549 - Innaha Ratna P - 0895397627368
549 - Innaha Ratna P - 0895397627368
549 - Innaha Ratna P - 0895397627368
HUKUM LINGKUNGAN
Innaha Ratna P_202210110311549_0895397627368
1. Uraikan secara kaya dari yang Anda ketahui tentang Segitiga yang melatarbelakangi
terbentuknya Hukum? UU Lingkungan di Indonesia?
2. UU No. 32 Tahun 2009 terdiri dari berapa Bab (sebutkan Bab tentang apa saja itu) dan
berapa Pasal secara Keseluruhan. Tunjukkan Pasal berapa sajakah yang diubah oleh
UU No. 6 Tahun 2023?
Terdapat 127 pasal dan Terdapat pasal-pasal yang diubah yaitu Pasal 40 UUPLH, Pasal 26
UUPLH,Pasal 88 UUPLH.
RESUME SOAL B
HUKUM LINGKUNGAN
Pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan bagian penting dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pengendalian merupakan wujud keseimbangan
pertimbangan perlindungan lingkungan hidup dalam pelaksanaan aktivitas pembangunan. Ini
memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap berbagai asas perlindungan dan pengelolaan
lingkungan, seperti prinsip pencegahan, pencemar membayar, keserasian dan keseimbangan,
kelestarian dan keberlanjutan, dan sebagainya. Jika pengaturan tentang pengendalian dalam
UU No. 23 Tahun 1997 masih minim, pada UU 32 No. 2009 diatur lebih komprehensif, yaitu
1. Pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang mencakup
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
2. Pengaturan tentang instrumen pencegahan yang lebih komprehensif:
a. instrumen pencegahan tidak hanya mencakup tataran usaha atau kegiatan yang merupakan
hilir dari suatu proses pembangunan, melainkan mencakup pula pengendalian terhadap
kebijakan yang lebih makro. Beberapa instrumen yang relevan dengan hal ini misalnya, Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, instrumen ekonomi untuk perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan
hidup (green legislation), dan anggaran berbasis lingkungan hidup (green budget).
3. Pengaturan tentang penanggulangan yang lebih rinci melalui peringatan dini (early
warning) pencemaran dan perusakan lingkungan, pengisolasian dampak, penghentian sumber
pencemaran dan perusakan lingkungan, dan sebagainya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu instrumen pencegahan
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang baru diadopsi dalam UU.
Instrumen ini bertujuan untuk mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam
perencanaan pembangunan, tata ruang, serta penyusunan kebijakan, rencana, dan program
yang memiliki risiko terhadap lingkungan hidup. Scara politis, keberadaan KLHS dalam UU
No. 32 Tahun 2009 dimaksudkan “hak veto” lingkungan hidup adalah menolak aktivitas
manusia yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan Hidup. KLHS atau
Staregic Environmental Assessment (SEA) merupakan pendekatan baru dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia. Pendekatan ini muncul sebagai respon atas pengalaman bahwa
pengelolaan lingkungan hidup selama ini hanya terfokus pada skala proyek (usaha/kegiatan)
melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau environmental impact
assessment (EIA). Hal ini megakibatkan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup kurang berjalan efektif. Oleh karena itu, muncul inisiatif untuk menggunakan instrumen
KLHS agar pertimbangan perlindungan lingkungan hidup dapat diintegrasikan pada tahap yang
lebih awal sebelum perencanaan di tahap proyek, yaitu dalam proses penyusunan kebijakan,
rencana, dan program (KRP). UU No. 32 Tahun 2009 mendefiisikan KLHS sebagai rangkaian
analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Adapun muatan dari KLHS
mencakup:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pembahasan RUU PLH di DPR mengerucut pada penegasan kedudukan KLHS sebagai
instrumen pencegahan yang dilakukan untuk aktivitas penyusunan KRP. Hal ini selaras dengan
latar belakang diadopsinya KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009, yaitu pengamanan
lingkungan hidup dengan upaya pencegahan di hulu dari proses penyusunan KRP. Sebelum
suatu proyek disetujui, ada tahapan yang seharusnya mengawalinya, yakni penyusunan KLHS.
KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang telah diluncurkan oleh
Pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan
kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategis yang menyebabkan
terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup yang diluncurkan pemerintah (KLH di tingkat pusat atau Badan Lingkungan
Hidup Daerah di provinsi/kabupaten/kota) cenderung terlepas atau terpisah dari KRP
pembangunan wilayah dan sektor tidak menyatu (embedded) atau tidak terintegrasi. Dengan
kata lain, pertimbangan lingkungan hidup tidak diintegrasikan dalam proses pengambilan
keputusan pada tahap formulasi kebijakan, rencana, atau pembuatan program-program
pembangunan. Dalam pokok pikiran UU No. 32 Tahun 2009, bila upaya pencegahan dapat
diawali mulai dari hulu, yakni dalam proses penyusunan KRP maka keamanan kegiatan atau
usaha lebih terjamin pertimbangan inilah yang mungkin melahirkan melahirkan dimuatnya
ketentuan tentang KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009. Atas pertimbangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari dilakukannya KLHS adalah:
1. Mengidentifikasi pengaruh atau konsekuensi dari KRP terhadap lingkungan hidup sebagai
upaya untuk mendukung proses pengambilan keputusan
2. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup ke dalam KRP sebagai bahan untuk untuk
penyempurnaan maupun rekomendasi perbaikan. Lebih jauh, Naskah Akademis RPP KLHS
menyatakan bahwa KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009 KLHS cenderung bersifat
instrumental. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat
transformatif atau substantifDiharapkan bahwa pada masa yang akan datang KLHS
berkontribusi langsungmemperbaiki mutu proses perumusan KRP.