Rangkuman Bab 3 Ontologi Hakikat Apa Yang Dikaji
Rangkuman Bab 3 Ontologi Hakikat Apa Yang Dikaji
Rangkuman Bab 3 Ontologi Hakikat Apa Yang Dikaji
NIM : 04031182025009
Dosen Pengampu : Indah Febriani, S.H., M.H.
Mata Kuliah : Filsafat
12. Pengetahuan
Pada hakikatnya, pengetahuan merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu.
Pengetahuan yaitu khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak
langsung turut memperkaya kehidupan kita sebagai sumber jawaban berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Sedangkan ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
Secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang
berada dalam lingkup pengalaman manusia. Maka dari itu, Ilmu tidak
menjawab pertanyaan seputar agama ataupun komputer, karena ilmu tidak
diprogramkan untuk hal itu, sebab dalam tubuh pengetahuan, ilmu memang
tidak menyusun cakupan permasalahan tersebut.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai
apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan. Adapun
cara menyusun pengetahuan yang benar adalah menggunakan metode ilmiah
(landasan epistemologi). Sehingga, jika kita berbicara epistiomologi ilmu,
maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Maka dari
itu, kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi dengan cara harus
menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Ilmu mencoba
mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang umum dan
impersonal.
Tahap berikutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba
menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap
kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemenyan. Dengan
mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai
kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan
bercocok tanam.
Pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat
(common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error)
kemudian berkembang. Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya
pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) yang mempunyai
kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping “seni
halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Contohnya
adalah peradaban Mesir Kuno, Cina, India serta Indonesia yang menjadi
bukti adanya seni terapan di peradabannya.
Seni yang terpakai ini memiliki dua ciri yaitu 1) deskriptif dan
fenomenologis, yaitu mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan
kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan
untuk pengembangan postulat yang bersifat teoretisatomistis, dan 2) ruang
lingkup terbatas.
Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini sifatnya
kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih
banyak lagi pengetahuan-pengetahuan sejenis tanpa ada konsep yang jelas
mengenai kegiatannya. Sedangkan pada peradaban lain pengembangannya
bersifat kualitatif, artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat
mendasar dan teoris yang memusatkan perhatiannya pada penemuan konsep
yang akan mengarahkan kegiatan selanjutnya.
Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha
manusia dalam menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Menurut Randall dan Buchler, akal sehat adalah pengetahuan yang diperoleh
lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.
Menurut Titus karakteristik akal sehat yaitu: (1) Cenderung bersifat
kebiasaan dan pengulangan karena landasannya yang berakar pada adat dan
tradisi, (2) Akal sehat cenderung bersifat kabur dan samar-samar karena
landasannya yang berakar kurang kuat, dan (3) Akal sehat lebih merupakan
pengetahuan yang tidak teruji karena kesimpulan yang ditariknya sering
berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara
kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Tahap ini
sangat penting dalam sejarah berpikir manusia menurut Ropper, yang
menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya
memperkenankan hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin
yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba
menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis. Keunggulan dari
rasionalisme ini pemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan
yang benar bila ditinjau dari alur-alur logikanya. Kelemahan dari
rasionalisme kesimpulan yang benar itu bertentangan dengan kenyataan yang
sebenarnya hingga akhirnya berkembanglah empirisme yang menyatakan
bahwa pengetahuan yang benar didapat dari pengalaman yaitu metafisika
yang menjauhi spekulasi teoretis dan metafisis menurut filsuf-filsuf inggris.
Diartikan oleh David Hume bahwa metafisika adalah khayal dan dibuat-buat.
Pada dasarnya ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang
bersifat rasional dan metafisis. Menurut Bertrand Russell ada 2 peran ilmu
yaitu (1) sebagai metafisika, dan (2) sebagai akal sehat yang terdidik
(educated common sense). Dari sini berkembang pemikiran eksperimen yang
dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan islam.
Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli kimia dan diperkenalkan di dunia Barat
oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan dimantapkan sebagai paradigma
ilmiah berkat usaha Francis Bacon (1561-1626). Pengembangan metode ini
memiliki pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dapat diuji
berbagai penjelasan teoretis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah
tidak.
Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang dirintis oleh
Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan
Newton (1642-1727) menyatakan bahwa ilmu mendapatkan momentumnya
pada abad ketujuh belas dan seterusnya tinggal landas. Whitehead
menyebutkan periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi
perkembangan ilmu di mana Helmhotz, Pasteur, Darwin, dan Clerk-Maxwell
berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.
Pengetahuan ilmiah tidak sukar diterima sebab akal sehat meskipun ilmu
bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik.
Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya karena dapat diandalkan
meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan.
Maka dari itu, kita memerlukan pengetahuan lain untuk memenuhi
kehidupan kita.
PERUMUSAN MASALAH
KHASANAH PENYUSUNAN
DEDUKSI
PENGETAHUAN KERANGKA
KOHERENSI BERPIKIR
ILMIAH
PERUMUSAN
HIPOTESIS
Korespondensi
Induksi
PENGUJIAN
DITERIMA DITOLAK
HIPOTESIS