Konstruksi Gagasan Obskurantisme Dalam L'Éloge Historique de La Raison Karya Voltaire
Konstruksi Gagasan Obskurantisme Dalam L'Éloge Historique de La Raison Karya Voltaire
Konstruksi Gagasan Obskurantisme Dalam L'Éloge Historique de La Raison Karya Voltaire
ABSTRAK
Meskipun kekuasaan gereja tidak lagi kuat seperti yang terjadi pada masa Moyen Âge, kondisi sosial
pada Abad Pencerahan masih kental terhadap pengaruh dari agama. Berkenaan dengan pertentangan
terhadap kekuasaan atau campur tangan agama yang berlebihan, salah satu filsuf yang berpengaruh
adalah Voltaire. Penelitian ini membahas pengaruh eksistensi Raison dalam l’Éloge histoirique de la
Raison terhadap keadaan sosial politik masyarakat, termasuk perannya dalam mengenyahkan
obskurantisme. Dengan menerapkan metode penelitian kualitatif, pengungkapan permasalahan
diperoleh melalui kajian struktural naratif Roland Barthes untuk menguraikan fungsi prima peristiwa
dan naratologi Gérard Genette guna memaknai fokalisasi dalam teks. Bertujuan memaparkan
bagaimana obskurantisme dijadikan sebagai strategi untuk melanggengkan situasi sosial dan politik
yang porak-poranda di berbagai belahan dunia, hasil analisis dalam kajian naratif akan dikaitkan
dengan konsep obskurantisme Nietzsche (1996) guna memaknai kehadiran bentuk-bentuk
obskurantisme yang muncul dalam teks serta pengaruhnya terhadap dinamika perjalanan tokoh Raison
dalam meraih penerimaan terhadap eksistensinya dalam masyarakat. Penelitian menemukan bahwa
problematika obskurantisme berperan sebagai hambatan utama dalam perjalanan Raison demi
memperoleh pengakuan masyarakat, yang menggambarkan terhambatnya penyebaran nilai akal budi.
Obskurantisme dipraktikkan untuk memegang kekuasaan atas masyarakat yang pandangannya
ditutupi oleh kebodohan dan ketidaktahuan sehingga mereka tidak dapat mencetuskan gagasan-
gagasan baru guna melawan pemerintahan yang tidak transparan. Selain itu, karya ini juga
merepresentasikan perjalanan penyebaran kemampuan akal manusia dari mulai Zaman Kegelapan
hingga Abad Pencerahan.
Kata kunci: Obskurantisme; Abad Pencerahan; Filsafat Prancis; Fanatisme Agama
PENDAHULUAN
Pada abad ke-18, Prancis memulai sebuah era baru yang disebut sebagai Siècle des lumières
atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Abad Pencerahan. Prancis memasuki era baru
ini setelah melalui Abad ke-17 yang serba stabil dan teratur, terlihat melalui paham yang
berkembang saat itu, seperti salah satunya klasisisme yang menghargai peraturan dan
konvensi. Keadaan ini juga didukung oleh kekuatan politik kala itu yang berbentuk monarki
absolut, dipimpin oleh Louis XIV atau Le Roi Soleil, sehingga semua sendi dan aspek
kehidupan dikendalikan (Bouthier, 2006). Sementara itu, Abad Pencerahan dimulai sejak
kepemimpinan Louis XV di Prancis. Raja Louis XV mendorong perkembangan di bidang
ilmu pengetahuan, sekalipun ia masih memimpin di bawah pemerintahan monarki absolut.
Abad Pencerahan di Prancis ditandai dengan kemunculan banyak filsuf yang memprakarsai
berbagai jenis pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan semakin
berkembang dan menyebar seiring dengan kemunculan gagasan-gagasan baru.
Secara umum, Abad Pencerahan menitikberatkan pada nilai optimisme yang tinggi
terhadap kemampuan akal manusia (la raison) untuk menciptakan kemajuan dalam
peradaban manusia. Abad ini berpondasi kuat pada keyakinan, khususnya menurut para filsuf
Abad Pencerahan, bahwa akal sehat manusia memungkinkan manusia untuk mengatasi
prasangka dan intoleransi sehingga mendorong manusia untuk mencapai kebahagiaan,
kebebasan, dan pengetahuan. Selain itu, zaman ini juga ditandai dengan semangat-semangat
lain, di antaranya perjuangan melawan ketidakadilan (l’injustice) dan ketidakpedulian
(l’ignorance) melalui pembelaan kebebasan individu maupun kelompok khususnya dalam hal
kebebasan berekspresi, nilai toleransi (la tolérance) dan akal (la raison) melalui penolakan
terhadap fanatisme agama/tahayul dengan menjunjung tinggi toleransi dan rasionalitas dalam
menghadapi pluralisme agama, dan perjuangan terhadap kesetaraan (l’égalité) dan keadilan
(la justice) melalui penolakan terhadap hak istimewa bagi kelas-kelas tertentu serta
perbudakan (Lagard & Michard, 1970). Tambahan pula, penyebaran gagasan-gagasan baru
yang dapat mengantarkan manusia kepada masyarakat yang berbahagia dan beradab pada
zaman ini tidak lepas dari perjuangan para filsuf yang mengedepankan pengetahuan yang
merata. Beberapa filsuf yang identik dengan abad pencerahan di Prancis adalah Voltaire,
Montesquieu, Rousseau, dan Diderot.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan gagasan-gagasan baru turut
mengilhami tema kesusastraan pada abad ini. Salah satu karya penting yang lahir pada era ini
adalah Encyclopédie (1751-1772), yang diprakarsai oleh Denis Diderot atas kolaborasinya
dengan Jeans le Rond d’Alembert. Dengan berupaya melawan ketidakpedulian dan
kebodohan, karya tersebut dibuat dengan tujuan untuk menyebarkan pengetahuan dan ide-ide
baru kala itu dengan merangkumnya dalam bentuk kamus universal atau ensiklopedia dunia.
Sementara itu, Jean Jacques Rousseau dikenal atas karyanya yang berjudul Du Contrat social
(1762), yang mengedepankan persamaan hak dan kewajiban manusia di depan hukum, serta
Émile ou de l’éducation (1796), membahas mengenai prinsip-prinsip pendidikan ideal dari
sejak dini hingga dewasa. Lebih lanjut, salah satu karya pelopor Abad Pencerahan lainnya
adalah les Lettres persanes (1897) karya Montesquieu berupa korespondensi dua pengembara
Persia, yang merupakan buah pemikirannya terkait pandangan orang asing atau orang lain (le
regard de l’Autre).
Tema karya abad ini juga berkaitan erat dengan kritik sosial terhadap pengaruh
agama. Pada Abad Pencerahan, kekuasaan gereja tidak lagi begitu kuat seperti yang terjadi
pada masa Moyen Âge (Abad Pertengahan). Namun demikian, kondisi sosial pada abad ini
masih kental terhadap pengaruh dari agama. Selama era ini, para pemikir yang bergantung
pada hukum determinisme perlu mencari landasan yang dapat digunakan sebagai tolok ukur
kebenaran moral kolektif terlepas dari perselisihan doktrin yang membagi kekristenan.
Adanya kebutuhan tersebut disebabkan oleh keyakinan bahwa agama memiliki manfaat sosial
yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan buruk, yang bahkan diyakini oleh beberapa
pemikir yang skeptis dan tidak percaya (Domínguez, 2017). Dalam Du Contract social
(1762), Rousseau menyetujui pendapat Machiavelli bahwa para penguasa harus kembali pada
otoritas Tuhan jika mereka menginginkan masyarakatnya yang tidak percaya pada agama
untuk tunduk.
Selain itu, salah satu filsuf yang paling gencar dalam menentang kekuasaan atau
campur tangan agama yang berlebihan adalah Voltaire. Filsuf sekaligus penulis ini lahir pada
21 November 1694 di Paris dengan nama asli François Marie Arouet dan meninggal di kota
yang sama pada 30 Mei 1778. Nama Voltaire sendiri merupakan anagram dari nama
panggilannya di lingkungan keluarga, yakni Arouet L.J (le jeune) yang dalam latin berubah
menjadi Arovet Li. Sebagai seorang penulis, ia melebarkan sayapnya di dunia kesusastraan
dengan menghasilkan karya di hampir setiap bentuk sastra, termasuk drama, puisi, novel,
esai, sejarah, dan tulisan ilmiah yang turut bersumbangsih ke dalam Encyclopédie. Sepanjang
hidupnya, Voltaire yang juga merupakan seorang humanis banyak memuat tema khususnya
kritik sosial mencakup nilai keadilan, pemikirannya tentang kebenaran, kebebasan
berekspresi, dan kebebasan beragama, termasuk toleransi kepada kepercayaan apapun.
Sehubungan dengan yang terakhir itu, Voltaire adalah salah satu tokoh yang menentang
fanatisme atau dogma agama dan seringkali menyuarakan kritiknya terkait kekuasaan gereja,
khususnya mengenai perjuangan untuk menyebarkan gagasan pemisahan agama dan
pemerintahan. Berkenaan dengan kepercayaan dan keyakinan, Voltaire (1763) menyatakan
bahwa bentuk takhayul terburuk tidak lebih berbahaya dari ateisme. Ia mempercayai bahwa
kebanyakan orang tidak akan menaati aturan hukum moral dan sipil jika mereka tidak
menganggapnya sebagai aturan dari yang mahakuasa.
Seperti beberapa filsuf Abad Pencerahan lainnya, secara pribadi pada mulanya
Voltaire merupakan seorang penganut deisme. Secara umum, Deisme mengacu pada apa
yang bisa disebut agama alami, penerimaan terhadap pengetahuan agama atau keyakinan
tertentu yang tersembunyi sejak lahir pada setiap orang dan yang dapat dimunculkan ke
permukaan dengan menggunakan akal dan penolakan pengetahuan agama yang diperoleh
melalui baik wahyu maupun ajaran gereja manapun. Keyakinan inti dari bentuk-bentuk
deisme Kristen mencakup ide bahwa Tuhan ada dan menciptakan alam semesta sesuai
dengan keinginannya, namun alam tersebut dirancang untuk berjalan terlepas dari izinnya
(Tate, 1969). Dengan kata lain, Voltaire meyakini bahwa sebagai pencipta alam, Tuhan tidak
ikut campur dengan urusan dunia dalam hal apapun serta bahwa keyakinan semestinya
diperoleh melalui pencarian pribadi individu terhadap kebenaran, melalui bantuan akal budi.
Dalam Dictionnaire philosophique (1764), Voltaire menyatakan bahwa kebenaran agama
tidak pernah dipahami sepenuhnya oleh orang-orang yang telah kehilangan kemampuan akal
budi mereka. Ia juga menegaskan dalam sebuah epistel yang ia tulis bahwa jika Tuhan
ternyata tidak ada, maka Tuhan perlu diciptakan. Pernyataan tersebut memperlihatkan posisi
pemikiran Voltaire yang meyakini bahwa eksistensi Tuhan sebagai penguasa alam
dibutuhkan untuk menciptakan keteraturan sosial. Hanya saja, Voltaire menolak dogma dan
fanatisme agama atau tahayul yang berlebihan, yang bertentangan dengan akal budi serta
rasionalitas.
Dalam perjuangannya untuk menyuarakan pentingnya nilai akal budi, gagasan ini
juga tertuang dalam salah satu karyanya yang lain, yakni l’Éloge historique de la Raison.
Karya ini mengambil bentuk sebuah panegirik berupa pujian-pujian yang ditujukan untuk
seorang tokoh alegoris bernama Raison dalam bentuk biografi. Meskipun ditulis pada 1774,
karya ini baru dipublikasikan pada 1877 oleh Garnier dalam sekumpulan karya Voltaire
berjudul Œuvres complètes de Voltaire (Pusteblume, 2017). Secara umum, l’Éloge historique
de la Raison menceritakan kisah Raison yang setelah bersembunyi di dalam sumur selama
bertahun-tahun, akhirnya memutuskan untuk kembali muncul ke dunia luar dan menyadari
bahwa waktunya untuk memerintah dunia di bawah kekuasaannya mungkin telah kembali.
Meskipun demikian, kesadaran Raison akan hal ini tidak dicapainya dengan begitu saja.
Dalam menggapai kesadaran tersebut, Raison menempuh perjalanan di penjuru dunia untuk
memastikan keadaan di berbagai tempat, khususnya dalam segi sosial dan politik. Bersama
dengan anaknya Vérité, perjalanan Raison memperlihatkan keadaan sosial politik di beberapa
tempat sebagai perbandingan jenis kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat yang
dipimpin oleh tokoh-tokoh tertentu. Keadaan sosial politik berbagai tempat di prosa ini
ditampilkan beragam, namun keadaan tersebut selalu dikaitkan dengan penerimaan
masyarakat terhadap keberadaan Raison. Pada intinya, terlihat bahwa tempat-tempat yang
tidak mengenal Raison dan anaknya menghadapi keadaan yang cukup bergejolak. Berkenaan
dengan identitas karya ini sebagai karya Abad Pencerahan, secara umum isi prosa ini
mengandung gagasan yang relevan dengan era ini, yakni penolakan terhadap fanatisme
agama serta obskurantisme kala itu. Dikemas dalam perjalanan seorang tokoh alegoris yang
menyandang nama Raison, sebuah semangat yang berkaitan dengan Abad Pencerahan,
pengaruh keberadaan Raison terhadap keadaan sosial politik masyarakat, termasuk perannya
dalam mengenyahkan obskurantisme menarik untuk diangkat sebagai masalah penelitian.
Dalam hal ini, obskurantisme dibahas merujuk pada perilaku yang membatasi penyebaran
pengetahuan demi tujuan tertentu (Nietzsche, 1996).
Penelitian yang membahas mengenai korpus yang sama dengan penelitian ini tidak
dapat ditemukan. Namun demikian, penelitian yang membahas mengenai obskurantisme
dalam kaitannya dengan fanatisme agama telah beberapa kali dikaji, misalnya dalam Pithon
(2017), Karimova (2018), Foradori, dkk. (2018), dan Lenhard (2020) namun penelitian-
penelitian tersebut menyelidiki obskurantisme dalam konteks sosial yang berbeda dan di
negara lain, bahkan juga berupaya mengukur obskurantisme dan fanatisme secara ilmiah. Di
antara penelitian-penelitian tersebut belum ada yang berupaya mengkaji obskurantisme dalam
l’Éloge historique de la Raison. Dengan demikian, penelitian ini akan menjadi penelitian
pertama yang berupaya menyelidiki obskurantisme dalam karya tersebut. Atas pemaparan di
atas, penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana obskurantisme dijadikan sebagai
strategi untuk melanggengkan situasi sosial dan politik yang porak-poranda di berbagai
belahan dunia.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan kajian struktural: teori kajian naratif
Roland Barthes (1957) dan teori naratologi Gérard Genette guna menganalisis struktur naratif
panegirik l’Éloge historique de la Raison sebagai korpus penelitian ini. Hasil analisis struktur
naratif akan dikaitkan dengan konsep obskurantisme milik Nietzsche (1996). Konsep
obskurantisme dipergunakan untuk memaknai kehadiran bentuk-bentuk obskurantisme yang
muncul dalam teks serta pengaruhnya terhadap dinamika perjalanan tokoh Raison dalam
meraih penerimaan terhadap eksistensinya dalam masyarakat.
Selain terlihat melalui judul, tokoh utama dalam prosa ini juga dapat terlihat melalui
pola kemunculan tokoh-tokoh yang ada dalam panegirik. Dari keseluruhan USIC (Urutan
Satuan Isi Cerita), kemunculan Raison yang paling banyak tepatnya dalam 41 sekuen
menjelaskan peran utamanya dalam menggerakan alur. Sementara itu, tokoh lain, yakni
Vérité yang merupakan anaknya, juga turut muncul dalam kisah ini berhubung kedua tokoh
tersebut selalu bersama sepanjang narasi sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya
merupakan tokoh utama. Hanya saja, dalam hal ini Vérité hanya muncul sebanyak 25 kali
dalam USIC, yang menunjukkan bahwa perannya dalam menggerakan alur tidak begitu
signifikan. Dengan demikian, sekalipun Raison dan Vérité merupakan dua tokoh utama,
dalam hal ini Raison merupakan tokoh utama yang lebih dominan. Hal ini tergambar pula
melalui judul yang memuat nama tokoh tersebut yang menandakan bahwa karya ini
didedikasikan untuk perjalanan dan eksistensinya. Biarpun Vérité tidak dominan dalam
menggerakan alur, kenyataan bahwa kedua tokoh tersebut selalu bersama menunjukkan
keterkaitan yang kuat antarkeduanya, apalagi mempertimbangkan jenis hubungan yang
mereka miliki, yakni hubungan ibu-anak. Kemunculan dan eksistensi keduanya yang tidak
pernah lepas satu sama lain dan selalu bersama menandakan bahwa eksistensi keduanya
saling memengaruhi pengambilan keputusan maupun respons masing-masing tokoh terhadap
keadaan.
Secara umum, konteks sosial yang digambarkan dalam panegirik ini dominan
merupakan keadaan yang tidak stabil di berbagai penjuru tempat. Untuk itu, 57 sekuen
lainnya dapat dikelompokkan berdasarkan tema-tema yang memayungi respons Raison dalam
menanggapi kekacauan tersebut. Bagian I mengisahkan persembunyian Raison dari
kekacauan, bagian II mengenai eksplorasi Raison terkait keadaan di dunia luar, dan bagian
III, yang juga merupakan bagian terakhir, berfokus pada keputusan Raison untuk tinggal di
dunia luar. Dengan pembagian sekuen yang juga mencerminkan sikap Raison dalam
menghadapi keadaan dunia, dapat dikatakan bahwa pergerakan sekuen dari yang satu ke yang
lainnya juga menggambarkan perubahan karakter Raison yang semakin berkembang
bergantung dengan keadaan. Dengan kata lain, penceritaan perjalanan Raison telah berfokus
pada hal-hal yang menunjukkan relasi antara identitas Raison dengan keadaan masyarakat.
Sementara itu, signifikansi tiap klasifikasi bagian terhadap pergerakan narasi dapat diselidiki
melalui dominasi bagian-bagian tersebut. Dalam hal ini, bagian pertama yang berisikan lebih
banyak sekuen, yakni sebanyak 31 sebelum akhirnya Raison berhenti bersembunyi, lebih
berperan utama dalam menggambarkan lika-liku perjalanan Raison dalam mencapai
kesadaran untuk melakukan sesuatu demi mengubah keadaannya.
Berdasarkan USIC, terdapat pola lain yang dapat mengilhami pembagian sekuen,
yakni pola peristiwa yang terjadi berkenaan dengan keadaan masyarakat, yang memengaruhi
keputusan Raison. Tema pertama khususnya terkait alasan Raison bersembunyi dari
peradaban luar. Dalam hal ini, sebanyak 5 sekuen pertama, yang mengisahkan keadaan awal
di dunia luar yang bergejolak, berperan mengindikasikan keberadaan Raison yang belum
dikenal masyarakat. Sementara itu, 8 sekuen lainnya yang juga menunjukkan pengaruh
berbagai jenis pemerintahan dan kepemimpinan terhadap masyarakat berfungsi untuk
menitikberatkan penolakan terhadap kekuasaan atau ajaran Raison. Di samping itu, di antara
kesemua sekuen penolakan, 5 sekuen dilatarbelakangi oleh perang agama maupun fanatisme.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa alasan yang secara dominan memengaruhi Raison
untuk bersembunyi dari dunia luar merupakan konflik yang berkaitan dengan agama ataupun
keyakinan tertentu yang berlebihan. Dalam hal ini, ketakutan akan jenis kekuatan tersebut
yang terlalu kuat menghadirkan perasaan tidak diterima oleh masyarakat dalam diri Raison.
Dengan kata lain, penolakan ajaran Raison secara umum berasal dari kaum fanatis agama.
Tema kedua berfokus pada hal-hal yang mendorong Raison untuk berani memulai
eksplorasinya ke dunia luar. Berdasarkan USIC, keseluruhan sekuen yang berkaitan dengan
tema ini, yakni sebanyak 12 sekuen, menunjukkan hubungan orang lain dengan Raison.
Berkenaan dengan sekuen-sekuen tersebut, mayoritas melibatkan pertemuan Raison dan
Vérité dengan orang lain serta penyampaian ajaran Raison kepada mereka. Sementara itu,
hanya terdapat 2 sekuen yang secara langsung dan eksklusif hanya melibatkan Raison dan
Vérité dengan satu di antaranya berfokus pada upaya Vérité untuk meyakinkan Raison.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberanian Raison untuk muncul ke permukaan
disokong oleh jumlah pengikutnya atau pendukung ajarannya sehingga dalam hal ini Raison
membutuhkan bantuan orang lain untuk menyebarkan semangatnya. Untuk itulah di awal
sekuen, ketika Raison belum memiliki relasi pertemanan dengan orang lain, identitas Raison
ditampilkan sebagai seseorang yang kian penakut sebab pada intinya, Raison tidak memiliki
kekuatan ketika sendirian. Kekuatannya untuk mengeksplorasi dunia dan menemukan
tempatnya di dunia diperoleh dari keberanian orang lain untuk menyebarluaskan gagasannya.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Keterangan gambar:
Berdasarkan bagan sekuen yang telah dipaparkan, dapat dilihat bahwa peristiwa yang
menjadi pemicu utama keputusan Raison untuk bersembunyi dari peradaban merupakan
perang agama (fungsi 1). Mempertimbangkan banyaknya peristiwa kekacauan yang terjadi,
perang agama sebagai titik awal tersebut menunjukkan bahwa ketakutan Raison khususnya
bersumber dari kesengsaraan yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan terhadap agama.
Ketakutan ini digambarkan secara berpola dalam prosa, khususnya terulang dalam fungsi 5
dan 6 bahwa secara langsung gagasan Raison dikalahkan oleh ajaran Fanatisme bahkan
hingga pengikutnya dibunuh. Hal inilah yang berperan utama dalam mendorong Raison untuk
menutup diri dari peradaban yang menandakan ketiadaan ruang bagi ajarannya sebagai ajaran
baru di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang memiliki keyakinan kuat terhadap
kekuatan agama yang berlebihan. Untuk itulah dapat dilihat bahwa di bagian awal prosa,
tokoh Raison digambarkan sebagai seseorang yang penakut dan lemah sehingga masih
membutuhkan subjek lain untuk menghadapi keadaan.
Sementara itu, ditunjukkan bahwa beberapa pengalaman yang dilalui tokoh Raison
ketika sudah melakukan interaksi sosial dengan orang lain (fungsi 3, 4) menjadi motivasinya
untuk membantu orang-orang keluar dari situasi yang buruk melalui pengajarannya. Namun
demikian, fungsi 6 dan 7 lah yang memicu keinginan Raison untuk ke dunia luar dan
membantu menghadapi keadaan buruk dengan kemampuannya sendiri. Hal ini menandakan
identitas Raison sebagai seseorang yang bertanggung jawab dan penolong melalui
kesediaannya untuk membenahi kekerasan yang hadir dalam membela ajarannya. Fungsi 8
merupakan kunci utama yang mendorong Raison untuk mengambil keputusan signifikan
pertama dalam permulaan kisah perjalanannya. Dalam hal ini, terlihat bahwa sekalipun
Raison merupakan tokoh yang berkeinginan untuk mengubah keadaan, perwujudan dari
gagasannya secara nyata membutuhkan dukungan subjek lain. Salah satu subjek yang
memegang peran penting sebagai pendukung tersebut adalah anaknya, yakni Vérité.
Melalui kebutuhan akan dukungan dari orang lain, tokoh Raison terlihat sebagai orang
yang belum bisa mengandalkan kemampuan sendiri. Lagi-lagi terlihat melalui pola,
dukungan tersebut hadir dalam bentuk pertemuan yang tertuang dalam fungsi 13, 14, 15, 16,
17, 18, dan 19. Namun demikian, berbeda dengan pertemuan pertama Raison yang berakhir
naas, pertemuan ini memperlihatkan fungsi yang keluar dari pola penyebaran ajaran Raison.
Kesadaran Paus Ganganelli sebagai salah satu pengikutnya untuk mewujudkan ide Raison
berperan sebagai titik awal bertambahnya kekuatan keberanian Raison untuk memimpin.
Melalui pola dukungan pengikutnya, hal ini menunjukkan bahwa dalam membawa perubahan
positif terhadap peradaban, Raison tidak bertindak sebagai aktor tunggal, melainkan sebagai
penggagas ide yang membutuhkan pelaku lain untuk merealisasikan gagasan-gagasan atau
ajaran-ajarannya. Hal tersebut menjelaskan alasan kebutuhan Raison akan subjek lain.
Sejalan dengan hal tersebut, keputusan Raison untuk pergi dari kediaman Paus Ganganelli
(fungsi 16) berfungsi menunjukkan bahwa Raison tidak lagi takut untuk melawan dan
menghadapi ajaran lain, khususnya ajaran fanatisme berkat dukungan para pengikutnya yang
semakin mengamali dan menyebar ajarannya. Dengan demikian, keberanian Raison untuk
menjelajahi dunia luar sebagai seseorang yang telah mampu mengandalkan kemampuannya
sendiri mempertimbangkan bahwa ajarannya telah tersebar dan diterima oleh beberapa orang.
Salah satu strategi penokohan yang menjadikan panegirik ini menarik merupakan
penggunaan alegori untuk memaparkan tokoh-tokoh tertentu, terutama dua tokoh utama,
yakni Raison dan Vérité. Mempertimbangkan nama mereka yang berasal dari kata benda
abstrak, penggunaan alegori ini juga dapat mengindikasikan representasi semangat yang
relevan dengan Abad Pencerahan, yakni semangat kemampuan akal budi (raison) dan
kebenaran (vérité). Semangat-semangat tersebut ditampilkan sebagai tokoh-tokoh yang hidup
secara nyata untuk menitikberatkan bahwa sejatinya eksistensi akal budi adalah sesuatu yang
dimiliki setiap orang secara lahiriah. Namun demikian, dinamika perjalanan Raison yang
diawali dengan keinginannya untuk bersembunyi dan diakhiri dengan kegigihannya untuk
tinggal di dunia luar dan berkuasa menunjukkan bahwa eksistensi akal budi harus dipicu oleh
suatu peristiwa yang menyadarkan manusia akan kemampuannya untuk membawa
perubahan. Begitu pula dengan nilai kebenaran, yang tergambar melalui tokoh Vérité bahwa
melalui akal budilah manusia dapat mempelajari realitasnya dengan sebenar-benarnya yang
kemudian mengantarkan peradaban pada ilmu pengetahuan baru.
Secara dominan, fokalisasi yang dipakai dalam prosa ini adalah fokalisasi nol yang
identik dengan narator mahatahu sehingga narator memaparkan lebih dari yang diketahui
suatu tokoh. Berkenaan dengan tokoh Raison yang juga merepresentasikan salah satu
semangat utama yang digaungkan pada Abad Pencerahan, jenis fokalisasi ini menandakan
bahwa perjalanan penerimaan Raison di masyarakat juga dialami oleh dunia secara universal
sehingga banyak kejadian di berbagai belahan bumi ikut dilibatkan dalam panegirik pujian
Raison. Dengan kata lain, universitalitas ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana proses
dunia menerima gagasan akal budi sebagai ide baru untuk mengakhiri kesengsaraan di
masyarakat. Sementara itu, fokalisasi banyak berfokus pada sudut pandang Raison sebagai
tokoh utama berfungsi untuk memberikan kesan bahwa tidak diterimanya Raison di dalam
masyarakat merupakan buah dari penolakan masyarakat dalam mengakui keberadaan akal
budi atau ketidaksadaran masyarakat akan kemampuan akal budinya.
Dalam prosa ini, latar ruang yang mendominasi adalah ruang eksterior, khususnya
dunia luar. Hal ini menunjukkan bahwa setelah menempuh perjalanan panjang sejarah yang
banyak menggambarkan kebodohan peradaban, yang seringkali berujung pada kesengsaraan
secara umum, pada akhirnya semangat akal budi dan kebenaran dapat menerangi dan
memajukan peradaban. Ruang eksterior dalam hal ini mencerminkan dunia yang luas di mana
nilai akal budi lambat laun memiliki tempat untuk menjadi akar perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya pada Abad Pencerahan. Sementara itu, latar waktu dalam prosa ini
dapat ditunjukkan melalui peristiwa-peristiwa atau masa kepemimpinan tokoh-tokoh tertentu
yang disebutkan. Secara keseluruhan, masa-masa tersebut berkaitan dengan kejadian atau
tokoh nonfiktif sehingga konteks masanya dapat dihubungkan secara langsung dengan
linimasa dunia nyata. Peristiwa pertama berkaitan dengan kepemimpinan Julius César yang
dimulai sekitar 60 SM, sementara yang terakhir berkaitan dengan kepemimpinan Paus
Ganganelli, Clement XIV sekitar tahun 1769-1774. Melihat jangka waktu yang cukup
panjang dalam prosa, dari sebelum masehi hingga abad ke-18 yang juga merupakan abad
kemunculan Pencerahan, latar waktu dapat berperan menunjukkan bahwa proses penerimaan
akal budi sebagai kunci kemajuan peradaban merupakan proses yang begitu panjang, yang
mengharuskan peradaban untuk merasakan sekian banyak peristiwa dan tragedi yang naas
sebelum mendapatkan kesadaran akan bentuk kepemimpinan dengan nilai dan semangat yang
lebih rasional dan masuk akal.
Sebagai karya sastra yang ditulis pada Abad Pencerahan, dapat dikatakan bahwa prosa
ini mencerminkan konteks sosial abad tersebut. Dengan demikian, dinamika perjalanan
Raison dalam menghadapi penolakan dan memperoleh penerimaan di masyarakat
menggambarkan sejarah panjang dunia yang bergeser dari Zaman Kegelapan yang dipenuhi
dengan nilai kebodohan pembawa keburukan, terlihat melalui peristiwa-peristiwa negatif
yang disebutkan dalam prosa, ke Abad Pencerahan yang mulai mendorong manusia untuk
menggunakan akal budinya sehingga dapat menentukan keputusan yang lebih rasional untuk
mengedepankan peradaban.
Konflik terkait dinamika perjalanan Raison yang telah dipaparkan pada subbagian
sebelumnya dapat dikaji lebih dalam signifikansinya menggunakan konsep obskurantisme.
Melalui kajian struktural teks, ditemukan bahwa konflik perjalanan Raison dalam meraih
penerimaan masyarakat atas keberadaan serta ajarannya sebagai pemimpin utamanya
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran lain yang beredar di masyarakat. Naratif teks menunjukkan
bahwa ajaran yang dimaksud berkaitan erat salah satunya dengan fanatisme serta berbagai
nilai-nilai lainnya yang kemudian turut berperan dalam penolakan ajaran dan eksistensi
Raison, yang dalam hal ini merepresentasikan nilai akal budi manusia. Sebelum masuk
kepada bagian penjabaran hubungan antara ajaran-ajaran lama yang beredar di masyarakat
dan penolakan terhadap nilai akal budi, perlu diuraikan terlebih dahulu konsep obskurantisme
guna memahami keterkaitannya.
Berkenaan dengan obskurantisme, ide pertama yang dimunculkan dalam panegirik ini
adalah oposisi biner antara kebodohan (folie) dan akal budi (raison). Dari segi semantik,
oposisi biner ini juga diperkuat dengan pengulangan kata folie, termasuk bentuk kelas kata
lainnya dari kata tersebut, sebanyak 5 kali. Di samping itu, oposisi biner ini khususnya
diperkenalkan pada paragraf pertama dengan merujuk folie sebagai son ennemie (musuhnya)
yang membuktikan eksistensi kebodohan sebagai lawan dari akal budi yang identik dengan
pencarian pengetahuan. Posisi akal budi yang lebih lemah daripada kebodohan, khususnya di
awal panegirik, ditunjukkan melalui keberadaan panegirik bagi kebodohan selama bertahun-
tahun jauh sebelum eksistensi akal budi diakui. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
obskurantisme merupakan praktik yang sangat dilanggengkan dan sangat melekat di
masyarakat. Untuk itu, perjalanan Raison juga mencerminkan perjuangannya dalam
memerangi obskurantisme.
Keberadaan praktik obskurantisme selalu ditandai dengan penolakan, ketiadaan, dan
tidak dikenalnya tokoh Raison, yang mewakili nilai akal budi, di tempat-tempat atau oleh
tokoh-tokoh yang disebutkan dalam panegirik. Dalam hal ini, tidak dikenal atau tidak dapat
ditemukannya Raison di dalam wilayah César maupun pasukan Clovis menunjukkan bahwa
kepemimpinan kedua tokoh tersebut tidak mengindikasikan adanya nilai akal budi yang
dipakai sebagai strategi untuk menjalankan kekuasaan. Berkenaan dengan keadaan ini,
panegirik mendeskripsikan keadaan tanpa akal budi melalui pola pemilihan kata. Beberapa
kata tersebut di antaranya dévaster (menghancurkan), exterminer (memusnahkan), dan
subjuguer (menaklukkan) yang mencerminkan keputusan kedua pemimpin dalam pada era
kekuasaan mereka dan dapat dikategorikan ke dalam isotopi kehancuran. Hal tersebut
mencerminkan bahwa tanpa akal budi, strategi yang dipakai dalam kepemimpinan berkaitan
kuat dengan hard power atau jenis kekuatan keras yang berfokus pada kekuatan fisik.
Dalam prosa, terlihat bahwa obskurantisme yang paling utama memang khususnya
berkaitan dengan kebodohan secara umum. Namun demikian, jenis-jenis kebodohan ini kerap
diperjelas dalam teks melalui tokoh-tokoh lain yang ditampilkan melalui alegori, seperti
tokoh Raison dan Vérité. Beberapa tokoh tersebut misalnya Politique (Politik) sebagai
pemimpin, Fourberie (Penipuan) dan Avarice (Keserakahan) sebagai kaki tangan Politik,
serta Ignorance (Ketidakpedulian), Fanatisme (Fanatisme), dan Fureur (Kemarahan) yang
turut hadir dalam masa kepemimpinan tersebut. Di antara kata-kata tersebut terdapat dua kata
yang berkaitan erat dengan obskurantisme, yakni Penipuan sebagai salah satu kaki tangan
Politik dan Ketidakpedulian/Ketidaktahuan yang menyebar di Eropa. Penyebutan kata-kata
tersebut, khususnya Politik sebagai tokoh pemimpin tidak serta-merta menunjukkan
obskurantisme. Sebaliknya, hal tersebut disertakan untuk menunjukkan bahwa obskurantisme
juga dapat dipraktikkan dalam bidang-bidang tertentu, misalnya politik yang dijalankan
menurut ideologi atau nilai-nilai tertentu. Terlihat melalui kata-kata pertama yang disebutkan,
ideologi utama yang berperan utama melahirkan keadaan sosial politik yang bergejolak
adalah penipuan termasuk dampak dari ideologi tersebut, yakni ketidaktahuan yang tersebar
dalam masyarakat. Dengan demikian, keputusan Raison untuk semakin bersembunyi di masa
kepemimpinan Politique sejalan dengan indikasi bahwa kekuasaan politik yang membatasi
penyebaran kebenaran melalui penipuan berjalan dengan begitu kuat. Atas hal tersebut,
kesadaran masyarakat akan kemampuan akal budi mereka untuk mengubah keadaan menjadi
tertekan, terlihat dari ketiadaan tempat yang aman bagi Raison di dunia luar.
Lebih lanjut, terdapat pola lain yang dapat mengindikasikan bentuk obskurantisme
yang perannya paling signifikan dalam menekan penyebaran pengetahuan. Melalui repetisi,
terdapat dua jenis kebodohan yang posisinya seimbang melalui dua kali repetisi dalam teks,
yakni ignorance dan fanatisme. Dengan demikian, kebodohan yang paling dominan dapat
lebih dipertimbangkan melalui bukti pola peristiwa lain, misalnya alasan penolakan nilai akal
budi maupun bentuk kekacauan yang timbul di masyarakat akibat kebodohan. Dalam hal ini,
terdapat satu peristiwa penolakan Raison yang khusus berkaitan dengan ketidakpedulian,
ditandai dengan kemunculan sinonim ignorance, yakni indifférent. Sementara itu, berkenaan
dengan fanatisme, dampak dari kebodohan ini diwakili oleh 2 kali penyebutan croisades
(Perang Salib), 1 kali penyebutan religion (agama), dan 1 kali penyebutan puissance divine
(kekuatan Ilahi). Atas pemaparan tersebut, terlihat bahwa ada pengaruh kekuatan keyakinan
atau agama yang berlebihan yang kerap melatarbelakangi kesengsaraan di masyarakat.
Kesengsaraan tersebut bersumber dari pengetahuan agama yang disampaikan dengan
menyimpang sehingga membenarkan perilaku buruk atas nama agama. Untuk itulah solusi
terakhir yang dicetuskan oleh Raison khususnya berkaitan dengan pemisahan agama dan
negara sebagai penyelesaian konflik yang paling problematis.
Denis, C. (Ed.). (2007). Encyclopédie ou Dictionnaire raisonné des sciences, des arts et des
métiers: 1751-1772: anthologie. Nathan.