382 1115 1 PB

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

PENETAPAN KADAR KAFEIN PADA TEH OOLONG (Camellia sinensis)

MENGGUNAKAN EKSTRAKSI REFLUK DENGAN


METODE TITRASI BEBAS AIR

Azzi Nur Romandhoni1, Muchson Arrosyid2*


Program Studi DIII Farmasi, STIKes Muhammadiyah Klaten
*Email: [email protected]

INTISARI

Teh merupakan minuman paling banyak dikonsumsi masyarakat setelah air.


Konsumsi teh diperkirakan tidak kurang dari 120 ml setiap hari. Daun teh mengandung
senyawa kafein yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. kadar kafein dalam daun
teh dipengaruhi oleh proses fermentasi dan ekstraksi daun teh.
Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang mengambil sampel
simplisia daun teh oolong (Camellia sinensis).Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui kadar kafein pada teh oolong dengan ekstraksi refluk. Sampel positif
mengandung kafein setelah diuji secara kualitatif menggunakan reaksimurexid.
Ekstraksi dilakukan dengan metode refluk dan penentuan kadar kafein dilakukan
dengan metode Titrasi Bebas Air karena kafein merupakan basa lemah yang sukar larut

dalam air. Kadar kafein yang didapat sebesar (1,060± 0,288)% .

Kesimpulan dari penelitian ini adalah teh oolong secara kualitatif mengandung
kafein, dan kadar kafein dalam teh oolong adalah (1,060 ± 0,288)% b/b.

Kata Kunci : Kadar Kafein, Teh Oolong, Ekstraksi Refluk,Titrasi Bebas Air.

ABSTRACT

Tea is the most consumed drink society after water. Tea consumption is estimated
not less than 120 ml every day. Tea leaves contain caffeine compounds that have many
health benefits. caffeine levels in tea leaves are influenced by the fermentation process
and the extraction of tea leaves.
This research is a laboratory study that takes sample simplicia oolong tea leaves
(Camellia sinensis). The purpose of this study was to determine the levels of caffeine in
oolong tea with reflux extraction. Positive samples contained caffeine after being
qualitatively tested using murexid reactions. The extraction was performed by reflux
method and the determination of caffeine content was done by the method of Water
Free Titration because caffeine is a weak base which is difficult to dissolve in water.
Levels of caffeine obtained (1.060 ± 0.288)%
The conclusion of this study is that oolong tea qualitatively contains caffeine, and
caffeine levels in oolong tea are (1.060 ± 0.288)%

Keywords: Caffeine Levels, Oolong Tea, Reflux Extraction, Titration Non Aqua.

48 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
PENDAHULUAN

Kafein merupakan senyawa alkaloid xantina berbentuk kristal dan berasa pahit
yang bekerja sebagai obat perangsang psikoaktif dan diuretik ringan. Kafein dijumpai
secara alami pada bahan pangan seperti biji kopi (Coffea sp), daun teh (Thea sinensis),
biji kola (Cola acummate dan Cola nitida), biji kakao (Theobroma cocoa) dan lebih dari
60 jenis tumbuhan lain (Anonim, 1995).
Senyawa kafein bisa menyebabkan tekanan darah meningkat tajam. Seseorang
yang biasa minum kopi dengan dosis kecil mempunyai adaptasi yang rendah terhadap
efek kafein (Mannan dan Wahiduddin, 2012). Kebiasaan minum kopi 1-2 cangkir per
hari meningkatkan resiko hipertensi 4,12 kali lebih tinggi dibanding subjek yang tidak
memiliki kebiasaan minum kopi (Sugiyono, 2013). Hasil survei Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2007-2008) berdasarkan pengukuran tekanan darah pada orang usia 18 tahun
keatas disejumlah daerah kejadian prevalensi hipertensi di Indonesia telah mencapai
31,7% dari total penduduk dewasa dan hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas
2013) secara nasional tercatat 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit hipertensi.
Kafein yang terkandung dalam teh tergantung dari jenis teh. Jenis teh berdasarkan
proses pengolahannya diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu teh fermentasi (teh
hitam), teh semi fermentasi (teh oolong), dan teh tanpa fermentasi (teh hijau)(Berghuis,
2015). Berdasarkan BPOM tahun 2004 dosis kafein yang diizinkan 150 mg/hari,
sedangkan menurut SNI 01-7152-2006 batas maksimum kafein dalam makanan dan
minuman adalah 150 mg/hari dan 50 mg/sajian.
Metode refluk karena sifat dari kafein yang mudah larut dalam suhu tinggi atau
dalam kondisi panas. Keuntungan refluk dibanding sokletasi yaitu pelarut yang
digunakan lebih sedikit dan pada metode refluk pelarut langsung bercampur dengan
sampel sehingga menambah kelarutan sedangkan bila dibandingkan dengan maserasi
dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih singkat dan digunakan pemanasan yang dapat
menambah kelarutan kafein (Kristanti, 2008).
Metode titrimeri yaitu titrasi bebas air karena kafein merupakan basa lemah yang
sukar larut dalam air dan mudah larut dalam pelarut organik. Titrasi bebas air memiliki
keuntungan yaitu cocok untuk titrasi asam atau basa yang sangat lemah dan mampu
melarutkan analit-analit organik (Gandjar dan Rohman, 2007).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kadar kafein pada teh oolong
sehingga diketahui metode ekstraksi yang efektif untuk isolasi kafein dan menghasilkan
kadar kafein yang aman untuk dikonsumsi seseorang yang tidak toleran pada kafein dan
yang menghindari efek samping dari kafein.

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan


Alat: Kompor Listrik, Neraca Analitik, Erlenmeyer (Pyrex), Seperangkat Alat
Refluk, Corong Pisah (Pyrex), Cawan Porselin, Pipet Tetes, Pipet Ukur, Buret
(RRC), Gelas Ukur (Pyrex), Statif dan Klem, Water Bath dan sendok sungu.
Bahan: Simplisia Kering Daun Teh Oolong, Aquadest, Kalium Biftalat,
Kertas Saring, Kain Flanel, Indikator Kristal Violet, Larutan HClO 4 0,1 N, Larutan

49 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Benzene P, Larutan Asetat Anhidrat, Larutan Asam Asetat Glasial P, Kloroform,
CaCO3, HCl pekat, NH3 6N, H2O2.

Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan Bahan
Pengumpulan bahan diperoleh dari cafe teh “Omah Lor” yang berada di Desa
Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berupa simplisia
kering teh oolong.
2. Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan dengan satu pohon utuh teh yang diperoleh
dari Karanganyar dan dilakukan di Laboratorium Sistematika Tumbuhan
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 05 April
2018 dan hasil determinasi keluar 2 minggu selanjutnya yaitu pada tanggal 19
April 2018.
3. Isolasi Kafein
Isolasi kafein dilakukan dengan metode ekstraksi refluk simplisia kering daun
teh oolong tanpa dilakukan pengukuran pada suhu dan waktu pada saat
ekstraksi refluk. Pemisahan ekstrak dengan air dilakukan dengan cara partisi
menggunakan kloroform. Ekstrak diuapkan hingga fraksi kloroform hilang.
4. Identifikasi Kafein
Identifikasi kafein dilakukan dengan reaksi Murexid, yaitu dengan
menambahkan H2O2 dan HCl dan dipanaskan sampai kering dan warna
menjadi kuning. Setelah itu ditambahkan NH3, hasil positif berwarna merah
(Kovar dan Auterhoff, 2002).
5. Penetapan Kadar Kafein
Penetapan kadar kafein dilakukan dengan metode titrasi bebas air yang
sebelumnya dilakukan pembakuan larutan asam perklorat. Titrasi bebas air
dilakukan dengan mentitrasi sampel dengan asam perklorat kemudian
ditambahkan dengan indikator kristal violet sampai berubah warna menjadi
hijau zamrud (Anonimb, 2016).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Determinasi Tanaman Teh


Determinasi tanaman teh dilakukan di Laboratorium Sistematika Tumbuhan
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, untuk memastikan bahwa
sampel yang digunakan benar-benar daun teh (Camellia sinensis). Berdasarkan
determinasi sampel yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa sampel tersebut
adalah daun teh (Camellia sinensis).

2. Hasil Uji Kualitatif


Uji kualitatif kafein pada teh oolong sebanyak 10 mg dilakukan dengan
menambahkan H2O2 dan HCl P yang dipanaskan diatas penangas air kemudian
ditambah dengan NH3 6N. Apabila terjadi perubahan warna menjadi merah maka
sampel tersebut menunjukkan positif mengandung kafein. Pada hasil uji kualitatif
kafein pada teh oolong menunjukkan bahwa sampel positif mengandung kafein.
Berikut adalah tabel hasil uji kualitatif kafein pada teh oolong:

50 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Tabel 1. Identifikasi Kafein pada Teh Oolong
Kafein
No. Jenis
Positif Negatif
1 Teh oolong √ -
Sumber: Data Primer, 2018

3. Pembakuan Larutan HClO4 0,1 N


Pembakuan Larutan HClO4 0,1 N dilakukan dengan replikasi sebanyak 3 kali.
Pada pembakuan HClO4 diperoleh volume rata-rata 10,26 ml dan normalitas
sebesar 0,095 N. Berikut tabel hasil pembakuan larutan HClO4 0,1 N.

Tabel 2. Volume Titran untuk Pembakuan Larutan HClO4 0,1 N


Replikasi Titrasi Volume (ml)
I 10,20
II 10,10
III 10,50
Volume rata-rata (ml) 10,26
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 2 diperoleh volume rata-rata sebesar 10,26 ml sehingga


dapat diketahui normalitas (N) larutan HClO4 adalah 0,095 N. Normalitas
yang diperoleh sudah mendekati dengan normalitas standar yang diinginkan
sehingga larutan tersebut dapat digunakan sebagai larutan baku HClO4.
4. Ekstraksi Kafein Teh Oolong
Ekstraksi kafein teh oolong dilakukan dengan menggunakan metode
ekstraksi Refluk. Sampel teh oolong yang direfluk sebanyak 100 gram dengan
menggunakan pelarut aquadest dan ditambahkan CaCO3 selanjutnya dididihkan.
Pemisahan ekstrak dengan aquadest dilakukan dengan cara partisi menggunakan
kloroform dan dilakukan penguapan hingga fraksi kloroform hilang, sehingga
diperoleh rendemen sebanyak 16,80%.

5. Penetapan Kadar Kafein


Penetapan kadar kafein dilakukan pada teh oolong yang positif
mengandung kafein. Penetapan kadar bertujuan untuk mengetahui kadar kafein
yang terkandung dalam teh oloong. Penetapan kadar dilakukan menggunakan
Titrasi Bebas Air dan dilakukan replikasi sebanyak 3 kali pada sampel. Berikut
tabel hasil penetapan kadar kafein teh oolong.

Tabel 3. Penetapan Kadar Kafein Teh Oolong


Sampel Replikasi Volume (ml) Kadar (%)
Teh I 0,80 0,737
Oolong II 1,40 1,291
III 1,25 1,153
Mean 1,060
SD 0,288
Sumber: Data Primer, 2018

51 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Berdasarkan tabel 3 dari 3 replikasi diperoleh rata-rata kadar kafein pada
teh oolong sebesar 1,060% b/b.

Teh merupakan salah satu minuman yang sangat populer dikonsumsi di banyak
negara. Teh menjadikan sebagai salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai
peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, yakni sebagai salah
satu penghasil devisa negara sesudah minyak dan gas. Hal ini ditunjang dengan
perkebunan teh di Indonesia yang cukup luas dan jumlah produksi teh yang besar
(Syaipulloh, 2011).

Proses fermentasi pada tumbuhan teh (Camellia sinensis) menyebabkan


perubahan komponen polifenol karena terjadi proses oksidasi secara enzimatis. Pada
proses fermentasi diketahui mempengaruhi kandungan zat antioksidan
(katekin/polifenol monomer), dimana kandungan teh hijau tanpa fermentasi lebih tinggi
kandungan katekinnya dibanding teh hitam yang mengalami fermentasi penuh.

Sampel yang digunakan berupa simplisia kering daun teh yang telah mengalami
pengolahan menjadi teh oolong.
Tahap awal penelitian yaitu menghaluskan sampel dengan cara diblender menjadi
serbuk agar kandungan kafein mudah terekstraksi.
Proses ekstraksi dilakukan secara refluk. Prinsip refluk yaitu dengan menarik
komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel dimasukkan kedalam labu alas
bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari
terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan
turun kembali menuju labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara
berkesinambungan sampai penyarian sempurna. Filtrat yang di peroleh dikumpulkan
dan dipekatkan (Sudjadi, 1986).

Proses ekstraksi refluk dilakukan dengan cara mendidihkan sampel yang ditambah
dengan aquadest dan CaCO3, dengan tujuan untuk membantu pendesakkan kafein dalam
daun teh sehingga melarut dalam air atau untuk mengikat bahan-bahan yang terkandung
dalam teh. Mendidihkan larutan dimaksudkan untuk memisahkan kafein dan zat-zat lain
dalam teh karena CaCO3 larut dalam keadaan panas. CaCO3 memiliki BM yang tinggi
yaitu 100,07 gram/mol yang akan mengendap apabila dingin sehingga larutan perlu
disaring dalam keadaan panas (Maramis et al, 2013).

Pemisahan kafein dalam larutan teh dilakukan dengan menggunakan kloroform.


Pada proses ini membentuk 2 lapisan, dimana lapisan atas merupakan lapisan fase air
dan lapisan bawah merupakan lapisan yang mengandung kafein dalam kloroform.
Terbentuknya dua lapisan disebabkan karena berat jenis antara kedua larutan tersebut
berbeda (Raharjo, 2010).

Hasil dari ekstraksi kafein diperoleh rendemen teh oolong sebanyak 16,80%. Hasil
rendemen tidak sesuai dengan literatur, rendemen kafein dalam teh yaitu sekitar 2-4%.
Hal tersebut dikarenakan penguapan yang dilakukan tidak sampai menjadi ekstrak
kental dan tidak dilakukan mikrosublimasi untuk mendapatkan kafein dalam bentuk
kristal namun hanya diuapkan sampai fraksi kloroformnya hilang. Kafein yang
diperoleh hanya diuapkan sampai fraksi kloroformnya hilang agar mempermudah pada
proses selanjutnya yaitu proses titrasi bebas air, karena apabila kafein dalam bentuk
ekstrak kental akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melarutkannya.

52 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Ekstrak yang diperoleh dilakukan uji kualitatif, yaitu memeriksa ada tidaknya
kandungan kafein dalam sampel. Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa teh oolong
mengandung kafein, ditunjukkan dengan perubahan warna kuning menjadi merah.

Adapun fungsi dari beberapa reagen yang ditambahkan atau direaksikan dalam uji
kualitatif adalah:
1. Penambahan H2O2 dalam sampel berfungsi sebagai zat pengoksidasi, dapat
dihilangkan dalam larutan dengan cara dipanaskan beberapa menit.
2. Penambahan HCl pekat dalam sampel berfungsi untuk mengasamkan larutan, agar
reaksi yang akan terjadi dapat lebih mudah bereaksi.
Reaksi yang terjadi jika sampel mengandung kafein menurut Kovar dan Auterhoff
(2002) dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut ini:
C8H10N4O2+H2O2+HCl p Warna Kuning + NH3 6N Merah

Dipanaskan
Titrasi bebas air dilakukan pada senyawa yang bersifat basa lemah atau asam
lemah serta senyawa yang tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik.
Semua proses kerja harus terbebas dari air baik dari alat, bahan, maupun lingkungan
kerja. Pereaksi yang masih mengandung air dapat mengakibatkan meningkatnya
kebasaan senyawa dan menentukan kadar senyawa tidak dapat berjalan dengan baik.
Bila titrasi berlangsung dengan pelarut yang masih mengandung air, maka akan
mempengaruhi tingkat kebasaan senyawa dalam pelarut menjadi lebih rendah dari
seharusnya (bila ditambahkan pelarut bebas air). Selain itu, kadar senyawa organik yang
ditentukan juga akan berkurang dari kadar seharusnya karena tidak semua senyawa
dapat bereaksi, masih terdapat kandungan air yang akan mempengaruhi reaksi.
Pada pembakuan HClO4 menggunakan bahan kalium biftalat. Digunakan kalium
biftalat sebagai larutan baku primer karena sangat bagus untuk basa dengan tingkat
kemurnian 99,95%, stabil dalam pemanasan, dan tidak hidroskopik. Sebelum dilakukan
titrasi, kalium biftalat terlebih dahulu dikeringkan dalam oven dengan suhu 120 oC. Hal
ini bertujuan agar kalium biftalat kering dan bebas dari air. Kalium biftalat adalah
garam asam dari asam bivalen. Pada reaksi pembakuan, kalium biftalat berfungsi
sebagai asam monovalen. Asam asetat glasial sebagai pelarut kalium biftalat (Anonim a,
2016).
Digunakan asam asetat glasial karena sifatnya yang merupakan pelarut protik
yaitu pelarut yang menunjukkan disosiasi sendiri menjadi proton dan anion pelarut
dimana secara praktis pelarut ini selalu dapat memberi dan menerima proton. Asam
Asetat anhidrad digunakan untuk sampel kafein agar kandungan air dalam pelarut dan
peniter dibebaskan saat dilakukan titrasi. Kristal violet sebagai indikator yang akan
membentuk perubahan warna dari ungu menjadi hijau zamrud saat mencapai titik akhir
titrasi. Selain itu kristal violet bersifat basa lemah yang berkompetisi sangat efektif
dengan asam asetat untuk proton (Anonima, 2016).
Pembakuan larutan terhadap HClO4 dilakukan sebanyak 3 kali. Pembakuan larutan
dilakukan dengan tujuan untuk menyamakan larutan yang digunakan untuk titrasi bebas
air dengan standar larutan baku. Hasil pembakuan larutan didapatkan normalitas larutan
HClO4 sebesar 0,095 N, hasil pembakuan ini sudah mendekati teori yaitu 0,1 N sehingga
dapat digunakan sebagai larutan standar baku. Hasil pembakuan tidak sepenuhnya
sesuai dengan teori karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti

53 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
penimbangan bahan yang tidak sesuai karena tertinggal dalam kertas perkamen, kondisi
peralatan yang kurang bersih dan dalam memperhatikan perubahan warna kurang teliti.
Pada proses titrasi bebas air, penentuan kadar kafein dengan cara mentitrasi kafein
dengan menggunakan asam perklorat sebagi titran, dan kristal violet sebagai indikator.
Sebelum dilakukan titrasi, sampel dilarutkan terlebih dahulu dengan menggunakan asam
asetat anhidrat. Asam asetat anhidrat disini bertindak sebagai penyerap air pada sampel
dan juga air yang mungkin terbentuk dari hasil reaksi. Penambahan asam asetat anhidrat
ini sangat dibutuhkan karena bila terdapat air pada sampel dan lingkungannya akan
menggeser tingkat keasaman dari sampel, kemudian merubah titik ekuivalen, dan kadar
yang diperoleh akan bias dan tidak akurat.
Sampel dilarutkan kembali dengan menggunakan benzene yang merupakan
pelarut bersifat aprotik atau pelarut yang tidak terdisosiasi menjadi proton dan anion.
Sampel ditetesi dengan menggunakan indikator kristal violet. Penambahan indikator
dapat membantu dalam menentukan titik ekuivalen pada titrasi, penambahan indikator
yang berlebihan dapat mengganggu hasil titrasi karena warna yang terlalu kuat akan
mengakibatkan lama atau susahnya pergantian warna yang terjadi pada campuran. Oleh
karena itu pada penetapan kadar kafein dengan titrasi bebas air ini digunakan indikator
kristal violet hanya sebanyak 2 tetes, hingga terjadi perubahan warna ungu menjadi
warna hijau zamrud.

Sampel dititrasi dengan menggunakan asam perklorat sebagai titran. Asam


perklorat disini bersifat asam sehingga pada saat titrasi akan menetralkan kafein yang
bersifat basa lemah sehingga terjadi reaksi netralisasi.

Reaksi yang terjadi pada analisis kuantitatif dapat dilihat pada gambar berikut ini:

+ CH3COOH + + HClO4

Kafein telah
habis bereaksi

Warna Hijau Zamrud HClO4 + kristal violet


Gambar 1. Reaksi Analisis Kuantitatif

Hasil penetapan kadar kafein teh oolong dengan menggunakan ekstraksi refluk
yaitu pemanasan sampai titik didih dan pemanasan dihentikan 1 jam setelah mencapai
titik didih didapat kadar sebesar 1,060% sedangkan penelitian sejenis yang dilakukan
oleh Irawati (2017) dengan perbedaan metode ekstraksi yaitu dengan pemanasan sampai
titik didih saja menghasilkan kadar kafein sebesar 1,864% hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2008) yang menyatakan semakin banyak bubuk teh
yang digunakan dan semakin lama waktu penyeduhan akan meningkatkan kadar kafein.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Ulvin (2015) dengan hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar kafein tertinggi bukan pada waktu ekstraksi paling
lama namun pada waktu ekstraksi optimum, hasil tersebut juga didukung oleh penelitian
Rahayuningsih (2014) yang menunjukkan bahwa kadar kafein tertinggi bukan pada
waktu ekstraksi paling lama dan suhu paling tinggi hal ini disebabkan karena
penyeduhan yang terlalu lama dapat menyebabkan kafein teroksidasi, selain itu

54 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
karbondioksida diudara bebas juga dapat mempengaruhi kadar kafein dalam daun teh.
Berdasarkan penelitian Rahayuningsih (2014) tersebut diduga ekstrak kafein teh oolong
mengalami oksidasi dengan ditandai bertambah besarnya tutup karet botol ekstrak, hal
ini dikarenakan waktu antara ekstraksi dan penetapan kadar yang terlalu lama yaitu 1
minggu serta penggunaan tutup karet dalam penyimpanan ekstrak masih memungkinkan
adanya reaksi oksidasi pada ekstrak kafein. Berdasarkan Anonimc (2014) proses
dekafeinasi secara alami terjadi karena karbondioksida yang ada diudara,
karbondioksida ini mampu menghilangkan sebagian besar kafein yang terdapat dalam
daun teh.
Berdasarkan pemeriksaan kuantitatif yang dilakukan diperoleh kadar kafein dalam
teh oolong sebesar 1,060%. Setelah diuji normalitasnya menggunakan Kolmogorov
Smirnov didapatkan hasil bahwa data berdistribusi normal, hal ini dibuktikan dengan
hasil uji probabilitas pada SPSS yaitu lihat pada nilai Asymp. Sig. (2 tailed) nilainya
0,959 di mana > 0,05 yang artinya data berdistribusi normal. Dari data tersebut dapat
diketahui bahwa kadar kafein dalam sampel rendah, sesuai literatur kadar kafein dalam
teh sebesar 1,00 – 4,80% (Sianturi, 2001). Sehingga teh oolong aman dikonsumsi untuk
kesehatan namun metode ekstraksi kurang efektif karena tidak pada suhu dan waktu
optimum. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu :

1. Jarak waktu antara ekstraksi dan penetapan kadar terlalu lama yaitu 1 minggu
sehingga memungkinkan adanya oksidasi dan dekafeinasi kafein.
2. Kalium biftalat menempel pada kertas timbang sehingga berpengaruh pada
normalitas
3. Suhu dan waktu yang digunakan untuk ekstraksi kafein bukan suhu dan waktu
optimum.
4. Penyimpanannya masih memungkinkan dapat terjadinya oksidasi kafein.

Berdasarkan keterbatasan tersebut, diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat


memperbaiki keterbatasan yang peneliti temui, dengan cara:
1. Jarak waktu antara ekstraksi dan penetapan kadar tidak terlalu lama sehingga tidak
terjadi oksidasi dan dekafeinasi kafein.
2. Keakuratan dalam penimbangan dan penambahan kalium biftalat pada saat
pembakuan larutan HClO4.
3. Dilakukan pengukuran suhu dan waktu selama proses ekstraksi agar dapat diketahui
suhu dan waktu optimum ekstraksi kafein teh oolong.
4. Ekstrak kafein disimpan dalam wadah tertutup kedap untuk mencegah terjadinya
oksidasi dan dekafeinasi kafein.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Teh oolong positif mengandung kafein setelah dilakukan uji kualitatif terhadap
sampel, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya warna merah.

2. Teh oolong memiliki kadar kafein sebesar 1,060 % ± 0,288.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Halaman 254.

55 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)
Anonim. 2004. Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.

Anonimc. 2014. How Much Caffeine in Tea?. (http://www.choiceorganicteas.com/


caffeineintea.php). diakses pada 15 Juli 2018 pada pukul 20.25 WIB

Anonima. 2016. Kafeina. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kafeina.html). diakses pada 27


Desember 2017 pada pukul 11.12 WIB

Anonimb. 2016. Penentuan Kadar Kafein dengan TBA.


(https://id.scribd.com/pdf/112415967/Penentuan Kadar Kafein dengan TBA.html).
diakses pada 11 Januari 2018 pada pukul 19.00 WIB

Berghuis, N.T. 2015. Modul Praktikum Kimia Organik 1. Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Jati. Bandung.

Fitri, Syah N. 2008. Pengaruh Berat Dan Waktu Penyeduhan Terhadap Kadar Kafein
Dari Bubuk Teh. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan

Gandjar, G.H. dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.

Irawati, Dian. 2017. Penetapan Kadar Kafein Pada Teh Oolong (Camellia Sinensis)
Dengan Metode Titrasi Bebas Air. KTI. Stikes Muhammadiyah Klaten. Klaten.

Kovar, H, dan K.A, Auterhoff. 2002. Identifikasi Obat.Penerbit ITB. Bandung.

Kristanti, A. N. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Airlangga University Press. Surabaya.

Manan Hasrin dan Wahiduddin, R. 2012. Faktor yang Berhubungan dengan Risiko
Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto.
Universitas Hasanudin. Makasar.

Maramis, Realita K., Citraningtyas G. dan Wehantouw, Frenly. 2013. Analisis Kafein
dalam Kopi bubuk di Kota Manado menggunakan Spektrofotometri UV-Vis.
Progam Studi Farmasi Fakultas MIPA. UNSRAT. Manado.

Putri, D D dan Ulfin, Ita. 2015. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Kafein dalam Teh Hitam. Fakultas Matematika da Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember. Volume 4 Nomor 2.

Raharjo, A. 2010. Penetapan Kadar Kafein pada Kopi Instan secara Spektrofotometri.
Fakultas Farmasi, Universitas Setia Budi. Surakarta.

Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.


Yogyakarta. Halaman 167-177.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Syaipulloh. 2011. Statistik Teh Indonesia. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
Jakarta.

56 CERATA
Jurnal Ilmu Farmasi (Journal of Pharmacy Science)

Anda mungkin juga menyukai