0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
37 tayangan47 halaman

LP Hipertensi

Laporan ini membahas konsep dasar lanjut usia dan hipertensi. Lansia didefinisikan sebagai orang berusia 60 tahun ke atas dengan perubahan fisik dan peran sosial. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di atas 140/90 mmHg yang berisiko menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi pada lansia dipengaruhi oleh penurunan elastisitas pembuluh darah dan fungsi jantung.

Diunggah oleh

Viina
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
37 tayangan47 halaman

LP Hipertensi

Laporan ini membahas konsep dasar lanjut usia dan hipertensi. Lansia didefinisikan sebagai orang berusia 60 tahun ke atas dengan perubahan fisik dan peran sosial. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di atas 140/90 mmHg yang berisiko menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi pada lansia dipengaruhi oleh penurunan elastisitas pembuluh darah dan fungsi jantung.

Diunggah oleh

Viina
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 47

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN HIPERTENSI

Oleh:

NAMA : KOMANG VINAYANI


NIM : 20089142155

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG


PROGRAM PROFESI NERS
2021
A. Konsep Dasar Lanjut Usia (Lansia)

1. Definisi lanjut usia (lansia)

Menurut Reimer et al (1999); Stanley and Beare (2007 dalam Azizah 2011),

mendefinisikan lansia berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang menganggap

bahwa orang telah tua jika menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit

dan hilangnya gigi.

Glascock dan Feinman (1981); Stanley and Beare (2007 dalam Azizah 2011),

menganalisis kriteria lanjut usia dari 57 negara di dunia dan menemukan bahwa kriteria

lansia yang paling umum adalah gabungan antara usia kronologis dengan perubahan

dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan status fungsional seseorang.

Proses menua merupakan suatu hal yang fisiologis, yang akan dialami oleh setiap

orang. Batasan orang dikatakan lanjut usia berdasarkan UU No 13 tahun 1998 adalah 60

tahun.

Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa lansia adalah gabungan antara

usia kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan status

fungsional seseorang, serta ditandai ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit dan

hilangnya gigi.

2. Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut menurut Depkes RI (2015)

a. Usia lanjut presenilis yaitu abtara usian45-59 tahun

b. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas


c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan

masalah kesehatan.

3. Karakteristik Lansia

Menurut Budi Anna Keliat (1999). Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut.

a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang

Kesehatan).

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari

kebutuhan biopsikososial sampe spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi

maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang berfariasiProses Penuaan Pada Lansia.

4. Perubahan Sistem Kardiovaskuler Pada Lansia Dan Implikasi Klinik

a. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular

Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun

fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsursering terjadi ditandai dengan

penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang

teroksigenasi.

Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidak ada perubahan,

namun detak jantung maksimum yang dicapai selama latihan berat berkurang. Pada

dewasa muda, kecepatan jantung dibawah tekanan yaitu,180-200 x/menitkecepatan

jantung pada usiam70-75 tahun menjadi 140-160 x/menit.

1) Perubahan Struktur

Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan

terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan


merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi

kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.

Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung,

yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan amiloid,

degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh

darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran

jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.

Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem

kardiovaskular akibat proses menua :

(a) Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan

hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah

ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunan kekuatan kontraktil.

(b) Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his kehilangan

serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel. Implikasi dari hal ini

adalah terjadinya disritmia.

(c) Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan

serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi

dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon

terhadap panas dan dingin.

(d) Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena

menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna sehingga

mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan

penumpukan darah.
B. Konsep Dasar Hipertensi

1. Pengertian

Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140

mmHg atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko

tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit

saraf, ginjal dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya

(NANDA,2015). Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Hipertensi primer (esensial)

Disebut juga hipertensi idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Faktor

yang mempengaruhinya yaitu :genetik, lingkungan, hiperaktifitas saraf simpatis

sistem renin. Angiotensin dan peningkatan Na + Ca intraseluler. Faktor-faktor

yang meningkatkan resiko : obesitas, merokok, alkohol dan polisitemia.

b. Hipertensi sekunder

Penyebabnya yaitu penggunaan estrogen, penyakit ginjal, sindrom chusing dan

hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.

Menurut NANDA 2015, Hipertensi pada usia lanjut dibedakan menjadi :

a. Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan

atau tekanan diastolik sama atau lebi besar dari 90 mmHg

b. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160

mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

Penyebab hipertensi ada pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya

perubahan-perubahan pada :

a. Elastisitas dinding aorta menurun


b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku

c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah

berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya

d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya

efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi

e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Tanda dan gejala di atas dipengaruhi oleh perkalian antara Cardiac Output

(CO) dengan tahanan perifer yang menyebabkan tekanan darah meningkat.

Klasifikasi Hipertensi menurut WHO

Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)


Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Tingkat 1 (hipertensi 140-159 90-99
ringan)
Sub grup : perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (hipertensi 160-179 100-109
sedang)
Tingkat 3 (hipertensi ≥ 180 ≥ 110
berat)
Hipertensi sistol ≥ 140 < 90
terisolasi
Sub grup : perbatasan 140-149 < 90
Tabel 1.1 klasifikasi hipertensi
Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7

Kategori Sistol Dan/atau Diastole (mmHg)


(mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Tabel 1.2 klasifikasi hipertensi

Klasifikasi Hipertensi Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori Sistol (mmHg) Dan/atau Diastole


(mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Hipertensi sistol ≥ 140 Dan < 90
terisolasi
Tabel 1.3 klasifikasi hipertensi
Pathway Hipertensi

HIPERTENSI

Vasokonstriksi jantung Suplai O2 ke miokardium menurun


pembuluh darah
11
Vasokontriksi pembuluh Penyumbatan Retensi
darah ke otak Pembuluh Ventrikel Kiri
Hipertropi
Ventrikel Progresif
↓ Aliran darah ke Beban Kerja Jantung
otak Meningkat
Angina Pectoris Gangguan
Mikroinfark di
↓ Suplai O2 ke Jaringan Hipertropi
Nyeri Dada otak Kompensasi -
Obstruksi Dilatasi
↓ Metabolisme Pembuluh Darah
Anerob Otak Gagal Jantung
Gangguan Perfusi
Jaringan Cerebral
Penumpukan asam Curah Jantung
laktat Menurun

Nyeri kepala
Nyeri Akut

Penurunan curah Suplai O2 Menurun


jantung
Kelemahan / Kelelahan

Intoleransi Aktivitas

12
Etiologi Hipertensi

Penyakit Perubahan
Genetik Gaya Hidup
Ginjal Gerontologis

Kelainan Arteriosklerosis
Adrenalin Umur (Lansia)
Transport
Meningkat
Na+

Terjadi Degeneratif
Pelepasan Penyumbatan Arteri
Retensi Na+
Renin
Kekauan Pembuluh
Darah
TD Jantung Memompa
Produksi Darah Melewati
Meningkat
Urine Jalan yang Sempit Resistensi Perifer
Menurun
Meningkat

TD Meningkat

HIPERTENSI
2. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :

a. Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan

tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini

berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak

terukur

b. Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri

kepala dan kelelahan. Dalam kenyataanya ini merupakan gejala terlazim yang

mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis Beberapa pasien

yang menderita hipertensi yaitu :

1) Mengeluh sakit kepala, pusing

2) Lemas, kelelahan

3) Sesak nafas

4) Gelisah

5) Mual

6) Muntah

7) Epistaksis

8) Kesadaran menurun

3. Pemeriksaan diagnostic

a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan

(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti hipokoagulabilitas

dan anemia

2) BUN/kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal

3) Glukosa : hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan

oleh pengeluaran kadar ketokolamin

4) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan ada DM

5) CT Scan : mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati

6) EKG : dapat menunjukkan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang

P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi

7) IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : batu ginjal, perbaikan

ginjal

8) Photo dada : menunjukkan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran

jantung

4. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis atau penanganan yang tepat bagi penderita hipertensi sebagai

berikut:

a. Terapi

Terapi Non Farmakologis

Pencegahan dan manajemen hipertensi lebih utama ditekankan pada perubahan gaya

hidup dan pengaturan diet.

1) Diet
Diet untuk hipertensi membatasi konsumsi garam, makanan asin, meningkatkan

konsumsi sayuran dan buah sebagai sumber utama kalium. Diet yang banyak

mengonsumsi buah-buahan, sayuran, dan rendah lemak serta rendah lemak jenuh

(diet DASH) dapat menurunkan tekanan darah. Selain itu, terapi tambahan yang perlu

dilakukan untuk mencegah atau mengurangi hipertensi, yaitu:

(a) Kurangi berat badan jika berlebih

(b) Batasi asupan alkohol, etanol tidak lebih dari 1 oz (30 ml), bir (missal 24

oz (720 ml), anggur 10 oz (300 ml) atau wiski 2 oz (60 ml) tiap hari atau

0,5 oz (15 ml) etanol tiap hari untuk wanita dan orang dengan berat badan

yang lebih ringan

(c) Tingkatkan aktivitas fisik aerobic (30-45 menit hampir tiap hari dalam

satu minggu)

(d) Kurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol/hari (2,4 gram natrium

atau 6 gram natrium klorida)

(e) Pertahankan asupan kalium yang adekuat dalam diet (kira-kira 90

mmol/hari)

(f) Pertahankan intake kalsium dan magnesium yang adekuat dalam diet

untuk kesehatan secara umum

(g) Berhenti merokok dan kurangi asupan lemak jenuh dalam diet dan

kolesterol untuk kesehatan kardiovaskuler secara keseluruhan.


Berikut merupakan beberapa contoh makanan yang diperbolehkan dan

dihindarkan untuk dikonsumsi diantaranya:

Sumber Bahan Makanan yang Makanan yang Harus

Makanan Diperbolehkan Dihindarkan


Protein nabati Tahu, tempe, kacang Keju, kacang tanah,
hijau, kacang kedelai, kacang asin, tauco,
kacang tolo, kacang tahu asin
tanah, kacang kapri, dan
kacang lain yang segar
Lemak Santan encer, minyak Salad dressing,
mentega tanpa garam mentega margarine,
lemak hewan
Sayuran Semua sayuran segar Sayuran yang
diawetkan: sawi asin,
acar, asinan, sayuran
dalam kaleng
Buah-buahan Semua buah-buahan Buah yang diawetkan
segar menggunakan zat
pengawet: buah
kering, buah kaleng
Bumbu Semua bumbu dapur Garam dapur, MSG,
kecap, saus tomat
botol, saus cabai,
pengempuk daging,
maggi, terasi, soda
kue, petis, saus tiram
Minuman Teh, kopi encer Cokelat, cafein,
alcohol
contoh makanan yang diperbolehkan dan dihindarkan
b. Olahraga

Selain mengatur pola makan atau diet, dianjurkan pula untuk olah raga secara teratur

dan mengontrol tekanan darah, dan juga berhenti merokok untuk mencegah

kemungkinan komplikasi.

c. Terapi Obat
Tujuan pengobatan adalah memperkecil kerusakan organ target akibat tekanan darah

dan menghindari pengaruh buruk akibat pengobatan. Untuk yang menjalani terapi

obat ini juga memiliki criteria tertentu, yakni:

Tabel 2.5 Terapi Obat

Derajat tekanan Kelompok risiko Kelompok risiko Kelompok

darah (mmHg) A (tidak ada B (Paling sedikit risiko C

faktor risiko; 1 faktor risiko, (TOD/CCD

tidak ada tidak termasuk dan/atau

TOD/CCD) diabetes; tidak diabetes

ada TOD/CCD) dengan atau

tanpa faktor

risiko lainnya

Normal tinggi Modifikasi gaya Modifikasi gaya Terapi obat

(130-139/85-89) hidup hidup

Derajat 1 (140- Modifikasi gaya Modifikasi gaya Terapi obat

159/80-99) hidup (sampai hidup (sampai 6

dengan 12 bulan)
Derajat 2 dan 3 bulan) Terapi obat Terapi obat

(≥160/≥100) Terapi obat

Keterangan: TOD/CCD (Target Organ Damage/Clinical Cardiovascular Disease)

menunjukkan adanya kerusakan organ target atau penyakit kardiovaskuler klinis.

Jenis anti hipertensi tersebut yaitu:

d. Diuretik

Menurunkan tekanan darah pada awalnya dengan cara menurunkan volume plasma

(dengan menekan reabsorpsi natrium oleh tubulus ginjal sehingga meningkatkan

ekskresi natrium dan air) dan curah jantung, tetapi selama terapi kronis pengaruh

hemodinamik yang utama adalah mengurangi resistensi vaskuler perifer. Contoh

obat pada golongan ini adalah hidroklortiazid, klortalidon, metolazon, furosemid,

dsb.

e. Agen Penghambat Beta Adrenergik

Obat ini efektif karena menurunkan denyut jantung dan curah jantung, kemudian

juga menurunkan pelepasan rennin dan lebih manjur pada populasi dengan aktivitas

rennin plasma yang meningkat seperti orang kulit putih yang berusia lebih muda.

Efek sampingnya antara lain: mencetuskan atau memperburuk gagal ventrikel kiri,

kongesti nasal, dapat terjadi kelemahan, letargi, impotensi, dsb. Beberapa obat

dalam golongan ini adalah: acebutolol, atenolol, betaksolol, labetalol, dll.

f. Penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme)

Banyak digunakan sebagai pengobatan awal hipertensi ringan hingga sedang. Aksi

kerja utamanya dengan menghambat system rennin-angiotensin-aldosteron, tetapi

juga menghambat degradasi bradikinin, menstimulasi sintesis prostaglandin dan

kadang mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Keuntungan ACE adalah


relative bebas dari efek samping yang menggangu. Contoh obat golongan ini yaitu:

benazepril, kaptopril, enalpril, fosinopril, lisinopril, dll.

g. Agen Penghambat Reseptor Angiotensin II


Jenis ini sebaiknya hanya digunakan terutama pada pasien yang mengalami batuk

jika menggunaan penghambat ACE. Contoh obat pada golongan ini adalah:

eprosartan, irbesartan, losartan, valsartan, dll.

h. Agen Penghambat saluran Kalsium

Obat ini beraksi dengan cara menyebabkan vasodilatasi perifer, yang berkaitan

dengan refleks takikardi yang kurang begitu nyata dan retensi cairan daripada

vasodilator yang lain. Efek samping yang paling biasa yakni nyeri kepala, edema

perifer, bradikardi dan konstipasi, dsb. obat yang tergolong dalam golongan ini

diantaranya: amlodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, dll.

i. Antagonis Adrenoseptor Alfa

Parazosin, terazosin dan doksazosin memblok reseptor alfa pasca sinaptik,

membuat rileks otot polos dan menurunkan tekanan darah dengan menurunkan

resistensi vaskuler perifer. Efek samping utama adalah hipertensi yang nyata dan

sinkop setelah dosis pertama, yang oleh sebab itu sebaiknya diberikan dosis kecil

dan diberikan pada saat akan tidur.

j. Obat-obat dengan Aksi Simpatolitik Sentral

Metildopa, klonidin, gunabenz, dan guanfacine menurunkan tekanan darah dengan

cara menstimulasi reseptor alfa adrenergic pada sistem saraf pusat, sehingga

mengurangi aliran keluar simpatetik perifer eferen. Hal yang perlu diperhatikan

yaitu hipertensi kembali terjadi setelah penghentian pemberian obat dan beberapa

efek samping lainnya.


k. Dilator Arteliolar

Hidralazin dan minoksidil menyebabkan rileks otot polos vaskuler dan menyebabkan

vasodilatasi perifer. Hidralazin menyebabkan gangguan gastrointestinal dan dapat

menginduksi sindroma menyerupai lupus. Minoksidil menyebabkan hirsutisme dan

retensi cairan yang nyata; agen ini diberikan pada pasien yang refrakter.

l. Penghambat Simpatetik Perifer

Reserpin merupakan agen hipertensi yang hemat biaya. Oleh karena efek samping

obat ini yang dapat menginduksi depresi mental dan efek samping lainnya seperti

sedasi, hidung tersumbat, gangguan tidur, dan ulkus peptikum, menyebabkan obat ini

tidak popular digunakan, meskipun masalah ini tidak biasa terjadi pada dosis yang

rendah.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penderita Hipertensi

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam peruses keperawatan. Untuk itu,

di perlukan kecermatan dan ketelitian dalam menangani masalah klien sehingga dapat

memberi arah terhadap tindakan keperawatan.

a. Anamnesis.

Anamnesis di lakukan untuk mengetahui:

1) Identitas meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang di

gunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,

nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan giagnosis medis.

2) Aktifitas/ istirahat

Gejala : Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton

Tanda : Frekwensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea


3) Sirkulasi

Gejala : Riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner aterosklerosis.

Tanda : Kenaikan tekanan darah, tachycardi, disrythmia, denyutan nadi jelas,

bunyi jantung murmur, distensi vena jugularis

4) Integritas Ego

Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah,

faktor stress multiple (hubungan, keuangan, pekerjaan)

Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan

yang meledak, otot muka tegang (khususnya sekitar mata), peningkatan pola

bicara

5) Eliminasi

Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat

penyakit ginjal ), obstruksi.

6) Makanan/ cairan

Gejala : Makanan yang disukai (tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol),

mual, muntah, perubahan berat badan (naik/ turun), riwayat penggunaan diuretic.

Tanda : Berat badan normal atau obesitas, adanya oedem.

7) Neurosensori

Gejala : Keluhan pusing berdenyut, sakit kepala sub oksipital, gangguan

penglihatan.

Tanda : Status mental: orientasi, isi bicara, proses berpikir,memori, perubahan

retina optik. Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman tangan.

8) Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, nyeri abdomen/ masssa.

9) Pernafasan

Gejala : Dyspnea yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja, tacyhpnea, batuk dengan/

tanpa sputum, riwayat merokok.

Tanda : Bunyi nafas tambahan, cyanosis, distress respirasi/ penggunaan alat bantu

pernafasan.

10) Keamanan

Gejala : Gangguan koordinasi, cara brejalan.

b. Pemeriksaan Diagnostik

1) Hb: untuk mengkaji anemia, jumlah sel-sel terhadap volume cairan (viskositas).
2) BUN: memberi informasi tentang fungsi ginjal.
3) Glukosa: mengkaji hiperglikemi yang dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar
katekolamin (meningkatkan hipertensi).
4) Kalsium serum

5) Kalium serum

6) Kolesterol dan trygliserid

7) Urin analisa

8) Foto dada

9) CT Scan

10) EKG

2. Kemungkinan Diagosa Keperawatan

a. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b/d peningkatan tekanan vaskuler

serebral.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi

inadekuat
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan

antara suplai dan kebutuhan O2.

d. Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak efektif,

harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistic.

e. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangnya

keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

f. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh

darah.
g. Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang,

motorik atau persepsi.

3. Intervensi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vaskuler

serebral Tujuan : Menghilangkan rasa nyeri

Kriteria hasil :

1) Melaporkan ketidanyamanan hilang atau terkontrol.

2) Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.

Intervensi :

1) Pertahankan tirah baring selama fase akut.

R/ Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.

2) Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya

kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.

R/ Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral, efektif dalam

menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.

3) Hilangkan/minimalkan aktifitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit

kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.

R/ Aktifitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala pada

adanya peningkatan vaskuler serebral.

4) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.

R/ Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang

memperberat kondisi klien.


5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas,

diazepam dll.

R/ Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis.

b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake

nutrisi inadekuat

Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria Hasil :

1) Klien menunjukkan peningkatan berat badan

2) Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan

ideal Intervensi

1) Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai

indikasi.

R/ Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya aterosklerosis, kelebihan

masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak

ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.

2) Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.

R/ Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir..

3) Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan

dan dimana makan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan

dimakan.

R/ Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi

emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana

pasien telah/dapat mengontrol perubahan.


4) Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan

kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol

(daging berlemak, kuning telur, produk kalengan,jeroan).

R/ Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam

mencegah perkembangan aterogenesis.

5) Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.

R/ Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet

individual.

c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan O2.

Tujuan : tidak terjadi intoleransi aktivitas

Kriteria Hasil :

1) Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan

2) Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.

Intervensi

1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter :

frekwensi nadi 20 x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD,

dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing atau

pingsan.

R/ Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan

indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.


2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan

kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada

aktivitas dan perawatan diri.

R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas

individual.

3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.

R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan

jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan

tiba-tiba pada kerja jantung.

4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi,

menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.

R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga

membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.

R/ Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah

kelemahan.

d. Inefektif koping individu b.d mekanisme koping tidak efektif, harapan yang tidak

terpenuhi, persepsi tidak realistik.

Tujuan : klien menunjukkan tidak ada tanda-tanda inefektif koping

Kriteria Hasil :

1) Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya

2) menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi


3) mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langkah untuk

menghindari dan mengubahnya.

Intervensi

1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, Misalnya :

kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam

rencana pengobatan.

R/ Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang, mengatasi

hipertensi kronik dan mengintegrasikan terapi yang diharuskan kedalam

kehidupan sehari-hari.

2) Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka

rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak mampuan untuk

mengatasi/menyelesaikan masalah.

R/ Manifestasi mekanisme koping maladaptif mungkin merupakan indicator

marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic.

3) Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi

untuk mengatasinya.

R/ Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respon

seseorang terhadap stressor.

4) Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan partisipasi

maksimum dalam rencana pengobatan.

R/ Keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan.

Memperbaiki keterampilan koping, dan dapat menigkatkan kerjasama dalam

regiment teraupetik.
5) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup

yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan ketimbang membatalkan tujuan diri /

keluarga.

R/ Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk menghindari

rasa tidak menentu dan tidak berdaya.

e. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangnya

informasi mengenai penyakitnya.

Tujuan : Klien menunjukkan peningkatan pengetahuan mengenai penyakitnya

Kriteria hasil :

1) Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment pengobatan.

2) Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu

diperhatikan. Mempertahankan TD dalam parameter normal.

Intervensi

1) Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala,

pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut.

R/ Mengidentifikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan

mempermudah dalam menentukan intervensi.

2) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardivaskuler yang dapat

diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan kolesterol, pola hidup

monoton, merokok, pola hidup penuh stress dan minum alcohol (lebih dari 60

cc/hari dengan teratur).

R/ Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang

hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta ginjal.


3) Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.

R/ Kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang

sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien/orang terdekat untuk

mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima realitas

bahwa membutuhkan pengobatan kontinyu, maka perubahan perilaku tidak akan

dipertahankan.

4) Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi (pengertian,penyebab,tanda

dan gejala,pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut) melalui penkes.

R/ Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang proses penyakit

hipertensi.

f. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh

darah.

Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah

jantung Kriteria Hasil :

1) Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban kerja

jantung

2) Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima.

3) Memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien.

Intervensi

1) Observasi tekanan darah

R/ Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap

tentang keterlibatan vaskuler.

2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer


R/ Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat

palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari

vasokontriksi dan kongesti vena.

3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.

R/ S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi

atrium, perkembangan S3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi,

adanya krakels, mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap

terjadinya atau gagal jantung kronik.

4) Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.

R/ Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat

mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung.

5) Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan

ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.

R/ Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi.

6) Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.

R/ Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek

tenang, sehingga akan menurunkan tekanan darah.

7) Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik.

R/ Menurunkan tekanan darah.

g. Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang,

motorik atau persepsi.

Tujuan : Tidak terjadi cidera

Kriteria hasil:
1) Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko terhadap cedera.

2) Memperagakan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.

3) Meminta bantuan bila diperlukan.

Intervensi:

1) Lakukan tindakan untuk mengurangi bahaya lingkungan.

R/ Membantu menurunkan cedera.

2) Bila penurunan sensitifitas taktil menjadi masalah ajarkan klien untuk melakukan:

(a) Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum digunakan.

(b) Kaji ekstremitas setiap hari terhadap cedera yang tak terdeteksi.

(c) Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit dilemaskan dengan lotion

emoltion.

R/ Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi klien terhadap

suhu.

3) Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko yang berkenaan dengan pengunaan

alat bantu.

R/ Penggunaan alat bantu yang tidak tepat atau tidak pas dapat meyebabkan

regangan atau jatuh.

4) Anjurkan klien dan keluarga untuk memaksimalkan keamanan di rumah.

R/ Keamanan yang baik meminimalkan terjadinya cidera

4. Evaluasi

a. Apakah rasa nyeri pasien / sakit kepala berkurang ?

b. Apakah pasien sudah bisa beraktifitas sendiri / mandiri ?


c. Apakah pola nutrisi pasien seimbang atau normal ?

D. Konsep Kebutuhan Rasa Nyaman (Bebas Nyeri)

1. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak meneyenagkan bersifat sangat

subjektif karena perasaan nyeri beerbeda pada stiap orang dalam hal sekala atau

tingkatanya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa

nyeri yang dialaminya. Berikut adalah pendapat beberapa ahli mengenai pengertian nyeri:

a) Mc. Coffery, mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang yang keberadaanya di ketahui hanya jika seseorang tersebut pernah

mengalaminya.

b) Wolf Waisfel Feurst, mengatakan nyeri merupaksn suatu perasaan menderita secara

fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan.

c) Arthur C, Curton, mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme produksi

bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang di rusak, dan menyebabkan individu

tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.

d) Serumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat

terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan di

ikuti oleh reaksi fisik, fisiologi, dan emosional.


2. Fisiologi Nyeri

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor

nyeri yang di maksud adalah noociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas

yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan

mukosa, khususnya pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding

arteri, hati, dan kandung empedu,. Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat

adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti

histamin, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang di lepas apabila

terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain dapat

berupa termal, listrik, atau mekanis.

Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut di transmisikan beruma

impuls-impuls nyeri ke sumsung tulang belakang oleh dua jenis tersebut yang bermielin

rapat atau serabut A (delta) atau serabut lamban (serabut C). Impuls-impuls yang di

transmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat unhibitor yang di transmisikan ke

serabut C, serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta

sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn terdiri atas beberapa lapisan atau laminase yang

saling bertautan. Di antar lapisan dua da tiga terbentuk subtantia gelatinosa yang

merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyebrangi sumsum tulang

belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama,

yaitu jalur spinochalamictract (STT) atau jalur spinochalamus dan spinoreticular tract

(SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi

tersebut terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalut

nonopiate. Jalur opiate di tandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur
spinal desendens dan thalamus yang melalui otak tengah dan medula ke tanduk dorsal

dari sumsung tulang belakang yang berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif.

Serontonin merupakan neurotransmiter dalam impuls supresif. Sistem supresif lebih

mengaktifkal stimulasi nociceptor yang di transmisikan oleh serabut A. Jalur nonopiate

merupakan jalur desenden yang tidak memberikan respons terhadap noloxone yang

kurang banyak diketahui mekasinismenya (Barbara C.Long)

3. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi memjadi dua, nyeri akut dan nyeri kronis, nyeri

akut merupakan nyeri yang timbul secara medadak dan cepat menghilang, yang tidak

melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis merupakan

nyeri yang timbuls secara berlahan lahan, biasanya berlangsung cukup lama, yaitu lebih

dari 6 bulan. Yang termaksud dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom

nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi ke

dalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.

Tabel 2.6 Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis


Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, stus
eksistensi
Sumber Sebab eksternal atau Tidak diketahui
penyakit dari dalam atau pengobatan
yang terlalu lama
Serangan Mendadak Bisa mendadak,
berkembang, dan
terselubung
Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan
sampai bertahun-
tahun
Pernyataan nyeri Daerah nyeri tidak Daerah nyeri sulit
diketahui dengan pasti dibedakan
intensitasnya,
sehingga sulit
dievaluasi
(perubahan
perasaan)

Gejala-gejala klinis Pola rspons yang khas Pola respons yang


dengan gejala yang berfariasi dengan
lebih jelas sedikt gejala
(beradaptasi)
Pola Terbatas Berlangsung trus,
dapat berfariasi
Perjalanan Biasanya berkurang Penderita
setelah beberapa saat meningkat setelah
beberapa saat

Selai klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis nyeri yang spesifik, di antaranya nyeri

somatis, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent pait), nyeri psikogenik, phantom dari

ekstremitas, nyeri neurologis, dan lain-lain

Nyeri somatis dan nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit dan jari di bawah

kulit (superfisial) pada otot dan tulang. Perbedaana antara kedua nyeri ini dapat dilihat

pada tabel berikut:


Tabel 2.7: Perbedaan Nyeri Somatis dan Nyeri Viseral

Karakteristik Nyeri Somatis Nyeri viseral


Superfisial Dalam
Kualitas Tajam, mensuk, Tajam, tumpul, Tajam,
membakar nyeri trus tumpul, nyeri
terus, kejang
Menjalar Tidak Tidak Ya
Stimulasi Torehan, abrasi Torehan, panas, Distensi,
terlalu panas iskemia iskemia,
dan dingin pergeseran spasmus/
tempat iritasi
kimiyawi(tida
k ada torehan)
Reaksi otonom Tidak Ya Ya
Reaksi kontraksi Tidak Ya Ya
Otot

4. Stimulasi Nyeri

Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau mengenali jumlah

stimulasi nyeri sebelum merasakan nyeri.

Terdapat beberapa stimulasi nyeri, di antaranya:

a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya kerusakan

jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.

b. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekanan

pada reseptor nyeri.

c. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.

d. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteria koronaria yang

menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat


e. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

5. Teori Nyeri

Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, di antaranya:

a. Teori Pemisahan (Specificity theory)

Rangsangan sakit masuk ke medula spinalis melalui kornul dorsalis yang

bersinaps di daerah posterior, kemudia naik ke tractus lissur dan menyilang ke garis

median ke sisi lainya, dan berakhir di korteks sensori tempat rangsangan nyeri

tersebut di teruskan.

b. Teori Pola (Pattern Theory)

Rangsangaan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medula spinalis dan

merangsang aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke

bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi

dan otot erkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh

modalitas respons dari reakti sel T.

c. Teori Pengendalian Gerbang ( Gate Control Theory)

Nyeri tergantung dari kerja syarafbesar dan kecil yang keduanya berada pada akar

ganglion dorsalis. Rangsangan pada saraf-saraf besar akan menigkatkan aktivitas

substansia ganglion yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingg

aktifitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat.

Rangsangan saraf besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini

akan di kembalikan ke dalam medula spinalis melalui saraf efeen dan reaksinya akan

mempengaruhi aktifitas sel T. Ragsangan pada serat kecil akan menghambat aktifitas
substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehinga merangsang aktifitas

sel T yang selanjutnya akan meghantarkan rangsangan nyeri.

d. Teori Transmisi dan Inhibisi

Adanya stimulasi pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls saraf,

sehigga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmiter yang spesifik.

Kemudian, inhibisi imouls nyeri menjadi efektif oeh impuls-impuls pada serabut

serabut besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate

sistem supresif.

6. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Pengalaman nyeri pada seseorang dapat di pengaruhi pleh beberapa hal, di antaranya

adalah:

a. Arti Nyeri.

Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti

nyeri mrupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak, dan lain-lain.

Keadaan ini di pengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, larat

belakang busaya, lingkungan, dan pengalaman.

b. Persepsi Nyeri

Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif tempatnya pada korteks

pada fungsi evaluatif kognitif. Persepsi ini di pengaruhi oleh faktor yang dapat

memicu stimulasi nociceptor

c. Toleransi Nyeri

Toleransi ini erat hubunganya dengan intensitas nyeri yang dapat memengaruhi

kemampuan sesorang menahan nyeri. Faktor yang dapat memengaruhi peningkatan


toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan atau garukan,

pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang

menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang

tidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.

7. Penatalaksanaan Nyeri

Penelitian tentang kompres panas untuk mengurangi nyeri sudah pernah dilakukan.

Handoyo (2008) membuktikan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri antara sebelum

dan sesudah terapi kompres panas pada pasien pasca bedah sesar dengan spinal anestesi.

Sementara itu, Wahyuni dan Nurhidayat(2008) juga membuktikan bahwa terdapat

penurunan tingkat nyeri flebitis akibat pemasangan infuse intravena setelah diberikan

terapi kompres panas.

Tindakan kompres hangat dapat digunakan untuk mengurangi maupun meredakan

rangsang pada ujung saraf atau memblokir arah berjalanya impuls nyeri menuju ke otak.

Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal kehipotalamus

melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di

hipotalamus dirangsang, system efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat

dan vasodilitasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor

pada medulla oblongata dari tangkai otak, di bawah pengaruh hipotalamus bagian

anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Vasodilitasiini menyebabkan aliran darah sehingga

suplai oksigen ke jaringan lancar dan metabolisme jaringan meningkat. Jaringan

khususnya yang mengalami radang dan nyeri diharapkan akan terjadi penurunan nyeri

sendi pada jaringan yang meradang (Tamsuri, 2007). Teori gate control mengatakan

bahwa stimulasi kutaneus: kompres hangat dan kompres dingin bahwa cara ini
menyebabkan pelepasan endorfin suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh

memblok transmisi stimulus nyeri, neuromodulator ini menutup menakanisme

pertahanan dengan menghambat pelepasan sustansi P, mengaktifkan serabut saraf sensori

A-beta yang lebih besar dan lebih cepat proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui

serabut C dan delta –A berdiameter kecil, gerbang sinap menutup transmisi nyeri (Potter,

2005).

Menurut Price(1995), kompres hangat sebagai metode yang sangat efektif untuk

mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan melaui konduksi (botol air

panas).Panas dapat melebarkan pembuluh darah dan dapat meningkatkan aliran darah.

a. Prosedur tindakan Kompres Hangat

1) Persiapan alat dan bahan menurut (An, 2010) adalah sebagai berikut:

a) Alat

(1) Handscoen

(2) Baskom kecil

(3) Handuk kecil

b) Bahan

(1) Air secukupnya

c) Cara kerja

Untruk pelaksanaan kompres hangat dapat mengikuti langkah-langkah

sebagai berikut:

(1) Infrm consent

(2) Siapkan wadah dan isi dengan air hangat suhu 40-50 secukupnya
(3) Masukan handuk kecil kedalam air hangat tersebut kemudian tunggu

beberapa saat sebelum handuk diperas

(4) Peraskan handuk kemudian tempelkan ke daerah sendi yang terasa nyeri

klien

(5) Pengompresan dilakukan selama 20 menit

(6) Setelah selesai bereskan semua peralatan yang telah dipakai.

Sebaiknya kompres hangat hangat dilakukan dua kali sehari pagi dan sore

agar mendapatkan hasil yang optimal(An,2010).

E. Asuhan Keperawatan dalam Kebutuhan Rasa Nyaman (Nyeri)

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian pada masalah nyeri (gangguan rasa nyaman) yang dapat dilakukan adalah

adanya riwayat nyeri; keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan

waktu serangan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST :

a. P (pemacu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.

b. Q (quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.

c. R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri.

d. S (severity) adalah keparahan atau intensitas nyeri.

e. T (time) adalah lama / waktu serangan atau frekuensi nyeri.


Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri

berikut :

SKALA NYERI

Tidak Nyeri Sedikit Nyeri Sedang Parah /


Berat

Tidak Nyeri Ringan Sedang Parah Separah-


parahnya
0 : Tidak nyeri 0 : Tidak nyeri 0 : Tidak nyeri
1 : Nyeri ringan 1 : Nyeri ringan 1 : Sedikit nyeri
2 : Tidak nyaman 2 : Nyeri sedang 2 : Nyeri sedang
3 : Mengganggu 3 : Nyeri parah 3 : Nyeri parah
4 : Sangat mengganggu 4 : Nyeri sangat parah

2. Diagnosa Keperawatan

Terdapat beberapa diagnosis yang berhubugan dengan masalah nyeri, diantaranya :

a. Nyeri akut akibat fraktur panggul

b. Nyeri kronis akibat arthritis

c. Gangguan mobilitas akibat nyeri pada ekstremitas

d. Kurangnya perawatan diri akibat ketidakmampuan menggerakkan tangan yang

disebabkan oleh nyeri persendian

e. Cemas akibat ancaman peningkatan nyeri

3. Perencanaan Keperawatan

a. Mengurangi dan membatasi faktor-faktor yang menambah nyeri.

b. Menggunakan berbagai teknik noninvasif untuk memodifikasi nyeri yang dialami.

c. Menggunakan cara-cara untuk mengurangi nyeri yang optimal, seperti memberikan

analgesik sesuai dengan program yang ditentukan.


4. Pelaksanaan (Tindakan) Keperawatan

a. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri, misalnya ketidak percayaan, kesalah

pahaman, ketakutan, kelelahan, dan kebosanan.

1) Ketidak percayaan

Pengakuan perawat akan rasa nyeri yang di derita pasien dapat mengurangi nyeri.

Hal ini dapat dilakukan melalui pernyataan verbal, mendengarkan dengan penuh

perhatian mengenai keluhan nyeri pasien, dan mengatakan kepada pasien bahwa

perawat mengkaji rasa nyeri pasien agar lebih dapat memahami tentang nyerinya.

2) Kesalah pahaman

Mengurangi kesalahpahaman pasien tentang nyerinya akan mengurangi nyeri, hal

ini dilakukan dengan memberitahu pasien bahwa nyeri yang dialami sangat

individual dan hanya pasien yang tahu secara pasti tentang nyerinya.

3) Ketakutan

Memberikan informasi yang tepat dapat mengurangi ketakutan pasien dengan

mengganjurkan pasien untuk mengepresikan bagaimana mereka menangani nyeri.

4) Kelelahan

Kelelahan dapat memperberat nyeri. Untuk mengatasinya, kembangkan pola

aktivitas yang dapat memberikan istirahat yang cukup.

5) Kebosanan

Kebosanan dapat meningkatkan rasa nyeri, untuk mengurangi nyeri dapat

digunakan pengalih perhatian yang bersifat terapeutik. Beberapa tehnik pengalih

perhatian adalah bernafas pelan dan berirama, memijat secara perlahan, menyanyi
berirama, aktif mendengarkan musik, membayangkan hal-hal yang

menyenangkan, dan sebagainya.

b. Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik seperti :

1) Teknik latihan pengalihan :

a) Menonton televisi

b) Berbincang-bincang dengan orang lain

c) Mendengarkan music

2) Tehnik relaksasi

Menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan mengisi paru-paru dengan

udara, menghembuskannya secara perlahan, melemaskan otot-otot tangan, kaki,

perut, dan punggung, serta mengulangi hal yang sama smabil terus konsentrasi

hingga dapat rasa nyaman, tenang, dan rileks.

3) Stimulasi kulit :

a) Menggosok dengan halus pada daerah nyeri

b) Menggosok punggung

c) Menggunakan air hangat dan dingin

d) Memijat dengan air mengalir

c. Pemberian obat analgesik, yang dilakukan guna mengganggu atau memblok

stransmisis stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal

terhadap nyeri. Jenis analgesiknya adalah narkotika danbukan narkotika. Jenis

narkotika diginakan utuk menurunkan tekanan darah dan menimbulkan depresi pada

fungsi vital, seperti respirasi. Jenis bukan narkotika yang paling banyak dikenal di

masyarakat adalah aspirin, asetaminofen, dan bahan anti inflamasi nonsteroid.


Golongan aspirin (asetysalicylic acid) diguakan untuk memblok rangsangan pada

sentral dan perifer, kemungkinan menghambat sintesis protagladin yang memiliki

khasiat setelah 15-20 menit dengan efek puncak obat sekitar 1-2 jam. Aspirin juga

menghambat agregrasi trombosit dan antagonis lemah terhadap vitamin K, sehingga

dapat meningkatkan waktu perdarahan dan protombin bila diberikan dalam dosis

yang tinggi. Golongan asetaminofen sama dengan seperti aspirin, akan tetapi tidak

menimbulkan perubahan kadar protombin dan jenis nonsteroid anti inflamatory drug

(NSAID), juga dapat menghambat prostaglandin dan dosis rendah dapat berfungsi

sebagai analgesik. Kelompok obat ini meliputi ibuprofen, mefenamic acid,

fenoprofen, naprofen, zomepirac, dan lain-lain.

d. Pemberian stimulator listrik yaitu dengan memblok atau mengubah stimulus nyeri

dengan stimulus yang kurang dirasakan.bentuk stimulator metode stimulus listrik

meliputi:

1) Trancutanneus electrical stimulator (TENS), digunakan untuk mengendalikan

stimulus manual daerah nyeri tertentu dengan menempatkan beberapa elektrode

diluar.

2) Percutaneus implanted spinal cord epidural stimulator merupakan alat stimulator

sumsum tulang belakang dan epidural yang di implan di bawah kulit dengan

transistor timah penerima yang dimasukkan ke dalam kulit pada daerah epidural

dan columna vetebrae.

3) Stimulator columna vertibrae, sebuah stimulator dengan stimulus alat penerima

transistor dicangkok melalui kantong kulit intraklavikula atau abdomen, yaitu

elektroda ditanam melalui pembedahan pada dorsum sumsum tulang belakang.


5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam merespon

rangsangan nyeri, diantaranya hilangnya perasaan nyeri, menurunnya intensitas nyeri,

adanya respons fisiologis yang baik, dan pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari

tanpa keluhan nyeri.


DAFTAR PUSTAKA

Arianto, PS Budi. 2016. Faktor Resiko Kejadian Hipertensi Sistolik Terisolasi Pada Lansia Tahun
2014; 3. Available from: http://repository.usu .ac.id/handle/ 123456789/ 58759
{Accesed 15 juli 2018}
Depkes RI, 2005. Profil Kesehatan Indonesia Sehat 2010

Depkes RI, 2011. Profil Indonesia Sehat. Jakarta, PT Rineka Cipta

Depkes Sumbar, 2010. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Doenges.,

2003. Rencana Asuhan Keperawatan.EGC. Jakarta

Fatimah.,2010.Merawat manusia Lanjut usia.Trans Info media.Jakarta


Kumar, Vinay. Et.al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Vol.2 Ed. 7. Jakarta : EGC.
Kurnia R. 2007. Karakteristik Penderita Hipertensi yang Dirawat Inap di Bagian Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Kota Padang panjang Sumatera Barat Tahun 2002-2006; 7 – 8, 11 –
13. Available from: http://repository.usu.ac.id/ handle/ 123456789/ 14618
{Accesed 15 Juli 2018}
Leonard E, Pikir BS. 2015. Hipertensi Manajemen Komprehensif. Surabaya: AUP; 1

McPhee SJ, Ganong WF. 2011. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis
Edisi V. Jakarta: EGC; 341 – 342

Ma’rifatul Lilik Azizah.,2011.Keperawatan lanjut usia.Graha ilmu.Jogjakarta.

Notoatmodjo, Metedologi Penelitian. Jakarta, PT Rineka Cipta Nugroho,

2008. Panduan Kesehatan untuk Lansia. Jakarta Gramedia

N. Richard. Mitchell. Et.al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins dan Coutran.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai