B2-KELARUTAN ZAT PADAT-wahyu Azizah-2001086
B2-KELARUTAN ZAT PADAT-wahyu Azizah-2001086
B2-KELARUTAN ZAT PADAT-wahyu Azizah-2001086
FARMASI FISIKA
PEKANBARU
2021
PERCOBAAN 1
A. Tujuan praktikum
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :
1. Menentukan kelarutan zat padat secara kuantitatif
2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan zat
3. Menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat
aktif dalam air untuk pembuatan zat cair.
B. Tinjauan pustaka
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, yang disebut sebagai zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Pelarut umumnya merupakan
suatu cairan yang dapat berupa zat murni ataupun campuran. Zat terlarut dapat berupa
gas, cairan lain, atau padatan. Tingkat kelarutan bervariasi mulai dari sangat mudah larut
hingga praktis tidak larut. Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisikokimia zat
terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan dan pH larutan.
Secara kuantitatif kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai suatu konsentrasi zat terlarut di
dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan juga dapat dinyatakan
dalam satuan molaritas, molalitas, dan persen.
Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam
pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi cair seperti suspensi, emulsi, eliksir, obat
tetes mata, injeksi dll dibuat dengan pembawa air. Bahkan untuk bentuk sediaan padat
pun seperti tablet dan kapsul yang diberikan secara oral, data kelarutan tetap diperlukan
karena didalam saluran cerna obat harus dapat melarut dalam cairan saluran cerna yang
komponen utamanya adalah air. Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran
cerna dalam keadaan terlarut kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis.
Oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu zat aktif
adalah dengan menaikkan kelarutannya di dalam air.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan zat antara lain adalah :
pH
suhu
jenis pelarut
bentuk dan ukuran partikel zat
konstanta dielektrik bahan pelarut
adanya zat-zat lain seperti surfaktan, pembentuk kompleks dll.
Pengaruh Surfaktan terhadap kelarutan zat padat
Surfaktan (surface active agent) merupakan suatu molekul yang mengandung
gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Secara umum kegunaan
surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar muka,
meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi,
misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O). Surfaktan dibagi menjadi empat
kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir semua sektor industri modern.
Secara kimiawi surfaktan terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sehingga
disebut juga mempunyai HLB atau Hydrophillic Lipophillic Balance. Gugus lipofilik
(umumnya) berupa rantai hidrokarbon dan gugus hidrofilik menentukan jenis surfaktan:
Surfaktan anionik
Gugus hidrofil: anion
Contoh : Na-lauril sulfat, Na-oleat, Na-stearat.
Surfaktan Kationik
Gugus hidrofil: kation
Contoh : Zehiran klorida, Setil trimetil ammonium bromida, Benzilkonium klorida.
Surfaktan Non Ionik
Gugus hidrofil: non ionik
Contoh : Tween-80, Span-80 Surfaktan Amfoterik
Contoh : fosfobetain
Nilai HLB akan menentukan sifat surfaktan, semakin rendah nilai HLB suatu
surfaktan maka akan semakin lipofilik surfaktan tersebut, sedangkan jika semakin tinggi
nilai HLB maka surfaktan tersebut akan semakin bersifat hidrofilik. Dispersi molekul
surfaktan ini secara termodinamika, tidak stabil dimana bagian non polar mengganggu
struktur air sedangkan dipihak lain bagian polar mempunyai afinitas lebih besar terhadap
air. Oleh karena itu surfaktan mempunyai kecenderungan untuk berkelompok membentuk
misel, konsentrasi pada saat terbentuknya misel disebut dengan "Critical Micelle
Concentration (CMC)".
Sifat yang terpenting dari misel ini adalah kemampuannya untuk menaikkan
kelarutan zat-zat yang biasanya sukar atau sedikit larut dalam pelarut yang digunakan.
Proses ini dikenal dengan solubilisasi, dimana terjadi antara molekul zat yang sukar larut
berasosiasi dengan misel surfaktan membentuk suatu larutan yang jernih dan stabil secara
termodinamika.
Pengaruh Pelarut Campur terhadap Kelarutan Zat Padat
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu oleh
dipol momennya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lainnya. Sesuai
dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan melarutkan
gula dan senyawa polihidroksi yang lain (Martin, 2008).
Aksi pelarut dari cairan nonpolar, seperti hidrokarbon, berbeda dengan zat polar.
Pelarut nonpolar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion elektrolit kuat
dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut juga tidak dapat
memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi lemah karena pelarut aprotik,
dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan nonelektrolit. Oleh karena itu zat
terlarut ionik dan polar tidak larut atau hanya dapat larut sedikit dalam pelarut nonpolar
(Martin, 2008).
Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat
polaritas tertentu dalam molekul pelarut nonpolar, sehingga menjadi dapat larut dalam
alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan. Kenyataanya, senyawa
semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang dapat menyebabkan
bercampurnya cairan polar dan nonpolar. Sesuai dengan itu, aseton menaikkan kelarutan
eter di dalam air (Martin, 2008).
A. PENGARUHSURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN ZAT PADAT
Alat Bahan
Buret 10 ml Larutan tween
pipet gondok 10 ml Aquades
erlemeyer Larutan NaOH
kertas saring Indikator PP
Kalium Hidrogen Phtalat
B. Cara kerja
a). pembakuan NaOH
kalium hydrogen phtalat sebanyak 300 mg dimasukan kedalam erlemeyer lalu
dilarutkan dengan 10 ml aquades, lalu ditambah 1-2 tetes indicator PP
titrasi NaOH hingga terjadi perubahan warna menjadi wrna merah muda stabil
catat volume yang di titrasi dan hitung normalitas NaOH, titasi dilakukan
sebanyak 3 kali.
Normalitas NaOH dihitung dengan rumus
mg
N=
BE X V
b). Penentuan kadar asetosal dalam larutan surfaktan
Buat 50 ml larutan surfaktan dalam berbagai konsentrasi: 1%, 3%, 5%, dan 10% b
/ v dalam akuades.
Timbang 500 mg asetosal.
Masukkan 50 ml larutan surfaktan dan asetosal yang ditimbang ke dalam
erlenmeyer 125 ml, asetosal dilarutkan dalam larutan surfaktan dengan bantuan
pengaduk magnetik selama lebih kurang 15 menit.
saring ke dalam erlenmeyer 50 ml.
Tentukan kadar asetosal dengan cara: dipipet 10 ml filtrat, dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Ditambahkan NaOH 0,1 N sampai terjadi warna merah muda.
Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali.
Lakukan percobaan blangko (menggunakan aquadest 50 ml saja), lalu hitung
jumlah asetosal larutan. tetes indikator PP kemudian titrasi dengan larutan yang
terlarut (mg) dan tentukan% kadar asetosal yang terlarut dalam setiap
Buat grafik antara% surfaktan dengan% asetosal yang terlarut
mg asetosal terlarut: V x Nx BE
Vol.rata- Asam
% kadar asetosal
No Konsentrasi surfaktan rata salisilat yang
terlarut
NaOH terlarut (mg)
1. Blangko (aquadest) 50 ml 0,1N
2,46 44,33mg/10ml 44,33%
2. Tween 80 1% 3,067 55,27 mg/10ml 55,27%
3. Tween 80 3% 3,9 70,28 mg/10ml 70,28%
4. Tween 80 5% 4,33 78,03 mg/10ml 78,03%
5. Tween 80 10% 5,73 103,25 mg/10ml 103,25%
1. Pembakuan NaOH
Vol NaOh :
V1 = 14,6
V2 = 15,3
V3 = 15,7
2,6
3,067 55,2601mg/10ml 55,2601%
2 Tween 80 1% 3
3,1
3,1
3 Tween 80 3% 4,1
3,9 70,28mg/10ml 70,28%
3,9
3,7
4 Tween 80 5% 4,2
4,33 78,026mg/10ml 78,026%
4,5
4,3
5 Tween 80 10% 5,7
5,73 103,25mg/10ml 103,25%
5,7
5,8
Perhitungan Tween 80
Massa surfaktan :
M1 = 1g / 100 ml x 50 ml = 0,5 g (1%)
M2 = 3g / 100 ml x 50 ml = 1,5 g (3%)
M3 = 5g / 100 ml x 50 ml = 2,5 g (5%)
M4 = 10g / 100 ml x 50 ml = 5,0 g (10%)
1. Blangko
V1 = 2,5 ml
V2 = 2,3 ml
V3 = 2,6 ml
Vrata-rata = 2,46 ml
Mg = V.N.BE
= 44,43 mg/10ml
= 44,33 %
2. Tween 80 1%
V1 = 3 ml
V2 = 3,1 ml
V3 = 3,1 ml
Vrata-rata = 3.067 ml
Mg = V.N.BE
= 55,2601 mg/10ml
= 55,2601 %
3. Tween 80 3%
V1 = 4,1 ml
V2 = 3,9 ml
V3 = 3,7 ml
Vrata-rata = 3,9 ml
Mg = V.N.BE
= 70,28 mg/10ml
% Kadar = 70,28 /500 X 50/10 X 100 %
= 70,28 %
4. Tween 80 5%
V1 = 4,2 ml
V2 = 4,5 ml
V3 = 4,3 ml
Vrata-rata = 4,333 ml
Mg = V.N.BE
= 78,026 mg/10ml
= 78,026 %
5. Tween 80 10%
V1 = 5,7 ml
V2 = 5,7 ml
V3 = 5,8 ml
Vrata-rata = 5,733 ml
Mg = V.N.BE
= 103,25 mg/10ml
= 103,25 %
Grafik
120%
100%
80%
60%
% Kadar Asetosal
40%
20%
0%
Blangko 1% 3% 5% 10%
B. PENGARUH PELARUT CAMPUR TERHADAP KELRUTAN ZAT PADAT
Alat Bahan
Buret 10 ml aquades
pipet gondok 10 ml Larutan NaOH 0,1 N
erlemeyer saerbuk teofilin
kertas saring indikator PP
kalium hidrogen
gliserin Phtalat
etanol
B. Cara kerja
a). Pembakuan larutan NaOH
Kalium hidrogen phtalat sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu
dilarutkan dengan 10 ml aquadest, kemudian tambahkan 1-2 tetes indikator PP.
Titrasi dengan larutan NaOH hingga terjadi perubahan warna dari tidak berwarna
menjadi warna merah muda stabil. Catat volume titrasi dan hitung normalitas
NaOH. Titrasi lakukan sebanyak tiga kali.
Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:
mg
N = BE X V
1 0 55,41%
2 5% 64,425%
3 10% 68,925%
4 15% 73,425%
5 20% 77,95%
Vol NaOh :
V1 = 14,6
V2 = 15,3
V3 = 15,7
Volume Volume
%
kosentrasi NaOH rata-rata Kadar teofili
NO kadar
tween 80 terpakai NaOH terlarut (ml)
teofilin
(ml) (ml)
22,165
1 I 1,3 1,23 55,41%
mg/10ml
1,2
1,2
25,77
2 II 1,4 1,43 64425%
mg/10ml
1,5
1,4
27,57
3 III 1,6 1,53 68925%
mg/10ml
1,5
1,5
29,37
4 IV 1,6 1,63 73425%
mg/10ml
1,6
1,7
31,175
5 V 1,7 1,73 mg/10ml 77,59%
1,7
1,8
% GLISERIN
0
×100 %=0 %
50
2,5
×100 %=5 %
50
5
×100 %=10 %
50
7,5
×100 %=15 %
50
10
×100 %=20 %
50
1. Pelarut I
Air + Alkohol + Gliserin =
45 + 5 +0 = 50 ml
Volume rata-rata NAOH
V 1+V 2+V 3
V rata-rata =
3
1,3 ml+1,2 ml+1,2 ml
= 3
= 1,23 ml
Teofilin yang terlarut
Mg = V × N × BE
= 1,23 ×0,1 ×180,2
= 22,165 mg/10ml
% Kadar teofilin terlarut
22,165 50
% = × × 100 %
200 10
= 55,41%
2. Pelarut II
Air + Alkohol + Gliserin =
42,5 +5 + 2,5 = 50 ml
5. Pelarut IV
Air + Alkohol + Gliserin =
37,5 +5 + 7,5 = 50ml
Grafik
% Kadar Teofilin
90%
80%
70%
60%
50% % Kadar Teofilin
40%
30%
20%
10%
0%
0% 5% 10% 15% 20%
1. Praktikum kali ini membahas tentang “Kelarutan Zat Padat”. Pada praktikum ini
menggunakan KHP (Kalium Hidrogen Phatalat) untuk menentukan normalitas NaOH,
juga menggunakan titrasi dengan menggunakan indicator PP untuk menentukan titik
akhir dari titrasi.
Pencampuran larutan yaitu antara air dengan surfaktan dengan perbandingan yang
berbeda-beda sesuai dengan yang telah ditentukan. Kemudian sampel (asam salisilat atau
asetosol) dilarutkan dalam pelarut yang telah ditambahkan sulfaktan tersebut. Setelah itu
dilakukan titrasi. Pembakuan terhadap larutan pembakuan sekunder (NaOH). Titrasi yang
digunakan adalah titrasi asam basa yaitu titrasi terhadap larutan asam salisilat atau
asetosol terhadap larutan yang berasal dari basa yang menggunakan indicator PP.
NaOh diakukan pembakuan terlebih dahulu karena NaOh bersifat higroskopis
selama penyimpanan. Pembakuan hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa NaOh yang
digunakan masih dalam normalitas yang seharusnya yaitu NaOh 0,1 N.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi konsentrasi, maka surfaktan
mengagregasi membentuk misel.
Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut dengan Critical Micelle Concentration
(CMC). Tegangan permukaan akan turun sehingga CMC akan tercapai. Tween 80 dapat
menurunkan tegangan permukaan antara obat dan medium sehingga membentuk misel,
sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam medium.
Berdasarkan grafik hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar asetosal semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan yaitu tween 80. Grafik
kenaikan menunjukkan garis lurus yang berarti konsentrasinya menjadi konstan. Hal ini
menunjukkan surfaktan tersebut telah menurunkan tegangan permukaan pada larutan
asetosal sampai titik critical micelle concentration (CMC)
2. Sampel yang digunakan dalam percobaan ke II ini adalah Teofilin. Karena berdasarkan
monografi dari farmakope Indonesia edisi III teofilin larut dalam lebih kurang 180 bagian
air, lebih mudah larut dalam air panas, larut dalam lebih kurang 120 bagian etanol (95%)
p sehingga digunakan teofiin dalam percobaan ini. Salah satu cara untuk meningkatkan
kelarutan dari teofilin yaitu dengan penambahan pelarut campur.
Pelarut campur ini adalah campuran dari air, alkohol dan gliserin dengan
konsentrasi yang berbeda-beda, mulai daro 0% hingga 20%.
Kelarutan suatu obat dipengaruhi oleh polaritas pelarutnya yaitu oleh momen
dipolnya. Pelarut pada polar akan malerutkan zat terlarut ionik dan zat polar lainnya.
Sedangkan pelarut non poar tidak dapat mengurangi gaya tarik menarik ion-ion elektrolit
kuat dan lemah. Karena tetapan dielektrik yang rendah. Pelarut juga tidak dapat
memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi lemah karena pelarut aprotik
dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dan non elektrolit.
Tetapan dieektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari
tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan % voume masing-masing
komponen pelarut. Ada kalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran
dibandingkan pelarut tunggalnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah co-solveny dan
pelarut yang mana dalam bentuk campuran dapat menaikkan kelarutan suatu zat disebut
co-solvent. Etano, gliserin dan propilenglikol adalah co-solvent yang umum digunakan
dalam bidang farmasi untuk pembuatan eliksir.
Berdasarkan grafik hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar teofilin semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi gliserin. Karena semakin meningkat
konsentrasi gliserin atau pelarut campur maka semakin tinggi kelarutan cepat larut
teofilin dalam pelarut campur tersebut.
C. Kesimpulan dan saran
1. Surfaktan merupakan suatu molekul yang dapat mempersatukan campuran yang terdiri
dari air dan minyak. Sampel yang digunakan yaitu asetosal. Kelarutan adalah
kemampuan suatu zat kimia tertentu zat terlarut untuk larut dalam suatu pelarut. Semakin
tinggi konsentrasi surfaktan, maka semakin banyak asetosal atau zat aktif yang dapat
larut dengan perbandingan yang linear. Usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kelarutan adalah pembentukan kompleks, penambahan pelarut dan penambahan
surfaktan.
2. Kelarutan zat adalah zat yang dinyatakan sebagai kondisi zat terlarut dalam larutan
jenuh pada suhu dan tekanan tertentu. Campuran yang sering digunakan adalah air,
alcohol, dan gliserin. Semakin tinggi konsnetrasi gliseri pelarut campur semakin tinggi %
kadarnya. Semakin banyak % gliserin yang konstan makan konsentrasi teofilin semakin
banyak. Sebaliknya jika % gliserin yang konstan makan konsentrasi teofilin semakin
sedikit atau berkurang. Jadi, pada pelarut campur sangat mempengaruhi kelarutan suatu
zat.
D. Daftar pustaka
Agoes, 6. 2006. Pengembangan Sediaan Farmasi, Bandung : Penerbit ITB
Anzel c, Howard. 1989. Pengantar bentuk sediaan I fosinasi. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Ditjen Pom. 1990. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta
Martin, Alfned. 1990. Farmasi Fisika Edisi I. Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
Roth Herman, J. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM Press
R, Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi ke III. Yogyakarta:
Gadjah Mada, University Press.
Tungandi, Robert. 2009. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Gorontalo: Jurusan
Farmasi Universitas Gorontalo.