549 - Innaha Ratna P - 0895397627368

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 10

JAWABAN SOAL A

HUKUM LINGKUNGAN
Innaha Ratna P_202210110311549_0895397627368

1. Uraikan secara kaya dari yang Anda ketahui tentang Segitiga yang melatarbelakangi
terbentuknya Hukum? UU Lingkungan di Indonesia?

Dinamika Hukum Lingkungan di Indonesia berubah setiap waktu mengikuti arus


perkembangan jaman. Hukum lingkungan baru berkembang pesat pada saat tahun 1968 dan
pada awal 1970 awal dan pada tahun 1972 diadakan konferensi Internasional pertama dan
bersejarah tentang lingkungan hiduup di stockholm, swedia. Sejak saat itu dunia internasional
sadar dan menaruh perhatian besar dalam pengeloalaan lingkungan termasuk pembentukan
peraturan perundang-undangan yang melindungi dari perusakan lingkungan hidup.
a. Deklarasi Stockholm Swedia 1972
Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human
Environment (UNCHE), di Stockholm, Swedia merupakan konferensi yang sangat bersejarah,
dimana konferensi tersebut merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang
diprakarsai oleh PBB yang diikuti oleh wakil dari 114 negara. Salah-satu hasil dari KTT
tersebut adalah kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup diidentikkan dengan kemiskinan,
keterbelakangan, tingkat pembangunan yang masih rendah dan pendidikan rendah, intinya
faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup di dunia. Forum
tersebut menyepakati suatu persepsi bahwa kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan
kebijakan pembangunan nasional.
b. Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1982
Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi negara
yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang mengingat
untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Indonesia juga menghadapi
tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan berlakunya
dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan hidup. Itu juga
sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, setelah sebelumnya
dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III,
1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil
Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan hidup dan
akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982. Lahirnya UULH 1982
tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal tolak atau awal dari lahir dan pertumbuhan
hukum lingkungan nasional. Sebelum lahirnya UULH 1982 sesungguhnya telah berlaku
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan lingkungan hidup
atau sumber daya alam dan sumber daya buatan UULH 1982 merupakan sumber hukum formal
tingkat undang-undang yang pertama dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia.
UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum
baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep
yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu, ketentuan-ketentuan
UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup Namanya UU Pokok yang memiliki ciri-ciri:
1. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan, sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat;
2. mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan peranannya lebih
lanjut mencakup semua segi di bidang lingkungan hidup, agar dapat menjadi dasar
3. bagi pengaturanlebih lanjut masing-masing segi, yang akan dituangkan dalam bentuk
peraturan tersendiri.
4. menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan
yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup yang kini telah berlaku yaitu
peraturan perundang-undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan,
perlindungan dan pengawetan alam, industri, pemukiman, tata ruang, tata guna tanah, dan
lainnya.
c. Undang-Undang Nomer 23 Tahun 1997
Perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin mempengaruhi usaha
pengelolaan lingkungan hidup Indonesia yang memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum
demi menjamin kepastian hukum. Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut,
dipandang perlu untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982.Pada tahun
1997 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997.Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ini memuat norma-norma hukum lingkungan
hidup. Selain itu, undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua
peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang
berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertambangan dan energi,
kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman,
penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.Permasalahan hukum lingkungan hidup yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum
demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi
internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia.
Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982. Undang-undang ini memuat norma hukum lingkungan
hidup. Selain itu, Undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan
semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang
berlaku, yaitu peraturan perundang undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi,
kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman,
penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.Peningkatan pendayagunaan berbagai ketentuan
hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana, dan usaha untuk
mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif, yaitu penyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan untuk mencapai kesepakatan antar pihak yang
bersengketa. Disamping itu, perlu pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan perwakilan.
Dengan cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup tersebut diharapkan akan meningkatkan
ketaatan masyarakat terhadap system nilai tentang betapa pentingnya pelestarian dan
pengembangan kemampuan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia masa kini dan
kehidupan manusia masa depan.Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan
hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya
didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi
perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat
kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relative besar dan/atau
perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan mengantisipasi kemungkinan
semakin munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi, dalam Undang-undang
ini diatur pula pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian, semua peraturan perundang-
undangan tersebut di atas dapat terangkum dalam satu sistem hukum lingkungan hidup
Indonesia.
d. Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009
Perkembangan berikutnya sebagai akibat dari tuntutan reformasi di Indonesia, dan amandemen
UUD 1945, sehingga segala aspek kehidupa berbangsa, bernegara dan bermasyarakat telah
berubah sesuai dengan amandemen UUD 1945. Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 hasil amandemen) telah memberikan perhatian
secara khusus mengenai hak asasi manusia, salah satunya adanya hak lingkungan hidup yang
baik dan sehat bagi setiap warga Negara Indonesia. Semangat otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami
perubahan sebagai dengan amandemen UUD 1945 tersebut. Hal ini membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara pemerintah di pusat dengan pemerintah di daerah, termasuk
salah satunya adalah bidang lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
hidup.Di samping itu, juga akibat dari pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup
yang telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-
sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
Demikian juga agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap
hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, maka perlu direvisi Undang Undang Nomor 23
Tahun 1997, sehingga pada 3 Oktober 2009 Pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.UU 32 Tahun 2009
ini menggunakan upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu
dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan.
Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya
represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas,
tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan
dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.Undang-Undang ini juga
mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata,
maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan,
ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek
jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa
kini dan masa depan.Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan
ancaman
hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran
baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan Tindak pidana korporasi.
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan
penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini
hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku
mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

2. UU No. 32 Tahun 2009 terdiri dari berapa Bab (sebutkan Bab tentang apa saja itu) dan
berapa Pasal secara Keseluruhan. Tunjukkan Pasal berapa sajakah yang diubah oleh
UU No. 6 Tahun 2023?

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup memiliki 16 bab. Berikut adalah daftar bab-babnya beserta topik yang dibahas:

a. Bab I: Ketentuan Umum


Menyajikan definisi-definisi penting, ruang lingkup, tujuan, prinsip-prinsip, dan dasar
hukum mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Bab II: Pengelolaan Lingkungan Hidup
Membahas tata cara pengelolaan lingkungan hidup, termasuk rencana pengelolaan
lingkungan hidup, kajian dampak lingkungan, dan aspek pengelolaan air dan udara.
c. Bab III: Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup
Menetapkan ketentuan-ketentuan terkait pengendalian pencemaran lingkungan hidup,
termasuk standar baku mutu lingkungan hidup.
d. Bab IV: Pengawasan Lingkungan Hidup
Berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan terhadap lingkungan hidup,
termasuk upaya-upaya penegakan hukum.
e. Bab V: Pemberdayaan Masyarakat dan Sanksi Administratif
Menjelaskan upaya pemberdayaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, serta sanksi administratif bagi pelanggar.
f. Bab VI: Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Peradilan
Mengatur tata cara penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan peradilan terkait
pelanggaran lingkungan hidup.
g. Bab VII: Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Berisi ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
lingkungan hidup.
h. Bab VIII: Pendanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menjelaskan tata cara pendanaan yang diperlukan untuk perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
i. Bab IX: Pengelolaan Sampah
Membahas tata cara pengelolaan sampah, termasuk pengurangan, pengolahan, dan
pemanfaatan sampah.
j. Bab X: Penyediaan dan Penggunaan Barang Berbahaya

Terdapat 127 pasal dan Terdapat pasal-pasal yang diubah yaitu Pasal 40 UUPLH, Pasal 26
UUPLH,Pasal 88 UUPLH.

3. Berikan 5 contoh pencemaran di Provinsi yang kamu tinggali

a. Pencemaran Udara akibat polusi kendaraan bermotor


b. Pencemaran air limbah oleh pabrik
c. Pencemaran suara akibat kendaraan bermotor
d. Pencemaran tanah diakibatkan oleh produk kimia
e. Pencemaran tanah akibat penggunaan pupuk

RESUME SOAL B

HUKUM LINGKUNGAN

Innaha Ratna P_202210110311549_0895397627368


UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Menurut Prof. Adji Samekto (Undip) Hukum lingkungan adalah seperangkat


ketentuan dan prinsip-prinsip hukum yang diberlakukan untuk melindungi dan kepentingan
pengelolaan lingkungan hidup.Hukum lingkungan merupakan seperangkat ketentuan hukum
yang bersifat fungsional karena penegakannya didasarkan pada pendekatan hukum
administrasi negara, pendekatan hukum perdata, dan pendekatan hukum pidana kerusakan
lingkungan (dalam konteks hukum) disebabkan oleh perbuatan manusia.Oleh karena itulah
tindakan manusia yang merusak ini harus dikendalikan. Salah satu alat pengendalinya adalah
hukum (dalam hal ini hukum lingkungan). Landasan politik hukum tertinggi terkait dengan
lingkungan hidup tertuang di dalam Pasal 28 (H) UUD NRI 1945, yang menyatakan: “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Ketentuan pasal tersebut mengindikasikan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat sesungguhnya merupakan bagian dari hak hidup, dan hak untuk hidup adalah
hak asasi manusia yang paling fundamental. Oleh karena mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka hak itu dapat dituntut
pemenuhannya oleh masyarakat kepada negara. Pasal 28H UUD NRI 1945 tersebutkemudian
dijabarkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat menjadi UUPPLH Nomor 32 Tahun
2009) banyak daripada UU No. 23 Tahun 1997 yang hanya mengintrodusir tiga prinsip
(tanggungjawab negara, keberlanjutan, dan manfaat). UU No. 32 Tahun 2009 mengintrodusir:
(a) keserasian dan keseimbangan;
(b) keterpaduan;
(c) kehati-hatian;
(d) keadilan;
(e) ekoregion;
(f) keanekaragaman hayati;
(g) pencemar membayar;
(h) partisipastif;
(i) kearifan lokal;
(j) tata kelola pemerintahan yang baik;
(k) otonomi daerah.
Jaminan Hak Masyarakat atas Lingkungan Hidup di dalam UUPPLH memperkuat jaminan hak
atas lingkungan daripada UU sebelumnya dengan mengakui bahwa hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari HAM. UU sebelumnya, melihat bahwa hak atas lingkungan hidup sebagai
hak subyektif (subjective rights ) merupakan bagian dari HAM. Pengakuan ini memberikan
implikasi bagi kewajiban konstitusi Negara, khususnya pemerintah untukmenghormati,
memenuhi, dan melindunginya. Selain itu, UU PPLH juga mengakui hak akses atau hak
prosedural ( procedural rights ) hak untuk mengakses informasi, partisipasi publik, dan
keadilan UU PPLH juga memberikan perlindungan hukum bagi setiap orang yang dengan
iktikad baik memperjuangkan hak-haknya tersebut dari segala upaya balik yang dilakukan oleh
pihak- pihak tertentu dengan menggunakan upaya hukum- untuk menghambat atau
mengancam perjuangan mereka dalam memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat, Hal ini dikenal dengan istilah: Anti-Strategic Law Against Public Participation Suit
(Anti-SLAPP Suit).
Ruang Lingkup Hukum lingkungan yang terdapat didalam Pengaturan UU No. 32 Tahun 2009
mengatur secara komprehensif bussines process dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang mencakup:
(a) perencanaan;
(b) pemanfaatan;
(c) pengendalian;
(d) pemeliharaan;
(e) pengawasan; dan
(f) penegakan hukum.
Selanjutnya Instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa instrumen
baru yang diatur tersebut,antara lain:
a) instrumen pada perencanaan yang meliputi: inventarisasi lingkungan hidup, wilayah
ekoregion, rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b) instrumen pada pengendalian yang meliputi tahap pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan. Pada tahap pencegahan diatur mengenai: kajian lingkungan hidup strategis,
instrumen ekonomi (perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan
hidup, dan insentif serta disinsentif), peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan
hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, dan analisis resiko lingkungan hidup. Pada tahap
penanggulangan diatur mengenai: informasi peringatan ini, pengisolasian, dan penghentian
sumber pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Sedangkan pada tahap pemulihan diatur
mengenai: remediasi, rehabilitasi, dan restorasi fungsi lingkungan hidup
c) instrumen pada pemeliharaan yang meliputi: konservasi SDA, pencadangan SDA, dan
pelestarian fungsi atmosfer. Kemudian, beberapa instrumen lain yang sudah ada dan
diperkuat antara lain:
(i) AMDAL dan UKL-UPL;
(ii) perizinan;
(iii) audit lingkungan hidup;
(iv) pengawasan; dan
(v) penegakan hukum.
UU No. 32 Tahun 2009 memberikan pengakuan yang lebih kuat terhadap hak-hak masyarakat
atas LH. Secara politik hukum, lahirnya UU No. 32 Tahun 2009 ini didasari oleh pandangan
bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian integral dari HAM.
Jadi, UU No. 32 Th. 2009 melalui Pasal 65 menyatakan kemajuan jaminan hak atas lingkungan
terletak pada:
1. pengakuan hak atas lingkungan hidup yg baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Pengakuan ini memberikan implikasi yang cukup signifikan bagi hubungan hukum
antara masyarakat dengan negara. Diakuinya hak atas lingkungan hidup sebagai bagian
dari HAM melahirkan kewajiban konstitusi bagi negara dalam menghormati (to respect
), memenuhi ( to full fil ), dan melindunginya ( to protect)
2. 2. pengakuan thd hak akses atas informasi, partisipasi, dan keadilan di bidang
lingkungan hidup. Pengakuan ini menunjukkan bahwa UU No. 32 Tahun 2009 menaruh
perhatian terhadap "akses" bagi tercapainya hak atas lingkungan hidup yg baik dan
sehat. Akses ini merupakan perwujudan dari PARTISIPASI PUBLIK
3. perlindungan hukum bagi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup. Ketentuan ini bermaksud memperkuat kedua jaminan hak di atas dengan
memastikan bahwa hukum dan lembaga yang mewujudkan perlindungan itu harus dpt
melindungi setiap orang yg memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.
Partisipasi Negara menurut Konvensi Montevideo 1933, Syaratnya:
1. Pemerintah;
2. Rakyat;
3. Wilayah
4. Pengakuan Negara lain
Perlindungan terhadap Peran Serta Masyarakat dengan diwujudkannya Pasal Anti SLAPP (
Anti - Strategic Lawsuit Againts Public Participation (SLAPP Suit)) sebagaimana tercantum
dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009

INSTRUMEN PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN


LINGKUNGAN HIDUP

Pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan bagian penting dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pengendalian merupakan wujud keseimbangan
pertimbangan perlindungan lingkungan hidup dalam pelaksanaan aktivitas pembangunan. Ini
memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap berbagai asas perlindungan dan pengelolaan
lingkungan, seperti prinsip pencegahan, pencemar membayar, keserasian dan keseimbangan,
kelestarian dan keberlanjutan, dan sebagainya. Jika pengaturan tentang pengendalian dalam
UU No. 23 Tahun 1997 masih minim, pada UU 32 No. 2009 diatur lebih komprehensif, yaitu
1. Pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang mencakup
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
2. Pengaturan tentang instrumen pencegahan yang lebih komprehensif:

a. instrumen pencegahan tidak hanya mencakup tataran usaha atau kegiatan yang merupakan
hilir dari suatu proses pembangunan, melainkan mencakup pula pengendalian terhadap
kebijakan yang lebih makro. Beberapa instrumen yang relevan dengan hal ini misalnya, Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, instrumen ekonomi untuk perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan
hidup (green legislation), dan anggaran berbasis lingkungan hidup (green budget).

b. instrumen pencegahan tidak hanya mengedepankan pendekatan command and control


melalui perizinan dan pengawasan, melainkan juga pendekatan ekonomi dengan mengatur
lebih rinci tentang instrumen ekonomi, baik untuk mempengaruhi kebijakan fiskal (misalnya
neraca sumber daya alam, penyusunan produk domestik bruto (PDB) dan produk domestik
regional bruto (PDRB), dan jasa lingkungan hidup), pendanaan lingkungan hidup (dana
jaminan pemulihan, dana penanggulangan, dan dana amanah konservasi), hingga mekanisme
insentif/disinsentif (pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan, pajak dan retribusi
lingkungan, lembaga keuangan dan pasar modal remah lingkungan, izin pembuangan limbah
atau emisi, dan sebagainya).

3. Pengaturan tentang penanggulangan yang lebih rinci melalui peringatan dini (early
warning) pencemaran dan perusakan lingkungan, pengisolasian dampak, penghentian sumber
pencemaran dan perusakan lingkungan, dan sebagainya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.

4. Pengaturan tentang pemulihan yang lebih rinci melalui penghentian sumber


pencemaran dan perusakan lingkungan, remediasi, rehabilitasi, restorasi, dan sebagainya
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu instrumen pencegahan
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang baru diadopsi dalam UU.
Instrumen ini bertujuan untuk mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam
perencanaan pembangunan, tata ruang, serta penyusunan kebijakan, rencana, dan program
yang memiliki risiko terhadap lingkungan hidup. Scara politis, keberadaan KLHS dalam UU
No. 32 Tahun 2009 dimaksudkan “hak veto” lingkungan hidup adalah menolak aktivitas
manusia yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan Hidup. KLHS atau
Staregic Environmental Assessment (SEA) merupakan pendekatan baru dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia. Pendekatan ini muncul sebagai respon atas pengalaman bahwa
pengelolaan lingkungan hidup selama ini hanya terfokus pada skala proyek (usaha/kegiatan)
melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau environmental impact
assessment (EIA). Hal ini megakibatkan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup kurang berjalan efektif. Oleh karena itu, muncul inisiatif untuk menggunakan instrumen
KLHS agar pertimbangan perlindungan lingkungan hidup dapat diintegrasikan pada tahap yang
lebih awal sebelum perencanaan di tahap proyek, yaitu dalam proses penyusunan kebijakan,
rencana, dan program (KRP). UU No. 32 Tahun 2009 mendefiisikan KLHS sebagai rangkaian
analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Adapun muatan dari KLHS
mencakup:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Pembahasan RUU PLH di DPR mengerucut pada penegasan kedudukan KLHS sebagai
instrumen pencegahan yang dilakukan untuk aktivitas penyusunan KRP. Hal ini selaras dengan
latar belakang diadopsinya KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009, yaitu pengamanan
lingkungan hidup dengan upaya pencegahan di hulu dari proses penyusunan KRP. Sebelum
suatu proyek disetujui, ada tahapan yang seharusnya mengawalinya, yakni penyusunan KLHS.
KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang telah diluncurkan oleh
Pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan
kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategis yang menyebabkan
terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup yang diluncurkan pemerintah (KLH di tingkat pusat atau Badan Lingkungan
Hidup Daerah di provinsi/kabupaten/kota) cenderung terlepas atau terpisah dari KRP
pembangunan wilayah dan sektor tidak menyatu (embedded) atau tidak terintegrasi. Dengan
kata lain, pertimbangan lingkungan hidup tidak diintegrasikan dalam proses pengambilan
keputusan pada tahap formulasi kebijakan, rencana, atau pembuatan program-program
pembangunan. Dalam pokok pikiran UU No. 32 Tahun 2009, bila upaya pencegahan dapat
diawali mulai dari hulu, yakni dalam proses penyusunan KRP maka keamanan kegiatan atau
usaha lebih terjamin pertimbangan inilah yang mungkin melahirkan melahirkan dimuatnya
ketentuan tentang KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009. Atas pertimbangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari dilakukannya KLHS adalah:
1. Mengidentifikasi pengaruh atau konsekuensi dari KRP terhadap lingkungan hidup sebagai
upaya untuk mendukung proses pengambilan keputusan
2. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup ke dalam KRP sebagai bahan untuk untuk
penyempurnaan maupun rekomendasi perbaikan. Lebih jauh, Naskah Akademis RPP KLHS
menyatakan bahwa KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009 KLHS cenderung bersifat
instrumental. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat
transformatif atau substantifDiharapkan bahwa pada masa yang akan datang KLHS
berkontribusi langsungmemperbaiki mutu proses perumusan KRP.

Anda mungkin juga menyukai