Karya Tulis Ilmiah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN KASUS TRAUMA DENGAN CEDERA KEPELA SEDANG


DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA

Disusu Oleh :

HENDRIKUS REYAAN
NPM : 202143021

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas dan defisit mental. Penyebab kematian utama
disabilitas pada usia muda adalah cedera kepala, penderita cedera kepala
sering kali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebohan cairan di
intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intracranial yang
mengakibatkan meningkatnya tekanan intra cranial (Kumar dalam Putri &
Fitria, 2018).
Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang
secara langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput
otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis. Cedera kepala merupakan suatu proses terjadinya cedera langsung
maupun deselerasi terhadap kepala yang dapat menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Padila, 2012).
Prevalensi cedera kepala nasional adalah 8.2 persen, pravalensi
tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi
(4,5%) dari survey yang dilakukan pada 15 provinsi. Riskesdas 2013 pada
provinsi Jawa Tengah menunjukkan kasus cedera sebesar 7,7% yang
disebabkan oleh kecelakaan sepeda motor 40,1%. Cedera mayoritas dialami
oleh kelompok umur dewasa yaitu sebesar 11,3% (Depkes RI, 2013).
Berdasarkan pembahasan diatas bahwa penanganan yang cepat dan
tepat tentu menjadi upaya yang terbaik bagi pasien dengan cedera kepala. Tim
medis dan perawat tentu berperan penting dalam penanganan trauma kepala.
Asuhan keperawatan gawat darurat yang optimal tentu menjadi hal yang
sangat penting dalam penanganan pasien trauma kepala.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengetahui dan memperoleh gambaran nyata tentang pelaksanaan
asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan kasus trauma
khususnya cedera kepala sedang
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui dan melaksanaan pengkajian keperawatan gawat
darurat pada pasien dengan kasus trauma khususnya cedera
kepala sedang
b. Mengetahui dan merumuskan diagnosa keperawatan gawat
darurat pada pasien dengan kasus trauma khususnya cedera
kepala sedang
c. Mengetahui dan menyusun perencanaan keperawatan gawat
darurat pada pasien dengan kasus trauma khususnya cedera
kepala sedang
d. Mengetahui dan melaksanakan tindakan keperawatan gawat
darurat pada pasien dengan kasus trauma khususnya cedera
kepala sedang
e. Mengetahui dan melakukan evaluasi keperawatan gawat darurat
pada pasien dengan kasus trauma khususnya cedera kepala
sedang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Cedera Kepala


1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation of America, 2009).
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak
dan otak (Smeltzer & Bare, 2013).
Menurut Rendi & Margareth (2012) bahwa Cedera kepala
yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi-deceleasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi
otak yang dapat menyebabkan adanya deformitas berupa
penyimpangan bentuk atau garis pada tulang tengkorak dan disertai
atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam subtansi otak tanpa 7 8
Diikuti terputusnya kongtinuetias otak (Ristanto, Indra, Pueranto, &
Styorini, 2017).

2. Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku,
dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi
epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor - faktor seperti nilai
keparahan, apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk
orang yang dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian. Menurut
Arifin yang dicitasi oleh Mendoza (2019) penyebab cedera kepala
berat adalah :
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi
kontusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder
yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau
hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan
terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya. Akibat
trauma tergantung pada :
1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
2) Akselerasi dan Deselerasi
3) Cup dan kontra cup Cedera cup adalah kerusakan pada
daerah dekat yang terbentur. Sedangkan cedera kontra
cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi
desakan benturan.
a) Lokasi benturan
b) Rotasi Pengubahan posisi pada kepala
menyebabkan trauma regangan dan robekan
substansia alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur Kekuatan yang mendorong
fragmen tulang turun menekan otak lebih
dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal)
mengalir keluar ke hidung, telinga → masuk
kuman → kontaminasi dengan CSS → infeksi
→kejang.

3. Klasifikasi Cidera kepala


Menurut Putri & Fitria (2018) klasifikasi cedera kepala antara lain :
a. Berdasarkan keparahan cedera :
1) Cedera kepala ringan (CKR)
a) Tidak ada fraktur tengkorak
b) Tidak ada kontusio serebri,hematoma
c) GCS 13 -15
d) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi< 30
menit Sedang
2) Cedera kepala sedang (CKS)
a) Kehilangan kesadaran (amnesia) > 30 menit tapi
< 24 jam
b) Muntah
c) GCS 9 – 12
d) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorentasi
ringan
e) Bingung
3) Cedera kepala berat (CKB)
a) GCS 3 – 8
b) Hilang kesadaran> 24 jam 11
c) Adanya kontosio serebri, laserasi/ hematoma
intracranial
b. Menurut Jenis Cedera
1) Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur
pada tulang tengkorak dan jaringan otak.
2) Cedera Kepala tertutup dapat disamakan dengan
Keluhan geger otak ringan dan odema serebral yang
luas.
c. Morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi :
1) Fraktur cranium Fraktur kranium dapat terjadi pada
atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan
pemeriksaan CT-Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain : ekimosis periorbital (Raccoon eye
sign), ekimosis retro aurikuler (Battle`sign), kebocoran
cairan serebrosspinal (CSS) (rhonorrea, ottorhea) dan
Parese nervus facialis (N VII)
2) Lesi intracranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran
CT-Scan yang normal, namun keadaan klinis
neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Cedera otak fokal dan cedera otak
difus. Cedera otak fokal meliputi :
a) Perdarahan Epidural atau epidural hematom
(EDH)
Hematoma epidural terletak diantara dura dan
calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal
atau temporopariental akibat pecahnya arteri
meningea media. Manifestasi klinik berupa
gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala (interval lucid) beberapa jam. Perdarahan
epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput
akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis
nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung
b) Perdarahan subdural akut atau subdural
hematoma (SDH)
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena – vena jembatan yang terletak antara
kortek cerebri dan sinus venous tempat vena
tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dari pada perdarahan epidural.
c) Perdarahan intracerebral / intracerebral
hematomn (ICH).
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan
yang homogen dan konfluen yang terdapat
didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematom bukan disebabkan oleh benturan
antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya
akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang
terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak
atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal
d) Perdarahan subarahnoid traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoid di akibatkan oleh
pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri
maupun vena dalam jumlah tertentu akibat
trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.

4. Manifestasi klinik
Gejala – gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan
distribusi cedera otak, antara lain :
a. Cedera kepala ringan
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus
menetap setelah cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur,
perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara,
masalah tingkah laku Gejala-gejala ini dapat menetap
selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
Kebinggungan atau bahkan koma.
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-
tiba Defisit neurologik, perubahan TTV, gangguan
penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
c. Cedera kepala berat
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat
sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
2) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motoric tidak aktual,
adanya Cedera terbuka, fraktur tengkorak dan
penurunan neurologik.
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan
fraktur.
4) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan
pembengkakan pada area tersebut.

5. Patofisiologi
Trauma kepala secara umum bisa diakibatkan oleh benda
tumpul dan benda tajam. Trauma tersebut menyebabkan gangguan
atau kerusakan atau struktur misalnya pada parenkim otak, kerusakan
pembuluh darah dan gangguan biokimia erta perubahan permeabilitas
vaskuler. Perdarahan otak yang mengakibatkan hematoma pada otak,
misalnya pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah antara
lapisan periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematom di
akibatkan berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
subarahnoid dan intraserebral hematom adalah berkumpulnya darah
pada jaringan (Khusnah, 2018).
Cedera kepala primer dapat menyebabkan kontusio dan
laserasi. Cedera kepala ini dapat berlanjut menjadi cedera sekunder.
Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel otak sehingga
menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah ke otak
menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan
metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan
peningkatan tekanan darah. Penurunan tekanan pembuluh darah di
daerah pulmonal mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik
sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler. Trauma kepala dapat
menyebabkan odeme dan hematoma pada serebral sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Sehingga pasien akan
mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala (Padila,
2012).

6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Perhimpunan Dokter Bedah Saraf Indonesia (2016),
pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan adalah :
a. X – Foto Servikal
X – Foto Servikal dikerjakan pada pasien COS atau COB
untuk menyingkirkan adanya kemungkinan cedera servikal.
Sensitivitas x – foto servikal 70% - 80%.
b. X – Foto Thorak
X – Foto thorak dilakukan pada pasien trauma yang tidak
membutuhkan CT Scan. X – Foto dikerjakan berdasarkan
mekanisme cedera dan temuan klinis. X – Foto thorak
dikerjakan pada pasien trauma tembus dada, punggung, atau
perut yang tidak membutuhkan CT Scan.
c. CT scan
CT Scan adalah modalitas yang dipilih pada fase akut pada
trauma kepala dan sebaiknya dikerjakan secepatnya. CT Scan
kepala direkomendasikan dikerjakan pada semua pasien cedera
otak dengan GCS 14 atau kurang. CT Scan evaluasi dapat
dikerjakan bila didapatkan deteriorisasi neurologis.
d. CT-Scan Whole Body Whole Body
CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk
mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil.
7. Penatalaksanaan
Menurut Manurung (2018) penatalaksanaan pasien dengan cedera
kepala meliputi sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Observasi 24 jam
2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan
terlebih dahulu. Makanan atau cairan, pada trauma
ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrose
5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak
3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4) Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
b. Penatalaksanaan Medis
1) Terapi obat - obatan
a) Dexamethason / kalmethason sebagai terapi
pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma
b) Pengobatan anti edema dengan larutan
hipertonis yaitu mannitol 20 % atau glukosa 40
% atau gliserol 10 %
c) Antibiotika yang mengandung barrier darah
otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol
d) Pembedahan bila ada indikasi (hematom
epidural besar, hematom sub dural, cedera
kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
e) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral,
lumbal fungsi, CT Scan dan MRI (Satyanegara,
2010).

Menurut Rendy & Margaret (2012) penatalaksanaan


konservatif adalah sebagai berikut :
1) Bedrest Total
2) Pemberian Obat-Obatan
a) Obat Anti Kejang
Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1
minggu pertama pasca trauma. Alternatif obat
yang efektif adalah phenytoin dan
levetiracetam. Pengobatan profilaksis anti
kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7
hari pasca trauma karena tidak menurunkan
risiko kejang fase lanjut pasca trauma.
Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk
mencegah kejang fase dini pasca trauma
b) Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis
Manitol membantu menurunkan TIK pada
pasien COB. Pemberian secara bolus dengan
dosis 0,25–1gr/kgBB lebih dianjurkan
dibandingkan pemberian secara terus menerus
c) Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan
Kateter
Ventrikel Pemberian antibiotik pada
pemasangan dan penggantian kateter ventrikel
setiap 5 hari tidak mengurangi risiko infeksi.
Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik
tidak menurunkan risiko infeksi pada
pemasangan kateter ventrikel.
d) Analgetik
Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan
pada pasien trauma kepala. Ketorolac hanya
boleh diberikan maksimal 5 hari. Obat-obatan
NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen
bisa diberikan per-oral. Ketoprofen supp dan
acetaminophen supp bermanfaat mengurangi
nyeri pada COR.
e) Kortikosteroid
Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada
pasien memar otak secara statistic hasil terapi
tidak berbeda bermakna
f) Sedatif / Tranquilizer
Midazolam mengurangi CBF sehingga
cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan
sedasi pasien dengan peningkatan ICP. Propofol
memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi
serta memudahkan dalam evaluasi fungsi
neurologis secara awal.

8. Komplikasi
Menurut Andra dan Yessie (2013), beberapa komplikasi dari
cedera kepala, antara lain :
a. Epilepsi pasca cedera
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang
terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena
benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa
tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Obat-obat anti
kejang misalnya: fenitoin, karbamazepin atau valproat)
biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma.
b. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan
bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak.
Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-
kata. Bagian kepala yang mengendalikan fungsi bahasa adala
lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di
sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut
karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
c. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini
jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada
lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan
kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan
kelainan fungsi otak.
d. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat
melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat
menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari
benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah
yang dulu dikenalinya dengan baik atau benda-benda umum
(misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat
dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya
adalah fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana
ingatan akan benda-benda penting fungsinya disimpan.
Agnosis seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa
penderita mengalami perbaikan secara spontan.
e. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa
yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat
sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan
hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum
terjadinya kecelakaan (amnesia retrograde) atau peristiwa yang
terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca
trauma). Amnesia hanya berlangsung beberapa menit sampai
beberapa jam (tergantung pada beratnya cedar) dan akan hilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa
bersifat menetap.
f. Fistel karotis-kavernosus
Ditandai dengan trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan briit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
g. Diabetes insipidus
Disebabkan karena kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik.
Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer,
menimbulkan hipernatremia, dan deplesi volume.
h. Kejang pasca trauma
Dapat terjadi (dalam 24 jm pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak
merupakan predisposisi untuk kejang lanjut, kejang dini
menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan
pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulasan.
i. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema
terjadi setelah 72 jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi
nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya
peningkatan TIK. Tekanan terus menerus akan meningkatkan
aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi
vasodilatasi dan edema otak.Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasiakan
mendorong hemusfer otak ke bawah/lateral dan menekan di
enchepalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri
otak posterior, saraf oculomotor. Mekanisme kesadaran, TD,
nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
j. Defisit neurologis dan psikologis
Tanda awal penurunan neurologis: perubahan TIK kesadaran,
nyeri kepala hebat, mual dan muntah proyektil.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Cedera Kepala


1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Perhimpunan Dokter Bedah Saraf Indonesia (2016)
anamnesis yang harus dilakukan meliputi :
a. Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Agama,
Pekerjaan, Alamat, Keluhan utama
b. Mekanisma trauma, Waktu dan perjalanan trauma, Pernah
pingsan atau sadar setelah trauma, Amnesia retrograde atau
antegrade
c. Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran,
kejang, vertigo
d. Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
e. Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi
kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal
pembekuan darah
f. Primary Survey
1) Airway
a) Patensi saluran napas ?, Suara tambahan ?,
Obstruksi jalan napas atau tidak ?
b) Penderita dibaringkan dengan elevasi 20-30
untuk membantu menurunkan tekanan
intrakranial
c) Pastikan jalan nafas korban aman, bersihkan
jalan nafas dari lender, darah atau kotoran,
pasang pipa guedel dan siapkan untuk intubasi
endotrakeal, berikan oksigenasi 100% yang
cukup untuk menurunkan tekanan intrakranial
d) Jangan banyak memanipulasi gerakan leher
sebelum cedera servikal dapat disingkirkan
2) Breathing
Apakah oksigenasi Efektif ? Rate dan depth Gerakan
dada Air entry, Sianosis atau tidak ?
3) Circulation
Apakah perfusi Adekuat ? Pulse rate dan volume
Warna kulit Capilarry return, Perdarahan, tekanan
darah

4) Disability (status neurologis)


Apakah ada kecacatan neurologi ? Tingkat kesadaran
menggunakan sistem GCS atau AVPU. Pupil (besar,
bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanankiri)
5) Exposure (buka seluruh pakaian)
Cedera organ lain ? Jejas, deformitas, dan gerakan
ekstremitas. Evaluasi respon terhadap perintah atau
rangsang nyeri
g. Secondary Survey
1) Pemeriksaan Status Generalis
2) Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi, serta pemeriksaan khusus untuk menentukan
kelainan patologis, dengan metode : Dari ujung rambut
sampai dengan ujung kaki atau,
3) Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel,
Bladder, Bone)
4) Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera
otak adalah :
a) Pemeriksaan kepala Mencari tanda :
- Jejas di kepala meliputi; hematoma sub
kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus
dan benda asing.
- Tanda patah dasar tengkorak, meliputi;
ekimosis periorbita (brill hematoma),
ekimosis post auricular (battle sign),
rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di
membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius.
- Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur
maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan
fraktur mandibula
- Tanda trauma pada mata meliputi;
perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik
mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain
di mata.
- Auskultasi pada arteri karotis untuk
menentukan adanya bruit yang berhubungan
dengan diseksi karotis
b) Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang
Mencari tanda adanya cedera pada tulang
servikal dan tulang belakang dan cedera pada
medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas,
deformitas, status motorik, sensorik, dan
autonomik. Pemeriksaan Status Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari
- Tingkat kesadaran : berdasarkan skala
Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala
berdasar GCS, yang dinilai setelah
stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 –
15 : Cedera otak ringan (COR) GCS 9 – 13 :
Cedera otak sedang (COS) GCS 3 – 8 :
Cedera otak berat (COB)
- Saraf kranial, terutama: Saraf II-III, yaitu
pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek
cahaya, reflek konsensuil bandingkan
kanan-kiri Tanda-tanda lesi saraf VII
perifer.
- Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil,
perdarahan pre retina, retinal detachment.
- Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan
kiri, atas dan bawah mencari tanda
lateralisasi. Autonomis : bulbocavernous
reflek, cremaster reflek, spingter reflek,
reflek tendon, reflek patologis dan tonus
spingter ani.
h. Pemeriksaan Gaslow Coma Scala
1) Pemeriksaan respons mata
Nilai yang diberikan untuk melihat respons mata,
adalah sebagai berikut.
a) Nilai 4: pasien bisa membuka mata secara
spontan, disertai kedipan
b) Nilai 3: pasien bisa membuka mata setelah
menerima rangsang suara seperti teriakan atau
panggilan.
c) Nilai 2: pasien hanya bisa membuka mata
setelah mendapat rangsang nyeri seperti cubitan.
d) Nilai 1: pasien sama sekali tidak dapat
membuka mata meski telah menerima berbagai
rangsang
2) Pemeriksaan respons verbal
a) Nilai yang diberikan untuk melihat respons
suara, adalah sebagai berikut.
b) Nilai 5: pasien bisa berbicara dengan baik dan
terarah.
c) Nilai 4: pasien bingung dengan arah
pembicaraannya, tapi masih bisa menjawab
pertanyaan.
d) Nilai 3: pasien tidak bisa memberikan jawaban
yang sesuai, hanya bisa mengeluarkan kata-kata
yang masih bisa dipahami, bukan berupa
kalimat.
e) Nilai 2: pasien tidak dapat mengeluarkan kata-
kata secara jelas, hanya terdengar seperti
rintihan.
f) Nilai 1: pasien benar-benar diam dan tidak bisa
bersuara.
3) Pengkuran respons motorik
Nilai yang diberikan untuk melihat respons gerakan,
adalah sebagai berikut.
a) Nilai 6: pasien dapat melakukan gerakan sesuai
arahan.
b) Nilai 5: pasien bisa bergerak secara terkontrol
apabila memperoleh rangsang nyeri.
c) Nilai 4: pasien bisa bergerak secara refleks
menjauhi sumber rangsang nyeri.
d) Nilai 3: tubuh pasien menekuk dengan kaku,
sehingga hanya bergerak sedikit saat
memperoleh rangsang nyeri.
e) Nilai 2: seluruh tubuh pasien kaku, sehingga
respons yang diberikan terhadap rangsang nyeri
hampir tidak ada.
f) Nilai 1: sama sekali tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.

2. Diagnosa keperawatan
Pada penyusunan diagnosa keperawatan pada pasien dengan cedera
kepala sedang menggunnakan standar diagnosis keperawatan (SDKI),
sebagai berikut :
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
cedera kepala
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas
spasme jalan napas
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan
neurologis
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma
kepala)
e. Risiko aspirasi berhungan dengan penurunan kesadaran
3. Intervensi Keperawatan
Pada penyusunan kriteria hasil, tujuan dan intervensi keperawatan
menggunakan stanndar keluaran keperawatan (SLKI) dan standar intervensi
keperawatan indonesia (SIKI), sebagai berikut :
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria Hasil Rencana Keperawatan
1 Risiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Tekanan Intra Kranial
serebral tidak efektif keperawatan selama ….x 24 Jam Observasi :
berhubungan dengan diharapkan perfusi serebral - Identifikasi penyebab peningkatan
cedera kepala meningkat dengan kriteria hasil : TIK
1. Tingkat kesadaran meningkat - Monitor tanda / gejala peningkatan
2. Tekanan intrakranial TIK
menurun - Monitor tekanan darah
3. Sakit kepala menurun - Monitor penurunan kesadaran
4. Kesadaran membaik - Monitor CVP
- Monitor MAP
- Monitor status pernapasan
Terapeutik :
- Minimalkan stimulus dengan
lingkungan yang tenang
- Pertahankan posisi kepala dan leher
netral
- Atur interval pemantauan sesuai
kondisi, jika diperlukan
Edukasi :
- Jelaskan tentang interval pemantauan
2 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas
tidak efektif keperawatan selama ….x 24 Jam Observasi
berhubungan dengan diharapkan bersihan jalan napas - Monitor pola napas (frekuensi,
Obstruksi jalan efektif meningkat dengan kriteria kedalaman, usaha napas)
napas; terdapat benda hasil : - Monitor bunyi napas tambahan (mis.
asing dijalan napas 1. Mempertahankan jalan nafas Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
spasme jalan napas pasien kering)
2. Pengeluaran sputum - Monitor sputum (jumlah, warna,
berkurang aroma)
3. Tidak terjadi sumbatan jalan Terapeutik
napas - Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma cervical)
- Posisikan semi-Fowler atau Fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum
- Penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsepMcGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
3 Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi :
efektif berhubungan keperawatan diharapkan pola Observasi :
dengan gangguan nafas membaik kriteria hasil : - Observasi pola nafas (frekuensi,
neurologis 1. Frekuensi nafas membaik kedalaman, usaha nafas)
2. Penggunaan otot bantu nafas - Monitor bunyi nafas
menurun - Monitor sputum
3. Tekanan insprirasi dan - Lakukan penghisapan lender kurang
ekspirasi meningkat dari 15
Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Lakukan fisioterapi dada bila perlu
- Beri posisi tidur yang nyaman (semi
fowler, fowler)
- Beri oksigen jika perlu
Edukasi :
- Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian terapi inhalasi,
bronkodilator, mukolitik
4. Nyeri akut Setelah dilakukan Tindakan Menejemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama ….x 24 Observasi:
agen pencedera fisiko Jam diharapkan tingkat nyeri - Identifikasi lokasi, karakteristik,
menurun, dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
1. Keluhan nyeri menurun nyeri.
(skala 1 dari 1-10) - Identifikasi skala nyeri
2. Ekspresi meringis menurun - Identifikasi respon nyeri non verbal
3. Gelisah menurun - Identifikasi faktor yang
4. Keluhan sulit tidur menurun memperberat dan memperingan
5. Frekuensi nadi membaik nyeri
(60-100x/mnit) - Identifikasi pengetahuan dan
6. Tekanan darah membaik keyakinan tentang nyeri.
(120 / 80 mmhg) - Identifikasi pengaruh budaya
7. Pola nafas membaik (16-20 terhadap respon nyeri.
x / menit) - Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan.
- Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
Teraupetik:
- Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/ dingin,
terapi bermain).
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik
secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian analgesik, jika
perlu

5 Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan Observasi


berhungan dengan keperawatan selama ….x 24 Jam - Monitor tingkat kesadaran, batuk,
penurunan kesadaran diharapkan tingkat aspirasi muntah dan kemampuan menelan
membaik dengan kriteria hasil : - Monitor status pernafasan
1. Mual dan muntah berkurang - Monitor bunyi nafas, terutama setelah
2. Bunyi napas bersih, jalan makan/ minum
napas paten - Periksa residu gaster sebelum memberi
3. Klien mudah bernapas, tidak asupan oral
kecekik - Periksa kepatenan selang nasogastric
sebelum memberi asupan oral
Terapeutik
- Posisikan semi fowler (30-45 derajat)
30 menit sebelum memberi asupan oral
- Pertahankan posisi semi fowler (30-45
derajat) pada pasien tidak sadar
- Pertahanakan kepatenan jalan nafas
(mis. Tehnik head tilt chin lift, jaw
trust, in line)
- Pertahankan pengembangan balon ETT
- Lakukan penghisapan jalan nafas, jika
produksi secret meningkat
- Sediakan suction di ruangan
- Hindari memberi makan melalui selang
gastrointestinal jika residu banyak
- Berikan obat oral dalam bentuk cair
Edukasi
- Anjurkan makan secara perlahan
- Ajarkan strategi mencegah aspirasi
- Ajarkan teknik mengunyah atau
menelan, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai