Hidayatul Adzkia
Hidayatul Adzkia
Hidayatul Adzkia
para wali) adalah salah satu buah karya Syaikh Zainuddin al-Ma’bari al-Mallibari (w. 928 H/1522 M).
Nama lengkap beliau adalah Zainuddin bin ‘Ali bin Ahmad al-Ma’bari al-Mallibari asy-Syafi’i. Syaikh
Zainuddin adalah ayah dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz dan kakek dari Syaikh Zainuddin (w. 987 H/1579 M)
penulis kitab fath al-Mu’in, salah satu kitab fiqih madzhab Syafi’i yang sangat populer di kalangan
pesantren.Kitab tashawuf ini berbentuk nazhm dengan mengikuti bahr kamil (wazan متفاعلن
sebanyak enam kali). Dengan bentuk nazhm, kitab ini sangat digemari dan dijadikan salah satu
rujukan dalam pengajian tashawuf di pesantren. Di samping itu materi bahasannya juga mampu
menuntun seorang murid dalam menempuh jalan (suluk) menuju ridho Alloh SWT.Pembahasan
pokok kitab ini menguraikan sembilan wasiat yang harus ditempuh oleh setiap murid, yaitu:
1. taubat
2. qona’ah
3. zuhud
4. menuntut ilmu-ilmu syara’
5. memelihara sunnah
6. tawakkul
7. ikhlas
8. ‘uzlah
9. menjaga waktuKeistimewaan yang dimiliki kitab ini menggiring para ulama untuk meminta
kepada Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatho salah seorang ulama yang mengajar di masjid al-
Harom Mekkah untuk membuat penjelasan (syarh) terhadap kitab tersebut, maka lahirlah kitab
Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’. Di samping itu, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani asy-
Syafi’i (w. 1316 H/1898 M) juga menyusun syarh lain yang berjudul Salalim al-Fudhola’ ‘ala Hidayah
al-Adzkiya’.
Berbicara soal dunia dan aktivitas olah spiritual seakan tak pernah ada batas
akhir. Tak henti-hentinya, tiap masa dan tokoh menorehkan buah pemikiran
dan kesimpulan subjektif yang dihasilkan dari proses riadat
berkesenimbungan.
Mulai dari karya yang berjilid-jilid ataupun tulisan ringkas berupa syarah,
catatan pinggir (hawasyi), catatan akhir (hawamisy), bahkan sekadar
membubuhkan komentar (ta'liq). Tetapi, tetap saja karangan-karangan itu
padat, sehingga tetap menjadikan karya tersebut berbobot.
Salah satu karya di bidang tasawuf yaitu, Kifayat al-Atqiya' Wa Minhaj al-
Ashfiya. Satu di antara kitab berharga hasil karya Sayid Bakari al-Makki bin
Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi yang mensyarah kitab Hidayat al-
Adzkiya' Ila Thariq al-Awliyah. Meski tak semasyhur karyanya di bidang fikih,
yakni I'anatu at-Thalibin, sama sekali tak mengurangi nilai dan kualitas hasil
karya itu.
Buktinya, meski ditulis dalam beberapa lembaran kertas yang tak lebih dari
200 halaman, syarah ini dilengkapi dengan beragam bahasan tentang arti
ungkapan yang dirangkai dalam kasidah. Selain itu, pembahasannya disertai
pula dengan penjelasan tentang susunan dasar dan kedudukan masing-
masing kata dalam bait kasidah tersebut (i'rab).
Hal ini dilakukan untuk mempermudah memahami syair Arab yang terkenal
memiliki susunan yang tak konstan alias berubah-ubah. Selain itu, Syekh
Bakari juga menyertakan nukilan-nukilan yang disarikan dari perkataan para
ulama dan ahli tasawuf. Alhasil, syarah yang ditulisnya menjadi tampak
istimewa.
Kitab Hidayat sendiri merupakan sebuah kitab yang berisi tentang kasidah
olah spiritual yang dikarang oleh Zainuddin bin Syekh Ali bin Syekh Ahmad al-
Ma'bari.
Fakta ini pun diperkuat dengan ungkapan yang pernah dilontarkan, bahkan
oleh para punggawa tarekat secara langsung. Adalah tuan para sufi, sayyid
al-thaifah, al-Junaid, menegaskan, mazhab yang benar dalam bertasawuf
harus mengacu pada Alquran dan sunah.
Bahkan, ia pun meminta agar tak mengikuti para syekh tasawuf yang tidak
mampu menghafal dan mengamalkan Alquran dan sunah. Menurutnya,
kedua sumber tersebut merupakan panduan utama untuk bertasawuf.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dengan
jelas, ia mengatakan, mengikuti dan menaati batas-batas yang ditentukan
syariat dalam bertasawuf merupakan faktor utama dalam memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya, harap dia, hendaknya para salik
berhati-hati dan waspada selama proses bertasawuf ria.
Siapa pun yang mengklaim dirinya telah sampai pada puncak tertinggi
tasawuf, hakikat, tetapi di saat bersamaan dia tak mengindahkan jalur-jalur
syariat maka sesungguhnya jalan yang ditempuh adalah semu dan palsu. Apa
pun alasannya, karena arti syariat ataupun hakikat yang sebenarnya adalah
penghambaan yang haq kepada Allah.
Urgensi takwa
Sayid Bakari menjelaskan, bagi para salik yang hendak meniti tangga menuju
akhirat maka takwa adalah titian pertama dan paling mendasar. Uraian ini
dipergunakan untuk memperjelas syair yang berbunyi:
"Taqwa al ilahi madaru kulli saadatin tiba'u ahwa ra'su syarrin habaila."
(Takwa kepada Allah pusat segala kebahagiaan dan mengikuti hawa nafsu
pangkal keburukan).
Namun, kata takwa sendiri secara umum sering diartikan sebagai bentuk
ketaatan atas perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara lahir dan
batin. Sikap tersebut mesti disertai pula rasa pengagungan, tunduk, dan takut
terhadap Allah.
Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Maka, tidakkah kamu memahaminya? (QS al-An'am [6]: 32). Wasiat
senantasia bertakwa tak terbatas pada umat Islam saja, tetapi juga pernah
ditujukan kepada para umat terdahulu.
Penelitian ini dalam konsep Pemikiran Syekh Zainuddin Bin Ali Al Malibari Tentang Pendidikan
Karakter Dalam Kitab Hidayatul Adkiya’ Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam . Hasil
penelitian: (1) Konsep pendidikan karakter Syekh Zainuddin bin Ali Al -Ma libari ada lah pe ndidikan
nilai, yakni pe ndidi ka n nilai-nilai luhur yang bersumb er d ari Al Qur’an dan Hadits da lam rangka
pe mb ina an ke pr ibadi an generasi penerus ; (2) Nilai -nilai pendidikan karakter yang terdapat
didalam Kitab Hidayatul A dzkiya’ adalah Nilai taqwa/religius ,Nilai ikhlas dan jujur, Nilai Disiplin,
Nilai rasa ingin tahu, Nilai komunikatif dan bersahabat, Nilai Rajin membaca; (3) Relevansi Pendidi
ka n ka rakter dalam pandangan Syekh Zainuddin bin Ali Al- Malibari dalam kitab Hidayatul Adzki ya’
mengacu pa da moral know ing (pengetah uan moral), moral feeling (m erasakan mor al) da n moral
ac ting (tind aka n mor al) d engan pendidi ka n Islam yaitu tujuan pe ndidi ka n yang men cakup t
iga aspek ja smani, roha ni dan akal, yang mana tu jua n dimensi pe ndid ika n tersebut, fisik, ruh da
n aka l ini men egaskan ba hwa kebutuhan da sar yang beraka r pa da fitr ah manusia mesti mend
apatkan perhatian pe nuh. Ol eh karena itu da lam teor i p endidi ka n be na r ba hw asann ya tida k
boleh mengabaika n salah satu da ri k etiga aspek yaitu kog nitif, afe ktif da n psiko motor ik yang
mema ng men ghasilka n pe ndidi ka n ke tiga di mensi. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan
akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi para civitas akademika, untuk menambah
khazanah keilmuan tarbiyah dan meningkatkan ketajaman analisis tentan g Syekh Zainuddin bin Ali
Al- Malibari dalam kitab Hidayatul A dzkiya Mendorong, sehingga dapat mendalami konsep
pendidikan karakter dalam pendidikan Islam. Kata Kunci: Pendidikan K arakter dan Pendidikan I
slam
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (bahasa Arab: )محمد نووي الجاوي البنتنيatau Syekh
Nawawi al-Bantani (lahir di Tanara, Serang, 1230 H/1813 M - meninggal di Mekkah, Hijaz 1314
H/1897 M) adalah seorang ulama Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi Imam Masjidil
Haram. Ia bergelar al-Bantani karena berasal dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan
intelektual yang sangat produktif menulis kitab, jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang
meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi al-Bantani kemudian dijuluki Sayyid Ulama al-
Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang
Mumpuni ilmunya), A'yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad
14 Hijriyah), hingga Imam Ulama al-Haramain, (Imam 'Ulama Dua Kota Suci).
Nama
Nama lainnya
Syekh Nawawi
Menjadi orang alim kadang terkesan menyusahkan, seperti apa yang dialami oleh Syekh
Zainuddin Al-Malibari yang sangsi memilih fokus ilmu yang beliau geluti, antara fikih,
tasawuf, atau nahwu. Sampai suatu malam beliau bermimpi dan mendengar suara
seseorang yang berkata, “Sesungguhnya tasawuf lebih utama untuk diprioritaskan. Ibarat
orang yang ingin sampai pada seberang tepi sungai yang mengalir, ia harus berenang dari
sisi yang lebih tinggi agar sampai di tujuannya dengan tepat, apabila bermula dari arah
yang sejajar dengan tepian yang ia tuju maka sampailah pada tepian yang lebih rendah.”
Kitab Hidayatul Adzkiya’ ila Thariq Al-Auliya (petunjuk bagi orang-orang cerdas
menuju jalan para wali) merupakan turats / kitab kuning karya Syekh Zainudin bin Ali
Ahmad As-Syafi’i Al-Malibari yang dilahirkan di daerah Malibar, Kamis 12 Sya’ban 871
H dan tutup usia pada hari Kamis, 16 Sya’ban 918 H. Kitab ini berisi 188 untaian syair
indah yang bernafaskan tasawuf. Beliau termasuk ulama yang produktif dan berjasa
mengalihbahasakan kitab Syu’bul Iman karangan Syekh Nuruddin Al-Ijai dari bahasa
Persi ke bahasa Arab yang populer di tanah Jawa dan banyak dikaji di kalangan
pesantren.
Dapat dipahami bahwa menyibukkan diri (fokus) dalam kajian ilmu tasawuf dapat
mengantarkan ke tujuan, sedangkan fokus hanya pada ilmu fikih dan semacamnya akan
menghantarkan kepada tujuan yang lebih rendah. Usai mengalami mimpi tersebut,
mushonnif mulai menyibukkan diri dalam menulis dan menyusun bait-bait yang
berjumlah 188 secara indah. (Sumber : Kitab Salalimul Fudhola’).
Baca juga: Sabilus Salikin (107): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (2)
Sejauh yang penulis ketahui, kitab ini dikomentari atau disyarah oleh 2 ulama sekaligus.
Pertama, Kitab Salalimul Fudhola’ yang disusun oleh ulama produktif asal Nusantara
yakni Syekh Muhammad Nawawi Al¬¬-Bantanikakek dari Wakil Presiden RI sekarang,
KH. Ma’ruf Aminyang bermukim di Makkah sampai akhir hayatnya. Kedua, Kitab
Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ yang dikarang oleh Syekh Abi Bakar yang
terkenal dengan Syekh Bakry Al-Makky bin Muhammad As-Syatha Ad-Dimyati.
Kitab ini cocok untuk santri yang ingin menempuh jalan menuju Allah¬¬ sebagai salik
(penempuh disiplin tasawuf). Bukan hanya karena bahasanya yang mudah dipahami, tapi
juga menuntun salik untuk mengenal esensi beribadah dari dasar. Dimulai dari
pembahasan mengenai taubat, salik harus mengosongkan jiwa dari perbuatan maksiat.
Kemudian sifat zuhud dan qanaah harus terpatri dalam hati guna tidak terjerumus pada
ingar bingar dunia.
Sebagai awal dari perjalanan keilahian menuju makrifat (tujuan ilmu tasawuf), ilmu
syariat harus dipelajari dan diamalkan sebagai rute / petunjuk suatu perjalanan. Sealim
apapun seorang muslim tidak boleh hukumnya meninggalkan syariat. Jika seseorang
melakukan suatu perjalanan ke tempat tertentu, namun meninggalkan atau tidak
memperhatikan rute perjalanan tersebut, maka sampai kapan pun ia tidak akan sampai,
bahkan akan tersesat.
Selain mengerjakan ibadah fardu, salik juga perlu menjalankan ibadah sunah. Bukan
hanya sebagai pelengkap. Jika diibaratkan praktik jual beli, amal ibadah sunah menjadi
untung sedangkan amal ibadah wajib sebagai modal. Jika kita hanya menunaikan ibadah
wajib, sama halnya seperti balik modal tanpa untung. Hal terpenting dalam setiap
pelaksanaan amal peribadatan, haruslah dibarengi dengan sifat ikhlas dan tawakal agar
seorang salik tidak menganggap suatu ibadah harus ada timbal baliknya.
Baca juga: Sabilus Salikin (67): Tarekat Qadiriyah - Biografi Syaikh Abdul Qadir al-
Jilani
Tuhan tidak mengajari hambanya sebagai materialis dan matematis, yakni menghitung
keuntungan suatu amal perbuatan. Seorang salik harus menyadari bahwa kita tak
memiliki daya upaya terhadap dunia yang kita singgahi, pun pada tiap amalan yang kita
lakukan. Semua ibadah yang kita kerjakan, hakikatnya ialah atas pertolonganNya. Maka
tidak pantas rasanya jika memburu keuntungan padahal bukan kita seutuhnya yang
mengusahakan.
Sang mushonnif tidak hanya menerangkan tentang bagaimana merawat relasi secara
vertikalkepada Allahtapi juga secara horizontalkepada manusia. Di awali
pembahasan tentang vitalnya ilmu untuk setiap manusia, terlebih seorang muslim seperti
apa yang telah diucapkan junjungan kita Nabi Muhammad Saw tentang kewajiban
menuntut ilmu bagi muslim laki-laki maupun perempuanbisa dilihat bagaimana nabi
kita yang mulia menjunjung tinggi martabat manusia tanpa membeda-bedakan kelas
sosial ataupun gender.
Dan terbukti dalam sejarah bahwa perempuan telah memberikan andil yang besar dalam
khazanah keislaman juga bidang intelektual, seperti halnya Siti Aisyah yang dikenal
sebagai periwayat hadis yang sangat berarti. Bahkan banyak sahabat yang mendapat
hadis darinya. Setelah itu beliau juga menuntun kita agar menjadi pengajar dan penimba
ilmu yang berada pada tujuan yang mulia disertai niat yang baik yakni mencari rida Allah
semata.
Sebagai penutup kitab, mushonnif menuturkan bahwa setiap salik harus memiliki cita-
cita mulia yang harus diingat sebagai motivasi setiap langkah agar ‘perjalanannya’
terarah. Karena kita semua juga manusia, lelah pasti ada tapi tidak bisa dijadikan alasan
untuk putus asa. Semoga kita selalu diliputi oleh rahmatNya dan tak terlupa akanNya.
Wallahu A’lam bis Shawab.
Bait Pertama
) َح ْم ًدا ي َُوافِيْ ِبرَّ هُ ْال ُم َت َكا ِماَل1( لحمْ ُد هّلِل ِ ْالم َُو ِّف ِق ل ِْل ُعاَل
َ ْا
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang mengkaruniakan kemampuaan untuk meraih
kemuliaan. Pujian yang sepadan dengan kebaikan Allah secara sempurna”.
1) Ma’na Al-Hamdu:
Al-hamd adalah memuji kebaikan dengan menggunakan alat bicara meskipun berupa
tangan disertai unsur mengagungkan baik secara láhir maupun bátin, artinya tidak
beri’tikad dan tidak menampakkan gerak tubuh yang bertentangan dengan apa yang
dipujikan.[1]
1. Mengikuti Al-Qur’an.
Artinya: “Pujian terhadap Allah adalah pelindung ni’mat agar tidak hilang”.
ُغف َِر َل ُه َما َت َق َّد َم مِنْ َذ ْن ِب ِه،ٍب مِنْ َغي ِْر َح ْو ٍل ِم ِّنيْ َواَل قُ َّوة َّ لح ْم ُد هّلِل ِ الَّذِيْ َك َسانِيْ ٰه َذا
َ الث ْو َ ْا:س َث ْوبًا َف َقا َل
َ َمنْ لَ ِب
Artinya: “Barang siapa memakai pakaian lalu berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memakaikan pakaian ini tanpa usaha dan kemampuan dariku, maka diampuni dosa-
dosanya yang telah lewat”.
Artinya: “Aku memuji Allah dengan pujian yang sepadan dengan ni’matNya dan
mengimbangi tambahan-Nya”.
Kalimat ini dianggap sebagai kalimat pujian terbaik berdasarkan riwayat yang
mengatakan Bahwa disaat Allah menurunkan Nabi Adam di bumi, Nabi Adam berkata:
Artinya: “Yá Rabbi, ajarilah saya tentang berbagai pekerjaan, dan ajarilah saya kalimah
yang mengumpulkan pujian-pujian”.Kemudian Allah memberikan wahyu:
Oleh karena itu apabila ada orang sumpahakan mengucapkan majámi’ul
mahámid (kumpulan pujian), maka yang diucapkan adalah redaksi tersebut.
4) Keistimewaan Al-Hamdulillah:
Sebagian al Arif Billah mengatakan: Al-Hamdu lillahitu terdiri dari delapan huruf, seperti
halnya pintu-pintu surga, maka barangsiapa mengucapkan al-hamdu lillah dari dalam
hati yang jernih, maka ia berhak masuk surga sesuai kemauannya.[4]
Bait Kedua
ٍ ب َو ُتب
َّاع ِواَل ٍ ْصح
َ ْآلل َمع َّ ُث َّم ال
ِ ) َو ْا2( صاَل ةُ َعلَى الرَّ س ُْو ِل ْالمُصْ َط َفى
Artinya: “Kemudian shalawat teruntuk Rasul yang terpilih, keluarga, sahabat, dan
orang-orang yang mengikutinya”.
1) Nisbat Shalawat:
4. Shalawat dari jin artinya merendahkan diri dan do’a (sama dengan manusia).
1. Berdasarkan Al-Qur’an:
2. Hadits-Hadits berikut:
ِ لَ ْم َت َز ِل ْال َماَل ِئ َك ُة َتسْ َت ْغفِ ُر لَ ُه َما َدا َم اسْ مِيْ فِيْ ٰذل َِك ْال ِك َتا،ٍصلَّى َعلَيَّ فِيْ ِك َتاب
ب َ َْمن
Artinya: “Barangsiapa menulis shalawat kepadaku di dalam buku, maka malaikat tidak
berhenti memintakan ampunan untuknya selama namaku masih ada dalam buku
tersebut”.
أَ َم َر هللاُ َج ِمي َْع َم ْخلُ ْو َقا ِت ِه أَنْ َيسْ َت ْغفِر ُْوا لَ ُه َبعْ َد َم ْو ِت ِه،ِصاَل ِة َعلَيَّ فِيْ َح َيا ِته
َّ َمنْ أَ ْك َث َر م َِن ال
3) Ketentuan Bershalawat:
1. Suci.
2. Menghadap qiblat.
1. Menurut As-Syáfi’i dan mayoritas ‘Ulama: Orang mukmin dari baní hásyim dan baní
mutthalib.
Namun yang diharapkan dalam bait ini adalah setiap orang mukmin, sehingga kalimat
Shohbin setelahnya masuk di dalamya.
Sahabat yaitu orang yang pernah berkumpul dengan baginda Nabi dalam keadaan
beriman.[9]
Jumlah Sahabat:[10]
Sahabat Terakhir:
Sahabat Nabi yang meninggal terahir adalah Abú Thufail, ‘Ámir bin Wátsilah Al-Laitsí. Ia
meninggal pada tahun 100 (seratus) Hijriyyah.[11]
Semua sahabat nabi itu adil, namun yang lebih utama dari semuanya adalah sepuluh
yang disabdakan Nabi akan masuk surga, yakni: 1. Abú Bakr. 2. ‘Umar. 3. ‘Utsmán. 4.
‘Alí. 5. Sa’d bin Abí Waqqás. 6. Sa’íd bin Zaid. 7. Tholhah bin ‘Ubaidillah. 8. Az-Zubair
bin Al-‘Awwám. 9. Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarroh. 10. ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Dan yang
lebih utama dari sepuluh sahabat ini adalah Khulafáur Rásyidún yaitu: 1. Abú Bakr. 2.
‘Umar. 3. ‘Utsmán. 4. ‘Alí. Lalu urutan keutamaan dari keempat tersebut adalah sesuai
urutan kekhalifahannya:
1. Abú Bakar menjadi khalifah selama 2 tahun lebih 3 bulan 10 malam, dan meninggal
pada usia 63 tahun.
2. ‘Umar bin Al-Khottob menjadi khalifah selama 10 tahun setengahlebih 8 hari, dan
meninggal pada usia 63 tahun.
3. ‘Utsmán bin ‘Affán menjadi khalifah kurang lebih selama 12 tahun, dan meninggal
pada usia 82 tahun.
4. ‘Alí bin Abí Thálib menjadi khalifah selama 4 tahun lebih 9 bulan, dan meninggal
pada usia 63 tahun.[12]
Bait Ketiga
) َو ِت َبا ُع أَهْ َوا َر ْأسُ َشرِّ َح َبا ِئاَل3( َت ْق َوى ْاإلِ ٰل ِه َم َدا ُر ُك ِّل َس َعا َد ٍة
Artinya: “Taqwa kepada Allah merupakan sumber dari semua kebahagiaan, sedangkan
mengikuti hawa nafsu merupakan sumber keburukan jeratan syaitan”.
Penjelasan:
1) Arti Taqwa:
1. Menjalankan perintah Allah dan menjahui laranganNya baik secara dhahir ataupun
batin disertai dengan mengagungkan dan rasa takut kepadaNya.
3. Menurut Abú ‘Abdillah: Menjahui sesuatu yang dapat menjauhkan diri dari Allah.
4. Beramal sesuai cahaya yang datang dari Allah, karena khawatir siksaanNya.[13]
2) Faedah Taqwa:
Hawanafsu adalah condongnya hati pada hal-hal yang bertentangan dengan
syara’.[15]
Artinya: “Sesungguhya jalan menuju Allahadalah Syari’at, Thariqah, dan Haqiqat. Jika
Syariat seperti halnya perahu, maka tarekat bagaikan samudra, sedangkan hakikat
adalah mutiara mewah di dalamnya”.
Pejelasan:
Syariat. Yakni menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Tareqat. Yakni berusaha megikuti dan mengamalkan semua yang mejadi sunnah
Rasulullah SAW.
Hakikat. Yakni buah dari menjalakan tarekat.
Syariat diumpamakan kapal atau perahu untuk megarungi ilmu tarekat yang luasnya
diumpamakan samudra, dan di dalam tarekat tersebut terdapat hakikat yang
diumpmakan bongkahan mutiara yang menjadi tujuan utama pelaut dalam mengarungi
samudra.
Maka ketignya harus dimiliki oleh seorang Salik Ilallah. Seseorang yang mengaku
sampai derajat hakikat namun tidak bersyari’at maka batil, sedangkan yang bersyari’at
tanpa berhaqiqat itu sia-sia. Contoh: seseorang yang mengaku sudah sampai derajat
hakikat lalu ia tidak mau shlolat karena beri’tikad bahwa keberuntungan itu sudah
ditentukan pada zaman azali, sehingga shalat atau tidaknya seseorang tidak akan
mempegaruhi keberutunnya. Maka jelas ini batil; karena Nabi yang merupakan Sayyidul
Anbiya’ saja tetap melakukan Sholat.
Untuk penjelasan yang lebih panjang tentang hal ini dan lebih sesuai dengan waqiiyyah
pertariqatan di Indonesia bisa kalian baca buku “Suluk Santri Tarekat” karya Syaikhina
KH. Habibul Huda.