Gambar Iii1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen 1949 1

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

Bab III

Tinjauan Daerah Penelitian

III.1. Fisiografi dan Geomorfologi Daerah


Secara regional, fisografi Jawa Barat terbagi atas 4 bagian besar, yaitu Zona
Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan
Selatan Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949), sebagaimana terlihat pada Gambar
III.1. Desa Cinyasag, Kabupaten Ciamis terletak pada Zona Bogor bagian timur,
yang terbentang memanjang barat - timur melalui kota Bogor sampai Bumiayu di
Jawa Tengah. Pada lembar Geologi Indonesia, daerah penelitian termasuk dalam
Lembar Tasikmalaya oleh T. Budhitrisna, yang dicirikan oleh beberapa corak
morfologi.

Daerah Penelitian

Gambar III.1. Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

III.1.1 Zona Dataran Pantai Jakarta


Daerah ini memanjang ke timur dari ujung barat Pulau Jawa, mengikuti pantai
utara Jawa Barat ke kota Cirebon, dengan lebar sekitar 40 km. Morfologi daerah

27
ini umumnya datar, kebanyakan ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi
oleh lahar gunungapi muda.

III.1.2 Zona Bogor


Zona Bogor terletak di sebelah selatan Dataran Pantai Jakarta. Daerah ini
memanjang dari barat ke timur melalui kota Bogor, Purwakarta menerus ke
Bumiayu di Jawa Tengah, dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor
umumnya mempunyai morfologi berbukit-bukit yang umumnya memanjang barat
- timur di sekitar kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah timur Purwakarta
perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di sekitar kota
Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai
antiklinorium.

Beberapa intrusi telah membentuk morfologi yang lain pula yang umumnya
mempunyai relief lebih terjal. Sedangkan aliran sungai umumnya ke arah utara
bersifat subsekuen terhadap jurus perlipatan. Namun ada beberapa tempat
sungainya membentuk pola dendritik, disebabkan sifat batuan yang dilaluinya
tidak berlapis dan monoton.

III.1.3 Zona Bandung


Batas antara Zona Bogor dengan Zona Bandung yang berada di selatannya, tidak
terlalu jelas di lapangan, karena tertutup oleh endapan gunungapi muda. Van
Bemmelen (1949) menyatakan bahwa zona ini merupakan depresi diantara
gunung-gunung (intermontagne depression). Zona ini melengkung dari Pelabuhan
Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui kota Bandung, dan
berakhir di Segara Anakan di muara S. Citanduy, dengan lebar antara 20 - 40 km.

III.1.4 Zona Pegunungan Selatan


Batas zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung di beberapa
tempat sangat mudah dilihat, seperti misalnya di Lembah Cimandiri. Di sini batas
tersebut merupakan perbedaan morfologi yang menyolok dari perbukitan
bergelombang pada Lembah Cimandiri, langsung berbatasan dengan dataran

28
tinggi dari Pegunungan Selatan, dengan beda tinggi sekitar 200 m (Pannekoek,
1946). Morfologi Pegunungan Selatan Jawa Barat telah dipelajari secara
mendalam oleh Pannekoek (1946), dan menekankan pentingnya dua generasi
morfologi, yakni : morfologi Pra-Miosen Akhir dan morfologi Resen. Kedua
satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidak selarasan.

III.1.5 Morfologi Daerah Penelitian


Geomorfologi daerah penelitian dikontrol oleh struktur (sesar, lipatan) dan
vulkanik. Geomorfologi yang dikendalikan oleh struktur seperti sesar dan lipatan,
disebut ”Satuan Denudasi Struktur”. Satuan ini terhampar sangat luas dengan
variasi topografi dan kemiringan lereng serta litologi yang beragam. Sementara itu
satuan morfologi yang dikendalikan oleh penyebaran hasil letusan gunungapi
dikenal dengan ”Satuan Denudasi Vulkanik”. Litologi satuan ini relatif homogen,
berupa endapan hasil letusan gunungapi (Van Zuidam, 1985).

07
0
00’

07
0
30’

108000’ 108030’

Gambar III.2. Kenampakan morfologi daerah penelitian dari citra satelit (Google
Earth)

Berdasarkan kenampakan bentang alamnya, Van Zuidan (1985) membagi


morfologi daerah penelitian dan sekitarnya menjadi beberapa sub satuan denudasi,
yakni S1, S2, S3, V10, dan V11. Sub satuan S1 terbentang di sebelah baratdaya
lokasi penelitian dengan kemiringan lereng relatif landai (10 0-300). Morfologi sub

29
satuan ini tersusun oleh batuan dengan tingkat kekerasan lunak – sedang, seperti
batulempung, batupasir berselangseling batulempung. Sub satuan S2 memiliki
bentuk morfologi dan sifat batuan yang hampir sama dengan S1. S2 terbentang di
sebelah timurlaut lokasi penelitian yang dibatasi oleh tebing-tebing yang terjal
dengan pola aliran sungai yang dikontrol oleh litologi. Sementara itu S3
memanjang dari baratlaut sampai tenggara melewati daerah penelitian. Bentuk
morfologi merupakan perbukitan yang luas dengan kemiringan lereng antara 20 0-
700. Batuan penyusunnya merupakan batuan keras seperti batupasir, breksi
volkanik, perselingan batulempung dan batupasir.

Sub satuan V10 terbentang di sebelah utara lokasi penelitian dengan


0
bentuk morfologi berupa dataran luas yang memiliki kemiringan sekitar 3 -100.
Morfologi ini tersusun oleh batuan dengan tingkat kekerasan lunak, seperti
endapan tufa yang menyusun perbukitan bergelombang rendah. Sedangkan V11
terhampar dari barat ke baratdaya melewati kampung Kondang (salah satu lokasi
pengambilan data). Morfologinya berupa perbukitan terjal dengan kemiringan
lereng 200-800dengan batuan penyusun yang memiliki tingkat kekerasan sedang –
keras, seperti lahar dan breksi. Pola aliran sungai adalah dendritik karena
kemenerusan aliran sungai tidak dipengaruhi oleh struktur geologi. Erosi yang
paling intensif terjadi pada Sungai Cigede.

Daerah Cinyasag yang termasuk dalam sub satuan S3 dan V11 berada pada kaki
lereng Gunung Cijulang (±1393m) sebelah tenggara, yang membentuk perbukitan
melandai (Gambar III.3) ke arah sungai S. Cigede yang bermuara ke S. Cijulang
dengan pola aliran sungai “sub dendritik” dan bersifat mengalir tidak mengenal
musim seperti terlihat pada Gambar III.4. Ketinggian daerah penelitian berkisar
antara 600 sampai 755 meter di atas permukaan laut, sedangkan puncak-puncak
bukitnya antara lain: Pasir Heulang ( ±731m), Pasir Simpur (±550 m) dan Gunung
Datar (±735 m).

30
Gambar III.3. Gambaran morfologi daerah penelitian (Pusat vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005)

PETA LOKASI
DAERAH PENELITIAN GERAKAN TANAH
DI DESA CINYASAG, KEC. PANAWANGAN,
KAB. CIAMIS - JAWA BARAT

Cirikip

Lokasi Penelitian

Gambar III.4. Pola aliran sungai daerah enelitian (Pusat vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005)

31
III.2. Stratigrafi dan Struktur Geologi
Berdasarkan peta geologi lembar Tasikmalaya stratigrafi dibedakan jenisnya,
antara lain: Endapan Permukaan terdiri atas Endapan Undak dan Aluvium;
Batuan Sedimen tersusun oleh beberapa Formasi, yaitu Formasi Jampang,
Formasi Pemali, Batugamping Kalipucang, Formasi Halang, Anggota
Gununghurip, Formasi Bentang, Anggota Sukaraja, Formasi Tapak, dan Formasi
Kaliwangu; Batuan Gunungapi juga tersiri atas beberapa Formasi, yaitu Formasi
Cijulang, Hasil Gunungapi Tua, Hasil Gunungapi Muda, dan Breksi Gunungapi
Galunggung; dan Batuan Terobosan terdiri atas Dasit, Diorit, dan Andesit.
Sedangkan di sekitar daerah penelitian terdapat tiga Formasi utama yang umum
dijumpai, yaitu Formasi Halang, Formasi Cijulang dan Hasil Gunungapi Tua
(Gunung Sawal).

Formasi Halang merupakan batuan sedimen yang terdiri atas: perselingan


batupasir, batulempung dan batulanau dengan sisipan breksi dan batupasir
gampingan yang memiliki ketebalan melebihi 400 m. Batuan umumnya berwarna
kelabu sampai kehijauan, berlapis baik, keras dan padat. Pada Formasi Halang,
tersingkap Anggota Gunung Hurip yang tersusun oleh breksi gunungapi,
batupasir, serpih, dan konglomerat dengan tebal sekitar 200 – 400 m. Batuan
umumnya berwarna kelabu berlapis baik. Sedangkan Formasi Cijulang terdiri atas
breksi gunungapi bersisipan lava, tufa, dan batupasir tufaan dengan ketebalan
paling besar 1000 m. Breksi berwarna kelabu, keras dan pejal berkomponen
andesit. Satuan ini tertutup oleh Hasil Gunungapi Gunung Sawal tak selaras di
bagian timurlaut. Breksi gunungapi tersebut menumpang di atas batulempung dan
batulanau secara tidak selaras. Hal ini dapat dilihat dalam kolom stratigrafi yang
ditampilkan pada lampiran B1.

Struktur geologi yang ada di daerah ini berupa patahan naik (sesar naik) menyudut
lancip dengan arah baratlaut – selatan menenggara, terletak di bagian utara
kampung Kondang yang melalui daerah Sadapaingan – Citanduy seperti terlihat
pada Gambar III.5. Pengaruh dan akibat sesar tersebut terlihat jelas di lapangan
bahwa adanya batulempung dan batulanau pada jurus dan kemiringan lapisan

32
yang besar atau tidak beraturan di beberapa lokasi dan terdapat gawir gerakan
tanah lama sehingga mempengaruhi kekerasan batuan dan kestabilan lereng.

Gambar III.5. Peta Geologi Daerah Penelitian (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi Bandung, 2005)

III.3. Tata Guna Lahan


Pada umumnya, tata guna lahan daerah penelitian adalah perkebunan campuran
(berupa pohon albasia, kopi, bambu dan beberapa jenis tanaman produktif
lainnya); di lereng bagian bawah merupakan permukiman (Kondang, Cirikip dan
Cinyasag); jalur jalan raya, dan persawahan yang subur, seperti terlihat pada
Gambar III.6a,b. Kondisi air permukaan di daerah penelitian cukup melimpah,
yaitu dengan adanya anak-anak sungai yang berasal dari Gunung Cijulang dan
saluran irigasi yang melalui daerah penelitian mengarah ke Sungai Cigede. Selain
itu, masyarakat setempat mengembangkan peternakan ikan air tawar yang
membutuhkan sirkulasi air permukaan yang cukup (Gambar III.6c).

Berdasarkan hasil pengamatan curah hujan daerah penelitian antara tathunn 2000
sampai 2006 di stasiun penakar hujan di Kecamatan Panawangan yang berjarak
lebih kurang 1 km, menunjukkan bahwa curah hujan terendah terjadi pada bulan
April sampai September, yaitu sekitar 142,00 – 201,00 mm/bln. Sedangkan

33
intensitas curah hujan bulanan tertinggi antara bulan Oktober sampai Maret adalah
279,00 mm/bln sampai 578,50 mm/bln.

(a) (b) (c)


Gambar III.6. Keadaan daerah penelitian; (a) Morfologi perbukitan dengan
berbagai macam tumbuhan, (b) tanaguna lahan sebagai
persawahan, (c) kolam atau tambak air tawar sebagai salah satu
kegunaan lahan

III.4. Gerakan Tanah


Gerakan tanah atau dikenal dengan tanah longsor didefinisikan sebagai hasil
proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan terjadinya perpindahan
material pembentuk lereng yang berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau
campuran material tersebut bergerak ke daerah yang lebih rendah atau keluar
lereng oleh gaya gravitasi. Tanah longsor dapat terjadi pada lereng-lereng yang
hambat geser tanah/batuannya lebih kecil daripada berat massa tanah atau batuan
itu sendiri. Misalnya pada daerah tebing, sungai, danau, reservoar, dan dasar laut
yang berbentuk lereng pegunungan.

Proses terjadinya tanah longsor, yakni: air yang meresap ke dalam tanah akan
menambah bobot (berat) tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap
air yang berperang sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan
pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

Menurut Sadisun (2004), tanah longsor adalah pergerakan massa tanah atau
batuan secara gravitasional yang dapat terjadi secara perlahan maupun secara tiba-
tiba, dengan dimensi yang sangat bervariasi berkisar dari beberapa meter hingga
ribuan kilometer. Tanah longsor dapat terjadi secara alami ataupun dipicu oleh

34
adanya ulah manusia. Terjadiannya tanah longsor sebagian besar diakibatkan oleh
kegiatan manusia seperti penggundulan hutan di sekitar lereng, penataan air yang
tidak memadai dan pembukaan lahan dari lahan kering ke lahan basah terutama
pada daerah lereng yang terjal.

Meskipun penyebab utama terjadinya tanah longsor ini adalah gaya gravitasi
(gaya tarik bumi) yang mempengaruhi suatu lereng yang terjal, namun ada
beberapa faktor lain yang turut memegang peranan penting akan terjadinya tanah
longsor, antara lain: pengaruh air, faktor kemiringan lereng, struktur geologi dan
kegempaan. Selain daripada itu, ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya
tanah longsor, yaitu:
1. Tanah yang kurang padat dan batuan yang kurang kuat
2. Tataguna lahan yang berupa persawahan dan ladang berpindah.
3. Susutnya muka air danau dan bendungan
4. Adanya pembebanan dan timbunan material pada tebing
5. Bekas gerakan tanah lama dan tempat pembuangan sampah
6. Penggundulan hutan dan erosi, dll.

Terjadinya tanah longsor tidak lepas dari faktor kegagalan lereng secara
mendadak dan faktor aliran material/massa. Dengan demikian tanah longsor dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: falls (jatuhan pecahan tanah
dan batuan), slides (longsoran tanah dan batuan), dan flows (longsoran yang
mengalir seperti cairan kental (Allan & Ludman, 1982).

III.4.1 Falls
Falls adalah gerak pecahan batuan (besar/kecil) yang terlepas dari batuan dasar
dan jatuh bebas. Biasanya terjadi pada tebing-tebing terjal, dimana material tidak
stabil, sehingga dapat langsung jatuh atau membentur-bentur dinding tebing
sebelum sampai di bawah tebing. Contoh falls sering dijumpai pada tebing-tebing
di pinggir laut (Gambar III.7)dan pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang
batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan.

35
Gambar III.7. Jatuhan atau runtuhan batu (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, 2007)

III.4.2 Slides
Slides adalah material yang bergerak masih agak koheren dan bergerak di atas
suatu permukaan bidang. Bidang luncurannya dapat berupa bidang rekahan, kekar
atau bidang perlapisan yang sejajar dengan lereng. Slides dibedakan menjadi a)
Rockslide (longsoran massa batuan dengan bentuk plat) dan b) Slump (longsoran
massa dengan permukaan melengkung) yang biasa disebut dengan longsor rotasi
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar III.8.

A B

Gambar III.8. Slides: a) Gerakan Blok Batu, dan b) Longsoran Rotasi (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007)

III.4.3 Flows
Flow (aliran) terjadi apabila material bergerak menuruni lereng sebagai cairan
kental dengan cepat dan umumnya dijumpai berupa campuran sedimen, air dan
udara dengan memperhatikan kecepatan dan konsentrasi sedimen yang mengalir.
Yang sering terjadi adalah 1) aliran lumpur (mud flow) atau biasa disebut longsor
translasi, 2) aliran debris (debris flow) dengan banyak air dan utamanya partikel

36
halus, dan 3) rayapan (creep). Tipe gerak tanah ini umumnya terjadi di daerah
yang curah hujannya tinggi. Kecepatan alirannya tidak hanya bergantung pada
kecuraman lereng akan tetapi juga pada kandungan air.

1 2

Gambar III.9. Flows: 1) Longsoran translasi, 2) Aliran bahan rombakan, dan 3)


Rayapan tanah (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, 2007)

Sedangkan menurut Varnes (1978), pengelompokan tanah longsor terdiri atas 6


jenis utama, yaitu: Falls, Slides terbagi lagi menjadi rotasi (rotational) dan
translasi (translational), Topples (robohan), Flows terdiri atas aliran bahan
rombakan (debris flow), longsoran bahan salju (debris avalanche), aliran
material bumi (earthflow), aliran lumpur (mudflow), dan rayapan (creep), lateral
spreads (sebaran lateral), dan Complex (gabungan). Pengelompokan tanah
longsor ini dapat dilihat pada tabel III.1 dan Gambar III.10

37
Tabel III.1 Jenis-jenis tanah longsor menurut versi Varnes (1978)
TYPE OF MATERIAL
TYPE OF MOVEMENT ENGINEERING SOILS
BEDROCK
Predominantly Coarse Predominantly Fine
FALLS Rock fall Debris fall Earth fall
TOPPLES Rock topple Debris topple Earth topple
ROTATION
SLIDES Rock slide Debris slide Earth slide
TRANSLATIONAL
LATERAL SPREADS Rock spread Debris spread Earth spread
Rock Flow Debris Flow Earth Flow
FLOWS
(deep creep) (soil creep)
COMPLEX Combination of two or more principal types of movement

Gambar III.10. Beberapa ilustrasi jenis utama tanah longsor (Highland &
Johnson, 2004)

38
Dengan dukungan data-data geologi, geomorfologi, hidrologi, dan flora di suatu
daerah, tanah longsor dapat diperkirakan akan terjadi dengan mengenal gejala-
gejala umum seperti berikut:
• Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.
• Biasanya terjadi setelah hujan.
• Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
• Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.

III.4.4 Tahapan Mitigasi Bencana Tanah Longsor


• Pemetaan
Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi
di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangun-
an wilayah agar terhindar dari bencana.
• Penyelidikan
Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat
digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana
pengembangan wilayah.
• Pemeriksaan
Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat
diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
• Pemantauan
Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara
ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna
dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
• Sosialisasi
Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau
masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang
ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung
kepada masyarakat dan aparat pemerintah.

39
• Pemeriksaan bencana longsor
Bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata
cara penanggulangan bencana di suatu daerah yang dilanda bencana tanah
longsor.

Potensi tanah longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu di daerah penelitian juga
dapat diteliti dengan memanfatkan teknologi geofisika. Oleh karena itu pada bab
IV akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian metoda geofisika
tahanan jenis, sehingga kondisi geologi bawah permukaan bumi dapat diprediksi.
Selain itu, keterkaitannya dengan hasil-hasil yang diperoleh dari metoda lainnya
akan dibahas di akhir tesis ini.

III.5. Hasil Pantauan GPS


Pada daerah penelitian nampak di lapangan adanya gerakan tanah. Walaupun
tidak dapat dirasakan secara langsung, tapi efeknya dapat dirasakan oleh
masyarakat dengan adanya kerusakan pada infrastruktur. Kerusakan yang terjadi
dapat dilihat pada gambar III.11 berikut.

Pepohonan miring

Nendatan (Crack)
Jalan berundulasi

Tiang rumah patah


dan miring

P o n d a s i ru m a h
p a ta h & m irin g

Bangunan retak

Gambar III.11. Gambaran kerusakan infrastruktur di sekitar lokasi penelitian

40
Hasil pemantauan gerakan tanah di daerah penelitian dengan menggunakan GPS
dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada bulan
Oktober 2005 kemudian dilanjutkan oleh ITB pada bulan Mei 2006 dan bulan
Januari 2007. Pengamatan dilakukan pada beberapa stasiun atau titik pantau,
namun hanya stasiun M1, M3, dan M4 yang ditampilkan pada tesis ini. Titik-titik
tersebut yang berdekatan dengan lokasi pengambilan data Geolistrik, sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar III.12.

Gambar III.12. Lokasi stasiun pengamatan GPS (Peta kontur dibuat Pusan
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005)

Pada pengambilan data GPS, diperlukan suatu titik kontrol yang mempunyai
kedudukan diperkirakan tidak dapat bergerak sebagai acuan pengamatan. Titik
kontrol yang digunakan dalam pemantauan di desa Cinyasag ini, diberi nama GD
dengan koordinat geodetik 7 o05’54.03632”LS, 108 o22’21.01283”BT atau dalam
koordinat UTM (209752.1967 m, 9214556.7557 m). Data hasil pengukuran GPS
yang telah dikoreksi dalam beberapa tahap dan pergeseran posisi titik pantau dari
periode ke periode pengukuran, dapat dilihat pada tabel di lampiran A2.

41
Pergeseran posisi yang terjadi pada setiap stasiun karena di daerah penelitian
terjadi gerakan tanah yang sifatnya merambat dan perlahan. Besarnya pergeseran
tergantung dari kecepatan gerakan tanah disekitar stasiun/titik pantau. Besarnya
kecepatan gerakan tanah banyak dipengaruhi oleh kemiringan lereng dan labilnya
material akibat pelapukan tanah dan batuan oleh air di daerah tebing yang curam.
Walaupun kemiringan lereng tidak terlalu terjal, akan tetapi proses pelapukan
sangat kuat akibat dari banyaknya air permukaan yang tertampung pada kolam
ikan, sawah, saluran irigasi dan sungai yang mengalir di sekitar daerah penelitian.

Besar dan arah vektor pergeseran posisi stasiun/titik pantau yang tercantum dalam
lampiran A2, dapat dicari dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut:
Besar vektor pergesearan

A = Ax2 + Ay2 (5.1)

Arah vektornya terhadap arah utara (sumbu y)


⎛A ⎞
α= A tan⎜⎜ x ⎟

(5.2)
⎝ Ay ⎠
Besar resultan pergeseran dari periode 1 ke periode 3

R = A +B , R = (Ax + B x )2 + (Ay + B y )2 (5.3)

Selain dari tabel dalam lampiran A2, vektor pergeseran titik pantau secara
skematik dapat dilihat pada Gambar III.13. Dimana titik M1 dari periode Oktober
2005 hingga Mei 2006 bergeser sejauh 1,4 cm dengan jurus N 38 007’48” E, pada
periode Mei 2006 sampai Januari 2007 bergerak sejauh 0.1 cm dengan jurus
N 274 045’36” E, sehingga resultan pergeseran dari periode Oktober 2005 sampai
Januari 2007 sebesar 1,4cm dengan orientasi N 33 055’12” E atau dengan kata lain
M1 bergerak relatif ke arah timurlaut. Kemudian dari pada itu, titik M3 bergerak
0
relatif ke arah timur (N 86 16’12” E) sejauh 5,2cm dan M4 bergerak sejauh
12,0cm ke arah timurlaut (N 54 006’36” E).

42
Gambar III.13. Skema pergerakan titik pantau dengan menggunakan GPS
(Sitorus, 2007)

Arah gerakan M3 searah dengan arah kemiringan lereng, yakni relatif ke arah
timur. Hal ini didukung oleh adanya kesinambungan nendatan dari lokasi pertama
hingga titik M3 terlihat di lapangan. Titik M3 bergerak sejauh 5,2 cm selama 15
bulan atau mempunyai kecepatan bergerak sebesar 4,14 cm/thn.

43

Anda mungkin juga menyukai