Makalah Hukum Pidana
Makalah Hukum Pidana
Makalah Hukum Pidana
HUKUM PIDANA
Disusun oleh :
RENDI
(2015003)
M. AL-GHIFARI
()
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala karunia nikmat-
Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah yang berjudul “Sejarah Hukum Pidana Indonesia” disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pidana.
Makalah ini berisi tentang Sejarah Hukum Pidana Indonesia. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala dukungan yang diberikan
untuk menyelesaikan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal oleh penulis, akan tetapi penulis sebagai
manusia biasa sangat menyadari bahwa makalah ini sangat banyak
kekurangannya dan masih jauh dari kata sempurna. Karenanya penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A. KESIMPULAN............................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini.
Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung
mempengaruhi hukum yang diberlakukan di negara ini, khususnya hukum pidana. Hukum
pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan
bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan
kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan
keinginan masyarakat.
Hukum pidana menurut Van Hammel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang
dianut oleh suatu negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang
apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar
peraturan tersebut. Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum
hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Sejarah
hukum punya pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata
hukum.
Hukum Eropa Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan
antara hukum Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi “Romana Germana”.
Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan
waktu. Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode
yaitu pada masa kerajaan Nusantara, masa Penjajahan dan masa KUHP 1915 sampai
sekarang. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang sejarah hukum pidana di Indonesia akan
dibahas dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut bahasa, kata hukum pidana adalah terjemahan dari istilah Belanda strafrecht yang
berasal dari gabungan kata straf yang berarti hukuman dan kata recht yang berarti hukum.
Dengan demikian strafrecht secara bahasa berarti hukum hukuman. Terjemahan ini
mengandung kerancuan arti, sehingga menurut Wirjono Prodjodikoro, kata hukuman lebih
tepat kalau digantikan dengan kata pidana sehingga arti kesatuannya menjadi hukum pidana.
Untuk lebih jelasnya perlu ditegaskan bahwa kata hukum itu adalah ungkapan bahasa
Indonesia yang berasal dari bahasa Arab sebagai sumber bahasa agama yang dianut oleh
mayoritas bangsaa Indonesia, yaitu ÇáÍßã yang berarti peraturan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak. Sedangkan kata
pidana berasal dari bahasa Sanskerta sebagai bahasa sastra agama Hindu yang telah
berkembang di Nusantara sebelum agama Islam, yang berarti perbuatan-perbuatan kejahatan
dan pelanggaran. Sedangkan setiap kejahatan dan pelanggaran itu beresiko hukuman.
Dengan demikian secara bahasa pengertian hukum pidana sudah dapat difahami, yaitu:
peraturan-peraturan mengenai kejahatan dan pelanggaran beserta sanksinya. Namun
demikian, menurut Wirjono yang lebih penting adalah pengertian hukum pidana dalam
pengertian istilah hukum.
Dalam pengertian istilah hukum ini banyak didapatkan batasan pengertian mengenai hukum
pidana, antara lain: Menurut Wirjono Prodjodokoro bahwa hukum pidana adalah peraturan-
peraturan mengenai pidana. Batasannya itu diperjelas lagi dalam uraian berikutnya, bahwa
hukum pidana adalah hukum yang memuat normanorma berupa larangan dan suruhan yang
disertai ancaman hukuman atas pelanggarnya. Menurut Soedarto, hukum pidana itu memuat
aturan-aturan hukum yang mengikat kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat
tertentu untuk dijadikan suatu akibat yang berupa pidana. Ridwan Halim memberikan batasan
bahwa hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang serta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya.
Berdasarkan ketiga batasan pengertian hukum pidana menurut tiga pakar hukum tersebut,
maka dapat dijelaskan bahwa hukum pidana itu memuat dua hal aturan sebagai berikut:
Aturan hukum yang melukiskan perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya
syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana
bagi pelakunya.
Di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan para penegak hukum mengenai
perbuatan terlarang dan pelakunya yang dapat dipidana. Aturan-aturan yang mengumumkan
reaksi yang akan diterima oleh pelaku perbuatan terlarang.
Dalam hukum pidana modern reaksi ini berupa pidana dan tindakan yang arif untuk
melindungi masyarakat banyak dari perbuatanperbuatan yang merugikan. Dari itu semua,
maka hukum pidana itu adalah aturan-aturan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam hukuman karena mengganggu prinsipprinsip kehidupan individu atau masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan, bahwa Hukum Pidana Indonesia
yang berlaku sekarang adalah hukum pidana peninggalan kolonial, berupa terjemahan dari
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915. Adapun sejarah hukum pidana bagi
bangsa Indonesia perlu dikemukakan secara tahapan kronologis perjalanan sejarah bangsa,
yaitu dimulai hukum pidana sebelum zaman penjajahan, selanjutnya hukum pidana pada
masa penjajahan Belanda, lantas hukum pidana pada masa pendudukan Jepang kemudian
hukum pidana pada masa Republik seperti dibawah ini.
Di nusantara pada masa sebelum zaman penjajahan, yaitu sebelum Belanda masuk menguasai
kerajaan-kerajaan di nusantara, banyak data yang menguatkan bahwa telah berlaku norma-
norma kepidanaan berupa norma pidana adat. Norma pidana adat itu berlaku secara terpisah
menurut wilayah kekuasaan setiap kerajaan. Diantaranya ada yang tertulis dan ada pula yang
tidak tertulis. Dengan kata lain ada kerajaan yang telah membukukan dan memberlakukan
norma pidana yang secara turun-temurun telah berlaku dan diakui pada setiap angkatan
generasi suatu masyarakat, dan ada pula kerajaan yang hanya memberlakukan dan
menerapkan norma-norma pidana yang berlaku dan diakui oleh sekelompok masyarakat
secara turun-temurun untuk setiap kasus kejahatan atau pelanggaran.
Beberapa data yang menguatkan telah berlakunya norma pidana adat sebelum masuknya
penjajahan Belanda di nusantara, antara lain: 1) Belum lama berselang, di beberapa daerah
negara kesatuan Republik Indonesia masih ada apa yang dinamakan Peradilan Adat yang
dijalankan oleh penguasa-penguasa daerah yang masih memberlakukan Hukum Pidana Adat.
Pengadilanpengadilan Adat ini mempunyai nama yang menunjukkan keistimewaan khas
setiap daerah, misalnya di Palembang disebut Rapat, di Bali disebut RadKerta, di Lombok
disebut Rad-Sasak dan di Garontalo disebut Majlis. 2) Diketemukannya di pulau Bali suatu
Kitab Perundang-Undangan Mojopahit.
yang tertulis dalam bahasa Jawa kuno. Kitab ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia
oleh Prof. Dr. Slamet Muljono. Di dalamnya termuat sejumlah pasal mengenai pidana dan
sejumlah pasal lainnya mengenai keperdataan. 3) Di kalangan masyarakat adat Lampung
dikenal kitab perundangundangan yang disebut Kitab Kuntara Adat Lampung. Kitab tersebut
sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip yang tertulis dalam tulisan Aksara
Lampung. Kitab tersebut di samping memuat aturan norma pemerintahan adat, pandangan
hidup masyarakat adat, juga memuat norma aturan keperdataan dan kepidanaan. Semua ini
merupakan bukti sejarah bahwa bangsa Indonesia sejak lama telah mengenal aturan hukum,
termasuk aturan hukum pidana. b. Tahapan zaman kolonial Belanda Sejak masuknya bangsa
Belanda dan tata-hukumnya di nusantara tahun 1596 berlakulah dualisme hukum di
Indonesia, yaitu di samping berlakunya Hukum Belanda Kuno yang berazaskan hukum
Romawi yang dibawa masuk ke nusantara bersama kapal dagang Belanda pertama di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman yang disebut juga Hukum Kapal, di wilayah-wilayah
nusantara secara turuntemurun telah berlaku aturan Hukum Adat masing-masing
komunitasnya. Jadi dengan masuknya Hukum Kapal Belanda dan diberlakukan di bandar-
bandar perdagangan nusantara, bagi bangsa Indonesia berlaku atasnya dua tatanan hukum,
yaitu Hukum Kapal Belanda dan Hukum Adat. Hukum Kapal ini berlaku terus sampai
beberapa tahun setelah berdirinya V.O.C (Verinigde Of Indische Compagne) tahun 1602.
Lambat laun Hukum Kapal itu dirasakan tidak mampu lagi menyelesaikan masalah masalah
hukum yang terjadi di sejumlah bandar perdagangan di nusantara, sehingga dirasakan perlu
adanya aturan hukum baru yang mampu mengatasi perkembangan masalah hukum di daerah-
daerah yang dikuasai oleh V.O.C. Maka pada tahun 1609 Staten General (Badan Federasi
Tertinggi) di negeri Belanda memberikan kekuasaan untuk menciptakan sendiri peraturan
kepada pengurus V.O.C. di Banten. Oleh karena itu di daerah yang dikuasai V.O.C. dibuat
dan diberlakukan peraturan hukum untuk penyelesaian perkara tertentu di masingmasing
daerah perdagangan yang dikuasai V.O.C. Di samping itu pimpinan Heeren Zeventien (tujuh
Belas Penguasa) di negeri Belanda juga menetapkan peraturanperaturan untuk
diberlakukannya di daerah kewenangan V.O.C. Semua peraturan, baik yang dibuat oleh
pengurus pusat V.O.C di Banten maupun yang dibuat oleh pimpinan Heeren Zeventien di
negeri Belanda itu dimuat dalam papan pengumuman yang ditempelkan pada dinding kantor
V.O.C. sehingga kemudian disebut Pelakat.
Selanjutnya setelah Pelakat disusun dan disempurnakan serta dihimpun dalam satu buku pada
tahun 1642 oleh Mr. Joan Maetsyucker pejabat Hof van Justitie di Batavia dan mendapat
pengesahan dari Heeren Zeventein di negeri Belanda pada tahun 1650 namanya dirubah
menjadi Statuta van Batavia (Statuta Betawi) dan diberlakukan untuk seluruh wilayah
kekuasaan V.O.C. Setelah itu Pelakat-Pelakat yang baru masih terus bermunculan. Karena
kelalaian staf-staf V.O.C menertibkan sejumlah Pelakat yang muncul kemudian, akhirnya
pada tahun 1700 terjadi kekacauan sejumlah Pelakat yang muncul setelah 1642. Baru
kemudian pada tahun 1766 sejumlah Pelakat setelah tahun 1642 selesai dihimpun dan disusun
oleh Oppercoopman Crean dengan nama Nieuw Statuten van Batavia (Statuta Batavia Baru),
tapi pengesahannya ditolak oleh Heeren Zeventein di negeri Belanda. Walaupun demikian
dalam praktik pengadilan di nusantara Statuta Batavia Baru itu tetap berlaku sebagai
peraturan resmi. Himpunan peraturan yang dibuat oleh V.O.C itu semuanya mencakup
hukum privat dan hukum pidana. Untuk hukum privat terus berlaku sampai diberlakukannya
kodifikasi hukum privat bagi orang Eropah tahun 1848. Adapun untuk peraturan pidananya
berlaku terus sampai diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen tahun 1866
tanggal 1 Januari 1867 (Stb. 1866 nomor 55) bagi orang Eropah. Sedangkan bagi bangsa
Indonesia asli dan Timur Asing berlaku terus sampai diberlakukannya Wetboek van
Strafrecht tanggal 1 Januari 1873 (Stb. 1872 nomor 85). Kitab khusus hukum pidana tersebut,
keduanya merupakan saduran dari Code Penal Prancis yang disebut juga dengan Code Penal
Napoleon yang telah berlaku di negeri Belanda sejak tahun 1810. Jelasnya Wetboek van
Strafrecht voor de Eropeanen 1866 berdasarkan azas konkordansi tetap memberlakukan Code
Penal Prancis dengan mengadakan perubahan dan penyesuaian seperlunya. Sedangkan
Wetboek van Strafrecht 1872 meniru Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen 1866
dengan perubahan dan penyesuaian serta pengecualian seperlunya. Dengan demikian di
negeri Belanda pada saat itu terjadi praktek Dualisme Hukum, khususnya menyangkut
kepidanaan, yaitu di samping tetap diberlakukannya Code Penal Prancis, juga diberlakukan
pula Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen 1866. Sehingga kedua aturan pidana dari
kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu semuanya berlaku bagi bangsa Belanda di
negeri asalnya. Atas dasar azas konkordansi kedua norma aturan pidana tersebut berlaku juga
bagi bangsa Belanda yang ada di Indonesia.
Di nusantara berdasarkan azas konkordansi terjadi pula pengaruh yang sama, yaitu terjadi
praktek Dualisme Hukum. Bagi bangsa Indonesia asli di samping berlaku Hukum Adat juga
berlaku Wetboek van Strafrecht 1872. Sedangkan bagi bangsa Timur Asing (Cina, Arab dan
India), di samping berlaku hukum asal masing-masing bangsa berlaku pula hukum adat
setempat yang dianut di nusantara dan Wetboek van Strafrecht 1872. Perkembangan
selanjutnya, menjelang priode akhir abad ke 19 mulai dirasakan perlunya unifikasi hukum
pidana. Maka pada tahun 1881 pemerintah Belanda mengadakan kodifikasi hukum pidana
baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 (Stb. 1881 nomor 35) dan diberlakukan secara
nasional mulai 1 September 1886 serta sekaligus menggantikan Code Penal Prancis -
Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen 1866 dan Wetboek van Strafrecht 1872. Sejak
diberlakukannya Wetboek van Strafrecht 1881 itu tidak lagi terdapat praktek dualisme
Hukum Pidana di negeri Belanda. Karena sejak saat itu hukum pidana yang berlaku di negeri
Belanda tidak ada lain lagi kecuali Wetboek van Strafrecht 1881. Jadi mulai 1 September
1886 di negeri Belanda sudah melakukan unifikasi hukum pidana. Untuk upaya unifikasi
hukum pidana yang berlaku di wilayah jajahan Belanda (Indonesia sekarang) baru diadakan
kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru berdasarkan pengumuman raja
Belanda tanggal 15 Oktober 1915, sehingga terbentuklah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana khusus untuk wilayah jajahan (Indonesia) yang disebut Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie 1915 yang merupakan perubahan dan penyesuaian dari Wetboek van
Strafrecht 1881.
Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1918 secara resmi terlaksana unifikasi hukum
pidana di Indonesia. Dalam artian sejak tanggal tersebut telah berlaku satu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana untuk seluruh penduduk di seluruh wilayah nusantara.
Dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan, bahwa segala lembaga negara dan
peraturan hukum yang ada pada waktu itu (Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch-Indie
1915 dan ketentua-ketentuan pidana pemerintahan Jepang) masih tetap berlaku selama belum
diganti dengan yang baru menurut UUD 1945 itu sendiri.
Dengan demikian sampai dengan 18 Agustus 1945, dualisme hukum pidana kembali berlaku
karena Aturan Pidana Pemerintahan Jepang masih berlaku terus di Indonesia. Selanjutnya
pemerintah Republik Indonesia merasa dan menyadari perlu diupayakannya kembali
unifikasi hukum pidana. Maka dalam keadaan darurat selanjutnya pada tanggal 26 Pebruari
1946 dikeluarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 termuat dalam Berita Republik
Indonesia II nomor 9 tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia yang isinya
hal-hal berikut:
1) Mencabut berlakunya semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah
Jepang.
2) Mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima Tertinggi
Balatentara Hindia Belanda.
3) Peraturan-peraturan hukum pidana yang masih tetap dan terus berlaku di Republik
Indonesia adalah peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda
tahun 1915.
5) Merubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht dan selanjutnya diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6) Semua kata Nederlandsch Ondordaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diganti
dengan Warga Negara Indonesia.
7) Mencabut atau merubah beberapa pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum pidana.
9) Menetapkan bahwa Undang-Undang ini berlaku buat pulau Jawa dan Madura mulai
tanggal 26 Pebruari 1946.
Tidak dipungkiri hukum pidana di Indonesia merupakan produk dari barat. KUHP di
Indonesia mempunyai nama asli wetboek van strafrech voor nederlandsch indie (W.v.S),
merupakan titah raja atau Koninklijk Besluit (K.B), pada 15 Oktober 1915. Titah raja tersebut
berlaku di Indonesia ketika penjajahan Belanda, sehingga dengan titah raja tersebut terjadi
dualistis dalam sistem hukum di Indonesia. Dualistis sistem yang terjadi mempunyai
pengertian bahwa bagi orang Eropa berlaku satu sistem hukum Belanda, yakni titah raja atau
Koninklijk Besluit (K.B), dan bagi orang bumi putra berlaku hukum pidana adat. Hukum
yang berlaku bagi orang Eropa tersebut merupakan aturan yang berasaskan hukum Belanda
kuno dan hukum Romawi. Kemudian hukum yang berlaku bagi orang bumi putra sendiri
merupakan hukum yang tertulis dan tidak tertulis, namun sebagian besar tidak tertulis. 66
Pada 10 Februari tahun 1866 merupakan awal pengenalan kodifikasi kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia. Untuk bangsa Eropa menggunakan Het Wetboek
Van Srafrecht Voor Europeanen berlaku mulai 1 januari 1867. Kemudian dari peraturan
pemerintah (ordonansi) pada 6 Mei 1872 ditetapkan pula Het Wetboek Van Strafrech Voor
Inlands en Daarmede Gelijkgestelde. Ordonansi tersebut merupakan aturan pidana yang
diperuntukkan bagi orang bumi putra, dan mulai berlaku pada 1 januari 1873. Het Wetboek
Van Strafrech Voor Inlands en Daarmede Gelijkgestelde merupakan aturan yang telah
disesuaikan dengan agama dan lingkungan hidup bumi putra. Ada perbedaan mengenai kedua
aturan tersebut, yakni mengenai sanksi. Jika orang bumi putra melakukan perbuatan pidana
sanksinya adalah kerja paksa (rodi), sedangkan orang Eropa hanya dikenakan hukuman
penjara atau kurungan.67 Dualistik sistem yang terjadi akhirnya berakhir setelah
ditetapkannya Koninklijk Besluit Van Srtafrech Voor Nederlandsh sebagai hukum pidana di
Hindia Belanda, dan berlaku pada 1 Januari 1918. Koninklijk Besluit Van Srtafrech Voor
Nederlandsh merupakan aturan pidana khusus bagi daerah jajahan yang dibentuk pada tahun
1913. Pada mulanya dualistik hukum akan tetap dipertahankan, yakni dengan membuat
aturan bagi orang Belanda dan bumi putra. Ketika kedua aturan tersebut telah diselesaikan,
ternyata menteri daerah jajahan ketika itu (Mr. Indenburg) berpendapat lain, bahwa harus ada
satu saja hukum pidana di Hindia Belanda. Namun dari hasil kodifikasi tersebut tidak sama
dengan apa yang berlaku di negara asalnya, karena terdapat penyesuaian menurut kebutuhan
dan keadaan tertentu.
Terdapat pasal-pasal yang dihapus guna menyesuaikan dengan kondisi dan misi
kolonialisme. Akan tetapi azas-azas dan dasar filsafatnya tetap sama, yakni dari masa liberal
kapitalis.68 Kodifikasi yang dilakukan Belanda ternyata sepenuhnya tidak didukung oleh
orang-orang Belanda sendiri, seperti Van Vollenhoven. Ia berpendapat bahwa jika kodifikasi
secara sepihak dilakukan maka tatanan masyarakat adat akan hancur. Karena tidak benar
pemberian hukum Belanda kepada orang bumi putra akan memperkaya peradaban pribumi.
Belanda hanya memberi ruang kepada hukum adat ketika masyarakat adat benar-benar
membutuhkannya. Selama ini masyarakat adat telah terbiasa hidup dengan hukum apa
adanya, baik tertulis ataupun tidak tertulis.69 Terdapat persamaan sejarah berlakunya hukum
pidana di Belanda dan Indonesia, yakni sama-sama datang dari luar atau hasil dari
kolonialisme. Berawal ketika Prancis menjajah Belanda pada Tahun 1811, dengan membawa
code penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte
menjadi penguasa. Pada tahun 1813 Prancis meninggalkan negeri jajahannya, namun Belanda
masih mempertahankan code penal Napoleon tersebut sampai tahun 1886. Pada tahun 1886
mulai diberlakukan wetboek strfrecht sebagai pengganti code penal Napoleon. Sebagaimana
diketahui bahwa hukum pidana berasal dari Belanda, maka terjadi ketimpangan dalam
aplikasinya, tidak memenuhi aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, seperti yang paling
krusial adalah bahasa. Setelah proklamasi kemerdekaan, sesuai dengan pasal II aturan
peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa tetap berlakunya Koninklijk Besluit Van Srtafrech
Voor Nederlandsh Indie. kemudian dilahirkannya UU No. 1 tahun 1946, sebagai wahana
penyesuaian terhadap situasi dan kondisi masyarakat setempat. Dari Undang-undang tersebut
maka nama Wetboek Van Srtafrech Voor Nederlandsh Indie dapat disebut dalam bahasa
Indonesia, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana.V
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
Sebagai hasil analisa terhadap segala temuan dalam bahasan terdahulu maka dapat
ditawarkan kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahannya sbb:
1. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih merupakan hukum pidana
pemerintahan kolonial Belanda yang khusus diberlakukan untuk bangsa jajahan Belanda
walupun telah diadakan perubahan dan perbaikan disana-sini.
2. Hukum pidana kolonial Belanda tidak sesuai dengan jiwa dan semangat keadilan bangsa
Indonesia yang mayoritas berjiwa dan semangat hukum syari‘ah.
3. Supremasi hukum pidana tidak bisa diharapkan seutuhnya terwujud di Indonesia selama
masih mempertahankan berlakunya Undang undang Hukum Pidana terjemahan dengan
segala perubahan dan penyesuaiaannya dari Wetboek van Strafrecnt voor Nederlandsch Indie
1915. Sebagai saran untuk dapat tegaknya Supemasi Hukum Pidana di Indonesia idealnya
hukum pidana yang hendaknya diberlakukan di Indonesia adalah aturan pidana yang
menjiwai rasa kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia, yaitu aturan pidana syari‘ah yang
dianut dan diyakini oleh mayoritas bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Drs. C.S.T. Kansil, S.H. 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta,
PN Balai Pustaka
Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta:
Liberty, 1988.
Artikel:
Moeljatno, KUHP Kitab Undang-undag Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012,
hlm193
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana1, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 60-6
Unikom, http://31612015.blog.unikom.ac.id/sejarah-hukum-pidana.6hx