Hukum Waris Adat Sunda

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 114

ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA

DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Aep Saifullah
NIM: 103044128018

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUD I AKHWAL SYAKHSHIYY AH
FAKUL T AS SY ARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDA YATULAH
JAKARTA
1428 H/2007 M
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA
DEN GAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

SKRIP SI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Aep Saifullah
103044128018

Di Bawah Bimbingan :

~;i~
Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag
NIP 150 050 919

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUD I AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAHDANHUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITJA 'd.lL\;\I

Skripsi yang be1judul: "ANALISA PERBANDINGAN IHTI(Uf',1 KEVVARISAN


ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAlVl" telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakmia pada tanggal 6 Desember 2007.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Islam pada Jurusan
Ahwal Syakhshiyyah

Jakarta, 6 Dcscrnber 2007


...Mengesahkan
··' 'Deka

PANITIA UJIAN

Ketua Drs. H. A. Basiq Dj 1lil, SH, MA


NIP. 150 169 102
Sekretaris : Kamarusdiana, MH
NIP. 150 268 783
Pembimbing Drs, H. Husni Thoyyar, M.'1g
NIP. 150 o:o919

Penguji I : Drs. H. Odjo Kusnara Nursidik, l\;1.Ag


NIP. 150 268 783
Penguji II : Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 150 290 159
KATA PENGANTAR

~)I <.J-.)\ .i3ll ~

Alhamdulillah, penulis memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT.

karena atas ridla-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAVl., karena atas suri

tauladannya, penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak

pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Oleh karena itu,

dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas

Syari'ah dan Hukum.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Jalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, MH., selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah yang senantiasa

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag., selaku Dasen Pembimbing skripsi, penulis

menghaturkan banyak terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk

membimbing dan memotivasi penulis.

4. Ayahanda H. Mukhtarudin dan Ibunda Hj. Nurohmah (Sri Sumiati), kedua orang

tua tercinta yang telah berkorban tak kenal lelah dalarn menyelesaikan studi
kuliah, hingga ananda dapat meraih ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa

sepanjang hayat.

5. Kakanda Yunan Abdul Haris dan adinda Ainun Jariah beserta keluarga besar di

rumah kediaman di Cibingbin, Kuningan yang senantiasa memberikan dukungan

kepada penulis dalam menyelesaikan proses penyelesaian skripsi.

6. Bapak Ir. Herman Khoeron, M.Si., selaku Tokoh Muda Cirebon yang peduli

terhadap kaum muda, atas dorongan dan spiritnya telah banyak membantu

penulis dalam membantu proses studi sampai akhir kuliah.

7. Keluarga Besar Forum Masyarakat Peduli Daerah (FOR.Iv!ALIDA) Wilayah III

Cirebon yang selalu memberikan doa dan menaruh harapan kepada penulis

sehingga memotivasi penulis untuk dapat memberikan yang terbaik.

8. Teman-teman satu angkatan 2003 Konsentrasi Peradilar1 Agama kelas A dan

kelas B yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran, baik selama belajar

maupun hingga detik-detik pelaksanaan wisuda.

9. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam

kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai

investasi amal untuk bekal di hari akhir nanti. Amin

Jakarta, 26 Dzulqa'dah 1428 H


06 Desember 2007 M

Penulis
DAFTARISI

KAT A PEN GANTAR ...................................................................................... .

DAFT AR 181...................................................................................................... iii

BABI PENDAHULUAN ......................................................................... .. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ . 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... .. ..... .. .. ... .... .. ...... ........ .... 1O

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... ........................ 11

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.................................... 12

E. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN

ISLAM............................................................................................. 15

A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam .......................................... 15

B. Sejarah Kewarisan Islam............................................................. 20

C. Sumber Hukum Kewarisan Islam............................................... 25

D. Rukun dan Syarat Kewarisan...................................................... 31

E. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan........................................... 32

F. Ahli Waris dan Bagiannya.......................................................... 33

G. Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Islam.............. 38


BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ADAT

SUND A............................................................................................. 44

A. Pengertian Hukum Kewarisan Adat Sunda................................. 44

B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda ..................................... 45

C. Rukun dan Syarat Kewarisan...................................................... 46

D. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan........... ............ ..... .. ........ ..... 47

E. Ahli Waris dan Bagiannya ................................. .... .. ........ ........... 48

F. Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Adat Sunda ... 54

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT

SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM................. 58

A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum

Kewarisan Islam.......................................................................... 58

B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan

Islam............................................................................................ 62

C. Analisis Hukum Antara Teori dan Praktek ................................. 67

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 88

A. Kesimpulan .. .. .... .... .... ... ................................... ... ... .... ....... ... .. .... . 88

B. Rekomendasi dan Saran-saran.................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 92

LAMPIRAN
BABI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan

dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan

membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Menmut Joseph Sacht, tidak

mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukan

bahwa sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat

. "fik
s1gm 1 an I .

Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak dalam

wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul·-Nya. Selain itu dimensi

konkrit dalam wujud perilaku membangun apa yang menjadi titah tersebut yang

bermnara pada perilaku manusia (amaliah) baik individual maupun kolektif.

Hukum Islam juga mencakup substansi yang terintemalisasi ke dalam berbagai

. 12 .
pranata sosia

Hukum Islam dan pranata sosial sebagai unsur normatif dalam

penataan kehidupan manusia berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap

sumber ajaran Islam sepe1ii yang temmktub dalam Al-·Quran dan hadis. Kedua

sumber ini lalu dijadikan rujukan dalam menata hubungan antara manusia dengan
1
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No l/1974 sampai KHI. (Jakarta, Prenada Media,
2004). h.2
2
Cik Hasan Bisri. Pilar-pi/ar Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2004) h. 38
2

makhluk lainnya. Hukum dideduksi secara preskriptif dari sumbemya (mashadir

al-ahkam), sedangkan pranata diindukasi dari prapenataan untuk memenuhi

kebutuhan hidup manusia yang spesifik3 .

Keduanya menjadi unsur penata tentang berbagai kehidupan dalam

suatu sistem sosial yang bersifat otonom, seperti umat Islam atau masyarakat

bangsa. Secara sosiologis hukum dan pranata dipandang sebagai pola interaksi

yang menjadi salah satu struktur dalam sistem sosial. Adapun secara antropologis,

hukum dan pranata dipandang sebagai sistem norma atau kelakuan yang dijadikan

pedoman perilaku dalam sistem sosial itu4.

Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan itu bervariasi baik gradual

maupun teritorial. Ada hukum yang memiliki daya atur dan daya ikat yang

longgar dan ada pula yang ketat, di samping itu ada yang memiliki daya paksa

walaupun dalam batas-batas tertentu. Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial

memiliki dua fungsi pertama, sebagai kontrol sosial (social of control) dan kedua

sebagai nilai baru proses perubahan sosial (social of change) 5•

Maka dari itu hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persolan umat

tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, kemungkinan besar

3
Amin Abdulah. Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1996). Cet. Pertama. h. 65
4
Ahmad Syafi'i Ma'arif. Islam dan lv!asa!ah Kenegaraan, (Jakarta, LP3S, 1996) Cet.
Pertama. h. 45
5
Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan H11k11m Dalam Rangka Pembangunan Nasional
(Bandung, Binacipta, 1986), h. 25
3

Islam akan mengalami kemandulan fungsi-meminjam istilah Abdurrahman

Wahid (Gus Dur)- fosilisasi bagi kepentingan umat Islam.

Bila formulasi hukum Islam out of date itu tetap clipaksakan

penerapannya, dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak dari

masyarakat, sehingga akan memunculkan konflik internal dan ekstemal yang

mengganggu stabilitas sosial. Berdasarkan elaborasi tersebut, maka upaya

pembaharuan hukum melalui ijitihad mutlak cliperlukan7 • Hukum aclalah norma

masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut tertentu yang selanjutnya disebut

sebagai sistem sosial.

Hukum itu timbul sebagai tingkah laku anggota masyarakat dalam

hubungan satu sama lain yang didorong dengan motif untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak

timbul karena terjadinya konflik mengenai hak-hak orang, untuk kemuclian

diselesaikan oleh suatu lembaga perwasitan tertinggi di wilayah bersangkutan,

melainkan timbul dari praktek-praktek berdasarkan pertimbangan sosial dan

individual bagaimana ha! tersebut dilakukan 8

Untuk melihat hukum itu bekerja sebagai sebagai suatu pranata di

masyarakat, perlu kiranya memasukkan satu faktor yang menentukan bagi

penerapan norma-norma hukum yakni manusia. Karena itu manusia atau orang

7
Mun'im A Sirry. Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengamar (Surabaya, Risalah Gusti, 1995). h.
157
8
C.K Allen. law in the Making. (Oxford, The Clanrendon Press, 1957). h. 67-68
4

bisa menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan hubungan dalam

menimbulkan hak dan kewajiban hukum 8. Masuknya faktor manusia dalam

hubungan proses hukum, maka dapat dikatakan hukum sebagai karya atau produk

manusia yang berlaku di masyarakat. Menurut Chambliss dan Seidman, model

masyarakat dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, masyarakat non konflik yakni

masyarakat yang berdasarkan pada basis nilai-nilai dan kesepakatan. Kedua,

masyarakat konflik. 9

Sekalipun hukum merupakan sarana pengatur kehidupan sosial, namun

yang menarik adalah justru hukum senantiasa tertinggal di belakang objek yang

diatumya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa hukum selalu erat kaitannya dengan

perubahan sosial masyarakat. Dengan bahasa Sinzhemer, perubahan pada hukum

akan terjadi apabila dua unsurnya bertemu pada satu titik singgung. Unsur

tersebut adalah (I) keadaan atau kondisi barn yang timbul. (2) kesadaran

masyarakat '0

Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berimplikasi terhadap

hukum yang berlaku. Hukum bagi masyarakat perkotaan dan hukum bagi

masyarakat pedesaan tidak sama dalam ha! penerapannya. Produk hukumnya

sama, tetapi antusias dan minat masyarakat dalam eksekusi di lapangan jauh

8
Hardjawijaya J. Hukum Perdata (Buku Kesatu Tentang Perorangan dan Hukum Keluarga)
(Malang, PHPM Unibraw, 1979). h. 25
9
Chambliss dan Seidman. law. Order, and Power Reading. (Massachusetts, Addisaon-
Wesley Publishing Company, 1971) h. 17
10
Hugo Sinzhemer. De Taak der Rechtssocio/ogie. (Haarlem, tp. 1935) h. 8
5

berbeda. Hal ini dapat terjadi mengingat antara kota dan desa sangat berbeda

kondisi dan sifat masyarakatnya.

Hal ini selaras dengan teori Marx Weber tentang tipe-tipe ideal dari sistem

hukum yang terbentuk oleh masyarakat yaitu irrasional dan rasional 11. Seperti

yang diketahui bersama bahwa dalam masyarakat selain terdapat hukum Islam,

hukum positif juga terdapat hukum adat atau tradisi yang berkembang di

masyarakat. Terlebih dengan perkembangan hukum Islam di daerah pedesaan,

sangat tergantung kepada tokoh atau ulan1a (kyai) setempat, masyarakat desa

yang nota-benenya kurang pengetahuan baik agama maupun umum.

Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti custom, kebiasaan.

Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta,

a (berarti "bukan") dan data (yang miinya"sifat"). Dengan demikian maka adat

sebenarnya bermii sifat immaterial, artinya adat menyangkut hal-hal yang

berkaitan dengan sistem kepercayaan.

Hukum adat sebelumnya tidak dikenal di Indonesia, baru setelah ilmuwan

Belanda Prof. Snouck Hourgronye (1857-1936) yakni orang yang ahli dalam

11
Menurut Weber ada beberapa tipe ideal dalam pembentukan hukum yang kemudian
dipakai oleh masyarakat sebagai acuan, yakni :
a. 1-lukum irrasional dan material, yaitu dimana pembentukan hukum didasarkan semata mata
alas nilai emosional tanpa menunjuk suatu kaidah apapun.
b. 1-lukum irrasional dan fom1al, yakni pembentukan hukum yang berpedoman pada kaidah-
kaidah di luar aka!, oleh karena berdasarkan pada wahyu atau ramalan.
c. Hukum rasional dan material yakni dimana pembentukan hukum merujuk pada suatu kitab
suci, kebijaksanaan penguasa atau ideology.
d. Hukum rasional dan formal, yakni dimana hukum dibentuk atas dasar konsep abstrak dan
ilmu hukum. (Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakat1a, Raja Grafindo
Persada, 2003) h. 56
6

agama dan hukum Islam dalam bukunya The Atjeh yang selanjutnya

dikembangkan dan disistemisasikan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr

Bznu Jadi istilah hukum adat dikenal di Indonesia pasca terbitnya buku tersebut.

Salah satu dari konsepnya adalah tentang Teori Receptie yang berbunyi "Hukum

is/am tidak ada, baru ada apabila sudah diterima oleh masyarakat adat dan

muncul wujud baru yaitu hukum adat"

Hukum adalah gejala masyarakat yang universal, ubi sociotes ibi ius

(dimana ada masyarakat disitu pula terdapat hukum). Namun karena suasana dan

lingkungan serta cara hidup masing-masing daerah yang berbeda, misalnya kota

dan desa. Tentu tiap daerah tersebut memiliki corak dan khas berbeda yang tidak

sama dengan lainnya.

Bila dilihat dari kaca mata hukum Islam dan hukum positif sangat

berbeda, pembagian warisan contoh kecilnya, dalam hukum Islam disebutkan

antara laki-laki dan perempuan mendapat 2: 1 juga sama dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) tertera demikian. Namun ini tidak berlaku bagi masyarakat di daerah

khususnya adat Sunda, pembagian tersebut dianggap oleh mereka tidak sesuai

dengan prinsip keadilan serta tidak mencerminkan pembagian rata. Asumsi

mereka pembagian harus dibagi imbang yakni I : I sehingga antar satu sama

lainnya saling merata.

13
Muhammad Daud Ali. Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam, Hukum Islam
Di Indonesia; Pemikiran dan Praktik (Bandung, Rosdakarya, 1991 ). h. 69
7

Kewarisan merupakan permasalahan yang sensitif, karena berkaitan

dengan pembagian harta kekayaan orang yang meninggal dnnia kepada ahli

warisnya. Bahkan seringkali terjadi perselisihan antara para ahli waris dalam

pembagiannya. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang lebih cenderung serakah,

matrelistis, dan rela mengorbankan hak-hak orang lain demi kepentingan dan

ambisi pribadinya. Oleh karena itu perlu ada sebuah sistem hukum untuk

mengatur pembagian tersebut guna mencegah perselisihan dan ketidak-adilan.

Salah satu dari sistem hukum itu adalah hukum kewarisan yang dalam Islam

dikenal dengan istilah Fiqh Jvfawarits (faraid).

Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, di Indonesia terdapat

beraneka ragan1 sistem kewarisan yang berlaku yakni : Sistem Hukum Kewarisan

Perdata Baral (Eropa) yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-

undang Hukum Perdata) disingkat KUHPer, sistem hukum Kewarisan Adat yang

beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai

daerah lingkungan hukum adat, dan sistem hukum Kewarisan Islam yang terdiri
13
dari pluralisme ajaran bersifat religi .

Masyarakat biasanya memiliki kewenangan untuk menggunakan hukum

yang mana yang akan dipilih dipakai (hak opsi). Pelaksanaan hak opsi dalam

perkara waris dilandasi dengan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pada penjelasan umum dari butir ke-dua alinea ke-enam berbunyi :

1J M. Idris Ramulyo, 11ukun1 Ke..,varisan !sla111, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i

(patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW), (Jakarta, Ind. Hill, 1987) h. I
8

"Sehubungan dengan ha! tersebut para pihak yang berperkara dapat

mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang akan dipergunakan dalam

pembagian waris"

Hak opsi merupakan hak untuk memilih sistem hukum apa yang akan

dipergunakan dalam pembagian waris. Hak opsi hanya dapat digunakan apabila

diantara ahli waTis terdapat ketidaksepakatan dalam penyelesaiannya. Menurut M.

Yahya Harahap pemberlakuan hak opsi dalam perkara waris tersebut dianggap

pelarian diri dari kekurangberanian para pembuat undang-undang dalam

menentukan ketetapan yang memberikan bagian yang sama besar antara laki-laki

dan perempuan. 14

Senada dengan itu Abdul Gani Abdullah berpendapat, bahwa asas pilih

hukum kewarisan yang akan digunakan untuk menentukan pengadilan yang

berwenang, tergantung kepada hukum yang dikehendaki oleh masing-masing

pihak akibat ketidaksepakatan menentukan hukum, dan tidak bergantung kepada

agama masing-masing. Dengan kata lain, asas pilihan hukum ini keluar atau

menghindari dari hukum yang ditentukan agama. 15

Di Indonesia hukum kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis

keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Menurut Purwoto S

14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No 7 Tahun
1989), (Jakarta, Pustaka Kartini, 1997), h. 32
15
Abdul Gani Abdulllah, Dalam Sepuluh Tahun Undang-undang Peradilan Agama (Jakarta,
Ditbinpera, 1999), h. 52
9

Gandasubrata, ada tiga sistem kemasyaraktan yang mempengaruhi coraknya

yaitu 17 :

1. Sistem kemasyaraktan kebapakan (patrilineal)

2. Sistem kemasyarakatan keibuan (matrilineal)

3. Sistem kebapak-keibuan (parental/bilateral)

Hukum kewarisan adat Sunda contohnya, lebih kental nuansa adatnya,

coraknya lebih sama dengan sistem parental/bilateral yalmi pembagian warisan

yang ditarik menurut garis orang tua (bapak-ibu) dimana kedudukan pria dan

wanita tidak ada perbedaan dalam pewarisan. Dalam pembagiannya tidak ada

pemilahan secara beda, sistem ini lebih menitik beratkan atas asas kekeluargaan

(musyawarah) di mana antara laki-laki dan perempuan mendapat sama rata.

Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam, sudah ada aturan dan

pembagian klmsus terhadap harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli

warisnya. Yang menjadi patokan adalah pembagian antara lald-laki dan

perempuan dua berbanding satu. Tentu ha! ini sangat berbeda bila dibandingkan

dengan hukum kewarisan adat Sunda.

Pada umumnya keberadaan hukum kewarisan Islam tidak berlaku,

masyarakat Sunda lebih memakai hukum kewarisan adatnya dibanding Hukum

Kewarisan Islam, bahkan lebih sering digunakan dengan musyawarah (badami)

secara kekeluargaan. Karena kebiasaan ini sering dilakukan, maka lambat laun

17
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
(Bandung, Binacipta, 1976) h. 72
10

menjadi jurisprudensi dan ketetapan hukum setempat kemudian menjadi adat atau

tradisi yang berlaku.

Dari pembahasan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih

lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi

dengan judul "Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan

Hukum Kewarisan Islam".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis di atas dan

mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai hukum kewarisan adat Sunda

dengan hukum kewarisan Islam khususnya, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya

agar lebihjelas dan rinci bahasannya. Hukum adat Sunda yang merupakan bagian

dari kebudayaan Jawa Barat, memiliki daerah yang cukup luas, dan sunda sendiri

dibagi kepada beberapa bagian yaitu: Sunda Priangan (Bandung, Tasilanalaya,

Ciamis, Garut di!), Sunda Banten (Pandeglang, Lebak di!), Sunda Bogar (Bogar,

Sukabumi, Cianjur di!) dan Sunda Cikuning Maja Ayu ( Cirebon, Kuningan,

Majalengka, dan lndramayu).

Dalam ha! ini agar lebih jelas pembahasannya, hukum kewarisan adat

Sunda yang dimaksud pembahasan ini adalah Sunda di daerah desa Cibingbin

Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Maka pada bahasan

skripsi ini, penulis membatasi mengenai hukum kewarisan adat Sunda yang ada di
11

daerah Kuningan Jawa Barat. Adapun rumusan dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut :

I. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum Kewarisan Adat

Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ?

2. Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum Kewarisan

Islam dalam praktiknya di masyarakat ?

3. Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian

waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

I. Mengetahui perbedaan dan persamaan antara Hukum Kewarisan Islam dengan

Hukum Kewarisan Adat Sunda.

2. Dapat mengetahui keberadaan atau eksistensi hukum kewarisan adat Sunda

dan hukum kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat.

3. Mengetahui penggunaan hak opsi dalam menyelesaikan pembagian waris.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini yaitu :

I. Tersedia data tentang penyelesaian perkara waris secara hukum Islam atau

menggunakan hukum adat Sunda.

2. Sebagai sumbangsih dalam pengambilan keputusan dan yurisprudensi hukum

terutama mengenai kewarisan.


12

3. Untuk memberikan kontribusi positif dari akademisi dalam rangka sebagai

sosialiasi hukum Islam dan hukum adat Sunda yang berkaitan dengan

kewarisan.

4. Sebagai bentuk khazanah keilmuan dan pengembangan keislaman serta

wawasan bagi siapa saja yang membaca hasil penelitian ini.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Pembahasan skripsi ini dilakukan secara deskriptif analisis dengan

melalui pendekatan sejarah (analisis histories) 17 • Penulis menggunakan studi

kepustakaan (Library research) dengan menelusuri buku-buku, majalah-majalah,

artikel dan karya ilimah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan ini.

Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu

dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam kaiya ilmiah

ini adalah penelitian kualitatif18 . Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan

buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari 'ah dan Hukum UJN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2007 ".

17
Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta, Rajawali Pers, 2003). Cet.
Ke-5. h. 102

18
Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004). Cet. Ke-4.
h. 21
13

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Ada pun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab Pertama Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab Kedua Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan Islam

yang meliputi : pengertian hukum kewarisan Islam, sejarah

kewarisan Islam, sumber hukum kewarisan Islam, rukun dan

syarat kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris

dan bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum

kewarisan Islam.

Bab Ketiga Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan adat

Sunda yang meliputi : penge1iian hukum kewarisan adat Sunda,

sumber lmkum kewarisan adat Sunda, rukun dan syarat

kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris dan

bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum kewarisan

adat sunda.

Bab Keempat Pada bab ini membahas tentang analisa perbandingan terhadap

hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Sunda,

selain itu juga diuraikan mengenai persamaan dan perbedaan

hukum kewarisan adat Sunda dengan hukum kewarisan Islam,


14

serta analisis hukum antara teori dan praktek dalam hukum

kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda

Bab Kelima Bab ini merupakan bab penutup, clalmn bab ini berisikan

kesimpulan hasil penelitian clan rekomendasi atau saran-saran,

selain itu juga dilengkapi dengan daftar pustaka.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Pengertian Kewarisan Islam

Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan nama "fiqh mawarits".

Mawarits dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal

"mirats" yang artinya harta pusaka atau warisan 1• Agar lebih jelas lagi

pembahasannya, baik kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang definisi atau

pengertian dari kewarisan tersebut.

Secara etimologi (bahasa) kata "kewarisan" berasal dari yakni waratsa

"'oJ yang memiliki beberapa pengertian antara lain :

Pertama, Mengganti. Seperti yang tertera dalam QS. al··Naml (27): 16

( \i :\'VI J,Jll)

Artinya:
Dan Sulaifnan telah me1varisi Daud, dan dia berkata: uHai rnanusia, kami telah diberi
pengerlian tentang suara burung dan katni diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (sen1ua) ini
benar-benar suatu karunia yang nyata".

Pada terjemahan Al-Qur'an terdapat catatan kaki no 593 kata

"mewarisi" diberikan penjelasan yaitu: "Nabi Sulaiman AS menggantikan

kenabian dan kerajaan Nabi Daud AS. serta mewarisi ilmu pengetahuan dan

1
Mahmud Yunus, Ka1nus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjernah
Penlafsir Al-Qur'an, IJ?3), Cet ke-J, h. 496
16

kitab Zabur yang diturunkan kepadanya" 2 • Melihat dari susunan kata tersebut

secara bahasa mewarisi mempunyai arti menggantikan.

Kedua, "Memberi" seperti yang tercantum dalam QS. al-Zumar (39): 74

b<

(Vi : r~ I y)\) ~I ;..f r~:i {Ui~.:;..


Artinya:
Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya
kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat (bumi) ini sedang kami (diperkenankan)
menempati tempat da/am syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga ilu/ah
sebaik-baik ba/asan bagi orang-orang yang bera1na/ 11,

Pada kalimat di atas terdapat kata (GJ..'.,,) yang bila disesuaikan dengan

susunan katanya memiliki arti memberi, yakni pemberian Allah kepada

manusia berupa segala kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat yaitu surga

yang dijanjikan kepada orang-orang yang beramal baik.

Ketiga, "Mewarisi" yang terdapat dalam QS. Maryam (19): 6

Artinya:
Yang akan niewarisi Aku dan 1ne1varisi sebahagian keluarga Ya'qub; danjadikanlah fa,
Ya Tuhanku, seorangyang diridhai".

Dari tiga pengertian waris secara bahasa di atas ada tiga macam arti

yaitu menggantikan, memberikan, dan mewarisi. Antara satu arti dengan

lainnya bagian yang tidak terpisahkan melainkan memiliki kesamaan maksud,

2
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Te1jemahannya, (Surabaya, Mekar Jaya, 2004), h.
532
17

mengingat tiga arti tersebut selaras dengan pengertian waris a tau kewarisan. 3

Selain itu warisan mempunyai arti yaitu pindahnya sesuatu dari orang lain atau

dari suatu kaum kepada kaum yang lain4

Adapun menurut tinjauan terminologi, sebagaimana halnya dalarn

Karnus al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alarn adalah :

Yaitu : " Harta seseorang berpindah kepadanya setelah ia meninggal dunia"

Secara definitif, banyak dari tokoh dan ulama yang memberikan

pengertian tentang kewarisan itu sendiri, menurut Muhammad Ali As-Sabuni,

arti warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang

ditinggalkannya itu berupa benda bergerak atau tidak begerak.

Menurut Muhammad Syarbini Al-Khatib yang dikutip oleh Drs. Ahmad

Rofiq, MA dalarn bukunya "Hukum Islam di Indonesia" mengatakan bahwa

kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan mengetahui

bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak.

Selain itu M.Idris Ramulyo, SH mendefinisikan kewarisan berupa himpunan

3
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.
3556
4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah)
(Bandung, CV. Diponegoro, 1988), h. 40
5
Luwis Ma'luf, Al-Munjid fl al-Luhah wa al-'Alam, (Beirut, Dar al-Masyrik, 1984), Cet-
27 h. 895
18

peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban dari harta yang

ditinggalkannya. 6

Berbicara tentang pengertian hukum kewarisan, seperti dikemukakan di

atas bahwa banyak definisi dan istilah kewarisan yang diutarakan oleh para

ulama secara hakikat adalah sama namun hanya berbeda pada redaksi. Dalam

Islam terdapat istilah-istilah yang berkenaan dengan kewarisan antara lain :7

I. Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia.

2. Warits (ahli waris), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan orang

yang meninggal dunia, maka ia berhak menerima bagian dari warisan.

3. Mauruts, yaitu hmia warisan (pusaka).

4. Ashabu al-Furudl (dzawi al:furud), yaitu ahli wans yang mempunyai

bagian tertentu dari harta peninggalan si mayit yang ditetapkan oleh nash

dan ijma'.

5. 'Ashabah, yaitu kelompok ahli wans yang berhak menenma dari s1sa

bagian.

6. Dzawil Arham (ulu al-arham), yaitu kerabat pewaris yang tidak termasuk

dzawil furud dan ashabah 8 .

6
M. Idris Ramu Iyo, Hukwn Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill, I 998), h. I

7
Hasbi Ash Shiddiqy, Fiqhul Mmvaris, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), Cet ke-1, h. 18

8
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, J981), Cet ke-I, h.
59
19

7. Mawali, yakni ahli waris karena penggantian yaitu orang yang menjadi ahli

waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, ini

hasil ijtihad dari Prof. Hazairin. 9

Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah ilmu faraid 10. Dalam

bahasa Arab perkataan faraid menunjukkan bentuk jamak, sedangkan bentuk

tunggalnya faridah yang berarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu

dari ahli waris yang diatur secara rinci dalam al-Quran 11 . Dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan pula bahwa hukum kewarisan adalah

hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan

(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing. 12

Berdasarkan pengertian kewarisan dalam Islam tersebut, telah

mengisyaratkan hal-hal yang berhubungan dengan kewarisan yaitu : adanya

orang yang meninggal dunia (pewaris), harta yang ditinggalkan (warisan) dan

orang yang mengurusi harta peninggalan dan berhak a1as harta peninggalan

tersebut (ahli waris). 13 Hukum waris juga termasuk hukum benda, seperti

9
1-Iazairin, Hukunz Kei.11arisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta, Tinta
Mas. 1967), cet ke-4, h. 28

'° Sayyid Sabiq, Fiqh a/-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), cet ke-4, h. 424
11
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995), cet ke-2, h. I
12
Kompilasi Hukum Islam (KH!) lnpres No 1Tahun1991 Pasal 171 (a)
13
Menurut M. Idris Ramu Iyo yang dimaksud harta warisan atau hai1a peninggalan ialah
haita kekayaan dari seseorang yang meningal dunia berupa :
20

dalam KUH Perdata dijelaskan bahwa salah satu cara untuk mendapatkan hak

kebendaan adalah warisan.

B. Sejarah Tentang Kewarisan

Islam yang turun dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dalam

upaya merevisi atau memperbaharui tatanan hukum dalam wilayah Arab pada

masa sebelum Islam dilakukan dengan bertahap serta bijaksana tanpa

membebani penganutnya. Demikian pula yang terjadi dalam proses legislasi

hukum kewarisan Islam. Islam turun pada saat yang tepat baik membawa

informasi baru maupun menyempurnakan keberadaan hukum sebelumnya.

Dalam hal sejarah kewarisan Islan1 pun turut mewarnai kehidupan ketika itu.

I. Hukurn Kewarisan Masa Sebelurn Islam

Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam

datang diwarnai penuh oleh kultur Badui yang sering disebut dengan istilah

"Nomad Society". Keberadan atau eksistensi seseorang pada waktu itu

diukur dari kekuatan fisik atau tenaga yang hanya dimiliki oleh kaum laki-

laki saja. Sistem seperti ini sangat memberikan pengaruh cukup kuat dalam

hukum kewarisan mereka. Konsekwensi tersebut mempunyai dampak yang

buruk terhadap anak-anak laki-laki terlebih lagi bagi perempuan yang

I. Harta kekayaan yang terwujud yang dapat dinilai dengan uang tennasuk di dalamnya piutang
yang hendak ditagih
2. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meningal dunia
3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing suami isteri (lihat
M. Idris Ramulyo, ibid, h. I 06
21

senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif. Realitas demikian yang

direvisi bahkan dihapus oleh Islam.

Praktek demikian telah mendarah daging dalan1 masyarakat Arab

ketika itu. Bahkan hingga masa awal-awal Islam, kebiasaan tersebut masih

berlanjut. Satu ha! yang aneh bahwa yang diwariskan itu tidak hanya dalam

ha! harta peninggalan saja, melainkan juga istrinya asalkan istrinya itu

bukan ibu kandung dari anak yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan

kepada anak yang lahir di luar pernikahan. 14

Pada saat itu ada seorang laki-laki bernama Mihsan Ibn Qais al-

Aslat ditinggal mati ayahnya, mendiang ayalmya meninggalkan istri yang

cantik yang secara otomatis menjadi janda. Dalarn pembagian warisan

janda tersebut tidak mendapat apa pun. Kemudian Mihsan pun berhasrat

untuk mengawini janda ayahnya itu, namun ibunya tidak segera memberi

jawaban lalu menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin agar

diperkenankan kawin dengan Mihsan. Rasul tidak segera memberi

jawaban, kemudian turunlah firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa (4): 19

14
Ismuha, Penggantian Ten1pat Da!a1n Hukun1 Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), Cet ke-1, h. 27
22

,,, /

( \ ~ : £ /.,WI)~

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa 15 dan jangan/ah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecua/i bi/a
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bi/a kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Tentu saja ayat di alas tidak dimaksudkan bahwa mengawini janda-

janda tersebut tidak dengan paksaan diperbolehkan Allah SWT dalam

ayatnya yang lain ditegaskan : 16

(.

u Lb ,~I; JL li L: ~I;-,w\
/ ) )

~ --: , •ti; .:,_.('~ G i :_ <.~ ~­


- ~FJ · c- ~ J

( rr : z ;.w1) ~..:, ;L..j 1~·a:j W


Artinya:
Dan janganlah ka111u kalvini 1-vanita-lvanita yang telah dikawini o/eh ayahn1u,
terkecuali pada masa yang telah iampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-burukjalan (yang ditempuh).

2. Hukum Kewarisan Masa Awai Islam

Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami

pernbahan. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada masa-masa awal Islam

prioritas utama ajaran-ajarannya yakni membina akidah atau keyakinan

15
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan.
Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang
tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri
atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan
kawin lagi.
16
Ibid, h. 361
23

bagi pemeluknya yaitu mentauhidkan Allah SWT Yang Maha Esa, Ini

dimaksudkan untuk mengoreksi keyakinan mereka (orang-orang Arab

Jahiliyyah) yang terseret ke dalam kepercayaan syirik atau menyutukan

Allah. Melihat realitas masyarakat yang belum siap itu, ayat-ayat yang

mengatur tentang kewarisan belum cukup kuat dan tepat untuk diterapkan.

Salah satu strategi Islam tidak sekaligus dalam mengadakan

perubahan sosial masyarakat Arab Jahiliyyah, karena demikian sangat

menggoncangkan masyarakat, adapun dengan secara berangsur-angsur

(tadriji) saja Nabi Muhammad SAW masih banyak sekali mendapat

halangan dan rintangan.

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari firman

Tuhan dalam bentuk Al-Quran dan hadis nabi yang terdiri dari ucapan,

perbuatan, dan hal-hal yang didiamkannya. Dasar kewarisan itu ada yang

secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat bahkan hanya berisi pokok-

pokoknya saja.

Dengan demikian dasar-dasar yang dijadikan sebab dan faktor

mewarisi pada masa awal Islam adalah :

a. Al- Qarabah (Pertalian Kerabat)


b. Al-HilfWal Mu'aqqadah (Janji Selia)
c. At-Tabanny (Adopsi atau Pengangkatan Anak)
d. Hijrah (dari Makkah ke Madinah)
e. Muakhah (Ikatan Persaudaraan antara golongan
Muhajirin dan Anshor)
24

Sebelum turunnya ayat Al-Quran yang mengatur pembagian

warisan, di Madinah telah meninggal seorang sahabat nabi dari golongan

Anshor, bernama Aus Bin Tsabit dan meninggalkan seorang isteri, empat

orang anak perempuan dan dua orang anak pamannya. Lalu anak pamannya

datang mengambil seluruh harta peninggalan Aus sebagai warisan, sesuai

hukum adat yang berlaku sebelum Islan1 datang.

Istri Aus merasa bahwa hukum tersebut tidak sesuai dengan prinsip

keadilan, maka kemudian dia datang menghadap Nabi Muhammad SAW

untuk mengadukan perihal tersebut. Lalu ia menjelaskan: "Ya Rasulullah !

suami saya bernama Aus telah meninggal dunia dan meninggalkan harta

warisan yang cukup banyak pula. Kemudian datanglah kedua anak

pamannya bernama Qatadah dan Afathah untuk mengambil seluruh harta

peninggalan dan ke empat anak perempuannya sama sekali tidak diberi

sedikit pun, sedangkan mereka masih tetap dalam pemeliharaan saya.

Kemudian Nabi bersabda: "Pulanglah dahulu, saya menunggu

sampai Allah memberi ketentuan mengenai mereka." Tak lama kemudian

turunlah firman Allah SWT dalam ayat QS al-Nisa (4): 7

Artinya:
Bagi orang /aki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, baik sedikit a/au banyak menurut bahagian yang te/ah ditetapkan.
25

Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telab mengubab hukum

waris yang berlaku pada sebelumnya yang menetapkan bahwa wanita dan

anak laki-laki yang masih kecil tidak menerima warisan. Kemudian pada

ayat-ayat berikutnya secara tadriji Allah menjelaskan dan menentukan

bagian-bagian serta keputusan lainnya.

Ketentuan tersebut merupakan landasan utama yang menunjukkan

bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama

mempunym. hak wans


. 17 . Juga merupakan pengakuan Islam babwa

perempuan sebagai subyek lmkum yang mempunyai hak dan kewajiban.

Tidak demikian halnya, pada masa jabiliyab di mana wanita dipandang

sebagai obyek bagaikan benda biasa yang dapat diwm·iskan.

C. Sumber atau Dasar Hukum Kewarisan Islam

Ruang lingkup kewarisan Islam sangat jelas dasar hukumnya, maka

kemudian penulis merasa sangat perlu untuk mengupasnya. Dasar kewarisan

dalam Islam adalah :

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia

menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan secara jelas dan rinci.

17
Anwar Sitompul, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum
Waris Islam, (Bandung, Armico, 1984), h. 15
26

Adapun ayat-ayat yang dijadikan sebagai dasar dari hukum kewarisan

dalam Islam, seperti QS al-Nisa (4): 11

c.,,,.,,_. J,- ,,"'t J}t,,, .,,,, ,,.... JJ ___ t }J-,.. & "',,.,,'?- J
ltl:,•<10_g\' '\·0 '..U':J"-<''Ll\'".<'•L:,\; ·.:i 11· -~,
..-"'" · ..r ("+.! -'.J r-' ·-' r-' · ;,i· -' '-1; L¢'Y- ~-'
( ' ' : £ ;.w1) ~ 1:.:c 0t?:&l01 "¥i ::._; ~.;,1}
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu : bahagian seorang anak lelaki sa1na dengan bagahian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-n1asingnya seperenarn dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi o/eh ibu··bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di alas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang ruamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekar (banyak)
manfaatnya bagimu. lni ada/ah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kemudian dijelaskan pula dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 12


27

Artinya:
Dan baghnu (suan1i-suan1i) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterilnu, jika 1nereka tidak n1en1punyai anak. jika Jsteri-isterilnu itu 1nempunyai anak,
Maka kan1u 1nendapat seperempal dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh
seperen1pat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak 1nernpunyai anak. jika katnu
niernpunyai anak, Maka para isteri me1nperoleh seperdelapan dari harta yang kan1u
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik !aki-!aki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
!aki-/aki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu
itu !ebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat {kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 33 menerangkan:

} } .... .,t
11.ft~' .. f-=, ... ,\
I -

Artinya:
Bagi tiap-tiap harta peningga!an dari harta yang ditingga/kan ibu bapak dan
karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan Oika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
28

Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 176

( \Vi

Artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang ka/a/ah 18). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak tnen1punyai anak dan me1npunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (se/uruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu duo orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan o/eh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki don perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian duo orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

2. Sunnah atau Hadis

Imam al-Bukhari menghimpun hadis tentang kewarisan tidak

kurang dari empat puluh enam hadits dan Imam Muslim menyebut hadits-

hadits kewarisan kurang lebih dua puluh hadis. Namun pada bahasan kali

ini perincian hadits tersebut tidak akan dikutip semua, hanya yang pokok

18
Kala/ah ialah : seseorang mati yang ticlak meninggalkan ayah dan anak
29

saja yang akan dikemukakan, seperti hadis mengenai kewarisan yang

diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas RA 19 :


,.. ... ,, ,.. ,, ,.. ,.. ,.. ,.. J l>

(4.).y ~) _?~ ~)
"' "'
J'/j..__j ~ :;~t.:._;
,,
,..
~~ ~\~llJ.kl-1
... ,, ,, ,..
Artinya:
"Berikan hart a pusaka kepada pemiliknya (orang yang menerima fardlu}. Sisa
dari hartanya diberikan kepada orang laki-laki yang paling dekat kepada orang yang
meninggal." (Muuafaq A/aihi}

Dali! di alas merupakan hadis shahih dan tidak diragukan

kedudukannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu 'Ala Ibnu Muhammad

dengan sanad dari Uhaib Ibnu Thowus dari bapaknya.

Artinya:
Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa nabi SAW bersabda: "Orang is/am tidak
rneivarisi orang kafir, den1ikian juga orang kajir tidak me1varisi orang isla1n. 11 (Muttafaq
Alaihi} 20

"
(~)...U\) ~L:J\ o\JJ) ~~ ~\~\
Artinya:
Dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dari nabi Muhammad SAW
telah bersabda: "Pen1bunuh itu tidak dapat 1neivarisi sesuatu pun dari yang terbunuh".
(HR. Nasai dan Daruquthni} 21

19
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al-Author, (Azhar, Maktabatul
Iman, t.th) Ji lid Ke-5, h. 60
20
Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajr Al-Asqalani, Bulug/111/ Maram, (Mesir, Dar al-Hadis, t.th) h.
162

21
Ibid, h. 163
30

Dari pengertian hadis pertarna dan kedua di atas, dapat dipaharni

bahwa pembagian warisan diserahkan terlebih dahulu kepada orang yang

berhak yaitu yang tergolong dalam Ashabul Furudh, sisanya kemudian

untuk Ashabah. Diketahui pula bahwa perbuatan waris mewarisi hanya

diperbolehkan bagi yang satu agarna (Islam), dan terakhir juga menjelaskan

tentang ahli waris yang tidak mendapatkan harta pusaka karena membunuh.

3. Ijma'

Yaitu kesepakatan para ularna atau para sahabat sepeninggal

Rasulullah SAW tentang ketentuan warisan yang dalam Al-Quran. Karena

telah disepakati oleh para sahabat dan ularna maka ijma' dijadikan sebagai

sumber dan referensi hukum. 22

4. Ijtihad

Yaitu pemikiran para sahabat atau ulama dalam menyelesaikan ha!-

hal pembagian warisan yang belum atau tidak disepakati. Yang dimaksud

di sini adalah ijtihad dalam menerapkan istinbath hukum, bukan untuk

mengubah pemaharnan atau ketentuan yang sudah ada. Misalnya terhadap

masalah raad atau 'aul, di dalarnnya terdapat perbedaan pendapat yang

sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi'in atsu ularna.

22
Tengku Muhammad Hasby Ash-Shidiqy, Fiqh Mawarits (Semarang, Pustaka Rizki Putra,
1999), Cet ke-1, h. 303
31

D. Rukun, Syarat Dan Sebab-sebab Kewarisan

Agar pembagian warisan menjadi sah secara hukum maka harus

terdapat rukun dan syarat mewarisi. Rukun mewarisi adalah :

1. Muwarits, yaitu orang yang meninggal, atau disebut juga dengan pewaris.

2. Warits (ahli waris), yaitu orang yang memiliki hubungan dengan pewaris

dengan suatu sebab menerima pusaka, seperti kekerabatan (hubungan

darah) dan perkawinan.

3. Muruts (harta atau pusaka) yakni harta dari orang yang meninggal.

Adapun syarat-syaratnya adalah :

I. Matinya Muwaris, Para ulama membedakan kepada tiga macam :

a. Mali Haqiqi, yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera.

b. Mali Hukmy, yaitu kematian berdasarkan vonis hakim karena alasan

kuat.

c. Mali Taqdiri, yaitu kematian yang berdasarkan dugaan keras seperti

kematian bayi dalam pemt ibunya karena minum racun atau pemukulan

terhadap ibunya.

2. Hidupnya ahli waris di saat kematian muwaris, ahli waris yang telah mati

disaat kematian muwaris tidak berhak menerima warisan. Karena dari segi

kecakapan hukum, orang yang mati tidak lagi menerima warisan tetapi

masih memiliki kewajiban seperti membayar hutang dari harta

peninggalannya.
32

3. Tidak ada penghalang untuk mewarisi. 23

Sedangkan yang menjadi penyebab terjadinya kewarisan antara lain :

I. Perkawinan yang sah.

2. Kekerabatan, yakni hubungan darah yang mengikat ahli warts dengan

muwar1s.

3. Wala' yaitu kekerabatan yang timbul karena membebaskan (memberikan)

hak budak.

E. Sebab-Sebab Atau Penghalang Tidak Menerima Warisan

Yang dimaksud penghalang di sini adalah suatu tindakan atau hal-hal

yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta pusaka. Adapun yang

menjadi penghalang untuk mendapat warisan yaitu :

I. Pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap bapalmya sendiri.

Perbuatan anak tersebut merupakan suatu tindakan makar pembunuhan

yang dapat menggugurkan haknya untuk mewarisi harta peninggalan

ayahnya, sekalipun telah memenuhi rukun dan syarat mewarisi.

2. Berlainan agama, yang menjadi penghalang adalah apabila antara ahli waris

dan muwarits berbeda agarna atau keyakinan.

23
Fatchur Rahman, I/mu Waris, (Bandung, PT Al Ma'arif, 1987), h. 50
33

F. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya

Seperti yang telah dibahas sebelumnya di antara salah satu faktor-faktor

yang dapat waris-mewarisi adalah ahli waris. Ahli waris yaitu orang yang

mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal dunia, dan berhak

menerima bagian dari warisan. Mengenai berapa besar ketentuan bagiannya

sudah ditetapkan dalam Al-Quran 24 • Antara lain:

1. Yang Mendapat Seperdua (112)

a. Anak perempuan tunggal, seperti dalam firman Allah SWT,

Artinya:
Jika anak peren1puan itu seorang saja, Maka ia me1nperoleh separo dari
hart a.

b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki (diqiyaskan kepada anak

perempuan)

c. Saudara perempuan :

I) Saudara perempuan tunggal yang sekandung

2) Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara

perempuan yang sekandung tidak ada. Finnan Allah :

Artinya:
Dan bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya

24
!kin Sadikin, Tanya Jawab Hukum Ke/uarga dan Waris, (Bandung, Armico, 1982), h.
72
34

d. Suami (duda)

Suami mendapat seperdua (setengah) apabila isterinya tidak

mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-

laki. Firman Allah SWT,

Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingga/kan o/eh
isteri-isterimu, sjika 1nereka tidak 1nempunyai anak

2. Yang Mendapat Seperempat (1/4)

a. Suami, apabila isterinya ada dan terdapat anak atau cucu dari anak laki-

laki. Firman Allah,

-~ , ~. ~
~ ~;u--
}.:-r'-' ,
L__,<
J
k., »t1\ ~ ~\~ ".I- ~ ~I~ Lb · ~
c;..r r-- ...\JJ ~ (.) (.);

(\Y :i/ ~WI) ... ;___j._~jf~, ~~


Artinya:
Jika isteri-isterin1u itu 1netnpunyai anak, Maka kamu 1nendapat seperempat
dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat a/au
(dan) seduah dibayar hutangnya

b. Isteri (seorang atau lebih), apabila suammya tidak mempunyai anak

atau cucu dari anak laki-laki. Finnan Allah,

Artinya:
"Para isteri memperoieh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak 1ne111punyai anak 11
35

3. Yang Mendapat Seperdelapan (118)

Isteri (seorang atau lebih), apabila suaminya mempunyai anak atau

cucu dari anak laki-laki. Firman Allah dalam QS al-Nisa 4:12,

Artinya:
".Jika kamu rnempunya; anak, Maka para isteri 1nen1peroleh seperdelapan dari
harta yang kan1u tinggalkan11

4. Yang Mendapat Dua Pertiga (2/3)

a. Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila ticlak acla anak laki-laki.

Finnan Allah clalam QS al-Nisa 4: 11,

Artinya:
" Maka jika anak itu semuanya perempuan !ebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditingga!kan"
b. Dua orang cucu perempuan atau lebih clari anak laki-laki, apabila anak

perempuan ticlak acla (cliqiyaskan kepacla anak perempuan)

c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak

(sekanclung). Firman Allah QS. al-Nisa 4: 176) :

Artinya:
"Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditingga!kan o/eh yang meninggal.

cl. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak (Surat. An Nisa

4: 176)
36

5. Yang Mendapat Sepertiga (1/3)

a. Ibu, apabila anak yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu

(dari laki-laki) atau dia tidak mempunyai saudara (laki-laki atau

perempuan) yang sebapak atau seibu (sekandung). Firman Allah QS. al-

Nisa (4):11:

Artinya:
"Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi a/eh ibu-
bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenan1

b. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu.

Firman Allah SWT QS al-Nisa (4):12:

~ # - / J ? J." _, ,- ? t G } / ,-

~I J :lb:._r:., ~ Jll·~ ~ J.-f=I lylb:. 0~


(f: \~\.WI)
Artinya:
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu /ebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu da/a111 yang seperliga itu

Di dalam ayat tersebut tidak disebutkan saudara seibu, akan tetapi

maksudnya untuk saudara seibu, sebab mengenai saudara sekandung dan

sebapak telah dijelaskan pembagiannya pada ayat lain.


37

6. Yang Mendapat Seperenam (1/6)

a. Ibu, apabila anaknya meningal itu tidak mempunyai anak atau cucu

(laki-laki) atau saudara (laki-laki dan perempuan) yang sebapak dan

seibu (sekandung). Firman Allah SWT QS. al-Nisa 4: 11,

»"' J." .... ~ ",,." -t J tt'"" "'.,,,. "'1<1 .,. ,,.1.


:.Uj ,4.J (JD ul- 2.J_;
J,
~ l.)"'..._.:....i 4:? ~J U"-;'.
, ,
~Y.~J
(f:\ \/~WI)
Artinya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak bagi rnasing-rnasingnya seperenam dari
hart a yang dili11ggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak

b. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu

(laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki

c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), apabila ibu tidak ada, ha! ini

karena berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Zaid, beliau

berkata:

Artinya:
"Sesungguhnya Nabi saw re/ah menetapkan bagian nenek seperenam (116)
bagian dari harta warisan." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi kecua/i an-
Nasai).

d. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki, apabila orang

yang meninggal mempunyai anak tunggal, akan tetapi apabila anak

perempuannya lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak

mendapat apa-apa. Nabi bersabda :


38

Artinya:
11
Nabi telah men-1berikan seperenan1 bagian unruk cucu perernpuan dari anak
/aki-laki, serta (ada) anak perempuan." (HR. Bukhari)

e. Kakek (datuk), apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau

cucu (dari anak laki-laki) sedang bapaknya tidak ada.

f. Saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu.

g. Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih), apabila

saudaranya yang meninggal mempunyai seorang saudara.

G. Asas-asas dan Prinsip Kewarisan Dalam Islam

Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu

yang berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan
25
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan

hadits, antara lain :

1. Asas Ijbari

Asas ini dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan

harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan

sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak

pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan (ijbari: compulsory) dalam

25
Keputusan Seminar Hukum Waris Islam yang diselenggarakan oleh Proyek Pembinaan
Sadan Peradilan Agama, tanggal 5-8 April 1982, di Cisarua Bogor, (Jakarta, Depag RI, t.th)
39

hukum kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidal

boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai

deanganjumlah yang telah ditentukan oleh Allah. 26

Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari:

a. Segi peralihan harta

b. Segi jumlah pembagian

c. Segi kepada siapa harta itu beralih

Asas ijbari ini dapat dilihat pada Kompilasi Hukum Islam (KI-II)

dalam Bab I tentang ketentuan umum pasal 171 huruf a sampai f, Bab II

tentang ahli waris pasal 172 sampai 175 dan Bab III tentang besarnya

bagian pasal 17 6 sampai 179.

2. Asas Bilateral

Asas ini yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua

belah pihak baik keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat

dilihat dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 surat

tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan berhak

mendapat warisan dari orang tuanya secara bilateral. Asas bilateral dapat

dilihat dalam KHI pada pasal 174, Bab III tentang besamya bagian, pasal

176-191, dan bab IV tentang Aul dan Rad pasal 192 dan 193.

26
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar !/mu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004) Cet ke-4, h. 14 I
40

3. Asas Individual

Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada

masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam

pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalan1 nilai tertentu yang

kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak sesuai kadar

masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang

diperolehnya tanpa terikat kepada ahli waris lain, karena bagian-bagiarmya

sudah ditentukan.

4. Asas Keadila~ng Berimbang


Asas ini beraiti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak

dan kewajiban, baik hak yang diperoleh dengan kewajiban yai1g harus

ditunaikarmya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yai1g

sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya (kelak) dalm keluarga dan

masyarakat. Dalfilll sistem kewarisan Islfilll, haita peninggalan yang

diterima oleh ahli waris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab

pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang

diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan

tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.

KHI merumuskannya dalam pas al 183, yaitu : para ahli waris dapat

bersepakat melakukan perdamaian dalan1 pembagian ha1ta warisan setelah

masing-masing menyadari bagiannya.


41

5. Asas Akibat Kematian

Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian

seseorang. Menurut ketentuan hukum Islam, peralihan harta seseorang

kepada orang lain disebut dengan kewarisan, terjadi setelah orang yang

mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti harta seseorang tidak dapat

beralih kepada orang lain selama ia masih hidup sedangkan dalam KHI

merumuskannya dalam pasal 211, yaitu : peralihan harta dengan jalan hibah

dapat diperhitungkan sebagai warisan.

6. Asas Hajib Mahjub

Hajib dan Mahjub berarti orang yang menjadi penghalang dan

terhalangi. Dalam hukum kewarisan Islam, tidak semua ahli waris

mendapat bagian dari harta peninggalan, karena penentuannya berdasarkan

orang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Dalam KHI pasal 174

ayat (2) disebutkan : apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak

mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Yang dimaksud semua ahli waris yaitu pertarna, golongan laki-laki

terdiri dari : ayah, anak dan saudara laki-laki, paman dan kakek. Kedua,

golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak dan saudara perempuan dan

nenek. Dari golongan laki-laki, saudara terhalang oleh ayah. Dari golongan

perempuan saudara perempuan terhalang oleh anak dan ayah, nenek

terhalang oleh ibu


42

7. Asas Kesamaan Agama

Beragama Islam merupakan dasar yang menjadikan seseorang dapat

saling waris mewarisi. Dalam KHI dirumuskan pada pasal 171 huruf b :

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan

pengadilan beragama Islam, meninggalkan al1li waris, dan harta

peninggalan". Huruf c : "ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal

dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi

ahli waris".

Ditinjau dari sudut ekonomi pembagian warisan mempunyai fungsi

guna menyalurkan hmta kekayaan dari penumpukkan pada diri seseorang.

Menurut Muhammad Najatullah Siddiqi sebagaimana dikutip oleh Abdul

Qadir Jaelani menyatakan perbedaan zakat dengan warisan yang

menyatakan: 27

"Apabila pada zakat terjadi pembagian kernbali kekayaan antm·a

generasi sekarang, maka pada harta warisan pembagian kembali kekayaan

antara generasi yang pergi dengan yang ada sekarang"

Ketentuan kewarisan dalam Islam tidak dibatasi pada kelompok

kecil saja, menurut Mustafa Husni as-Siba'i tujuan Islam dalam

memperbanyak ahli waris agar harta warisan itu tidak te1timbun oleh

27
Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah (Surabaya, Bina Ilmu, I 995) h. 277
43

beberapa tangan saja, melainkan terpencar-pencar dan terbagi secara

merata28 . Dengan demikian Islam menentukan beberapa prinsip pembagian

warisan (pusaka) seperti halnya yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut: 29

a. Adanya hubungan kekeluargaan dan perkawinan. Hubungan


kekeluaraaan mencakup hubungan karena kelahiran, dan hubungan
persaudaraan yang mencakup aspek yaitu saudara sebapak dan seibu,
saudara sebapak saja dan saudara seibu saja, sedangkan hubungan
perkawinan mencakup suan1i dan isteri.
b. Meniadakan pembedaan sifat laki-laki dan wanita se11a besar kecilnya
dalam ahli waris.
c. Bapak dan anak tidak terhalang oleh siapa pw1 dalam pembagian
warisan, meski jumlah bagian yang bakal diperolehnya sangat
tergantung oleh ahli waris yang lain.
d. Saudara laki-laki dan perempuan tidak memperoleh bagian (hak)
selama masih ada bapak dan ibu.
e. Jika ahli waris itu terdiri atas laki-laki dan perempuan, maka golongan
laki-laki menerima dua kali bagian wanita.

28
Mustafa Husni as-Siba'i, Kehidupan Sosial Menurut Islam (Bandung, Diponegoro,
1981), h. 161
29
Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah Dan Syari'ah (Jakarta, Pustaka Amani, 1986), h. 353
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA

A. Pengertian Hokum Kewarisau Adat Sunda

Daerah Kuningan merupakan salah satu dari wilayah Jawa Barat yang

hingga kini masih kental nuansa agamis khususnya dalam masalah kewarisan.

Hal ini mengingat adat atau tradisi di daerah ini sudah terpatri sejak sebelum

Islam masuk ke wilayah tersebut tepatnya 3500 SM. 1

Sebelum Islam datang, masyarakat Kuningan menganut agama Hindu

dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang

terkenal dengan nama "Padjadjaran". Seluruh Jawa Barnt termasuk Cirebon

pada tahun 1389 M masuk bagian dari kerajaan Pajajaran. Kata sunda sendiri

memiliki arti aneka ragam, antara lain jamal, indah, atau elok. Lambat laun

kata ini selain itu sebagai salah satu suku atau bahasa di Jawa Barat. 2

Mengingat hampir seluruh warga Kuningan adalah mayoritas islam

yang sangat taat pada ajaran agamanya. Sehingga hal ini membuat kuatnya

pengaruh islam yang ditunjukkan dengan kentalnya pengaruh Islam dalam

kehidupan sehari-hari. Berbagai ritual agama penting menjadi kewajiban yang

1
• Sejarah Ringkas Kabupalen Daerah TK. fl Kuningan, (Kuningan, Dinas Pariwisata
Daerah, 2000), h. 1
2• Ajip Rosyidi, Kesusaslraan Sunda Dewasa lni, (Cirebon, t.p, 1966), h. 107
45

tidak dilepaskan dan ditinggalkan oleh masyarakat setempat, seperti selametan,

muharraman, mauludan dan sebagainya. 3

Dalam hal kewarisan pun yang mana berkenaan dengan harta

peninggalan, secara adat masih berlaku hingga kini. Menurut istilah adat sunda

yang dikemukakan oleh Saini KM, hukum waris ialah peraturan hukurn yang

mengatur pemindahan hak milik barang-barang, harta benda dari generasi yang

berangsur mati (generasi tua) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih

hidup, baik dari bapak kepada anak, dari anak kepada cu cu dan seterusnya. 4

B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda

Untuk mengetahui sumber hukum kewarisan adat Sunda, berarti tidak

lepas dari kehidupan keagamaan orang Sunda. Mayoritas agama yang dipeluk

masyarakat Sunda adalah agama Islam, sehingga kepercayaan, sejarah dan

ajarannya tidak bisa dilepaskan antara keduanya.

Dalam pengertian antropologi, agama sebagai bagian dari kebudayaan.

Kehidupan agama tersebut juga tampak amat kuat bagi orang Sunda. Apabila

kita pelajari tahap-tahap lingkaran hidupnya dari sejak masa kelahiran,

memotong rambut, perkawinannya, sampai meninggalnya tentu saja masih

dalam bingkai-bingkai agama. Hal ini sangat tidak mengherankan mengingat


3
Adaby Darhan dan Abdul Wahid, Antara Saung, Warung, dan Tajug: Transformasi
.
Ekonomi dan Prilaku Agama Komunitas Pedagang Di Cibingbin, Jawa Baral. (Jogjakarta,
Lembaga Penelitian UGM) 2004, h. 26
4
• Saini K.M, Adat !stiadat Daerah Jawa Baral, (t.t, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), h. 147
46

nilai-nilai agama memainkan peranan yang amat besar dalam kehidupan

manusia dan masyarakat 5•

C. Rukuu dan Syarat Kewarisan

Mengenai rukun dan syarat kewarisan adat Sunda, penulis mengambil

kesimpulan dari karangan RD Soepomo tentang kewarisan Hukum Perdata

Adat Jawa Barat yang menjelaskan sebagai berikut :

Rukun kewarisan adat Sunda ada tiga :

I. Pewaris, adalah orang yang meninggalkan harta kekayaan.

2. Ahli waris, adalah orang yang ada hubungannya dengan orang yang telah

meninggal, seperti kekerabatan dan perkawinan.

3. Warisan, adalah harta yang menjadi pusaka pewaris atau barang-barang

dari harta benda pewaris.

Adapun syarat-syarat kewarisan adat Sunda, pada prinsipnya sama

dengan syarat-syarat kewarisan Islam, hanya perbedaan istilah saja yang beda

antara lain :

I. Pewaris, artinya orang yang mewariskan. Dalam ha! ini pewarisan baru

terjadi apabila si pewaris sudah meninggal dunia. Meninggal disini, baik

hakiki maupun tahkim (berdasarkan keputusan hakim). Tanggal kematian

itu dihitung seperti yang dinyatakan oleh keputusan hakim, bukan tanggal

5
• Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 1979),
Cet ke-4, h. 311
47

ketika keputusan itu dikeluarkan. Hal tersebut menyangkut mati secara

hukmi atau ada keraguan kapan matinya seseorang

2. Ahli waris, artinya anggota keluarga benar-benar hidup ketika pewaris

meninggal dunia, dan ahli waris tersebut berhak memperoleh harta pusaka

3. Tidak adanya penghalang-penghalang untuk mewarisinya

Walaupun dua syarat telah dipenuhi yakni syarat (1) dan (2), namun

salah seorang dari mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalannya kepada

yang lain jika terdapat salah satu dari macam penghalang yang mewarisi.

D. Sebab-sebab dan Penghalang Kewarisan

1. Sebab-sebab waris-mewarisi adalah6 :

a. Sedarah dan tidak sedarah, ahli waris yang sedarah terdiri dari anak

kandung, orang tua, saudara dan cucu. Sedangkan ahli waris tidak

sedarah ialah anak angkat, janda atau duda.

b. Hubungan perkawinan, bila seseorang laki-laki telah melangsungkan

akad nikah yang sah dengan perempuan, maka di antara keduanya telah

terdapat hubungan kewarisan. Artinya istri menjadi ahli waris bagi

suaminya yang telah mati begitupun sebaliknya.

c. Kepunahan atau Nunggul Pinang, yakni jika pewaris tidak memiliki

ahli waris sama sekali maka harta kekayaannya tersebut diserahkan

'. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung, Alumni, 1983), Cet ke-2, h. 109
48

kepada desa atau Baitul Mal atau kepada orang yang tidak mampu atau

dibagikan di antara ketiganya.

2. Penghalang atau sebab-sebab tidak mewarisi adalah :

Hak waris seseorang juga dapat hilang dikarenakan perbuatan salah

yang dilakukan ahli waris yang bertentangan dengan hukum adat.

Perbuatan salah dapat dibatalkan apabila ahli waris memaafkan, memberi

ampunan secara nyata dalam ucapan atau prilakusebelum atau ketika proses

pembagian warisan. Perbuatan tersebut antara lain :

a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota

keluarga pewaris.

b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris.

c. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewads atau

nama kerabat pewaris disebabkan perbuatan tercela.

d. Murtad dari agama atau berpindah agama dari kepercayaan.

E. Ahli Waris dan Bagiannya

I. Ahli Waris

Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang

diteruskan secara turun-temurun. Karena agama Islam telah lama dipeluk

oleh masyarakat Sunda, maka sangatlah sulit kiranya untuk memisahkan

mana adat dan mana agama. Biasanya kedua unsur ini terjalin erat menjadi

adat kebiasaan dan kebudayaan setempat.


49

Adat memang memegang peranan meskipun tak selalu dapat

disesuaikan dengan syariah. Mengenai warisan menurut syariah anak laki-

laki dengan anak perempuan ialah dua berbanding satu (2; I). Di adat

Sunda, Jawa Barat ha! itu berlainan, karena menurut adat baik anak laki-

laki maupun perempuan memperoleh warisan yang sama besarnya7•

Mengenai prinsip garis keturunan, dapat dikatakan bahwa sistem

kekerabatan di Sunda adalah bersifat bilateral. Yang dimaksudkan dengan

bilateral adalah gar1s keturunan yang menghitungkan hubungan

kekerabatan melalui orang laki-laki maupun wanita.

Adapun sistem silsilah kekerabatan pada orang Sunda menunjukkan

ciri-ciri bilateral dan generasional. Dilihat dari sudut ego, orang sunda

mengenal istilah tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, yakni :

Ke Atas KeBawah

a. Ko lot a. Anak

b. Embah b. Incu

c. Buyut c. Buyut

d. Bao d. Bao

e. Janggawareng e. Janggawareng

f. Udeg-udeg f. Udeg-udeg

g. Gantung siwur g. Gantung siwur

7
• Kosoh S, dkk, Sejarah Daerah Jawa Baral, (Jakarta, Proyek Inventarisasi dan
dokumentasi Sejarah nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan,
Depdikbud, 1994), eel ke-2, h. 127
50

Bagi orang Sunda sebutan kekerabatan bagi kekerabatan pihak laki-

laki tidak berbeda dengan sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak wanita.

Apabila kita melihat istilah kekerabatan orang Sunda, maka tampak istilah

yang dipergunakan untuk kedua generasi ke atas dan ke bawah dilihat dari

sudut ego seperti: ayah dengan sebutan apa, bapa, pa. Ibu dengan sebutan

ema, ma. Kakak laki-laki dengan sebutan kakang, kaka, akang, atau kang.

Kakak perempuan dengan sebutan ceuceu, euceu, ceu. Kakak laki-laki ayah

atau ibu dengan sebutan uwa. Adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan

mamang, emang, atau mang. Adik perempuan ayah atau ibu dengan

sebutan bibi, ibi, embi atau bi.

Adalah berbeda, sedangkan sejak generasi ketiga ke atas maupun ke

bawah istilahnya sama yakni prinsip polarity (diabaikan). Ada benamya

anggapan bahwa dua generasi keatas dan kebawah itu masih mempunyai

hubungan yang fungsionil dalam hubungan kekerabatan, sedangkan tiga

generasi ke atas dan ke bawah hanya mempunyai fungsi tradisional dalam

hubungan kekerabatan. Dari kajian antropologi di alas tentang sistem

kekerabatan adat Sunda bisa dijadikan piranti untuk analisis mengenai

hukum adat Sunda tentang sistem kewarisan.

Seperti dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah

maupun ibu) yang umum di daerah adat Sunda, semua harta benda

kepunyaan kedua orang tua yang meninggal diwariskan kepada beberapa


51

ahli waris yang mendapatkan, dan ha! itu dapat dikelompokkan kepada

beberapa ahli waris, antara lain :

Generasi pertama Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan

kepada semua anak-anaknya.

Generasi kedua Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan

kepada orang tua, j ika yang berpulang itu tak

meninggalkan anak-anak.

Generasi ketiga Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan

kepada ahli waris dari kedua orang tuanya, dalam ha!

ini adalah ke tangan kerabatnya sendiri dari pihak

keluarga suami yang masih hidup. Syaratnya yakni

jika orang tua tersebut telah meninggal dunia.

Semua harta benda kepunyaan kedua orang tua tersebut diwariskan

sama rata kepada ahli waris yang mendapatkan, baik itu anak-anaknya,

orang tuanya, maupun saudara-saudaranya dari pihak keluarga suami isteri

yang masih hidup. Harta pusaka dalam aturan tertib ini senantiasa terdiri

dari harta milik sendiri dari yang meninggal ditambah dengan harta

bersama dalam perkawinan.

2. Harta Bagian Yang Diperoleh oleh Ahli Waris

Mengenai pembagian warisan menurnt adat sunda pada umumnya

terbagi pada 2 macam cara yang dibagi kepada generasi muda yaitu :
52

a. Pembagian sebelum generasi tua meninggal

Yang dimaksud generasi tua disini ialah bapak dan ibu dari

generasi muda tersebut. Pembagian sebelum generasi tua meninggal

dilakukan atas persetujuan antara suami dan istri. Bisa juga suami

melakukan itu tanpa persetujuan isterinya. Pihak generasi muda (anak-

anaknya) hanya menerima saja pembagian yang dikehendaki oleh ayah

bunda mereka. Cara demikian hanya dilakukan dalam lingkungan

keluarga mereka sendiri, tanpa dihadiri dari pihak luar manapun baik

dari petugas KUA maupun dari pihak Desa.

Harta kekayaan warisan tersebut dibagikan sama rata kepada

anak-anaknya, pembagian ini tidak melihat jenis kelamin misalnya anak

laki-laki mendapat satu sedangkan perempuan mendapat setengahnya.

Bila pembagian tersebut sudah ditentukan jumlah besar dan banyaknya

harta warisan, maka kemudian dibuatkan dan diuruskan surat-suratnya

yang sah pada pamong desa atau depan notaris.

Apabila terdapat dari generasi muda (salah satu anaknya)

meninggal, maka pembagian anak-anak lainnya tetap disesuaikan atas

keputusan orang tua. Lalu ketentuan tersebut diuruskan surat-suratnya

yang sah pada pamong desa atau depan notaris.

b. Pembagian sesudah generasi tua meninggal

Pembagian warisan sesudah generasi tua meninggal, dilakukan

apabila kedua orang tua ibu dan bapak dari waris setelah meninggal.
53

Kalau ibu saja yang meninggal, pembagian belum bisa dilakukan.

Apabila bapak saja yang meninggal sedangkan ibu masih hidup, hak

kekuasaan atas semua hmta jatuh kepada ibu (istrinya), dan ini yang

mengatur segala sesuatunya mengenai harta kekayaan suaminya yang

meninggal itu.

Sang ibu selanjutnya mengurus untuk keperluan bagi anak-

anaknya san1pai ada ketentuan pembagimmya, apakah warisan

suaminya tersebut akan dibagikan kepada anak-anaknya menurut cara

pertama diatas, apabila tidak demikian maka pembagimmya dilakukan

dengan cara kedua.

Cara kedua dilakukm1, melihat silsalah keturunan keluarga

(turun reki), apakah termasuk anak sulung, bungsu atau bontot. Anak

sulung atau pertama mendapatkan bagian warisan lebih besm· dari adik-

adiknya, selmtjutnya anak ke-dua mendapatkan lebih kecil dari sulung

begitupun selanjutnya. Pembagian sepe1ti ini tidak melihat jenis apakah

laki-laki atau perempuan. Namun lebih ditekankan kepada aspek strata

keluarga.

Dalam ha! kedua orang tua meninggal dari ahli warisnya, maka

tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

dalam proses pembagian warisan. Tidak mustahil diantara mereka ada

yang serakah dalam mengambil bagiannya, tentu saja ingin mendapat

jatah lebih banyak dan besar dari yang lain.


54

Pada umumnya di adat Sunda, pembagian warisan dilaksanakan

secara damai dan musyawarah yang menghasilkan mufakat antara ahli

wai·is, setelah segala tanggungan dai·i orang yang meninggal, selesai

ditunaikan seperti melunasi hutang-hutangnya, biaya penguburan,

melaksanakan wasiatnya dan lain-lain. Biasanya pembagian tersebut

diatur oleh laki-laki yang tertua dari ahli waris sa111pai mendapatkan

persesuaian dai·i mereka. Tetapi bila tidak tercapai kesepakatan dala111

pembagian, maka dimintakan pertimbangan dan saran dari saudara-

saudara pihak bapak atau i bu.

Kalau dengan cara ini masih belum juga selesai, maka

dimintakan pertimbangan dan penyelesaian dari pihak KUA (Kantor

Urusan Aga111a) setempat. Di sm1 segala pertimbangan dan

penyelesaian dilakukan berdasarkan hukum Isla111 sesuai ketentuan

kitab faroid.

F. Asas-asas Hukum Kewarisan Adat Sunda

Pada prinsipnya hukum waris adat sunda memiliki asas yang

berpangkal dari sila-sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia

(way of life). Tetapi bukan semata-mata terdapat asas kerukunan dan asas

kesa111aan hak dalam pewarisan, na111un terdapat pula asas-asas hukum yang

terdiri dari :
55

1. Asas Ketuhanan

Asas ketuhanan ini adalah sila ketuhanan yang maha esa dengan

artian setiap orang, tiap anggota keluarga yang percaya dan taqwa kepada

Tuhan Maha Pencipta menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Bahwa rejeki dan kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimilikinya

adalah karunia tuhan.

Dalam pembagian warisan, menurut adat Sunda asas ketuhanan

sangat diutamakan mengingat, bahwa sesuatu yang ada di muka bumi ini

adalah milik Tuhan. Sebelum harta pusaka dibagikan kepada ahli waris,

hendaknya berlandaskan kepada ajaran-ajaran agama yang dianut olehnya

agar terhindar dari ·sifat keserakahan dan ingin menguasai harta.

2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak

Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak disini adalah

kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan artian hak atas warisan yang

diperlukan secara adil dan bersifaat kemanusiaan baik dalam acara

pembagian maupun dalam cara pemanfaatannya dengan selalu

memperhatikan para waris yang hidupnya kekurangan.

Dengan asas tersebut, diharapkan dalam pembagian harta

peninggalan (warisan) dapat sesuai po rs inya. Dan tidak ada yang merasa

diuntungkan maupun dirugikan. Contoh, pada pembagian warisan sebelum

generasi tua meninggal, anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan

bagian yang setara atau sama rata. Sedangkan dalam pembagian warisan
56

setelah generasi tua meninggal, anak laki-laki dan anak perempuan

mendapatkan bagian sesuai dengan cara tersebut yakni melihat garis silsilah

keturunan.

3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan

Dengan sila persatuan ini dalam ruang lingkup yang kecil seperi

keluarga atau kerabat menetapkan kepentingan kekeluargan dan

kebersamaan sebagai kesatuan masyarakat kecil yang hidup rukun.

Kepentingan mempertahankan kerukunan kekeluargaan atau kekerabatan

selalu ditetapkan diatas kepentingan kebendaan perseorangan.

Demi persatuan dan kesatuan keluarga maka apabila seorang

pewaris wafat bukanlah tuntutan atas harta warisan yang harus segera

diselesaikan, melainkan bagaimana memelihara persatuan itu supaya tetap

rukun dan damai dengan adanya hruia warisan itu. Diharapkan dengan asas

kerukunan dan kekeluargaaan, berfungsi bagi proses pembagian waris agar

tidak memecah belah antar keluarga. Seperti anak laki-laki mgm

mendapatkan bagian lebih besar dari perempuan atau sebaliknya.

4. Asas Musyawru·ah dan Mufakat

Asas musyawarah dan mufakat menurut hukum waris adat

manisfestasinya berarti kesanak saudaraan pewaris yang terpelihara atas

dasar musyawarah mufakat para anggota keluarga. Artinya dalam mengatur

atau menyclesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa

tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yru1g sama

berdasarkan musyawarah mufakat bersama.


57

Asas tersebut berfungsi, mentolerir terjadinya kesenjangan antar

ahli waris dalam pembagian tirkah dari pewaris. Pada umumnya dalam adat

Sunda, kebanyakan lebih banyak memakai cara demikian yang diterima

masyarakat. Ketika cara pembagian sebelum dan sesudah generasi tua

meninggal, maka asas ini menjadi solusi akhir bagi tercapainya ahli waris

dalam mendapatkan bagiannya.

5. Asas Keadilan dan Parimirma

Dengan adanya rasa keadilan ini maka dalam hukum waris adat

tidak berarti membagi pemilikan atau pemakaian hmia warisan yang sama

jumlahnya atau nilainya, tetapi yang selaras dan sebanding dengan

kepentingan pemerataanya. Dan asas parimirma, di dalam hukum wm·is

adat, yaitu asas welas kasih terhadap para ahli waris, yang dikarenakan

keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya, sehingga mendapatkan

hak dan bagian dari harta pusaka. 8

Asas keadilan ini mewakili dari tujuan adanya bagi waris. Antara

anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian sesuai hak dan

bagiannya. Seperti pembagian waris sebelum generasi tua meninggal,

generasi muda (anak-anak) menerima bagian yang dikehendak oleh orang

tua mereka. Begitu juga dalam pembagian setelah generasi tua meninggal,

anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang ditetapkan oleh

orang tua mereka.

8
. Ter Haar BZN, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Penerjemah K. Ng. Soebakti
Peosponoto (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-12, h.10.
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA

DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan

Islam

1. Pengertian dan Istilah-istilah

a. Pengertian Hukum Kewarisan

Dalam pengertian hukum kewarisan baik hukum kewarisan adat

Sunda maupun hukum kewarisan Islam, secara umum sama, yakni

menerangkan bahwa kewarisan terjadi karena ada peristiwa hukum yang

sama, yaitu ada kematian seseorang yang meninggalkan harta waris dan

ahli waiis. Pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli warisnya,

dilakukan setelah ditunaikan kewajiban berupa penguburan mayat dan

penyelesaian hutang-hutangnya.

b. Istilah-istilah dalam Hukum Kewarisan

Istilah-istilah yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam dan

hukum adat Sunda pada dasarnya mempunyai arti yang sama, misalnya

pewaris, harta warisan, ahli waris, dan sebagainya.

, Istilah-istilah yang terdapat pada hukum kewarisan adat Sunda dan

hukum kewai'isan Islam yang membedakan adalah asal kata dari hukum

kewarisan Islam berasal dari bahasa Arab, sedangkan hukum kewarisan


59

adat sunda berasal dari bahasa Sunda. Dalam kewarisan Islam seperti

bapak (i.,il), kakek (4), bapaknya kakek (:i..,JI i.,il), kakeknya kakek (:i..,JI 4)

dll. Adapun dalam kewarisan adat Sunda terdapat istilah kolot (bapak),

embah (kakek) buyut (bapaknya kakek), beo (kakeknya kakek) di!.

2. Harta Warisan

a. Harta warisan

Dalam kewarisan Islam, pembagian harta warisan baru dapat

dilakukan kepada ahli waris setelah terlebih dahulu dilaksanakan empat

jenis pembayaran (kewajiban), yaitu :

1) Biaya-biaya pengurusan jenazah.

2) Hak-hak yang berkaitan dengan harta wans (zakat yang belum

dikeluarkan).

3) Hutang-hutang si pewaris ketika hidupnya.

4) Wasiat si pewaris.

Pengurusan jenazah sejak dimandikan sampai dimakamkan,

biayanya diambil dari harta peninggalan si pewaris dengan ketentuan tidak

berlebih-lebihan yang sesuai dengan ajaran Islam. Apabila dilakukan

karena tradisi atau adat setempat, maka tidak dibiayai dari harta

peninggalan pewaris. Setelah diambil untuk pengurusan jenazah dan

pembayaran zakat, sisa harta peninggalan dian1bil lagi untuk melunasi

hutang-hutang si mayat.
60

Apabila jumlab hutang melebihi dari jumlab harta peninggalan

maka pembayarannya dicukupkan dengan harta warisan yang ada.

Menurut Hadi Ramulyo, ahli waris tidak dibebani kewajiban menutup

kekurangannya dari harta mereka. Namun, jika abli waris menyanggupi

untuk menutupi kekurangannya, ha! demikian dipandang sebagai kebaikan

abli waris bukan merupakan kewajiban hukum.

Dalam hukum kewarisan adat Sunda berlaku suatu asas babwa

apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan

kewajiban hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hak

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang beralih kepada abli warisnya.

Dengan demikian, harta peninggalan si pewaris harus secepat mungkin

dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Kalau henclak dibiarkan untuk tidak

segera dibagikan, harus terlebih dahulu dengan persetujuan seluruh abli

waris. Dalam hukum kewarisan adat Sunda dijelaskan babwa biaya

penguburan mayat merupakan hutang preferent, yaitu dapat diclabulukan

pembayarannya dari harta warisan sebelum hutang-hutang lain clibayar.

3. Rukun, dan Syarat Mewarisi

a. Rukun atau unsur yang mewarisi

Dalam hukum kewarisan Islam maupun hukum kewarisan adat

Sunda keduanya memberikan penjelasan sama mengenai rukun atau unsur

mewarisi, yaitu :
61

I) Ada pewans, yaitu orang yang meninggalkan harta pusaka ketika

meningal dunia.

2) Ada ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima warisan yakni

mereka yru1g mempunyai hubungan darah atau perkawinill1.

3) Ada harta warisan, yaitu harta peninggalan dari si pewaris.

b. Syarat mewarisi

Dalam hukum kewarisan adat Sunda ada dua ha! yang menjadi

syarat dalam mewarisi yakni : Pertama, pewru·is yang sudah meninggal

dunia. Kedua, ahli waris yang hendak mewarisi masih hidup atau ada saat

kematian si pewaris. Sedangkan menurut hukum kewarisan Islam, selain

dua syarat di atas ditan1bah lagi tidak ada penghalang untuk menerima

warisan.

4. Penghalang Atau Schab Tidak Menerima Warisan

Mengenai ha! ini pada prinsipnya sama, yaitu menurut hukum

kewarisan adat Sunda yang menjadi penghalang dalam mencrima warisan

adalah ahli waris yang dipersalahkill1 karena telah membunuh atau mencoba

membunuh, kemudian ahli waris yill1g telah menggelapkill1, memusnahkill1

atau memalsukan surat wasiat atau dengill1 memakai kekerasru1 atau ill1Camill1

telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat sesuai

kehendaknya. Selain itu juga ahli waris yang berpaling dari agama Islam

(murtad).
62

Sedangkan menurut hukum Islam yang menjadi penghalang atau sebab

tidak menerima warisan adalah ahli waris yang telah membunuh pewaris, ahli

waris yang berlainan agama dengan si pewaris, ahli waris yang keluar dari

agama Islam (murtad).

Titik persamaan dari kedua hukum kewarisan tersebut mengenai ahli

waris, adalah bersifat imparsial yang tidak membedakan dari pada asas

kesetaraan. Adapun hukum adat Minangkabau bersifat matrilineal, hukum

adat Batak bersifat patrilinial, sedangkan hukum adat Sunda dipakai kedua-

duanya. Hal tersebut selaras dengan Islam, yakni kalau seseorang meninggal

dunia, maka ahli warisnya baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan

wansan.

B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam

1. yumber Hukum Kewarisan

Sumber hukum kewarisan Islam adalah Quran dan Hadis yang

kebenarannya dijamin oleh Allah SWT, dan siapa pun tidak bisa meragukan

kedua hukum itu. Adapun hukum kewarisan adat Sunda juga bersumber dari

sumber kedua tersebut, yang nota bene mayoritas masyarakat Sunda

menganut agama Islam. Selain itu terdapat aturan yang sudah menjadi tradisi

setempat seperti pembagian turun reki {pembagian yang ditinjau dari silsilah

keluarga). Namun ha! terakhir ini merupakan buatan manusia yang amat

rentan sekali, sehingga terdapat kekurangan dan kesalahan. Menurut hukum


63

kewarisan adat Sunda, bahwa Islam adalah sebuah kepercayaan orang Sunda

yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun.

2. Ahli Waris

Dalam hukum kewarisan Islam, seorang ahli waris dapat dan berhak

menerima warisan, apabila ia :

I) Sebagai ahli waris

2) Sudah ada dan hidup ketika pewaris meninggal dunia

3) Tidak terdapat penghalang kewarisan seperti membunuh

4) Tidak terhijab

Menerima dan menolak war1san menurut hukum kewarisan Islam

tidak terdapat aturan tentang tersebut, baik menerima secara murni atau pun

dengan syarat. Dalam kewarisan Islam, ahli waris yang dinyatakan

mendapatkan warisan dibedakan dalam tiga golongan, yaitu :

I) Ahli waris "Asha bu/ Furudh", yaitu ahli waris yang menerima bagian

yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur'an seperti 1/2, 1/3 atau

116.

2) Ahli waris "Ashabah", yaitu bagian sisa setelah diberikan kepada ahli

waris ashabul furudh. Dengan kata lain, ashabah juga berarti mereka yang

berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorang pun di antara

ashabul furud.

3) Ahli waris "Dzawil Arham", yaitu kekerabatan secara mutlak baik dari

pihak bapak maupun pihak ibu.


64

Sedangkan menurut kewarisan adat Sunda, ahli war1s yang

mendapatkan warisan di antaranya :

Generasi pertama : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada

semua anak-anaknya.

Generasi kedua : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada

orang tua, j ika yang meninggal itu tak meninggalkan

anak-anak.

Generasi ketiga : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada

ahli waris kepada familinya sendiri jika orang tuanya

telah meninggal dunia.

Menurut hukum kewarisan adat Sunda terdapat dua bentuk sikap

dalam menerima warisan, yaitu menerima secara mumi dan menerima secara

bersyarat.

Ahli waris yang menerima dengan secara mumi berarti ahli war1s

tersebut menanggung kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan seperti

membayar hutang-hutang pewaris, melaksanakan wasiat. Karena ahli waris

telah menggantikan posisinya.

Sedangkan dalam penerimaan secara bersyarat yaitu seorang ahli waris

menerima harta warisan dengan mengajukan syarat, artinya ahli waris tersebut

hanya dapat melunasi hutang-hutang pewaris. Jadi, dalam menerima harta

warisan seseorang ahli waris mempunyai kebebasan untuk menentukan

sikapnya asal tidak akan merugikan dirinya.


65

3. Sebab Mewarisi

Menurut hukum kewarisan adat Sunda ada dua sebab menerima

warisan yaitu hubungan kerabat yang sedarah (semenda) dan hubw1gan

perkawinan. Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam ada satu ha! lagi yang

menjadi sebab mewarisi, yakni yaitu al-wala, yakni kekerabatan yang timbul

karena membebaskan (memberikan) hak budak. Namun ha! tersebut pada saat

ini tidak ada karena sudah tidak relevan dalam konteks sekarang. Apabila

pewaris tersebut tidak meninggalkan ahli waris, maka harta peninggalannya

dimasukkan kedalam Baitulmal, kalau dalam adat SWldanya dinamakan

nunggul pinang atau kepunahan.

4. Bagian-bagian Ahli Waris

Dalam hal pembagian harta warisan, banyak perbedaan yang prinsipil

antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda. Menurut

hukW11 kewarisan Islam, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari

perempuan (2; I), sedangkan menurut hukum kewarisan adat sunda, antara

laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, semuanya mendapat sama rata

dalam pembagiannya (I; 1).

Kedudukan janda menurut hukum Islam berbeda dengan kedudukan

duda, sebab janda sebagai ahli waris dari mendiang suaminya memperoleh

seperdelapan (1/8) bagian dari harta pusaka jika terdapat anak. Apabila tidak

terdapat anak maka bagian janda mendapat seperempat (1/4) bagian dari harta

peninggalan.
66

Bagian suami, jika terdapat anak ia mendapat seperempat (1/4) dari

warisan, jika tidak terdapat anak ia mendapat setengah (1/2) bagian. Berbeda

dengan hukum kewarisan adat sunda yang menempatkan kedudukan janda

dan duda dalam posisi sama sebagai ahli waris dari yang meninggal.

Kedudukan datuk (kakek) dan nenek dengan saudara, menurut hukum

kewarisan adat Sunda bahwa kakek baik dari pihak ibu maupun dari pihak

bapak tersingkir oleh saudara, karena saudara termasuk golongan ke-II,

sedangkan kakek termasuk golongan ke-III. Selagi ada golongan ke-II, maka

golongan ke-III (dalam hal ini kakek), tidak dapat tampil mewarisi harta

peninggalan.

Adapun menurut hukum kewarisan Islam, kalcek dan nenek sebagai

ahli waris berhak menerima warisan yang dibedakan menjadi :

a. Kakek dari pihak bapak (bapak dari bapalc dan seterusnya).

b. Kakek dari pihak ibu (bapak dari ibu dan seterusnya).

c. Nenek baik pihak ibu maupun bapak.

Kakek dari pihak ibu dikategorikan sebagai dzawil arham yaitu,

keturunan keluarga perempuan yang tidak berhak mewarisi kecuali tidak ada

sama sekali dzawil furudh dan ashabah. Sedangkan nenek dapat mewarisi

menggantikan ibu seperenam (116) , dan berbagi sanm rata atas seperenam

(1/6) bila dua orang atau lebih dengan tidak membedakan nenek dari pihak

bapak atau dari pihak ibu.


67

C. Analisis Hulmm Antara Teori Dan Praktek

1. Pembahasan Teori

Di Indonesia dewasa ini terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang

berlaku bagi masyarakat yakni :

a. Sistem hukum kewarisan perdata barat (eropa) yang tertuang dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW).
b. Sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam yang dipengaruhi oleh
bentuk etnis.
c. Sistem hukum kewarisan Islam yang juga terdiri dari pluralisme ajaran dan
pemahaman.
Hukum kewarisan ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama

Islam berdasarkan staatsblad 1854 nomor 129 yang diundangkan di negeri

Belanda dengan staatsblad 1855 no 2 di Indonesia. Dengan staatsblad 1929 nomor

221 yang telah diubah berdasarkan pasal 29 undang-undang dasar 1945 jo

ketetapan MPR nomor II/MPR/1983 Bab IV.

Menurut Hazairin di samping hukum perkawinan, hukum kewarisan

merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memiliki peranan sangat

penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang

berlaku dalam masyarakat tersebut1.

1
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qir'an dan Hadits, (Jakarta: Tinta mas,
198 l) h. l
69

2. Aspek Sosiologis

Di berbagai daerah, masyarakat menghendaki agar soal-soal

perkawinan dan harta kewarisan mereka diatur menurut hukum Islam.

Penghulu mengetuai suatu kelompok dalam masyarakatnya yang besuku-

suku, yang dalam ha! ini kedudukan adat sangat kuat. Namun walaupun

demikian masih terdapat ketentuan dan peraturan yang tegas bahwa adat dapat

berlaku bila bersandar kepada agama.

Dengan demikian ini merupakan kebalikan dari teori Receptie Snouck

Hurgronye tentang hubungan hukum adat dengan hukum Islam, yang ada

Receptio a contrario hukum adat berlaku kalau tidak betentangan dengan

hukum Islam4 .

3. Aspek filosofis

Dalam Al Quran banyak menjelaskan mengenai filosofi makna-malma

dari kehidupan ini, begitu pula dengan hukum kewarisan yang sudah diatur

didalamnya. Secara ideal itulah suatu ketentuan Allah yang merupakan

keharusan (<las so lien) untuk ditaati yang kemudian dalam praktek kehidupan

masyarakat (das sain).

4
. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario (hubungan-hubungan hukum adat dengan hukum
Islam) (Jakarta, Academika, 1980) h, 7
70

2. Contoh Kasus Pembagian Warisan di Masyarakat

Untuk mengetahui bagaimana proses kasus atau contoh pembagian harta

warisan, dalam ha! ini lebih dikonsentrasikan di daerah Cibingbin, Kuningan,

Jawa Baral, penulis mengambil data dari sejumlah ahli waris yang telah

melakukan pembagian harta pusaka yang terdapat di Desa Cibingbin, Kuningan

mulai dari bulan Januari sampai Oktober 2007. Yang menjadi catatan di sini

yaitu data yang diambil adalah perkara bagi waris yang dapat terdeteksi dan

teridentifikasi. Artinya, yang akan dianalisis sebagai data dalam penelitian ini

adalah proses, dan hasil keputusan pembagiannya dalam praktik di masyarakat.

Apakah lebih cenderung memakai hukum kewarisan Islam ataukah adat Sunda

ketika menggunakan pilihan (opsi) hukum tersebnt.

Alasan penulis mengambil analisa pembagian warisan adalah karena

pada umumnya praktek pembagian warisan pada keluarga sangat tertutup dan

ekslusif, para ahli waris tidak mau dipublikasikan karena bersifat private dan

internal keluarga, sehingga proses pencarian datanya memerlukan waktu untuk

dikaji. Di samping itu, mengingat sangat jarangnya orang meninggal yang

meajadi pewaris, sehingga akan sulit mencari data yang diharapkan. Mengenai

banyaknya kematian yang terjadi di Desa Cibingbin, Kecamatan Cibingbin

Kabupaten Kuningan dalam rentang waktu dari bulan Januari hingga Oktober

tahun 2007 dapat dilihat tabel berikut ini.


71

Nama Keterangan
No Bulan Alam at Pembagian
Almarhum/ah Bagi Waris

I Januari - - - -
Tidak
2 Februari Rustam Efendi Blok Manis Tertutup
Diketahui
Tidak
3 Maret Juju Junaedi Blok Pahing Tertutup
Diketahui
4 April - - - -
5 Mei - - - -
Blok Musyawarah
6 Juni Eddi Ruhaedi Diketahui
Kliwon Keluarga
7 Juli - - - -
Musyawarah
8 Agustus Yayat Hidayat Blok Manis Diketahui
Keluarga
9 September - - - -
10 Oktober - - - -
Jumlah 4 orang
Sumber: Laporan Bulanan Bagian Data/Arsip Desa Cibingbin, Kuningan
Diambil Tanggal 15 Oktober 2007

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perkara bagi waris yang diambil

jadi sample selama tahun 2007, tetapi karena dalam penelitian ini tidak

diprioritaskan melihat data per tahun, maka penulis tidak menyamaratakan

jumlah perkara dalam setiap tahunnya untuk dijadikan sampel. Penulis hanya

mengambil data yang ditemukan saja dan yang dapat mewakili perkara bagi

waris selan1a periode bulan Januari sampai Oktober tahun 2007.

Dalam label di atas, penulis membuat kolom "bulan" sebagai bukti

bahwa perkara-perkara tersebut terjadi di waktu itu. Kolom "nama

almarhum/ah" menerangkan tentang siapa yang menjadi pelaku pewaris. Kolom


72

"alamat" sebagai identitas dari mana yang meninggal berasal. Adapun kolom

"keterangan bagi waris" isinya berupa hasil observasi penulis dalam mencari

data dari ahli waris . Sedangkan kolom "pembagian" isinya adalah hasil final

putusan keluarga dalam upaya penyelesaian yang berkenaan dengan pembagian

harta warisan antara ahli waris.

Dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa sekalipun orang yang

meninggal bervariatif, terlihat dari subjek pewaris bukan hanya dari pihak laki-

laki tetapi juga terdapat pihak perempuan. Sehingga dalam kajian hukumnya

dapat diselesaikan menurut cara yang disepakati dari ahli waris, selain jalur

yang ditetapkan dalam hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam Al-Qur' an,

hukum positif (KHI), ahli waris kadang lebih leluasa memakai hukum adat

Sunda yang menjadi tradisi.

Meskipun pada kenyataannya dari 4 kasus hanya terdapat 2 kasus yang

dapat di ketahui dan diselesaikan prosesnya, tetapi ha! ini membuktikan bahwa

tidak setiap perkara bagi haiia wai·isai1 dapat diselesaikan dengan ketentuan

pembagiannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 176-191 KHI, tetapi ada

alternatif pembagian lain dari ahli waris yakni melalui jalur musyawarah

mufakat keluarga.

Untuk lebih mengoptimalkan penelitian ini, selain menyuguhkan data

melalui label, penulis juga akan menganalisis beberapa hasil pembagian waris

yang sudah ditetapkan, untuk mengetahui sejauh mana implementasi di


73

masyarakat dalam pembagian harta pusaka. Apakah diselesaikan secara adat

atau memakai aturan Islam.

Untuk mempermudah dalam menganalisis hasil bagi warisan, maka dari

sejumlah data yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan

kasus pembagian warisan yang dapat diketahui prosesnya. Adapun klasifikasi

yang di maksud adalah sebagai berikut :

a. Kasus I

Dari beberapa kasus proses bagi war1s yang disebabkan

meninggalnya seseorang apakah laki-laki atau perempuan. Penulis

mengambil contoh dari almarhum laki-laki yang meninggal.

Bapak Eddy Ruhaedi bin Mahmud, umur 39, pekerjaan wiraswasta

meninggal pada hari Minggu tanggal 10 Juni 2007 akibat serangan jantung

yang dialaminya sejak dua tahun terakhir. Setelah menjalani beberapa kali

pengobatan, akhirnya ajal menjemputnya hingga jasad almarhum

dikebumikan di Taman Pemakaman Umum di daerah setempat.

Almarhum suami tinggal bersama keluarga di Blok Kaliwon, Desa

Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Ia telah menikah

dengan istri yang bernama Nunung Nmjannah pada bulan November tahun

1989. Selama perkawinan almarhum telah dikaruniai dua orang anak (satu

anak perempuan dan laki-laki) yang bernama : Lili Maulidatul Hasanah

berusia 16 tahun (lahir 17 Juni 1991), dan Fadli Bayyinusysyafaat berusia

enam tahun ( 15 Mei 1999). Selain itu, almarhum juga meninggalkan sanak
74

kerabatnya berjumlah empat saudara (dua laki-laki dan perempuan).

Mereka itu adalah Bapak Warto, Ibu Ina, Ibu Hj Uni dan Bapak Waryo.

Selama 18 tahun perkawinan dengan Nunung Nurjannah, almarhum

memiliki dan meninggalkan harta peninggalan yang kalau dijumlahkan

totalnya Rp 40.000.000,-. Antara lain berupa :

I) Satu buah rumah berukuran 8x10 M2 No. 39 yang terletak di Blok

Kaliwon Rt. 0031002, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten

Kuningan. Rumah ini kalau ditaksir harganya sekitar Rp 20.000.000,-

2) Satu buah kios warung alat-alat besi berukuran 3x5 No. 55 yang terletak

di Pasar Poncol, Kelurahan Bungur Kecamatan Senen, Jakarta Pusat

yang kalau dihaTgakan senilai Rp 20.000.000,-

Pembagian warisan dilakukan setelah hutang-hutang si mayyit dan

seluruh perkara yang berkenaan dengan biaya pemakaman diberesin. Lalu

sisa harta peninggalannya yang kemudian menjadi duduk perkaranya

langsung dibagikan. Pembagian warisannya diselesaikan dengan

menggunakan cara adat atau tradisi keluarga yakni dengan sistem

musyawarah mufakat antar ahli waris/keluarga.

Dari hasil mufakat tersebut, disepakati dan diputuskan, sisa dari

harta peninggalan al marhum berupa I buah rumah bernkuran 8x I 0 M2 dan

1 buah kios warung besi yang terletak di Jakarta, diberikan semua kepada 2

anak keturunannya yakni Lili Malulidatul Hasanah dan Fadli

Bayyinusysyafaat.
75

Harta pusaka tersebut berhak dimiliki kedua anak yang dibagi

keseluruhan sanm rata. Sedangkan ibu Nunung Nurjannah kedudukannya

sebagai janda (istri almarhum) dan ke 4 saudaranya, tidak mendapatkan apa-

apa. Semua haiia warisan dilimpahkan untuk 2 anak untuk di jaga dan

dikelola.

Namun berhubung posisi 2 anaknya sedang dalam masa

pertumbuhan yakni yakni Lili Malulidatul Hasanah, berusia 16 tahun yang

sedang dalam tahap pendidikan di SMA dan Fadli Bayyinusysyafaat masih

berusia 6 tahun yang baru duduk di kelas 2 SD. Sementara posisi janda

mendiang hanya numpang sementara atau ikut sama ke-2 anaknya sampai

merawat mereka hingga dewasa. Bahkan kalau istri alamai·hum menikah

lagi dengan orang lain, dia tetap harus tinggal dengan mereka dan tetap

merawat rumah dan usaha kiosnya sampai posisi anak-anak dewasa atau

berkeluarga.

Pembagian harta wansan dengan cara tersebut sudah menjadi

kesepakatan keluarga, dan yang paling utama ha! demikian pula sudah

menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Seperti dalam tertib

parental (susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu) yang berlaku di

adat Sunda, kedua anak tersebut termasuk kategori generasi pertama yang

berhak mendapatkan warisan.

Dari hasil pembagian tersebut, menurut ibu Nunung Nurjannah

(selaku istri almarhum) dianggap tidak adil, karena kalau memakai cara
76

pembagian hukum Islan1 atau syariah tentu ia dapat bagian dari warisan.

Tetapi, akhirnya bagaimanapun dia harus terima dan ikhlas dengan hasil

kesepakatan keluarga. Hal ini dicapai untuk menghindari agar tidak

terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga khususnya dari pihak

keluarga almarhum. Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian

menggunakan cara di alas.

Namun kalau pembagian waris tersebut menggunakan hukum Islam

(faroidl) atau yang sesuai dengan aturan KHI, tentu sangat berbeda bahkan

j auh dari hasil apa yang disebut diatas. Seperti dalarn Pasal 176-191 KHI

tentang pembagian masing-masing ahli waris, posisi ibu Nunung sebagai

janda (istri almarhum) mendapatkan seperdelapan (1/8) dari harta

peninggalan, Fadli Bayyinusysyafaat sebagai anak laki-laki mendapat

duapertiga (2/3) dan Lili MH yang merupakan anak perempuan mendapat

sepertiga (1/3) dari harta. Adapun saudara-saudara seibu-sebapak dari

almarhum tidak mendapatkan harta karena terhalang (mahjub) dengan

adanya anak.

Istri = 1/8 = 3/24

Anak (lk) = } 2/3 - 16/24


2;1=3<
Anak (pr) 1/3 = 8/24

27/24

2 sdr (lk)
: } Mahjub/terhalang
2 sdr (lk)
77

Untuk menghindari seperti ini maka secara adil ditempuh memaki

sistem "aul" yakni menyamakan antara jumlah pembilang (24) dengan

penyebut (27) menjadi 27, berarti menjadi 27 /27. maka pembagian warisan

tersebut adalah :

Istri = 1/8 = 3/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 4.400.000,-

Anak (lk) =} 2/3 16/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 23.700.000,-


2·I=3 \
Anak (pr) = ' 1/3 = 8/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 11.800.000,-

Analisis Praktek

Dalam kasus ini, penulis melihat bahwa pe1masalahan harta warisan

berbeda dengan harta bersama atau gono gini yang diperebutkan bila terjadi

perceraian. Harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh almarhum

yang dibagikan dan diperuntukkan kepada ahli waris.

Dalam prosesnya, penulis menilai bahwa pembagian yang dilakukan

oleh keluarga melalui kesepakatan secara mufakat tanpa dihadiri oleh

kyai/tokoh dan aparat desa . Selain sudah menjadi adat dan tradisi setempat,

musyawarah ini dipakai untuk menghindari keributan atau konflik keluarga

akibat warisan.

Dari pengamatan penulis, pelaksanaan mufakat ini dilakukan

sepihak, tidak dipertanyakan kepada salah satu ahli waris yakni sang janda

(istri almarhum) cara atau hukum apa yang akan digunakan. I-Ianya dari

pihak keluarga almarhumlah yang paling ngotot untuk memakai cara


78

mufakat. Karena pada dasarnya, sang janda pun dalam kenyataannya ingin

mendapatkan bagian dari harta peninggalan almaThum.

Memang haiia peninggalan tersebut tidak begitu banyak tapi ha! ini

bukan tanpa alasan, mengingat semasa hidupnya almarhum, sang istri telah

bekerja sama dalam mengumpulkan dan merawat haiia. Hingga pada

akhirnya hak bagian istri harus terhapus dengan hasil keputusai1 mufakat

keluarga.

Penulis mencatat ada beberapa catatan dari proses pembagian

terse but, pertama, hak janda (isteri almarhum) tergadaikan dengan memakai

hukum secara adat yang otomatis tidak mendapatkan hak bagiannya. Kedua,

-tidak ada istilah bekas anak- dalam ha! ini posisi janda kalau memang

mengedepankan ego dan kepentingan pribadi, bisa saja tidak mau mengurus

ke-2 anaknya yang masih dalam tahap pe1iumbuhan, mengingat tidak

mendapatkan harta warisan. Tapi ibu Nunung Jebih mengutamakan

kepentingan masa depan anak-anaknya, sehingga menerima apapun

keputusan dari hasil mufakat keluarga, ia juga bersedia merawat dan

mengelola harta warisan almarhum, meskipun dengan bahasa kasarnya -

menumpang- pada ke-2 anaknya.

Penulis membllildingkan, kalau saja perkara tersebut diselesaikan

menurut ilmu Faroidl (hukum Islam) otomatis akan berbeda jauh hasilnya.

Karena kedudukan istri masuk pada kategori Furudl Al- Muqaddaroh sesuai

yang ditentukan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Pasal 176-191 KHI juga
79

disebutkan, posisi isteri mendapat seperdelapan (1/8) dari harta pusaka

apabila terdapat anak.

Hemat penulis, ini menandakan hak pilih (opsi) dalam pengambilan

hukum dalam pembagian waris diatas tidak diprioritaskan. Hak opsi hukum

akan dilakukan bila keputusan hasil mufakat keluarga tersebut tidak

diterima dan dijalankan oleh para ahli waris. Dengan kata lain hukwn Islam

menjadi "second line" atau pilihan kedua oleh masyarakat dalam

menentukan bagi waris memakai hukum Islam.

Dengan demikian dari perkara diatas, penulis menilai pembagian

yang berlangsung tersebut lebih mengedepankan aspek prinsip-prinsip

keadilan demi menjaga keutuhan ikatan keluarga. Mungkin dengan cara

seperti itu diyakini mengandung maslahat lebih baik.

b. Kasus II

Almarhum yang bemama Yayat Hidayat bin Abdul Hakim, usia 55

tahun, pekerjaan wiraswasta wafat pada hari Kamis, 20 Agustus 2007 di

rumah kediaman akibat gejala penyakit tipes yang barn dideritanya selama 6

bulan terakhir. Beliau tinggal bersarna keluarga di Blok Manis, Desa

Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Ia telah menikah

dengan istri yang bernama Ida Nuraida pada bulan April tahun 1969.

Selama perkawinan almarhum telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak (1

anak laki-laki dan 2 anak perempuan) yang bernama : Anang Rohmana

berusia 37 tahun (lahir I 0 Mei 1970), Dewi Rahmawati berusia 27 tahun


80

(lahir 15 September 1980), dan Ita Purnamasari yang berusia 20 tahun (lahir

13 Maret 1990). Selain itu, almarhum juga meninggalkan isteri tercinta Ida

Nuraida se1ia seorang kakek berusia 70 tahun bemama Abdul Hakim.

Selama 38 tahun perkawinan, almarhum bekerja mencari nafkah

hingga akhirnya memiliki dan meninggalkan harta pusaka yang kalau

dijumlahkan totalnya Rp 72.000.000,-. Antara lain berupa :

I. Satu buah rumah berukuran I Ox 10 M2 No. 21 yang terletak di Blok

manis Rt. 005/002, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten

Kuningan. Rumah ini kalau ditaksir harganya sekitar Rp 35.000.000,-

2. Satu bidang tanah berukuran 400 M2 yang terletak persis di samping

rumah kediaman almarhum. Apabila dinilai sebanding dengan harga Rp

15.000.000,-

3. Satu buah kios warung nasi berukuran 5xl0 No. 06 yang terletak di

Pasar Cibingbin, Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan yang kalau

dihitung sejumlah Rp 10.000.000,-

4. Satu unit motor merk Honda Supra tahun 2005 wama hitam No. Pol. E

5158 YD atas nama Yayat Hidayat No. Rangka : MHl-KEV 414 K

359622, No Mesin KEV 41360075. Kalau dinominalkan senilai dengan

Rp 12.000.000,-

Pembagian warisan tidak langsung dilakukan, ada jeda <lulu untuk

masa berkabung selama 2 bulan. Barn kemudian setelah biaya pemakaman

dan hutang-hutang almarhum heres lalu sisa harta peninggalan langsung


81

dibagikan. Seluruh keluarga sepakat dalam cara dan proses pembagiannya

diselesaikan dengan menggunakan adat Sunda atau tradisi keluarga yakni

dengan sistem musyawarah mufakat antar ahli waris/keluarga.

Dari hasil mufakat tersebut, telah disepakati keputusan, sisa dari

harta peninggalan almarhum berupa I buah rumah berukuran 8x!O M2, I

bidang tanah kosong (kebun) berukuran 400 M2 yang terletak persis di

samping rumah kediaman almarhum, I buah wanmg nasi berukuran Sx!O

yang terletak di pasar, dan I unit sepeda motor merk Honda tahun 2005

diberikan semua kepada 3 anak ketunmannya yakni Anang Rohmana, Dewi

Rahmawati dan lta Purnamasari.

Harta pusaka tersebut berhak dimiliki ke-3 anak yang dibagi

keseluruhan san1a rata. Antara lain, Anang Rohmana mendapat 1 buah

warung nasi dan sepeda motor, Dewi Rahmawati mendapat 1 bidang tanah

kosong (kebun) berukuran 400 M2 dan !ta Purnamasari mendapat rumah.

_ Ibu Ida Nuraida yang kedudukannya sebagai janda (istri almarhum)

dan bapak Abdul Hakim selaku kakek, tidak mendapatkan apa-apa dari

bagian harta warisan. Semua harta warisan dilimpahkan untuk 3 anak untuk

di jaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. kemudian posisi janda

(isteri almarhum) dan kakek menjadi tanggungan ke 3 anak tersebut. _

Pembagian harta warisan dengan cara tersebut sudah menjadi

kesepakatan keluarga, ha! demikian dipakai lagi-lagi karena sudah menjadi

kebiasaan adat di Sunda dan tradisi disanai Sama seperti kasus pertama,
82

dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu)

yang berlaku di adat Sunda, kedua anak tersebut termasuk kategori generasi

pertama yang berhak mendapatkan warisan. Hal ini dicapai untuk

menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga

antar ahli waris. Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian

menggunakan cara diatas.

/ Kesepakatan tersebut hampir disetujui oleh semua ahli waris, tidak

ada yang mempermasalahkan, sehingga kedepan tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan seperti iri dengki, gugatan harta warisan di!. Musyawarah

ini berjalan lancar walau tidak melibatkan kyai, tokoh atau aparat desa. -

- Berbeda hasilnya kalau pembagian waris tersebut menggunakan

hukum Islam (faroidl), atau yang sesuai dengan aturan KHI, tentu sangat

tidak sama bahkan jauh dari basil apa yang disebut diatas. Seperti dalam

Bab III Pasal 176-191 KHI tentang pembagian masing-masing ahli waris,

posisi ibu Aida sebagai janda (istri almarhum) mendapatkan seperdelapan

(1/8) dari haiia peninggalan, bapak Abdul Hakim kedudukan sebagai kakek

mendapat seperenam (1/6) harta, Anang Rohmana sebagai anak kandung

laki-laki pertama mendapat duaperempat (2/4) dan masing-masing Dewi dan

!ta yang merupakan anak pererl).puan mendapat seperempat (1/4) dari harta

pus aka.

Adapun perincian berapa bagian masing-masing, seperti diuraikan

berikut:
83

Istri = 1/8 = 3/24 x 72.000.000 = Rp. 9.000.000,-

Kakek 1/6 = 4/24 x 72.000.000 = Rp. 12.000.000,-+


=
Rp. 21.000.000,-
Karena bagian istri dan kakek sudah ditemukan, lain jumlah harta

peninggalan dikurangi jumlah dari istri dan kakek. Maka sisa Rp.

72.000.000 - Rp. 21.000.000,- = Rp. 51.000.000,-. Melihat posisi laki laki

(2;1), maka bagian 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan adalah (2; 1+1)=

4. Maka:

I Anak (lk) = 2/4 x 51.000.000 = Rp. 25.500.000

2 Anak (pr) = 2/4 x 51.000.000 = Rp. 25.500.000: 2 =@Rp. 12.750.000

Dengan demikian bila memakai ilmu faroidl dari tiap ahli waris

mendapatkan bagiannya. Janda mendapat Rp. 9.000.000,- Kakek mendapat

Rp. 12.000.000,- Anang mendapat Rp. 25.500.000 Dewi dan Ita masing-

masing mendapat Rp. 12.750.000.- -

Analisis Praktek

Pada perkara tersebut, penulis melihat bahwa proses pembagian

warisan yang dilakukan benar-benar sudah disiapkan sejak almarhum

meninggal, maksudnya jangan sampai ketika musyawarah berlangsung

terjadi emosi atau pikiran tak terkendali gara gara berebut harta

peninggalan.

Melihat kasus ini, penulis sedikit Jega karena dari proses

pembagiannya tidak ada unsur-unsur keterpaksaan dari ahli waris tentang

hukum mana yang dipakai. Maksudnya tidak ada pihak yang merasa
84

dirugikan baik dari istri almarhum, kakek bahkan anak-anaknya. Semua abli

waris legowo dan menerima dengan keputusan mufakat tersebut. Hal ini

memang dalan1 keluarga almarhum sangat mengutarnakan kerukunan

keluarga, ibarat kata berapapun harta pasti kan dibeli demi terjaganya

harmonisasi keluarga.

Dari pengamatan penulis, musyawarab tersebut dihadiri oleh semua

kerabat keluarga dan tidak mendatangkan dari kyai/ularna atau aparat desa.

Namun pelaksanaan ini berjalan lancar dalam suasana akrab keluarga.

Sehingga gejolak-gejolak yang timbul kedepan akibat pembagian waris

dapat diantisipasi gejalanya.

Pada dasarnya, tiap abli war1s mengetahui bagian-bagiannya

terutarna laki-laki, mengingat porsinya setengab lebih besar dari perempuan

(2;1). Walaupun harta peninggalannya tidak begitu banyak, tapi namanya

fitrah manusia tetap saja ingin meguasai bagiannya dan mendapatkan paling

besar. Tapi ha! tersebut tidak terdetik di pikiran ahli waris, dan prosesnya

dilakukan sesuai kebersarnaan.

Apabila dilihat dalam pasal 176-191 KHI, posisi isteri, kakek dan

anak-anaknya mendapat bagian dari harta pusaka, mengingat semua abli

waris tersebut dalam hukum Islam pun sudah jelas ketentuannya masuk

dalam kategori Furud\ Al- Muqaddaroh.

Hemat penulis, ini menandakan hak pilih (opsi) dalam pengambilan

hukum dalam pembagian waris di atas tidak diutamakan. Hak opsi akan
85

dilakukan bila keputusan basil mufakat kelauarga tersebut tidak dapat

dijalankan.

Dari contoh 2 perkara di atas, penulis melihat bahwa masalah harta

warisan yang terjadi di masyarakat tidak terlalu bergejolak. Masyarakat

sendiri sudah mampu menyelesaikan urusannya tanpa dibantu oleh orang

lain yang dalam hal ini kyai/ulama, tokoh atau aparat pemerintah.

Tentang hak pilihan (opsi) hukum yang digunakan, penulis

mnyimpulkan sebetulnya semua ahli waris mengetahui dan paham tentang

pembagian yang tertulis dalam Faroidl, namun masyarakat lebih cenderung

memakai musyawarah mufakat keluarga yang sudah menjadi tradisi atau ·

sering kali disebut sebagai adat.

Hampir dari seluruh pennasalahan bagi waris, dapat diselesaikan

dengan jalan damai. Tidak ada perkara yang sampai ke pengadilan,

semuanya dapat diselesaikan di tingkatan keluarga. Paling kalaupun sampai

berlarut-larut tidak kunjung selesai, kyai/ulama, tokoh dan aparat

pemerintah mampu mencarikan solusi akhir dari sengeketa warisan tersebut.

3. Analisa Perbandingan Hukum dalam Teori dan Praktek

Apabila ditarik benang merah antara kajian hukum secara teoritis (law in

book) dengan kajian hukum dalam tataran praktis (law in action) mengenai

permasalahan pembagian harta warisan, banyak hal yang harus dicatat untuk

dapat menjawab rumusan masalah bagaimana tinjauan atau perspektif hukum

kewarisan Islam terhadap hukum yang berlaku di adat Sunda.


86

Dalam Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan

mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan kepada setiap

yang berhak. Dalam Islam istilah ini sering disebut Fiqh Mawarits atau Faroidl.

Dalam KHI Pasal 171 ayat a juga dijelaskan hukum kewarisan yaitu : "Hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak dan berapa bagiannya msing-

masmg.

Adapun dari pengertian adat Sunda, hukum kewarisan hampir tidak jauh

beda pengertiannya dengan menurut Islam dan KHI, yaitu peraturan hukum

yang mengatur pemindahan hak milik barang-barang atau harta benda dari

generasi tua (mayit/almarhum) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih

hidup baik dari bapak kepada anak, anak kepada cucu dan seterusnya.

Berbicara kewarisan tidak lepas dari faktor-faktor yang berkenaan dengan

warisan, seperti rukun, syarat, sebab, asas dan bagiannya. Semuanya sudah

tersurat dan tersirat secara jelas dalam hukum waris Islam dan adat Sunda.

Dalan1 prakteknya di masyarakat, ketentuan dari kedua cara pembagian

warisan masih digunakan dalam penyelesaiannya oleh ahli waris. Dari beberapa

perkara yang disajikan sebagai contoh, dapat diketalrni bahwa memang

keberadaan dan eksistensi antara hukum kewarisan Islam clan hukum kewarisan

aclat Sunda khususnya claerah Kuningan masih berjalan beriringan, namun


87

dalam pemakaian hukum lebih dikedepankan secara musyawarab keluarga yang

dijadikan tradisi dan adat setempat walau pun tidak sesuai dengan hukum Islam.

Hal ini menurut penulis bukan suatu problem, karena antar keduanya

terdapat asas dan prinsip yang sama, meskipun dalam pembagiannya sangat

mencolok, yakni dalam Islam pembagiannya 2;1 sedangkan di adat Sunda

sebaliknya I; I. Masyarakat melihat aspek maslabat dan kepentingan kedepan,

agar keluarga tidak terpecah dan terjadinya sengketa keluarga akibat warisan.

Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan para ahli waris, tokoh/ulama dan

aparat pemerintahan yang mengemukakan bahwa pembagian harta warisan

bersifat fleksibel. Dalam sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia, memang

ha! demikian dilegalkan selama memang tidak menyimpang dari jalur hukum

dan agama. Pada pasal 183 KHI menyebutkan "para abli waris dapat bersepakat

melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing

menyadari bagiannya".

Dengan demikian, ketentuan pembagian harta warisan bukan merupakan

sesuatu yang tetap dan baku, masyarakat khususnya adat sunda dapat memilab

dan memilih cara bagaimana dalam penyelesaian pembagiannya.


BABV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian dengan kajian dari berbagai sumber, penulis

mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hukum kewarisan Adat Sunda dan hukum kewaristm Islam pada prinsipnya

sama. Persamaaan dan perbedaan yang mendasar dari kedua sistem hukum

tersebut terletak pada pengertian, proses terjadinya kewa.risan, sumber, rukun,

syarat, sebab-sebab dan penghalang yang mewarisi serta asas-asas terjadinya

kewarisan.

2. Pada prakteknya di masyarakat, hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat

Sunda tetap dilestarikan dan masih dipakai bahkan berlangsw1g hingga kini.

Bagi setiap orang Islam hendaknya berpegang teguh kepada prinsip hukum

kewarisan Islam, karena sudah merupakan komitmen bagi setiap pemeluk

agama Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Adapun bagi

masyarakat Sunda yang tetap memakai ketentuan sesuai adatnya dalam ha!

pembagian warisan, diperkenankan. Mengingat pada prinsip dan substansinya

terdapat kesamaan yang tidak jauh berbeda.

3. Mengenai pemakaian hak opsi (memilih) dalam pembagian kewarisan, tidak

ada aturan yang mengharuskan seseorang memakai sistem hukum mana dalam

penyelesaian perkara warisan. Pada umumnya di adat Sunda, pembagian


89

warisan dilaksanakan secara damai dan musyawarah yang menghasilkan

mufakat antara ahli waris, setelah segala tanggungan dari orang yang

meninggal, selesai ditunaikan seperti melunasi hutang-hutangnya, biaya

penguburan, melaksanakan wasiatnya dan lain-lain.

Kesimpulan di alas merupakan jawaban dari rumusan permasalahan

yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Sekalipun dalam prosesnya

banyak kendala yang dihadapi. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan

dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya

bagi siapa saja yang haus akan ilmu pengetahuan.

B. REKOMENDASIATAUSARAN
Dengan penulisan skripsi ini, penulis dapat mengetahui perbandingan

antara Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam di Desa

Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan, Jawa Baral. Adapun saran

untuk kedepan dari penelitian ini adalah :

I. Hendaknya setiap orang Islam berpegang teguh kepada prms1p hukum

kewarisan Islam, karena sudah merupakan komitmen bagi setiap pemeluk

Agama Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits.

2. Hendaknya para hakim Pengadilan Agama dan Negeri maupun para tokoh

masyarakat (kyai) yang memiliki interpretasi, harus sejalan dalam penerapan

suatu aturan hukum mengenai ketentuan hukum kewarisan dalam KHI dan

hukum adat. Sehingga dalam menangani kasus pembagian warisan, tidak


90

terjadi perbedaan di antara tafsiran masyarakat yang berakibat pada timbul

ketidakpastian hukum.

3. Kepada pemerintah Indonesia hendaknya segera membentuk dan melegitimasi

undang-undang pokok mengenai kewarisan yang berlaku untuk seluruh rakyat

Indonesia seperti ha! Undang-undang No I tahun J974 tentang perkawinan.

Agar penetapan hukum bersumber kepada satu sumber hukum yang tertata

rapi dan tidak terkotak-kotakan oleh aliran lainnya.

4. Hendaknya ketentuan mengenai harta warisan dalam KHI dapat

disosialisasikai1 oleh para praktisi hukum Islam dan para ulama kepada

masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui pembagian harta warisan

tersebut. Bagi yang ingin melaksanakan peraturan dan ketentuan sesuai adat,

hendaknya dilestarikan sebaik mungkin yang tetap dalam koridor tatanan

hukum nasional, mengingat ini merupakan bagian dari keanekaragaman

budaya bangsa Indonesia.

5. Hendaknya masyarakat memahami bahwa masalah harta warisan dalain

perkawinan sebaiknya dituai1gkan dalam bentuk surat perjanjian dan

dibuatkan bukti kepemilikannya, agar ketika terjadi proses kematian di

kemudian hari, masalah harta harta pusaka ini dapat diselesaikan dengan

segera yang tidak menimbulkan konflik.


91

DAFTAR PUST AKA

Al-Quran al-Karim.

Abdulllah, Abdul Gani, Dalam Sepuluh Tahun Undang-undang Peradilan Agama,


Jakarta, Ditbinpera, 1999.

Abdulah, Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar, 1996, Cet. Ke-I.

Al-Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Beirut, Dami Fikr,
1981,juz 8.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar llmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-4.

_ _ _ _ _ _ _ _ , Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam,


Hukum Islam Di Indonesia; Pemikiran dan Praktik, Bandung; Rosdakarya, 1991.

Allen, C.K, Law in the Making, Oxford, The Clanrendon Press, 1957.

Al-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah),


Bandung, CV. Diponegoro, 1988.

Al-Siba'i, Mustafa Husni, Kehidupan Sosial Menurut Islam, Bandung, Diponegoro,


1981.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang,


1973), Cet. Ke- I.

- - - - -, Tengku Muhammad Hasby, Fiqh Mawarit, Semarang, Pustaka Rizki


Putra, 1999, Cet. Ke- I.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004, Cet.
Ke-4.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung, Binacipta, 1976.

Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakai1a, Raja
Grafindo Persada, 2004.
92

Chambliss dan Seidman. Law, Order, and Power Reading, Massachusetts, Addisaon-
Wesley Publishing Company, 1971.

Darhan, Adaby dan Wahid, Abdul, Antara Saung, Warung, dan Tajug: Transformasi
Ekonomi dan Prilaku Agama Komunitas Pedagang Di Cibingbin, Jawa Barat,
Jogjakarta, Lembaga Penelitian UGM, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya, Mekar Jaya, 2004.

Dinas Pariwisata Daerah, Sejarah Ringkas Kabupaten Daerah TK. II Kuningan,


Kuningan, 2000.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktur Jenderal Pembinaan


Kelembagaan Agama Islam, 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No
1Tahun1991Pasal171 (a).

Hadikusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi: Hukum Kekeluargaan,


Perkawinan, dan Pewarisan, Bandung, PT Citra Adtya Bhakti, 1993.

_ _ _ _ _ _ _ _ , Hukum Waris Adat, Bandung, Alumni, 1983, Cet. Ke-2.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No 7


Tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1997.

Hardjawijaya J Prof, SH. Hukum Perdata, Buku kesatu tentang perorangan dan
hukum keluarga, Malang, PHPM Unibraw, 1979.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, Jakarta, Tinta
Mas, 1967, Cet. Ke-4.

- - - ·, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur'an dan Hadits, Jakarta, Tinta


Mas, 1981.

lbnu Hajjaj, Al-Imam Abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Darul Fikr, Juz II,
t.th.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang


Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam (Jakatia, Bulan Bintang,
1978), Cet.Ke-1.

Jaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya, Bina Ilmu, 1995.


93

K.M, Saini, Adat lstiadat Daerah Jawa Barat, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakatia, Djan1batan, 1979,


Cet. Ke-4.

Kosoh S, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta, Proyek Inventarisasi dan
dokumentasi Sejarah nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, 1994, Cet. Ke-2.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan


Nasional, Bandung, Binacipta, 1986.

Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3S, 1996, Cet.
Ke-I.

Ma'luf, Luwis, Al-Murifidfi al Lughoti Wa al'Alam, Beirut, Darul Masyriq, 1984, Cet.
Ke-27.

M. Zain, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis


Yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyyah, Jakarta, Kencana, 2004, Cet.
Ke-1.

Nuruddin, Amiur, dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia;
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 111974 sampai
KHl, Jakarta, Prenada Media, 2004.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat dan Upacara


Perkawinan Daerah Jawa Barat, Jakarta, Depdikbud, 1979.

Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Keputusan Seminar Hukum Waris Islam,
tanggal 5-8 April 1982, Cisarua, Bogor, Jakarta, Depag RI.

Qamaruddin, dkk, Saleh, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponegoro, 1975.

Rafiq, Alunad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995, Cet. Ke-2.

_ _ _ _ _, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Rahardjo, Satjipto, !!mu Hukum, Bandung, Alumni, 1981.

Ralunan, Fatchur, !!mu Waris, Bandung, PT. Al Ma'arif, 1987.


94

Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Ind. Hill, 1998.

- - - - - -, Hukum Kewarisan Islam, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i


(patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW),
Jakarta, Ind. Hill, 1987.

_ _ _ _ _ _ , Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Di Pengadilan Agama


Dan Kewarisan Menurut KUHPer (BW) di Pengadilan Negeri (suatu studi
kasus), Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992, Cet. Ke-I.

Rosyidi, Ajip, Kesusastraan Sunda Dewasa lni, Cirebon, 1966, t.p.

Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Beirnt, Darul Fikr, 1983, Cet. Ke-4.

Sadikin, !kin, Tanya Jawab Hukum Keluarga dan Waris, Bandung, Armico, 1982.

Sinzhemer, Hugo, De Taak der Rechtssociologie, Haarlem, 1935, t.p.

Sirry, Abdul Mun'im, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah
Gusti, 1995.

Sitompul, Anwar, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut


Hukum Waris Islam, Bandung, Armico, 1984.

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,


2003.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2003,


Cet. Ke-5.

Syaltut, Mahmud, Islam, Aqidah Dan Syariah, Jakarta, Pustaka Amani, 1986.

Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario (Hubungan-Hubungan Hukum Adat Dengan


Hukum Islam), Jakarta, Academika, 1980.

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1981, Cet. Ke-
!.

Ter Haar BZN, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Te1j. K. Ng, Soebakti
Poesponoto Jakarta, Pradnya Paramita, 1999, Cet. Ke-12.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara


Penterjemah Pentafsir Al-Qur'an, 1973, Cet. Ke-1.
HASIL WAWANCARA

Hari/Tangal : Minggu, 12 Agustus 2007


Waktu : Pukul 16.45-17.15 WIB
Tempat : Rumah kediaman ahli waris
Tujuan Wawancara : Sebagai data Japangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : Ny. Nunung Nmjannah (Istri Almarhum)
Keterangan : T =Tanya J = Jawab

I. T : Kapan Ibu menikah dan berapa lama usia pcrnikahan anda dengan
almarhum?
J : Saya menikah dengan Bapak Eddy Ruhaedi (almarhum) bulan November
1989, tanggalnya saya agak lupa. Berarti usia pernikahan saya dengan beliau ada
sekitar 18 tahun

2. T : Kapan dan apa faktor yang dapat menyebabkan meninggalnya


almarhum?
J : Almarhum meninggal pada hari Minggu, 10 Juni 2007 di Cibingbin karena
sakit jantung yang dialaminya sejak 2 tahun silam.

3. T : Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya ?


J : Dari hasil perkawinan dengan almarhum, alhamdulillah dikarunia 2 anak. Satu
perempuan bernama Lili Malulidatul Hasanah yang berusia 16 tahun. Dan satu
lagi anak laki-laki bernama Fadli Bayyinusysyafaat bernsia 5 tahun. Adapun dari
pihak almarhum meninggalkan ahli waris sebanyak 4 saudara (3 kakak laki-laki
dan perempuan serta 1 adik laki-Jaki). Mereka itu adalah Bapak Warto, !bu Ina,
!bu HJ Uni dan Bapak Waryo.
4. T : Apa saja atau berapa banyak harta warisan yang ditinggalkan oleh
almarhum?
J : Selama kurun 18 tahun menikah dengan beliau terdapat harta peninggalan
yang sampai sekarang masih dijaga dan dipelihara yakni I buah rumah ukuran
8x l Om yang kalau ditaksir harganya sekitar Rp. 20.000.000,- dan l buah kios
(warung) alat-alat besi di Jakarta yang juga kalau dihargakan senilai Rp.
20.000.000,-. Jadi total harta peninggalan warisan tersebut berjumlah Rp.
40.000.000,-

5. T : Bagaimana proses pembagian harta pusaka dari almarhum terhadap


pihak ahli waris?
J : Pembagian warisan dalam keluarga kami menggunakan cara adat atau tradisi
keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat. antar keluarga. Setelah
perkara/urusan almarhum seperti biaya pemakaman, hutang-hutang dll diberesi,
maka sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada 2 anak keturnnan
kami yakni Lili Malulidatul Hasanah dan Fadli Bayyinusysyafaat. Harta pusaka
tersebut berhak dimiliki ke-2 anak kami. Sedangkan saya sebagai janda (istri
almarhum) dan saudara-saudaranya, tidak mendapatkan apa-apa. Semua harta
warisan dilimpahkan untuk 2 anak kami, biar nanti mereka berdua yang mengolah
dan menggunakan warisan.
Dan posisi saya cuman numpang sementara atau ikut sama ke-2 anak sampai
merawat mereka hingga dewasa. Bahkan kalau saya menikah lagi dengan orang
lain, saya hams tinggal dengan mereka dan tetap merawat rumah dan usaha
kiosnya sampai posisi anak-anak dewasa atau berkeluarga.

6. T : Apakah dengan cara seperti itu sudab dianggap adil ?


J : Pembagian dengan cara tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan
yang paling utama ha! demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan
keumuman setempat. Bagi saya (selaku istri almarhum) ya dianggap adi! tidal<:
adil, karena kalau memakai cara pembagian hukum islam atau syariat tentu saya
dapat bagian dari warisan. Tetapi ya sudab, akhimya pun saya terima dan ikhlas
dengan hasil kesepakatan keluarga. Hal ini untuk menghindari agar tidak
terjadinya keributan dan sengketa!konflik keluarga khususnya dari pihak keluarga
almarhum. Makanya diambil jalan tengab seperti pembagian menggunakan cara
diatas.

7. T : Kalau tidak ada yang sctuju dengan proses pembagiannya yang sudah
dilakukan, bagaimana antisipasi ha! terscbut ?
J : lnsya Allah tidak ada yang dirugikan, karena kami memutuskan dengan cara
mufakat keluarga dengan saling menerima masing-masing demi kemaslabatan
keluarga terutama ke-2 anak kami. Bilamana terjadi ketidak-puasan yang
akhimya dapat menyebabkan sengketa, kan1i berusaba meminimalisimya dengan
cara dimusyawarabkan kembali antar keluarga. Mungkin juga dengan diberikan
penjelasan dan pemahaman oleh sepuh keluarga bahkan tokoh masyarakat.

8. T : Sejauh mana pemahaman ibu sebagai istri almairhum, terhadap hukum


kewarisan, apakah di jalani sesuai ketcntuan hukum Islam atau Iebih
mcngutamakan adat dan tradisi?
J : Yang saya tabu kalau dalam hukum Islamkan, istri dapat bagian ya ...
pengennya sesuai syariat tapi gimana lagi karena sudah menjadi keumuman atau
tradisi disini, pembagian warisannya pun memakai mufakat keluarga

Kuningan, Minggu 12 Agustus 2007


Mengetalmi,
Respond en

( Nunung Nurjan ah )
5. T : Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum
Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ?
J : Keduanya sama sama membagi harta warisan kepada ahli waris. Perbedaanya
hanya kepada cara dan porsi bagian yang ditentukan masing-masing. Hukum
Islam sudah menentukan bagiannya (Furudl Al- Muqaddarah) yang ditetapkan
dalam Al-Quran dan Hadits. Adapun Hukum Adat Sunda pembagiannya
disesuaikan dengan keputusan musyawarah mufakat keluarga. Kedua hukum ini
mengandung prinsip-prinsip yang sepadan antara lain prinsip keadilan, individual,
kesamaan agama dll.

6. T : Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum


Kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat ?
J : Di masyarakat kedua hukum tersebut beriringan dan sampai saat ini masih
berlaku keberadaannya. Mana yang dipakai tergantung masyarakat selama
mengandung kemaslahatan. Kalau dengan cara adat lebih mengandung efek
negatif yang menimbulkan perseteruan, ya harus kembali dengan cara syariat.
Dalam hal ini tergantung kesadarannya, ketika orang sadar maka akan menerima
hasil pembagiannya. Karena kalau sudah masuk wilayah hukum Islam, biasanya
bukan maslahat atau tidak maslahat lagi. Sebab hukum islam pasti sudah maslahat
lho. Soal taslim apakah dirinya menerima atau tidak ... ya mungkin diawali dirinya
tidak menerima . Dalam hukum Islam ada pepatah mengatakan likulli syain
manfa' atun. "Setiap segala sesuatu ada manfaatnya"

7. T : Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan


pembagian waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ?
J : Memang dalam warisan tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang
memakai aturan hukum mana. Hak pilih (opsi) itu dikembalikan kepada
masyarakat langsung. Konteks daerah sini biasanya langsung menentukan dengan
cara kekeluargaan, untuk hal-hal berkenaan dengan hukum positif seperti UU,
KHI jarang sekali masyarakat mengetahui aturan-aturan atau undang-undang
negara itu, jangankan orang awam, yang bekerja di Dinas, Kantor pun belwn
mengetahuinya. Baik petani, pedagang sangat jauh pemahamannya ke arah sana.

8. T : Dilihat dari kuantitas, lebih banyak mana keluarga ahli waris yang
memakai sistem kewarisan Islam atau adat ?
J : Sepanjang saya ketahui masyarakat condong dominan memakai tradisi. Ya ..
saya lebih cenderung memakai kata mufakat keluarga bukan adat, biasanya bagi
orang yang mengerti lebih condong tidak memakai hukum adat tetapi hukwn
islam yang nota bene 2 banding' I

Kuningan, Senin, 11 September 2007


Mengetahui,

( KH Asep Syarifuddin )
HASIL WA WANCARA

Hari/Tangal : Senin, 11 September 2007


Waktu : Pukul 20.00-21.00 WIB
Tempat : Rumah kediaman
Tujuan Wawancara : Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : KH. Asep Syarifuddin (Kyai dan Tokoh Masyarakat)
Keterangan : T =Tanya J = Jawab

I. T : Apakah ada dikotomi (perbedaan) pemahaman agama dalam


masyarakat, terutama dengan banyak aneka ragam pemahaman konsep
islam (NU-Muhammadiyyah) ?
J : Saya menilai selama ini tidak ada perbedaan pemahaman yang cukup tajam
antara kedua ormas tersebut, mungkin hanya seputar yang furu'2 saja. Memang
dalam skup Cibingbin perbedaan pemahaman tersebut mencolok mengingat disini
yakni mayoritas kaum Nahdliyyin (NU) sehinga apapun konsep diluar itu sedikit
menjadi asing. Namun saya tekaakan memang kita perlu bertoleransi dalam
perbedaaan pendapat, selama dalam koridor agama mari kita junjung sifat
tasamuh dalam Islam.

2. T : Bagaimana bapak menyikapinya bila terjadi pertentangan antar kedua


kubu terscbut ?
J : Dalam konteks Cibingbin, kebetulan masih sangat jarang Kyai atau ulama
yang menguasai Ilmu Faraidl. Oleh kaema itu bilamana ada permasalahan tentang
kewarisan langsung menanyakan ke saya. Tidak ada perbedaan yang mencolok
dalam pendapat, karena memang soal keilmuan tidak ada yang tinggi, khususnya
tentang Faroidl.
3. T : Dalam perkara warisan, sejauh mana pemahaman masyarakat tentang
hukum kewarisan ?
J : Karena ini masalah sensitif, masyarakat menilai warisan tidak perlu
dipublikasikan. Sehingga bilamana terjadi kematian, urusan ini langsung
diselesaikan secara kekeluargaan. Prosesnya lebih dominan diselesaikan dengan
mufakat keluarga, jarang menggunakan pedoman Faroidl. Faroidl digunakan
ketika musyawarah yang dilakukan tidak kunjung selesai, barulah keberadaannya
menjadi solusi akhir.

4. T : Sejauh mana peran tokoh masyarakat dalam melaksanakan hukum


kewarisan tersebut mengenai prakteknya di masyarakat ?
J : Pertama, yang harus kita sadari bahwa pe1masalahan warisan adalah masalah
sensitif, artinya cepat mengandung reaksi. Oleh karena sensitif, yang saya tahu di
Cibingbin tidak ada yang langsung menanyakan warisan. Karena nanti
dikhawatirkan ada anggapan dari ahli waris ada maksucl tertentu dari tokoh atau
ulama ketika mempertanyakan perihal tersebut. Kemudian ada juga di daerah ini,
setelah meninggal ada warisan yang tidak dibagikan kepada ahli warisnya. Hal
seperti ini masih banyak terjadi yang sesungguhnya akan menjadi born waktu bagi
mereka. Justru nanti ketika sebagian ahli waris mempertanyakan bagiannya. Maka
kan menjadi problem dan sengketa di kemudian hari.
Jadi yang saya rasakan peran ulama dalam kewarisan tidak begitu dominan.
Artinya ada 2 kemungkinan, karena soal warisan masyarakat berpikir yang
penting ada unsur keadilan dan merata. Oleh karena itu peran kyai tidak
diperlukan lagi. Masyarakat kebanyakan berpikiran seperti ini. Tetapi tatkala ada
permasalahan yang tidak kunjung selesai, baru sang kyai dihubungi.
HASIL WAWANCARA

Hari/Tangal : Minggu, 21 Oktober 2007


Waktu : Pukul 20.00-21.00 WIB
Tempat : Rumah kediaman ahli waris
Tujuan Wawancara : Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : Bapak Anang (Ahli Waris/Putra Almarhumah)
Keterangan : T =Tanya J = Jawab

1 T : Kapan orang tua menikah dan berapa lama usia pernikahan almarhum ?
J : Orang tua saya menikah bulan April tahun 1969, tanggalnya saya kurang ingat
persis. Berarti usia pernikahan mereka sekitar 3 8 tahun

2. T : Kapan dan apa faktor yang dapat menyebabkan meninggalnya


almarhum?
J : Beliau almarhum meninggal pada hari Kamis, 20 Agustus 2007 di Cibingbin
karena darah tinggi yang dideritanya sudah lama. Hampir semua obat dan rumah
sakit disini didatangi tapi tidak kunjung sembuh, sampai akhirnya ajal
menjemputnya.

3. T : Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya ?


J : Selama pernikahan, rumah tangga berjalan harmonis, almarhum meninggalkan
sanak kerabatnya. Dikarunia 3 anak. Satu anak laki-laki bemama Anang Rohmana
yang berusia 37 tahun. Dan dua anak perempuan bernama Dewi Rahmawati
berusia 20 tahun dan !ta Purnamasari yang berusia 17 tahun. Adapun dari pihak
keluarga almarhum meninggalkan masing-masing seorang Istri dan Kakek
tercinta.
4. T : Apa saja atau berapa banyak harta warisan yang ditinggalkan oleh
almarhum?
J : Dal am waktu 38 tahun berkeluarga, tidak banyak harta warisan yang
ditinggalkan. Harta peninggalan yang sampai sekarang masih dipelihara dan
dirawat yakni 1 buah rumah ukuran 1Ox1 Om yang kalau ditaksir harganya sekitar
Rp. 35.000.000,-. 1 buah kebun (tanah kosong) berukuran 7x!O, dengan nilai
rupiahnya Rp. 15.000.000,- selain itu 1 buah warung Nasi berukuran 5x10 yang
terletak di Pasar dengan harga Rp. 10.000.000,- clan sebuah Motor Honda
keluaran 2005 yang juga kalau dihargakan senilai Rp. 12.000.000,-. Jadi total
harta peninggalan warisan tersebut be1jumlah Rp. 72.000.000,-

5. T : Bagaimana proses pembagian harta pusaka dari almarhum terhadap


pihak ahli waris?
J : Prosesnya diselesaikan secara hukum adat, ga pake hukum islam, ribet
caranya. Kalau dengan musyawarah keluarga kan bisa diselesaikan secara cepat.
Maksudnya pembagian warisan dalam keluarga kami menggunakan cara adat atau
tradisi keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat antar keluarga. Setelah
perkara/urusan almarhum seperti biaya administrasi pemakaman, hutang-hutang
dll diberesi, maka sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada 3 anak
keturunan almarhum yakni Anang Rohmana, Dewi Rahmawati dan !ta
Purnamasari. Harta pusaka tersebut berhak dimiliki oleh kami bertiga selaku
keturunannya.
Dari basil mufakat tersebut, disepakatilah bagian-bagiannya. Saya Anang
Rohmana selaku putra sulung mendapat sebuah warung nasi dan motor Honda,
Dewi Rahmawati anak ke-2 mendapat Tanah Kosong (Kebun) dan terakhir si
bungsu !ta Purnamasari mendapat rumah yang sekarang ditempati oleh keluarga.
Sedangkan ibu kami sebagai janda (istri almarhum) dan kakek, tidak
mendapatkan apa-apa. Semua harta warisan dilimpahkan untuk anak
keturunannya, mereka biar kami yang mengurusinya.
6. T : Apakah dengan cara seperti itn sudah dianggap adil ?
J : Ya tentu. Cara sepe1ti itu sudah kesepakatan kami Pembagian dengan cara
tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan yang paling utama ha!
demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Bagi
saya (selaku anak tertua) ya dianggap adil, walaupun katanya ... kalau cara
pembagiaru1ya memakai hukum Islam (Faroidl) tentu saya dapat bagian warisan
lebih besar dari ke-2 adik perempuan saya. Tetapi ya sudah, akhimya pun saya
terima denngan legowo hasil kesepakatan keluarga. Mengingat adik-adik saya
memang lebih banyak keringatnya membantu orang tua semasa hidupnya. Hal ini
untuk menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga.
Kan malu kalau sampai bertengjkar, masa gara-gara warisan keluarga jadi pecah
Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian menggunakan cara tersebut.

7. T : Kalan tidak ada yang setuju dengan proses pembagiannya yang sudah
dilakukan, bagaimana antisipasi ha! tersebut ?
J : Saat pembagiannya kami sudah sepakat. Kayaknya enggak deh, itu udah
diantisipasi. Kedepan Insya Allah tidak ada yang dirngikan, karena kami
memutuskan dengan cara musyawarah keluarga dengan sating menerima masing-
masing demi kemaslahatan keluarga kami. Kalaupun terjadi iri dengki atau
ketidak-puasan yang ujungnya menyebabkan keretakan, kami bernsaha
meminimalisimya dengan cara dimusyawarahkan kembali antar keluarga.
Mungkin juga dengan diberikan penjelasan dan pemahaman oleh sepuh keluarga
bahkan tokoh masyarakat. Dan memang ketika musyawarah, tidak ada dari pihak
luar (Kyai atau aparat pemerintah) yang hadir. Cukup keluarga kami aja yang
rembuginnya.
8. T : Sejauh mana pemahaman bapak sebagai ahli waris almarhum, terhadap
hukum kewarisan, apakah di jalani sesuai ketentuan Hukum Islam atau
lebih mengutamakan adat dan tradisi?
J : Sedikit-sedikit Insya Allah saya tahu kalau dalam hukum Islamkan, antara
lakilaki dan perempuan bagiannya 2 berbanding 1, juga kerabat dari yang
meninggal pun mendapatkan bagian. Tapi karena sudah menjadi tradisi disini,
pembagian warisannya pun memakai mufakat keluarga

Kuningan, Minggu 21 Oktober 2007


Mengetahui,
Responden

d~( Anang Rohmana )


HASIL WAWANCARA

Hari/Tangal : Senin, 22 Oktober 2007


Waktu : Pukul 16.00-17.30 WIB
Tempat : Rumah kediaman
Tujuan Wawancara : Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : H. Choeruddin (Aparat Pemerintah Desa)
Keterangan : T =Tanya J = .Jawab

I. T : Bagaimana menurut Bapak kebiasaan masyarakat disini tentang


masalah kewarisan?
J : Kalau disini biasanya memakai hukum adat dengan cara musyawarah antar
keluarga, seperti nanti malam ada pembagian warisan, aparat dari desa diundang
untuk menghadiri, kalo tidak Pak Kuwu (kepala desa) ya sekdesnya atau yang
mewakili. Dan rapat keluarga itu juga dihadiri oleh ahli waris pihak keluarga.

2. T : Dalam pembagiannya lebih cenderung kemana, memakai hukum Islam


atau dengan mufakat keluarga (adat)?
J : Ya pada intinya ada yang lebih suka nyerahin pada kyai gimana dia aja, ga ada
yang bertentangan, kecuali ada yang emosi dari pihak keluarga maka bisa jadi
bubar forum keluarga. Ada yang gini, kita kan kumpul nanti malam dengan
dihadiri oleh kyai, terns si A dapat bagian sawah, si B dapat bagian rumah, atau
kadang si B ga mau dapat rumah karena udah punya. Cara demikian dilakukan
dengan mufakat keluarga yang menghasilkan pembagian jatah sama rata. Dalam
islamkan contoh si istri 50 dan laki-laki I 00.
3. T : Berapa lama proses waktu bagi warisan dari kematian almarhum?
J : Waktu bagi warisan tergantnng kesadaran dari ahli waris, bahkan ada yang
bertahun-tahnn harta peninggalan yang belnm dibagikan kepada ahli warisnya. ·
Seperti ada kelnarga yang meninggal snaminya, sampai sekarang belnm ada
kejelasan pembagiannya. Seharusnya disegerakan snpaya tidak berlarut-larnt, tapi
belnm ada yang jelas. Kadang ada yang jelas pembagiannya oleh kyai diatur, tapi
dari perwakilan desa tidak dipanggil.

4. T : Selaku aparat desa, bagaimana mensikapi keinginan dari perbedaan ahli


waris dalam pembagiannya?
J : Kalan pemerintah mengikuti kepntnsan kyai, biasanya dalam kelnarga
pembagian sudah dilakukan dari sekarang sebelnm almarhnm meninggal. Warga
lebih cendernng memakai mufakat keluarga dari pada hnknm syariat (Faroidl),
karena nntnk menjaga kentnban keluarga agar tidak pecah gara gara rebntan harta.
Bilamana tidak dapat disepakati, maka penyelesaiannya kembali sesuai dengan
hnknm Islam yang diyakini menjadi solusi. Kadang jnga kyai membiarkan
pembagian tersebnt dengan cara bagi rata namun tidak lnpa memberikan arahan-
arahan.

5. T : Apakah masyarakat mengetahui adanya Hukum Positif (UU atau KHI) ?


J : Sangat jarang..... paling yang tahu hanya kalangan senior atau yang tna-tna.
Sebab masalah warisan yang diatur dalam huknm positif (UU dan KHI) dan di
dalam ilmn Faroid jarang diajarkan, kecnali di sekolah itnpnn jarang yang hapal
bahkan mengnasai.

6. T : Seberapa knat ketetapan hukum dari basil mufakat keluarga?


J : Hnknm tersebut berkepntnsan tetap dan mengikat antar ahli waris, karena
sudah menjadi kesepakatan kelnarga. Bagi yang mengingkarinya maka ia akan
disebut pembeli, tidak mentaati hasil mnsyawarah keluarga, secara otomatis akan
dijauhi oleh sanak famili lainnya. Hal ini yang menjadi aturan umum atau
konvensi. Tapi biasanya putra bungsu yang selalu ingin menang. Ahli waris yang
lain sudah dibagi. Contoh, putra sulung mendapatkan sawah sedangkan yang
bungsu dapat rumah. Yang bungsu ini juga ingin mendapat bagian sawah.

7. T : Apakah tiap ada pembagian warisan, aparat pemerintah barns tahu dan
dilibatin?
J : Seyogyanya demikian, dan yang sudah-sudah, aparat desa kan hadir bila
dibutuhkan oleh pihak keluarga. Kalau tidak ada ya ... cukup dari ulama/kayi saja
yang memberesinya. Soalnya kalau ada dari pihak pemerintah, takut pihak
keluarga menjadi malu.

8. T: Pada kesimpulannya, masyarakat disini Jebih banyak memakai mufakat


keluarga dari pada hukum Islam?
J : Ya, lebih sering memakai cara demikian, kalau masalahnya tidak kunjung
heres, baru dibawa ke pemerintah desa. Begitulah kondisi masyarakat disini
(sambil mengisap rokoknya)

Kuningan, Senin 22 Oktober 2007


Mengetahui,
Responden

( H Choeruddin )

Anda mungkin juga menyukai