Tugas Tutorial Ke 3
Tugas Tutorial Ke 3
Tugas Tutorial Ke 3
Skor
No Tugas Tutorial
Maksimal
Apa yang dimaksud dengan harga drajad tiga 50
merupkan diskrimanasi harga karena perbedaan
permintaan berdasarkan segmen pasar, dan Berikan
1 analisis pemahaman mengenai tujuan suatu
perusahaan melakukan diskriminasi harga derajat 3
dan berikan contohnya! Bantu dengan kurva
3. The Logic of Collective Action: Public Goods dan Theory of Groups adalah sebuah
buku karya Mancur Olson, Jr. yang diterbitkan pada tahun 1965. Buku itu
mengembangkan teori ilmu politik dan ekonomi tentang manfaat terkonsentrasi
versus biaya yang tersebar . Argumen utamanya adalah bahwa kepentingan
minoritas yang terkonsentrasi akan terwakili secara berlebihan dan kepentingan
mayoritas yang tersebar dikalahkan, karena masalah penunggang bebas yang lebih
kuat ketika sebuah kelompok menjadi lebih besar. Dia berteori bahwa berteori
bahwa yang mendorong orang untuk bertindak dalam kelompok adalah insentif;
Anggota kelompok besar tidak bertindak sesuai dengan kepentingan bersama kecuali
dimotivasi oleh keuntungan pribadi (ekonomi, sosial). Sementara kelompok kecil
dapat bertindak berdasarkan tujuan bersama, kelompok besar tidak akan bekerja
menuju tujuan bersama kecuali anggota individu mereka cukup termotivasi..
Berangkat dari teori theory of groups berikut komposisi agen dalam (defined) group
tersebut untuk menjelaskan, mengapa barang publik tersedia atau tidak tersedia.
Dalam buku tersebut, Olson sering mempertukarkan barang publik dengan barang
kolektif. Dimensi penting dalam penjelasan antara komposisi kelompok dan barang
publik, adalah apa yang di kemudian waktu dikenal sebagai perilaku penumpang
gelap, free-riding behavior.
Sebagai contoh: petani dan irigasi. Dalam contoh sederhana ini, untuk menjelaskan
komposisi grup, kita punya petani berlahan kecil, atau petani penggarap, juga petani
berlahan besar. Semuanya kita sebut sebagai agen dalam defined group bernama
petani. Lalu, apa barang publik yang hendak mereka sediakan? Misalnya pengadaan
irigasi. Mengapa disebut barang publik, karena sekali irigasi tersedia, siapapun bisa
menggunakannya, meski tidak ikut dalam penyediaan atau pengadaan atau
pemeliharaan irigasi tersebut. Ekonom punya penyebutan khas tentang hal ini,
yakni non-excludability, salah satu karakter penting (selain non-rivalry, atau
persaingan dalam konsumsi) untuk barang publik.
Penting untuk dicatat, asumsi perilaku dalam model Olsonian adalah setiap
produsen merupakan self-regarding subjects. Saat mengambil keputusan, satu-
satunya rujukan produsen dalam dunia Olsonian adalah keuntungan (payoff) bagi
dirinya.
Sebagai pembanding, dalam konteks penjelasan Patunru terdapat dua grup
berbeda:
1. konsumen beras
2. produsen beras.
Tidak seperti para petani dalam contoh irigasi di atas, kepentingan kedua kelompok
ini berbeda. Konsumen ingin impor, produsen tidak ingin beras impor.
Tidak terdapat common interest di antara para produsen, konsumen dan produsen
beras, dalam kelompok Patunru itu. Apa barang publik atau barang kolektif dari
kedua kelompok ini, tentu tidak ada. Dalam penjelasan Olsonian, (penyediaan)
beras seperti dalam kasus ini masuk kelompok barang non-kolektif. Dengan kata
lain, Patunru tidak bisa menggunakan model Olsonian untuk menjelaskan interaksi
antar agen seperti yang dia bayangkan dalam tulisannya.
Secara teoretik, kenapa persoalan tindakan kolektif menjadi penting. Sesungguhnya,
karena para angggota kelompok tidak bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama, yakni pengadaan barang publik. Lebih tepat lagi: karena agen (dianggap)
self-interested, tidak ada insentif untuk bekerja sama. Walaupun keuntungan
bersama lebih besar.
Padahal, bila bekerja sama, mereka bisa menyediakan barang publik. Keuntungan
bersama (social welfare) lebih besar dibanding manfaat orang per orang. Akan
halnya bila anggota kelompok tidak bekerjasama, barang publik tidak bakal tersedia.
Di sini, barang publik dilihat sebagai perlu. Dalam bahasa teknis ekonomi, bila tidak
bekerja sama, hasil yang dicapai adalah pareto inferior. Andaikata berlangsung kerja
sama antar anggota kelompok, hasilnya pareto superior, yakni barang publik
menjadi tersedia.
Jika dibandingkan dengan konsep Patunru, model Olson lebih tepat jika untuk
menganalisa kelompok konsumen beras. Misalnya, mengapa para konsumen beras
(sampai saat ini) tidak berhasil bekerjasama menuntut beras murah berkualitas,
atau membiarkan impor berlangsung. Pengadaan beras adalah barang publik dalam
contoh ini. Analisa tersebut dapat pula dipakai untuk melihat kelompok produsen.
Sebagai contoh, mengapa para produsen beras berhasil mengatasi persoalan
kerjasama dalam menggolkan kebijakan larangan impor. Tetapi model Olson tidak
untuk dipakai dalam interaksi konsumen vis-a-vis produsen ala Patunru, dua grup
yang punya kepentingan berbeda atas pengadaan beras.
Anggapan fondasi-mikro preferensi dari pelaku dalam model Olsonian berangkat
dari asumsi neo-klasik. Semua pelaku dianggap adalah self-interested agents. Dalam
kalimat sehari-hari, semua anggota masyarakat adalah egois.