Fix Di Print KEL. 2 Anak (Covid+Epilepsi+Asma) - Dikonversi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 111

CASE REPORT STUDY

BANGSAL ANAK

“Covid-19 + Epilepsi + Asma”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA

Periode 31 Mei – 24 Juli 2021

Oleh:

KELOMPOK II

AMELIA PRATIWI ZUKHRUF, S.Farm 2030122002

ANNI KHOLILA, S.Farm 2030122007

ARISKA GUSTIN, S.Farm 2030122011

DIZA PERMATA SARI, S.Farm 2030122016

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

PADANG

2021
1
BAB I

PENDAHULUAN

Virus merupakan salah satu penyebab penyakit menular yang perlu

diwaspadai. Dalam 20 tahun terakhir, beberapa penyakit virus menyebabkan

epidemi seperti severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV)

pada tahun 2002-2003, influenza H1N1 pada tahun 2009 dan Middle East

Respiratory Syndrome (MERS-CoV) yang pertama kali teridentifikasi di Saudi

Arabia pada tahun 2012. Pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok melaporkan

kasus pneumonia misterius yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari,

pasien dengan kasus tersebut berjumlah 44 pasien dan terus bertambah hingga

saat ini berjumlah jutaan kasus. Pada awalnya data epidemiologi menunjukkan

66% pasien berkaitan atau terpajan dengan satu pasar seafood atau live market di

Wuhan, Provinsi Hubei Tiongkok. Sampel isolat dari pasien diteliti dengan hasil

menunjukkan adanya infeksi coronavirus, jenis betacoronavirus tipe baru, diberi

nama 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV). Pada tanggal 11 Februari 2020,

World Health Organization memberi nama virus baru tersebut SARS-CoV-2 dan

nama penyakitnya sebagai Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Virus corona

ini menjadi patogen penyebab utama outbreak penyakit pernapasan. Virus ini

adalah virus RNA rantai tunggal (single-stranded RNA) yang dapat diisolasi dari

beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus ini berasal dari kelelawar kemudian

berpindah ke manusia. Pada mulanya transmisi virus ini belum dapat ditentukan

apakah dapat melalui antara manusia-manusia. Jumlah kasus terus bertambah

seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi pneumonia ini

2
dapat menular dari manusia ke manusia. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO

mengumumkan bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia. Kasus COVID-19

pertama di Indonesia diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020 atau sekitar 4 bulan

setelah kasus pertama di Cina. Kasus pertama di Indonesia pada bulan Maret 2020

sebanyak 2 kasus dan setelahnya pada tanggal 6 Maret ditemukan kembali 2

kasus. Kasus COVID-19 hingga kini terus bertambah. Saat awal penambahan

kasus sebanyak ratusan dan hingga kini penambahan kasus menjadi ribuan. Pada

tanggal 31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196 kasus, meninggal 22.138

kasus, dan sembuh 611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19 terbanyak adalah

DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk menentukan seseorang

terjangkit COVID-19 dibutuhkan pemeriksaan PCR swab, hasil penelitian

terbaru menunjukkan bahwa sebagian kasus dapat menunjukkan hasil positif

persisten walaupun sudah tidak ada gejala. Penelitian di Korea menunjukkan

bahwa walaupun tidak ditemukan virus yang dapat bereplikasi 3 minggu setelah

onset gejala pertama, SARS-CoV-2 RNA masih terdeteksi di spesimen

pemeriksaan RT-PCR hingga 12 minggu. Bagi penyintas COVID-19 penelitian

terbaru juga menunjukkan ada kemungkinan untuk proses reinfeksi karena

antibodi COVID-19 dalam tubuh diperkirakan akan menghilang dalam 3 sampai

dengan 12 bulan. Pada April 2020 telah dilaporkan kasus reinfeksi SARS-CoV-

2 terkonfirmasi pertama di Amerika. Oleh sebab itu walaupun sudah dinyatakan

sembuh dari COVID-19, tetap harus menjalankan protokol kesehatan. Vaksin

merupakan salah satu upaya dalam menangani COVID-19, termasuk di Indonesia.

Saat ini sedang berlangsung uji klinis vaksin COVID-19 dan pengembangan

vaksin merah putih, yaitu dengan isolat virus yang bertransmisi di Indonesia juga
3
sudah dilaksanakan. Persiapan Indonesia mulai dari logistik penyimpanan vaksin

hingga proses distribusi vaksin ke seluruh provinsi di Indonesia juga sudah

dilakukan. Keberadaan vaksin diharapkan menjadi kabar baik dalam pencegahan

penyebaran virus COVID-19. Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia,

kasus COVID-19 meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga

memerlukan perhatian. Pada prakteknya di masa pandemi, tatalaksana COVID-19

diperlukan kerjasama semua profesi untuk menanganinya. Diperlukan panduan

tatalaksana yang sederhana dan mudah dimengerti dan diterapkan oleh semua

pihak di seluruh Indonesia. Kita menghadapi virus dengan tabiat yang belum

jelas, semua anjuran yang dituangkan dalam buku ini masih punya peluang untuk

selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang ada sehingga perlu

kehati-hatian bila digunakan untuk semua kondisi pasien COVID-19.1

Di Indonesia saat ini terdapat kasus positif 2.950.058 kasus, Sembuh

2.323.666, dengan 76.200 kasus kematian. Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun, termasuk anak masih dalam kandungan (UU Perlindungan

Anak no 35 tahun 2014). Dalam mendefinisikan kasus pada anak, memiliki

keterkaitan erat dengan status COVID-19 orang tuanya atau orang dewasa di

sekitarnya.2

Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih

episode kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila

terdapat manifestasi khas suatu sindrom epilepsi. Kejang tanpa provokasi adalah

kejang yang tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik

akut, trauma, atau kelainan intrakranial akut lainnya.

4
Diagnosis epilepsi pada anak dan remaja dapat ditegakkan oleh dokter

spesialis anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang epilepsi. Diagnosis

epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar

anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis. Penegakan diagnosis epilepsi

dimulai dengan penentuan secara klinis apakah kejang merupakan kejang

epileptik, berdasar atas deskripsi serangan atau pengamatan kejang secara

langsung serta gejala dan temuan lain pada anamnesis dan pemeriksaan fisis.

Anamnesis didapatkan dari pasien, orang lain yang menyaksikan atau mengetahui

riwayat serangan, serta bilamana memungkinkan dari saksi mata yang melihat

serangan. Dalam menentukan serangan merupakan suatu kejang epileptik,

diagnosis banding yang lain perlu disingkirkan. Diagnosis kejang epileptik atas

dasar temuan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisis, dengan baku emas

pemantauan jangka panjang) memiliki sensitivitas 97,7% dan spesifisitas 100%.3

Asma adalah penyakit respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang

mengakbitkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan deajat

bervariasi. Manifestasi klinis asam dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas,

dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung

memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.4

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada

bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh

faktor herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif. Bila residif

biasanya disertai infeksi, akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat bahan kimia

atau iritan.5

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Covid 19 (Corona Virus Disease 19)

2.1.1 Definisi 1

Definisi operasional pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus

COVID-19 yaitu kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, kontak erat

1. Kasus Suspek

Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:

a. Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu

kriteria epidemiologis:

Kriteria Klinis:

• Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam* dan batuk;

ATAU

• Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam*,

batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan,

coryza/ pilek/ hidung tersumbat*, sesak nafas, noreksia/mual/muntah*,

diare, penurunan kesadaran

DAN

Kriteria Epidemiologis:

• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau

bekerja di tempat berisiko tinggi penularan**; ATAU

• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau

bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi

6
lokal***; ATAU

• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan

kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta

petugas yang melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan

kontak; ATAU

b. Seseorang dengan ISPA Berat****,

c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria

epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARS- CoV-2 positif****

2. Kasus Probable

Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut

a. Seseorang yang memenuhi kriteria klinis

DAN

memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable; ATAU terkonfirmasi;

ATAU berkaitan dengan cluster COVID- 19*****

b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-

19******

c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra

penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak

ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi

d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan

DAN

memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable atau terkonfirmasi, atau

berkaitan dengan cluster COVID-19*****


7
3. Kasus Konfirmasi: Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus

COVID-19 dengan kriteria sebagai berikut:

a. Seseorang dengan hasil RT-PCR positif

b. Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif

DAN

memenuhi kriteria definisi kasus probable ATAU kasus suspek (kriteria A atau

B)

c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-

2 positif

DAN

Memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable ATAU terkonfirmasi.

Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:

a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)

b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)

4. Kontak Erat: Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable

atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi

dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti

bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).

c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau

konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.

d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian

risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat


8
Catatan:
* Gejala/tanda yang dipisahkan dengan garis miring (/) dihitung sebagai satu gejala/tanda
** Risiko tinggi penularan:
Kriteria yang dapat dipertimbangkan:
a. Ada indikasi penularan/tidak jelas ada atau tidaknya penularan pada tempat tersebut.
b. berada dalam suatu tempat pada waktu tertentu dalam kondisi berdekatan secara
jarak (contohnya lapas, rutan, tempat pengungsian, dan lain-lain).
Pertimbangan ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko lokal oleh dinas
kesehatan setempat.

***Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang melaporkan adanya kasus


konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan kasus tersebut.
Negara transmisi lokal merupakan negara yang termasuk dalam klasifikasi kasus klaster dan
transmisi komunitas, dapat dilihat melalui situs https://www.who.int/emergencies/diseases/
novel-coronavirus-2019 /situation-reports Wilayah transmisi lokal di Indonesia dapat dilihat
melalui situs https://infeksiemerging.kemkes.go.id.

**** ISPA Berat yaitu Demam akut (≥ 38 0 C)/riwayat demam, dan batuk, dan tidak lebih dari 10
hari sejak onset, dan membutuhkan perawatan rumah sakit.

**** Perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT-PCR. Rekomendasi WHO terkait


pemeriksaan rapid antigen SARS-CoV-2: (1) Memiliki sensitivitas > 80% dan spesifisitas >
97% jika dibandingkan dengan RT-PCR; (2) Hanya digunakan dalam kondisi RT-PCR tidak
tersedia atau membutuhkan hasil diagnosis yang cepat berdasarkan pertimbangan klinis; dan
(3) hanya dilakukan oleh petugas terlatih dalam 5-7 hari pertama onset gejala.

***** Cluster COVID-19 didefinisikan sebagai sekumpulan individu bergejala (memenuhi


kriteria klinis A & B kasus suspek) dilihat dari aspek waktu, tempat, dan paparan yang sama.
• Paparan terhadap minimal 1 orang yang terkonfirmasi positif dengan RT-PCR
• Paparan terhadap minimal 2 orang bergejala dengan hasil rapid antigen SARS-CoV- 2 positif

****** Gambaran radiologis yang sugestif ke arah COVID-19:


• X-Ray toraks: hazy opacities yang terdistribusi di bagian basal dan perifer paru
• CT Scan toraks: opasitas ground glass multipel bilateral yang terdistribusi di bagian basal
dan perifer paru
• USG paru: penebalan pleural lines, B lines (multifocal, diskret, atau konfluens), pola
konsolidasi dengan atau tanpa air bronchograms

9
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,

ringan, sedang, berat dan kritis.

1. Tanpa gejala

Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.

2. Ringan

Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.

Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,

mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung,

sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang

pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering

dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti

fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan,

delirium, dan tidak ada demam.

3. Sedang

Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia

(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat

termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan

tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat

dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).

Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan,

≥50x/menit ; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ; usia >5 tahun,

≥30x/menit.

10
4. Berat /Pneumonia Berat

Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia

(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30

x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.

ATAU

Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan

bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:

• Sianosis sentral atau SpO2<93% ;

• Distress pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada

yang sangat berat);

• Tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau

penurunan kesadaran, atau kejang.

• Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan,

≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun,

≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.

5. Kritis

Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan

syok sepsis.

2.1.2 Patogenesis6

Kebanyakan Corona virus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan.

Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan

kemampuannya mebyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda,

kucing, dan ayam. Corona virus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang

11
ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat membawa

patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular tertentu. kelelawar,

tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan untuk

Corona virus.

Corona virus pada kelelawar merupakan sumber utama untuk menjadikan

servere acute respiratorysyndrom (SARS) dan Middle East respiratory syndrome

(MERS). Setelah terjadi transmisi virus masuk ke saluran nafas atas kemudian

bereplikasi di sel epitel saluran nafas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah

itu menyebar ke saluran nafas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus

dari saluran nafas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel

gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul

penyakit sekitar 3-7 hari.

2.1.3 Diagnosis1

A. Pemeriksaan RT-PCR swab dan Virus

Pemeriksaan swab mengikuti panduan pemeriksaan yang sudah dijelaskan di

atas. Pada kasus suspek dan probable COVID-19 dengan hasil swab

nasoorofaring negatif, maka pemeriksaan swab dapat dilakukan dari rektal atau

spesimen saluran napas bawah (mis. sputum). Pemeriksaan virus SARS-CoV-2

dapat diambil dari saluran napas, feses, maupun spesimen lain seperti plasenta.

B. Pemeriksaan rapid antibodi dan antigen terhadap SARS-COV-2

Pemeriksaan antibodi digunakan untuk mengetahui seroprevalensi yang

membantu surveilans epidemiologi COVID-19. Pemeriksaan rapid antibodi

positif pada anak dengan kecurigaan MIS-C, walaupun hasil PCR SARS-CoV- 2

12
negatif, diagnosis MIS-C tetap dapat ditegakkan. Hal ini didasarkan atas

manifestasi klinis MIS-C dapat timbul setelah 2-4 minggu pasca awitan.

Sejak 16 Desember 2020, WHO memasukkan rapid antigen sebagai tes

diagnostik dalam penegakkan kasus COVID-19. Penggunaan tes ini dapat

membantu apabila sarana pemeriksaan RT-PCR terbatas, harganya lebih murah

dan hasil lebih cepat. Namun, perlu ketepatan dalam waktu dan cara

pengambilan sampel.

2.1.4. Klasifikasi Klinis1

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil pemeriksaan

penunjang, maka klasifikasi klinis dapat dibagi menjadi tanpa gejala, ringan,

sedang, berat dan kritis.

A. Tanpa Gejala

Hasil uji SARS-CoV-2 positif tanpa ada tanda dan gejala klinis.

B. Ringan

Gejala infeksi saluran napas atas seperti demam, fatigue, mialgia, batuk,

nyeri tenggorokan, pilek, dan bersin. Beberapa kasus mungkin tidak disertai

demam, dan lainnya mengalami gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah,

nyeri perut, diare, atau gejala non-respiratori.

C. Sedang

Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam, batuk, takipnu*, dapat disertai

ronki atau wheezing pada auskultasi paru tanpa distres napas dan

hipoksemia.*Takipnu= Frekuensi napas <2 bulan: ≥60x/menit, 2–11 bulan:

≥50x/menit, 1–5 tahun: ≥40x/menit, >5 tahun: ≥30x/menit lainnya.

13
D. Berat

Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas cuping hidung,

sianosis, retraksi subkostal, desaturasi (saturasi oksigen <92%). Adanya tanda

dan gejala bahaya umum seperti kejang, penurunan kesadaran, muntah profuse,

tidak dapat minum, dengan atau tanpa gejala respiratori.

E. Kritis

Pasien mengalami perburukan dengan cepat menjadi acute respiratory

distress syndrome (ARDS) atau gagal napas atau terjadi syok, ensefalopati,

kerusakan miokard atau gagal jantung, koagulopati, gangguan ginjal akut, dan

disfungsi organ multipel atau manifestasi sepsis lainnya.

F. Multisystem Inflammatory Syndrome

Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam ≥ 3 hari

DAN disertai dua dari:

a) Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau tanda inflamasi

mukokutaneus pada mulut, tangan dan kaki

b) Hipotensi atau syok

c) Gambaran disfungsi miokardium, perikarditis, vaskulitis, abnormalitas

koroner (terdiri atas kelainan pada ekokardiografi, peningkatan

Troponin/NT-proBNP)

d) Bukti adanya koagulopati (dengan peningkatan PT, APTT, D-dimer)

e) Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri perut)

DAN

Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau procalcitonin

14
DAN

Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang menyebabkan inflamasi

meliputi sepsis bakteri, sindrom syok karena Stafilokokkus atau Streptokokkus

DAN

Terdapat bukti COVID-19 (berupa RT-PCR, positif tes antigen atau positif

serologi) atau kemungkinan besar kontak dengan pasien COVID-19

2.1.5 Penatalaksanaan1

Tata laksana kasus suspek/probable/konfirmasi suspek COVID-19

Tata laksana kasus COVID-19 meliputi tata laksana standar yang terdiri atas

tata laksana suportif meliputi farmakologis dan non farmakologis serta tata

laksana pemberian antivirus.

1. Kontak Erat Tanpa gejala

a. Karantina dan Pemantauan

• Karantina di rumah selama 14 hari

• Pasien melakukan pemantauan mandiri di rumah dan dipantau melalui

telepon/telekonsultasi oleh petugas FKTP atau tenaga kesehatan lainnya

• Kontrol di FKTP setelah 14 hari karantina untuk pemantauan klinis.

b. Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan PCR mengikuti panduan di atas

c. Non-farmakologis

• Nutrisi adekuat

• Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk

dibawa ke rumah)

15
Pasien:

- Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan malam hari

- Selalu menggunakan masker jika ke luar kamar dan saat berinteraksi

dengan anggota keluarga

- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer

sesering mungkin

- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)

- Upayakan kamar tidur sendiri/terpisah

- Upayakan WC/toilet terpisah, apabila tidak memungkinkan

menggunakan WC/toilet paling akhir (setelah anggota keluarga

lainnya)

- Menerapkan etiket batuk (diajarkan oleh tenaga medis)

- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun

- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya

- Pakaian yang telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong

plastik /wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga

yang lainnya sebelum dicuci (siapa tau gak punya mesin cuci)

- Membersihkan lingkungan kamar dan WC/toilet yang digunakan

- Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi, jam 12 siang dan jam 19

malam

- Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika

terjadi peningkatan suhu tubuh >38°C, sesak napas, atau munculnya

keluhan kesehatan lainnya

16
Lingkungan/kamar:

- Perhatikan ventilasi, cahaya, dan udara

- Membuka jendela kamar secara berkala

- Menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya masker,

dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle)

- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer

sesering mungkin

- Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan

desinfektan lainnya.

Keluarga:

- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya

memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit

- Anggota keluarga senantiasa pakai masker

- Jaga jarak minimal 1-meter dari pasien

- Senantiasa mencuci tangan

- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih

- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar

- Bersihkan sesering mungkin daerah yang mungkin tersentuh pasien

misalnya gagang pintu dll.

2. Tanpa gejala terkonfirmasi, suspek/probable/terkonfirmasi ringan

a. Isolasi dan Pemantauan

• Rawat jalan, isolasi mandiri

b. Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan PCR ulang mengikuti panduan di atas.


17
c. Non-farmakologis

• Nutrisi adekuat

• Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi

kontak erat tanpa gejala).

d. Farmakologis

• Perawatan suportif

• Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400mg/hari; 4-8 tahun maksimal

600mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2gram/hari; 12-18 tahun maksimal

1,8gram/hari) dan Zink 20mg/hari atau obat suplemen lain dapat

dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum menunjukkan

hasil yang meyakinkan.

• Pada pasien dengan gejala ringan namun memiliki komorbid, perlu

dipertimbangkan tata laksana sebagaimana pasien dengan gejala sedang

3. Suspek/Probable/ Terkonfirmasi Sedang

a. Isolasi dan Pemantauan

• Rawat inap isolasi

b. Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan swab PCR mengikuti ulang mengikuti panduan di atas.

• Pemeriksaan laboratorium darah rutin dengan hitung jenis dan foto toraks,

jika memungkinkan diperiksa pula CRP.

• Pemeriksaan lain seperti fungsi hati, fungsi ginjal, dan pemeriksaan

lainnya sesuai indikasi/sesuai komorbid.

• Orangtua penunggu pasien diperiksakan swab naso-orofaring

18
c. Non-farmakologis

• Oksigenasi. Pada keadaan ini terdapat takipnu yang secara cepat menjadi

hipoksia, maka perlu disiapkan oksigen

• Infus cairan maintenance

• Nutrisi adekuat.

d. Farmakologis

• Perawatan suportif

• Pemberian antivirus untuk SARS-CoV-2 (Tabel 12)

• Antibiotik empirik lebih disukai dosis tunggal atau sekali sehari karena

alasan infection control, yaitu ceftriaxon IV 50- 100 mg/kgBB/24jam

pada kasus pneumonia komunitas atau terduga ko-infeksi dengan bakteri

dan/atau Azitromisin 10 mg/kg jika dicurigai disertai dengan pneumonia

atipikal (DPJP dapat memberikan jenis antibiotik lain sesuai dengan

keputusan klinis, dengan menyesuaikan dengan pola kuman rumah sakit)

• Jika dicurigai ko-infeksi dengan influenza boleh diberikan Oseltamivir

• Kortikosteroid

• Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400mg/hari; 4-8 tahun maksimal

600mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2gram/hari; 12-18 tahun maksimal

1,8gram/hari) dan Zink 20mg/hari atau obat suplemen lain dapat

dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum menunjukkan

hasil yang meyakinkan. Pemberian IVIG, kortikosteroid, antikoagulan,

antiinflamasi lain seperti anti IL-6 diberikan dengan pertimbangan hati-

hati melalui diskusi dengan tim COVID-19 rumah sakit.

19
Pemberian antivirus potensial dan anti-inflamasi untuk infeksi COVID-19

Terapi definitif untuk COVID-19 masih terus diteliti, namun laporan

efektivitas dan keamanan obat antivirus tersebut adalah pada pasien dewasa,

sedangkan pada anak masih dalam penelitian. Pemberian anti SARS-CoV-2 pada

anak harus mempertimbangkan derajat beratnya penyakit dan komorbid, serta

persetujuan orang tua. Dosis pemberian antivirus potensial dan durasi

pemberiannya dapat dilihat pada Tabel 12.

Pemantauan derajat keparahan pasien pada kasus anak dengan Covid-19

• Pemantauan derajat keparahan pasien yang disepakati oleh pakar intensif

anak adalah nilai rasio SpO2/FiO2 (SF ratio)

• Pada pasien dengan tunjangan pernapasan non-invasif dapat digunakan indeks

saturasi oksigen (Oxygen Saturation Index/OSI)

• Pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif dapat dihitung indeks

oksigenasi (Oxygenation Index/OI)

• Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target saturasi perifer atau SpO2<

97% agar validitas penghitungan SF rasio dan OSI dapat dijaga

• Prediksi perburukan pirau intrapulmonal dapat dilakukan dengan menghitung

dan memantau AaDO2

• Kriteria P-ARDS yang digunakan sesuai dengan kriteria Pediatric Acute Lung

Injury Conference Consensus (PALICC)

20
Indikasi dan prinsip penggunaan NIV atau HFNC pada kasus anak dengan

Covid-19

1. Anak dengan klinis sesak (RR >+2 SD sesuai usia) dengan atau tanpa

peningkatan usaha nafas atau work of breathing

2. Memerlukan suplementasi oksigen untuk mempertahankan SpO2 > 88% dan

OI (oxygenation index) < 4 atau OSI < 5

3. Terdapat infiltrat baru yang konsisten dengan gambaran penyakit paru akut

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Bilevel noninvasive

ventilation (NIV)

• Rekomendasi tunjangan pernapasan awal pada pasien dengan SF rasio

sebesar 221 – 264. CPAP dan NIV Bilevel lebih dianjurkan oleh karena

tekanan jalan napas akan lebih terjamin dibandingkan dengan pemberian

High Flow Nasal Cannula (HFNC)

• Jika SF rasio < 221, intubasi jangan ditunda

• Jika tidak terjadi perbaikan oksigenasi (target SpO2 92-97% dengan FiO2<

0.6) dalam pemantauan 60-90 menit, atau ROX index< 5, lakukan intubasi

• Interface yang digunakan pada CPAP/NIV dianjurkan helmet, guna

mengurangi kebocoran atau leak yang terjadi. Jika tidak tersedia, dapat

digunakan sungkup non-vented oro-nasal atau full-face yang disambungkan

dengan sirkuit double-limb atau single-limb dengan filter

• Lakukan titrasi tekanan sesuai respons pasien (target oksigenasi atau

peningkatan upaya bernapas)

21
• Penggunaan CPAP dan NIV berisiko untuk terjadinya kontaminasi aerosol

terutama jika ada kebocoran. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang

memadai mutlak harus dipenuhi jika merawat pasien infeksi COVID-19

dengan CPAP/NIV.

High Flow Nasal Cannula (HFNC)

• High Flow Nasal Cannula (HFNC) dapat dipergunakan jika CPAP/NIV tidak

tersedia, pada pasien dengan SF rasio > 264 dengan pemberian FiO2 0.35-0.4

• HFNC juga berisiko menyebabkan kontaminasi aerosol, karena tingkat

kebocoran / leak yang tinggi.

• Jika target oksigenasi (SpO2> 92 – 94 % dengan FiO2< 0.4) tidak membaik

dalam waktu 30 – 60 menit, segera intubasi

Ventilasi Mekanis Invasif

• Penyusun tidak dapat merekomendasikan modus ventilator tertentu pada

pasien anak dengan infeksi COVID-19 yang mengalami ARDS

• Modus ventilator, pengaturan awal dan penyesuaian bergantung pada kondisi

pasien dan sesuai keahlian dokternya (baca: panduan ventilasi mekanis –

UKK ERIA, 2018)

• Anjuran untuk menerapkan ventilasi proteksi paru sesuai rekomendasi

PALICC

Pasien mengalami hipoksemia refrakter apabila ditemukan:

• PaO2/FiO2< 150

• OI ≥ 12

• OSI ≥ 10

22
• dan atau FiO2> 0.6

Tindakan intubasi trakeal emergensi pada anak dengan Covid-19

Jika diperlukan tindakan intubasi, perhatikan hal-hal berikut:

• Pencegahan infeksi adalah prioritas utama: semua tim yang terlibat harus

menggunakan APD sesuai standar dan tindakan dilakukan di ruang dengan

tekanan negative

• Jalur komunikasi harus tersedia untuk tim di dalam ruangan dan tim di luar

ruangan

• Pastikan sudah tersedia checklist intubasi dan daftar peran masingmasing staf.

Dalam melakukan intubasi minimalisasi petugas yang ada di ruang intubasi.

Staf yang melakukan intubasi terdiri dari 3 orang, yaitu:

- Intubator atau operator airway dilakukan oleh dokter yang paling

berpengalaman dalam mengintubasi dan berperan untuk mengintubasi

pasien dalam upaya pertama

- Asisten airway bertugas membantu intubator membuka jalan napas,

memastiakan jalan napas patent dan memberikan bantuan pernapasan.

- Asisten pemberi obat-obatan, bertugas memberikan obatobatan selama

proses intubasi dan melakukan moitoring atau pengawasan terhadap

tindakan intubasi maupun kondisi pasien.

• Periksa monitor, akses IV, instrumen, obat-obatan, ventilator dan suction

• Pertimbangkan penggunaan video laryngoscope

• Pertimbangkan tahanan krikoid/rapid sequence intubation (RSI)

• Hindari ventilasi sungkup manual jika tidak diperlukan

23
• Jika diperlukan, gunakan teknik 2 orang, dengan oksigen aliran rendah dan

batasi pemberian tekanan

• Pastikan filter tersedia antara face mask dan bag

• Intubasi dan konfirmasi dengan monitor kapnografi kontinu dan pemeriksaan

visual kembang dada (hindari penggunaan stetoskop)

- Jika menggunakan video laryngoscope - gunakan disposable blade

- Bila pelumpuh otot telah diberikan, segera intubasi

- Masukkan ETT hingga kedalaman yang ditentukan dan kembangkan cuff

untuk menutup jalan nafas sebelum memulai ventilasi. Catat kedalaman

ETT

- Pasang NGT untuk dekompresi lambung sehingga tidak mengganggu

ventilasi paru

- Hindari melepas sambungan sirkuit; tekan dan putar semua konektor

untuk mengunci. Klem selang endotrakeal saat melepas sambungan

- Gunakan algoritma gagal intubasi jika terjadi kesulitan

- Beri instruksi sederhana dan gunakan closed loop communication

- Jika status pasien COVID-19 belum dikonfirmasi, aspirasi trakea untuk

pemeriksaan virologi dilakukan dengan closed suction

- Buang alat sekali pakai dengan aman setelah digunakan

- Dekontaminasi alat yang dapat digunakan ulang sesuai instruksi. Setelah

meninggalkan ruangan, lepas APD dengan teliti

- Bersihkan ruangan 20 menit setelah intubasi (atau tindakan yang

menghasilkan aerosol terakhir)

- Simpan peralatan terkait lainnya di luar ruangan sampai dibutuhkan


24
25
26
27
28
29
30
Algoritma Protokol Manajemen Covid

31
2.2 Epilepsi

2.2.1 Definisi Epilepsi 3

Kejang/bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh

lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di

otak yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan

disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat

bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis), bermanifestasi negatif

(hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan keduanya.

Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai,

kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara

tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan

sebagian besar berlangsung singkat. Sebelum terjadi bangkitan epileptik

penderita kadang kadang dapat merasakan akan terjadi serangan, keadaan ini

disebut fase prodromal. Fase kejang/bangkitan termasuk aura yang merupakan

gejala sebelum kejang. Selanjutnya adalah fase setelah kejang (post ictal),

penderita tertidur atau bingung selama beberapa saat. Aura merupakan perasaan

paroksismal berupa sensasi sensoris atau motorik yang mendahului kejang fokal.

Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked

seizure) adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik

akut yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang.

Epilepsi didefinisikan sebagai serangan paroksismal berulang tanpa provokasi

dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.

32
2.2.2 Klasifikasi Epilepsi

Epilepsi dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu sebagai berikut:

A. Berdasarkan Tipe Bangkitan3

1. Kejang Umum, Suatu serangan kejang dikatakan kejang umum apabila

semiologi kejang umum disertai dengan gelombang epileptiform umum.

Pada kejang umum terjadi hilang kesadaran yang dapat merupakan gejala

awal manifestasi kejang.

• Tonik, ditandai dengan kontraksi otot yang berlangsung selama

beberapa detik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan tubuh dapat

terlihat kaku. Kejang tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila terjadi

saat periode bangun dapat mengakibatkan penderita terjatuh.

Karakteristik gambaran EEG adalah adanya perlambatan aktivitas

yang bersifat umum, atau tampak gelombang epileptiform dengan

voltase tinggi dan frekuensi cepat (2 9-10 Hz).

• Klonik, ditandai sentakan sekelompok otot dengan pengulangan

secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta berlangsung lama,

pada umumnya melibatkan kedua sisi tubuh. Gambaran EEG tipikal

pada kejang klonik adalah adanya kompleks paku-ombak lambat

dengan frekuensi tinggi (> sama10 Hz).

• Tonik-Klonik, ditandai dengan kontraksi tonik simetris, diikuti

dengan kontraksi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini

disertai dengan fenomena otonom, termasuk penurunan kesadaran

atau apnea.

33
• Absans, ditandai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara.

- Tipikal Absans, ditandai dua manifestasi utama; hilang kesadaran

transien dan gambaran EEG khas berupa gelombang paku-ombak

atau paku majemuk-ombak dengan frekuensi 2,5-3 Hz. Meskipun

umumnya tipe ini muncul tanpa disertai bentuk kejang lain,

beberapa penderita dapat memperlihatkan manifestasi motorik,

yaitu komponen klonik (kedutan kelopak mata, alis, dan mulut).

komponen atonik (hilangnya tonus otot mendadak yang

menyebabkan kepala terkulai, kehilangan daya genggam, tapi

jarang menyebabkan pasien terjatuh), komponen tonik (mata

berputar dan kepala bergerak ke belakang, batang tubuh

melengkung), atau otomatisasi (gerakan repetitif yang intens

misalnya gerakan mengecap-ngecap, menelan, berjalan).

- Atipikal Absans, memiliki gambaran motorik yang sama dengan

tipikal namun lebih berat (misalnya atonia menyebabkan penderita

terjatuh) namun proses kehilangan kesadaran berlangsung lebih

perlahan dau progresif, demikian pula pemulihannya memerlukan

waktu lebih lama (tidak seperti bentuk tipikal yang terjadi secara

cepat dan mendadak). Gambaran EEG memperlihatkan gambaran

paku-ombak dengan frekuensi <2,5 Hz. Kejang mioklonik adalah

kontraksi otot tunggal atau multipel yang terjadi secara tiba-tiba,

cepat (<100 milidetik), dengan topografi yang bervariasi (aksial,

ekstremitas proksimal, distal).

34
• Mioklonik, Gambaran EEG tipikal memperlihatkan gambaran

kompleks paku majemuk-ombak, atau lebih jarang berupa gambaran

paku-ombak, atau atonik.

• Atonik, ditandai dengan hilangnya tonus otot tanpa didahului kejang

mioklonik atau tonik yang berlangsung ≥1-2 detik, melibatkan kepala,

batang tubuh, rahang, atau otot-otot ekstremitas.

2. Kejang Parsial, fokal bermula dari struktur kortikal atau subkortikal dari

satu hemisfer, namun dapat menyebar ke area lain.

• Kejang Parsial Sederhana (Tanpa Gangguan Kesadaran), kejang

fokal tanpa disertai gangguan kesadaran. Kejang parsial sederhana ini

dapat menunjukkan kejang disertai gejala motorik, somato sensorik

atau sensorik khusus (special sensory), otonom, atau perilaku.

- Dengan Gejala Motorik

- Dengan Gejala Samatosensorik/Sensorik Halusinasi

- Dengan Gejala Otonom

- Dengan Gejala Psikis

• Kejang Parsial Kompleks, kejang fokal disertai hilang atau

perubahan kesadaran.

- Dengan Gangguan Kesadaran Pada Awal Serangan

- Diawali Parsial Sederhana Lalu Diikuti dengan gangguan

kesadaran

35
• Kejang Parsial Menjadi Umum, ditandai dengan kejang fokal yang

diikuti kejang umum. Kejang umum dapat berbentuk tonik, klonik,

atau tonik-klonik.

- Parsial sederhana menjadi kejang tonik-klonik

- Parsial kompleks menjadi kejang tonik-klonik

3. Kejang Yang Belum Dapat Diklasifikasi

B. Berdasarkan Etiologi 7

1. Hubungan lokalisasi epilepsi dan sindron (fokal, lokal, partial).

• ldiopatik dengan onset berhubungan dengan umur:

- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal.

- Epilepsi anak dengan paroksismalitas di oksipital.

- Epilepsi reading primer.

• Simtomatik

- Epilepsi parsial kontinua progresif kronik pada anak (sindrom

Kojewnikows).

- Sindrom yang ditandai oleh bangkitan dengan cara presipitasi

yang khas sindrom yang berdasarkan tipe bangkitan, lokalisasi

anatomik dan etiologi: epilepsi lobus temporalis, epilepsi lobus

frontalis, epilepsi lobus parietalis dan epilepsi lobus oksipitalis.

• Kriptogenik: digolongkan menjadi simtomatik dan etiologinya tidak

diketahui.

36
2. Epilepsi umum dan sindrom

• ldiopatik dengan onset berhubungan dengan umur:

- kejang neonatal familial benigna

- kejang neonatal benigna

- epilepsi mioklonik benigna pada bayi

- epilepsi absens pada anak

- epilepsi absens juvenil

- epilepsi mioklonik juvenil (petit ma1 impulsif)

- epilepsi dengan bangkitan grand mal pada waktu bangun

- epilepsi idiopatik umum lain yang tidak tersebut di atas

- epilepsi dengan bangkitan yang didahului oleh bentuk aktivitas

yang khas.

• Kriptogenik atau imtomatik, menurut penampilan umur:

- sindrom West (spasme infantil. Blitz-Nick-Salam krampfe)

- sindrom Lennox Gastaut

- epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik

- epilepsi dengan absens mioklonik.

• Simtomatik:

Etiologi tidak khas

- ensefalopati mioklonik dini.

- ensefalopati epileptik infantil dini dengan Suppession burst.

- epilepsi umum simtomatik lain yang tidak tersebut di atas.

37
Sindrom Spesifik

- Bangkitan epileptik yang mungkin menyebabkan komplikasi

banyak penyakit, yang termasuk ini adalah penyakit-penyakit

dengan bangkitan/serangan yang merupakan manifestasi utama.

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifatnya fokal atau

umum

• Dengan keduanya bangkitan umum atau fokal:

- kejang neonatal

- epilepsi mioklonik berat pada bayi

- epilepsi dengan gelombang paku-ombak terus-menerus selama

tidur dengan gelombang lambat

- afasia epileptik didapat (sindrom Landau1-Kleffner)

- epilepsi lain yang tidak dapat ditentukan dan bukan tersebut di

atas.

• Tanpa sifat yang jelas bangkitan umum atau fokal.

- Ini termasuk semua kasus grand ma1 tonik-klonik yang secara

klinis aan EEG tidak dapat diklasifikasikan secara jelas serangan

umum dan hubungannya dengan lokalisasinya, seperti pada

banyak kasus serangan grand ma1 waktu tidur.

4. Sindrom spesial

Bangkitan yang berhubungan dengan situasi:

- kejang demam

- bangkitan tersendiri atau status epileptikus tersendiri

38
- bangkitan yang terjadi hanya apabila ada kelainan metabolik akut atau

kejadian toksik akut misalnya karena alkohol, obat-obatan, eklamsia,

dan hiperglikemia non ketotik.

2.2.3 Etiologi 7

Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh inaktivitas

sinaps inhibisi, atau oleh stimulasi berlebihan pada sinaps eksitasi atau oleh

perubahan pada keseimbangan neurotransmiter-palsu yang memblokade aksi

neurotransmiter alamiah. Turunnya ambang kejang mungkin diakibatkan oleh

perubahan konsentrasi ion dalam cairan tubuh. Depolarisasi mungkin merupakan

refleksi dari kegagalan pompa ion, yang dapat disebabkan karena kurangnya

pasokan energi pada keadaan hipoglikemia, anoksia atau gangguan metabolik

lainnya.

Bangkitan epilepsi akan berakhir bila inhibisi meningkat dan menjadi

lebih unggul. Bagaimana ha1 ini tejadi belum diketahui secara rinci. Telah

diketahui bahwa sel glia ikut berpartisipasi dalam menyangga konsentrasi ion

ekstraselular, pengaruh inhibisi dari subkorteks dapat menembus ke korteks dan

habisnya bahan-bahan di neuron yang sedang berlepas-muatan-berlebihan akan

mengurangi kemampuannya untuk selanjutnya membangkitkan gelombang paku.

Sampai saat ini belum dapat diungkapkan dengan baik mengapa lesi kortikal atau

subkortikal tertentu yang mampu menjadi epileptogenik sedangkan lesi lainnya

tidak, dan bagaimana lesi anatomik dapat menimbulkan keadaan epileptik pada

neuron-neuron di sekitarnya.

Telah dikemukakan bahwa tiap kelainan yang mengganggu fungsi otak

dapat mengakibatkan bangkitan epilepsi atau bangkitan kejang. Tiap kelainan di


39
otak dapat merupakan salah satu sebab bangkitan epilepsi. Dikatakan salah satu,

karena untuk tejadi bangkitan epilepsi dibutuhkan beberapa faktor yang berperan

bersama-sama. Beberapa faktor bertindak serempak secara sinergistik dalam

mencetuskan bangkitan epilepsi pada individu yang peka.

Misalnya seorang anak yang menderita tumor otak dan menjadi pasien

epilepsi. Anak tersebut tidak terus-menerus mengalami serangan epilepsi.

Kadang-kadang hanya sekali seminggu atau sekali sebulan, padahal tumor tetap

ada di otak. Jadi dibutuhkan faktor-faktor lain agar terjadi bangkitan epilepsi.

Bila ditinjau dari faktor etiologi, maka sindrom epilepsi dapat dibagi

menjadi dua kelompok, yakni

1. Epilepsi idiopatik (penyebab tidak diketahui)

2. Epilepsi simtomatik (penyebabnya diketahui, misalnya tumor otak, pasca

trauma otak, pascaensefalitis)

1. Epilepsi ldiopatik3

Pada sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan

biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan juga tidak bodoh.

Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka

golongan idiopatik makin berkurang. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan

oleh abnormalitas konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh

interaksi beberapa faktor genetik. Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas

sistem talamik-intralaminar dari substansia kelabu basal dan mencakup reticular

activating system dalam sinkronisasi lepas muatan. Sebagai akibatnya dapat

terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung singkat (absens murni, petit mal),

40
atau lebih lama dan disertai kontraksi otot tonik-klonik (tonik-klonik umum,

grand mal).

Kata idiopatik, diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang menunjukkan

bangkitan kejang umum sejak dari permulaan serangan. Pada serangan fokal atau

psikomotor atau yang mempunyai aura yang menyatakan bahwa bangkitan

bermula pada sekelompok populasi neuron yang bersifat epileptik, dengan

pemeriksaan yang teliti dengan fasilitas yang lebih baik, umumnya penyebabnya

dapat diketahui. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik.

2. Epilepsi Simtomatik 3

Epilepsi simtomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai

kelainan intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali

kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak,

jaringan parut.

Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian juga mengganggu

fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pemapasan, gangguan

metabolisme (hioglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan

elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih).

Hampir semua penyakit otak dapat mengakibatkan kelainan pada

sekelompok sel neuron dengan gangguan kelistrikan dan merupakan sumber

epileptogen. Bentuk serangan epilepsi yang diakibatkannya bergantung pada

letak serta fungsi kelompok neuron tersebut, misalnya: kelompok neuron yang di

korteks motor dapat mengakibatkan bangkitan fokal motor, dengan gerakan

konvulsif pada ekstremitas kontralateral. Bangkitan ini dapat terlokalisasi, atau

dapat menjalar, menyebar sepanjang girus, melibatkan bagian tubuh lainnya; atau
41
dapat pula menyebar ke formasio retikularis dan diikuti oleh bangkitan kejang

umum. Pemeriksaan EEG biasanya dapat menentukan letak fokus epilepsi.

Jaringan patologis, seperti jaringan tumor, bukanlah epileptogenik, namun

sel neuron di sekitarnya yang menjadi terganggu fungsi dan metabolismenya,

dapat merupakan fokus epileptik. Jejas otak oleh trauma lahir dan efek

perkembangan dapat disertai epilepsi. Pada usia lebih lanjut, tumor otak, penyakit

degeneratif, kelainan pembuluh darah memkakan penyebab yang lebih sering.

Seperti telah dikemukakan sebelurnnya, agar supaya terjadi bangkitan

epilepsi dibutuhkan beberapa faktor yang bekerja bersama. Kelainan struktural

saja, seperti tumor atau sikatriks trauma, tidak dapat membangkitkannya. Kita

ketahui bahwa jaringan abnormal tersebut selalu berada di dalam otak

penderitanya, namun bangkitan epilepsi tidak setiap saat muncul, melainkan

sesekali. Demikian pula, tidak semua orang yang mempunyai jaringan abnormal

di otak, seperti tumor, akan menjadi epilepsi. Dari segi praktis, harus dilacak

faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, yang

disebut faktor pencetus. Contoh faktor pencetus, yang mungkin berbeda pada tiap

pasien, ialah: stress, demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh

hiperventilasi, gangguan emosional.

Pada anak, faktor usia dan perkembangan ikut mempengaruhi apakah

akan ada epilepsi atau tidak. Bangkitan kejang lebih jarang didapatkan pada bayi

prematur, karena sistem sarafnya belum berkembang, dan lebih sering dijumpai

pada bayi cukup umur. Bangkitan epilepsi lebih jarang dijumpai pada usia bulan-

bulan pertama, dan lebih sering antara usia 4 bulan sampai 4 tahun, kemudian

menurun frekuensinya sampai remaja.3


42
2.2.4 Patofisiologi 7

Penghantaran rangsang di saraf otak berlangsung melalui dua cara yaitu

perubahan konsentrasi ion (Na, K, Ca) dan pelepasan neurotransmiter (GABA,

dsb). Perubahan konsentrasi ion menyebabkan penghantaran impuls sepanjang sel

saraf yang akhirnya akan menyebabkan pelepasan neurotransmiter di ujung saraf.

Neurotransmiter dapat menghambat (GABA) atau merangsang (asetilkolin) sel

saraf berikutnya. Ketidakseimbangan dari ion-ion dalam sel (berlebihan atau

berkurang) dapat mengganggu transmisi antar sel-sel saraf tadi. Beberapa area di

otak (korteks motoiik, lobus temporal termasuk hipokampus yang berperan dalam

memori) peka terhadap perubahan biokimia, cenderung berperan pada aktivitas

terjadinya serangan tadi. Misalnya pada kejang parsial pada daerah tertentu di

salah satu hemisfer otak, pada kejang. parsiai simple terkait aktivltas abnormal di

area motorik, sensorik, pusat otonom di otak. Suatu serangan dapat dilacak pada

membran sel otak atau sel disekitarnya yang tidak stabil.

Rangsangan yang berlebih dapat menyebar secara lokal pada serangan

fokal, maupun lebih luas pada serangan umum. Terjadinya konduktansi kalium

yang tidak normal, gangguan pada kanal kalsium sensitif voltase, atau defisiensi

pada membran ATPase yang berkaitan dengan transport ion dapat menghasilkan

ketidakstabilan membran neuronal dan serangan kejang. Aktivitas neuronal

normal tergantung pada fungsi normal pemicu rangsang (yaitu, glutamat, aspartat,

asetilkholine norepineprin, histamin, faktor pelepas kortikotropin, purin, peptida,

sitokin, dan hormon steroid) dan penghambat neurotransmiter (yaitu, dopamin,

asam-aminobutirat [GABA]); pasokan glukosa, oksigen, natrium, kalium,

klorida, kalsium, dan asam amino yang cukup, pH normal, dan fungsi normal
43
reseptor. Kejang yang lama, terpapar glutamat secara terusmenerus, sejumlah

besar kejang tonik-klonik umum (GTC) (lebih besar dari 100), dan episode ganda

status epileptikus dapat dikaitkan dengan kerusakan neuronal.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang pada Epilepsi 7

➢ Pemeriksaan Urin

Kadang-kadang serangan epilepsi disebabkan oleh kelainan ginjal yang

dapat dideteksi dengan pemeriksaan urin rutin. Perneriksaan urin lain

ialah untuk mengetahui adanya asam amino dalam urine, misalnya pada

pasien epilepsi yang disebabkan oleh fenilketonuria atau histidinuria.

Pemeriksaan ini dilakukan atas dasar indikasi.

➢ Pemeriksaan Darah

Kelainan-kelainan darah tertentu dapat menyebabkan serangan epilepsi,

misalnya anemia sickle cell, polisitemia dan leukemia. Pemeriksaan

gula darah, elektrolit darah dan ureum perlu dilakukan atas dasar

indikasi. Misalnya serangan spasme infantil dapat disebabkan oleh

karena hipoglikemia.

➢ Pemeriksaan Cairan

Serebrospinal Cairan serebrospinal pada pasien epilepsi umumnya

normal, pungsi lumbal dilakukan pada pasien yang diduga menderita

meningitis. Pada pasien epilepsi dengan kelainan neurologis fokal dan

tanda peninggian tekanan intrakranial sangat berbahaya apabila

dilakukan pungsi lumbal. Pada pasien dengan proses degeneratif

pemeriksaan cairan serebrospinal dapat berguna untuk menegakkan

diagnosis, misalnya pada Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE).


44
Bila ditemukan zat anti terhadap morbili dalam cairan serebrospinal

berarti pasien menderita SSPE.

➢ Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG hampir dliakukan pada semua pasien epilepsi dan

merupakan pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk menegakkan

diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan

umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik

atau metabolik.

➢ Pemeriksaan Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan ialah foto polos kepala,

angiografi serebral, Coinpllted Tonlography (CT) Scan, inagitetic

resonance imaging (MRI) dan Positron Emission Toinography (PET).

2.2.6 Diagnosis Epilepsi 7

Ada 3 hal yang pokok dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu:

1. Diagnosis eticlogi, misalnya epilepsi akibat malformasi arterio-vena.

2. Diagnosis jenis serangan untuk menentukan obatnya. Harus dibedakan

misalnya serangan absens dan parsiai kompleks, karena pengobatamya

berbeda.

3. Diagnosis sindrom epilepsi. Hal ini penting untuk menentukan prognosis dan

lama pengobatan misalnya juvenile myoclonic epilepsy bersifat benigna,

sedangkan progressive myoclonic epilepsy bersifat maligna.

45
2.2.7 Penatalaksanaan

A. Prinsip Pengobatan Epilepsi 7

1. Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak

keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya

baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan

epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.

2. Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan berikutnya adalah menentukan jenis

serangan. Setiap OAE mempunyai kekhususamya sendiri dan akan berfaedah

secara sperifik pada jenis serangan tertentu.

3. Pengobatan hams dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian

dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah

untuk mengatasi kejang-dengin dosis-optimal terendah yang terpenting

bukanlah mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas yang dapat

menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.

Kadar OAE bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan

bersama obat lain, bahan kimia (bilirubin, asam lemak bebas) dan

distribusinya yang tergantung pada kelarutamya dalam lemak dan ikatamya

dengan jaringan tubuh. Absorpsi dapat dipengaruhi saat makan obat misalnya

sebelum atau sesudah makan, jenis makanan dan obat misalnya antasid. Dosis

anak pada umumnya 50-100% lebih besar dibandingkan dosis dewasa karena

nilai klirens yang tinggi. Pada umumnya didapati depresi susunan saraf pusat

dan gangguan traktus digestivus yang bersifat sementara.

4. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non-compliance atau tidak minum

obat menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti
46
dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap, sedangkan dosis

OAE pertama diturunkan bertahap. Penumnan secara bertahap ini bertujuan

untuk mencegah timbulnya status epileptikus (terutama fenobarbital). Bila

OAE pertama perlu dihentikan dengan cepat karena timbul efek samping

yang berat, harus diberikan diazepam. Politerapi sedapatnya dihindarkan

karena:

• Efek samping yang banyak (terutama di bidang intelektual).

• Lebih sukar dikontrol.

• Kadar obat dalam darah yang lebih rendah. Setelah ditemukan OAE yang

sesuai, frekuensi pemberian disesuaikan dengan masa paruh (fenobarbital

dan fenitoin diberikan 2 x sehari).

B. Tatalaksana Medikamentosa3

Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom epilepsi

harus pasti. Respons individu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang,

klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi setiap kali kunjungan.

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu, untuk

menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter,

pasien, dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat. Pemberian OAE

harus mempertimbangkan risiko dan manfaat. Faktor akseptabilitas OAE sangat

menentukan kepatuhan berobat. Selain itu, ketersediaan obat secara konsisten dan

kontinu juga menjamin keberhasilan terapi.

Pilihan obat antiepilepsi

Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis

kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam


47
valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE. Namun

penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna dalam hal

efikasi obat-obat tersebut. Selain efikasi, efek samping OAE pun harus

dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memilih OAE. Perlu diingat pula

bahwa OAE tertentu juga dapat menyebabkan eksaserbasi kejang pada beberapa

sindrom epilepsi (Tabel 4.2).

48
Algoritma Tatalaksana Epilepsi 8

49
2.3 Asma

2.3.1 Definisi 4

Asma adalah penyakit respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang

mengakbitkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan deajat

bervariasi. Manifestasi klinis asam dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas,

dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung

memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.

2.3.2 Klasifikasi Asma4

Tabel 1. Klasifikasi Asma berdasarkan derajat beratnya serangan.

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan kekerapan timbulnya asma

50
Keterangan :

1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis

kerja asma dan dilakukan tatalaksana umum (pengendalian lingkungan,

penghindaran pencetus)selama 6 minggu.

2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak Kunjungan awal

tatalaksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi.

3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan Jenjang

tatalaksana jangka panjang.

4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, Masukkan ke

dalam klasifikasi lebih berat.

2.3.3 Etiologi7

Sel-sel inflamasi ( sel mest, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator

kimia (histamin, leukotrien, platelet-activing factor, bradikinin), dan faktor

kemotaktik (sitokin, eotaksin) memerentarai proses inflamasi yang terjadi pada

saluran respiratori penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya

hiperresponsif saluran respiratori, yaitu kecenderungan saluran respiratori

mengalami kontraksi sebagai respons terhadap alergen, iritasi, infeksi virus, dan

olahraga. Hal ini juga menyebabkan terjadinya edema, peningkatan produksi

mukus di paru, masuknya sel-sel inflamasi ke saluran respiratori, dan kerusakan

sel epitel. Inflamasi respiratori, akibat proliferasi protein matriks ektraselular dan

hiperplasia vaskular yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang

irreversibel dan penurunan fungsi paru yang progresif.

51
2.3.4 Patofisiologi4

a. Obstruksi saluran respiratori

Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini

merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori

menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara

spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi

dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan

hiperreaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat

mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh

mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-

satunya gejala asma yang ditemukan. (Gambar 1).

Gambar 4. Patofisiologi asma4

Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai dengan adanya inflamasi

saluran respiratori kronik dan remodeling. Hiperresponsivitas saluran

52
respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan

oleh inflamasi.

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak

faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot

polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.

Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan

leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan

asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran

respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema

akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi

kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori, serta deposisi matriks pada

dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori juga

bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel

goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui

mikrovaskular bronkus, dan debris selular.

Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada

bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi

dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor

tersebut juga menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori

penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran

respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma

pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi.

53
b. Hiperreaktivitas saluran respiratori

Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan

patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau

hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan

dengan perubahan otot polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi)

yang terjadi secara sekunder, yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.

Selain itu, inflamasi dinding saluranrespiratori terutama daerah peribronkial

dapat memperberat penyempitan saluran respiratori selama kontraksi otot

polos.

Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan

memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya

dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi

paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis,

hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak

memunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan

metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung

serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif

bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada

konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.

2.3.5 Diagnosis4,6

a) Anamnesis4

Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis

yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
54
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan

produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat

menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan

karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.

Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:

1. Gejala timbul secara episodik atau berulang.

2. Timbul bila ada faktor pencetus.

• Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,

udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet

makanan, pewarna makanan.

• Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.

• Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis

• Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.

3. Adanya riwayatalergi pada pasien atau keluarganya.

4. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan

dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).

5. Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan

pemberian obat pereda asma.

b) Pemeriksaan Fisis6

• Kesadaran

• Suhu tubuh

• Sesak napas, apakah terdapat sesak napas

• Tanda gagal napas

55
• Tanda infeksi penyerta/komplikasi

• Penilaian derajat serangan asma: ringan/sedang/berat/mengancam jiwa

c) Pemeriksaan Penunjang4

• Pemeriksaan Fungsi Paru: Peak Flow Meter, spirometer

• Analisis gas darah: pada asma dapat terjadi asidosis respiratorik dan

metabolik

• Darah lengkap dan serum elektrolit

• Foto Toraks: pada asma umumnya tampak hiperaerasi, bisa dijumpai

komplikasiberupa atelektasis, pneumotoraks, dan pneumomediastinum.

2.3.6 Tatalaksana4

a. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat

1) Serangan Asma Ringan

• Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik

(completeresponse), berarti derajat serangannya ringan.

• Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan,

pasien dapatdipulangkan. Pasien dibekali obat β-agonis (hirupan atau

oral) yang harus diberikantiap 4-6 jam.

• Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan

steroid oral jangkapendek (3-5 hari). (Evidence D)

• Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu

24-48 jamuntuk evaluasi ulang tata laksana.

• Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat

tersebutditeruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik

56
rawat jalan. Namun, jikasetelah observasi 2 jam gejala timbul kembali,

pasien diperlakukan sebagai seranganasma sedang.4

2) Serangan Asma Sedang

• Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya

menunjukkan responparsial (incomplete response), kemungkinan

derajat serangannya sedang. Untuk itu,derajat serangan harus dinilai

ulang sesuai pedoman.

• Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu

diobservasidan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan

asma sedang, diberikankortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon

dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hariselama 3-5 hari. (Evidence A)

• Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat,

pasien yangakan diobservasi di RRS langsung dipasang jalur parenteral

sejak di unit gawat darurat(UGD).4

3) Serangan Asma Berat

• Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan

respon (poorresponse), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada

(penilaian ulang sesuai pedoman),pasien harus dirawat di ruang rawat

inap.

• Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.

(Evidence B)

• Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks.

57
• Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien

harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien dengan

serangan berat dan ancaman hentinapas, foto toraks harus langsung

dibuat untuk mendeteksi komplikasi pneumotoraksdan/atau

pneumomediastinum.

• Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan

intravena dan koreksiterhadap asidosis.

• Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. (Evidence A)

• Dosis steroid intravena 0,5-1 mg/kg BB/hari.

• Nebulisasi β-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-

2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis,

jarak pemberian dapatdiperlebar menjadi tiap 4-6 jam. (Evidence B)

• Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai

berikut:

• Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan

aminofilin dosis awal(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam

dekstrosa 5% atau garam fisiologissebanyak 20 ml, diberikan dalam

20-30 menit.

• Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),

dosis yangdiberikan adalah setengah dosis inisial.

• Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan

sebesar 10-20mcg/ml;

58
• Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1

mg/kgBB/jam.(Evidence D)

• Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,

sampai dengan24 jam.

• Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.Jika dalam

24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali

obatβ-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama

24-48 jam. Selain itu,steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke

klinik rawat jalan dalam 24-48 jamuntuk evaluasi ulang tata laksana.

• Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi

oksigen (kadarPaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg). Pada

ancaman henti napas diperlukanventilasi mekanik.4

b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD

menjalani nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS

diteruskan pemberian nebulisasi B-agonis + antikolinergik bila perlu setiap 2

jam. Kemudian, diberikan steroid sistemik oral (metilprednisolon, prednison,

atau triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5 hari. Jika

dalam 8-12 jam keadaan klinis tetap baik, pasien dipulangkan dan dibekali

obat seperti pasien serangan tingan yang dipulangkan dari klinik/IGD. Bila

dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, pasien dialih rawat ke ruang rawat

inap dengan tatalaksana serangan asma berat.

59
c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap 4

• Pemberian oksigen diteruskan

• Jika ada dehidrasi dan asidosis, atasi dehidrasi dengan pemberian cairan

intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis.

• Steroid intravena diberikan secara bolus, ciap 6-8 jam dengan dosis C.5-1

mg/kg BB/hari

• Nebulisasi B2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1- 2

jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak

pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

• Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut. 

Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin

dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau

garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.

✓ Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),

dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial.

✓ Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan

sebesar 10-20 µg/ml.

✓ Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1

mg/kgBB/jam

✓ Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,

sampai dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan

pemberian per oral.

60
✓ Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan

dibekali obat B-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam

selama 24-48 jam. Selain itu. steroid oral dilanjutkan hingga pasien

kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk re-

evaluasitatalaksana.

Gambar 6. Alur tatalaksana serangan asma pada anak4

Obat asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pereda (reliever) dan obat

pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk mengatasi serangan

asma,setelah serangan reda maka obat tidak digunakan lagi. Obat pengendali

61
yang disebut sebagai obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan secara

terus menerus dalam jangka waktu yang realtif lama, bergantung dari derajad

penyakit asma.

Asma Episodik Jarang

Diobati dengan obat pereda bronkodilator ß2-agonis kerja pendek atau

golongan xantin kerja cepat hanya ketika timbul serangan/gejala.pada asma

episodik jarang masih belum diperlukan antiinflamasi. 4

Asma episodik sering

Penggunaan B-agonist inhalasi lebih dari 3x perminggu (tanpa

menghitung penggunaan pra aktivitas fisik atau serangan sedang/berat terjadi

lebih dari sekali dalam sebulan merupakan indikasi penggunaan anti inflamasi

sebagai pengendali Obat steroid hirupan yang sering digunakan pada anak adalah

budesonide. Dos rendah steroid hirupan adalah 100-200 mcg/hari budesonide

(50-100 mcg/hari flutikason) untuk anak 12 tahun, dan 200-400 mcg/hari

budesonide (100-200 mcg/hari flutikason) untuk anak usia di atas 12 tahun. Jika

setelah pengobatan selama 8-12 minggu dengan steroid dosis rendah tidak timbul

respon (masih ada gejala) naikkan dosis steroid hirupan sampai 400 mcg/hari

yang termasuk tatalaksana asma persisten. 4

Asma episode persisten

Dosis steroid hirupan yang diberikan tergantung pada kasusnya, ada yang

diberikan dari dosis tinggi dahulu kemudian diturunkan hingga dosis rendah atau

sebaliknya Pada keadaan tertentu khususnya pada anak dengan penyakit berat,

dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka

pendek (3-5 hari). Selanjutnya, dosis diturunkan sampai dosis terkecil. Dosis
62
steroid hirupan yang masih di anggap aman adalah setara dengan budesonide 400

mcg/hari Jika dosis steroid hirupan rendah tidak memberikan respon, dosis

ditingkatkan ke medium yaitu 200-400 mcg/hari budesonide (100-200 mcg/hari

flutikason) untuk anak 12 tahun dan 400-600 mcg/hari budesonide (200-300

mcg/hari flutikason) untuk anak >12 tahun. Atau tetap meberikan dosis

rendahditambahkan long acting B-agonist (LABA), atau Theophylline slow

release (TSR), atau anti leukotriene reseptor (ALTR). 4

Gambar 7. Alur tata laksana asma berdasarkan derajat asma. 4

Terapi pada asma4:

1. Obat – obat untuk serangan Asma

a. Bronkodilator

Beta Adrenergik Kerja Pendek (Short Acting). Beta adrenergik agonis

merupakan terapi fundamental dan obat pilihan' pada serangan asma. Stimulasi

63
terhadap reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATF menjadi

cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan

terjadinya bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan

mediator dari sel mast. Reseptor ß1terutama terdapat di jantung sedangkan

reseptor ß2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel

inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan pankreas.

Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan ß2 agonis selektif. 4

b. Epinefrin/Adrenalin

Contoh obat epinefrin/adrenalin. Pada umumnya, epinefrin tidak

direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma, kecuali jika tidak ada

obat ß2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi

anafilaksis atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau

inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin

1:1000 (1 mg/ml), dengan dosis 0,01 m/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat

diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja

adrenalin subkutan adalah 5-15 menit, efek puncaknya 30–120 menit, durasi

efeknya 2-3 jam.4

c. ß2-agonis

Selektif Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan

fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan

setiap 6 jam, dosis terbutalin oral 0,05–0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6

jam, fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali setiap 6 jam. Pemberian secara oral akan

menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam


64
2-4 jam. dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara inhalasi (dengan

inhaler/nebuliser) memiliki mula (onset) kerja yang lebih cepat (1 menit), efek

puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian

subkutan tidak memberi efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada

nebulisasi, sehingga cara ini tidak dianjurkan jika ada alat nebulisasi. Dosis

salbutamol subkutan adalah 10–20 mcg/kgBB/kali sedangkan dosis terbutalin

subkutan adalah 5–10 mcg/kg/kali.

Pemberian secara noninvasif. (inhalasi) lebih disukai daripada pemberian

subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan

pasien. Untuk serangan ringan, dapat diberikan metered dose inhaler (MDI) 2–

4 semprotan (puff) tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6–10 semprotan

tiap 1– 2 jam, sedangkan serangan berat memerlukan 10 semprotan.

Pemberian dengan MDI lebih dari 6 semprotan harus dengan pengawasan

dokter atau di rumah sakit.4

d. Methyl Xanthine (Teofilin Kerja Cepat)

Obat ini sebaiknya diberikan hanya serangan asma berat yang dengan

pemberian kombinasi ß2- agonis dan antikolinergik serta steroid tidak/kurang

memberikan respons. Konsentrasi obat di darah harus dijaga sekitar 10-20

mcg/ml agar tetap memiliki efek terapi.

Dosis aminofilin intravena jika pasien belum mendapat aminofilin

sebelumnya adalah dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilaruckan dalam

20 ml dektrosa 5% atau garam fisiologis, diberikan dalam 20–-30 menit. Jika

pasien sudah mendapat anminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis

diberikan setengahnya. Selanjutnya, aminofilin diberikan dengan dosis


65
rumatan, yaitu 0,5–1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal aminofilin adalah 16-20

mg/KGBB/hari apabila tidak dapat mengukur konsentrasi plasma teofilin.

Karena farmakokinetik teofilin dipengaruhi oleh usia pasien, dosis awal

aminofilin berbeda-beda sesuai dengan usia:

• Usia 1-6 bulan: 0,5 mg/kg BB/jam

• Usia 6–11 bulan: 1,0 mg/kg BB/jam

• Usia 1-9 tahun: 1,2–1,5 mg/kg BB/jam

• Usia >10 tahun: 0,9 mg/kg BB/jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada

konsentrasi obat yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia, dan aritmia.

Secara teori, selain sebagai bronkodilator, keunggulan teofilin pada serangan

asma adalah dapat merangsang pusat respiratorikk dan meningkatkan

kontraktilitas otot-otot respiratorik.

2. Antikolinergik

• Ipratropium bromida

Pemberian kombinasi nebulisasi ß2-agonis dan antikolinergik (ipratropium

bromida) menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada jika

masing- masing obat diberikan secara sendiri-sendiri. Kombinasi ini sebaiknya

diberikan jika 1 kali nebulisasi ß2-agonis tidak/kurang memberikan respons.

Sebaiknya pemberian kombinasi ini dilakukan lebih dulu sebelum pemberian

methyl xanthine. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap

4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai

berikut: untuk usia >6 tahun 8–20 tetes; usiakekeringan (minimal) atau rasa

66
tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8 mg/kg pada orang dewasa); secara umum,

tidak efek samping yang berarti.

3. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan

asma dan pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan asma, kecuali

pada serangan ringan. Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada

keadaan sebagai berikut:

• Terapi inisial inhalasi ß2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama

• Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah mengunakan

kortikosteroid hirupan sebagai controller

• Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya

Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit

4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalam waktu

12– 24 jam. Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma,

mencegah perlunya rawat ·inap di rumah sakit, mengurangi gejala,

memperbaiki fungsi paru, serta memperbaiki respons bronkodilatasi yang

ditimbulkan oleh ß2-agonis. Preparat oral yang dipakai adalah prednison,

prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1–2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3

kali sehari selama 3–5 hari.

Kortikosteroid intravena (IV) perlu diberikan pada kasus asma yang

dirawat di rumah sakit. Metil-prednisolon merupakan pilihan utama karena

memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek anti

inflamasi yang lebih besar, serta efek mineralokortikoid yang minimal. Dosis
67
metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kg BB, diberikan setiap 4-6

jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kg BB setiap 4-6 jam.

Dėksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis ½-1 mg/kg BB,

dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6–8 jam.

Pemakaian steroid inhalasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan

asma sehingga tidak dianjurkan. Nebulisasi steroid dapat diberikan untuk

serangan berat, tetapi diperlukan dosis sangat tinggi, yaitu 1600 mcg

(meskipun belum banyak kepustakaan yang mendukung). Pada pasien yang

intoleran terhadap prednison oral, dapat diberikan inhalasi steroid dosis tinggi

21 (efektivitasnya sama). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang

keuntungan pemberian steroid inhalasi dibandingkan dengan kortikosteroid

sistemik pada serangan asma, terutama dari segi efektivitasnya.

5. Magnesium sulfat

Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada

serangan asma berat. Pemberian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak

dengan serangan asma berat yang dirawat di ICU, terutama yang tidak/kurang

berespons terhadap pemberian kortikosteroid sistemik dan nebulisasi berulang

dengan ß2- agonis dan aminofilin.

Dosis magnesium sulfat adalah 25–50 mg/kg BB IV, diberikan selama 1

jam. Kadar magnesium serum sebaiknya di periksa setiap 6 jam, infus

magnesium harus dititrasi untuk menjaga agar kadar di dalam darah tetap

sebesar 3,5–4,5 meq/dl. Efek samping obat ini adalah kelemahan otot,

penurunan refleks tendon dalam (deep tendon reflex), hipotensi, takikardia,

mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung. Suatu penclitian


68
pendahuluan melaporkan bahwa nebulisasi kombinasi salbutamol dan

magnesium sulfat isotonik menunjukkan hasil yang lebih baik daripada

kombinasi salbutamol dan salin nomal. Namun, penggunaan magnesium

sulfac isotonik secara rutin belum direkomendasikan sampai ada penelitian

lebih lanjut.

Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat 50 mg/kgBB

(inisial) dalam 20 menit dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam mempunyai

efektifitas yang sama dengan pemberian ß2-agonis. Pemberian MgSO, ini

dapat meningkatkan FEV, dan mengurangi angka perawatan di rumah sakit.

6. Mukolitik

Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat

dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak

optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi

harus berhati-hati pada serangan asma berat. Inhalasi obat mukolitik tidak

menunjukkan kegunaan dalam menangaņi serangan așma, pada serangan asma

berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.

7. Antibiotik

Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar

pencetusnya bukan infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat

diberikan, yaitu pada infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh

bakteri, seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulen, serta

jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma.

69
8. Obat Sedasi

Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena

dapat menekan/mendepresi pernapasan. Antihistamin Antihistamin jangan

diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang

menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat

memperkental sputum.

Terapi pengendali asma4

a. Steroid inhalasi

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan

penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan

obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara

dosis budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan

asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma

memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan

asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak

yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma,

menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit,

memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan

serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak

digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus.

b. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2-Cagonist, LABA)

Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan

tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2

kerja panjang dengan Steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan


70
menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid dan agonis

β2 kerja panjang pada 23 anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan

bila steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan.

c. Antileukotrien

Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak

lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat

pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid

inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan

angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.

Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga.

Antileukotrien juga dapat mencegah Serangan asma akibat infeksi virus pada

anak balita.

d. Teofilin Lepas Lambat

Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat Dapat diberikan

sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid

inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Efek samping teofilin lepas lambat

terutama timbul pada pemberian dosis tinggi,di atas10mg/kgBB/hari.

e. Anti-imunoglobulinE(Anti-IgE)

Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu

mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di

atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah

mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun

masih sering mengalami eksaserbasi Dan terbukti asma karena alergi.

71
Omalizumab! Diberikan secara Injeksi subkutan setiap dua sampai empat

minggu.

2.4. Dermatitis

2.4.1. Defenisi 5

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada

bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh

faktor herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif. Bila residif

biasanya disertai infeksi, akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat bahan kimia

atau iritan.

Dermatitis atopik dapat sembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat

pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Kejadian

dermatitis atopi meningkat dari 3–10 %. Enam puluh persen anak dengan

dermatitis atopi manifestasi klinis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 90%

pada anak usia 5 tahun.

2.4.2. Etiologi10

Etiologi belum jelas, berbagai faktor dikemukakan oleh berbagai penulis,

seperti : genetik, alergik, fisiologik, farmakologik atau psikis. Keadaan yang

demikian ini dapat memberikan suatu gambaran bahwa Dermatitis atopik

merupakan penyakit yang multifaktorial.

2.4.3. Patogenesis 10

Interaksi kompleks dari faktor-faktor seperti, skin barrier, genetik,

lingkungan, farmakologis, dan imunologi. Reaksi hipersensitivitas tipe I (yang

dimediasi IgE) sebagai akibat dari pelepasan zat vasoaktif dari sel mast dan

basofil yang disensitisasi oleh interaksi antigen dengan IgE (antibodi reagenik
72
atau peka kulit). Reseptor IgE afinitas tinggi pada sel Langerhans dapat

memediasi reaksi seperti eksim. DA akut dikaitkan dengan dominasi ekspresi

interleukin (IL) 4 dan IL-13, dan inflamasi kronis pada DA dengan peningkatan

IL-5, faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, IL-12, dan interferon-y. Jadi,

peradangan kulit pada DA menunjukkan pola bifasik aktivasi sel-T.

2.4.4. Manifestasi klinis 5

Terdapat 3 bentuk klinis dermatitis atopik yaitu bentuk infantil, anak dan

bentuk dewasa.

➢ Bentuk infantil

• Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan

predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor

ektremitas.

• Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun.

• Lesi yang paling menonjol adalah vesikel dan papula, serta

garukan yang menyebabkan krusta dan kadang infeksi sekunder.

➢ Bentuk anak

• Seringkali merupakan lanjutan dari bentuk infantil walaupun

diantaranya terdapat suatu periode remisi.

• Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih

bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti,

poplitea tangan, kaki dan periorbita.

73
➢ Bentuk dewasa.

• Terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi didaerah

lipatan muka, leher, bagian badan atas dan ekstremitas.

• Lesi bebentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi

dan skuamasi.

2.4.5 Diagnosis Dermatitis Atopik5

Diagnosis Dermatitis atopi bila ditemukan minimal 3 gejala mayor dan 3

gejala minor (Hanifin & Rajka, 1980).

1. Kriteria mayor

• Pruritus (rasa gatal yang disertai dengan ruam)

• Morfologi dan distribusi khas

• Dewasa: likenifikasi fleksura (kulit menjadi tebal dan keras)

• Bayi dan anak: lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor (otot)

• Dermatitis bersifat kronik residif, artinya penyakit menahun dan mudah

kambuh

• Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

2. Kriteria minor

• Xerosis (kulit kering)

• Iktiosis/pertambahan garis di palmar/keratosis pilaris (kulit menjadi kasar

dan bintik-bintik)

• Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat

• Peningkatan kadar IgE

• Kecenderungan mendapat infeksi kulit atau kelainan imunitas seluler

74
• Dermatitis pada areola mamae (putting susu)

• Keilitis (luka)

• Konjungtivitis (mata merah) berulang

• Lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita, artinya lipatan atau garis pada

kulit di bawah kelopak mata

• Keratokonus, yaitu kornea menipis dan lama-lama menonjol keluar

• Katarak subskapular anterior, artinya katarak ini menimpa bagian depan

lensa dan menghalangi jalur masuknya cahaya menuju retina

• Hiperpigmentasi daerah orbita (bawah mata)

• Pitiriasis alba, bercak merah atau merah muda pada kulit bentuk bulat

tidak beraturan

• Lipatan leher anterior

• Gatal bila berkeringat

• Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solvent (pelarut lemak)

• Gambaran polifolikular lebih nyata

• Intoleransi makanan

• Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi

• White dermographism/delayed blanch, muncul garis kemerahan kemudian

menjadi putih dan disertai eritema.

2.4.6.1. Diagnosis banding5

• Skabies

• Dermatitis seboroik infantil

• Dermatitis kontak

75
• Psoriasis, peradangan pada kulit yang ditandai dengan ruam merah, kulit

kering, tebal, bersisik, dan mudah terkelupas.

• Neurodermatitis, penyakit kulit kronis yang ditandai dengan munculnya

bercak putih pada bagian kulit yang terasa sangat gatal

• Sistemik dermatitis

• Dermatitis herpetiformis, penyakit autoimun yang berdampak pada kulit

• Infeksi dermatofit

• Imunodefisiensi: Wiskott-Aldrich syndrome, DiGeorge syndrome, Hyper-

IgE syndrome, severe combined immune deficiency

• Penyakit metabolik: phenylketonuria, tyrosinemia, histidinemia, multiple

carboxylase deficiency, essential fatty acid deficiency

• Neoplasma: Cutaneous T-cell lymphoma, Histiocytosis X

2.4.7 Penatalaksanaan5,10

➢ Gejala ringan 5

• Perawatan harian rutin

• Memotong kuku untuk mengurangi abrasi kulit

• Mandi dengan air hangat

• Kurangi kontak sabun pada genitalia, aksila, tangan dan kaki

• Gunakan sabun yang lembut

• Keringkan dan gunakan pelembab, contohnya Adeps Lanae

• Hindari kontak dengan alergen

• Kortikosteroid topikal potensi lemah-sedang, Contohnya

Hidrokortison 1%

76
• Antihistamin bila perlu

Bila membaik, lanjutkan terapi. Bila tidak membaik, tata laksana sesuai

gejala sedang berat

➢ Gejala sedang-berat 9

• Perawatan harian rutin

• Naikkan potensi kortikosteroid topikal

• Antihistamin rutin Bila tidak membaik:

• Pertimbangkan infeksi sekunder atau dermatitis kontak

• Pertimbangkan leukotrien inhibitor

• Antihistamin rutin

• Perawatan harian rutin

• Naikkan potensi kortikosteroid topikal

Bila membaik: lanjutkan perawatan harian rutin, turunkan potensi

kortikosteroid topikal potensi ringan-sedang, antihistamin bila perlu bila tidak

membaik : rujuk ke ahli imunologi atau dermatologi

➢ Akut 10

• Balut basah dan glukokortikoid topical, antibiotik topikal (salep

mupirocin) bila diindikasikan.

• Hydroxyzine, 10 sampai 100 mg empat kali sehari untuk pruritus.

• Antibiotik oral (dikloxasilin, eritromisin) untuk eleminasi S.

aureus dan mengobati MRSA sesuai sensitivitas seperti yang

ditunjukkan pada pemeriksaan kultur.

77
➢ Subakut dan Kronis

• Mandi dengan oat meal powder diikuti dengan aplikasi emolien

tanpa pewangi (misalnya, petrolatum terhidrasi) adalah

pengobatan harian dasar untuk xerosis; amonium laktat 12% atau

lotion asam α-hidroksi 10% sangat efektif untuk xerosis.

• Anti inflamasi topikal seperti glukokortikoid, preparat

hidroksiquinolin adalah pengobatan utama. Dari jumlah tersebut,

glukokortikoid adalah yang paling efektif. Namun, glukokortikoid

topikal dapat menyebabkan atrofi kulit jika digunakan dalam

waktu lama dan jika digunakan secara berlebihan akan

menyebabkan penekanan aksis hipofisis-adrenal.

• Penghambat kalsineurin, takrolimus dan pimekrolimus, secara

bertahap menggantikan glukokortikoid pada kebanyakan pasien.

Mereka dengan kuat menekan rasa gatal dan peradangan dan tidak

menyebabkan atrofi kulit. Obat-obat ini biasanya tidak cukup

efektif untuk menekan flare akut tetapi bekerja sangat baik pada

flare minor dan DA subakut.

• Oral antihistamin berguna untuk mengurangi rasa gatal.

• Glukokortikoid sistemik harus dihindari, kecuali pada kasus

penyakit berat yang parah yang jarang terjadi pada orang dewasa:

prednison, 60 sampai 80 mg setiap hari selama 2 hari, kemudian

mengurangi separuh dosisnya setiap 2 hari selama 6 hari

berikutnya. Pasien dengan DA cenderung menjadi tergantung pada

78
glukokortikoid oral. Seringkali, dosis kecil (5 sampai 10 mg)

membuat perbedaan dalam kontrol dan dapat dikurangi secara

bertahap bahkan menjadi 2,5 mg / hari, seperti yang sering

digunakan untuk mengontrol asma.

• Fototerapi UVA-UVB (kombinasi UVA plus UVB dan

peningkatan dosis radiasi setiap pengobatan, dengan frekuensi dua

sampai tiga kali seminggu). Narrow band UV (311 nm) fototerapi

dan fotokemoterapi PUVA juga efektif.

• Pada kasus DA dewasa yang parah dan pada orang sehat

normotensi tanpa penyakit ginjal, pengobatan siklosporin (dosis

awal 5 mg / kg per hari) diindikasikan bila semua pengobatan lain

gagal, tetapi harus dipantau secara ketat. Pengobatan dibatasi

hingga 3 sampai 6 bulan karena potensi efek samping, termasuk

hipertensi dan penurunan fungsi ginjal.

• Pasien harus belajar untuk mengendalikan stres.

79
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

No. MR 0971xx
Nama Pasien An. A
Jenis Kelamin Laki-laki
Umur 8 tahun
Agama Islam
Alamat Jalan Panorama Baru Bukit
Berat badan 20 kg
Ruangan Isolasi IRNA C
Mulai Perawatan 05Juli 2021
Keluar RS 12Juli 2021

3.2 Riwayat Penyakit

a. Keluhan utama

Kejang 1 kali seluruh tubuh sebelum masuk rumah sakit

b. Riwayat penyakit sekarang

- Demam sejak sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi terus menerus.

- Lalu kejang satu kali seluruh tubuh 30 menit sebelum masuk rumah

sakit, lama kejang 10 menit, setelah kejang sadar.

- Pilek dan batuk (+), nafas sesak, nafsu makan menurun, nyeri

tenggorokan, BAB & BAK normal, mual dan muntah (-)

c. Riwayat penyakit terdahulu

- Riwayat kejang saat umur 16 bulan

- Riwayat asma

80
d. Riwayat penyakit keluarga

Hipertensi

3.3 Pemeriksaan fisik

a. Tanda vital

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : Sadar penuh (Compos Mentis)
GCS : 15
Nadi : 105 x/menit
Pernafasan : 22x/menit
Suhu : 38,2oC
Berat Badan : 20 kg

b. Status Generalis

1 Kepala : Normal
2 Rambut : Normal
3 Muka : Normal
4 Mata : Palpebra (Normal)
5 THT : Normal
6 Mulut : Normal
7 Gigi : Normal
8 Lidah : Normal

9 Leher : Normal

10 Thorax : Paru-paru Wheezing (+)


11 Respirasi : Normal

12 Jantung : Normal
13 Abdomen : Normal

14 Integumen : Normal

81
c. Riwayat Alergi

Pasien alergi terhadap Amoxicilin

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan


5 Juli 2021 Gula darah Random 132 mg/dl < 200 mg/dl Normal
Natrium 137 mmol/l 36 – 145 mmol/l Normal
Kalium 4,2 mmol/l 3,5 – 5,1 mmol/l Normal
Klorida 101 mmol/l 97 – 111 mmol/l Normal
WBC 7.52 x 109 /L 4.00 – 12.00 x109 /L Normal
- Neutrofil 51.8 % 50.0 – 70.0% Normal
- Limfosit 26.6 % 20.0 – 60.0% Normal
- Monosit 7.8 % 3.0 – 12.0 % Normal
- Eusinofil 12.6 % 0.5 – 5.0 % Tinggi
- Basofil 1.2% 0.0 – 1.0 % Tinggi
RBC 4.99 x1012 /L 3.50 – 5.20 x1012 /L Normal
HGB 14.2 g/dL 12.0 – 16.0 g/dL Normal
HCT 38.4 % 35,0 – 49,0 % Normal
PLT 337 x 109 /L 150 – 450 x109 /L Normal
6 Juli 2021 WBC 5.16 x 109 /L 4.00 – 12.00 x 109 /L Normal
- Neutrofil 44.0 % 50.0 – 70.0 % Normal
- Limfosit 44.1 % 20.0 – 60.0 % Normal
- Monosit 5.3 % 3.0 – 12.0 % Normal
- Eusinofil 5.7 % 0.5 – 5.0 % Tinggi
- Basofil 0.9% 0.0 – 1.0 % Normal
RBC 4.89 x1012 /L 3.50 – 5.20 x1012 /L Normal
HGB 13.9 g/dL 12.0 – 16.0 g/dL Normal
HCT 37.9 % 35,0 – 49,0 % Normal
PLT 330 x 109 /L 150 – 450 x109 /L Normal
Swab PCR Positif Negatif Positif
CT Value 16 0-11 : Invalid Banyak
12-20 : Banyak Virus Virus
21-30 : Fase
Penyembuhan
31-40 : Sembuh
7 Juli 2021 LED 8 / 1 jam Pria : <10 mm Normal
Wanita : <15 mm

3.5 Diagnosa

- Diagnosa Utama : Covid-19

- Diagnosa Sekunder : Epilepsi, Asma

82
3.6 Penatalaksanaan

❖ Terapi di IGD

- O2 2L

- KAEN IB + KCl 10 MEq = 15 tpm

- Luminal 75 mg i.m (IGD)

- Zinc 1 x 20 mg

- Inj. Vitamin C 2 x 400 mg

- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr

- Diazepam 3 x 6 mg (Kalau kejang)

- Paracetamol 4 x 250 mg

- Cetirizine 1 x 6 mg

- Inj. Ranitidin 2x 30mg iv

- Rontgen, swab Pcr pagi ini

3.7 Follow Up Pasien

- Hari Ke-1 (5 Juli 2021)

S : Pagi agak sesak, nafas bunyi (+), demam sudah menurun, kejang (-)

O : KU : Sedang

BB : 20 Kg

RO : Kalsifikasi Infiltrat Perihiler

SpO2 : 97% (malam)

A : Obs Epilepsi, Asma, Suspect Covid, Suspect TB

P : - ivFD KAEN IB + KCl mEq / kolf = 15 gtt/I (makro)

- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr

- Vitamin C 2 x 300 iv

83
- Diazepam 3 x 6 mg po k/p

- Paracetamol 4 x 200 mg po k/p

- Zinc 1 x 20 mg po

- MC 1500 Kkal

- Salbutamol 3 x 2 mg po

- Cek DL + LED

- Mantoux Test di Poliklinik

- Hari Ke-2 (6 Juli 2021)

S : Demam menurun, Kejang (-), gatal dan merah ditangan, kaki, dan

badan, pilek (+), batuk (+), nafas sesak menurun

O : KU : Sedang

Ronkhi : -

Wheezing : +

Kulit : papula eritema (+)

Swab PCR : (+)

SpO2 :100 % (pagi), 98 % (siang), 100 % (malam)

A : Covid 19, obs Epilepsi, Asma, Dermatitis

P : Terapi diteruskan, lalu di tambahkan terapi

- Oseltamivir 2 x 45 mg po

- Inj. Vitamin C 2 x 300 mg iv

- Diet tanpa telur + ikan laut

- Hari Ke-3 (7 Juli 2021)

S : Demam (-), Kejang (-), batuk (+), pilek (+)

O : KU : Sedang

84
Ronkhi : -

Wheezing + minimal

SpO2 : 98 % (pagi), 100 % (siang), 100 % (malam)

A : Covid 19, obs Epilepsi, Asma, Dermatitis

P : Terapi diteruskan

- Hari Ke-4 (8 Juli 2021)

S : Demam (-), batuk (+)

O : KU : Sedang

SpO2 : 98 % (pagi), 95% (siang), 95 % (malam)

A : Covid 19, Asma, Epilepsi, Dermatitis

P :Terapi lanjut

- Hari Ke-5 (9 Juli 2021)

S : Batuk menurun, demam (-), sesak dan kejang (-)

O : KU : sedang

Nadi :110 x/i

Nafas : 20 x/i

Ronkhi : -

Wheezing : -

SpO2 : 99 % (pagi), 98% (siang), 98 % (malam)

A : Perbaikan

P :Terapi diteruskan

- Hari Ke-6 (10 Juli 2021)

S : Batuk (±), kejang (-), sesak (-)

O : KU : Sedang

85
Ronkhi : -

Nadi : 97 x/i

Nafas :19 x/i

Suhu tubuh 36,6ºC

SpO2 : 99 % (pagi), 98% (siang), 97 % (malam)

A : Perbaikan

P :Terapi diteruskan

- Hari Ke-7 (11 Juli 2021)

S : Batuk (+), kejang (-)

O : Nadi : 88 x/i

Pernafasan 20 x/i

Suhu : 36ºC

SpO2 : 97 % (pagi), 100 % (siang), 100 % (malam)

A : Hipertermi, kejang berulang

P : Terapi dilanjutkan

- Hari Ke-8 (12 Juli 2021)

S : Demam (-), sesak (-), kejang (-)

O : KU : Sedang

SpO2 : 91 % (pagi)

A : Perbaikan

P : Swab ulang, Isoman

- Vitamin C 2 x 250 mg po

- Zinc 1 x 20 mg po

86
3.8 Analisa Terapi

3.8.1 Lembar Pengobatan Pasien di Bangsal Anak

Tanggal Pemberian Obat


No. Nama Dagang/ Frekuensi Rute 5/7 6/7 7/7 8/7 9/7 10/7 11/7
Generik
P SS M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M
O O O O O O O
1 Zinc 20 mg 1 x 1mg Po √ √ √ √ √ √

2 Paracetamol 200 mg 4 x 1 mg Po √ √ √ √ √ √
(k/p)
3 Diazepam 6 mg 3 x 1 (k/p) Po √ √ √ √ √
4 Salbutamol 2 mg 3x1 Po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Oseltamivir 45 mg 2x1 Po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

6 Injeksi Vitamin C 400 2x1 Iv √ √ S


mg T
O
P
7 Ceftriaxone 1 gram 1x1 Iv √ √ √ √ √

8 Injeksi Vitamin C 300 2x1 Iv √ √ √ √ √ √ √ √

mg
9 KAEN IB + KCl 10 15 tpm Iv √
mEq

87
Tanggal Pemberian Obat
No. Nama Dagang/ Frekuensi Rute 12/7
Generik
P SS M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M
O O O O O O O
1 Zinc 20 mg 1 x 1mg Po √

2 Paracetamol 200 mg 4 x 1 mg Po
(k/p)
3 Diazepam 6 mg 3 x 1 (k/p) Po

4 Salbutamol 2 mg 3x1 Po √

5 Oseltamivir 45 mg 2x1 Po √

6 Injeksi Vitamin C 400 2x1 Iv


mg
7 Ceftriaxone 1 gram 1x1 Iv

8 Injeksi Vitamin C 300 2x1 Iv √


mg
9 KAEN IB + KCl 10 15 tpm Iv
mEq

88
3.8.2 Lembaran DRP ( Drug Related Problem)

Tabel Drug Terapi Problem

Check
No Drug Therapy Problem Keterangan/Rekomendasi
List
1. Terapi obat yang tidak
diperlukan
Terdapat terapi tanpa - Obatyang di berikan sudah sesuai indikasi klinis pasien
indikasi medis - Pemberian Zinc digunakan sebagai suplemen antivirus dan antiinflamasi
- Pemberian Paracetamol digunakan untuk terapi menghilangkan nyeri dan
menurunkan demam, karena pasien terkadang merasakan demam
- Pemberian Diazepam digunakan untuk terapi epilepsi pada pasien
- Pemberian Salbutamol digunakan untuk terapi asma pada pasien
- Pemberian Oseltamivir digunakan sebagai antivirus pada pasien
- Pemberian Vitamin C sebagai suplemen antioksidan pada pasien
- Pemberian Ceftriaxone digunakan sebagai terapiuntuk mengobati infeksi
pada pasien
- Pemberian KAEN I B + KCl digunakan untuk terapi cairan agar pasien
tidak mengalami dehidrasi
Pasien masih - Pasien tidak dapat memungkinkan menjalani terapi non farmakologi.
memungkinkan menjalani
terapi non farmakologi

89
Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi terapi karena obat dengan mekanisme kerja yang berbeda-
beda dan telah sesuai dengan kebutuhan pasien.
- Zinc memiliki aktivitas antivirus melaluipenghambatan RNA dependent
RNA Polymerase (RdRp) dan memblokir replikasi RNA Virus lebih lanjut.
Selain itu memiliki aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan NF-Kb,
yang mengakibatkan penurunan regulasi produksi sitokin proinflamasi.
- Paracetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin
- Diazepam bekerja dengan cara berikatan pada reseptor gamma
aminobutyric acid (GABA), dan meningkatkan kemmapuan inhibisi dari
GABA
- Salbutamolbekerja dengan relaksasi otot polos jalan nafas dengan
menstimulasi reseptor beta 2 adrenergik dengan meningkatkan cAMP dan
menghasilkan antagonis fungsional terhadap bronkokonstriksi
- Oseltamivirbekerja dengan menghambat enzim neurominidase pada virus
influenza yang berperan untuk melepaskan virus baru hasil replikasi
sehingga infeksinya menyebar
- Vitamin C bekerja pada plasma dan netrofil, menangkal radikal bebas dan
mencegah stress oksidatif oleh coronavirus yang berikatan di heme.
- Ceftriaxonebekerja dengan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri
Pasien mendapat - Pasien tidak mengalami efek samping obat. (penjelasan pada lembar monitoring

90
penanganan terhadap efek efek samping obat)
samping yang seharusnya
dapat dicegah.
2. Kesalahan obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan telah disesuaikan dengan kondisi pasien:
- Zinc 1 x 20 mg po: Zinc diberikan dalam bentuk tablet karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Paracetamol 4 x 200 mg po: Paracetamol diberikan dalam bentuk tablet
karena pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Diazepam 3 x 6 mgpo: Diazepam diberikan dalam bentuk tablet karena
pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Salbutamol3 x 2 mgpo: Salbutamol diberikan dalam bentuk tablet karena
pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Oseltamivir 2 x 45 mgpo: Oseltamivir diberikan dalam bentuk puyer
karena pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Ceftriaxone injeksi 1 x 1g iv: Ceftriaxone diberikan dalam bentuk injeksi
agar mempercepat efek kerja obat
- Vitamin C injeksi 2 x 300 mg iv: Vitamin C diberikan dalam bentuk injeksi
agar mempercepat efek kerja obat
- KAEN IB + KCl 10 mEq iv: KAEN IB + KCl diberikan dalam bentuk

91
infus agar mempercepat efek kerja obat
Terdapat kontra indikasi - Tidak ditemukan adanya kontra indikasi pada terapi pengobatan.
- Zinc: Hipersensitivitas terhadap garam Zinc atau komponennya
- Paracetamol: Hipersensitivitas dan gangguan hati
- Diazepam: Depresi SSP, Insufiensi paru akut, sleep apneu, gangguan
fungsi hati berat, myasthenia gravis
- Salbutamol: Hipersensitif terhadap Salbutamol
- Oseltamivir: Hipersensitif
- Ceftriaxone: Hipersensitif
- Vitamin C: Hati-hati pada pasien riwayat penyakit gangguan ginjal
Kondisi pasien tidak dapat - Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat dan pasien bisa pulang dalam
disembuhkan oleh obat perbaikan serta isolasi mandiri.
Obat tidak diindikasikan - Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan indikasi. (penjelasan pada lembar
untuk kondisi pasien pengkajian obat)
Terdapat obat lain yang - Pasien tidak ada mendapatkan terapi yang tidak diperlukan. Terapi yang diberikan
lebih efektif sesuai dengan indikasi yang diderita pasien.
3. Dosis tidak tepat
Dosis terlalu rendah - Sudah tepat dosis
Dosis terlalu tinggi - - Zinc 1 x 20 mg po: dosis untuk anak 20 mg/hari (aman)
(AHFS 2011) - Paracetamol 4 x 200 mg po: dosis untuk anak 10 - 15 mg/kgBB/Kali(Max.

92
90 mg/kgBB/hari)
Dosis untuk anak dengan BB 20 Kg = 20 kg x 10 - 15 mg/kg = 200 - 300
mg (aman)
- Diazepam 3 x 6 mg po: dosis untuk anak 0,2–0,3 mg/kgBB/Kali
Dosis untuk anak dengan BB 20 Kg = 20 kg x 0,2–0,3 mg/kg = 4 - 6 mg
(aman)
- Salbutamol 3 x 2 mgpo: dosis untuk anak 0,1 – 0,15 mg/kgBB/Kali
Dosis untuk anak dengan BB 20 Kg = 20 kg x 0,1–0,15mg/kg = 2 - 3 mg
(aman)
- Oseltamivir 2 x 45 mgpo: dosis untuk anak dengan BB 15-23kg: 45 mg
setiap 12 jam (aman)
- Ceftriaxone injeksi 1 x 1g iv: dosis anak 50-75 mg/KgBB/hari (Max. 2
g/hari)
Dosis untuk anak dengan BB 20 Kg = 20 kg x 50–75 mg/kg = 1000 mg -
1500 mg (aman)
- Vitamin C injeksi 2 x 300 mg iv: dosis maksimal padaanak usia 4-8
tahun600 mg/hari (aman)
- KAEN IB + KCl 10 mEq = 15 tpm
Frekuensi penggunaan - Frekuensi penggunaan obat yang diberikan sudah sesuai
tidak tepat - Zinc 1 x 20 mg (po)pagi

93
- Paracetamol 4 x 200 mg (po) pagi, siang, sore, malam (k/p)
- Diazepam 3 x 6 mg(po)pagi, siang, sore (k/p)
- Salbutamol 3 x 2 mg(po) pagi, siang, sore
- Oseltamivir 2 x 45 mg(po) pagi dan sore
- Ceftriaxone injeksi 1 x 1g (iv)malam
- Vitamin C injeksi 2 x 300 mg (iv) pagi dan malam
Penyimpanan tidak tepat - Proses penyimpanan obat sudah diletakkan pada tempat yang sesuai pada
tempatnya. Dimana obat disimpan dalam tempat obat pasien. Menurut AHFS
- Zinc:Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan tempat
yang lembab.
- Paracetamol: Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- Diazepam:Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- Salbutamol:Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- Oseltamivir:Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- Ceftriaxone injeksi: Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari
cahaya dan tempat yang lembab.

94
- Vitamin C injeksi: Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya
dan tempat yang lembab.
Administrasi obat tidak - Administrasi sudah tepat
tepat
Terdapat interaksi obat - Tidak terdapat interaksi obat
4. Reaksi yang tidak
diinginkan
Obat tidak aman untuk - Obat yang diberikan aman digunakan pasien. Pemberian terapi pada pasien telah
pasien disesuaikan dengan dosis yang tepat untuk pasien (lihat pada tabel DRP
perhitungan dosis)
Terjadi reaksi alergi - Tidak ada masalah, Pasien tidak memilikiriwayat alergi terhadap obat yang
digunakan, sehingga obat aman digunakan pasien.
Terapi yang diberikan pada pasien tidak menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada
pasien.
Dosis obat dinaikkan atau - Tidak terdapat peningkatan dan penurunan dosis pada terapi pasien, serta tidak ada
diturunkan terlalu cepat dosis terapi yang diberikan pada pasien terlalu tinggi.
Muncul efek yang tidak - Menurut pengamatan, tidak muncul efek yang tidak diinginkan selama pemberian
diinginkan terapi seperti sinergis, adisi, potensiasi, dan antagonis
5. Ketidak sesuaian
kepatuhan pasien

95
Obat tidak tersedia - Tidak ada masalah untuk penyediaan obat pasien. Semua obat yang dibutuhkan
pasien telah tersedia di apotek rumah sakit
Pasien tidak mampu - Pasien mampu menyediakan obat karena pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS
menyediakan Obat
Pasien tidak bisa menelan - Pasien masih bisa menelan atau menggunakan obat
atau menggunakan obat
Pasien tidak mengerti - Instruksi penggunaan obat dijelaskan kepada keluarga pasien.
intruksi penggunaan obat - Zinc 1 x 20 mg (po) pagi (08.00)
- Paracetamol 4 x 200 mg (po) pagi (08.00), siang (12.00), sore (18.00),
malam (20.00) (k/p)
- Diazepam 3 x 6 mg(po)pagi (08.00), siang (12.00), sore (18.00) (k/p)
- Salbutamol 3 x 2 mg(po) pagi (08.00), siang (12.00), sore (18.00)
- Oseltamivir 2 x 45 mg(po) pagi (08.00) dan sore (18.00)
- Ceftriaxone injeksi 1 x 1g (iv)malam (20.00)
- Vitamin C injeksi 2 x 300 mg (iv) pagi (08.00) dan malam (20.00)
Pasein tidak patuh atau - Pasien patuh menggunakan obat. Obat-obatan untuk pasien rawat inap disediakan
memilih untuk tidak dalam bentuk UD (Unit Dose) untuk pemakaian 1 kali pakai, sehingga ketidak
menggunakan obat patuhan pada pasien dapat teratasi.
6. Pasien membutuhkan
terapi tambahan

96
Terdapat kondisi yang - Tidak ada kondisi yang tidak diterapi
tidak diterapi
Pasien membutuhkan obat - Pasien tidak membutuhkan obat lain yang sinergis
lain yang sinergis
Pasien membutuhkan - Pasien tidak membutuhkanterapi profilaksis terhadap kondisinya
terapi profilaksis

3.8.3 Lembar Pengkajian Obat

Jenis obat Rute Dosis Berhenti Indikasi obat Ketepatan Indikasi Komentar dan Alasan

Zinc 20 mg po 1x1 - Suplemen antivirus Tepat indikasi Terapi sebagai suplemen antivirus dan
dan antiinflamasi antiinflamasi, karena pasien terinfeksi
COVID-19

Paracetamol po 4x1 7 Juli Menurunkan Tepat indikasi Terapi untuk menghilangkan nyeri dan
200 mg (k/p) 2021 demam menurunkan demam, karena pasien
terkadang merasakan demam

Diazepam 6 po 3x1 7 Juli Sebagai Tepat indikasi Terapi untuk epilepsi pada pasien
mg (k/p) 2021 antiepilepsi karena pasien mengalami kejang
sebelum masuk RS

Salbutamol 2 po 2x1 - Sebagai Tepat indikasi Terapi untuk mengobati asma pada
mg Bronkodilator pada pasien karena pasien mengalami sesak

97
pasien

Oseltamivir po 2x1 - Sebagai antivirus Tepat indikasi Terapi sebagai antiviruskarena pasien
45 mg terinfeksi COVID-19

Ceftriaxone1 iv 1x1 - Antibiotik Tepat indikasi Terapi untuk mengobati infeksi pada
g pasien

Vitamin C iv 2x1 - Sebagai Tepat indikasi Terapi untuk menagkal radikal bebas
300 mg Antioksidan dan stress oksidatif pada COVID-19

KAEN I B + iv - Menjaga Tepat indikasi Terapi untuk pasien agar tidak


KCl 10 mEq keseimbangan mengalami dehidrasi
cairan

3.8.4 Lembar Kerja Farmasi

3.8.4.1 Pemantauan Efek Terapi

Tujuan Rekomendasi Parameter Hasil yang Monitoring 5-7-21 6-7-21 7-7-21 8-7-21 9-7-21 10-7-21 11-7-21 12-7-21
Terapi Terapi Monitoring diharapkan Frekuensi
Mengha Zinc 1 x 20 Keadaan KU : Baik Setiap hari Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
mbat mg po Umum
replikasi
virus,
antiinfla

98
masi,
proteksi
tubuh
supaya
imun
kuat
Menurun Paracetamol 4 Suhu Tubuh Pasien tidak Setiap hari Siang Pagi Pagi Pagi Sore Pagi Pagi Pagi
kan x 200 mg po mengalami 38,2ºC 37,1ºC 36,8ºC 36,9ºC 36,4ºC 36ºC 36,4ºC 36,5ºC
demam (k/p) demam Malam Siang Siang Siang Siang Malam
37ºC 37,3ºC 37ºC 36,8ºC 36ºC 36,3ºC
Malam Malam Malam Malam
36,7ºC 37,5ºC 36,7ºC 36,5ºC
Mencega Diazepam 3 x Kejang Pasien tidak Setiap hari Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien
h 6 mg po (k/p) mengalami tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak
terjadiny kejang mengalam mengalam mengala mengalam mengala mengala mengala mengala
a kejang i kejang i kejang mi kejang i kejang mi mi mi mi kejang
kejang kejang kejang

Menghil Salbutamol 3 Laju Laju Setiap hari Nafas = Nafas = Nafas = Nafas = Nafas = Nafas = Nafas = Nafas =
angkan x 2 mg po pernafasan pernafasan 22 x/i 20 x/i 22 x/i 20 x/i 24 x/i 19 x/i 20 x/i 20 x/i
sesak dan denyut = 20-30 Nadi = Nadi = Nadi = Nadi =
nafas nadi kali/menit 105 x/i 115 x/i 97 x/i 88 x/i
Denyut nadi
= 80 – 90
kali/menit

99
Mengha Oseltamivir 2 Rapid Rapid Per 14 hari PCR (+) - - - - - - -
mbat x 45 mg po Antigen antigen
pertumb atau PCR Negatif
uhan
virus

Mengata Ceftriaxone 1 Kadar Kadar 14 hari / per Kadar - - - - - - -


si infeksi x 1 g iv leukosit leukosit 6 bulan Leukosit:
bakteri 4.00 – 12.00 7.00 x
x 109 /L 109 /L

Meningk Vitamin C 2 x Keadaan KU : Baik Setiap hari Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
atkan 300 mg iv Umum
imun

Menjaga KAEN IB + Kesadaran, Pasien sadar Setiap hari CM CM CM CM CM CM CM CM


keseimb KCl 10 mEq kondisi penuh
angan pasien
cairan

100
3.8.4.2 Lembar Monitoring Efek Samping Obat

No Nama Obat Manifestasi ESO Regimen Cara Mengatasi ESO Evaluasi


Dosis Tgl Uraian
1 Zinc Penggunaan dosis 1 x 20 mg po Dilakukan penyesuaian dosis 5 – 12 Juli Pasien tidak
tinggi pada terhadap pasien 2021 mengalami Efek
jangka waktu Jika pasien mengalami mual dan Samping
lama dapat muntah serta rasa pahit pada
menyebabkan lidah, dianjurkan kepada pasien
penurunan untuk minum air hangat
absorbsi tembaga,
mual muntah, dan
rasa pahit pada
lidah
2 Paracetamol Reaksi 4 x 200 mg Mengkonsumsi kapan perlu saja 5 – 7 Juli Pasien tidak
hipersensitivitas, po (k/p) Minum air putih banyak 2021 mengalami efek
ruam kulit, Pastikan pasien tidak mengalami samping
kelainan darah reaksi efek samping yang tidak
di harapkan, segera laporkan ke
dokter
3 Diazepam Mengantuk, 3 x 6 mg Dikonsumsi kapan perlu saja 5 – 7 Juli Pasien tidak
kelemahan otot, (k/p) Sebaiknya dikonsumsi pada saat 2021 mengalami efek
ataksia, reaksi malam hari sebelum tidur samping
paradoksikal
dalam agresi,
gangguan mental,

101
amnesia,
ketergantungan,
depresi
pernapasan,
kepala terasa
ringan hari
berikutnya,
bingung.
4 Salbutamol Tremor, 3 x 2 mg po Istirahat yang cukup, tidak 5 – 12 Juli Pasien tidak
ketegangan, sakit melakukan aktivitas yang berat 2021 mengalami efek
kepala, kram otot, samping
palpitasi,
takikardi, aritmia,
gangguan tidur
dan tingkah laku
5 Oseltamivir nausea, muntah, 2 x 45 mg po Istirahat yang cukup, tidak 6 – 12 Juli Pasien tidak
sakit perut, melakukan aktivitas yang berat 2021 mengalami efek
dispepsia, diare, Mengkonsumsi air putih yang samping
sakit kepala, cukup
lelah, insomnia,
pusing,
konjungtivitis,
epistaksis, ruam;
jarang reaksi
hipersensitif;
sangat jarang

102
hepatitis,
sindroma Steven-
Johnson.
6 Vitamin C Mual 2 x 300 mg iv Dilakukan penyesuaian dosis 6 – 12 Juli Pasien tidak
terhadap pasien 2021 mengalami Efek
Jika pasien mengalami mual dan Samping
muntah dianjurkan kepada
pasien untuk minum air
hangatdan sebaiknya obat
dikonsumsi setelah makan
7 Ceftriaxone Gangguan 1 x 1 gr iv Pastikan pasien tidak mengalami 5 – 11 Juli Pasien tidak
saluran cerna reaksi efek samping yang tidak 2021 mengalami Efek
(diare, nyeri di harapkan, segera laporkan ke Samping
abdomen, mual dokter
muntah, Jika pasien mengalami mual dan
dyspepsia, muntah, anjurkan kepada pasien
anoreksia), reaksi untuk minum air hangat
alergi seperti
ruam, sakit
kepala

103
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Seorang pasien laki-lakidengan inisial A berumur 8 tahun dengan berat badan

20 Kg. Pasien mengalami keluhan utaman tiba-tiba kejang 1 kali sebelum masuk

rumah sakit sampai IGD tidak kejang lagi, demam, pilek dan tidak mual, muntah,

batuk serta mencret. Pasien dirawat di ruang isolasi IRNA C lantai 2 di Rumah Sakit

Otak DR. Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 05 Juli 2021. Riwayat penyakit

sekarang yaitu nafas kadang sesak, semam, pilek, nyeri tenggorokan, BAB dan BAK

normal, tidak mual dan muntah. Riwayat penyakit terdahulu pasien adalah riwayat

kejang saat umur 16 bulan dan asma. Riwayat penyakit keluarga yaitu hipertensi.

Pasien alergi terhadap amoxicillin.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran

sadar penuh, nadi 165kali/menit, pernafasan 22 kali/menit, suhu 38,2oC, dan berat

badan 20 kg. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kepala, rambut, muka, mata,

THT, mulut, gigi, lidah, leher, respirasi, jantung, abdomen, integumen semua

normal, pada thorax terdapat pulmonium (Wheezing).

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan fisik,

maka diagnosa utama pasien adalah covid-19 dan diagnosa sekunder epilepsi, asma

dan dermatitis. Terapi yang diberikan di IGDadalah O2 2L, KAEN 1 B + KCl 10

Meq = 15 tpm untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien,

luminal 75 mg (i.m), zinc 1x20 mg, inj vitamin C 2x400 mg, inj cefriaxone 1x1 gr,

diazepam 3x6 mg (jika demam), paracetamol 4x250 mg, inj ranitidin 2x30 mg (iv),

104
dan pasien melakukan pemeriksaan rontgen serta swab PCR. Pada saat pasien

dirawat pasien mendapatkan obat inj.ceftriaxone 1x1 gr, vitamin C 2x300 (iv),

diazepam 3x6 mg (k/p), paracetamol 4x200 mg (k/p), zinc 1x20 mg, salbutamol 3x2

mg, dan mendapatkan oseltamivir 2x45 mg pada hari kedua.

Pasien diberikan terapi injeksi ceftriaxone bertujuan untuk mengobati infeksi

pada pasien. Ceftriaxone bekerja dengan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri.

Dosis anak 50-75 mg/KgBB/hari (Max. 2 g/hari).Dosis untuk anak dengan BB 20

Kg = 20 kg x 50 – 75 mg/kg = 1000 mg - 1500 mg. Dosis yang diberikan 1x1 gr

sudah tepat dosis. Pemberian Ceftriaxone diindikasikan untuk penderita Covid

sebagai terapi pneumonia pada pasien. Pneumonia terjadi karena jumlah virus terus

meningkat didalam paru-paru dapat merusak pembuluh darah dan menimbulkan

penyumbatan. Alveoli merupakan pembuluh halus di paru-paru yang berisi O2, jika

alveoli rusak atau tersumbat maka dapat memicu pneumonia. Udara yang dihirup

belum tentu steril dapat juga memperparah kondisi ini.

Pemberian injeksi vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Vitamin C

injeksi 2x300 mg iv: dosis maksimal pada anak usia 4-8 tahun 600 mg/hari. Dosis

yang diberikan 2 x 300 mg sudah tepat terapi.

Pemberian diazepam bertujuan untuk serangan epilepsi berulang, Diazepam

bekerja dengan cara berikatan pada reseptor gamma aminobutyric acid (GABA), dan

meningkatkan kemampuan inhibisi dari GABA. Dosis untuk anak dengan BB 20 Kg

= 20 kg x 0,2–0,3 mg/kg = 4 - 6 mg. Dosis yang diberikan 3x6 mg sudah tepat dosis.

Pemberian paracetamol digunakan untuk menghilangakn nyeri dan demam,

karena terkadang pasien merasakan demam. Paracetamol obat analgetik antipiretik

105
yang bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem

syaraf pusat. Dosis untuk anak 10-15 mg/kgBB/Kali (Maksimal 90 mg/kgBB/hari).

Dosis untuk anak dengan BB 20 Kg = 20 kg x 10 - 15 mg/kg = 200 - 300 mg. Dosis

yang diberikan 4x200 mg, sudah tepat dosis.

Zinc digunakan sebagai suplemen antivirus dan antiinflamasi. Dosis untuk

anak 20 mg/hari, dosis yang diberikan 1x20 mg sudah tepat dosis. Salbutamol

berguna untuk menurangi sesak nafas pada pasien. Dosis untuk anak dengan BB 20

Kg = 20 kg x 0,1–0,15 mg/kg = 2 - 3 mg. Dosis yang diberikan 3x2 mg sudah tepat

dosis.

Oseltamivir bekerja dengan menghambat enzim neurominidase pada virus

influenza yang berperan untuk melepaskan virus baru hasil replikasi sehingga

infeksinya menyebar. Oseltamivir digunakan sebagai antivirus pada pasien. Dosis

usia di atas 1 tahun dengan berat badan 15-23 kg dosis 45 mg tiap12 jam, dosis yang

diberikan 2x45 mg sudah tepat dosis. Pemberian Oseltamivir diindikasikan untuk

penderita Covid yang dicurigai koinfeksi dengan influenza, pada hari kedua pasien

dirawat telah menunjukkan tanda terinfeksi influenza.

Semua obat yang diberikan kepada pasien sudah sesuai baik indikasi, interval,

cara dan waktu pemberian, rute danlama pemberian obat telah sesuai. Dilihat dari

hasil follow up pada hari terakhir pasien boleh pulang dengan isolasi mandiri di

rumah. Pasien dapat istirahat yang cukup, makan yang teratur serta menjaga pola

makan, minum air putih yang banyak, cuci tangan serta menjaga kebersihan dan

minum obat teratur.

106
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan

Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, diagonosa utama yaitu covid-19

dan diagnosa sekunder epilepsi, asma dan dermatitis. Terapi yang diberikan

kepada pasien sudah tepat indikasi dan tepat dosis.

1.2 Saran

Disarankan kepada pasien untuk mejaga pola makan, istirahat yang

cukup, memperbanyak minum air putih, menjaga lingkungan sekitar tetap

bersih, mengkosumsi obat secara teratur dan rutin kontrol ke dokter.

107
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dkk. 2020. Pedoman


Tatalaksana Covid-19 Edisi 3. Jakarta: PDPI.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia . 2020. Panduan Klinis Tatalaksana Covid-19
Pada Anak. Jakarta: IDAI
3. Mangunatmadja, Irawan, dkk. 2016. Epilepsi Pada Anak. Jakarta: IDAI
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
IDAI.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II.
Jakarta: IDAI.
6. Yuliana. (2020). Corona Virus Disease (COVID-19);Sebuah Tinjauan
Literatur. Wellness and Healthy Magazine, 2(1), 187–192.
7. Taslim Soetomenggolo. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI: Jakarta.
8. Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey,
L. M. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach (Seventh Ed).
United States: Mc Graw Hill.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta :
IDAI.
10. Marcdante. Karen. J., Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Essensial. Edisi Keenam.
Diterjemahkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Harlim, Ago. 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Penyakit
Alergi Kulit. Jakarta: FK UKI
12. Ikatan Dokter Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI.

108
Lampiran 1. Tinjauan Obat

Diazepam
Indikasi Status epileptikus, serangan epilepsi berulang, kejang
demam, premedikasi, ansietas.
Kontraindikasi Depresi SSP, insufisiensi paru akut, sleep apneu,
gangguan fungsi hati berat, myastenia gravis.
Efek Samping Penyakit saluran nafas, kelemahan otot, riwayat
ketergantungan alkohol atau narkotik/psikotropik,
gangguan personalitas, debil (lebih sering terjadi efek
samping), gangguan fungsi hati, gangguan fungsi
ginjal, porfiria, jangan gunakan untuk jangka lama dan
penghentian secara tiba-tiba, bila diberikan IV harus
menyediakan alat resusitasi pernafasan.
Mekanisme Kerja Bekerja dengan cara berikatan pada reseptor gamma
aminobutyric acid (GABA), dan meningkatkan
kemampuan inhibisi dari GABA
Dosis Anak : 0,2-0,3 mg/kgBB/dosis (1 mg/tahun umur)

Salbutamol
Indikasi Asma bronkial, bronkitis asmatisdan emfisema
pulmonum
Kontraindikasi Hipersensitivitas
Efek Samping Mual, sakit kepala, palpitasi, tremor vasodilator
periferal, takikardia dan hipokalemi pada dosis tinggi.
Mekanisme Kerja Agonis ß2 sebagai bronkodilator dengan menstimulasi
reseptor ß2 adrenergik yang dapat menyebabkan
relaksasi otot polos.
Dosis Anak : 0,1 – 0,15 mg/kgBB/kali

Paracetamol
Indikasi Nyeri ringan sampai sedang, termasuk dismenorea dan
sakit kepala, nyeri pada osteoarteritis dan jaringan
lunak, demam termasuk paska imunisasi dan migren
akut.
Kontraindikasi Gangguan fungsi hati (lampiran 6), gangguan fungsi
ginjal (lampiran 5), ketergantungan alkohol, bayi baru

109
lahir yang ikterus.
Efek Samping Jarang : ruam dan gangguan darah, overdosis: nekrosis
hati, gangguan fungsi ginjal.
Mekanisme Kerja Paracetamol obat analgetik antipiretik yang bekerja
dengan cara menghambat sintesis prostaglandin
terutama di sistem syaraf pusat.
Dosis Anak :10 - 15 mg/kgBB/Kali (Max. 90 mg/kgBB/hari)

Zinc
Indikasi Terapi dan pencegahan defisiensi zinc; mempercepat
penyembuhan luka pada individu dengan defisiensi
zinc; terapi pemeliharaan pada Wilson’s disease.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap garam zinc atau
komponennya
Efek Samping Kardiovaskular: hipotensi, takikardia (dosis
berlebihan); susunan saraf pusat: hipotermia (dosis
berlebihan); gastrointestinal: mual, muntah,gangguan
pencernaan; hematologik: leukopenia, neutropenia;
hepatik: ikterus (dosis berlebihan); okular: penglihatan
kabur (dosis berlebihan); respiratorik: edema paru
(dosis berlebihan); lain-lain: diaforesis berat.
Mekanisme Kerja Zincmemiliki aktivitas antivirus melaluipenghambatan
RNA dependent RNA Polymerase (RdRp) dan
memblokir replikasi RNA Virus lebih lanjut. Selain itu
memiliki aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan
NF-Kb, yang mengakibatkan penurunan regulasi
produksi sitokin proinflamasi.
Dosis Anak : 20 mg/hari

Oseltamivir
Indikasi Terapi influenza pada dewasa dan anak usia 1 tahun
atau lebih yang memiliki gejala influenza tipika, bila
virus influnza sedang bersirkulasi dalam lingkungan.
Kontraindikasi hipersensitif
Efek Samping nausea, muntah, sakit perut, dispepsia, diare, sakit
kepala, lelah, insomnia, pusing, conjungtivitis,
epistaksis, ruam; jarang reaksi hipersensitif; sangat

110
jarang hepatitis, sindroma Steven-Johnson
Mekanisme Kerja Bekerja dengan menghambat enzim neurominidase
pada virus influenza yang berperan untuk melepaskan
virus baru hasil replikasi sehingga infeksinya
menyebar.
Dosis Anak di atas 1 tahun : 2 mg/kg bb;
Berat badan 15 kg atau kurang, 30 mg tiap 12 jam,
berat badan 15 – 23 kg, 45 mg setiap 12 jam,
berat badan 23 – 40 kg, 60 mg tiap 12 jam.
Untuk anak dengan berat di atas 40 kg, diberikan dosis
yang sama dengan dewasa.

KAEN 1B+KCl
Indikasi Untuk mensuplai dan penambahan cairan dan elektrolit
pada kondisi : pasien dehidrasi, pasien dengan
penyakityang tidak diketahui sebabnya, sebelum dan
sesudah operasi.
Kontraindikasi Edema otak, paru, peripheral.
Komposisi Dalam 500 ml terdapat Natrium Klorida 1,125 gram
dan dextrosa anhidrida 18,750 gram. Elektrolit mEq/L
: Natrium : 38,5 Kalium : 38,5 Glukosa : 37,5 Kalium :
150
Dosis Dewasa : 500-1000 ml dalam satu secara drip IV infus

111

Anda mungkin juga menyukai