Askep Gadar Integumen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH MATA KULIAH

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT III

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KEGAWATAN PADA


SISTEM INTEGUMEN”

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. FIRA NOVIA 20176523119


2. KALIYA YOLANDA 20176523041
3. MUHAMMAD AIDIL SYARIFUDIN 20176513060
4. NADILLA 20176523066
5. NINDI RIZKI AMALIA 20176523070
6. NOR AFIFAH APRIANI 20176523072
7. RICSKY ALAN PRAMANDA 20176513091
8. ZAHRUL FAIZI 20176513118

DOSEN PEMBIMBING : Ns. Puspa Wardhani, M.Kep

MATA KULIAH : ASUHAN KEPERAWATAN GADAR III

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN PONTIANAK

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


VISI DAN MISI

VISI

DIPLOMA IV KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

“Menjadi Institusi Pendidikan Diploma IV Keperawatan Unggulan


Kegawatdaruratan yang Bermutu dan Mampu Bersaing di Tingkat Regional pada
tahun 2020.”

MISI

DIPLOMA IV KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENES PONTIANAK

1. Meningkatkan Program Pendidikan Tinggi Diploma IV Keperawatan


Unggulan Kegawatdaruratan Yang Berbasis Kompetensi.
2. Meningkatkan Program Pendidikan Tinggi Diploma IV Keperawatan
Unggulan Kegawatdaruratan Yang Berbasis Penelitian.
3. Mengembangkan Upaya Pengabdian Masyarakat Bidang Diploma IV
Keperawatan Unggulan Kegawatdaruratan Yang Berbasis IPTEK dan
Teknologi Tepat Guna.
4. Mengembangkan Progam Pendidikan Tinggi Diploma IV Keperawatan
Unggulan Kegawatdaruratan Yang Mandiri, Transparan, Dan Akuntabel.
5. Mengembangkan Kerja Sama Baik Lokal Maupun Regional.
LEMBAR PENGESAHAN

MAKALAH MATA KULIAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT


DARURAT III

MATA KULIAH : ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT

DARURAT III

PRODI : DIV KEPERAWATAN PONTIANAK

SEMESTER : 7 (TUJUH)

Pontianak, September 2020

Pembimbing Akademik,

Ns. Puspa Wardhani, M.Kep


KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya Makalah mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Sistem Kardiovaskuler”. Atas
dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan modul ini, maka
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Didik Hariyadi, S.Gz, M.Si selaku direktur Potekkes Kemenkes


Pontianak.
2. Ibu Ns. Nurbani, M. Kep selaku ketua Jurusan Keperawatan.
3. Ibu Ns. Puspa Wardhani, M. Kep selaku ketua Prodi DIV Keperawatan
Pontianak. Sekaligus pembimbing akademik kami yang memberikan dorongan
dan masukan kepada kami.
4. Ibu Ns. Puspa Wardhani, M. Kep selaku koordinator mata kuliah Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat III.
5. Teman-teman satu kelompok yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan
makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan
sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Pontianak, September 2020

Penulis

Kelompok 2
DAFTAR ISI

VISI DAN MISI.......................................................................................................2


LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................3
KATA PENGANTAR.............................................................................................4
DAFTAR ISI............................................................................................................5
BAB I.......................................................................................................................6
LATAR BELAKANG.............................................................................................6
A. LATAR BELAKANG..................................................................................6
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................7
C. TUJUAN.......................................................................................................7
D. MANFAAT...................................................................................................7
BAB II......................................................................................................................8
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................8
A. Anatomi Sistem Integumen...........................................................................8
B. Konsep Teori.................................................................................................9
I. Luka Bakar/Wound Burn...........................................................................9
II. Resusitasi Cairan......................................................................................33
III. Cedera Inhalasi........................................................................................39
C. Konsep Asuhan Keperawatan.....................................................................47
I. Pengkajian................................................................................................47
II. Diagnosa Keperawatan............................................................................55
III. Intervensi Keperawatan...........................................................................55
BAB III..................................................................................................................61
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................61
A. Kesimpulan.................................................................................................61
B. Saran............................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................63
BAB I

LATAR BELAKANG

A. LATAR BELAKANG

Seluruh tubuh manusia bagian terluar terbungkus oleh suatu


sistem yang disebut sebagai sistem integumen. Sistem integumen adalah
sistem organ yang paling luas. Sistem ini terdiri atas kulit dan
aksesorisnya, termasuk kuku, rambut, kelenjar (keringat dan
sebaseous), dan reseptor saraf khusus (untuk stimuli perubahan internal
atau lingkungan eksternal).
Sistem integumen terdiri dari organ terbesar dalam tubuh. Kulit
adalah sistem organ yang luar biasa melindungi struktur internal
tubuh dari kerusakan, mencegah dehidrasi, menghasilkan vitamin
dan hormon. Hal ini juga membantu untuk mempertahankan
homeostasis dalam tubuh dengan membantu dalam pengaturan suhu
tubuh dan keseimbangan air. Sistem integumen adalah garis pertama
pertahanan tubuh terhadap bakteri, virus dan mikroba lainnya.
Hal ini juga membantu untuk memberikan perlindungan dari radiasi
ultraviolet yang berbahaya. Kulit adalah organ sensorik dalam hal ini
memiliki reseptor untuk mendeteksi panas dan dingin,
sentuhan,tekanan dan nyeri. Komponen kulit termasuk rambut, kuku,
kelenjar keringat, kelenjar minyak,pembuluh darah, pembuluh
getah bening, saraf dan otot. Mengenai anatomi sistem yang
menutupi, kulit terdiri dari lapisan jaringan epitel (epidermis)
yang didukung oleh lapisan jaringan ikat (dermis) dan lapisan yang
mendasari (hypodermis atau subcutis).
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana anatomi sistem integumen?


2. Apa pengertian dari luka bakar/wound burn, resusitasi cairan dan
cedera inhalasi?
3. Bagaimana konsep teori luka bakar/wound burn, resusitasi cairan dan
cedera inhalasi?
4. Bagaimana penatalaksanaan syok pada luka bakar dengan metode
resusitasi cairan?
5. Bagaimana konsep asuhan keperawatan luka bakar/wound burn?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui anatomi sistem integumen.


2. Untuk mengetahui pengertian dari luka bakar/wound burn, cedera
inhalasi dan resusitasi cairan.
3. Untuk mengetahui konsep teori luka bakar/wound burn, resusitasi
cairan dan cedera inhalasi.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan syok pada luka bakar dengan
metode resusitasi cairan.
5. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan luka bakar/wound
burn.

D. MANFAAT

1. Prodi D IV Keperawatan Pontianak


Manfaat penulisan untuk menambah literatur dan daftar pustaka.

2. Penulis
Manfaat penulisan untuk menambah wawasan mengenai Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat pada Sistem Integumen.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Integumen

Kulit adalah ‘selimut’ yang menutupi permukaan tubuh dan


memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan
dan rangsangan luar. Luas kulit pada manusia rata-rata ± 2 meter persegi,
dengan berat 10 kg jika dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak. Kulit
terbagi atas dua lapisan utama, yaitu epidermis (kulit ari) sebagai lapisan
yang paling luar dan Dermis (korium, kutis, kulit jangat). Sedangkan
subkutis atau jaringan lemak terletak dibawah dermis.
Pada bagian dalam dermis terdapat adneksa-adneksa kulit.
Adneksa kulit merupakan struktur yang berasal dari epidermis tetapi
berubah bentuk dan fungsinya, terdiri dari folikel rambut, papila rambut,
kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut,
ujung pembuluh darah dan serabut saraf, juga sebagian serabut lemak yang
terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (subkutis/hipodermis).
Struktur kimia dari sel-sel epidermis manusia memiliki
komposisi berikut : protein sebesar 27%, Lemak sebesar 2%, Garam
mineral sebesar 0,5%, serta air dan bahan-bahan larut air sebesar 70,5%.
B. Konsep Teori

I. Luka Bakar/Wound Burn


1. Pengertian Luka Bakar/Wound Burn
Luka bakar merupakan cedera paling berat yang
mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya
menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh
(Nina,2018). Luka bakar adalah trauma yang diakibatkan oleh
panas, bahan kimia, arus listrik, dan petir yang mengenai kulit,
mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Luas permukaan tubuh
yang terbakar akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi sel
tubuh dan mengganggu semua sistem terutama sistem
kardiovaskuler (Rahayuningsih, 2015).
Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan
terhadap trauma termal. Terdapat dua jenis luka bakar menurut
ketebalannya. Luka bakar dengan ketebalan parsial adalah luka
bakar yang tidak merusak epitel atau merusak sebagian dari epitel,
sedangkan luka bakar dengan ketebalan penuh merusak semua
sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan jika
permukaan kulit yang terluka luas akan membutuhkan eksisi dan
cangkok kulit (Grace & Borley,2016).
Luka bakar merupakan kondisi terjadinya luka akibat
terbakar yang disebabkan oleh panas yang tinggi, senyawa kimia,
listrik dan pemajanan sinar matahari yang berlebihan. Pengobatan
luka bakar harus dibedakan berdasarkan luasnya. Pada prinsip rule
of nine luka bakar dibagi menjadi beberapa bagian yakni bagian
kepala 9%, dada 18%, punggung 18%, anggota gerak atas 18%,
paha 18% dan anggota gerak bawah 18%, perineum dan genitalia
1% (Hidayat, 2018).
Adanya luka bakar pada tubuh akan merusak fungsi kulit
yakni melindungi tubuh dari kotoran dan infeksi. Apabila banyak
permukaan tubuh yang terbakar, maka dapat mengancam jiwa
seseorang karena adanya kerusakan pembuluh darah,
ketidakseimbangan elektrolit dan suhu tubuh, gangguan pernapasan
serta fungsi saraf (Adibah & Winasis,2016 dalam Sari,2015).
Luka bakar yang luas dapat menyebabkan shock. Hal ini
terjadi karena cairan tubuh sebagian besar dikirim ke daerah yang
terbakar sehingga volume darah yang dialirkan ke otak dan jantung
berkurang. Shock pada anak-anak dapat terjadi jika luka bakar
seluas 10%, sedangkan pada orang dewasa seluas 20%
(Mohamad,2015).

2. Klasifikasi Luka Bakar

American College of Surgeon Health Policy Research


Institute (2016) membagi luka bakar menjadi tiga tingkatan, yakni :
1. First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial,
berwarna merah, terasa nyeri.
2. Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh,
bengkak, dan sangat nyeri.

3. Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan,


hangus, tembus hingga saraf, ada sensasi seperti tusukan jarum
di area yang terbakar.

Menurut Di Maio & Dana (2015), luka bakar dibedakan


menjadi 4 derajat berdasarkan kedalaman jaringan yang rusak,
yaitu:
1. Luka bakar derajat 1 (superficial burn)
Terjadi kerusakan hanya di permukaan kulit, kulit kemerahan,
tidak ada bulla, sedikit oedem dan nyeri, dan tidak
menimbulkan jaringan parut setelah sembuh.
2. Luka bakar derajat 2 (partial thickness burn)
Terjadi kerusakan pada semua lapisan epidermis dan sebagian
dermis. Terdapat bula, sedikit oedema, dan nyeri berat.

3. Luka bakar derajat 3 (full partial thickness burn)


Terjadi kerusakan pada semua lapisan kulit dan terdapat
nekrosis, lesi tampak putih, hilang sensasi rasa pada kulit dan
akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh.

4. Luka bakar derajat 4 (charring injury)


Kulit tampak hitam seperti arang akibat jaringan yang terbakar.
Kerusakan terjadi pada seluruh kulit, jaringan subkutan dan
tulang akan hangus.
Menurut James (2015) dalam Dewi (2017), berdasarkan
derajat dan luasnya kulit yang terkena luka bakar dikategorikan
menjadi 3 yakni ringan, sedang dan berat.
1. Luka bakar ringan jika ada luka bakar derajat I sebesar <15%
atau derajat II sebesar <2%.
2. Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat I sebesar 10-
15% atau derajat II sebesar 5-10%.
3. Luka bakar berat jika ada luka bakar derajat II sebesar >20%
atau derajat III sebesar >10% atau mengenai wajah, tangan-
kaki, alat kelamin, persendian, sekitar ketiak atau akibat listrik
tegangan tinggi (>1000V) atau dengan komplikasi patah tulang
maupun kerusakan jaringan lunak/gangguan jalan napas.

3. Etiologi
1. Luka bakar termal
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak
dengan api, cairan atau gas panas dan bahan padat (solid). Luka
bakar paling sering disebabkan karena terpajan suhu panas
seperti terbakar api secara langsung atau terkena logam yang
panas (Borley & Grace, 2016; Rahayuningsih,2015).
2. Luka bakar kimia
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontak jaringan kulit dengan
asam atau basa kuat. Derajat luka bakar karena bahan kimia
berhubungan langsung dengan lama kontak, konsentrasi zat
kimia dan banyaknya jaringan yang terpapar. Semua pakaian
yang terkena harus dilepas dan kulit diperiksa untuk melihat
daerah luka. Karena kedalaman luka juga ditentukan oleh
konsentrasi agen yang ada pada kulit, maka pengenceran dengan
bilasan air yang banyak menjadi tahapan dalam penatalaksanaan
pasien luka bakar akibat basa kuat lebih merusak daripada akibat
asam kuat (Sabiston, 2014; Borley & Grace, 2016;
Rahayuningsih,2015).
3. Luka bakar listrik
Luka bakar akibat listrik adalah kerusakan yang terjadi ketika
arus listrik mengalir ke dalam tubuh manusia dan membakar
jaringan ataupun menyebabkan terganggunya fungsi suatu organ
dalam. Tubuh manusia merupakan penghantar listrik yang baik.
Arus listrik yang mengalir ke dalam tubuh manusia akan
menghasilkan panas yang dapat membakar dan menghancurkan
jaringan tubuh. Meskipun luka bakar listrik tampak ringan,
tetapi mungkin saja telah terjadi kerusakan organ dalam yang
serius, terutama pada jantung, otot atau otak. Berat ringannya
luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage, dan
cara gelombang listrik mengenai tubuh (Borley & Grace, 2016;
Rahayuningsih,2015).
Arus listrik bisa menyebabkan terjadinya cedera melalui 3 cara:
1) Henti jantung (cardiac arrest) akibat efek listrik terhadap
jantung
2) Perusakan otot, saraf dan jaringan oleh arus listrik yang
melewati tubuh
3) Luka bakar termal akibat kontak dengan sumber listrik.
4. Luka bakar radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber
radioaktif. Hal ini berhubungan dengan penggunaan radiasi ion
pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan
terapeutik pada dunia kedokteran. Terpapar oleh sinar matahari
akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe
luka bakar radiasi. Awalnya luka ini dengan kedalaman
sebagian, tetapi dapat berlanjut ke trauma yang lebih dalam
(Borley & Grace, 20016; Rahayuningsih,2015).

4. Patofisiologi

Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari


sumber panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan
melalui konduksi atau radiasi kulit dengan luka bakar akan
mengalami keusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan
subkutan tergantung lamanya kulit kontak dengan sumber panas
(Effendi, 2015).
Cidera luka bakar mempengaruhi semua sistem organ.
Besarnya respon patofisiologis ini berkaitan erat dengan luasnya
luka bakar dan mencapai masa stabil ketika terjadi luka bakar kira-
kira 60% seluruh permukaan tubuh (Hudak & Gall, 2016).
Tingkat keperawatan perubahan tergantung pada luas dan
kedalaman luka bakar yang menimbulkan kerusakan dimulai dari
terjadinya luka bakar dan berlangsung 24 – 72 jam pertama.
Kondisi ditandai dengan pergeseran cairan dari komponen vaskuler
ke ruang interstisium. Bila jaringan terbakar, vasodilatsi
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul perubahan
permeabilitas sel pada luka bakar dan sel disekitarnya. Dampaknya
jumlah cairan yang banyak berada pada ekstra sel, sodium chloride
dan protein lewat melalui daerah yang tebakar dan membentuk
gelembung-gelembung dan edema atau keluar melalui luka terbuka.
Akibat adanya edema luka bakar, lingkungan kulit mengalami
kerusakan. Kulit sebagai barier mekanik berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme yang
masuk. Terjadinya kerusakan lingkugan kulit akan memungkinkan
mikro organisme masuk dalma tubuh dan menyebabkan infeksi
luka yang dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Dengan
adanya edema juga akan berpengaruh terhadap peningkatan
peregangan pembuluh darah dan saraf yang dapat menimbulkan
rasa nyeri. Rasa nyeri terseut dapat mengganggu mobilitas pasien.
Ketika terjadi kehilangan cairan dalam sitem vaskuler,
terjadi homo konsentrasi dan hematokrit naik, cairan darah menjadi
kurang lancar pada daerah luka bakar dan nutrisi kurang. Adanya
cidera luka bakar menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat
sebagai akibat respon stress neurohomoral. Hal tersebut dapat
meningkatkan afterload jantung dan mengakibatkan penurunan
curah jantung lebih lanjut. Akibat penuruna curah jantung,
menyebabakan metabolisme anaerob dan hasil akhir produk asam
ditahan karena rusaknya fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis
metabolik yang menyebabkan perfusi jaringan terjadi tidak
sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam
kondisi akut. Periode ini ditandai dengan anemia dan malnutrisi.
Anemia akan berkembang akibat banyak kehilangan eritrosit.
Keseimbangan nitrigen negatif mulai terjadi pada waktu terjadi
luka bakar yang disebabkan kerusakan jaringan kehilangan protein
dan akibat respon stress. Hal ini akan berlangsung selama periode
akut karena terus menerus kehilangan protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbu karena obstruksi saluran nafas
bagian atas atau karena efek syok hipovolemik. Obstruksi saluran
nafas bagian atas disebabkan karena inhalasi bahan yang
merugikan atau udara yang terlalu panas, menimbulkan iritasi pada
saluran nafas, edema laring dan obstruksi potensial.
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi
panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat
menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna,
kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat
kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan
struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari
lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi
protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan
perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan
jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik.
Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak
mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan,
kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2017).
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang
disebabkan oleh kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi
kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang
mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan
ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga
mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan
hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya
gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi
jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang
menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak,
kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang
dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem.

5. Manifestasi Klinis

Kedalaman Bagian
Penampilan Perjalanan
dan Penyebab Kulit yang Gejala
Luka Kesembuhan
Luka Bakar Terkena
Derajat Epidermis Kesemutan, Memerah, Kesembuhan
hiperestesia lengkap
Satu menjadi
(super dalam waktu
(Superfisial) sensivitas), putih ketika satu minggu,
rasa nyeri terjadi
: Tersengat ditekan
mereda jika pengelupasan
matahari, didinginkan minimal kulit
terkena api atau tanpa
dengan edema
intensitas
rendah
Derajat Epidermis Nyeri, Melepuh, Kesembuhan
Dua dan bagian hiperestesia, dasar luka dalam waktu
(Partial- dermis. sensitif berbintik- 2-3 minggu,
Thickness): terhadap bintik pembentukan
Tersiram air udara yang merah, parut dan
mendidih, dingin. epidermis depigmentasi,
terbakar retak, infeksi dapat
oleh nyala permukaan mengubahny
api luka basah, a menjadi
terdapat derajat-tiga.
edema.

2a = Akan sembuh
Nyeri dan
Superficial Epidermis Kulit dengan
sangat
partial dan bagian tampak sendirinya
sensitif oleh
thickness atas dari kemerahan, dalam 3
tekanan.
dermis oedem dan minggu (bila
rasa nyeri tidak terkena
lebih berat infeksi ),
daripada Tapi warna
luka bakar kulit tidak
grade I, akan sama
ditandai seperti
dengan bula sebelumnya.
yang
muncul
beberapa
jam setelah
terkena
luka, bila
bula
disingkirkan
akan terlihat
luka
bewarna
merah muda
yang basah,
Luka sangat
sensitive
dan akan
menjadi
lebih pucat
2b = Deep
bila terkena
partial
Nyeri dan tekanan. Luka akan
thickness
Epidermis sensitif. sembuh
dan Disertai dalam 3-9
lapisan juga dengan minggu.
dalam dari bula, Organ-organ
dermis permukaan kulit seperti
luka folikel-folikel
berbecak rambut,
merah muda kelenjar
dan putih keringat,
karena kelenjar
variasi dari sebasea
vaskularisas sebagian
i pembuluh besar masih
darah utuh.
( bagian
yang putih
punya hanya
sedikit
pembuluh
darah dan
yang merah
muda
mempunyai
beberapa
aliran darah.
Derajat Epidermis, Tidak terasa Kering, Pembentukan
Tiga (Full- keseluruha nyeri, syok, luka bakar skar,
Thickness): n dermis hematuria berwarna diperlukan
Terbakar dan (adanya putih pencangkoka
nyala api, kadang- darah dalam seperti n,
terkena kadang urin) dan bahan kulit pembentukan
cairan jaringan kemungkina atau parut dan
mendidih subkutan n pula gosong, hilangnya
dalam waktu hemolisis kulit retak kontur serta
yang lama, (destruksi dengan fungsi kulit,
tersengat sel darah bagian hilangnya jari
arus listrik merah), lemak yang tangan atau
kemungkina tampak, ekstrenitas
n terdapat terdapat dapat terjadi
luka masuk edema
dan keluar
(pada luka
bakar
listrik)

6. Penentuan Luas Luka Bakar

Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan


beberapa metode, diantaranya rule of nine, Lund and Browder, dan
Hand Palm. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari
permukaan tubuh yang terkena luka bakar.

1. Rule of nine
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya
yang terkenal dengan rule of nine. Metode ini dikenal sejak tahun
1940 sebagai pengkajian cepat untuk menentukan perkiraan luas
luka bakar. Dalam metode ini, tubuh dibagi menjadi beberapa
bagian anatomi dan setiap bagian mewakili 9% kecuali daerah
genital.

a. Kepala dan leher : 9%

b. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kanan dan kiri)

c. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kanan dan kiri)

d. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9% (kanan dan kiri)

e. Perineum dan genitalia : 1%

2. Lund and Browder


Pada metode ini total area tubuh yang terkena
dikalkulasikan berdasarkan lokasi dan usia. Metode lund and
browder merupakan modifikasi prosentase bagian tubuh
menurut usia yang memberikan perhitungan lebih akurat
tentang luas luka bakar. (Hardisman,2014). Pada anak di
bawah usia 1 tahun kepala sebesar 19% dan setiap
pertambahan usia satu tahun , prosentase kepala tutun 1%
hingga tercapai nilai dewasa.
3. Hand Palm

Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm),


area permukaan tangan pasien adalah sekitar 1% dari total luas
permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka
bakar kecil (Gurnida & Lilisari,2015).

7. Keadaan yang memperberat luka bakar


1. Syok hipovolemik
Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan
koagulasi disertai dengan nekrosis jaringan yang akan
menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ,
tergantung pada ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi
jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas kapiler
sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini
akan disertai dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang
rusak sehingga cairan tidak akan bertahan lama. Keadaan ini
selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik.
Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan
segera. Selama ini digunakan cairan isotonik (RL); dengan
cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga
dapat mengurangi kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan
koloid lainnya sepert Asetat Ringer (AR) juga dapat
digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat,
menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui
vascular access (vena seksi dan sebagainya). Jumlah cairan
yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang
diperkirakan hilang.
Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada
regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. Pada
keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi jaringan,
proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah
merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya
kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar laktat plasma
yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang
meningkatkan mortalitas. Dalam kondisi ini penggunaan RL
seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan
membahayakan. Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan
cairan yang secara fisiologik sama dengan RL , tanpa
kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat
segera di metabolisme dengan cepat sehingga akan diikuti
dengan perbaikan keseimbangan asambasa.
2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS
Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness
burns kecuali jika terdapat kelalaian dalam penanganan luka
bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering terjadi pada
pasien dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari
30% permukaan tubuhnya. Resiko terjadinya infeksi pada luka
bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena
komorbiditas.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama
tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun
pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa
SIRS dan MODS menyebabkan kematian sebesar 81% pasca
trauma.
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat
sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi
ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi
autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan
dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa
faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah
secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan
kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi
dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan
fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction
Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-
system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama
tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun
trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan
MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca
trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS,
yaitu infection, injury, inflamation, inadequate blood flow, dan
ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan,
mengikuti hasil konsensus American College of Chest
phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun
1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut
selama beberapa hari, yaitu:
1) Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
2) Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
3) Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan
parsial CO2 rendah (PaCO2)
4) Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm < 32
mmHg) 3 ), leukopeni (< 4000 sel/mm3)
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab
(dari hasil kultur darah/bakteremia), maka SIRS disebut
sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS
karena MODS merupakan akhir dari SIRS) atau dijumpai >
10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan
adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian
rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu
proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti
bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan
merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal
dari SIRS. Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang
dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap.
a. Tahap I
Patofisiologi Respon inflamasi sistemik didahului oleh
suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma berat lainnya.
Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator
proinflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan
respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka
dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah
pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul
utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα),
interleukin (IL Tahap I 1, IL6), interferon, Colony Stimulating
Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi
adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel.
Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti
prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating
Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease.
Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis
lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka,
namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off)
jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi
terisolasi.
b. Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi justru meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan
makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor
pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah
respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan
antagonis endogen (antagonis reseptor IL Tahap II 1 dan
mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11,
reseptor terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF).
Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon
inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down
regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap
sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga
homeostasis terjaga.
c. Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan,
berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi sistemik masif.
Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif.
Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga
integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam
berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon
destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan
vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular,
akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-
endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik
di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat
dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis
SIRS. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30%
kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan
timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya
terjadi secara simultan.
1) Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi
menyebabkan penurunan penurunan sirkulasi di daerah
splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu
menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi
mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya
translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi
umumnya flora normal usus yang bersifat komensal,
berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat
perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian
antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan
fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga
berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh
toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin).
Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses
degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa
usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan
kondisi-kondisi yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi
serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem
autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan
iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute
Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal
ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi
perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak
pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi
Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen
menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena
penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier
kulit.
2) Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein
Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal dengan burn
toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC
memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam
merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun
pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi.
Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada
daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu
bentuk respon sistemik.
3) Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme
(hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik
pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas
tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator
pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon
terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing
atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan
pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan
karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang
bersifat imunosupresif.

8. Komplikasi
a. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
b. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya
pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang
dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler,
volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah
berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap
pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal
menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
c. Adult Respiratory Distress Syndrome, akibat kegagalan
respirasi terjadi jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran
gas sudah mengancam jiwa pasien.
d. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus
merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka bakar.
Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause.
Perdarahan lambung yang terjadi sekunder akibat stress
fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat
ditandai oleh darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan
atau vomitus yang berdarha, ini merupakan tanda-tanda ulkus
curling.
e. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau
bahkan hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi
cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan
mental berubah, perubahan status respirasi, penurunan
haluaran urine, perubahan pada tekanan darah, curah janutng,
tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
f. Gagal ginjal akut
Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan
resusiratsi cairan yang tidak adekuat khususnya hemoglobin
atau mioglobin terdektis dalam urine.
g. Kontraktur

9. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Doenges, 2016, diperlukan pemeriksaan


diagnostik pada luka bakar yaitu :
1. Laboratorium
1) Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan
adanya pengeluaran darah yang banyak sedangkan
peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera,
pada Ht (Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya
kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi
sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas
terhadap pembuluh darah.
2) Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan
adanya infeksi atau inflamasi.
3) GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya
kecurigaaan cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen
(PaO2) atau peningkatan tekanan karbondioksida (PaCO2)
mungkin terlihat padaretensi karbon monoksida.
4) Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal
sehubungan dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi
ginjal, natrium pada awalmungkin menurun karena
kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi
ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
5) Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan
kelebihan cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga
ketidakadekuatancairan.
6) Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungandengan
perpindahan cairan interstisial ataugangguan pompa, natrium.
7) Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan
respon stress.
8) Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan
protein pada edema cairan.
9) BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan
perfusi atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat
karena cedera jaringan.
2. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif
terhadap efek atau luasnya cedera.
3. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemiamiokardial atau
distritmia.
4. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk
penyembuhanluka bakar.

10. Penatalaksanaan
1. Pengkajian primer
1) Airway
Menurut Moenadjat (2017), membebaskan jalan nafas dari
sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa jalan nafas
ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi)
dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai
trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal)
dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada
kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas
yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka
bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan
pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas
pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres
nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau
krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan
nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi
inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial
dikerjakan. Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi,
krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
2) Breathing
Adanya kesulitan bernafas, masalah pada pengembangan
dada terkait keteraturan dan frekuensinya. Adanya suara
nafas tambahan ronkhi, wheezing atau stridor.
Moenadjat (2019), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila
sekret banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit.
Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi
mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen
karena patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan
oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt)
atau dengan tekanan karena akan menyebabkan
hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya
stres oksidatif.

b. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian
uap air adalah untuk mengencerkan sekret kental (agar
mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi
mukosa.
c. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila
dihembuskan melalui pipa endotrakea atau
krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus
trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran
bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa.
Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi
yang potensial terjadi akibat  zat kimia. Gejala
hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas
dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan
steroid.
d. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan
untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada
mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier
atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat
(mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur
ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik
(bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain
bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur
diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
e. Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal
mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat
dilakukan sejak fase akut antara lain:
a) Pengaturan posisi
b) Melatih reflek batuk
c) Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian
dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan
pasien sudah lebih kooperatif
f. Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus
dengan distresparpernafasan secara bermakna
memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan positive
end-expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol.
3) Circulation
Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar,
melambatnya capillary refill time, hipotensi, mukosa kering,
nadi meningkat.
Menurut Djumhana (2015), penanganan sirkulasi dilakukan
dengan pemasangan IV line dengan kateter yang cukup
besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk
mempertahankan volume sirkulasi
a. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur
menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal
no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan
tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP
b. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan,
nutrisi parenteral dan merupakan parameter dalam
menggambarkan informasi volume cairan yang ada
dalam sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP
terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak
meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan
adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat
permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang
berlebihan atau penarikan cairan yang berlebihan akibat
pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan
hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan CVP.

2. Nilai ukuran luka bakar (aturan 9 dari Wallace)

Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar, terdapat dua


jenis perawatan luka selama dirawat di bangsal yaitu:
1) Perawatan terbuka: luka yang telah diberi obat topical
dibiarkan terbuka tanpa balutan dan diberi pelindung cradle
bed. Biasanya juga dilakukan untuk daerah yang sulit dibalut
seperti wajah, perineum, dan lipat paha.
2) Perawatan tertutup: penutupan luka dengan balutan kasa steril
setelah dibeikan obat topical.

II. Resusitasi Cairan


1. Pengertian Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan adalah proses penggantian cairan tubuh,


saat pasien dalam kondisi kritis dan kehilangan terlalu banyak
cairan, baik dalam bentuk air maupun darah. Proses resusitasi
cairan dilakukan dengan pemasangan cairan infus.

Tubuh membutuhkan cairan untuk berfungsi dengan baik.


Kehilangan cairan secara berlebihan, pada
keadaan dehidrasi maupun perdarahan, dapat mengganggu berbagai
proses dalam tubuh. Pada tahap lanjut, kondisi ini bisa
menyebabkan syok dan kegagalan fungsi organ. Resusitasi cairan
dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi tubuh dan mencegah
memburuknya kondisi pasien.

Menurut Sunatrio (2015), pada luka bakar mayor terjadi


perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan
ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari
intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya
hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan
tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi
kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau
jaringan atau organ. Pada luka bakar yang berat dengan perubahan
permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan
cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi
hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit,
timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi
oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok.
Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk
mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok
secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalakannan
syok dengan menggunakan metode resusitasi cairan konvensional
(menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan
syok dalam waktu singkat, menunjukan perbaikan prognosis,
derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam
laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil
kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik
terhadap angka mortalitas.
2. Penanganan Resusitasi Cairan Pada Syok

Resusitasi cairan diberikan bila ditemukan kondisi syok


hipovolemi, yaitu kurangnya volume darah atau cairan dalam
pembuluh darah. Beberapa tandanya adalah tekanan darah menjadi
rendah, denyut nadi dan napas menjadi cepat, serta suhu tubuh naik
atau turun. Keadaan yang dapat menyebabkan kondisi hipovolemi
ini antara lain perdarahan, diare atau muntah yang menyebabkan
dehidrasi, sepsis, dan luka bakar. Berikut adalah cara penanganan
resusitasi cairan pada syok hipovolemi :

1) Resusitasi pada pasien yang mengalami syok hipovolemi


Resusitasi segera melalui IV dengan larutan elektrolit
isotonic, keseimbangan larutan elektrolit (misal, Ringer’s
Laktat) dianjurkan karena NaCl 0,9% mengandung natrium
dan klorida dalam jumalh yang sangat banyak (Horne, M &
Pamela L 2015).
Perbaiki volume cairan yang bersirkulasi seperti
kristaloid, koloid atau darah melalui IV. Resusitasi cairan
intravena yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat jika
pasien syok.
2) Resusitasi pada pasien yang tidak syok hipovolemi
Menggunakan regimen yang telah direkomendasi oleh
unit luka bakar setempat. Secara umum, koloid lebih baik
daripada larutan elektrolit, terutama bila anak akan dirujuk.
Bila cairan yang dianjurkan tidak tersedia, gunakan plasma
dengan volume yang sama dengan larutan elektrolit
(Hartmann) untuk resusitasi. Separuhnya diberikan 8 jam
pertama setelah luka bakar dan separuhnya lagi diberikan
dalam 16 jam berikutnya (Insley J, 2014)

Penghitungan berat badan pada pasien menjadi langkah


awal. Kateter urin ditinggalkan sebagai indeks perfusi ginjal dan
untuk mengevaluasi keefektifan resusitasi cairan. Ada beberapa
rumus yang telah dikembangkan oleh berbagai pusat perawatan
untuk menghitung kebutuhan cairan pada penderita luka bakar.
Terdapat dua sistem yang sering digunakan sekarang adalah
modifikasi Brooked dan Parkland. Kedua rumus ini menghitung
kebutuhan cairan berdasarkan luas daerah luka bakar dikali berat
pasien dalam kilogram. Dikali volume larutan Ringer yang akan
diberikan dalam 24 jam pasca luka bakar. Pada kedua perhitungan,
setengah jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama sesusitasi,
dengan seperempat dari seluruh jumlah semula diberikan tiap 8 jam
berikutnya. Pemantauan yang teliti dan cermat mengenai
pengeluaran urin dan tekanan vaskuler sentral (bila tepat)
merupakan metode resusitasi yang tepat. Bila pengeluaran urin
rendah dan terjadi ketidakstabilan kardiovaskular pada pemberian
volume intravena maka perlu adanya pemasangan kateter
termodilusi Swan-Ganz untuk memantau tekanan jantung kiri dan
kanan serta curah jantung. (Sabiston, 2017)

3. Formula Untuk Resusitasi Cairan :


Formula untuk Resusitasi Cairan :
1) Formula Parkland untuk resusitasi klien luka bakar
24 jam pertama menggunakan cairan ringer laktat: 4ml /kgBB /
%luka bakar
a. Pemberian resusitasi cairan pada orang dewasa :
Contohnya pria dengan berat 75 kg dengan luas luka bakar
20%. Maka membutuhkan cairan : (4 ml) X (75kg) X (20)
= 6000 ml dalam 24 jam pertama.
½ jumlah cairan 3000 ml diberikan dalam 8 jam
½ jumlah cairan sisanya 3000 ml diberikan dalam 16 jam
berikutnya.
b. Pemberian resusitasi cairan pada anak:
1. 4 ml/kg untuk jam pertama 10 kg dari berat
2. 2 ml/kg untuk jam kedua 10 kg dari berat
3. 1 ml/kg untuk >20kg dari berat badan
Hasil akhir
a. Urin output 0.5-1.0 ml/kg/hari untuk dewasa
b. Urin output 1.0-1.5 ml/kg/hari untuk anak-anak
2) Formula Evans :
a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah
NaCl / 24 jam
b. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumah
plasma / 24 jam (no a dan b pengganti cairan yang hilang
akibat oedem. Plasma untuk mengganti plasma yang keluar
dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga
mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan
yang telah keluar)
c. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan
yang hilang akibat penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8
jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada
hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama.
Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
3) Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah
menggunakan rumus Baxter yaitu :
Menurut Moenadjat (2019), metode resusitasi ini
mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini Ringer
Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang
lebih fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan
alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang
hilang (perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian
kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fisiologis dan
aman
a. Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka
bakar per 24jam
b. Anak : Ringer laktat : Dextran = 17 : 3

2cc x berat badan x % luas luka bakar ditambah kebutuhkan


faal
Kebutuhan faal :
a. <1 tahun : BB x 100cc
b. 1-3 tahun : BB x 75cc
c. 3-5 tahun : BB x 50cc
d. ½ jumlah cairan diberikan alam 8 jam pertama
e. ½ diberikan 16 jam berikutnya
Protokol resusitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/%
luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman berikut.
Pedoman
a. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung
mulai saat kejadian luka bakar)
b. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
4) Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula
Curreri
Adalah 25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka
bakar/hari.
Petunjuk perubahan cairan
a. Pemantauan urin output tiap jam
b. Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
c. Kecukupan sirkulasi perifer
d. Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
e. Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa
Tabel Formula untuk resusitasi penggantian cairan (Horne M
& Pamela L, 2016)

24 Jam Pertama
Glukosa
Formula Elektrolit Koloid
dalam air
Consensus Cairan ringer
ABA
Laktat, 2-4
ml/kg/% luas
permukaan
tubuh untuk
mempertahankan
haluaran urin 30-
50 ml/jam
Brooks Cairan ringer 0,5 ml/kg/% 2000 ml
burn
Laktat, 1,5
ml/kg/% luka
bakar
Parland Cairan ringer
Laktat, 4 ml/kg/
%
Cairan Volume untuk
Natrium mempertahankan
Hipertonik haluaran urin 30
ml/jam (cairan
berisi 250 mEq
natrium/L)

III. Cedera Inhalasi


1. Pengertian Cedera Inhalasi
Cedera inhalasi terjadi kalau menghirup gas toksit yang
suhunya sangat tinggi atau asap kebakaran . Karbon monoksida
(CO) merupakan produk sampingan kebakaran yang paling sering
ditemukan : Hidrogen Klorida dan Hidrogen sianida merupakan
produk sampingan lainnya yang sering terdapat pada kebakaran.
Luka bakar adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan
tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul ,
perubahan suhu , zat kimia, ledakan , sengatan listrik atau gigitan
hewan ( buku ilmu ajar bedah). Luka bakar adalah kerusakan
secara langsung maupun yang tidak langsung pada jaringan kulit
yang tidak menutup kemungkinan sampai keorgan dalam, yang
disebabkan kontak langsung dengan sumber panas yaitu api, air/
uap panas, bahan kimia, radiasi, arus listrik dan suhu sangat dingin.
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup dan bilamana
kebakaran mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan
kerusakan mukosa jalan nafas akibat gas , asap atau uap panas yang
terhisap. Cidera inhalasi disebabkan oleh jenis bahan kimia
terbakar (traceobronkitis) dari saluran pernafasan. Bila cidera ini
terjadi pada pasien dengan luka bakar kulit yang parah kematian
sangat tinggi antara 48% – 86%. Edema yang terjadi dapat
menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan nafas.
Keracuanan asap yang disebabkan oleh termodegredasi
material alamiah dan materi yang diproduksi. Termodegredasi
menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hidrogen sianida,
nitrogen oksida, hidrogen klorida dan partikel-partikel tersuspensi.
Efek akut dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan
bronkokontriksi pada saluran nafas. Obstruksi jalan nafas akan
menjadi lebih hebat akibat adanya bronkitis dan edema.

2. Etiologi
Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Dibedakan atas
4 macam yaitu:
1. Gas Iritan
Bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan
menyebabkan reaksi inflamasi. Amonia, klorin,, kloramin lebih
larut air sehingga dapat menyebabkan luka bakar pada saluran
nafas atas dan menyebabkan iritasi pada mata , hidung dan
mulut. Gas iritan yang lain yaitu sulfur dioksida, nitrogen
dioksida, yang kurang larut dengan air sehingga menyebabkan
trauma paru dan distres pernafasan.
2. Gas Asfiksian
Karbon dioksida, gas dari bahan bakar ( metana, etana,
propane, asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan oksigen
sehingga menyebabkan asfiksia.

3. Gas yang bersifat toksik sistemik


CO yang merupakan komponen terbesar dari asap hidrogen
sianida merupakan komponen asap yang berasal dari api ,
hidrogen sulfida. Gas-gas ini berhubungan dengan
pengangkutan oksigen untuk produksi energi bagi sel.
Sedangkan toksik sistemik seperti hidrokarbon halogen dan
aromatik menyebabkan kerusakan lanjut dari hepar , ginjal,
oatak, paru-paru dan organ lain
4. Gas yang menyebabkan alergi
Dimana jika asap terhirup , partikel dan aerosol menyebabkan
bronkoospasme dan edema yang menyerupai asma.

3. Patofisiologi
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan
epitel jalan nafas oleh panas dan zatkimia atau akibat intoksikasi
sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil pembakaran tidak
hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari
udara, partikel padat yang terurai di udara ( melalui suatu efek
iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan
sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerja
sistemik. Partikel padat yang ukurannya > 10 mikrometer tertahan
di hidung dan nasofaring. Partukel yang berukuran 3-10
mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial, sedangkan
partikel berkuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.
Gas yang larut air bereaksi secara kimai pada saluran nafas ,
sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah.
Adapau gas yang sangat kurang larut air masuk melewat barier
kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat
sistemk. Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan
kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier dimana akan
merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang
melepaskan makrofagg serta aktifitas netrofil pada daerah tersebut.
Selanjutnya akan di bebaskan oksigen radikal, protease jaringan,
sitokin, dan konstriktor otot polos( tromboksan A2,C3A, C5A).
Kejadian ni mrnyebabkan peninfkatan iskemia pada saluran nafas
yang rusak, selanjutnay terjadi edema dari dinding saluran nafas
dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan meningkatkan resistensi
didding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplains paru
akan turun akibat terjadinya edema paru interstitiil sehingga terjadi
edema pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan pada
saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan
se- sel darah.

4. Manifestasi Klinis

Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak


ditangani sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda- tanda
yang dapat mengarahkan kita untuk bertindak dan harus mencurigai
bahwa seseorang telah mengalami trauma inhalasi antala lain:
1. Luka bakar pada wajah
2. Alis mata dan bulu hidung hangus
3. Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di
dalam orofaring
4. Sputum yg mengandung arang atau karbon
5. Wheezing, sesak dan suara serak
6. Adanya riwayat terkurun dalam kepungan api
7. Ledakan yng menyebakan trauma bakar pada kepala dan badan
8. Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin >10 %
setelah berada dalam lingkungan api) seperti kulit berwarna
pink sampai merah, takikardi, takipnea, sakit kepala, mual,
pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai
koma.

5. Mekanisme Trauma
a. Mekanisme trauma dibagi 2 :
1. Inhalasi Carbon Monoksida (CO)
CO merupakan gas yang dapat merusak oksigenasi jaringan,
dalam darah berikatan dengan Hb dan memisahkan Hb
dengan O2 sehingga akan menghalangi penggunaan
oksigen.
2. Trauma Panas Langsung Mengenai Saluran Nafas
Sering mengenai saluran nafas bagian atas jarang mengenai
bagian bawah karena sebelum mencapai trachea secara
reflek terjadi penutupan plica dan penghentian spasme
laryng. Edema mukosa akan timbul pada saluran nafas
bagian atas yang menyebabkan obstruksi lumen, 8 jam
pasca cedera. Komplikasi trauma ini merupakan penyebab
kematian terbanyak.
b. Cedera Termis
Menimbulkan gangguan sirkulasi keseimbangan cairan &
elektrolit, sehingga berakibat terjadi perubahan permeabilitas
kapiler dan menyebabkan odema selanjutnya terjadi syok
hipovolemi. Kejadian ini akan menimbulkan :
1) Paru
Perubahan inflamatorik mukosa bagian nafas bawah,
akan menimbulkan gangguan difusi oksigen Acquired
Respiratory Distress Syndrome(ARDS), ini akan timbul hari
ke – 4 dan 5 pasca cedera termis
2) Hepar
SGOT, SGPT meningkat
3) Ginjal (gagal ginjal akut)
4) Lambung
5) Usus
Illeus menyebabkan translokasi bakteri kemudian terjadi
sepsis yang menyebabkan perforasi akhirnya terjadilah
peritonitis
c. Macam Fase
1) Fase Sub-Akut
Terjadi setelah shock teratasi, luka terbuka disini akan
menimbulkan : Proses Inflamasi disertai eksudasi dan
kebocoran protein. Infeksi yang menimbulkan sepsis.
Proses penguapan cairan tubuh disertai panas (evaporasi
heat loss).
2) Fase Lanjut
Terjadi setelah penutupan luka sampai terjadi maturasi.
Masalah yang timbul adalah jaringan parut, kontraktur dan
deformitas akibat kerapuhan jaringan atau organ
struktural.

6. Komplikasi
1. Trauma paru berat, edema dan ketidakmampuan untuk
oksigenasi atau ventilasi yang adekuat dapat menyebabkan
kematian.
2. Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain
secara bersamaan dapat menyebabkan hipoksemia, trauma
organ dan morbiditas.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Pulse Oximetry
2) Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang
meningkat palsu akibat akatan CO terhadap hemoglobin
sehingga kadar karboksihemoglobin seringkali diartikan
sebagai oksihemaglon.
3) Analisa Gas darah
4) Untuk mengukur kdar karboksihemoglobin ,
keseimbangan asam basa dan kadara sianida. Sianida
dihasilakan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya
terjadi peningkatan kadar laktat plasma.
5) Elektrolit
6) Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasl dari
resusitasi cairan dalam jumlah besar
7) Darah lengkap
8) Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi
sasaat setelah trauma. Hematokrit yang menurun secara
progresif akibat pemulihan volume intravaskular. Anemia
berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau ke tidak
seimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih
untuk melihat adanya infeksi.
b. Foto thorak
Biasanya normal dalam 3-5 hari , gambran yang dapat muncul
sesudahnya termasuk atetektasis, edema paru dan ARDS.
c. Laringoskopi dan Bronkoskopi fiberoptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun
terapeutik. Pada bronkoskopi biasnya didapatkan gambaran
jelaga, ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial
berguna untuk menghilangkan debris dan sel- sel nekrotik pada
kasus-kassus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan
positif tidak cukup memadai.

8. Penatalaksanaan
Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah
penting untuk penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas
yang berakibat kematian. Pengobatan trauma inhalsi adalah bersifat
suportif.
1. Airway
Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalsi maka sebelum
dikirim ke pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat
untuk melindungi jalan nafas sebelum terjadi pembengkakan
wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam setelah
kejadian , dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan
adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral
tidak dapat dilakukan.
2. Breathing
Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernafasan seperti
susah nafas, stridor , batuk, retraksi suara nafas bilateral atau
anda –tanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen 100%
atau oksigen tekan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh
dari CO dalam darah.
3. Circulation
Pengukuran tekanan darah dan nadi untk mengetahut stabilitas
hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan
resusitasi cairan intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi
biasanya biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan
kristaloid 40-75 % lebih bnayak dibandingkan pasien yang
hanya luka bakar saja.
4. Neurologik
Pasien yang berespon atau sadar membantu untuk mengetahui
kemampuan mereka untuk melindungi jalan nafas dan
merupakan indikator yang baik untk mengukur kesussesan
resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali
memerlukan analgetik poten
5. Luka bakar
Periksa seluruh badan untuk mengetahui adanya trauma lain
dan luka bakar. Cuci Nacl kulit yang tidak terbakar untuk
menghindari sisa zat toksik
6. Medikasi
a. Kortikosteroid: Digunakan untuk menekan inflamasi dan
menurunkan edema
b. Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya
disebabkan oleh staphylococus Aureus dan Pseudomonas
Aeruginosa pada pasien-pasien dengan kerusakan paru
c. Amyl dan sodium nitrit untuk mengobati keracunan
sianida tetapi harus berhati-hati jika ditemukan pula tanda-
tanda keracunan CO kerena obat ini dapat menyebabkan
methahemoglobinemia. Oksigen dan sodium tiosulfat juga
dapat sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain
adalah hidroksikobalamin dan EDTA.
d. Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan
bronkokontriksi. Pada kasus-kasus berat , bronkodilator
digunakan secara intravena.

E. Konsep Asuhan Keperawatan

I. Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada,
adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran.
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan.
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan
menggunakan pipi perawat.
b. Breathing
Kaji pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau
tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau
wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak
jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya
sianosis dan capilar refil.Kaji juga kondisi akral dan nadi
pasien.

d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi
dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS
e. Exposure
Pakaian pasien segera dievakuasi guna mengurangi pajanan
berkelanjutan serta menilai luas dan derajat luka bakar.

2. Secondary Survey
1. Data Biografi
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
alamt, tnggal MRS, dan informan apabila dalam melakukan
pengkajian klita perlu informasi selain dari klien. Umur
seseorang tidak hanya mempengaruhi hebatnya luka bakar
akan tetapi  anak dibawah umur 2 tahun dan dewasa diatsa 80
tahun memiliki penilaian tinggi terhadap jumlah kematian
(Lukman F dan Sorensen K.C). data pekerjaan perlu karena
jenis pekerjaan memiliki resiko tinggi terhadap luka bakar
agama dan pendidikan menentukan intervensi ynag tepat
dalam pendekatan
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien luka
bakar (Combustio) adalah nyeri, sesak nafas. Nyeri dapat
disebabakna kerena iritasi terhadap saraf. Dalam melakukan
pengkajian nyeri harus diperhatikan paliatif, severe, time,
quality (p,q,r,s,t). sesak nafas yang timbul beberapa jam / hari
setelah klien mengalami luka bakardan disebabkan karena
pelebaran pembuluh darah sehingga timbul penyumbatan
saluran nafas bagian atas, bila edema paru berakibat sampai
pada penurunan ekspansi paru.
3. Riwayat penyakit sekarang
Gambaran keadaan klien mulai tarjadinya luka bakar,
penyabeb lamanya kontak, pertolongan pertama yang
dilakuakn serta keluhan klien selama menjalan perawatan
ketika dilakukan pengkajian.  Apabila dirawat meliputi
beberapa fase : fase emergency (±48 jam pertama terjadi
perubahan pola bak), fase akut (48 jam pertama beberapa hari 
/  bulan ), fase rehabilitatif (menjelang klien pulang).
4. Riwayat penyakit masa lalu
Merupakan riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita
oleh klien sebelum mengalami luka bakar. Resiko kematian
akan meningkat jika klien mempunyai riwaya penyakit
kardiovaskuler, paru, DM, neurologis, atau penyalagunaan
obat dan alcohol.
5. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran keadaan kesehatan keluarga dan
penyakit yang berhubungan dengan kesehatan klien, meliputi :
jumlah anggota keluarga, kebiasaan keluarga mencari
pertolongan, tanggapan keluarga mengenai masalah kesehatan,
serta kemungkinan penyakit turunan.
6. Riwayat psiko sosial
7. Pada klien dengan luka bakar sering muncul masalah konsep
diri body image yang disebabkan karena fungsi kulit sebagai
kosmetik mengalami gangguan perubahan. Selain itu juga luka
bakar juga membutuhkan perawatan yang laam sehingga
mengganggu klien dalam melakukan aktifitas. Hal ini
menumbuhkan stress, rasa cemas, dan takut.
a. Bernafas
Pada klien yang terkurung dalam ruang tertutup; terpajan
lama (kemungkinan cedera inhalasi). Yang dikaji adalah
serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum;
ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis;
indikasi cedera inhalasi. Pengembangan torak mungkin
terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas
atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan
laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas: gemericik
(oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan
nafas dalam (ronkhi).
b. Makan dan Minum
Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS
dan apabila terjadi perubahan pola menimbulkan masalah
bagi klien. Pada pemenuhan kebutuhan nutrisi
kemungkinan didapatkan anoreksia, mual, dan muntah.
c. Eliminasi
Haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat;
warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin,
mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis (setelah
kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam
sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada
luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres
penurunan motilitas/peristaltik gastrik.
d. Gerak dan Aktifitas :
Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak
pada area yang sakit; gangguan massa otot, perubahan
tonus.
e. Istirahat dan Tidur
Pola tidur akan mengalami perubahan yang dipengaruhi
oleh kondisi klien ddan akan mempengaruhi proses
penyembuhan
f. Pengaturan Suhu
Klien dengan luka bakar mengalami penurunan suhu pada
beberapa jam pertama pasca luka bakar, kemudian
sebagian besar periode luka bakar akan mengalami
hipertermia karena hipermetabolisme meskipun tanpa
adanya infeksi.
g. Kebersihan diri
Pada pemeliharaan kebersihan badan mengalami
penurunan karena klien tidak dapat melakukan sendiri.

h. Rasa Aman
Kulit umum: destruksi jaringan dalam mungkin tidak
terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trobus
mikrovaskuler pada beberapa luka. Area kulit tak terbakar
mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler
lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan
dengan kehilangan cairan/status syok.
1) Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam
sehubunagn dengan variase intensitas panas yang
dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong;
mukosa hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada
faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau
lingkar nasal.
2) Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen
penyebab. Kulit mungkin coklat kekuningan dengan
tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus;
nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara
mum ebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan
kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam
setelah cedera.
3) Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya
lebih sedikit di bawah nekrosis. Penampilan luka
bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar
(eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada
proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal
sehubungan dengan pakaian terbakar. Adanya
fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor,
kontraksi otot tetanik sehubungan dengan syok
listrik).
i. Rasa Nyaman
Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara
eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara
dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat
kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar
ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung
saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
j. Sosial
Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan,
kecacatan. Sehingga klien mengalami ansietas, menangis,
ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
k. Rekreasi
Mengetahui cara klien untuk mengatasi stress yang
dialami
l. Prestasi
Mempengaruhi pemahaman klien terhadap sakitnya
m. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki oleh klien akan mempengaruhi
respon klien terhadap penyakitnya

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh
panas sakit dan  gelisah sampai menimbulkan penurunan
tingkat kesadaran bila luka bakar mencapai derajat cukup berat
b. TTV
Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan
lemah sehingga tanda tidak adekuatnya pengembalian darah
pada 48 jam pertama
c. Pemeriksaan kepala dan leher
1) Kepala dan rambut
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan warna
rambut setalah terkena luka bakar, adanya lesi akibat luka
bakar, grade dan luas luka bakar.
2) Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak
mata, lesi adanya benda asing yang menyebabkan
gangguan penglihatan serta bulu mata yang rontok kena
air panas, bahan kimia akibat luka bakar
3) Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret, sumbatan
dan bulu hidung yang rontok.
4) Mulut
Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir
kering karena intake cairan kurang.
5) Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing,
perdarahan dan serumen.
6) Leher
Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami
peningkatan sebagai kompensasi untuk mengataasi
kekurangan cairan
d. Pemeriksaan thorak / dada
Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi
dada tidak maksimal, vokal fremitus kurang bergetar karena
cairan yang masuk ke paru, auskultasi suara ucapan egoponi,
suara nafas tambahan ronchi.
e. Abdomen
Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi
adanya nyeri pada area epigastrium yang mengidentifikasi
adanya gastritis.
f. Urogenital
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor / terdapat lesi
merupakantempat pertumbuhan kuman yang paling nyaman,
sehingga potensi sebagai sumber infeksi dan indikasi untuk
pemasangan kateter.
g. Muskuloskletal
Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat luka
baru pada muskuloskleletal, kekuatan oto menurun karen
nyeri.
h. Pemeriksaan neurologi
Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS.
Nilai bisa menurun bila supplay darah ke otak kurang (syok
hipovolemik) dan nyeri yang hebat (syok neurogenik).
i. Pemeriksaan kulit
1) Luas luka bakar
Untuk menentukan luas luka bakar dapat digunakan salah
satu metode yang ada, yaitu metode “rule of nine” atau
metode “Lund dan Browder”.
2) Kedalaman luka bakar
Kedalaman luka bakar dapat dikelompokan menjadi 4
macam, yaitu luka bakar derajat I, derajat II, derajat III
dan IV, dengan ciri-ciri seperti telah diuraikan dimuka.
3) Lokasi/area luka
Luka bakar yang mengenai tempat-tempat tertentu
memerlukan perhatian khusus, oleh karena akibatnya yang
dapat menimbulkan berbagai masalah. Seperti, jika luka
bakar mengenai derah wajah, leher dan dada dapat
mengganggu jalan nafas dan ekspansi dada yang
diantaranya disebabkan karena edema pada laring .
Sedangkan jika mengenai ekstremitas maka dapat
menyebabkan penurunan sirkulasi ke daerah ekstremitas
karena terbentuknya edema dan jaringan scar. Oleh karena
itu pengkajian terhadap jalan nafas (airway) dan
pernafasan (breathing) serta sirkulasi (circulation) sangat
diperlukan. Luka bakar yang mengenai mata dapat
menyebabkan terjadinya laserasi kornea, kerusakan retina
dan menurunnya tajam penglihatan.

IV. Diagnosa Keperawatan


1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon
monoksida, inhalasi asap dan obstruksi saluran nafas atas
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan
efek dari inhalasi asap
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler dan kehilangan lewat evaporasi dari luka
bakar
4. Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan
penurunan atau interupsi aliran darah arteri / vena
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi, lesi
6. Nyeri berhubungan dengan kerusakan kulit / jaringan

V. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1 Dx: Setelah 1. Pantau laporan GDA dan
Kerusakan dilakukan kadar karbon monoksida
pertukaran tindakan serum.
gas keperawatan 2. Berikan suplemen oksigen
berhubungan pasien pada tingkat yang
dengan mendapatkan ditentukan.
keracunan oksigenasi yang 3. Pasang atau bantu dengan
karbon adekuat. selang endotrakeal dan
monoksida, Kriteria hasil: tempatkan pasien pada
inhalasi asap ventilator mekanis sesuai
1. RR 12-24
dan obstruksi indikasi bila terjadi
x/mnt
saluran nafas insufisiensi pernafasan
2. Warna kulit
atas (dispneu hipoksia,
normal
hiperkapnia, rales, takipnea
3. GDA dalam
dan perubahan sensorium). 
renatng
4. Anjurkan pernafasan dalam
normal
dengan penggunaan
4. Tidak ada
spirometri selama tirah
kesulitan
baring.
bernafas
5. Pertahankan posisi semi
fowler, bila hipotensi tak
ada.  
2 Dx: Setelah Airway Management:
Bersihan dilakukan 1. Auskultasi suara napas
jalan napas tindakan sebelum dan sesudah
tidak efektif keperawatan dilakukan pembebasan
berhubunga selama 1x24 jalan napas, catat hasilnya
n dengan jam jalan napas 2. Lakukan fiksasi pada
edema dan klien kembali daerah kepala leher untuk
efek dari paten (terbebas meminimalkan terjadinya
inhalasi asap dari sumbatan), gerakan
dengan kriteria 3. Lakukan pembebasan
hasil: jalan napas secara manual
1. RR normal dengan teknik jaw thrust
(12- maneuver secara hati-hati
24x/menit) untuk mencegah
2. Ritme terjadinya gerakan leher
pernapasan 4. Lakukan pembebasan
reguler jalan napas dengan alat
3. Suara nafas oropharyngeal airwayjika
normal dibutuhkan
4. Tidak ada 5. Monitoring pernapasan
penggunaan dan status oksigenasi
oto bantu klien
nafas

3 Dx: Defisit Setelah 1. Monitoring CVP, kapiler


volume diberikan dan kekuatan nadi perifer.
cairan asuhan 2. Observasi pengeluaran
berhubunga keperawatan urin, berat jenis dan
n dengan selama …. jam warna urin.
peningkatan tidak ditemukan 3. Timbang berat badan
permeabilita tanda-tanda setiap hari  
s kapiler dan kekurangan 4. Ukur lingkar ekstremitas
kehilangan volume cairan yang terbakar tiap hari
lewat atau dehidrasi sesuai indikasi    
evaporasi dengan kriteria 5. Lakukan program
dari luka hasil: kolaborasi
bakar 1. membran meliputi: Pasang/
mukosa pertahankan kateter
lembab urine. 
2. integritas 6. Berikan penggantian
kulit baik cairan IV yang dihitung,
nilai elektrolit, plasma,
elektrolit albumin.   
dalam batas 7. Monitoring hasil
normal. pemeriksaan laboratorium
3. Intake dan (Hb, elektrolit,
output cairan natrium).    
tubuh pasien 8. Berikan obat sesuai
seimbang indikasi (diuretik)
9. Monitoring tanda-tanda
vital setiap jam selama
periode darurat, setiap 2
jam selama periode akut,
dan setiap 4 jam selama
periode rehabilitasi.-     
Warna urine.-     
Masukan dan haluaran
setiap jam selama periode
darurat, setiap 4 jam
selama periode akut,
setiap 8 jam selama
periode rehabilitasi.   
Status umum setiap 8
jam. 
4 Dx: Setelah 1. Kaji warna, sensasi,
Gangguan dilakukan gerakan, dan nadi perifer.
perfusi tindakan 2. Tinggikan ekstremitas
jaringan keperawatan, yang sakit.
tidak efektif diharapkan 3. Ukur TD pada ektremitas
berhubunga aliran darah yang mengalami luka
n dengan pasien ke bakar
penurunan jaringan perifer 4. Dorong latihan gerak aktif
atau adekuat 5. Lakukan kolaborasi dalam
interupsi Kriteria Hasil : mempertahankan
aliran darah 1. Nadi perifer penggantian cairan
arteri / vena teraba 6. Kolaborasi dalam
dengan mengawasi elektrolit
kualitas dan terutama natrium, kalium,
kekuatan dan kalsium
yang sama 7. Lakukan kolaborasi untuk
2. Pengisian menghindari injeksi IM
kapiler baik atau SC
3. Warna kulit
normal pada
area yang
cedera
5 Dx: Setelah 1. Kaji/catat ukuran, warna,
dilakukan
Kerusakan kedalaman luka, perhatikan
tindakan
integritas keperawatan, jaringan nekrotik dan
diharapkan
kulit b/d kondisi sekitar luka.
pasien
kerusakan menunjukkan 2. Lakukan perawatan luka
regenerasi
permukaan bakar yang tepat dan
jaringan dengan
kulit Kriteria hasil: tindakan kontrol infeksi.  
1. Mencapai
sekunder 3. Pertahankan penutupan
penyembuha
destruksi n tepat waktu luka sesuai indikasi.        
pada area
lapisan kulit. 4. Tinggikan area graft bila
luka bakar.
mungkin/tepat.  Pertahanka
n posisi yang diinginkan
dan imobilisasi area bila
diindikasikan. 
5. Pertahankan balutan diatas
area graft baru dan/atau sisi
donor sesuai indikasi. 
6. Cuci sisi dengan sabun
ringan, cuci, dan minyaki
dengan krim, beberapa
waktu dalam sehari, setelah
balutan dilepas dan
penyembuhan selesai. 
7. Lakukan program
kolaborasi, siapkan / bantu
prosedur bedah/balutan
biologis.
6 Dx:Nyeri Setelah Manajemen nyeri :
1. Kaji nyeri secara
berhubungan diberikan
komprehensif (lokasi,
dengan asuhan
karakteristik, durasi,
kerusakan keperawatan
frekuensi, kualitas dan
kulit/jaringan selama…. jam
faktor presipitasi).
tingkat
2. Observasi reaksi
kenyamanan
nonverbal dari
klien
ketidaknyamanan.
meningkat,
3. Gunakan teknik
nyeri terkontrol
komunikasi terapeutik
dg KH:
untuk mengetahui
1. Klien
pengalaman nyeri klien
melaporkan
sebelumnya.
nyeri
4. Kontrol faktor lingkungan
berkurang
yang mempengaruhi nyeri
dg scala
seperti suhu ruangan,
nyeri 2-3
pencahayaan, kebisingan.
2. Ekspresi
5. Kurangi faktor presipitasi
wajah
nyeri.
tenang
3. Klien dapat 6. Pilih dan lakukan
istirahat dan penanganan nyeri
tidur (farmakologis/non
farmakologis).
7. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk
mengatasi nyeri.
8. Kolaborasi untuk
pemberian analgetic.
9. Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/kontrol
nyeri.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sistem integumen terdiri dari organ terbesar dalam tubuh. Kulit


adalah sistem organ yang luar biasa melindungi struktur internal
tubuh dari kerusakan, mencegah dehidrasi, menghasilkan vitamin
dan hormon. Kulit adalah organ sensorik dalam hal ini memiliki
reseptor untuk mendeteksi panas dan dingin, sentuhan, tekanan dan
nyeri. Komponen kulit termasuk rambut, kuku, kelenjar keringat,
kelenjar minyak, pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf
dan otot. Kulit terdiri dari lapisan jaringan epitel (epidermis)
yang didukung oleh lapisan jaringan ikat (dermis) dan lapisan yang
mendasari (hypodermis atau subcutis).
Luka bakar adalah trauma yang diakibatkan oleh panas, bahan
kimia, arus listrik, dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan
yang lebih dalam. Luas permukaan tubuh yang terbakar akan
mempengaruhi metabolisme dan fungsi sel tubuh dan mengganggu semua
sistem terutama sistem kardiovaskuler (Rahayuningsih, 2015).

Resusitasi cairan adalah proses penggantian cairan tubuh, saat


pasien dalam kondisi kritis dan kehilangan terlalu banyak cairan, baik
dalam bentuk air maupun darah. Proses resusitasi cairan dilakukan dengan
pemasangan cairan infus.

Cedera inhalasi terjadi kalau menghirup gas toksit yang suhunya


sangat tinggi atau asap kebakaran . Karbon monoksida (CO) merupakan
produk sampingan kebakaran yang paling sering ditemukan : Hidrogen
Klorida dan Hidrogen sianida merupakan produk sampingan lainnya yang
sering terdapat pada kebakaran.

Pada kebakaran dalam ruangan tertutup dan bilamana kebakaran


mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa
jalan nafas akibat gas , asap atau uap panas yang terhisap. Cidera inhalasi
disebabkan oleh jenis bahan kimia terbakar (traceobronkitis) dari saluran
pernafasan. Bila cidera ini terjadi pada pasien dengan luka bakar kulit yang
parah kematian sangat tinggi antara 48% – 86%. Edema yang terjadi dapat
menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan nafas.

F. Saran

Penulis masih dalam tahap belajar dalam penulisan makalah ini


yang tentunya banyak kesalahan baik dalam segi penulisan maupun isi
makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dalam makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Borley R. Neil dan Grase A. Pierce. 2016. At a glance IlmuBedah. Edisi 3. Jakarta
Erlangga

Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2014. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi
Berbasis Klinis Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. 2015. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio,
V.J.M. & Dana, S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA:
Landes Bioscience
Grace, P.A & Borley, N.R. 2016. At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga

Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2016. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka
Bakar. Bagian Ilmu Kesehatann Anak,Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin,Bandung.
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta : Gosyen Publising.
Hidayat, A Aziz Alimul. 2018. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta. Salemba Medika
Horne, M., Pamela L. 2017. Keseimbangan Cairan Elektrolit & Asam basa.
EGC : Jakarta
Insley, J. 2014. Vade-Mecum Pediatri. EGC : Jakarta
Moenadjat Y. 2019. Luka bakar masalah dan tatalaksana. Jakarta : Balai penerbit
FKUI
Mohamad, Kartono. 2015. Pertolongan Pertama. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Nina, R. 2018. Efek Penyembuhan Luka Bakar dalam Sediaan Gel Ekstrak Etanol
70% Daun Lidah Buaya (Aloe Vera L) pada Kulit Punggung Kelinci New
Zealand. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Ortiz-Pujols SM, Thompson K, Sheldon GF, et al. 2015. Burn Care : Are There
Sufficient Prociders and Facilities?. Chapel Hill, North Carolina.
American College of Surgeons Health Policy Research Institute
Rahayuningsih. 2015. Penatalaksanaan Luka Bakar Combustio. Akademi
Keperawatan Bhaki Mulia.Sukoharjo
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga dalam Penanganan
Luka Bakar di RSUD Sukoharjo. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kusuma Husada. Surakarta.
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga Dalam Penanganan
Luka Bakar Di Rsud Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Stikes Kusuma
Husada.

Anda mungkin juga menyukai