Aspek Pembedahan Pada MDR TB

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 49

REFARAT

AGUSTUS 2021

ASPEK PEMBEDAHAN BULLAE PADA MDR TB

dr. Muhammad Harbi Praditya

Narasumber: dr. Muhammad Ali Syahputra, Sp.BTKV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi tertua yang melekat sepanjang
sejarah peradaban manusia dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia hingga hari ini.1 Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan TB sebagai Global Emergency.2,3
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020 yang diterbitkan oleh WHO,
diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 10 juta (8,9 – 11 juta) kasus. 4 Jumlah kasus terbanyak
adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan regio Pasifik Barat (18%).
Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak yang mencakup dua pertiga dari seluruh
kasus TB global yaitu India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan
(5,7%), Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Pada tahun 2019,
diperkirakan sebanyak 3,3% dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat
pengobatan TB sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau rifampicin-resistant (TB
MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak 465.000 (400.000 – 535.000) kasus TB MDR/RR
baru.4
Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9%
kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan
ulang.2 Berdasarkan laporan WHO diperkirakan selama tahun 2007 didapatkan kasus MDR
TB sekitar 0,5 juta kasus. Kasus MDR TB terbanyak didapatkan di India (131.000), China
(112.000), Rusia (43.000), Afrika Selatan (16.000), dan Bangladesh (15.000). Kasus MDR
TB ini bersifat mematikan, infeksius dan sukar disembuhkan.4
TB yang resistan terhadap banyak obat (MDR-TB) menimbulkan tantangan yang
signifikan untuk pengendalian TB di seluruh dunia, dan sering terkait dengan hasil
terburuk.5-8 Cina adalah salah satu dari 27 negara di dunia dengan beban tertinggi MDR-TB
dan TB resistan obat secara ekstensif (XDR-TB).8 Sebuah meta-analisis baru-baru ini
menunjukkan bahwa kasus MDR-TB telah mulai menurun dengan penerapan strategi
pengobatan TB-MDR, tetapi prevalensinya tetap tinggi, dengan 3% untuk TB-XDR.9-10
Angka-angka ini menunjukkan bahwa MDR-TB dan XDR-TB merupakan masalah serius

2
dan mengkhawatiran di Cina.11 Perawatan medis untuk MDR-TB saat ini biasanya tidak
memuaskan, dengan toksisitas, biaya tinggi, dan perkiraan angka kematian 26%.12-15 Oleh
karena itu, pilihan untuk menjalani reseksi paru untuk mengangkat paru-paru, lobus, atau
segmen mungkin dapat ditawarkan untuk menghilangkan sejumlah besar sel TB yang tidak
berespon terhadap pengobatan. Meskipun pedoman standar emas pengobatan untuk MDR-
16-17
dan XDR-TB telah diterbitkan, untuk manajemen bedah TB paru masih kontroversial.
Telah menjadi jelas bahwa pembedahan hanya boleh dilakukan dan dipertimbangkan untuk
pasien yang telah dipilih dengan cermat. Tapi masih ada beberapa perdebatan tentang
indikasi untuk operasi, kondisi dan waktu operasi, jenis operasi yang cocok untuk
tatalaksana TB, dan yang merupakan kontraindikasi untuk operasi elektif.12-13

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis complex.

2.1.2. Etiologi

Bakteri penyebab tuberkulosis termasuk ordo Actinomycetalis,familia


Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberap
spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada
manusia.

2.1.3. Morfologi dan Struktur

Bakteri M. tuberculosis berbentuk batang, ukurannya 1 – 4 μm x 0,3 – 0,6 μm


sehingga dapat dengan mudah masuk ke saluran pernapasan bawah. Komponen
dinding selnya sangat kompleks, hampir 60% terdiri dari asam lemak mikolat, wax D,
fosfatida, sulfatida dan trehalosa dimikolat menyebabkan bakteri ini lebih tahan
terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid yang tinggi
pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam dan basa dan
juga tahan terhadap kerja bakterisidal. Fosfatida pada dinding kuman ini diduga
bertanggung jawab terhadap nekrosis dan kaseosa jaringan. Wax D bukan suatu lilin
sejati (true wax) tetapi mengandung asam mikolat dan glikopeptida. Wax D ini
berperan dalam immunogenitas.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen
lipid, polisakarida dan protein. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang
menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan
yang tidak disekresi (somatik).

Genom M. tuberculosis terdiri dari 4,41 Mb (mega base) pasangan basa dan
mengandung 4.009 gen. Keunikan dari genom M. tuberculosis dibandingkan dengan
genom bakteri lain adalah pada banyaknya gen yang terlibat dalam proses lipogenesis
dan lipolisis. Gen tersebut diduga terkait dengan sintesis dan pemeliharaan
dinding sel bakteri. Sekitar 52% dari protein yang disintesis dari gen tersebut telah
diketahui fungsinya. Dari analisis genetik tersebut, diketahui bahwa M. tuberculosis
memiliki potensi untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang bervariasi, termasuk
dalam lingkungan dengan tekanan oksigen yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan
M. tuberculosis dapat bertahan dormant di dalam tubuh dalam kondisi yang tidak
optimal dan dapat mengalami reaktivasi di kemudian hari jika situasi lingkungan
memungkinkan.14
Mycobacterium memiliki 120 spesies dengan delapan spesies di antaranya
adalah M. tuberculosis complex. M. tuberculosis complex terdiri dari delapan spesies
yaitu: M. tuberculosis, M. bovis, M. Caprae, M. africanum, M. microti, M. canneti, M.
pinnipedii.

2.1.3. Epidemiologi

Pada tahun 1993, WHO menyatakan TB menjadi keadaan darurat kesehatan


masyarakat global, dimana diperkirakan 7-8 juta kasus TB dan 1.300.000 - 1.600.000
kematian akibat TB terjadi setiap tahun. Tuberkulosis adalah penyebab kematian
utama kedua dari penyakit infeksi setelah HIV di seluruh dunia. Laporan WHO dalam
Global Tuberculosis Report 2012, pada tahun 2011 diperkirakan lebih dari 9 juta TB
kasus baru dan kematian akibat TB sebanyak 1,4 juta jiwa (990.000 kasus pada TB
dengan HIV negatif dan 430.000 kasus TB dengan HIV positif). Laporan WHO
Regional Asia Tenggara tahun 2012,
Asia Tenggara menyumbangkan 40% dari seluruh kasus TB tersebut. Dan dalam
laporan WHO tahun 2012, pada tahun 2011 Indonesia berada pada ranking ke empat
negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia. Berikut 5 negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia yaitu India (2 – 2,5 juta kasus), China (0,9 – 1,1 juta kasus), Afrika
Selatan (0,4–0,6 juta kasus), Indonesia dan Pakistan (0,3-0,5 juta kasus). Indonesia
dengan jumlah penduduk sebanyak 242 juta jiwa, pada tahun 2011 diestimasi
prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 680.000 kasus atau rata-rata kejadian 281
kasus per 100.000 penduduk (termasuk kasus TB dengan HIV) dan estimasi insidensi
berjumlah 450.000 kasus baru per tahun atau rata – rata 187 kasus per 100.000
penduduk (termasuk kasus TB dengan HIV). Sedangkan kasus TB dengan HIV saja
estimasi insidensinya 15.000 kasus atau 6,2 kasus per 100.000 penduduk. Dan
pencapaian Indonesia dalam penemuan kasus dalam semua bentuk kasus TB mencapai
70 % (59-85%).

2.1.4 Patogenesis Tuberkulosis

Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun dari inang (host). Pada
sebagian besar inang, invasi patogen TB akan direspon secara adekuat oleh sistem
imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya infeksi. Secara
paradoks, sebagian besar kerusakan jaringan yang ditimbulkan pada infeksi TB justru
berasal dari respon imun inang, misalnya pada kejadian nekrosis perkijuan dan kavitas
yang khas dilihat pada paru pasien TB. Pada pasien dengan sistem imun yang
inadekuat, misalnya pada pasien HIV, dapat menghasilkan tanda dan gejala yang
atipikal. Pada pasien TB-HIV, penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto
toraks. Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit dijumpai kerusakan jaringan
akibat respon imun inang pada pasien TB-HIV, rendahnya respon imun mengakibatkan
bakteri TB lebih mudah berproliferasi dan menyebar. Hal tersebut dapat dilihat dari
gambaran foto toraks TB miliar yang umum dijumpai pada pasien TB-HIV.
Tidak semua orang yang terpajan dengan patogen TB akan berkembang menjadi
penyakit TB. Secara skematis, persentase orang terpajan TB yang akan berkembang
menjadi penyakit TB dapat dilihat pada Gambar 1.
Tidak terinfeksi
Pajanan terhadap (70%)
TB aktif (5%)
patogen TB
Terinfeksi (30%) Reaktivasi (5%)
TB laten (95%)
Tetap sebagai TB
laten (95%)

Gambar 1. Persentase orang terpajan kuman TB yang berkembang menjadi


penyakit TB

Sekitar 30% dari orang yang terpajan terhadap kuman TB akan terinfeksi dengan
TB. Dari pasien yang terinfeksi TB, sekitar 3 – 10 % akan berkembang menjadi TB
aktif dalam 1 tahun pertama setelah infeksi. Setelah 1 tahun, sekitar 3 – 5 % pasien
dengan TB laten akan berkembang menjadi TB aktif, sisanya akan tetap memiliki TB
laten sepanjang hidup.

2.1.5 Klasifikasi Kasus

1. Terduga TB
Terduga TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala utama pasien
TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV
positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk
tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih

2. Kasus TB
o Kasus TB definitif yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium
tuberculosis kompleks yang diidentifikasi dari spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh,
usap tenggorok dll) dan kultur. Pada negara dengan keterbatasan kapasitas
laboratorium dalam mengidentifikasi M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat
ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif.
ATAU
o Seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB
sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan
paduan dan lama pengobatan yang lengkap.

Kasus TB dibagi menjadi dua klasifikasi utama, yaitu:


 Pasien TB Terkonfirmasi Bakteriologis
Yaitu pasien TB yang ditemukan bukti infeksi kuman MTB berdasarkan
pemeriksaan bakteriologis. Termasuk di dalamnya adalah:
o Pasien TB paru BTA positif
o Pasien TB paru hasil biakan MTB positif
o Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif
o Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
o TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
 Pasien TB Terdiagnosis Secara Klinis

Yaitu pasien TB yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis,


namun berdasarkan bukti lain yang kuat tetap didiagnosis dan ditata laksana sebagai
TB oleh dokter yang merawat. Termasuk di dalam klasifikasi ini adalah:
o Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
o Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB.
o Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
o TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Pasien TB yang
terdiagnosis secara klinis jika dikemudian hari terkonfirmasi secara
bakteriologis harus diklasifikasi ulang menjadi pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis.
Selain berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, terdapat beberapa klasifikasi
lain yang dapat digunakan untuk mempermudah komunikasi antara petugas kesehatan
dan pencatatan data.
 Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:
o Tuberkulosis paru: yaitu TB yang berlokasi di parenkim paru. TB milier
dianggap sebagai TB paru karena adanya keterlibatan lesi pada jaringan
paru. Pasien TB yang menderita TB paru dan ekstraparu bersamaan
diklasifikasikan sebagai TB paru.
o Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ selain paru, dapat
melibatkan organ pleura, kelenjar limfatik, abdomen, saluran kencing,
saluran cerna, kulit, meninges, dan tulang. Jika terdapat beberapa TB
ekstraparu di organ yang berbeda, pengklasikasian dilakukan dengan
menyebutkan organ yang terdampak TB terberat.

 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


o Kasus baru TB: kasus yang belum pernah mendapatkan obat anti
tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT dengan total dosis
kurang dari 28 hari.
o Kasus yang pernah diobati TB:
 Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis kembali dengan TB.
 Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah diobati dengan OAT dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
 Kasus putus obat: kasus yang terputus pengobatannya selama
minimal 2 bulan berturut- turut.
 Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

 Klasifikasi hasil uji kepekaan obat:


o TB Sensitif Obat (TB-SO)
o TB Resistan Obat (TB-RO):
 Monoresistan: bakteri resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama
 Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resisten
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.
 Poliresistan: bakteri resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama, namun tidak Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) bersamaan.
 Multi drug resistant (TB-MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti
resistensi terhadap OAT lini pertama lainnya.

 Pre extensively drug resistant (TB Pre-XDR): memenuhi kriteria TB


MDR dan resistan terhadap minimal satu florokuinolon
 Extensively drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT grup A
(levofloksasin, moksifloksasin, bedakuilin, atau linezolid)

 Klasifikasi berdasarkan status HIV:


o TB dengan HIV positif
o TB dengan HIV negatif
o TB dengan status HIV tidak diketahui

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan


fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

2.1.6.1 Gambaran Klinis


Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala utama
dan gejala tambahan:
1. Gejala utama
Batuk berdahak ≥ 2 minggu
2. Gejala tambahan
 batuk darah
 sesak napas

 badan lemas

 penurunan nafsu makan


 penurunan berat badan yang tidak disengaja

 malaise

 berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik

 demam subfebris lebih dari satu bulan


 nyeri dada

Gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada pasien dengan koinfeksi HIV.

Selain gejala tersebut, perlu digali riwayat lain untuk menentukan faktor risiko
seperti kontak erat dengan pasien TB, lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat
penduduk, dan orang yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan pajanan
infeksi paru, misalnya tenaga kesehatan atau aktivis TB.
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2.1.6.2 Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah kasar/halus, dan/atau
tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi
ditemukan suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

Apeks lobus superior


Apeks lobus inferior

Gambar 2. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

2.1.6.3 Pemeriksaan Bakteriologis

a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan bakteri tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Untuk pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup satu kali.
Bahan pemeriksaan hasil BJH (Biopsi Jarum Halus) dapat dibuat menjadi
sediaan apus kering di gelas objek. Untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan
dapat ditambahkan NaCl 0.9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium
mikrobiologi dan patologi anatomi.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, feses, dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara:
 Mikroskopis
 Biakan

d. Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopis fluoresens:
pewarnaan auramin-rhodamin
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah basil
yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

e. Pemeriksaan biakan bakteri TB


Pemeriksaan biakan bakteri merupakan baku emas (gold standard) dalam
mengidentifikasi M.tuberculosis. Biakan bakteri untuk kepentingaan klinis umum
dilakukan menggunakan dua jenis medium biakan, yaitu:
 Media padat (Lowenstein-Jensen).
 Media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT).

2.1.6.4 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks dengan proyeksi
postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi klinis misalnya foto toraks
proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat menghasilkan gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:


 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
 Bayangan bercak milier.

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:


 Fibrotik

 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed lung ):


 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, multikavitas, dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi
tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit.

2.1.6.5 Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif, kesan cairan
eksudat, terdapat sel limfosit dominan, dan jumlah glukosa rendah.

Pemeriksaan adenosine deaminase (ADA) dapat digunakan untuk membantu


menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Adenosine deaminase adalah enzim yang
dihasilkan oleh limfosit dan berperan dalam metabolisme purin. Kadar ADA
meningkat pada cairan eksudat yang dihasilkan pada efusi pleura TB.

2. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:
 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB).
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman).
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).
 Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai TB.
 Otopsi.
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan
ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur,
sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi
2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah:

2RHZE / 4 RH
Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin (R),
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol(E) selama 2 bulan dilanjutkan dengan
pemberian Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan pada fase lanjutan.
Pemberian obat fase lanjutan diberikan sebagai dosis harian (RH) sesuai dengan
rekomendasi WHO.19
Pengobatan tuberkulosis standar dibagi menjadi:
• Pasien baru.
Paduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis setiap
hari.
• Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, Pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Fasilitas
kesehatan perlu melakukan uji kepekaan obat, pasien dapat diberikan OAT
kategori 1 selama menunggu hasil uji kepekaan. Pengobatan selanjutnya
disesuaikan dengan hasil uji kepekaan.
• Pengobatan pasien TB resisten obat (TB-RO) di luar cakupan pedoman ini
Catatan:
Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
sedangkan kasus TB-RO dirujuk ke pusat rujukan TB-RO.
Tuberkulosis paru dan ekstraparu diobati dengan regimen pengobatan yang sama
dan lama pengobatan berbeda yaitu:
• Meningitis TB, lama pengobatan 9 – 12 bulan karena berisiko kecacatan
dan mortalitas. Etambutol sebaiknya digantikan dengan Streptomisin.
• TB tulang belakang, lama pengobatan 9 – 12 bulan.
• Kortikosteroid diberikan pada meningitis TB, TB milier berat, dan
perikarditis TB.Limfadenitis TB lama pengobatan 6 bulan dan dapat
diperpanjang hingga 12 bulan. Perubahan ukuran kelenjar (membesar atau
mengecil) tidak dapat menjadi acuan dalam menentukan durasi
pengobatan.20

2. Pengobatan Suportif / Simptomatis

Merupakan pengobatan sesuai gejala dan tanda yang dialami pasien, seperti
mukolitik untuk batuk, antipiretik untuk demam, dan multivitamin untuk kelemahan

3. Terapi Pembedahan

lndikasi operasi :
i. Indikasi mutlak
a. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
ii. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan invasif (Selain Pembedahan)


• Bronkoskopi
• Punksi pleura
• Pemasangan water sealed drainage (WSD)

Pembedahan dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan dalam TB ekstraparu.


Pembedahan dibutuhkan dalam pengobatan komplikasi pada keadaan seperti
hidrosefalus, obstruksi uropati, perikarditis konstriktif dan keterlibatan saraf pada TB
tulang belakang (TB spinal). Pada limfadenitis TB yang besar dan berisi cairan maka
diperlukan tindakan drainase atau aspirasi / insisi sebagai salah satu tindakan terapeutik
dan diagnosis

2.2 Multi Drugs Resisten (MDR) TB

2.2.1 Pengertian

Resistansi kuman Mycobacterium tuberculosis (Mtb) disebabkan oleh mutasi


spontan pada kromosom. Proporsi kuman Mtb yang sudah mengalami mutasi (wild-
type resistant mutants) pada pasien yang tidak pernah mendapatkan OAT sangat
sedikit. Pengobatan TB menyebabkan hambatan selektif pada populasi kuman Mtb
sehingga kuman Mtb sensitif dibunuh, sementara populasi mutan akan bereproduksi
dan menyebabkan terjadinya resistansi terhadap OAT (resistansi didapat).
Resistansi di antara pasien baru adalah resistansi terhadap OAT pada pasien yang
belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah mendapatkan OAT
kurang dari 1 bulan. Pasien ini terinfeksi dari orang dengan kuman TB resistan.
Sementara resistansi di antara pasien yang pernah diobati adalah resistansi yang terjadi
pada pasien yang pernah mendapatkan pengobatan TB > 1 bulan, termasuk pasien
gagal pengobatan, pasien kambuh atau kembali setelah putus berobat. Pasien ini bisa
mendapatkan kuman resistan selama pengobatan, atau mengalami reinfeksi / terinfeksi
secara primer dari orang dengan kuman TB resistan.

2.2.2 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya TB Resistan Obat

Faktor utama penyebab terjadinya resistansi kuman terhadap OAT adalah akibat
tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak adekuat atau tidak sesuai standar.
Resistansi OAT dapat disebabkan oleh 3 faktor berikut:

 Pemberi jasa (petugas kesehatan), yaitu karena:


 Diagnosis tidak tepat

 Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat

 Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak


adekuat

 Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat

 Pasien, yaitu karena:

• Tidak mematuhi anjuran dokter / petugas kesehatan

• Tidak teratur menelan paduan OAT

• Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya

• Memiliki gangguan penyerapan obat

 Program Pengendalian TB, yaitu karena:

• Persediaan OAT yang kurang

• Rendahnya kualitas OAT yang disediakan

2.2.3 Kriteria Terduga TB Resistan Obat

Pada dasarnya, terduga TB RO adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan
satu atau lebih riwayat pengobatan atau kriteria berikut:
1. Pasien TB gagal pengobatan dengan OAT kategori 2
2. Pasien TB pengobatan OAT kategori 2 yang tidak konversi
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB tidak standar atau
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua selama minimal 1 bulan
4. Pasien TB gagal pengobatan dengan OAT kategori 1
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
6. Pasien TB kasus kambuh setelah pengobatan OAT kategori 1 ataupun kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah putus berobat
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB RO
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak responsif secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis TB di awal
tidak menggunakan TCM)
Pasien yang sudah terdiagnosis TB RO dan menjalani pengobatan juga dapat kembali
menjadi terduga TB RO. Beberapa kriteria terduga TB RO yang telah mendapatkan
pengobatan sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Pasien TB RO yang gagal pengobatan
2. Pasien TB RO kasus kambuh
3. Pasien TB RO yang kembali setelah putus berobat

Terduga TB RO baik dari kelompok pasien yang belum pernah mendapatkan


pengobatan maupun yang telah diobati merupakan pasien dengan risiko tinggi mengalami TB
RO, dan harus segera dilanjutkan dengan penegakan diagnosis menggunakan pemeriksaan
TCM.

2.2.4 Penegakan Diagnosis Tb Resistan Obat

Beberapa jenis pemeriksaan laboratorium mikrobiologi yang digunakan untuk


penegakan diagnosis maupun pemantauan pengobatan TB RO:
1) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler
Pemeriksaan TCM dengan alat Xpert MTB/RIF merupakan tes amplifikasi asam
nukleat secara otomatis untuk deteksi bakteri M. tuberculosis complex dan gen resistansi
terhadap rifampisin (rpoB). Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2
jam. Hasil pemeriksaan TCM terdiri dari:
a) MTb terdeteksi dengan hasil Rifampisin berupa:
− Rifampisin Resistan terdeteksi atau hasil “Rif Res”
− Rifampisin Resistan tidak terdeteksi atau hasil “Rif Sen”
− Rifampisin Resistan Indeterminate atau hasil “Rif Indet”
b) MTb tidak terdeteksi atau hasil “negatif”
c) Hasil gagal yaitu invalid, no result, atau error

2) Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis BTA dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari uji kepekaan yang dilakukan segera setelah pasien
terkonfirmasi TB Rifampisin Resistan sebelum pasien memulai pengobatan TB RO. Selain
itu, pemeriksaan mikroskopis juga dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan biakan follow
up selama masa pengobatan yang dilakukan sesuaijadwal. Hasil pemeriksaan mikroskopis
berupa hasil positif (dengan gradasi scanty, 1+, 2+, 3+) serta hasil negatif. Interpretasi hasil
pemeriksaan mikroskopis dapat dilihat pada dokumen Petunjuk Teknis Pemeriksaan
Miskroskopis TB.

3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan bertujuan untuk menumbuhkan dan mengidentifikasi kuman MTb
menggunakan media media padat (Lowenstein Jensen / LJ) atau media cair (Mycobacteria
Growth Indicator Tube / MGIT). Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Biakan menggunakan media padat relatif lebih murah dibanding media cair
tetapi memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 3-8 minggu. Sebaliknya bila menggunakan
media cair hasil biakan sudah dapat diketahui dalam waktu 1-2 minggu tetapi memerlukan
biaya yang lebih mahal. Hasil pemeriksaan biakan dengan media padat adalah hasil positif
(dengan gradasi) maupun negatif, sedangkan hasil pemeriksaan biakan dengan media cari
adalah hasil positif (tanpa gradasi) dan negatif.

4) Pemeriksaan Uji Kepekaan secara Fenotipik


Uji kepekaan M. tuberculosis complex dilakukan untuk mengetahui adanya resistansi
kuman Mtb terhadap OAT. Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M. tuberculosis
complex dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode fenotipik
dan metode genotipik. Metode fenotipik menggunakan media padat (LJ) maupun cair
(MGIT). Saat ini, pemeriksaan uji kepekaan secara konvensional dalam Program
Penanggulangan TB hanya dilakukan menggunakan media cair (MGIT). Pemeriksaan ini
harus dilakukan oleh laboratorium yang sudah tersertifikasi oleh laboratorium rujukan
nasional TB. Pengembangan kapasitas laboratorium untuk pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan terus diupayakan. Guna menghindari beban kerja yang terlalu banyak pada
laboratorium rujukan, maka dilakukan pengaturan alur rujukan untuk pemeriksaan
laboratorium oleh Kementerian Kesehatan RI.
Jenis obat yang diperiksa dalam Program TB ditentukan berdasarkan jenis obat yang
digunakan oleh pasien TB RO. Program TB berupaya untuk membangun kemampuan
pemeriksaan uji kepekaan bagi obat baru yang reliabel berdasarkan rekomendasi WHO tahun
2018 yaitu bedaquiline, linezolid, clofazimin, delamanid dan pirazinamid. Uji kepekaan
terhadap etionamid/protionamide dapat disimpulkan dari hasil uji kepekaan molekuler
terhadap INH yaitu adanya mutasi pada gen inhA dengan LPA lini satu. Uji kepekaan
fenotipik terhadap sikloserin/terizidone, etambutol, etionamid/ protionamide,
imipenem/meropenem dan PAS tidak dikerjakan karena reliabilitasnya rendah.

Pada September 2019 telah terjadi perubahan pada pemeriksaan uji kepekaan TB
lini satu dan dua menjadi pemeriksaan paket standar uji kepekaan (Standardized Drug
Susceptibility Test Packages / SDP). Laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
dipersiapkan untuk menggunakan obat- obat baru melalui panel SDP. Berikut adalah tabel
tentang periodisasi laboratorium uji kepekaan TB pada pelaksanaan panel SDP tahun
2018 sampai dengan 2020.

2.2.5 Alur Diagnosis TB RO

Diagnosis TB resistan obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan M. tuberculosis kompleks,


baik menggunakan metode fenotipik maupun genotipik. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
nomor 67 tahun 2016, penegakan diagnosis TB dilakukan menggunakan TCM maupun mikroskopis
sesuai Gambar 2 berikut
Terduga TB

2.2.6 Pengobatan TB Resistan Obat

1. Strategi Pengobatan TB RO
Strategi pengobatan pasien TB RO adalah memastikan semua pasien yang sudah
terkonfirmasi sebagai TB RR/ MDR dapat mengakses pengobatan secara cepat, sesuai standar
dan bermutu. Paduan obat untuk pasien TB RO terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua.
Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
Tuberculosis. Keputusan penggantian tersebut ditetapkan oleh tim ahli klinis TB RO.
Semua pasien TB RO perlu menjalani pemeriksaan awal, pemeriksaan selama
pengobatan berlangsung sampai selesai pengobatan, dan pemeriksaan setelah selesai masa
pengobatan. Persiapan awal pengobatan meliputi pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung), pemeriksaan elekrolit,
dan berbagai pemeriksaan laboratorium lain. Pemeriksaan selama pasien dalam masa
pengobatan TB RO bertujuan untuk memantau perkembangan pengobatan dan efek samping
obat.
Pengobatan TB RO harus bisa dimulai dalam waktu 7 hari setelah diagnosis pasien
ditegakkan. Pengobatan untuk pasien TB RO diberikan dengan rawat jalan (ambulatory) sejak
awal dan diawasi setiap hari secara langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Sesuai
dengan rekomendasi WHO tahun 2020, pengobatan TB RO di Indonesia saat ini menggunakan
paduan tanpa obat injeksi, yang terbagi menjadi dua, yaitu paduan pengobatan jangka pendek
(9–11 bulan) dan jangka panjang (18–20 bulan).

2. Pengelompokan Obat dan Alur Pengobatan TB Resistan Obat

Progam Penanggulangan TB Nasional telah melakukan pembaharuan pengelompokan


obat TB RO sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2018. Penggolongan obat TB RO ini
didasarkan pada studi mendalam yang dilakukan WHO terkait manfaat dan efek samping dari
obat-obat tersebut. Pengelompokan obat TB RO yang saat ini digunakan di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel berikut.

Tabel Pengelompokan obat TB RO


Levofloksasin / Moxifloksasin Lfx
Grup A Bedaquilin /Mfx
e Bdq
Linezolid Lzd
Clofazimine Cf
Grup B Sikloserin z
atau Cs
Terizidone Trd
Etambutol E Dlm
Delamanid Z
Pirazinamid Ipm-
Imipenem– Cln
silastatin Mpm
Grup C Meropenem Amk
Amikasin atau S
Streptomisin Eto
Etionamid atau Pto
Protionamid PA
p-aminosalicylic acid S

2.2.6.3 Tata Laksana Pasien Gagal Pengobatan TB RO

Keputusan untuk menetapkan kasus gagal pengobatan dilakukan oleh tim ahli klinis di rumah
sakit layanan TB RO atau dokter terlatih di fasyankes TB RO berdasarkan pertimbangan klinis dan
hasil biakan.

Pasien yang secara klinis, radiologis, dan biakan menunjukkan penyakit masih aktif
progresif, atau kondisi klinis kembali memburuk setelah pengobatan bulan ke-4. Langkah-
langkah yang harus dilakukan pada pasien dengan resiko gagal pengobatan:
1) Menelaah kartu pengobatan pasien (TB.01 MDR) untuk menilai kepatuhan
pengobatan.
2) Melakukan konfirmasi apakah pasien sudah menelan semua obat yang diberikan,
dengan melakukan wawancara ulang pada pasien.
3) Menelaah ulang paduan pengobatan TB RO dan menghubungkannya dengan riwayat
pengobatan, kontak dengan pasien TB RO dan laporan hasil uji kepekaan. Bila paduan
tersebut tidak adekuat maka sebaiknya ditetapkan paduan yang baru.
4) Menelaah ulang hasil pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan secara serial, serta
membandingkannya dengan kondisi klinis pasien dan gambaran radiologis.
5) Melakukan uji kepekaan ulang untuk OAT lini kedua untuk mengetahui apakah ada
resistansi tambahan terhadap OAT lini kedua.
6) Pasien dengan hasil pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan negatif tetapi terdapat
perburukan klinis mungkin diakibatkan oleh penyakit lain selain TB RO.
7) Menelaah ulang adanya penyakit lain yang dapat menurunkan absorpsi obat (seperti
diare kronik) atau penurunan sistem imunitas (HIV, kemoterapi).
8) Perubahan paduan pengobatan ditetapkan oleh TAK atau dokter terlatih di rumah sakit
rujukan TB RO.
9) Penatalaksanaan dilakukan seoptimal mungkin, termasuk pertimbangan pengobatan
yang akan diberikan ataupun tindakan lain yang diperlukan (operasi).

2.3 Aspek Pembedahan pada MDR TB

2.3.1 Sejarah Pembedahan pada TB

Catatan sejarah singkat operasi bedah untuk pengobatan TB memiliki sejarah panjang,
mendahului penemuan M.tuberkulosis. Selama hampir dua abad sebelum pengenalan obat anti-TB
yang efektif, operasi adalah salah satu pilihan pengobatan utama untuk TB.21-25
Pada tahun 1726, ahli bedah Inggris E. Barry mengeringkan rongga paru-paru TB purulen
(pneumotomi).23 Pada tahun 1882, Carlo Forlanini memperkenalkan collapsotherapy ke dalam
pengobatan TB paru, memprovokasi pneumotoraks buatan.26 Namun, itu hanya setelah
perkembangan metode pencitraan radiografi dan pengenalan manometer bahwa prosedur bedah
menjadi lebih aman dan lebih dapat diandalkan.22 Setelah penemuan M. tuberculosis oleh Robert
Koch pada tahun 1882, intervensi bedah tetap menjadi pilihan terapi yang paling umum untuk
pengobatan pasien TB, meskipun pendekatan ini tidak selalu berhasil. Pada tahun 1890, Spengler
berhasil melakukan thoracoplasty dan pada tahun 1891, Theodore Tuffier melakukan reseksi paru
pada pasien TB.25 Dalam periode 1910–1912, Hans Christian Jacobeus mengembangkan
torakoskopi dan operasi yang efektif untuk kauterisasi tertutup adhesi pleura.22 Pada tahun 1938,
Vincent Monaldi memperkenalkan thoracostomy (drainase) untuk pengobatan TB kavitas. 23 Pada
tahun 1933, Heidenhain Lilienthal melakukan pneumonektomi pertama yang berhasil untuk
pengobatan TB, dan lobektomi pertama dilaporkan oleh Samuel Freedlander pada tahun 1935. 22
Pada tahun 1947, L.K. Bogoush melakukan yang pertama pneumonektomi di bekas Uni Soviet
untuk perawatan pasien dengan TB paru kavitas progresif. 25 Dengan diperkenalkannya obat anti-TB
modern pada tahun 1952, operasi sebagian besar ditinggalkan 21 dan, hingga saat ini, OAT telah
menjadi metode pengobatan utama untuk TB, termasuk bentuk yang resistan terhadap obat. Di
negara-negara industri Australia, Eropa, Jepang dan Amerika Utara, jumlah operasi turun drastis
22
karena insiden dan prevalensi TB menurun dan obat-obatan efektif. Indikasi untuk operasi lebih
lanjut dibatasi di daerah-daerah itu, meskipun hanya di negara-negara bekas Uni Soviet, operasi
tetap menjadi pilihan yang relatif luas untuk pengobatan TB.21-25 Seperti yang ditekankan Sir John
Crofton, untuk menyembuhkan hampir semua pasien TB dengan tanpa operasi.23 Namun,
munculnya dan penyebaran MDR- dan XDR-TB strain M. tuberculosis secara global telah
mengakibatkan kebangkitan kasus yang hampir tidak dapat disembuhkan dan bahkan fatal. 27-28
MDR/XDR-TB saat ini mewakili tantangan kritis untuk pengendalian TB secara global karena
beberapa pilihan terapi yang tersedia.

2.3.2 Indikasi Pembedahan

Indikasi untuk intervensi bedah dalam pengobatan TB paru pada tinjauan sistematis baru-
baru ini melaporkan bahwa reseksi paru dikombinasikan dengan obat anti-TB untuk MDR-TB telah
21-22 29-44
mencapai tingkat keberhasilan pengobatan di beberapa rangkaian hingga 88-92% kasus ,
serta penurunan kemungkinan semua penyebab kematian. Meskipun kombinasi ini merupakan hasil
yang menguntungkan, peran operasi tetap cukup kontroversial dalam publikasi terbaru Pedoman
pengobatan MDR-TB.44-46 Indikasinya terbatas pada pengelolaan kasus TB yang rumit (termasuk
hemoptisis masif, bronkiektasis, stenosis bronkial, fistula bronkopleural dan aspergilloma) dan,
sebagian besar, untuk kasus-kasus di mana perawatan medis gagal. 21,35,40,44,47-53 Di antara studi yang
menilai operasi untuk semua bentuk TB, beberapa penulis telah menentukan indikasi mutlak untuk
operasi dalam pengobatan TB:
 kemungkinan tinggi kegagalan terapi medis pada pasien MDR-TB (karena persisten)
penyakit kavitas dan kerusakan paru-paru atau lobar dan hemoptisis masif atau ketegangan
pneumotoraks22,40,52;
 hasil sputum-smear atau kultur sputum positif yang persisten meskipun telah dilakukan
pengobatan yang memadai;
 risiko tinggi kambuh (berdasarkan profil resistensi obat dan temuan radiologis);
 lesi lokal 32,38,47,52;
 TB kasus progresif meskipun pengobatan yang memadai;
 hemoptisis berulang atau infeksi sekunder;
 penyakit lokal yang dapat direseksi35;
 poliresisten dan MDR-TB;
 tidak adanya perbaikan radiologis dan/atau bakteriologis selama tiga empat bulan
pengobatan OAT;
 efek samping obat alergi, toksik dan campuran;
 penyakit kronis pada organ gastrointestinal yang menghambat OAT yang efektif 54.
Indikasi yang paling umum untuk operasi adalah kemungkinan besar kegagalan pengobatan
atau kekambuhan penyakit (59%) diikuti oleh medis kegagalan pengobatan (29%) dan hemoptisis masif
(11%)
Kasus yang berkepanjangan ,didefinisikan pada pasien dengan diameter rongga ≥ 15 cm
atau infiltrasi parenkim bilateral menutupi lebih dari 75% dari total area paru-paru. 36 Reseksi
dipertimbangkan untuk pasien dengan kavitas karena kesulitan antibiotik penetrasi dan jumlah
organisme yang tinggi yang terdapat di dalam rongga. 30 Beberapa penulis menekankan bahwa
21,35-37,53-54,59
perawatan bedah paling sering digunakan dalam kasus tuberkuloma dan TB fibrotik-kavitas ,
dan salah satu indikasi yang paling penting untuk operasi adalah perubahan morfologi paru-paru dan
organ pernapasan lainnya yang ireversibel karena perkembangan jaringan fibrotik selama progresivitas
TB dalam jangka panjang.22-23,37 Pada kasus tuberkulosis ≥ 3 cm, reseksi paru dini akan mencegah
perkembangan penyakit dan mempersingkat masa pengobatan.23-25
Di antara studi yang secara khusus mempertimbangkan MDR-TB, mayoritas penulis setuju
indikasi mutlak untuk pengobatan bedah MDR-TB :
 kasus penyakit kavitas persisten dengan kegagalan pengobatan;
 sputum-smear-negatif pasien dengan kavitasi fibrosa yang persisten secara radiologis atau
paru yang rusak (menunjukkan tidak ada gejala perbaikan klinis) merupakan indikasi
untuk operasi karena kemungkinan kambuh yang tinggi.32,36,55
Penyelidik lain mengingatkan bahwa tujuan operasi adalah untuk menghilangkan fokal yang besar
beban basil terlokalisasi di jaringan paru-paru nekrotik dan non-viabel.32,56

2.3.3 Pembiayaan Pembedahan

Bagaimanapun, pembedahan tidak dianggap sebagai pilihan lini pertama dalam pengobatan
TB-SO.23 Pembedahan tidak sering dianggap sebagai pilihan untuk program TB di negara
berpenghasilan rendah, meskipun pengalaman di Peru mendukung argumen bahwa operasi tambahan
harus dipertimbangkan sebagai komponen integral dari program pengobatan MDR-TB, bahkan di
negara-negara miskin, selama keahlian dan fasilitas bedah yang memadai tersedia. 57 Rata-rata biaya
operasi di Program Peru yang dimaksud adalah US$ 2562. Sebagai perbandingan, rata-rata biaya
pengobatan a pasien selama 18 bulan di bawah program ini adalah US$ 5908, dan selama 24 bulan
adalah US$ 7878. 57 Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa jika dilakukan dalam enam bulan
pertama pengobatan, operasi tidak hanya dapat meningkatkan hasil pengobatan tetapi juga
mempersingkat durasi kemoterapi diperlukan, dengan sedikit biaya tambahan untuk program
pengobatan.57 Persatuan Internasional Melawan Tuberkulosis dan Penyakit Paru-Paru membandingkan
perkiraan biaya merawat satu pasien dengan MDR-TB (tanpa operasi, tetapi di mana obat-obatan dan
rawat inap memainkan peran penting) di empat negara, dengan hasil sebagai berikut: US$ 4.944 per
pasien di Peru, US$ 5160 di Filipina, US$ 12.690 di Federasi Rusia dan US$ 12.882 di Estonia.58

2.3.4 Jenis Pembedahan

Meskipun sebagian besar operasi untuk TB adalah elektif, kondisi yang mengancam jiwa
secara langsung kadang-kadang memerlukan pembedahan darurat pada semua kasus TB.22-23
Berdasarkan tinjauan penelitian dan pendapat para ahli bahwa indikasi pembedahn TB paru dan
MDR/XDR-TB adalah sebagai berikut:
1. Emergensi
yaitu keadaan darurat, jika tanpa operasi kematian sangat mungkin terjadi dan tidak dapat
dihindari, termasuk:
 Perdarahan paru yang banyak
 Tension pneumotoraks spontan.
2. Urgen
yaitu keadaan mendesak, meliputi:
 TB progressif ireversibel, meskipun obat anti-TB yang memadai
 hemoptisis berulang yang tidak dapat dihentikan dengan metode pengobatan lain.
3. Elektif
Meskipun tidak ada cukup bukti untuk mendefinisikan karakteristik gigi berlubang dan
perubahan ireversibel lainnya pada pasien M/XDR-TB yang dapat menyebabkan
kemungkinan kegagalan yang tinggi OAT dan kekambuhan, termasuk:
 bentuk TB kavitas lokal dengan ekskresi M. tuberculosis terus menerus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan bakteriologis dan DST setelah 4-6 bulan OAT yang diawasi;
 MDR/XDR-TB yang ditandai dengan kegagalan OAT;
 komplikasi dan gejala sisa dari proses TB (termasuk MDR/XDR-TB), termasuk:
- pneumotoraks spontan dan pyopneumotoraks
- empiema pleura dengan atau tanpa fistula bronkopleural
- aspergilloma
- fistula nodular-bronkial
- bronkolit
- pachypleuritis atau perikarditis dengan insufisiensi pernapasan dan sirkulasi
darah
- Stenosis trakea dan bronkus besar pasca-TB
- bronkiektasis pasca-TB simtomatik dan kronis;
 indikasi lain seperti penghapusan komplikasi operasi sebelumnya.

2.3.5 Kondisi Dan Waktu Pemilihan Operasi

Pasien yang tepat dan waktu operasi sangat penting untuk menghindari kekambuhan dan
untuk memberikan kemungkinan sembuh lebih tinggi. Kerjasama yang baik antara dokter yang
merawat dan ahli bedah toraks, sebagai serta kepatuhan pasien terhadap kemoterapi intervensi pra dan
pasca operasi, dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan MDR-TB.21, 30, 48

Agar pasien dipertimbangkan sebagai kandidat untuk operasi, 3 kriteria utama harus
dipenuhi:
1. Pasien harus memiliki penyakit lokal yang dapat direseksi dan dengan cadangan
pernapasan;
2. Pasien harus memiliki resistensi obat yang luas, membuat kemungkinan kegagalan
pengobatan atau kambuh sangat tinggi; dan
3. Obat lini kedua dalam jumlah yang cukup harus tersedia untuk memastikan
penyembuhan setelah operasi.21,30,48,57
Dalam kasus lesi bilateral, reseksi harus dilakukan pada sisi dengan lesi yang lebih besar. 34,42,59
Pembedahan harus dipertimbangkan secara serius ketika:
 penyakit ini cukup terlokalisasi untuk memungkinkan pembedahan;
 sisa jaringan paru di sekitar tepi reseksi diperkirakan bebas dari TB;
 tingkat risiko bedah pasien dapat diterima, dengan cadangan paru yang cukup untuk
ditoleransi reseksi.
Bagaimanapun, perubahan patomorfologi ireversibel pada paru-paru yang terkena adalah
indikasi tambahan signifikan untuk operasi. Dalam semua kasus, pembedahan hanya diindikasikan jika
memungkinkan untuk dilakukan operasi (reseksi paru-paru atau jenis operasi lainnya) tanpa kerusakan
signifikan pada fungsi paru-paru pasien.
Jenis operasi berikut ini adalah jenis operasi yang saat ini dilakukan:
 reseksi paru-paru dengan ukuran berbeda:
- reseksi tulang
- segmentektomi
- lobektomi dan bilobektomi
- reseksi gabungan (lobektomi ditambah reseksi minor)
- pneumonektomi atau pleuropneumonektomi
- reseksi paru-paru dengan metode koreksi yang berbeda dari volume haemithorax;
 torakoplasti ekstrapleura;
 pneumolisis ekstrapleura;
 torakotomioplasti;
 pleurektomi dan dekortikasi paru-paru;
 operasi pada bronkus:

- reseksi
- bronkoplasti
- amputasi ulang tunggul;
 thoracocentesis dan thoracostomy (drainase rongga pleura);
 pneumotoraks buatan dan pneumoperitoneum;
 operasi pada kedua paru.

Menurut literatur yang dianalisis, jenis operasi utama untuk mengobati TB saat ini adalah
reseksi paru-paru dengan ukuran berbeda, menggunakan torakotomi posterolateral di bawah anestesi
umum dengan tabung endotrakeal lumen ganda dan ventilasi buatan paru-paru.11,16,18,30,36 Mobilisasi
paru-paru (atau bagian yang akan direseksi) didekati sedemikian rupa untuk menghindari kontaminasi
rongga pleura. Harus disebutkan, bagaimanapun, bahwa reseksi anatomis lebih disukai.
Perlu juga disebutkan bahwa di Kazakhstan, Federasi Rusia dan Ukraina, thoracoplasty
masih banyak digunakan ketika reseksi paru dikontraindikasikan. 54,56 Misalnya, di Institut Penelitian
Tuberkulosis Novosibirsk, torakoplasti osteoplastik (varian dari ekstrapleural thoracoplasty) telah
digunakan selama 50 tahun terakhir untuk pasien dengan komplikasi bentuk kavitas TB yang reseksi
parunya dikontraindikasikan.56 Jenis operasi ini memungkinkan proses TB menjadi stabil sehingga
reseksi paru dapat dilakukan kemudian dengan risiko komplikasi pasca operasi. Torakoplasti juga
digunakan di negara lain untuk mengurangi rongga dada akibat reseksi paru. Operasi untuk pasien TB
dan M/XDR-TB yang tercantum di atas perlu dikelola di klinik yang lengkap dan memiliki staf yang
baik (yaitu, dengan ahli bedah, ahli anestesi dan spesialis lain) dengan pemeriksaan pra operasi modern,
ruang operasi dan efisien unit perawatan pasca operasi, karena morbiditas dan mortalitas perioperatif
yang tinggi.5,11,26,33 Tindakan pengendalian infeksi yang tepat juga harus dilakukan.57

2.3.6 Kontraindikasi Pembedahan

Kontraindikasi untuk pengobatan bedah elektif TB paru dan MDR/XDR-TB Pada sebagian
besar kasus, kontraindikasi untuk perawatan bedah pasien TB bergantung pada: seberapa luas
prosesnya, penilaian fungsi kardiopulmoner pasien dan keadaan kesehatan umum mereka.3–5,19,33.
Kontraindikasi berikut dapat dipertimbangkan untuk reseksi paru:
 lesi kavitas luas pada kedua paru-paru;
 tes fungsi paru terganggu; yaitu VEP1 ≤ 1,5 L dalam kasus lobektomi dan ≤ 2L pada
pneumonektomi;
 CHF Fc III-IV (klasifikasi fungsional dari New York Hart Asosiasi);
 indeks massa tubuh hingga 40-50% dari kisaran normal;
 komorbiditas parah (dekompensasi pada diabetes, eksaserbasi lambung dan duodenum)
bisul, gangguan hati atau ginjal);
 TB bronkial aktif.
Harus ditekankan, bagaimanapun, bahwa pendekatan multidisiplin harus diambil ketika
pasien sedang dipertimbangkan untuk operasi dan keputusan harus dibuat bersama oleh dokter, ahli
bedah, ahli anestesi dan spesialis lainnya

2.4 Implementasi Pembedahan Bullae pada MDR TB

2.4.1 Bullae

Bullae adalah suatu ruang udara dalam parenkim paru yang timbul dari suatu proses destruksi,
dilatasi, dan pertemuan rongga udara di distal bronkiolus terminalis dengan diameter ≥ 1 cm dan lapisan
dinding bullae dibentuk oleh parenkim yang tipis dan terkompresi. Superinfeksi yang disertai dengan
bullae memiliki manifestasi klinis seperti demam, batuk, produksi sputum yang purulen, sesak napas, dan
nyeri pleuritik pada dada. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis dan kultur sputum
yang positif. Jenis bakteri yang telah teridentifikasi dari bullae yang terinfeksi merupakan bakteri methicillin-
resistant staphylococcus aureus (MRSA), Bacteriodes, Pseudomonas aeruginosa dan Mycobaterium.
Pengobatan biasanya membutuhkan waktu yang lama dan diberikan secara parenteral atau intrabula, karena proses
drainage dari bullae yang buruk akan memperlambat proses resolusi dari penyakit.60
Metode utama untuk mengevaluasi respon pengobatan TB MDR adalah melalui konversi dari apusan
pada pemeriksaan BTA dan kultur dahak. Gejala klinis dan pemeriksaan radiologis dapat juga menjadi
pertimbangan ketika ingin menentukkan pengobatan lebih dari 20 bulan. Beberapa klinisi dan pemegang program
dapat memberikan pengobatan TB MDR setidaknya 12 bulan terjadi konversi sputum (tetapi tidak lebih dari
20 bulan). Penelitian secara meta analisis yang dilakukan oleh WHO Guidelines for the programmatic
management of drug-resistant tuberculosis menunjukkan angka keberhasilan total durasi pengobatan regimen
TB MDR lebih dari 24 bulan walaupun jumlah yang diamati relatif kecil. Oleh karena itu, pasien yang
sebelumnya dirawat karena TB MDR (dan sering dengan pasien XDR TB) umumnya menerima pengobatan
setidaknya 24 bulan dari sebagian besar program.61

Tabel. 2. Indikasi dan kontraindikasi pada bulektomi.61

Parameter Indikasi Kontraindikasi


Klinis Usia muda (< 50 tahun). Usia tua (> 50 tahun).
Sesak napas yang progresif meskipun Komorbid.
dengan pengobatan maksimum. Penyakit jantung.
Bekas perokok. Hipertensi pulmonaris.
Penurunan berat badan >
10%. Infeksi bronkhitis
kronis berulang. Perokok
aktif.
Pemeriksaan FVC normal FEV1 < 35% dari prediksi.
fungsi paru atau rendah. Volume paru yang
FEV1 > 40% terperangkap rendah.
dari prediksi. DLCO menurun.
Bronkhorevesibility
sedikit berubah. Volume
paru yang terperangkap
tinggi. DLCO normal
atau mendekati normal.
PaO2 dan PaCO2
normal.
Pemeriksaan Rongent dada bullae > 1/3 hemithoraks. Rongent dada “Vanishing lung
radiologis CT scan ukuran besar dan terlokalisir dengan syndrome”.
banyak pembuluh darah dan normal, Bullae yang tidak dapat didefinisikan.
parenkim paru terkompresi mengelilingi CTscan bullae yang multiple.
bullae. Pemeriksaan angiografi dengan Angiografi bullae menunjukkan
pembuluh darah yang mengumpul dengan pembuluhan
cabang distal yang menetap. yang rusak dimanamana.
Scan isotop menunjukkan defek lokal Scan isotop menunjukkan zona
dengan pengambilan dan pengeluaran dari target yang menghilang,
paru. pengeluaran paru rusak.

Secara umum setiap kasus giant bullae pengobatannya dengan pembedahan secara bulektomi.
Pasien dengan giant bullae dibagi menjadi beberapa grup, yaitu:61
Grup I : Single giant bullae dengan paruparu yang normal.
Grup II : Multiple giant bullae dengan paruparu yang normal.
Grup III : Multiple bullae dengan empisema yang luas pada paruparu.
Grup IV : Multiple bullae dengan penyakit paru yang mendasari.
Komplikasi utama MGB adalah akumulasi cairan didalam bulla (infeksi), pneumotoraks spontan,
kanker bronkogenik, nyeri dada, dan hemoptisis. Multiple giant bulla dapat berkembang menjadi
pneumotoraks spontan dan infeksi bulla yang dapat diidentifikasi adanya air fluid level.60

2.4. 2 Laporan Kasus Pertama

Seorang wanita berusia 38 tahun datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan utama sesak
napas sejak ± 6 bulan yang lalu dan memberat dalam 2 bulan ini bila batuk kuat dan beraktivitas.
Batuk dirasakan dalam 3 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 bulan ini dengan ditemukan dahak
dan riwayat batuk darah. Nyeri dada dirasakan pada dada kiri dan kanan seperti tertekan. Riwayat
obat antituberkulosis kategori I berdasarkan klinis, radiologis dan BTA dahak 2 tahun lalu dan
dinyatakan sembuh, tetapi kambuh kembali pada tahun yang sama dan diberikan obat antituberkulosis
kategori I kembali. Riwayat merokok (IB; 384, sedang). Riwayat dirawat oleh karena sesak napas dan
didiagnosis dengan TB MDR sejak 1 tahun yang lalu dari dahak dengan hasil pemeriksaan BTA 3+
dan pemeriksaan Gene Xpert MTB Positive Rifampisin Resistant dan menunggu hasil drug
suspectibility test (DST).
Pemeriksaan fisik kesadaran compos mentis dengan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 104
kali/ menit, respirasi 30 kali/menit, temperatur 38oC dan saturasi oksigen 98% dengan status gizi
buruk (BMI: 15,96). Pada pemeriksaan dada secara inspeksi didapatkan empyema necessitans pada
dada kiri, pergerakan simetris dada kiri sama dengan dada kanan. Palpasi dada terdapat penurunan
fremitus taktil pada lobus atas paru kanan dan kiri. Perkusi dada didapatkan hipersonor di lobus atas
paru kiri dan kanan. Auskultasi dada pada suara pernapasan bronkial di lobus bawah paru kanan dan
kiri dengan suara tambahan ronkhi kasar dan low pitch pada inspirasi lambat di kedua paru.
Pemeriksaan laboratorium: Hb 12,30 g/ dL, leukosit 16,34x103 /mm3, eritrosit 4,79x106 /
mm3, hematokrit 40,00%, trombosit 408.000 /mm3. Elektrolit didapatkan : natrium 136 mEq/L,
kalium 4,10 mEq/L, dan klorida 105 mEq/L. Analisis gas darah didapatkan : pH 7,410, PCO 2 35,0
mmHg, PO2 194,0 mmHg, HCO3 22,2 mmol/L, total CO2 23,3 mmol/L, BE 2,0 mmol/L, SaO2 100,0%.
Glukosa darah 83 mg/dL. Faal ginjal didapatkan BUN 21 mg/dl, ureum 45 mg/dl dan kreatinin 0,52
mg/dl. Faal hati didapatkan total bilirubin 0,10 mg/dl, bilirubin direct 0,10 mg/dl, 57 U/L, alkali
fosfatase 57 U/L, SGOT 14 U/L, dan SGPT 11 U/L. Prokalsitonin didapatkan 0,05 ng/ml dan anti
HIV non reaktif.

Foto rongent thoraks PA.


Pada tanggal 20 januari 2016 tampak hiperlusensi
avaskular (giant bullae) pada lobus atas kedua paru
dan fibroinfiltrat di lobus tengah kedua paru..
Gambaran air fluid level di lobus atas paru kiri.
Diafraghma kanan tertarik ke atas

Foto rongent thoraks lateral.


Pada tanggal 27 februari 2016 tampak
fibroinfiltrat di lobus tengah sampai bawah
kedua paru. Terdapat ruang retrosternal dan
retrokardi
CT scan thoraks dan mediastinum dengan injeksi kontras. Pada tanggal 04
maret 2016 tampak proses spesifik lama aktif, pneumothoraks terlokalisir,
bronkiektasis,dan pleuritis bilateral

Selama perawatan, observasi, dan evaluasi diruangan rawat inap pasien diberikan obat
regimen TB MDR standar yang memberikan perbaikan yang signifikan terhadap kenaikkan berat
badan, klinis dengan keluhan respirasi seperti sesak napas yang berkurang. Pasien diharapkan setelah
konversi sputum direncanakan akan dikonsulkan ke Departemen Bedah Toraks dan Kardiovaskuler
untuk penanganan dan progresivitas dari penyakit MGB.63 Pada pasien ini termasuk MGB grup IV
dengan penyakit yang mendasari TB MDR yang memiliki angka keberhasilan yang rendah untuk
dilakukan bulektomi, tetapi disarankan untuk dilakukan transplantasi paru.62

2.4.3 Laporan Kasus Kedua

Seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan utama
sesak napas sejak ± 4 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 bulan ini bila beraktivitas. Batuk
dirasakan dalam 6 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 bulan ini dengan ditemukan dahak dan
riwayat batuk darah. Riwayat obat antituberkulosis kategori I berdasarkan klinis, radiologis dan
BTA dahak 1 tahun lalu hanya selama 2 bulan dihentikan sendiri oleh pasie karena merasa sudah
sembuh.
Pemeriksaan fisik kesadaran compos mentis dengan tekanan darah 123/78 mmHg, nadi 112
kali/ menit, respirasi 32 kali/menit, temperatur 36,8oC dan saturasi oksigen 93% dengan status gizi
buruk (BMI: 14,34). Pada pemeriksaan dada secara inspeksi didapatkan pergerakan simetris dada kiri
sama dengan dada kanan. Palpasi dada tidak terdapat perbedaan fremitus taktil pada paru kanan dan
kiri. Perkusi dada didapatkan hipersonor di lobus atas paru kiri dan kanan. Auskultasi dada pada
suara pernapasan bronkial di lobus bawah paru kanan dan kiri dengan suara tambahan ronkhi kasar
dan low pitch pada inspirasi lambat di kedua paru.
Pemeriksaan laboratorium: Hb 10,50 g/ dL, leukosit 11,730x100 /mm 3, eritrosit 4,9x106
/ mm3, hematokrit 35,00%, trombosit 451.000 /mm3. Elektrolit didapatkan : natrium 134 mEq/L,
kalium 3,8 mEq/L, dan klorida 101 mEq/L. Analisis gas darah didapatkan : pH 7,450, PCO 2 34,0
mmHg, PO2 178,0 mmHg, HCO3 23,6 mmol/L, total CO2 24,6 mmol/L, BE 0,2 mmol/L, SaO2 100,0%.
dan anti HIV non reaktif. Pemeriksaan Genexpert sputum M.tuberculosis (+), Rifampicin Sensistif,
kultur sputum dijumpai Batang Gram (-), bakteri aerob Klebsiella pneumonia ESBL (+) serta jamur
Candida glabrata.

Foto rongent thoraks AP Erect.


Pada tanggal 27 Juni 2021 tampak hiperlusensi
avaskular (giant bullae) pada lobus atas kedua paru
dan fibroinfiltrat di lobus tengah kedua paru.

CT Scan thoraks non kontrast.


Pada tanggal 14 Juni 2021 (atas) dan 4 Agustus 2021
(bawah) tampak Multiple Giant Bullae kedua paru dan
fibroinfiltrat disertai bronkiektasis lobus tengah hingga
bawah kedua paru.
Pasien didiagnosis TB Paru Putus Berobat dangn pengobatan saat ini adalah OAT kategori II.
Pasien diharapkan setelah konversi sputum direncanakan akan dikonsulkan ke Departemen Bedah
Toraks dan Kardiovaskuler untuk penanganan dan progresivitas dari penyakit MGB

BAB 3
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dalam refarat ini adalah sebagai beikut :


1. Tuberkulosis merupakan penyakit kronis yang mendunia dengan sejarah yang panjang
dalam upaya pengentasannya. Indonesia mendudukinperingkat kedua dunia dalam jumlah
kasus terinfeksi Tuberkulosis
2. Sejarah pembedahan organ paru sudah lebih dahulu ada sebelum penyakit Tuberkulosis
ditemukan bahkan merupakan metode pengobatan yang menjadi pilihan utama kala itu
3. Namun seiring berkembangnya pengobatan secara medikamentosa berupa regimen obat
anti-TB (OAT), berhasil menggeser pembedahan dari pilihan pertama dalam pengobatan
TB
4. TB Resistan Obat yang paling sering dijumpai adalah MDR TB, dimana angka kegagalan
terapi OAT cukup tinggi bahkan angka kekambuhannya menjadi tantangan kritis dunia
5. Kegagalan OAT dan tingginya angka kematian pada MDR/XDR TB menjadikan aspek
pembedahan sebagai alternative terbaik dalam upaya tatalaksana TB yang lebih
komprehensif
6. Indikasi serta kontraindikasi pembedahan terhadap MDR/XDR TB merupakan hal yang
harus dipertimbangkan secara serius dalam penentuan jenis dan waktu tindakan terbaik
7. Pembedahan kombinasi medikamentosa merupakan pilihan terbaik dalam menurunkan
angka kegagalan terapi OAT dan kekambuhan TB
8. Kondisi Multiple Giant Bullae (MGB) merupakan komplikasi MDR TB yang dapat
menjadi progresif dan membutuhkan tindakan bullectomy dengan tujuan mengurangi
jaringan paru yang rusak tersebut.
9. Meskipun merupakan indikasi pembedahan, namun MGB tanpa komplikasi lebih lanjut
bukan termasuk operasi emergensi, sehingga sebaiknya menunggu konversi BTA
menjadi negatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lougheed K. Catching breath: the making and unmaking of tuberculosis. 2017.

2. Raviglione MC. The TB epidemic from 1992 to 2002. Tuberc Edinb Scotl. 2003;83(1–3):4–14.

3. Nathavitharana RR, Friedland JS. A tale of two global emergencies: tuberculosis control efforts
can learn from the Ebola outbreak. Eur Respir J. 2015 Aug 1;46:293–6.

4. WHO | Global tuberculosis report 2020 [Internet]. WHO. World Health Organization; [cited
2020 Oct 30]. Dapat diakses di: http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/

5. Problems of multidrug- and extensively drug-resistant TB. Drug Ther Bull 2012;50:21–4

6. Sotgiu G, Ferrara G, Matteelli A, et al. Epidemiology and clinical management of XDR-TB: a


systematic review by TBNET. Eur Respir J 2009;33:871–81
7. Chiang CY, Yew WW. Multidrug-resistant and extensively drugresistant tuberculosis. Int J
Tuberc Lung Dis 2009;13:304–11

8. Jassal M, Bishai WR. Extensively drug-resistant tuberculosis. Lancet Infect Dis 2009;9:19–30

9. Zhang J, Gou H, Hu X, et al. Status of drug-resistant tuberculosis in China: a systematic review


and meta-analysis. Am J Infect Control 2016;44:671–6

10. Duan Q, Chen Z, Chen C, et al. The prevalence of drug-resistant tuberculosis in mainland china:
an updated systematic review and metaanalysis. PLoS ONE 2016;11:e0148041

11. Zhao Y, Xu S, Wang L, et al. National survey of drug-resistant tuberculosis in China. N Engl J
Med 2012;366:2161–70

12. Torun T, Tahaoglu K, Ozmen I, et al. The role of surgery and fluoroquinolones in the treatment
of multidrug-resistant tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11:979–85

13. Somocurcio JG, Sotomayor A, Shin S, et al. Surgery for patients with drug-resistant
tuberculosis: report of 121 cases receiving communitybased treatment in Lima. Peru Thorax
2007;62:416–21

14. Chan ED, Laurel V, Strand MJ, et al. Treatment and outcome analysis of 205 patients with
multidrug-resistant tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2004;169:1103–9

15. Yew WW, Leung CC. Update in tuberculosis 2007. Am J Respir Crit Care Med 2008;177:479–
85

16. Olcmen A, Gunluoglu MZ, Demir A, et al. Role and outcome of surgery for pulmonary
tuberculosis. Asian Cardiovasc Thorac Ann 2006;14: 363–6

17. Mohsen T, Zeid AA, Haj-Yahia S. Lobectomy or pneumonectomy for multidrug-resistant


pulmonary tuberculosis can be performed with acceptable morbidity and mortality: a seven-year
review of a single institution’s experience. J Thorac Cardiovasc Surg 2007;134:194–8

18. Broaddus VC, Mason RJ, Nadel JA, editors. Murray and Nadel’s textbook of respiratory
medicine. Sixth ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016
19. World Health Organization. Guidelines for treatment of drug- susceptible tuberculosis and
patient care: 2017 update. 2017

20. Rom WN, Garay SM, editors. Tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004. 944 p

21. Pontali e, Matteelli A, D’Ambrosio L, Centis R, Migliori GB. Rediscovering high technology
from the past: thoracic surgery is back on track for multidrug-resistant tuberculosis. Expert Rev
Anti Infect Ther. 2012;10(10):1109–15

22. Perelman MI. Surgical treatment of pulmonary tuberculosis. In: Raviglione MC, editor.
Reichman and Hershfield’s Tuberculosis. A comprehensive international approach. Third
edition. Part A. New York, NY: Informa Healthcare USA, 2006:459–81 (Lung Biology in
Health and Disease, Vol. 219)

23. Zaleskis R. Role of surgical methods in the treatment of tuberculosis. Probl Tuberk. 2001; 9:3–5
(in Russian)

24. Motus IY, Golubev DN, Bazhenov AV, Vakhrusheva DV, Neretin AV. Surgery for pulmonary
tuberculosis. Tuberkulez i Bolezni Legkix 2012;6:14–20 (in Russian)

25. Bogush LK Surgical treatment of pulmonary tuberculosis. Moscow; Medicine: 1979 (in
Russian)

26. Sakula A. Carlo Forlanini, inventor of artificial pneumothorax for treatment of pulmonary
tuberculosis. Thorax. 1983;38(5):326–32

27. Falzon D, Gandhi N, Migliori GB, Sotgiu G, Cox H, Holtz TH et al. Resistance to
fluoroquinolones and second-line injectable drugs: impact on MDR-TB outcomes. Eur Respir J.
2013:42(1):156–68

28. Migliori GB, Sotgiu G, Gandhi NR, Falzon D, Deriemer K, Centis R et al. The collaborative
group for meta-analysis of individual patient data in MDR-TB. Drug resistance beyond XDR-
TB: results from a large individual patient data meta-analysis. Eur Respir J. 2013: 42(1):169–79

29. Man MA, Nicolau D. Surgical treatment to increase the success rate of multidrug-resistant
tuberculosis. Eur J Cardiothorac Surg. 2012;42(1):e9–12
30. Kir A, Inci I, Torun T, Atasalihi A, Tahaoglu K. Adjuvant resectional surgery improves cure
rates in multidrug-resistant tuberculosis. J Thorac Cardiovasc Surg. 2006;131(3): 693–6

31. Kempker RR, Vashakidze S, Solomonia N, Dzidzikashvili N, Blumberg HM. Surgical treatment
of drug-resistant tuberculosis. Lancet Infect Dis. 2012;12(2):157–66

32. Gegia M, Kalandadze I, Kempker RR, Magee MJ, Blumberg HM. Adjunctive surgery improves
treatment outcomes among patients with multidrug-resistant and extensively drug-resistant
tuberculosis. Int J Infect Dis. 2012;16(5):e391–6

33. Kang MW, Kim HK, Choi YS, Kim K, Shim YM, Koh WJ et al. Surgical treatment for
multidrug-resistant and extensive drug-resistant tuberculosis. Ann Thorac Surg. 2010;
89(5):1597–602

34. Wang H, Lin H, Jiang G. Pulmonary resection in the treatment of multidrug-resistant


tuberculosis: a retrospective study of 56 cases. Ann Thorac Surg. 2008;86(5):1640–5

35. Törün T, Tahaoğlu K, Ozmen I, Sevim T, Ataç G, Kir A et al. The role of surgery and
fluoroquinolones in the treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis.
2007;11(9):979–85.

36. Takeda S, Maeda H, Hayakawa M, Sawabata N, Maekura R. Current surgical intervention for
pulmonary tuberculosis. Ann Thorac Surg. 2005;79(3):959–63

37. Pomerantz BJ, Cleveland J, Olsen H, Pomerantz M. Pulmonary resection for multidrug resistant
tuberculosis. J Thorac Cardiovasc Surg. 2001;121(3):448–53

38. Giller DB, Shaikhayev AY, Tokayev KV, Yenilensis II, Martell II, Glotov AA et al. Immediate
results of surgical treatment in destructive pulmonary tuberculosis patients excreting extreme
drug-resistant MBT. Tuberkulez i Bolezni Legkix 2010;3:18–22.

39. Ots ON, Agkatsev TV, Perel’man MI. Surgical treatment for pulmonary tuberculosis with
mycobacrerium resistance to drugs. Probl Tuberk Bolezn Legk. 2009;2:42–9 (in Russian).

40. Andrenko AA, Omel’chuk DE. Osteoplastic thoracoplasty with concomitant pulmonectomy in
the surgery of generalized destructive pulmonary tuberculosis. Probl Tuberk. 2003;2:39–40 (in
Russian)
41. Strelis AK, Strelis AA, Anastasov OV, Nekrasov EV, Raskoshnych VK, Zadorozhniy AI et al.
Surgical treatment of multidrug-resistant pulmonary tuberculosis in the DOTS-Plus Programme.
J Thorac Cardiovasc Surg. 2008;2:48–53 (in Russian)

42. Frolov GA, Popkova NL, Kalashnikov AV. Results of surgical treatment in patients with drug-
resistant pulmonary tuberculosis. Probl Tuberk. 2002;7:15–8 (in Russian). Surgery in the
treatment of pulmonary TB and M/XDR-TB page 15

43. Kobak M, Avetisyan A, Sokolovich E, Vasilyev I, Yablonsky P. Resections of lung in cases of


cavitary multidrug-resistant tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2012;16(12) (Suppl.1):421

44. Ismailov SS, Erimbetov KD, Zetov AS. Surgical treatment of pulmonary tuberculosis.
Methodological guidelines. Almaty, 2009: UDK 616.24-002.5-089

45. Blumberg HM, Burman WJ, Chaisson RE, Daley CL, Etkind SC, Friedman LN et al. American
Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases Society of
America: treatment of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med. 2003;167(4):603–62

46. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Emergency update
2008. Geneva: World Health Organization; 2008 (http://whqlibdoc.who.int/
publications/2008/9789241547581_eng.pdf, accessed 11 June 2014).

47. Xu HB, Jiang RH, Li L. Pulmonary resection for patients with multidrug-resistant tuberculosis:
systematic review and meta-analysis. J Antimicrob Chemother. 2011; 66(8):1687–95

48. Yaldiz S, Gursoy S, Ucvet A, Kaya SO. Surgery offers high cure rates in multidrugresistant
tuberculosis. Ann Thorac Cardiovasc Surg. 2011;17(2):143–7

49. Orki A, Kosar A, Demirhan R, Saygi A, Arman B. The value of surgical resection in patients
with multidrug resistant tuberculosis. Thorac Cardiovasc Surg. 2009;57(4):222–5

50. Chiang C-Y, Yu MC, Bai KJ, Suo J, Lin TP, Lee YC. Pulmonary resection in the treatment of
patients with pulmonary multidrug-resistant tuberculosis in Taiwan. Int J Tuberc Lung Dis.
2001;5(3):272–7

51. Dewan R, Pasechnikov A. Tuberculosis (TB) surgery guideline. Paris; Médecins Sans
Frontières: 2013
52. Motus I, Bazhenov A, Kildyusheva E. Pneumonectomy in pulmonary tuberculosis. To do or not
to do? Eur Respir J. 2012;40(Suppl. 56):P2695(497s).

53. Motus I, Bazhenov A, Kildyusheva E. Pneumonectomy in pulmonary tuberculosis. To do or not


to do? Eur Respir J. 2012;40(Suppl. 56):P2695(497s)

54. Garifullin ZR. Оptimization of surgical treatment for patients with drug-resistant pulmonary
tuberculosis. Probl Tuberk Bolezn Legk. 2007;6:9–13 (in Russian)

55. Mohsen T, Zeid AA, Haj-Yahia S. Lobectomy or pneumonectomy for multidrug-resistant


pulmonary tuberculosis can be performed with acceptable morbidity and mortality: a seven-year
review of a single institution’s experience. J Thorac Cardiovasc Surg. 2007; 134(1):194–8

56. Park SK, Kim JH, Kang H, Cho JS, Smego RA Jr. Pulmonary resection combined with
isoniazid- and rifampin-based drug therapy for patients with multidrug-resistant and extensively
drug-resistant tuberculosis. Int J Infect Dis. 2009;13(2):170–5

57. Giller DB, Giller GV, Diller BM, Dryga OP, Kuzmina NM. Surgical treatment of patients with
acute progressive pulmonary tuberculosis. Probl Tuberk i Bolezn Legk. 2004;10: 23–6

58. Caminero JA, editor. Guidelines for clinical and operational management of drug-resistant
tuberculosis. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease; 2013
(http://www.theunion.org/what-we-do/publications/technical/english/mdr-tbguide_6-19-
13_web.pdf, accessed 11 June 2014)

59. Porkhanov VA, Marchenko LG, Poljakov IS, Kononeko VB, Bodnja VN, Mezerja AL et al.
Surgical treatment of the bilateral forms of pulmonary tuberculosis. Probl Tuberk. 2002;4:22–5
(in Russian).

60. Martinez FJ. Bullous Disease of the Lung. In: Grippi, MA. Elias, JA. Fishman, JA. Kotloff,
RM. Pack, AL. Senior, RM, editors. Fishmna’s Pulmonay Diseases and Disorders. 5 th edition.
Philadelphia: Mc Graw Hill; 2015.p.78797

61. World Health Organization. Companion Hand book to The WHO Guidlines for The Program
matic Management of Drugresistant Tuberculosis. Geneva: WHO Press; 2014.p.1443.

62. Health Encyclopedia. Giant Bullae. [online]. 2016. [cited 2016 April 01]. Available from:
www. urmc.rochester.edu. Health Encyclopedia.
63. Irwandi, Ben Ben: Tantangan Penanganan Multi Drug Resistant Tuberculosis dengan
Komplikasi Multiple Giant Bullae dan Empyema Necessitans pada Wanita Usia 38 Tahun. J
Respir Indo Vol. 37 No. 1 Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai