Pendeta Dan Politik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

PENDETA DAN POLITIK

Dosen Pembimbing
Yusak Sigit Prabowo, SH., M.Th

Nama : Maria Triningsih


NIM : 19.01.04.0510

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TORSINA


SURAKARTA
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

ABSTRAK iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 4

D. Manfaat Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

A. Kode Etik Pendeta 5

B. Peran Pendeta dalam


Politik 6

C. Prespektif Alkitab 8

BAB III PENUTUP 9

A. Kesimpulan 9

B. Saran
9

DAFTAR PUSTAKA
11

ii
ABSTRAK

Kehadiran gereja di dunia bukan hanya untuk melayani sekelompok orang


tertentu tetapi juga melayani masyarakat umum. Salah satunya melalui bidang politik
dimana politik menjadi sangat penting sebab kehidupan masyarakat tidak terlepas
dari politik. Warga gereja telah lama ikut serta dalam politik baik menjadi pengurus
partai, pejabat publik, maupun menjadi anggota legislatif. Menjadi sesuatu hal yang
baru ketika yang terlibat politik adalah seorang pendeta. Pendeta sendiri memiliki
fungsi sebagai seorang nabi, imam sekaligus gembala bagi umat kristiani.
Daripadanya dituntut untuk selalu menyuarakan keadilan bagi kaum tertindas.
Keterlibatan pendeta sebagai elit tradisional pun dalam politik pastinya menimbulkan
pro dan kontra di kalangan umat sendiri. Maka yang menjadi tugas dan tanggung
jawab pendeta adalah bagaimana berperan dalam politik tanpa harus
mengesampingkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin umat dan
juga menjalankan fungsi kenabiannya.

Sebenarnya peran pendeta berhubungan dengan tugas pelayanan dan


tanggungjawabnya tidak hanya sebatas pada organisasi di dalam gereja, pelaksanaan
ibadah, pelayanan sakramen, perkunjungan orang sakit ataupun pastoral. Cakupan
pelayanan seorang pendeta juga tidak hanya untuk jemaat tetapi dalam kelompok
yang lebih besar yaitu masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
pelayan, pendeta juga diperlengkapi dengan kode etik sebagai pedoman dan tatanan
hidup dalam berkarya sesuai dengan tugas dan panggilannya pada cakupan pelayanan
yang sangat luas. Berdasarkan banyaknya masalah dalam masyarakat khususnya
dalam dunia politik, peran pendeta mulai dipertanyakan.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian adalah apakah ada perubahan


peran pendeta ketika terlibat dalam dunia politik dengan tujuan penelitian untuk
mengetahui adanya perubahan peran pendeta ketika terlibat dalam politik.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fokus panggilan iman pelayanan
seorangpendeta adalah untuk pengabdian kepada Allah dan memelihara kehidupan
rohani umat yangdinyatakan dalam berbagai bentuk penggembalaan. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan peran seorang pendeta dalam dunia politik lebih
kepada peran pastoral (penggembalaan) dan bukan pada peran politik praktis.
Kata Kunci : kode etik pendeta, peran pendeta, politik.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Situasi politik di Indonesia saat ini sering diwarnai dengan konflik


kepentingan antar kelompok atau golongan tertentu sehingga menjauhkan hakekat
politik yang sebenarnya yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Media massa
pun setiap harinya selalu melaporkan semakin meningkatnya kasus pelanggaran
HAM, kasus kekerasan mengatasnamakan SARA, kasus korupsi yang merugikan
negara dan masyarakat serta masih banyak lagi kasus-kasus hukum yang melibatkan
penguasa atau orang-orang penting didalamnya yang hingga kini kasusnya masih
belum bisa diselesaikan.

Ketidakadilan yang terjadi di masyarakat sedikit banyak sering disebabkan


oleh kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik yang lebih
sering sibuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya dibanding mengurusi
rakyatnya, maka tidaklah salah apabila bagi banyak orang menganggap politik itu
kotor. Politik dianggap sebagai tempat berkumpulnya “serigala-serigala” yang haus
akan kekuasaan. Namun demikian, fungsi kekuasaan untuk melayani kepentingan
masyarakat tetap diperlukan.

Atas dasar pemikiran tersebut, Gereja kemudian dinilai perlu menempatkan


diri untuk hadir di tengah masyarakat demi menyuarakan keadilan bagi kaum yang
tertindas dan menawarkan solusi demi menuntaskan permasalahan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia. Perlu dipahami bahwa gereja (baik sebagai umat atau
lembaga/organisasi) pada hakekatnya hadir di dunia dengan mengemban tugas dan
tanggung jawab untuk mewartakan kabar baik, kabar keselamatan, kabar tentang
damai bagi umat manusia. Gereja pun harus terbuka, dinamis, dialogis pada situasi
perkembangan di masyarakat dengan sikap positif, kritis, kreatif dan realistis.

David W. Ellis dalam bukunya, "Gumulan Misi Masa Kini", memberikan


suatu definisi misi sebagai berikut: Misi adalah panggilan yang tritunggal untuk
menyatakan Kristus kepada dunia dengan jalan proklamasi, kesaksian, dan pelayanan
supaya dengan kuasa Roh Kudus, Allah, dan firman-Nya, manusia dibebaskan dari
egoisme dan dosanya dan dengan tindakan Allah dilahirkan kembali sebagai anak-
anak Allah dengan jalan percaya akan Dia melalui Yesus Kristus, yang diterimanya

1
sebagai Juru Selamat pribadinnya, dan dilayaninya sebagai Tuhannya dalam
persekutuan tubuh-Nya, yaitu gereja, untuk kemudian menyatakan Dia kepada dunia.

Definisi ini tampaknya sudah merupakan definisi yang sederhana, ringkas, tetapi juga
padat. Di dalam definisi ini sudah tercakup hal-hal yang tergolong sebagai tindakan
misi, yaitu1:

1. Proklamasi (gereja terpanggil untuk memproklamirkan Kristus kepada


masyarakat).
2. Kesaksian (gereja terpanggil untuk hidup seperti Kristus dalam masyarakat
dengan kesalehan dan keesaan-Nya), dan
3. Pelayanan (gereja terpanggil untuk melayani dan menjalani aksi-aksi dengan
kasih Kristus bagi masyarakat).

Dalam kehidupan bermasyarakat, Gereja harus bisa menyatakan tugas


panggilannya tersebut dalam setiap aspek kehidupan masyarakat diantaranya dalam
bidang politik. Salah satu tugas penting gereja yang tidak boleh diabaikan adalah
tanggung jawab politik sebab politik merupakan lapangan hidup manusia. Gereja
harus terlibat di dalam pelayanan tersebut, sebab pertuanan Yesus mencakupi segala
sesuatu, demikian keyakinan gereja. Maka ketika gereja sekarang melibatkan diri di
dalam politik, semestinya kita berkata mengenai penemuan kembali tugas yang
selama ini diabaikan.

Keterlibatan para pendeta dalam politik yang telah menimbulkan perdebatan


dalam kehidupan warga gereja. Warga gereja yang setuju pendeta terlibat politik
karena memandang pendeta sebagai pemimpin umat yang mempunyai wawasan yang
luas terhadap berbagai aspek dan perkembangan dalam masyarakat termasuk politik
dan selalu merelasikannya dengan panggilan gereja yaitu menjadi Garam dan Terang
Dunia dan ikut serta dalam usaha mensejahterakan masyarakat. Pendeta dipandang
memiliki potensi untuk menjadi seorang politisi yang ideal dalam tanggung jawab
imannya kepada Tuhan dan tanggung jawab moral kepada seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia. Perannya kemudian adalah menyuarakan dan memberlakukan kebenaran,
keadilan dan kasih.

Warga gereja yang tidak setuju menganggap pendeta yang terlibat dalam
politik, praktis memilih salah satu partai/golongan politik, pendeta dianggap tidak
mampu lagi membina warga jemaatnya dalam aktifitas politik yang berbeda-beda
dan berpotensial meruntuhkan idealisme dan semangat profetik pendeta yang

2
mencoba terlibat didalamnya. Dunia politik merupakan tanggung jawab warga gereja
itu sendiri. Ketidakpercayaan umat Kristiani pada para tokoh politik yang dinilai
“kotor” yang kemudian menyebabkan pemikiran bahwa pendeta atau hamba Allah
tidak pantas berpartisipasi dalam politik.

Berdasarkan pernyataan tersebut, peran pendeta kemudian menjadi sangat


menentukan partisipasi umat Kristen dalam politik dan menciptakan perubahan dalam
pemerintahan di Indonesia yang dianggap korup dan tidak memihak kepada
masyarakat. Pendeta pun harus menjadi pemerhati politik sehingga umat akan ikut
tergugah untuk berpartisipasi. Umat juga harus diberikan pemahaman yang benar
tentang pentingnya politik karena menyangkut nasib bangsa dan seluruh rakyat.
Pendeta juga harus terbebani dengan keberadaan para politisi sebagai pembuat
kebijakan dalam negara.

Dari semua tuntutan integritas tersebut maka jelas bahwa pekerjaan pendeta
bukanlah sekadar panggilan tradisional melainkan sekaligus sebagai profesi dan harus
dilaksanakan secara profesional. Guna menjalankan tugas pekerjaan pendeta sebagai
seorang profesional maka diperlukan adanya tuntunan moral dalam bentuk kode etik.

Dalam Penelitian yang berjudul “PENDETA DAN POLITIK” ini akan


dibahas mengenai peran pendeta dapat masuk dalam bidang politik dan tentang apa
itu kode etik pendeta serta berapa besar pengaruhnya dalam kehidupan pendeta itu
sendiri.

3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah


dari penelitian ini adalah :

1. Apakah fungsi kode etik pendeta?


2. Apakah peran pendeta ketika terlibat dalam politik?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis menyimpulkan tujuan dari


penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui fungsi kode etik pendeta.


2. Mengetahui peran pendeta ketika terlibat dalam politik.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut diatas, maka penulis menganggap


bahwa hasil penelitian ini dapat berguna sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

- Menunjukkan fungsi dari kode etik pendeta.

- Menunjukkan peran pendeta ketika terlibat dalam politik.

- Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu


politik untuk perkembangan keilmuan.

2. Manfaat Praktis :

- Untuk memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang


berminat dalam memahami realitas politik.

- Untuk memberikan informasi sebagai bahan perbandingan


dalam memahami politik pada masyarakat.

- Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kode Etik Pendeta

Kode Etik Pendeta adalah tuntunan moral pendeta dan bukan peraturan gereja
mengenai keberadaan dan tugas-tugas pendeta. Peraturan gereja mengenai pendeta
mengatur norma hukum, seperti peraturan mengenai perekrutan pendeta, penahbisan
pendeta, penempatan pendeta, dan pemberhentian pendeta, serta semua hak dan
kewajiban yang melekat pada seorang pendeta, termasuk sanksi yang harus
diberlakukan pada seorang pendeta. Kode Etik Pendeta lebih berfungsi selaku
pedoman moral dalam menjalankan kehidupan seorang pendeta dan khususnya
menolong pendeta mengoptimalkan fungsinya.

Tugas seorang pendeta selaku pemimpin rohani di jemaat adalah memberikan


pengajaran mengenai kehidupan rohani dan moral yang bertujuan membuat warganya
mengalami kehidupan yang baik, sejahtera jasmani dan rohani. Warga jemaat
diharapkan mematuhi sejumlah norma moral dan agama yang dianjurkan dalam
Alkitab sehingga hidup mereka benar-benar dipenuhi kedamaian dan kesejahteraan
jasmani dan rohaninya. Harapan bahwa pengajaran yang diberikan seorang pendeta
bukanlah menjadi satu-satunya hal yang paling utama, tetapi teladan dan contoh
yang baik juga menjadi sesuatu hal yang tidak bisa disepelekan. Memang benar
bahwa pendeta juga manusia tetapi karena pekerjaan mereka sebagai pemimpin
rohani maka keteladanan dituntut dari hidup para pendeta (dan keluarganya).

Pada dasarnya Kode Etik memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai perlindungan
dan pengembangan bagi profesi Pendeta. Fungsi ini mementingkan Kode Etik sebagai
pedoman pelaksanaan tugas profesional Pendeta dan pedoman bagi masyarakat,
khususnya umat yang dilayani dalam memberikan penilaian kinerja Pendeta sebagai
seorang profesional. Pada kenyataannya belum semua Pendeta memahami secara baik
norma-norma moral yang harus menjadi patokan berperilaku dan patokan berkarya di
tengah gereja dan masyarakat yang terus berubah, walaupun ia tahu banyak norma
yang harus ditaatinya sebagai seorang Pendeta.

5
B. Peran Pendeta dalam Politik

Siapakah pendeta itu? Istilah pendeta dalam Bahasa Indonesia umumnya


digunakan untuk menyebut pemimpin gereja-gereja Protestan. Nama pendeta berasal
dari bahasa Sansekerta pandita yang berakar dalam tradisi agama Hindu. Kata Pandit
dalam Hinduisme merupakan gelar anggota kasta Brahmana yang melakukan fungsi
imamat tetapi memiliki spesialisasi dalam mempelajari dan menafsirkan Kitab Suci
dan teks-teks hukum, serta filsafat kuno. Jadi kata pandit umumnya digunakan
sebagai gelar seorang terpelajar atau seorang imam.

Menurut Alexander Strauch, kemungkinan penggunaan istilah pendeta untuk


rohaniwan Protestan adalah untuk membedakan dari Gereja Katolik. Gereja Katolik
telah lebih dahulu mempopulerkan kata pastor atau imam untuk menyebut gelar
rohaniwan Katolik. Gelar pendeta sama sekali tidak terdapat dalam Alkitab dan
sangat asing dalam tradisi gereja. Penggunaan kata ini dapat dipandang sebagai salah
satu usaha kontekstualisasi tugas imamat atau penggembalaan yang lebih lazim
dikenal dalam Alkitab atau tradisi Kristen.

Pendeta adalah orang yang mendapat panggilan khusus dari Tuhan dan diutus
oleh jemaat, dan karena itu, tugas pokoknya adalah memelihara kesatuan umat tetapi
pendeta bukan manusia suci.

Keilahian tugas pendeta sangat penting digaris bawahi karena sekarang ini
lebih sering tugas pendeta disorot dari aspek-aspek yang lebih praktis dan teknis. Juga
kewibawaan pendeta dinilai berdasarkan kecakapan manajerialnya dan bukan lagi
pada kewibawaan ilahinya. Hal ini bisa dipahami karena banyak gereja melihat tugas
pendeta yang utama ada kaitannya dengan pengelolaan dan penataan pelayanan gereja
sebagai institusi, padahal tugas pokok pendeta adalah memelihara kehidupan rohani
umat yang dinyatakan dalam berbagai bentuk penggembalaan. Itu sebabnya pendeta
sering juga disebut sebagai pastor atau gembala.

Pada prinsipnya Tuhan terus memelihara ciptaan-Nya dan manusia


berpartisipasi dalam memelihara tugas, jabatan yang diberikan oleh Tuhan. Tugas
panggilan iman itu adalah bentuk partisipasi orang percaya dalam memelihara dan
mengelola ciptaan Tuhan dan untuk mengasihi sesama.

Begitupun dalam bidang politik, ketika pendeta melakukannya sesuai dengan


kehendak Tuhan itu pun terhitung sebagai panggilan iman. Politik bukanlah bidang
yang kotor tetapi tempat dalam mana orang-orang Kristen membagikan kebenaran

6
Injil di dunia. Kekacauan dan anarkisme berasal dari penyimpangan dan
misinterpretasi kebebasan Kristen yang tidak menghormati hirearki dan
mengacaukan definisi panggilan iman di bidang politik.

Oleh karena itu seorang pendeta harus menjadi seorang yang profesional
dalam fungsi-fungsi pelayanan dan harus mampu menguasai diri dalam segala situasi.

Pekerjaan pelayanan merupakan sesuatu yang tidak gampang, kadang bekerja


tanpa diupah malah dibenci dan dianiaya. Namun prinsip pelayanan menjadi kekuatan
dalam melakukan tugas dan kesaksian. Prinsip ini bersumber dari pengajaran Yesus
yang tergambar dalam beberapa bagian Alkitab berikut ini:

1. Jabatan itu merupakan penetapan Allah pada seseorang yang dipilihNya. Itu
berarti bahwa Allah mempercayakan dan menganugerahkan pelayanan pada
seseorang, secara khusus pada pendeta dan tanggung jawab terhadap hasil
pekerjaan itu adalah pada Allah.

2. Sebagai pemimpin pelayan maka dituntut karakter yang lemah lembut, rendah
hati, menjadi teladan bagi jemaat, hadir ditengah masyarakat untuk melayani
bukan untuk dilayani.

3. Pendeta sebagai pemimpin dan gembala mesti menjaga dan mengasihi domba
– domba dengan penuh kesetiaan bahkan rela mengorbankan hidupnya supaya
domba-domba itu tetap terpelihara baik.

4. Pendeta harus mampu menguasai diri agar sebagai pemberita Firman ia tidak
ditolak karena mampu melakukan seperti apa yang disampaikannya.

Beberapa poin di atas secara singkat dan sederhana hendak menyatakan


bahwa seorang pendeta mendasari tugasnya dengan prinsip :

1. Tetap mengingat bahwa pertanggungjawaban tugasnya adalah pertama-tama


kepada Allah dan mewujud dalam pelayanannya kepada umat.

2. Mengutamakan pelayanan.

3. Berani membela kepentingan jemaat/orang banyak.

4. Menguasai diri karena totalitas hidupnya adalah kesaksian tentang Yesus.

7
C. Perspektif Alkitab

Usahakanlah kesejahteraan kota (baca: po’lis, politik) dan berdoalah untuk kota
(po’lis, politik) itu (Yer. 29:7). Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan
syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita
hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim 2:1-2).

Gereja diutus ke dunia, ditugaskan ke dunia untuk menggenapkan firman Allah,


memproklamasikan Injil Yesus Kristus (Mat 28:19-20, Mark 6:15, Luk 4:18-19) dan
tidak diperintahkan untuk mencari sorga. Dalam bahasa realita kontekstual saat ini.
Gereja diutus untuk menyampaikan kabar baik bagi orang-orang yang busung lapar,
berita pembebasan bagi para buruh, nelayan, petani yang dijerat (menjadi tawanan)
para pemodal, pendidikan bagi orang-orang pinggiran yang tersisihkan (buta) dan
orang-orang tergusur (ditindas).

Semua yang di atas adalah muatan dan realitas politik yang sesungguhnya dan tidak
ada satu pun yang dapat dilewatkan begitu saja. Lebih tandas lagi: mewujudkan
Kerajaan Allah di dunia dalam naungan syalom-Nya. Untuk mewujudkan hal itu,
Gereja tidak mungkin melepaskan diri dari persoalan-persoalan politik. Apalagi ciri
dari syalom itu adalah: kesejahteraan, keadilan, kejujuran, kebenaran dan ketertiban,
bagi seluruh ciptaan (integrity of creation).

Etika Alkitab yang dapat merembes ke seluruh bidang dan sendi kehidupan, termasuk
ke dalam arena politik adalah: kudus dan bertanggungjawab. Prinsip-prinsip inilah
yang sesungguhnya masih sangat kurang di dalam arena politik di Indonesia. Itu
sebabnya, semua orang beragama, berurusan terus dengan agama dan bahkan fanatik
beragama, tetapi korupsinya merajalela pada saat Gereja menggebu dan simultan
harus membangun etika politik bangsa.

BAB III

8
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada dasarnya persoalan mengenai peran politik pendeta membutuhkan


kesadaran bukan semata-mata dari pendeta, tetapi juga kesadaran dari warga jemaat
layanan bahkan masyarakat luas. Kesadaran yang dimaksud guna menunjang
pekerjaan dan tanggungjawab pendeta khususnya dalam kaitan dengan peran politik
pendeta di tengah masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan kesadaran tersebut,
terlebih dahulu pendeta harus menanamkan model penggembalaan untuk menjangkau
masyarakat sehubungan dengan peran politiknya. Hal ini harus dilakukan mengingat
fokus panggilan iman pelayanan seorang pendeta adalah untuk Allah dan jemaat
layanannya. Untuk itu peran seorang pendeta dalam konteks politik lebih kepada
peran pastoral (penggembalaan) dan bukan pada peran politik praktis.

Selain kesadaran dari seorang pendeta, kesadaran dari Sinode juga sangat
diperlukan untuk keberhasilan dan penunjang peran pastoral pendeta dalam kaitannya
dengan politik. Artinya kode etik pendeta yang merupakan representasi dari Sinode
haruslah menunjukkan keterlibatan yang sama, sehingga dalam pelaksanaan dari
Sinode bahkan sampai pada jemaat-jemaat akan sejalan.

Pada akhirnya segala upaya yang dilakukan guna memperjelas dan


mengarahkan kembali peran politik pendeta akan mendapat perhatian yang baru.
Bukan saja usaha pribadi atau satu orang saja, tetapi usaha ini dilakukan bersama
sehingga mendapatkan hasil yang optimal bagi Sinode, pendeta dan bahkan warga
jemaat atau masyarakat. Memang sampai saat ini, sudah banyak program-program
penggembalaan (pastoral) yang dilakukan oleh Sinode, tetapi alangkah baiknya jika
peran pastoral pendeta berkaitan dengan politik dipertimbangkan kembali guna
mendapat keselarasan untuk tujuan dan kepentingan bersama.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, saya menyarankan adanya bidang hubungan


pastoral khusus yang fokus pada hubungan politik yang mana program-programnya
pun menunjang pekerjaan dan tanggungjawab pendeta terkait hal tersebut dalam
masyarakat. Hal ini pun harus ditunjukkan dengan petunjuk pelaksanaan pendeta
diterbitkan, sehingga jemaat dan masyarakat serta pendeta pun mempunyai landasan
yang sama. Sebab hingga saat ini, fokus terhadap peran politik pendeta hanya

9
berdasarkan kode etik yang memerlukan revisi dalam penjelasan mendalam, dan
mengingat hal ini pun bukan masalah sederhana yang bisa diatasi secara instan, tetapi
memerlukan waktu yang lama dan secara bertahap juga terus menerus harus
diisasikan.

Dalam hal ini perlu adanya kerjasama yang lebih sering dan mendalam
bahkan secara khusus dalam upaya yang akan dilakukan oleh Sinode, sehingga peran
pastoral pendeta berkaitan dengan politik dalam masyarakat mendapat pembaharuan
ke arah yang lebih baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Terjemahan Baru. 2006. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Borrong, Robert P. Etika Politik Kristen Serba-Serbi Politik Praktis. Jakarta: Unit
Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2006.

Borrong, Robert P. Signifikansi Kode Etik Pendeta. Gema Teologi Vol.39, No.1
(April 2015).

https://misi.sabda.org/misi_gereja_masa_kini

11

Anda mungkin juga menyukai