Evy Nurinayah - 030846784

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH JUDICIAL REVIEW

DI INDONESIA

Disusun Oleh:
EVY NURINAYAH 030846784

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini guna melengkapi tugas yang
diberikan oleh Dosen Pengampu kami, Ibu Tahura Malagano, SH.,MH., pada Mata Kuliah
Teori Perundang-undangan di Univeristas Terbuka. Di samping itu, saya juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini berisi materi tentang “Judicial Review”. Inti sari dari makalah ini akan
dijabarkannya penjelasan tentang Pengujian peraturan Undang-undang Judicial Review dalam
politik hukum nasional, dan beserta uraian-uraian yang berkaitan. Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas Teori Perundang-undangan. Di
samping itu juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan pemahaman yang lebih
mendalam bagi para pembaca tentang Judicial Review.
Dari hati yang terdalam, saya mengutarakan permintaan maaf atas
kekurangan dalam makalah ini, karena makalah yangkami buat masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami berharap kritikan, saran, dan masukan yang membangun
dari pembaca guna penyempurnaannya ke depan. Akhir kata saya ucapkan terimakasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat sesuai dengan fungsinya.

Pringsewu, 19 Mei 2021

Evy Nurinayah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................ Error! Bookmark not defined.

1.1 Latar Belakang .................................................................... Error! Bookmark not defined.

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................3

2.1 Sejarah Judicial Review di Indonesia....................................................................................3

2.2 Dasar pengaturan Judicial Review di Indonesia ..................................................................4

2.3 Perspektif Ideal Judicial Review Dimasa yang Akan Datang ..............................................5

2.4 Perbandingan konsep Judicial Review dengan Beberapa Negara .........................................6

2.5 Konsep Ideal Judicial Review di Indonesia...........................................................................7

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................9

3.1 Kesimpulan............................................................................................................................9

3.2 Saran......................................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia adalah negara hukum Istilah negara hukum secara terminologis
terjemahan dari kata Rechtsstaat atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa
Barat lazim menggunakan istilah Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon
menggunakan istilah Rule of Law. Di Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa
diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum.1Dasar yuridis bagi negara Indonesia
sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen
ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”2 Konsep negara hukum mengarah
pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak asasi manusia, serta
kesejahteraan yang berkeadilan.
Regulasi pengujian peraturan perundang-udangan dalam sejarahnya mengalami pasang
surut perubahan, hal ini tidak lepas dari pengaruh kondisi politik hukum dalan
pembentukan Perundang-Undangan pada saat itu. Politik hukum secara umum dapat
dimaknai sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu kebijakan di bidang hukum. Kebijakan ini dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum, penerapan hukum, atau penegakan hukum itu sendiri.3 Pengujian
peraturan Perundang- Undangan ini menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas
peraturan Perundang-Undangan di negara kita. Pengujian peraturan Perundang-
Undangan ini merupakan suatu alat kontrol masyarakat terhadap hukum (peraturan
Perundang-Undangan) yang dibuat oleh lembaga negara. Mekanisme ini bertujuan untuk
menjaga konsistensi Peraturan Perundang-Undangan terutama terhadap prinsip-prinsip
dasar kehidupan bernegara yang sudah dijamin dalam UUD.4
Paska amandemen UUD, terdapat mekanisme baru dalam sistem Judicial Review yakni
munculnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji
Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Mekanisme ini membuka hak bagi warga

1
Ajar Triharso, Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan, Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, hlm. 5
2
Indonesia, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal. 1
3
Lutfil Ansori, “Politik hukum Judicial review ketetapan MPR”, Al-daulah : jurnal hukum dan perundangan
islam, Vol. 6 No. 1, april 2016, hlm. 29
4
. Nur Sholikin, Perbaikan Prosedur Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung, Jurnal Hukum dan
Peradilan, PSHK, Vol. 3 No. 2 Juli 2014, hlm. 149

1
negara untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang apabila terdapat
undang- undang yang merugikan hak konstitusional warga negara. Pengujian untuk
tingkat undang-undang merupakan sistem yang baru, sebelumnya dalam sistem
Perundang-Undangan Indonesia telah diterapkan pengujian peraturan Perundang-
Undangan di bawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung.5
Dasar ide akan adanya mekanisme Judicial Review adalah bagaimana caranya memaksa
pembentuk peraturan perundangan-undangtan agar taat terhadap norma hukum yang
tertuang dalam peraturan tingkat atasnya dan agar terbentuk peraturan Perundang-
Undangan yang selaras dengan ketentuan dalam konstitusi. Dibentuknya MK adalah
dimaksudkan dalam rangka menyempurnakan sistem dan meknaisme serta model
kewenangan Judicial Review di Indoensia. Hanya saja dalam praktiknya bahwa model
pengaturan yang demikian justru rentan menimbulkan sejumlah persoalan hukum.6

1.2 Rumusan Masaalah


Rumusan masalah dari penelitian ini ialah:
1. Bagaimana pengaturan tentang Judicial Review di Indonesia?
2. Bagaimana perspektif ideal pengaturan Judicial Review di Indonesia?

5
Ibid
6
Janpatar Simamora, Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial review di Indoensia, Mimbar
Hukum, Vol. 25 No. 3 Oktober 2013 hlm. 389-390

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Judicial Review di Indonesia


Adanya perubahan yang mendasar terhadap perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahuun 1945 maka di perlukannya sebuah mekanisme institusional
dan konstitusional serta lembaga negara yang mengatasi kemungkinan terjadinya
sengketa antar lembaga 1945. Dimana kewenangan untuk menguji UU terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945 harus diberikan kepada lembaga
tersendiri di luar MA. Atas dasar pemikiran itulah keberadaan MK yang berdiri sendiri di
samping MA.7 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan MK dapat di
pahami dari 2 sisi yakni sisi politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan,
keberadaan MK di perlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan Undang-Undang
yang dimiliki oleh DPR dan Presiden.Hal ini diperlukan agar Undang-Undang tidak
menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih
langsung oleh mayoritas rakyat. Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah salah satu
konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara
kesatuan, prinsip demokrasi dan prinsip Negara hukum yang terkandung dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945.8
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon
positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR.
Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya
ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan
Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR
2001 tanggal 9 November 2001. Kelahiran Mahkamah Konstitusi pada pasca-amandemen
UUD 1945 membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Hal ini disebabkan
oleh adanya suatu lembaga tersendiri yang khusus menjaga martabat UUD 1945 sebagai
norma tertinggi di Indonesia sehingga setiap tindakan yang berkaitan dengan konstitusi
ditanggapi secara khusus pula di Mahkamah konstitusi.

7
Ibid,h.188.
8
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hlm 8

3
Judicial Review di Indonesia sendiri dijalankan oleh dua lembaga Negara yakni
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (MA). Dalam pembagian tugasnya di
bagian Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945 yang mana MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji UU terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun
1945. Sedangkan Judicial Review di MA diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945 yang menyatakan “mahkamah
agung berwenang mengadili pada tingat kassasi, Dengan demikian maka Indonesia
merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi
yang berdiri sendiri setelah Austria pada 1920, Italia pada 1947 dan Jerman pada 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan pada
tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya MK.

2.2 Dasar Pengaturan Judicial Review di Indonesia


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan
landasan konstitusional yang khusus yakni dengan dicantumkannya kewenangan
pengujian undang-undang baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun Mahamah Agung.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disebutkan pada Pasal 24C. Kemudian kewenangan Mahkamah
Agung disebutkan dalam Pasal 24a Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Selain diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pengaturan Judicial Review juga meliputi beberapa peraturan perundang-
undangan; Pertama, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Salah satu dari hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah tentang
kewenangan dari mahkamah konstitusi itu sendiri, yakni yang terdapat dalam Pasal 10.
Kedua, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ketiga, Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 29
4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Keempat, Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

2.3 Perspektif Ideal Judicial Review Indonesia Dimasa Yang Akan Datang
Dengan model pengaturan Judicial Review yang meletakkan kewenangan melakukan
Judicial Review pada dua lembaga Negara yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung masih rentan dengan timbulnya permasalahan hukum, setidaknya ada dua
permasalalah yang terjadi karena model pengaturan ini:
1. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Dua Lembaga Negara
Adanya dua kelembagaan dalam menguji peraturan perundang-undangan tersebut
dapat menimbulkan permasalahan tersendiri, karena dengan demikian akan
menimbulkan tidak tegas dan integralnya visi serta konsepsi hukum yang akan
dibangun dalam kerangka pembaharuan hukum di Indonesia. Hal itu disebabkan,
karena kedua lembaga dapat dipastikan memiliki tolak ukur yang berbeda, tentang
visi hukum. Selain itu, desain tersebut membuka ruang inkonsistensi putusan yang
dikeluarkan antara MA dan MK.. Penting untuk ditelaah ulang tentang eksistensi MA
sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang.
Berdasarkan Pasal 8 BAB VI Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materil disebutkan bahwa dalam 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan MA
tersebut dkirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengenluarkan
peraturan perundang-undangan tersebut ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangn yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.9 Berangkat dari ketetuan ini, maka
peluang terjadinya persoalan dalam hal kewenangan Judicial Review antara MA dan
MK semakin terbuka. Dengan adanya ketetuan ini maka badan atau pejabat tat usaha
negara memiliki kesempatan untuk tidak melaksanakan putuan MA seketika sejak
putusan dibacakan sampai tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak pembacaan
putusan. Dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dimana badan tau pejabat
tata usaha negara belum menjalanakan putusan terkait perkara Judicial Review yang
dikeluarkan MA, sangat terbuka kemungkinan adanya pihak- pihak lain yang

9
Indoenesia, Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil psl 8.

5
menajukan perkara Judicial Review kepada MK dengan objek persoalan ketentuam
umdamg-undang yang telah dijadikan MA sebagai dasar hukum Judicial Review
terhadap peraturan ditingkat bawahnya.
Kemudian sebagaimana diketahui bahwa proses berperkara di MK tidak memerlukan
waktu yang relatif lama, artinya bahwa bisa saja MK memutus perkara yang diajukan
tanpa melebihi batas waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak keluarnyya putusan MA
terkait perkaa Judicial Review yang mana batu uji yang diperguanakan sednag diuji di
MK. Dengan demikian maka Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara bisa saja
mengesampingkan putusan MA sebelumnya atau mengartikulaskan putusan MK
sebagai putusan yang menggugurkan putusan MA sebelumnya. Pelaksanaan
Pemeriksaan Perkara di Mahkamah Agung Tidak Terbuka
Persoalan lain yang muncul dari aspek normatif pengaturan pengujian peraturan
perundang- undangan di MA adalah mengenai pemeriksaan permohonan. Selama
ini, proses pemeriksaan permohonan tidak melibatkan para pihak secara langsung
dalam persidangan. Pemohon maupun termohon hanya berhubungan secara surat
dengan Mahkamah Agung pada saat pengajuan permohonan oleh pemohon dan
penyampaian jawaban oleh termohon.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Mahkamah Agung
untuk melakukan pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang
tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur atau hukum acara pengujian ini.
Pengaturan mengenai prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang disinggung dalam UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Beberapa materi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut antara lain mengenai
subyek pemohon, waktu dimulainya pemeriksaan, amar putusan, dan pemuatan
putusan dalam berita negara. Selanjutnya. prosedur mengenai penanganan atau
hukum acara pengujian peraturan perundang- undangan diatur melalui Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

2.4 Perbandingan Konsep Judicial Review dengan Beberapa Negara


Pertama, Amerika Sebagai salah satu rujukan dalam perkembangan ketatanegaraan,
perkembangan Judicial Review di Amerika pantas untuk ditampilkan. Di Amerika
Serikat, sejarah Judicial Review merupakan bagian dari sejarah perdebatan di kalangan
para politisi dan ahli hukum mereka tentang konsep pemerintahan yang demokratis.
6
Walaupun banyak pertentangan, akan tetapi sejarah Amerika menunjukkan bahwa mereka
memiliki semangat untuk menempatkan sistem pemerintahan berdasarkan hukum, bukan
pemerintahan segelintir orang.
Di Amerika Serikat, Judicial Review dilaksanakan terhadap tiga wilayah kunci
interaksi ketatanegaraan yaitu, interaksi antar pemerintahan Negara Federal dan Negara
Bagian, interaksi antara organ-organ kenegaraan tingkat nasional dan interaksi antara
pemerintahan Negara Bagian dengan individu. Apresiasi terhadap peranan Supreme Court
dalam mendefinisikan hubungan-hubungan tersebut akan menekankan aspek signifikansi
dari perdebatan tentang Judicial Review.10
Kedua, Judicial Review di Jerman, Konstitusi Jerman tahun 1949 memunculkan
sebuah Federal Constitutional Tribunal yang meskipun dianggap sebagai bagian
kekuasaan peradilan, adalah penjaga tertinggi Konstitusi dan karena itu memiliki
kekuasaan untuk berpendapat tentang konstruksi Konstitusi Federal. Federal Constitution
memberikan kekuasaan eksklusif kepada Federal Constitutional Tribunal untuk menilai
konstitusionalitas hukum-hukum federal dan hukum-hukum the Lander.11 Anggota
Federal Constitutional Tribunal ini dipilih oleh badan perwakilan federal, Bundestag
(National Council) dan the Bundesrat (Federal Council). Anggota terpilih tidak
diperbolehkan lagi menjadi anggota kedua organ tersebut dan organ lainnya yang
terkait.12
Keunikan lainnya dari Judicial Review oleh MK Jerman adalah beberapa lembaga
politik dapat menghentikan suatu proses perkara yang didasarkan suatu UU yang
diragukan konstitusionalitasnya. Karenanya, lembaga politik tersebut dapat mem-pending
pelaksanaan putusannya sampai mendapatkan putusan MK mengenai konstitusionalitas
UU tersebut.
Ketiga, Judicial Review di Korea Selatan, Di Konstitusi Korea Selatan, Mahakamh
Konstitusi diatur dalam Konstitusinya, yaitu pada Pasal 107 dan dalam Bab VI yang
berisi tiga Pasal, yaitu Pasal 111, Pasal 112, dan Psal 113. Konstitusi Korea menyatakan,
bahwa Mahkamah Konstitusi dapat menilai konstitusionalitas suatu hukum berdasarkan
permintaan pengadilan biasa. Berdasarkan ketentuan ini, sidang atas suatu pengujian
peraturan dapat dimulai jika peraturan itu terkait dengan suatu kasus yang disidang di

10
Albert P. Melon dan George Mace, Judicial review and American Democracy, United States, Iowa State
University Press, 21.
11
Ibid, hlm 205.
12
Ibid, hlm 204

7
pengadilan biasa dan hanya jika pengadilan yang sedang menangani kasus tersebut
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk dinilai konstitusionalitasnya.
Hakim pada pengadilan umum dapat memohon sidang jika hakim memiliki kecurigaan
yang berasalan mengenai konstitusionalitas suatu peraturan. Jika permohonan itu
diajukan, kegiatan pada pengadilan biasa yang bersangkutan ditunda hingga ada
keputusan dari Mahkamah Konstitusi . Tetapi jika pengadilan merasa perlu, kegiatan
diluar memutuskan hasil akhir dari perkara tersebut dapat dilakukan. Ketentuan yang
hanya memberikan wewenang kepada pengadilan untuk mengajukan konstitusionalitas
suatu peraturan tidak berpengaruh signifikan, karena pada akhirnya tergantung dari
keaktifan dari pengadilan.13

2.5 Konsep Ideal Judicial Review di Indonesia


Belajar dari pengalaman terkait dengan lahirnya persoalan hukum terkait dengan konsep
pengaturan serta kewenangan lembaga yang berwenang melaksanakan Judicial Review
yang diserahkan kepada dua lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman serta adanya
potensi permasalahan yang dikhawatirkan akan muncul dikemudian hari, maka patut
kiranya untuk mengkaji ulang konsep pengaturan kewenangan Judicial Review yang lebih
ideal bagi bangsa Indonesia yakni dengan memberikan kewenangan pengujian yang ada
di MA di alihkan ke MK.14
Dalam rangka mengefektifkan kewenangan Judicial Review, MK bisa saja menerapkan
sistem persidangan lewat jalur teleconference, sehingga pihak-pihak yang mengajukan
Judicial Review, khususnya terhadap peraturan perundang- undangan setingkat peraturan
daerah (Perda) yang tersebar diseluruh daerah tidak lai terkendala dengan masalah
keberadaan MK yang hanya berekedudukan di Jakarta. Penerapan persidangan lewat
teleconference juga bisa diterapkan dalam rangka pemeriksaan berbagai alat bukti,
termasuk dalam rangka mendengarkan keterangan saksi.

13
Ibid hlm 25
14
M. Nur Sholikin, Perbaikan Prosedur Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung, Jurnal Hukum
dan Peradilan Op cit.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penjelasan tersebut diatas maka kesimpulan yang dapat ditarik dari
penelitian ini adalah: pertama, pengaturan tentang Judicial Review sudah tercantum
dalam beberapa peraturan perundang-undangan namun tentunya belum sempurna dan
masih terdapat beberapa kekurangan baik secara konsep penganturn maupun teknis.
Kedua, Pelaksanaan Judicial Review yang dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan yakni
MA dan MK terdapat beberapa kelemahan dan persoalan sehingga kedepannya bisa di
rekonsepsikan pengaturan tentang kewenangan Judiccial Review yang lebih ideal yakni
dengan melimpahkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.

3.2 Saran
Mengenai dasar pengaturan Judicial Review di indonesia meliputi beberapa peraturan
perundang-undangan namun peramasalahan yang terjadi terdapat pada landasan
konseptual dari pengaturan Judicial Review ini sendiri, sehingga penysusun sarankan agar
ditinjau kembali mengenai model kewenangan Judicial Review di Indonesia Kemudian
terkait dengan konsep ideal Judicial Review dimasa yang akan datang penyusun sarankan
agar kewenangan untuk melakukan Judicial Review diintegrasikan menjadi satu atap
yakni ke Mahkamah Konstitusi, yakni dengan mengamandemen ketentuan BAB IX
tentang kekuasaan kehakiman pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ajar Triharso, Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan, Universitas Airlangga, Surabaya, 2013
Albert P. Melon dan George Mace, Judicial review and American Democracy, United States,
Iowa State University Press
Janpatar Simamora, Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial review di
Indoensia, Mimbar Hukum, Vol. 25 No. 3 Oktober 2013
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
Lutfil Ansori, “Politik hukum Judicial review ketetapan MPR”, Al-daulah : jurnal hukum
dan perundangan islam, Vol. 6 No. 1, april 2016.
M. Nur Sholikin, Perbaikan Prosedur Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung,
Jurnal Hukum dan Peradilan, PSHK, Vol. 3 No. 2 Juli 2014,

10

Anda mungkin juga menyukai