CROP 04-Membangun Perhutanan Sosial FULL
CROP 04-Membangun Perhutanan Sosial FULL
CROP 04-Membangun Perhutanan Sosial FULL
PERHUTANAN
SOSIAL BERSAMA MEMBANGUN
Pelaku Perhutanan Sosial adalah masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam
kawasan hutan negara, yang keabsahannya dibuktikan melalui Kartu Tanda
Penduduk, riwayat penggarapan kawasan hutan, serta aktivitas masyarakat
PERHUTANAN
SOSIAL
yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Kelompok masyarakat
inilah yang berpeluang memperoleh akses legal untuk mengelola hutan.
Editor
Kehutanan
ISBN : 978-623-256-166-3
Editor:
Sulistya Ekawati
Sri Suharti
Syaiful Anwar
C.01/07.2020
Judul Buku:
Bersama Membangun Perhutanan Sosial
Editor:
Sulistya Ekawati
Sri Suharti
Syaiful Anwar
Copy Editor:
Dana Apriyanto
Hariono
Diny Darmasih
ISBN: 978-623-256-166-3
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan. Kami berharap
buku ini dapat berkontribusi dalam mendukung pembangunan program
Perhutanan Sosial di Indonesia.
KATA PENGANTAR..............................................................................................vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL...................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
Sulistya Ekawati......................................................................................................... 1
BAB II HUTAN KEMASYARAKATAN: SKEMA TERTUA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Sulistya Ekawati, Dhani Yuniati, & Bugi K. Sumirat........................................... 7
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA
DALAM TATA KELOLA LOKAL
Edwin Martin........................................................................................................... 33
BAB IV IMPLEMENTASI KEMITRAAN KEHUTANAN
DAN PERMASALAHANNYA DI TINGKAT TAPAK
Catur Budi Wiati, S. Yuni Indriyanti, & Eddy Mangopo Angi......................... 55
BAB V HUTAN ADAT PASCA-PENETAPAN:
REALITA DAN CATATAN KRITIS
Surati, Handoyo, & Sylviani.................................................................................. 77
BAB VI HUTAN TANAMAN RAKYAT:
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN
Deden Djaenudin..................................................................................................... 95
BAB VII PENUTUP
Sulistya Ekawati.....................................................................................................115
BIOGRAFI PENULIS...........................................................................................117
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 3
BAB I PENDAHULUAN
4 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BAB I PENDAHULUAN
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 5
Daftar Pustaka
BPS. (2015). Analisis rumah tangga sekitar hutan di Indonesia (Hasil Survei
Kehutanan 2014). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Chambers, R. (1983). Rural development: putting the last first. UK: Longman
Inc.
Gilmour, D. (2016). Forty years of community-based forestry a review of its
extent and effectiveness. Rome: Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Maryudi, A., Devkota, R. R., Schusser, C., Yufannyi, Y., Salla, M., Aurenhammer,
H., …, & Krott, M. (2012). Back to basics: considerations in evaluating
the outcomes of community forestry. Forest Policy and Economics 14(1):
1–5.
Mitchell B., Setiawan, B., & Rahmi, D.H. (2003). Pengelolaan sumber daya dan
lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahmina. (2012). Pilihan skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
dalam mitigasi perubahan iklim. Jakarta: FORCLIME.
Suharjito, D. (2004). Building forest dependen community’s capacity for
developing a better forest-people interaction. Proceeding of National
Workshop: Forest Rehabilitation through Agroforestry. Bogor: Faculty of
Forestry Bogor Agricultural University.
Suharti, S. (2019). Kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat: dari
partisipasi menuju inklusi. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang
Ekonomi Sosial Kehutanan, Bogor: Badan Penelitian Pengembangan
dan Inovasi.
Supriyanto, B. (2019, 12 November). Inovasi kebijakan Perhutanan Sosial
untuk keadilan pengelolaan sumber daya alam dan kesejahteraan
masyarakat. Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Kehutanan USU, Medan:
Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
BAB I PENDAHULUAN
BAB II
HUTAN KEMASYARAKATAN:
SKEMA TERTUA PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Sulistya Ekawati, Dhani Yuniati, &
Bugi K. Sumirat
pihak mengelola sumber daya hutan secara penuh agar nantinya dapat tercapai
kesejahteraan rakyat dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian
hutan (Erdi, 2011 dalam Muhdar, Dirawan, & Wiharto 2019).
Sebenarnya, implementasi HKm juga merupakan upaya win-win solution
bagi persoalan perambahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Pemerintah berharap masyarakat dapat tetap menggarap kawasan hutan
namun dengan syarat tetap memelihara tanaman reboisasi yang ditanam.
HKm mengakomodir penggarap yang sudah masuk untuk menggarap
lahan hutan. Masyarakat yang terlanjur masuk ke dalam kawasan hutan dan
menggarap lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya menunjukkan
bahwa mereka memang memiliki ketergantungan terhadap hutan. Masyarakat
yang tidak merambah hutan karena takut akan hukum dan memiliki lahan
garapan sempit, juga dapat mengajukan permohonan menjadi anggota HKm.
Dengan demikian, wilayah hutan yang terlanjur digarap oleh masyarakat dapat
diakomodir dalam skema HKm, namun pemerintah mempunyai kewajiban
untuk melakukan pendampingan.
Program HKm dipilih sebagai salah satu resolusi konflik kawasan hutan
seperti perambahan masif yang menyebabkan kawasan hutan di Lampung
berubah menjadi hamparan kebun masyarakat. Keterlanjuran perambahan
kawasan hutan oleh masyarakat mendorong pemerintah memberikan
kesempatan kepada masyarakat melalui akses legal untuk mengelola kawasan
hutan. Melalui strategi ini, Provinsi Lampung sudah membuktikan HKm
dapat menjadi resolusi konflik dalam pengelolaan hutan. HKm di Provinsi
Lampung yang berlangsung sejak 14 tahun lalu dengan segala dinamika dalam
implementasinya menunjukkan bagaimana pemerintah dapat berkolaborasi
dengan masyarakat dalam mengelola hutan (Sanudin, Awang, Sadono, &
Purwanto, 2016).
Sesuai dengan Permen LHK No. P.83/MENLH/SETJEN/KUM.1/10/2016,
HKm dapat diberikan pada semua kawasan hutan, dengan ketentuan:
1. Hutan produksi dan/atau hutan lindung yang belum dibebani izin.
2. Hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani dan wilayah tertentu
dalam KPH.
3. Hutan konservasi, kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Berdasarkan data Ditjen PSKL, realisasi skema HKm sampai dengan akhir
2019 mencapai 743.406,82 hektar dengan jumlah izin yang diterbitkan
sebanyak 1.602 surat keputusan (SK) yang tersebar di 30 provinsi. Jumlah
masyarakat yang terlibat dalam program HKm mencapai 189.539 orang.
Secara nasional, skema HKm berkontribusi sebesar 18,36% dari total capaian
program Perhutanan Sosial. Jika mengacu pada awal dikeluarkannya kebijakan
tentang HKm pada tahun 1995 maka saat ini telah berumur 24 tahun. Sebuah
perjalanan yang cukup panjang untuk suatu proses menuju kondisi yang
stabil.
Perkembangan HKm mengalami kenaikan yang cukup drastis pada tahun 2019
walaupun sempat terjadi penurunan pada tahun 2016. Selain perkembangan
dari tahun ke tahun, sebaran HKm juga menarik untuk dipelajari. Gambar 4
menunjukkan sebaran lokasi HKm berdasarkan pulau besar di Indonesia.
Dari Gambar 4 terlihat realisasi izin HKm terluas dan terbanyak berada di
wilayah Sumatera. Provinsi Lampung menempati urutan pertama dalam
hal luasan izin HKm yakni 148.414,89 hektar. Dari pengolahan data yang
bersumber dari Ditjen PSKL (2019), jumlah izin terbanyak berada di Provinsi
Sulawesi Selatan yakni 221 SK. Latar belakang masyarakat Lampung yang
berasal dari program transmigrasi menyebabkan kebutuhan lahan pertanian
menjadi tinggi. Menurut Verbist & Pasya (2004), peningkatan jumlah
penduduk ditambah dengan keterbatasan lahan yang tersedia menyebabkan
terjadinya penggarapan lahan di kawasan hutan di Provinsi Lampung. Sejarah
juga mencatat bahwa izin HKm yang pertama diterbitkan adalah di Provinsi
Lampung, yakni SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1999 tentang HKm dan
IUPHKm untuk Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) Sumber
Agung di Register 19 Gunung Betung, Tahura Wan Abdul Rahman (Sanudin
et al., 2016).
dalam tahap verifikasi administrasi, 496 unit (220.206 ha) pada tahap verifikasi
teknis, 414 unit (172.896 ha) pada tahap drafting SK, 371 unit (161.613 ha)
dalam tahap nota dinas, dan 198 unit (82.551 ha) sudah terbit SK.
C. Permasalahan HKm
Pada banyak kasus, HKm telah terbukti meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan berhasil melestarikan hutan. Di sisi lain, terdapat beberapa
pemberian izin HKm yang belum memberikan dampak ekonomi pada
masyarakat. Nandini (2013), Sulastri & Suhartoyo (2019) menyatakan
pemberian izin HKm kurang berkontribusi terhadap pendapatan sehingga
belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan, antara
lain:
1. Luas lahan garapan yang tidak sesuai dengan jumlah anggota pengelolanya
(Sulastri & Suhartoyo, 2019) dan belum mampu menyelesaikan persoalan
distribusi pengelolaan lahan (Tangngareng & Ridha, 2016).
sistem usaha tani yang masih sederhana dan subsisten, kemampuan usahatani
yang terbatas (lebih cenderung ke tanaman semusim), belum ada usaha
dari pemerintah, serta pengelolaan belum memperhatikan pasca-panen dan
pemasaran sehingga nilai tambahnya relatif kecil.
HKm adalah kebijakan pemberian hak kelola hutan ke kelompok dengan
berbasis manajemen modern. Model-model pengelolaan secara kelompok
tidak dikenal oleh masyarakat dalam sejarah pengelolaan hutannya. Kelompok
Tani Hutan adalah model organisasi yang dikenalkan pemerintah berdasarkan
Permenhut No. 622/Kpts-II/1995 (Santosa & Silalahi, 2011). Menurut Nandini
(2013), konsep awal pembentukan HKm dilakukan melalui pembentukan dan
penguatan kelembagaan dengan harapan kelembagaan HKm mampu menjadi
ujung tombak dalam pengelolaan HKm dalam kurun waktu yang panjang.
Namun demikian, kelembagaan HKm yang konsep awalnya telah dirancang
secara baik ternyata tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal
karena tidak ada pendampingan secara kontiniu. Pendampingan HKm hanya
dilakukan pada awal kegiatan dan dilepas ketika kelembagaan HKm belum
mandiri. Selain itu, keterbatasan kemampuan sumber daya manusia menjadi
faktor penyebab lain ketidakberhasilan kelembagaan HKm dalam mengelola
hutan. Kumbara (2014) mengungkap faktor-faktor penghambat pembangunan
HKm di Desa Gunung Silanu yakni tidak berjalannya kelembagaan dan
rendahnya sumber daya kelompok tani. Kendala lainnya adalah ketiadaan
modal untuk memulai penanaman, rendahnya teknologi yang digunakan,
terbatasnya akses jalan, dan konflik dengan pemilik ternak.
Permasalahan utama dalam implementasi HKm adalah dukungan anggaran
dari pemerintah daerah yang kurang memadai karena HKm belum menjadi
program prioritas daerah sehingga pembinaan dan pendampingan yang
dilakukan kurang maksimal (Sanudin, 2016). Faktor penghambat lain adalah
koordinasi yang belum maksimal antara pendamping dengan mitra, ketidak-
merataan pelatihan, belum adanya mitra tetap, dan belum dilakukannya
monitoring dan evaluasi secara berkala (Nurhikmah, Mahbub, & Supratman,
2018).
Salah satu kelemahan program HKm adalah ketergesa-gesaan pelaksanaan
kegiatan yang langsung menuju pada pemenuhan aspek ekonomi dengan
melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Kasus-kasus
Daftar Pustaka
Abdurrahim, A. Y. (2015). Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) kolaboratif
sebagai solusi penyelesaian konflik pengelolaan SDA di hutan Sesaot,
Lombok Barat. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 3(3), 91-100.
Aji, G. B., Yuliyanti, R., Suryanto, J., Ekaputri, A. D., Saptono, …, & Muis, H.
(2015). Sumbangan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa terhadap
pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Jakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan LIPI dengan Kemitraan.
Amiruddin, Suardji, & Abdullah, U. (2001). Studi dampak keberhasilan program
HKm di NTB (Laporan Penelitian). Mataram: Pusat Kajian Sumber Daya
Kehutanan (PKSK) Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Ananta, P. (2019). Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan Izin Usaha
Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) di Pekon Air Naningan,
Kabupaten Tanggamus. TECHNOBIZ: International Journal of Business,
2(1), 17-24.
Arniawati & Agustina, S. (2017). Kontribusi Hutan Kemasyarakatan terhadap
pendapatan masyarakat (studi kasus di Desa Ambololi, Kecamatan
Konda, Kabupaten Konawe Selatan). Jurnal Ecogreen, 3(2), 89-95.
Dewi, I. N., Andayani, W., & Suryanto, P. (2018). Karakteristik petani dan
kontribusi Hutan Kemasyarakatan (HKm) terhadap pendapatan petani
di Kulon Progo. Jurnal Ilmu Kehutanan, 12(1), 86-98.
Dipokusumo, B. (2011). Model partisipatif Perhutanan Sosial menuju pengelolaan
hutan berkelanjutan (kasus pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada
kawasan hutan lindung di Pulau Lombok) (Disertasi). Program Studi
Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan, IPB, Bogor.
Hadi, H. (2018). Analisis dampak pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
di Desa Sampit, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur. Jurnal
Geodika, 2(1), 9-21.
Hairiah, K., Sardjono, M. A., & Sabarnurdin, S. (2003). Pengantar Agroforestri.
Bahan Ajaran, 1, 1-8.
Tahun 1999. Pada sisi lain, istilah Hutan Desa juga muncul dalam peraturan
perundang-undangan lain yang tidak bersumber atau mengacu kepada UU
Kehutanan, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999
tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Regulasi ini menyebut
HD sebagai bagian kekayaan desa yang menjadi sumber pendapatan desa.
Meskipun tidak identik, istilah hutan desa yang dipakai oleh regulasi di luar
KLHK memiliki semangat yang sama, yaitu untuk kesejahteraan desa. UU No.
6 Tahun 2014 tentang Desa memuat istilah ‘hutan milik desa’, sebagai bagian
aset desa, bagian sumber pendapatan asli desa (Pasal 76). Hutan milik desa ini
dapat diartikan sebagai Hutan Desa dalam pengertian UU Kehutanan maupun
hutan lainnya yang dikelola oleh desa. Namun demikian, kerancuan istilah
dapat saja terjadi antara HD dan hutan lainnya yang secara tradisional dikelola
oleh desa tetapi di luar hutan negara. Oleh karena itu, untuk memahami istilah
HD, maka harus diletakkan dalam kerangka pikir Perhutanan Sosial1 sebagai
payung dari beragam istilah lainnya.
Permen LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memuat istilah
Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) sebagai tenurial atau posisi legal dari
suatu HD. HPHD adalah hak pengelolaan pada kawasan hutan lindung atau
hutan produksi yang diberikan kepada lembaga desa. HPHD diberikan oleh
Menteri. Lembaga desa dalam peraturan ini adalah lembaga kemasyarakatan
desa yang bertugas untuk mengelola HD. Lembaga desa dapat berbentuk
koperasi desa atau badan usaha milik desa setempat (Pasal 8 ayat 2). Hal lain
yang penting dalam peraturan ini adalah bahwa lokasi HPHD berada dalam
wilayah administrasi desa. Hal-hal tersebut merupakan atribut legal yang
melekat pada HD dan menjadi pembeda dengan istilah ‘hutan desa’ lainnya
yang muncul di Indonesia.
Sebelum disebutkan secara khusus dalam UU No. 41 Tahun 1999, istilah
hutan desa di Indonesia masih jarang ditemukan di dalam literatur ilmiah dan
belum digunakan secara umum sebagai konsep yang hidup di masyarakat.
Poffenberger, Walpole, D’Silva, Lawrence, & Khare (1997) ketika membahas
1
Permen LHK No. 83 tahun 2016 mendefinisikan Perhutanan Sosial sebagai sistem pengelolaan hutan
lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan
oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan
Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan
Kehutanan.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 35
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
36 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
2
Pada saat ini, diskusi tentang hutan marga dan hutan peramunan lebih sering diletakkan dalam
kerangka program Hutan Adat bagian dari Perhutanan Sosial. Hutan peramunan di Desa
Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Muara Enim, Sumatera Selatan, saat ini dalam proses
pengajuan pengakuan Hutan Adat.
3
Dalam kasus 14 Hutan Desa di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, areal yang ditetapkan
menjadi HD adalah kawasan hutan lindung yang formasinya telah berubah bentuk menjadi
perkebunan kopi; areal yang masih berbentuk hutan tidak menjadi areal kerja HD, kecuali beberapa
unit HD saja.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 37
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
38 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
4
Desa, marga, nagari, atau apapun nama yang dikenal di nusantara sesungguhnya merupakan
representasi negara sebagai unit pemerintahan terdepan yang menguasai dan mengatur sumber daya
alam dan tunduk kepada unit pemerintahan di atasnya.
5
Peluso & Vandergeest (2001) dan Elmhirst (2011) mnyebut konsep ‘political forest’ untuk menyatakan
sebuah konstelasi tertentu dari kuasa penataan teritorial (oleh negara), terlihat dari gagasan, praktik,
dan kelembagaan yang menempatkan batasan-batasan ruang bagi akses dan pemanfaatan lahan oleh
masyarakat, menyediakan pengakuan dan legitimasi bagi orang tertentu, sementara juga mengeluarkan
dan melakukan kriminalisasi bagi pelanggar. Karenanya, secara konseptual sesungguhnya HD
tergolong hutan politik.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 39
Dalam sejarah, terutama pada masa otoritas kolonial Belanda dan pemerintah
Indonesia sampai dengan tahun 1979, teritorialisasi negara terhadap sumber
daya hutan lokal tidak mengalami masalah berarti karena masyarakat lokal
mengakomodasi konsep teritorial negara untuk kepentingan klaim lokal
dan negara tidak mengabaikan konsep dan aturan lokal secara mendasar
(Wadley, 2003). Proses saling menyesuaikan tersebut terjadi jika kapabilitas
negara untuk mengatur dan aturan adat yang berlaku dalam posisi sama
kuat (McCarthy, 2005). Secara politik, elit lokal biasanya melalui kepala desa
melakukan klaim atau upaya teritorialitas terhadap unit lahan yang dianggap
bernilai, Peluso (2005) menyebutnya sebagai teritorialisasi lokal.
Dalam sudut pandang positif, teritorialisasi lokal merupakan salah satu
elemen di dalam konsepsi HD. Menurut Permen LHK No. 86 Tahun 2016,
permohonan HPHD diajukan oleh satu atau beberapa lembaga desa dan
diketahui oleh satu atau beberapa kepala desa yang bersangkutan. Lokasi
HPHD yang dimohonkan berada dalam wilayah administrasi desa. Secara
ideal, pemilihan lokasi dan lembaga pengusul HD oleh masyarakat lokal
merupakan teritorialisasi lokal.
HPHD adalah tenure, hak sebuah lembaga desa untuk memanfaatkan sumber
daya di areal kerja HD. Proses pengajuan hingga terbitnya Surat Keputusan
(SK) HPHD seharusnya merupakan teritorialisasi lokal, sebuah langkah
politik lokal. Sampai di sini, HD hanya diartikan sebagai “hutan negara
yang dikelola oleh desa”. Elemen penting “kesejahteraan desa” seharusnya
merupakan proses lanjutan yang berkesinambungan, sebuah langkah ekonomi
lokal-global. Langkah ekonomi bertujuan untuk memastikan bahwa lembaga
desa dan perangkat-perangkat penyusunannya memiliki kemampuan yang
mutakhir dan adaptif dalam memanfaatkan sumber daya HD dan turunannya.
Kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu disebut oleh Ribot &
Peluso (2003) sebagai akses dalam teori yang dikenal dengan theory of access.
Konsep akses ditempatkan pada analisis siapa sebenarnya yang beruntung
dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Bagi Ribot & Peluso
(2003), kemampuan sama dengan kekuasaan (power). Kekuasaan dapat
bersumber dari teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
40 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
sosial, dan relasi sosial. Jika kemampuan ini dikuasai atau dipertahankan
untuk ditingkatkan oleh aktor-aktor HD maka pengelolaan HD oleh mereka
akan dapat mewujudkan kesejahteraan desa.
Makna politis dan ekonomis dari konsepsi HD diterjemahkan menjadi
mekanisme tata wilayah dan tata kuasa. Apakah kedua mekanisme
tersebut cukup untuk mewujudkan cita-cita konsepsi HD? Apakah kedua
mekanisme tersebut dapat diwujudkan dalam praksis? Bagaimana caranya?
HD sebagai sebuah konsep dan praktik akan menghadapi tantangan dalam
mewujudkannya sebagai sebuah ideologi, politik, instrumen relasi sosial,
dan teknologi. Dalam tulisan ini, istilah HD selalu mengacu pada kata kunci
penting yang tidak terpisahkan, yaitu hutan negara, dikelola oleh desa, dan
untuk kesejahteraan desa.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 41
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
42 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 43
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
44 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 45
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
46 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
unit baru saja lahir. Laporan beragam pihak dan berdasarkan catatan
etnografis penulis, implementasi HD dapat dikelompokkan menjadi empat
kondisi faktual, yakni progresif, diam aktif, diam pasif, dan kontraproduktif.
Secara umum, evaluasi keberhasilan Perhutanan Sosial atau PHBM selalu
bersandar pada dua indikator utama, yaitu peningkatan tutupan hutan dan
kesejahteraan masyarakat (Edmunds & Wollenberg, 2003; Martin, Herdiana,
Nurlia, & Premono, 2020; Maryudi et al., 2012). Untuk mencapai dua manfaat
tersebut, berdasarkan analisis kunci-kunci keberhasilan Perhutanan Sosial
secara global, dibutuhkan suasana pemungkin yang meliputi tiga faktor, yaitu
kuasa/kontrol, komoditi, dan kultur (K3).
1. HD Progresif
HD progresif memiliki ciri-ciri dari sisi kuasa/kontrol yakni kejelasan batas-
batas tenurial secara fisik: batas luar, zonasi wilayah, pengakuan hak individual
dan hak kolektif, lembaga pengelola mengendalikan keseluruhan areal kerja
HD (informasi, aktivitas, transaksi); lembaga pengelola terorganisir dan
memiliki hubungan baik ke dalam (masyarakat lokal dan pemerintah desa)
dan keluar (lembaga luar) yang ditandai dengan banyaknya kerja sama
dengan pihak luar; pemerintah desa secara aktif mendukung perkembangan
HD, misalnya dengan mengalokasikan Dana Desa dan semacamnya untuk
kepentingan kemajuan HD.
Dari sisi komoditi, HD progresif ditandai dengan adanya rencana bisnis yang
memberikan nilai tambah bagi beragam komoditas yang telah ditetapkan, baik
dalam keberlanjutan (kontinuitas), peningkatan produktivitas (kuantitas),
peningkatan mutu produksi dan pengolahan (kualitas), dan upaya branding.
Dari sisi kultural terlihat dari hubungan saling ketergantungan antara sumber
nafkah utama atau kebutuhan pokok sehari-hari dengan eksistensi hutan,
masyarakat memiliki tradisi kerja kolektif terkait sumber daya, dan masyarakat
menerapkan pluralisme hukum terkait pelanggaran aturan, di mana secara
formal hukum negara lebih mengemuka. Meskipun belum sempurna, HD
Sungai Beras di Tanjabtim, Jambi, HN Taram di Kabupaten Limapuluh Kota,
Sumbar, HD Bentang Pesisir Padang Tikar di Kubu Raya, dan HD Laman
Satong di Ketapang Kalbar adalah contoh HD progresif.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 47
2. HD Diam Aktif
HD diam aktif adalah HD yang telah berupaya meningkatkan sisi kuasa,
komoditi, dan kulturnya, namun belum mampu melaksanakan secara
keseluruhan karena kendala inisiatif, dana, dan belum menjadi prioritas utama
pemerintah desa. HD ini memiliki lembaga pengelola yang aktif sehingga
sering mendapatkan alokasi kegiatan dan fasilitasi dari pemerintah/KPH.
HD tergolong diam aktif misalnya HD Sukaraja dan HD Padan di Kabupaten
Lampung Selatan, Lampung, HD Taba Padang di Kepahiang Bengkulu, dan
HD Tanjung Agung di Muara Enim, Sumsel.
3. HD Diam Pasif
HD disebut diam pasif jika setelah mendapatkan SK HPHD, tidak mengalami
perubahan sama sekali, baik dari sisi kuasa, komoditi, maupun kultur. Lembaga
pengelola HD ini biasanya dibentuk hanya untuk memenuhi kelengkapan
administrasi pengusulan. Pengurus lembaga dan pemerintah desa telah merasa
nyaman dengan situasi yang ada dan meragukan kemanfaatan implementasi
HD.
4. HD Kontraproduktif
HD tergolong kontraproduktif jika dalam implementasinya justru memburuk
dalam hal kuasa, komoditi, dan kultur; areal kerja tidak terkendali dan
mengalami deforestasi serta alih fungsi, dan terjadi konflik internal antara
lembaga pengelola dan pemerintah desa. HPHD ditafsirkan sebagai kebebasan
untuk berbuat sekehendak, bukan mengelola hutan.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
48 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 49
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
50 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 51
Daftar Pustaka
Aliandi, A., & Djatmiko, W. (1998). Hasil hutan non-kayu ekstraktif di Desa
Sungai Telang, Rantau Pandan, Jambi (Working Paper). Bogor: ICRAF.
Edmunds, D., & Wollenberg, E. (Eds.). (2003). Local forest management: the
impacts of devolution policies. London: Earthscan.
Ekawati, S., & Nurrochmat, D. (2014). Hubungan modal sosial dengan
pemanfaatan dan kelestarian hutan lindung. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, 11(1), 40–53.
Hamzah, Suharjito, D., & Istomo. (2015). Efektivitas kelembagaan lokal dalam
pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau,
Kabupaten Solok. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 2(2),
117–128.
Isager, L., & Ivarsson, S. (2002). Contesting landscapes in Thailand: tree
ordination as counter-territorialization. Critical Asian Studies, 34(3),
395–417.
KLHK. (2018). Status Hutan & kehutanan Indonesia 2018. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Lestrelin, G. (2011). Rethinking state-ethnic minority relations in Laos:
Internal resettlement, land reform and counter-territorialization.
Political Geography, 30(6), 311–319.
Maring, P. (2008). Strategi perlawanan berkedok kolaborasi, sebuah tinjauan
antropologi kasus penguasaan hutan. Partner, 17(2), 196–209.
Martin, E., Herdiana, N., Nurlia, A., & Premono, B. T. (2020). Kebun-Ghepang:
ecological and institutional reference for social forestry at highlands of
Sumatra. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (in
progress). IOP Publishing.
Maryudi, A., Devkota, R. R., Schusser, C., Yufanyi, C., Salla, M., Aurenhammer,
H., … & Krott, M. (2012). Back to basics: considerations in evaluating
the outcomes of community forestry. Forest Policy and Economics, 14(1),
1–5.
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
52 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 53
BAB III HUTAN DESA: MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL
BAB IV
IMPLEMENTASI
KEMITRAAN KEHUTANAN
DAN PERMASALAHANNYA
DI TINGKAT TAPAK
Catur Budi Wiati, S. Yuni Indriyanti, &
Eddy Mangopo Angi
B. Perkembangan Kemitraan
Kehutanan di Indonesia
Supriyanto (2019) menyebutkan bahwa luasan area pengelolaan hutan oleh
masyarakat melalui program Perhutanan Sosial sampai dengan 7 Oktober
2019 telah mencapai sekitar 3,42 juta hektar dengan jumlah Surat Keputusan
(SK) sebanyak 6.078 unit, meliputi sekitar 758 ribu KK. Dari capaian tersebut,
untuk HD seluas 1,43 juta hektar, HKm 695.110 hektar, HTR 347.820 hektar,
KULIN KK seluas 338.388 hektar, IPHPS 25.970 hektar, dan Hutan Adat (HA)
yang terdiri dari HA dan wilayah indikatif HA seluas 578.620 hektar.
Ditjen PSKL (2019) dan Supriyanto (2019) melaporkan bahwa capaian
area pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial sekitar 3,42 juta hektar
merupakan jumlah kumulatif dari tahun 2007-2019. Laporan tersebut
menunjukkan bahwa selama tujuh tahun (2007-2014), kinerja KLHK dalam
pelaksanaan Perhutanan Sosial sangat kecil, yaitu seluas 455.833,87 hektar.
Kinerja pelaksanaan Perhutanan Sosial meningkat tajam pasca diterbitkannya
Permen LHK Nomor P.83/MENLHK/Setjen/Kum.1/10/2016, terutama
selama dua tahun terakhir (2018 dan 20198). Ditjen PSKL mempunyai target
capaian luasan sekitar 1,3 juta hektar per tahun untuk dua tahun terakhir
(Supriyanto, 2019).
8
Capaian luasan Perhutanan Sosial tahun 2019 hanya dihitung sampai 7 Oktober 2019 (Supriyanto,
2019).
9
Data capaian Kemitraan Kehutanan pada tahun 2017 tidak dapat diperoleh.
C. Implementasi Kemitraan
Kehutanan dan Hambatannya
di Lapangan
Pada dasarnya, implementasi KK adalah memberikan akses kepada masyarakat
setempat untuk mendapatkan nilai manfaat dari sumber daya hutan. Selain itu
juga merupakan suatu upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara
pengelola hutan dan atau pemegang izin dengan pihak masyarakat yang ada di
sekitarnya (Maturana, Hosgood, & Suhartanto, 2005; Andersson, Ravikumar,
Mwangi, Guariguata, & Nasi, 2011). Berbeda dengan skema Perhutanan Sosial
yang lain, tantangan yang dihadapi pengelola hutan dan pemegang izin dalam
pelaksanaan KK jauh lebih besar karena berhadapan dengan konflik lahan
(Adnan, Herthiadi, Hardiyanto, & Suwito, 2015; Irawan, Mairi, & Ekawati,
2016; Saipurrozi, Febryano, Kaskoyo, & Wulandari, 2018).
Berkaitan dengan hal tersebut maka pengelola hutan dan pemegang izin
dipastikan banyak menghadapi permasalahan di tingkat tapak, terutama
dari aspek kebijakan/aturan, teknis di lapangan, kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat. Masalah kebijakan/aturan berhubungan erat dengan
antara lain persoalan kelembagaan, produk kemitraan, pembiayaan, hak dan
kewajiban, dan bagi hasil. Masalah teknis di lapangan terkait antara lain dengan
kondisi biofisik pengelola/pemegang izin dan mitra, yaitu penentuan lokasi,
jarak, luasan, dan produk yang dihasilkan. Masalah kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat berkaitan dengan antara lain ketergantungan terhadap
sumber daya hutan, tingkat kesejahteraan, dan adat-istiadat yang berlaku.
Berikut adalah contoh kasus yang dihadapi beberapa pengelola hutan dan
pemegang izin di Provinsi Kaltim dan Kaltara dalam implementasi KK di
wilayah kerja mereka. Contoh kasus ini dikelompokkan dalam empat pihak
yang melakukan kemitraan yaitu pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), KPH, dan pengelola Kawasan
Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Pengelompokan ini dilakukan
terkait aturan-aturan lain yang berlaku dalam kawasan kelola pengelola hutan
maupun pemegang izin yang membatasi mereka dalam pelaksanaan KK.
11
Wawancara dengan Syachraini dari WWF Indonesia tanggal 6 Desember 2019.
per ton dari perusahaan. Untuk areal kelola produksi, butir kesepakatan yang
termuat dalam NKK hampir sama, hanya saja masyarakat tidak mendapatkan
bagi hasil panen tanaman pokok dari perusahaan12.
Selain PT Surya Hutani Jaya, PT Sumalindo Alam Lestari Unit II adalah
pemegang IUPHHK-HT di Provinsi Kaltim yang melaksanakan kegiatan
KK di areal kerjanya. Melalui NKK yang ditandatangani tanggal 6 Desember
2016 bersama Lembaga Adat Desa Batu Lepoq di Kabupaten Kutai Timur
(Kutim), PT Sumalindo Alam Lestari Unit II mengalokasikan areal seluas 700
hektar untuk perlindungan dan pengelolaan areal karst serta pengembangan
ekowisata air panas dan speleologi (wisata susur goa). Pada tanggal yang
sama PT Sumalindo Alam Lestari Unit II juga sepakat melakukan kerja sama
dengan Lembaga Adat Desa Karangan Hilir untuk mengelola area seluas
537 hektar guna perlindungan dan pengelolaan areal karst, pengembangan
ekowisata, silvopastural, agroforestry, dan silvofishery. Pengajuan KULIN KK
dari PT Sumalindo Alam Lestari Unit II mengalami kendala karena NKK
harus disesuaikan dengan Perdirjen PSKL No. P.18/PSKL/Set/PSL.0/12/2016
jo Perdirjen PSKL No. P.9/PSKL/Set/PSL.0/9/2017.
12
Wawancara dengan Seferinus Siga S. Ary, Social Security Department PT Surya Hutani Jaya tanggal 12
Desember 2019.
Selain KPH Tarakan, KPH Berau Barat sebenarnya telah membangun kegiatan
KK bekerja sama dengan PT Inhutani I Unit Labanan II (UMH Tepian
Buah) yang memiliki wilayah konsensi di Kabupaten Berau, Provinsi Kaltim.
Kerja sama tersebut telah mendapatkan KULIN KK dari Men LHK melalui
No. SK.8868/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2018 tanggal 27 Desember
2018. Bentuk KK adalah wisata air terjun Sungai Tembalang dengan luas
area ±225 hektar. Dalam menjalankan kegiatan KK, PT Inhutani I Unit
Labanan II (UMH Tepian Buah), Kampung Tepian Buah, dan KPH Berau
Barat pada tanggal 2 Oktober 2017 telah sepakat menjalin kerja sama wisata
air terjun. Hal itu dituangkan dalam perjanjian kerja sama No. 71/IID/INH-
LBN/II/2017, No. 205/pem/TBH/320/IX/2017, dan No. 766.01/249/KPHP/
BB-III/2017. Perjanjian kerja sama tersebut kemudian direvisi pada tanggal
9 Oktober 2018 melalui NKK antara PT Inhutani I Unit Labanan II (UMH
Tepian Buah) dengan Kelompok Sadar Wisata Allo Malao, jangka waktu lima
tahun dengan skema pembagian hasil 40% untuk PT Inhutani I Unit Labanan
II (UMH Tepian Buah) dan 60% untuk Kelompok Sadar Wisata Allo Malao.
kegiatan yang akan dilakukan. Apalagi wilayah yang dimitrakan oleh BPPLHK
Samarinda adalah kawasan konservasi yang masuk dalam kawasan Taman
Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Daftar Pustaka
Adnan, H., Herthiadi, R., Hardiyanto, G., & Suwito. (2015). Meretas jalan
kemitraan: implementasi program pemberdayaan masyarakat melalui
kemitraan kehutanan antara PT Arangan Hutan Lestari dengan
masyarakat Kecamatan VII Koto, Tebo, Jambi. Jakarta: The Parthership
for Governance Reform.
Andersson, K., Ravikumar, A, Mwangi, E., Guariguata, M., & Nasi, R.
(2011). Menuju bentuk kerja sama yang lebih berkesetaraan. kontribusi
masyarakat lokal bagi konsesi pengusahaan kayu (Occasional Paper 72).
Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).
Direktorat PKPS. (2019). Laporan kinerja Direktorat Penyiapan Kawasan
Perhutanan Sosial Tahun 2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
Ditjen PSKL. (2019). Laporan kinerja Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan tahun 2018. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
Ewers, R.M. (2006). Interaction effects between economic development
and forest cover determine deforestation rates. Global Environmental
Change, 16, 161-169.
Irawan, A., Mairi, K., & Ekawati, S. (2016). Analisis konflik tenurial di Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Poigar. Jurnal WASIAN, 3(2), 79-
90.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.8868/
MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2018 tentang Pengakuan dan
Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK) antara Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) Allo Malau dengan PT Inhutani I Unit Labanan
II (UMH Tepian Buah) Seluas ±225 (Dua Ratus Dua Puluh Lima) Hektar
pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Kampung Tepian
Buah Kecamatan Segah Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.
lain (APL) seluas 68.935 ha, dan HA seluas 19.150 ha. Melalui keputusan
tersebut, penetapan HA akan dilakukan secara berkala dan kumulatif setiap
tiga bulan apabila ada produk hukum baru yang mencantumkan subyek dan
obyek HA (Supriyanto, 2019).
Capaian 58 unit penetapan HA seluas 24.655 ha adalah jumlah yang kecil jika
dibandingkan dengan pencapaian perhutanan sosial yang saat ini mencapai
luasan 3,25 juta ha dengan lima skema yaitu HA, HKm, HD, HTR, dan KK.
Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan usulan ke KLHK untuk
ditetapkan menjadi HA.
Keberadaan wilayah adat yang umumnya ada di kawasan hutan menimbulkan
konflik tersendiri. Keberlangsungan fungsi sumber daya hutan perlu dikontrol
melalui kejelasan hak maupun pengendalian akses yang sangat dipengaruhi
oleh tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Secara teoritis,
pemerintah dapat menjaga keberlangsungan fungsi hutan melalui hak–hak
yang telah ditetapkan secara hukum, tetapi dalam praktiknya terbukti belum
penetapan masyarakat adat. Jika di kawasan hutan maka ada keharusan agar
produk hukum daerah yang dihasilkan dalam bentuk Perda (Pasal 67 ayat 2
UU No. 41 Tahun 1999).
Di level pemerintah daerah, MHA merupakan tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten/Kota, sedangkan
HA menjadi tupoksi Dinas Kehutanan Provinsi. Penetapan HA adalah
tahapan yang mestinya tidak dikerjakan secara terpisah dari bagian yang lain.
Artinya, harus ada suatu pekerjaan integratif antara HA dan hak komunal
masyarakat adat. Terdapat ±13 kementerian/lembaga dengan tugas dan
fungsi mengurusi MHA, ini yang menyulitkan dan membuat bingung MHA.
Di Pusat adalah KLHK, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan; Kementerian Sosial; Kementerian Hukum dan HAM;
Kementerian Agraria dan Tata Ruang; Kementerian Pekerjaan Umum;
Kementerian Keuangan; dan Kementerian Pertanian. Di Daerah adalah Dinas
Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Dinas Kebudayaan.
MHA memiliki hubungan yang jelas antara tanah yang menjadi sumber
kehidupan dengan alam sekitarnya. Hubungan tersebut diatur dalam sistem
pengelolaan kelembagaan adat, hukum adat, norma adat, batas-batas, dan
luasan yang jelas. MHA umumnya bergantung pada hutan sebagai sumber
kehidupan, obat-obatan, dan bahan-bahan kerajinan tangan. Hutan juga
menjadi tempat pelaksanaan ritual adat, sumber pangan, dan sumber mata air
yang dipertahankan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada implementasi di lapangan, penetapan HA dengan persyaratan yang
telah diatur dalam peraturan menjadi semakin tidak rasional apabila pola
pengelolaan HA berubah. Berubahnya pola pengelolaan sumber daya hutan
berdampak pada penurunan proses produksi dan konservasi sehingga
mengurangi hasil pertanian dan koservasi MHA di wilayah-wilayah adatnya.
Hilangnya tempat-tempat untuk kegiatan budaya tradisional, hilangnya
sumber kehidupan, dan semakin langkanya tumbuh-tumbuhan untuk obat-
obatan tradisional akan berdampak pada hilangnya kearifan lokal, kelestarian
hutan, dan menurunnya kesejahteraan MHA.
Terminologi kearifan lokal tidak dapat dipisahkan dari istilah masyarakat adat.
Terlepas dari perdebatan istilah “masyarakat-hukum adat” dan “masyarakat
hukum-adat” yang masing-masing memberi penekanan berbeda, pengakuan
masyarakat adat berawal dari pengakuan cara-cara hidup yang saat ini lebih
dikenal dengan kearifan lokal. Masuknya terminologi ke dalam peraturan
perundangan, bahkan konstitusi negara, sebenarnya adalah suatu bentuk
simplifikasi dari sebuah tatanan hidup yang kompleks yang meliputi dimensi
sosial, budaya, politik, ekologi, ekonomi, dan agama ke dalam satu dimensi,
yaitu hukum. Penggunaan istilahnya pun tergiring pada penggambaran pada
UUD yang kemudian diacu oleh UU Hak Asasi Manusia, UU Kehutanan,
UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Akibatnya, istilah yang banyak dipakai oleh kelompok
gerakan sosial yang memperjuangkan haknya atas tanah dan juga perlawanan
terhadap diskriminasi yang dialami sejak Orde Baru, menjadi hal yang
sangat birokratis mengikuti “kepentingan” kebijakan. Oleh karena itu, ketika
berbicara tentang masyarakat adat, sesungguhnya sedang membicarakan
tentang kontestasi konsep, legislasi, dan instansi sektoral yang mengurusi
masyarakat adat.
Istilah kearifan lokal muncul sebagai suatu pandangan hidup ketika orang
memiliki pandangan terhadap arus besar. Arus besar yang dimaksud adalah
pandangan-pandangan yang lahir oleh penciptaan global. Salah satu faktor
penting terciptanya pandangan global adalah media informasi. Media informasi
mampu membangun opini masyarakat dan dalam batas-batas tertentu opini
tersebut dapat membentuk pandangan masyarakat, misalnya gaya hidup yang
merujuk pada opini dunia. Tertanamnya pandangan global pada individu-
individu dapat berdampak pada tercerabutnya nilai-nilai lokalitas yang
dimiliki. Derasnya arus pandangan global ternyata menimbulkan persoalan.
Modernisasi telah menimbulkan krisis kemanusiaan. Krisis yang muncul
dapat terjadi pada diri manusia maupun lingkungan sekitarnya, misalnya
polusi. Krisis kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan kejenuhan,
bahkan pada batas-batas tertentu melahirkan ketidakpercayaan terhadap
ideologi global. Kejenuhan manusia terhadap ideologi global menyebabkan
manusia mencoba mencari keunikan-keunikan yang bersifat natural. Dalam
konteks budaya, orang mulai kembali ke masa lalu. Orang mulai mencari nilai-
nilai lokalitas yang bermakna dan asli. Nilai-nilai lokal inilah yang kemudian
disebut dengan kearifan lokal.
Dalam perspektif sejarah, upaya mencari kearifan lokal merupakan bagian dari
kesadaran sejarah karena kearifan lokal terbentuk dalam kurun waktu yang
cukup lama. Pengakuan eksistensi kearifan lokal biasanya dilakukan melalui
pelacakan terhadap bagaimana proses terbentuknya kearifan lokal tersebut,
misalnya kepercayaan yang bersifat mitos. Terbentuknya suatu mitos biasanya
melalui suatu pewarisan dari generasi ke generasi. Pewarisan dilakukan melalui
suatu penuturan dari penutur kepada masyarakatnya sehingga membentuk
suatu tradisi lisan. Pada umumnya, terbentuknya kearifan lokal dimulai sejak
masyarakat belum mengenal tulisan (praksara). Tradisi praksara kemudian
melahirkan tradisi lisan. Dalam perkembangannya, tradisi lisan dapat menjadi
kepercayaan atau keyakinan masyarakat.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis (Vansina, 1985), yaitu:
1. “Petuah-petuah”, merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti
khusus bagi kelompok.
2. “Kisah”, kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai
kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group
account).
3. “Cerita kepahlawanan”, berisi bermacam-macam gambaran tentang
tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok
pemiliknya yang berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-
tokoh pimpinan masyarakat).
4. “Dongeng”, umumnya bersifat fiksi.
Daftar Pustaka
Adiwibowo, S. (2018). Keberadaan masyarakat hukum adat dalam konteks
pelestarian lingkungan hidup dan hutan di Indonesia. Pelatihan
Peningkatan Kapasitas verifikator Hutan Adat. Bogor.
Arizona, Y., Herwati, S. R. M., & Cahyadi, E. (2013). Kembalikan hutan adat
kepada masyarakat hukum adat: anotasi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
mengenai Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta:
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMa).
Desmiwati & Surati. (2018). Upaya memperjuangkan peraturan daerah
tentang pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat
hukum adat Kasepuhan Kabupaten Lebak, Banten. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, 15(2), 165–178.
Direktorat PKTHA. (2019a). Masyarakat hukum adat dan hutan adat. Jakarta:
Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat.
Direktorat PKTHA. (2019b). Realisasi penetapan hutan adat dan penunjukan
hutan adat fase III. Jakarta: Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan
Hutan Adat.
Gusliana. (2011). Pola perlindungan hutan tanah ulayat Masyarakat Hukum
Adat Melayu Riau, di Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 112–133.
Hidayat, H., Yogaswara, H., Herawati, T., Blazey, P., Wyatt, S., & Howitt, R.
(2018). Forests, law and customary rights in Indonesia: implications of
a decision of the Indonesian constitutional court in 2012. Asia Pacific
Viewpoint, 59(3), 293–308.
Kristianto, E. D. (2014). UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan paska
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa).
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Secara umum tantangan yang dihadapi dalam pengembangan HTR ada tiga,
yaitu lokasi, kelembagaan, dan pendanaan. Lokasi izin HTR menjadi isu penting
dalam percepatan pengembangan HTR. Lokasi yang dialokasikan untuk HTR
berada di areal hutan produksi dengan akses dan infrastruktur yang terbatas,
skala luasan kecil, dan cenderung belum mencapai skala ekonomisnya. Lokasi
ini menjadi penting karena keintegrasian atau konektivitas dengan industri
pengolahan (pasar) menjadi terbatas. Permasalahan lahan menjadi perhatian
dalam pelaksanaan program HTR terkait dengan tingginya potensi konflik
lahan (Iskandar, 2013). Tantangan berikutnya adalah kelembagaan yang
mencakup sumber daya manusia (kualitas dan kuantitas), teknologi, dan
regulasi. Permasalahan lahan dan kelembagaan mendorong tingginya biaya
transaksi (Kartodihardjo, 2013). Tantangan yang ketiga adalah ketersediaan
dana untuk investasi HTR yang terbatas (ketersediaan dan akses ke modal).
C. Perkembangan HTR
Target perhutanan sosial sudah ditetapkan seluas 12,7 juta ha. Kinerja
pembangunan perhutanan sosial sampai dengan tahun 2019 disajikan pada
Gambar 20.
manfaat sosial hutan rakyat mulai dirasakan saat ini setelah permintaan
(demand) atas bahan baku kayu untuk industri tidak lagi dapat dipenuhi oleh
pasokan (supply) kayu dari luar Jawa.
Kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat, terutama di Jawa, sudah banyak
dipergunakan untuk memenuhi permintaan bahan baku industri pengolahan
kayu maupun bahan bakar berbagai industri rakyat di Jawa. Di beberapa
kabupaten produksi kayu hutan rakyat, produksi kayunya bahkan sudah
melampaui volume produksi kayu Perum Perhutani. Di Kabupaten Ciamis
misalnya, produksi kayu hutan rakyat mencapai 300 ribu m3 per tahun,
sementara produksi kayu Perum Perhutani di kabupaten tersebut hanya
sekitar 30 ribu m3 per tahun. Luas hutan rakyat di seluruh Indonesia saat ini
ditaksir mencapai 1,5 juta hektar dengan potensi kayu sekitar 40 juta m3, yang
sebagian besar berada di Jawa dengan potensi kayu mencapai 23 juta m3.
Kawasan hutan negara di Jawa saat ini sebagian besar dikelola oleh Perum
Perhutani. Luas hutan produksi yang dikelola Perhutani mencapai 1,8 juta
hektar. Dalam hutan produksi tersebut sekitar 300 ribu hektar berupa lahan
yang belum ditanami atau rusak akibat perambahan. Lahan hutan produksi
yang gundul atau rusak tersebut sebetulnya dapat dikembangkan oleh
Perhutani menjadi hutan tanaman melalui kerja sama dengan masyarakat di
sekitarnya.
D. Lokasi HTR
Kebijakan pembangunan HTR berbeda dengan kebijakan pengelolaan
hutan produksi. Pengelolaan hutan produksi biasanya dimulai dari luasan
besar dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu dengan elemen kegiatan
pokoknya penebangan. Sebaliknya, pembangunan HTR merupakan proses
penguatan kelembagaan kehutanan baru masyarakat yang dimulai dari luasan
kecil (satu-dua hektar) dengan kegiatan pokoknya menanam tanaman hutan.
Penanaman kembali kawasan hutan produksi oleh masyarakat merupakan
manajemen hutan yang melibatkan masyarakat secara langsung. Hal yang
paling menentukan keberhasilan pembangunan HTR adalah adanya jaminan
kepastian hukum tentang alokasi areal dan pemberian IUPHHK-HTR kepada
Salah satu faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan HTR adalah
ketiadaan/keterbatasan modal untuk membangun hutan tanaman dan
kemungkinan sulitnya pemasaran hasil tanaman. Untuk itu masyarakat yang
membangun hutan tanaman harus membentuk kelompok untuk bermitra
dengan industri pengolahan atau pemasaran kayu, kecuali apabila kelompok
masyarakat tersebut sudah mampu memiliki industri dan membangun
jaringan pasar secara mandiri.
E. Pendanaan
Akses pembiayaan pembangunan HTR yang terbatas bagi petani menjadi isu
yang perlu diperhatikan. Proses pembiayaan melalui pihak bank cukup rumit,
sementara posisi tawar sektor kehutanan juga lemah sehingga usaha hutan
tanaman terkesan tidak menguntungkan dan penuh risiko; kondisi tersebut
menyebabkan dunia usaha kehutanan kurang tertarik untuk berhubungan
dengan bank (Nugroho, 2011). Tantangan tersebut dapat diatasi dengan
program pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui pinjaman
dana bergulir (PDB) dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiyaan
Pembangunan Hutan (PPPH) (Herawati, 2011). BLU PPPH menyediakan
pinjaman dengan suku bunga rendah dibandingkan dengan suku bunga
komersial13.
Pendanaan menjadi common problem bagi pemegang izin HTR yang perlu
mendapat perhatian secara khusus, seperti masalah agunan, rendahnya
komoditas kayu produk HTI, lemahnya administrasi keuangan, panjangnya
masa tenggang (grace period) yaitu selama delapan tahun yang belum
diimbangi dengan pendapatan jangka pendek untuk memperkuat arus kas, dan
belum adanya penjaminan risiko dari lembaga asuransi. Untuk mengatasinya
diperlukan regulasi yang memperbolehkan dana Dana Reboisasi (DR) dapat
langsung masuk ke Rekening Operasional BLU dan dapat menggulirkan
dananya langsung kepada masyarakat petani hutan secara perorangan
(Wahyudi, 2012).
Untuk mendapatkan dana pinjaman dari BLU PPPH, pertama-tama pemohon
harus mengajukan proposal. Bagi petani yang akan mengajukan pinjaman,
misalnya untuk pengajuan kredit tunda tebang, harus menjadi anggota
13
https://blup3h.id/tarif-layanan-blu-pusat-p2h/
1. Mekanisme Pendanaan
Fasilitas yang diberikan untuk pendanaan HTR berbunga murah dan
berpatokan pada tingkat suku bunga Bank Indonesia. Misalnya untuk HTR
(Desember 2012), bunga hanya 5,75%/tahun dengan masa pengembaliannya
setelah panen (daur 8 tahun) dan untuk HTI bunganya 5,75 plus 4% atau
9,75%/tahun. Bunga tersebut dipastikan masih di bawah bunga pasar
pinjaman bank dalam negeri. Persoalan yang mucul adalah ketidakmampuan
petani membuat proposal, kelembagaan, keberadaan sumber daya manusia di
dalam hutan hingga kawasan hutan yang clean dan clear untuk kegiatan HTR.
Akibatnya, dana yang ada tidak dapat digunakan dan tidak tersalurkan.
Tahun 2010 Kementerian Kehutanan menggandeng BRI untuk penyalurannya.
PPPH yang menjadi otoritas BLU membuat MoU dengan PT Bank Rakyat
Indonesia (BRI) untuk menyalurkan dana sekurangnya Rp3 triliun yang sudah
idle. Dalam implementasi penyalurannya, BLU Kehutanan telah merealisasikan
penyaluran dana untuk pembangunan dan pengelolaan HTR sebesar Rp800
miliar. Dana itu disalurkan untuk membantu petani membangun HTR dengan
menanam pohon kayu dan mengembangkan tanaman pangan melalui sistem
tumpangsari. Lembaga ini mulai tahun 2012 juga membiayai pembangunan
hutan yang dikelola masyarakat, seperti hutan rakyat, hutan desa, dan hutan
kemasyarakatan. Jika petani atau koperasi membutuhkan lebih dari Rp8 juta,
mereka dapat meminjam dana melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
2. Penerimaan Manfaat
Pihak yang dapat memanfaatkan fasilitas BLU PPPH antara lain adalah pelaku usaha
HTI (BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi) termasuk di dalamnya pemegang
IUPHHK-HTI atau yang memiliki ikatan perjanjian kerja sama kemitraan dengan
KPH. Dalam penyaluran dana pinjaman, BLU PPPH menetapkan prinsip 4T, yaitu
Tepat pelaku, Tepat lokasi, Tepat kegiatan, dan Tepat penyaluran dan pengembalian.
Penyaluaran dana pinjaman tidak diberikan secara sekaligus tetapi disalurkan
secara bertahap14. Cakupan kegiatan usaha yang dapat didanai oleh BLU PPPH
adalah kegiatan on farm yang secara langsung menghasilkan produk hutan kayu
14
https://blup3h.id/leaflet-flyer-blu-pusat-p2h/
atau non kayu yang bernilai ekonomi tinggi dan off farm yang secara tidak langsung
mendukung, berdampak positif, dan/atau menghasilkan nilai tambah terhadap
kegiatan on farm (Djaenudin et al., 2018).
Selain itu, pinjaman tersebut dapat pula digunakan untuk kegiatan pemanenan
tanaman kehutanan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Pinjaman Pemanenan Tanaman Kehutanan adalah dalam bentuk fasilitas
dana bergulir (FDB) yaitu pinjaman untuk membiayai kegiatan penebangan
dan pengangkutan sampai tempat pengumpulan kayu dan sebagai insentif bagi
pelaku usaha kehutanan yang dapat mempertahankan tanaman kehutanan
yang dimiliki sampai masa panen. Sementara itu pinjaman Pemungutan
HHBK adalah jenis FDB yang merupakan pinjaman untuk membiayai
usaha pemungutan HHBK pada hutan lindung, zona atau blok pemanfaatan
tradisional hutan konservasi, hutan produksi atau lahan milik.
Kinerja pemanfaatan pendanaan untuk pembangunan HTR masih perlu
terus ditingkatkan. Untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik diperlukan
tahapan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap progres pembangunan
HTR. Dalam perkembangannya, kegiatan monev HTR dilakukan sebatas
pada evaluasi apakah pohon penjamin masih ada atau tidak. Selain itu tahapan
monev dilakukan secara rutin setiap tahunnya.
Di tingkat lapangan, selain faktor teknis, permasalahan juga disebabkan
oleh kebijakan yang kurang berpihak pada masyarakat. Pemegang izin HTR
belum memiliki kemampuan menyusun proposal yang baik dan tata waktu
pengusulan hingga persetujuan dan pencairan dana membutuhkan waktu lama
dan berbelit-belit. Dari sisi kebijakan, BLU menetapkan jaminan sebesar 25%
dari total pembiayaan yang diajukan, BLU juga tidak mengakomodir dinamika
lapangan sehingga permasalahan yang terjadi di lapangan seluruhnya menjadi
tanggung jawab pemegang izin meskipun skema pembiayaannya adalah bagi
hasil.
F. Regulasi
Salah satu tantangan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR adalah
kemampuan masyarakat yang masih rendah dan dukungan pemerintah yang
belum maksimal. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam implementasi
HTR di lapangan di antaranya adalah proses perizinan yang panjang sampai
3 tahun seperti kasus di Kalimantan Timur (Iskandar, 2013) dan belum
ada kejelasan mekanisme penyaluran kredit HTR (Herawati, 2011). Selain
itu pemerintah daerah juga belum memberikan perhatian terhadap porsi
anggaran pembangunan HTR (Mas’ud, Supratman, & Malamassam, 2011).
Untuk itulah pemerintah menyediakan regulasi percepatan pembangunan
HTR seperti pembentukan BLUPPPH yang merupakan salah satu unit kerja di
KLHK yang ditingkatkan fungsi pelayanannya sebagai badan layanan umum.
Pada tahun 2007, Kementerian Kehutanan membentuk BLU Kehutanan. BLU
ini merupakan lembaga keuangan non bank yang dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Bersama Menhut No.2/Menhut-II/2007 dan Menteri Keuangan
No.06.1/PMK.1/2007. Berdasarkan ketentuan tersebut, BLU yang mempunyai
nama resmi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan hanya boleh membiayai
pembangunan HTR dan HTI di kawasan hutan produksi.
Selain itu untuk mendorong peran pemerintah daerah dalam mendukung
pembangunan HTR, pemerintah telah menyediakan payung hukum peran
Pemerintah Kabupaten dan Desa melalui Peraturan Menteri LHK No.
83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Pasal 61 ayat 1 menyatakan
bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi Pemegang
HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan, dan Pemangku
Kehutanan”. Ayat 2 pada Pasal 61 menjabarkan lebih jauh fasilitasi pemerintah
kabupaten dan desa yang mencakup fasilitasi pada tahap usulan permohonan,
penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha,
pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan
hutan desa, rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk
kegiatan kemitraan kehutanan, pembiayaan, pascapanen, pengembangan
usaha, dan akses pasar”. Hal ini sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya antara lain dinyatakan bahwa, dalam
bidang pemberdayaan masyarakat dan desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota berwenang untuk menyelenggarakan penataan desa; fasilitasi kerja sama
antar desa dalam satu kabupaten; pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan desa.
G. Kelembagaan
Pembangunan HTR tidak dapat berdiri sendiri tanpa melibatkan pembangunan
di hilirnya (industri pengolahan/pasar). Untuk menjamin hal tersebut maka
penyelenggaraan HTR dapat dilakukan dalam beberapa rancangan. Adapun
rancangan pola pengembangan HTR terdiri dari:
1. HTR Pola Mandiri. Masyarakat setempat membentuk kelompok, diajukan
ke bupati, pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk
setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok
bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian
kedit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/pemda. Setiap anggota
mengingatkan anggota kelompok lainnya untuk memenuhi kewajiban.
2. HTR Pola Kemitraan dengan HTI BUMN/BUMS atau industri perkayuan
(panel), pulp dan kertas/model plasma inti. Masyarakat setempat
membentuk kelompok, diajukan oleh Bupati ke Menhut. Pemerintah
menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra
bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan, dan pasar.
3. Pola Developer HTR. BUMN/BUMS sebagai developer membangun HTR
dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai
pemegang IUPHHK-HTR. Biaya pembangunannya diperhitungkan
sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara
bertahap sesuai akad kredit.
H. Penutup
Untuk mempercepat pembangunan HTR perlu melihat tantangan-tantangan
yang dihadapi. Beberapa langkah kebijakan yang harus disiapkan adalah
sebagai berikut:
1. Penetapan lokasi untuk pembangunan dan pengembangan hutan tanaman
oleh rakyat secara cermat dengan memperhatikan sebaran lokasi industri
pengolahan kayu, pasar kayu olahan, serta ketersediaan sarana-prasarana
untuk menjangkau industri pengolahan dan pasar.
Daftar Pustaka
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Statistik
lingkungan hidup dan kehutanan tahun 2017. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[PSKL] Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
(2019). Database capaian Perhutanan Sosial per 31 Desember 2019. In
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Djaenudin, D., Indartik, Pribadi, M. A., & Iqbal, M. (2016). Desain kelembagaan
perdagangan karbon utan Indonesia. Bogor.
Djaenudin, D., Oktaviani, R., Hartoyo, S., & Prabowo, H. D. (2016). An
empirical analysis of land-use change in Indonesia. International Journal
of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR), 28(1), 166–179. Diunduh
dari http://gssrr.org/index.php?journal=JournalOfBasicAndApplied
Djaenudin, D., Suryandari, E. Y., Indartik, Atmadja, S., Arwida, S., & Nugroho.
(2018). Mekanisme insentif finansial untuk pembiayaan aksi mitigasi
perubahan iklim. Bogor.
Faradhana, A., Herwanti, S., & Kaskoyo, H. (2019). Peran Hutan Tanaman
Rakyat dalam meningkatkan pendapatan di Kesatuan Pengelolaan
Hutan Unit XIV Gedong Wani. Universitas Lampung, 2. Diunduh dari
https://doi.org/10.29303/jbl.v2i2.130.
Herawati, T. (2011). Hutan Tanaman Rakyat: analisis proses perumusan
kebijakan dan rancang bangun model konseptual kebijakan. (Disertasi).
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Iskandar. (2013). Implementasi kebijakan hutan tanaman. Jurnal Paradigma,
2(2).
Kartodihardjo, H. (2013). Kembali ke jalan lurus. Yogyakarta: Nailil Printika.
Mas’ud, E. I., Supratman, & Malamassam, D. (2011). Model pembangunan
Hutan Tanaman Rakyat di Desa Bacu-Bacu, Kabupaten Barru. Jurnal
Hutan dan Masyarakat, 6(2), 93–99. Diunduh dari http://journal.unhas.
ac.id.
BIOGRAFI PENULIS
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 119
BIOGRAFI PENULIS
120 Bersama Membangun Perhutanan Sosial
BIOGRAFI PENULIS
Bersama Membangun Perhutanan Sosial 121
BIOGRAFI PENULIS