Rangkuman Bab 3 Ontologi Hakikat Apa Yang Dikaji

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Nama : Triyanda Nurrahmah

NIM : 04031182025009
Dosen Pengampu : Indah Febriani, S.H., M.H.
Mata Kuliah : Filsafat

Judul buku : Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer


Penulis : Jujun S. Suriasumantri
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
Tahun Terbit : 2005

RESUME BAB IV EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN


PENGETAHUAN YANG BENAR
Dari Buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer karangan Jujun S. Suriasumantri

Kau tahu sendiri bagaimana metodeku, Watson.


(Arthur Conan Doyle dalam The Crooked Man)

11. Jarum Sejarah Pengetahuan


Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusi kita menganggap
semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.
Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang
lain, serta wujud yang satu dengan wujud yang lain. Semua menyatu dalam
kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat
pembedaan antara berbagai pengetahuan, apakah itu cara memburu gajah,
cara mengobati sakit gigi, biografi para dewa di kayangan atau kapan mulai
bercocok tanam. Semuanya satu apapun objeknya, metodenya atau
kegunaannya. Metode yang digunakan dulu adalah metode “ngelmu”.
Pada pertengahan abad ke-17 berkembangnya Abad Penalaran (The
Age of Reason) menyebabkan perubahan fundamental. Pada abad ini terdapat
pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan
timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur
kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang
diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu
dipergunakan.
Salah satu cabang pengetahuan yang berkembang adalah ilmu, yang
dimana berbeda dari yang lain dari segi metode. Metode ilmu merupakan
paradigma abad pertengahan. Ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya
serta untuk apa ilmu dipergunakan. Secara metafisik, Ilmu berbeda dengan
moral. Ilmu dibedakan menjadi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
berdasarkan obyeknya dan berkembang menjadi 650 disiplin keilmuan.
Menciutnya tiap disiplin keilmuan ingin dikaburkan batas-batasnya
melalui pendekatan inter-disipliner yaitu dengan sarana berpikir ilmiah
seperti logika, matematika, statistika dan bahasa seperti Semboyan Tiga
Muskelir dari Alexandre Dumas: “Tous pour un, un pour tous!” (Bahkan
kapling moral mulai digabungkan kembali dengan kapling ilmu secara
metafisik, tapi pendekatan ini menimbulkan anarki keilmuan. Akhirnya
setelah perang dunia II muncul paradigma “Konsep Sistem” sebagai alat
untuk mengadakan pengkajian bersama antar disiplin keilmuan.

12. Pengetahuan
Pada hakikatnya, pengetahuan merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu.
Pengetahuan yaitu khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak
langsung turut memperkaya kehidupan kita sebagai sumber jawaban berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Sedangkan ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
Secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang
berada dalam lingkup pengalaman manusia. Maka dari itu, Ilmu tidak
menjawab pertanyaan seputar agama ataupun komputer, karena ilmu tidak
diprogramkan untuk hal itu, sebab dalam tubuh pengetahuan, ilmu memang
tidak menyusun cakupan permasalahan tersebut.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai
apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan. Adapun
cara menyusun pengetahuan yang benar adalah menggunakan metode ilmiah
(landasan epistemologi). Sehingga, jika kita berbicara epistiomologi ilmu,
maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Maka dari
itu, kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi dengan cara harus
menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Ilmu mencoba
mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang umum dan
impersonal.
Tahap berikutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba
menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap
kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemenyan. Dengan
mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai
kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan
bercocok tanam.
Pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat
(common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error)
kemudian berkembang. Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya
pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) yang mempunyai
kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping “seni
halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Contohnya
adalah peradaban Mesir Kuno, Cina, India serta Indonesia yang menjadi
bukti adanya seni terapan di peradabannya.
Seni yang terpakai ini memiliki dua ciri yaitu 1) deskriptif dan
fenomenologis, yaitu mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan
kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan
untuk pengembangan postulat yang bersifat teoretisatomistis, dan 2) ruang
lingkup terbatas.
Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini sifatnya
kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih
banyak lagi pengetahuan-pengetahuan sejenis tanpa ada konsep yang jelas
mengenai kegiatannya. Sedangkan pada peradaban lain pengembangannya
bersifat kualitatif, artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat
mendasar dan teoris yang memusatkan perhatiannya pada penemuan konsep
yang akan mengarahkan kegiatan selanjutnya.
Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha
manusia dalam menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Menurut Randall dan Buchler, akal sehat adalah pengetahuan yang diperoleh
lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.
Menurut Titus karakteristik akal sehat yaitu: (1) Cenderung bersifat
kebiasaan dan pengulangan karena landasannya yang berakar pada adat dan
tradisi, (2) Akal sehat cenderung bersifat kabur dan samar-samar karena
landasannya yang berakar kurang kuat, dan (3) Akal sehat lebih merupakan
pengetahuan yang tidak teruji karena kesimpulan yang ditariknya sering
berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara
kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Tahap ini
sangat penting dalam sejarah berpikir manusia menurut Ropper, yang
menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya
memperkenankan hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin
yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba
menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis. Keunggulan dari
rasionalisme ini pemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan
yang benar bila ditinjau dari alur-alur logikanya. Kelemahan dari
rasionalisme kesimpulan yang benar itu bertentangan dengan kenyataan yang
sebenarnya hingga akhirnya berkembanglah empirisme yang menyatakan
bahwa pengetahuan yang benar didapat dari pengalaman yaitu metafisika
yang menjauhi spekulasi teoretis dan metafisis menurut filsuf-filsuf inggris.
Diartikan oleh David Hume bahwa metafisika adalah khayal dan dibuat-buat.
Pada dasarnya ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang
bersifat rasional dan metafisis. Menurut Bertrand Russell ada 2 peran ilmu
yaitu (1) sebagai metafisika, dan (2) sebagai akal sehat yang terdidik
(educated common sense). Dari sini berkembang pemikiran eksperimen yang
dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan islam.
Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli kimia dan diperkenalkan di dunia Barat
oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan dimantapkan sebagai paradigma
ilmiah berkat usaha Francis Bacon (1561-1626). Pengembangan metode ini
memiliki pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dapat diuji
berbagai penjelasan teoretis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah
tidak.
Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang dirintis oleh
Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan
Newton (1642-1727) menyatakan bahwa ilmu mendapatkan momentumnya
pada abad ketujuh belas dan seterusnya tinggal landas. Whitehead
menyebutkan periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi
perkembangan ilmu di mana Helmhotz, Pasteur, Darwin, dan Clerk-Maxwell
berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.
Pengetahuan ilmiah tidak sukar diterima sebab akal sehat meskipun ilmu
bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik.
Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya karena dapat diandalkan
meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan.
Maka dari itu, kita memerlukan pengetahuan lain untuk memenuhi
kehidupan kita.

13. Metode Ilmiah


Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Ilmu memiliki syarat-syarat untuk mendapatkannya yang
memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode ilmiah.
Metodologi secara filsafati termasuk epistemologi yang merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan.
Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran dengan
harapan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan
ilmiah yaitu bersifat rasional dan teruji.
Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif
dalam membangun tubuh pengetahuannya. Berpikir deduktif memberikan
sifat yang rasional kepada pengetahuan Ilmiah bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Meskipun argumentasi
secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang teruji
kebenarannya namun dimungkinkan pilihan berbeda dari sejumlah premis
ilmiah yang tersedia dalam menyusun argumentasi.
Berpikir Induktif adalah berpikir yang berdasarkan kriteria kebenaran
korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan
dapat dianggap benar jika materi yang terkandung bersesuaian dengan obyek
faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Menurut Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai dari mengamati
sesuatu lalu dari mengamati timbul proses berpikir terhadap objek yang
bersangkutan. Maka dari itu manusia, memberi reaksi berbeda pada tiap
manusia untuk memecahkan masalah itu.
Berdasarkan sikap manusia dalam menghadapi masalah, Van Peursen
membagi tiga tahap perkembangan kebudayaan yaitu (1) Tahap Mistis, yaitu
sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan
gaib di sekitarnya, (2) Tahap Ontologis, yaitu sikap manusia yang tidak lagi
merasakan dirinya terkepung oleh kegiatan gaib dan bersikap mengambil
jarak dari obyek di sekitarnya serta mulai melakukan penelaahan-penelaahan
terhadap obyek tersebut, dan (3) Tahap Fungsional, yaitu sikap manusia yang
bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan
mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek di
sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia memfungsionalkan
pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya. Tahap fungsional dibedakan
dengan tahap ontologis, sebab belum tentu bahwa pengetahuan yang
didapatkan pada tahap ontologis memiliki manfaat langsung terhadap hidup
manusia. Bisa saja manusia menguasai pengetahuan demi pengetahuan dan
tidak mempunyai kegunaan fungsional dalam kehidupannya. Secara
ontologis ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang
terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Bedanya
dengan agama, kalau agama mempermasalahkan obyek-obyek yang berada
di luar pengalaman manusia, mengapa manusia diciptakan, kehidupan
sesudah mati, dan seperti apa yang terjadi setelah terjadi kebangkitan
kembali.
Ilmu mencari jawaban melalui dunia nyata pula. Ilmu dimulai dan
diakhiri dengan fakta. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Teori
Ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek
yang dijelaskannya.
Secara sederhana teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni
(1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan (2)
harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun
konsistensinya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah. Sebelum teruji kebenarannya secara
empiris, semua penjelasan rasional yang diajukan bersifat jawaban sementara
(hipotesis).
Hipotesis berfungsi sebagai penunjuk jalan untuk mendapatkan jawaban
yang bersifat sementara dan membantu kita dalam melakukan penyelidikan.
Hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari
pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam kegiatan
ilmiah, tiap ilmuwan menyumbangkan bagian kecil dari sistem keilmuan
secara keseluruhan, namun karena sifatnya kumulatif menyebabkan ilmu
berkembang dengan pesat. Dengan adanya hipotesis, metode ilmiah dikenal
sebagai logico-hypotheticoverifikasi atau menurut Tyndall sebagai
“Perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi”.
Setelah mengajukan hipotesis, langkah selanjutnya adalah menguji
hipotesis dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata.
Pembuktian ini sebenarnya memberi vonis terhadap teori ilmiah apakah
pernyataan-pernyataan dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau tidak
secara ilmiah. Setelah pembuktian, diverifikasi secara empiris didukung fakta
atau tidak. Kalau terbukti barulah hipotesis tersebut dapat diterima.
Berikut adalah langkah-langkah kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico-hypoteheticoi-verifikasi:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya;
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara
rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang
relevan dengan permasalahan;
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau
dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan;
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau
tidak;
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak. Jika banyak fakta yang
mendukung, hipotesis diterima dan sebaliknya. Hipotesis yang
diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah
sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Kebenaran di sini harus
ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini terdapat
fakta yang menyatakan sebaliknya.

Hubungan langkah yang satu dengan langkah yang lainnya terikat


dinamis yang tidak hanya mengandalkan penalaran melainkan juga
imajinasi dan kreativitas. Landasan satu menjadi landasan koreksi bagi
yang lain. Langkah-langkah ini harus dijadikan patokan utama dalam
penelitian sesungguhnya.

PERUMUSAN MASALAH

KHASANAH PENYUSUNAN
DEDUKSI
PENGETAHUAN KERANGKA
KOHERENSI BERPIKIR
ILMIAH

PERUMUSAN
HIPOTESIS

Korespondensi
Induksi

PENGUJIAN
DITERIMA DITOLAK
HIPOTESIS

Gambar 1 Metode Ilmiah

Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang


disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam
hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat
absolut. Pada hakikatnya suatu hipotesis dapat diterima kebenarannya selama
tidak terdapat fakta yang menolak hipotesis tersebut.
Pada dasarnya metode ilmiah sama bagi semua disiplin keilmuan baik
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Perbedaannya sekadar terletak
pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir dan aspek
metodologisnya. Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan
yang tidak termasuk ke dalam kelompok ilmu. Meskipun demikian, beberapa
aspek pengetahuan dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya
umpamanya saja aspek pengajaran bahasa, sastra dan matematika.
Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam
memproses pengetahuannya. Metodologi penelitian ilmiah dan hakikatnya
merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Dengan metode ilmiah
sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan
lainnya dapat dikatakan berkembang sangat cepat. Salah satu faktor yang
mendorong perkembangannya adalah faktor sosial dan komunikasi ilmiah di
mana penemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota
masyarakat ilmuwan lainnya.
Ilmu bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada
penemuan-penemuan sebelumnya. Teori ilmiah masih merupakan penjelasan
yang bersifat sebagian sesuai dengan tahap perkembangan keilmuan yang
masih sedang berjalan. Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang
mungkin dapat dicapai namun tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu
sampai. Dalam perspektif inilah maka penelitian terhadap ilmu tidaklah
ditentukan oleh kesahihan teorinya sepanjang zaman melainkan terletak
dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap permasalahan manusia
dalam peradaban tertentu.

14. Struktur Pengetahuan Ilmiah


Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dengan demikian dapat
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pengetahuan ilmiah pada hakikatnya
memiliki tiga fungsi yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni (1)
deduktif, yakni menggunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan
suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis
yang telah ditetapkan sebelumnya, (2) probabilistik, yakni penjelasan yang
ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak
memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang
bersifat peluang seperti “kemungkinan”’ “kemungkinan besar”, atau “hampir
dapat dipastikan”, (3) fungsional, yaitu penjelasan yang meletakkan sebuah
unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai
karakteristik atau perkembangan tertentu, dan (4) genetik, yaitu
mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan
gejala yang muncul kemudian.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebuah teori
biasanya terdiri dari hukum-hukum. Secara mudah, dapat dikatakan bahwa
teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang
“mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangkan hukum memberikan
kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin
terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus
mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya harus
bersifat universal. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka
makin “teoretis” konsep tersebut. Artinya, makin teoretis sebuah konsep
maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan
gejala fisik yang tampak nyata. Pengertian yang membedakan antara
pernyataan yang bersifat dasar dan terapan ini harus dimiliki dengan baik,
sebab kalau tidak maka kita mungkin melakukan pilihan yang baik untuk
jangka pendek, tetapi kurang baik untuk jangka panjang.
Di samping hukum, teori keilmuan juga mengenal kategori pernyataan
yang dikenal prinsip. Prinsip diartikan sebagai pernyataan yang berlaku
secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu
menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat
sebuah gejala.
Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan postulat dalam
menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya
kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah harus disahkan
melalui proses metode keilmuan. Walaupun demikian, mesti terdapat alasan
yang kuat dalam menetapkan sebuah postulat. Bila postulat dalam
pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini
berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi
ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara
empiris dapat teruji. Dengan demikian juga dengan bermacam-macam teori
lainnya kita harus memilih teori yang terbaik dari sejumlah teori-teori yang
ada berdasarkan kecocokan asumsi yang dipergunakannya.
Penelitian yang berujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang
sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau
penelitian dasar. Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan
pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah
kehidupan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan. Diperlukan
waktu yang cukup lama untuk dapat menerapkan penemuan-penemuan
ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna.
Terdapat selang waktu yang makin lama makin pendek antara penemuan
suatu teori ilmiah dengan penerapannya kepada masalah-masalah yang
bersifat praktis. Penerapan ilmu kepada teknologi memang tidak selalu
merupakan rahmat bagi manusia sebab di samping dapat dipergunakan untuk
tujuan desktruktif juga menimbulkan implikasi moral, sosial dan kultural.
Manusia disebut juga Homo Faber (makhluk yang membuat peralatan)
di samping Homo Sapiens (makhluk yang berpikir) yang mencerminkan
kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoretis dengan teknologi yang
bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti seni yang
bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh
manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya.
Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun pernah bersifat
estetis, namun dengan perkembangan ke arah kedewasaannya serta
kemampuan bidang penerapannya, maka ilmu harus dibedakan dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segi kemampuannya untuk
memecahkan masalah.
Mochtar Lubis berpendapat bahwa persamaan dan perbedaan ilmu
dengan seni patut diketahui dengan seksama dalam rangka meningkatkan
sikap ilmiah bangsa Indonesia dan mengingat sikap kita yang masih
berorientasi kepada nilai estetis. Dalam buku Nitisastra, disebutkan bahwa
musuh dalam menuntut ilmu adalah “gila asmara”. Menurut Pasca, hati
memang mempunyai logika tersendiri, tidak selalu satu tambah satu jadi dua,
terutama bagi orang yang belum mengikuti Keluarga Berencana (KB).

Anda mungkin juga menyukai