Personal Branding Dan Kampanye Politik
Personal Branding Dan Kampanye Politik
Personal Branding Dan Kampanye Politik
Setiap kandidat dalam kampanye politiknya selalu berusaha untuk menarik dukungan
sebesar-besarnya dari masyarakat. Dimulai dengan menyebarkan spanduk, poster, iklan di
surat kabar dan majalah hingga konvoi massal, kegiatan lain yang tidak terlepas biasanya
berupa pidato di lapangan, lengkap dengan hiburan artis dan membagi-bagikan sembako
untuk masyarakat.
Berbagai cara tersebut dilakukan oleh kandidat untuk memenangkan kompetisi
pemilihan umum mulai dari pilkada hingga pilpres. Dalam memenangkan pemilihan umum
ini, pada umumnya kandidat membutuhkan strategi pemasaran politik dan personal
branding yang tepat dan terintegrasi. Pemasaran politik merupakan strategi yang mirip
aktivitas pemasaran umum yang dipakai dalam bisnis, tetapi ditambah perhitungan faktor
politis seperti lobi dan dukungan pihak lain. Sedangkan, personal branding merupakan
strategi yang digunakan untuk membentuk citra kandidat supaya dapat diterima oleh target
pemilihnya.
Pemasaran di dalam politik dapat didefinisikan sebagai penerapan dari prinsip-
prinsip marketing dan prosedur kampanye politik oleh berbagai individu dan organisasi
(Newman,1999:xiv). Di dalam definisi menurut Newman tersebut, juga mencakup sebuah
kesatuan proses, mulai dari analisa, pengembangan, eksekusi, dan pengelolaan kampanye
strategis yang kesemuanya bertujuan untuk menggiring opini publik, memperjuangkan
ideologi, memenangkan pemilihan, serta memperjuangkan legislasi untuk berbagai macam
isu.
Prinsip-prinsip yang berlaku di dalam pasar komersial juga berlaku di dalam pasar
politik. Kesamaan paradigma tentang pasar inilah yang menjadi jembatan bagi prinsip-
prinsip pemasaran untuk berlaku juga di dalam ranah politik. Akan tetapi, prinsip-prinsip
pemasaran di dalam ranah komersial/bisnis dengan prinsip pemasaran yang berlaku di
dalam ranah politik tentu berbeda. Menurut Newman, secara filosofis, pemasaran di ranah
bisnis adalah bagaimana tentang menghasilkan profit/keuntungan, sedangkan di dalam
ranah politik, pemasaran adalah bagaimana menghasilkan sebuah operasi yang sukses di
dalam sistem demokrasi. Yang kedua, di dalam bisnis, hasil riset pemasaran akan
menentukan implementasinya, sedangkan di dalam politik, filosofi milik kandidatlah yang
lebih menentukan implementasinya.
Pemasaran sering digambarkan sebagai sebuah proses pertukaran antara pembeli
dan penjual, yaitu pembeli menukar uang dengan barang atau jasa dari penjual. Ketika
diaplikasikan ke dalam ranah politik, pemasaran politik dapat digambarkan sebagai proses
pertukaran antara kandidat yang menawarkan kepemimpinan secara politis dan visi untuk
negara/ wilayah yang akan dipimpin denganuntuk ditukarkan dengan suara dari para
pemilih. Karena kesamaan orientasi pasar itulah maka sebuah proses riset pemasaran dan
jajak pendapat dibutuhkan untuk membentuk kebijakan politisi tersebut, yang nantinya akan
menjadi produk yang akan dikonsumsi oleh publik (Kotler & Kotler, 1999:19).
Proses pemasaran politik kemudian melahirkan sebuah kebutuhan akan kehadiran
konsultan politik untuk membantu kandidat menyusun materi kampanye dan melakukan
riset politik secara benar. Jasa yang ditawarkan oleh konsultan termasuk penghimpunan
dana, pengiklanan TV dan radio, analisa isu, iklan cetak, dan semua hal yang dapat menarik
penyumbang dana serta berpengaruh terhadap pilihan pemilih. Untuk menyusun sebuah
kampanye yang sukses dan efektif, Newman (2004:20) memaparkan beberapa prinsip, yaitu:
1. Pemahaman tentang kebutuhan pemilih
2. Membuat sebuah hubungan yang bersifat emosional dengan pemilih sasaran
3. Pencitraan yang berhasil
4. Penggunaan citra tunggal untuk menyusun hubungan antara isu-isu yang dibawa
oleh kandidat dan kebpribadiannya
5. Membahas tentang keprihatinan pemilih, dan bukan keprihatinan kandidat
6. Isu tentang perubahan adalah komoditi
7. Pemasaran pribadi melalui media
8. Dukungan dari elit partai