Tugas 1 Hukum Lingkungan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 41

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lain. Pada lingkungan hidup terdapat udara, tanah dan air.
Lingkungan hidup perlu dikelola dengan baik agar keberadaanya tetap eksis di
dunia. Pengelolaan Lingkungan hidup merupakan upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sadar dan
terencana yang memadu lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk menjamin sumber daya, kesejahteraan dan mutu hidup maka
selain pengelolaan lingkungan hidup perlu dilakukan pelestarian lingkungan
hidup. Pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian upaya- upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Pelestarian lingkungan hidup juga merupakan rangkaian upaya untuk
melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap terhadap tekanan
perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar
tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
Selain pelestarian lingkungan hidup tidak luput akan adanya
pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan secara sengaja maupun tidak
disengaja. Pencemaran merupakan masuknya atau dimasukannya mahluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya. Pencemaran lingkungan hidup ini menyebabkan terjadinya
perusakan lingkungan hidup yang merupakan tindakan yang menimbulkan
2

perubahan langsung dan atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi
untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Agar perusakan lingkungan hidup tidak berkelanjutan secraa terus-
menrus maka harus ada kriteria baku kerusakan lingkungan hidup merupakan
ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati yang dapat diterima. oleh
karena itu, agar tidak terjadi perusakan hokum yang berkelanjutan pemerintah
menyusun kebijakan mengenai lingkungan hidup.
Pada tahun 1982, Indonesia menyusun Undang-Undang tersendiri
mengenai kebijakan lingkungan hidup. Undang-Undang yang mengatur hal ini
ialah Undang-Undang No.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (LN 1982 Nomor 12, TLN 3215).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi hukum lingkungan ?
2. Bagaimana latar belakang perkembangan hukum lingkungan di Indonesia?
3. Apa saja aspek-aspek hukum lingkungan?
4. Apa saja prinsip-prinsip hukum lingkungan?
5. Apa instrument hukum lingkungan nasional?
6. Bagaimana penegakan hukum lingkungan?
7. Apa saja peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan lingkungan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan definisi hukum lingkungan
2. Untuk mendeskripsikan latar belakang perkembangan hukum lingkungan
di Indonesia
3. Untuk mendeskripsikan aspek-aspek hukum lingkungan
4. Untuk mendeskripsikan prinsip-prinsip hukum lingkungan
5. Untuk mendeskripsikan instrumen hukum lingkungan nasional
6. Untuk mendeskripsikan penegakan hukum lingkungan
7. Untuk mendeskripsikan peraturan perundangan lainnya terkait lingkungan
3

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mengenai hukum lingkungan seperti definisi
hukum lingkungan, latar belakang perkembangan hukum lingkungan di
Indonesia, aspek-aspek hukum lingkungan, prinsip-prinsip hukum
lingkungan, instrumen hukum lingkungan nasional, penegakan hukum
lingkungan dan peraturan perundangan liannya terkait lingkungan yang ada di
Indonesia.
4

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hukum Lingkungan


Istilah Hukum Lingkungan didapat dari beberapa bahasa yakni
Millieurecht (Dutch), Environmental Law (Eng), Hukum Lingkungan (Ind),
Umweltrecht (Ger), Droit del ‘environment (Fra), Hukum Alam Seputar
(Mas), Batas nan Kapaligiran (Tagalog), Sin-ved-lom Kwahm (Thai), Qanun
Al-Biiah (Arabic). Adapun definisi Hukum Lingkungan menurut beberapa
ahli diantaranya:
1. P.Gatot Soemartono
Hukum lingkungan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur
tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan
terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat
dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.
2. Munadjat Danusaputro
Hukum lingkungan adalah hukum yang mendasari
penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolan serta
peningkatan ketahanan lingkungan.
3. Moenadjat
Hukum Lingkungan dibedakan dalam hukum lingkungan Klasik
dan Hukum Lingkungan Modern.
 Hukum lingkungan Klasik adalah hukum yang menetapkan
ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali
untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-
sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan
kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal
mungkin dan dalam jangka waktu yang sesingkat-
singkatnya. Adapun orientasi dari Hukum Lingkungan
Klasik yaitu menjamin adanya kepastian dalam penggunaan
dan eskploitasi sumber daya lingkungan atau dapat juga
dikatakan orientasinya adalah kapitalis, bergerak pada
5

bidang bidang (sektor) tertentu atau bersifat sektoral, serba


kaku, dan sukar berubah.
 Hukum Lingkungan Modern adalah menetapkan aturan dan
norma-norma guna mengatur perbuatan manusia, dengan
tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan
kemerosotan mutunya untuk menjamin kelestarian
fungsinya agar dapat secara langsung terus-menerus
digunakan oleh generasi sekarang maupun yang akan
datang.

2.2 Latar Belakang Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia


Peraturan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan lahir sebagai
akibat adanya dampak revolusi industri di Inggris pada abad ke-19. Pada saat
itu banyak pabrik didirikan sehingga menimbulkan asap dan mencemari
udara.
Secara internasional kegiatan kepedulian terhadap lingkungan mulai
bergema ketika PBB mengadakan konferensi tentang Lingkungan Hidup
Manusia di Stocholm pada tanggal 5-16 Juni 1972. Sebagai anggota PBB,
Indonesia berperan aktif pada konferensi tersebut dan sebagai persiapan
diselenggarakan Seminar Nasional Pengelolaan Hidup Manusia dan
Pembangunan Nasional di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972.
Pada tanggal 28 Oktober sampai 6 November 1981 diadakan Adhoc
Meeting of Senior Government Officials Expert in Environmental Law, di
Montevideo, Uruguay. Pada saat itu Indonesia telah mempersiapkan
Rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup (RUULH).
Pada tahun 1982, Indonesia menyusun Undang-Undang tersendiri
mengenai kebijakan lingkungan hidup. Undang-Undang yang mengatur hal
ini ialah Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (LN 1982 Nomor 12, TLN 3215). Sejak diundangkannya UU No. 4
Tahun 1982, berbagai produk peraturan perundang-undangan resmi telah
berhasil ditetapkan sebagai kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan
pegangan dalam setiap gerak dan langkah pembangunan yang di lakukan,
6

baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun badan-badan usaha. Seiring


dengan perkembangan, maka UU No. 4 Tahun 1982 direvisi dengan
Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun
1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No. 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3699). Pada dasarnya, UU No. 23 Tahun 1997 telah
menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan, dimana hal undang-undang ini merupakan penyempurnaan
terhadap undang-undang sebelumnya. Kemudian pemerintah memandang
perlu untuk mengeluarkan instrumen hukum yang baru guna menggantikan
UU No. 23 Tahun 1997 mengingat berbagai perubahan situasi dan kondisi
terkait permasalahan Lingkungan Hidup yang terjadi di Indonesia.
Karena itulah, perbedaan yang paling mendasar dari UU No. 23 Tahun
1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan pada UU
terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam
setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan
hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas dan keadilan.

2.3 Aspek-Aspek Hukum Lingkungan


1. Aspek-aspek Hukum Lingkungan Menurut Prof. Dr. Koesnadi
Hardjasoemantri, S.H.,M.L
a. Hukum Tata Lingkungan
b. Hukum Perlingdungan Lingkungan
c. Hukum Kesehatan Lingkungan
d. Hukum Pencemaran Lingkungan
e. Hukum Lingkungan Transional/Internasional
f. Hukum Sengketa Lingkungan
2. Aspek-aspek Hukum Lingkungan Menurut Siti Sundari Rangkuti
mengikuti pendapat A.V.van den Berg
a. Hukum Bencana (Rampenrecht)
7

b. Hukum Kesehatan Lingkungan (Millieuhygienerecht)


c. Hukum SDA/Konservasi (Recht betreffende natuurlijke
rijdommen)
d. Hukum Tata Ruang (Recht betreffende de verdeling van het
ruimtegebruik)
e. Hukum Perlindungan lingkungan (Millieubeshermingsrecht)

Adapun pengertian dari aspek-aspek lingkungan hidup yang telah


disebutkan di atas yaitu:
 Hukum Tata Lingkungan
Hukum Tata Lingkungan selanjutnya disingkat HTL,
mengatur penataan lingkungan guna mencapai keselarasan
hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, baik lingkungan
hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial budaya.
HTL = Hk. Administrasi lingkungan, merupakan hukum
tata penyelenggaraan tugas (hak dan kewajiban) kekuasaan negara
berikut alat kelengkapannya dalam mengatur pengelolaan
lingkungan hidup. HTL semula disebut Hukum Tata Guna
Lingkungan. (Koesnadi H, 1988)
HTL mengatur penataan lingkungan guna mencapai
keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan hidup (fisik,
sosial budaya). Bidang garapan HTL meliputi tata guna tanah dan
cara peran serta masyarakat, tata cara penumbuhan dan
pengembangan kesadaran masyarakat, perlindungan lingkungan,
ganti kerugian dan pemulihan lingkungan serta penataan
keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup.
Dengan penataan lingkungan yang dikaitkan dengan
hubungan antara manusia dan lingkungan sosial budaya, maka
jangkauan HTL lebih luas dari hukum tata ruang, atau ‘recht van
de ruimtelijk ordening’ yang definisnya menurut van Driel dan van
Vliet adalah: hukum yang mengatur penataan dari ruang (ruimte)
yang dari sudut sosial, ekonomi dan budaya menciptakan syarat-
8

syarat yang paling menguntungkan bagi pengembangan hidup


masyarakat di wilayah tersebut atau hukum yang mengatur
penataan kegunaan (bestemming) dan penggunaan (gubruik) dari
tanah.
 Hukum Kesehatan Lingkungan
Hukum Kesehatan Lingkungan berhubungan dengan kebijaksanaan
di bidang kesehatan lingkungan dan wujud strukturalnya meliputi
pemeliharaan kondisi air, tanah, dan udara, seperti pada PP No.35
Tahun 1991 tentang Sungai.
 Hukum Perlindungan Lingkungan
Hukum Perlindungan Lingkungan merupakan kumpulan dari
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dalam
wujud strukturalnya meliputi perlindungan hayati, non hayati,
buatan, termasuk cagar budaya, seperti pada UU 5 Tahun 1990
tentang Konservasi SDA dan Ekosistemnya, UU 5 Tahun 1992
tentang Cagar Budaya.
 Hukum Pencemaran Lingkungan
Hukum Pencemaran Lingkungan merupakan hukum yang memiliki
pengaturan tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
meliputi pencemaran air, udara, dan tanah, seperti pada PP No. 12
Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3.
 Hukum Perselisihan Lingkungan
Hukum Peerselisihan Lingkungan merupakan hukum yang
mengatur prosedur pelaksanaan hak dan kewajiban karena adanya
perkara lingkungan.
 Hukum Lingkungan Internasional
Hukum Lingkungan Internasional merupakan instrumen yuridis
dalam pengaturan hubungan hukum mengenai sengketa lingkungan
yang sifatnya melintasi batas negara.
9

2.4 Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan


Prinsip hukum lingkungan bertitik tolak pada amanat UUD 1945,
kebijaksanaan PPLH nasional, dan dengan penyesuaian pada perkembangan
global-internasional yang juga merupakan faktor penting dalam PPLH.
Dengan demikian, “Prinsip Hukum Lingkungan” yang harus dikembangkan
adalah:
1. Prinsip tanggung jawab Negara, hak atas Lingkungan Hidup adalah
bagian dari HAM
2. Prinsip konservasi
3. Prinsip keterkaitan, berkelanjutan, pemerataan, Sekuriti dan Risiko
Lingkungan, Pendidikan dan komunikasi yang berwawasan
lingkungan
4. Prinsip kerja sama internasional
Prinsip penanggulangan pada tempatnya (“Principle of abatement at
the suorce”); Prinsip sarana praktis/teknis yang terbaik (“The best practicable
means/technical means”); Prinsip pencenar membayar (“The polluter pays
principle”); Prinsip cegat-tangkal (“Stand-still-principle”); Prinsip perbedaan
regional (“Principle of regional differentiation”); dan prinsip beban
pembuktian terbalik; serta prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik.
Adapun karakter hukum lingkungan adalah multi aspek dan multi
disipliner yang berorientasi pada pelestarian fungsi dan kemampuan
lingkungan hidup dengan pendekatan utuh menyeluruh (holistik). Ia juga
harus merupakan hukum yang berwawasan lingkungan sebagai ciri utama
hukum lingkungan modern. Ini berarti, bahwa ia terkait dan harus sejalan
dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini mengacu
pada prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional, yaitu:
1. Duty to Prevent Reduce and Control Environmental Harm
Hukum internasonal mewajibkan setiap negara untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengontrol dan
menangani sumber pencemaran global yang serius atau sumber
perusakan lintas batas  yang ada dalam jurisdiksi mereka.
10

Prinsip pertama ini kemudian diuraikan lebih lanjut dalam prinsip-


prinsip khusus sebagai berikut:
 Due diligence and harm prevention
Prinsip due diligence ini menentukan bahwa setiap
pemerintah yang baik, hendaknya memasyarakatkan
ketentuan-ketentuan hukum administratif yang mengatur
tindakan-tindakan publik maupun privat demi melindungi
negara lain dan lingkungan global. Keuntungan dari standar ini
adalah fleksibilitasnya, dan negara tidaklah menjadi satu-
satunya penjamin atas pencegahan kerusakan.
Prinsip ini akan diterapkan dengan mempertimbangkan
segala segi dari suatu pemerintahan, baik dari segi efektif atau
tidaknya pengawasan wilayah, sumber daya alam yang
tersedia, maupun sifat dari aktivitas yang dilakukan. Akan
tetapi kerugiannya adalah bahwa menjadi tidak jelasnya
ketentuan mengenai bentuk peraturan dan kontrol yang diminta
dari setiap negara, karena bergantung pada kondisi dari negara
yang bersangkutan.
 Absolute Obligation Of Prevention
Ketentuan ini mengharuskan setiap negara untuk
berusaha semaksimal mungkin melakukan pencegahan
terhadap terjadinya pencemaran, dan bahwa negara
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang tidak
terhindari atau tak terduga sebelumnya. Akan tetapi prinsip ini
dianggap terlalu jauh membatasi kebebasan negara dalam
menentukan kebijksanaan mengenai lingkungan di wilayahnya
sendiri.
Prisnip ini juga hanya menitikberatkan kewajiban
pembuktian dan tanggung jawab atas kerusakan kepada pihak
yang menyebabkan pencemaran, ketimbang menekankan
mengenai pengawasan yang sepatutnya.
11

 Foreseeability of harm and the “preacutinary principle”


Berdasarkan prinsip ini, maka negara diharuskan untuk
menghitung setiap kebijakannya yang berkenaan dengan
lingkungan. Negara wajib untuk mencegah atau melarang
tindakan  yang sebelumnya telah dapat diduga akan dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan.
2. Transboundary Co- Operation in Causes of Environmental Risk
Prinsip kedua dalam hukum lingkungan adalah bahwa setiap
negara harus bekerja sama dengan negara lain, dalam hal
penanggulangan pencemaran lintas batas negara. Hal ini sejalan
dengan adanya pengakuan bahwa ada kalanya negara tersebut
mempunyai “Shared Natural Resources” yang harus dimanfaatkan
bersama. Prinsip ini dituangkan dalam Deklarasi Stockholm Tahun
1972.
3. The “Polluters Pays” Principle
Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi dari pada segi
hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan
nilai kerusakan dan pembebanannya.
4. Equal Access And Non-Discrimination
Ketentuan dasar dari prinsip ini adalah bahwa pihak asing dapat
juga menggunakan ketentuan-ketentuan ganti rugi yang ada dalam
hukum nasional suatu negara berkenaan dengan adanya pencemaran
lintas batas yang disebabkan oleh negara yang bersangkutan. Prinsip
ini harus diterapkan secara sama tanpa adanya tindakan yang
diskriminatif. Prinsip ini meminta perlakuan yang sama baik kepada
subyek hukum nasional maupun subyek hukum asing tanpa adanya
perbedaan.

2.5 Instrumen Hukum Lingkungan Nasional


Intrumen yang dimaksud disini adalah intrumen yang diatur dalam
undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai
pedoman dalam penerbitan, pelaksanaan dan pengawasan izin bidang
12

lingkungan hidup. Instrumen-instrumen tersebut memuat hal-hal yang utuh


dan menyeluruh berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Dalam UU No. 32 Tahun 2008 Pasal 5 mengamanatkan agar
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui “inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH)”, yang dalam
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. RPPLH Nasional, dibuat oleh menteri lingkungan hidup berdasarkan
inverentasi nasional
b. RPPLH provinsi, dibuat berdasarkan RPPLH Nasional
c. RPPLH kabupaten/kota, di buat berdasarkan RPPLH provinsi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH) harus memperhatiakan beberapa aspek- aspek sebagaimana
di sebutkan dalam pasal 10 ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. Keanekargaman karakter dan fungsi ekologis
b. Sebaran penduduk
c. Sebaran potensi sumber daya alam
d. Kearifan lokal
e. Aspirasi masyarakat
f. Perubahan iklim
Dalam Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
yang termuat dalam pasal 10 terdapat aspek –aspek rencana tentang :
a. Pemanfaatan dan atau pencadangan sumber daya alam
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan fungsi lingkungan hidup
c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian
sumber daya alam
d. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Menurut UUPPLH (UU RI No. 32 Tahun 2009), RPPLH menjadi
dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang
dan rencana pembangunan jangka menengah. Hal ini juga membuktikan
bahwa secara normatif, UUPPLH telah mengintegrasikan upaya
13

pembangunan dengan pengelolaan dengan pengelolaan lingkungan hidup


sebagaimana menjadi ciri dari pembangunan berkelanjutan.

2.6 Penegakan Hukum Lingkungan


Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru disahkan pada tanggal 3 Oktober
2009 sebagai ganti dari Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Banyak hal yang dapat diambil
dari adanya UU No. 32 tahun 2009 ini, terutama dalam penguatan penegakan
hukum, karena UU No. 23 tahun 1997 dalam penegakan hukum kurang
mendapat perhatian yang serius. Penguatan yang terdapat dalam UU No. 32
tahun 2009 ini adalah prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik
dengan penanggulangan dan penegakan hukum yang mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan.
Kata penegakan hukum sering terdengar oleh semua orang, karena
keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada
penerapan dan penegakannya. Penegakan hukum lingkungan dalam UU No.
32 tahun 2009 ini memang mendapat perhatian yang serius oleh para perumus
undang-undang. Sebagai suatu politik hukum di bidang lingkungan hidup.
Perhatian terhadap lingkungan hidup belakangan ini mendapat sorotan tajam,
karena lingkungan hidup sudah semakin parah akibat dari pencemaran dan
perusakan yang diakibatkan oleh ulah atau tingkah laku manusia sendiri. Oleh
karena itu, ada kemauan keras bagi para perumus undang-undang lingkungan
hidup, agar adanya penguatan penegakan hukum terhadap lingkungan melalui
UU No. 32 tahun 2009 ini. Permasalahannya adalah penegakan hukum seperti
apakah yang seharusnya, sebab UU No. 32 tahun 2009 ini yang baru satu
tahun disahkan dan belum nampak hasil dari penegakan UU No. 32 tahun
2009 ini.
Bagir Manan mengatakan bahwa: keberhasilan suatu peraturan
perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya, apabila
penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan
14

bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan


tujuannya, penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-
undangan. Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih
jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk
hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk
memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan
hukum dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kebenaran. UU No. 32 tahun 2009 ini memang sudah lebih baik
dan sempurna apabila dibandingkan dengan UU sebelumnya, sehingga dapat
dikatakan bahwa UU No. 32 tahun 2009 ini sudah sempurna dari materi
hukum yang mengatur lingkungan hidup. Akan tetapi, apakah penegakan
hukum terhadap undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan baik, sebab
selama ini peraturan pemerintah maupun peraturan pelaksana lainnya belum
ada, sehingga akan menimbulkan ketidaktegasan terhadap pelaku pencemaran
dan perusakan lingkungan. Inilah permasalahan terhadap keberadaan UU No.
32 tahun 2009 dari segi penegakannya, sehingga peringatan bagi pejabat
penegak hukum untuk menjalankan kewajibannya terhadap pelaku
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan aturan yang telah
jelas diatur dalam UU No. 32 tahun 2009 ini.
UU No. 32 tahun 2009 mengenal tiga instrumen hukum dalam
penegakan hukum lingkungan yaitu melalui instrumen hukum administrasi,
hukum perdata dan hukum pidana. Penegakan hukum melalui tiga instrumen
hukum ini merupakan upaya represif yang perlu dilakukan secara efektif,
konsekuen dan konsisten terhadap pelaku pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup.

2.7 Peraturan Perundangan Lainnya Terkait Lingkungan


1. Peraturan Perundang-undangan Masa Sebelum Kemerdekaan (1912 –
1945)
Indonesia pada masa kolonial sudah memberlakukan berbagai
produk hukum seperti:
1. Peraturan tentang Pengeluaran Ternak (Sbld 1912 No. 432)
15

2. Vischerij Ordonantie, 1916 (Ordonansi Penangkapan Ikan)


3. Reden Reglemen (Reglemen Bandar) Sbld 1924 No. 500
4. Hinder Ordonantie, 1926 (Undang-undang Gangguan)
5. Loods Dients Ordonantie Sbld 1927 No. 62
6. Kustvisserij Ordonnantie Sbld 1927 No. 144 (Ordonansi
Penangkapan Ikan di kawasan Pesisir)
7. Petroleum en Andere Licht Onvlambare Olien (Ordonansi
Pengangkutan minyak Tanah) Sbld 1927 No. 214
8. Mijn-Politic Reglement No. 341/1930
9. Scheepvart Wet Sbld 1936 Nomor 700
10. Peraturan Pendaftaran kapal-kapal Nelayan Laut Asing Sbld 1938
Nomor 201
11. Bedrijfserglementeerings Ordonantie, 1938 (Ordonansi Perusahaan)
12. Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Kringen
Ordonansi) Sbld 1939 No. 22
13. Jacht Ordonantie, 1940 (Ordonansi Perburuan)
14. Natuurbeschermings Ordonantie, 1941 (Ordonansi Perlindungan
Alam)
Diantara peraturan perundang-undangan tersebut ada yang masih
berlaku hingga saat ini seperti Hinder Ordonantie, 1926 (Undang-undang
Gangguan). Ordonansi ini banyak digunakan terutama dalam pengurusan
persyaratan perizinan.

2. Peraturan Perundang-undangan Masa Setelah Kemerdekaan (1945 –


1982)
Setelah masa kemerdekaan hingga menjelang lahirnya UU No. 4
tahun 1982 beberapa produk hukum yang lahir diantaranya:
1. Stadtsvormings Ordonantie, 1948 (Ordonansi Pembentukan Kota)
2. Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Pengawasan Perburuan Tahun 1948 No. 23 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
16

3. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Agraria
4. Undang-undang No. 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi
5. Undang-undang No. 2 Tahun 1961 tentang Impor dan Ekspor Bibit
Tanaman
6. Undang-undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok
Tenaga Atom
7. Undang-undang No. 2 Tahun 1966 tentang Higiene
8. Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan
9. Undang-undang No. 6  Tahun 1967 tentang Peternakan
10. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan
11. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Keentuan-ketentuan
Pokok Tenaga Kerja
12. Undang-undang no. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
13. Undang-undang No. 3 Tahun 1972 tentang Transmigrasi
14. Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
15. Undang-undang No. 7 Tahun 1973 tentang Penggunaan Pestisida
16. Undang-undang No. 5  Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok
Pemerintah Daerah
17. Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
18. Undang-undang No. 8 Tahun 1979 tentang Ratifikasi Perjanjian
Mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir
19. dll
Sebagai catatan bahwa sebelum lahirnya UU No. 4 Tahun 1982 ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya pemerintah Indonesia
sudah sejak persiapan dan berakhirnya Konferensi Stockhlom 1972 atau
Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (UNCHE) telah
berupaya untuk menginventrisasikan berbagai peraturan perundang-
undangan. Hal ini dilakukan dalam rangka penyusunan initial draft suatu
17

undang-undang lingkungan hidup. Namun ada beberapa kenyataan yang


dihadapi yaitu bahwa :
1. Berbagai segi atau aspek lingkungan hidup telah secara sporadis
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku.
2. Peraturan perundang-undangan tersebut umumnya berorientasi pada
pemanfaatan sumberdaya alam.
3. Peraturan perundang-undangan tersebut bersifat parsial sektoral.
Dengan demikian rintisan usaha penyusunan konsep rancangan
Undang-undang (RUU) tentang lingkungan hidup pada waktu itu
menghadapi masalah, yaitu bagaimana memasukan wawasan lingkungan
hidup secara komprehensif kedalam suatu peraturan perundang-undangan
tentang lingkungan hidup. Ada dua laternatif yang dapat ditempuh pada
waktu itu yaitu :
1. Memperbaharui setiap undang-undang dengan memasukkan
wawasan lingkungan ke dalamnya. Alternatif ini berarti bahwa
banyak undang-undang yang harus diubah, dan berdasarkan undang-
undang yang telah diperbaiki itu kemudian disusun pelaksanaan
yang diperlukan. Alternatif ini berarti diperlukan waktu yang lama.
2. Disusun satu undang-undang baru yang berwawasan lingkungan
yang akan menjadi dasar bagi perbaikan dan penyempurnaan
perundang-undangan yang berlaku, sekaligus sebagai dasar
penetapan peraturan pelaksanaan baru untuk masing-masing bidang.
Alternatif kedua inilah yang kemudian dipilih. Mengingat bahwa
pokok materi yang harus diatur cakupannya demikian luas maka tidaklah
mungkin mengaturnya secara terinci dalam satu undang-undang. Oleh
karena itu ditempuh cara pengaturan ketentuan pokok yang hanya memuat
asas dan prinsip-prinsipnya. Dengan cara pengaturan demikian undang-
undang tentang lingkungan hidup merupakan ketentuan payung (umbrella
provision).
18

Karena itu UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian lahir memiliki
beberapa ciri seperti:
1. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di
masa depan sesuia dengan tuntutan keadaan, waktu dan tempat.
2. Mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi
peraturan pelaksanaannya lebih lanjut.
3. Mencakup semua bidang di bidang lingkungan hidup agar dapat
menjadi dasar bagi pengaturan lebih lanjut bagi masing-maing
bidang tsb, yang rencananya akan dituangkan dalam bentuk
peraturan tersendiri.
Selain daripada itu UULH ini menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan tentang segi-segi lingkungaan hidup yang telah berlaku.
(Soetaryono, 2000).

3. Peraturan Perundang-undangan Setelah Lahirnya Undang-undang


No. 4 tahun 1982
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif 
2. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
3. Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
5. Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
6. Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 
7. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam dan Ekosistemnya
8. Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja
9. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman
10. Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar budaya
19

11. Undang-undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan


Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
12. Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman
13. Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
14. dll
Undang-undang diatas sebagian besar telah mencantumkan UULH
No. 4 tahun 1982. Hingga saat ini masih ada Undang-undang yang berlaku
dan belum dicabut sehingga masih menggunakan UU No. 4 tahun 1982.

4. Peraturan Perundang-undangan Setelah Diadakannya KTT Bumi


1992
Beberapa peraturan yang dikeluarkan setelah diadakannya KTT
Bumi diantaranya:
1. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
3. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi konvensi PBB
mengenai  keanekaragaman hayati
4. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang ratifikasi Kerangka
Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim
5. Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
6. Undang-undang No. 10 Tahun 1997  tentang Ketenaganukliran
Setelah diadakannya KTT Bumi 1992 beberapa pemikiran untuk
meyempurnakan UU No. 4 tahun 1982 mulai berkembang. Saat itu Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) telah mendeteksi beberapa
permasalahan yang mendorong perlunya penyempurnaan UU No. 4 tahun
1982 yaitu:
1. Berkembangnya perhatian masyarakat dunia tentang lingkungan
hidup seperti berlangsungnya KTT Bumi di Rio de Janerio 1992.
2. Masih banyaknya peraturan pelaksanaan yang belum ditindaklanjuti
sehingga sering menjadi hambatan dalam penerapan UULH.
20

3. Meningkatnya peran masyarakat yang menuntut keterbukaan dalam


pengelolaan lingkungan hidup.
4. Penerapan audit lingkungan yang dirasakan sangat bermanfaat dan
belum mendapatkan tempat memadai dalam peraturan perundang-
undangan.
5. Analisis mengenai dampak lingkungan masih dilihat sebagai
formalitas dalam pengelolaan lingkungan, sehingga terjadi
kecenderungan meskipun studi analisis mengenai
dampak lingkungan telah dibuat namun dalam kenyataan masih
banyak usaha dan/atau kegiatan yang mencemarkan lingkungan.
6. Kesulitan pembuktian kasus lingkungan sehingga sukar untuk dapat
menerapkan ketentuan pidana ex pasal 22 UULH no. 4 tahun 1982
dan belum diaturnya tindak pidana korporasi.
Maka pada tahun 1997 terbitlah UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian sebenarnya UU No. 23
tahun 1997 bukanlah merupakan penyempurnaan dari UU No. 4 tahun
1982. Hal ini dikarenakan substansi materi UU No. 23 Tahun 1997 sudah
mengatur hal-hal yang bersifat teknis. (Soetaryono, 2000). Dengan
demikian Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 bukanlah Undang-
undang payung (umbrella provisions) seperti halnya UU no. 4 Tahun
1982.
1. Peraturan Perundang-undangan Setelah Berlakunya UU No. 23 tahun 1997
Setelah berlakunya UU ini berbagai perangkat setingkat UU juga
mulai mencantumkan UU No. 23 tahun 1997 diantaranya adalah:
1. Undang-undang No. 25 Tahun 1997  tentang Ketenaga Kerjaan
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa Kontruksi
3. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di
Daerah
4. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah
5. Undang-undang Nomor 29 tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman
21

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas


Bumi
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara
8. Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
9. Undang-undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi
10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
11. Undang-undang nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
12. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan Plant
Genetic Resources for Food and Agriculture.
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana
14. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
15. Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
16. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan
Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai
Senjata Kimia.
17. Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah
18.  Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah
19. Dll
Dengan lahirnya UU No. 23 tahun 1997 ini nampaknya tidak juga
menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat laten seperti pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup. Setelah 12 tahun berlakunya UU ini
kemudian dievaluasi melalui tim yang ditugaskan membentuk Undang-
undang baru. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Mainstreaming lingkungan hidup belum dicapai.
2. Kebijakan pro lingkungan hidup masih merupakan harapan
3. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya lingkungan hidup
22

4. Putusan perkara lingkungan hidup belum memuaskan


5. Keterbatasan kewenangan kelembagaan lingkungn hidup
6. Amdal hanya sekedar dokumen kajian.
7. Keterbatasan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (ppns) dan
pejabat pengawas lingkungan hidup (pplh)
8. Kasus lingkungan hidup di daerah sulit dilakukan penegakan
hukumnya
9. Issu lingkungan hidup di tataran internasional terus berkembang
Hasil evaluasi ini menjadi sangat penting. Hal ini mendorong Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 yang kemudian
menggunakan hak inisiatif terutama dalam hal penyusunan Undang-
undang Lingkungan Hidup yang baru. Hasilnya adalah terbitnya UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ada beberapa pertimbangan atau alasan perlunya UU No. 23 Tahun 1997
diubah/diganti diantaranya adalah:
1. Penguatan kewenangan kelembagaan lingkungan hidup
2. Selama ini terjdi materi yang multi tafsir  seperti: pasal 1 angka 12 à
defenisi pencemaran, pasal 18 (1) à usaha/kegiatan berdampak besar
dan penting
3. Penguatan atas kewenangan pplh dan ppns
4. Instrumen atur  dan awasi serta atur diri sendiri kurang efektif
sehingga perlu peningkatan kemampuan atas instrumen ini
5. Amdal masih belum optimal dan diperlukan penguatan salah satu
diantaranya melalui sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi
6. Rumusan sanksi administrasi  lemah sehingga perlu diperkuat
7. Dibuatkannya pidana mnimum
8. Prinsip desentralisasi dan demokrasi perlu ditingkatkan
9. Perkembangan penyesuaian atas dinamika dan issu international
10. Asas subsidiaritas perlu disempurnakan.
Maka lahirnya Undang-undang ini menjadi sangat penting. Maka
periode baru muncul yaitu periode UUPPLH No. 32 Tahun 2009.
23

5. Peraturan Perundang-undangan Setelah Berlakunya UU No. 32 tahun


2009
Ada beberapa peraturan yang berlaku dalam periode ini diantaranya :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda
Cagarbudaya.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Holtikultura
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman
Namun sebagai catatan terpenting adalah hingga tahun 2011 yang
akan berakhir, nampaknya peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini
yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) belum satupun yang terbit. Akan
tetapi beberapa peraturan dibawahnya sudah diterbitkan baik berupa
Peraturan Menteri (Permen) maupun Keputusan Menteri (Kep Men).
Terlepas dari kendala diatas, Undang-undang LH yang baru ini
nampak lebih keras dan terkesan tegas. Perangkat UU ini juga telah
memberikan berbagai bentuk instrumen baru yang muncul dan
berkembang sesuai dengan dinamika lingkungan hidup yang terus
berkembang seiring dengan kebutuhan zaman.

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun


2016 Tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Industri
a. Nilai Ambang Batas Lingkungan Kerja Industri
1. Faktor Fisik
 Iklim Kerja
Nilai Ambang Batas (NAB) iklim lingkungan kerja merupakan
batas pajanan iklim lingkungan kerja atau pajanan panas (heat
stress) yang tidak boleh dilampaui selama 8 jam kerja per hari
sebagaimana tercantum pada Tabel 1. NAB iklim lingkungan
kerja dinyatakan dalam derajat Celsius Indeks Suhu Basah dan
Bola (ºC ISBB).
24

Alokasi NAB (ºC ISBB)


Sangat
Waktu Kerja
Ringan Sedang Berat Berat
dan Istirahat
75-100% 31,0 28,0 * *
50-75% 31,0 29,0 27,5 *
25-50% 32,0 30,0 29,0 28,0
0-25% 32,5 31,5 30,0 30,0

Catatan:
1. ISBB atau dikenal juga dengan istilah WBGT (Wet Bulb
Globe Temperature) merupakan indikator iklim lingkungan
kerja
2. ISBB luar ruangan = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,2 Suhu Bola
+ 0,1 Suhu Kering
3. ISBB dalam ruangan = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,3 Suhu
Bola (*) tidak diperbolehkan karena alasan dampak
fisiologis
b. Kebisingan
Nilai Ambang Batas kebisingan merupakan nilai yang mengatur
tentang tekanan bising rata-rata atau level kebisingan berdasarkan
durasi pajanan bising yang mewakili kondisi dimana hampir semua
pekerja terpajan bising berulang-ulang tanpa menimbulkan gangguan
pendengaran dan memahami pembicaraan normal.
NAB kebisingan yang diatur dalam peraturan ini tidak berlaku
untuk bising yang bersifat impulsive atau dentuman yang lamanya <3
detik. NAB kebisingan untuk 8 jam kerja per hari adalah sebesar 85
dBA.
25

Catatan:
Pajanan bising tidak boleh melebihi level 140 dBC walaupun hanya
sesaat.

c. Getaran
Jenis pajanan getar yang dapat diterima pekerja dapat berupa getaran
tangan dan lengan serta getaran seluruh tubuh.
1. NAB Getaran Tangan dan Lengan Nilai Ambang Batas pajanan
getaran pada tangan dan lengan sebagaimana tercantum pada
tabel merupakan nilai rata-rata akselerasi pada frekuensi
dominan (meter/detik2) berdasarkan durasi pajanan 8 jam per
hari kerja yang mewakili kondisi dimana hampir semua pekerja
26

terpajan getaran berulang-ulang tanpa menimbulkan gangguan


kesehatan atau penyakit. Pekerja dapat terpajan getaran tangan
dan lengan pada saat menggunakan alat kerja seperti gergaji
listrik, gerinda, jack hammer dan lain-lain. NAB getaran tangan
dan lengan untuk 8 jam kerja per hari adalah sebesar 5
meter/detik2. Sedangkan NAB getaran tangan dan lengan untuk
durasi pajanan tertentu dapat dilihat pada tabel.

7. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan (SBMKL)


Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan (SBMKL) merupakan
konsentrasi/kadar dari setiap parameter media lingkungan yang ditetapkan
dalam rangka perlindungan kesehatan pekerja sesuai satuannya berupa
angka minimal yang diperlukan, atau maksimal atau kisaran yang
diperbolehkan, bergantung pada karakteristik parameter. Media
lingkungan yang dimaksud meliputi media air, udara, tanah, pangan,
sarana dan bangunan, serta vektor dan binatang pembawa penyakit.
1. Media Lingkungan Air
Berdasarkan peruntukannya yang berhubungan dengan kriteria
mutu air di Indonesia terdapat empat golongan air:
1. Golongan A
Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung
tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2. Golongan B
Air yang dapat digunakan sebagai bahan baku air minum.
3. Golongan C
Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan
peternakan.
27

4. Golongan D
Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian serta dapat
dimanfaatkan untuk usaha perkotaan dan industri pembangkit
tenaga listrik.

Media lingkungan air meliputi air minum dan air untuk keperluan
higiene dan sanitasi, baik kuantitas maupun kualitas.
a. Kecukupan air minum dan air untuk keperluan higiene dan
sanitasi
Kecukupan air minum untuk lingkungan kerja industri
dihitung berdasarkan jenis pekerjaan dan lamanya jam kerja
setiap pekerja untuk setiap hari. Standar baku mutu (SBM) di
bawah ini berlaku secara umum untuk setiap pekerja setiap hari.
Jika jenis pekerjaan memerlukan lebih banyak air minum, maka
kebutuhannya disesuaikan dengan jenis pekerjaan tersebut.
Sedangkan kecukupan air untuk keperluan higiene dan sanitasi
dihitung berdasarkan kebutuhan minimal dikaitkan dengan
perlindungan kesehatan dasar dan higiene perorangan.
Ketersediaan air sebanyak 20 liter/orang/hari hanya mencukupi
untuk kebutuhan higiene dan sanitasi minimal, sehingga untuk
menjaga kondisi kesehatan pekerja yang optimal diperlukan
volume air yang lebih, yang biasanya berkisar antara 50-100
liter/orang perhari. Standar Baku Mutu kecukupan air minum
dan air untuk keperluan higiene dan sanitasi sebagai berikut:
28

Kualitas Air Minum dan Air untuk keperluan higiene dan


sanitasi 1) Air Minum Standar baku mutu (SBM) air minum
meliputi kualitas fisik, biologi, kimia dan radioaktivitas.
Parameter wajib harus diperiksa secara berkala sesuai peraturan
yang berlaku, sedangkan parameter tambahan merupakan
parameter yang wajib diperiksa hanya bagi daerah yang
mengindikasikan terdapat pencemaran kimia yang berhubungan
dengan parameter kimia tambahan tersebut. Parameter wajib
untuk SBM Fisik air minum meliputi 8 parameter yaitu bau,
rasa, suhu, warna, zat padat terlarut (TDS), dan kekeruhan.
Penentuan kadar maksimum bedasarkan pertimbangan
kesehatan melalui tolerable daily intake sebesar 2
liter/perorang/hari dengan berat badan rata-rata 60 kg.
b. Kualitas Air Minum dan Air untuk keperluan higiene dan
sanitasi
 Air Minum
Standar baku mutu (SBM) air minum meliputi kualitas fisik,
biologi, kimia dan radioaktivitas. Parameter wajib harus
diperiksa secara berkala sesuai peraturan yang berlaku,
sedangkan parameter tambahan merupakan parameter yang
wajib diperiksa hanya bagi daerah yang mengindikasikan
terdapat pencemaran kimia yang berhubungan dengan parameter
kimia tambahan tersebut. Parameter wajib untuk SBM Fisik air
minum meliputi 8 parameter yaitu bau, rasa, suhu, warna, zat
padat terlarut (TDS), dan kekeruhan. Penentuan kadar
maksimum bedasarkan pertimbangan kesehatan melalui
tolerable daily intake sebesar 2 liter/perorang/hari dengan berat
badan rata-rata 60 kg. Standar bahan baku Fisik air minum
yakni sebagai berikut.
29
30

Tabel selanjutnya memuat tentang SBM biologi air minum yang


wajib untuk dipenuhi agar kualitas air minum aman dari
kontaminan biologi karena berkaitan langsung dengan

perlindungan kesehatan. Ada 2 indikator untuk menilai kualitas


biologi yaitu Escherichia coli dan Total bakteri koliform yang
harus tidak terdeteksi dalam 100 ml sampel air minum yang
diperiksa. Adapun standar Biologi bahan baku mutu air minum
yakni sebagai berikut:

Adapun SBM kimia air minum meliputi parameter wajib dan


parameter tambahan, baik dari kimia an-organik maupun
organik. Semua parameter dalam kadar maksimum yang
diperbolehkan kecuali derajat keasaman (pH) yang merupakan
kisaran terendah dan tertinggi yang diperbolehkan. Adapun
standar baku mutu Kimia sebagai berikut.
31
32
33
34
35

SBM untuk radioaktif dalam air minum berdasarkan


pedoman WHO (2011) meliputi gross alpha dan gross beta,
sebagai penapisan adanya pencemaran radionuklida dalam
air. Satuan yang digunakan untuk SBM radioaktivitas adalah
Becquerel/liter air minum yaitu unit konsentrasi aktivitas
radioaktif yang mengalami disintegrasi perdetik. Gross alpha
berkaitan dengan TDS karena radiasi alpha sangat mudah
diserap oleh partikel dalam air sehingga dengan tingginya
TDS mengganggu sensitivitas pemeriksaan radiasi alpha.
Sedangkan radiasi beta berhubungan dengan kadar kalium
(K-40) dalam air minum.

 Air untuk Keperluan Higiene dan Sanitasi


Standar baku mutu air untuk keperluan higiene dan sanitasi
meliputi kualitas fisik, biologi, dan kimia. Parameter wajib
merupakan parameter yang harus diperiksa secara berkala sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan
untuk parameter tambahan hanya diwajibkan untuk diperiksa
jika kondisi geohidrologi mengindikasikan adanya potensi
pencemaran berkaitan dengan parameter tambahan. Air tersebut
digunakan untuk pemeliharaan kebersihan perorangan dan
wudhu pekerja serta untuk keperluan sanitasi seperti peturasan
36

(urinoir) dan toilet. Tabel 21 berisi daftar parameter fisik air


wajib yang harus diperiksa untuk keperluan higiene dan sanitasi.
Dari jumlah parameter sama dengan air minum tetapi kadar
maksimum yang diperbolehkan berbeda karena airnya tidak
untuk diminum tetapi hanya untuk berkumur. Berikut adalah
Standar Baku Mutu Fisik Air untuk Keperluan Higiene dan
Sanitasi.

Parameter SBM biologi air untuk keperluan higiene dan


sanitasi sama dengan untuk air minum tetapi kadarnya berbeda
untuk total coliform karena tidak digunakan untuk air minum.
Berikut adalah Standar Baku Mutu Biologi Air untuk Keperluan
Higiene dan Sanitasi.
37

Terdapat 9 parameter kimia yang wajib diperiksa secara


berkala untuk SBM kimia air untuk keperluan higiene dan
sanitasi, sedangkan parameter tambahan berjumlah 10 parameter
dan masing-masing kadarnya dapat dilihat pada tabel
selanjutnya yakni tentang Standar Baku Mutu Kimia Air untuk
Keperluan Higiene dan Sanitasi.
38

5. Media Lingkungan Udara


Standar Baku Mutu (SBM) media udara meliputi standar baku
mutu udara dalam ruang (indoor air quality) dan udara ambien
(ambient air quality). Standar kualitas udara dalam ruang perkantoran
mengacu kepada peraturan perundang-undangan mengenai Standar
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran, sedangkan SBM udara
ambien mengacu ke peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang berlaku.

6. Media Lingkungan Tanah


Standar baku mutu media tanah yang berhubungan dengan
kesehatan meliputi kualitas tanah dari aspek biologi, kimia dan
radioaktivitas.
39

a. Standar Baku Mutu Biologi


Standar Baku Mutu (SBM) biologi tanah meliputi angka telur
cacing (Ascaris lumbricoides) dan fecal coliform yang
mengindikasikan adanya pencemaran tanah oleh tinja.
Berikut adalah Standar Baku Biologi Tanah.

b. Standar Baku Mutu Kimia


SBM kimia tanah meliputi kimia anorganik yang terdiri dari 7
parameter yaitu timah hitam, Arsen, Kadmium, Krom (valensi 6),
senyawa merkuti, boron dan tembaga dalam satuan mg/kg.
Sedangkan parameter organik meliputi BaP, DDT, Dieldrin, PCP,
Dioksin (TCDD) dan Dioxin-like PCBs.
40

c. Standar Baku Mutu Radioaktivitas


Sebagai indikator pencemaran radon dengan satuan Bq/m3 tanah
berkisar antara 100-300, di mana 3,7 Bq/m3 adalah setara dengan 1
pCi/L.
41

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai