna memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mencapai swasembada nasional.
Tren perkembangan produktivitas jagung nasional terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Rata-rata pertumbuhan produktivitas jagung selama kurun waktu 1980 - 2018 adalah sebesar
3,50% per tahun. Pada kurun waktu tersebut, produktivitas jagung nasional meningkat dari 1.46
ton/ha di tahun 1980 menjadi 5.24 ton/ha pada tahun 2018. Selama kurun waktu lima tahun terakhir
atau tahun 2014 - 2018, pertumbuhan produktivitas jagung lebih rendah yaitu sebesar 1,61%
(Kementan, 2018). Hal ini menunjukkan laju peningkatan produktivitas semakin turun pada lima
tahun terakhir, dikarenakan penggunaan jagung hibrida sudah cukup luas diaplikasikan.
Produktivitas jagung ini diharapkan akan terus meningkat, karena beberapa tahun terakhir ini
diluncurkan berbagai varietas jagung hibrida baik dari pemerintah maupun swasta. Kelompok
jagung hibrida ini memiliki produktivitas per hektar lebih tinggi dari pada jagung komposit ataupun
jagung lokal.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 351
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Data menunjukkan bahwa tingkat produktivitas jagung di Pulau Jawa cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan di Luar Jawa maupun secara nasional terutama pada kondisi lima tahun.
Produktivitas jagung di Jawa periode 2014 - 2018 rata-rata sebesar 5.48 ton/ha, sementara rata-rata
produktivitas di Luar Pulau Jawa 4.93 ton/ha terakhir (Kementan, 2018). Gorontalo, sebagai provinsi
di luar pulau jawa dan salah satu daerah penghasil jagung utama di Indonesia, tingkat produktivitas
jagung sampai tahun 2018 masih dibawah 5 ton/ha. Perkembangan luas panen, produksi dan
produktivitas jagung di Provinsi Gorontalo tahun 2012 sampai tahun 2018 dapat dilihat pada Gambar
1 (Dinas Pertanian Provinsi, 2019).
Tren produksi jagung di Provinsi Gorontalo dari tahun 2012 sampai 2018 cenderung mengalami
peningkatan, namun produktivitas pada empat tahun terakhir cenderung mengalami penurunan
tingkat produktivitas, dimana pada tahun 2014, produktivitas jagung sebesar 4.83 ton/ha dan
menurun menjadi sebesar 4.53 ton/ha pada tahun 2018. Rendahnya produktivitas jagung ini diduga
dipengaruhi oleh masih rendahnya penerapan teknologi budidaya jagung di Gorontalo. Bantacut el
al.(2015) mengungkapkan bahwa keberhasilan usaha tani jagung, selain ditentukan oleh faktor alam
seperti iklim dan lahan, juga sangat ditentukan oleh penggunaan benih bermutu, pemupukan
berimbang, pengendalian hama dan penerapan teknologi lainnya.
Lebih jauh Akil (2011), Umar (2010), dan Brodt et al. (2006) menyebutkan bahwa belum
mampunya petani dalam menggunakan sarana produksi dan menerapkan teknologi budidaya
dengan baik berpengaruh terhadap kinerja usahatani menjadi tidak efisien dan belum sepenuhnya
menguntungkan. Produksi jagung yang tidak optimum dapat disebabkan oleh cekaman abiotik,
serangan hama dan penyakit, serta penggunaan varietas yang kurang sesuai dengan lingkungan
tumbuhnya (Salamah et al., 2017).
Produktivitas jagung yang rendah ini masih dapat ditingkatkan sampai dengan potensi yang
diharapkan dengan menerapkan teknologi budidaya jagung, salah satunya dengan penggunaan
varietas unggul dan penerapan teknologi budidaya dengan pendekatan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT). Beberapa komponen teknologi PTT yang penting antara lain: penggunaan varietas
unggul, benih bermutu dan berlabel, populasi tanaman optimal, pemupukan berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah, penyiapan lahan, pembuatan saluran drainase atau saluran irigasi,
pemberian bahan organik dan pengendalian OPT yang tepat sasaran (Syafruddin,2011).
METODOLOGI PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di 3 Kabupaten di Provinsi Gorontalo yaitu: 1) Gorontalo, 2), Boalemo,
dan 3), Gorontalo Utara. Kegiatan dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2018 sampai dengan Februari
2019. Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif membandingkan introduksi teknologi
Badan Litbang Pertanian (sebagai perlakuan) dengan teknologi eksisting yang biasa dilakukan oleh
petani. Pengkajian ini melibatkan 20 petani kooperator di 3 (tiga) kabupaten yakni Kabupaten
Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara dan Kabupaten Boalemo. Total luas lahan yaitu 20 ha.
Tabel 1. Penerapan paket teknologi jajar legowo super di lokasi kaji terap Desa Hutabohu, Kecamatan
Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 353
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Teknologi budidaya jagung yang diterapkan berbasis PTT, meliputi komponen teknologi sebagai
berikut: (1) VUB jagung Badan Litbang Pertanian, yaitu Nasa 29, Bima 20 Uri, Bima 2, Bima 14, JH 27,
JH 45, dan HJ 21. Sebagai pembanding Bisi 2, Bisi 18 dan NK 212, (2) Perlakuan benih jagung
menggunakan bahan aktif metalaksil (“saromyl”), (3) Jarak tanam : 70 cm x 40 cm dengan 2 biji per
lubang tanam, (4) Pemupukan berimbang , yaitu: Phonska 300 kg/ha dan Urea 250 kg/ha, (5)
Pengendalian gulma, hama dan penyakit secara terpadu.
Jenis dan Prosedur Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan pada kegiatan ini yaitu data agronomi, meliputi komponen hasil
beberapa varietas unggul jagung yang didisplaykan yaitu panjang tongkol, jumlah baris, dan
produktivitas ; data preferensi petani terhadap VUB jagung hibrida yang diintroduksikan. Data
preferensi petani terhadap varietas jagung hibrida Badan Litbang Pertanian dikumpulkan melalui
kuisiner terstruktur yang telah dipersiapkan sebelumnya dan wawancara dengan petani responden.
Jumlah petani responden yaitu 38 orang yang merupakan petani kooperator dan non kooperator baik
yang terlibat langsung dalam kegiatan pengkajian maupun saat kunjungan temu lapang.
Analisis Data
Untuk analisis produksi, data hasil panen yang telah dikumpulkan dilakukan tabulasi data dan
dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui preferensi petani, data yang telah dikumpulkan
dengan kuisioner, dilakukan tabulasi dengan metode persentase masing-masing pernyataan yang
diberikan.
Rata-rata produktivitas jagung hibrida varietas Badan Litbang Pertanian dilokasi pengkajian yaitu
sebesar 7.44 ton per/ha. Rata-rata produktivitas jagung varietas Badan Litbang ini masih lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Bisi 2 dengan produktivitas sebesar 5.33 ton/ha. Varietas jagung Badan
Litbang dengan produktivitas tertinggi dicapai oleh varietas jagung JH 27 dengan produktivitas
sebesar 8.37 ton/ha. Kemudian diikuti oleh Nasa 29 sebesar 8.02 ton/ha dan JH 45 sebesar 7.91 ton/ha.
Produktivitas terendah yaitu Bima 20 URI dengan produktivitas sebesar 5.45 ton/ha. Jagung varietas
JH 27 memiliki pertumbuhan dan daya hasil yang sangat baik. Hasil panen menunjukkan bahwa
Rata-rata produktivitas jagung hibrida varietas Badan Litbang Pertanian di Kabupaten Boalemo
yaitu sebesar 8.84 ton per/ha. Varietas jagung Badan Litbang dengan produktivitas tertinggi di
Kabupaten Boalemo dicapai oleh varietas jagung Nasa 29 dengan produktivitas sebesar 9.52 ton/ha.
Produktivitas tertinggi kedua yaitu varietas Bima sebesar 9.30 ton/ha, diikuti berturut-turut oleh
varietas Bima 20 Uri (sebesar 9.11 ton/ha), HJ 21 (8.67 ton/ha), JH 27 (8.56 ton/ha) dan terendah adalah
varietas Bima 14 dengan produktivitas sebesar 7.89 ton/ha. Di lokasi pengkajian di Kabupaten
Boalemo ini, varietas Nasa 29 memiliki pertumbuhan dan daya hasil yang paling baik dibandingkan
dengan varietas jagung hibrida Badan Litbang Pertanian lainnya. Varietas jagung Nasa 29 memiliki
potensi tongkol ganda, dimana di lokasi pengkajian ini tongkol ganda mencapai kurang lebih 20
persen.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 355
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Rata-rata produktivitas jagung varietas Badan Litbang di Kabupaten Boalemo ini masih lebih
tinggi dibandingkan dengan varietas Bisi 18 dengan produktivitas sebesar 8.80 ton/ha, dan NK 212
sebesar 8.77 ton/ha. Dilihat dari pertumbuhan tanaman, rata-rata tinggi tanaman jagung varietas
Badan Litbang Pertanian di lokasi pengkajian Kabupaten Boalemo mencapai 260.9 cm. Varietas
dengan tanaman tertinggi yaitu Nasa 29 (dengan tinggi tanaman mencapai 273.5 cm).
Rata-rata produktivitas jagung hibrida varietas Badan Litbang Pertanian di Desa Bongo Tua,
Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo (sebesar 8.84 ton/ha) ini lebih dibandingkan dengan
rata-rata produktivitas jagung Badan Litbang Pertanian di Kabupaten Gorontalo (7.44 ton/ha). Dari
sisi curah hujan, lokasi pengkajian Kabupaten Boalemo memiliki curah huja yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi pengkajian di Kabupaten Gorontalo. Dalam hal aplikasi pemupukan,
petani kooperator di Kabupaten Boalemo melakukan pemupukan dengan system tugal dan pupuk
ditutup dengan tanah, sedangkan di Kabupaten Gorontalo pemupukan dilakukan dengan
mengambur di sekitar tanaman jagung dan tidak melakukan penutupan pupuk. Hal ini akan
berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk, karena pemupukan dengan
system tugal lebih efektif dan cepat diserap oleh tanaman dibandingkan tanpa penutupan dengan
tanah, karena akan lebih banyak menguap oleh sinar matahari.
Pengkajian varietas jagung Badan Litbang Pertanian di Kabupaten Gorontalo Utara dilaksanakan
di Desa Tutuwoto, Kecamatan Anggrek seluas 5 ha. Varietas jagung hibrida Badan Litbang Pertanian
yang ditanam yaitu Nasa 29, Bima 14 dan JH 27. Sedangkan varietas pembanding yang ditanam yaitu
Bisi 2 dan Bisi 18. Keragaan hasil jagung hibdrida varietas Badan Litbang Pertanian dan varietas
pembanding di Kabupaten Gorontalo Utara dapat dilihat pada Tabel 4.
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa, rata-rata produktivitas jagung hibrida varietas Badan Litbang
Pertanian dilokasi pengkajian Kabupaten Gorontalo Utara yaitu sebesar 9.27 ton per/ha. Varietas
jagung Badan Litbang dengan produktivitas tertinggi dicapai oleh varietas jagung Bima 14 dengan
produktivitas mencapai 11.76 ton/ha. Produktivitas kedua dicapai oleh Nasa 29 sebesar 9.48 ton/ha
dan JH 27 sebesar 6.57 ton/ha. Rata-rata produktivitas jagung varietas Badan Litbang di Kabupaten
Gorontalo Utara ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Bisi 2 dengan produktivitas
sebesar 5.33 ton/ha.
Tabel 4. Keragaan hasil jagung hibrida varietas Badan Litbang Pertanian dan
varietas pembanding di Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2019
Namun produktivitas rata-rata varietas Badan Litbang Pertanian lebih rendah dibandingkan
varietas Bisi 18, yang mencapai produktivitas sebesar 11.79 ton/ha. Varietas jagung Badan Litbang
Pertanian yang mendekati produktivitas hasil Bisi 18 di lokasi pengkajian Kabupaten Gorontalo
Utara adalah Bima 14 (11.76 ton/ha). Di lokasi ini, petani kooperator juga melakukan pemupukan
dengan system tugal dan menutup pupuk dengan tanah, karena lokasi pengkajian di Kabupaten
Gorontalo Utara adalah tanah miring, sehingga sistem tugal dalam pemupukan untuk mencegah
pupuk hanyut saat hujan turun.
KESIMPULAN
Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas jagung hibrida varietas Badan Litbang
Pertanian di tiga Kabupaten di Provinsi Gorontalo relatif tinggi yaitu mencapai 8.5 ton/ha. Rata-rata
produktivitas jagung hibrida tertinggi yaitu di Kabupaten Gorontalo Utara, mencapai 9.3 ton/ha,
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 357
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
kemudian Kabupaten Boalemo mencapai 8.8 ton/ha, dan Kabupaten Gorontalo mencapai 7.4 ton/ha.
Produktivitas rata-rata tertinggi dicapai oleh varietas Nasa 29 (9.0 ton/ha).
Varietas jagung hibrida Nasa 29 paling banyak disukai oleh petani di lokasi kegiatan (88 persen).
Menurut petani varietas Nasa 29 memiliki pertumbuhan yang sangat cepat dan seragam, daya
tumbuh dan hasil tinggi. Untuk lebih mempercepat adopsi teknologi jagung, perlu memperbaiki
sistem logistik benih jagung varietas Balitbangtan di Gorontalo, pengembangan kelembagaan
penangkar benih, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung untuk memproduksi jagung
hibrida varietas Litbang, meningkatkan dukungan pendanaan sehingga mampu untuk mandiri
benih.
DAFTAR PUSTAKA
Akil M. 2011. Pemupukan Rasional Pada Tanaman Jagung Hibrida Pada Inceptisol Endoaquepts
Seminar Nasional Serealia 2011.
Balitbangtan. 2017. Peran Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Peningkatan Provitas Jagung di
Kawasan Timur Indonesia.
Bantacut,T., Akbar,M.T., dan Firdaus,Y.R. 2015. Pengembangan Jagung untuk Ketahanan Pangan,
Industri dan Ekonomi. Jurnal Pangan, Vol. 24(2) : 135-148.
Brodt S, Klonsky K, Tourte L. 2006. Farmer Goals and Management Styles: Implications for Advancing
Biologically Based Agriculture. Agricultural Systems 89: 90–105.
Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo. 2019. Buku Saku Program Pembangunan Pertanian Provinsi
Gorontalo. Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Kementerian Pertanian. 2018. Outlook Jagung Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan.
Jakarta.
Salamah, U., Suwarno, W.B., Aswidinnoor, H., dan Nindita, A. 2017. Keragaan Agronomi dan Potensi
Hasil Genotipe Jagung (Zea mays L.) Generasi S1 dan S2 di Dua Lokasi. Jurnal Agron.
Indonesia, 45(2):138-145.
Saptana, Purwantini, T.B., dan Rachmita, A.,R. 2018. Adopsi Teknologi dan Kelayakan Usahatani
Jagung Hibrida pada Agroekosistem Lahan Kering. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan. Vol. 2(3):181-190.
Syafruddin.2011.Modifikasi Sistem Pertanaman Jagung dan Pengolahan brangkasan untuk
Meningkatkan Pendapatan Petani di lahan Kering. Majalah Litbang Pertanian. 30(1):16-22.
Umar S. 2010. Teknologi Alat dan Mesin Pasca Panen Sebagai Komponen Pendukung Usahatani
Jagung di Lahan Kering Kalimantan Selatan. EMBRYO 7(2): 75-81.
ABSTRAK
Lembaga ekonomi petani masih sangat jarang terbangun menjadi penyebab utama usahatani yang kecil-
kecil menjadi system usaha yang komersial.Penelitian bertujuan untuk merancang lembaga ekonomi
petani yang dapat meningkatkan pendapatan petani dan menata pengelolaan usahatani secara
komersial. Penelitian dilaksanakan di Desa Totabuan Kecamatan Lolak Kabupaten Bolaang Mongondow
mengunakan metode survey dan pertemuan FGD. Metode analisis menggunakan pendekatan kualitatif
menggunakan diagram venn dan kuantitatif melalui pendekatan analisis biaya dan keuntungan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir semua penduduk Desa Totabuan masih menggantungkan
ekonomi rumah tangganya dari sektor pertanian.Didesa ini terdapat 15 kelompok tani umumnya masih
kelas pemula dan telah tergabung dalam gapoktan dan kurang aktif dan belum ada niat untuk
membentuk lembaga ekonomi.Selain kelompok tani/gapoktan di desa ini terdapat kurang lebih 15
lembaga dan semuanya masih berorientasi pada kegiatanekonomi secara individu, lebih dominan secara
kolektif sosial budaya.Lembaga-lembaga ini berpotensi sebagai cikal bakal membangun lembaga
ekonomi yang mandiri dan tahap awalnya lembaga adat bersama aparat desa yang harus berperan
menggerakkannya.Sedangkan lembaga petani melalui kelompok tani/gapoktan sama sekali belum ada
sepakat untuk membangun lembaga ekonomi. Dari pertemuan FGD telah dipahami bersama bahwa
adanya kerugian yang besar bagi petani apabila tidak membangun lembaga ekonomi. Adanya program
pengembangan desa melalui pembentukan Bumdes senatiasa akan mempercepat untuk membangun
lembaga ekonomi desa diharapkan yang banyak berperan untuk membangun lembaga ekonomi ini
adalah tokoh-tokoh masyarakat, lembaga adat, kepala desa, dan kelompok tani/gapoktan. Terbangunnya
lembaga ekonomi akan memudahkan masyarakat tani mulai menerapkan teknologi dan pengelolaan
usahatani yang presisi.
PENDAHULUAN
Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara memiliki lahan pertanian cukup luas yang
terdiri dari lahan sawah dan lahan kering masing-masing seluas 19.300 ha dan 70.900 ha (BPS Sulut,
2016). Pengelolaan pertanian diwilayah umumnya masih secara konvensional berakibat
produktivitas dan pendapatan petani per satuan unit usahatani sangat rendah yang
berkelanjutan.Padahal sesungguhnya mengelola usahatani dengan beberapa komoditas produktif
dan sesuai permintaan pasar berpeluang diraih pendapatanyang lebih tinggi dan mempunyai daya
saing yang setara dengan usaha di sektor yang lain.
Implementasi program pembangunan pertanian diwilayah ini masih sangat beragam, lebih
dominan masih dengan sistem pengelolaan secara tradisional dan hasilnya lebihcenderung pada
kebutuhan konsumtif. Seharusnya implementasi setiap program adalah bagaimana memberdayakan
masyarakat tani menjadi mandiri dalam kegiatan usahatani yang akan menghasilkan berbagai
produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Salah satu kelemahan yang cukup fatal dalam
pembangunan pertanian adalah sub-sub sistem dalam tatanan sistem belum berfungsi
optimal.Bagian terpenting dalam membangun sistem agribisnis adalah membangun semua unsur
yang terkait dan menjadi saling terkait satu dengan yang lain. Dari semua unsur yang terkait dalam
sub-sub sistem agribisnis maka unsur SDM petanilah yang paling lemah dan sepatutnyalah ada
upaya peningkatan kapasitas manusia petani menjadi lebih cerdas dan terampil dalam mengelola
sistem usahatani lebih produktif.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 359
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pemberdayaan masyarakat tani adalah usaha/upaya untuk lebih memperdayakan “daya” yang
dimiliki oleh manusia (petani) itu berupa kompetensi (competency), wewenang (outhority) dan
tanggung jawab (responsibility) dalam rangka meningkatkan kinerja (performance) dalam berusaha
tani (Sukino, 2013). Pemberdayaan SDM adalah meningkatkan kemampuan dalam wewenang dan
tanggung jawab, termasuk kemampuan individual (Sedarmayanti,2008). Adisasmata (2006)
mengemukakan bahwa, pemberdayaan masyarakat adalah upaya memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya masyarakat perdesaan secara efektif dan efisien dari aspek (1) masukan atau input
(SDM, dana, peralatan/prasarana, data, rencana, dan teknologi; (2) proses (pelaksanaan,
monitoring, dan pengawasan; dan (3) keluaran atau ouput (pencapaian sasaran, efektivitas dan
efisiensi). Selanjutnya dikemukakan, partisipasi masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat,
peran serta dalam menyusun perencanaan dan implementasi program pembangunan.
Implementasi program pembangunan selama ini cenderung mengabaikan esensi kekuatan
utama dari masyarakat berupa modal sosial (social capital) serta modal kemanusiaan (human capital)
yang selama ini telah terhimpun pada berbagai kelembagaan di setiap desa. Pendekatan
penanggulangan kemiskinan dalam paradigma baru adalah dengan mengandalkan modal sosial dan
modal kemanusiaan yang telah ada ditengah-tengah masyarakat, seharusnya menjadi basis utama
untuk diberdayakan. Pada saat ini modal sosial dan kemanusiaan masyarakat Indonesia umumnya
telah mengalami degradasi. Seperti rasa kebersamaan, gotong royong, saling membantu, saling
percaya, saling hormat-menghormati dan menghargai, serta saling mengasihi yang dulu pernah
tumbuh subur di masyarakat kita. Sekarang terkesan paket kedua modal tersebut kurang
diberdayakan konsekuensinya semakin sulit masyarakat termotivasi secara kolekfif dan mengelola
usahatani lebih maju.
Dewasa ini perilaku pementingan diri sendiri di berbagai kalangan cenderung semakin menonjol,
kondisi seperti ini semakin menonjol terjadi juga dikalangan petani antara lain makin banyak
yang tidak punya lahan, tingkat pendidikan rendah, pendapatan dan kesejahteraan rendah, dan
semakin banyak petani yang menjadi semakin miskin.Implementasi otonomi daerah khususnya
dalam memberdayakan sektor pertanian, tampaknya belum menunjukkan hasil seperti yang
diharapkan, sepertinya kehidupan petani semakin tidak berdaya.
Perubahan kelembagaan yang lebih penting adalah perubahan yang memengaruhi keterampilan
khusus, administratif, dan kewirausahaan (Jhingan, 1985). Implementasi otonomi daerah khususnya
dalam memberdayakan sektor pertanian, tampaknya belum menunjukkan hasil seperti yang
diharapkan. Selama ini masih ada kecenderungan para penyelenggara program pembangunan
pertanian tidak/belum fokus pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini terlihat
dari implementasi setiap program banyak yang tidak/kurang memperhatikan hal-hal tersebut di atas.
Konsekuensinya segala upaya yang dilakukan serta dana investasi yang cukup besar pada akhirnya
tidak membuahkan hasil untuk merubah nasib petani.Menghadapi pengembangan pertanian 4.0
atau farming 4.0 dimana setiap usahatani yang diselenggarakan harus menghasilkan produk yang
berdaya saing yang pendekatannya akan menggunakan input dalam jumlah yang tepat dan
diperoleh hasil yang berlipat ganda.
Di Sulawesi Utara, lahan kering dan basah pada umumnya belum menjadi modal utama dalam
pengelolaan usahatani sehingga penerapan pengelolaan usahatani secara optimal belum dilakukan.
Sumberdaya lahan yang tersedia seharusnya memiliki potensi ekonomi guna meningkatkan
kesejahteraan petani.Sebagai contoh potensi sumberdaya lahan yang adaseberapa besar kapasitas
lahan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah yang bermanfaat. Nilai ekonomi sumberdaya lahan
tersebut akan semakin tinggi apabila dikelola oleh sumberdaya manusia yang memiliki
kapasitasyang dapat memberdayakan sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya yang tersedia
METODOLOGI
Upaya menggali berbagai potensi dan permasalahan pertanian di lokasi pengembangan pertanian
terpadu dilakukan dengan pendekatan partisipatif mengikuti cara Lestari (2013). Ruang lingkup
kegiatan mencakup (1) survey dan dan (2) Focus Group Disscusion (FGD) melibatkan 30 petani,
semuanya sebagai petani pemilik dan pengarap. Pertemuan FGD terdiri 11 orang yang terdiri dari
penyuluh 1 orang, kepala desa 1 orang, aparat desa 2 orang, tokoh adat 1 orang, tokoh agama 1
orang, petani 7 orang. Identifikasi kelembagaan berdasarkan tugas dan fungsi beserta manfaat
terhadap kehidupan di wilayah tersebut.
FGD adalah diskusi terfokus dari suatu group untuk membahas suatu masalah tertentu, dalam
suasana informal dan santai. Group yang dilibatkan terdiri dari narasumber (Tim Konsultan) dan
berbagai stakeholder serta pengambil keputusan. Hasil FGD berupa rekomendasi yang berisi tentang
masalah, pemecahan masalah dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
kegiatan yang akan melibatkan petani yang disajikan secara kualitatif dalam bentuk tabel dan
diagram alir
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 361
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Analisis Venn Diagram
Suksesnya pengembangan lembaga ekonomi masyarakat tani dapat digambarkan dalam diagram
Venn, dimana pengembangan lembaga ekonomi petani harus didukung oleh semua lembaga yang
terkait di desa dan harus mengacu pada lembaga yang sudah ada disajikan pada Gambar 1.
Dari Gambar di atas terlihat bahwa telah ada 12 kelembagaan yang telah ada ditengah masyarakat
dan kurang lebih 4 kelembagaan di luar masyarakat yang menggerakkan masyarakat.
Hubungan antar kelembagaan yang ada
umumnya belum terkait satu dengan lainnya,
tampaknya masih dengan tupoksi masing-
masing dan terlihat dalam kehidupan sehari-
hari kelembagaan yang sangat dekat dengan
pengembangan masyarakat lebih banyak terkait
dengan kegiatan sosial- keagamaan.
Kegiatan-kegiatan ini terekspresi pada
kehidupan sehari-hari dengan warna yang
menonjol adalah nilai sosial-agama. Beberapa
lembaga yang sudah ada dalam masyarakat
belum ada satupun yang menyatakan bahwa
sektor pertanian sebagai basis ekonomi
masyarakat dan harus lebih maju daripada
Gambar 1. Diagram Venn kondisi peranberbagai hanya sekedar basis ekonomi dengan sistem
kelembagaan dalam membangun Desa Totabuan di pengelolaan tradisional, minimal dapat
Kabupaten Bolaang Mongondow menggerakkan kelompok tani untuk segera
berorientasi pada usaha pertanian lebih maju.
Untuk menarik kelembagaan dari luar secara cepat maka perlu diwujudkan keterpaduan
kelembagaan di desa disertai adanya kesepahaman untuk membangun desa menjadi lebih baik
dalam segala bidang, hal ini akan membuka peluang diperlukan masukan dari luar desa berupa
informasi baru, inovasi baru, kelembagaan komersial, dan lain yang dapat merubah pola pikir
masyarakat menjadi lebih maju.
Adanya lembaga-lembaga tersebut telah menyadarkan kepada beberapa anggota diskusi dari
desa mengetahui adanya kekuatan di desa untuk memajukan desa dan masyarakat desa untuk
melakukan perbaikan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik. Suradisastra dan Dariah (2012)
menyatakan suatu lembaga atau organisasi mampu bertahan dalam dinamika masyarakat bila
memiliki fungsi yang dibutuhkan. Itulah sebabnya apabila semua lembaga yang ada mempunyai
fungsi yang dibutuhkan masyarakat maka akan mudah sekali untuk menggerakkan masyarakat
menjadi lebih maju. Yang terjadi umumnya kelembagaan yang ada umumnya hanya memiliki fungsi
masing-masing dan enggan mengaitkan dengan fungsi kelembagaan lainnya. Akibatnya akan sulit
mengadopsi beberapa lembaga lain, terutama program pemerintah untuk akselerasi kemajuan
masyarakat.Penyajian hasil pengamatan, bagi pihak luar melihat urutan prioritas kegiatan yang
hendak dilakukan (Tabel 1).
Bagi lembaga luar baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang akan
menyelenggarakan program akan menjadi acuan sistem pelayanannya kepada masyarakat dan bagi
pihak lain yang sedang menjajaki kemungkinan pengembangan program, maka hasil kajian ini bisa
menjadi acuan kemungkinan kerjasama/kemitraan dalam membuat kegiatan.
Analisis FGD
Hasil rumusan diskusi menjadi usulan pengembangan kawasan pertanian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Permasalahan dan solusi pengembangan pengembangan kelapa di Bolaang Mongondow
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 363
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Dalam memajukan pengembangan kawasan pertanian perlu dilakukan sinergitas antar lembaga
SKPD yang terkait dengan tujuan untuk mewujudkan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan
petani. Disamping itu membangun sinergitas antar petani melalui kelompok tani atau lembaga
lainnya, padagang, dan pemerintahdalam tatanan sistem agribisnis. Terakhir, perkuat kelembagaan
petani menjadi Badan Usaha untuk akselerasi segera diberdayakan Bundes (telah tersedia
dana/tahun)
Ketersediaan Teknologi Pertanian
Varietas jagung yang ditanam petani selang 10 tahun terakhir adalah local dan hibrida.
Menurut para petani ketersediaan teknologi dalam pengembangan usxahatani sebaiknya langsung
melalui petani maju dalam hal ini melalui pengurus kelompok tani juga kepada penyuluh agar
setiap teknologi yang bermanfaat segera dapat diterapkan oleh petani secara masal.
Komoditas kelapa merupakan komoditas pertanian yang sudah lama diusahakan petani sebelum
dibentuk Desa Totabuan dan masih merupakan sumber pendapatan utama masyarakat petani.
Penerapan teknologi dalam pengelolaan kelapa masih tradisional, hampir sama saja dengan pola
pengelolaan usahatani dan pemasaran di atas 4 dekade yang lalu. Nilai ekonomi kelapa hanya dari
produk primer berupa kopra dan kelapa butiran dengan sistem penjualan individu dan terus
menghadapi fluktuasi harga dari tahun ketahun. Meskipun demikian minat petani untuk
mengembangkan kelapa masih tetap tinggi dengan harapan harga kelapa akan membaik dan
pemanfaatan areal tanaman kelapa dengan tanaman lain, terutama tanaman jagung.
Komoditas pertanian lainnya berupa kakao dan ternak sapi masih merupakan usaha tambahan
dan belum diusahakan secara masal. Hasil pemaparan petani menunjukkan ada satu petani yang
mengusahakan kakao cukup intensif sebanyak 1000 pohon dan menjelaskan dalam setahun ada 3 kali
panen besar dan setiap kali panen besar menghasilkan biji kering kakao sebanyak 1 ton, belum
termasuk panen antara yang tidak bisa dihitung petani. Diperkirakan dalam 1000 pohon dapat
menghasilkan kurang lebih 3.250 – 3.500 kg/tahun.
Ada juga petani kakao yang menanam di areal tanaman kelapa telah berusia 22-25 tahun hanya
tidak diusahakan secara intensif. Informasi ini dapat menjadi acuan dalam pengembangan usahatani
ke depan, terutama dapat memanfaatkan lahan diantara kelapa dengan tanaman kakao.
Tabel 4. Perkembangan Penerapan Paket Teknologi Usahatani jagung
di Kabupaten Bolaang Mongondow.
KESIMPULAN
Lembaga ekonomi masyarakat yang dibangun hendaknya mengacu pada beberapa pilihan
kelembagaan yang sudah ada, seperti lembaga adat, pemerintah desa dan diikuti oleh lembaga
petani (poktan).Faktor dominan penyebab tidak majunya pengembangan usaha pertanian khususnya
di Desa Totabuan adalah tidak terbangunnya lembaga ekonomi yang menyatukan beberapa
komponen kegiatan diselenggarakan secara kolektif menjadi kegiatan usaha berkelanjutan. Tanpa
dibangun lembaga ekonomi petani di desa selamanya tidak terjadi efisiensi usaha dan penerapan
teknologi usahatani, pengolahan produk dan distribusi produk juga tidak akan efisien apabila hanya
dikelola secara individu.
Disarankan pengembangan lembaga ekonomi desa harus menjadi agenda penting dalam
pembahasan musrembang seiring dengan pemenuhan segala kebutuhan masyarakat dan
pengembangan segala usaha produktif berkelanjutan. Pengembangan lembaga ekonomi desa
hendaknya menjadi program prioritas dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat tani.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmata, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Chambers, R. 1996. Participatory Rural Appraisal.Memahami desa secara Partispatif. Oxfarm-
Kanisius. Yogyakarta.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 365
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Daniel, M., Dharmawati, dan Nieldelina.PRA.Participatory Rural Appraisal.Pendekatan Efektif
Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam upaya meningkatkan Pembangunan
Pembangunan Pertanian.
Jhingan, M.L. 1985. Ekonomi Pembangunan dan Perekonomian. Rajawali Press, Jakarta,
Kindangen, J.G. 2014. Klinik Teknologi Pertanian. Kelembagaan Penggerak Agribisnis dan Ekonomi
Perdesaan. Badan Litbang Pertanian. IAARD Press. Jakarta.
Lestari, N., 2013. Pemberdayaan masyarakat Participatory Rural Appraisal. Program Studi
Kesehatan. STIKES Ngudi Wluyu.Ungaran.
Rochdyanto, S. 2000. Langah langkah Pelaksanaan Metode PRA. Makalah TOT PKPI, Yogyakata.
Sedarmayanti. 2008. Manajemen Sumberdaya Manusia. Reformasi Birokrasi dan Manajemen
Pegawai Negeri Sipil. PT Refika Aditama, Bandung
Suradisastra, K. dan A. Dariah. 2012. Pemetaan kearifan local dan capital sosial pada kegiatan
pertanian lahan kering. Prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan
Pangan. Badan Litbang Pertanian. IAARD Press, Jakarta.
Sukino, S. 2013. Membangun Pertanian dengan Pemberdayaan Masyarakat Tani.Terobosan
menanggulangi kemiskinan.Pustaka Baru Press. Yogyakarta
Widodo, S. 2012. Politik Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
ABSTRACT
The research objective is to find out opportunities for developing productive and profitable business plants and
livestock that can be developed in the post-gold mine owned by PT Dua Rajawali. The research uses survey methods
and direct observation of 5 clusters of land and qualitative and descriptive analysis methods through income analysis
approach. The results showed that PT Dua Rajawali's garden land could be cultivated by various plants and livestock
businesses, such as chicken, corn, chilly, cacao, goat, and cattle. Through the application of farming technology and
precision farming management, each of the businesses developed will obtain sufficient profits such as layer chickens
starting in the first year of more than 1.3 billion Rupiahs / 10,000 tails; 3rd year parent cow + Manadokuning corn
886 million Rupiahs / 20 ha and 50 head; cacao + goats 3rd year 1,184 billion Rupiah / 10 ha and 300 goats. The
business development that has been designed shows that this business is financially feasible for the company to be
developed into a sustainable and profitable commercial business. This effort can be an example for the surrounding
community to develop commercial farming and is expected to be easier to implement precision farming technology
management that leads to the development of more advanced and competitive agricultural industries.
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui peluang pengembangan usaha tanaman dan ternak yang produktif
dan menguntungkan yang dapat dikembangkan pada lahan pasca tambang emas milik PT Dua
Rajawali.Penelitian menggunakan metode survey dan pengamatan langsung lahan sebanyak 4 klaster
dan metode analisis kualitatif secara deskriptif dan kuantitatif melalui pendekatan analisis pendapatan
dan analisis kelayakan finansial. Hasil penelitian menunjukkan lahan kebun PT Dua Rajawali dapat
diusahakan berbagai usaha tanaman dan ternak secara terpadu, seperti ternak ayam, jagung, cabe,
kakao, kambing, dan sapi. Melalui penerapan teknologi usahatani dan pengelolaan usahatani yang
presisi maka masing-masing usaha yang dikembangkan diperoleh keuntungan yang memadai seperti
ternak ayam petelur mulai tahun ke-1 lebih Rp 1,3 milyar/10.000 ekor; sapi induk + jagung manado
kuning tahun ke-3 Rp 886 juta/20 ha dan 50 ekor induk; kakao + kambing tahun ke-3 Rp 1,184 milyar/10
ha dan 300 induk kambing. Analisis finansial menunjukkan ke-4 jenis usaha ini sangat layak secara
finansial untuk dikembangkan perusahan menjadi usaha komersial berkelanjutan dan menguntungkan.
Nilai NPV semua dicount factor bernilai positif, nilai semua B/C ratio >1 dan nilai semua IRR bernilai >
40 %. Usaha ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat sekitarnya untuk mengembangkan usahatani
secara komersial dan diharapkan lebih mudah untuk menerapkan pengelolaan teknologi usahatani yang
presisi yang mengarah pada pengembangan industry pertanian lebih maju dan berdaya saing.
Kata kunci: Kelayakan usaha, usahatani produktif, teknologi presisi, lahan tidur.
PENDAHULUAN
Kecamatan Lolak Kabupaten BolaangMongondow memiliki sumberdaya pertanian yang
potensial untuk menopang kehidupan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi daerah.Wilayah
inimemiliki sumberdaya lahan berupa lahan sawah, perkebunan, tegalan, hutan produksi, dan
pekarangan yang cukup luas. Pengembangan usaha pertanian di wilayahini umumnya belum
dikelola secara optimal, pengelolaan usahatani lebih dominan secara konvensional akibatnya
produktivitas dan pendapatan per satuan unit usahatani masih sangat rendah.
Di wilayah ini terdapat bekas lahan tambang emas milik PT Dua Radjawali Pro Energy berada di
wilayah Desa Totabuan seluas 50 ha dan berpotensi untuk pengembangan berbagai usahatani
secara terintegrasi. Desa Totabuan merupakan salah satu desa di Kecamatan Lolak dengan potensi
sumberdaya lahan kering dan sangat potensial untuk pengembangan usaha pertanian. Desa ini
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 367
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
memiliki areal pertanian seluas 400 ha dan ada tambahan lahan hibah dari areal hutan produksi
terbatas (HTP) seluas 900 ha. Pengembangan wilayah ini menjadi lebih produktif karena wilayah ini
telah di tunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai seperti adanya sungai Dumoga,
Waduk Lolak, pelabuhan kapal Labuan Uki, penangkaran burung Maleo, Taman Nasional Nani
Wartabone Dumoga, dan sarana transportasi Sulawesi yang memadai menunjukkan adanya
kemudahan untuk pengembangan usaha pertanian berskala ekonomi. Sekitar dua puluh kilometer
dari Desa Totabuan terdapat kawasan padi Dumoga di sebelah Timur dan Lolak di sebelah Barat
turut menyediakan sumberdaya berlimpah untuk pengelolaan untuk usaha pertanian terpadu.
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalahbagaimana menerapkan pengelolaan usahatani
yang presisi secara berkelanjutansehinggadiperoleh keuntungan maksimal melalui penerapan sistem
usahatani terintegrasi dan memberikan nilai keuntungan yang optimal. Dengan adanya
pengembangan usahatani secara komersial dari perusahan akan lebih mudah menerapkanpertanian
4.0 (farming 4.0) dimana pendekatannya nanti akan menggunakan masukan (input dalam jumlah
yang tepat danberkelanjutan dandiperoleh hasil yang berlipat ganda. Impak penerapan sistem
usahatani inidengan menggunakan input secara tepat akan lebih memotivasi masyarakat tani
disekitarnya untuk mengubah perilaku dari sistem pertanian konvensional menjadi sistem
pertanian komersial dan diterapkan secara berkelanjutan. Sampai saat ini pengembangan usahatani
berbagai komoditas di wilayah ini pada umumnya belum berorientasi ke sistem usahatani komersial
menyebabkan perolehan pendapatan per satuan unit usahatani masih sangat rendah.
Pengelolaan tambang emas di dihentikan dengan alasan pengembangan usaha ini tidak layak
secara ekonomis dan sekarang lahan ini terlantar tetapi berpotensi untuk pengembangan usaha
industri pertanian. Pihak perusahan berkeinginan agar lahan ini diberdayakan dan dikelola menjadi
sistem usahatani terpadu yang produktif tanpa limbah dan diperoleh keuntungan. Harapan besar
perusahan ini, bahwa kebun ini akan menjadi semacam inti untuk pengembangan lebih luas ke
lahan masyarakat tani menjadi satu kawasan pengembangan pertanian disekitarnya, di samping itu
akan berperan menjadi salah satu kawasan agrowisata. Sistem pengelolaannya kedepan
diharapkan menjadi cikal bakal suatu sistem agribisnis yang dapat memberikan keuntungan ke dua
belah pihak yang pada gilirannya akan memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan petani
dan memberi kontribusi terhadap pengembangan ekonomi daerah.
Adanya potensi sumberdaya yang besar ini memberi harapan adanya peluang untuk dapat
meningkatkan pendapatan petani sekitar 3 – 4 kali lipat sehingga dapat memberi impak terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Kondisi seperti ini hanya bisa dicapai apabila semua sub-sub sistem
dalam sistem agribisnis dapat mengambil peran menyelenggarakan usahatanisecara produktif,
terpadu dan berkelanjutan melalui perencanaan pembangunan pertanian yang matang. Hasil
penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan awal pengembangan usahatani dengan menerapkan
sistem pertanian 4.0 yang lebih menguntungkan dan menjadi acuan perusahan untuk
mengembangkan usahatani secara produktif dan menguntungkan, sekaligus terbangun kemitraan
usaha antar perusahan dengan masyarakat tani di Desa Totabuan dan dapat meluas pada wilayah
sekitarnya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui peluang keuntungan usahatani yang dapat
dikembangkan pada lahan pasca tambang emas PT Dua Rajawali Wilayah Desa Totabuan Kabupaten
Bolaang Mongondow
Dalam hal ini : Bt =Benefit pada tahun t; Ct =Biaya pada tahun t; i =Interest rate; t =Umur proyek
(tahun), t = 1,2 ….5; r’ =discount factor terendah; r” =discount factor tertinggi
NPV’=Net present value pada r’; NPV”=Net present value pada r.”
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 369
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
alam, infrastruktur, sosial dan budaya masyarakat dan lain-lain(Pradiana, 2019). Diyakini bahwa
perubahan-perubahan tersebut sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan masyarakat, karena itu
apabila terjadi perubahan yang bersifat negatif perlu diupayakan pengendaliannya sehingga tidak
berlanjut, sebaliknya jika perubahan/kecendrungan tersebut bermakna positif dalam kehidupan
masyarakat maka sebaiknya lebih didukung dan dilestariakan. Dalam dunia agribisnis penelusuran
perubahan dalam masyarakat petani menjadi penting mengingat segala upaya peningkatan
Pewilayahan
Di lahan perusahan terdapat 4 cluster, yang peruntukan lahannya sebagai berikut:
Lahan Klaster I
Hasil pengamatan rupa bumi menggunakan drone pada ketinggian 1000 ft menunjukkan lahan
Klaster I mempunyai sekitar 20 unit lubang bekas galian tambang. Lubang tersebut berisi air tidak
ada pintu masuk keluarnya. Lubang-lubang tersebut merupakan bekas galian tambang emas masa
lalu dan sekarang sudah dihentikan. Sebagian kecil sudah bermanfaat untuk produksi kelapa, jagung
dan padi gogo, serta galian C untuk material bangunan, dan padang penggembalaan ternak sapi.
Dari kajian sumberdaya lahan Klaster I ini sangat potensil karena lahan seluas 30 ha ini didukung
oleh prasarana jalan poros Lolak-Dumoga yang melewati lokasi, Sungai Dumoga dengan cadangan
air yang besar, serta Sungai Bolonsio yang melintasi tengah-tengah lahan Klaster I, memiliki
infrastruktur kantor, rumah jaga, rumah pengamanan, gudang, dan perbengkelan, serta terdapat dua
ruas prasarana jalan usahatani di dalamnya.
Sementara itu hasil pendataan kemampuan lahan eksisting menunjukkan kondisi lahan kluster I
sudah terganggu akibat pertambangan emas oleh masyarakat sebelum dibeli oleh pihak perusahaan
(Sangadi/Kepala Desa) Desa Totabuan. Sehingga pengembangan lahan untuk pertanian agak sulit di
rekomendasikan, karena untuk memulihkan kondisi lahan di areal tersebut membutuhkan waktu
yang lama dan input yang besar. Faktor pembatasnya adalah media perakaran yang ditandai dengan
kedalaman efektif tanahnya hanya 0 – 20 cm. Untuk pengembangan pertanian disarankan tanaman
yang mempunyai akar serabut, antara lain tanaman kelapa dengan tanaman penutup tanah, yaitu
tanaman pisang.
Limbah tanaman pisang lebih cepat untuk terurai dan bisa memancing mikroorganisme tanah
untuk melakukan pelapukan. Selain pertanian dapat dikembangkan juga usaha peternakan,
perikanan dan pemukiman (rumah, gudang dan tempat pengolahan pakan, dll).Hal ini didukung
oleh adanya sungai sumber air.
Lahan Klaster II
Berbeda dengan lahan perusahan Klaster I, peruntukan Klaster II adalah pertanian lahan kering
dengan vegetasi kelapa, jagung dan padi. Kedalaman efektif tanah sudah lebih baik dengan
kedalaman lebih dari 60 cm. Dari segi kemanfaatan lahan, Klaster II ini memproduksi kelapa, jagung
dan padi gogo. Permasalahan penting meliputi rawan erosi yang tinggi pada titik-titik
slope/kemiringan yang tinggi, pemanfaatan lahan belum optimal karena masih banyak lahan tidur,
produksi jagung dan padi masih rendah, di bantaran Sungai Dumoga rawan banjir.
Pada cluster II direkomendasikan untuk pengembangan pertanian tanaman tahunan dan
semusim seperti kelapa, kakao, cengkeh, jagung dan padi gogo. Untuk tanaman cengkeh
dianjurkan agar terlebih dahulu membuat jaringan irigasi tetes untuk mengantisipasi musim
kemarau yang panjang. Untuk tanaman semusim direkomendasikan paling baik adalah jagung
untuk mendukung usaha peternakan pada lahan Klaster I. Namun demikian tidak menutup
PadaKlaster III direkomendasikan untuk pengembangan tanaman tahunan dan semusim seperti
kelapa, kakao, cengkeh, jagung dan padi gogo. Khusus untuk tanaman cengkeh dianjurkan terlebih
dahulu membuat jaringan irigasi tetes untuk mengantisipasi musim kemarau yang panjang. Untuk
tanaman semusim direkomendasikan paling baik adalah jagung untuk mendukung kegiatan
peternakan yang direkomendasikan pada lahan Klaster I. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan tanaman lain bisa juga dikembangkan.
Lahan Klaster IV
Klaster IV topografinya datar – berbukit dengan kedalaman efektif > 60 cm, namun pada
topografi 0 – 2% faktor pembatasnya adalah banjir (F). Pada saat intensitas hujan yang tinggi sering
terjadi banjir, karena air sungai Dumoga meluap. Alternatif pengembangan pada topografi >3%
dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim.
Hasil analisis PUTK dari masing-masing cluster hampir sama. Kandungan P dan kandungan C-
organik rendah, dimana fosfor (P) berperan penting dalam sintesa protein, pembentukan buah dan
biji serta mempercepat pemasakan. Kekurangan P dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman
menjadi kerdil, pemasakan terlambat dan produksi rendah (Setyorini, dkk.,2015). Kandungan C-
organik ini identik dengan tingkat kesuburan tanah mineral, semua cluster kesuburan tanahnya
rendah karena sedikitnya pengembalian sisa panen dan erosi tanah yang cukup besar dengan
membawa lapisan top soil yang kaya akan bahan organik.
Kandungan K dalam tanah bervariasi kandungan K rendah pada Klaster II dan IV, K sedang pada
cluster I dan K tinggi pada Klaster III. Kandungan Kalium dalam tanah ini sangat mobile (mudah
bergerak) sehingga mudah hilang melalui proses pencucian/terbawa arus pergerakan air (Setyorini,
dkk.,2015). Kandungan K yang rendah ini dapat ditingkatkan dengan cara pemberian 2–3 kali dalam
satu musim tanam.
Pada tanah masam (pH < 4,5), ketersediaan beberapa hara makro dan mikro lebih rendah
daripada tanah netral. Pada hasil uji PUTK menunjukkan bahwa pada semua cluster pH tanahnya 5 –
6 (aga masam). Salah satu cara untuk menangani kemasaman tanah lahan kering adalah dengan
menambahkan kapur, dimana kapur dapat meningkatkan pH tanah.
Peluang Pengembangan Usaha
Berdasarkan peta tanah semi detail, Kabupaten Bolaang Mongondow skala 1 : 50.000 jenis tanah
yang dominan di Desa Totabuan, termasuk dalam Subordo Typic endoaquepts, Lithic dystrudepts
dan Typic Dystrudepts. Hasil analisis kesesuaian lahan maka kebun perusahan ini dapat
dikembangkan usahatani secara komersial berkelanjutan, yaitu usaha ternak (ayam petelur, kambing,
dan sapi yang terintegrasi dengan jagung). Uraian pengembangan usahatani komersial dapat
diuraikan dibawah ini.
Keberhasilan system usahatani lahan kering sangat ditentukan oleh pengelolaan terintegrasi
lahan, air, tanaman, ternak dan hara tanaman.Untuk mengelola resiko berganda system usahatani
lahan kering diperlukan upaya diversifikasi, fleksibility, dan adaptabilitysystem usahatani (Soeparno,
2012). Oleh karena itu perluasan areal tanam dilahan kering dengan menerapkan teknologi yang
kurang presisi akan cenderung kegagalan usaha. Inovasi merupakan proses pengembangan dari
konsepi atau invensi melalui penyebaran secara ekonomis atas produk melalui proses yang
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 371
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
dihasilkan (Mangunwidjaja dan Sailah, 2009). Pengembangan usaha yang berpeluang menjadi usaha
komersial dan menguntungkan dapat diuraikan dibawah ini.
Usaha Peternakan Ayam Petelur.
Usaha ini dapat dikembangkan menjadi usaha yang
menguntungkan dalam tahap awal dapat dikembangkan dengan skala usaha (luas) 10.000 bibit ayam
petelur. Pengembangan usaha ini berpeluang diintegrasikan dengan usahatani cabe local dan ikan
sidat 10 kolam masing-masing seluas 10 x 10 m (kedua usaha ini dapat memanfaatkan pupuk
kandang ternak ayam). Pertimbangan pengembangan usaha ayam petelur ada kemudahan 50 %
bahan pakan (jagung) telah tersedia dengan produksi ditingkat petani (masih tradisional) mencapai
2.400 ton pipil kering/tahun dan tersedia untuk memproduksi sekitar lebih 4.000 ton pakan
konsentrat/tahun.
Analisis usaha pengembangan usaha ternak ayam petelur, ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1.Perkiraan analisa usaha ternak ayam petelur skala 10.000 ekor
Tahun (Rp.000)
No Uraian 0 1 2 3 4
1 Jlh Investasi 775.000 2.157.000 2.157.000 2.157.000 2.157.500
2 Biaya Tenaga kerja 15.000 156.000 156.000 156.000 156.000
3 Biaya tetap 273.500 273.500 273.500 273.500
Total biaya (1+2+3) 790.000 2.550.500 2.550.500 2.550.500 2.550.000
4 Produksi/N produksi
Telur 2.352.000 3.577.000 3.577.000 3.577.000
Pupuk 68.425 68.425 68.425 68.425
Ayam afkir 380.000 380.000 380.000
Jumlah 2.420.425 4.025.425 4.025.425 4.025.425
5 Keuntungan 790.000 -130.075 1.474.925 1.474.925 1.474.925
Diperkirakan tahun awal dibutuhkan investasi sebesar Rp 790.000.000
Tahun berikutnya (tahun ke-2) sudah diperoleh keuntungan> Rp 1,4 milyar/tahun.
Tahun (Rp.000)
No Uraian 0 1 2 3 4
1 Jlh Investasi 437.500 246.775 246.775 246.775 246.775
2 Biaya tenaga kerja 550.000 550.000 550.000 550.000
3 Biaya Tetap 175.625 175.625 175.625 175.625
Jumlah (1+2+3) 437.500 973.400 973.400 973.400 973.400
4 Produksi/Nilai produksi
Anak Sapi 360.000 360.000
Biourine 400.000 600.000 600.000
Jagung 300.000 900.000 900.000 900.000
Jumlah (2) - 600.000 1.300.000 1.860.000 1.860.000
5 Keuntungan -437.500 -373.400 326.600 886.600 886.600
Diperkirakan tahun awal dibutuhkan investasi sebesar Rp 437.500.000
Tahun berikutnya (tahun ke-2) sudah diperoleh keuntungan > Rp 300 juta/tahun dan tahun ke-3 > Rp 800 juta/tahun
Tabel 4. Perkiraan Analisis Usahatani jagung + ternak sapi potong (induk 50 ekor), 1 tahun 3 kali
pembelian sapi potong.
Tahun (Rp.000)
No Uraian
0 1 2 3 4
1 Jumlah Investasi 569.500 1.020.125 1.020.125 1.020.125 1.020.125
2 Biaya Tenaga Kerja 550.000 550.000 550.000 550.000
3 Biaya Tetap 175.625 175.625 175.625 175.625
Jumlah (1+2+3) 569.500 1.745.750 1.745.750 1.745.750 1.745.750
4 Produksi/Nilai produksi
Sapi (untuk daging) 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000
Biourine 400.000 400.000 600.000 600.000
Jagung 900.000 900.000 900.000 900.000
Jumlah (2) - 3.750.000 3.750.000 3.750.000 3.750.000
5 Keuntungan -569.500 2.004.425 2.004.425 2.004.425 2.004.425
Diperkirakan tahun awal dibutuhkan investasi sebesar Rp 569.500.000
Tahun berikutnya (tahun ke-2 dst) sudah diperoleh keuntungan > Rp 2 milyar
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 373
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Integrasi Usahatani Kakao dengan Ternak Kambing . Usaha ini berpotensi untuk dikembangkan
perusahan dan terjadi efisiensi usaha dimana usahatani kakao dapat menyediakan pakan minimal 80-
90 % kebutuhan pakan kambing (sumber pakan dari tanaman penaung: gamal dan lamtoro, daun
pangkasan kakao dan kulit buah kakao difermentasi, setiap ha kakao dapat dipelihara kambing
hingga 30 induk dan 3 jantan).Dilokasi ini dapat dikembangkan dengan kakao klon unggul seluas 10
ha dengan jumlah kambing indul 300 ekor dan jantan 30 ekor.Kotoran kambing dalam bentuk padat
maupun cair menjadi pupuk untuk kakao, pupuk padat dapat dipupuk pada tanaman kakao 2 kali
per tahun dengan dosis 20 – 30 kg/pohon per.
Usaha tanaman kakao berpotensi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam
negeri maupun ekspor, sedangkan kambing untuk pasar antar pulau dan pasar lokal. Usaha ini dapat
dikembangkan secara secara intensif sepanjang tahun karena tersedia air sungai yang cukup
memadai untuk mengatasi musim kemarau sekitar bulan Mei hingga Oktober. Pengembangan usaha
ini secara intensif akan menjadi contoh bagi masyarakat tani disekitarnya untuk menjadi usaha lebih
produktif dan terpadu dan diperoleh pendapatan maksimal.
Tabel 5. Perkiraan analisa usahatani kakao + kambing
(300 induk dan 30 Jantan etawa, skala usaha 10 ha)
Tahun (Rp.000)
No Uraian 0 1 2 3 4
1 Jumlah (bahan) 600.000 42.000 124.000 225.500 245.500
2 Biaya Tenaga kerja 97.000 155.500 171.000 180.500
3 Jlh biaya tetap 220.000 220.000 220.000 220.000
Total biaya (1+2+3) 600.000 359.000 499.500 616.000 645.500
4 Produksi kambing 900.000 900.000 900.000
Kakao 60.000 900.000 1.500.000
Jumlah 960.000 1.800.000 2.400.000
3 Keuntungan -600.000 -359.000 460.500 1.184.000 1.754.500
Tanaman penaung kakao (gamal dan lamtoro sebagai pakan utama kambing)
Diperkirakan tahun awal dibutuhkan investasi sebesar Rp 600.000.000
Tahun berikutnya (tahun ke-2) sudah diperoleh keuntungan > Rp 460 juta/tahun
Hasil analisis di atas menunjukkan pengembangan usahatani dengan cara intensif dapat
memberikan nilai keuntungan yang besar dan dapat dipredikisi penyelengaraan usahatani diatas
sangat layak bagi perusahan untuk melakukan investasi. Keutungan di atas akan lebih besar apabila
akan diterapkan sistem pengelolaan usahatani dengan menerapkan teknologi dan pengelolaan
usaha yang presisi, mulai dari penyediaan benih bermutu, pengendalian hama terpadu secara
cerdas, penggunaan pupuk yang tepat dosis, penggunaan alsintan yang efisien dan tepat,
pengelolaan pasca panen yang tepat, distribusi produk secara tepat dan efisien, serta system
pengelolaan usaha, dan ditunjang dengan penyediaan air dikala tanaman dilanda musim kemarau
panjang.
Kelayakan Finansial
Dari hasil analisis pendapatan usahatani diatas dapat disarikan hasil analisis kelayakan
usahatani pada Tabel 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa ke-4 usaha tani/ternak yang diajukan
tergolong layak secara finansial dan usaha ini dapat diusahakan secara berkelanjutan. Ke-4 usaha
yang dianalisis menunjukkan nilai NPV pada semua discount factor (12 %, 15 % dan 18 %)
positip. Demikian pula dari hasil analisis BCR pada semua discount factor memberikanpetunjuk
semuanya lebih dari >1. Nilai IRR menunjukkan semuanya diatas 40 %.
Hasil analisis ini dapat memberikan keyakinan pada manejeman perusahaan PT Dua Rajawali
bahwa ke-empat jenis usaha yang akan diinvestasikan akan dapat memberikan keuntungan pada
saat usaha berusia sekitar 1,5 – 4 tahun. Apabila ke-4 usaha diatas menjadi investasi perusahan
ditunjang dengan penerapan teknologi digital akan terjadi efisiensi usaha dan kepastian
keuntungan perusahan dan selanjutnya akan menjadi contoh bagi petani disekitarnya untuk
menerapkan system usahatani komersial. Pengembangan kemitraan usaha antara perusahan dan
masyarakat petani disekitarnya diharapkan akan memacu pengembangan usahatani secara
komersial.
Perusahan memiliki kebun sangat strategis menerapkan beberapa sistem usahatani terpadu dan
dapat menjadi contoh untuk memotivasi petani disekitarnya. Jenis usaha yang dapat dikembangkan
dan menguntungkan perusahan adalah usaha ternak ayam petelur, usahatani cabe secara terpadu,
usaha integrasi jagung dengan ternak sapi dan usahatani kakao + kambing. Ke-4 jenis usaha ini
tergolong layak secara finansial.
Kebun perusahan berpotensi membangun kemitraan dengan petani (kelompok) dalam bentuk
penyediaan benih jagung dan penampungan hasil panen raya jagung. Sistem pengelolaan usaha dan
penerapan teknologi secara intensifdapat memacu masyarakat tani disekitarnya untuk mengelola
dan menerapkan teknologi secara intensif.
Pengembangan usaha kebun perusahan hendaknya sebagian jenis tanaman atau ternak yang
diusahakan sejalan dengan apa yang diusahakan masyarakat sekitarnya, perusahan menjadi
semacam bapak angkat usaha petani. Atau dalam tahap awal beberapa petani maju diajak untuk
mengusahakan komoditas yang sama secara intensif. Perlu dibangun lembaga ekonomi petani agar
cepat terjadi tranformasi sistem pengelolaan usaha, penerapan teknologi, penyediaan modal serta
kelancaran dalam penyaluran hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita. (2006). Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Akhmad. (2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Balitbangtan. (2017). Introduksi Alat Pemipil Jagung di Sulawesi Utara. In G. Joseph, & Z. H.
Joseph,GH, Prosiding (pp. -). Jakarta: IATAR PRESS.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 375
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Daniel M, Dharmawati, Nieldelina. (2008). Participatory Rural Appraisal (PRA): Pendekatan Efektif
Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatid dalam upaya meningkatkan Pembangunan
Pertanian.
Jhingan M.L. (1985). Ekonomi Pembangunan dan Perekonomian. Jakarta: Rajawali Press.
Joseph. (2005). Potensi dan Peluang Pengembangan Produk Kelapa dan Hasil Ikutannya. In B. S. Utara,
Prosiding (pp. -). Manado: 2001.
Kindangen. (2014). Klinik Teknologi Pertanian: Kelembagaan Penggerak Agribisnis dan Ekonomi
Perdesaan. Jakarta: IAARD Press.
Lestari. (2013). Pemberdayaan Masyarakat Participatory Rural Appraisal: Program Study Kesehatan.
Ungaran: Stikes Ngudi Wluyu.
Mangunwidjaja, D. dan I. Sailah. 2009. Pengantar Teknologi Pertanian. Penebar Swadaya, Jakarta
Rochdyanto. (2000). Langkah-langkah Pelaksanaan Metode PRA. Makalah TOT PKPI. Yogyakarta:
PKPI.
Sangadi, Sekdes. (2018). Monografi Desa Totabuan. Lolak: Desa Totabuan.
Sedarmayati. (2008). Managemen Sumberdaya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Managemen
Pegawai Negeri Sipil. Bandung: PT.Refika Aditama.
Sukino . (2013). Membangun Pertanian dengan Pemberdayaan Masyarakat Tani: Terobosan
Menanggulangi Kemiskinan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Suradisastra, Dariah. (2012). Pemetaan Kearifan Lokal dan Capital Sosial pada Kegiatan Pertanian
Lahan Kering: Prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta:
IAARD Press.
Wida Pradiana. (2019). Participatory Rural Apraisel (PRA). Bogor: 2019.
Widodo. (2012). Politik Pertanian. Yogyakarta: Lyberty.
3. Analisis kelayakan finansial usahatani jagung (20 ha) + ternak sapi (induk 50 ekor)
DF DF
Tahun Biaya Manfaat NB DF 12 % NB NB NB
15 % 18 %
0 437.500 -437.500 1 -437.500 1 -437.500 1 -437.500
1 973.400 600.000 -373.400 0,893 -333.446,2 0,87 -324.858 0,847 -316.269,8
2 973.400 1.300.000 326.600 0,797 260.300,2 0,756 246.906,6 0,718 234.498,8
3 973.400 1.860.000 886.600 0,712 631.259,2 0,658 583.382,8 0,609 539.939,4
4 973.400 1.860.000 886.600 0,635 562.991 0,572 507.135,2 0,516 457.485,6
NPV 1.288.500 683.604,2 575.066,6 478.127
B/C 2,59 1,89 1,75 1.63
IRR 0.41
4. Analisis kelayakan finansial usahatani kakao-kambing (50 induk)
DF DF DF
Thn Biaya Manfaat NB NB NB NB
12 % 15 % 18 %
0 600.000 0 -600.000 1 -600.000 1 -600,000 1 -600.000
1 359.000 0 -359.000 0,893 -320.587 0,87 -312.330 0,847 -257.549.8
2 499.500 960.000 460.500 0,797 367.018 0,756 348.138 0,718 330.639
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 377
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
378 | Teknologi Pertanian
KARAKTERISTIK PETANI KAWASAN KEDELAI BERBASIS KORPORASI
DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR
Email :[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui karakteristik petani kedelei di kawasan berbasis
korporasi di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.Umumnya jenis tanaman yang diusahakan adalah
tanaman kedelei yang biasanya diusahakan pada 2 musim tanam yaitu pada musim MK I dan MK
II.Metode pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling dengan melakukan
wawancara dengan 30 orang petani kedelei di desa Kedung Banjar Kabupaten Lamongan Jawa
Timur.Data selanjutnya diolah secara diskriptif. Hasil penelitian didapatkan; 80 persen
bermatapencaharian sebagai petani, dengan rata-rata umur 58 tahun tergolong usia produktif, dengan
rata-rata pengalaman usahatani 11-30 tahun, Tingkat pendidikan SD 50 persen, SMP 13 persen, SMA 30
persen dan Perguruan Tinggi 3 persen. Jenis lahan di desa Kebung Banjar 96,30 persen adalah lahan
sawah, 2,4 persen adalah lahan tegalan dan 1,14 persen adalah lahan pekarangan. Dengan mengetahui
karakteristik petani ini diharapkan dapat mempermudah dalam mengintroduksi dan menginovasikan
kelembagaan Ekonomi Petani yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan mensejahterakan
petani.
ABSTRACT
This study aims to farmers is to find kedelei characteristics in the area of corporate, Lamongan district based in the
east java. Generally, the types of crops planted kedelei is a plant that is usually found in 2 growing seasons at the MK
I and MK II. Of the sample was conducted using purposive sampling conducted interviews with people with 30
kedelei farmers in the village of Kedung Banjar, Lamongan district east java. Subsequent data processed in
discriptive. The research results obtained; 80 percent of their living from working as farmers, with an average age of
years been 58, reproductive age with an average year, 11-30 farming experience. The primary school 50, percent, 13
junior high school 30 percent. 3 college Kind of land in the village Kedung Banjar 96,30 percent, farming percent are
2,4 land dry fields and percent are 1,14 home-lot. Know the characteristic of farmers is expected to ease in
introduction and innovate institutional aimed at increasing economic farmers income and welfare farmers.
PENDAHULUAN
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi jawa timur
dengan ibukota Lamongan. Secara astronomis, Kabupaten Lamongan terletak pada 6⁰51'54"-
7⁰23'06"lintang selatan dan 112⁰33'45"-112⁰33'45"bujur timur. Berdasarkan letak geografisnya,
Kabupaten Lamongan memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah utara berbatasan dengan Laut
Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Secara topografi, Kabupaten Lamongan terdiri dari daratan
rendah dengan ketinggian 0-25 mdpl sebanyak 50,17% dari keseluruhan luas wilayah sebanyak
45,68% berada pada ketinggian 25-100 mdpl seluas 45,68%, selebihnya 4,15% berada di atas 100 mdpl.
Kedelai merupakan komoditas unggulan yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Lamongan.
Berbagai produk olahan dilakukan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi kedelai, hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Sudaryanto dan Sawstika,2007, Rante Y, 2013; Kedelai sebagai salah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 379
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
satu sumber protein nabati, umumnya dikonsumso dalam bentuk produk olahan yaitu; tahu, tempe,
kecap, tauco, susu kedelai dan berbagai bentuk makanan ringan . Permasalahan utama yang
dihadapi petani adalah harga kedelai yang sangat rendah ditingkat petani dan pengairan yang sangat
terbatas sehingga mengakibatkan rendahnya provitas kedelai di desa. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui karakteristik petani ini diharapkan dapat mempermudah dalam
mengintroduksi dan menginovasikan kelembagaan Ekonomi Petani yang bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan dan mensejahterakan petani.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada bulan April 2019. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara
terhadap 30 orang petani kedelai yang terpilih sebagai responden secara teknik “simple random
sampling”. Data yang dikumpulkan diolah secara diskriptif, menggunakan parameter persentase, dan
distribusi.
Pada Tabel.1.terlihat bahwa presentase umur petani yang tertinggi dikisaran umur 60 tahun
dengan presentase sebesar 13,33% dan memiliki rata-rata umur yaitu 58,4 tahun. Dari hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata usia petani didesa Kedung Banjar termasuk dalam
klasifikasi usia produktif. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Mantra (2004), yang menyatakan
bahwa umur produktif secara ekonomi dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu kelompok umur 0-14 tahun
merupakan usia belum produktif, kelompok umur 15-64 tahun merupakan kelompok usia produktif,
dan kelompok umur di atas 65 tahun merupakan kelompok usia tidak lagi produktif. Usia produktif
Penguasaan Lahan
Pada penguasaan lahan petani di desa Kedung Banjar, terdapat tiga kategori penguasaan lahan
yang ada, yaitu lahan sawah, lahan tegalan, dan juga lahan perkarangan. Dari hasil perhitungan 30
responden yang ada, didapati total seluruh luas lahan yang dikelola petani untuk kegiatan bertani
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 381
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
sebesar 23,04 Ha. Dimana hampir seluruh lahan yang ada didesa Kedung Banjar merupakan jenis
Lahan sawah dengan presentasinya sebesar 96,30%, sedangkan sisanya lahan tegalan memiliki
presentasi sebesar 2,4% dan lahan perkarangan hanya sebesar 1,14% saja. Walaupun presentase
penguasaan lahan yang dikelola untuk kegiatan bertani terutama lahan sawah yang ada didesa
Kedung Banjar terbilang cukup besar, tidak semua lahan tersebut merupakan milik petani itu sendiri,
dimana sebagian dari lahan tersebut mereka sewa agar mereka bisa mengelola dan memanfaatkan
lahan tersebut untuk kegiatan bertani.
Tabel 9. Penguasaan lahan
No Penguasaan Lahan Pertanian Jumlah
1 Lahan Sawah 22,21 Ha
2 Lahan Tegalan 0,56 Ha
3 Lahan Perkarangan 0,264 Ha
Pendidikan Petani
KESIMPULAN
Memahami secara mendalam karakteristik petani pada suatu wilayah akan mempermudah dalam
mengintroduksi suatu teknologi. Introduksi teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran akan
mempercepat proses adopsi teknologi
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T., 2005.Budidaya Kedelai dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran
Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta.104p.
Ellyta. 2015. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lidah buaya ( Aloe vera. l) di
pontianak utara. Jurnal Agrosains, 12(2): 1-9.
Linder, Pardey, dan Jarret, 1982. Distance To Information Source And The Time Lag Early Adoption
Of Trace Element Fertilizer. Working Paper 82-2. Departement Of Economics University Of
Adelaide.
Hendayana R, 2016. Persepsi dan Adopsi Teknologi.Landasan Teori dan Praktik
Pengukuran.Penerbit. IAARD PREES, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Mantra, I. B. (2004). Filsafat penelitian & metode penelitian sosial. Pustaka Pelajar.
Subagiyo, 2005. Kajian FaktorFaktor Sosial Yang Berpengaruh Terhadap Adopsi Inovasi Usaha
Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten BAntul,DI Yogyakarta. JPPTP.Vol 8
No.2.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sukartawi, 1990. Prinsip DAsar Komunikasi Pertanian. UIP.Pres.
Tommy H, Roza Yulida, Rosnita, 2017. Karakteristik Petani PAdi Peserta Program Upaya Khusus
Padi,JAgung, Kedelai UPSUS Pajale di Desa Ranah Baru Kecamatan Kampar Kabupaten
Kampar.. JOM Faperta UR Vol 4 No 1. Pebruari 2017
Rante Yohanis, 2013. Strategi Pengembangan Tanaman Kedelai Untuk Pemberdayaan Ekonomi
Rakyat Di KAbupaten Keerom Provinsi Papua. Jurnal MAnajemen dan Kewirausahaan Vol 15
No.1. MAret 2013 : 75-88.
Sudaryanto T dan Dewa K.S.Swastika, 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Forum Agro Ekonomi
(FAE) 12(3),1-27, 2007.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 383
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
384 | Teknologi Pertanian
RANTAI PASOK JERUK DI KAWASAN BERBASIS KORPORASI PETANI
DI KABUPATEN BANYUWANGI JAWA TIMUR
E-mail :[email protected]
ABSTRAK
Jeruk merupakan salah satu komoditi buah-buahan yang menjadi komoditi unggulan Kabupaten
Banyuwangi.Namun demikian berdasarkan hasil Focus Group Disscution (FGD) di Gapoktan desa
Temurejo Kecamatan Bangorejo masih banyak permasalahan yang di hadapi oleh petani jeruk, mulai dari
budidaya sampai dengan pasca panennya dan permasalahan utama adalah harga dan pemasaran hasil.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji saluran pemasaran (rantai pasok) jeruk di Kabupaten
Banyuwangi.Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik Focus Group Disscution dan
selanjutnya data diolah secara diskriptif.Adapun kesimpulannya dengan mengetahui saluran pemasaran
jeruk di Kabupaten Banyuwangi diharapkan dapat mengatasi harga jual jeruk sehingga dapat
memberikan keuntungan bagi petani.
ABSTRACT
Is one of citrus fruits in a primary commodity banyuwangi. District However based on the focus group disscution
( fgd ) in gapoktan village temurejo kecamatan Bangorejo still many problems faced by farmers, in orange ranging
from to after panennya cultivation and the main problems is the price and marketing. The purpose of this research is
examining marketing outlets (supply chain) orange in banyuwangi. districtInterviews with using a technique
disscution focus group and then data processed in diskriptif.As for the conclusion by knowing marketing outlets
orange in banyuwangi district is expected to overcome the selling price of orange and benefits for farmers.
PENDAHULUAN
Indonesia berpotensi menjadi negara eksportir komoditas buah tropika, namun hingga saat ini
Indonesia hanya mampu memasok kurang dari 10 % pasar hortikultura Singapura.(Puspitasari dan
Prabawati, 2014). Komiditi hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang
diperdagangkan secara luas di Indonesia.Perdagangan komoditas tersebut tidak hanya mencakup
pemenuhan permintaan pasar domestic, namun juga permintaan pasar Internasional.Tingginya
permintaan terhadap komoditas ini, menjadikan komoditas hortikultura memegang peranan penting
dalam upaya mendukung perekonomian Indonesia.Salah satu komoditas hortikultura yang potensi
pengembangannya sangat besar adalah buah-buahan.
Jeruk adalah salah satu buah yang digemari oleh masyarakat Indonesia.Salah satu factor yang
mendorong petani untuk menanam jeruk adalah karena komoditas ini merupakan tanaman
hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat menguntungkan. Produktivitas usahatani
jeruk cukup tinggi, yaitu berkisar 17-25 ton/ha dari potensi 25-40 ton/ha. Dari jumlah tersebut,
sekitar 70-80 jenis jeruk yang dikembangkan petani merupakan jeruk siam. Daerah sentra
produksinya hamper tersebar diseluruh provinsi di Indonesia dengan wilayah sentra utama
diantaranya adalah Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan. (balitjestro.litbang. pertanian.go.id/nilai-kelayakan-ekonomi-usahatani-jeruk-siam/).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 385
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pemasaran pertanian didefenisikan sebagai proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak
milik dan penciptaan nilai guna waktu, nilai guna tempat, dan nilai guna bentuk yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi pemasaran (Sudiyono,
2002). Selanjutnya dikatakan dalam rangka memperlancar arus barang dari produsen ke konsumen,
maka pemilihan saluran pemasaran merupakan salah satu penting yang harus diperhatikan, sebab
kesalahan dalam pemilihan saluran yang dapat menghambat (memacetkan) usaha penyaluran
barang/jasa dari produsen ke konsumen.Alternatif saluran pemasaran yang digunakan dipengaruhi
oleh jenis barang yaitu barang konsumsi dan barang industri. Panjang pendeknya rantai pasar suatu
komoditas umumnya dipengaruhi oleh karakteristik komoditas, besarnya margin dan insentif
pemasaran kondisi sarana transportasi dan komunikasi dimasing-masing wilayah (Erwidodo dan
Saptana, 1996 dalam Nur Hidayat, dkk, 2006).
Istilah rantai pasok mengacu pada sebuah sistem yang melibatkan berbagai kegiatan dan
sumberdaya untuk menyalurkan produk barang atau jasa dari pemasok kepada
konsumen.(Wikipedia, http://en.wikipedia:org/wiki/wiki/supply_chain. Rantai pasok adalah suatu
pengakuan (recognition) bahwa nilai suatu produk diciptakan di dalam aktivitas perusahaan dan
disalurkan kepada konsumen akhir pada harga tertentu. (Porter, 1985 dalam Dewa K.S.Swastika dan
Sumaryanto,2012).
Jawa Timur merupakan salah satu sentra jeruk di Indonesia dan pengembangan tanamnya terus
bertambah baik di kabupaten-kabupaten sentra produksi seperti kabupaten Jember, Banyuwangi,
Malang maupun di kabupaten-kabupaten yang baru mengembangkan tanaman jeruk secara kawasan.
Berdasarkan Kepmentan No.472 tahun 2018 bahwa lokasi pengembangan kawasan jeruk di Jawa
Timur meliputi kabupaten Banyuwangi, Tuban, Lumajang, Malang,Ponorogo dan Magetan
(Kepmentan,2018). Pengembangan luas areal tanaman jeruk terus bertambah, hal ini diimbangi oleh
permintaan jeruk dimasyarakat juga terus meningkat terbukti dengan semakin meningkatnya nilai
impor jeruk hingga bulan Oktober yaitu nilai US$ 9,9 juta terutama untuk jeruk mandarin
(BPS,2017). Peningkatan nilai import ini sebenarnya dapat memacu semangat petani untuk
membudidayakan jeruk dengan baik sesuai dengan SOP/GAP sehingga kualitas jeruk yang dihasilkan
berkualitas baik.
Menurut Supriyanto (2017), usahatani jeruk di Banyuwangi terbukti memberikan penghasilan
yang lumayan dan meningkatkan kesejahteraan bagi petaniyang mengusahakan. Tetapi Agribisnis
jeruk di Kabupaten tersebut menghadapi beberapa permasalahan antara lain daya saing buah masih
relative rendah dan banyak petani penanam jeruk tidak menggunakan benih berlabel sehingga
mengancam keberlanjutan usahataninya karena terjadi reinfeksi CVPD. Disamping itu panen raya
sering menyebabkan harga jeruk murah sehingga merugikan petani.Untuk itu penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji saluran pemasaran (Rantai pasok) jeruk di Kabupaten Banyuwangi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di desa Temurejo Kabupaten Banyuwangi Pebruari 2019. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik wawancara dengan menggunakan alat bantu kuisioner dengan
menggunakan metode “simple random sampling”. Wawancara dilakukan ke petani jeruk sebanyak 30
orang. Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara diskriptif.
Pedagang biasanya adalah pedagang desa, pedagang antar pulau dan pedagang
pengecer.Pemasaran jeruk selain dijual di desa, juga di jual ke Jakarta, Bandung, Tulung Agung, Bali
dan Malang.Pedagang dalam pembelian hasil panen jeruk, biasanya langsung membeli di desa
tersebut dengan harga jual ditingkat petani adalah Rp.300-3500/Kg. Permasalahan yang biasanya
ditemui dalam pemasaran jeruk adalah rendahnya harga jual jeruk pada saat panen raya.
Permasalahan lain adalah apa yang harus dilakukan jika produksi melimpah. Keinginan petani desa
Temurejo adalah bagaimana mengolah jeruk menjadi produk olahan yang punya nilai jual dan dapat
memberikan nilai tambah bagi pendapatan petani.Permasalahan ini diharapkan dapat menemukan
solusinya.
Adapun rantai pasok pemasaran jeruk dapat dilihat pada Gambar.1.
Berdasarkan hasil wawancara dikatakan bahwa biasanya petani menjual jeruk ke pedagang
pengumpul desa atau pedagang local yang ada di desa tersebut.Biasanya pada saat umur jeruk
menjelang panen, pedagang pengumpul sudah melakukan transaksi penjualannya dengan
menentukan harga untuk satu hamparan dan pada saat panen langsung di panen oleh pedagang
tersebut.
Hasil panen jeruk biasanya dijual ke Bandung, Jakarta,Tulung Agung, Bali dan Malang. Dalam
penjualan, harga ditentukan oleh pedagang sehingga kadang kala petani mengalami kerugian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 387
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Keinginan petani untuk mencoba memotong rantai pemasaran dengan jalan menjual langsung ke
konsumen dilokasi seperti Jakarta, bandung,bali dan lainnya namun mengalami kendala karena
sudah ada perjanjian yang kuat antara pedagang pengumpul desa (Lokal) dengan pedagang
pengumpul diwilayah sasaran, kalaupun dibeli tetapi dengan harga yang murah.
KESIMPULAN
Jeruk memiliki prospek yang menjanjikan dalam meningkatkan pendapatan petani di Kabupaten
Banyuwangi. Rantai Pasok(Supply Chain) jeruk sangat penting dalam meningkatkan pendapatan
petani dan mengatasi kelimpahan produksi di Kabupaten Banyuwangi
DAFTAR PUSTAKA
Balitjestro.litbang.pertanian.go.id/nilai-kelayakan-ekonomi-usahatani-jeruk-siam/.Nilai Kelayakan
Ekonomi Usahatani Jeruk Siam.
Dewa K.S.Swastika da Sumaryanto, 2012. Rantai PAsok Beras di Indonesia (KAsus Prov Jabar, Kalbar
dan KAlsel). Bunga Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia.Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan.
Erwidodo dan Saptana, 1996.Prospek Harga dan Pemasaran Kacang Tanah di Indonesia.Hlm21-
40.Dalam N.Saleh K.Hartojo, H.Heriyanto, A. Kasno, A.G.Manshuri dan A. Winarto (Ed).
Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang.
Firmansyah, D.2010. “Analisis Pemasaran Tembakau Rajangan di KAbupaten Boyolali” Skripsi.
Surakarta:Universitas Sebelas MAret, FAkultas Pertanian.
http://bisnisukm.com/kendala-utama-dalam-pemasaran-produk-agrobisnis.html. Kendala Utama
Dalam Pemasaran Produk Agribisnis. Browsing pada tanggal 26 Oktober 2019.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 389
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
390 | Teknologi Pertanian
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI
DI KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH
Muhammad Abid
ABSTRACT
The number of cow cattle in Central Sulawesi, especially in Donggala, around 38.349 cows. Based on this, the
Donggala Regency has the potential for the development of cattle where a part of its population conducts livestock
farming in terms of fattening cattle. This activity was carried out in 2018 in Karyamukti Village, Dampelas
Subdistrict, Donggala Regency, and Central Sulawesi Province. The components observed in this activity were 1)
respondent characteristics include Age, Education, Farming Experience, and Livestock Ownership 2) The results of
weighing cattle, and 3) Economic analysis. Furthermore, the data obtained are analyzed descriptively as outlined in
tabular form and interpreted by detail. The results achieved by livestock Donggala farmers in livestock farming
activities based on the analysis of farming using 6 (six) cows earned Rp. 16,019,500, - in the period of maintenance for
Six Months with the acquisition of R / C Ratio of 1.30 which means that livestock farming business activities in terms
of fattening is feasible and can be maintained.
ABSTRAK
Populasi ternak sapi di Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Donggala saat ini mencapai 38.349 ekor.
Berdasarkan jumlah populasi tersebut, maka Kabupaten Donggala berpotensi untuk menjadi tempat
pengembangan ternak sapi dimana sebahagian penduduknya melakukan usaha tani penggemukan
ternak sapi. Kegiatan ini dilaksanakan pada Tahun 2018 Di Desa Karyamukti Kecamatan Dampelas
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, komponen yang diamati pada kegiatan ini 1)
karakteristik responden meliputi Usia, Pendidikan, Pengamalaman berusaha tani, dan kepemilikan
ternak 2) Hasil penimbangan berat badan sapi, dan 3) Analisis ekonomi ternak sapi. Selanjutnya data
dianalisis secara Deskriptif yang dipresentasikan dalam bentuk tabel dan diinterpretasi secara terperinci.
Berdasarkan analisis usaha tani, hasil yang dicapai oleh petani dalam kegiatan usaha tani dengan
penggemukan 6 (enam) ekor sapi diperoleh keuntungan Rp. 16.019.500,- dalam kurun waktu
pemeliharaan selama Enam Bulan dengan perolehan R/C Ratio sebesar 1,30 yang berarti Kegiatan usaha
tani ternak yang dilakukan peternak Donggala layak dan dapat dipertahankan.
Kata Kunci : Usaha tani, Penggemukan, ternak sapi
PENDAHULUAN
Ternak Sapi di Indonesia banyak di manfaatkan sebagai penghasil pupuk dan kebutuhan tenaga
kerja. Akan tetapi dewasa ini umumnya masyarakat peternak lebih menitik beratkan usaha
pemeliharaan sapi untuk mengejar produksi daging atau berat hidup yang tinggi dalam periode
pemeliharaan sesingkat mungkin. Oleh karena itu sapi – sapi yang sudah di pelihara dengan baik
harus digemukkan dengan metode yang baik pula. Sapi yang digemukkan saat ini setelah mencapai
umur 2 – 3 tahun barulah di gemukkan dan kemudian di pasarkan, akan tetapi dewasa ini sapi –
sapi mulai digemukkan dalam usia muda 12 – 18 bulan atau paling tua umur 2,5 tahun. Oleh karena
telah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging.
Pertumbuhan dan perkembangan pada usia tersebut sangat di tentukan oleh pakan yang disajikan,
jumlah kandunga protein, mineral, dan Vitamin yang mencukupi, Sapi muda yang di gemukkan
harus diberikan pakan yang sebagian besar berasal dari bahan pakan berbutir atau pakan penguat
sedangkan pakan hijauan atau pakan rerumputan diberikan dalam jumlah yang rendah.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 391
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Prospek beternak sapi dalam hal ini sistem penggemukan di indonesia masih tetap terbuka lebar
dalam waktu yang lama hal ini disebabkan permintaan daging sapi dari tahun ke tahun terus
menunjukkan peningkatan (Pambudy, 2000). Provinsi Sulawesi Tengah pada Tahun 2017 mempunyai
populasi ternak Sapi sebesar 387.959 Ekor dengan rata – rata pertumbuhannya 3,87% Per Tahun,
zelain itu untuk Kabupaten Dongala Populasi ternak pada tahun itu juga mempunyai populasi ternak
sapi sebesar 38.349 ekor (BPS Sulteng, 2017). Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf
ekonomi dan kesadaran akan gizi dari masyarakat, selain itu dengan semakin bertambahnya
penduduk berarti akan semakin bertambah pula komsumsi daging sapi di tingkat masyarakat.
Petani dapat mendapatkan keuntungan yang layak, namun usaha tersebut dapat dipengaruhi oleh
kondisi agroekosistem lahan atau lingkungan. Maju dan mundurnya usaha ternak sapi potong
tergantung cara pemeliharaan dan perkembangan ternak. Menurut Rusdiana, dkk., (2010) bahwa,
ternak sapi potong mempunyai peranan yang kompleks di dalam sistem pertanian di Indonesia,
sebagai fungsi ekonomi dan biologis, ternak sapi potong telah dikenal sejak lama, sapi potong
merupakan salah satu ternak yang diharapkan sumbangannya guna meningkatkan pendapatan
petani dan sekaligus memberikan peranan untuk pertumbuhan ekonomi bagi petani di pedesaan.
Tersedianya hijauan pakan ternak yang cukup jumlah dan mutunya, merupakan salah satu faktor
yang dapat menentukan keberhasilan usaha dalam pengembangan ternak sapi potong, baik bersekala
besar, sedang maupun kecil, (Dwiyanto, dkk., 2010). Menurut Mathius (2008) bahwa, pakan
merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi ternak karena berfungsi sebagai bahan pemacu
pertumbuhan ternak
Ternak Sapi di Indonesia banyak di manfaatkan sebagai penghasil pupuk dan kebutuhan tenaga
kerja. Akan tetapi dewasa ini umumnya masyarakat peternak lebih menitik beratkan usaha
pemeliharaan sapi untuk mengejar produksi daging atau berat hidup yang tinggi dalam periode
pemeliharaan sesingkat mungkin. Oleh karena itu sapi – sapi yang sudah di pelihara dengan baik
harus digemukkan dengan metode yang baik pula. Sapi yang digemukkan saat ini setelah mencapai
umur 2 – 3 tahun barulah di gemukkan dan kemudian di pasarkan, akan tetapi dewasa ini sapi –
sapi mulai digemukkan dalam usia muda 12 – 18 bulan atau paling tua umur 2,5 tahun. Oleh karena
telah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging.
Pertumbuhan dan perkembangan pada usia tersebut sangat di tentukan oleh pakan yang disajikan,
jumlah kandunga protein, mineral, dan Vitamin yang mencukupi, Sapi muda yang di gemukkan
harus diberikan pakan yang sebagian besar berasal dari bahan pakan berbutir atau pakan penguat
sedangkan pakan hijauan atau pakan rerumputan diberikan dalam jumlah yang rendah.
Prospek beternak sapi dalam hal ini sistem penggemukan di indonesia masih tetap terbuka lebar
dalam waktu yang lama hal ini disebabkan permintaan daging sapi dari tahun ke tahun terus
menunjukkan peningkatan (Pambudy, 2000). Provinsi Sulawesi Tengah pada Tahun 2017 mempunyai
populasi ternak Sapi sebesar 387.959 Ekor dengan rata – rata pertumbuhannya 3,87% Per Tahun,
zelain itu untuk Kabupaten Dongala Populasi ternak pada tahun itu juga mempunyai populasi ternak
sapi sebesar 38.349 ekor (BPS Sulteng, 2017). Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf
ekonomi dan kesadaran akan gizi dari masyarakat, selain itu dengan semakin bertambahnya
penduduk berarti akan semakin bertambah pula komsumsi daging sapi di tingkat masyarakat.
Petani dapat mendapatkan keuntungan yang layak, namun usaha tersebut dapat dipengaruhi oleh
kondisi agroekosistem lahan atau lingkungan. Maju dan mundurnya usaha ternak sapi potong
tergantung cara pemeliharaan dan perkembangan ternak. Menurut Rusdiana, dkk., (2010) bahwa,
ternak sapi potong mempunyai peranan yang kompleks di dalam sistem pertanian di Indonesia,
sebagai fungsi ekonomi dan biologis, ternak sapi potong telah dikenal sejak lama, sapi potong
merupakan salah satu ternak yang diharapkan sumbangannya guna meningkatkan pendapatan
petani dan sekaligus memberikan peranan untuk pertumbuhan ekonomi bagi petani di pedesaan.
METODE PENELITIAN
Kegiatan ini dilaksanakan pada Tahun 2018 di Desa Karyamukti Kecamatan Dampelas
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang dilakukan secara sengaja atau Porfosive sampling
dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan kegiatan Model
Pengembangan Kawasan Pertanian Terpadu Berbasis Bioindustri Terintegrasi Tanaman Pangan dan
Ternak Sapi di Sulawesi Tengah, untuk mengetahui sampai sejauh mana kelayakan usaha tani
penggemukan ternak sapi yang dilakukan oleh petani ternak yang ada di desa tersebut maka data
dan informasi yang dikumpulkan dalam kegiatan ini meliputi, : 1) karakteristik responden meliputi
Usia, Pendidikan, Pengamalaman berusaha tani, dan kepemilikan ternak 2) Hasil penimbangan
berat badan sapi, dan 3) Analisis ekonominya. Seluruh data pengamatan yang telah peroleh
selanjutnya dianalisis secara Deskriptif dan dituangkan dalam bentuk tabel selanjutnya di intrepretasi
secar terperinci, untuk melihat kelayakan usaha tani sdigunakan analisis keuntungan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 393
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
sederhana dan hasilnya dapat menyumbangkan pendapatan peternak. Peluang pasar ternak sapi
potong cukup baik, dan nilai harga jual sapi potong setiap tahunnya selalu meningkat. Tujuan tulisan
ini adalah untuk mengetahui seberapa besar keuntungan peternak sapi potong
Dalam usaha penggemukan ternak sapi maka yang terpenting untuk meningkatkan pendapatan
adalah usaha tersebut yang selalu mengarah pada bidang agribisnis. (Pambudy, 2000), mengatakan
bahwa Agrisbisnis adalah keseluruhan kegiatan produksi dan distribusi sarana produksi usahatani,
kegiatan produksi usahatani, kegiatan Penyimpanan, pengolahan dan distiribusi komoditas pertanian
dan keseluruhan produksi – produksi olahan dari komoditas pertanian. Usaha Permeliharaan pada
umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan mulai dari pedet, sapi muda,
sapi dewasa, sehingga dapat menghasilkan Edible meat atau daging tampa tulang yang merupakan
bagian dari karkas daging setelah tulang – tulang dan sebagian lemaknya (Lemak subcutan dan
intermuscular) dikeluarkan. (Wello, 1986), Bagian Edible meat (Daging tanpa Tulang) dari karkas
sangat penting sebab hal ini memungkinkan suatu pengertian yang lebih tepat mengenai teori
produksi daging meskipun lean (daging tanpa lemak) dan total daging mempunyai hubungan
dengan edible meat/daging tanpa tulang tetapi pengertiannya berbeda dimana edible meat (Daging
tanpa Tulang) dipengaruhi oleh beberapa faktor, bangsa, Bobot tubuh dan umur, sementara edible
meat di pengaruhi oleh tingkat kegemukan, bobot, karkas, jenis kelamin, dan hormon.
Pengertian Biaya dan Pemasaran.
Biaya merupakan komponen diukur berdasarkan nilai uang yang timbul untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.Bambang, Kartasapoetra (1992) mengemukakan bahwa umumnya dalam kegiatan
produksi terdapat tiga komponen biaya besar, 1) Biaya bahan langsung, 2) Biaya tenaga kerja
langsung, 3) Biaya umum. Secara garis besarnya biaya dapat dikelompokkan kedalam biaya tetap,
biaya variable dan biaya total. Pengeluaran biaya untuk suatu produksi menginginkan pendapatan
yang layak dan menguntungkan. Mosher, (1984), mengemukakan bahwa pendapatan merupakan
jumlah penghasilan yang diperoleh dari jasa – jasa produksi yang diserahlkan pada waktu – waktu
tertentu.
Pendapatan tidak lain dari balas jasa yang diperoleh seseorang dengan memberikan jasa produksi
baik pada pemerintah maupun pada pihak swasta dan dari harta kekakyaan yang dimilikinya. Usaha
apapun juga harus ada faktor – faktor yang bisa mempermudah terlaksananya pengembangan
kearah lebih maju.
Faktor penentu dalam suatu usaha tani dalam hal ini penggemukan ternak sapi adalah pemasaran
dimana pemasaran merupakan suatu proses social yang didalamnya individu dan kelompok untuk
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan
secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai tinggi dengan pihak lain (Philip Khotler, 2000).
Pemasaran juga dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang dipengaruhi oleh berbagai factor
social, budaya, politik, ekonomi, dan manjerial. Akibat dari factor tersebut adalah masing – masing
individu atau kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan dalam menciptakan, menawarkan,
dan menukarkan, produk yang memiliki nilai komoditas (Freddy Rangkuti, 2001).
Karakteristik Responden
Petani merupakan obyek yang akan di teliti tentang tingkat pendapatan dan masalah – masalah
yang erat kaitannya dengan usaha pengemukan ternak sapi, dengan karakteristik Petani ini dapat
diketahui secara jelas mulai dari usia, pendidikan, Pengalaman beternak, dan kepemilikan ternak
sapi, Secara rinci dapat dijelaskan pada tabel 1.
Umur
Rata- rata umur petani ternak sapi 42 tahun dimana usia ini masih produktif dalam melaksanakan
usaha taninya sebab kemampuan fisik masih kuat. Pola pikir petani dapat dipengaruhi oleh faktor
usia, dimana kemampuan fisik dan pola fikir seseorang merupakan faktor penentu dalam
keberhasilan suatu usaha, semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin berkurang
kemampuan fisiknya sedangkan pola fikir ditentukan oleh tuanya usia seseorang. Keadaan ini
menunjukkan bahwa sebagian besar petani ternak sapi masih dalam kondisi fisik yang mendukung
kegiatan usahatani ternak sapinya. Petani usia produktif memiliki kemampuan bekerja atau
beraktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang sudah tidak produktif. Petani yang
berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang berumur
lebih tua.
Pendidikan
Pendidikan formal petani responden yang ada di Desa Kayamukti rata – rata SLTP, dalam
menyerap informasi dan teknologi baru sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan oleh karena
semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan menyebabkan cara berfikir seseorang akan semakin
dinamis, dimana tingkat pendidikannya masih tergolong rendah. Makin besar pengetahuan yang
diterapkan dalam mengelola usaha taninya, maka akan semakin banyak pengalaman yang telah
dilalui oleh petani ini dimaksudkan agar dalam mengelola usaha tani penggemukan sapi tersebut
akan semakin baik.
Pengalaman Berusaha ternak
Rata – rata pengalaman petani dalam melakukan usaha tani penggemukan ternak sapi adalah 10
Tahun, Hal ini menunjukkan bahwa usahatani penggemukanternak sapi telah cukup lama
diusahakan, sehingga tingginya pengalaman petani ternak sapi menunjukkan telah memiliki
pengetahuan dan keterampilan tentang usahatani penggemukan ternak sapi selama kurun waktu
tersebut. Dari jumlah petani yang melakukan usaha tani penggemukan sapi di Desa Kayamukti
cukup berpengalaman dalam usaha tani tersebut.
Kepemilikan Sapi
Rata-rata kepemilikan sapi yang digemukkan oleh petani responden adalah 4 ekor/petani, Hal ini
menunjukkan bahwa usaha penggemukan ternak sapi yang diusahakan masih tergolong kecil dimana
usaha ini adalah skala rumah tangga, dimana ternak merupakan faktor yang sangat mendukung
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 395
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
penting dalam suatu usaha penggemukan ternak sapi makin banyak ternak yang diusahakn/pelihara
maka akan semakin banyak keuntungan yang diperoleh.
Elli (2009), bahwa kemampuan rumah tangga peternak sapi dalam meningkatkan produksi ternak
ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud adalah luas lahan, skala
ternak, bibit, pakan, jumlah dan kualitas tenaga kerja, modal serta penguasaan teknologi juga
termasuk umur, pengalaman, pendidikan formal dan informal (penyuluhan). Sedangkan faktor
eksternal merupakan kebijakan pemerintah seperti penyediaan infrastruktur dan regulasi terhadap
output dan input produksi ternak.
Dalam pemeliharaan bibit sapi (bakalan) yang akan dipelihara, dipengaruhi oleh pertumbuhan
dan perkembangan usaha pemeliharan ternak sapi yang akan digemukkan, dalam fase pertumbuhan
ternak sapi yang akan digemukkan pada umur 1 – 1,5 tahun dengan bobot awal 80 – 150 kg dimana
umur ini sudah mengalami pembentukan kerangka maupun jaringan daging. Pertumbuhan dan
perkembangan ternak sapi ini sangat ditentukan oleh pakan yang disajikan dengan jumlah
kandungan protein dan vitamin yang mencukupi dalam merangsang pertumbuhan dan menambah
berat badan yang optimal. Kebutuhan akan makanan pada usia sapi muda harus diperhatikan dengan
pemberian pakan yang teratur dengan pakan jenis penguat dan sedangkan hijauan atau pakan
rerumputan diberikan dalam jumlah yang sedikit dimana rumput lapangan diberikan dalam jumlah
kurang lebih 1 karung/hari/ekor (20 kg) dan ditambah dengan dedak (katul) 3-5 Kg/hari/ekor.
Sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh petani ternak dalam menggemukkan sapi tersebut
masih menggunakan system semi intensif atau pasture patteung dimana sapi yang dipelihara kadang-
kadang pada waktu pagi dikeluarkan dilapangan pengembalaan atau dipekarangan rumah guna
untuk memperoleh sinar matahari dan pada waktu sore hari ternak kembali dimasukkan kedalam
kandang untuk memperoleh makanan, ternak yang dipelihara diberikan suntikan penambah nafsu
makan dengan vitamin B complex serta pemberian obat cacing seperti terramycine dan verum O
setiap 2 bulan sekali ini bertujuan untuk menghindari beberapa penyakit yang menghindari yang
kemungkinan akan menyerang ternak sapi.
Berdasarkan hasil penambahan bobot berat badan yang diperoleh selama kurun waktu 6 bulan
pada 6 ekor ternak sapi yang diusahakan, diperoleh peningkatan berat badan rata-rata sebesar 10,06
kg/ekor/bulan. Hasil penimbangan berat badan sapi yang telah dilakukan dapat disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Hasil Penimbangan Berat Badan Sapi Setiap Bulan
Penjualan ternak sapi yang telah digemukkan kurun waktu 6 bulan tersebut pada umur 2 – 2,5
tahun dengan kenaikan berat badan rata-rata 60,38 Kg/ekor selama enam bulan masa pemeliharaan
dengan persentase kenaikan berat badan 10,06 kg/ekor/bulan dengan asumsi ternak sapi yang
A. Penerimaan
Harga Penjualan Sapi 6 ekor x BB 176,5 kg x Rp 47,000/kg/BH 49.773.000
Penjualan Pupuk Kandang 6 ekor x 18 kg/hari x Rp 1,000 x 180 hari 19.440.000
Total Penerimaan 69.213.000
B. Biaya-biaya
1. Biaya Variabel
Pembelian Sapi Bakalan 6 ekor x BB 125,1 kg x Rp 47.000/kg/BH 35.391.000
Pembelian Hijauan 6 ekor x 7,5 kg x Rp 500 x 180 hari 4.050.000
Pembelian Konsentrat 6 ekor x 5 kg x Rp 1,600 x 180 hari 8.640.000
Garam Dapur butiran 50 kg x Rp 2.500/kg 125.000
Obat-obatan 6 ekor x Rp 20.000 (Satu Periode) 300.000
Upah Tenaga Kerja 180 hari x Rp 21.875/HOK (selama 5 jam) 3.937.500
Total Biaya Variabel 52.443.500
2. Biaya Tetap
Penyusutan Kandang dan alat Selama 1 Tahun 750.000
Total Biaya Tetap 750.000
Total Biaya yang di keluarkan (B1+B2) 53.193.500
Total Pendapatan satu musim penggemukan (Enam Bulan) 16.019.500
Revenue 69.213.000
Benefit 53.193.500
R/C 1,30
Sumber : Data primer setelah diolah
Pada Tabel diatas terlihat bahwa rata-rata penerimaan yang diperoleh oleh petani ternak sapi
sebesar Rp.69.213,000,-dan untuk biaya Variabel sebesar Rp. 52,443,500,- serta Biaya tetap sebesar Rp.
750.000. Jadi total biaya yang dikeluarkan pada usaha penggemukan sapi oleh petani responden
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 397
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
dalam satu periode penggemukan (enam Bulan) di Desa Kayamukti Kecamatan Dampelas Kabupaten
Donggala sebesar Rp. 53.193.500,-.
Besarnya pendapatan yang diterima petani sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan dan
rendahnya pengeluaran karena itu pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya yang
dikeluarkan, hal Ini menandakan bahwa pendapatan bersih yang diperoleh petani ternsk sapi pada
usaha penggemukan sapi dalam satu periode (enam bulan) pemeliharaan rata-rata Rp. 16.019.500,
sedangkan hasil perhitungan R/C Ratio pada usaha tani ternak tersebut menunjukkan bahwa usaha
tersebut layak untuk dikembangkan kearah yang lebih besar dengan melihat hasil perhitungan
besarnya penerimaan dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani ternak tersebut memberikan
R/C Ratio sebesar 1,30 yang menandakan bahwa setiap pengeluaran usaha tani ternak sapi yang di
usahakan mendapatkan Rp. 1 akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,30
KESIMPULAN
Ternak sapi merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan berupa daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting dalam kehidupan masyarakat sebagai bahan makanan
berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, tulang, dan lain
sebagainya. Usaha penggemukan sapi yang diusahakan oleh petani ternak di Desa Karyamukti
Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala memperoleh penerimaan rata-rata Rp 69.213,000 dan
mengeluarkan biaya sebesar Rp. 53.193.500,- sehingga memperoleh pendapatan bersih Rp. 16.019.500
dalam kurung waktu pemeliharaan Enam bulan dengan nilai R/C Ratio yang di peroleh 1,30 maka
peluang penggemukan ternak sapi secara ekonomi menguntungkan dan layak untuk dipertahankan
atau dikembangkan ke arah yang lebih besar.
Dengan melihat prospek pengembangan usaha tani peternakan sapi melalui kegiatan Usaha
Penggemukan Ternak Sapi yang dimana dapat memberikan nilai tambah yang positif bagi petani,
diharapkan pengambil kebijakan lebih memperhatikan petani ternak dalam hal ini ternak sapi dimana
usaha tani ini layak dikembangkan kearah yang lebih luas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih disampaikan kepada seluruh Stakeholder yang telah memberikan dukungan dan
masukan dalam kegiatan dan penulisan Makalah ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik,
walaupun masih jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmakusuma, J. Harmini dan Ratna W. 2011. Mungkinkah Swasembada Daging Terwujud. Jurnal
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan 1(2): 105-109.
Elli, H.F., 2009. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Ternak Sapi-Kelapa dalam
Menghadapi Biaya Transaksi di Kabupaten Bolaang Mongondov. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 12 (3) Nopember 2009. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Riszqina, L. Jannah, Isbandi, E. Rianto dan S.I. Santoso. 2011. Analisis Pendapatan Peternak Sapi
Potong Dan Sapi Bakalan Karapan di Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep. JITP 1(3): 188-192.
Simatupang, P. dan Prajogo. U Hadi. 2004. Daya Saing Usaha Peternakan Menuju 2020. Wartazoa 4(2):
45-57.
Bambang, Kartasapoetra, 1992. Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi, PT. Bina Aksara, Jakarta
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 399
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
400 | Teknologi Pertanian
KAJIAN ANALISIS USAHATANI JAGUNG PADA DATARAN RENDAH
DI KECAMATAN MALUNDA KABUPATEN MAJENE SULAWESI BARAT
ABSTRACT
The study was carried out on lowland dry land in Malunda sub-district, Malunda district, Majene regency from
January to December 2018 with the aim to analyze the income and feasibility of maize farming grown in monocultures
with the legowo system. Data collection techniques that were used as a source of discussion in the study were through
observation and in-depth interviews with maize farmers in the Malunda Village who were selected as respondents.
The data collected was analyzed in quantitative descriptive using simple statistics. The results of the study showed
that the average maize production in Malunda Sub-district, Malunda district, Majene Regency was 7,440 kg / ha of
dry beans, with a price of Rp. 4,000 / kg, farming receipts are Rp. 29,760,000 / ha, with an average total production
cost of Rp. 11,253,250 / ha. In order to obtain an average income of maize farming Rp. 18,506,750 / ha. Thus, maize
farming in the lowlands in Malunda Sub-district, Malunda district, Majene Regency is profitable and feasible to be
cultivated with an R / C ratio of 2.64.
ABSTRAK
Kajian dilaksanakan dilahan kering dataran rendah di Kelurahan Malunda, kecamatan Malunda,
kabupaten Majene mulai Januari sampai Desember tahun 2018 dengan tujuan untuk menganalisis
pendapatan dan kelayakan usahatani jagung yang ditanam secara monokultur dengan sistem legowo.
Teknik pengumpulan data yang dijadikan sumber bahasan dalam kajian adalah melalui observasi dan
wawancara langsung secara mendalam dengan petani jagung di Kelurahan Malunda yang terpilih
sebagai responden. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan statistik
sederhana. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata produksi jagung di Kelurahan Malunda,
kecamatan Malunda, kabupaten Majene sebesar 7.440 kg/ha biji kering, dengan harga Rp. 4.000/kg,
penerimaan usahatani sebesar Rp. 29.760.000/ha, dengan rata-rata total biaya produksi Rp. 11.253.250/ha.
Sehingga diperoleh rata-rata pendapatan usahatani jagung Rp. 18.506.750/ha. Dengan demikian usahatani
jagung pada dataran rendah di Kelurahan Malunda, kecamatan Malunda, kabupaten Majene
menguntungkan serta layak untuk diusahakan dengan R/C rasio sebesar 2,64.
PENDAHULUAN
Pemanfaatan teknologi sistem jajar legowo merupakan pendekatan inovatif yang didesain untuk
meningkatkan produktivitas tanaman melalui peningkatan populasi tanaman dan pemanfaatan efek
tanaman pinggir dimana penanaman dilakukan dengan merapatkan jarak tanaman dalam baris dan
merenggangkan jarak tanaman antar legowo (subekti et,al. 2015). Jagung yang merupakan pangan
utama selain padi dan kedelai (Rusastra et al., 2004) potensial dikembangkan dengan pendekatan jajar
legowo untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Jagung juga diketahui sebagai salah karbohidrat yang memiliki peran penting dalam menunjang
ketahanan pangan dan kecukupan pasokan pakan ternak. Posisi jagung dalam diversifikasi konsumsi
pangan berfungsi mengurangi ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Peran jagung dalam
ekonomi nasional, khususnya di pedesaan, juga sangat penting. Rumah tangga petani jagung
merupakan terbesar kedua setelah rumah tangga petani padi yaitu 6,71 juta kk (37,63%) dari 17,83 juta
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 401
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
kk padi, palawija, dan tebu. Peran ini semakin besar apabila dihitung multiplier effek agribisnis
jagung (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).
Menyadari peran strategis jagung untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka pemerintah
berupaya meningkatkan produksi jagung. Swasembada pangan khususnya beras, jagung dan kedelai
merupakan salah satu target utama pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah
(RPJM) tahun 2015-2019. Target swasembada pangan tersebut telah dituangkan dalam program
strategis kementerian pertanian sekaligus menjadi program terobosan yang harus tercapai. Kebijakan
swasembada beras ditargetkan akan tercapai pada tahun 2018, sedangkan jagung dan kedelai sampai
pada akhir tahun 2019.
Dukungan inovasi teknologi usahatani merupakan salah satu aspek penting di dalam
pengembangan kawasan pertanian nasional. Sulawesi Barat merupakan salah satu daerah yang
memiliki potensi sumberdaya pertanian yang sangat besar Data BPS (2017) menunjukkan bawah, di
Sulawesi Barat produksi jagung mencapai 284.213 ton (55,35 t/ha). Dengan demikian potensi
peningkatan produksi jagung di kawasan pengembangan masih sangat besar sehingga untuk
mengembangkan potensi tersebut salah satunya dengan melakukan optimasi lahan melalui
pengembangan pola tanam untuk mendukung peningkatan IP. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis pendapatan dan kelayakan usahatani jagung yang ditanam secara monokultur dengan
sistem legowo.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kec. Malunda, Kab. Majene, Sulawesi Barat pada Januari-Desember 2018
berdasarkan luas areal panen, jumlah petani, dan jumlah kawasan penerapan jagung jajar legowo
pada dataran rendah. Penentuan sampel secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan
petani tersebut membudidayakan jagung dengan sistem monokultur legowo, yang berjumlah 35
orang.
Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
metode survei dan wawancara dengan bantuan kuesioner terstruktur, meliputi tingkat produksi
jagung, jumlah input produksi, harga input produksi, harga produksi jagung di tingkat petani, jumlah
penggunaan tenaga kerja, dan data sosial ekonomi rumah tangga petani. Data sekunder adalah data
pendukung dari instansi terkait.
Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui wawancara (interview) dan pengamatan
(observasi). Wawancara dilakukan kepada petani responden dengan menggunakan kuesioner.
Wawancara mendalam dilakukan kepada pengurus kelompok tani. Guna melengkapi data primer,
dilakukan pencatatan dan pengumpulan data sekunder (studi dokumentasi) dari berbagai
sumber/instansi
Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kuantatif yaitu data yang di
peroleh dari penelitian dalam bentuk angka yang disusun dengan tabelaris selanjutnya akan dibahas
dan dianalisis dengan model persamaan-persamaan yang telah ditentukan. Untuk mengetahui
keuntungan yang diterima petani dalam usahatani jagung dilakukan penghitungan dengan
persamaan sebagai berikut: TR = P x Q. Dalam hal ini: TR= Penerimaan Total (Total Revenue); P =
Harga (Price); Q = Kuantitas.
Pendapatan usahatani (net farm income) didefinisikan sebagai selisih pendapatan kotor usahatani
dan pengeluaran total usahatani. Pendapatan selisih usahatani dapat digunakan untuk mengukur
imbalan yang diperoleh di tingkat keluarga petani dari segi penggunaan faktor-faktor produksi kerja,
Variabel Kategori n %
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 403
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Petani menguasahakan lahan untuk usahatani jagung relatif kecil, 34 petani (97,14%) petani hanya
memiliki luas lahan yang kurang dari 1 ha. Hal tersebut mendorong petani untuk menggunakan
teknologi yang tepat dalam memaksimalkan produksi pada lahan yang dimiliki.
Analisis Usahatani
Dalam stuktur biaya produksi dapat dikatagorikan dalam biaya tetap dan biaya variable. Biaya
tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah ketika kuantitas output berubah. Biaya variable
adalah biaya yang besar kecilnya mempengaruhi kuantitas produksi (Mardani, et., al. 2017)
Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap dalam usaha tani jagung dataran rendah terdiri dari pajak (PBB), yakni biaya yang
dikenakan atas lahan yang dimiliki, dan biaya penyusustan alat. Alat yang digunakan adalah cangkul
yang digunakan untuk mengolah lahan, serta sprayer, yang digunakan untuk menyemprot pestisida
untuk mengendalikan gulma/hama pengganggu tanaman. Adapun biaya tetap yang dikeluarkan
petani dapat dilihat pada table berikut:
Table 2. rata-rata biaya tetap/ hektar yang dikeluarkan petani pada usaha tani
dataran rendah Kec. Malunda.
Biaya tetap meliputi: Benih, pupuk, pestisida, bahan bakar minyak (BBM), serta upah kerja.
Adapun biaya tidak tetap yang dikeluarkan petani dapat dilihat pada tabel 3.
Table 3. rata-rata biaya tetap/ hektar yang dikeluarkan petani pada usaha tani
dataran rendah Kec. Malunda.
Penerimaan merupakan keseluruhan uang yang diterima petani dari hasil penjualan produk yang
diukur dengan rupiah. Sedangkan Pendapatan petani dapat diketahui dengan mengurangkan hasil
penerimaan yang diperoleh dengan total biaya yang dikeluarkan selama kegiatan usahatani jagung.
Rata-rata jumlah produksi jagung pada lahan dataran rendah dengan sistem jajar legowo adalah 7.440
Kg, dengan harga Rp. 4.000,- adapun penerimaan jumlah penerimaan petani dalam satu musim tanam
yakni sebesar Rp. 29.760.000,-.
Tingkat pendapatan petani diukur melalui penelusuran data total penerimaan dan total biaya
yang dikeluarkan dalam usahatani. Data total penerimaan (TR = total revenue) adalah penerimaan
total dari hasil penjualan output, sedangkan data total biaya (TC = total cost) merupakan jumlah
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau meningkatkan suatu produksi (sebelum
dan sesudah kegiatan). Untuk menganalisis kelayakan sosial ekonomi kegiatan usahatani,
digunakan rumus pendapatan (Soekartawi, 2002) : Pendapatan petani dapat dihitung yang hasilnya
sebesar Rp. 18.506.750,-
Sebagai salah sati komoditi unggulan, setiap tahun kebutuhan jagung terus bertambah tidak hanya
sebagai pangan nomor dua setelah padi, jagung juga merupakan salah satu sumber pakan yang
sangat penting dan potensial. Jika dikelola dengan baik dan maksimal maka pakan berbasis dari
jagung jauh lebih ekonomis daripada pakan berbasis bahan baku impor (Mujnisa, 2007). Tingginya
permintaan dan diimbangi dengan harga yang relatif baik dan produk jagung mudah untuk
dipasarkan membuat gairah tani untuk menanam jagung cukup tinggi. Olehnya itu perlu untuk
dianalisis kelayakannya (R/C ). Analisis rasio penerimaan atas biaya (R/C) merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perbandingan antara total penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan. Rasio
total penerimaan atas total biaya mencerminkan seberapa besar pendapatan yang diperoleh setiap
satu satuan biaya yang dikeluarkan. Hasil analisis menunjukkan nilai R/C 2,64.
Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung pada dataran rendah Kec. Malunda layak untuk
diusahakan. Astuti, et., al (Antara, 2010) mengemukakan bahwa optimal atau tidaknya hasil produksi
jagung sangat dipengaruhi oleh penggunaan input selama proses produksi. selain input Banyak
faktor yang mempengaruhi produksi jagung ataupun tanaman pangan lain seperti dukungan
infrastruktur yang memadai di pedesaan karena pembangunan infrastruktur dapat mempengaruhi
perekonomian suatu wilayah seperti membaiknya saluran pengairan atau irigasi dapat meningkatkan
produksi dan produktivitas komoditas pertanian (Suryani dkk, 2015).
Menggunakan benih varietas unggul baru (VUB) jagung salah satu cara membuat hasil lebih baik
dan dapat meningkatkan pendapatan petani (Misran.2013). Selain itu pemupukan berimbang juga
mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung dan juga mempengaruhi hasil produksi, pupuk
umumnya dibagi menjadi dua kelompok yakni pupuk kimia/anorganik dan pupuk organik/kompos.
Selain itu beberapa faktor lain penyebab rendahnya hasil produksi jagung adalah ketepatan cara
budidaya, maupun kondisi iklim yang kurang mendukung untuk pertumbuhan jagung (Liana dkk
2015).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 405
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
KESIMPULAN
Usaha tani jagung pada dataran rendah Kec. Malunda, Kab. Majene dengan system jajar legowo
layak untuk diusahakan. Nilai R/C ratio sebesar 2,6. Adapun total penerimaan petani jagung di
daerah penelitian sebesar Rp. 29.760.000,- dan total biaya sebesar RP. 11.253.250,-. Sehingga diperoleh
total pendapatan sebesar Rp. 18.506.750,-.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A. 2012. Pengaruh Harga dan Infrastruktur terhadap Penawaran Output, Permintaan Input
dan Daya Saing Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Astuti, B Herlena, dkk. 2019. Analisis Finansial Usaha tani Jagung dan Tumpangsari Sistem Jajar
Legowo Jagung-Kedelai di Kabupaten Seluma. Jurnal Agrisep. Vol. 18. No. 1.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. 2010. Road Map Swasembada Jagung
2010-2014. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Liana Twenty, MS Mokhtar dan A.Zulfikar. (2015). Potensi Pengembangan Jagung di Lahan
Suboptimal Kalimantan Tengah. Prosiding Semnas Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian
dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan
Petani.
Mrdani, dkk. 2017. Analisis Usaha Tani Tanaman Pangan jagung di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen.
Jurnal S. Pertanian. Vol 1. No. 3.
Misran. 2013. Studi Komposit Potensi Jagung Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Setelah
PertanamanPadi. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Vol. No. 2.
Mujnisa A. 2007. Uji Sifat Fisik Jagung Giling Pada Berbagai Ukuran Partikel. Buletin Nutrisi dan
Makanan Ternak. Vol 6. No.1.
Nuning Argo Subekti, Bhakti Priatmojo, Dedi Nugraha. Puslitbang TP, 28 Januari 2015. JAJAR
LEGOWO PADA JAGUNG: Keunggulan, Kelemahan, dan Potensi Perbaikannya
Rusastra, I. W., B. Rachman dan S. Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur Proteksi
Komoditas Palawija. Dalam: Saliem et al. (Editor). Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem
Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Salkind NJ. 1985. Teories of Human Development. New York: John Willey and Sons
Silitonga, Y Parlindungan, dkk. 2016. Analisis Efisiensi Usahatani Jagung Pada Lahan Kering Melalui
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Informatika
Pertanian. Vol 25. No. 2.
Suryani Erma, Hartoyo Sri, Bonar M Sinaga, dan Sumaryono. 2015. Pendugaan Elastisitas Penawaran
Output dan Permintaan Input Pada Usahatani Padi dan Jagung : Pendekatan Multiinput-
multioutput. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 33. No. 2
ABSTRACT
Sapira has been conducted in Majalengka regency. The objective of Sapira development was to increase farmers’
income with added value. The added value was conducted through farmers’ institution building and innovative
technology. The extent of added value of farmers’ seed grower Gangsa I was conducted through extension of
digital marketing with e – commerce and blog making, collaborating with University of Majalengka and IPB
University. Also farmers group adminsitrative management was improved. Innovative technology was designed
to extent seed growing through cultivation and packaging of premium rice, collaborating with rice research institute
(BB Padi), and local agricultural and food services. Packaging and marketing of premium rice might increrase
farmers income of 10-30%. For the mid term period, the added value of farmers intitution building was designed
through the several seed gowers of subdistrict Jati Tujuh towards Farmers Owned Business Company (BUMP),
collaborating with local extension servies, private companies, and State Owned Bank Companies (bank BUMN).
Therefore, development of sustainable SAPIRA should as follows: 1. Continuing and extent existing farmings
activities, do not start from the beginning; 2. It has punctuation points of farmers intitution adn technology
innovative as added value; 3. Sustainable collaboration with local government, private company, and state owned
companies.
ABSTRAK
Sapira telah dilakukan di Kabupaten Majalengka, yang merupakan lokasi model sekolah lapang
kedaulatan pangan. Tujuan pengembangan Sapira adalah meningkatkan pendapatan petani melalui
perluasan nilai tambah, yang dilakukan melalui pembinaan kelembagaan dan pendampingan teknologi
inovatif. Perluasan nilai tambah pada kelompoktani Gangsa I dilakukan melalui upaya perluasan
pemasaran digital melalui e-commerce dan pembuatan blog kelompok Gangsa I bekerjasama dengan
perguruan tinggi Universitas Majalengka dan IPB. Selain itu juga dilakukan pembenahan administrasi
kelompok sehingga menjadi lebih tertib. Teknologi inovatif telah dirancang untuk memperluas
penangkaran melalui budidaya dan pengemasan beras khusus bekerja sama dengan BB Padi, Dinas
Pertanian dan Dinas Pangan kabupaten Majalengka. Pengemasan dan pemasaran beras khusus
meningkatkan pendapatan kelompok tani antara 10-30%. Untuk jangka menengah, peningkatan
pendapatan petani dirancang melalui peningkatan nilai tambah perluasan kelembagaan penangkaran
meliputi para penangkar se kecamatan Jatitujuh menuju penumbuhan Badan Usaha Milik Petani (BUMP),
bekerjasama dengan penyuluh, pihak swasta dan bank BUMN. Dengan demikian, pengembangan
Sapira berkelanjutan mengikuti tahapan :1. Melanjutkan dan memperluas kegiatan usahatani yang sudah
berjalan; 2. Adanya titik ungkit kelembagaan dan teknologi inovative sebagai nilai tambah; 3. Adanya
kerjasama berkelanjutan baik dengan pihak Pemda, Swasta, dan BUMN.
PENDAHULUAN
Pengembangan Kawasan Pertanian merupakan bagian dari perencanaan pembangunan pertanian
pada periode RPJM 2015-2019. Komoditas strategis dan unggulan nasional dikembangkan pada
kawasan-kawasan andalan secara utuh, sehingga menjadi satu kesatuan dalam sistem pertanian bio-
industri. Aktivitas usahatani dikelola dengan prinsip pertanian lestari dengan memanfaatkan agro-
input yang ada di sekitar dan mengelola limbah dengan prinsip zero-waste melalui reduce, re-use dan
re-cycle (Kementerian Pertanian 2014). Pembangunan kawasan pertanian menggunakan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 407
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pendekatan agroekosistem, sistem agribisnis, terpadu dan terintegrasi, partisipatif dan diversifikasi
integratif (Kementerian Pertanian 2012). Melalui pengembangan kawasan pertanian, ketahanan
pangan maupun swasembada pangan dapat tercapai secara bersama-sama.
Kawasan tanaman pangan adalah kawasan usaha tanaman pangan yang disatukan oleh faktor
alamiah sosial budaya dan infrastruktur fisik buatan serta dibatasi oleh agroekosistem yang sama
sedemikian rupa sehingga mencapai efektivitas skala ekonomi dan efektivitas manajemen usaha
tanaman pangan. Kawasan tanaman pangan dapat berupa kawasan yang telah eksis atau calon lokasi
baru dan lokasinya dapat berupa hamparan atau spot partial namun terhubung dengan aksesibilitas
memadai. Dalam pelaksanaannya, kawasan pangan dilakukan utamanya oleh Dinas Pertanian dan
institusi lain memberikan dukungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian bertugas melakukan pendampingan teknologi dalam wilayah kawasan
tersebut. Kawasan tanaman pangan yang didampingi adalah kawasan padi, kawasan kedelai,
kawasan jagung, dan kawasan ubi kayu. Kegiatan pendampingan kawasan tanaman pangan mengacu
kepada Kepmentan No. 830/Kpts/RC.040/12/2016 tentang penetapan lokasi pengembangan kawasan
pertanian nasional, Permentan 131/Permentan/OT.140/12/20/2014 tentang mekanisme dan hubungan
kerja antar lembaga dalam rangka peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai, pedoman teknis
GP-PTT padi, jagung dan kedelai tahun 2015 dan panduan pendampingan pengelolaan tanaman
terpadu Balitbangtan 2014.
Sesuai arahan Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
pendampingan bertujuan agar inovasi teknologi Balitbangtan dapat diterapkan secara optimal
melalui pendekatan kawasan, sehingga penerapan teknologi dapat berjalan dengan lebih baik dan
lebih berkualitas dalam mendukung peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai nasional. Fokus
kegiatan pendampingan adalah a).Merakit paket teknologi spesifik lokasi bersama petani dan dinas
sesuai kebutuhan petani, dengan memperhatikan ekosistem setempat, b).Membangun percontohan
penerapan teknologi inovatif melalui demplot disertai kegiatan diseminasinya, c).Mengawal
penerapan teknologi PTT dan d).Diseminasi teknologi termasuk penyiapan dan distribusi materi
diseminasi.
Keberhasilan pengembangan kawasan sangat ditentukan oleh dukungan pemerintah daerah dan
stakeholders lainnya. Bentuk-bentuk dukungan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui: (1).
Menerbitkan Perda guna menindaklanjuti UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan serta Perda lainnya yang mendukung terciptanya iklim usahatani yang
kondusif dan berkelanjutan; (2). Melakukan penataan lahan pertanian dan pengendalian alih fungsi
lahan; (3). Membangun Master-Plan guna mengembangkan kawasan komoditas strategis; (4)
Mendorong dan mempermudah akses petani/peternak terhadap berbagai sumber permodalan dan
kredit dan; (5). Mengalokasikan anggaran APBD secara proporsional untuk sektor pertanian.
Rancangan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk bidang pertanian dialokasikan sesuai dengan
tugas dan urusan daerah masing-masing dan diarahkan untuk disinergikan dengan APBN
(Kementerian Pertanian, 2014).
Berdasarkan Permentan No. 50 Tahun 2012, rancang bangun pengembangan komoditas strategis,
salah satunya tanaman padi diharapkan mampu mendorong terciptanya kerjasama antar daerah
dalam satu kawasan guna menjamin terpenuhinya ketersediaan pasokan produksi dengan tetap
memberikan keuntungan yang memadai. Rancang bangun pengembangan kawasan padi disusun
harus sejalan dengan pendekatan system perencanaan dan pembangunan nasional yaitu bersifat
politis (mendukung tercapainya visi/misi kepala Negara/kepala daerah), top down policy yaitu searah
dengan kebijakan nasional, bottom-up planning (sesuai dengan aspirasi/kebutuhan masyarakat) dan
teknokratis (didasarkan pada kelayakan teknis, social ekonomis dan lingkungan).Untuk
mengembangkan komoditas strategis secara berkelanjutan, perencanaan komoditas harus dapat
Pencapaian target efisiensi usahatani dapat dilakukan melalui keterpaduan kegiatan penyediaan
saprodi, pola tanam yang serentak, keseragaman teknologi, pasca panen terpadu, dan pemasaran
yang terorganisasi.Cooperative farming secara langsung telah memberdayakan lembaga tani yang
ada, yaitu kelompok tani, mengembangkan kualitas SDM melalui penyuluhan tentang pentingnya
kemitraan, kesepakatan, dan kebersamaan. Selain itu, jalinan kerjasama yang terintegrasi secara
vertikal dan horisontal dengan pihak swasta dengan fasilitator pemerintah telah mampu mengurangi
cara-cara koordinasi yang bersifat top-down dan sentralistik. Pola topdown dan sentralistik masih
tercermin dalam model corporate farming. Dalam model corporate farming pemerintah memfasilitasi
petani dengan pemberdayaan secara bottom up dan terdesentralisasi, sehingga lebih mengenai
sasaran utama, yaitu mengembangkan kualitas SDM petani.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 409
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Petani akan secara aktif terlibat di setiap kegiatan dan mempunyai sense of belonging yang tinggi
akan keberhasilan usaha kelompoknya karena organisasi tersebut berasal beranggotakan mereka
sendiri, dikelola oleh mereka sendiri, dan keberhasilannya akan diambil manfaatnya untuk mereka
sendiri. Tujuan akhirnya rantai pemasaran menjadi pendek dan lebih efisien, sehingga petani dapat
memperoleh harga yang sesuai dan meningkat pendapatannya (Sri Nuryanti, 2005).Kegiatan
agroindustri berbasis tanaman pangan atau non pangan akan menghasilkan nilai tambah lebih tinggi
dari segi ekonomi dan kegunaan hasil pertanian. Nilai tambah diperoleh melalui proses pengolahan
pasca panen untuk menghasilkan produk yang awet, bergizi, mudah dikonsumsi, dan memiliki
peluang pasar luas.
Konsep Kawasan Pertanian Sejahtera (SAPIRA)
Isu terbaru adalah adanya kesenjangan produksi antar wilayah; inefisiensi teknis budidaya dan
penerapan teknologi, berakibat pada daya saing komoditas rendah pada kawasan kawasan tertentu.
Kebijakan pembangunan pertanian menuntut percepatan pembangunan yang bertumpu pada
pengembangan SDA, SDM, infrastruktur, dan teknologi presisi berbasis IT, sehingga diperlukan
manajemen Pendekatan Kawasan. Permentan No.56/2016 tentang pengembangan kawasan
pertanian telah diperbaharui dengan Permentan No.18/2018 (Pedoman Pengembangan Kawasan
Pertanian berbasis korporasi). Kawasan Pertanian Nasional Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu)
dapat meliputi kawasan 100 ha, 250 ha, 500 ha, 1000 ha,2000 ha, 5000 ha baik lintas desa, kecamatan ,
kabupaten, atau provinsi dalam pengelolaan jaringan dan infrastrukturnya.
Kawasan adalah pengelolaan wilayah terpadu secara menyeluruh dan berkelanjutan. Korporasi
berarti upaya: meningkatkan posisi tawar petani, jaminan pasar, dan ketersediaan input dan teknologi
modern pada kawasan tertentu, mendorong kawasan petani sejahtera pengawalan &
pendampingan menitikberatkan padaperbaikan manajemen disertai penerapan dan adopsi inovasi
yang efektif menuju peningkatan produktifitas pada kawasan pertanian tertentu mendorong
terbentuknya kawasan pertanian sejahtera. Kontribusi Balitbangtan pada pendampingan kawasan
menuju petani sejahtera adalah penyediaan Inovasi Pertanian Tanaman pangan, Hortikultura,
Perkebunan dan Peternakan sehingga tercapai peningkatan adopsi inovasi, produktivitas, dan
daya saing komoditas pertanian secara berkelanjutan
Makalah bertujuan memberikan acuan bagi pelaksanaan pendampingan pengembangan
kawasan pertanian berbasis korporasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan kegiatan
pendampingan secara berkelanjutan sehingga diperoleh tingkat kemajuan pembangunan kawasan
pertanian nasional
METODE PENELITIAN
Kegiatan Sapira dilaksanakan di desa Jatitengah, kecamatan Jatitujuh Kabupaten Majalengka,
dimulai bulan Juli sampai dengan Desember 2019. Pelaksanaan Sapira dilakukan melalui tahapan
persiapan, evaluasi hasil pendampingan, implementasi teknologi, kelembagaan tani, pembinaan
sumberdaya manusia, dan diseminasi inovasi treknologi.
Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari benih sumber VUB padi dari Balit komoditas, pupuk,
pestisida, dekomposer, papan nama, alat ukur, bahan dan alat pasca panen serta alat dan bahan
pengelolaan limbah. Bahan diseminasi: leaflet, buku saku informasi teknologi, petunjuk teknis dan
panduan umum. Alat untuk budidaya padi serta mekanisasi pertanian (mesin perontok padi, blower,
dryer, dll). Pengumpulan data petani yang berpotensi menjadi penangkar diperoleh dari hasil FGD.
Data karakteristik wilayah yang dikumpulkan antara lain luas lahan, status lahan,pola tanam, jenis
komoditas, produksi, produktivitas, jumlah dan kelompok tani, jumlah dan nama gapoktan,
dinamika kelompok eksisting, kondisi ketersediaan air, tata niaga dan alur pemasaran, sarana
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 411
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
gudang, cold storage, alat transportasi, lapak, pihak ke tiga), (6) Lembaga Pengolahan Hasil (KWT,
pengemasan dan packing, dinas perindustrian, perdagangan) dan (7) Lembaga Finansial (koperasi
simpan pinjam, umkm, BPR, Bank Pemerintah)
Dengan demikian, tahapan kegiatan yang disarankan dalam pelaksanaan kegiatan Sapira adalah
sebagai berikut (BBP2TP, 2019) : (1) Analisis AEZ dan penyusunan Road Map, 2) Identifikasi
Potensi Wilayah (Based line survey: kesiapan teknologi; kios, bank, pengolahan hasil , lapak di pasar,
pihak ke tiga dll), 3) RRA /PRA (GAP/titik ungkit/potensi kegiatan utama seperti Perbenihan), 4)
Survey terstruktur usaha korporasi (KEP) (kemampuan (kelas) kelompoktani,pengembangan
kelembagaan, penyertaan modal internal dan external, master plan dan business plan, pada
tingkat kab, kecamatan, desa, dan kawasan kelompoktani)
Penentuan lokasi dan sasaran kawasan petani sejahtera dilakukan melalui : (1) Implementasi
teknologi inovatif pertanian (sosialisasi tingkat kabupaten, kecamatan, desa, gapoktan, poktan,
bimtek, temu tugas, kaji terap, gelar teknologi, temu teknis, dll), (2) Temu lapang (farmers’ Field Day),
dan (3) Temu Usaha (perjanjian pengembangan usaha berkelanjutan dengan pihak ke tiga)
Tetapi keterbatasan atau ruang lingkup kegiatan pelaksanaan Sapira disarankan meliputi sebagai
berikut (BPTP, 2019): (1) Identifikasi lokasi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan Sapira, yaitu
desa Jatitengah, kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka, (2) Fasilitasi informasi inovasiteknologi
dan rekayasa kelembagaan, (3) Inisiasi peningkatan kapasitas dan kapabilitasSumberdaya Manusia
Pertanian melalui Pelatihan dan Apresiasi, dan (4) Kajian kinerja dan dampak
pendampinganterhadap peningkatan adopsi dan profitas
Sebagai bahan pertimbangan lainnya, penguatan kelembagaan kelompok melalui lembaga
penangkaran benih padi dan jagung berperan dalam keberlanjutan adopsi VUB dan perluasan adopsi
teknologi. Berlanjutnya kegiatan pendampingan Kawasan dapat dilakukan guna menguatkan dan
mengembangkan kelembagaan usaha penangkaran benih padi di Jawa Barat. Oleh karena itu,
pendampingan kawasan harus dilanjutkan pada tahap pemantapan kawasan sesuai dengan jangka
waktu kegiatan tahun 2019-2022 dengan fokus pada Pengembangan Diseminasi Inovasi Teknologi
dan Inovasi Kelembagaan sebagai Titik Ungkit.
Pada saat ini, pendapatan dari usahatani padi belum mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga
petani, karena sempitnya luas pemilikan lahan untuk sebagianbesar petani.Oleh karena itu perlu
dilakukan diversifikasi usaha guna meningkatkan pendapatan dan kemampuan untuk
mengantisipasi resiko produksi yang tinggi.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 413
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Rencana Tindak Lanjut Kegiatan Rintisan Pelaksanaan SAPIRA
di Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, 2019
Lesson Learned
Kegiatan rintisan kegiatan SAPIRA pada makalah ini adalah sampai dengan akhir Oktober 2019,
meskipun demikian, berdasarkan observasi lapang dan rintisan yang telah dilakukan, di peroleh hal
hal sebagai berikut:
Identifikasi lapangan (self assessment) yang akurat untuk kegiatan SAPIRA diarahkan pada
kegiatan yang sudah berjalan, sehingga kegiatan SAPIRA tidak bermula dari awal.
Partisipasi dan kooperatif petani, kelompoktani, gapoktan, dan kelembagaan produksi lainnya
sudah berjalan dengan baik, dan masih dapat ditingkatkan. Partisipasi positif dari
stakeholders dan pembenahan kelompok/gabungan kelompoktani berpengaruh terhadap
keberlanjutan (sustainable) kegiatan pelaksanaan SAPIRA.
Pengembangan SAPIRA merupakan kelanjutan pengembangan kawasan pertanian pada
kegiatan BPTP yang sudah berjalan dan tidak di mulai dari awal, tetapi masih dapat
ditingkatkan luasan dan skala usahanya (Marbun, 2018).
Inovasi teknologi sudah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang mengarah pada digitalisasi
industri pertanian, sehingga yang perlu ditingkatkan adalah kesiapan sumberdaya manusia
melalui penumbuhan kelembagaan partisipatif yang berkelanjutan, diantaranya adalah
korporasi dan BUMP.
Pendampingan pengawalan kegiatan SAPIRA perlu dilakukan secara terpadu dan melekat
oleh pihak terkait (pemerintah daerah, penyuluh, mitra, local leader) untuk menjamin
keberlanjutan kegiatan.
KESIMPULAN
Pengembangan SAPIRA telah dilakukan dengan identifikasi lokasi dan kegiatan lingkup BPTP,
pembenahan kelompoktani, perluasan pemasaran kelompok melalui e-commerce dan blog
kelompoktani, rintisan perluasan usaha ke arah pasca panen prospektif (perberasan), perluasan skala
usaha melalui kelembagaan kelompoktani menuju gabungan kelompoktani, koorporasi, dan BUMP.
Kelompoktani Gangsa I di Jatitujuh Majalengka dan kelompoktani sekitarnya berpotensi besar
menjadi pelopor dalam pengembangan SAPIRA melalui inovasi kelembagaan ekonomi petani dan
Badan usaha Milik Petani (BUMP). Pengembangan kawasan disarankan peranan dan partisipasi
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kepada semua pihak (organisasi/institusi, pemberi donor atau perorangan)
yang telah berkontribusi atau terlibat membantu dalam pendanaan, pelaksanaan penelitian, dan
penulisan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bachrein, S., I. Ishaq, Muhamad dan A. Dimyati. 1997. Perakitan Teknologi Sistem Usaha Tani Pisang
pada Lahan Kering Kecamatan Cibinong, Cianjur. h 1-32 dalam Bachrein et al., 1997 (Eds.) :
Monograf No. 001 Sistem Usaha Tani Berbasis Pisang Pada Lahan Kering di Jawa Barat, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Lembang, Badan Litbang Pertanian. 116h.
BPSDMP Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Pertanian. 2012.
Badan Usaha Milik Petani. , Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2011. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung.
Badan Pusat Statistik. 2013. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Peertanian. 2019. Pedoman Pengembangan
Kawasan Pertanian Nasional, Bogor. (draft).
Balitbang Pertanian.2005.Prospek dan arah pengembangan agribisnis padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian,Jakarta.
Balitbang Pertanian Kementan. 2019. Pedoman Kawasan Pertanian Sejahtera. Jakarta. Tidak
dipublikasikan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan. 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan
untuk Pengembangan Kedelai di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vo.
30 No. 1.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2019. Petunjuk Pelaksanaan Kawasan Pertanian
Sejahtera di Jawa Barat, Lembang , (draft).
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 2013. Data produktivitas padi sawah, padi gogo, jagung dan
kedelai. 04 Februari 2013.
Diperta Provinsi Jawa Barat, 2010. Laporan Kegiatan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu di Jawa
Barat, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat.
Haryati, H. 2019. Model Sekolah Lapang Kedaulataan Pangan mendukung Swasembada Pangan
Terintegrasi dengan Desa Mandiri Benih. BPTP Jawa Barat. Laporan Tengah Tahun, Lembang
Harris S. 2019. Program SAPIRA. Bahan tayang program strategis Kementan, Raker Badan Litbang
25 Maret 2019 di Tanjung Pinang, Kep. Riau.
Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Permentan No. 50.
Kementerian Pertanian. 2014. Rancangan Model Pengemb. KP Tahun 2015-2019. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Permentan No.56/2016 tentang Pengembangan KP. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2017. Permentan no. 472/2017 tentang lokasi pengembangan; pertimbangan:
hamparan; ketersediaan sumberdaya; aksesibilitas kawasan; pemasaran produk; dan
penganggaran
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 415
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kementerian Pertanian. 2018. Permentan No.18/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan
Pertanian berbasis korporasi.
Marbun, O. 2018. Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan di Jawa Barat. Laporan akhir. BPTP
Jawa Barat, Lembang.
Sri Nuryanti. 2005. Model Cooperative Farming untuk Peningkatan Pendapatan petani. Sinar Tani, 29
Juni – 5 Juli 2005
Susetyanto, B.M Sinaga, B. Saragih, Harianto, A. Ratnawati, D.S Damardjati. 2008. Model Ekonomi
Rumah Tangga Petani Kedelai : Analisis Dampak Kebijakan terhadap Tenaga kerja, Pendapatan
dan Pengeluaran. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol 27 No. 2 : 101 – 112.
ABSTRACT
Aceh Province is one of the soybean production centers in Indonesia with production reaching 47,910 tons, nut it is
still far below the national soybean productivity of 15,68 tons/ha. This study aims to determine the value of shade -
resistant soybean farming, Anjasmoro in one hectare and one planting season, namely : The average amount of
revenue and average income received by farmers. The quetionaire are from local soybean farmers, agencies and related.
The analysis used is analysis of cost, revenues, income and R/C ratio. The result showed that the cost average of
shade-resistant soybean farming is Rp. 7.385.000, Average revenue is Rp. 11.400.000, Average income is Rp.
4.015.000 and R/C ratio is 1,54 means that this shade-resistant soybean farming is feasible to be developed.
ABSTRAK
Provinsi Aceh merupakan salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia dengan produksi mencapai
47.910 ton, namun produktivitasnya relative rendah dibandingkan kedelai nasional sebesar 15,68 ton/ha.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai usahatani kedelai tahan naungan varietas
Anjasmoro per hektar per satu kali musim tanam di Desa Paru Keude Kecamatan Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya, yaitu : Besarnya rata-rata biaya yang dikeluarkan, Besarnya rata-rata penerimaan dan rata-rata
pendapatan yang diterima petani. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, yang diperoleh
daripetani kedelai setempat, dinas dan instan siterkait. Analisis yang digunakan adalah analisis biaya,
penerimaan, pendapatan dan R/C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya total usahatani
kedelaitahan naungan adalahRp. 7.385.000, Rata-rata penerimaansebesarRp. 11.400.000, Rata-rata
pendapatanadalahRp. 4.015.000, dan R/C ratio sebesar 1,54 artinya usahatani kedelaitahan naungan ini
layak untuk dikembangkan.
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian merupakan upaya peran sektor pertanian, bukan hanya upaya
peningkatan volume produksi namun lebih menekankan pada peningkatan pendapatan petani
(Rono,et.al., 2016). Kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan utama dan merupakan
sumber protein nabati penting dan mendapat perhatian karena (1) kebutuhan dalam negeri cukup
tinggi, mencapai 2,02 juta ton/tahun, (2) luaspanen kedelai terus menurun (3) produks idalam negeri
tidak mencukupi dan impor terus meningkat, dan (4) usahatani kedelai kurang kompetitif disbanding
jagung. Tastraet al., (2012) mengatakan kedelai sebagai sumber pangan kaya protein dan pangan
fungsional berperan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Produksi kedelai
Indonesia selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2011 – 2015) cenderung mengalami stagnasi dimana
pada 2015 hanya mengalami peningkatan sebesar 1 % dari produksi tahun 2014 yaitu 963.183 ton
(BPS, 2016).
Kebutuhan terhadapkedelaidaritahunketahunterusmeningkat, sedangkan produksi dalam negeri
masih rendah. Produksi kedelai dalam negeri dalam setahun hanya mampu memenuhi 50% dari 2.4
juta ton total nasional. Sumatera menjadi salah satulokasi yang ditargetkan sebagai lokasi
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 417
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pengembangan kedelai (Balitkabi, 2009). Pemerintahtelah menetapkan Provinsi Aceh sebagai salah
satu sentra produksi kedelai nasional dengan target penanaman seluas 60.000 hektar dan target
produksisebesar 123.400 ton (Kementan, 2014 dalam Ismail,et.al., 2017). Provinsi Aceh merupakan
salah satu sentra penghasil kedelai terbesar di Pulau Sumatera dengan luas areal pertanaman ± 16.920
ha dan produksi mencapai ± 47.910 ton (BPS, 2015), dengan produktivitas 3,29 ton/ha namun
masihjauh di bawah produktivitas kedelai nasional yaitu sebesar 15,68 ton/ha. Diperkirakan dimasa
mendatang proyeksi permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya
konsumsi kedelai oleh masyarakat (Nugraha,et.al., 2017)
Ada beberapa permasalahan yang menjadi faktor yang menyebabkan produksi kedelai di Provinsi
Aceh rendah yaitu semakin berkurangnya luas lahan areal tanam kedelai serta produktivitasnya
rendah disebabkan banyak faktor antara lain ketersediaan benih bermutu yang terbatas, waktu tanam,
kekeringan/tata air, pemupukan, hama penyakit, pascapanen dan harga. Besarnya keragaman
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai disebabkan oleh beragam nyakualitas benih dan varietas
yang ditanam, waktu tanam, penyiapan lahan sebelum tanam, pemeliharaan tanaman, pengendalian
hama penyakit, pengelolaan air pengairan dan tingkat kesuburan lahan (Ferayanti, 2019).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) dengan berbagai upaya terus berinovasi untuk meningkatkan
produksi kedelai nasional dengan memanfaatkan lahan perkebunan atau lahan Perhutani. Beberapa
strategi penting untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi kedelai nasional antara lain
pemanfaatan potensilahan untuk perluasan areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun
tanamansela, diantaranya menanam kedelai secara tumpangsari dengan tanaman perkebunan,
lingkungan agroforestri, atau tumpangsari dengan tanaman pangan lain merupakan alternative
andalan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional yang masih sangat rendah. Sejalan dengan
pembangunan pertanian yang lebihmemfokuskan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani, maka perlu adanya inovasi baru untuk memacu peningkatan produktivitas kedelai dan
sekaligus peningkatan pendapatan petani melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya
terpadu.
Hal tersebut dilakukan karena lahan subur untuk perluasan areal kedelai semakin menyempitnya,
maka Balitkabi berupaya mengembangkan pertanaman kedelai di bawah tegakan tanaman
perkebunan dan tanaman hutan. BUDENA (Budi DayaKedelai di Bawah Naungan) sistem
pengembangan kedelai di bawah tegakan atau tumpangsari dengan tanaman pangan lain yang
diharapkan menjadi alternative andalan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional yang masih
sangatrendah. Dalam pengembangan ini varietas yang digunakan adalah varietas Anjasmoro yang
toleran terhadap naungan. Saat ini belum dilakukan penelitian terhadap usahatani kedelai varietas
Anjasmoro yang ditanam dibawah tegakan / tahan naungan di Kabupaten Pidie Jaya Propinsi Aceh.
Berdasarkan permasalahan di tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui analisis
usahatani terhadap budidaya kedelai tahan naungan spesifik lokasi dalam rangka untuk
meningkatkan produksi kedelai di Provinsi Aceh
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan milik petani di Desa Paru Keude Kecamatan Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya dengan luas 3 hadengan kriteria lahan dengantingkatnaungan 0 – 50 %, yang
dimulai pada bulan Maret hingga Desember 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
besarnya nilai usahatani kedelai tahan naungan varietas Anjasmoro per hektar per satu kali musim
tanam, yaitu: Besarnya rata-rata biaya yang dikeluarkan, Besarnya rata-rata penerimaan dan rata-rata
pendapatan yang diterima petani. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, yang
Sentra penanaman kedelai di Kabupaten Pidie Jaya tersebar di beberapa kecamatan. Luas tanam,
luas panen dan produksi komoditi kedelai menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai di KabupatenPidie Jaya, 2018
Kecamatan Bandar Baru dan Meureudu merupakan kecamatan yang memproduksi kedelai lebih
banyak dari pada kecamatan lainnya di Kabupaten Pidie Jaya. Dari itu diperoleh gambaran mengenai
lokasi yang memiliki potensi dengan naungan yang cukup luas untuk tanaman kedelai.
Analisis usahatani umumnya digunakan untuk esaran korbanan dalam hal biaya dan tenaga kerja
yang dialokasikan (Minsyah, 2013). Biaya yang digunakan dalam usahatani kedelai di Kabupaten
Pidie jaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Analisisnya diperoleh dari petani kedelai dengan
status kepemilikan lahan adalah milik sendiri. Benih kedelai yang digunakan adalah Anjasmoro yang
ditanam di bawah naungan tanaman kelapa. Biaya-biaya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel2. Analisis Usahatani Kedelai Anjasmoro Tahan Naungan/hektar/musimtanam
di Desa Keude Kecamatan Bandar Baru kabupatenvPidie Jaya Provinsi Aceh 2019
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 419
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata biaya total petani kedelai di Kabupaten Pidie
Jaya per hektar per satu kali musim tanam adalah sebesar Rp.7.385.000 yang diperoleh dari
penambahan biaya tetap dan biaya variabel. Penerimaan yang diperoleh sebesar Rp.11.400.000
dengan harga jual kedelai yang berlaku saat penelitian adalah Rp.6.000/kg. Untuk kelayakan R/C
rationya diperoleh nilai sebesar 1,54 yang berarti dengan mengeluarkan biaya sebesar 1 satuan maka
akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,54 satuan.
KESIMPULAN
Potensi lahan dibawah naungan dapat dimanfaatkan untuk menanamkedelai. Hal ini untuk
mengatasi semakin berkurangnya luas lahan areal tanam kedelai. Salah satu varietas kedelai yang
tahan terhadap naungan adalah Anjasmoro. Dari segi analisis usahatani yang dilakukan di
KabupatenPidie Jaya, Kedelai Anjasmoro layak untuk dikembangkan karena mendapat keuntungan
bagi petaninya. Dari kesimpulan diatas maka penelitian ini diharapkan dapat dilakukan lebih luas
lagi seperti penelitian tentang analisis pemasara nnya sehingga pengembangan usahatani kedelai
Anjasmoro tahan naungan ini dapat diketahui dari hulu hingga hilir.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada BPTP Aceh dan Tim Kegiatan Kajian Paket
Teknologi Budidaya Kedelai Tahan Naungan di Provinsi Aceh, terutama kepada Ibu Fenti Ferayanti,
S.P.,M.Si yang telah memberikan masukan dan saran dalam perbaikan karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pidie Jaya. 2018. Data Kedelai di
KabupatenPidie Jaya. Aceh
BPS. 2016. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta
BPS Aceh. 2015. Aceh DalamAngkaTahun 2015. Banda Aceh.
Balitkabi. 2009. PeningkatanProduksi Kedelai di LahanPasangSurut. Badan LitbangPertanian
Ferayanti,F. 2019. Laporan Tengah Tahun. Kegiatan Kajian PaketTeknologi
BudidayaKedelaiTahanNaungan di Provinsi Aceh
Ismail,M., Anna Fariyanti, dan AmzulRifin. 2017. EfisiensiTeknisUsahatani Kedelai pada
LahantadahHujab dan LahanKering di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Forum Agribisnis. Vo. 7 (1).
InstitutPertanian Bogor
Minsyah, N.Imdah. 2013. Analisis UsahataniKedelaiBerbasisAgroekologi Di Provinsi Jambi. Prosiding
Seminar Hasil PenelitianTanaman Aneka Kacang dan Umbi. Hal. 285-292
Nugraha,G., DediH.Sujaya, dan M.Nurdin Yusuf. 2017. AnalisisUsahataniKedelai.
JurnalIlmiahMahasiswaAgroinfoGaluh. Vol.4 No.2, Mei
Rono, Sa’adMurdy, dan Saidin Nainggolan. 2016. Studi Usahatani Kedelai Melalui Pendekatan
SistemAgribisnis di Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur. JurnalSosio
Ekonomika Bisnis Vo. 19. (1)
Tastra dan Ginting, E. 2016. StandarMutu BijiKedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan
Umbi-Umbian. Malang
ABSTRACT
Sustainable Bioindustry agriculture relies on three balanced foundations, which are oriented to the social welfare of
farmers, workers and surrounding communities, environmentally friendly and creating economic added value for
farmers. In central Aceh, integration between coffee plants and cattle has been done in the form of : By-products of
livestock in the form of liquid fertilizer and solid fertilizer have been applied to coffe plants. Likewise, by-product coffe
have been given to cattle in the form of animal feed silage. The most popular livestock by-product are liquid organic
fertilizer, biourin derived from cow-urine and coffe by-product in the form of coffe skin compost. From 100 liters of
cow urine, produced 110 liters biourin with a selling price of Rp.10.000 per litre, so the farmer has added value
Rp.10.155/litre, while compost can produce as much as 1.000 kg and is sold at Rp/3.000/kg. Organic fertilizer and
coffe skin compost can be an alternative fertilizer and feed that is cheaper and easier for the community. To strengthen
farmer institutions to run business so that they run well. Institutions that have been carried out by farmers in Central
Aceh in the form of coordination and consolidation with extencion centre, agriculture and Animal agencies. In
addition, there has also been training in capacity building for farmers/extension workers and training of the
utilization of coffe byproduct and cattle.
ABSTRAK
Pertanian Bioindustri yang berkelanjutan beorientasi pada kesejahteraan sosial petani, pekerja dan
masyarakat sekitar, ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah ekonomi bagi petani. Di Aceh
Tengah, integrasi antara tanaman kopi dan ternak sapi sudah dilakukan dalam bentuk pemanfaatan hasil
samping ternak dalam bentuk pupuk cair dan pupuk padat pada tanaman kopi. Disisi lain hasil samping
kopi diberikan pada ternak sapi dalam bentuk silase. Hasil samping ternak yang paling digemari yaitu
pupuk organik cair, biourin dan hasil samping kopi berupa kompos kulit kopi. Dari analisis nilai tambah
usaha biourin dari 100 liter urin sapi diproduksi 110 liter biourine dengan harga jual Rp.10.000,-per liter.
dengan nilai tambah Rp.10.155,-/liter. Sedangkan kompos mampu dihasilkan 1.000 kg dijual Rp.3.000/kg.
Pupuk organik dari ternak sapi dan kompos kulit kopi menjadi alternatif pupuk dan pakan yang lebih
murah dan mudah bagi masyrakat. Perlu memperkuat kelembagaan petani untuk menjalankan usaha
agar berjalan dengan baik. Kelembagaan oleh petani di Aceh Tengah berupa koordinasi dan konsolidasi
dengan BPP setempat, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan. Selain itu juga dilakukan pelatihan
peningkatan kapasitas petani/ penyuluh dan pelatihan pemanfaatan hasil samping kopi dan ternak sapi.
Kata Kunci :Integrasi, Kopi, Ternak Sapi, Bioindustri, Kelembagaan, Aceh Tengah
PENDAHULUAN
Provinsi Aceh merupakan daerah penghasil kopi arabika terbesar di Indonesia dengan pusat
pengembangannya terletak di dataran tinggi Gayo yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
yang keseluruhannya merupakan usaha perkebunan rakyat. Tanaman kopi merupakan salah satu
tanaman perkebunan yang banyak ditanam oleh petani di Aceh Tengah, disamping menanam kopi
mereka juga mengusahakan ternak sapi.Dataran tinggi Gayo merupakan salah satu kawasan
perkebunan kopi yang mana hampir 95% dari kawasan ini ditanami kopi jenis Arabika, sedangkan
sisanya kopi Robusta. Hal tersebut sesuai dengan demografi kawasan tersebut yang berada diatas 800
meter di atas permukaan laut (dpl), sehingga sangat cocok untuk kopi jenis Arabika. Dari perspektif
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 421
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
rantai pasok, kopi Arabika yang dihasilkan memiliki peran strategis bagi masyarakat Gayo karena
lebih dari 80% masyarakat wilayah ini menggantungkan hidupnya dari komoditi ini (Jaya,2014 ).
Disisi lain pemerintah Indonesia mencanangkan program Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB).
Program ini merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam meningkatkan populasi sapi
potong dan untuk penyediaan kecukupan daging / swasembada daging tahun 2026 (Rusdiana dan
Soeharsono, 2018). Kendala yang sering dialami adalah keterbatasan penyediaan pakan, baik dalam
hal kualitas maupun kuantitas. Salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang murah adalah
melalui pemanfaatan limbah tanaman kopi dimana limbah pertanian ini ketersediaannya tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia. Dari hasil sosialisasi dan adanya dukungan teknologi, limbah
dari tanaman kopi dan ternak sapi itulah yang saat ini sudah dimanfaatkan oleh petani disana untuk
pembuatan pupuk organik dan pakan ternak.
Dari analisis nilai tambah usaha pupuk organik cair biourin terlihat bahwa dari 100 liter urin sapi
dapat diproduksi biourin sebanyak 110 liter dengan melibatkan tenaga kerja laki-laki sebanyak 2
orang. Harga jual produk biourin adalah Rp.10.000,-per liter.
Dalam 1 liter urin sapi dapat dihasilkan 1,1 liter biourin dengan nilai tambah Rp.10.155,-/liter.
Dengan demikian terdapat peningkatan nilai tambah urin sapi dengan adanya sentuhan teknologi
pengolahan yang diperoleh oleh kelompok tani. Marjin yang diperoleh dari usaha pupuk organik cair
biourin adalah sebesar Rp.10.500,-/liter. Rasio nilai tambah pada produk biourin sebesar 92%. Ini
menunjukkan usaha pupuk organik cair biourin ini dapat terus dijalankan dengan mempertahankan
pemakaian bahan-bahan organik sehingga kualitas produk biourin dapat terus dipertahankan
(Andriani,2018)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 423
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Potensi kandungan gizi kulit kopi masih dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan
Aspergillus niger, sehingga kandungan serat kasar kopi dapat diturunkan untuk memudahkan ternak
mencerna makanannya. Protein kulit kopi dapat ditingkatkan dari 9,94 % menjadi 17,81%, kandungan
serat kasar menurun dari 18,74% menjadi 13,05%. Biourin juga dapat memperbaiki unsur hara pada
tanah yang tidak dimiliki oleh pupuk kimia, sehingga kesuburan tanah bisa dijaga. Melihat kondisi
yang ada saat ini dimana melambungnya harga pupuk anorganik, maka limbah kandang merupakan
salah satu peluang usaha tambahan yang memiliki nilai jual. Oleh karenanya jika peternak bisa
mengelola dan memanfaatkan limbah dari sapi ini maka akan mendapatkan input dan keuntungan
dari peternakannya (Sutanto, 2002)
Hasil analisa sederhana yang disampaikan oleh ketua Kelompok Giri Mulyo, Wahyu
Hidayatbahwa kelompok ini sudah melakukan prosessing bubuk kopi organik yang dijual Rp.
20.000,- per kemasan (100 gram), dan untuk kompos kulit kopi dihasilkan sebanyak 1.000 kg dengan
harga jual Rp.3.000/kg, maka keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp.975.000,- (Yufniati, 2016).
Urin sapi mengandung zat pengatur tumbuh yaitu Indole Aceti Acid (IAA). Selain itu dapat
mencegah datangnya hama tanaman karena baunya yang khas (susilorini,et al, 2008). Menurut Said
(2014) ada beberapa manfaat dari unsur hara yang terdapat dalam urin ternak sebagai pupuk organik
cair, yaitu: C,O, H, N, P, K, Mg dan Fe.
KELEMBAGAAN PETANI
Kelembagaan Bioindustri kopi dan ternak sapi di Aceh Tengah tentunya melibatkan beberapa
stakeholders diantaranya Balai Penyuluhan (BPP) Kecamatan, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan.
Koordinasi dan konsolidasi dilakukan untuk mendukung kegiatan yang terintegrasi kopi-sapi ini,
selain itu bertujuan untuk memperkuat kelembagaan kelompok tani agar setiap kegiatan dapat
berjalan dengan baik. Kelompok tani ini diupayakan dapat melanjutkan usaha integrasi kopi dan
ternak sapi yang berorientasi agribisnis dan ekonomi sehingga diharapkan dapat bekerjasama dengan
Koperasi dan pihak swasta lainnya.
Adapun pelatihan yang telah dilakukan kelompok tani meliputi pelatihan penguatan kapasitas
kelembagaan kelompok tani, peningkatan kapasitas penyuluh dan pembelajaran/pemantapan tata
PENUTUP
Integrasi tanaman kopi dan ternak sapi pada Bioindustri di Aceh Tengah menghasilkan hasil
samping tanaman kopi berupa kompos kulit kopi sebagai pakan ternak dan hasil samping ternak
sapi menghasilkan pupuk organik padat dan pupuk organik cair yang diaplikasikan pada tanaman
kopi. Keduanya bersifat ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah ekonomi bagi petani dan
pengusahanya.
Untuk menciptakan keberlanjutan kegiatan integrasi kopi dan ternak sapi di Aceh Tengah perlu
memperkuat kelembagaan petaninya terlebih dahulu agar tercipta sinergi yang baik antar petani
kemudian baru memperkuat kelembagaan kepada pihak-pihak yang mendukung kegiatan sistem
integrasi tersebut seperti BPP setempat, Pemerintah daerah dan Pihak swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh Dalam Angka. 2014. Badan Pusat Statistik Propinsi Aceh
Andriani, R. 2018. Thesis. Analisis Kelayakan Ekonomi dan Pemberdayaan Kelompok Tani Usaha
Pupuk Organik Cair Biourin di Desa Paya Tungel Kabupaten Aceh Tengah. Fakultas Pertanian
Unsyiah. Banda Aceh
Andriani, R. 2018. Laporan Akhir Kegiatan. Model Pengembangan Inovasi Teknologi Pertanian
Bioindustri Berbasis Kopi Arabika di Dataran Tinggi Gayo. BPTP Aceh
BPTP Jateng. 2015. Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman Kopi. www.jateng.litbang.pertanian.go.id
Diakses 11 Oktober 2019
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blueprint Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta
Huda, M.K. 2013. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Urin Sapi dengan Aditif Tetes Tebu (Molasses)
Metode Fermentasi. Skripsi. Universitas Negeri Semarang
Jaya, Rachman. 2014. Rancang Bangun Rantai Pasok Green Bean Kopi Gayo Berkelanjutan. Disertasi
Pascasarjana IPB. Bogor
Kariada.,dkk.2017. Pengaruh Pupuk Organik Cair (Bio Urine Sapi) Terhadap Hasil Dan Pertumbuhan
Tanaman Jagung QPM. https://www.scribd.com/document/328174368/ Pengaruh-Pupuk
-Organik-Cair-Bio-Urine-Sapi. Diakses 15 Maret 2017.
Rusdiana dan Soeharsono, 2018. Program SIWAB Untuk Meningkatkan Populasi Sapi Potong dan
Nilai Ekonomi Usaha Ternak. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 35 (2), 125-137
Said, I.M. 2014. Produk ternak. IPB Press. Bogor
Saputro, Thomas. 2016. Penggunaan Kulit Kopi Sebagai Pakan Ternak.www.ilmuternak.com. Diakses
7 Maret 2017
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif Dan Berkelanjutan. Kanisius.
Yogyakarta
Susilorini, T.E.,Sawitri dan Muharkem. 2008. Budidaya Ternak Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 425
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Yufniati. 2016. Laporan Akhir Kegiatan Pengembangan Kawasan Model Bioindustri Berbasis Kopi
Arabika di Dataran Tinggi Gayo. BPTP Aceh
ABSTRACT
Study On The Application Of Horticulture Innovation Through Spectrum Dissemination Of Multi Channel
Approaches. The acceleration of technology dissemination is largely determined by the choice of methods and media
used as well as the channel for delivering the information to the user. The main thing needs to be observed is the
readiness of the technology itself to be ready for dissemination. Many technologies are ultimately not adopted by users
because they do not meet the requirements to be accepted by users or farmers, especially in the potential to provide
benefits for farmers, easy to apply, easy to observe the results and for its application is not complicated. The pattern of
SDMC in the study of the application of horticultural innovation is crucial in accelerating the spread of innovative
technology. The pattern can involve a variety of methods and media, related institutions, extension agents, central and
regional stakeholders and stakeholders involved in the development of the agribusiness system.
ABSTRAK
Percepatan diseminasi teknologi sangat ditentukan oleh pemilihan metode dan media yang digunakan
serta saluran dari penyampaian informasi tersebut kepada pengguna. Hal yang utama perlu dicermati
yaitu kesiapan teknologi sendiri untuk siap didiseminasikan. Banyak teknologi yang akhirnya tidak
diadopsi oleh pengguna karena kurang memenuhi persyaratan untuk dapat diterima oleh pengguna atau
petani, terutama dalam potensinya memberikan keuntungan bagi petani, mudah diterapkan, mudah
diamati hasilnya dan untuk penerapannya tidak bersifat rumit. Pola SDMC pada kajian penerapan inovasi
hortikultura sangat menentukan dalam percepatan penyebaran luasan teknologi inovatif. Pola tersebut
dapat melibatkan berbagai metode dan media, kelembagaan terkait, penyuluh, pemangku kepentingan di
pusat dan daerah serta stakeholder yang terlibat dalam pengembangan sistem agribisnis.
Kata kunci : Pola SDMC, penerapan inovasi, hortikuktura, sistem agribisnis.
PENDAHULUAN
Dukungan penyediaan teknologi bagi pengembangan hortikultura adalah hal yang sangat
penting dalam peningkatan daya saing produk hortikultura. Di dalam memberikan dukungan
teknologi perlu memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek teknologi yang akan dikembangkan,
sosial budaya, kondisi biofisik, komunitas pengguna dan juga sinergisme instansi yang terlibat serta
metode penyampaian (delivery system) (Rosenfeld, 2002) di (Rosenfeld, 2002).Creating Smart Systems :
A Guide Cluster Strategies in Less Favoured Regions, Carrboro, North Carolina, USA: Regional
Technology Strategies. Selanjutnya Rosenfeld menyatakan bahwa sasaran yang dituju adalah untuk
menyebarkan teknologi kepada pengguna. Dengan demikian maka penggunaan teknologi oleh
pengguna akan sangat mendukung untuk peningkatan produktivitas pertanian. Sedangkan unntuk
mempercepat adopsi inovasi teknologi pertanian diharapkan agar petani tidak hanya menerima
informasi hanya dari satu sumber saja (mono channel), tetapi diharapkan bisa dari berbagai sumber
(multi channel).
Menurut Nur 2009, untuk kegiatan yang terkait dengan kebijakan dan dilakukan di tingkat
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa harus bertanggungjawab
terhadap penyebaran teknologi pertanian di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 427
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pedoman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dalam inovasi terdapat enam (4) ciri, adalah :
(1) Mempunyai kekhasan atau pengkhususan yaitu inovasi memiliki ciri yang punya khas dalam arti
ide, sistem serta tatanan, (2) Mempunyai ciri dan harus ada unsur kebaruan, artinya suatu inovasi
harus mempunyai karakteristik untuk wujud sebagai karya pemikiran yang mempunyai kadar
kebaruan, (3)Kegiatan program inovasi dilakukan melalui program yang sudah tersusun dan
artinya adalah inovasi dilakukan melalui sebuah proses yang cukup lama tetapi kegiatan inovasi
dilakukan secara jelas dan selalu direncanakan sebelum kegiatan dilaksanakan, (4) Kegiatan inovasi
yang dilakukan harus mempunyai tujuan sedangkan program inovasinya mempunyai arah yang
dituju serta memiliki strategi ( Anonim, 2010).
Informasi untuk penyampaian inovasi memerlukan metode yang harus sesuai dengan kondisi
lingkungan fisik, sosial, kebutuhan sesuai kondisi, motivasi, dan tujuan yang diinginkannya
(Mardikanto, 1993). Penggunaan metode diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau
keterampilan baru, yakni mendorong individu untuk meraih pengetahuan atau keterampilan yang
lebih baik daripada pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimilikinya (Suprijanto, 2007).
Metode yang dianggap efektif dalam melakukan perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap
melalui pendekatan kelompok adalah peragaan teknologi dan pembelajaran.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 429
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
saing dalam menghadapi era globalisasi. Dari hasil beberapa kajian diketahui bahwa pembangunan
kawasan terbukti mampu meningkatkan kinerja ekonomi daerah dalam rangka membangun
kesejahteraan masyarakat ekonomi kawasan menggunakan konsep ekonomi pertumbuhan.
Di dalam ruang lingkup kerjasama untuk pengembangan kawasan hortikultura sangat luas dan
sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan di lapangan, yang mencakup
pengembangan adalah: (1) adanya infrastruktur, (2) adanya industri hulu (benih, pupuk, pestisida,
media dan pembiayaan), (3) terdapatnya industri off farm (sertifikasi mutu, grading, sortasi,
pengemasan dan transportasi) serta (4) adanya bidang pendukung yaitu karantina, perizinan dan
pelatihan.
Bentuk kerjasama dalam pengembangan kawasan, salah satunya adalah kemitraan. Kemitraan
dapat dilakukan dengan komunitas target yang mencakup pemerintah pusat atau perguruan tinggi
sebagai penghasil atau sumber teknologi, pemerintah daerah, perusahaan swasta, gapoktan/poktan.
Kemitraan tersebut dituangkan dalam naskah perjanjian kerjasama penelitian dan pengembangan
hortikultura sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pola pengembangan hortikultura pada umumnya
dilakukan melalui introduksi langsung kepada pengguna.
Pemilihan inovasi dalam kemitraan perlu mempertimbangan beberapa hal, yaitu (a) kriteria
inovasi, yaitu inovasi dapat berupa ide atau gagasan. Inovasi tersebut harus bersifat baru tetapi tidak
selalu berasal dari penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalupun dapat disebut inovasi
apabila dapat diintroduksikan kepada masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya (Rogers
1995; Mundy 2000), (b) teknologi spesifik lokasi, program Litbang Hortikultura memiliki keterkaitan
erat dengan program pengkajian teknologi di BPTP khususnya pada kelompok komoditas yang
pengembangannya memerlukan kondisi ekologi dan teknologi spesifik. (c) sistem penyampaian
teknologi, kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa aspek, yaitu sifat inovasi, sifat
adopter dan perilaku pengantar perubahan (peneliti dan penyuluh). Diseminasi inovasi dapat
dilakukan melalui berbagai sarana komunikasi (multi-channel). Untuk dukungan implementasinya,
inovasi teknologi hortikultura bisa diimplementasikan secara partisipatif dalam suatu wilayah dengan
menggunakan lima pendekatan, yaitu (1) agroekosistem, (2) agribisnis, (3) wilayah, (4) kelembagaan
dan (5) pemberdayaan masyarakat. Jika dilakukan secara agroekosistem maka implementasi inovasi
tersebut harus mencakup beberapa aspek, yaitu sumberdaya lahan dan air serta komoditas mayoritas
(Sulisworo, 2010).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 431
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
inovasi. Tujuan dari sekolah lapang yaitu pembinaan kelompok dan pembentukan kelembagaan
pemasaran secara lebih luas untuk para petani dan juga untuk mengetahui respon petani terhadap
hasil dan perlakuan di demplot. Dalam komoditas cabai pada dasarnya sebagian besar dari anggota
kelompok tani tersebut ingin melakukan dan menerapkan GAP baik secara keseluruhan ataupun
sebagian (Rosliani, 2003) .
Penerapan teknologi yang menggunakan pola SDMC bisa juga mencakup kegiatan agribisnis
secara umum yang mengandung pengertian sebagai keseluruhan operasi yang terkait dengan
aktivitas untuk menghasilkan dan mendistribusikan input produksi, aktivitas untuk produksi,
usahatani, pengolahan dan pemasaran. Menurut Saragih (2003), lingkup sistem agribisnis ada
beberapa subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan,
subsistem pemasaran dan subsistem jasa. Sistem agribisnis merupakan pembangunan yang
mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian dengan pembangunan industri dan jasa terkait.
KESIMPULAN
Percepatan diseminasi teknologi sangat ditentukan oleh pemilihan metode dan media yang
digunakan serta saluran dari penyampaian informasi tersebut kepada pengguna. Hal yang utama
perlu dicermati yaitu kesiapan teknologi sendiri untuk siap didiseminasikan. Banyak teknologi yang
akhirnya tidak diadopsi oleh pengguna karena kurang memenuhi persyaratan untuk dapat diterima
oleh pengguna atau petani, terutama dalam potensinya memberikan keuntungan bagi petani, mudah
diterapkan, mudah diamati hasilnya dan untuk penerapannya tidak bersifat rumit.
Pola SDMC sangat menentukan dalam percepatan penyebaran luasan teknologi inovatif. Pola
tersebut dapat melibatkan berbagai metode dan media, kelembagaan terkait, penyuluh, pemangku
kepentingan di pusat dan daerah serta stakeholder yang terlibat dalam pengembangan sistem
agribisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta
Arintadisastra, Sumitro, dan Rochayat Harun. 2001. Membangun Pertanian Modern. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Sinar Tani.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Spectrum Diseminasi Multi Channel. Kementerian
Pertanian. Jakarta
Basuki. 2003. Penyiapan Kelembagaan Integrasi Vertikal dan Horizontal untuk Meningkatkan
Perdagangan Buah. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Boga, K. 2015. Analisis Kawasan Cabai Pertanaman di Luar Musim dan Pendampingan Teknologi di
Kediri dalam Buku Peran Pendampingan dalam Pengembangan Kawasan Agribisnis
Hortikultura. BBP2TP. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Ditjenhortikultura, 2014. Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura. Ditjen Hortikultura
Djarwaningsih, 2005. Capsicum spp ; asal, persebaran dan nilai ekonomi. Biodeversitas.
Duriat, AS. 2007. Penyakit Penting Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran.
Istianto. 2014. Pengujian Paket Teknologi Budidaya untuk Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas
Produksi Mangga Risalah Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika.
Lippitt, R., Jeanne Watson dan Bruce Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change: a Comparative
Study of Principles and Techniques. Horcourt, Brace & Word. Inc,: New York.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pertanian, Sebelas Maret University Press Surakarta.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 433
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Moekasan, T. 2015. Kelayakan Teknis dan Ekonomi Budidaya Cabai Merah di Dalam Rumah Kasa
untuk Menanggulangi Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan. Jurnal Hortikultura
Vol.25.
Mundy, 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP. Bogor.
Nur, MS. 2009. Agroindustri untuk Otonomi Daerah, Strategi Pengembangan Kemitraan
Agroindustri Terpadu di Era Otonomi Daerah. Jakarta.
Panuju dan Rustiadi, 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Bogor.
Poerwanto, R. 2003. Peran Manajemen Budidaya Dalam Peningkatan Ketersediaan dan Mutu
Buah-buahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Roggers and Shoemakers. 1995. Diffusion of Innovations. A Division of Macmillan Publishing Co.
Inc.
Rosenfeld, 2002. Creating Smart Systems: A Guide Cluster Strategies in Less Favoured Regions,
Carrboro, North Carolina, USA: Regional Technology Stragies.
Rosliani, R. A. Hidayat dan N. Sumarni. 2003. Sistem Tanam Untuk Usahatani Sayuran LEISA di
Dataran Tinggi. Balitsa Lembang. Bandung.
Sumarno. 2004. Agribisnis Buah Nasional Menghadapi Perdagangan Bebas Direktorat Tanaman
Buah. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura.
Sulisworo, D. 2010. Mendukung inovasi dalam bidang iptek guna meningkatkan daya saing bangsa
dalam rangka ketahanan nasional. Lembaga Ketahanan Nasional.
Suprijanto, 2007. Pendidikan Orang Dewasa. Deri Teori Hingga Aplikasi. Penerbit Bumi Aksara.
Jakarta.
Supriyanto, A. 2003. Bedah Plastik Perbuahan Nasional Dalam Mengantisipasi Pasar Global.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Syahyuti, 2006. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam
Penelitian Pertanian. PSE-KP. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Winarno, M. 2002. Kawasan Agribisnis Buah Unggulan Tropika, Direktorat Tanaman Buah.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Van den Ban dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Jakarta.
ABSTRACT
The marketing know an important aspect in the development effort know. agribusinessThe process of the marketing
this can happen because of the role of marketing agency with the price that prevail in institutions marketingIn this
research has a purpose to analyze channel and the margin of the marketing know on the industry “Sumber Rezeki” in
the village tilamuta.A method of over the withdrawal of funds data was undertaken using a qualitative methodology
by means of the survey or observation (direct observation), interviews using of the questionnaire was as well as
documentation. The determination of the smallest number of respondents m e is conducted in deliberately (purposive),
with one person the leaders of various ,4 a person who represents from labor served under the un to the field of larger
traders coordinate the performance of an employee who is be brought into production as well as 4 vendor know w ho
buys and sell their products to consumers .There are two types of marketing outlets know “Sumber Rezeki”, pt pgn
promised to supply: retailers as well as manufacturers sell a product know the information to the traders a retailer and
traders a retailer or a system of selling know directly to the consumer the end of available in market, then retailers as
well as manufacturers sell a product know the information directly to the consumer.The margin of marketing is done
that is know bni offered for its shares to a tract first, s and s thesis Rp.250/cut into strips and the margin of the
marketing of second were not comes into its own by retailers as well as manufacturers sell directly to the consumer.
ABSTRAK
Tata niaga tahu merupakan aspek penting dalam pengembangan agribisnis usaha tahu. Proses tata niaga
ini dapat terjadi karena adanya peran lembaga pemasaran dengan harga yang berlaku di masing-masing
lembaga pemasaran. Dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis saluran dan margin tata
niaga tahu pada industri “Sumber Rezeki” di Kecamatan Tilamuta. Metode pengambilan data
dilakukan dengan metode kualitatif dengan cara Survei atau Observasi (pengamatan langsung),
wawancara dengan menggunakan kuisioner serta dokumentasi. Penentuan responden dilakukan secara
sengaja (Purposive), dengan satu orang pimpinan, 4 orang yang mewakili dari tenaga kerja bertugas dalam
bidang mengkoordinir kinerja karyawan yang berproduksi serta 4 orang pedagang tahu yang membeli
dan memasarkan produknya kepada konsumen.Ada dua bentuk saluran pemasaran tahu “Sumber
Rezeki”, yaitu: produsen menjual produk tahunya ke pedagang pengecer dan pedagang pengecer
menjual tahu langsung ke konsumen akhir yang ada di Pasar, kemudian produsen menjual produk
tahunya langsung ke konsumen.Margin pemasaran tahu yang diperoleh untuk saluran pertama, yaitu Rp.
250/potong dan margin pemasaran kedua tidak ada karena produsen menjual langsung ke konsumen
PENDAHULUAN
Kedelai adalah sumber vitamin nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi
perekonomian Indonesia, kedelai memiliki peran besar karena merupakan sumber bahan baku yang
utama bagi industry tahu. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk serta
meningkatkan kesadaran penduduk tentang pentingnya mengkonsumsi makanan bergizi,
mengakibatkan permintaan terhadap makanan olahan kedelai yaiu tahu semakin meningkat. Namun
tingginya permintaan kedelai tersebut tidak diimbangi dengan sistem tataniaga yang memadai.
Tataniaga (pemasaran) merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat
terjadi karena adanya peran lembaga pemasaran. Peran lembaga pemasaran ini sangat tergantung
dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik barang yang dipasarkan. Oleh karena itu, dikenal
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 435
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
istilah saluran pemasaran. Fungsi saluran pemasaran ini sangat penting, khususnya dalam tingkat
harga di masing-masing lembaga pemasaran (Soekartawi, 2011). Pemasaran merupakan aspek
penting dalam pengembangan agribisnis terutama usaha tahu. Tahu mempunyai kelemahanya itu
kandungan airnya yang tinggi sehingga mudah rusak karena mudah ditumbuhi mikroba. Tahu harus
segera sampai ketangan konsumen agar kualitasnya tetap baik. Proses penyampaian tahu dari
produsen ke konsumen akan semakin lancAer jika didukung oleh sistem pemasaran yang baik.
Bertolak dari hal inilah peneliti tertarik mengadakan penelitian mengenai tata niaga tahu di
Industri “Sumber Rejeki” di Desa Hungayonaa Kecamatan Tilamuta terkhusus pada saluran
pemasaran dan margin pemasaran industri tahu “Sumber Rejeki” di Kecamatan Tilamuta Kabupaten
Boalemo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk saluran pemasaran Industri tahu
“Sumber Rejeki” di Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo dan mengetahui margin pemasaran
industri tahu Industri tahu “Sumber Rejeki” di Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu mulai bulan agustus sampai bulan oktober 2019
dan bertempat “di industri tahu sumber rezeki” di Desa Hungayonaa Kecamatan Tilamuta. Data yang
digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer yang merupakan data yang diperoleh
secara langsung dengan pemilik industri tahu, karyawan dan pedagang sumber rezeki di Desa
Hungayonaa Kecamatan Tilamuta dengan menggunakan kuesioner serta data sekunder yang
merupakan data yang diperoleh melalui media perantara seperti buku-buku,internet,bahan-bahan
pelatihan dan badan pusat statistik provinsi gorontalo.
Penentuan responden dilakukan secara sengaja (Purposive), dengan pertimbangan bahwa
pimpinan usaha, tenaga kerja industri tahu “ Sumber Rezeki” serta pedagang tahu dapat memberikan
informasi mengenai proses pemasaran, sehingga diharapkan dapat di peroleh data yang akurat sesuai
dengan tujuan dalam penelitian ini. Responden yang diambil, yaitu satu orang pimpinan dimana
seorang pimpinan bertugas untuk memanajemen seluruh kegiatan perusahaan selama produksi
berlangsung. Sedangkan 4 orang yang mewakili dari tenaga kerja bertugas dalam bidang
mengkoordinir kinerja karyawan yang berproduksi serta 4 orang pedagang tahu yang membeli dan
memasarkan produknya kepada konsumen.
Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara observasi langsung
dari industri tahu “ Sumber Rezeki ” dengan teknik wawancara langsung dengan responden, yaitu
pemilikatau pimpinan industri, karyawan serta pedagang tahu dengan menggunakan daftar
pertanyaan (Questionaire).Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Saluran Pemasaran. Analisis yang menggambarkan beberapa bentuk saluran yang terdapat pada
pemasaran tahu “Sumber Rezeki” di Desa Hungayonaa Kecamatan Tilamuta.
Margin Pemasaran. Menurut Kotler (2009), untuk mengetahui margin pemasaran Tahu “Sumber
Rezeki” dilakukan dengan menanyakan berapa harga Tahu yang diterima oleh Industri dalam
memasarkannya. digunakan model: M = Hp – Hb. Dalam hal ini M = Margin Pemasaran (Rp); Hp =
Harga Penjualan (Rp) ; Hb = Harga Pembelian (Rp)
2.
Produsen Konsumen
Keterangan:
Saluran 1 : Industri menjual produk tahu ke pedagang pengecer kemudian ke konsumen.
Saluran 2 : Industri menjual langsung tahu di tempat produksi sehingga konsumen yang ada di sekitar industri dapat membeli
langsung ketempat produsen.
Pada saluran 1 industri menjual tahunya kepada pedagang pengecer dengan harga Rp. 1.000/4
potong. Selanjutnya, pedagang pengecer menjual ke konsumen di pasar dengan harga Rp. 1.000/3
potong. Pada saluran 2 industri menjual produk tahunya langsung ke konsumen di tempat produksi
itu sendiri dengan harga Rp. 1.000/4 potong.
Semakin panjang saluran pemasaran akan mengakibatkan semakin mahalnya produk yang
diterima konsumen, karena semakin besarnya biaya yang dikeluarkan. Saluran pemasaran tersebut
produk yang dipasarkan harus sampai ke konsumen dengan efektif dan efisien. Volume penjualan
dan harga pada saluran 1 terlihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1.Volume Penjualan Responden Pada Industri Tahu “Sumber Rezeki”
dan Pedagang Pengecer,2019
Tabel 1tersebut menunjukkan bahwa pada saluran 1 volume penjualan dari pedagang pengecer ke
konsumen sebesar 11 loyang tahu, dan pembelian tahu eceran dari produsen Rp. 1.500 harga jual tahu
dari pedagang pengecer ke konsumen sebesar Rp.2000/3 iris tahu. Aliran barang dari produsen ke
konsumen pada saluran 2 relatif lebih pendek. Hal ini dikarenakan industri langsung menjual produk
tahu di tempat produksi karena harganya yang lebih murah dibandingkan ke pedagang pengecer.
Volume penjualan dan harga yang berlaku pada saluran 2 terlihat pada Tabel 2 berikut.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 437
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Volume Penjualan Responden Pada Industri Tahu “Sumber Rezeki”
dan Pedagang Pengecer,2019
Margin Pemasaran
Margin pemasaran adalah selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang
dibayarkan oleh konsumen akhir atau selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian.
Perhitungan margin pemasaran digunakan untuk mengetahui aliran biaya pada setiap lembaga yang
terlibat dalam proses pemasaran.
Margin pemasaran menentukan harga tahu ditingkat konsumen. Margin pemasaran juga
diharapkan dapat memberikan keuntungan yang proporsional bagi produsen dan lembaga
pemasaran tahu sesuai dengan biaya, resiko, pengorbanan dan pelayanan yang ditanggungnya. Data
margin pemasaran tahu pada saluran 1 terlihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Margin Pemasaran Responden Pada Industri Tahu “Sumber Rezeki”
dan Pedagang Pengecer,2019
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada saluran volume penjualan dari produsen langsung ke
konsumen sebesar Rp.1.000/4 iris. Karena harga dari tempat produksi lebih murah dibandingkan
dengan pedagang pengecer sehingga produsen lebih sering membeli tahu di tempat produksi karena
harganya yang terjangkau. Pada saluran 1, harga penjualan produsen ke pedagang pengecer dengan
harga eceran Rp. 250/potong dan harga pembelian pedagang pengecer Rp. 250/potong, penjualan
pedagang pengecer ke konsumen Rp. 350/potong, sehingga margin pemasaran yang diterima
ditingkat pedagang pengecer sebesar Rp. 100/potong.
Menyajikan data hasil pengkajian/ penelitian dalam bentuk tabular, interpretasi data dan
pembahasan. Dikemukakan secara sistematik didasarkan pada tujuan pengkajian/penelitian dan
metode yang digunakan. Hasil dikemukakan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan pengertian
data atau hasil analisis yang diperoleh. Hasil-hasil penelitian bisa ditampilkan dalam bentuk
gambar, grafik, atau tabel yang sebisa mungkin pembahasannya berada di dekatnya. Informasi yang
sudah dapat dilihat di dalam tabel atau gambar yang disajikan tidak perlu dinarasikan terlalu detail.
Pembahasan berisi penjelasan atas hasil yang diamati, dan kebaruan hasil yang telah diperoleh,
didiskusikan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Hasil dan
pembahasan harus menghindari perbandingan yang tidak relevan, dan spekulasi atau asumsi yang
tidak didukung oleh data yang diperoleh.
KESIMPULAN
Ada dua bentuk saluran pemasaran tahu “Sumber Rezeki”, yaitu: produsen menjual produk
tahunya ke pedagang pengecer dan pedagang pengecer menjual tahu langsung ke konsumen akhir
UCAPAN TERIMAKASIH
Diucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Universitas Ichsan Gorontalo yang
telah memfasilitasi terselenggaranya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah dan Saefudin. 2011. Tata Niaga Hasil Perikanan.Edisi Revisi Universitas IndonesiaPress.
Jakarta
Kotler. 2009. Manajemen Pemasaran : Analisis Pemasaran, Implementasi danPengendalian.Edisi
RevisiSalemba Empat. Jakarta.
Kartasapoetra. 2011. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Rineka Cipta. Jakarta.
Rukmana dan Yuyun. 2009. Kedelai Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius.Yogyakarta.
Ridwan, M, 2008.Biaya-Biaya Produksi. Edisi Revisi, Penebar Swadaya. Jakarta
Swastha. 2010. Saluran Pemasaran.Edisi RevisiBPFE. Yogyakarta.
Somaatmaja. 2010. Kedelai.Edisi Revisi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor.
Suharno dan Mulyana. 2009. Industri Tahu dan Tempe dalam Ekonomi KedelaiIndonesia Diedit oleh
Amang, Sawit dan Rahman. IPB Press. Bogor.
Sudiyono. 2010. Pemasaran Pertanian. Edisi RevisiUMM Press. Malang
Soekartawi.2011. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian. Edisi Revisi. Teori dan
Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 439
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
440 | Teknologi Pertanian
TINGKAT PENDAPATAN PETANI TEBU PADA PERTANIAN
LAHAN KERING IKLIM KERING
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi iklim dalam pengembangan tebu pada lahan
kering,tingkat pendapatan petani, kerjasama produksiserta pemasaran hasil.Penelitian dilaksanakan di
Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, NTB pada tahun 2017.Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja
dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Pekat merupakan kawasan pengembangan tebu.Pendekatan
penelitian menggunakan metode survey.Teknik pengambilan sampel responden dilakukan dengan
carapurposive sampling.Jenis data yang dikumpulkanmeliputi data sekunder dan data primer.Teknik
pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan
terstruktur (kuesioner) dan pencatatan.Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara ekonomi
(kelayakan usahatani),dan data sosial dianalisis secara deskriptif kualitatif.Hasil penelitian menunjukkan
bahwa (1) pengembangan tebu di Kecamatan Pekat sesuai dengan kondisi agroekosistem lahan kering
beriklim kering, (2) secara ekonomi usahatani tebu pada pertanian lahan kering meningkatkan
pendapatan petani, (3) kerjasama produksi dan pemasaran hasil tebu antara pabrik gula dengan petani
meningkatkan hubungan sosial dan komunikasi dalam memperkuat ketahanan dan keberlanjutan
kerjasama.
Kata Kunci : tebu, lahan kering, pendapatan, kerjasama
ABSTRACT
This study aims to determine the climate conditions in the development of sugarcane on dry land, farmer’s income
levels, production cooperation and yield marketing. The study implemented in Pekat District, Dompu Regency, NTB
in 2017. The research location was determined purposely with reason that Pekat District is a sugar cane development
area. The approach of this research uses survey methods. Sampling technique of respondents was done by purposive
sampling. The type of data collected includes secondary data and primary data. Primary data collection techniques
through in-depth interviews using a questionnaire and recording. Data that has been collected analyzed economically
(farm feasibility), and social data analyzed qualitativedescriptive. The results showed that (1) sugarcane development
in Pekat District are suitable to agroecosystem conditions of dry climate agroecosystems, (2) economically sugarcane
farming in dryland agriculture increased farmers' income, (3) production cooperation and yield marketing of
sugarcane between sugar factory and farmers can improve social relations and communication in strengthening the
resilience and cooperation sustainability.
PENDAHULUAN
Sistem pertanian di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe yaitu
pertanian lahan basah/sawah dan pertanian lahan kering. Namun seiring berjalannya waktu,
ketersediaan lahan sawah yang semakin menurun karena meningkatnya alih fungsi lahan mendorong
sistem produksi pertanian merambah ke lahan-lahan suboptimal termasuk lahan kering. Sebagian
besar lahan suboptimal yang ada di Indonesia merupakanlahan kering (Mulyani dan Sarwani 2013).
Sebaran lahan kering di Indonesia terdiri dari lahan pekarangan, tegalan, padang rumput, lahan
sementara yang tidak diusahakan, dan perkebunan dengan sebaran lahan kering terluas terdapat di
wilayah Nusa Tenggara yakni NTT ± 3.216.173 ha dan di NTB ± 634.876 ha (Rengganis, 2017). Kondisi
ini menggambarkan bahwa lahan kering menjadi sumber mata pencaharian penting bagi penduduk
di wilayah ini. Ditambahkan Irawan dkk dalam Nurdin (2011) bahwa lahan kering dapat memberi
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 441
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
kontribusi nyata dalam ketahanan pangan, penyangga ekonomi, serta nilai sosial dan budaya dalam
fungsinya sebagai penghasil produk pertanian.
Dalam pengelolaannya, perlu dipertimbangkan jenis tanaman apa yang sesuai dengan
karakteristik lahan pada lahan kering sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman, baik untuk
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan yang mempunyai daya hasil
tinggi baik dari segi kualitas maupun nilai ekonominya (Minardi, 2009).
Salah satu komoditi yang cocok ditanam pada lahan kering adalah Tebu (Saccharum Officianarum).
Tanaman ini merupakan jenis tanaman perkebunan yang tumbuh di daerah beriklim tropis seperti di
Indonesia. Tebu dikenal sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula sehingga berperan dalam
industri makanan dan minuman. Tebu memegang peranan penting terhadap perekonomian nasional
antara lain untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor penghasil devisa
negara. Perluasan tanaman tebu di luar Pulau jawa juga sedang dikembangkan sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Jayanto dalam Hakim, 2010). Pengelolaan lahan kering untuk
tanaman tebu masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan tertutama ketersediaan teknologi
dan sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan.
Salah satu permasalahan yang umum ditemui dalam pengelolaan lahan kering yakni teknologi
produksi yang diterapkan relatif masih sederhana, seperti penggunaan bibit dan varietas yang banyak
berasal dari sumber lokal yang kualitasnya tidak terjamin, dengan cara penanaman dan pemeliharaan
yang belum mengikuti anjuran. Penerapan teknologi yang kurang tepat serta adopsi teknologi yang
lambat akibat berbagai kendala menyebabkan pertumbuhan produksi komoditas yang dikembangkan
di lahan kering relatif lambat dan berfluktuasi (Matheus, 2017). Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui kondisi iklim dalam pengembangan tebu pada lahan kering, tingkat pendapatan petani,
kerjasama produksi serta pemasaran hasil.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara
Barat.Kegiatan dilakukan pada tahun 2017.Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan
pertimbangan bahwa Kecamatan Pekat merupakan kawasan pengembangan tebu.Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan carapurposive sampling atau pengambilan responden
berdasarkan pertimbangan peneliti yaitu dipilih petani yang membudidayakan tebu pada lahan
kering dan memiliki sistem kerjasama dengan perusahaan pabrik gula.Pendekatan penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode survey.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data
sekunder yang digunakan adalah data sekunder berupa data curah hujan, produksi, luas panen, serta
studi pustaka pada berbagai literatur. Data data primer yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data yang langsung di ambil dari responden penelitian yang meliputi data biaya
usahatani, harga faktor produksi, dan jumlah produksi tebu petani responden, data input, serta sistem
dan bentuk-bentuk kerjasama produksi dan pemasaran tebu. Teknik pengumpulan data primer
dilakukan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur
(kuesioner) dan pencatatan. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara ekonomi (kelayakan
usahatani), dan data sosial dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Analisis Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan Usahatani Tebu
Untuk mengetahui biaya total yang dikeluarkan dalam usahatani tebu di Kabupaten Dompu,
dapat dihitung menggunakan rumus: TC = TFC + TVC. Dalam hal ini” TC =:Biaya Total (Rp); TFC:=Total
Biaya Tetap (Rp); TVC=Total Biaya Variabel (Rp)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 443
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Semakin terbatasnya lahan sawah dewasa ini, justru masa depan sektor pertanian menjadi sangat
tergantung pada pemanfaatan lahan kering (Irawan dan Pranadji, 2002). Pemilihan komoditas seperti
tanaman tebu yang dikembangkan pada lahan kering harus disesuaikan dengan kondisi pola curah
hujan. Selain itu, sudah banyak varietas tebu hasil penelitian yang telah disesuaikan dengan
karakteristik lahan kering.
Optimalisasi pengelolaan lahan kering untuk pengembangan tanaman pertanian perlu dilakukan
agar dapat memberikan peningkatan produksi sekaligus meningkatkan pendapatan petani dan
daerah (Minardi, 2009). Pengelolaan lahan kering untuk budidaya tanaman tebu sangatlah berbeda
dengan budidaya pada lahan sawah. Permasalahan dalam pengelolaan yang timbul pada lahan
kering umumnya sangat ditentukan dalam memilih tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.
Penyesuaian jenis tanaman dengan karakteristik lahan dan curah hujan akan mampu meningkatkan
hasil tanaman, baik untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan yang
mempunyai daya hasil tinggi baik dari segi kualitas maupun nilai ekonominya (Minardi, 2009). Lahan
kering yang ditanami tebu di kecamatan Pekat, kabupaten Dompu lebih dominan berstekstur pasir,
sehingga daya simpan air relatif rendah. Untuk meningkatkan daya simpan air pada lahan
berstekstur pasir menggunakan pupuk kandang atau bahan organik lainnya. Menurut Hakim (2010),
kesesuaian lahan untuk pertanaman tebu merupakan kombinasi suhu, curah hujan, udara, tekstur
tanah, kesuburan tanah, konservasi tanah, dan lain-lain.
Model rekayasa pengelolaan usahatani tebu lahan kering melalui penggunaan bahan organik
seperti yang yang dilakukan di kecamatan Pekat merupakan salah satu bentuk teknologi spesifik
lokasi. Penggunaan bahan organik dalam upaya peningkatan produktivitas lahan kering diharapkan
dapat menjadi model pengembangan lahan kering berkelanjutan yang berwawasan agribisnis.
Lasmini et al. (2017), menjelaskan bahwa pendekatan model sistem usahatani lahan kering
berkelanjutan dapat memberikan peluang untuk meningkatkan dan memantapkan pendapatan petani
melalui pemanfaatan sumberdaya lahan lebih efisien dan efektif dengan memperhatikan kelestarian
sumberdaya lahan secara berkesinambungan.
Matheus et al. (2017) menjelaskan bahwa manipulasi terhadap kondisi biofisik lahan untuk
meningkatkan kualitas atau ketangguhan agroekosistem yang dipadukan dengan paket teknologi
budidaya, serta perbaikan infrastruktur ekonomi menjadi strategi penting dalam pengelolaan
pertanian lahan kering. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat petani yang mengelola lahan kering
kecuali melakukan perubahan-perubahan pengelolaan lahan kering dengan memanfaatkan berbagai
inovasi teknologi yang tersedia. Pengelolaan lahan kering dengan memperhatikan aspek konservasi
akan membuat lahan kering menjadi tumpuan harapan hidup sebagaian besar masyarakat petani
serta merupakan wilayah penyangga (green belt) untuk mempertahankan kualitas lingkungan
(Matheus et al., 2017). Pengembangan tanaman tebu pada lahan kering sangat perlu aspek konservasi,
teknologi budidaya lahan kering yang dikembangkan harus cocok untuk kondisi agroekosistem suatu
wilayah, serta secara teknis dan sosial dapat diterapkan oleh masyarakat setempat dan berimplikasi
ekonomi. Pengembangan tebu pada kawasan lahan kering di kabupaten Dompu, propinsi Nusa
Tenggara Barat, selain meningkatkan pendapatan petani lahan kering, juga berkembangnya
perekonomian pedesaan serta meningkatkan pendapatan daerah.
Gambaran kondisi sosial ekonomi di wilayah NTB tercermin rata-rata pendapatan rumah tangga
masyarakat. Seperti gambaran umum terjadi di Kabupaten Dompu-Sumbawa, masyarakat yang
sebagian besar sumber pendapatan keluarganya dari lahan kering memiliki pendapatan rumah
tangga yang rendah (ukuran kualitatif). Hal ini disebabkan karena lahan kering tersebut belum
dikelola secara intensif (Rengganis, 2016). Pengelolaan lahan kering dengan mengambangkan tebu
yang didukung oleh tersedianya pabrik gula (PG) akan mampu meningkatkan perekonomian
masyarakat lahan kering. Kabupaten Dompu di NTB merupakan salah satu lokasi yang seuai untuk
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 445
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Analisis Usahatani Tebu
Produktivitas tebu petani hasil panen tahun 2016 bervariasi berdasarkan kualitas dan kuantitas
penerapan teknologi budidaya tebu. Tingkat produktivitas tebu dikelompokkan menjadi tiga strata
penerapan teknologi, yaitu 1) petani yang tidak menerapkan teknologi dengan baik hanya
memperoleh produksi rata-rata antara 30 - 40 ton per hektar; 2) petani yang menerapkan teknologi
sedang dapat memperoleh produksi rata-rata antara 50 - 80 ton per hektar; dan 3) petani yang
menerapkan teknologi dengan baik dapat memperoleh produksi rata-rata antara 85 ton - 110 ton per
hektar.
Benih yang ditanam oleh petani Tebu di Kabupaten Dompu berasal dari hibah Program Bantuan
Sosial yang diberikan oleh perusahaan mitra yang bekerjasama dengan petani sehingga petani tidak
membeli benih, namun hanya dibebankan biaya angkut senilai Rp. 500.000,- untuk jumlah 400 ikat
batang tebu per hektar. Dalam 1 ikat terdiri dari 10 batang tebu dengan panjang mencapai 3 m yang
kemudian dipotong-potong menjadi bagal untuk kemudian ditanam menjadi bibit tebu.
Dalam satu kali musim tanam, Rata-rata total biaya yang dikeluarkan petani selama proses
produksi usahatani tebu mencapai Rp 24.155.000 per hektar. Komponen pembiayaan dalam
pengelolaan usahatani tebu antara lain terdiri dari biaya input dan tenaga kerja.Dalam usahatani tebu
ini, biaya sewa lahan tidak dimasukkan karena merupakan lahan milik petani. Komponen biaya
terbesar berada pada biaya tenaga kerja mulai dari pembersihan lahan (land clearing) mencapai Rp
1.500.000 - Rp 2.000.000 per hektar, biaya pengolahan tanah Rp 1.500.000 per hektar dan biaya
pembuatan juring (lubang tanam dengan jarak tanam tebu) sebesar Rp 850.000 per hektar, biaya
pemupukan, pembuatan guludan, klentek, hinga biaya tebang angkut. Biaya tenaga kerja tertinggi
dalam usahatani tebu terletak pada biaya panen dan biaya angkut yang masing-masing mencapai Rp.
8.245.000 dan Rp. 9.215.000 per hektar atau berkontribusi sebesar 33,24% dan 37,15% dari total biaya.
Tabel 1. Analisis Kelayakan Ekonomi Usahatani Tebu (1 ha)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 447
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pada awal sosialisasi PT SMS untuk membangun kemitraaan dengan petani tebu plasma bahwa
biaya-biaya untuk pembersihan lahan, pengolahan tanah, biaya pembuatan juring pengankutan bibit
tebu disepakati untuk sementara diatanggulangi oleh PT SMS dan baru akan dibayarkan setelah hasil
tebu di beli oleh pabrik gula. Demikain pula biaya-biaya lain yang ditanggulangi sementara oleh PT
SMS seperti biaya tebang muat, dan biaya pengangkutan hasil tebu dari lahan ke pabrik berdasarkan
zona jarak.
Menjelang pelaksanaan panen PT SMS membenahi administrasi petani tebu yang akan panen tebu
dengan membuat kartu ID untuk masing-masing petani. Tujuannya adalah bahwa hasil tebu akan
dibayarkan langsung melalui rekening Bank BRI yang ditunjuk oleh perusahaan. Namun, banyak
permasalahan yang dihadapi oleh petani, karena pada saat petani mendaftarkan namanya
menggunakan nama alias sehingga tidak sesuai dengan nama asli yang tertera pada kartu tanda
penduduk (KTP). Harga beli hasil tebu untuk tahap awal PT SMS menerapkan sistem pembelian
tonase dengan harga Rp 380.000/ton. Jumlah yang dibayarkan oleh perusahaan setelah dikurangi
dengan biaya-biaya yang ditanggulangi oleh perusahaan PT SMS. Untuk biaya pupuk dan benih tidak
dibebankan kepada petani plasma karena merupakan bantuan hibah melalui program Bansos.
Bebagai jenis biaya dari awal sampai pengangkutan telah dissosialisasikan dengan petani dan
kelompok tani serta koperasi yang dibentuk oleh Dirjen perkebunan untuk membantu petani mulai
dari persiapan sampai panen tebu. Koperasi yang dibangun oleh Dirjen Perkebunan memperoleh
bantuan biaya operasional, hibah alat dan mesin pertanian untuk pengolahan tanah dan pembuatan
juring tanam.
Biaya-biaya tersebut seperti yang digambarkan pada Tabel 2 merupakan hasil kesepakatan
kerjasama antara petani plasma dengan PT SMS yang baru akan dibayarkan setelah penjualan hasil
tebu kepada pabrik gula. Mulai dari persiapan lahan sampai panen tebu PT SMS melakukan
kerjasama dengan koperasi yang telah dibentuk oleh Dirjen perkebunan.
Tabel 2.Target dan luas tanam riil pengembangan tebu di kecamatan Pekat,
Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat
Target Luas
Musim Tanam luas tanam tanam Riil Keterangan
(ha) (ha)
2011/2012 300 300 Tujuan perbenihan tidak semua berhasil
2012/2013 1053 670 Sebagian besar petani belum siap menanam tebu
2013/214 767 567 Sebagian besar petani belum siap menanam tebu
2014/2015 3087 700 Sebagian besar petani belum siap menanam tebu.
2015/2016 1300 1300 Target luas tanam terpenuhi karena kerjasama antara
plasma dengan PT SMS sudah pasti
2015/2016 (inti PT SMS 1600 1600 Memenuhi target
2016/2017 156 156 Memenuhi target
2017 (ratoon petani 2500 2500 Memenuhi target karena petani telah memelihara
plasma) dengan baik
2017/2018 (tanam baru 400 400 Memenuhi target
inti PT SMS)
2017 (ratoon inti PT 154 154 Memenuhi target
SMS)
Sumber: Data primer diolah
Koperasi yang dibentuk tersebut anggotanya kelompok tani tebu, dan masing-masing anggota
kelompok tani tebu secara otomatis adalah anggota koperasi. Koperasi yang dibentuk oleh Dirjen
perkebunan dan Dinas Perkebunan propinsi NTB yaitu: (1) Koperasi Mitra Tambora; (2) Koperasi
Mitra; (3) Koperasi Karya Bersama. Koperasi Tambora Abadi merupakan koperasi yang dibentuk atas
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 449
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 4. Hasil Panen Tebu Petani Plasma Dan Inti Tahun 2016 Dan 2017
Di Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu
Peningkatan luas panen pada tahun 2017 karena telah banyak petani yang menanam tebu pada
tahun 2016 dan merawat ratoon hasil panen maupun gagal panen pada tahun 2016 dan 2017. Luas
tanam baru petani plasma pada tahun 2016 1.300 ha dan tebu ratoon plasma seluas 2.500 ha. Luas
tebu ratoon kebun inti yang di panen tahun 2017 seluas 1.600 ha.
Manfaat ekonomi yang dirasakan manfaatnya oleh petani plasma dengan pembelian hasil tebu
dengan sistem tonase oleh pabrik gula akan mendorong peningkatan luas tanam dan luas panen.
Peningkatan luas tanam dan luas panen tebu oleh petani plasma harus diimbangi dengan perbaikan
sistem kerjasama yang lebih baik. Pihak mitra (PT SMS dan pabrik gula) perlu melakukan perubahan-
perubahan dalam pelayanan dan sistem kerjasama yang lebih baik agar petani memproduksi tebu
secara berkelanjutan. Ketika pihak mitra merubah sistem pembelian hasil tebu dari sistem tonase
menjadi pembelian tebu dengan sistem brix dan rendemen maka harus dilakukan sosialisasi yang
intinsif kepada petani plasma atau petani mitra agar paham cara pembelian dengan sistem brix dan
rendemen serta kesepakatan harga gula petani. Mulai tahun 2019 ini terjadi perubahan mekanisme
pembelian tebu petani. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian telah membuat
gebrakan baru dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019, tanggal 19 Juli 2019
tentang Sistem Pembelian Tebu (SPT). Surat Edaran tersebut untuk menggantikan mekanisme
pemebelian tebu sebelumnya yaitu sistem bagi hasil (SBH). Pemerintah menetapkan mekanisme beli
tebu putus dengan sistem tonase berdasarkan harga pembelian tebu perkebunan (HPP) ditetapkan
sebesar Rp. 510.000/ton pada tingkat rendemen 7 %. Jika rendemen tebu lebih tinggi atau kurang dari
7 %, maka harga tebu disesuaikan secara proporsional. Perhitungan sistem pembelian tebu (SPT)
dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Rendemen tebu petani (%)
SPT = x 510/kg
Rendemen tebu 7% HPP
Pembayaran yang dilakukan PG sesuai dengan kualitas tebu paling lambat 7 hari setelah tebu
diterima PG. Berdasarkan aturan baru ini maka hubungan kerjasama antara petani dengan PG
menjadi hubungan kerjasama transaksional.
KESIMPULAN
Pengembangan tebu di Kecamatan Pekat sesuai dengan kondisi agroekosistem lahan kering
beriklim kering. Secara ekonomi usahatani tebu pada pertanian lahan kering meningkatkan
pendapatan petani. Pengelolaan usahatani tebu oleh petani yang di tanam pertama meskipun
memberikan keuntungan namun belum efesien untuk diusahakan petani. Sistem usahatani tebu
dengan biaya saprodi dan tenaga kerja yang ditanggulangi oleh Perusahaan dan dibayar setelah
panen.
Sistem kerjasama produksi dan pemasaran tebu antara petani plasma, koperasi dan perusahan lain
dengan pihak perusahan kebun inti dan pabrik gula melalui sistem dan bentuk-bentuk kerjasama
yang disepakati mendorong peningkatan produksi tebu. Sistem kerjsama dalam produksi dan
DAFTAR PUSTAKA
Budi.S., 2010. Uji Produktivitas PKP 115 pada Tanaman Tebu Varietas BL pada Lahan Kering
Sumbersuko Lumajang. Jurnal Agrofish Vol. 7, No. 1 Agustus 2010. 11 – 18p
Bulu. Y. G., Sylvia Kusumaputri, Sudarto, dan Ika Novita Sari. 2017. Peningkatan Indeks Panen pada
Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Inovasi Pertanian
Spesifik Lokasi Mendukung Kedaulatan Pangan Berkelanjutan. 255 – 264p
Hakim, Memet. 2010. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Tanaman Tebu di Indonesia. Jurnal
Agrikultura. Vol 21 No 1: Hal 5-12.
Haryati, Umi. 2018. Konservasi Tanah dan Air Sebagai Komponen Utama Sistem Pertanian
Berkelanjutan. Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan: Agenda Inovasi Teknologi dan Kebijakan.
Jakarta (ID): IAARD Press. Hal 35-68.
Hasan, Fuad. 2017. Impor Gula Indonesia Dan Faktor-Faktor Penentunya. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Irawan, Bambang dan Tri Pranadji. 2002. Pemberdayaan Lahan Kering untuk Pengembangan
Agribisnis Berkelanjutan. Bogor: Forum Penelitian Agro Ekonomi.
Lasmini, Sri Anjar. Imam Wahyudi, dan Nurhayati. 2017. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering
Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Berbasis Inovasi Teknologi dan Kearifan
Lokal. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/jppm/article/download/11271/8693.Diakses
pada 12 September 2019.
Matheus, Rupa dkk.2017. Strategi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Dalam Meningkatkan
Ketahanan Pangan Di Nusa Tenggara Timur. Partner: Buletin Pertanian Terapan. Kupang: Unit
Penelitian dan pengabdian pada Masyarakat (P2M) Politeknik Pertanian Negeri.
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman
Pangan.Disampaikan Dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 26
Pebruari 2009. https://core.ac.uk/download/pdf/12345853.pdf.
Mulyani, Anny dan Muhrizal Sarwani. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal untuk
Pengembangan Pertanian Di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1.
Mulyani, Anny. Dedi Nursyamsi. dan Irsal Las. 2014. Percepatan Pengembangan Pertanian Lahan
Kering Iklim Kering Di Nusa Tenggara. Pengembangan Inovasi Pertanian Vol. 7 No. 4
Desember 2014: 187-198.
https://media.neliti.com/media/publications/30894-ID-percepatan-pengembangan-pertanian-la
han-kering-iklim-kering-di-nusa-tenggara.pdf. Diakses 22 September 2019.
Nurdin, 2011. Penggunaan Lahan Kering Di Das Limboto Provinsi Gorontalo Untuk Pertanian
Berkelanjutan. Jurnal Peneliian dan Pengembangan Vol 30 No. 3, Hal 98-107.
Rengganis, Heni. 2016. Potensi dan Upaya Pemanfaatan Air Tanah untuk Irigasi Lahan Kering di Nusa
Tenggara. Jurnal Irigasi – Vol. 11, No. 2, Oktober 2016, Hal. 67-80.
http://jurnalirigasi_pusair.pu.go.id/index.php/jurnal_irigasi/article/download/139/204.
Soekartawi, 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta:UI Press.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 451
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kementerian Pertanian. 2019. Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019, tanggal 19 Juli 2019 tentang Sistem
Pembelian Tebu (SPT).
Yardi, Harwan Sagita. 2016. Analisis Pendapatan Rumahtangga Petani Lahan Kering di Kecamatan
Sambelia Kabupaten Lombok Timur. Http://Eprints.Unram.Ac.Id/8565/1/
Jurnal%20harwan%20sagita%20yardi.Pdf. Diakses Pada 19 September 2019.
ABSTRACT
The research aims to know the role of farmer institutions in the development of bioindustrial agriculture, the type of
technological innovation used and the socioeconomic impact on the application of technological innovation. The study
was conducted in Labangka district, Sumbawa regency, West Nusa Tenggara from January to December 2017. This
study using survey approach to members of farmer groups in the area of bioindustrial agricultural development. Data
were collected through in-depth interview techniques using questionnaires, direct observation, and focus group
discussions. The data that has been collected is then analyzed using descriptive analysis method. The results showed
that: 1). The role of farmer institutions in institutional management activities for the development of bioindustrial
farming system technology in dryland arts is classified as moderate. 2). The types of technological innovations
introduced for the use of land and water resources to increase production and income have been implemented by
farmers. 3). The socioeconomic impact on the application of bioindustrial agricultural technology on dry land
increases income and additional revenue from additional use of technology.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetaui peranan kelembagaan tani dalam pengembangan pertanian
bioindustri, jenis inovasi teknologi yang digunakan dan dampak sosial ekonomi terhadap penerapan
inovasi teknologi. Penelitian dilaksanakan di kecamatan Labangka kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat dari bulan Januari hingga Desember 2017. Penelitian ini menggunakan pendekatan survei kepada
anggota kelompok tani dalam kawasan pengembangan pertanian bioindustri. Data dikumpulkan melalui
teknik wawancara mendalam menggunakan kuesioner, pengamatan langsung, dan diskusi kelompok
terfokus. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Peranan kelembagaan tani dalam berbagai kegiatan manajamen
kelembagaan untuk pengembangan teknologi sistem pertanian bioindustri pada pertenian lahan kering
beriklim kering masih tergolong sedang. 2). Jenis-jenis inovasi teknologi yang diintroduksikan untuk
pemanfaatan sumberdaya lahan dan air untuk meningkatkan produksi dan pendapatan telah diterapkan
petani. 3). Dampak sosial ekonomi terhadap penerapan teknologi pertanian bioindustri pada lahan kering
meningkatkan pendapatan dan tambahan penerimaan dari tambahan penggunaan teknologi.
PENDAHULUAN
Sebagian besar petani di Indonesia yang menguasai lahan pertanian yang relatif sempit sebagai
akibat dari pertambahan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Petani yang mengusasi
lahan pertanian relatif sempit dikategorikan sebagai petani marginal. Petani yang mengelola
pertanian lahan kering selalu diidentikkan sebagai golongan petani berpendapatan rendah serta
memiliki pengetahuan inovasi yang relatif sangat terbatas. Sistem usahatani terpadu multi komoditas
dalam sistem pertanian bioindustri memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan
sistem pertanaman tunggal (mono-cropping) (Rohaeni, 2015). Sistem pertanian bioindustri adalah
sistem pertanian yang mengelola dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya hayati termasuk
biomasa dan limbah pertanian bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem dengan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 453
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Hendriadi 2014). Peranan kelembagaan petani dalam
pengembangan pertanian bioindustri pertanian lahan kering menjadi sangat penting dalam
peningkatan produktivitas lahan, pemanfaatan inovasi teknologi, dan peningkatan kapasitas anggota
kelompok tani.
Kelembagaan petani adalah lembaga petani yang berada pada kawasan lokalitas yang berupa
organisasi keanggotaan atau kerjasama yang teriri dari petani-petani yang tergabung dalam
kelompok kerjasama termasuk aturan berperilaku yang menentukan pola tindakan dan hubungan
sosial (Uphoff, 1986). Hermanto dan Swastika (2011), menegaskan bahwa kelompok tani sebagai
bagian integral pembangunan pertanian memiliki peran dan fungsi penting dalam menggerakkan
pembangunan pertanian di perdesaan. Kelompok tani sebagai organisasi pelaksana pembangunan
pertanian dan merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan
pertanian memiliki peran ganda. Peran ganda kelompok tani dalam pengelolaan usahatani dan
peningkatan pendapatan meiputi; penyediaan input, pengelolaan alat dan mesin pertanian,
penyediaan dan penumbuhan permodalan, kerjasama dalam kegiatan usahatani, penyediaan
informasi inovasi teknologi, pengolahan hasil pertanian, penolahan limbah tanaman dan ternak
menjadi pupuk organik, dan penyediaan informasi pemasaran dan pemasaran kolektif.
Pengertian bioindustri secara umum adalah aplikasi bioteknologi dalam bidang industri.
Bioteknologi adalah prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan kerekayasaan untuk penanganan dan
pengolahan bahan/produk dengan bantuan agen biologis yang menghasilkan barang dan jasa.
Dengan demikian bioindustri adalah salah satu bagian dari bioteknologi, yaitu penerapan
mikroorganisme dan enzim dalam skala besar (industri) yang memperhitungkan aspek ekonomis
dalam suatu proses produksi (Mangunwijaya dan Suryani, 1994).
Program Balitbangtan pada periode 2015 - 2019 diarahkan untuk menciptakan teknologi dan
inovasi pertanian bio-industri berkelanjutan. Balitbangtan menetapkan kebijakan sumberdaya litbang
menurut fokus komoditas yang dibagi dalam delapan kelompok produk yang ditetapkan oleh
kementrian pertanian, salah satunya kelompok bahan makanan pokok Nasional: padi, jagung,
kedelai, gula, daging unggas, daging sapi dan kerbau (Renstra Kementan periode 2015 – 2019).
Sistem pertanian bioindustri berkelanjutan di lahan kering beriklim kering, bahwa penggunaan
input rendah atau yang sudah tersedia disekitar petani seperti pemanfaatan limbah tanaman sebagai
bahan organik bagi tanaman pangan (jagung, kacang hiau dan kedelai). Limbah pertanian berupa
jerami tanaman dapat digunakan sebagai pakan ternak. Penggunaan pupuk kandang dan kompos
untuk meningkatkan produksi usahatani merupakan bagian dari bioindustri pertanian. Pengolahan
limbah tanaman dan ternak menjadi produk pupuk organik memerlukan dukukungan dan
peningkatan kapasitas kelembgaan tani. Oleh karena itu, pemberdayaan kelembagaan tani dalam
penerapan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan.
Pengembangan inovasi teknologi pertanian bioindustri merupakan inti dari kegiatan sistem
pertanian bioindustri (Badan Litbang Pertanian, 2015). Secara luas pertanian bioindustri dapat
diartikan sebagai usaha pengolahan sumdaya alam hayati dengan bantuan teknologi bioindustri
untuk menghasilkan berbagai macam hasil pertanian yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi
(Badan Litbang Pertanian, 2015). Menurut Prastowo (2013) dalam Badan Litbang Pertanian (2015)
mendifeniskan pertanian bioindustri adalah sistem pertanian yang pada prinsipnya mengelola dan
atau memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomassa dan atau limbah
pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis. Fokus kegiatan
dalam pengembangan model pertanian bioindustri berkelanjutan di lahan kering beriklim kering
adalah berbasis agroekosistem atau berbasis pada komoditas unggulan perdesaan. Wujud model yang
dibangun adalah visualisasi dari inovasi teknologi yang akan dikembangkan (Badan Libang, 2011).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di kecamatan Labangka, kabupaten Sumbawa pada tahun 2018. Penelitian
menggunakan pendekatan survei kepada anggota kelompok tani dari kelompok tani yang menjadi
binaan dalam pelaksanaan pertanian bioindustri pada pertanian lahan kering. Penentuan responden
dilakukan secara purposive dari anggota kelompok tani yang masih aktif dalam kegiatan usahatani
jagung dan pemeliharaan ternak sapi.
Teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam (in depth interview)
dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur, pengamatan langsung, dan diskusi kelompok
terfokus. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: peranan kelompok dalam penyediaan input,
pengelolaan alat dan mesin pertanian, penyediaan dan penumbuhan permodalan, kerjasama dalam
kegiatan usahatani, penyediaan informasi inovasi teknologi, pengolahan hasil pertanian, pengolahan
limbah tanaman dan ternak menjadi pupuk organik, dan penyediaan informasi pemasaran dan
pemasaran kolektif. Data sosial ekonomi meliputi; produksi tanaman jagung, penggunaan input
tanaman, input ternak biaya usahatani dan pendapatan. Data di ukur menggunakan skor skala Likert
dengan mengubah data yang bersifat kualitatif (pernyataan) menjadi data yang bersifat kuantitatif
(angka). Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif
kuantitatif dan kualitatif.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 455
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pelayanan informasi (inovasi dan pasar), mengorganisir penyedian input, penumbuhan permodalan,
mengorganisir kerjasama kolektif dalam kelompok tani serta melakukan jaringan kerjasama dan
komunikasi dengan kelembagaan lain. Sapja (2011), menjelaskan kelembagaan petani dibentuk pada
dasarnya mempunyai beberapa peran untuk tugas organisasi, memediasi masyarakat dan negara,
mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaan pencapaian
tujuan masyarakat, serta tugas pelayanan.
Bagi masyarakat petani di perdesaan tentu saja selalu menjalin komunikasi dan hubungan-
hubungan sosial terkait dengan pengelolaan usahatani terutama dalam penggunaan teknologi untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan. Kelembagaan tani sebagai media belajar bagi anggota-
anggotanya dalam berbagi informasi inovasi teknologi yang dibutuhkan. Kelembagaan tani terutama
ketua Gapoktan, Poktan dan KWT harus memiliki kreativitas dan kemampuan dalam penyediaan
informasi inovasi teknologi sesuai yang dibutuhkan. Informasi inovasi teknologi dapat diperoleh
melalui jaringan komunikasi dan kerjasama dengan sumber-sumber teknologi seperti Perguruan
Tinggi dan institusi penelitian serta sumber informasi teknologi seperti BPP dan PPL. Selain itu,
informasi inovasi teknologi dapat diperoleh melalui media sosial yang tersedia. Hasil analisis
menunjukkan bahwa peranan kelembagaan tani dalam penyediaan informasi inovasi teknologi
sebesar 68,33% (Tabel 1). Ini menunjukkan bahwa kelembagaan tani belum semuanya memiliki
informasi inovasi teknologi sesuai yang dibutuhkan anggotannya. Bagi petani yang memiliki jaringan
komunikasi dengan sumber teknologi dan sumber informasi teknologi, cenderung mencari sendiri
informasi teknologi sesuai yang dibutuhkan. Petani yang melek informasi teknologi dan petani-petani
muda (petani melanial) cenderung mencari informasi teknologi melalui media sosial. Pengembangan
usahatani tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, melainkan juga diproduksi
untuk di jual atau dipasarkan.
Kelembagaan tani dan petani yang mengusahakan usahatani dari komoditas yang relatif seragam
seperti komoditas jagung di kecamatan Labangkan kabupaten Sumbawa yang orientasi dominan
untuk dijual maka sangat membutuhkan informasi pasar terutama harga. Informasi pasar komoditas
jagung dapat diperoleh petani melalui sesama petani, pedagang dan kelompok tani. Peranan
kelembagaan tani atau kelompok tani dalam menyediakan informasi pasar hasil pertanian kepada
anggota kelompok tani cukup tinggi yaitu mencapai 81,25 %. Namun, peranan kelompok dalam
pemasaran hasil pertanian secara kolektif relatif rendah hanya 42,50 % (Tabel 1). Menunjukkan
bahwa sebagian besar anggota kelompok menjual hasil pertanian secara sendiri-sendiri. Kondisi ini
menyebabkan posisi tawar kelompok dan petani terhadap harga hasil komoditas menjadi lemah.
Permasalahan yang dihadapi kelembagaan tani atau kemlompok tani dan anggota kelompok tani
mulai dari perencanaan usahatani sampai pemasaran hasil harus diselesaikan melalui forum diskusi
atau pertemuan kelompok tani yang dilakukan secara rutin.
Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kelompok dan anggota kelompok harus
diselesiakan melalui pertemuan kelompok. Pertemuan kelompok sangat penting untuk membahas
perencanaan usahatani, penyediaan input (benih, pupuk dan obat-obatan), penumbuhan permodalan
kelompok dan kerjasama kolektif. Kelembagaan tani atau kelompok tani terutama ketua kelompok
memiliki peranan dalam memfasilitasi pertemuan kelompok sebesar 75,00 %. Peranan kelembagaan
tani atau kelompok tani dalam penyediaan input sebesar 77,00 % (Tabel 1). Ketua kelompok harus
mempunyai data mengenai kebutuhan pupuk untuk masing-masing anggota berdasarkan luas lahan
usahatani agar dapat mengisi RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Penyusunan rencana
definitif kebutuhan kelompok (RDKK) dapat diselesaikan dalam pertemuan kelompok tani yang
difasilitasi oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Hasil peneltian Yunita et al (2014), menjelaskan
bahwa kelompok tani dan petani masih merasa sulit untuk bertemu dengan PPL dan peneliti yang
disebabkan oleh jaringan komunikasi yang terbatas.
Kondisi ini dapat di lihat bahwa kerjasama dalam pengolahan limbah tanaman dan limbah ternak
untuk menghasilkan pupuk organik padat (kompos) dan pupuk organik cair (bio urine) sebesar 65,00
%. Peningkatan penggunaan teknologi produksi (penerapan teknologi pola tanam, teknologi
penggemukan ternak sapi, teknologi pengelolaan air hujan), teknologi pengolahan limbah tanaman
dan ternak merupakan bagian peran kelompok tani dan anggotanya dalam menerapkan teknologi.
Kelembagaan tani atau kelompok tani dan para petani telah meraskan manfaatnya baik manfaat
ekonomi maupun sosial dalam penerapan teknologi sistem usahatani pada lahan kering yang mereka
anggap sudah sangat kritis.
Pengelolaan Sumberdaya Dalam Sistem Pertanian Bioindustri
Pengelolaan pertanian lahan kering harus dilakukan dalam kerangka sistem usahatani dengan
menanam berbagai komoditas yang bernilai ekonomis tanpa mengurangi potensi komoditas utama.
Lahan kering sangat rentan dengan terjadinya degradasi lahan akibat erosi. Menurut Suyana (2014)
menjelaskan bahwa degradasi lahan akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah, penurunan
produktivitas lahan, serta kerusakan lahan, sehingga untuk memperbaiki akan membutuhkan pupuk
kandang atau kompos yang sangat tinggi. Pengelolaan lahan kering menerapkan teknologi konservasi
dengan mengintegrasikan dengan usaha ternak. Petani lahan kering kecamatan Labangka, kabupaten
Sumbawa telah menerapkan teknologi konservasi dan memelihara ternak sapi. Petani menanam
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 457
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tanaman legume pohon pada teras seperti lamtoro taramba dan turi untuk memenuhi kebutuhan
pakan ternak pada musim kering. Menurut Dyah et al. (2005) menjelaskan bahwa pola tanam lahan
kering melalui keterpaduan dengan ternak akan terjadi interaksi (sifat hubungan teknis),
komplementatif, suplementatif, atau kompetitif. Pada kawasan pertanian bioindustri lahan kering di
desa Labangka, kecamatan Labangka kabupaten Sumbawa petani telah menerapakan beberapa
teknologi pola tanam sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya lahan.
Teknologi pola tanam pada Tabel 2 merupakan merupakan jenis-jenis teknologi yang
diintroduksikan pada awal pelaksanaan pertanian bioindustri lahan kering pada tahun 2015. Sebelum
pelaksanaan kegiatan pertanian bioindustri sebagian besar petani hanya menanam jagung secara
monokultur dengan tanpa penerapan teknologi konservasi (pembuatan teras dan penanaman
tanaman penguat teras).
Pengembangan pertanian bioindustri berbasis pemanfaatan sumberdaya lokal seperti
pemanfaatan biomassa tanaman dan ternak sebagai pupuk organik serta pemanfaatan pola curah
hujan dan air secara efesien adalah untuk mewujudkan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan.
Pengembangan pertanian bioindustri meliputi semua aktivitas pertanian dengan pemanfaatan
berbagai inovasi dalam meningkatkan produktivitas pangan dan ternak, memanfaatkan dan
mengolah limbah/biomasa, memakai sumberdaya hayati lainnya untuk menghasilkan bahan pangan
yang memiliki nilai tambah. Peran sub sistem inovasi pertanian bioindustri berkelanjutan pada
pertanian lahan kering melalui pemanfaatan semua sumberdaya untuk meningkatkan produksi
pangan dan ternak serta untuk meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu diperlukan kreativitas
dalam penggunaan inovasi seperti inovasi pengolahan lahan, air dan pemanfaatan agroklimat (curah
hujan), inovasi produksi, inovasi kelembagaan, inovasi produksi ternak, inovasi pengolahan limbah
pertanian, pemanfaatan limbah ternak, penyediaan hijauan pakan ternak, serta inovasi konservasi.
Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan peningkatan pada faktor-faktor:
teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986). Hasil penelitian
Suprapto (2004), menjelaskan bahwa usahatani terpadu tanaman dengan ternak sapi dapat
meningkatkan pendapatan petani.
Tabel 2. Teknologi sistem usahatani yang dikembangkan petani lahan kering
di kecamatan Labangka, kabupaten Sumbawa
Pengembangan sistem pertanian bioindustri pada pertanian lahan kering khususnya pertanian
tanaman pangan memerlukan strategi khusus dalam penerapan teknologi. Hasil penelelitian Bulu, et
al. (2017), melaporkan bahwa rata-rata jumlah bulan hujan pada pertanian lahan kering di kabupaten
Sumbawa hanya 4 (empat) bulan hujan dengan curah hujan rata-rata 290 mm per tahun.
Perubahan iklim yang selalu berubah setiap tahun menyebabkan petani lahan kering yang
dominan menanam jagung pada musim hujan memerlukan strategi untuk meningkatkatkan indeks
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 459
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Petani yang hanya menanam jagung secara monokultur dan tidak menanam tanaman lain setelah
panen jagung pada musim hujan (MH), maka tidak dapat memperoleh tambahan penerimaan dari
satu-satuan lahan yang diusahakan. Manfaat ekonomi yang diperoleh petani yang menanam jagung
secara monokultur memperoleh penerimaan kotor sebesar Rp 10.500.000/ha/tahun, total biaya input
yang dikeluarkan sebesar Rp 4.752.500/ha, sehingga keuntungan yang diterima sebesar Rp
5.747.500/ha/tahun.
Produktivitas usahatani jagung yang rendah selain disebabkan oleh kondisi lahan yang
bergelombang dan kurang produktif juga tingkat penerapan teknologi yang rendah serta keterbatasan
modal usahatani. Keterbatasan permodalan usahatani merupakan masalah utama yang sering
dihadapi petani. Keterbatasan biaya usahatani akan menyebabkan tingkat penerapan komponen
teknologi kurang optimal. Oleh karena itu, kelompok tani harus memiliki peranan penting untuk
memotivasi anggota kelompok dalam penumbuhan permodalan. Penumbuhan permodalan
kelompok akan berhasil dan berjalan baik serta berkelanjutan, jika kelompok memiliki modal sosial
yang kuat.
Petani yang memilih teknologi pola tanam jagung relay kacang tanah memiliki keputusan sendiri
dalam melakukan perencanaan usahatani. Petani sebagai pengelola usaha tani tentu mengambil
keputusan berdasarkan berdasarkan berbagai faktor diantaranya pola curah hujan, biaya usahatani
dan faktor produksi yang sesuai dengan pilihan teknologi. Petani yang menerapkan pola tanam
jagung relay kacang tanah memperoleh penerimaan bersih sebesar Rp 11.812.500,-/ha/tahun sebagai
akibat dari tambahan biaya adopsi teknologi (Tabel 2). Biaya adopsi adalah jumlah biaya input
produksi yang dikeluarkan petani dalam proses produksi usahatani. Umi et al. (2014) mendefinisikan
biaya adopsi adalah biaya usahatani dihitung berdasarkan jumlah nilai uang yang benar-benar
dikeluarkan oleh petani untuk membiayai kegiatan usahataninya.
Jumlah petani yang menerapkan teknologi pola tanam jagung relay kacang hijau cukup banyak di
kawasan pertanian bioindustri di desa Labangka bahkan telah diadopsi oleh petani-petani di desa
sekitar. Selain itu, petani-petani di luar kawasan pertanian bioindustri telah menanam lamtoro
tarambah sebagai tanaman penguat teras, dengan tujuan penyediaan hijauan pakan ternak pada
musim kemarau. Tingkat penerimaan bagi petani yang menerapkan teknologi pola tanam jagung
relay kacang hijau sebesar Rp 9.782.500/ha/tahun. Penerapan teknologi polah tanam jagung relay
kacang tanah maupun jagung relay kacang hijau relatif sangat memberikan keuntungan
dibandingkan penerimaan dari penerapan teknologi jagung monokultur. Sejalan dengan hasil
penelitian Sylvia et al. (2018), menjelaskan bahwa secara ekonomi dari penerapan teknologi pola
tanam jagung relay kacang tanah dan jagung relay kacang hijau memberikan tambahan penerimaan
yang cukup besar bagi petani lahan kering.
Tabel 3. Tambahan pnerimaan, tambahan biaya dan nilai indeks MBCR dari pola tanam introduksi teknologi
pada pertanian bioindustri lahan kering di kecamatan Labangka, kabupaten Sumbawa.
KESIMPULAN
Peranan kelembagaan tani melalui berbagai kegiatan manajamen kelembagaan dalam
pengembangan teknologi sistem pertanian bioindustri pada pertenian lahan kering beriklim kering
masih tergolong sedang. Pengorganisasian kegiatan manajemen kelembagaan yang relatif masih
kurang disebabkan oleh tingkat pemahaman anggota yang tergabung dalam kelembagaan tani atau
kelompok tani terhadap tugas, fungsi dan manfaat kelembagaan tani masih rendah.
Jenis-jenis inovasi teknologi yang diintroduksikan untuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air
untuk meningkatkan produksi dan pendapatan telah dilakukan petani, namun penerapan inovasi
teknologi belum maksimal.Dampak sosial ekonomi terhadap penerapan teknologi pertanian
bioindustri pada lahan kering meningkatkan pendapatan dan tambahan penerimaan dari tambahan
penggunaan teknologi.
Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan tani dalam pengelolaan kelembagaan, usahatani dan
kegiatan-kegiatan agribisnis masih diperlukan pendampingan dan penguatan kelembagaan agar
mampu berdiri sendiri.Penerapan inovasi teknologi yang berbasis pertanian bioindustri di lahan
kering beriklim kering lebih dominan dipengaruhi oleh proses-proses psikologi individu petani,
sehingga masih perlu pendampingan untuk memberikan pemahaman terhadap manfaat sosial dan
ekonomi dari teknologi yang di tawarkan.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 461
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
DAFTAR PUSTAKA
A. Abdurachman, A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Litbang Pertanian, 27 (2), 2008: 34 – 48.
Badan Litbang Pertanian. 2015. Panduan Umum Model Pengembangan Inovasi Teknologi Pertanian
Bioindustri. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Bulu Yohanes G., Sylvia Kusumaputri, Sudarto, dan Ika Novita Sari. 2017. Peningkatan Indeks Panen pada
Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Bogor. Hal. 225 – 264.
Dyah Ethika N., Bambang Sumanto, dan Pudji Hastuti. 2005. Pola Tanam Usaha Tani Lahan Kering
dengan Upaya Konservasi di daerah Aliran Sungan (DAS) Serayu Wilayah Kabupaten
Banyumas. Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 1, April 2005: 8-18. ISSN. 1411-9250
Mulyani. A, Dedi Nursyamsi, dan Irsal Las, 2014. Percepatan Pengembangan Pertanian Lahan Kering
Iklim Kering di Nusa Tenggara. Pengembangan Inovasi Pertanian Vol. 7 No. 4 Desember 2014:
187 – 198.
Hadi U. Prayogo. 2014. Reformasi Kebijakan Penciptaan Nilai Tambah Produk Pertanian Indonesia.
Buku Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. IAARD Press. 303-316.
Hayami, Y., M. Thosinori, dan M. Siregar. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java:
A Prospectif from A Sunda Village, Bogor. CGPRT.
Hendriadi A. 2014. Model pengembangan pertanian perdesaan berbasis inovasi. Dalam: Makalah
disampaikan pada workshop evaluasi dan rencana kegiat peningkatan kinerja BPTP tahun 2014.
Bogor (Indonesia). 17.
Rohaeni, Eni Siti. 2015. Sistem Usahatani Tanaman - Ternak Sapi di Lahan Kering Kalimantan Selatan
( Studi Kasus di Desa Banua Tengah dan Sumber Makmur, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut). SEPA Vol. 11 No. 2 Pebruari 2015: 200 – 206.
Sylvia Kusumaputri Utami, Ika Novita Sari, dan Yohanes Geli Bulu. 2018. Peningkatan Pendapatan
Petani Melalui Pengembangan Model Pertanian Bioindustri di Lahan Kering Beriklim Kering
Nusa Tenggara Barat. Buku Bunga Rampai “Pertanian Bioindustri Solusi Pertanian Masa
Depan”. IAARD Press, 2018. 537 -552
Suyana Jaka. 2014. Perencanaan Usaha Tani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakau di Sub-
DAS Progo Hulu (Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri 6(1), April 2014:32−49. ISSN: 2085-6717.
Suprapto. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten
Buleleng, Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 7, No.1, Januari
2004 : 83-89.
Umi Barokah, Wiwit Rahayu, dan Mei Tri Sundari. 2014. Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani
Padi di Kabupaten Karanganyar. Jurnal AGRIC Vol.26, No. 1 & No.2, Juli - Desember 2014: 12 –
19.
FAO. 1993. Farming System Development A General Guideline. FAO. Rome.
Malian, A.H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala
Pengkajian. Makalah Disajikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi
Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November – 9 Desember
2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 463
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
464 | Teknologi Pertanian
UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEDELAI
MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PTT
ABSTRAK
Produktivitas kedelai ditingkat petani masih terbilang rendah yang disebakan karena penerapan
teknologi yang asih belum maksimal sehingga diperlukan teknologi yang spesifik lokasi untuk
mendorong upaya peningatan produktivitas tanaman kedelai. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengetahui persentase peningkatan hasil dan pendapatan usahatani kedelai dengan penerapan teknologi
PTT yang berlokasi di Kabupaten Dompu. Pengkajian dilakukan melalui metode action research di lahan
sawah milik petani yang berlokasi di Desa Mangge Asi Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu pada
bulan Juli – Oktober 2016. Penerapan teknologi PTT yang digunakan antara lain : penggunaan benih
bermutu, menggunakan jarak tanam 40 x 15 cm, pemupukan dengan menggunakan NPK Phonska 100
kg/ha dan penggunaan PPC 1 lt/ha. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan teknologi mampu
menaikkan hasil kedelai dari 0,9 t/ha menjadi 2,0 t/ha atau meningkat sebesar 55 %. Peningkatan
produktivitas yang diperoleh petani dengan penerapan teknologi PTT dilokasi pengkajian berbanding
lurus dengan meningkatnya jumlah pendapatan sebesar 65 % dibandingkan dengan penerapan teknologi
petani setempat.
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas unggulan di Nusa Tenggara Barat, namun produksinya
terus merosot. Hal ini disebabkan akibat pengurangan luas panen kedelai yang terus menerus karena
komoditas kedelai kalah bersaing dengan komoditas lainnya, disamping itu produktivitas kedelai
ditingkat petani terbilang masih relatif rendah. Rendahnya produktifitas kedelai salah satunya
disebabkan oleh penerapan teknologi yang masih belum maksimal.
Upaya peningkatan produktivitas kedelai memerlukan teknologi yang adaptif dan efisien
diantaranya penggunaan varietas unggul baru yang spesifik lokasi sesuai kondisi biofisik lahan dan
sosial ekonomi daerah setempat serta kelembagaan petani. Proses produksi seperti itu pada
hakekatnya merupakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme
pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara terpadu atau menyeluruh dan dapat pula diterapkan
secara berkelanjutan sebagai upaya dalam membantu peningkatan produktifitas, pendapatan petani
dan kelestarian lingkungan serta dapat memecahkan masalah setempat, meningkatkan efisiensi
penggunaan input dan meningkatkan kesuburan tanah (Ishaq et al., 2009; Puslitbangtan 2006 ). Sejalan
dengan pendapat Hasanuddin (2002) yang menyatakan bahwa dalam budidaya tanaman dengan
pendekatan PTT, petani dilibatkan secara partisipatif dan penggunaan agroinput diutamakan secara
in-situ, sehingga teknologi PTT bersifat spesifik lokasi.
Tujuan penerapan teknologi PTT adalah untuk membantu meningkatkan produktifitas dan
pendapatan petani serta untuk melestarikan lingkungan produksi. Komponen teknologi PTT kedelai
meliputi komponen teknologi dasar yaitu varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel,
pengaturan populasi tanaman, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman, sedangkan komponen
teknologi pilihan meliputi persiapan lahan, pembuatan saluran drainase, pemberian bahan organik,
pengendalian gulma, pengendalian hama penyakit, panen tepat waktu, sehingga pelaksanaan PTT
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 465
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
akan menjadi lebih berkualitas dalam mendukung pencapaian tujuan dan sasaran peningkatan
produksi nasional (Hendayana et al., 2009)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kelayakan usahatani kedelai dengan pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di desa Mangge Asi Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu.
Hasil pengkajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi para pemangku
kebiajakan kebijakan setempat dalam mengintroduksi teknologi PTT kedelai ditingkat petani.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di lahan sawah milik petani kooperator di desa Mangge Asi,
Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu dengan luas lahan 2 ha pada musim tanam MK II bulan Juli –
Oktober 2016. Petani yang terpilih adalah petani yang belum sepenuhnya menerapkan teknologi,
dapat bekerjasama dan mudah menerima teknologi baru serta bersedia menyebarkan informasi yang
diperoleh. Teknologi yang diterapkan disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Teknologi PTT yang diterapkan petani.
Parameter data agronomi yang diamati meliputi : tinggi tanaman, jumlah polong, jumlah cabang,
berat biji, input dan output usaha tani. Data agronomi yang diperoleh dianalisis secara deskripsi dan
data analisa usaha tani dianalisis dengan kelayakan finansial dengan parameter R/C dan B/C.
Uraian Teknologi
Introduksi Petani
Biaya produksi 2.375.000 1.150.000
Tenaga Kerja 3.250.000 2.375.000
Total biaya 5.625.000 3.525.000
Produksi (kg/ha) 2.0 0,9
Nilai hasil (Rp/kg) 6.825 6.825
Penerimaan 13.650.000 6.142.500
Keuntungan 8.025.000 2.617.500
R/C 2.4 1.7
B/C 1.4 0,7
Selain penggunaan benih bermutu dan penerapan jarak tanam, teknologi PTT yang juga
diterapkan adalah melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk NPK Phonska dengan dosis
100 kg/ha. Pemupukan diperlukan karena tidak semua tanah baik untuk pertumbuhan tanaman
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 467
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
sehingga diperlukan input penambahan hara pada tanah untuk membantu pertumbuhan tanaman
secara optimal baik melalui pengapuran maupun pemupukan (Nazariah, 2009). Sejalan dengan hasil
kajian Ratnasari et al (2015) yang menunjukkan bahwa pemberian pupuk NPK majemuk sebanyak
125 kg/ha pada varietas Anjasmoro mampu meningkatkan jumlah biji.
Hasil kajian dengan penerapan teknologi PTT kedelai yang dilaksanakan di Desa Mangge Asi
Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu mampu meningkatkan produksi kedelai sehingga berdampak
pula terhadap peningkatan pendapatan petani. Hasil analisis financial menunjukkan bahwa
keuntungan yang diperoleh dengan penerapan teknologi PTT adalah Rp. 8.025.000,- dengan nilai R/C
2,4 dan B/C 1,4 dimana jumlah ini meningkat sebesar 65 % dibandingkan dengan teknologi yang biasa
diterapkan petani yang memperoleh keuntungan Rp. 2.617.500,- dengan nilai R/C 1,7 dengan nilai B/C
0,7. Penerapan PTT kedelai pada lahan sawah menguntungkan dan layak secara finansial, dimana
pendapatan petani dapat meningkat sebesar 41 - 110 % (Pasireron dan Kaihatu, 2011; Laksono dan
Adnan, 2011). Preferensi petani terhadap teknologi PTT yang diterapkan terutama benih bermutu dan
jarak tanam sangat positif. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan anggota kelompok tani disekitar
lokasi pengkajian yang sangat antusias.
KESIMPULAN
Penerapan teknologi dilokasi pengkajian mampu meningkatkan produktivitas kedelai mecapai 2,0
t/ha atau meningkat sebesar 55 % dibandingkan teknologi yang biasa dilakukan petani setempat.
Peningkatan produktivitas yang diperoleh diikuti dengan peningkatan pendapatan petani sebesar 65
% dengan nilai R/C 2,4 yang artinya bahwa teknologi ini sangat cocok untuk dikembangkan dilokasi
pengkajian.
DAFTAR PUSTAKA
Balitkabi. 2011. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu dan Ubi Jalar.
Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Kementerian Pertanian. Balitbangtan.
Malang.
Gani, J. A. 2000. Kedelai Varietas Unggul. Lembar Informasi Pertanian (Liptan). Instalasi Penelitian
dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Mataram.
Hasanuddin, A. 2002. Inovasi Teknologi Peningkatan Produksi Tanaman Pangan di Indonesia. Bahan
Pelatihan bagi Pendamping. Kegiatan P3T. Bogor dan Sukamandi.
Hendayana, R., N. Sunandar, Erythrina, Sudarmadi, dan I.N. Widiarta. 2009. Petunjuk pelaksanaan
pendampingan SL-PTT. Puslitbangtan. Bogor.
Ishaq. Iskandar. Subagyono, K. Nurawan, A. 2009. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa
Barat. Departemen Pertanian. Jakarta.
Laksono, P. Adnan. (2011). Kelayakan Usahatani Kedelai dengan Pola Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) Studi Kasus di Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura. Widyariset. 14(2):267-273.
Marliah, A. Hidayat, T. Husna, N. 2012. Pengaruh Varietas dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan
Kedelai (Glycine max (L) Merrill). 16(1):22-28.
Murtiati, S. Anwar, H. Sutrisno, I. 2016. Introduksi Varietas Kedelai Mendukung Program Peningkatan
Produksi Menuju Swasembada Kedelai di Jawa Tengah. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. 243-247.
Pasireron, M. Kaihatu, S. S. 2011. Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai di
Lahan Kering dan Lahan Sawah Maluku. Iptek Tanaman Pangan. 6(1):76-86.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 469
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
470 | Teknologi Pertanian
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNTUK MENINGKATKAN LAJU ADOPSI TEKNOLOGI PERTANIAN
Zulham Sirajuddin
ABSTRACT
Information and Communication Technology (ICT) holds an important role in the dissemination of information of
agricultural technology in the digital era of Industry 4.0. In Indonesian agricultural extension system where
technology transfer tradition is highly emphasized, information flow holds a vital role. Studies in the last ten years had
shown that the adoption of innovation is highly diverse across farmers. The utilization of ICT can become an effective
way to improve the rate of adoption, particularly in reducing the attribute of complexity and improving the preceived
relative advantage of the innovations introduced to farmers. To increase ICT use, it is needed to build infrastuctures to
support ICT usage in rural areas, improving ICT proficiency of extension agents and farmers, and to motivate
extension agents and farmers to integrate ICT within the extension system.
ABSTRAK
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan salah satu unsur penting dalam adopsi dan
diseminasi teknologi pertanian di era Industri 4.0. Dalam sistem penyuluhan pertanian di Indonesia yang
menitikberatkan pada transfer teknologi, arus informasi memegang peranan penting. Beberapa penelitian
dalam sepuluh tahun terakhir mengenai adopsi teknologi menunjukkan keberagaman yang cukup tinggi
mengenai laju adopsi dan diseminasi teknologi pertanian pada tingkat petani. Pemanfaatan TIK dapat
menjadi cara yang efektif untuk mendorong laju adopsi utamanya melalui penurunan tingkat
kompleksitas dan meningkatkan aspek keuntungan relatif pada inovasi yang ditawarkan kepada petani.
Untuk mendorong pemanfatan TIK dalam penyuluhan pertanian, hal yang perlu dilakukan adalah
pembangunan infrastruktur pendukung TIK untuk peningkatan penetrasi Internet di pedesaan,
peningkatan kapasitas individu dalam penggunaan TIK, serta peningkatan motivasi untuk menggunakan
TIK dalam penyuluhan pertanian.
Kata kunci: adopsi inovasi, difusi inovasi, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi pertanian
PENDAHULUAN
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di seluruh dunia dewasa ini cukup
menarik perhatian para pemangku kepentingan bidang pembangunan dan penyuluhan pertanian.
Penggunaan TIK dianggap cukup membantu baik dalam hal peningkatan produktivitas, akses
terhadap informasi mengenai pasar hingga tingkat global, pengurangan biaya transaksi, maupun
komunikasi yang efektif antar aktor dalam bidang produksi pertanian di berbagai wilayah yang
berbeda (Maumbe, 2012). Di berbagai negara, penyuluhan pertanian menekankan pentingnya aspek
komunikasi dan informasi dalam proses adopsi inovasi teknologi pertanian Penyuluhan pertanian
telah banyak mengintegrasikan TIK ke dalam proses sirkulasi pengetahuan. Beberapa contoh
penerapan TIK misalnya, dapat diamati pada penggunaan media aplikasi digital dalam bidang
penyuluhan pertanian yakni eXtension (Taylor & Miller, 2016) di Amerika Serikat, program e-
Choupal di India (Kim dkk., 2007), dan penerapan Farmbook secara luas di Afrika Selatan (Tata &
McNamara, 2017). Di Indonesia, salah satu penerapan TIK dalam penyuluhan pertanian adalah
Cyber-Extension yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian (Sirajuddin & Martin, 2019).
Salah satu tujuan utama penggunaan TIK dalam penyuluhan pertanian adalah untuk mendorong
diseminasi informasi yang lebih cepat dan berskala luas, sehingga dapat membantu pengguna inovasi
untuk memperoleh informasi yang akurat dan terkini, yang diperlukan untuk mengambil keputusan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 471
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
mengenai inovasi teknologi pertanian (Helmy dkk., 2013). Dengan begitu, diharapkan bahwa
pengguna informasi dimana salah satunya merupakan kalangan petani, dapat lebih cepat
mengadopsi teknologi yang ditawarkan melalui proses penyuluhan pertanian. Oleh karena itu, tujuan
dari artikel ini adalah untuk menjelaskan proses adopsi teknologi di pertanian pangan Indonesia,
serta bagaimana potensi integrasi TIK ke dalam penyuluhan pertanian dapat membantu
meningkatkan laju adopsi teknologi pertanian di Indonesia.
Gambar 1.Tahapan keputusan adopsi untuk difusi inovasi dalam teori Rogers (1998).
Dalam teori ini juga menjelaskan mengenai tahapan proses adopsi inovasi oleh pengguna inovasi
dalam suatu sistem sosial yang disebut dengan stage of decision-innovation process, yakni sebuah
tahapan dimana seorang adopter berinteraksi dengan sebuah inovasi dan dalam proses tahapan ini
seorang adopter bisa saja memiliki perilaku yang berbeda menenai pencarian informasi yang
Model penyuluhan pertanian di Indonesia menerapkan pola transfer teknologi yang mencakup
beragam komoditas. Meski begitu, selalu terdapat beberapa komoditi yang dijadikan fokus utama,
umumnya dalam hal peningkatan produktivitas dan pengurangan impor, misalnya padi, jagung, dan
kedelei (pajale). Beberapa program unggulan bidang pertanian yang telah diaplikasikan dalam
sepuluh tahun terakhir, misalnya Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Pengendalian
Hama Terpadu (SL-PTT dan SL-PHT), Upaya Khusus (UPSUS) Pajale, maupun pembangunan
Kawasan Pertanian Sejahtera (SAPIRA), pada tingkat pelaksanaannya mencakup salah satunya
adalah pengembangan komoditas-komoditas utama tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi
pemangku kepentingan untuk secara berkala mengevaluasi sejauh mana keberhasilan program-
program tersebut baik dari sisi luarannya (output) maupun dampaknya (outcome), utamanya terhadap
penerapan teknologi oleh masyarakat petani dan peningkatan produktivitas lahan. Salah satu bentuk
evaluasi adopsi teknologi yang cukup banyak digunakan dalam dunia penyuluhan di seluruh dunia
yakni dengan menilai laju adopsi teknologi (adoption rate) dengan menggunakan teori difusi inovasi
sebagai kerangka teori. Penilaian mengenai laju adopsi umumnya dilakukan pada tiap program di
berbagai lokasi sebab seringkali terdapat keragaman laju maupun tahapan adopsi pada lokasi yang
berbeda, sebab sistem sosial dimana adopter (petani) berada juga cukup beragam.
Beberapa penelitian dalam sepuluh tahun terakhir mengenai adopsi teknologi menunjukkan
keberagaman yang cukup tinggi mengenai laju adopsi dan diseminasi teknologi pertanian pada
tingkat petani padi maupun komoditas lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Fachrista dan
Sarwendah (2014) misalnya, menunjukkan bahwa tingkat adopsi pada beberapa inovasi yang
ditawarkan melalui program SL-PTT di Desa Labu, Bangka, masih sangat rendah pada beberapa
inovasi, yakni dalam hal pemupukan berimbang (0%), pengendalian OPT (0%), serta penerapan
metode tanam jajar legowo (3,3%), meskipun pada beberapa bagian lain cukup menunjukkan
keberhasilan yakni pada penggunaan benih yang bermutu serta penggunan bahan organik (keduanya
100%). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Ismilaili, Purnaningsih, dan Asngari (2015)
menunjukkan bahwa adopsi inovasi pada penerapan PTT di Leuwiliang, Bogor cukup tinggi
utamanya dalam hal penggunaan varietas unggul yang disarankan dalam penyuluhan pertanian.
Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Maryani, Suparta, dan Setiawan (2014) di
Kecamatan Sukawati, Gianyar menunjukkan tingkat adopsi yang cukup tinggi pada komponen PTT
utamanya pada adopsi varietas padi unggul dan pupuk organik melalui pemanfaatan jerami sisa hasil
panen, namun menunjukkan tingkat adopsi yang rendah pada pola tanam jajar legowo serta
penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) untuk kebutuhan pupuk urea. Sementara itu, kegiatan PTT di
Liabuku, Baubau belum begitu berhasil meningkatkan adopsi pada komponen teknologi yang
ditawarkan utamanya pada penggunaan varietas dan pemupukan yang direkomendasikan,
pengendalian hama, serta pengairan berselang (Purnamasari, 2019). Di lain tempat, hasil penelitian
yang dilakukan oleh Farid, Romadi, dan Witono (2018) menunjukkan bahwa hanya 8,66% dari total
luasan lahan yang ada di Desa Sukosari, Malang yang telah mengadopsi jajar legowo. Sementara di
Desa Sepanjang, Banyuwangi, terdapat sekitar 53% petani telah menerapkan sistem jajar legowo
(Ningtyas dkk., 2016).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 473
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Beberapa Aspek Penghambat Laju Adopsi: Telaah melalui Atribut Inovasi
Hasil-hasil penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa laju adopsi sangat beragam di tiap lokasi
yang diteliti. Hal ini disebabkan oleh beberapa aspek dalam sistem sosial petani, dimana aspek ini
bisa berhubungan dengan aspek demografi petani sebagai adopter (karakteristik sosial dan ekonomi),
ataupun dengan aspek persepsi terhadap inovasi yang ditawarkan (atribut inovasi). Leeuwis dan Van
den Ban (2004) memaparkan bahwa terdapat beberapa variabel yang dapat berkorelasi positif dengan
indeks adopsi inovasi dari sisi karakteristik sosial pengadopter yakni pendidikan, keterlibatan dengan
penyuluhan, tingkat kosmopolit, maupun partisipasi sosial. Sementara itu, Rogers (2003) berpendapat
bahwa dari sisi perspsi terhadap inovasi, atribut inovasi -keuntungan relatif (relative advantage),
kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity), trialabilitas (trialability), maupun
observabilitas (observability)- sangat berpengaruh terhadap motivasi calon adopter untuk
mengadopsi inovasi tersebut.
Penelitian terdahulu mengenai variabel yang mempengaruhi adopsi inovasi dalam komoditas
pertanian di Indonesia, beberapa diantaranya menggunakan karakteristik sosial ekonomi petani
sebagai variabel mengikat, dan beberapa penelitian lainnya juga menggunakan persepsi tentang
atribut inovasi sebagai variabel yang mempengaruhi adopsi inovasi (Farid dkk., 2018; Ismilaili dkk.,
2015; Malahayatin and Cahyono, 2017; Maryani dkk., 2014; Ningtyas dkk., 2016; Purnamasari, 2019).
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat beberapa atribut inovasi yang mempengaruhi
laju adopsi yaitu:
1. Atribut keuntungan Relatif (relative advantage), yakni seberapa besar sebuah inovasi
dipandang menguntungkan oleh petani, sehingga petani menganggap ada benefit yang mereka
peroleh ketika menggunakan inovasi tersebut. Dalam satu kasus, beberapa petani di Desa
Sepanjang, Banyuwangi menganggap penerapan pola tanam jajar legowo lebih rumit
dibandingkan pola tanam tegel yang sering dilakukan masyarakat (Ningtyas dkk., 2016)
sehingga mempengaruhi minat mereka dalam mengadopsi jajar legowo. Di lain tempat, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Farid dkk. (2018) menunjukkan bahwa beberapa petani di Desa
Sukosari, Jawa Timur mengadopsi jajar legowo karena persepsi mereka mengenai
profitabilitas, dimana mereka menilai bahwa penggunaan pola tanam jajar legowo dapat
meningkatkan hasil panen sehingga berdampak pada penerimaan penjualan hasil panen
petani.
4. Atribut trialabilitas (trialability), yaitu aspek dimana sebuah inovasi dapat diujicobakan
terlebih dahulu oleh petani pada unit yang lebih kecil dengan resiko yang lebih minim sebelum
benar-benar diterapkan pada skala yang lebih luas. Petani yang memandang sebuah inovasi
dapat diujicobakan pada unit kecil (misalnya pada lahan sempit) umumnya lebih berpotensi
untuk mengadopsi inovasi tersebut. Petani yang tidak menerapkan jajar legowo di Widang,
Tuban, misalnya, menganggap bahwa dengan adanya jarak tanam yang lebar, jajar legowo
sulit diterapkan pada skala kecil apalagi bagi petani yang tidak memiliki lahan yang luas
(Malahayatin & Cahyono, 2017).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 475
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kebangkitan revolusi pertanian di era digital yang merupakan salah satu dampak dari Industri 4.0
dan Pertanian 4.0 telah banyak mengubah model sirkulasi informasi dalam sistem penyuluhan
pertanian. Kecepatan informasi dari sumber ke tujuan, kini semakin cepat seiring dengan
berkembangnya teknologi komunikasi dan penggunaan Internet. Di Indonesia, penggunaan internet
(penetrasi Internet) juga semakin meningkat setiap tahun, dimana pada tahun 2018, penetrasi internet
mencapai 171,17 juta jiwa dibandingkan total populasi yakni 264 juta orang atau sekitar 64,8% dari
total populasi, jauh lebih meningkat dibandingkan penetrasi Internet pada tahun 2014 yang hanya
mencapai 34,9% (AJPII, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa integrasi TIK kedalam penyuluhan
pertanian sangat besar potensinya untuk membantu penyuluh lapangan dalam memberikan
informasi yang valid, reliable, serta up-to-date kepada petani, dimana informasi tersebut akan
membantu petani dalam pengambilan keputusan mengenai teknologi yang akan diadopsinya.
Aplikasi TIK dalam penyuluhan terdapat beragam bentuk, baik dalam bentuk website maupun
mobile/smartphone app.
Implementasi TIK dalam Mendukung Penyuluhan Pertanian di Beberapa Negara Lain
Semakin berkembangnya TIK dan penggunaan internet mendorong sistem penyuluhan pertanian
banyak negara untuk mengintegrasikan TIK. Integrasi TIK di banyak negara memiliki bentuk
integrasi yang cukup beragam. Di Amerika misalnya, salah satu integrasi TIK kedalam penyuluhan
pertanian yakni eXtension yang diluncurkan pada tahun 2008 (Taylor & Miller, 2016). Penetrasi
internet yang cukup tinggi -mencapai lebih dari 84% pada tahun 2018- (Statistica, 2019), membuat
peran internet sangat vital dalam sistem penyuluhan di Amerika Serikat yang disebut dengan
Cooperative Extension. Program eXtension ditujukan bagi penyuluh pertanian di seluruh negara bagian
di Amerika untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai seorang penyuluh profesional yang
bertugas mendampingi klien penyuluhan. eXtension mengorganisir kegiatan peningkatan skill
kefasilitatoran bagi penyuluh (extension professionals/educators), baik melalui kegiatan offline maupun
online, juga sebagai media sharing bagi para penyuluh serta para ahli (experts) yang tersedia
(eXtension, 2019).
Di Jepang, integrasi TIK kedalam sistem penyuluhan (fukyu) telah dilakukan selama sekitar tiga
dekade. Jepang memiliki program bernama F-VAN (singkatan dari Fukyu-Value Added Network), lalu
berlanjut ke sistem Extension Information Network (EI-net). EI-net didesain untuk membuka akses
informasi bagi penyuluh pertanian serta seluruh pengguna informasi pertanian di Jepang (Fukuda,
2005). Subejo (2019) mengemukakan bahwa EI-net menjembatani para pemangku kepentingan di
Jepang seperti pemerintah, pusat penelitian, usaha agribisnis, pasar, penyuluh bahkan petani
sehingga memberikan dampak signifikan dalam pembangunan pertanian di Jepang.
Kemajuan TIK di India yang cukup pesat sangat mendorong integrasi teknologi informasi
kedalam sistem penyuluhan pertanian di India. Terdapat beberapa diantara aplikasi TIK dalam
penyuluhan pertanian di India diantaranya adalah e-Choupal, Agrisnet, serta iKisan (Vouters, 2017).
Penggunaan e-Choupal menitikberatkan pada pemberian akses informasi kepada petani di India
mengenai harga komoditi, metode tanam alternatif, hingga informasi cuaca (Kameswari dkk., 2011).
Bansal dan Sharma (2012) mengklaim bahwa penggunaan dan penerapan e-Choupal secara luas dalam
penyuluhan pertanian di India merupakan salah satu bentuk penerapan TIK yang sukses membangun
pertanian India.
Sementara itu, di Selatan dan Timur Afrika, penerapan TIK dalam penyuluhan pertanian dapat
dilihat melalui penerapan program Farmbook, dimana program ini membantu petani maupun
pengguna informasi pertanian lainnya untuk mengakses informasi yang berkualitas dan terpercaya
yang dapat digunakan untuk perencanaan usaha pertanian, mengakses informasi mengenai
produktifitas pangan, serta menganalisis profitabilitas agribisnis (Tata & McNamara, 2017).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 477
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Potensi Pemanfaatan TIK dalam Mendorong Laju Adopsi Inovasi
Pemanfaatan TIK dalam penyuluhan pertanian menunjukkan prospek yang cukup cerah untuk
dikembangkan kedepan, baik dalam mendukung tugas penyuluh lapangan untuk memberikan
informasi mengenai inovasi melalui penyusunan materi penyuluhan yang berkualitas, maupun
pemanfaatan TIK secara langsung dalam memberikan informasi mengenai inovasi kepada petani.
Dalam proses penyuluhan di Indonesia terdapat aspek transfer teknologi dimana informasi
memegang peranan yang sangat penting untuk membantu petani dalam pengambilan keputusan.
Penyuluh merupakan seorang fasilitator yang membantu proses pertukaran pengetahuan antara
peneliti dan petani. Oleh karena itu, penyuluh diharapkan dapat memanfaatkan TIK dalam
penyampaian informasi yang valid, akurat, dan terkini kepada petani (BPPSDMP, 2015).
Sebagaimana dipaparkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, salah satu hal yang menghambat
adopsi teknologi yang ditawarkan dalam penyuluhan adalah persepsi petani terhadap atribut-atribut
inovasi (Rogers, 2003). Dalam hal ini adalah pandangan petani terhadap keuntungan penggunaan
inovasi atau aspek keuntungan relatif (Ningtyas dkk., 2016; Farid dkk., 2018), kesesuaian penerapan
inovasi yang ditawarkan dengan kebiasaan atau ketersediaan teknologi yang sudah ada atau aspek
kompatibilitas (Ismilaili dkk., 2015; Malahayatin & Cahyono, 2017; Purnamasari, 2019), tingkat
kerumitan atau aspek kompleksitas sebuah teknologi (Maryani dkk., 2014; Malahayatin & Cahyono,
2017), tingkat keujicobaan inovasi atau trialabilitas (Malahayatin & Cahyono, 2017), maupun tingkat
pengamatan terhadap hasil implementasi inovasi atau aspek observabilitas inovasi tersebut (Maryani
dkk., 2014). Pada aspek-aspek inilah, penyuluhan pertanian semestinya dapat menyusun strategi
komunikasi dalam penyampaian informasi yang bermutu untuk meningkatkan persepsi positif petani
terhadap inovasi yang ditawarkan.
Peran TIK dalam menurunkan tingkat kompleksitas inovasi
Salah satu alasan penolakan terhadap inovasi adalah aspek kompleksitas (complexity), dimana
petani yang memandang sebuah inovasi yang ditawarkan rumit untuk digunakan. Dalam hal ini,
penggunaan TIK melalui Cyber-Extension dapat membantu penyuluh untuk mempersiapkan materi
penyuluhan dengan memanfaatkan informasi berbasis sains (scientific-based information) yang dapat
membantu petani untuk memahami penggunaan inovasi baru. Juga, ketersediaan saluran komunikasi
dengan ahli-ahli pertanian baik yang disediakan oleh lembaga penelitian dibawah Kementerian
Pertanian maupun oleh kampus-kampus pertanian, berpotensi cukup besar untuk menurunkan
kompleksitas suatu inovasi. Akses komunikasi dengan para ahli tersebut disediakan oleh beberapa
aplikasi berbasis TIK seperti Cyber-Extension, Cybex yang didesain oleh IPB, maupun DesaApps yang
dikembanngkan oleh Fakultas Pertanian UGM.
Peran TIK dalam meningkatkan aspek keuntungan relatif inovasi
Aspek lain yang menghambat adopsi inovasi adalah atribut keuntungan relatif (relative advantage)
yakni persepsi petani mengenai keuntungan yang diperoleh ketika inovasi tersebut diterapkan. Salah
satu tujuan diseminasi teknologi adalah untuk meningkatkan produktivitas pertanian yang
diharapkan dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh petani. Oleh karena itu, penting untuk
memberikan transparansi harga komoditas kepada petani, serta untuk menjembatani petani dan
pembeli. Salah satu kendala dalam pemasaran hasil pertanian adalah panjangnya rantai distribusi
serta permainan harga oleh tengkulak. Melalui informasi harga yang transparan serta peningkatan
akses pasar dan konektivitas antara petani dengan pembeli, petani dapat lebih yakin bahwa hasil
panen mereka dapat dibeli dengan harga yang lebih layak. Kehadiran aplikasi berbasis TIK yang
memberikan akses terhadap layanan yang dibutuhkan petani akan sangat membantu proses tersebut.
Beberapa aplikasi penyedia informasi harga dan akses pasar seperti TaniHub, Agromaret, dan
PantauHarga dapat digunakan oleh penyuluh untuk mendorong petani meningkatkan
produktivitasnya melalui pemanfaatan inovasi yang ditawarkan dalam sistem penyuluhan pertanian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 479
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Meningkatkan motivasi petani dan penyuluh untuk menggunakan TIK dalam penyuluhan
pertanian
Selain itu, perluasan penggunaan TIK dalam penyuluhan pertanian perlu juga untuk menekankan
persoalan peningkatan motivasi penyuluh dan petani untuk menggunakan TIK dalam
mengeksplorasi kebutuhan informasi yang diinginkan terutama yang berhubungan dengan teknologi
yang ditawarkan. Motivasi ini cukup erat kaitannya dengan bagaimana pengguna TIK maupun
aplikasi berbasis TIK yang dapat digunakan dalam penyuluhan melihat bukan hanya kemudahan
(ease of use) penggunaan tools dan aplikasi, namun juga kegunaan (usefulness) penggunaan TIK
dibanding sarana lain. Penelitian yang dilakukan oleh Helmy dkk. (2013) menunjukkan bahwa salah
satu alasan tidak tergunakannya aplikasi TIK dalam penyuluhan adalah ketika penyuluh tidak
memandang bahwa informasi yang disediakan dalam aplikasi tersebut sesuai dengan kebutuhan
mereka. Hal ini juga sejalan dengan hasil studi Fatimah (2014) yang mengemukakan aplikasi TIK
yang menyediakan informasi yang tidak demand-driven dan kurang sesuai dengan kebutuhan lokal
penyuluh tidak akan memotivasi penyuluh untuk menggunakannya. Disisi lain, studi yang dilakukan
oleh Subejo (2019) menunjukkan bahwa preferensi informasi petani mesti dipertimbangkan dalam
mendesain aplikasi berbasis TIK yang digunakan dalam penyuluhan. Oleh karena itu, perlu ada
perhatian besar terhadap jenis informasi yang tersedia pada aplikasi berbasis TIK, yang bertujuan
untuk meningkatkan relevansi antara informasi yang disediakan oleh aplikasi dengan kebutuhan
penyuluh dalam melakukan penyuluhan maupun kebutuhan petani dalam mengambil keputusan
mengenai adopsi sebuah inovasi.
PENUTUP
TIK sangat berpotensi dalam membantu proses penyuluhan utamanya untuk meningkatkan laju
adopsi inovasi yang ditawarkan kepada petani. Melalui pemberian informasi yang akurat, tepat
waktu, dapat diandalkan, dan terkini, penggunaan TIK dapat membantu meningkatkan persepsi
petani sebagai adopter, yang memandang sebuah inovasi dengan lebih positif utamanya pada aspek
kompleksitas dan keuntungan relatif. Potensi tersebut dapat dioptimalkan dengan cara
mengidentifikasi peluang maupun mengantisipasi tantangan yang menghambat penggunaan TIK
dalam penyuluhan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana Z. 2015. Communication pattern instructor use of Cyber Extension at Secretariat Agency
Coordination Counseling Province Riau. J. Online Mhs. Bid. Ilmu Sos. dan Ilmu Polit. 2(1): 1–15.
Ardiyansyah A, Sumaryo G, Yanfika H. 2014. Persepsi petani terhadap kinerja penyuluh di BP3K
sebagai model CoE (Center of Excellence) Kecamatan Metro Barat Kota Metro. J. Ilmu-Ilmu
Agribisnis 2(2): 182–189.
Ashari, Sharifuddin, Abidin MZ. 2018. Factors determining organic farming adoption: International
research results and lesson learned for Indonesia. Forum Penelit. Agro Ekon. 35(1): 45–58. doi:
10.21082/fae.v35n1.2017.45-58.
[AJPII] Asosiasi Jasa Penyelenggara Indonesia Internet. 2018. Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet
Indonesia. Jakarta.
[BPPSDMP] Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. 2015. Rencana
Strategis 2015-2019. Jakarta.
Van den Ban AW, Hawkins HS, editors. 1996. Agricultural Extension. 2nd ed. New Delhi (IN):
Blackwell Science Limited, New Delhi.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 481
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Purnamasari WOD. 2019. Hubungan karakteristik inovasi dengan tingkat adopsi petani terhadap
komponen pengendalian hama terpadu (PHT) padi sawah di Kelurahan Liabuku Kecamatan
Bungi Kota Baubau. Media Agribisnis 3(1): 1–12.
Purnomo SH, Kusnandar. 2019. Barriers to acceptance of information and communication technology
in agricultural extension in Indonesia. Inf. Dev. 35(4): 1–12. doi: 10.1177/0266666918767484.
Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. 5th ed. New York (US): Free Press.
Sirajuddin, Z. and R. Martin. 2019. Information and Communication Technology (ICT) Proficiency
among Extension Agents and its Impact on the Adoption of Cyber-Extension in Indonesia.
Proceedings of 35th Annual Conference of AIAEE: Linking, Innovating, Motivating, and
Engaging for Resilient Agricultural Systems. 2019 April 1-4; Port of Spain Trinidad and Tobago.
Statistica. 2019. Internet user penetration in the United States from 2017 to 2023.
https://www.statista.com/statistics/590800/internet-usage-reach-usa/ (accessed 5 October 2019).
Subejo. 2019. Desain model pemanfaatan informasi dan komunikasi digital dalam pembangunan
pertanian dan pedesaan. Suluh Pembang. J. Ext. Dev. 1(1): 32–40.
Tata JS, McNamara PE. 2017. Impact of ICT on agricultural extension services delivery: evidence from
the Catholic Relief Services SMART skills and Farmbook project in Kenya. J. Agric. Educ. Ext.
24(1): 89–110. doi: 10.1080/1389224X.2017.1387160.
Taylor C, Miller G. 2016. Examining eXtension: Diffusion, disruption, and adoption among Iowa State
University Extension and Outreach professionals. J. Ext. 54(5).
Veronice, Yelfiarita, Darnetti. 2015. Analysis of characteristics extension workers to utilization of
Information and Communication Technology. Int. J. Adv. Sci. Eng. Inf. Technol. 5(4): 303–305.
Vouters, M. 2017. Which is the future for ICTs-based services in agricultural extension in India?.
[Thesis].[Oslo (NW)] Norwegian University of Life Sciences.
https://doi.org/10.1103/PhysRevB.75.155103
ABSTRACT
The effort to fulfill food self-sufficiency is carried out with various strategies. Based on the consideration of land
limitations, intercropping system is one alternative that can be done. The application of this system needs to consider
several aspects such as agronomy, physiology, ecology and economics. Data shows that the potential for the
development of corn-based dry land intercropping in Gorontalo Province is 355.957 ha. However, its utilization needs
to be accompanied by handling existing obstacles. Meanwhile, Indonesian Agency for Agricultural Research and
Development (IAARD) has produced a package or component of technological innovation in food crops in various
agroeksositem that can be applied by farmers. Intercropping is feasible compared to monoculture (LER value>1).
ABSTRAK
Penanaman sistem tumpangsari merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Penerapan sistem
ini perlu memperhatikan beberapa aspek seperti agronomi, fisiologi, ekologi dan ekonomi. Data
menunjukan bahwa potensi pengembangan tumpangsari lahan kering berbasis jagung di Provinsi
Gorontalo sebesar 355.957 ha. Namun demikian, pemanfaatanya perlu disertai penanganan kendala yang
ada. Sementara itu, Balitbangtan telah menghasilkan paket atau komponen teknologi inovasi pertanian
tanaman pangan di berbagai agroeksositem yang dapat diterapkan oleh petani. Tumpangsari lebih
unggul dan layak dibandingkan penanaman monokultur berdasarkan pertimbangan nilai NKL yang lebih
dari satu.
Kata kunci: Jagung, tanaman pangan, tumpang sari, NKL
PENDAHULUAN
Provinsi Gorontalo memiliki potensi lahan kering sebanyak 285.449 Ha, dimana yang terluas
terdapat di Kabupaten Pohuwato 76.998 Ha (27 %) menyusul Kabupaten Gorontalo 66.348 Ha (24 %),
Kabupaten Boalemo 64.655 (23 %) dan Kabupaten Gorontalo Utara 42.557 (15%) (BPS Provinsi
Gorontalo, 2017). Lahan kering tersebut dimanfaatkan untuk berbagai komoditas tanaman
perkebunan (kelapa, kakao, kopi, cengkeh, aren dan buah-buahan) dan tanaman pangan (jagung, padi
gogo, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau) maupun hortikultura.
Optimalisasi pemanfaatan lahan mutlak dilakukan mengingat luas lahan yang relatif tidak
bertambah. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan penanaman sistem tumpang sari. Mohler
et al (2009) menyatakan bahwa tumpangsari adalah praktek penanaman dua atau lebih tanaman di
satu lahan sehingga memungkinkan terjadinya interaksi bologis. Lebih lanjut disebutkan terdapat 3
keunggulan dari sistem tumpangsari yaitu 1) penggunaan sumberdaya cahaya, air dan hara lebih
efisien dibandingkan penanaman masing-masing monokultur ditempat terpisah sehingga dapat
meningkatkan hasil dan pendapatan, 2) memiliki kepadatan hama yang lebih rendah khususnya
serangga dikarenakan tanaman campuran dapat mengecoh hama atau mendatangkan musuh alami,
3) dapat membuat manajemen tanaman penutup lebih efektif.
Pengelolaan budidaya tanaman pada sistem tumpangsari merupakan aspek yang perlu
diperhatikan. Keberadaan dua komoditas atau lebih pada satu lahan dengan waktu yang bersamaan
menyebabkan diperlukannya budidaya tanaman yang sedikit berbeda dibandingkan dengan tanaman
monokultur. Salah satu komponen teknologi yang perlu dipertimbangkan adalah varietas tanaman
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 483
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pangan yang akan digunakan. Varietas yang digunakan perlu memiliki karakter penting seperti
toleran kekeringan, tahan naungan, tahan terhadap hama atau penyakit tertentu serta memiliki
tingkat produksi yang tinggi. Komponen teknologi lainnya adalah jarak tanam. Optimalisasi lahan
mutlak sebagai bahan pertimbangan ketika melakukan tumpangsari karena dua komoditas bersaing
pada satu lahan. Selain daripada perlu juga mempertimbangkan kompetisi dalam konsumsi hara, air
dan cahaya oleh tanaman.
PENERAPAN SISTEM TUMPANGSARI DAN PERSYARATANNYA
Mengenal Sistem Tumpangsari
Tumpang sari adalah penerapan praktek pertanian yang melibatkan dua atau lebih tanaman yang
tumbuh bersama pada waktu yang bersamaan (Brooker et al. 2015). Hal tersebut tidak berarti bahwa
tanaman harus ditanam dan dipanen pada waktu bersamaan, namun pertanaman tersebut tumbuh
secara bersamaan pada sebagian besar periode pertumbuhannya. Pada sistem tumpang sari,
normalnya terdapat satu tanaman utama dan satu atau lebih tanaman tambahan, dimana tanaman
utama dipilih berdasarkan alasan ekonomi atau merupakan pangan utama. Tanaman tumpangsari
yang dipilih biasanya berasal dari jenis tanaman yang berbeda dan jikapun sama jenisnya maka
berbeda varietas yang ditanam. Eskandri et al. (2009) menyebutkan bahwa tumpangsari dapat
dilakukan antara tanaman semusim dengan tanaman semusim, tanaman semusim dengan tanaman
tahunan maupun tanaman tahunan dengan tanaman tahunan. Adapun Vandermeer (1992) membagi
sistem tumpang sari menjadi 4 bentuk, yaitu:
1. Row-intercropping yaitu menanam dua atau lebih tanaman secara bersamaan dimana satu atau
lebih tanaman ditanam pada baris-baris yang teratur dan tanaman lain ditanam dalam baris
tanaman pertama atau secara acak.
2. Mixed-intercropping yaitu menanam dua atau lebih tanaman secara bersamaan tanpa ada
perbedaan pengaturan baris tanam.
3. Strip-intercropping yaitu menanam dua atau lebih tanaman secara bersamaan dalam bidang lahan
yang berbeda dengan lebar yang cukup untuk berbudidaya mandiri tetapi cukup sempit bagi
tanaman untuk berinteraksi.
4. Relay-intercropping yaitu menanam dua atau lebih tanaman secara bersama pada sebagian masa
hidup setiap tanaman. Tanaman kedua ditanam ketika tanaman pertama sudah mencapai masa
generatif namun sebelum masa siap panen. Lithourgidis et al. (2011) menyatakan bahwa relay-
intercropping merupakan salah satu bentuk pola tumpangsari berdasarkan waktu.
Menurut Arifin et al. (2017) terdapat tiga bentuk interaksi suatu pertanaman terhadap
lingkungannya karena kehadiran pertanaman lain, yaitu: 1) Kompetitif yaitu bila terjadi pembagian
faktor pendukung pertumbuhan yang terbatas seperti sinar, air dan hara diantara pertanaman, 2)
Non-kompetitif (interferensi), yaitu tidak dijumpainya pengaruh pertumbuhan satu pertanaman
terhadap pertanaman lain sebagai akibat pemanfaatan sumber pendukung pertumbuhan, 3)
Komplementer yaitu ketika suatu pertanaman dapat menghasilkan faktor pendukung pertumbuhan
baik bagi dirinya sendiri maapun bagi pertanaman lainnya.
Pertimbangan Penanaman Tumpangsari. Tumpangsari telah lama dikenal sebagai salah satu
sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Papanastasis et al. (2004) menyatakan bahwa
tumpangsari telah dikenal dan dilakukan oleh bangsa Yunani kuno ketika 300 SM dimana gandum,
barley dan kacang ditanam dengan anggur dan zaitun. Knorzer et al. (2009) mencatat bahwa
tumpangsari sudah dilakukan oleh Bangsa Cina 1000 tahun lalu dan terus berkembang hingga saat
sekarang. Di Cina, tercatat 28 juta ha lahan telah menerapkan sistem tumpang sari dimana sebagian
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 485
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
. Dari luasan sesuai tersebut hanya terdapat 26 213 Ha yang sangat sesuai sedangkan sisanya
sebanyak 329,744 perlu penanggulan kendala dalam pemanfaatanya sebagai lahan pertanaman seperti
penanganan masalah ketersediaan air, erosi, hara, dll. Kabupaten Gorontalo memiliki potensi
pengembangan yang tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya sebesar 128,791 Ha sedangkan
terendah Kota Gorontalo yaitu seluas 1,967 Ha. Lahan yang sangat sesuai untuk penanaman jagung
hanya terdapat di 2 kabupaten yang meliputi Kabupaten Bone Bolango dan kab Gorontalo Utara.
Dengan demikian pengembangan penanaman komoditas pangan Provinsi Gorontalo diperlukan
upaya penanggulangan terhadap kendala yang ada sehingga hasil produksi dapat optimal.
Penelitian Yuwariah et al (2017) menyimpulkan bahwa tumpangsari jagung dengan kedelai dapat
memberikan hasil lebih tinggi 45% (NKL=1,45) dibandingkan sistem monokultur, dimana hasil
produksi jagung mencapai 5,77 t/ha dan kedalai sebesar 0,25 t/ha. Namun demikian, hal yang perlu
diperhatikan adalah intensitas cahaya yang diterima oleh pertanaman yang lebih rendah agar jangan
sampai kurang mendapat cahaya matahari. Adapun hasil kajian tumpangsari jagung dengan padi
menunjukan bahwa tumpangsari komoditas tersebut dapat memberikan hasil lebih tinggi
dibandingkan monokuktur padi sebanyak 85% (NKL=1,85%) atau sedikitnya 1,55% atau NKL=1,55
(Dewi et al, 2014). Balitkabi (2018) menyimpulkan bahwa tumpangsari jagung dan kedelai dinilai
lebih kompetitif dibandingkan sistem monokultur dengan capaian nilak NKL 1,15-1,49 demikian nilai
ekonomis yang dicapai juga lebih tinggi yaitu memperoleh pendapatan sebesar 6,7 juta/ha sedangkan
usahatani kedelai sebesar Rp 4,2 juta/ha.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 487
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
membantu pertumbuhan tanaman karena memiliki ZPT (Setyorini et al., 2006 dan Suriyadikarta dan
Setyorini, 2006) 3)
Varietas tanaman pangan potensi produksi tinggi, tahan naungan, memiliki sudut daun yang
sempit, toleran hama dan penyakit tertentu serta toleran cekaman tertentu. Beberapa varietas jagung
yang dihasilkan Badan Litbang diantaranya: a) Jagung BIMA 20 (toleran kekeringan, tahan bulai,
tahan karat dan hawar daun), BIMA 5 (tahan bulai dan karat daun), NASA 29 (tahan bulai, potensi
tongkol dua), b) Padi rindang 1 (varietas padi gogo meimiliki kemampuan spesifik yaitu toleran
naungan selain agak toleran kekeringan, tahan rebah, kerontokan sedang, tekstur pera dan potensi
hasil mencapai 6,97 t/ha), rindang 2 (toleran naungan dan kekeringan, kerontokan sedang, tahan
rebah, tekstur nasi pulen dengan potensi hasil mencapai 7,39 t/ha) (Sasmita et al, 2019), c) Kedelai
Dena 1 (toleran naungan 50%, agak tahan rebah, polong tidak mudah pecah, ukuran biji besar serta
memiliki potensi hasil 2,9 t/ha), Dena 2 (sangat toleran naungan, tahan rebah, tidak mudah pecah,
ukuran sedang dan potensi hasil 2,8 t/ha) (Kementan, 2017) 4) Pengembangan pupuk hayati. Pupuk
hayati berfungsi untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, produktivitas serta meningkatkan
ketahanan terhadap penyakit seperti Biobus, SMESH dan AGRICE.
Saraswati (2012) menyimpulkan bahwa terdapat 3 kegunaan aplikasi pupuk hayati dalam
pertanian yaitu meningkatan kualitas pupuk organik, ketersediaan hara dan efisiensi pemupukan
sehingga pemanfaatannya perlu dikembangkan karena mendukung pertanian ramah lingkungan dan
berkelanjutan. 5) teknologi panen dan hemat air yang bertujuan untuk menyediakan sumber air yang
memadai bagi pertanaman disertai pengunaan yang efisien seperti teknik distribusi dari sumber
menuju lahan, teknik pemberian air ke tanaman atau teknik penyiraman serta aplikasi dosis juga
frekuensi irigasi 6) Inovasi alsintan dalam mendukung tumpangsari serta pertanian secara umum.
Hingga kini telah banyak hasil rekayasa alat dan mesin pertanian yang dilakukan Badan litbang
pertanian, terdapat 2 opsi yang perlu dilakukan yaitu 1) Sistem tumpangsari yang diterapkan perlu
menyesuaikan dengan alsintan yang sudah ada (jangka pendek), 2) Rekayasa alsintan yang
disesuaikan dengan sistem tumpangsari untuk jangka panjang
KESIMPULAN
Tumpangsari merupakan salah satu alteranatif yang dapat diterapkan masyarakat dalam
berbudiya. Pemilihan pola tersebut harus memperhatikan aspek agronomi, fisiologi, ekologi dan
ekonomi. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan maka potensi pengembangan tumpangsari lahan
kering berbasis jagung di Provinsi Gorontalo mencapai 355,957 Ha. Namun demikian
pemanfaataanya perlu memperhatikan kendala yang ada. Badan litbang pertanian sendiri telah
menghasilkan beragai inovasi teknologi yang dapat diterapkan dalam sistem tanam tumpangsari.
Mempertimbangkan nilai NKL, maka sistem tumpangsari dinilai lebih unggul dibandingkan
penanaman monokultur dengan nilai NKL lebih dari satu.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2019. Katam Terpadu Provinsi Gorontalo. Jakarta (ID):
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016a. Atlas peta kesesuaian lahan dan arahan
komoditas pertanian Kabupaten Boalemo. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016b. Atlas peta kesesuaian lahan dan arahan
komoditas pertanian Kabupaten Gorontalo. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 489
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Sasmita, P, Satoto, Rahmini, N. Agustiani, D. D. Handoko, Suprihanto, A. Guswara, Suharna. 2019.
Deskripsi varietas unggul baru padi. Subang (ID): Kementerian Pertanian.
Setyorini, D, R. Saraswati dan E. K. Anwar. 2006. Kompos dalam: Simanungkalit R.D.M., D. A.
Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik, editors. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. p.
11-40.
Suriadikarta, D. A. dan D. Setyorini. 2006. Baku mutu pupuk organik. Dalam: Simanungkalit R.D.M., D.
A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik, editors. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. p.
231-244.
Seran, Thayamini H., and Brintha I. 2010. Review on Maize Based Intercropping. Journal of Agronomy.
9(3):135–45.
Yuwariah Y., Ruswandi D., dan Irwan W. 2017. Pengaruh Pola Tanam Tumpangsari Jagung Dan
Kedelai Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung Hibrida Dan Evaluasi Tumpangsari Di
Arjasari Kabupaten Bandung. Jurnal Kultivasi 16(3):514–21.
ABSTRAK
Penerapan teknologi yang tepat dan benar akan membantu meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat penerapan teknologi buidaya
jagung dan efisiensi usahatani jagung pada lokasi sentra produksi jagung di Kabupaten Sumbawa.
Metode penelitian dilakukan dengan FGD di 6 Desa di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa melibatkan
30 orang petani di setiap desa. Komponen utama paling berpengaruh terhadap produktivitas yaitu dosis
pupuk dan jumlah benih. Terdapat 6 Dosis pemupukan (urea kg/ha) + NPK kg/ha) yaitu Desa A ( 250
+250), Desa B (400 + 200), Desa C (150 + 550), Desa D ( 350 + 150 ), Desa E ( 250 + 500) dan Desa F ( 500 + 500).
Hasil kajian menunjukkan bahwa Desa F memiliki produktivitas dan pendapatan yang tinggi, disusul
Desa A dengan keuntungan Rp. 20.455.000,-/ha, sedangkan terendah Desa E dengan produktivitas 7,000
kg/ha dan keuntungan Rp. 10.900.000,. Walaupun Desa F produktivitas dan keuntungan usahataninya
tinggi tetapi penggunaan pupuk an-organiknya (kimia) terlalu berlebihan, yang berdampak kurang baik
terhadap lingkungan sehingga kurang efisien. Sementara untuk Desa E produktivitas dan keuntungan
reatif rendah walaupun pupuk yang digunakan sudah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dosis pupuk
yang tinggi belum tentu meningkatkan produtivitas dan pendapatan secara linier. Sedangkan teknologi
dan usahtani jagung yang paling efisien ada pada Desa A, karena menerapkan teknologi yang tepat dan
dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan cukup tinggi.
PENDAHULUAN
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 491
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
ton. Sementara untuk capaian produksi di kabupaten Sumbawa selama kurun waktu lima tahun
terakhir yaitu : tahun 2009, 100.840 ton; tahun 2010, 57.425 ton; tahun 2011, 132.554 ton; tahun 2012,
192.391 ton; tahun 2013, 218.466 ton. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 2010 terjadi karena
penurunan luas panen (Dinas Pertanian, 2014).
Peningkatan produktifitas jagung masih sangat terbuka luas, terutama dengan penerapan
teknologi budidaya jagung yang tepat dan benar. Budidaya jagung terdiri dari beberapa komponen
diantaranya; penggunaan varietas unggul, persiapan lahan, penggunaan populasi atau jarak tanam
optimal, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan panen dan
pasca panen. Diharapkan dengan penerapan teknologi budidaya jagung yang tepat dan benar, petani
dapat meningkatkan produktivtas jagung, yang kemudian akan berpengaruh terhadap peningkatan
pendapatan petani.
Dalam pengembangan jagung di NTB dilakukan dalam suatu kawasan, dengan menerapkan
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung dengan sistem Sekolah Lapang (SL).
Dalam Sekolah Lapang (SL) ada Laboraturium Lapang (LL), dimana LL ini tempat seluruh petani
dalam kawasan jagung belajar teknologi Budidaya Jagung yang tepat dan benar. Pendampingan
teknologi budidaya jagung dalam SL, dilakukan oleh peneliti maupun penyuluh.
Diharapkan melalui pendampingan SLPTT Jagung ini maka tingkat penerapan teknologi budidaya
jagung di tingkat petani pada wilayah sentra produksi jagung meningkat, yang akan berpengaruh
terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Dengan penerapan teknologi yang tepat
dan benar diharapkan juga akan meningkatkan efisiensi usahatani jagung , sehingga pendampatan
petani meningkat seara nyata. Oleh sebab itu maka tujuan dari pengkajian ini adalah untuk
mengetahui tingkat penerapan teknologi budidaya jagung dan pendapatan petani di kawasan sentra
produksi jagung di Kabupaten Sumbawa.
METODE PENELITIAN
Metode dasar yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif. Penentuan lokasi
penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Lokasi penelitian merupakan lokasi pendampingan SLPTT
jagung di enam desa yang tergabung dalam satu kecamatan pada musim tanam Musim Kemarau I
(MK.I) tahun 2013. Pada tahun 2013 kecamatan Utan mandapatkan program GPPTT jagung..
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling yaitu suatu
metode dimana semua anggota sampel dianggap memiliki karakteristik yang sama sehingga
siapapun yang diambil dapat mewakili populasinya. Data yang diperlukan dalam penelitian ini
dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara individual meliputi cara budidaya yang biasa
diterapkan oleh petani dan produktivitas jagung yang dihasilkan. Analisis financial dilakukan dengan
R/C, B/C atas biaya tunai.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 493
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
fisiologi tanaman jagung, antara lain penundaan keluarnya bunga jantan (silking delay) dan
meningkatkan jumlah tongkol tidak berbiji. Hal yang sama juga disampaikan oleh Yulisma (2011)
bahwa besarnya jumlah tongkol tidak berbiji berkolerasi positif dengan naiknya tingkat kepadatan
populasi tanaman. Masih terkait kerapatan tanaman, Sutoro, et al, (1997), menyatakan bahwa
populasi tanaman jagung yang lebih baik untuk varietas unggul berkisar antara 60.000-70.000
tanaman/ha. Ismon et al. (1998), menyatakan bahwa jarak tanam yang terlalu rapat akan menghambat
pertumbuhan tanaman, tetapi jika terlalu jarang akan mengurangi populasi per satuan luas. Sunihardi
et al. 2000, juga menyatakan bahwa populasi optimum untuk tanaman jagung sebanyak 70.000
tan/ha
Populasi yang terlalu rapat juga akan mempermudah tingkat serangan hama dan penyakit pada
tanamn jagung, karena kondisi iklim mikro disekitar pertanaman menjadi lebih lembab, sehingga
mempermudah berkembangnya penyakit seperti jamur dan bakteri. Untuk itu hindari populasi
tanaman yang terlalu rapat, agar sirkulasi udara dan pencahayaan dapat masuk dengan sempurna.
Cara tanam yang baik adalah dengan cara ditugal secara teratur sesuai dengan jarak tanam yang telah
ditentukan. Penanaman jagung dengan cara ditugal kemudian ditutup lagi dengan tanah atau
pupuk kandang akan sangat membantu meningkatkan daya tumbuh benih, sehingga produktivitas
jagung meningkat.
Untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman jagung, perlu penambahan pupuk an-organik
berupa pupuk Urea dan NPK Phonska. Dari Tabel 1, diketahui bahwa total pupuk yang diberikan di
setiap desa sangat bervariasi per hektarnya yaitu 500, 600,700, 750 sampai 1.000 kg/ha. Dari keenam
dosis tersebut, dosis pupuk pada Desa Tengah (A) sebanyak 500 kg/ha sesuai dengan rekomendasi
pemupukan dari BPTP NTB, sedangkan Desa lainnya termasuk dalam katagori berlebih.
Pemupukan unsur nitrogen dan fosfor merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat di tinggalkan
dalam setiap penanaman jagung. Pengambilan unsur N dan P berlangsung secara kontinyu sejak
tanaman tumbuh sampai hampir mendekati masa kemasakan tanamann (Rinsema W.I,1989).
Menurut Hikmawati, 2014, menyatakan bahwa tanaman perlu mendapatkan takaran yang sesuai
agar terjadi keseimbangan unsur hara didalam tanah yang dapat menyebabkan tanaman dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik serta menghasilkan produksi yang optimal. Respon tanaman
terhadap pemberian pupuk akan meningkat bila menggunakan takaran pupuk yang tepat.
Setyamidjaja (1986), menyatakan bahwa unsur nitrogen (N) berperan penting dalam merangsang
pertumbuhan vegetatif yaitu menambah tinggi tanaman serta jumlah daun. Menurut Hikmawati,
2014, bahwa pemberian unsur N dan P yang efisien sangat dibutuhkan tanaman pada fase vegetatif.
Kombinasi dosis pupuk urea 150 kg/ha dan phonska 350 kg/ha memberikan jumlah daun terbanyak
pada umur 42 Hst.
Cara pemupukan yang dilakukan petani di enam desa tersebut adalah tugal dan sebar.
Rekomendasi cara pemupukan dari BPTP NTB adalah dengan cara ditugal, sehingga untuk Desa
Motong=C dan Pukat=E, cara aplikasi pupuknya masih belum sesuai dengan rekomendasi. Cara
aplikasi pupuk dengan cara sebar, akan sangat merugikan karena banyak sekali unsur yang hilang
terbawa air, bersama angin, menguap dan sebagainya. Meskipun tanaman dipupuk dalam jumlah
besar tetapi pengaruhnya kecil terhadap tanaman. Untuk komponen teknologi penyiangan, secara
umum petani sudah melakukan penyiangan dengan mengguakan herbisida selektif. Penyiangan
dengan cara ini cukup efektif dan efisien jika dibandingkan dengan menggunakan cara manual. Biaya
yang dibutuhkan untuk menyiangan menjadi relatif sedikit.
Untuk sistem pengairan secara umum sudah cukup baik di enam lokasi kajian. Pengairan
dilakukan 5 sampai 6 kali per musim tanam. Jika kurang air disaluran irigasi, maka petani
menggunakan pompa, yang sumber airnya berasal dari sumur-sumur dangkal yang dibuat petani di
Petani panen saat tingkat kematangan sempurna, sehingga kualitas biji yang dihasilkan petani di
Kabupaten Sumbawa lebih baik dibandingkan dengan kualitas biji jagung di Pulau Lombok. Petani di
Sumbawa menjual hasil panen mereka dalam bentuk pipilan kering.
Analisa Usahatani
Dari Tabel 2, menunjukkan analisa usahatani jagung yang dilakukan di enam desa yang ada di
Kecamatan Utan Kabuaten Sumbawa. Dari biaya saprodi yang dikeluarkan untuk melakukan
usahatani jagung per hektarnya terlihat bahwa Desa Bale Brang (F) memiliki biaya Saprodi tertinggi
yaitu Rp. 4.100.000, kemudian diikuti oleh Desa Pukat (E) sebesar Rp. 3.650.000, sementara yang
terendah yaitu Desa Orong Bawah (B ) sebesar Rp.2.700.000,-. Untuk biaya tenaga kerja, biaya
tertinggi dikeluarkan oleh Desa Bale Brang (F) sebesar Rp. 4.420.000,- yang kemudian diikuti oleh
Desa Motong (C) sebesar Rp. 4.355.000,- sementara biaya terkecil adalah Desa Tengah (A) sebesar
Rp. 3.855.000. Perbedaan ini terjadi karena masing-masing desa menggunakan cara budidaya yang
berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa tidak selamanya penggunaan teknologi akan meningkatkan
biaya usahatani, bahkan sebaliknya melalui penerapan teknologi yang tepat maka usahatani jagung
yang dilakukan akan menjadi lebih efisien dan menguntungkan.
Jika dilihat dari segi penerimaan maka Desa Bale Brang (F) merupakan desa yang memiliki
penerimaan terbesar yaitu Rp. 23.079.000, kemudian disusul oleh Desa Tengah (A) sebesar Rp.
21.002.500, sementara Desa Orong Bawah (B) mendapatkan penerimaan terendah sebesar Rp.
17.892.500. Perbedaan ini terjadi tergantung dari penerapan teknologi budidaya jagung yang telah
dilakukan petani di masing-masing Desa. Dari hasil perhitungan B/C ratio diketahui bahwa usahatani
jagung yang dilakukan di enam desa tersebut, dikatagorikan layak karena nilai B/C Rationya lebih
tinggi dari 1 (> 1). Walupun Desa Bale Brang (F) memiliki penerimaan lebih besar yaitu Rp.
23.079.000 dibandingkan dengan Desa Tengah (A) sebesar Rp. 21.002.500, tetapi Desa Tengah (A)
memiliki B/C rato (2,95) yang lebih tinggi dibandingkan dengan B/C ratio Desa Bale Brang (F)
sebesar 2,59. Ini menunjukkan bahwa Desa Tengah (A) lebih efisien dibandingkan dengan model
lainnya.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 495
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 2. Analisis Usaha Tani di Enam Desa di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa
URAIAN D E S A
No A=Tengah B=Orong C= Motong D=Stowe E=Pukat F=Bale
Bawah Brang Brang
A Saprodi 2.875.000 2.700.000 3.575.000 2.925.000 3.650.000 4.100.000
B Tenaga Kerja 3.855.000 4.005.000 4.355.000 4.320.000 3.905.000 4.420.000
C Lain-Lain 400.000 400.000 400.000 400.000 575.000 400.000
Total A + B + C 7.130.000 7.105.000 8.330.000 7.645.000 8.130.000 8.920.000
Hasil biji jagung (kg/ha) 10.230 9.090 7.272 8.727 6.363 11.636
Harga Jagung/kg 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750
Penerimaan (Rp/ha) 28.132.500 24.997.500 19.998.000 23.999.250 17.498.250 31.999.000
Pendapatan 21.002.500 17.892.500 11.668.000 16.354.250 9.368.250 23.079.000
B/C 2,95 2,52 1,40 2,14 1,15 2,59
Sumber : data primer diolah
KESIMPULAN
Penerapan teknologi yang tepat akan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan pendapatan
masyarakat. Usahatani jagung di 6 lokasi pengkajian menunjukkan bahwa usahatani jagung tersebut
layak dan dapat dikembangkan dengan nilai B/C ratio lebih dari 0,5%.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2014.Badan Pusat Statistik Indonesia.
Dipertahorti NTB, 2014. Laporan Produksi Jagung Nusa Tenggara Barat. Dinas Pertanian dan
Hortikultura Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gardner, F. P. Pearce. R. B. and Michell. R. L. 1996. Physiology of crop plant. Terjemahan Herawati,
Susilo, dan Subiyanto. UI Pres, Jakarta. p. 61-68; 343.
Hikmawati , M., 2014. Pengaruh Varietas dan Penggunaan Dosis Pupuk Terhadap produksi Jagung
(Zea mays L.). Media Soerjo Vol. 14 No 1.
Irfan, M. 1999. Respons tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap pengelolaan tanah dan kerapatan
tanam pada tanah Andisol. Tesis Program Pasca Sarjana USU, Medan. p. 13-74.
Ismon L. Syafei dan Jefri. 1998. Pengaruh populasi tanaman dan tingkat pemupukan NPK terhadap
pertumbuhan dan hasil jagung. Risalah Seminar Ballittan Sukarami III:51-59.
Pioneer 2006. Petunjuk penanaman jagung hibrida Pioneer. Brand Products. p. 3-10
Rukmana, R. 2002, Usaha tani jagung. Kanisius, p. 16-79.
Sitompul, S. M. & B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sudjana, A.A., Rifin, dan R. Setiyono. 1998. Tanggapan beberapa varietas jagung terhadap naiknya
tingkat kepadatan tanaman. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. 6:97-100.
Sunihardi, Yunastri, S., dan Kurniasih. 2000. Deskripsi varietas unggul palawija. Puslitbangtan. Bogor.
p. 43-48. Suprapto 2001.Bercocok tanam jagung. Penebar Swadaya. p. 7-15.
Sutoro, Soelaiman Y, dan Iskandar. 1997. Budidaya tanaman jagung dalam Subandi, M. Syam, dan
Widjono (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan, Bogor.
Sutoro, Soelaeman, Y. & Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung. Balit Tanaman Pangan, Bogor.
Yulisma , 2011, Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Jagung pada Berbagai Jarak Tanam.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol.30 No.3.
ABSTRAK
Produktivitas yang dihasilkan oleh padi sangat ditentukan oleh kualitas dari varietas yang digunakan.
Preferensi petani terhadap kualitas dari suatu varietas dapat dinilai dari tingkat kepuasan petani antara
harapan yang ingin dicapai dan kualitas hasil yang diterima. Varietas yang sesuai dengan agroklimat,
tahan terhadap hama dan penyakit serta sesuai permintaan pasar merupakan factor yang mendorong
petani selektif dalam memilih benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik petani
dan menganalisis preferensi petani terhadap beberapa varietas unggul baru padi sawah yang
diintroduksikan oleh BPTP Gorontalo. Preferensi petani dianalisis dengan menggunakan pendekatan
multiatribut Fishbein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa atribut yang dianggap penting dalam benih
varietas unggul baru padi adalah harga beras, produktivitas, dan tahan terhadap hama dan penyakit.
Preferensi petani terhadap varietas unggul baru yang diintroduksikan oleh BPTP Gorontalo berdasarkan
atribut yang dipilih berturut-turut adalah varietas ciherang, inpari 30, 33, 42, 31 dan MD400.
ABSTRACT
The productivity produced by rice is largely determined by the quality of the variety used. Farmers' preferences for the
quality of a variety can be assessed from the level of farmer satisfaction between the expectations to be achieved and the
quality of the results received. Varieties that are suitable for agro-climate, resistant to pests and diseases and according
to market demand are factors that encourage selective farmers in selecting seeds. This study aims to identify the
characteristics of farmers and analyze the preferences of farmers towards some new superior varieties of lowland rice
introduced by BPTP Gorontalo. Farmer preferences were analyzed using the Fishbein multi-attribute approach. The
results showed that the attributes considered important in the seeds of new superior varieties of rice were the price of
rice, productivity, and resistance to pests and diseases. Farmers' preference for new improved varieties introduced by
AIAT Gorontalo based on the attributes chosen were successive varieties of ciherang, inpari 30, 33, 42, 31 and
MD400.
PENDAHULUAN
Benih unggul berperan penting dalam peningkatan produksi padi dan produktivitas lahan sawah
irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian melalui Balai Besar Penelitian
Padi pada setiap tahunnya menghasilkan varietas unggul baru (VUB) padi. Hasil penelitian dan
pengembangan tanaman padi dapat berupa varietas dan teknologi budidaya. Pada tahun 2013-2018
BB Padi telah melepas 28 varietas yang mempunyai keunggulan spesifik masing-masing, seperti
Inpari 32 HDB, Inpari 33 (BB Padi, 2019). Varietas merupakan komponen penting dalam
meningkatkan produksi padi. Namun kenyataan ditingkat petani masih lebih banyak menggunakan
varietas unggul lama seperti ciherang, mekongga, IR64. Kondisi tersebut menggambarkan tingkat
pemanfaatan petani dalam penggunaan varietas sangat selektif dan fanatik.
Penyebaran secara luas VUB padi telah dilakukan oleh BPTP Gorontalo dengan melaksanakan
display varietas unggul di sejumlah wilayah yang memiliki potensi padi sawah. Metode penyuluhan
seperti demfarm percontohan teknologi jarwo super, temu lapang, serta pameran dilaksanakan guna
mendekatkan hasil-hasil inovasi baru kepada petani sebagai pengguna utama. Upaya ini untuk
memperkenalkan VUB secara langsung dengan memperagakan di sawah petani dengan harapan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 497
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
petani dan penyuluh dapat melihat secara langsung dan merasakan kualitas padi, dari performa di
sawah (keragaan), hasil gabah, beras dan rasa nasi. Berdasarkan gambaran hasil yang dilakukan
semusim diharapkan petani mampu menentukan pilihan untuk melakukan pergiliran varietas sesuai
preferensinya.
Sikap petani dalam menentukan pilihan sampai pada tingkat suka terhadap varietas yang akan
ditanaman sangat penting untuk diketahui. Hal ini diperlukan sebagai informasi kepada pemulia
tanaman dalam menghasilkan varietas unggul baru berdasarkan karakteristik padi yang paling
banyak dipilih oleh petani dan memiliki banyak keunggulan. Pihak swasta sebagai produsen benih
juga akan lebih mudah dalam menentukan produksi benih yang disukai oleh sebagian besar petani,
demikian juga pemerintah dalam melaksanakan program pertanian untuk bantuan benih sudah
sesuai dengan harapan petani. Perakitan varietas unggul yang spesifik lokasi membutuhkan
informasi terkait keadaan, kebiasaan, dan kebutuhan petani sehingga perakitan sesuai dengan
kebutuhan di tempat tersebut. Menurut Almekinders dan Elings (2001), pada era market driven,
semua proses produksi mengacu pada pemuasan kebutuhan pasar, sehingga keputusan menentukan
nilai produk akhir melibatkan opini konsumen. Demikian pula untuk kegiatan pemuliaan tanaman
mulai berkembang konsep pemuliaan yang melibatkan pelaku produksi lapang dan konsumen dalam
hal ini adalah petani. Penelitian bertujuan untuk mengetahui preferensi petani terhadap varietas
unggul baru padi yang sedang diintroduksikan kepada petani..
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 499
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Berdasarkan karakteristik umur dapat dilihat bahwa sebagian besar petani masih trgolong
produktif yaitu berumur antara 22 – 42 tahun. Sebagian besar petani melakukan usahatani dengan
sistem bagi hasil karena merupakan petani penggarap. Lahan garapan yang diusahakan lebih banyak
dengan luasan 1 – 2 pantango atau 2500 – 5000 m2. Tingkat pendidikan dari petani kooperator
sebagian besar adalah lulusan sekolah dasar. Jumlah anggota keluarga petani rata-rata hanya 1 – 2
orang. Kondisi karakteristik petani tersebut mencerminkan sebagian besar petani di Gorontalo, yaitu
dengan lahan usaha yang sempit, sebagai penggarap dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Proses Pemilihan Benih
Petani dalam pemilihan benih didasarkan pada suatu dorongan dari dirinya untuk mencapai
tujuannya masing-masing atau disebut dengan motivasi diri. Motivasi petani dalam pemilihan benih
padi sebagian besar didasarkan pada variebel keuntungan yang dihasilkan dari usahatani padi yaitu
sebesar 35,3%. Benih yang dipilih merupakan benih yang sudah diyakini akan memberikan
keuntungan saat tiba waktu panen. Oleh sebab itu keunggulan dari benih harus benar-benar teruji
dilapangan dan terpercaya memiliki hasil produksi yang tinggi dan berkualitas.
Tabel 2. Motivasi petani dalam usahatani
Hal ini disetujui oleh sebagian besar petani responden yaitu sebanyak 76,5% yang menyatakan bahwa
bibit berkualitas adalah variable sangat penting dalam budidaya padi. Sedangkan sumber informasi yang
menjadi terpercaya dalam memberikan referensi kepada petani adalah berasal dari kelompok tani yaitu
sebesar 52,9%.
Penilaian Atribut Benih
Penilaian atribut yang ada pada benih terdiri atas 16 atribut diantaranya produktivitas, tahan
terhadap hama dan penyakit, umur tanaman, daya tumbuh, tekstur nasi, efisiensi penggunaan
pupuk, daya simpan, kemasan, jenis varietas, ukuran benih, tanggal kadaluarsa, label benih, harga
jual benih, harga beras, Akses benih dan tersedia demplot. Penilaian diukur berdasarkan interval
dengan rentang 1 : tidak penting, 2 : biasa dan 3 : penting. Tabel 3 menunjukkan hasil penilaian petani
responden terhadap atribut benih yang digunakan saat kegiatan berlangsung.
Berdasarkan hasil penilaian evaluasi (ei) terhadap 16 atribut benih padi, sebagaimana terlihat pada
Tabel 3, tingkat penilaian evaluasi menunjukkan sebanyak empat belas atribut berada pada rentang
skala penting, sementara satu atribut berada di rentang biasa dan satu atribut lainnya berada dalam
rentang skala tidak penting. Empat belas atribut dalam kategori penting adalah harga beras (3),
produktivitas (2,94), tahan hama dan penyakit (2,94), umur tanaman (2,82), daya tumbuh (2,75),
efisiensi penggunaan pupuk (2,71), ukuran benih (2,71), ketersediaan demplot di lapangan (2,71),
daya simpan (2,58), jenis varietas (2,58), harga jual benih (2,58), tanggal kadaluarsa (2,41), mudah
Berdasarkan hasil penilaian atribut tersebut, diperoleh bahwa harga beras merupakan atribut
benih padi yang mempunyai tingkat evaluasi paling penting. Sehingga secara keseluruhan petani
responden menilai bahwa selain atribut produktivitas yang biasanya dipertimbangkan, faktor harga
beras di pasaran menjadi pertimbangan utama untuk memilih dan menggunakan benih padi varietas
unggul dalam budidaya padi. Sedangkan kemasan benih yang membuat benih menjadi lebih aman
serta mudah dalam pengangkutan diberikan penilaian tidak penting oleh sebagian besar responden.
Kemasan benih bagi petani belum mencerminkan kualitas dari benih yang akan ditanam sehingga
menjadi atribut yang tidak penting.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 501
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel 4. Penilaian kepercayaan benih padi
Analisis preferensi yang dilakukan menunjukkan bahwa varietas ciherang menjadi pilihan utama
bagi petani yang memiliki nilai atribut tertinggi yaitu 66,39. Secara berturut-turut berdasarkan nilai
preferensi atribut varietas yang dipilih yaitu inpari 30 (64,04), Inpari 33 (62,61), Inpari 42 (61,77),
Inpari 31 (61,74) dan MD400 (60,96). Tingkat preferensi petani tergantung pada atribut-atribut yang
dimiliki oleh masing-masing varietas. Atribut yang menjadi pilihan utama dan harus dimiliki oleh
varietas unggul adalah memiliki produktivitas yang tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit.
Oleh sebab itu perakitan varietas unggul baru didesain untuk dapat menghasilkan produksi yang
tinggi meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, seperti tahan kekeringan, tahan rendaman,
tahan kemasaman. Varietas padi juga harus memiliki daya tahan serta memiliki ketahanan terhadap
OPT yang ada, seperti tahan terhadap wereng batang coklat, tahan terhadap penyakit blast dan lain-
lain. Menurut Rusyadi (2014), Koes (2013), dan Wicaksana et al. (2013) hal yang menjadi pilihan utama
petani dalam menentukan penggunaan benih adalah produktivitas, daya tahan, daya tumbuh benih,
keseragaman benih, ukuran benih, ketersediaan benih, harga beli benih, asal produksi, dan label
sertifikasi.
Varietas ciherang masih menjadi pilihan terbaik bagi petani dalam usahatani padi, meskipun
varietas tersebut telah lama dilepas yaitu selama 19 tahun. Varietas pengganti sebenarnya sudah
KESIMPULAN
Preferensi petani terhadap benih padi yang diintroduksi pada kegiatan pendampingan kawasan
pertanian nasional tanaman pangan menunjukkan varietas ciherang masih menjadi pilihan bagi
petani, selanjutnya varietas unggul baru yang disukai adalah inpari 30, 33, 42, 31 dan MD400. Hal ini
menunjukkan bahwa benih varietas ciherang memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan
dengan benih varietas unggul baru.
Program pemerintah yang lebih fokus pada memberikan bantuan benih sebaiknya
mempertimbangkan tingkat preferensi petani dalam memilih benih. Berdasarkan hasil pengkajian
preferensi petani terhadap varietas benih padi dapat direkomendasikan kepada pemerintah untuk
memproduksi varietas ciherang dan VUB inpari 30 untuk petani di Kecamatan Limboto Barat
Kabupaten Gorontalo.
DAFTAR PUSTAKA
Almekinders, C.J.M. and A. Elings. 2001. Collaboration of farmers and breeders : Participatory crop
improvement in perspective. Euphytica,122:425–438.
Balai Besar Padi. 2019. Laporan Kinerja Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Kementerian Pertanian
Engel JF, Roger DB, Paul WM. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi Keenam. Jilid I. Binarupa Aksara.
Jakarta (ID).
Koes A. 2013. Analisis Sikap, Kepuasan Dan Loyalitas Petani Terhadap Penggunaan Benih Unggul
Jagung Komposit Di Sulawesi Selatan. [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Marwan, Asri. 1990. Marketing. BPFE Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Prayoga, M.K, N. Rostini, M.R. Setiawati, T, Simarmata, S. Stoeber, K. Adinata. 2018. Preferensi
PetaniTerhadap Keragaan Padi (Oryza sativa) Unggul Untuk Lahan Sawah di Wilayah
Pangandaran dan Cilacap
Rusyadi Y. 2014. Analisis Sikap Dan Kepuasan Petani Terhadap Atribut Benih Padi Hibrida Maro Di
Kabupaten Subang Jawa Barat. [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor(ID).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 503
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Wicaksana BE, Abdul Wahib Muhaimin, Djoko Koestiono. 2013. Analisis Sikap dan Kepuasan Petani
dalam menggunakan Benih Kentang Bersertifikat (Solanum tuberosum L.) (Kasus di Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu). Habitat Volume XXIV, No. 3, Bulan Desember 2013 ISSN: 0853-5167
ABTRACT
KUB chicken is kampong chicken of balitbangtan, The Ministry of Agriculture has been introduced in the province of
Banten in 2012. KUB chicken have Enough Important thing as a source of animal protein provider(meat and eggs).
The high demand for chicken meat and eggs of KUB in Banten is the opportunity to review efforts to develop it.
Research using a structured questionnaire survey method to 60 KUB farmers as respondents, Chosen by purposive
random sampling. Data collected included primary and secondary data. THW secondary data from the Agriculture
and Livestock District Serang and Tangerang regency. The Data were analyzed descriptively. Research shows that the
prospect of development of chicken KUB-1 in Banten are very promising, availability of seeds Quality, And Economic
Analysis Advantageously good for business enlargement and to review availability of potentialresourcespolicies and
The local government supports the development of the Native Chicken.
Keywords: Potential, Development Chicken KUB, Institutional Animal
ABSTRAK
Ayam KUB adalah ayam kampung unggul balitbangtan, kementerian pertanian yang telah diintroduksi
di provinsi Banten pada tahun 2012. Ayam KUB memiliki peran yang cukup penting yaitu sebagai sumber
penyedia protein hewani berupa daging dan telur. Tingginya permintaan daging ayam dan telur ayam
KUB di Banten adalah peluang usaha untuk mengembangkannya. Penelitian menggunakan metode
survey dengan kuesioner terstruktur terhadap 60 peternak ayam KUB-1 sebagai responden yang terpilih
secara purposive random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan skunder. Data
skunder diperoleh dari Dinas pertanian dan Peternakan Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang.
Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prospek pengembangan ayam
KUB-1 di Provinsi Banten sangat menjanjikan didukung dengan keunggulan ayam KUB-1 yang dimiliki,
ketersediaan bibit yang berkualitas, serta Analisis ekonomi yang menguntungkan baik dari usaha
pembesaran maupun untuk usaha pembibitan karena ketersediaan potensi sumberdaya local dan
kebijakan pemerintah yang mendukung Pengembangan Ayam Kampung secara Nasional.
Kata Kunci : Potensi, Pengembangan Ayam KUB, Kelembagaan Ternak
PENDAHULUAN
Seiring dengan peningkatan kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan masyarakat, maka
kebutuhan pangan yang berkualitas, bergizi, aman dan halal dikonsumsi terus menjadi tuntutan. Hal
ini sejalan dengan deklarasi FAO dan WHO, (Conference on Nutrition tahun 1992, dalam American
Meat Institut Foundation,1996) bahwa untuk mendapatkan pangan yang bergizi, bersih dan aman
dikonsumsi adalah hak setiap orang. Pangan yang dimaksud dapat berupa hasil tanaman
pangan/hasil ternak.Hingga saat ini peternakan rakyat belum memiliki akses yang baik terhadap
komponen bisnis, yaitu sarana produksi, teknologi, dan informasi harga. Kondisi ini mendorong
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.22 / 1990 yang bertujuan untuk memberdayakan
peternakan rakyat sebagai pelaku utama budidaya (Poultry Indonesia, 1995).Data Balitbangtan
menyebutkan, secara keseluruhan konsumsi daging segar untuk ayam lokal yakni 0,521 kilogram (kg)
per kapita per tahun. Sedangkan, unggas lainnya 0,052 kg per kapita per tahun, daging Sapi 0,261 kg
per kapita per tahun, daging babi 0,156 kg per kapita per tahun dan ayam ras yang merajai konsumsi
yakni 3,963 kg per kapita per tahun.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 505
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Secara keseluruhan, total produksi daging nasional 3,06 juta ton pada 2015.ia disumbang dari
produksi daging ayam ras sebanyak 1,7 ton, daging sapi 523 ribu ton, daging unggas lokal 314 ribu
ton, daging babi 319 ribu ton, daging kambing dan domba 106 ribu ton, daging kerbau 31 ribu ton,
dan daging lainnya 47 ribu ton.Target konsumsi daging unggas per kapita kita mencapai 15 kg per
tahun pada 2017, jika 10 persen dikontribusi dari unggas lokal, butuh pasokam sekitar 550 juta ekor
per tahun. Dalam upaya memperbaiki peternakan rakyat diperlukan bibit ayam lokal berkualitas.
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan Ayam kampung Unggul Balitnak (KUB-1) Sartika,
(2016). Keunggulan ayam KUB: produktivitas telur tinggi mencapai 50% (160-180 butir/tahun) dan
bobot potong mencapai 800 – 1.000 g selama pemeliharaan 10 minggu, lebih singkat dibandingkan
dengan ayam kampung biasa yang memerlukan waktu pemeliharaan 16 20 minggu untuk mencapai
bobot yang sama.
Di Provinsi Banten ternak ini mulai diusahakan sejak tahun 2012 dan adaptasi yang sangat baik
dengan kondisi lingkungan setempat. Dari sisi penjualan, harga ayam KUB dan telurnya masih lebih
mahal jika dibandingkan dengan ayam ras. Pada posisi normal harga ayam jantan dewasa Rp 80.000
–Rp 100.000 dan harga ayam betina dewasa50.000 – 60.000 sedangkan harga telur Rp 2.000 – 2.500/
butir. Harga tersebut beranjak naik jika bertepatan dengan hari–hari besar agama,seperti lebaran
Idul Fitri, muludan dan lebaran haji. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikaji prospek
pengembangan ayam KUB-1 yang ada di Kabupaten Serang Provinsi Banten
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000 2014
5.000
2015
-
Usaha Ternak Ayam KUB-1 Di Kelompok Tani Inti Jaya Kabupaten Serang
Kelompok Inti Tani terletak di Desa Pabuaran Kecamatan Pabuaran berjarak sekitar 30 km dari
kota Serang dengan akses jalan yang cukup baik Wilayah kampung Cibobol dikelilingi sawah dan
Balai Penelitian Ternak Ciawi dan bekerjasama dengan PT.AKI telah mengupayakan penyediaan
mesin tetas otomatis berkapasitas 1.200 butir. Siklus penetasan dengan mesin tetas otomatis yaitu
panen per 3 hari sekali sehingga untuk satu kali penetasan dapat menghasilkan DOC 140 – 160 dan
satu minggu bisa menghasilkan DOC 180 – 200.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 507
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tabel. 3 Data Produksi Ayam KUB di Desa Pabuaran (Setelah ada bantuan mesin tetas)
Di Kelompok tani Ciliwulung Batu telah terbentuk kelembagaan Usaha ternak Ayam KUB-1 di
Kabupaten Serang yaitu :
Unit Pembibitan.Unit ini dikelola oleh bapak Bandiyono memiliki mesin tetas kapasitas 2000 ekor,
dengan kemampuan produksi per minggu nya 2000 ekor yang seharusnya per minggu bisa mencapai
produksi 10.000 ekor (DOC). Adapun kendala yang dihadapi adalah kecilnya skala usaha pembibitan
Keragaan Usaha Ternak Ayam KUB di Kelompok Tani Tunas Alam Kabupaten Tangerang
Pengembangan ayam KUB di kabupaten Tangerang dimulai sejak tahun 2014, yaitu dimulai
dengan pengembangan unit produksi pakan yang dilakukan di salah satu peternak di Tangerang,
dilanjutkan pada tahun 2015 dengan pembelajaran pembesaran ayam KUB di kecamatan tigaraksa
(ihwan) dan di kecamatan kronjo (H. Juhdi). Selanjutnya pada tahun 2016, pengembangan ayam KUB
dilakukan di kelompok Tunas alam, kecamatan balaraja, Kabupaten Tangerang.Dengan skala
populasi pengembangan sejumlah 300 ekor. Yang terbagi ke dalam 3 petani kooperator, yaitu bapak
rojali (ketua kelompok) dengan populasi 100 ekor , bapak sarjoni dengan populasi 100 ekor dan bapak
sudarsih dengan populasi 100 ekor. Kelompok ternak Tunas alam sudah terbiasa melakukan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 509
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pemeliharaan ternak khususnya ternak ungags yang dimulai secara turun temurun. Tercatat anggota
kelompok ternak tersebut memiliki pemeliharaan ayam hampir di masing-masing anggota kelompok .
KESIMPULAN
Prospek pengembangan ayam KUB-1 di Provinsi Banten sangat menjanjikan didukung dengan
keunggulan ayam KUB-1 yang dimiliki, ketersediaan bibit yang berkualitas, Analisis ekonomi yang
menguntungkan baik dari usaha pembesaran maupun untuk usaha pembibitan ketersediaan potensi
sumberdaya local serta kebijakan pemerintah yang mendukung Pengembangan Ayam Kampung
secara Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Fadilah, R dan fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan produksi ayam ras petelur. PT. Agromedia pustaka.
Jakarta
Gustira, DE.,Riyanti, Kurtini, T. 2015 Pengaruh kepadatan kandang terhadap performa produksi ayam
petelur fase awal grower. Jurnal Ilmiah Peternakan terpadu Vol. 3(1): 87-92, fakultas Peternakan,
Universitas lampung. lampung
Kemenkumham. 2016. SK Kemenkumham tentang pengesahan pendirian badan hukum pekumpulan
kelompok ternak ungags ciliwulung batu. Jakarta
Maeda 2005. Polymorphism of Mx Gene in Asian Indigenous chicken poplation.Makalah
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III, Universitas Diponegoro, 25
Agustus 2005.
Permentan. 2013. Permentan No. 82/permentan/OT.140/8/2013. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Sartika, T. 2005. Peningkatan mutu bibit ayam Kampung melalui seleksi dan penggunaan penanda
genetik promotor prolaktin dalam MAS (Marker Assisted Selection) untuk mempercepat seleksi.
Disertasi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Sartika, T., D. Zainuddin, S. Iskandar, H. Resnawati, B. Gunawan, E. Juarini, A.Udjianto, Gunadi,
Yulianti, E. Baso, M. Gumay, IP. Alam, R. Setiadi, D. Sartika dan N.Fasyani. 2007.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 511
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
512 | Teknologi Pertanian
SUMBER DAYA
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 513
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
514 | Teknologi Pertanian
POTENSI LAHAN DAN PRODUKTIVITAS JAGUNG PADA POLA TUMPANGSARI JAGUNG-KEDELAI
DI DATARAN TINGGI
ABSTRACT
This assessment was carried out in the upland drylands in Balla and Sasakan village, Mamasa Regency in 2018 with
the aims of (1) knowing the potential of land and corn productivity in the corn-soybean intercropping pattern, and (2)
farming income increase in the corn-soybean intercropping pattern. The area of land used is 2 ha with sloped
topography. The method used in writing this paper is a combination of literature studies and field assess results. Corn
used are NK 99 and soybean Dena-1 varieties. The results of the assessment of literature studies and the results of the
field research indicate that the type of soil contained at the study site is Inceptisols with the potential land for the
development of food crops which is quite extensive, namely 19,594 ha with limiting factors of temperature, nutrient
retention, root media, and erosion hazards. The average productivity of corn-soybean in the intercropping pattern was
7.21 t/ha and 1.07 t/ha, equivalent to 9.10 t/ha of corn shells. The acceptance of corn farming in intercropping patterns
is Rp. 29,120,000/ha with an R/C ratio of 1.82, showing that corn farming in the maize-soybean intercropping pattern
is economically feasible.
ABSTRAK
Kajian ini dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi di desa Balla dan desa Sasakan, Kabupaten Mamasa
tahun 2018 dengan tujuan (1) mengetahui potensi lahan dan produktivitas jagung pada pola tumpangsari
jagung-kedelai, dan (2) meningkatkan pendapatan usahatani pada pola tumpangsari jagung-kedelai. Luas
lahan yang digunakan seluas 2 ha dengan topografi berlereng. Metode yang digunakan dalam penulisan
makalah ini adalah kombinasi studi literatur dan hasil kajian lapangan. Varietas jagung yang
digunakan adalah NK 99 dan kedelai varietas Dena-1. Hasil kajian studi literatur dan hasil penelitian
lapangan menunjukkan bahwa jenis tanah yang terdapat pada lokasi kajian adalah Inceptisols dengan
potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan yang cukup luas, yaitu 19.594 ha dengan faktor
pembatas temperatur, retensi hara, media perakaran, dan bahaya erosi. Rata-rata produktivitas jagung-
kedelai pada pola tumpangsari adalah 7,21 t/ha dan 1,07 t/ha atau setara dengan 9,10 t/ha pipilan jagung.
Penerimaan usahatani jagung pada pola tumpangsari sebesar Rp. 29.120.000/ha dengan R/C rasio sebesar
1,82, menunjukkan bahwa usahatani jagung pada pola tumpangsari jagung-kedelei secara ekonomi layak
untuk diusahakan.
Kata Kunci : Potensi lahan, produktivitas, berlereng, tumpangsari.
PENDAHULUAN
Jagung menempati posisi penting dalam perekonomian nasional karena merupakan sumber
karbohidrat dan bahan baku industri, pangan dan pakan ternak. Menurut Tohari et al. (2007) dan
Nurdin (2008), jagung merupakan tanaman pokok kedua yang penting setelah tanaman padi. Di
Sulawesi Barat, pengusahaan jagung pada lahan kering menempati areal tanam terluas pertama,
sedangkan kedelai pada urutan keempat setelah jagung, padi ladang, dan ubi kayu (Dinas Pertanian
Provinsi Sulawesi Barat, 2017; BPS Provinsi Sulawesi Barat, 2019).
Pemanfataan lahan kering yang potensinya cukup luas dalam upaya mendukung pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya semakin meningkat dan juga untuk mewujudkan
kedaulatan pangan menjadi salah satu alternatif. Namun lahan kering umumnya memiliki tingkat
kesuburan tanah yang rendah terutama pada lahan-lahan yang tererosi sehingga lapisan olah tanah
menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah (Wahyunto dan Shofiyati, 2011; Anonim, 2017).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 515
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan bahan organik, terutama pada
tanaman pangan semusim (Wahyunto dan Shofiyati, 2011).
Potensi lahan kering Sulawesi Barat untuk pengembangan jagung dan kedelai masih terbuka luas.
Berdasarkan data dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(BBPPSLP), luas lahan yang sesuai untuk tanaman jagung dan kedelai di Kabupaten Mamasa seluas
19.594 ha, terdiri atas kelas cukup sesuai 271 ha dan sesuai marjinal seluas 19.323 hauntuk jagung
sedangkan untuk kedelai semuanya termasuk sesuai marjinal dengan faktor pembatas bahaya erosi,
retensi hara, ketersediaan hara, media perakaran, dan temperatur. Luas lahan yang tidak sesuai untuk
jagung dan kedelai seluas 277.187 ha dengan faktor pembatas bahaya erosi (Badan Litbang Pertanian,
2016).
Rata-rata produktivitas jagung dan kedelai di Sulawesi Barat masing-masing sebesar 4,69 t/ha dan
1,56 t/ha, sedangkan produktivitas jagung di Kabupaten Mamasa sebesar 3,73 t/ha (BPS Provinsi
Sulawesi Barat, 2018). Produktivitas jagung tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata
hasil penelitian/kajian dan potensi hasil dari beberapa varietas unggul yang dapat mencapai lebih dari
7 t/ha (Sirappa et al., 2017; Mejaya et al., 2014), sedangkan produktivitas kedelai cukup bagus,
meskipun di kabupaten Mamasa pertanaman kedelai sangat jarang dijumpai.
Usahatani jagung di kabupaten Mamasa umumnya ditanam secara monokultur, searah dengan
lereng sehingga sangat berpotensi terjadinya erosi terutama karena sebagian besartopografinya
berlereng dan dilakukan pembersihan lahan. Penerapan model pertanian konservasi dengan pola
tumpangsari dan penanaman searah garis kontur adalah suatu pendekatan peningkatan
produktivitas pertanian di daerah-daerah yang berlereng dan disertai dengan upaya peningkatan
kualitas sumberdaya lahan dan air serta lingkungan biotik lainnya sehingga dapat menjaga
kelestarian lingkungan (Anonim, 2017 a). Kajian ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
jagung dan kedelai pada pola tumpamgsari pada agroekosistem lahan kering dalam upaya
mendukung pembangunan pertanian lahan kering berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Kajian dilaksanakan di desa Balla Timur, kecamatan Balla dan di desa Sasakan, kecamatan
Sumarorong, kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dengan luas lahan kajian masing-masing 1 ha.
Pertimbangan pemilihan kedua lokasi tersebut karena keduanya masih jarang ditempatkan kegiatan
pengkajian dan petani cukup respon dengan teknologi.
Kegiatan dilakukan di lahan petani dengan tujuan(1) mengetahui potensi lahan dan produktivitas
jagung pada pola tumpangsari jagung-kedelai, dan (2) meningkatkan pendapatan usahatani pola
tumpangsari jagung – kedelai di lahan kering. Inovasi teknologi yang dilakukan adalah penerapan
model PTT jagung dan kedelai dengan pengaturan pola tumpangsari pada agroekosistem lahan
kering. Komponen teknologi yang diterapkan meliputi penggunaan varietas unggul, pengaturan jarak
tanam/sistem tanam, pemupukan pupuk yang berimbang, dan pengendalian OPT secara terpadu.
Penyiapan lahan di lokasi kajian (desa Balla dan Sumarorong), kabupaten Mamasa yang
mempunyai topografi berlereng dilakukan tanpa olah tanah, dimana gulma/tanaman dibabat dan
selanjutnya dibakar. Untuk mencegah pertumbuhan gulma sebelum penanaman, lahan diseprot
dengan herbisida. Sistem tanam yang digunakan pada pola tumpangsari jagung-kedelai adalah
jagung ditanam dengan sistem double row dengan jarak tanam (100 - 40 cm) x 20 cm (1 biji/lubang)
sedangkankedelai (dua baris) ditanam dalam barisan jagung dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm (2
biji/lubang). Jarak kedelai dengan jagung pada kedua sisinya sekitar 30 cm.
Dosis pupuk yang digunakan adalah urea 250 kg dan NPK Phonska 300 kg/ha (untuk jagung) dan
untu kedelai adalah urea 50 kg dan NPK Phonska 100 kg/ha. Pupuk diberikan dua kali, yaitu setengah
Secara umum wilayah Kabupaten Mamasa tergolong iklim tropis basah dengan suhu udara
minimum 19,00 C dan suhu maksimum berkisar 28,10 C. Kecepatan angin rata-rata setiap tahunnya 77
– 85 Km/jam. Tabel 1 memperlihatkan kondisi iklim Kabupaten Mamasa secara umum.
Berdasarkan peta sumberdaya iklim Indonesia, lokasi kajian di kecamatan Balla termasuk dalam
iklim kering dengan pola II-B yaitu wilayah yang mempunyai curah hujan 1.000–2.000 mm/thn
dengan bulan kering (< 100 mm/bln) < 4 bulan dan bulan bulan basah (> 200 mm/bln) < 4 bulan,
sedangkan di kecamatan Sumarorong termasuk dalam iklim basahdengan pola III-C yaitu wilayah
yang mempunyai curah hujan 2.000 – 3.000 mm/thn dengan bulan kering (< 100 mm/bln) < 4 bulan
dan bulan bulan basah(> 200 mm/bln) 6-8 bulan.Berdasarkan kriteria Oldeman (1975), wilayah kajian
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 517
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
di Kabupaten Mamasa termasuk dalam zone Agroklimat B1 dengan bulan basah (> 200 mm/bulan)
berturut-turut selama 7-9 bulan dan bulan kering(< 100 mm/bulan) berturut-turut <2 bulan
Topografi
Keadaan topografi Kabupaten Mamasa bervariasi mulai dari datar, berbukit sampai bergunung-
gunung dengan tingkat kemiringan yang sangat terjal. Bagian wilayah dengan kemiringan di atas
40% menempati luasan terbesar yaitu seluas 238.670 Ha (78,74%) dan terdapat pada hampir semua
Kecamatan. Bagian wilayah yang memiliki tingkat kemiringan 0 – 8 % menempati areal yang terkecil
yaitu hanya sekitar 2.410 Ha atau 2,41% dari total luas wilayah Kabupaten Mamasa.
Karakteristik topografi usahatani lahan kering di desa Balla Timur, kecamatan Balla dan di desa
Sasakan, kecamatan Sumarorong tergolong berbukit dan hampir tidak ditemukan daerah yang
datar.Oleh karena itu, teknologi pengelolaan lahan kering, diantaranya adalah menerapkan teknik
konservasi tanahdan air, pengelolaan kesuburan tanahdan pemilihan jenis tanaman pangan.
Pertanian konservasi adalah pendekatan peningkatan produktivitas pertanian khususnya di daerah-
daerah berlereng disertai upaya peningkatan kualitas sumberdaya lahan dan air serta lingkungan
biotik lainnya sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan (Anonim, 2017 a).
Jenis dan Karakteristik Tanah
Dari hasil hasil penelitian AEZ dan penelitian terdahulu, jenis tanah yang terdapat di Kabupaten
Mamasa berkembang dari bahan induk batuan granit, granodiorit, batusabak, batupasir malihan,
serpih, batupasir kuarsa, konglomerat, batupasir tufan batupasir, batupasir berkapur, batugamping,
napal, batuan volkan andesit-basalt serta bahan endapan (aluvium dan marin). Jenis tanah tersebut
terdiri dari 2 Ordo dan menurunkan 8 Subgrup tanah, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Tanah di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.
Berdasarkan laporan AEZ BPTP Sulawesi Barat Tahun 2014, jenis tanah yang terdapat di lokasi
kegiatan di kecamatan Balla adalah Ordo Ultisols, Subordo Udults, Grup Hapludults, dan Subgrup
Typic Hapludults, sedangkan di kecamatan Sumarorong adalah Ordo Inceptisols, Subordo Udepts,
Grup Dystrudepts, dan subgrup Typic Dystrudepsts. Uraian dari kedua jenis tanah tersebut adalah
sebagai berikut:
Typic Hapludults. Kedalaman tanah sangat dalam (>100 cm), tanah telah berkembang lanjut
dicirikan oleh adanya horizon penciri yaitu argilik dengan kejenuhan basa < 35 %, warna tanah
lapisan atas (0-20 cm) berwarna Coklat (7,5 YR 4/4), warna tanah lapisan bawah (20-70 cm) berwarna
merah kekuningan (5 YR 5/6-6/8) dan lapisan dibawahnya merah (2,5 YR 5/8); tekstur lapisan atas
lempung liat berpasir dan tekstur lapisan bawah lempung berliat sampai liat berdebu; konsistensi
lapisan atas agak lekat dan agak plastis, lapisan bawah lekat dan plastis; drainase baik; reaksi tanah
masam (pH 4,5 - 5,0). Penggunaan lahan umumnya hutan dan belukar. Tanah ini umumnya terdapat
Tabel 4. Kesesuaian lahan untuk kedelai di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat 2016.
Luas
Simbol Faktor Pembatas
Ha %
Lahan Sesuai
S3-tc/eh Temperatur, bahaya erosi 414 0,14
S3-tc/na Temperatur, ketersediaan hara 271 0,09
S3-tc/nr Temperatur, retensi hara 635 0,21
S3-tc/nr/eh Temperatur, retensi hara, bahaya erosi 6.250 2,11
S3-tc/rc Temperatur, media perakaran 3.512 1,18
S3-tc/rc/eh Temperatur, media perakaran, bahaya erosi 2.400 0,81
S3-tc/rc/na Temperatur, media perakaran, ketersediaan hara 6.112 2,06
Lahan Tidak Sesuai
N-eh Bahaya erosi (lereng >15%) 277.187 93,39
Total 296.781 100,00
Sumber : Badan Litbang Pertanian (2016)
Lahan yang tergolong cukup sesuai (S2) untuk jagung seluas + 271 ha (0,09%) dengan faktor
pembatas temperatur, media perakaran dan ketersediaan hara rendah-sedang, sedangkan yang
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 519
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tergolong sesuai marjinal (S3) terdiri dari S3-eh seluas 4.849 ha (1,63%) dengan pembatas bahaya erosi
(lereng), dan S3-na seluas 194 ha (0,07%) dengan pembatas ketersediaan hara, S3-nr/eh seluas 1.815
dengan faktor pembatas retensi hara dan bahaya erosi, S3-rc seluas 9.629 ha dengan faktor pembatas
media perakaran, dan S3-rc/eh seluas 2.396 (0,81 %). Sedangkan sisanya seluas 277.187 ha (93,39%)
dari luas kabupaten tergolong tidak sesuai dengan faktor pembatas bahaya erosi.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Pertumbuhan tanaman pada umur 50 hari setelah tanam menunjukkan bahwa pertanaman jagung
dan kedelai yang ditanam secara tumpangsari tidak menunjukkan pengaruh satu dengan lainnya
(Tabel 5). Hal ini diduga karena kedelai yang ditanam merupakan kedelai toleran naungan sehingga
tidak berpengaruh dalam memanfaatkan sinar matahari dan hara tanaman, sehingga tanaman
tumbuh lebih baik.
Teknologi sistem tanam tumpangsari dengan teknik budidaya yang tepat dapat memberikan hasil
yang tinggi pada tanaman yang diuji (Basa et al.,1984) serta mengurangi resiko kegagalan panen
akibat pengaruh lingkungan. Menurut Tonglum et al. (2001), pola tumpangsari memiliki beberapa
kekurangan dankelebihan. Kekurangan pola tumpangsari adalah:(1) terjadinya kompetisi dalam
pengambilan hara dan cahaya matahari, dan (2) curahan tenaga kerja yang lebih banyak, sedangkan
kelebihannya adalah: (1) efektif mengendalikanerosi, (2) efisiensi penggunaan lahan dan hara
tanaman meningkat, (3) pendapatan bersih meningkat, (4) memenuhi kebutuhan pangan, dan (5)
memperbaiki fisik dan kimia tanah).
Tabel 5. Rata-rata komponen pertumbuhan tanaman jagung
dan kedelai pola tumpangsari (umur 50 hst)
Suatu terobosan peningkatan produksi tanaman yang sejalan dengan peningkatan pendapatan
petani telah dirumuskan dalam bentuk strategi, yaitu penerapan semua komponen teknologi inovasi
terbaik yang sesuai dengan kondisi spesifik wilayah. Peningkatan produksi dan produktivitas
tanaman pangan dapat dilakukan dengan cara (1) introduksi varietas unggul bermutu, (2) perbaikan
teknologi budidaya melalui penerapan model PTT (pengelolaan tanaman terpadu) secara
berkelanjutan, dan (3) perbaikan pola usahatani tanaman pangan.
Dalam pola sistem tanam tumpangsari, umumnya diperoleh salah satu hasil tanaman yang lebih
rendah dibandingkan tanaman lainnya, namun secara keseluruhan hasilnya meningkat.Keuntungan
dari sistem tumpangsasidibandingkan dengan pertanaman monokultur antara lain adalah
memelihara kesuburan tanah karena adanya fiksasi nitrogen terutama jenis legum, dapat menekan
pertumbuhan gulma, mengurangi resiko kegagalan panen akibat kekeringan, hama dan penyakit, dan
mengoptimalkan produksi pada lahan sempit sehingga dapat membantu petani mengatasi
kekurangan lahan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi adalah intensitas cahaya. Intensitas cahaya
memberikan pengaruh pada jumlah polong dan bobot kering polong.Pertumbuhan tanaman
dipengaruhi oleh ketersediaan air di dalam tanah, dimana cekamankekurangan air dapat
menyebabkan menurunnya bobot kering tajuk tanaman.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 521
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
tanam, sedangkan ruang kosong (legowo) dimanfaatkan untuk tanaman kedelai 2 baris. Hasil setara
jagung pada pola tumpangsari jagung-kedelai ditunjukkan pada Tabel 6.
Menurut Gomez dan Gomez (1983) dan Palaniappan (1985), pemilihan tanaman penyusun dalam
tumpangsari hendaknya didasarkan pada perbedaan karakter dan morfologi tanaman, diantaranya
kedalaman dan distribusi sistem perakaran, bentuk tajuk, lintasan fotosintesis, pola serapan unsur
hara agar diperoleh suatu karakteristik pertumbuhan, perkembangan dan hasil tumpangsari yang
bersifat sinergis. Odum (1983) menambahkan bahwa faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pola
tumpangsari adalah tanaman yang berbeda famili. Pertumbuhan dan hasil kedelai varietas Dena-1
yang diperoleh pada pola tumpangsari jagung-kedelai cukup baik, diduga karena kedelai yang
digunakan selain varietas unggul bermutu juga memiliki karakteristik toleran naungan dan
produktivitas tinggi. Turmudi (2002) menambahkan bahwa selain faktor kompatibilitas karakteristik,
fase pertumbuhan saat interaksi dari kedua jenis tanaman juga sangat menentukan.
Tabel 6. Rata-rata hasil jagung-kedelai pada pola tumpangsari
**) Harga kedelai biji kering Rp. 7.000-10.000/kg dan jagung pipil kering Rp. 4.000 - 5.000/kg
Menurut Turmudi (2002), Permatasari dan Kastono (2012), kedelai yang ditanam lebih awal dari
jagung pada pola tumpangsari rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang ditanam bersamaan meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan hasil yang nyata.
Hal ini dimungkinkan karena kedelai yang ditanam lebih awal sudah mampu bersaing dengan
jagung dalam memanfaatkan faktor pertumbuhan tanaman.
Analisis Finansial Usahatani
Untuk dapat mengetahui apakah sistem usahatani jagung pola tumpangsari dengan kedelai
menguntungkan perlu dilakukan analisis finansial usahatani. Komponen biaya usahatani yang
diperhitungakan dalam kajian ini adalah sarana produksi dan tenaga kerja, sedangkan biaya sewa
lahan dan biaya susut alat tidak diperhitungkan. Dalam perhitungan analisis finansial, asumsi hasil
sebesar 80% dari konsersi hasil setara jagung dengan harga estimasi terendah, yaitu jagung Rp.
4.000/ha dan kedelai Rp. 8.500/kg. Analisis finansial usahatani tumpangsari jagung dan kedelai
ditunjukkan pada Tabel 7.
Rata-rata penerimaan dan keuntungan yang diperoleh pada usahatani tumpangsari jagung-
kedelai, masing-masing sebesar Rp.29.120.000/ha dan Rp.13.167.500/ha dengan R/C ratio 1,82. Pola
tumpangsari jagung-kedelai secara ekonomi layak dikembangkan karena mempunyai nilai R/C rasio
di atas satu, yaitu 1,82. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap Rp. 100 biaya produksi yang
dikeluarkan dalam bentuk input akan mampu memberikan imbalan penerimaan sebesar Rp. 182.
Dengan kata lain bahwa untuk setiap Rp. 100 biaya produksi yang dikeluarkan dapat memberikan
keuntungan sebesar Rp. 82.
Pola tumpangsari jagung-kedelai berpeluang dikembangkan di lahan kering dan sangat efektif
diterapkan terutama di daerah yang mempunyai topografi miring dengan sistem tanam konservasi,
yaitu memotong arah lereng atau searah dengan kontur. Hal ini dimaksudkan selain memberikan
hasil yang lebih tinggi dan mengantisipasi kegagalan panen, juga secara tidak langsung melakukan
tindakan konservasi tanah dengan menjaga tingkat kesuburan tanah dan mengurangi laju erosi.
KESIMPULAN
Sistem tanam tumpangsari jagung-kedelai di lahan kering mampu memberikan peningkatan hasil
setara jagung dibandingkan dengan rata-rata hasil jagung monokultur yang dicapai di Sulawesi Barat.
Peningkatan hasil setara jagung yang diperoleh pada pola tumpangsari jagung-kedelai juga akan
berpengaruh terhadap penerimaan dan keuntungan yang dicapai. Usahatani jagung dan kedelai
dengan pola tumpangsari secara ekonomi layak dikembangkan karena mempunyai nilai B/C dan R/C
rasio di atas satu.Pola tanam sistem tumpangsari jagung-kedelai, terutama pada lahan kering dengan
topografi berlereng di Sulawesi Barat perlu dikembangkan dengan penanaman searah garis kontur
karena selain mampumemberikan hasil setara jagung yang lebih tinggi dengan nilai R/C rasio lebih
besar dari satu, juga dapat berfungsi dalam menjaga kesuburan tanah dan menekan laju erosi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2017. Teknologi Pemanfaatan Lahan Kering. http://virohmat.blogspot. co.id/
2009/10/teknologi-pemanfaatan-lahan-kering.html. Diunduh pada tanggal 11 Juli 2017.
Anonim. 2017 a. Pertanian Konservasi, Meningkatkan Produksi Jagung. http://cybex.
pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/10322/pertanian-konservasi-meningkatkan-produksi-j
agung. Diunduh pada tanggal 11 Juli 2017.
Badan Litbang Pertanian. 2016. Atlas Peta Kesesuaian Lahan dan Arahan Komoditas Pertanian
Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat Skala 1:50.000
Basa, I., Yoyo Sulaeman dan Herman S. 1984. Hasil Penelitian Pola Tanam di Daerah Transmigrasi
Pasir Pangaraian. Hal. 105-121. Dalam Pros. Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani
Menunjang Transmigrasi, Cisarua, Bogor 27-29 Februari 1984. Badan Litbang Pertanian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 523
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
BPS Provinsi Sulawesi Barat. 2018. Sulawesi Barat dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Barat.
BPS Provinsi Sulawesi Barat. 2019. Sulawesi Barat dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Barat.
Boediono. 1993. Ekonomi Makro. Edisi keempat. BPFE UGM, Yogyakarta.
Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Barat. 2017. Capaian 2016 dan Progres 2017 Upsus Swasembada
Pangan Provinsi Sulawesi Barat. Bahan Presentasi Rakor Upsus Sulawesi Barat.
FAO. 2003. Financial Analysis and Assessment of Technologies. Special Programme for Food Security
(SPFS). Handbook on Monitoring and Evaluation. Food and Agriculture Organization of The
United Nations (FAO). Rome.
Gitinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi kedua, Univ. Indonesia.
Gomez, A.A. and A.K. Gomez. 1983. Multiple Cropping in the Humid Tropic of Asia. IDRC., Canada.
248 p.
Kadariah, 1988. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomi. LPEE-UI, Jakarta.
Mutmaidah, S. dan T. Sundari. 2017. Efisiensi Pemanfaatan Lahan untuk Memaksimalkan Pendapatan
dengan Pola Tumpangsari Jagung dan Kedelai. Prosiding Semnas Hasil Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi. Hal. 332-340.
Nurdin. 2008. Optimalisasi Produktifitas Lahan Kering melalui Pengembangan Sistem Usahatani
Konservasi Tanaman Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Agropolitan Volume 1 Nomor
1, April 2008.15 hal.
Odum, E.P. 1983. Basic ecology. CBS College Publishing, Japan. 611 pp.
Oldeman, L. R. 1975. An Agroclimatic Map of Java. No. 17 C.R.I.A., Bogor, Indonesia. 22 pp.
Palaniappan, S.P. 1985. Cropping System in the Tropics. Principles and Management. Wiley
Easterm Limited and Tamil Nadul Agricultural University Combatore, India.
Permatasari, I. dan D. Kastono. 2002. Pertumbuhan Tumpangsari Jagung dan Kedelai pada
Perbedaan Waktu Tanam dan Pemangkasan Jagung. Jurnal Agroteknologi Vol. 3 (1), Agustus
2012: 13-20.
Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for
Indonesia with Western New Guinea. Verh.No. 42. Jawatan Met. dan Geofisik, Jakarta.
Sirappa, Marthen P., Nurdiah Husnah, Ketut Indrayana, Muhtar, Syamsuddin, Religius Heryanto, Abd.
Harris, Tatong, Abdullah, dan Djaja Sanusi. 2017. Kajian Pengembangan Sistem Usahatani
Tanaman Ubi Kayu dan Jagung di Sulawesi Barat. Laporan Akhir Tahun 2017. BPTP
Sulawesi Barat, Badan Litbang Pertanian.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian Teori dan Aplikasinya.
Jakarta, PT Raja Grafindo Perkasa.
Tohari, E. Martono dan S. Somowiyarjo. 2007. Budidaya Tanaman Pangan Utama. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Tonglum, A.P. Suriyapan, and R.H. Howeler.2001. Cassava Agronomy Research and Adoption of
Improved Practices in Thailand-Major Achievement During the Past 30 Years. In Cassava’s
Potensial in Asia in the 21thCentury. Proc. the Sixth Regional Workshop held in Ho Chi Minch
City, Vietnam. Feb. 21-25, 2000. P. 228-258.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 525
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
526 | Teknologi Pertanian
SUMBER SILIKON UNTUK PERTANIAN DAN PERANANNYA
TERHADAP TANAMAN PADI
ABSTRAK
Rendahnya ketersediaan Silikon (Si) pada tanah sawah di Indonesia menyebabkan penurunan
produktivitas tanaman padi. Hal tersebut dikarenakan petani hanya memperhatikan pengggunaan pupuk
makro saja dan tidak ada penambahan sumber atau pupuk Si ke dalam tanah. Pemupukan Silikon (Si)
pada lahan sawah di Indonesia belum umum dilakukan mengingat pupuk Si belum dikenal luas.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan padi sangat memerlukan Si dalam pertumbuhannya. Silikon pada
padi memiliki beberapa peran diantaranya: (1) dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama
dan penyakit, (2) meningkatkan daya tahan tanaman terhadap rebah (3) meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap stress dan , (4) meningkatkan fotosintesis yang nantinya berpengaruh terhadap
peningkatan produksi untuk padi. Dapat dilihat bahwa peran Si sangat berpengaruh terhadap
peningkatan produksi padi. Pengenalan pentingnya Si dan jenis pupuk Si kepada masyarakat terutama
petani merupakan langkah awal yang dapat dilakukan. Diharapkan kedepannya penggunaan pupuk Si di
masa depan dalam pertanian cenderung meningkat.
Kata Kunci: silikon, padi, pupuk
ABSTRACT
The low availability of Silicon in paddy soil at Indonesia caused a decreasing in rice productivity. This is because
farmers only use macro fertilizer and there is no addition Si fertilizer into the soil. Fertilizing silicon in paddy soil is
not yet commonly used considering that Si fertilizer is not widely known. Some researches result that Si is needed in
its growth. Silicon in rice have several roles including: (1) Increasing plant resistance to pests and diseases, (2)
Increasing plant resistance to lodging (3) Increasing plant resistance to stress and, (4) Increasing photosynthesis
which in turn has an effect on increasing production for rice. It can be seen that Si role is very influential in increasing
rice production. The introduction of the importance of Si and the type of Si fertilizer to the community, especially
farmers, is an initial step which can be taken. It is expected that the use of Si fertilizer in agriculture will likely increase
in the future.
PENDAHULUAN
Padi (Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman penghasil beras yang memegang peranan
penting karena sebagai makanan pokok penduduk Indonesia (Nurmala et al., 2018). Upaya
pengembangan yang dilakukan masih mengalami kendala seperti adanya kahat unsur hara,
gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan seringnya mengalami kekeringan atau
kekurangan air. Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan.
Akan tetapi, penggunaan varietas unggul baru saja belum cukup dalam meningkatkan produktivitas
tanaman. Upaya lain yang dapat dilakukan selain menggunakan varietas unggul adalah dengan
melakukan pemupukan berimbang. Salah satu unsur hara yang saat ini hampir tidak pernah
mendapatkan perhatian dalam budidaya padi adalah Si (Amrullah et al., 2014).
Padi merupakan tanaman akumulator Si, dimana dalam pertumbuhannya memerlukan Si dalam
jumlah yang banyak (Sulizah et al., 2018; Sugiarto et al., 2018). Penambahan Si dapat meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit (Zellner et al., 2011; Van Bockhaven et al., 2013;
Liang et al., 2015; Sakr et al., 2016). Silikon berfungsi menjaga kelembaban tanah sehingga kandungan
air dalam tanah terjaga (Sommer et al., 2006). Hal ini sangat bermanfaat bagi tanaman agar tahan
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 527
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
terhadap cekaman kekeringan atau lingkungan yang airnya sedikit. Selain itu, Si memeiliki peranan
lainnya yaitu meningkatkan unsur hara N,P,K, Ca dan Mg), menurunkan toksisitas logam (Fe, Mn
dan Al) (Sekhar dan Susmitha 2017; Zhu Gong, 2014).
Silikon dikenal sebagai “beneficial element” (untuk pertumbuhan tanaman dan menguntungkan
secara agronomis untuk meningkatkan produktivitas padi (Hakim et al., 2012; Amin et al., 2014;
Amrullah et al., 2014; Tripathi et al., 2016). Akan tetapi, penggunaan pupuk silikon itu sendiri masih
belum mendapatkan perhatian khusus. Petani umumnya hanya memperhatikan penggunaan pupuk
makro saja pada saat bercocok tanam. Pada saat panen, tanaman padi mengangkut Si sekitar 100-300
kg ha-1. Pengangkutan Si keluar areal pertanaman melalui proses pemanenan tanpa diiringi
pengembalian sisa pemananenan seperti pemanfaatan jerami atau sekam serta pemberian pupuk Si,
akan berdampak pada penurunan Si tersedia di dalam tanah (Amrullah et al., 2014). Penurunan Si di
dalam tanah untuk tanaman berhubungan erat dengan terjadinya penurunan produktivitas padi
(Singh et al., 2005).
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan ketersediaan Si di dalam tanah yaitu
dengan pemberian sumber atau pupuk Si. Sumber Si seperti slag, fly ash atau abu terbang,
wollastonite merupakan sumber Si yang banyak diketahui dan memiliki potensi sebagai pupuk Si
(Anggria et al., 2017). Akan tetapi, masih banyak sumber Si yang belum diketahui dan dapat
dijadikan sebagai sumber Si.
Kesadaran akan Si dalam tanah saat ini diakui sebagai factor pembatas untuk produksi. Informasi
yang tersedia mengenai Si masih sangat sedikit, tetapi sudah menjadi titik focus para peneliti dan
beberapa peneliti telah mempelajari dan melakukan penelitian mengenai Si (Pavlovic et al., 2013;
Biyutskii et al., 2014). Diharapkan kedepannya penggunaan pupuk Si di Indonesia mendapatkan
perhatian khususnya dalam pengembangan tanaman padi mengingat pentingnya unsur hara Si dalam
pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Bentuk Si yang aktif dalam tanah dan dapat diserap oleh tanaman adalah asam monosilikat atau
H4SiO4, asam polisilikat dan organosilikat. Asam monosilikat merupakan hasil dari pelarutan
mineral yang kaya akan Si (Lindsay, 1979). Kadar Si dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa factor
seperti temperatur, pH tanah, air irigasi dan reaksi adsorbsi. Jumlah Si yang terlarut (dissolved) dari
tanah meningkat seiring meningkatnya suhu. Hal ini berkaitan dengan proses pelakukan mineral,
dimana semakin tinggi suhu makan semakin tinggi pula tingkat pelapukan mineral tersebut.
(Rosmarkam dan Yuwono, 2002; Sumida 2002; Haynes, 2014).
Di wilayah tropika basah seperti di Indonesia, dengan intensitas curah hujan dan suhu yang
tinggi, umumnya memiliki kandungan Si yang rendah dan mengalami akumulasi aluminium oksida
yang disebut dengan proses desilikasi. (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Desilikasi biasanya terjadi
pada daerah beriklim tropika basah (Karathanasis, 2006). Perlu diperhatikan, padi dan tebu
merupakan tanaman akumulator Si yang tumbuh dalam iklim tropis dan subtropis, dimana mayoritas
produksi padi dan tebu tersebut tumbuh dalam jenis tanah Ultisol dan Oxiols yang memiliki
kandungan Si rendah (Savante et al., 1997).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 529
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
terhadap hasil gabah sehingga meningkatkan produktivitas padi sawah dikarenakan meningkatnya
ketersediaan Si. Lapisan Si telah diamati pada dinding sel epidermis yang diberikan perlakuan terak
baja, hasil menunjukkan bahwa ketebalan lapisan Si meningkat dengan adanya pemberian terak baja
(Ning et al., 2014).
Selama ini, jerami padi yang merupakan sisa panen umumnya diangkut keluar dari petak sawah
dan dibakar. Padahal, jerami padi memiliki potensi untuk dijadikan pupuk silikon yang murah dan
berpotensi untuk memperbaiki mutu tanah (Harsanti et al., 2012). Jerami merupakan bahan in situ
yang mudah dan murah untuk dijadikan sebagai pupuk. Lamid (2010) mengatakan bahwa
pengembalian jerami ke lahan sawah dapat memperlambat proses penurunan K dan Si dalam tanah.
Kompos jerami memiliki kandungan C-Organik 40-43%, P 0.07-0.12%, N 0.5-0.8%, K 1.2-7%, Ca 0.6%,
Si 4-7%, Mg 0.2 % dan S 0.10% (Simarmata & Joy 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kompos jerami sebanyak 2 ton ha-1 dapat meningkatkan produksi padi dan mengurangi penggunaan
pupuk KCl sebesar 50% (Darwis dan Rachman 2013).
Abu sekam padi berasal dari limbah sekam padi saat panen. Banyak yang belum memanfaatkan
limbah sekam padi tersebut, padahal sekam padi berpotensi sebagai pupuk silikon karena tingginya
kandungan silika pada sekam padi. Setiap 4 ton beras menghasilkan 1 ton sekam padi, dimana setelah
oproses pembakaran akan menghasilkan abu sekam padi (Mehdinia et al., 2011) yang mengandung
95% silika (Kermani et al., 2006). Abu sekam padi mengandung beberapa unsur hara seperti nitrogen
(1%), phosphor (0.2%), Kalium (0.58%) dan silika (87-97%) (Bakri, 2008). Dengan kandungan silikon
dan beberapa unsur hara yang terdapat pada abu sekam padi, abu sekam padi dapat dijadikan
sebagai pupuk silikon dan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Badan Litbang Pertanian telah menginisiasi pengembangan teknologi nano dengan membangun
Laboratorium Nanoteknologi yang menghasilkan produk Biosilika (Ariningsih, 2016). Pengembangan
Biosilika sebagai pupuk nano saat ini sudah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan dan
sudah diterapkan di beberapa provinsi di Indonesia seperti Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.
Biosilika merupakan pupuk nano dari ekstraksi sekam padi yang dihasilkan oleh BB Pascapanen.
Biosilika dari sekam padi dapat diaplikasikan pada tanaman padi sawah, khususnya pada lahan-
lahan dengan kandungan silika rendah atau endemik penyakit blas. Pemberian Biosilika berkontribusi
pada peningkatan jumlah anakan produktif, jumlah malai dan berat gabah. Selain itu, Biosilika dapat
menekan serangan penyakit blas dari 8-20% menjadi 1% (BB Pascapanen, 2017). Pemberian Biosilika
meningkatkan jumlah anakan produktif, jumlah malai dan berat gabah. Hasil penelitian yang telah
dilakukan, direkomendasikan untuk menggunakan Biosilika cair untuk bidang pertanian. Aplikasi
Biosilika cair disarankan aplikasinya minimal dua kali yaitu pada masa vegetatif 25-30 HST dan pada
saat vegetatif maksimum (BB Pascapanen, 2017).
Pengembangan Biosilika cair dari abu sekam padi dan penggunaannya terhadap padi tidak hanya
mengatasi masalah limbah sekam padi, tetapi juga berpotensi meningkatkan produksi padi secara
berkelanjutan serta meningkatkan pendapatan petani (BB Pascapanen, 2017). Biosilika yang berbentuk
cair rendemen 80%, ukuran partikel 100-200 nm dan kandungan SiO2 sekitar 8..42-9.45% (BB
Pascapanen, 2018). Biosilika juga dikembangkan pada tanaman bawang merah, hasil menunjukkan
bahwa Biosilika dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi bawang merah sebesar 0.46-12.88%.
Peningkatan produksi bawang merah memberikan potensi peningkatan sebesar Rp 653.695 hingga Rp
26.922.463 per hektar (BB Pascapanen, 2018).
Dengan menggunakan produk pupuk berteknologi nano, hasil pertanian yang optimal diharapkan
dapat dicapai dengan mengaplikasikan jumlah pupuk yang lebih sedikit dibandingkan dengan
menggunakan pupuk konvensional. Dengan demikian, penggunan pupuk akan menjadi efisien,
efektif dan dapat menurunkan biaya produksi. Penggunaan pupuk nano akan tepat mencapai sasaran
KESIMPULAN
Padi merupakan tanaman akumulator Si yang dalam pertumbuhannya memerlukan unsur hara Si
dalam jumlah yang besar. Penggunaan pupuk silikon perlu dikembangkan di Indonesia mengingat
peranan Si terhadap tanaman dan kondisi tanah di Indonesia yang memiliki kadar Si rendah.
Pengembangan penggunaan pupuk silikon perlu diperhatikan di Indonesia, setidaknya pengembalian
sisa tanaman saat panen berupa jerami atau sekam padi ke area pertanaman merupakan langkah yang
mudah dalam menjaga keseimbangan hara Si di dalam tanah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. Ir. Yusuf, MP yang telah membantu penulis dan
memberikan dukungan hingga dapat menyelesaikan prosiding.
DAFTAR PUSTAKA
Amin M, Ahmad R, Basra SM, Murtaza G (2014) Silicon induced improvement in morphophysiological
traits of maize (Zea Mays L.) under water deficit. Pakistan J Agric Sci 51(1): 187–196.
Amrullah, Didi S, Sugianta, Ahmad J. 2014. Peningkatan produktivitas tanaman padi (Oryza sativa L.)
melalui pemberian nano silika. Pangan 23 (1): 17-32.
Anggria L, Husnain, Sato K, Masunaga T. 2017. Release of silicon from silicate materials and its uptake
by rice plant. Indonesian Journal of Agricultural Science 18 (2): 69-76.
Ariningsih E. 2016. Prospek penerapan teknologi nano dalam pertanian dan pengolahan pangan di
Indonesia. Forum penelitian agro ekonomi (34) 1: 1-20.
Bakri. 2008. Komponen kimia dan fisik abu sekam padi sebagai scm untuk pembuatan komposit semen.
Journal Perennial 5: 9-14.
BB Pascapanen. 2017. Laporan tahunan bb pascapanen tahun ajaran 2017.
BB Pascapanen. 2018. Laporan tahunan bb pascapanen tahun ajaran 2018.
Bhaskaran J. Productivity enhancement of medicinal rice (Oryza sativa L.) cv. Njavara. M.Sc. (Ag)
thesis, Kerala Agricultural University, Thrissur, 2014, 165.
Chen Y, Liu M,Wang L, LinW, Fan X, Cai K. 2015. Proteomic characterization of silicon-mediated
resistance against Ralstonia solanacearum in tomato. Plant Soil 387:1–16.
Chinnamuthu. C.R. and P.M. Boopathi. 2009. Nanotechnology and Agroecosystem. Madras Agric.J.
96(1-6):17-31.
Cocker, K.M., D.E. Evans, and M.J. Hodson. 1998. The amelioration of aluminium toxicity by silicon in
higher plants: Solution chemistry or an in planta mechanism. Physiol. Plant. 104:608–614.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 531
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Darwin V, Rachman B. 2013. Potensi pengembangan pupuk organik insitu mendukung percepatan
penerapan pertanian organik. Forum Penelitian Agro Ekonomi 31 (1): 51-56.
Datnoff, LE, Rodrigues FA, Seebold KW. 2007. Silicon and plant disease. In Datnoff LE, Elmer WH,
Huber DM (eds.), Mineral Nutrition and Plant Disease. MN: APS Press.
Deus AC, Büll LT (2013). Steel slag efficiency in the bean crop in no-tillage system. Ciência Rural
43(10):1783-1789.
Epstein E. 1999. Silicon. Annual review of plant physiology and plant molecular biology 50: 661-664.
Gascho G.J. 2001. Silicon sources for agriculture. AMS: Elsevier
Hakim Y, Khan AL, Shinwari ZK, Kim D, Waqas M, Lee I (2012) Silicon treatment to rice (Oryza sativa
L.) plants during different growth periods and its effects on growth and grain yield. Pak J Bot 44:
891–897.
Harsanti ES, Indratin, Wihardjaka. 2012. Multifungsi kompos jerami dalam system produksi padi
berkelanjutan di ekosistem sawah tadah hujan. SinarTani 20-26: 3462.
Haynes RJ. 2014. A contemporary overview of silicon availability in agricultural soils. J Plant Nutr Soil
Sci. 177: 831-844.
Hussain I, Ashraf MA, Rasheed R, Asghar A, Sajid MA, Iqbal M. 2015. Exogenous application of silicon
at the boot stage decreases accumulation of cadmium in wheat (Triticum aestivum L.) grains. Braz
J Bot 38:1–12.
Karathanasis AD. 2006. Clay Minerals: Weathering and Alteration of in Lal, R. (ed.): Encyclopedia of
Soil Science (2) USA: CRC Press.
Keller CM, Rizwan JC, Davidian OS, Pokrovsky N. Bovet P, Chaurand, Meunier JD. 2015. Effect of
silicon on wheat seedlings (Triticum turgidum L.) grown in hydroponics and exposed to 0 to 30
µM Cu. Planta 241:847–860.
Liang YC, Sun WC, Zhu YG, Christie P. 2007. Mechanisms of silicon-mediated alleviation of abiotic
stresses in higher plants: A review. Environ. Pollut. 47:422–428.
Liang YC. Nikolic M. Belanger R. Gong H. Song A. 2015. Silicon in agriculture: From theory to practice.
Amsterdam (AMS): Springer.
Ma JF, Yamaji N. Functions and transport of silicon in plants. A review. Cell Mol. Life Sci. 65:3049-57.
Matichenkov, V.V., and E.A. Bocharnikova. 2001. The relationship between silicon and soil physical
and chemical properties. Silicon in Agriculture: Studies in Plant Science/ AMS: Elsevier.
Matichenkov VV, Calvert DV. 2002. Silicon as a beneficial element for sugarcane. J. Amer Socie Sugar
Tech. 22.
Marxen A, Klotzbucher T, Jahn R, Kaiser K, Nguyen VS, Schmidt A, Schadler M, Vtterlein D. 2016.
Interaction between silicon cycling and straw decomposition in a silicon deficient rice
production system. Plant and Soil 398 (1-2): 153-163.
Meena VD, Dotaniya ML, Coumar V, Rajendiran S, Kundu S, Rao AS. 2014. A case for silicon
fertilization to improve crop yields in tropical soils. Proc. Indian Natl. Sci. Acad. B Biol. Sci. 84:505–
518.
Meyer MH, Keeping MG. 2000. Review of research into the role of silicon for sugarcane production.
Proceeding S Afr Sug Technol. (74): 29-40.
Muneer S, Jeong BR. 2015. Proteomic analysis of salt-stress responsive proteins in roots of tomato
(Lycopersicon esculentum L.) plants towards silicon efficiency. J Plant Growth Regul. 77:133–146.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 533
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Wang W, Lai DYF, Li S, Kim PJ, Zeng C, Li P, Liang Y. 2014. Steel slag amandement reduces methane
emission and increases rice productivity in subtropical paddy fields in China. Wetlands Ecol
Manage 22 (6): 683-691.
Widowati. L.R.. Husnain. dan W. Hartatik. 2011. Peluang Formulasi Pupuk Berteknologi Nano. Badan
Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah. Bogor. 307-316.
Xu C, Ma Y, Liu Y (2015) Effects of silicon (Si) on growth, quality and ionic homeostasis of aloe under
salt stress. S Afr J Bot 98:26–36.
Zellner W, Frantz J, Leisner S. 2011. Silicon delays Tobacco ringspot virus systemic symptoms in Nicotiana
tabacum. J Plant Physiol. 168 (15): 1866–1869.
Zia-ur-Rehman, Akmal F, Mir N, Rizwan M, Naeem A, Sabir M, Ahmad Z.2016. Role of Silicon under
Nutrient Deficiency: Advances and Future Prospects.
Zhu Y dan Gong H. 2014. Agron. Sustain. Dev. 34: 455. https://doi.org/10.1007/s13593-013-0194-1.
ABSTRAK
Wilayah perbatasan Indonesia mempunyai nilai strategis dalam pembangunan nasional. Sulawesi Utara
yang secara administratif berada di kawasan Indonesia Timur sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor
78 Tahun 2005 memilik 11 pulau terluar yang berbatasan dengan Negara tetangga. Setiap wilayah
perbatasan memiliki potensi sumberdaya pertanian, dan budaya yang beragam, namun demikian selama
ini sebagian besar dari potensi sumberdaya tersebut belum dikelola dengan baik dan bahkan
dimanfaatkan. Salah satu kendala dalam peningkatan produktifitas tanaman dan ternak adalah
keterbatasan lahan tersedia dan penggunaan serta penguasahaan inovasi teknologi yang masih sangat
terbatas. Inovasi teknologi hasil penelitian harus mampu memecahkan permasalahan dalam arti
kebutuhan teknologi tersedia dan mudah diadopsi oleh pengguna sehingga terjadi peningkatan kinerja
produksi dan produktivitas yang mampu mendorong kesejahteraan secara berkelanjutan. Tanaman
kelapa tergolong sebagai salah satu tanaman yang tidak efisien dalam memanfaatkan lahan yang tersedia.
oleh karena itu perlu dilakukan suatu usaha yang mengarah pada efisiensi lahan serta optimalisasi
penggunaan lahan tidur. Pemanfaatan lahan di antara kelapa dengan dukungan inovasi teknologi yang
telah dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian akan mampu untuk
meningkatkan efisiensi pemanfataan lahan pada pertanaman kelapa di wilayah perbatasan Sulawesi
Utara.
PENDAHULUAN
Wilayah perbatasan Indonesia mempunyai nilai strategis dalam pembangunan nasional dan mulai
menjadi fokus perhatian Pemerintah. Provinsi Sulawesi Utara yang secara administratif berada di
kawasan Indonesia Timur sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 memilik 11 pulau
terluar yang berbatasan dengan Negara tetangga.
Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh
dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena
berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Secara umum kondisi ekonomi masyarakat di
wilayah perbatasan dengan Philipina tidak begitu mengembirakan. Kondisi seperti ini disebabkan
kebijakan pembangunan kewilayahan yang dilaksankan selama ini cenderung hanya berorientasi
Inward looking dan konsekuensinya wilayah perbatasan hanya menjadi wilayah pinggiran dan
halaman belakang NKRI.Setiap wilayah perbatasan memiliki potensi sumberdaya pertanian, dan
budaya yang beragam, namun demikian selama ini sebagian besar dari potensi sumberdaya tersebut
belum dikelola dengan baik dan bahkan dimanfaatkan. Sudaryanto dan Syafa’at (2002), harus selalu
diarahkan agar mampu memanfaatkan secara maksimal keunggulan sumberdaya wilayah secara
berkelanjutan. Oleh karena itu kebijaksanaan pembangunan pertanian mesti dirancang dalam
perspektif ekonomi wilayah.
Potensi sumberdaya ternak, lahan, pakan, dan manusia yang tersedia cukup mendukung
pengembangan ternak di wilayah perbatasan. Secara umum kegiatan pertanian di wilayah perbatasan
dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap rumah tangga petani.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 535
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Permasalahannya produktivitas ternak di wilayah perbatasan Sulawesi Utara masih rendah
dilihat dari dalam kemampuannya dalam penyediaan daging. Hal ini disebabkan oleh karena
beberapa hal yaitu dimana pada umumnya petani di wilayah perbatasan dalam pemeliharaan
ternaknya masih menggunakan budidaya sistem tradisional, dan penggunaan serta penguasahaan
inovasi teknologi yang masih sangat terbatas.
Sebagai salah satu komponen strategis dari sistem pembangunan pertanian, khususnya sub sektor
peternakan, maka inovasi teknologi dan pengembangan hasil penelitian harus mampu memecahkan
permasalahan pembangunan sub sector peternakan dalam arti kebutuhan teknologi tersedia dan
mudah diadopsi oleh pengguna sehingga terjadi peningkatan kinerja produksi dan produktivitas
yang mampu mendorong kesejahteraan secara berkelanjutan. Berkaitan dengan hal tersebut, makalah
ini membahas secara khusus tentang dukungan inovasi teknologi peternakan berbasis kelapa di
wilayah perbatasan di Sulawesi Utara.
Ternak besar dan kecil dengan populasi terbesar yang ada dan telah berkembang adalah sapi
potong, kambing dan babi. Sedangkan ternak unggas yaitu ayam bukan ras (Buras), ayam broiler dan
itik. Populasi ternak sapi dan kambing terbesar berada di wilayah Kecamatan Beo dengan jumlah
masing-masing 138 ekor dan 220 ekor. Sedangkan untuk ternak babi, berada di Kecamatan
Kabaruan dengan jumlah populasi 1.660. ekor. Untuk ternak unggas, populasi terbesar adalah ayam
kampung 2.420 ekor di Kecamatan Kabaruan, ayam pedaging di Kecamatan Melonguane 3.200. ekor,
dan itik di Kecamatan Beo 1.344 ekor. Produksi daging dan telur di Kabupaten Kepulauan Talaud di
tahun 2016 masing-masing yaitu 669.577 kg dan 3.472 kg.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 537
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Wilayah perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud dikenal sebagai salah satu daerah
penghasil kelapa di Propinsi Sulawesi Utara, dan saat ini sebagian besar petani belum memanfaatkan
sisa lahannya. Menurut Abdurahman dan Mulyani (2003), bahwa sebagian besar (sekitar 80%) lahan
di bawah pohon kelapa ataupun diantara pertanaman kelapa belum di manfaatkan oleh karena itu
perlu dilakukan suatu usaha yang mengarah pada efisiensi lahan serta optimalisasi penggunaan lahan
tidur.
Optimalisasi pemanfaatan lahan di bawah pohon kelapa secara berkelanjutan dapat dilakukan
dengan salah satu sistem yaitu usahatani terpadu yang bertujuan untuk mengefisienkan
pemanfaatan lahan, meningkatkan pendapatan petani, dan mengurangi kerusakan lahan.
Pemanfaatan lahan di bawah pohon kelapa dengan pola tanam tumpangsari/sela dapat meningkatkan
efisiensi pemanfaatan lahan pada pertanaman kelapa.
Anwar (2012) berpendapat bahwa pola tanam tumpangsari merupakan pola tanam dengan
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada suatu hamparan lahan dalam periode waktu yang sama,
sedangkan pola tanam tumpangsari menurut Bahar (2009), merupakan suatu usaha menanam
beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang di atur sedemikian rupa dalam baris-
barisan tanaman, jadi bisa dikatakan bahwa pola tanam tumpangsari merupakan penanaman lebih
dari satu jenis tanaman pada satu lahan yang sama.
Penanaman pola tanam tumpangsari dibawah pohon kelapa atau di antara pertanaman kelapa
sangat menguntungkan, oleh karena lahan di bawah pohon kelapa dapat di manfaatkan untuk
tanaman lain (Kadekoh 2007). Menurut Setyamidjaya (2001), bahwa pengusahaan pola tanam
tumpangsari diantara tanaman kelapa dapat memperbaiki aerasi tanah sehingga dapat memperbaiki
sistem perakaran kelapa dan meningkatkan produksi buah kelapa. Tanaman sela dapat meningkatkan
jumlah bunga betina dan buah kelapa setiap tahunnya, peningkatan jumlah bunga betina sebesar 30 %
dan buah jadi 20 % Tjahyana et al., (2000 dalam Ruskandi, 2003).
Setyamidjaya (2001), menyatakan bahwa pola tanam tumpangsari di antara pertanaman kelapa
dapat menurunkan biaya rata-rata produksi dan menambah keuntungan usaha tani. Beberapa
keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman kelapa yaitu produksi
tanaman kelapa meningkat serta pendapatan petani meningkat (Toha 2002).
Dengan penanaman tanaman sela di antara kelapa pendapatan petani meningkat minimal 30%
dari tanaman sela atau ternak, dan 30% dari tanaman kelapa. (Kadekoh, 2004 dalam Kadekoh, 2007).
Pemanfaatan lahan kosong dalam rangka pembangunan pertanian dan pemenuhan protein hewani
tidak saja menggunakan lahan subur ataupun yang mempunyai irigasi tetapi juga telah diarahkan
kepada pemanfaatan lahan marginal Rahmawaty (2002). Kecukupan pakan hijauan dalam arti
kuantitas dan kualitas merupakan kebutuhan utama dalam pengembangan biakan ataupun
peningkatan populasi ternak.
Pada umumnya integrasi ternak dengan tanaman, baik itu tanaman pangan, tanaman perkebunan
maupun tanaman industri memberikan nilai tambah yang cukup signifikan Diwyanto et al. (2004);
Mhatius. (2008); Kusnadi (2008), Haryanto.(2009). Sistem integrasi untuk penggembalaan ternak
kambing dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi tanaman, perkebunan dan keuntungan
ekonomis serta meningkatkan hasil ternak. Pada sistem integrasi dengan Double hedge row system
daya dukung meningkat menjadi 36-37 ekor/ha dan produksi rumput relative stabil, serta
penghematan biaya penyiangan lebih dari 50% (Chong dan Ismail, 1996).
Perkebunan kelapa mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi kawasan usaha ternak sapi
potong khususnya usaha cow calf operation (CCO) pola Integrasi Crop Livestok secara insitu. Dalam hal
ini ternak dapat dipelihara atau digembalakan dibawah naungan pohon kelapa yang sudah cukup
Pola tumpang sari dengan tanaman pakan ternak (TPT) pada perkebunan kelapa pada fase
tanaman sudah menghasilkan (TM), pemeliharaan ternak dilakukan dengan cara digembalakan atau
grazing. (Mahmud, (2008). Menyatakan bahwa semakin tinggi pohon kelapa maka intensitas cahaya
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 539
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
yang dapat mencapai permukaan tanah juga semakin banyak. Jenis tanaman pakan ternak (TPT) yang
tahan injakan atau senggutan serta inovasi yang dapat dikembangkan, terlihat padat Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Tanaman Pakan Ternak (TPT) yang cocok untuk Sistem Pengembalaan Berat
Inovasi yang diperlukan disini adalah dalam hal penetapan jenis atau spesies tanaman pakan
ternak yang layak dikembangkan sesuai agroekologinya. Disamping itu juga diperlukan suatu inovasi
terkait dengan penyediaan benih, penanaman serta pengelolaan, agar pengembangan secara teknis
mudah dan layak ekonomis. Pola tumpang sari seperti ini sudah banyak dilakukan di Bali atau Jawa,
seperti yang dianjurkan Nitis et al. (2004) dalam pola tiga strata. Pemilihan jenis komoditas yang
dikembangkan secara tumpang sari seperti ini harus didasarkan pada nilai manfaat secara teknis,
ekonomis, sosial, budaya serta dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Tabel 5. Teknologi Inovatif untuk Mendukung Sistim Usaha
Kelapa Terpadu dengan Sapi Potong
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 541
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Ampas Kelapa.Ampas kelapa merupakan hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging buah
kelapa segar atau kering. Ampas kelapa pada umumnya digunakan sebagai bahan campuran
makanan ternak. Potensi ampas kelapa dapat mencapai 34-42 % dari keseluruhan buah kelapa.
Ampas kelapa mengandung protein dan lemak (SNl, 1996).
Ampas kelapa memiliki kendala untuk diberikan pada ternak karena kandungan protein kasar
rendah dan serat kasar tinggi. Puri (2011) kandungan ampas kelapa terdiri dari air 13,35 %, protein
kasar 5,09 %, lemak kasar 19,44 %, abu 3,92 % dan serat kasar 30,4 %. Hidayati (2008) melaporkan
bahwa ampas kelapa mempunyai kandungan protein kasar 4,89% dan serta kasar 28,72%. Untuk
mengatasi kendala tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi fermentasi yaitu
pemanfaatan jasa enzim dan mikroba dalam upaya meningkatkan nilai nutrisi ampas kelapa terutama
peningkatan protein dan penurunan kandungan serat kasar dan lemak.
Fermentasi dengan menggunakan kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen
bahan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
nutrisinya (Supriyati et al., 1999). Farizaldi (2011) menyatakan bahwa proses fermentasi dapat
menurunkan kadar lemak ampas kelapa sebesar 11,39%. Pakan yang dihasilkan dalam proses
fermentasi ini cukup aman untuk dikonsumsi olah ternak karena memiliki kandungan aflatoksin Bi, B2
dan G2 pakan < 20ppb. Hasil analisa yang dilakukan oleh Miskiyah et al., (2006), menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan kadar protein ampas kelapa setelah fermentasi dari 11,35% menjadi 26,09% atau
sebesar 130% dan penurunan kadar lemak sebesar 11,39%. Kecernaan bahan kering dan bahan organik
meningkat masing-masing dari 78,99% dan 98,19% menjadi 95,1% dan 98,82%.
Sabut Kelapa. Sabut kelapa merupakan bahan berserat dengan ketebalan sekitar 5 cm, dan
merupakan bagian terluar dari sebuah kelapa. Sabut kelapa terdiri dari kulit ari, serat dan sekam.
Sabut kelapa tidak dapat langsung diberikan pada ternak karena kualitas gizi yang rendah. Menurut
Oladayo (2010), sabut kelapa memiliki kandungan serat kasar 30,34% dan abu3,95%. Kandungan
protein kasar sabut kelapa yaitu 3,13% (Lorica and Uyenco, 1982). Komposisi kimia dari sabut kelapa
yaitu air 26,0%, pektin 14,25%, hemiselulosa 8,50, selulosa 21, 07% dan lignin 29,23% (Tyas, 2000).
Sabut kelapa Mengandung lignin dan serat Hal ini menyebabkan rendahnya kecernaan sabut
kelapa. Tingginya kadar serat kasar di dalam pakan akan mengakibatkan rendahnya palatibilitas,
nilai gizi dan daya cerna terhadap pakan (Winugroho dan Mariati, 1999). Kecernaan yang rendah
mengakibatkan nutrisi sabut kelapa tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga diperlukan
upaya mengolah bahan tersebut agar menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak. Peningkatan kualitas
bahan pakan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan proses fermentasi dan amoniasi.
Amoniasi dengan urea merupakan perlakuan kimia yang tergolong murah dan mudah dilakukan.
Perlakuan amoniasi dengan urea pada pakan serat selain mampu melonggarkan ikatan lignoselulosa
sehingga lebih mudah dicerna oleh bakteri rumen, juga mampu meningkatkan kandungan protein
kasar pakan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen bagi pertumbuhan bakteri rumen (Granzin and
Dryden, 2003).
Perlakuan amoniasi dapat di simpan selama satu minggu (Kartadisastra, 2004). Menurut Setyono
et al. (2009), dosis urea yang dapat digunakan dalam proses amoniasi yaitu 4-6% bahan kering yang
digunakan. Urea pada dosis 1% digunakan sebagai sumber nitrogen bagi mikroba dalam proses
fermentasi, sehingga urea tidak hanya sebagai penambah nutrisi pakan namun bisa juga dikatakan
sebagai katalisator dalam proses fermentasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala BPTP Sulawesi Utara Dr. Ir. Yusuf, MP
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam penulisan karya tulis ilmiah,
dan yang sekaligus sebagai pembimbing dan juga kepada Ir. G.H.Josep, M.Si atas saran dan masukan
dalam penyelesaian penyusunan karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, A dan Mulyani, A .2003. Pemanfaatan Lahan Berpotensi untuk Pengembangan
Produksi Kelapa. Jurnal Litbang Pertanian 22 (1) : 25
Anwar, S. 2012. Pola Tanam Tumpangsari. Agroekoteknologi. Litbang : Deptan.
Agunbiande, J.A, J. Wiseman and D.J.A. Cole. 1999. Energy and nutrient use of palm kernels, palm
kernel meal and palm kernel oil in diets for growing pigs. Anim. Feed Sci. J. 47: 165-181.
Bahar, S. 2009. Introdusksi rumput dan leguminosa untuk pakan ternak pada berbagai tipe lahan. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, Makassar, SulawesiSelatan. Buletin Ilmu Peternakan dan
Perikanan13(1) : 54-61
Chandrasakariah, M., K.T. Sampath, A. Thulasi and S. Anandan. 2001. In situ protein degrability of
certain feedstuffs in cattle. Indian J. of Anim. Sci. 71: 261-264
Child, R. 1964. Coconut. Longman. London
Chong T, and Tajudin Ismail . 1996 . Improve sheep production system in rubber plantation .
Proceedings of Workshop on Research Methodologies . Medan
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W Mathius dan Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha
sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa
Sawit-Sapi. Bengkulu. Hal. 11-22
Farizaldi. 2016. Evaluasi Kandungan Nutrisi Ampas Kelapa Terfermentasi dengan Ragi lokal dan
Lama Fermentasi yang Berbeda. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. Volume 18,
Nomor 1, Hal. 49-55 ISSN:0852-8349. Januari – Juni 2016
Fardiaz S, 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia, Jakarta
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 543
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Haryanto, B. (2009). Inovasi Tehnologi Pakan Ternak Dalam Sistem integrasi Tanaman-Ternak Berbasis
Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Pengembangan Innováis Pertanian 2 (3). 2009: 163-176.
Hidayati, S.G. 2011. Pengolahan Ampas Kelapa dengan Mikroba Lokal sebagai Bahan Pakan Ternak
Unggas Alternatif di Sumatera Utara. Jur. Embrio 4 (1):26-36
Hidayati Sari Gando. (2011). Pengolahan Ampas Kelapa Dengan Mikroba Lokal Sebagai Bahan Pakan
Ternak Unggas Alternatif di Sumatera Barat. Jur. Embrio (4) (1) (26 -36) 2011. Program Studi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Taman siswa Padang
Hutagalung, R.I. 1978. Non traditional feeding stuff for livesstock. In : Feedingstuffs for livestock in
Southeast Asia.
Kadekoh. 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Inovasi Lahan Marginal
Kusnadi U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem Integrasi Tanaman - Ternak untuk
Menunjang Swasembada Daging Sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian (13):193.
Mahmud, Z. 2008. Modernisasi usaha tani kelapa rakyat. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(4): 274 –
287.
Mathius, I W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi
Pertanian 1(2): 206−224.
Mairizal. 2003. Pengaruh penggunaan bungkil kelapa hasil fermentasi dengan Aspergillus niger dalam
ransum terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Edisi
Spesial (Special Edition) bulan Oktober 2003
Mairizal dan N. Herawati. 2004. Pengaruh Penggunaan Bungkil Kelapa Hasil Fermentasi dengan
Kapang Tempe (Rhizopus sp) terhadap Performans Ayam Pedaging. Laporan Penelitian Fak.
Peternakan Univ. Jambi.
Mairizal dan Erwan E. 2008. Respon Biologis Pemberian Bungkil Kelapa Hasil Fermentasi dengan
Trichoderma harzianum dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Pedaging. Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan November, 2008, Vol. XI. No. 4.
Nitis, I.M., K. Lana dan A.W. Pugar. 2004. Pengalaman pengembangan tanaman-ternak berwawasan
lingkungan di Bali. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22
Juli 2004. Puslitbang Peternakan, BPTP Bali dan CASREN. hlm. 44 – 52.
Panigrahi. S . 1989. Effects on egg production of including high residual lipid copra in laying hen diets.
Brit. Poult. Sci. 30 :305 - 312.
Pederson C, 1971. Microbiology of Food Fermentation. The AVI Publ. Co, New York.
Prawiradiputra.,R.B.Sajimin, Nurhayati,D. Dan Iwan,.H. 2006. Hijauan pakan ternak
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian.
Purwadaria, T., T. Haryati, J. Darma dan O.I. Munazat. 1995. In vitro digestibility evaluation of
fermented coconut meal using Aspergillus niger NRRL 337. Bul. Anim. Sci. Special ed. pp. 375 –
382.
Puri, E. 2011. Pengaruh Penambahan Ampas Kelapa Hasil Fermentasi Aspergillus oryzae Dalam Pakan
KomersilTerhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oriochromius niloticus).(Skripsi). Surakarta
Jurusan Biologi. Fmipa Universitas Sebelas Maret.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 545
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
546 | Teknologi Pertanian
PENGARUH DOLOMIT MERK MAGFET 100 SEBAGAI PEMBENAH TANAH
TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG
LAHAN KERING KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus di lahan sawah maupun lahan kering menyebabkan
menurunnya produktivitas dan kualitas tanah. Penurunan produktivitas tanah menyebabkan produksi
tanaman jagung kurang optimal. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi efektifitas
Pembenah Tanah Dolomit merk “MAGFET 100” produksidari PT. Formitra Multi Prakarsa dalam
meningkatkan pH tanah, hasil jagung dan pendapatan usahatani. Kegiatan dilakukan di Desa Wajak Kec.
Wajak Kabupaten Malang Jawa Timur, di lahan BPP Kec. Wajak pada bulanMarethinggaJuli 2018.
Metode Penelitian Menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pembenah Tanah Dolomit MAGFET 100 hanya mampu menaikkan pH tanahsekitar 0,5 unit dan dinilai
masih kurangefektif. Bisa jadi dosis 4 t/ha masih kurang mampu untuk menaikkan pH
tanahsecarasignifikan. Penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 berpengaruh positif terhadap
peningkatan diameter batang dan jumlah daun jagung per tanaman. Namun demikian hasil tanaman
jagung lebih dipengaruhi oleh pemberian pupuk anorganik NPK dan kurang dipengaruhi oleh
penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100. Penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET
100 sebanyak 2, 3 dan 4 t/ha memberikan nilai RAE lebih dari 100, yaitu berturut-turut sebesar 110,37;
104,25; dan 114,07. Semua perlakuan penambahan pembenahtanah Dolomit MAGFET 100 sebanyak 1
hingga 4 t/ha memberikan nisbah R/C >1, nisbah R/C sebesar 1,84 diperoleh pada penambahan 2 t/ha
(sama dengan nisbah R/C perlakuan NPK standar) dan memberikan keuntungan tertinggi sebesar 15,23
juta rupiah.
Kata Kunci: Dolomit, Magfet 100, Produksi, Pendapatan, jagung, lahan kering
PENDAHULUAN
Di samping benih bermutu yang berasal dari varietas unggul dan pengelolaan air, pemupukan
merupakan faktor produksi utama peningkatan hasil tanaman. Hasil penelitian Rice Check FAO di
Lampung, Banten, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa komponen
teknologi pemupukan spesifik lokasi memberikan kontribusi terbesar dalam peningkatan hasil padi
(24,7%) dan pendapatanpetani (25,5%), diikuti oleh komponen cara tanam/populasi tanaman yang
meningkatkan hasil padi sebesar 18,7% namun hanya meningkatkan pendapatan sebesar 7,7%,
kemudian komponen pengelolan air dan hama penyakit (Zainiet.al., 2006).
Praktekpenggunaanpupuk di tingkat petani utamanya pada tanaman padi dan jagung secara
umum masih belum menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dengan dosis cenderung berlebihan.
Pemberianpupukberlebihan, selain merupakan pemborosan, juga menyebabkan tanaman mudah
rebah, lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit, dan mengganggu lingkungan (Sri
Adiningsih dan Soepartini, 1995). Fairhurst et.al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan pupuk akan
menjadi efisien apabila : (1) sebagian besarpupuk yang diberikan dapat diserap tanaman, sering
disebut dengan efisiensi penyerapan (EP), dan (2) terdapat peningkatan hasil yang besar untuk setiap
kg pupuk yang diberikan, sering disebut dengan efisiensi agronomis (EA). Oleh karena itu pupuk
perlu digunakan secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan target hasil tanaman realistis
yang angin dicapai dan ketersediaan hara asli dalam tanah, sisa tanaman, dan air irigasi. Pemberian
bahan organik atau pembenah tanah dapt juga meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 547
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Selain dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, pembenah tanah juga dapat memperbaiki sifat
fisik, kimia dan/atau biologi tanah. Jenis pembenah tanah yang telah banyak dikenal diantaranya
adalah dolomit, zeolit, dll. Dalam Permentan No.70/Permentan/SR.140/10/2011 tertulis bahwa yang
disebut dengan pembenah tanah adalah bahan-bahan sintetis dan/atau alami, organik dan/atau
mineral berbentuk padat dan/atau cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia
dan/ataubiologitanah (Kementerian Pertanian, 2011).
Sesuai dengan Permentan tersebut, semua produk pupuk termasuk pembenah tanah yang akan
diedarkan atau diperdagangkan harus memperoleh sertifikat pendaftarandari Kemeterian Pertanian.
Untuk mendapatkan sertifikat pendaftaran tersebut perlu dilakukan uji mutu dan uji efektivitas
terlebihdahulu oleh lembaga penguji yang telah ditunjuk oleh Menteri Pertanian
(tercantumdalamPermentan 70/2011). Pengujian mutu pembenah tanah adalah analisis kandungan
bahan utama dan bahanaktif dan/atau unsur logam beratatau unsure lainnyadalam pembenah tanah
yang dilakukan di laboratorium sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan. Pengujian
efektifitaspembenah tanah adalah kegiatan uji laboratorium dan/atau rumah kaca atau lapangan
untuk mengetahui pengaruh dari pembenah tanah terhadap perbaikan sifat fisik dan/atau kimia
dan/atau biologi tanah dan produktivitas tanaman (Kementerian Pertanian, 2011). Produkbaru yang
akan diuji dalam kegiatan ini adalah Pembenah Tanah Dolomit dengan merkdagang MAGFET 100
produksi dari PT. Formitra Multi Prakarsa.
Pengujian efektifitas Pembenah Tanah Dolomit dengan merk dagang MAGFET 100 produksi dari
PT. Formitra Multi Prakarsaini dilakukanatas permintaanDirekturPupuk dan Pestisida, Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian kepada BPTP Jawa Timur melalui
surat No. 574.OL/SR.310/B.5.4/6/2017 tanggal 6 Juni 2017. Berdasarkan uji mutu oleh Sucofindo
Surabaya dan sesuai dengan namanya pembenah tanah dolomit, pembenah tanah dolomit MAGFET
100 utamanya mengandung 21,24 % MgO dan 32,31 % CaO (Tabel 1). Menurut Permentan 70/2011,
pembenah tanah ini termasuk pembenah tanah non organik dengan tujuan untuk meningkatkan pH
tanah. Hal ini karena memiliki kandunganCaO + MgO sebesar 53,55%, melebihipersyaratan dalam
Permentan 70/2011 yang kandunganCaO + MgO ditetapkan minimal 47%. Oleh karena produk ini
telah lolos uji mutu maka pengujian efektifitas layak dilakukan dan akan dilakukan di lahan kering
yang pH tanahnya relatif masam-agak masam. Pengujian di lahan sawah irigasi kurang sesuai karena
penggenangan di lahan sawah akan menjadikan pH tanah menuju kenetral (Ponnamperuma, 1972).
Oleh karena tidak ada pesan khusus dari produsen, komoditas yang digunakan adalah jagung dengan
pertimbangan relatif respon terhadap pupuk termasuk perbaikan tanah, dan sesuai ditanam pada
musim hujan 2017/2018 di lahan kering.
Produsen belum mengetahui dosis pembenah tanah dolomit MAGNET 100 yang disarankan.
Dosis dolomit yang dianjurkan sangat tergantung dari berapa pH tanah awal dan akan dinaikkan
menjadi pH berapa. Sebagai pertimbangan dapatdiacu beberapa hasil penelitian pemberian dolomit
atau kapur berikut. Rekomendasi dolomit untuk kedelai di lahan masam adalah 1,0-1,5 t/ha (Balitkabi,
2016). Untuk lahan gambut disarankan pemberian dolomit 4 t/ha (Nozaet al., 2014). Hasil penelitian
Ahmadi dan Rusmawan (2015) menunjukkan bahwa pemberian 1,5 kapur/ha dan 125 kg SP-36/ha
mampu memberikan hasil kacang tanah tertinggi di lahankering Bangka Belitung. Sedangkan hasil
penelitian Suwandi (2008) menunjukkan bahwa pH tanah setelah empat bulan pemberian dolomit
setara 4 t/ha naik dari 4,7 tanpa dolomit menjadi 5,2 dan bila diberikan setara 6 t dolomit/ha akan
menaikkan pH tanah menjadi 6,2. Hasil penelitian di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa dosis
kapur yang diperlukan untuk menaikkan pH tanah darimasam (4,5-5,5) menjadi agak masam (5,5-6,5)
berkisar 2,7 hingga 3,3 t/ha untuk tanah berteksturkasar dan berkisar 2,9 hingga 3,45 t/ha untuk tanah
bertekstur halus (Mariana, 2013). Hasil-hasil penelitian tersebut akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan perlakuan dosis pembenah tanah dolomit MAGNET 100 pada
Dalam Permentan 70/2011 disebutkan dalam pengujian pembenah tanah, perlakuan meliputi 0;
0,5; 1,0; dam 1,5 dosis anjuran. Oleh karena produsen belum mengetahui dosis anjuran, maka hasil-
hasil penelitian yang diuraikan di depan digunakan sebagai acuan. Untuk itu perlakuan Pembenah
Tanah Dolomit Magfet 100 pada pengujian ini ditetapkan sebagai berikut :
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 549
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
kegiatan ditetapkan di Kebun BPP Wajak yang pada saat pengukuran awal dengan kertas
lakmus memiliki pH tanah <6. Kegiatan lapang dilakukan pada MK-1 2018 (MarethinggaJuli
2018).
Teknik budidaya. Teknik budidaya jagung mengikuti rekomendasi baku yang diberikan oleh
Arifin et al. (2016).
Pengamatan dan AnalisisData
Sebelum pengujian diambil sampel tanah secara komposit dan dilakukan analisis kimia tanah
lengkap di laboratorium. Data utama yang diamati adalah pH tanah awal sebelum pengujian,
kemudian pH tanah selama pengujian diukur setiap bulan, dan pH tanah akhir setelah selesai
penguian. Pengukuran pH tanah dilakukan degan dua cara : (i) diukur langsung di sekitar
perakaran tanaman jagung (dengan alat bantu PUTK) dan (ii) diambil sampel tanahnya di sekitar
perakaran tanaman jagung untuk diukur di laboratorium. Data penunjang adalah komponen
pertumbuhan/hasil jagung (tinggitanaman, pajangtongkol, diameter tongkol, bobot tongkol basah,
bobot pipilan kering) dan analisis usahataninya. Data dianalisis dengan Anova dilanjutkan dengan uji
antar perlakuan dengan uji Duncan (DMRT) pada taraf uji 5%.
Penilaian efektifitas :
Secara teknis- agronomis dengan menghitung Nilai Relativitas Agronomi (Relative Agronomic
Effectiveness = RAE) dengan rumus :
RAE = Hasil pupuk yang diuji – kontrol/Hasil pupuk standar – kontrol x 100%
Nilai RAE > 100% berarti pembenah tanah yang diuji efektif dibanding perlakuan standar
Secara ekonomis dilakukan dengan perhitungan nisbah B/C, R/C ,atau IBRC dengan rumus :
IBRC = Penerimaanpupuk uji – kontrol/Pengeluaranpupuk uji – kontrol
Nilai B/C atau R/C atau IBRC >1 berarti pembenah tanah yang diuji mempunyai nilai ekonomis
yang baik.
Dengan fungsi tersebut, uji efektivitas pembenah tanah dolomitakan lebih baik bila dilakukan di
lahan kering masam. Jawa Timur pada dasarnya tidak memiliki lahan kering masam, namun
berdasarkan data dan informasi terdapatlokasi-lokasi yang memiliki pH tanah agak masam. Pada
Kelayaan teknis-agronomi
Kelayaan teknis-agronomis pupuk yang diuji diukur dengan nilai RAE. Oleh karena tingkat hasil
jagung yang dicapai antara perlakuan beragam angkanya, walaupun tidak berbeda secara nyata,
maka akan menghasilkannilai RAE yang juga berbedaantarperlakuan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa
penambahan pembenah tanah Dolomit dosis 2, 3 dan 4 t/ha memberikan nilai RAE berturut-turut
110,37; 104,25; dan 114,07 (semuanya lebih dari 100).
Kelayaan Ekonomi
Kelayaan ekonomi pupuk yang diuji diukur atas dasar nisbah R/C dan nilai keuntungan
usahatani. Apabila sewa lahan diperhitungkan (Rp10 juta/ha), perlakuan kontrol tanpa pupuk
memberikan nisbah R/C kurang dari1 (0,59) dan keuntungan negatif. Pemberian pupuk NPK standar
tanpa pembenah tanah mampu meningkatkan nisbah R/C menjadi1,84 dan keuntungan menjadi lebih
dari 14 juta rupiah. Penambahan pembenah tanah Dolomit dosis1 hingga 4 t/ha pada pupuk NPK
standar tersebut memberikan nisbah R/C hampir sama dengan nisbah R/C pada perlakuan pupuk
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 551
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
NPK standar. Nisbah R/C sebesar1,84 (samadengan R/C pada perlakuan NPK) diperoleh pada
penambahan2 t/ha pembenah tanah Dolomit. Dari sisi keuntungan, penambahan 2 dan 4 t/ha
pembenah tanah Dolomit memberikan keuntungan lebih tinggi dibanding perlakuan NPK standar,
dengan nisbah R/C berturut-turut sebesar1,84 dan 1,77. Keuntungan tertinggi sebesar 15,23juta rupiah
dicapai pada perlakuan penambahan pembenah tanah Dolomit sebanyak 2 t/ha, dengan nisbah R/C
sama dengan perlakuan NPK standar (Tabel4).
Tabel 4. Analisis Usahatani Jagung per ha pada uji pembenah tanah Dolomit
Di Kec. Wajak Kab. Malang, MK-1 2018
PARAMETER PENDUKUNG
Tinggi tanaman, diameter batang, jumlahdaun, jumlahtongkol
Perlakuan control tanpa pupuk menghasilkan tinggi tanaman paling pendek (167,3 cm),
pemberian pupuk NPK mampu meningkatkan tinggi tanaman menjadi 223,7 cm. Penambahan
pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 dosis 1 hingga 4 t/ha tidak memberikan perbedaan tinggi
tanaman dibanding pemberian NPK saja. Diameter batang dipengaruhi oleh pemberian pupuk NPK
dan penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100. Bila diameter batang pada perlakuan
control hanya 12,5 cm, penambahan pupuk NPK mampu meningkatkan diameter batang menjadi 14,8
cm. Penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 meningkatkan diameter batang hingga
menjadi 15-16,5 cm (Tabel5). Demikian juga untuk jumlah daun per batang, pemberian pupuk NPK
mampu meningkatkan jumlah daun per batang dibanding control. Penambahan pembenah tanah
Dolomit MAGFET 100 juga mampu meningkatkan jumlah daun per batang disbanding perlakuan
pupuk NPK saja (Tabel5). Sementara jumlah tongkol per batang hanya satu sesuai sifat varietasnya
dan tidak ada pengaruh perlakuan pupuk terhadap jumlah tongkol per batang (Tabel5).
Dari uraian tersebut secara ringkas dapat disebutkan bahwa disbanding perlakuan pupuk standar
NPK, penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 mampu meningkatkan diameter batang
dan jumlah daun per tanaman. Peningkatan diameter batang diharapkan dapat memperkokoh
tanaman sehingga lebih tahan rebah, dan peningkatkan jumlah daun per tanaman diharapkan
mampu meningkatkan laju fotosintesis.
Secara umum semua perlakuan termasuk control tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
bobot 100 biji (Tabel 6). Secara ringkas dapat disebutkan bahwa penambahan pembenah tanah Doomit
MAGFET 100 hingga dosis 4 t/ha tidak berpengaruh terhadap keempat parameter tersebut. Dari Tabel
5 dan Tabel 6 terlihat bahwa pola kecenderungan data dari semua parameter pendukung sangat
sejalan dengan pola kecenderungan data dari parameter utama, yaitu hasil jagung pipilan kering dan
nilai RAE (Tabel3).
KESIMPULAN
Pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 hanya mampu menaikkan pH tanah sekitar 0,5 unit dan
dinilai masih kurang efektif. Bisa jadi dosis 4 t/ha masih kurang mampu untuk menaikkan pH tanah
secara signifikan.Penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 berpengaruh positif terhadap
peningkatan diameter batang dan jumlahdaun jagung per tanaman. Namun demikian hasil tanaman
jagung lebih dipengaruhi oleh pemberian pupuk anorganik NPK dan kurang dipengaruhi oleh
penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 553
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 sebanyak 2, 3 dan 4 t/ha memberikan nilai
RAE lebih dari 100, yaitu berturut-turut sebesar 110,37; 104,25; dan 114,07. Semua perlakuan
penambahan pembenah tanah Dolomit MAGFET 100 sebanyak 1 hingga 4 t/ha memberikan nisbah
R/C>1, nisbah R/C sebesar1,84 diperoleh pada penambahan 2 t/ha (sama dengan nisbah R/C
perlakuan NPK standar) dan memberikan keuntungan tertinggi sebesar 15,23juta rupiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi dan D. Rusmawan. 2015. Pengaruh takaran pupuk P dan Dolomit terhadap pertumbuhan dan
produksi kacang tanah di lahan kering di Kepulauan Bangka Belitung. Hal : 58-62. Proseding
Seminar Nasional Swasembada Pangan. Politeknik Negeri Lampung, 29 April 2015.
Arifin, Z., T. Sudaryono dan C. Tafakresnanto. 2016. Teknologi usahatani jagungspesifik lokasi Jawa
Timur. Hal. 30-53. Dalam. Suyamto, C. Mahfud dan T. Sudaryono (Penyunting). Petunjuk
Teknis Rakitan Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.
Balitkabi, 2016. Teknologi produksi kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubikayu dan ubijalar.
Fairhurst, T., C. Witt, R. Buresh and A. Dobermann.2007.Rice : A practical guide to nutrient
management. IRRI.IPNI.IPI.
Kementerian Pertanian, 2011. Peraturan Menteri PertanianNomor 70/Permentan/SR.140/10/2011.
Tentang Pupuk Organik, PupukHayati dan Pembenah Tanah.
Mariana, 2013. Kebutuhan kapur pada tanah bertekstur halus dan kasar di lahan kering masam
Kalimantan Selatan. Agroscientiae. Vol 20 No 2 : 56-60.
Noza, L., H. Yetti dan M.A. Khoiri. 2014. Pengaruhpemberiandolomit dan pupuk NPK terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis di lahan gambut. JOM Faperta. Vol.1No. 2 :
1-11.
Ponnam peruma, F.N. 1972. The chemistry of submerged soils. Advance Agronomy. 24: 29-96.
Sri Adiningsih, J. dan M. Soepartini. 1995. Pengelolaanpupuk pada sistem usahatani lahan sawah.
Makalah apresiasi metodologi pengkajian sistem usatani berbasis padi berwawasan agribisnis.
PSE. Bogor. 7-9 September 1995.
Suwandi. 2008. Aplikasi dolomite dan Urea terhadappertumbuhanMurbai (Moruskhunpai). Info
Hutan. Vol. V No. 4 : 377-385.
Zaini, Z., Erythrina and T.Woodhead. 2006. Agronomic and economic assessment of an adoption of the
Australian ricecheck procedure. Hal : 228-238. Dalam. Proseding Seminar Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Lumbung Pangan
Nasional. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan TeknologiPertanian. Bogor.
ABSTRAK
Emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian di Indonesia semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya kebutuhan pangan. Sumber gas rumah kaca dari sektor pertanian yang utama adalah lahan
sawah, peternakan dan penggunaan pupuk anorganik. Tujuan studi ini adalah untuk memperkirakan
emisi GRK dari sektor pertanian Propinsi Gorontalo serta upaya adaptasi dan mitigasinya. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa emisi GRK dari sektor pertanian di Propinsi Gorontalo dalam kurun
waktu 5 tahun (2013-2017) secara berurutan dari yang terbesar adalah CH 4 lahan sawah, CH4 fermentasi
enterik ternak dan N2O secara langsung dari tanah yang dikelola. Emisi GRK dari sektor pertanian
cenderung mengalami peningkatan karena adanya peningkatan luas panen, jumlah populasi ternak dan
kebutuhan pupuk di Propinsi Gorontalo. Total emisi GRK dari sektor pertanian Propinsi Gorontalo pada
kurun waktu 2013-2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari 869 pada tahun 2013 menjadi
1.111 Gg CO2-e th-1 pada tahun 2017. Penerapan sistem pertanian cerdas iklim perlu dilakukan untuk
meningkatkan produksi pangan dan mengurangi emisi GRK di Propinsi Gorontalo.
Kata kunci: adaptasi dan mitigasi, emisi gas rumah kaca, Gorontalo, perubahan iklim
ABSTRACT
Greenhouse gas emissions from the agricultural sector in Indonesia are increasing in line with increasing of food
demand. The main sources of greenhouse gases from the agriculture sector are rice cultivation, livestock and inorganic
fertilizers. The purpose of this study was to estimate GHG emissions from the agricultural sector of Gorontalo
Province and their adaptation and mitigation efforts. The results of this study showed that GHG emissions from the
agricultural sector in Gorontalo Province over a period of 5 years (2013-2017) from the largest are CH4 rice, CH4 from
enteric fermentation of livestock and direct emission N2O from the managed soil. GHG emissions from the
agricultural sector tended to increase due to an increase in harvested area, livestock population and the use of fertilizer
in Gorontalo Province. Total GHG emissions from the agricultural sector in Gorontalo Province in the period 2013-
2017 has increased, from 869 in 2013 to 1,111 Gg CO 2-e-1 in 2017. Climate smart agriculture is one of solutions to
increase food production and reduce GHG emissions in Gorontalo Province.
Keywords: adaptation and mitigation, greenhouse gas emissions, Gorontalo, climate change
PENDAHULUAN
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer secara terus menerus akan
menimbulkan pemanasan global (Abeydeera et al., 2019). Pemanasan global adalah kejadian
meningkatnya suhu rata-rata di atmosfer, laut dan daratan bumi yang dapat menyebabkan perubahan
iklim yang sangat ekstrim, sehingga membuat pola musim tanam semakin sulit diperkirakan.
Dampak yang sering dirasakan adalah kekeringan panjang, panas ekstrim pada saat turunnya
kelembaban pada suatu kawasan tertentu, dan banjir akibat dari peningkatan intensitas curah hujan.
Perubahan iklim juga berdampak terhadap ketahanan pangan (FAO 2005), baik di daerah tropis
maupun subtropis. Dampak di daerah tropis lebih besar karena mempunyai variasi curah hujan yang
cukup besar sehingga mengganggu stabilitas sistem pertanian (Koesmaryono et al., 2008). FAO (2005)
menyebutkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim mempengaruhi 11% lahan pertanian di negara-
negara berkembang yang dapat mengurangi produksi bahan pangan dan menurunkan produk
domesik bruto (PDB) sampai 16%. Dampak perubahan iklim juga dapat menurunkan produksi
tanaman pangan (serealia) di kawasan Asia Tenggara antara 2,5% sampai 7,8% (Fischer et
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 555
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
al., 2002). Handoko et al. (2008) menyatakan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dengan segala
dampaknya berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan, 20,6% pada padi,
13,6% jagung, dan 12,4% kedelai.
Sektor pertanian melepaskan emisi GRK ke atmosfer dalam jumlah yang cukup signifikan, yaitu
berupa CO2, CH4, dan N2O (Paustian et al., 2004). Secara global, sektor pertanian menyumbang 10-12%
dari total gas rumah kaca antropogenik, yang terdiri gas CH4 dan N2O, sedangkan, sektor
peternakan sendiri menyumbang sekitar 18%-51% gas rumah kaca antropogenik, yang sebagian besar
terdiri dari gas CH4 (Goodland and Anhang, 2009). Emisi GRK diprediksi akan terus bertambah
pada masa mendatang karena meningkatnya kebutuhan akan pangan yang disebabkan oleh
penggunaan lahan marginal, dan peningkatan konsumsi daging (Surmaini et al., 2011). Lahan
pertanian menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui beberapa proses. Proses-proses
tersebut meliputi : (I) emisi CH4 sebagai hasil dari fermentasi enterik pada ternak, (II) emisi CH4 dan
N2O dari pengelolaan kotoran ternak, (III) emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, (IV) emisi CO2
akibat pemupukan urea serta (V) emisi N2O langsung dan tidak langsung pada tanah yang dikelola
sebagai akibat dari input N (IPCC, 2006). Laporan komunikasi nasional Indonesia, menyebutkan
bahwa sektor pertanian secara keseluruhan menyumbangkan emisi GRK sekitar 5% dari total emisi
nasional pada tahun 2000.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030
dengan upaya sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan internasional. Komitmen tersebut telah
ditindaklanjuti melalui penyusunan Prioritas Nasional dan Rencana Aksi tahun 2014-2019 oleh
BAPPENAS. Pemerintah menempatkan perubahan iklim sebagai isu lintas sektoral yang telah
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Pemerintah
mewajibkan setiap propinsi untuk menyusun rencana aksi daerah penyusunan emisi gas rumah kaca
(RAD-GRK).
Dalam mempermudah penetapan kebijakan penurunan emisi GRK, maka perlu dilakukan
inventarisasi emisi GRK. Dengan mengetahui sumber-sumber emisi GRK maka dapat dilakukan
pengendalian GRK yang efisien pada wilayah tersebut. Menurut Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC, 2006), metode perhitungan GRK dilakukan berdasarkan kompleksitasnya mulai dari
metode sederhana Tier 1 yang didasarkan pada default faktor emisi/serapan global atau regional, Tier
2 metode berdasarkan factor emisi/serapan lokal; dan Tier 3 metode yang melibatkan pemodelan lebih
rinci atau pendekatan berbasis inventarisasi. Tujuan studi ini adalah untuk memperkirakan emisi
GRK dari sektor pertanian Propinsi Gorontalo serta upaya adaptasi dan mitigasinya.
METODOLOGI
Perhitungan emisi gas rumah kaca menggunakan metode perhitungan IPCC tahun 2006. IPCC
adalah organisasi yang memberikan kebijakan berkaitan dengan perubahan iklim dengan tujuan
memberikan sumber informasi objektif mengenai perubahan iklim. Secara sederhana, rumus umum
perhitungan emisi GRK adalah dengan mengalikan informasi aktivitas manusia dalam jangka waktu
tertentu (data aktivitas, DA) dengan emisi/serapan per unit aktivitas (faktor emisi/serapan, FE):
Emisi/Serapan GRK = DA x FE,. Dalam hal ini DA adalah data aktivitas, yaitu informasi terhadap
pelaksanaan suatu kegiatan yang melepaskan atau menyerap gas rumah kaca yang dipengaruhi oleh
kegiatan manusia, sedangkan FE adalah faktor emisi, yaitu besaran yang menunjukkan jumlah emisi
gas rumah kaca yang akan dilepaskan atau diserap dari suatu aktivitas tertentu. Apabila data
aktivitas tidak tersedia, maka survei dan wawancara langsung untuk mendapatkan expert judgement
bisa dilakukan. Data aktivitas dalam sektor pertanian yang digunakan dalam studi ini antara lain
adalah luas panen padi sawah, jumlah pupuk anorganik dan organik dan jumlah ternak di Propinsi
Gorontalo. Data luas panen dan jumlah pupuk disajikan pada Tabel 1.
Untuk perhitungan emisi sektor peternakan, data yang digunakan adalah data populasi ternak
dan nilai faktor emisi (FE) gas CH4 dan N2O dari setiap jenis ternak. Data populasi ternak dalam
waktu 5 tahun (2013-2017) di Provinsi Gorontalo disajikan pada Tabel 2. Dalam buku panduan IPCC
(2006), telah ditetapkan nilai FE untuk setiap gas dari GRK (CH4 dan N2O) dari setiap jenis ternak.
Tabel 2. Data aktivitas sub sektor peternakan Propinsi Gorontalo
Emisi GRK dari sektor pertanian berasal dari: (1) metan (CH4) dari budidaya padi sawah (2)
karbon dioksida (CO2) karena penambahan bahan kapur dan pupuk urea, (3) dinitrogen oksida (N2O)
dari tanah, termasuk emisi N2O tidak langsung dari penambahan N ke tanah karena
penguapan/pengendapan dan pencucian, dan (4) non-CO2 dari biomas yang dibakar pada aktivitas
pertanian. Untuk menghitung emisi dari sektor pertanian perlu disiapkan data aktivitas seperti luas
tanam, luas panen, jenis tanah, dan data hasil penelitian seperti dosis pupuk dan kapur pertanian.
Data aktivitas tersebut bisa diakses dari berbagai sumber misalnya statistik pertanian atau BPS.
Sementara untuk data yang tidak tersedia dapat menggunakan expert judgement seperti proporsi lahan
yang dibakar atau dosis pupuk dan kapur.
Budidaya Lahan Sawah (Rice Cultivation)
Emisi CH4 dari budidaya padi sawah dihitung berdasarkan data aktivitas berupa luas lahan
persawahan, jenis tanah pada lahan persawahan, dan sistem pengairan yang diterapkan. Metodologi
yang digunakan untuk kategori ini sudah termasuk ke dalam Tier 2 karena faktor emisi dan beberapa
parameter yang digunakan sudah dikembangkan sendiri di Indonesia. Parameter lokal yang
digunakan adalah faktor koreksi (correction factor) untuk jenis tanah, faktor skala (scalling factor) untuk
tiap jenis sistem pengairan. Faktor emisi lokal telah dikembangkan untuk setiap varietas padi di
Indonesia. Emisi CH4 dihitung dengan mengalikan faktor emisi harian dengan lama budidaya padi
sawah dan luas panen. Emisi CH4 dari budidaya padi dihitung dengan menggunakan
faktor emisi yang dirangkum dari nilai-nilai lokal sawah di Indonesia. Faktor emisi dari sawah
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 557
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Indonesia berkisar antara 0,67-79,86 g CH4/m2/musim dengan nilai default rata-rata 160.9 kg
CH4/ha/musim. Faktor skala tanah dimodifikasi, karena beberapa penelitian yang
dilakukan di Indonesia menemukan bahwa sifat-sifat tanah yang berbeda diperoleh potensi yang
berbeda produksi CH4. Selain itu, faktor skala untuk rezim air dan varietas padi yang digunakan
adalah faktor skala lokal (country specific). Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
Emisi CH4 = Σ (EFrice * T * A * 10^-6)
Dalam hal ini:
Emisi CH4 = Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah (Gg CH4 th-1)
EF rice = Faktor emisi CH4 dari lahan sawah (nilai di Indonesia adalah 1,61 kg CH4 ha-1 hari-1)
A = Luas panen (ha); T = Umur tanam padi (hari)
Pemupukan Urea
Emisi CO2 aplikasi pupuk urea dihitung dengan metodologi Tier 1 dengan data aktivitas konsumsi
pupuk urea pertanian. Jumlah pupuk urea yang digunakan dapat dihitung melalui beberapa
pendekatan, yaitu berdasarkan data konsumsi urea nasional untuk sektor pertanian yang
dikeluarkan oleh Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) atau berdasarkan luas tanam
dan dosis rekomendasi. Pupuk urea umumnya digunakan dalam budidaya tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan. Dalam menghitung jumlah pupuk tersebut digunakan beberapa asumsi
agar jumlah pupuk urea yang dihitung sesuai dengan penerapan di lapangan. Rumus perhitungannya
adalah sebagai berikut:
Emisi CO2 = (M x EF) x 44/12
Dalam hal ini:
Emisi CO2 = Emisi karbondioksida dari penggunaan urea (ton C ha-1)
M = Jumlah penggunaan urea (t th-1)
EF = Faktor emisi (ton C ton-1 urea)
Emisi N2O Langsung dari Tanah yang Dikelola dan Emisi N2O Tidak Langsung dari Tanah yang
Dikelola
Emisi N2O dari tanah yang dikelola dihitung dari emisi langsung (direct N2O) dan tidak langsung
(indirect N2O) dengan metodologi Tier 1 menggunakan faktor emisi defaultdari IPCC. Peningkatan N-
tersedia dalam tanah meningkatkan proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang memproduksi N2O.
Peningkatan N-tersedia dapat terjadi melalui penambahan pupuk yang mengandung N atau
perubahan penggunaan lahan dan atau praktek-praktek pengelolaan yang menyebabkan mineralisasi
N organik tanah. Rumus perhitungannya adalah sbb:
Emisi N2O langsung = (((FSN + FON)MS x EF1MS) + ((FSN + FON)FRx EFFR))) x 44/28
Emisi N2O langsung = Emisi N2O langsung dari pupuk N anorganik yang diberikan pada tanah di-
kelola dan lahan sawah irigasi (kg N2O th-1)
FSNMS = Jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah dikelola (kg N th-1)
FONMS = Jumlah pupuk organik N yang digunakan pada tanah dikelola (kg N th-1)
FSNFR = Jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah sawah irigasi (kg N th-1),
FONFR = Jumlah pupuk N organik yang digunakan pada tanah sawah irigasi (kg N th-1)
EF1MS = Faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah dikelola (kg N2O-N kg-1 N input)
EF1FR = Faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah sawah irigasi (kg N2O-N kg-1 N
input)
Emisi N2O tidak langsung = ((FSN x FracGASF) + (FON x FracGASM)) x EF4 x 44/28
Emisi N2O tidak langsung = Emisi N2O dari deposisi N yang divolatilisasi dari tanah (kg N2O
th-1)
FSN = Jumlah pupuk N anorganik yang diberikan ke tanah ( kg N th-1)
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 559
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
544 Gg CO2-e th-1 pada tahun 2017 (Gambar 1). Jika dilihat kecenderungan tiap tahunnya, emisi CH 4
mengalami peningkatan selama 2013-2017, hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas panen padi
sawah.
Gg CO2-e
Lahan sawah CH4
700000
Peternakan CH4
600000
Gambar 1. Emisi GRK dari berbagai sumber dari sektor pertanian di Propinsi Gorontalo 2013-2017
Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dihitung dari tingkat aplikasi pupuk N dan pupuk
kandang. Emisi N2O langsung pada sawah tergenang dihitung berdasarkan luas panen padi,
selain itu Emisi N2O langsung juga dihitung dari tanah yang dikelola (tanaman
pangan, hortikultura, sayuran, buah-buahan serta perkebunan). Emisi N2O langsung dari tanah yang
dikelola di Propinsi Gorontalo menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari 2015-2017 yaitu
sebesar 32 menjadi 54 Gg CO2-e th-1, hal ini disebabkan karena meningkatnya pupuk N yang
diaplikasikan pada tanah. Perhitungan emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola,
didasarkan pada data aktivitas yang sama dengan perhitungan emisi N2O yang langsung, yaitu
penggunaan pupuk N sintetis. Fraksi N yang tervolatilisasi menggunakan nilai standar dalam IPCC
(2006) yaitu sebesar 0,1 yang berarti bahwa untuk setiap aplikasi pupuk N 100% pada tanah, hanya
1% yang tervolatilisasi (Mosier, 1999) dan faktor emisi N karena penguapan dan redeposisi adalah
0,01. Hasilnya menunjukkan emisi N2O tidak langsung di Propinsi Gorontalo untuk tahun 2013-2017
adalah berkisar 4,0-6,1 Gg CO2-e th-1.
Emisi GRK dari pengelolaan ternak berasal dari tiga sumber yaitu emisi CH 4 dari fermentasi
enterik, CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak (Chadwick et al. 1999, Steinfeld et al., 2006,
Weiss et al. 2012). CH4 yang dihasilkan oleh herbivora sebagai produk sampingan dari fermentasi
yang terjadi di dalam tubuh, dimana pada proses pencernaan, karbohidrat akan dipecah menjadi
molekul yang dapat diserap oleh mikroorganisme dalam aliran darah (Chadwick et al., 1999).
Komposisi jenis ternak akan menentukan jenis emisi yang dihasilkan. Perhitungan emisi CH 4 dari
fermentasi enterik menggunakan data jenis dan jumlah populasi ternak di setiap kabupaten, berat
rata-rata dari setiap jenis ternak dan faktor emisi CH4 dari setiap jenis hewan menggunakan nilai
default IPCC 2006. Hasil perhitungan emisi GRK dari peternakan menunjukkan bahwa emisi CH 4 dari
fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran di Propinsi Gorontalo untuk tahun 2013-2017
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, dari 357 menjadi 462 Gg CO2-e th-1, hal ini
disebabkan karena adanya peningkatan populasi semua jenis ternak.
Emisi N2O baik secara langsung maupun tidak langsung dari pengelolaan kotoran ternak dapat
dijelaskan sebagai emisi yang dilepaskan selama penyimpanan dan perawatan kotoran baik berupa
padat atau cair, sebelum itu diterapkan sebagai pupuk di lahan pertanian. Hasil perhitungan
menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak di Propinsi Gorontalo pada tahun
Gg CO2-e
1150000
1100000
1050000
1000000
950000
900000
850000
800000
2013 2014 2015 2016 2017
Gambar 2. Total emisi GRK dari sektor pertanian di Propinsi Gorontalo 2013-2017
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 561
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
iklim kekeringan, seperti padi (Dodokan dan Silugonggo), jagung (Bima 3, Bantimurung,
Lamuru, Sukmaraga, Anoma), kedelai (Argomulyo dan Burangrang), kacang tanah (Singa dan
Jerapah), serta kedelai (Kutilang). Varietas padi yang mampu beradaptasi terhadap cekaman
salinitas tinggi di antaranya Way Apo Buru, Margasari dan Lambur, sedangkan yang mampu
beradaptasi dengan banjir adalah padi GHTR1 dan Inpara (Las, 2007). Padi Inpara misalnya,
tidak mati meskipun tergenang air selama 14 hari secara terus-menerus.
Penerapan teknologi pengelolaan hara, dengan cara pemupukan berimbang (organik dan
anorganik), penggunaan soil test kit (uji cepat hara tanah), penggunaan bagan warna daun
(BWD) disamping bertujuan untuk menghemat pupuk, juga untuk mengurangi emisi N2O.
Pengembangan teknologi pengelolaan air yang adaptif terhadap perubahan iklim. Teknologi
hemat air misalnya pemanfaatan embung, penggunaan irigasi tetes, irigasi berselang, dan teknik
alternate wetting and drying (AWD). Teknologi tanpa olah tanah misalnya, mampu mereduksi
laju emisi gas metan 31,5 persen-63,4 persen dibandingkan teknologi olah tanah sempurna.
Demikian pula teknologi irigasi berselang atau irigasi macak-macak, selain menghemat air juga
berperan dalam mereduksi emisi gas CH4 34,3 persen-63,8 persen dibandingkan dengan
pertanaman yang digenangi terus-menerus (Las, 2007). AWD adalah teknik pengairan basah-
kering selama satu musim. AWD merupakan strategi penghematan air dan penurunan emisi
GRK tanpa mengurangi hasil gabah (Richards and Sander, 2014). Beberapa studi menunjukkan
bahwa AWD menghemat air sebesar 30%. Perlakuan AWD-15cm merupakan teknik yang aman
untuk menurunkan emisi GRK sebesar 35-38% tanpa mengurangi hasil yang signifikan (Setyanto
et al. 2018). Periode kering merupakan masa istirahat tanah untuk proses pemulihan. Masa itu
berguna untuk memperbaiki sifat fisik (struktur, aerasi, permeabilitas), kimia dan biologi tanah
setelah dieksploitasi secara terus-menerus dalam kondisi anaerob.
Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), dimulai dari peningkatan daya tahan tanaman
dengan pemberian unsur hara yang tepat, lengkap dan berimbang, pemanfaatan tanaman
refugia, penggunaan biopestisida dan monitoring rutin untuk mencegah serangan hama dan
penyakit dengan menggunakan light trap, penggunaan pestisida tepat sasaran (waktu, dosis,
cara).
Pengembangan system perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim.
Pengelolaan pertanian minimum limbah (zero waste) dapat dilakukan dengan memanfaatkan
limbah pertanian dan peternakan sebagai bahan pupuk kompos.
Pemanfaatan sumber daya lokal meliputi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak dan
kompos, pemanfaatan bahan lokal (urin ternak, mimba, babandotan, kemangi, kenikir, dll) untuk
biopestisida. Pengembangan kawasan rumah pangan lestari/obor pangan lestari.
Penerapan sistem Integrasi tanaman dan ternak/ikan. Sistem integrasi ini dapat meningkatkan
pendapatan, mengurangi GRK, mengurangi HPT, meningkatkan kesuburan.
Apabila teknik-teknik di atas diterapkan, maka upaya tersebut mengarah ke suatu konsep yang
disebut “climate smart agriculture” atau pertanian cerdas iklim. Dengan penerapan Climate smart
agriculture diharapkan mampu meningkatkan produktivitas yang mendukung keberlanjutan dan
pendapatan (keamanan pangan); mampu menyesuaikan terhadap perubahan iklim (adaptasi); dan
mampu mencegah dan mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi) dari sektor pertanian.
KESIMPULAN
Emisi GRK dari sektor pertanian di Propinsi Gorontalo dalam kurun waktu 5 tahun (2013-2017)
secara berurutan dari yang terbesar adalah CH4 lahan sawah, CH4 fermentasi enterik ternak dan N2O
DAFTAR PUSTAKA
Abeydeera LHUW, JW Mesthrige and TI Samarasinghalage. 2019. Global Research on Carbon
Emissions: A Scientometric Review. Sustainability 2019, 11, 3972; doi:10.3390/su11143972
Chadwick, D.R., R.W. Sneath, V.R. Phillips, and B.F. Pain. 1999. A UK inventory of nitrouse oxide
emissions from farmed livestock. Atmospheric Environment 33: 3345-3354.
FAO. 2005. ”Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and Proverty
Reduction”. Special event background document for the 31st session of the committee on world
food security. Rome, 23-26 May 2005
Fischer G, Shah M, Velthuizen HV. 2002. Climate Change and Agricultural Vulnerability. IIASA.
Luxemburg, Austria.
Goodland, R., Anhang, J., 2009. Livestock and Climate Change: What if The Key Actors In
Climate Change are Cows, Pigs, and Chickens?. World WatchInstitute.pp 10–19.
Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis.
Telaah kebijakan independen bidang perdagangan dan pembangunan oleh
Kemitraan/Partnership Indonesia. SEAMEO BIOTROP. Bogor
IPCC, 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories – A primer, Prepared by the
National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Miwa K., Srivastava N. and
Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Syahbuddin H, Apriyana Y, Ramadhani F,
Trinugroho W. 2008. Laporan Hasil Kegiatan. Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam Padi
Terhadap Parameter ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole)
di Daerah Monsunal dan Equatorial. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB. (Tidak
dipublikasi).
Las, Irsal. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim, Sinar Tani, 14-20 Nop. 2007.
Myhre G, Shindell D, Bréon FM, Collins W, Fuglestvedt J, Huang J, Koch D, et al. 2013. Anthropogenic
and natural radiative forcing. In: Stocker TF, Qin D, Plattner GK, Tignor M, Allen SK, Boschung
J, Nauels A, Xia Y, Bex V, Midgley PM, eds. Climate Change 2013: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge University Press. (Available from:
http://www.climatechange2013.org/i mages/report/WG1AR5_Chapter08_FINAL.pdf)
Mosier, A., C. Kroeze, C. Nevison, O. Oenema, S. Seitzinger, and O. van Cleemput. 1999. An overview
of the revised 1996 IPCC guidelines for national greenhouse gas inventory methodology for
nitrous oxide from agriculture. Env Sci & Pol 2(3):325-333.
Paustian, K., B.A. Babcock, J. Hatfield, R. Lal,B.A. McCarl, S. Maclaughin, A. Mosier, C.Rice, G.P.
Robertson, and D. Zilbermen. 2004.Agricultural Mitigation of Greenhouse Gases:Science and
Policy option. CAST Report R141 2004. 120 pp.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 563
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Richards, M., Sander, B.O., 2014. Alternate Wetting and Drying in Irrigated Rice:Implementation
Guidance for Policymakers and Investors. Internet Resource. (https://cgspace.
cgiar.org/bitstream/ handle/10568/35402/infonote_CCAFS_AWD_final_A4.pdf).
Setyanto P, A Pramono, TA Adriany, HL Susilawati, T Tokida, AT Padre & K Minamikawa. 2018.
Alternate wetting and drying reduces methane emission from a rice paddy in Central Java,
Indonesia without yield loss, Soil Science and Plant Nutrition, 64:1, 23-30, DOI:
10.1080/00380768.2017.1409600
Steinfeld, H., Gerber, P., Wassenaar, T., Castel, V., Rosales, M. & de Haan, C. 2006. Live-stock’s long
shadow – Environmental issues and options. Rome, Italy, Food and Agriculture
Organization of the United Nations.
Surmaini, E., Runtunuwu, E., Las,I. 2011. Upaya Sektor Pertanian dalam Menghadapi Perubahan
Iklim”. Jurnal Litbang Pertanian, 30(1)
Weiss, F. and A. Leip. 2012. Greenhouse gas emissions from the EU livestock sektor. Journal
ofAgriculture, Ecosystems and Environment 149:124-134.
Jl. Moh. Van Gobel No.270, Tilongkabila, Bone Bolango, Gorontalo, Indonesia
ABSTRAK
Usaha ternak sapi merupakan usaha yang diminati peternak, usaha yang mempunyai prospek baik
dimasa yang akan datang karena permintaan bahan yang berasal dari ternak terus meningkat. Berusaha
ternak sapi membutuhkan dukungan pakan salah satu sumber pakan yang belum termanfaatkan adalah
limbah perkebunan sawit. Data primer diperoleh melalui kuisioner untuk mendapatkan data karakteristik
peternak meliputi: umur peternak, tingkat pendidikan peternak, pengalaman beternak, jumlah
tanggungan keluarga; Manajemen Pemeliharaan sapi meliputi : Jumlah Kepemilikan, Sistim Perkawinan
dan Sumber Bibit,serta Jenis Pakan, data sekunder meliputi luas areal perkebunan sawit dan jumlah
populasi sapi Desa Kolam Kiri. Kemudian data dianalisis secara diskriptif. Potensi hijauan pakan yang
berasal dari hasil samping perkebunan sawit berupa bahan kering pelepah sawit/bulan/ha sebesar 2.730
kg atau 32.760 Kg/tahun/Ha dari hasil ini mampu mensuplai kebutuhan pakan sebanyak 136 ekor/tahun
dengan asumsi bobot hidup sapi bali 250 Kg.
PENDAHULUAN
Peternakan sapi potong rakyat di Indonesia sebagian besar masih merupakan usaha sambilan atau
pelengkap usahatani dengan rata-rata kepemilikan yang relatif rendah. Jumlah ternak yang
diperlihara peternak sangat terbatas dan masukan teknologi juga rendah. Hal ini dikarenakan usaha
ternak yang dijalankan oleh rakyat umumnya dijadikan sampingan dan sewaktu-waktu dapat
digunakan jika peternak memerlukan uang (Y.B Sugeng, 1992). Usaha ternak sapi merupakan usaha
banyak dipiliholeh rakyat untuk dibudidayakan yang artinya untuk mendapat anak sapi (pedet).
Kemudahan dalam melakukan budidaya sertakemampuan ternak untuk mengkonsumsi limbah
pertanian menjadi pilihan utama.
Pengembangan peternakan mempunyai prospek yang baik dimasa depan, dikarenakan
permintaan bahan yang berasal dari ternak terus meningkat seiring dengan adanya peningkatan
jumlah penduduk, pendapatan, dan juga kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi
pangan bergizi tinggi, hal ini sebagai pengaruh dari naiknya tingkat pendidikan penduduk (Santoso,
1997).
Kecamatan Wanaraya Kabupaten Barito Kuala merupakan daerah yang potensial sebagai
pengembangan sapi bali, karena daerah ini merupakan daerah pemurnian sapi Bali. Sapi bali pada
umumnya masih dipelihara secara tradisional. desa Kolam Kiri Kecamatan Wanaraya juga
merupakan komplek transmigrasi yang berasal dari daerah Jawa, yang mempunyai motivasi tinggi
dan mempunyai pengalaman yang cukup dalam berusaha tani. Desa Kolam Kiri mempunyai
populasi sapi terbesar ketiga setelah desa Sido Mulyo dan Desa Kolam Makmur yaitu sebanyak 210
ekor (BPS,2018).Tetapi luas perkebunan sawit di desa Kolam Kiri Kecamatan Wanaraya mempunyai
luas yang paling kecil yaitu seluas 4 Ha, tetapi hasil samping perkebunan sawit belum termanfaatkan
sebagai pakan ternak. Karya tulis ini adalah hasil penelitian tentang kapasitas tampung dari
perkebunan sawit dan karakteristik peternak sapi bali di Desa Kolam Kiri, Kecamatan Wanaraya,
kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 565
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
METODE PENELITIAN
Responden yang digunakan untuk penelitian ini adalah peternak sapi potong yang tergabung
dalam kelompok ternak di desa Kolam Kiri Kecamatan Wanaraya Kabupaten Barito Kuala Propinsi
Kalimantan Selatan yang mendapatkan bantuan induk sapi bali dari pemerintah. Data dalam
penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung terhadap responden, metode wawancara dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner
merupakan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara langsung yang ditujukan kepada
responden. Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bagi peneliti yang
melaksanakan penelitian dengan menghetahui pasti variabel-variabel yang akan diukur (Munir,
2011).
Data sekunder yang berupa luas lahan perkebunan sawit, luas areal padang rumput serta populasi
ternak sapi didapatkan dari data Biro Pusat Statistik Kabupaten Barito Kuala. Metode sampling yang
digunakan adalah purpose sample dengan jumlah responden sebanyak 20 orang peternak yang
mendapatkan bantuan sapi Bali dari pemerintah. Variabel yang diamati adalah: karakteristik peternak
meliputi: umur peternak, tingkat pendidikan peternak, pengalaman beternak, jumlah tanggungan
keluarga; Manajemen Pemeliharaan sapi meliputi : Jumlah Kepemilikan, Sistim Pemeliharaan dan
Pengendalian, Pencegahan Penyakit, Sistim Perkawinan dan Sumber Bibit, Jenis Pakan, serta potensi
dukungan dari perkebunan kelapa sawit sebagai penghasil pelepah sawit yang dapat dijadikan
sebagai sumber hijauan alternatif pakan ternak sapi yang ada di Desa Kolam Kiri.
Sesuai dengan pendapat Chamdi (2003) ,bahwa semakin muda usia peternak yaitu pada usia
produktif ( 20 – 45 tahun) umumnya rasa keingintahuan tarhadap sesuatu semakin tinggi dan
terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Peternak pada usia produktif akan lebih mudah
menerima teknologi baru sehingga hal ini akan mempermudah integrasi sapi dengan kebun kelapa
sawit, peternak yang berumur masih muda umumnya mulai menyadari bahwa diversifikasi
usahatani akan memperbaiki pendapatan peternak.
Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan peternak salah satunya akan berpengaruh pada kualitas
sumberdaya manusia, semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula
produktivitas kerja yang dilakukannya. Sehingga, dengan semakin tingginya pendidikan peternak
maka akan semakin berkembang juga kinerja usaha peternakan (Syafaat et al, 1995).
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Peternak
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2, tingkat pendidikan peternak 45% berpendidikan SMP,
35% berpendidikan SD dan 20% peternak mengenyam pendidikan SMA. Tingkat pendidikan
peternak relatif baik,diharapkan peternak dapat dengan mudah menerima inovasi-inovasi baru
bidang peternakan yang dapat meningkatkan usaha bidang peternakan para peternak.
Pengalaman Beternak. Pengalaman beternak merupakan guru yang baik, dengan pengalaman yang
cukup makan peternak akan lebih cermat atau teliti dalam dalam berusaha ternak dan dapat
memperbaiki kekurangan di masa lalu. Pengalaman beternak sesuai hasil penelitian sebagian besar
masih pemula yaitu antara 1 – 5 tahun sebanyak 50%, tetapi ada pula peternak yang sudah
berpengalaman 16 – 20 tahun sebanyak 25%. Peternak yang sudah memiliki banyak pengalaman bisa
berbagi pengalaman dengan peternak pemula. Semakin banyak pengalaman beternak maka akan
banyak pula pengetahuan yang dimiliki peternak tersebut tentang pola budidaya sapi. Sesuai dengan
yang disampaikan oleh Notoadmojo (2002) bahwa Pengalaman merupakan sumber pengetahuan,
pengalaman itu juga merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman
yang dimiliki peternak akan mempengaruhi peternak untuk mudah menerima inovasi baru (Sartika,
2017).
Tabel 3. Pengalamaan Beternak Sapi Bali Peternak
Jumlah Tanggungan Keluarga. Semakin banyak anggota keluarga di dalam usahatani maka akan
berpengaruh terhadap beban yang dipikul oleh petani yang ditandai dengan semakin banyak anggota
keluarga semakin berat juga beban yang diperoleh. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 567
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
keputusan petani dalam berusahatani. Keluarga yang memiliki sebidang lahan tetap saja jumlahnya
semakin sempit dengan bertambahnya anggota keluarga sementara kebutuhan akan produksi
terutama pangan semakin bertambah (Daniel 2002).
Tabel 4. Jumlah Tanggungan Keluarga Peternak
Berdasarkan tabel 4 Jumlah tanggungan keluarga paling banyak antara 3 – 5 orang sebanyak 60%
responden, 0 -2 orang sebanyak 25 % dan yang jumlah tanggungan keluarga yang besar 6 – 8 orang
sebanyak 15% responden.Seperti yang dikemukakan oleg Febrina dan Hendrayani (2009) bahwa
semakin sedikit jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin biaya yang dikeluarkan untuk
keluarganya sehingga pendapatan dari berusaha dapat digunakan untuk meningkatkan skala usaha
peternak.
Manajemen Pemeliharaan Sapi
Manajemen pemeliharaan sapi yang baik atau optimal sangat dibutuhkan oleh sapi sejak lahir
sampai berproduksi menghasilkan pedet. Persepsi peternak akan positif jika memiliki pengetahuan
yang baik tentang pemeliharaan sapi induk. Pengetahuan yang benar tentang pemeliharaan sapi bali
induk sangat dibutuhkan oleh peternak, untuk meningkatkan keterampilannya dalam merawat sapi
induk yang dipelliharanya agar dapat berproduksi secara optimal. Manajemen pemeliharaan sapi
dalam penelitian ini meliputi : Jumlah Kepemilikan, sistim perkawinan dan sumber bibit, serta Jenis
Pakan.
Jumlah Kepemilikan
Jumlah kepemilikan sapi merupakan salah satu indikator keberhasilan usaha peternakan yang
sedang diusahakan. Semakin meningkatnya jumlah sapi yang dimiliki peternak, maka jumlah sapi
per tahun yang bisa dijual peternak akan semakin meningkat, sehingga akan meningkatkan
pendapatan peternak. Jumlah kepemilikan peternak responden relatif kecil yaitu antara 1- 2 ekor
50%, dan 3 - 5 ekor sebanyak 50% responden. Sesuai yang disampaikan Widiyazid et al (1999) bahwa
skala usaha ternak sapi potong di Indonesia umumnya antara 1- 4 ekor per rumah tangga peternak.
Jumlah kepemilikan sapi yang relatif kecil di daerah penelitian dikarenakan kepemilikan sapi masih
bersifat bantuan dari pemerintah yang sifatnya bergulir. Dari 25 peternak yang mendapat bantuan
hanya 20 peternak, 5 peternak menunggu sampai peternak yang mendapat bantuan terlebih dahulu
mendapatkan pedet. Pedet kedua yang dilahirkan induk bantuan akan digulirkan pada anggota yang
lain.
Sistim Perkawinan dan Sumber Bibit. Sistim perkawinan sapi di lokasi penelitian seluruhnya
menggunakan Inseminasi Buatan (IB). Peternak telah menggunakan IB dikarenakan kemudahan akses
untuk menguhubungi petugas inseminator sangat mudah karena peternak telah tergabung dalam
KESIMPULAN
Produksi pelepah sawit di Desa Kolam Kiri Kec. Wanaraya adalah 1560 pelepah. Setiap pelepah
sawit mempunyai asumsi berat 10 Kg, sehingga dalam sebulan akan dihasilkan pelepah sawit
sebanyak 3900 kg/Ha pelepah segardan akan menghasilkabahan kering pelepah sawit sebanyak
32.760 Kg/tahun/Ha. Sehingga kebun sawit seluas 4 Ha dapat membantu pasokan pakan untuk sapi
bali dengan asumsi bobot hidup 250 Kg sebanyak 136 ekor.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 569
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Barito Kuala. 2018. Kecamatan Wanaraya Dalam Angka.
Coleman, S.W., S.P. HART and T. SAHLU. 2003. Relationships among forage chemistry, rumination
and retention time with intake and digestibility of hay by goats. Small Rum. Res. 50: 129-140
Chamdi ,A.N. 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan Kradenan Kabupaten
Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Bogor 29 -31
September 2003. Bogor ; Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. 312-315.
Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara, Jakarta.
Danudiredja, D.E. 1998. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Komunikasi Penerima Bantuan P3DT
dengan Persepsi dan Partisipasi dalam Penerapan Program P3DT di Kabupaten Sukabuni Jawa
Barat. Thesis Pasca Sarjana IPB
Devendra,C. 1990. Roughage Resources for Feeding in The Asean Region, The First Asean Workshop
on Technology of Animal Feed Production Utility Food Waste Material. Malasya.
Dewi Hastuti. 2008. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong Di Tinjau Dari Angka
Konsepsi Dan Service Per Conception. Mediagro Vol.4. NO.1. 12- 20
Hendriyani, E.dan D, Febrina. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Beternak
Sapi Di Desa Koto Benai Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Senggigi. Jurnal Peternakan. Vol
6. No.2 September 2009. 53-62
Nurhaita, Rusmana,WSN. 2011. Efek suplementasi daun ubi kayu terhadap Kecernaan dan
karakteristik cairan rumen (in- vitro) daun sawit amoniasi. J. Peternakan Ind. Vol 13 No 1; 43-47
Nurhaita , Ruswendi, Wismalinda. R , dan Robiyanto. 2014. Pemanfaatan Pelepah Sawit Sebagai
Sumber Hijauan Dalam Ransum Sapi Potong. Jurnal PASTURA Vol. 4 No. 1 . 38 – 41.
Sartika Sari, St.Rohani, Sitti Nurani Sirajuddin. 2017 Karakteristik Peternak Dalam Pengolahan
Fermentasi Jerami Sebagai Pakan Ternak Di Kecamatan Libureng.Seminar Nasional Peternakan
ke 3. Universitas Hasanudin Makasar. 264-269.
Santoso, U. 1997. Prosperk Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sugeng, Y.B. 2006. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syafaat, N., A. Agustian, T. Pranadji, M. Ariani, I. Setiadji dan Wirawan. 1995.Studi Kajian SDM dalam
Menunjang Pembangunan Pertanian RakyatTerpadu di KTI. PSE, Bogor
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Widiyazid, I., Nym, S.I.,Parwati, I.A., Guntoro, S., dan Yasa, R. 1999. Analisis usahatani penggemukan
sapi potong dalam berbagai masukan teknologi. Dalam Proseding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hal: 475-485
Wong, C.C. 1990. Shade tolerance of tropical forages: A Review. In: Forages for Plantation Crops. H.M.
SHELTON and W.W. STÚR (Eds.). Proc. ACIAR No. 32. Bali, 27-29 Juni 1990. ACIAR. Canberra,
Australia. pp. 25-31.
ABSTRAK
Kabupaten Mamasa terletak di wilayah pegunungan Provinsi Sulawesi Barat dengan keadaan alam yang
sangat indah dan sejuk yang menyimpan sejuta potensi Sumber Daya Genetik yang cukup menjanjikan
jika dikelola dengan baik. Kabupaten Mamasa memiliki Sumber Daya Genetik tanaman hias yang sangat
beragam dan mempunyai nilai ekonomis tinggi namun masih belum banyak dikelola dan dikenal
masyarakat luas. Salah satu potensi terpendam yang dimiliki oleh Kabupaten Mamasa adalah
keberadaan Tanaman Anggrek species khas Mamasa yang sangat indah dengan berbagai jenis.Dari hasil
survey diperoleh beberapa anggrek endemik spesies baru yang tidak ditemukan di daerah lainnya.
Diantaranya yang sudah dikarakterisasi oleh Tim BPTP Sulawesi Barat adalah Bulbophyllum inunthum,
Bulbophyllum tondokbakaru, Bulbophyllum rugossum, dan Trichotosia sp. Keempat spesies tersebut memiliki
tipe pertumbuhan simpodial dengan tipe perakaran akar lekat. Salah satu yang disoroti dalam penulisan
makalah ini adalah anggrek Bulbophyllum inunthum. Anggrek tersebut sangat cantik, bahkan lebih dari
sekedar cantik. Warnanya yang beragam mulai dari coklat bintik kuning menyerupai kobra dan kuning
bintik coklat. Bulbophyllum adalah genus anggrek kebanyakan epifit dan lithophytic dalam keluarga
Orchidaceae. Ini adalah genus terbesar dalam keluarga anggrek dan salah satu genus terbesar tanaman
berbunga dengan lebih dari 2.000 spesies, melebihi jumlah Astragalus.
Kata Kunci: Anggrek, Endemik, Potensi, Mamasa
ABSTRACT
Mamasa Regency is located in the mountainous region of West Sulawesi Province with a very beautiful and cool
natural condition that holds a million potential Genetic Resources that are quite promising if managed properly.
Mamasa Regency has a variety of genetic resources of ornamental plants that are very diverse and have high economic
value but are still not widely managed and known to the wider community. One of the hidden potential possessed by
Mamasa Regency is the existence of Orchid Plants, a typical species of Mamasa which is very beautiful with various
types. From the survey results, several endemic orchid species have been found that are not found in other areas.
Among those that have been characterized by the West Sulawesi AIAT Team are Bulbophyllum inunthum,
Bulbophyllum tondokbakaru, Bulbophyllum rugossum, and Trichotosia sp. All four species have a sympodial growth
type with a fixed root root type. One of the highlights in this paper is the Bulbophyllum inunthum orchid. The orchid
is very beautiful, even more than just beautiful. The color varies from yellow spots like cobra and yellow spots.
Bulbophyllum is a genus of most epiphytic and lithophytic orchids in the Orchidaceae family. This is the largest genus
in the orchid family and one of the largest genera of flowering plants with more than 2,000 species, exceeding the
number of Astragalus.
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki keanekaragaman tanaman yang sangat besar
sehingga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dengan penyebaran wilayah geografis yang luas.
Keanekaragaman tanaman tersebut menjadi kekayaan alam yang setiap saat dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan nasional. Keanekaragaman genetik merupakan sumber daya perekonomian,
pariwisata, kesehatan, dan budaya. Keberadaan keanekaragaman genetik itu sendiri tidak merata di
setiap wilayah, bergantung pada ekosistem wilayahnya (Wardana 2002 dalam Anonim, 2016).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 571
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis dan kaya akan keanekaragaman jenis
flora, salah satunya yaitu jenis anggrek.
Anggrek merupakan kelompok tanaman dari famili Orchidaceae dengan keragaman spesies yang
tinggi dan merupakan famili ke dua terbesar dalam dunia tumbuhan (Arditti, 1992). Keragaman
morfologi bunga seperti, bentuk bunga, warna bunga, dan aroma bunga menjadi alasan mengapa
anggrek menjadi salah satu tanaman hias yang banyak diminati konsumen, kolektor, produsen, dan
pemulia tanaman hias. Anggrek juga merupakan salah satu produk hortikultura unggulan yang
diproduksi Indonesia dan pengembangannya didukung oleh pemerintah sebagai salah satu
komoditas penting hortikultura (Sari, 2013).
Tanaman anggrek memiliki bentuk dan warna bunga yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikan
dari bentuk dan bunga anggrek inilah yang membuat anggrek menjadi salah satu tumbuhan bunga
populer yang banyak terdapat di Indonesia. Pulau-pulau di Indonesia memiliki banyak jenis anggrek
antara lain di Jawa sebanyak 731 jenis, Sumatera sebanyak 1.118 jenis, Borneo sebanyak 2000 jenis,
Sulawesi sebanyak 548 jenis dan di Maluku terdapat 272 jenis. Berdasarkan koleksi Kjellberg
(ekspedisi Sulawesi), menyatakan sebanyak 161 jenis anggrek terdapat di Sulawesi yang
dikumpulkan dari berbagai daerah.
Kawasan Sulawesi memiliki tingkat keragaman flora yang tinggi, salah satunya yaitu jenis
anggrek dan terdapat sekitar 25.000 jenis anggrek yang telah dideskripsikan, sebagian besar
keanekaragamannya terpusat di kawasan tropis (Schuttleworth, et al., 1970). Kabupaten Mamasa
merupaka salah satu Kabupaten yang terletak di Sulawesi Barat yang menyimpan sejuta potensi
Sumber Daya Genetik yang cukup menjanjikan jika dikelola dengan baik. Salah satu potensi
terpendam yang dimiliki oleh Kabupaten Mamasa adalah keberadaan anggrek species khas Mamasa
yang sangat indah dengan berbagai jenis anggrek endemik. Apun komoditas pecinta Anggrek di
Kabupaten Mamasa diberi nama Mamasa Orchid. Di komunitas itu berkumpul sejumlah pemuda
yang bergelut pada tanaman anggrek yang asalnya dari hutan Mamasa.
Keberadaan Mamasa Orchid akan menjamin kelestarian jenis-jenis anggrek, terutama jenis-jenis
anggrek endemik spesies baru yang ditemukan Tim Survay BPTP Sulbar dengan Bapak Andarias.
Hasil survai jenis anggrek yang diperoleh hanya pada pemberian nama dan identitas, sehingga
penulis sangat tertarik untuk melakukan peninjauan lebih lanjut mengenai karakteristik anggrek
endemik.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 573
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Gambar 1. Penampilan daun Bulbophyllum inunthum
Pseubdobulb merupakan organ penyimpanan yang ditemukan di banyak anggrek simpodial, yang
berasal dari penebalan bangian batang antara simpul daun dan dapat terdiri dari hanya satu ruas atau
beberapa. Pseubdobuld yang terbentuk dari satu ruas tunggal mengasilkan daun dan pembungaan
dari atas. Bentuk pseudobulb pada bunga Bulbophyllum inunthum memiliki bentuk lonjong, dengan
penampang melintang pseudobulb bulat. Adapun panjang pseudobulb ±51,80 mm dan lebar ±7,11
mm dengan ketebalan ±6,20 mm. Bulbophyllum inunthum memiliki warna pseubdobulb Yellow
Green Group 144 C-Strong Yellow Green.
Bentuk bunga Bulbophyllum inunthum memiliki bentuk seperti bintang, dan memiliki bentuk
sepal mata lebing/ lanset, dengan berbentuk pita lurus yang terbuka. Bentuk ujung sepal dan pental
Bulbophyllum inunthum lancip/ menajam ke ujung, yang penampang melintang sepal berbentuk
cekung. Adapun ukuran bunga Bulbophyllum inunthum memiliki panjang 6,5 cm dan lebar bunga 5,5
cm. Bulbophyllum inunthum memiliki jumlah kuntum 5, dengan warna bunga kuning yang memilki
bintik coklat (Yellow Orange Group 21 C-Brilliant Yellow). Pada jam 08.00 bunga Bulbophyllum
inunthum dapat terbuka dan menutup pada pukul 15.00 dengan ketahanan bunga selama 1 minggu.
Bulbophyllum inunthum memiliki akar lekat.
DAFTAR PUSTAKA
[BPTH] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2007. Panduan Karakteristik Tanaman Hias Anggrek. Balai
Penelitian Tanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Departemen
Pertanian.
Anonim. 2016. Ekspedisi Tanaman Obat Spesifik Kalimantan Tengah. http://
blogriswanto.blogspot.co.id/2011/06/ekspedisi-tanaman-obat-spesifik_14.html. Diakses pada
tanggal 14 Oktober 2019.
Arditti, J. 1992. Fundamental of Orchid Biology. Wiley-Interscience, New York. 704p.
Santos, E.A., M.M Souza, A.P. Viana, AAF. Almeida, JCO. Freitas and PR. Lawinsky. 2011. Multivariate
analysis of morphological characteristics of two species of passion flowet with ornamental
potential and of hybrids between them. Gen. Mol. Res. 10 (4): 2457-2471.
Sari, R. 2013. Tingkat inflasi dan pembatasan kebijakan impor hortikultura. Info Singkat 5:13-16.
Schuttleworth, F.S., Zim, H. S., and Dillon, G. W., 1970. A Golden Guide Orchids. Western Publishing
Company Inc, New York.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 575
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
LAMPIRAN
1 Tanaman
Ukuran : Kecil
Tipe pertumbuhan Sympodial
2 Daun
Bentuk daun Lonjong
Bentuk ujung daun Lancip
Penampang melintang daun Zigomorf
Susunan daun Rangkap
Bentuk tepi daun Mengutuh
Tekstur permukaan daun Gundul
Simetri daun Simetri
Panjang daun + 14,56 cm (13,8 – 16,0) cm
Lebar daun + 3,54 cm (3,2 – 3,9) cm
Ketebalan daun + 0,57 mm (0,44 – 0,78) mm
Warna daun Hijau Tua : Green Group NN 137
C-Greyish Olive Green
3 Bunga 6,5 cm
Panjang bunga 5,5 cm
Lebar bunga 7,0 cm
Panjang tangkai bunga 2,8 x 1,3 cm
Panjang x lebar sepal dorsal 3,8 x 0,3 cm
Panjang x lebar sepal lateral 5
Panjang x lebar petal Kuning Bintik Coklat : Yellow
Jumlah kuntum Orange Group 21 C-Brilliant
Warna bunga Yellow
Ketahanan bunga 1 minggu
4 Pseudobulb Lonjong
Bentuk pseudobulb Bulat
Penampang melintang pseudobulb + 51,80 mm
Panjang pseudobulb + 7,11 mm
Lebar pseudobulb + 6,20 mm
Ketebaan pseudobulb Yellow Green Group 144
Warna pseudobuld C-Strong Yellow Green
5 Pembungaan
Posisi pembungaan Pangkal/sisi pseudobulb
Tipe pembungaan Berbunga tunggal/soliter
Resupinasi Resupinat/terpuntir
6 Perhiasan bunga Bintang
Bentuk bunga Berbentuk lanset/mata lembing
Bentuk sepal Berbentuk pita lurus
Bentuk petal Terbuka
Susunan petal Lancip/menajam ke ujung
Bentuk ujung sepal dan petal Cekung
Penampang melintang sepal dan petal
7 Akar
Tipe perakaran Akar lekat
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini untuk mengembangkan peternakan Sapi Bali di Desa Raknamo, kabupaten
Kupang, NTT dengan memperhatikan sistem pemeliharaan dan manajemen peternakan, seperti
perkandangan, peningkatan kualitas pakan, kesehatan hewan, dan manajemen pengembangan usaha.
Pengambilan data dilakukan selama 4 bulan yaitu bulan Februari - Mei 2019. Ternak sapi yang digunakan
terdiri dari 22 ekor sapi Bali jantan untuk penggemukan dengan rata-rata bobot badan antara 134,38 –
164,14 kg. Kegiatan pengamatannya yaitu pengambilan data selama 4 bulan, kemudian dihitung
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH). Apabila bobot badan sudah naik atau mencukupi maka ternak
dijual. Pakan yang digunakan oleh peternak yang tersedia di lingkungan sekitar, yaitu terdiri dari jerami
sebagai pakan utama, dicampur dengan hijauan yang sudah dipotong-potong seperti: lamtoro, rumput
raja, legum, dan daun jagung. Hasil pengamatan rataan bobot badan sapi Bali di lokasi penelitian dari
bulan pertama pengamatan 134,38 kg, bulan kedua 159,30 kg, bulan ketiga sampai 159,99 kg, dan bulan
keempat 162,14 kg. Hasil pengamatan untuk PBBH nya dari bulan Februari ke Maret sebesar 0,18 kg/hari,
bulan Maret ke April naik sebesar 0,28 kg/hari, dan dari bulan April ke Mei semakin meningkat yaitu
sebesar 0,58 kg/hari. Jadi dengan adanya kegiatan pendampingan dari BPTP NTT untuk kelompok ternak
Fajar Pagi Raknamo NTT ini terjadi peningkatan bobot badan harian ternak sapi Bali.
Kata kunci : sapi Bali, manajemen pemeliharaan, PBBH
ABSTRACT
The aim of this research was to develop Bali cattle farming system in Raknamo village, Kupang regency, NTT by
keeping livestock management system, such as cowshed, feed quality, animal health, and business development
management. The study was conducted in Kelompok Ternak Fajar Pagi-Raknamo for 4 months, from February 2019
to May 2019. The Bali cattle used in this study were 22 Bali cows with an average body weight between 134.38 - 164,
14 kg. The research activity was data collection for 4 months, then the daily body eeight (PBBH) were calculated. If the
body weight has increased or sufficient, the cattle were sold. Feeds used by farmers that has been available in pasture
field, which consists of rice straw, mixed with forages such as: lamtoro, king grass, legumes, and corn. The results of
research shown that the average of Bali cattle body weight at the study site from the first month of observation were
134.38 kg, the second month 159.30 kg, the third month up to 159.99 kg, and the fourth month 162.14 kg. The
observation results for PBBH from February to March rate to 0.18 kg/day, from March to April it was increased by
0.28 kg/day, and from April to May it was increased by 0.58 kg/day. So, the assistance activity from BPTP NTT for
Kelompok Ternak Fajar Pagi Raknamo NTT, there was an increase in the daily body weight of Bali cattle.
PENDAHULUAN
Pentingnya pengembangan populasi sapi Bali dan pemurniannya disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain bahwa sapi Bali merupakan sapi asli dan plasma nutfah Indonesia. Sapi Bali yang
merupakan domestikasi dari Banteng bahkan telah diakui secara internasional bahwa sapi Bali
sebagai sapi asli Indonesia. Hal lain menyebabkan pentingnya pembibitan sapi Bali dan
pemurniannya adalah tingginya adaptasi terhadap pengaruh lingkungan yang kurang baik dapat
memanfaatkan pakan berkualitas rendah mempunyai fertilitas dan conception rate (CR) yang sangat
baik persentase karkas yang tinggi yaitu antara 52 % sampai dengan 57.7%, memiliki daging
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 577
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%), serta tahan terhadap parasit internal
maupun eksternal (Mohammad et al, 2009; Martodjo, 2012; Purwantara et al, 2012).
Pengembangan ternak sapi potong mulai diperhatikan pemerintah melalui upaya peningkatan
produktivitas ternak dengan memperkuat sistem pemeliharaan dan manajemen peternakan. Berbagai
aspek menjadi titik pengendalian program, diantaranya adalah peningkatan kualitas pakan, bibit,
kesehatan hewan, pengendalian pemotongan betina produktif dan pasca panen dan pengolahan
produk asal hewan serta manajemen usaha. Saat ini pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan
populasi ternak melalui UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Program
UPSUS SIWAB kini telah dikembangkan di provinsi NTT.
Populasi ternak sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2016 sebanyak 984.508
ekor, tahun 2017 naik sebesar 1.007.608 ekor, dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 1.027.256 ekor
(Ditjen PKH, 2018). Dengan demikian dari aspek jumlah populasi terjadi peningkatan populasi ternak
sapi, sedangkan dari aspek mutu genetik mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan karena
rendahnya produktivitas ternak sapi di samping faktor lingkungan, tingginya pemotongan betina
produktif dan tingginya kematian ternak muda (Sunarto. et al, 2016).
Rendahnya produktivitas ternak berdampak pada rendahnya produksi daging yang dihasilkan
per ekor sehingga untuk memenuhi kebutuhan daging nasional maupun lokal dibutuhkan lebih
banyak ternak. Hal ini berdampak pada tingginya pemotongan ternak betina produktif sehingga
menyebabkan penurunan populasi dan produktivitas ternak sapi di provinsi NTT. Selain itu, tingkat
pemotongan ternak betina telah melebihi jumlah dan laju penggantian induk (replacement rate).
Dengan demikian, akan terjadi pengurasan ternak sapi yang berdampak pada penurunan populasi di
NTT. Guna mengatasi masalah rendahnya produksi daging, berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatan produktivitas ternak, antara lain melalui program kegiatan pendampingan kawasan
peternakan kerjasama antara BPTP NTT dengan Dinas Peternakan Kabupaten Kupang, kerjasama
dengan Bank NTT dalam hal pembiayaan modal awal berupa dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk
pengembangan jumlah ternak sapi dengan melibatkan peran serta peternak rakyat salah satunya di
kelompok tani Fajar Pagi, Desa Raknamo, Kabupaten Kupang, NTT. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengembangkan peternakan sapi Bali di desa Raknamo, kabupaten Kupang, NTT dengan
memperhatikan sistem pemeliharaan dan manajemen peternakan, seperti peningkatan kualitas pakan,
kesehatan hewan, pengendalian pemotongan betina produktif serta manajemen usaha.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan pendampingan kawasan peternakan di
kelompoktani Fajar Pagi di Desa Raknamo, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang selama 4
bulan, yaitu mulai Februari 2019 sampai dengan Mei 2019. Ternak yang digunakan adalah 22 ekor
sapi Bali rata-rata bobot badan antara 134,38 – 164,14 kg. Pakan yang digunakan terdiri dari jerami
sebagai pakan utama dan dicampur dengan hijauan yang sudah dipotong-potong seperti: lamtoro,
rumput raja, legum, dan daun jagung yang ditanam di sekitar lingkungan kandang.
Parameter yang diamati perkembangan bobot badan sapi Bali tiap bulan, pengambilan data dari
Februari 2019 sampai Mei 2019. Setiap tiga atau empat bulan sekali apabila bobot badan sudah naik
atau mencukupi maka ternak dijual. Rumus Menghitung Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH):
𝑊2 − 𝑊1
𝑃𝐵𝐵𝐻 =
𝑇2 − 𝑇1
Keterangan:
T1= Waktu awal pengamatan (hari); T2= Waktu akhir pengamatan (hari)
W1= Bobot badan awal (kg) ; W2= Bobot badan akhir (kg)
Data pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali milik kelompok ternak Fajar Pagi
Raknamo adalah terjadi peningkatan bobot badan harian. Pertambahan bobot badan apabila
dibandingkan dari bulan Februari ke Maret sebesar 0,18 kg/hari, bulan Maret ke bulan April naik
sebesar 0,28 kg/hari, dan dari bulan April ke bulan Mei semakin meningkat PBBH nya yaitu sebesar
0,58 kg/hari. Menurut Suyasa et al, (2004) dan Bulo et al., (2004) penggunaan jerami padi dan pakan
tambahan berupa dedak padi dan bioplus serat dapat memberikan PPBH 0,39 – 0,55 kg/ekor/hari
pada ternak sapi Bali. Sementara penggunaan jerami padi yang difermentasikan ditambah dengan
rumput alam atau hijauan makanan ternak lain dan penambahan biocas dapat memberikan PBBH
sekitar 0,6 kg ekor per hari dan PBBH sekitar 0,64 – 0,70 kg/ekor per hari. Beberapa faktor yang
mempengaruhi PBBH adalah kualitas pakan yang diberikan, lingkungan, jenis kelamin, dan
kepadatan ternak (Amien, et al., 2012).
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 579
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Manajemen Pemeliharaan Ternak Sapi Bali di Desa Raknamo
Perkandangan. Ternak sapi Bali yang dipelihara oleh peternak Fajar Pagi desa Raknamo
menggunakan model perkandangan semi intensif. Sistem pemeliharaan secara semi intensif ini
merupakan sistem pemeliharaan yang baru diterapkan di Desa Raknamo, NTT. Sistem ini dilakukan
oleh sekelompok peternak yang tergabung dalam kelompok peternak. Ternak dipelihara dalam
sebuah kandang sederhana yang terletak di sekitar rumah peternak masing-masing dengan bentuk
kandang kelompok yang terdiri dari beberapa ekor ternak. Ternak dilepas pada pagi hari sekitar jam
07.00 dan dikandangkan kembali pada jam 17.00.
Kandang merupakan salah satu aspek penting dalam suatu usaha peternakan, hal ini disebabkan
fungsi dari kandang itu sendiri yang dapat melindungi ternak dari perubahan cuaca yang ekstrim.
Fungsi kandang diantaranya adalah melindungi ternak dari perubahan cuaca atau iklim, melindungi
ternak dari penyakit, menjaga ternak dari pencurian, memudahkan pengelolaan ternak dalam proses
produksi seperti pemberian pakan, minum dan perkawinan serta meningkatkan efisiensi penggunaan
tenaga kerja (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, 2010). Kandang akan
memberikan pengaruh pada kesehatan ternak. Atap kandang terbuat dari rumbia dan terpal. Dinding
terbuat dari kayu hutan dan bambu, sedangkan lantai kandang masih berupa tanah. Keadaan
kandang terbuka tanpa adanya penghalang bagi angin dan cahaya matahari yang masuk. Tempat
pakan bagi ternak terbuat dari papan kayu yang di letakkan dalam naungan kandang.
KESIMPULAN
Pengembangan peternakaan sapi Bali di Desa Raknamo, Kupang, NTT dengan memperhatikan
manajemen pemeliharaan (kandang, pakan, kesehatan ternak, dan pengembangan usaha) akan
meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak (PBBH) yang pada akhirnya adalah
meningkatkan populasi ternak Sapi Bali.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 581
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mamun, M., A. Akbar and Shahlal. 2002. Rice straw, it’s quality and quantity as affected by storage
systems in Bangladesh. Pakistan J. Nutrition 1(3): 153 – 155.
Amien I., Nasich M., Marjuki. 2012. Pertambahan Bobot Badan dan Konversi Pakan Sapi Limousin
Cross dengan Pakan Tambahan Probiotik. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. Malang.
Bulo, D. N. Agustitus, F. Kairupan, F. Munier, P. R.T. Rumayar dan Saidah. 2004. Integrasi sapi potong
pada lahan sawah irigasi di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional: “Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak. Denpasar 20 – 22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Bali dan Crop-Animal
System Research Network (CASREN). hlm. 155 – 161.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Kementerian Pertanian RI.
Drake, D.J., G. Nader and L. Forero. 2002. Feeding rice straw to cattle. University of California, Division
of Agriculture and Natural Resources, Publication 8079.
Hargono. 2004. Pemanfaatan limbah jerami padi sebagai pakan ternak dengan cara fermentasi
menggunakan starter BMF biofad (suatu upaya peningkatan protein pakan). Prosiding Seminar
Nasional Rekayasa Kimia dan Proses. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Hartati D, Wijono B, Siswanto M. 2007. Performans Sapi Bali induk sebagai penyedia bibit/bakalan
di wilayah breeding stock BPTU Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner 2007. 258 – 263.
Ishak, ABL., Nurhayu, A., Ella, A., Sariubang, Rahmawati, T. 2015. Seleksi Performans Induk Sapi Bali
sebagai Upaya Pembentukan Populasi Dasar Pada Program Pembibitan dan Pemurnian Sapi
Bali di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Mohammad K, Olsson M, Helena Ta, Mikko S, Vlamings BH, Andeson G, Martinez HR, Purwantara B,
Paling Rw, Colenbrander B, Lestra JA. 2009. On the origin of Indonesian cattle. J Plos one 4 :1 – 6
Martojo H. 2012. Indigenous Bali Cattle is Most Suitable for Sustainable Small Farming in Indonesia.
Reprod Dom Anim. 47 : 10 – 14.
Purwantara B, Noor R R, Andeson G, Martinez HR. 2012. Banteng and Bali cattle in Indonesia:
Status and Forecasts. Rep Dom Anim 47 : 2 – 6
Payne WJA, Hodges J. 1997. Tropical Cattle: Origin, Breeds and Breeding Policies . Blackwell Science
Siregar, A.R., Chalijah,M., Sariubang, dan C.Talib. 2000. Penyebab Kematian Dini Pedet Sapi Bali pada
Pemeliharaan Ekstensif. Tidak dipublikasikan.
Sunarto, E., Nono OH., Lole UR., Sikone HY. 2016. Analisis Finansial Sistem Penggemukan Sapi
Potong oleh Perusahaan dan Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang. Journal of Animal
Science (4): 46-49.
ABSTRAK
Pemeliharaan ayam KUB-1 dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap terpenuhinya kebutuhan
protein hewani masyarakat. Penelitian dilakukan untuk mengetahui performa ayam KU B Jantan yang
diberipakan berbeda yang disubsitusi dengan bahan baku yang ada. Penelitian ini dilaksanakan mulai
Februari sampai dengan April 2019 di Kebun Percobaan BPTP Sumatera Utara. Penelitian menggunakan
pullet Ayam KUB-1 jantan (umur 5 minggu) sebanyak 500 ekor dari Balitnak, Ciawi. Penelitian terdiri dari
empat perlakuan, tiap perlakukan terdiri dari lima ulangan, dan tiap ulangan terdiri dari 25 ekor. Pakan
perlakuan terdiri dari P0 = Pakan komersil grower (100%) , P1 = Pakan komersil grower (75%) + dedak
padi (35%), P2 = Pakan komersil grower (60%) + dedak padi (20%) + jagung (20%) dan P3 = Pakan
komersil grower (60%) + dedak padi (20%) + jagung (20%) + sayuran afkir. Data yang diamati adalah
pertambahan berat badan/PBB, konversi pakan, IOFC (Income Over Feed cost). Pemberian pakan
perlakuan dilakukan selama 7 minggu, pengamatan PBB dilakukan setiap minggu. Data hasil
pengamatan ditabulasi dan dianalisis secara statistik menggunakan uji t untuk mengetahui pengaruh
antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1980). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa performa ayam KUB jantan
pada fase grower adalah baik dengan pemberian pakan komersil tetapi untuk menghasilkan IOFC yang
lebih tinggi pemberian pakan komersil sebaiknya disubsitusi dengan baku pakan local (dedak padi,
jagung dan sayuran afkir). Hal ini dapat disesuaikan dengan bahan baku local yang tersedia.
PENDAHULUAN
Ayam lokal atau yang sering kita kenal dengan sebutan ayam kampung memiliki peran penting
sebagai sebagai sumber protein hewani (penghasil daging dan telur). Kontribusi ayam buras terhadap
produksi daging nasional mencapai 8,73% atau sebesar 313.800 ton dan produksi telur mencapai
10,18% atau sebesar 226.900 ton (Statistik Peternakan, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa usaha
peternakan ayam kampung masih perlu dikembangkan lebih luas guna mendukung pemenuhan
kebutuhan protein hewani.
Usaha pengembangan usaha peternakan ayam kampung dapat dilakukan melalui perbaikan mutu
genetik (Roosganda, 2012). Balai Pengkajian Ternak (Balitnak) Ciawi selaku lembaga pengkajian
Badan Litbang Pertanian, telah menghasilkan varietas bibit ayam kampung unggul hasil seleksi dari
beberapa galur ayam lokal dalam pembentukan ayam kampung unggul yang disebut ayam KUB-1.
Galur ayam ini telah dilepas sebagai galur ayam kampung unggul dengan SK Mentan No
274/Kpts/SR.120/2/2014 dengan keunggulan, produksi telur tinggi dan sebagian besar tidak
mengeram (Ditjen PKH, 2014).
Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Sumatera Utara merupakan perpanjangan tangan dari Badan
Litbang Pertanian, yang ada di daerah untuk mentransfer teknologi pembibitan ayam KUB.
Pemeliharaan ayam KUB-1 dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap terpenuhinya kebutuhan
protein hewani masyarakat di Sumatera Utara. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
pengembangan performa Ayam KUB-1 di Sumatera Utara.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 583
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan mulai Februari sampai dengan April 2019 di Kebun Percobaan BPTP
Sumatera Utara. Penelitian menggunakan pullet Ayam KUB-1 jantan (umur 5 minggu) sebanyak 500
ekor dari Balitnak, Ciawi. Penelitian terdiri dari empat perlakuan, tiap perlakukan terdiri dari lima
ulangan, dan tiap ulangan terdiri dari 25 ekor. Selama penelitian, ayam diberi ransum sesuai dengan
perlakuan pakan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Uraian Perlakuan dan Bahan Pakan Penelitian.
Perlakuan Uraian Bahan Pakan
PO Pakan komersil grower (100%)
P1 Pakan komersil grower (75%) + dedak padi (35%)
P2 Pakan komersil grower (60%) + dedak padi (20%) + jagung (20%)
P3 Pakan komersil grower (60%) + dedak padi (20%) + jagung (20%) + sayuran afkir
Pakan perlakuan diberikan dua kali dalam sehari yaitu siang dan sore hari, serta minum diberikan
secara ad-libitum. Untuk pelakuan P3, sayuran afkir diberikan pada siang hari. Data yang diamati
adalah pertambahan berat badan/PBB, konversi pakan, IOFC (Income Over Feed cost). Pemberian
pakan perlakuan dilakukan selama 7 minggu, pengamatan PBB dilakukan setiap minggu. Data hasil
pengamatan ditabulasi dan dianalisis secara statistik menggunakan uji t untuk mengetahui pengaruh
antar perlakuan
Gambar 1. Penampilan fisik ayam KUB-1 sama seperti ayam kampung biasa
Sumber: Balitnak, Ciawi.
No Kriteria Produksi
1 Produksi telur henday : 44-70%, rataan 50%
2 Puncak produksi : 65-70%
3 Produksi telur/tahun : 160-180 butir
4 Konsumsi pakan : 85-90 g/ekor/hr
5 Sifat mengeram : 10% populasi
6 Umur pertama Bertelur : 22-24 minggu
7 Bobot telur : 36-45 gram
8 Konversi pakan : 3,8 kg pakan/kg telur
Sumber: Tika et al., 2010.
Pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa performa ayam adalah bagus, hal ini ditujukkan dengan
berat badan akhir 1.514 gram – 1.529 gram (umur 12 minggu), hal ini mendekati berat badan ayam
KUB jantan SNI KUB (2017) yaitu 1.600-1.800 gram umur 20 minggu. Natalia et al., (2017) menyatakan
bahwa dilihat dari performa berat badan, ayam KUB cenderung sebagai penghasil daging dengan
berat panen 1.000-1.500 gram/ekor umur 2 bulan.
Pada Tabel 2 juga diketahui bahwa perlakuan P0 berbeda nyata terhadap perlakuan P3 tetapi tidak
berbeda nyata terhadap perlakuan P1 (17,90 gram/ekor/hari) dan P2 (17,81 gram/ekor/hari). Hal ini
disebabkan perlakuan P0 adalah menggunakan pakan komplit (pakan komersil pabrikan), perlakuan
P1 adalah pemberian pakan komersil sebesar 75% lebih tinggi dibanding dengan perlakuan P2 dan
P3. Dimana diketahui pakan komersil memiliki kandungan nutrisi dibandingkan dengan dedak padi
dan jagung.
Pertambahan berat badan harian (PBBH) dari masing-masing perlakuan (P0, P1, P2, dan P3)
mengalami perbedaan, hal ini disebabkan perbedaan kandungan nutrisi dari pakan yang diberikan.
Kandungan nutrisi pakan mempengaruhi tingkat konsumsi (palatabilitas) ternak yang pada akhirnya
berdampak pada PBBH ternak. Perlakuan P1, P2, dan P3 menghasilkan PBBH yang lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan PO. Hal ini disebabkan bahwa nutirisi pakan P2 dan P3 lebih tingi
dibandingkan P0, sehingga produktivitas ternak yang dihasilkan lebih tinggi.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 585
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Pertambahan berat badan sangat dipengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi, hal ini juga akan
berpengaruh terhadap nilai FCR. Konsumsi pakan dan nilai FCR selama pengamatan dapat dilihat
pada Tabel 3. Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa FCR pakan yang paling efisien adalah
perlakuan P0 (3,38) lebih rendah dibandingkan dengan perlakukan P1, P2 dan P3. Hal ini juga
disebabkan perlakuan P0 adalah menggunakan pakan komplit (pakan komersil pabrikan), perlakuan
P1 adalah pemberian pakan komersil sebesar 75% lebih tinggi dibanding dengan perlakuan P2 dan P3
Tabel 3. Rataan konsumsi dan FCR selama penelitian (umur 6-12 minggu)
. Dimana diketahui pakan komersil memiliki kandungan nutrisi lebih lengkap dibandingkan
dengan suplementasi dedak padi dan jagung (P2) ditambah sayuran (P3). Semakin lengkap komposisi
pakan maka nilai FCR juga akan semakin rendah. Selain nilai gizi pakan, faktor lain yang
mempengaruhi konversi ransum antara lain kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan efisiensi
ransum menurun dan berakibat pada menurunnya bobot badan ternak (Mahmilia, 2005).
IOFC (Income Over Feed cost).
Income Over Feed Cost (IOFC) ditentukan dengan mengurangi seluruh pendapatan usaha
peternakan dengan biaya ransum yang dikeluarkan selama pemeliharaan (Lestari, et al., 2014). Biaya
ransum dihitung berdasarkan rataan pakan yang dikonsumsi selama pemeliharaan dikalikan dengan
harga pakan saat pembelian. Penjualan berupa bobot hidup dengan harga Rp. 45.000/kg. Harga pakan
disesuiakan dengan masing-masing perlakukan. Nilai IOFC selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Biaya pakan dan nilai perhitungan IOFC selama penelitian (umur 6-12 minggu)
Dari Tabel 4, diketahui bahwa IOFC tertinggi yaitu pada pada perlakukan P3 (pakan komesil 60%
+ dedak padi 20% + jagung 20% + sayuran afkir) yaitu sebesar Rp 50.389,37 dan yang paling rendah
perlakukan P0 (pakan komesil 100% ) dan perlakuan P1 (pakan komesil 75% + dedak padi 35%) yaitu
sebesar Rp. 49.410,94. Pemberian pakan komersil diatas 75% memberikan nilai IOFC yang lebih
rendah, hal ini disebabkan harga pakan komersil yang lebing mahal. Walaupun PBBH perlakukan P0
lebih tinggi (17,99 gram/ekor) dan nilai FCR paling kecil (3,38) ternyata memberikan nilai IOFC yang
lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan komersil tunggal kurang efisien karena
harga pakan komersil yang relative mahal dibandingkan dengan bahan baku pakan local seperti
dedak padi dan jagung. Untuk menekan biaya pakan sebaiknya disubsitusi dengan bahan baku local
yang tersedia. Salamah (2007) yang menyatakan bahwa nilai IOFC yang tinggi disebabkan karena
harga ransum yang lebih murah dan konsumsi ransum yang lebih sedikit tetapi menghasilkan bobot
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa performa ayam KUB jantan pada fase grower adalah baik
dengan pemberian pakan komersil tetapi untuk menghasilkan IOFC yang lebih tinggi pemberian
pakan komersil sebaiknya disubsitusi dengan baku pakan local (dedak padi, jagung dan sayuran
afkir). Hal ini dapat disesuaikan dengan bahan baku local yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), 2018. Statistik dan Kesehatan Hewan
2018. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian RI.
Lestari S, H. Setiyawan dan A. Setiadi, 2014. Income Over Feed Cost Pada Ayam Lohman Unsexing
Yang Diberi Pakan Mengandung Gulma Air Salvinia molesta. Animal Agriculture Journal 3(2):
138-146, Juli 2014.
Mahmilia, F., 2005. Perubahan Nilai Gizi Tepung Enceng Gondok Fermentasi dan Pemanfaatannya
sebagai Ransum Ayam Pedaging. Pada : Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10 (2) : 90-95.
Natalia H, Budiyanto F dan Widiastuti SN. 2017. Kajian Pola Pemberian Pakan dan Sex yang Berbeda
pada Ayam KUB. DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2017-p.422-427.
Nova, K., T. Kurtini, dan Riyanti. 2002. Buku Ajar. Mnejemen Usaha Ternak Unggas. Universitas
lampung. Bandar Lampung.
Roosganda El, 2012. Perbaikan Managemen Usaha Ayam Kampung Sebagai Salah Satu Sumber
Pendapatan Keluarga Petani Di Pedesaan. Workshop Nasional Unggas Lokal 2012. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Bogor
Salamah. 2007. Pengaruh Penggunaan Perekat Menggunakan Bahan Perekat dalam Ransum Berbentuk
Crumble Terhadap Performan Ayam Broiler. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Sartika, T., S. Iskandar, D. Zainuddin, S. Sopiyana, B. Wibowo, A. Udjianto. 2010. Seleksi dan “open
nucleus” ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak). Lap. Penelitian No: NR/G-01/Breed/APBN
2009.
Sartika T., D. Zainuddin, S. Iskandar, H.R. Resnawati, A.R. Setioko, Sumanto, A.P. Sinurat, Isbandi, B.
Tiesnamurti, E. Romjali. 2013. Ayam KUB-1. IAARD Press. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta.
Steel, R. G.D. and J.H.Torrie.1995. Principles and Procedures of Statistics. 2nd Edition. McGraw-Hill
International Book Company, London.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 587
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
588 | Teknologi Pertanian
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS JAGUNG MELALUI SISTEM TANPA OLAH TANAH
DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN KABUPATEN LOMBOK UTARA
ABSTRAK
Penanaman jagung di Kabupaten Lombok Utara umumnya dilakukan secara intensif baik dalam
menggunakan input produksi maupun pengelolaannya. Pengolahan tanah ditingkat petani dilakukan
dengan mengolah tanah secara sempurna sampai benar-benar gembur dan permukaan tanah rata. Hal ini
dilakukan karena beberapa alasan yaitu : pengolahan tanah dapat menekan pertumbuhan gulma dan
tanah yang gembur akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dan hasil jagung
meningkat. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui pengaruh system pengolahan tanah
terhadap produktivitas jagung di Kabupaten Lombok Utara. Pengkajian dilaksanakan di Kelompok Tani
Telaga Banyak Timur Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara yang merupakan lokasi
pendampingan kawasan jagung. Percobaan dilaksanakan pada musim tanam MK 1 setelah padi yaitu
bulan Mei – September 2017. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan desain split
plot yang diulang sebanyak 3 kali, dimana petak utama adalah varietas yang terdiri dari 2 taraf yaitu :
Bima 20 URI dan HJ 21. Anak petak (sub plot) adalah pengelolaan tanah yang terdiri dari 3 taraf yaitu : P1 .
tanpa olah tanah + pupuk kandang., P2. pengolahan tanah secara minimum + pupuk kandang dan P3.
Pengolahan tanah secara sempurna. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa varietas tidak berpengaruh
terhadap produktivitas jagung tetapi produktivias jagung dipengaruhi oleh system pengolahan tanah.
Poduktivitas jagung tinggi pada system tanpa olah tanah yang dikombinasikan dengan pupuk kandang
yaitu rata-rata 8,3 ton/ha, dengan pengolahan tanah minimum 7,37 ton/ha dan pengolahan tanah
sempurna sebesar 6,72 ton/ha.
Kata kunci : Sistem pengolatan tanah, sawah tadah hujan, produktivitas jagung
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi dan setiap tahun produksi cenderung
mengalami peningkatan sehingga dapat menekan angka impor jagung. Pada tahun 2013 angka impor
jagung sebesar 3.19 jt ton, tahun 2014 meningkat menjadi 3,25 juta ton, di tahun 2015 merupakan
puncaknya impor jagung sebesar 3,26 juta ton namun pada tahun 2016 turun drastis menjadi 130
ribu ton (BPS, 2016) dan tahun 2017 diperkirakan Indonesia tidak akan mengimpor jagung karena
Kementerian Pertanian akan focus pada peningkatan produksi dan produktivitas.
Salah satu cara meningkatkan produksi jagung nasional dapat dilakukan melalui perluasan areal
tanam terutama pada wilayah-wilayah sentra pengembangan. Di Provinsi NTB terutama pulau
Lombok, perluasan areal tanam akan focus pada Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok
Tengah. Selain Perluasan areal tanam, pengolahan tanah yang baik dapat mempengaruhi produksi
dan produktivitas jagung
Penanaman jagung di Kabupaten Lombok Utara umumnya dilakukan secara intensif baik dalam
menggunakan input produksi maupun pengelolaannya. Pengolahan tanah ditingkat petani dilakukan
dengan mengolah tanah secara sempurna sampai benar-benar gembur dan permukaan tanah rata.
Menurut Sutejo (1987), tujuan pengolahan tanah adalah memperbaiki keadaan struktur tanah
sehingga dapat dipergunakan secara optimal untuk perkembangan dan kehidupan tanaman.Tanah
yang struktur baik akan membantu berfungsinya factor-faktor pertumbuhan tanaman secara optimal
sedangkan tanah yang berstruktur jelek akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan (Sarief,
1988). Hasil penelitian Musa dkk (2007) menunjukan bahwa pengolahan tanah secara sempurna
menghasilkan produktivitas jagung yang lebih tinggi dibanding dengan pengolahan tanah secara
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 589
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
minimum. Menurut Raharjo (1991) meskipun disebutkan bahwa struktur tanah remah adalah
merupakan tujuan pengolahan tanah, sering terelakan justru pengolahan tanah merusak struktur
tanah dan memperbesar peluang terjadinya erosi tanah. Hal ini terjadi karena tingginya frekwensi
pengolahan tanah menimbulkan hancurnya agregat tanah selanjutkan akan menyumbat pori tanah
sehingga laju inflitrasi menjadi tidak lancar akibatnya limpasan tanah menjadi semakin besar.
Sistem pengolahan tanah seperti tanpa olah tanah dan penambahan pupuk Organik sebagai suatu
alternative pengolahan tanah untuk tanaman jagung selain penyiapan lahan dengan olah tanah
minimum dan olah tanah sempurna. Keuntungan sistem tanpa olah tanah antara lain : menekan biaya
pengolahan tanah, menekan pertumbuhan gulma dan memperpendek waktu tanam. Aplikasi tanpa
olah tanah dan penambahan pupuk organik pada budidaya jagung diharapkan mampu menopang
pertumbuhan tanaman secara optimal, meningkatkan pendapatan karena dapat menekan biaya
produksi serta dapat meningkatkan produktivitas jagung . Untuk itu perlu dilakukan pengkajian
untuk mengetahui pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap produktivitas beberapa varietas
jagung di Lahan Tadah Hujan Kabupaten Lombok Utara
METODOLOGI PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di Kelompok Tani Telaga Banyak Timur Desa Anyar Kecamatan Bayan
Kabupaten Lombok Utara yang merupakan lokasi pendampingan kawasan jagung. Percobaan
dilaksanakan pada musim tanam MK 1 setelah padi yaitu bulan Mei – September 2017. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan desain split plot yang diulang sebanyak 3 kali,
dimana petak utama adalah varietas yang terdiri dari 2 taraf yaitu : Bima 20 URI dan HJ 21. Anak
petak (sub plot) adalah system pengelolaan tanah yang terdiri dari 3 taraf yaitu : P1. System tanpa
olah tanah + pupuk organic (pupuk kandang)., P2. pengolahan tanah secara minimum (diolah dalam
barisan tanaman saja) + pupuk kandang dan P3. Pengolahan tanah secara sempurna (perlaukan
petani). Penanaman jagung dilakukan dengan cara ditugal pada kedalaman 5 cm dengan jarak tanam
70 x 20 cm (1 biji perlubang tanam). Pemupukan dilaksanakan selama 2 kali yaitu pada umur 10 HST
dan Umur 30 HST. Jenis pupuk yang digunakan NPK Phonska dan Urea. Dosis pupuk disesuaikan
dengan kebutuhan hara tanah dan tanaman. Untuk mengetahui dosis pupuk yang tepat di gunakan
analisis spesifik lokasi berupa PUTS. Pengendalian Gulma menggunaka herbisida Calaris pada umur
20 HST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dari saat tanam. Untuk pengendalian penyakit
bulai dengan seed treatment yaitu dengan pemberian saromil (5 kg/kg benih). Penyiangan dilakukan
umur 20 HST atau sebelum dilakukan pemupukan kedua.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem tanpa olah tanah jika dikombinasikan dengan penambahan
bahan organic akan membentuk tongkol menjadi lebih besar dan tongkol yang besar akan berpeluang
memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
Varietas jagung berpengaruh terhadap panjang tongkol dan diameter tongkol jagung. Varietas HJ
21 memiliki tongkol yang lebih panjang dan diameter yang lebih lebar jika dibandingkan dengan
varietas Bima 20 URI. Ini menunjukkan bahwa varietas HJ 21 bisa beradaptasi dengan baik dilahan
tadah hujan Kabupaten Lombok Utara
Dari hasil analisis seperti tabel 2 diketahui bahwa system pengolahan tanah memberikan
pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah baris, jumlah biji dan berat 100 biji namun
cenderung jumlah baris, jumlah biji dan berat biji terbanyak terdapat pada sistem tanpa olah tanah
yang dikombinasikan dengan penambahan pupuk kandang dan terrendah cenderung dimiliki oleh
sistem olah tanah sempurna. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Adeleida Ch dkk yang
menunjukkan bahwa budidaya jagung dengan olah tanah sempura memberikan jumlah baris dan
jumlah biji terrendah jika dibandingkan dengan tanpa olah tanah dan olah tanah minimum.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 591
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Varietas juga tidak berpengaruh terhadap jumlah baris dan berat 100 biji tetapi varietas
dipengaruhi oleh jumlah biji dimana varietas HJ 21 memiliki jumlah biji yang lebih banyak yaitu 37.89
biji jika dibanding dengan Bima 20 URI = Rp. 35.93 biji. Ini berarti walaupun varietas HJ 21 memiliki
tongkol yang lebih panjang, diameter yang lebih besar dan jumlah biji yang lebih banyak tetapi
memiliki berat yang tidak berbeda nyata dengan varietas Bima 20 URI sehingga akan berpengaruh
terhadap produktivitas jagung
Grafik 1 menyatakan bahwa sistem pengolahan tanah berpengaruh terhadap produktivitas jagung
dimana produktivitas jagung tinggi pada sistem tanpa olah tanah yang dikombinasikan dengan
penambahan pupuk organic yaitu rata-rata 8.35 ton/ha dan berbeda nyata dengan P2 yaitu
pengolahan tanah secara minimum dan penambahan pupuk kandang yaitu 7.37 ton/ha dan terrendah
terdapat pada sistem pengolahan tanah sempurna yaitu 6.72 ton/ha. Hal ini diduga karena beberapa
hal yaitu: 1) adanya gangguan terhadap tanah akibat pengolahan tanah sehingga berpengaruh
terhadap laju dekomposisi bahan organic yang pada akhirnya bahan organic tidak tersedia didalam
tanah., 2). tanah yang lebih gembur akan menyebabkan terjadinya erosi tanah karena rusaknya
struktur tanah dan 3). Berdasarkan hasil pengamatan bahwa olah tanah sempurna akan memberikan
peluang tumbuhnya gulma. Menurut Hasil penelitian Triguna Y. 2004, menyatakan bahwa
tersedianya kandungan bahan organic dalam tanah tergantung intensitas dari ganguan tanah yaitu
kaitannya dengan tindakan pengolahan tanah. Lebih lanjut Utomo (2006), pengolahan tanah secara
intensif akan berdampak pada penyusutan kandungan bahan organic tanah sedangkan Menurut hasil
penelitian Yunijar, 2017 menyatakan bahwa sistem pengolahan tanah jika dikombonasikan dengan
penambahan pupuk organik seperti kompos maka akan dapat meningkatkan produktivitas jagung
karena meningkatkan kapasitas air memegang air, mengurangi evaporasi, meningkatkan bahan
organic tanah dan mengurangi tumbuhnya gulma. Menurut Satriawan H dkk, 2003 menyataan bahwa
sedikitnya populasi gulma akan memungkinkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik karena
tidak terjadi kompetisi yang tinggi antara tanaman dan gulma dalam memperoleh unsur hara, air dan
ruang untuk pertumbuhan.
KESIMPULAN
Sistem pengolahan tanah berpengaruh terhadap produktivitas jagung, produktivitas jagung tinggi
pada sistem tanpa olah tanah yang dikombinasikan dengan penambahan bahan organic, diikuti oleh
sistem olah tanah minimum yang dikombinasikan dengan penambahan pupuk organic dan
produktivitas rendah pada pengolahan tanah sempurna
DAFTAR PUSTAKA
Adeleida Ch. Wawointana, Pongoh J.,Tilaar W., 2017. Pengaruh Varietas dan Jenis Pengolahan Tanah
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung ( Zea mays, L). Jurnal LPPM Bidang Sains
dan teknologi Volume 4 No. 2.
Badan pusat Statistik Nasional, 2016. Tanaman Pangan.
Musa, Y., Nasaruddin, Kuruseng M.A., 2007. Evaluasi Produktivitas Jagung Melalui Pengelolaan
Populasi Tanaman, engolahan Tanah dan Dosis Pemupukan. Jurnal Agrosistem. 3(1) : 21 - 33
Raharjo C. S., 1991. Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram
Ridwan, Zubaidah Y., 2010. Sistem Persiapan Lahan dan Pemberian Bahan Organik pada Budidaya
Jagung di Lahan Kering. Jurnal Solum Voil. VII No. 1 Januari 2010 : 19-26. ISBN : 1829 – 7994
Sarief C.S. 1986. Kesuburan dan Pemupkan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung
Satriawan H.,Silawibawa I.P.,Suwardji, 2003. Pengaruh cara pengolahan tanah terhadap kualitas tanah,
populasi gulma dan hasil jagung (zea mays. L)., Seminar Nasional dan Kongres Himpunan Ilmu
Gulma Indonesia (HAGI). Bogor
Sutejo M., 1989. Pupuk dan cara Pemupkan Rineka Cipta. Jakarta.
Triguna Y., 2004. Evaluasi status karbon organic tanah pada lahan yang telah diberi berbagai macam
pengelolaan tanah di Vertisol Lombok Selatan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Yunizar, 2010. Peningkatan Produktivitas Jagung melalui Pengolahan tanah dan Kompos Jeami Padi
sesudah padi di Bayas Jaya Riau. Prosiding Pekan Serealia Seminar Nasional. ISBN. 978-979-
8940-29-3
Utomo, M. 2006. Olah Tanah Konservasi. Hand out Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan.
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 25 Hal.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 593
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
594 | Teknologi Pertanian
OPTIMALISASI SUMBERDAYA SEKTOR HORTIKULTURA TANAMAN HIAS
PADA USAHA ISTANA BUNGA KOTA GORONTALO
E.mail : [email protected]
ABSTRAK
Tanaman hias merupakan sub sektor hortikutura non pangan dan usaha ini memiliki prospek masa
depan untuk diishakan oleh pelaku usaha formal maupun non formal. Salah satu Usaha formal yang
berusaha pada sector ini adalah Istana Bunga bertempati di Tomulabutao, Kecamatan Dungingi, Kota
Gorontalo . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimal usaha tanaman hias istana
bunga dengan kendala luas lahan, tenaga kerja, dan modal. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode pendekatan linier programming (LP). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi pendapatan usaha tanaman hias istana bunga belum optimal. Linier
programming rekomendasikan mengurangi tanaman hias adenium, dan tenaga kerja karena akan
mengurangi pendapatan Rp. 23.139.917 / tahun atau setara dengan 20,8% dari total pendapatan aktual.
ABSTRACT
The Ornamental plants are non-food horticultural sub-sectors that have future prospects to be cultivated by formal
and non-formal business actors. One of the formal businesses that endeavor in this sector is the Istana Bunga located
in Tomulabutao, Dungingi District, Gorontalo City. The purpose of this study was to determine the optimal
conditions of flower palace ornamental plant business with constraints of land area, labor, and capital. Data analysis
method used in this study is a linear programming approach (LP). The results showed that the condition of the
business income of ornamental plant flowers was not yet optimal. Linear programming recommends reducing
adenium ornamental plants and labor because it will reduce the income of Rp. 23,139,917 / year or equivalent to 20.8%
of total actual income.
PENDAHULUAN
Tanaman hias merupakan subsektor hortikultura yang berbeda dengan subsektor hortikultura
lainnya. Hal tersebut dikarenakan tanaman hias merupakan tanaman nonpangan yang
pemanfaatannya ditujukan untuk kebutuhan estetika. Ferniasari (2011)., megemukakan bahwa
tanaman hias berbeda dengan tanaman yang pemanfaatannya ditujukan untuk konsumsi seperti
halnya sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat. Kendati demikian, tanaman hias juga dapat turut
mendorong perekonomian negara melalui sumbangan terhadap PDB.
Bisnis tanaman hias terbuka lebar untuk pasar dunia maupun domestik bagi Indonesia. Untuk
pasar lokal peluang bisnis tanaman hias juga menunjukan hal yang sama. Hal tersebut dikarenakan
berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap nilai estetika dan kesehatan lingkungan sehingga
mendorong minat terhadap pemanfaatan tanaman hias.
Tanaman hias banyak dimanfaatkan untuk memperindah lingkungan sekitar baik di dalam
ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor). Sebagai penghias dalam ruangan, tanaman hias
dapat diletakan dalam pot yang ditempatkan di meja ataupun areal rumah, perkantoran, hotel,
restoran atau apartemen. Sedangkan pemanfaatan di luar ruangan dapat dijadikan sebagai tanaman
pelindung, penghias taman, centre point, bedengan dan penutup tanah. Tanaman memiliki daya tarik
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 595
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
yang indah tentunya dapat memikat siapapun yang melihatnya, baik bagi yang hobi tanaman atau
seseorang yang sekedar menikmati keindahannya saja (Garsinia dan Lestari, 2015).
Tanaman hias dapat ditanam pada areal yang sempit bahkan dapat dimanfaatkan pada lahan
vertikal melalui konsep taman tegak. Namun demikian, usaha tanaman hias perlu pulah
diperhatikan volume dan jenis tenaman yang ditanamn oleh pelaku usaha jika memiliki luas lahan
yang sempit karena bias jadi akan berdampak kepada pendapatan yang maksimal. Di Kota Gorontalo
banyak pelaku usahan tanaman hias baik formal maupun informal salah satunya adalah Istana
Bunga. Jenis tanaman hias yang dibudidayakan Istana Bunga diantaranya yaitu: (1) Bunga Adenium,
(2) Bunga Anggrek Bulan, (3) Bunga Mawar Merah, (4) Bunga Melati, (5) Bunga Puring Oscar, dan
masih banyak jenis tanaman hias lain yang sering diperjual belikan.
Banyaknya tanaman hias yang dibudiayakan dan yang diperjualbelikan Istana Bunga tidak
sebanding dengan luas lahan yang dimiliki. Luas lahan yang tersedia pada usaha tanaman hias Istana
Bunga yaitu sebesar 0,0225 Ha, sedangkan luas lahan yang terpakai sebesar 0,018335 Ha. Salah satu
jalan agar Istana Bunga dapat memperoleh hasil yang optimal yaitu dengan optimalisasi luas lahan
dengan memperhatikan kendala modal, tenaga kerja dan memanfaatkan linear programming dalam
pengambilan keputusan. Optimasi merupakan proses meminimalkan biaya dengan seminimal
mungkin untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dalam suatu masalah, Antara dan
Suardika (2014); Ansor (2016) Abidin; Siregar; Rukmana dan Nompo (2016); Mentari, (2018).
Urgensi dilakukannya analisis optimalisasi pada sistim budidaya tanaman termasuk tanaman hias
adalah untuk menganalisis data dan infoemasi tentang berbagai komponen kendala usaha yang
bersifat parsial ke dalam analysis yang mempengaruhi usaha secara simultan yaitu kesesuaian lahan,
jenis komoditas, tenaga kerja, pekuang teransaksi komoditas, dan akses sumber modal,
Rumandengan (2014); Abidin dkk (2016); Mentari, (2018).
Linear programming sebagai suatu model penelitian operasional dalam kajian matematika terapan
yang banyak digunakan dalam proses memperoleh solusi dan memecahkan suatu permasalahan
optimasi Mentari, (2018). Linear Programming (LP) merupakan alat analisis yang mampu
menangkap keragaman peubah kendala aktivitas usahatani dan menentukan alternative yang terbaik,
Sharma; Jana dan Gaur (2017 dalam Abidin dkk (2016).
Istana Bunga memiliki permasalahan yang berkaitan dengan proses pemaksimalan keuntungan
yaitu proses mencari solusi untuk mencapai produksi yang optimal. Analisis linear programming
(program linear) dengan menggunakan metode simpleks digunakan untuk memecahkan masalah
optimasi tersebut dikarenakan terdapat hubungan linier antara tingkat keuntungan, faktor-faktor
produksi dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan Istana Bunga. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis sumberdaya optimal dan meminimalkan kendala untuk mendapatkan hasil
yang maksimal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Istana Bunga Jl.Rambutan, Kelurahan Tomulabutao, Kecamatan
Dungingi No. 30, Kota Gorontalo. Jenis data yang diperlukan bagi penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung (observasi) dan melalui
wawancara dengan pimpinan perusahaan. Data sekunder diperoleh dari informasi yang mendukung
dari instansi terkait dan penelitian sebelumnya. Keseluruhan data yang dikumpulkan meliputi: (1)
koefisien masukan – keluaran dari aktivitas produksi, (2) data tingkat harga input dan output, (3)
biaya produksi, (4) dan data lain yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan.
Populasi dalam penelitian ini merupakan seluruh objek yang ada dalam usaha tanaman hias
“Istana Bunga” di Kota Gorontalo. Untuk kepentingan penelitian, teknik pengambilan sampel
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 597
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pada kondisi aktual. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, maka usaha tanaman hias Istana
Bunga yang ada di Kota Gorontalo akan mengalami banyak kerugian .
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan penggunaan sumberdaya lahan,
tenaga kerja, dan modal yang tersedia pada lokasi penelitian belum dalam kondisi optimal. Hal ini
dikarenakan pendapatan aktual yang diperoleh usaha tanaman hias Istana Bunga hanya berkisar Rp.
15.172.917,00 relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan pada solusi optimal sebesar
Rp. 23.139.917,00 dengan total perubahan pendapatan sebesar 20,8%.
DAFTAR PUSTAKA
Garsini dan Lestari. 2015. Tanaman Hias Lanskap. Jakarta: Penebar Swadaya.
Lestari, B.S. 2009. Optimalisasi Produksi Adenium dan Aglaonema pada PT. Istana Alam Dewi Tara, Sawangan
Kota Depok Propinsi Jawa Barat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Abidin, Z. Siregar.R.A; Rukmana. D; Nompo.S 2016. Model Optimalisasi Usahatani Tanaman Padi, Palawija,
Mangga dan Ternak Sapi Terintegrasi di Sulawesi Selatan. Makassar: Universitas Hassanuddin.
Disertasi Universitas Hasanuddin Makassar
Ansor,R.,Indri (2016) Analisis Pendapatan dan Optimalisasi Pola Tanam Usahatani Sayuran (Studi
Kasus : Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung). Hak Cipta Istitut
Pertanian Bogor.
Firniasari, R (2011) Optimalisasi Produksi Tanaman Hias untuk Vertical Garden pada PT Godongijo
Asri, Sawangan, Depok Propinsi Jawa Barat. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Isntitut Pertanian Bogor.
Antara.M; Suardika.N (2014). Optimalisasi Alokasi Sumberdaya Pada Sistem Usahatani Lahan kering di Desa
Kerta Gianyar Bali dengan Pendekatan Linear Programming (LP). Program Studi agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Udayana. Jurnal Ekonomi Kuantitatif terapan Vol 7 No 1,
Masniatai.A.O.P; Saribu.D; Salawati.U (2012). Optimalisasi Kombinasi cabang Usahatani tanaman
Pangan Untuk memperoleh Pendapatan Maksimun di Kalimantan Tengah. Journal Agribisnis
Pedesaan Volume 02 Nomor 02.
Mentari, M.A (2018). Optimasi Keuntungan dengan Menggunakan LP Metode Simpleks pada home
industry bintang bakery di Desa Sukaremae Bandar Lampung.
Sharma, D.K; Jana; Gaur. A, 2007. Fuzzy Goal management For Agricultural lad Location Problems,
Yogoslavia J/Operat Ras 17-31-42.
ABSTRACT
Technological innovation in agriculture is currently growing and attracted many people to apply it both in small and
large businesses. The Indonesian government through the Ministry of Agriculture is currently encouraging the
younger generation to promote Indonesian agriculture through the millennial farmers movement. A long with the
presence of technology and encouragement to young people to develop the spirit of agriculture, it needs to be balanced
with the ease of accessing agricultural products. The era of digitalization is now opening the opportunities for digital
companies (startups) to promote the agricultural products they have. This certainly makes it easier for farmers and
even the wider community to find and get information about agricultural products that they want to develop. In
addition, startup businesses and agricultural applications are sources of information for farmers related to farming
systems, quality products and even agricultural problems.
ABSTRAK
Inovasi teknologi dalam bidang pertanian saat ini semakin berkembang serta banyak menarik minat
masyarakat untuk menerapkannya baik dalam usaha-usaha kecil maupun besar. Pemerintah Indonesia
lewat kementerian pertanian saat ini mendorong generasi muda untuk ikut memajukkan pertanian
Indonesia melalui gerakan petani milenial. Seiring dengan hadirnya teknologi dan dorongan kepada
generasi muda untuk mengembangkan jiwa pertanian maka perlu diimbangi dengan kemudahan
mengakses produk-produk pertanian. Era digitalisasi saat ini membuka kesempatan kepada perusahaan-
perusahaan digital (startup) untuk mempromosikan hasil-hasil pertanian yang mereka miliki. Hal ini
tentunya memudahkan kepada petani bahkan masyarakat luas untuk mencari dan mendapatkan
informasi mengenai produk-produk pertanian yang ingin mereka kembangkan. Disamping itu, bisnis
startup maupun aplikasi pertanian menjadi sumber informasi bagi petani mengenai sistem bercocok
tanam, produk-produk berkualitas bahkan sampai pada masalah-masalah pertanian.
PENDAHULUAN
Masyarakat global saat ini telah memasuki era informasi yang terhubung dalam dunia virtual.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar melebihi 50% dari
total populasi masyarakat Indonesia. Asosiasi penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) (2018)
mengatakan pengguna internet di Indonesia meningkat dari tahun 2016 berjumlah 132,7 juta jiwa
menjadi 143,26 juta jiwa atau setara 54,7% dari total populasi masyarakat Indonesia pada tahun 2017.
Kebutuhan masyarakat dan kesadaran akan pentingnya internet sudah merubah gaya hidup
masyarakat Indonesia, hal lain perubahan gaya hidup berbasis teknologi digital seperti dengan
adanya bisnis online yang sifatnya lebih cepat, praktis dan murah merupakan suatu kemudahan bagi
masyarakat (Tayibnapis et al., 2018).
Era industri 4.0 yang didasarkan pada teknologi baru mampu mengubah seluruh rantai
manajemen di setiap cabang industri, termasuk dalam bidang pertanian. Suharman dan Hari (2019)
menyatakan revolusi industri 4.0 memberdayakan peran digitalisasi manufaktur dan jaringan suplai
yang melibatkan integrasi informasi digital dari berbagai sumber dan lokasi untuk menggerakkan
manufaktur dan distribusi secara fisik. Efisiensi dari revolusi industri 4.0 ini yaitu meningkatkan
rantai suplai dan menurunkan biaya logistik dan komunikasi sehingga akan berkibat pada
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 599
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan hadirnya pasar-pasar baru bagi para pebisnis
(Tjandrawinata, 2016). Hadirnya bisnis online yang hanya cukup menggunakan smartphone untuk
bertransaksi membuat pola perdagangan berubah. Kemudahan yang dihadirkan berdampak pada
pola pikir masyarakat untuk beralih menggunakan bisnis yang prosesnya cepat, tidak berbelit-belit
efisien, sekaligus memberikan kepuasan bagi penggunanya. Hal ini dapat dilakukan hanya melalui
satu perangkat saja (smartphone). Perubahan ini hampir dirasakan semua kalangan masyarakat tidak
hanya diperkotaan melainkan masyarakat dipedesaan khususnya petani juga sudah mulai
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini (Prayoga, 2015). Sejalan dengan Sitanggang (2019)
bahwa revolusi industry mengakibatkan barang melimpah dan harganya murah, perdagangan makin
berkembang seperti produksi lokal berubah menjadi produksi internasional serta menyebabkan
transportasi makin lancar.
Kemunculan Internet di era industry 4.0 menyebabkan munculnya bisnis-bisnis baru berbasis
online yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan kecil maupun besar yang dikenal dengan
bisnis startup. Menurut Safirah (2018) peningkatan jumlah pengguna startup tahun 2012 sampai 2015
sebesar 158%. Tahun 2012 jumlah startup digital sebanyak 46 startup dan semakin bertambah hanya
dalam waktu tiga tahun menjadi 119 startup. Tingginya minat untuk mendirikan startup semakin
besar menjadikan banyaknya kemiripan produk yang ditawarkan antara satu dengan lainnya.
Sehingga startup digital yang baru muncul serta hanya mengikuti startup lain yang sudah lebih
unggul tidak dapat bertahan lama dan akhirnya harus tumbang. Dalam bidang pertanian kehadiran
startup memberikan manfaat yang cukup besar, produk-produk pertanian saat ini sangat mudah
diakses lewat beberapa media penjualan online, bahkan informasi mengenai pertanian sudah sangat
mudah diakses hanya dengan menggunakan aplikasi yang ada di smartphone. Hal ini memberikan
peluang yang besar bagi semua masyarakat untuk dapat bertani baik dalam skala kecil maupun besar.
Kendala-kendala yang dialami dilapangan seperti ketersediaan bibit, alat sampai pada proses
menanam dan penanganan masalah dilapangan dapat diatasi hanya dengan menggunakan aplikasi
yang ada di smartphone. Selain itu masyarakat dapat memasarkan langsung hasil-hasil pertanian lewat
media online. Transaksi dapat dilakukkan dengan cepat tanpa harus melalui rantai pemasaran yang
panjang. Penanganan kegiatan pertanian lewat aplikasi sudah banyak dilakukan oleh sektor swasta
dan praktisi yang peduli dengan kegiatan pemberdayaan petani. Dengan adanya penyebaran
informasi dengan aplikasi berbasis pertanian dapat menjadi kunci keberhasilan program
pembangunan pertanian (Prayoga, 2015).
Berdasarkan pernyataan diatas diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi kepada
masyarakat khususnya petani mengenai kehadiran beberapa aplikasi didalamnya bisnis startup
pertanian yang dapat memberikan kemudahan bagi petani dalam kegiatan pertaniannya mulai dari
persiapan benih hingga pemasaran hasil-hasil pertanian.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 601
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Demikian dengan kegiatan pelatihan dan sosialisasi pemanfaatan teknologi telah meningkatkan
aksesibilitas petani terhadap informasi dan membantu petani dalam pengambilan keputusan
(Sumardjo et al, 2010).
Menurut Syauqi (2016) menyatakan bahwa adanya hubungan yang erat antara keterkaitan
Digitalisasi Industri, Startup, dan Ekonomi Kreatif. Startup sebagai salahsatu contoh penerapan
digitalisasi industri memiliki peranan yang positif terhadap perkembangan Ekonomi Kreatif di
Indonesia. Menurut Sonief et al. (2019). Aktifitas pemberdayaan masyarakat melalui digitalisasi
industri kecil rakyat melalui sistem web UMKM dapat menunjang program desa menuju desa cerdas,
meningkatkan perekonomian desa dan terbukanya informasi mengenai potensi desa baik pada skala
nasional maupun internasional.
Menurut Susanto dan Hadiq (2019). Pengembangan Startup Pertanian dengan Memanfaatkan
Metode Design Sprint memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas hasil panen, jika
dibandingkan dengan tehnik bertani yang digunakan petani secara umum. Inovasi pengembangan
startup terbukti meningkatkan jumlah transaksi penjualan beras organik. Metode google design sprint
yang digunakan sangat efektif untuk pengembangan perusahaan rintisan atau startup, hal ini terlihat
dari keberhasilan memetakan arah bisnis perusahaan dan sudah berhasil melahirkan sebuah
perusahaan rintisan baru, yaitu CV. PIPO ORGANIKU.
Menurut Sulthoni dan Unang (2015). Adanya sistem informasi pemasaran hasil pertanian berbasis
web, akan lebih memudahkan petani dalam menjual hasil pertanian yang berdampak pada
penghematan waktu serta biaya yang di keluarkan untuk mendapatkan pedagang yang akan membeli
hasil pertanian yang mereka tanam, selanjutnya dapat memberi keakuratan dalam jumlah hasil
pertanian, serta data hasil pertanian dapat terpantau dengan baik, sehingga saat pimpinan ingin
mengetahui hasil penjualan perperiode dapat dilaporkan dengan cepat. Keuntungan lain dapat
dirasakan pemerintah yaitu membantu program pemerintah desa dalam mensejahterakan petani,
serta memudahkan pemerintah dalam mengatur kebijakan yang nantinya di terapkan bagi para
petani. Sejalan dengan pendapat Apriadi dan Saputra (2017) bahwa aplikasi e-Commerce berbasis
marketplace membantu petani memasarkan produk secara langsung kepada konsumen sehingga
berimbas pada pendapatan petani. Petani juga dimudahkan dengan adanya pengawasan transaksi
oleh pengelolah marketplace dengan melakukan verifikasi data pembelian dan penjualan, hal ini
menjamin keamanan bagi masyarakat pengguna dalam bertransaksi.
Aplikasi pertanian didalamnya perusahaan startup mampu berperan sebagai alat perubahan sosial
dalam perkembangan masyarakat, didalamnya para petani. Aplikasi pertanian kedepan memiliki
potensi besar dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan mempengaruhi perilaku petani
dalam berusaha tani (Prayoga, 2015). Sejalan dengan Anwas (2009) bahwa dengan adanya aplikasi-
aplikasi pertanian dan bisnis strartup dapat membuat partisipasi masyarakat akan berubah menjadi
aktif terhadap kegiatan pembangunan pertanian dikarenakan aplikasi pertanian dapat diakses
dimanapun dan kapanpun.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya aplikasi-aplikasi stratup dalam bidang pertanian dapat
membantu petani dalam hal memberikan kemudahan dalam melakukan usaha pertanian. Perlu
dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai aplikasi-aplikasi yang tepat dan sudah mencakup semua
kebutuhan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi dan Hermawan. 2013. E-Business & E-Commerce. Andi Offset: Yogyakarta.
Anwas, Oos M. 2009. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian.
Disertasi: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Pascasarjana IPB Bogor.
Apriadi, D dan Saputra, A. Y. 2017. E-Commerce Berbasis Marketplace dalam Upaya Mempersingkat
Distribusi Penjualan Hasil Pertanian. Journal Resti Rekayasa Sistem dan Teknologi Informasi.
Vol. 1 No. 2. 131 – 136.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2017). Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna
Internet Indonesia Survey 2017.
Meydora, E. Y. 2019. Proses Difusi Inovasi e-agribusiness: Regopantes pada end-user Komoditas
Pertanian di Jabodetabek. Journal Komunikasi dan Media Vol. 3 No. 2.
Mulyandari RSH. 2011. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi Dalam Pemberdayaan Petani
Sayuran. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pratama, A. 2017. Pertumbuhan Pengguna Internet di Indonesia Tahun 2016. Pubilcation
id.techniasia.com
Prayoga, K. 2015. Aplikasi Digital Pertanian: Geliat Pemberdayaan Petani di Era Virtual. Journal
Seminar Nasional Fakultas Pertanian UNIGAL.
Safirah, E. 2018. Studi Ekspolratif terhadap Potensi Bubble Startup Digital di Indonesia. [Skripsi].
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sitanggang, O. P. 2018. Dampak Serta Pengaruh Teknologi Desain Industri 4.0 di Dunia. Journal Uas
88675543. Fakultas Komputer.
Soekartawi 2007. e-Business : Teori dan Aplikasinya. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi
(p.19-25). Yogyakarta, Indonesia.
Sonief, A.A, Nuraini Y, dan Setyabudi S.A. 2019. Digitalisasi Industri Kecil Dan Produk Pertanian
Daerah Upaya Untuk Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Karangbendo Kecamatan Rogojampi
Kabupaten Banyuwangi. Journal of Innovation and Applied Technology. Vol. 05. No. 01.
Suharman dan Murti H. W. 2019. Kajian Industri 4.0 untuk penerapannya di Indonesia. Journal
Manajemen Industri dan Logistik. Vol. 03. No. 01 (01-13).
Sulthoni, A dan Unang A. 2015. Sistem Informasi e-commerce Pemasaran Hasil Pertanian Desa
Kluwan Berbasis Web. Journal Ilmiah Ekonomi dan Bisnis. Vol. 8. No 1.
Sumardjo, Baga LM dan Retno Sri Hartati Mulyandari. 2010. Cyber Extension Peluang dan Tantangan
dalam Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Bogor (ID): IPB Press.
Susanto, E. H dan Hadiq. 2019. Pengembangan Startup Pertanian Guna Meningkatkan Produktivitas
Panen Padi di Banyuwangi Memanfaatkan Metode Design Sprint. Journal Seminar Nasional
Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat 2019. STMIK Pontianak.
Syauqi, A. T. 2016. Startup sebagai Digitalisasi Ekonomi dan Dampaknya bagi Ekonomi
Kreatif di Indonesia. Journal Department of Electrical Engineering and Information
Technology Universitas Gadjah Mada.
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 603
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
Tayibnapis, A. Z, Lucia E, Wuryaningsih, Gora R. 2018. The Development of Digital Economy in
Indonesia. Vol. 8. No 3.
Tjandrawinata, R.R. 2016. Industri 4.0: revolusi indsutri abad ini dan pengaruhnya pada bidang
kesehatan dan bioteknologi. Research Gate. Dexa Medica Group.
Widiastuti, R.N. 2018. Generasi Milenial Sebagai Audiens Kehumasan Pemerintah. Dipresentasikan
pada Konferensi Nasional Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Bidang Komunikasi (KNP2K),
September 5-6, 2018. Jakarta
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 605
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
No Nama Uni Kerja/Instansi
36 Bunaiyah Honorita BPTP Sumatera Selatan
37 Bustamin Pakaja BPP Bulango utara
38 C. Tafakresnanto BPTP Jawa Timur
39 Cilvaleriannyo BPTP Gorontalo
40 Conny N Manoppo BPTP Sulawesi Utara
41 Cut H. Rahmi BPTP Aceh
42 Dedy Hertanto BPTP Gorontalo
43 Deliyana Olii BPP Suwawa
44 Della Usman Distan prov Gorontalo
45 Deni Arsandi UPT Balai Pengawasan dan Sertifikasi Perbenihan
Tanaman Jambi
46 Derek Polakitan BPTP Sulawesi Utara
47 Desi Hernita BPTP Jambi
48 Dewa Oka Suparwata Universitas Muhammadiyah Gorontalo
49 Dewi Djafar BPP kota Gorontalo
50 Dewi Haryani BPTP Banten
51 Dewi M. Larila BPP Tilongkabila
52 Dian Lestari Universitas Muhammadiyah Kotabumi
53 Eka Fitria BPTP Aceh
54 Elpi S, Nai BPTP Gorontalo
55 Elviwirda BPTP Aceh
56 Erol Sindian BPP Gorontalo Utara
57 Erwin Najamudin BPTP Gorontalo
58 Eva Salvia BPTP Jambi
59 Evie Adriani Universitas Ichsan Gorontalo
60 Fadlan Lupojo BPP Limboto
61 Fajrin Utina BPTP Gorontalo
62 Farida Biya BPP Suwawa Tengah
63 Farman Basir BPP Kabila
64 Fatan Kamba Universitas Ichsan Gorontalo
65 Fatmah Sari Indah Hiola BPTP Gorontalo
66 Feni Arissa BPTP Gorontalo
67 Fenty Ferayanti BPTP Aceh
68 Fitriyani Deti BPTP Gorontalo
69 Fitriyanto Djafar BPTP Gorontalo
70 Foni Alie KJF Limboto
71 Gabriel H. Joseph BPTP Sulawesi Utara
72 Gafar Daud BPTP Gorontalo
73 Happy Prasilia BPTP Gorontalo
74 Hariato BPP Kota Gorontalo
75 Haris Nur Abdul BPP Paguyaman
76 Hartin Kasim BPTP Sulawesi Utara
77 Hasrianti Silondae BPTP Sulawesi Utara
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 607
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
No Nama Uni Kerja/Instansi
120 Marwayanti Nas BPTP Sulawesi Barat
121 Mas Teddy Sutriadi Balai Penelitian Lingkungan Pertanian
122 Matheus Sariubang BPTP Sulawesi Selatan
123 Medo Kote BPTP NTT
124 Meivie Lintang BPTP Sulawesi Utara
125 Milawati Lalla Universitas Ichsan Gorontalo
126 Mirawanty Amin BPTP Sulawesi Utara
127 Moh A. Kamba KJF Prov Gorontalo
128 Moh Harun BPP Bone
129 Moh Holid KFJ Kwandang
130 Moh. Muchlis Djibran Universitas Muhammadiyah Gorontalo
131 Muainah Hasibuan BPTP Sumatera Utara
132 Muh. Fitrah Irawan BPTP Gorontalo
133 Muh. Iqbal Jafar Universitas Ichsan Gorontalo
134 Muh. Yusuf Antu BPTP Gorontalo
135 Muhammad Abid BPTP Sulawesi Tengah
136 Muhtar BPTP Sulawesi Barat
137 Mulyadi Sumaga KJF Bulango Timur
138 Nanang buri BPTP Gorontalo
139 Neni Wahyuni BPTP Gorontalo
140 Ni Ketut Ari Tantri Yanti BPTP Bali
141 Nihon Kadim yusuf BPP Limboto
142 Nina Dwi Lestari Universitas Brawijaya Malang
143 Nini Kusrini BPTP Sulawesi Barat
144 Nitam Kasim BPTP Gorontalo
145 Non Botutihe BPTP Gorontalo
146 Nova Maya Muhammad BPTP Gorontalo
147 Novi Yanti BPP Paguyaman
148 Novia Qomariyah BPTP Sulawesi Selatan
149 Nur Alam BPP Bulotalangi
150 Nur Alamri BPP Bulotalangi
151 Nur Pratiwi Rasyid Universitas Ichsan Gorontalo
152 Nur Presyana Universitas Ichsan Gorontalo
153 Nur Rahman BPTP Gorontalo
154 Nurhayati Daud Distan Bone Bolango
155 Nurhayun Kobi BPTP Gorontalo
156 Nursyamsih Taufik BPTP Sulawesi Barat
157 Nurul Agustini BPTP NTB
158 Nurul Aisyah BPTP Gorontalo
159 Olvie GrietjieTandi BPTP Sulawesi Utara
160 Oswald Marbun BPTP Jawa Barat
161 P. Th. Fernandez BPTP NTT
Prosiding Temu Aplikasi Teknologi & Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan:
| 609
Akselerasi Inovasi Pertanian Era Industri 4.0 Mendukung Sapira
No Nama Uni Kerja/Instansi
204 Sugeng Prijono Universitas Brawijaya Malang
205 Sulastri Puyo BPTP Gorontalo
206 Supardi BPP Marisa
207 Supardo Nasir BPP Limboto
208 Surtugi BPP Wonosari
209 Surya BPTP Gorontalo
210 Sutrisno Hadi Purnomo UniversitasNegeri Gorontalo
211 Syafiq Kurniawan Kuku BPTP Gorontalo
212 Syahri BPTP Sumatera Selatan
213 Sylvia Kusumaputri Utami BPTP NTB
214 Syukri Kaharu KJF Prov Gorontalo
215 Taufik Jarot Andrayanto Universitas Muhammadiyah Gorontalo
216 Teddy Wahyana Saleh BPTP Gorontalo
217 Titiek Purbiaty BPTP Jawa Timur
218 Tiyansi Tolinggi Universitas Negeri Gorontalo
219 Tri Wulan Widya Balai Karantina Pertanian Gorontalo
220 Trisnawati Supu KJF Prov Gorontalo
221 Trisnawaty AR Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang
222 Wahid Abdul Distan prov Gorontalo
223 Wawan Pembengo Universitas Negeri Gorontalo
224 Windi S. Mooduto BPP Anggrek
225 Yakop Laginda BPP Anggrek
226 Yanti Triguna BPTP NTB
227 YesikaResonya Silitonga BPTP Sulawesi Barat
228 Yohanes Geli Bulu BPTP NTB
229 Yola Talimb BPP Kota Barat
230 Yuliana Susanti BPTP NTB
231 Yulianti BPTP Gorontalo
232 Yusuf BPTP Sulawesi Utara
233 Yusuf Datau BPP Kabila Bone
234 Yuyun M.Yanjode Universitas Ichsan Gorontalo
235 Zainal Abidin Universitas Ichsan Gorontalo
236 Zainuddin Antuli Universitas Negeri Gorontalo
237 Zulham Sirajuddin Universitas Ichsan Gorontalo
238 Zulkifli Mantau BPTP Gorontalo
239 Zulkifli Rauf BPP Bone Pantai
240 Zulzain Ilahude Universitas Negeri Gorontalo